Anda di halaman 1dari 7

PENEGAKAN HUKUM DAN KEADILAN TINDAK PIDANA MINUMAN

BERALKOHOL DI NEGARA MUSLIM (UNI EMIRAT ARAB)


(Essay dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Pidana di Negara Muslim)
Dosen Pengampu: Suciyani, M.Sos.

DiSusun Oleh:
Nabila Inayatul Maula Abida (212131056)

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
UIN RADEN MAS SAID SURAKARTA
TAHUN 2023
PENDAHULUAN
Persatuan Emirat Arab atau biasa dikenal dengan Uni Emirat Arab
merupakan sebuah monarki terpilih yang terbentuk atas federasi dari tujuh emirat
yakni Abu Dhabi, Ajman, Dubai, Fujairah, Ras al-Khaimah, Sharjah dan Umm al-
Qaiwain. Setiap keamiran diperintah oleh seorang Syekh serta bersama-sama
membentuk Dewan Federal Tertinggi, dan salah satu dari syekh tersebut bertugas
sebagai Presiden Uni Emirat Arab. Pada tahun 2013. Uni Emirat Arab ini
mempunyai populasi sekitar 9,2 juta penduduk, dengan 1,4 juta diantaranya ialah
penduduk asli dan 7,8 juta adalah ekspatriat. Sampai 2021, Uni Emirat Arab
diperkirakan mempunyai penduduk sebesar 9,9 juta.
Dari seperkian banyak populasi penduduk di UEA, Islam menempati
posisi sebagai agama terbesar serta resmi dengan kata lain Islam merupakan
agama mayoritas di sana, dimana Muslim berjumlah 76 persen dari populasi yang
ada. Dengan rincian sekitar 85 persen adalah Muslim Sunni sedangkan 15 persen
sisanya adalah Syiah, sebagian besar terpusat di emirat Sharjah dan Dubai.
Berdasarkan sensus kemetrian ekonomi pada tahun 2005, dari sisa 76 persen ialah
beragama kristen, dan 15 persen lainnya beragama Hindhu.
Berdasarkan civil law system dengan beberapa elemen prinsip-prinsip inti
hukum UEA diambil dari hukum Islam (Syariah), akan tetapi, tidak seperti
yurisdiksi lain yang menentukan sekolah yurisprudensi tertentu, UEA tidak
menyebutkan secara khusus mengenai tujuan legislasinya. Demikian dengan
praktik peradilan juga, UEA mengizinkan pertimbangan semua sekolah hukum
sesuai dengan kebijaksanaan hakim ketua. Sebagian besar hukum yang berlaku di
UEA merupakan campuran yang terdiri dari hukum Islam dan perdata serta
biasanya mempunyai pengaruh hukum Mesir. Menurut konstitusi UEA tahun
1971 menyatakan bahwasanya Syariah ialah sumber utama legislasinya. Oleh
karena itu, dapat dipahami bahwa, selain syariah, sumber lain juga dapat
digunakan untuk tujuan legislasi serta untuk tujuan praktik pengadilan juga.
PEMBAHASAN
Sistem Hukum Negara Uni Emirat Arab
Untuk menggambarkan bagaimana posisi Hukum Islam dalam sistem
Undang-Undang UEA, pertama-tama syariah merupakan bagian dari agama Islam
dan hal itu adalah bentuk tradisi. Dengan demikian, syariah telah dianggap
sebagai sumber dari segala aturan hukum sepanjang sejarah, artinya, syariah
merupakan sumber hukum yang substantif, yakni berdasarkan faktor sejarah dan
agama. Status substantif hukum syariah tidak berubah sejak dimasukkan ke dalam
pasal-pasal konstitusi. Namun, belum muncul sebagai sumber hukum formal,
meskipun telah mendapatkan pengaruh dalam konstitusi directive, sebab
konstitusi tidak terkait dengan hukum Islam. Hanya terdapat satu cara untuk
membuat hukum Islam mengikat di UEA yakni dengan proses kodifikasi oleh
parlemen, yang memperluas spekulasi bahwa efek dari aturan hanya melalui
undang-undang, bukan melalui moralitas. Dengan kata lain, penetapan hukum
atau syariat Islam akan menjadi kepala legislasi yang lebih mengarah pada
legislatif daripada sipil dan peradilan.
Posisi hukum Islam dalam sistem hukum UEA disatu sisi
mempertahankan otoritas syariah, namun di sisi lain pada saat yang bersamaan
juga melemahkan prinsip-prinsip fundamental. Banyak Muslim di UEA percaya
akan hukum syariah yang ingin mereka ikuti, tetapi juga modernitas mereka
mendukung adopsi nilai-nilai Barat. Hal ini menimbulkan kontradiksi atau
meningkatkan ketegangan antara tradisionalisme dan modernisasi.
Pada November 1987, dilkasanakan revisi terhadap sistem hukum pidana
di UEA dengan menerbitkan proposal KUHP Federal. Revisi tersebut dilakukan
untuk menyatukan sistem hukum antara pidana hukum dengan hukum Islam.
Menurut Pasal 1 Hukum Pidana Federal 1987 berbunyi “Dalam kejahatan
Hukuman (Hudud), Pembalasan (Qisas), dan uang darah (Diyat), ketentuan
syariat Islam harus diterapkan. Kejahatan dan hukuman disiplin (Takzir) akan
ditentukan per ketentuan Kitab Undang-Undang ini dan pidana lainnya undang-
undang”. Selanjutnya, dapat dilihat bahwa KUHP yang baru memperhatikan
syariat Islam dan pemisahannya bertentangan dengan doktrin. Namun, sebagai
bagian dari pelanggaran yang diakui, pelanggaran Takzir dikodifikasi dan
disekulerkan. Selain itu, Hudud, Qisas, dan Diyat serta tindakan kriminal lainnya
diputarbalikkan oleh pemerintah kedalam sumber hanya hukum pidana substantif.
Oleh sebab itu, semua hakim di UEA, baik hakim negara atau hakim syariah,
harus mematuhi pemberlakuan pemerintah, di mana sistem tersebut sangat
bertentangan dengan hukum syariah dan mempengaruhi praktik sehari-hari
pengadilan di UEA.
Dengan demikian, proses islamisasi undang-undang di UEA melalui
pemberlakuan KUHP Federal gagal, meskipun proses tersebut berfungsi untuk
melindungi hukum Islam. Apalagi seperti itu konteks dalam praktik menyebabkan
penerapan ketentuan Syariah yang jarang. Prosesnya sendiri agak kontradiktif
seperti yang ingin dipertahankan dan dilalui oleh pemerintah UEA
tradisionalisme dan berusaha untuk melestarikan institusi syariah, namun pada
saat yang sama bertujuan untuk memodernisasi bidang hukum pidana, mengikuti
pola institusi Barat, demikian juga cara tersebut dapat diterima dengan sendirinya.
Berkembang dari asumsi tersebut, alasan mengapa satu-satunya jalur modernisasi
yang dilarang di UEA, adalah karena kuatnya posisi Islam sendiri dalam
masyarakat dan budaya, tetapi juga tidak mungkin beralih kembali ke doktrin
syariah juga karena proses sekularisasi selama ini. Konsekuensinya, diperlukan
proses dari pendekatan menuju unifikasi terus dikembangkan pada dekade-dekade
berikutnya sebagai penyatuan bukan hanya hukum pidana, tetapi penyatuan
sistem hukum itu sendiri kepentingan nasional.
Analisis Kasus
Berdasarkan konteks Pasal 1 KUHP Federal, salah satunya
dikeluarkannya ketentuan mengenai Takzir. Sebagai contoh untuk lebih dalam
menganilisis hubungan antara Syariah dan tujuan penyatuan KUHP sebab alasan
diantaranya sesuai dengan sifat delik takzir, langsung berhubungan dengan hudud
tindak pidana yang sifatnya mencontoh tindak pidana yang berkaitan dengan
seksual dan minuman keras.
Selanjutnya, disini saya akan menganilisis dampak negatif dari contoh
peraturan yang menangani pelanggaran berhubungan dengan alkohol. Dalam
rancangan KUHP terdapat banyak ketentuan yang mengatur terkait tindak pidana
mabuk, misalnya pada Pasal 416 yang menggambarkan minuman alkohol oleh
non-Muslim di tempat umum, apabila ditemukan dalam keadaan mabuk orang
tersebut akan dijatuhi hukuman penjara dan denda. Selanjutnya pada Pasal 412
yang memberikan gambaran mengenai larangan kegiatan yang berkaitan dengan
alkohol seperti “…menangani, memperoleh, membuat, mengimpor, mengekspor
dan memperdagangkan, menawarkan, memberikan, mengangkut,
mempromosikan, mengiklankan minuman beralkohol atau kegiatan lainnya itu
dilarang”. Kemudian Pasal 417 dan 421 menjelaskan hukuman untuk kegiatan
yang tercantum dalam Pasal 412 serta juga ditentukkan dalam rancangan KUHP
diantara keduanya berbunyi “Barangsiapa membawa, mengimpor, mengekspor,
membuat, mengekstrak, atau membuat minuman beralkohol untuk untuk tujuan
perdagangan atau promosi diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun” dan “Barangsiapa menjual, membeli, menyerahkan, menerima,
mengangkut, memperoleh atau memperdagangkan atau menjadi perantara
memperdagangkan minuman keras dengan cara apapun untuk tujuan
perdagangan atau promosi, diancam dengan pidana jangka waktu tidak kurang
dari satu tahun atau paling sedikit dua puluh lima cambukan, ditambah denda
yang tidak kurang dari lima ribu Dirham”. Hukuman yang sama akan diterapkan
untuk setiap orang yang menawarkan atau mempromosikan minuman beralkohol
dengan cara apa pun.
Terdapat tindakan yang dianggap masih diatur oleh undang-undang lokal
yang sudah ada sebelumnya, yang menciptakan keragaman yang besar di antara
masing-masing hukum lokal dan hukuman antara emirat. Misalnya undang-
undang yang terkait dengan pelanggaran mabuk di UEA yang pertama adalah UU
Abu Dhabi No. 8 tahun 1976, dan kedua Undang-Undang Minuman Beralkohol
Dubai tahun 1972, di mana yang Dubai juga digunakan di Emirat Sharjah dan Um
Al-Quwain. Di Emirates lainnya. Di mana di bawah Hukum Minuman Beralkohol
Abu Dhabi hukuman maksimal adalah sepuluh tahun penjara, di sana dalam kasus
Hukum Dubai penjara maksimal adalah setengah tahun, menariknya namun
keduanya bersikap toleran terhadap peminum alkohol non-Muslim yang
menawarkan solusi dalam Izin Alkohol yang diperoleh. Dalam hal ini kasus ada
dua jenis izin; pertama-tama surat izin minum/KTP untuk perorangan dan kedua
lisensi alkohol yang memungkinkan restoran atau hotel menjual alkohol
(semacam ini lisensi sangat mahal). Kesimpulannya per ketentuan tersebut
tindakan terkait alkohol tidak dilarang berdasarkan Hukum Dubai dan Abu Dhabi
saat ini selama individu tersebut memilikinya izin.

Di sisi lain, terdapat kesenjangan yang luas antara ketentuan hukum


keduanya dan hukum di seluruh Emirates yang tidak mengikuti hukum tersebut,
sebagai hukum Islam Syariah sangat jelas melarang setiap tindakan yang
berhubungan dengan mabuk tanpa diskusi. Dalam hukum Syariah tidak
membedakan antara Muslim dan Non-Muslim, hukum yang berlaku untuk semua
dalam ukuran yang sama kecuali dengan penerapan hukuman Hadd (mabuk
pelanggaran), yang hanya berlaku untuk umat Islam. Analisis ini membuktikan
apa yang diisyaratkan oleh teori tersebut dan sehingga KUHP (di sini Hukum
Minum Dubai dan Abu Dhabi) terletak sekali lagi bertentangan dengan syariah.
Tujuan utama dari analisis ini adalah untuk menyoroti Hukum tersebut tidak
sesuai dengan Hukum Islam, yang menyebabkan konflik KUHP dengan
Islamisasi. Alasan mengapa terjadi ketidaksesuaian antara hukum Islam dengan
KUHP disebabkan bahwasanya Emirates of Abu Dhabi dan Dubai digerakkan
oleh bisnis perminyakan dan mengalami kedatangan ekspatriat yang cepat dari
seluruh dunia, saat ini UEA terdiri dari 80%. ekspatriat dan hanya 20% dari
penduduk lokal, maka wajar saja, ekspatriat tersebut kebanyakan dibawa ke
negara tersebut dengan kebiasaan barat dan norma sosial yang sangat
mempengaruhi moral lokal pada keyakinan mereka.
KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa di negara Uni Emirate Arab
masih terdapat perbedaan hukum yang menyimpang antara KUHP dengan Hukum
Islam. Adanya penyimpangan tersebut disebabkan arus globalisasi yang sangat
kuat sehingga masyarakat UEA tidak cakap dalam mempertahankan budaya
lokalnya serta mempengaruhi sistem hukum di UEA. Seperti contoh peraturan
yang menyimpang yaitu tentang minuman beralkohol, yang di mana ketentuan
hukum minuman beralkohol dalam Hukum Dubai dan Abu Dabhi sangat
menyimpang dengan ketentuan hukum dalam Hukum Islam. Oleh karena itu,
terdapat potensi datangnya kemudharatan bagi warga UEA, serta pemerintah UEA
harus merubah ketentuan tersebut agar tidak terjadi penyimpangan dengan hukum
Islam.
DAFTAR REFERENSI
Mohammad Hashim Kamali, Hashim M. (2019). Crime and Punishment in
Islamic Law. Amerika Serikat: Oxford University Press.
Vranova. B. (2017). The Position of Islamic Law in the Legal System of the
United Arab Emirates. (Dissertation. Metropolitan University Prague).
https://www.researchgate.net/publication/328052747_The_Position_of_Is
lamic_Law_in_the_Legal_System_of_the_United_Arab_Emirates

Anda mungkin juga menyukai