(LAW-204)
MODUL SESI-4
SUMBER HUKUM ISLAM : ”AL-QUR’AN, AS-SUNNAH, AL-RAYU’,
METODE IJTIHAD DAN PERKEMBANGANNYA dalam MASYARAKAT”
DISUSUN OLEH
NIA PUSPITA HAPSARI, S.HI., M.H
1. Asal Mula Hukum Islam Berbeda dengan Asal Mula Hukum Umum
Para fuqaha (ahli fikih) terikat dengan dua sumber pokok (al-Quran dan
Sunnah) selama ditemukan nash-nash di dalamnya. Jika dalam kedua sumber ini
tidak ditemukan dasar-dasar tersebut, maka harus dicari dasar-dasarnya dengan
mendasarkan pada inspirasi jiwa dan prinsip serta tujuan hukum Islam. Di sinilah
ijtihad memainkan peran yang sangat penting dalam menemukan dasar-dasar yang
belum ditemukan dalam al-Quran dan Sunnah. Para ahli hukum positif terus
menerus mengkaji undang-undang dan menafsirkan teks-teksnya pasal demi pasal,
seperti yang dilakukan para penafsir kitab suci, semisal al-Quran, dengan berasumsi
bahwa undang-undang itu memuat segala sesuatu yang menyangkut bidang isinya.
Kandungan hukum dalam Al-Qur’an dan Hadits kadang kala bersifat prinsipil
yang general (zanni) sehingga perlu interprestasi. Sumber hukum yang
mengutamakan olah pikir ini terkait erat dengan istilah “fiqh” dan perkembangan
penerapan hukum Islam di berbagai kawasan dunia, tak terkecuali di Indonesia.
Sumber hukum ini pulalah yang berperan banyak dalam perbedaan pendapat di
antara ahli hukum Islam menyangkut beragam aspek kehidupan dan menimbulkan
mazhab-mazhab hukum Islam. Perbedaan pendapat ulama mujtahid dalam
merumuskan hukum disebabkan beberapa alasan dan dapat disimpulkan pada satu
alasan utama yang dapat menampung alasan lainnya, yaitu perbedaan mereka
dalam memahami dalil syara’, Al-Qur’an maupun Hadits (Muhammad Khudhari Bek,
1934: 134-141).
Sumber hukum Islam dapat dibagi menjadi dua bagian yakni sumber hukum
Islam materil yakni sumber hukum yang bentuk hukum dalam sebuah negara dan
sumber hukum formil yaitu sumber isi hukum yang menentukan corak isi hukum.
Sumber hukum formil inilah yang kemudian disebut sebagai mashadir al-ahkam,
sementara al-adillah asy-syar‟iyyah merupakan sumber hukum materil.
Istilah mashadir al-ahkam sendiri tidak dikenal dalam catatan-catatan para ahli
hukum masa klasik. Karena pada umumnya para ahli hukum klasik menggunakan
3. Sumber :
a.) al-Qur’an
Definisi Al-Qur’an, meskipun berbagai kalangan memberikan definisi yang
berbeda-beda, namun tidak memiliki perbedaan yang begitu berarti. Secara bahasa
quran berasal dari kata qira‟ah, yakni masdar dari kata qara‟a, qira‟atan, qur‟anan.
Sebagaimana firman Allah dalam QS. al Qiyamah:17-18. Adapun secara istilah yang
banyak disepakati oleh para ulama Alquran adalah kalam Allah yang bernilai
mukjizat yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW, dengan perantaraan
malaikat Jibril yang tertulis dalam mushhaf, diriwayatkan secara mutawatir, yang
membacanyanya dinilai ibadah, diawali dengan surat al Fatihah dan dan diakhiri
dengan surat an-Nas (Muhammad Ali Ash-Shabuni, terj. Muhammad Qadirun Nur,
2001: 3).
Al-Qur’an dan wahyu memiliki kaitan yang erat, karena Al-quran merupakan
bagian dari wahyu Allah. Menurut etimologi, wahyu sendiri bermakna isyarat yang
cepat (termasuk bisikan dalam hati dan ilham), surat, tulisan dan segala sesuatu
b. Atsar
Secara bahasa, atsar sama artinya dengan khabar. Secara istilah Atsar
merupakan segala sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dan tabi‟in yang
terdiri dari perkataan dan perbuatan.
c. Sanad
Sanad menurut bahasa berarti mu‟tamad, yaitu tempat bersandar, tempat
berpegang yang dipercaya. Dikatakan demikian, karena Hadits itu bersandar
kepadanya dan dipegangi atas kebenarannya. Sedangkan menurut istilah, sanad
adalah jalannya matan, yaitu silsilah para perawi yang meriwayatkan matan dari
sumbernya yang pertama. Yang dimaksud dengan silsilah adalah susunan atau
rangkaian orang-orang yang menyampaikan materi Hadits tersebut, mulai dari
yang pertama sampai kepada Nabi SAW.
d. Matan
Matan menurut bahasa adalah sesuatu yang keras dan tinggi (terangkat) dari
bumi. Sedangkan secara istilah, matan berarti lafadz-lafadz Hadits yang di
dalamnya mengandung makna-makna tertentu. Dengan demikian matan adalah
lafadz Hadits itu sendiri.
e. Rawi
Rawi adalah orang yang meriwayatkan atau orang yang memberikan Hadits.
Defenisi lain mengatakan, bahwa rawi adalah orang yang menerima Hadits
kemudian menghimpunnya dalam satu kitab tadwin. Seorang rawi dapat juga
disebut sebagai mudawwin, yaitu orang yang membukukan Hadits.
C. Latihan
a. Jelaskan perbedaan antara asal mula Hukum Islam dengan asal mula
Hukum Positif?
b. Sebutkan dua macam Karakteristik yang khas yang membedakan Hukum
Islam dengan Hukum lainnya ?
c. Sebutkan dan Jelaskan dua bagian dari Sumber Hukum Islam ?
D. Kunci Jawaban
a. Para fuqaha (ahli fiqih) terikat dengan dua sumber pokok (al-Qur’an dan
Sunnah) selama ditemukan nash-nash di dalamnya. Jika dalam kedua
sumber ini tidak ditemukan dasar-dasar tersebut, maka harus dicari
dasarnya dengan mendasarkan pada inspirasi jiwa dan prinsip serta
tujuan hukum Islam. Di sinilah ijtihad memainkan peran yang sangat
penting dalam menemukan dasar-dasar yang belum ditemukan dalam al-
Qur’an dan Sunnah. Para ahli hukum positif terus menerus mengkaji
undang-undang dan menafsirkan teks-teksnya pasal demi pasal, seperti
yang dilakukan para penafsir kitab suci, semisal al-Qur’an, dengan
1. Metode Ijtihad
Terdapat metodologi ijtihad yang harus dipenuhi oleh para mujtahid (pelaku
ijtihad) guna menghasilkan atau menetapkan (istinbâth) hukum yang digali dari
sumber-sumber hukum. ‘Ali Hasabalah melihat ada dua cara pendekatan yang
dikembangkan oleh para ulama ushul dalam melakukan istinbâth hukum, yakni:
1. Pendekatan melalui kaidah-kaidah kebahasaan. Penggunaan pendekatan
melalui kaidah-kaidah ialah karena kajian akan menyangkut nash (teks)
syariah.
2. Pendekatan melalui pengenalan makna atau maksud syariah (maqâshid
syarî’ah). Pendekatan melalui maqâshid syarî’ah adalah karena kajian akan
menyangkut kehendak syar’iy, yang hanya mungkin dapat diketahui melalui
kajian maqâshid syarî’ah.
2. Cara-Cara Ijtihad
Abdul Wahhab Khallaf mengemukakan bahwa metode atau cara-cara Ijtihad,
sebagai berikut ini:
a) Ijma’
Pengertian Ijma menurut Abdul Wahab Kallaf, ijma menurut istilah ulama
ushul ialah kesepakatan semua mujtahidin diantara umat Islam pada suatu masa
setelah kewafatan Rasulullah SAW, atas hukum syar’i mengenai suatu kejadian atau
kasus. Muhammad Abu Zahrah berpendapat bahwasanya ijma itu adalah
kesepakatan para mujtahid dalam dalam suatu masa setelah wafatnya Rasulullah
Ditinjau dari segi cara menghasilkan, terdapat dua macam ijmak, yaitu:
a. Al-ijmâ’ as-sharîh, yaitu kesepakatan para mujtahid pada suatu masa atas
hukum suatu peristiwa dengan menampilkan pendapat masing-masing secara
jelas, baik dengan perkataan ataupun dengan tulisan atau juga dengan
perbuatan.
b. Al-ijmâ’ as-sukutî, yaitu jika sebagian mujtahid berdiam diri tidak berterus terang
mengeluarkan pendapatnya dan diamnya itu bukan karena takut, segan atau
malu, tapi betul-betul mereka berdiam diri tidak memberikan pendapat sama
sekali terhadap mujtahid lain, baik ia menyetujuinya ataupun menolaknya.
b.) Qiyas’
Qiyas’ menurut bahasa ialah pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau
penyamaan sesuatu dengan sejenisnya. Ada beberapa golongan pendapat.
Golongan pertama menyatakan bahwa qiyas merupakan ciptaan manusia, yaitu
pandangan para mujtahid. Sebaliknya menurut golongan kedua, qiyas merupakan
ciptaan syari‟, yakni merupakan dalil hukum yang berdiri sendiri atau merupakan
d.) Istihsan
Ihtisan’ menurut bahasa adalah menganggap sesuatu sebagai hal yang baik.
Istihsân adalah suatu cara untuk mengambil keputusan yang tepat menurut suatu
keadaan (Ahmad Hasan, 1984: 136). Bahwa definisi istihsân adalah berpindah dari
suatu hukum ke hukum yang lain dengan jalan meninggalkan atau mengambil
suatu hukum yang lain, mengecualikan hukum dari yang berlaku umum ke khusus
atau sebaliknya. Dalam menetapkan peralihan hukum harus berdasarkan dalil
syar’î, baik pengertian yang diperoleh dari nash, mashlahat, atau bahkan ‘urf.
g.) Istishhab’
Istishhâb menurut bahasa berarti mencari sesuatu yang selalu menyertai.
Pengertian lain Istishab yaitu pemberian hukum berdasarkan keberadaan pada
masa lampau. Pengertian istishab menurut ulama ushul fiqh membawa maksud
menetapkan hukum pekerjaan yang ada pada masa lalu, karena disangka tidak
ada dalil pada masa yang akan datang.
3. Contoh Uraian
MASHALAHAH MURSALAH
Mashlahah Mursalah, adalah: pemungutan pajak penghasilan untuk
kemaslahatan atau kepentingan masyarakat dalam rangka pemerataan pendapatan
atau pengumpulan dana yang diperlukan untuk memelihara kepentingan umum,
yang sama sekali tidak disinggung dalam al-Quran dan sunah Rasul (Azhar Basyir,
1983: 3).
Mengenai kehujjahan mashlahah mursalah, Imam Malik dan Ahmad
berpendapat bahwa mashlahah mursalah adalah suatu jalan menetapkan hukum
yang tidak terdapat nash serta ijmâ’. Menurutnya mashlahah mursalah yang tidak
ditunjuki oleh syarâ’ dan tidak pula dibatalkan dapat dijadikan dasar istinbâth
(penggalian hukum).
Contoh (Istihsan), Islam sangat melindungi dan menjamin hak milik
seseorang, sehingga proses peralihan dan pencabutan hak milik tersebut hanya bisa
dilakukan dengan persetujuan pemilik, namun untuk kepentingan umum yang
mendesak, penguasa dapat mencabut hak milik seseorang dengan paksa, dengan
ganti kerugian tertentu. Semisal untuk pelebaran jalan, pembuatan irigasi, dan lain-
lain.
D. Kunci Jawaban
E. Daftar Pustaka
1. Abdul Jamali, Hukum Islam (Asas-Asas, Hukum Islam I, Hukum Islam II),
Bandung: Mandar Maju, 1992.
2. Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Bandung: Pustaka, 1984.
3. Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilmu Ushul Fiqh, Kuwait: Daarul Qalam, tt.
4. Abdul Wahhab Khallaf, Mashadir at-Tasyri’ al-islamiy fi Ma La Nash,
Kuawait: Dar al-Qalam, tt.
5. Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat, Yogyakarta: UII Press, 2000.
6. Jamaluddin Al-Qasimi, Qawaid Al-Tahdits Min Funun Mushthalah Al-
Hadist. Cet. Ke-2. Beirut: Dar Al-Nafa’is, 1993.
7. Muhammad Syukri Albani Nasution, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2014.
8. Mukhtar Yahya, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Jilid. I,
Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1979.
9. Syekh Muhammad Khudari Bek, Tarikh Tasyri’ al-Islamiy, Mesir: Matba’ah
al-Sa’adah, 1954.
10. Yusuf Qardlawi, Membumikan Syariat Islam, SurabayaL Dunia Ilmu, 1997.
11. Zarkasji Abdus Salam, Pengantar Ilmu Fiqih-Ushul Fiqih, (Yogyakarta:
Lembaga Studi Filsafat Islam, 1994).
12. https://slideplayer.info/slide/4874549/.