0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
20 tayangan8 halaman
Dokumen tersebut berisi soal ujian tengah semester mata kuliah Yurisprudensi Hukum Islam di IAIN Bengkulu. Soal terdiri dari 4 pertanyaan yang membahas pengertian yurisprudensi, produk hukum Islam dan pendekatan yurisprudensi, konsep maqashid syari'ah, serta sumber yurisprudensi di Indonesia.
Dokumen tersebut berisi soal ujian tengah semester mata kuliah Yurisprudensi Hukum Islam di IAIN Bengkulu. Soal terdiri dari 4 pertanyaan yang membahas pengertian yurisprudensi, produk hukum Islam dan pendekatan yurisprudensi, konsep maqashid syari'ah, serta sumber yurisprudensi di Indonesia.
Dokumen tersebut berisi soal ujian tengah semester mata kuliah Yurisprudensi Hukum Islam di IAIN Bengkulu. Soal terdiri dari 4 pertanyaan yang membahas pengertian yurisprudensi, produk hukum Islam dan pendekatan yurisprudensi, konsep maqashid syari'ah, serta sumber yurisprudensi di Indonesia.
Mata Kuliah : Yurisprudensi Hukum Islam di Indonesia
Program Studi : Ahwal al-Syakhshiyah (Hukum Keluarga Islam) Semester : III (Tiga) Waktu : 90 Menit Dosen : Dr. Toha Andiko, M.Ag.
TUGAS UTS Nama : Redy Naldho Nim : 2011680007 Program Studi : Ahwal al-Syakhshiyah (Hukum Keluarga Islam) Semester : III (Tiga)
1. Jelaskan pengertian yurisprudensi hukum Islam, ruang lingkup, dan
tujuan serta manfaat mempelajarinya! Yurispudensi secara sederhana dapat dikatakan sebagai keputusan pengadilan. yurisprudensi merupakan keputusan hakim terdahulu yang telah berkekuatan hukum tetap menyangkut suatu perkara yang baru dan menarik dari sudut ilmu hukum atau suatu penafsiran atau penalaran hukum baru terhadap norma hukum yang diikuti oleh para hakim atau badan peradilan lain dalam memutus perkara atau kasus yang sama. Dalam proses analisa dan penciptaan hukum belum ada ketentuan hukumnya, hakim wajib menggali nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat. peranan yuripridensi sudah sedemikian penting. Wujud yurisprudensi ialah dapat menegakkan hukum Islam, karena dapat menyelesaikan problematika hukum Islam secara adil di masyarkat. Para pencari keadilan dapat menerima keputusan hakim sesuai yang diharapkan, walaupun secara tekstual ada yurisprudensi yang bertentangan dengan hukum Islam, namun tujuan penetapan tersebut semata-mata untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum serta kemashlahatan. Wujud yurisprudensi dapat memerankan hukum keluarga Islam sebagai dasar pertimbangan hukum hakim dalam menyelesaikan perkara yang sama. Selain itu, juga mampu mengukuhkan penguatan hukum keluarga Islam yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai dalam Al-Qur‟an dan Al-Hadist yang menegakkan nilai keadilan dan kemashlahatan sebagai cita hukum magashid syariah. Ruang Lingkup Yurisprudensi Hukum Islam Hukum yurisprudensi berlaku di lingkup pengadilan karena Pengertian Yurisprudensi adalah keputusan-keputusan dari hakim terdahulu untuk menghadapi suatu perkara yang tidak diatur di dalam undang-undang dan dijadikan sebagai pedoman bagi para hakim yang lain untuk menyelesaian suatu perkara yang sama. Tujuannya untuk menjelaskan dan menganalisis yurisprudensi dalam penegakan hukum Islam dan dapat diketahui sejauh manakahyurisprudensi dapat menegakkan hukum Islam di Indonesia. Manfaat yurispridensi selain untuk menegakkan kepastian hukum juga bisa menjadi landasan hukum. Hakim mempunyai kewenangan untuk menciptakan hukum terutama terhadap kasus-kasus yang sama sekali belum ada hukumnya, tetapi perkara sudah masuk di pengadilan. 2. Jelaskan macam-macam produk hukum Islam dan beberapa pendekatan yang digunakan dalam yurisprudensi hukum Islam! Fatwa adalah pendapat yang dikemukakan oleh mujtahid atau faqih sebagai jawaban atas peminta fatwa-pihak yang meminta fatwa tersebut bisa pribadi, lembaga, maupun kelompok masyarakat dalam kasus yang bersifat tidak mengikat. Qadha berasal dari bahasa arab yang mengandung banyak arti, diantaranya adalah hukum, al-farq min syai (menyelesaikan sesuatu), qatal- munaza’at (memutuskan perselisihan), dan al-amr(perintah). Ulama madzhab Hanafi mendefinisikan qadha dengan suatu putusan yang mengikat yang bersumber dari pemerintah guna menyelesaikan dan memutus persengketaan. Ulama mazhab Maliki mendefinisikan qadha dengan pemberitaan tentang hukum syara melalui carayang mengikat dan pasti. Ulama mazhab Syafi’i dan Hanbali merndefinisikan qadha dengan penyelesaian sengketa antara dua pihak atau lebih berdasarkan hukum Allah. Qanun yaitu peraturan perundang-undangan yang ada di negeri-negeri Islam. Peraturan hukum yang diundangkan tersebut berorientasi kepada kepentingan dan kemaslahatan warga negara setempat. Karena itu, setiap aturan hukum dalam negeri muslim tidak selalu sama. a) Pendekatan Historis. Pendekatan historis adalah suatu ilmu yang di dalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar belakang, dan pelaku dari peristiwa tersebut. Menurut ilmu ini, segala peristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, di mana, apa sebabnya, siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut. b) Pendekatan Sosiologis. Definisi sosiologi secara luas ialah ilmu tentang masyarakat dan gejala-gejala mengenai masyarakat. Sosiologi seperti itu disebut macro- sociology, yaitu ilmu tentang gejala-gejala sosial, institusi-institusi sosial dan pengaruhnya terhadap masyarakat. Secara sempit sosiologi didefinisikan sebagai ilmu tentang perilaku sosial ditinjau dari kecendrungan individu dengan individu lain dengan memperhatikan simbol-simbol interaksi.contoh penelitian tradisi atau adat. c) Pendekatan Antropologis. Kata Antropologi berasal dari bahasa Yunani, anthropos dan logos. Anthropos berarti manusia dan logos berarti pikiran atau ilmu. Secara sederhana, Antropologi dapat dikatakan sebagai ilmu yang mempelajari manusia. Tentunya kita akan semakin bertanya-tanya, begitu banyak ilmu yang mempelajari manusia.contohnya. Nikah beda agama pada masyarakat majemuk kota bengkulu bisa antropologis dan sosilogis. 3. Setelah Alquran dan hadis sebagai pedoman utama, para hakim (qadhi) juga memperhatikan secara seksama tentang maqasid syari’ah secara umum. Jelaskan konsep maqasid syari’ah meliputi pengertiannya, pembagiannya, dan tujuannya dengan memberikan 1 contohnya dalam bidang hukum keluarga ! Maqashid al-syari’ah terdiri dari dua kata, yaitu maqashid dan syari’ah.Maqashid berarti kesengajaan atau tujuan, sedangkan syari’ah berarti jalan menuju sumber air. Dengan demikian, secara istilah, maqashid al- syari’ahadalah tujuan-tujuan syariat yang telah ditetapkan oleh Allah Ta‟ala dimana tujuan-tujuan berisi kemaslahatan hamba-Nya di dunia maupun akhirat. Praktik pernikahan dini biasanya disebabkan beberapa faktor seperti faktor ekonomi, perjodohan, desakan orang tua untuk cepat menikah, pola pikir masyarakat desa, faktor media massa/internet, serta hamil di luar nikah. Adapun dampak yang ditimbulkan dari pernikahan dini terbagi kepada dua macam: dampak positif dan negatif. Dampak positifnya seperti melatih kedua pasangan suami istri tersebut berpikir dewasa, mandiri, dan memiliki pasangan hidup, serta terhindar dari zina. Sementara dampak negatifnya adalah seperti dari sisi psikologis berdampak pada kurangnya keharmonisan rumah tanggakarena emosi dan pola pikir mereka yang masih labil; dari sisi kesehatan berakibat buruk pada reproduksi perempuan; selain itu, juga berdampak pada rendahnya tingkat pendidikan dan tingginya tingkat perceraian. Pernikahan dini dalam tinjauan maqashid al-syari’ah Boleh atau tidaknya pernikahan dini tidak bisa dilihat dari satu nilai maqashid saja seperti hifz al-naslagar terhindar dari perbuatan zina. Namun ia juga perlu ditinjau dari nilai maqashid yang lain yang lain seperti hifz al-nafs (perlindungan terhadap jiwa), hifz al-mal (jaminan atas kekayaan dan kepemilikan), hifz al-‘aql (jaminan terhadap kelangsungan fungsi akal), dan hifz al-din (perlindungan atas nilai-nilai agama) supaya analisis maqashid tidak berjalan dengan timpang. Semuanya bergantung pada nilai kemaslahatan dan kemudaratan yang ada di dalamnya. Adanya unsur maslahat (dampak positif) seperti terhindar dari zina dan mafsadat (dampak negatif) seperti mengakibatkan tingginya angka perceraian dalam pernikahan dini harus menjadi pertimbangan matang. Oleh karena itu, setelah melihat dan mempertimbangkan beberapa dampak yang ditimbulkan dari pernikahan dini sekarang ini maka sebaiknnya dengan menyimpulkan bahwa nilai kemudaratan dalam pernikahan dini lebih besar dari kemaslahatannya. Artinya, hendaknya kita lebih menganjurkan untuk mengikuti dan mentaati undang-undang no 16 tahun 2019 tentang perkawinan. 4. Jelaskan sumber yurisprudensi hukum Islam di Indonesia dan kedudukannya dalam tata hukum di Indonesia ! Yurisprudensi merupakan keputusan keputusan/ijtihad hakim di pengadilan, khususnya keputusan yang dikeluarkan oleh pengadilan negara tertinggi (Mahkamah Agung). Himpunan keputusan-keputusan tersebut, menjadi dasar keputusan hakim lainnya untuk mengadili perkara serupa dan menjadi sumber hukum bagi pengadilan yang ada di bawahnya. Hukum Islam memiliki sumber utama, berupa wahyu dari Allah, al- Qur’an yang membedakannya dengan sistem perundang-undangan lainnya yang semata-mata mengandalkan hasil ciptaan manusia. Lalu diikuti dengan al-Hadits sebagai pelengkapnya. Baru kemudian hakim juga perlu menimbang pendapat para ulama yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh. Terkhusus Indonesia, maka para hakim juga hendaknya berpedoman dengan Kompilasi Hukum Islam yang telah disusun secara sistematis oleh para ulama Nusantara yang bertujuan untuk memberikan kepastian hukum bagi para hakim-hakim pengadilan agama dalam perkara-perkara perdata tertentu di kalangan umat Islam Indonesia. Kedudukan Yurisprudensi sebagai sumber hukum di Indonesia. Yurisprudensi dalam sistem civil law, berarti putusan-putusan hakim terdahulu yang telah berkekuatan tetap dan diikuti oleh para hakim atau badan peradilan lain dalam memutus perkara atau kasus yang sama. Sehingga, dapat dikatakan bahwa yurisprudensi merupakan putusan-putusan hakim atau pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Kasasi, atau Putusan Mahkamah Agung sendiri yang sudah berkekuatan hukum tetap. Diakuinya yurisprudensi sebagai sumber hukum, semakin menegaskan tugas dan kewenangan hakim dalam melakukan penemuan hukum. Hakim tidak hanya sekedar menerapkan undang-undang, melainkan hakim juga mampu membentuk hukum (judge made law). Terlebih ketika aturan yang terdapat di dalam undang-undang tidak jelas, undang-undang yang ada tidak sesuai dengan keadaan atau undangundang tidak mengatur masalah yang dihadapi. Kewenangan hakim dalam melakukan penemuan hukum, menurut Bambang Sutiyoso disebabkan karena hakim dihadapkan pada peristiwa kongkrit atau konflik untuk diselesaikan, sehingga sifatnya konfliktif. Hasil penemuan hukumnya merupakan hukum, karena memiliki kekuatan mengikat sebagai hukum yang dituangkan dalam bentuk putusan. Lebih lanjut ditegaskan bahwa, fungsi yuriprudensi sebagai judge made law adalah untuk mengatasi kekosongan hukum sampai adanya kodifikasi hukum yang lengkap dan baku, sehingga baik menurut UUD 1945 (Pasal 24 sebelum amandemen, atau Pasal 24 A setelah amandemen) maupun berdasarkan UU Kekuasaan Kehakiman (Pasal 27 UU No. 14 Tahun 1970 jo. UU Nomor 35 Tahun 1999 atau Pasal 28 UU No. 4 Tahun 2004 jo. Pasal 5 ayat 1 UU No. 48 Tahun 2009), hakim dalam melaksanakan fungsi dan kewenangan kekuasaan kehakiman itu, diberikan otonomi kebebasan yang jangkauannya secara luas meliputi: 1. Menafsirkan peraturan perundangundangan. 2. Mencari dan menemukan asas-asas dan dasar-dasar hukum. 3. Menciptakan hukum baru apabila menghadapi kekosongan perundang- undangan. 4. Bahkan dibenarkan melakukan contra legem apabila ketentuan suatu pasal perundang-undangan yang bertentangan dengan kepentingan umum. 5. Memiliki otonomi yang bebas mengikuti yurisprudensi. 5. Jelaskan 1 contoh kasus yurisprudensi hukum Islam di Peradilan Agama dan analisis fiqhnya ! Analisis Pembatalan Perkawinan Menurut Fiqh Islam Contoh Yurisprudensi Pembatalan Perkawinan Pertimbangan Hukum Hakim Terhadap Putusan No. 0012/Pdt.G/2016/PA.Sky Fiqh Islam mengenal dua istilah yang berbeda kendati hukumnya sama, yaitu nikah al-fasid dan nikah al-batil. Nikah fasid adalah nikah yang tidak memenuhi salah satu syarat dari syarat-syaratnya, sedangkan nikah batil, apabila tidak terpenuhi rukun-rukunnya. Hukum nikah fasid dan batil adalah sama-sama tidak sah. Batalnya perkawinan menurut fiqih Islam antara lain disebabkan oleh 2 (dua) hal, yaitu: pertama, karena tidak terpenuhi rukun perkawinan dan/atau karena tidak terpenuhi syarat perkawinan. Kedua, karena adanya sebab lain setelah perkawinan berlangsung, pembatalan dimaksud dikenal dengan istilah “fasakh”. Fasakh berasal dari bahasa Arab, yang berarti membatalkan. Istilah batal dalam Islam sebenarnya dibedakan dalam dua pengertian, yaitu fasakh dan infisakh yang penggunaannya mempunyai makna berbeda. Dijelaskan dalam ensiklopedia Islam, istilah infisakh dipahami sebagai tindakan pembatalan akad tanpa ada keinginan atau pernyataan pembatalan akad dalam bentuk apapun, misalnya karena suatu peristiwa yang menyebabkan akad tidak dapat diaplikasikan. Wahbah Az-Zuhaili mengatakan bahwa putusnya akad meliputi fasakh dan infisakh, hanya saja munculnya fasakh terkadang bersumber dari kehendak sendiri, keridhaan dan terkadang berasal dari putusan hakim, sedangkan infisakh muncul karena adanya peristiwa alamiah yang tidak memungkinkan berlangsungnya akad. Menurut Ali Hasabilah, seperti yang dikutip oleh Firdaweri, bahwa fasakh perkawinan ialah sesuatu yang merusak akad (perkawinan) dan dia tidak dinamakan talak. Mem-fasakh akad nikah berarti membatalkannya dan melepaskan ikatan pertalian antara suami isteri. 8 Fasakh itu terbagi kepada dua macam, yaitu: pertama, fasakh yang berkehendak kepada keputusan hakim, jika kondisi penyebab fasakh masih samar-samar. Kedua, fasakh yang tidak berkehendak kepada keputusan hakim, jika kondisi penyebab fasakh- nya jelas. Putusnya hubungan perkawinan dengan cara fasakh ini, dasar hukumnya dapat disebutkan antara lain: a) Dalam hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, artinya: “Rasul membolehkan seorang wanita yang sesudah dia kawin baru mengetahui bahwa dia tidak sekufu, untuk memilih tetap meneruskan hubungan perkawinannya itu, atau apakah dia ingin di-fasakh-kan. Wanita itu memilih terus (tetap dalam perkawinan dengan suami yang lebih rendah derajatnya itu)”. b) Dari Ka’ab bin Zain, bahwa Rasulullah (pada suatu ketika) menikah dengan wanita dari Bani Ghaffar, maka sewaktu akan bergaul (bersetubuh) dan wanita itu telah berbaring di kainnya dan duduk di kasur, nampak oleh beliau “baros” (kulit putih) di lambungnya, maka beliau berpaling dari kasur, lalu bersabda: “Ambillah kainmu dan tutup kembali bajumu”. Dan Rasulullah tidak mengambil segala sesuatu yang diberikan oleh beliau kepada wanita itu. (HR. Ahmad dan Baihaqi). c) Diriwayatkan oleh Daraqhutni, bahwa Umar mem-fasakh suatu perkawinan di masa dia jadi khalifah karena penyakit barshak (semacam penyakit menular) dan gila.10 Syaikh Kamil, mengatakan beberapa hal yang dapat membatalkan akad pernikahan (perkawinan) antara lain: 1) Jika isteri gila, menderita penyakit kusta atau sopak (belang). 2) Jika setelah berlangsungnya akad nikah, baru diketahui bahwa wanita yang dinikahi itu ternyata saudara sepersusuan laki-laki yang menikahinya, maka pernikahan tersebut menjadi batal karenanya. 3) Jika yang mengadakan akad nikah bagi calon pengantin masih di bawah umur (belum dewasa) bukanlah ayah atau kakeknya. Akan tetapi, jika telah dewasa, maka kedua belah pihak (suami isteri) berhak untuk memilih meneruskan kehidupan perkawinannya maupun mengakhirinya dan inilah yang disebut dengan khiyarul bulugh. Apabila keduanya memilih untuk mengakhiri kehidupan bersuami isteri, maka menjadi batal pernikahan tersebut. 4) Jika suami masuk Islam sedangkan isterinya menolak dan tetap menjadi wanita musyrik, maka akad nikah yang dilakukan pada saat itu menjadi batal karenanya. 5) Jika isteri memeluk Islam, sedangkan suaminya tetap kafir. Apabila kemudian keduanya mau memeluk Islam, maka akad nikahnya tetap sah. 6) Jika si suami murtad, sedangkan isterinya masih tetap muslimah. 7) Jika si isteri murtad, sedangkan suaminya masih tetap sebagai seorang muslim. 8) Jika isteri disetubuhi oleh ayah atau kakeknya karena faktor ketidaksengajaan maupun dengan maksud menzinahinya. 9) Jika kedua belah pihak saling berli’an. 10) Jika keduanya bersama-sama murtad. 11) Jika salah satunya meninggal dunia. Sayyid Sabiq menggunakan istilah mem-fasakh akad nikah yang berarti membatalkannya dan melepaskan ikatan pertalian antara suami isteri. Fasakh bisa terjadi karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi pada akad nikah atau karena hal lain yang datang kemudian dan dapat membatalkan kelangsungan perkawinan. Berdasarkan pendapat Sayyid Sabiq tersebut, maka pembatalan perkawinan (fasakh) dapat dibedakan sebagai berikut: Dilihat dari sisi sebab pembatalannya, terdiri dari: 1) Sebab yang ada pada saat perkawinan dilangsungkan, contohnya perkawinan dilangsungkan tidak memenuhi rukun dan/atau syarat perkawinan. 2) Sebab yang ada setelah akad perkawinan berlangsung, contohnya setelah perkawinan berlangsung, salah satu dari suami atau isteri murtad. Dilihat dari kewenangan pembatalannya, terdiri dari: 1) Pembatalan perkawinan melalui keputusan hakim, berarti suami isteri tidak dibolehkan membatalkannya tanpa ada keputusan hakim, hal ini dilakukan jika alasan yang dapat membatalkan perkawinan masih samar- samar, contohnya karena isteri masih belum memeluk agama Islam, sedangkan suaminya sudah. Ada kemungkinan, setelah perkara dibawa ke pengadilan, isterinya mau memeluk agama Islam. 2) Pembatalan perkawinan yang tidak harus melalui keputusan hakim, berarti suami isteri dapat langsung membatalkannya tanpa harus menunggu keputusan hakim, hal ini dilakukan jika alasan yang membatalkan perkawinan sudah jelas, seperti karena terdapat halangan perkawinan di antara mereka disebabkan hubungan nasab atau sesusuan, berhubung perkawinan yang demikian adalah haram menurut fiqih Islam. Memperhatikan beberapa hal yang dapat dijadikan alasan pembatalan perkawinan menurut ulama-ulama fiqih sebagaimana yang telah diuraikan di atas, terlihat adanya perbedaan dengan alasan pembatalan perkawinan yang diatur dalam UUP, misalnya dalam hal persyaratan yang bersifat formalitas, bahwamenurut UUP jika perkawinan dilaksanakan dihadapan pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan. Menurut syaria’t Islam, ketentuan demikian tidaklah merupakan syarat sah perkawinan, dengan kata lain sekalipun perkawinan dilaksanakan dihadapan pegawai pencatatan perkawinan yang tidak berwenang, tetapi sepanjang rukun- rukun dan syarat-syarat menurut syar'i telah dipenuhi, maka perkawinan tersebut sah dan tidak dapat dibatalkan.