Anda di halaman 1dari 8

PROGRAM PASCASARJANA IAIN BENGKULU

Soal Ujian Tengah Semester Gazal 2021/2022

Mata Kuliah : Yurisprudensi Hukum Islam di Indonesia


Program Studi : Ahwal al-Syakhshiyah (Hukum Keluarga Islam)
Semester : III (Tiga)
Waktu : 90 Menit
Dosen : Dr. Toha Andiko, M.Ag.

TUGAS UTS
Nama : Redy Naldho
Nim : 2011680007
Program Studi : Ahwal al-Syakhshiyah (Hukum Keluarga Islam)
Semester : III (Tiga)

1. Jelaskan pengertian yurisprudensi hukum Islam, ruang lingkup, dan


tujuan serta manfaat mempelajarinya!
Yurispudensi secara sederhana dapat dikatakan sebagai keputusan
pengadilan. yurisprudensi merupakan keputusan hakim terdahulu yang telah
berkekuatan hukum tetap menyangkut suatu perkara yang baru dan menarik
dari sudut ilmu hukum atau suatu penafsiran atau penalaran hukum baru
terhadap norma hukum yang diikuti oleh para hakim atau badan peradilan lain
dalam memutus perkara atau kasus yang sama. Dalam proses analisa dan
penciptaan hukum belum ada ketentuan hukumnya, hakim wajib menggali
nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat. peranan yuripridensi sudah
sedemikian penting.
Wujud yurisprudensi ialah dapat menegakkan hukum Islam, karena
dapat menyelesaikan problematika hukum Islam secara adil di masyarkat.
Para pencari keadilan dapat menerima keputusan hakim sesuai yang
diharapkan, walaupun secara tekstual ada yurisprudensi yang bertentangan
dengan hukum Islam, namun tujuan penetapan tersebut semata-mata untuk
memberikan kepastian dan perlindungan hukum serta kemashlahatan. Wujud
yurisprudensi dapat memerankan hukum keluarga Islam sebagai dasar
pertimbangan hukum hakim dalam menyelesaikan perkara yang sama. Selain
itu, juga mampu mengukuhkan penguatan hukum keluarga Islam yang tidak
bertentangan dengan nilai-nilai dalam Al-Qur‟an dan Al-Hadist yang
menegakkan nilai keadilan dan kemashlahatan sebagai cita hukum magashid
syariah.
Ruang Lingkup Yurisprudensi Hukum Islam Hukum yurisprudensi
berlaku di lingkup pengadilan karena Pengertian Yurisprudensi adalah
keputusan-keputusan dari hakim terdahulu untuk menghadapi suatu perkara
yang tidak diatur di dalam undang-undang dan dijadikan sebagai pedoman
bagi para hakim yang lain untuk menyelesaian suatu perkara yang sama.
Tujuannya untuk menjelaskan dan menganalisis yurisprudensi dalam
penegakan hukum Islam dan dapat diketahui sejauh manakahyurisprudensi
dapat menegakkan hukum Islam di Indonesia. Manfaat yurispridensi selain
untuk menegakkan kepastian hukum juga bisa menjadi landasan hukum.
Hakim mempunyai kewenangan untuk menciptakan hukum terutama terhadap
kasus-kasus yang sama sekali belum ada hukumnya, tetapi perkara sudah
masuk di pengadilan.
2. Jelaskan macam-macam produk hukum Islam dan beberapa pendekatan
yang digunakan dalam yurisprudensi hukum Islam!
Fatwa adalah pendapat yang dikemukakan oleh mujtahid atau faqih
sebagai jawaban atas peminta fatwa-pihak yang meminta fatwa tersebut bisa
pribadi, lembaga, maupun kelompok masyarakat dalam kasus yang bersifat
tidak mengikat.
Qadha berasal dari bahasa arab yang mengandung banyak arti,
diantaranya adalah hukum, al-farq min syai (menyelesaikan sesuatu), qatal-
munaza’at (memutuskan perselisihan), dan al-amr(perintah). Ulama madzhab
Hanafi mendefinisikan qadha dengan suatu putusan yang mengikat yang
bersumber dari pemerintah guna menyelesaikan dan memutus persengketaan.
Ulama mazhab Maliki mendefinisikan qadha dengan pemberitaan tentang
hukum syara melalui carayang mengikat dan pasti. Ulama mazhab Syafi’i dan
Hanbali merndefinisikan qadha dengan penyelesaian sengketa antara dua
pihak atau lebih berdasarkan hukum Allah.
Qanun yaitu peraturan perundang-undangan yang ada di negeri-negeri
Islam. Peraturan hukum yang diundangkan tersebut berorientasi kepada
kepentingan dan kemaslahatan warga negara setempat. Karena itu, setiap
aturan hukum dalam negeri muslim tidak selalu sama.
a) Pendekatan Historis.
Pendekatan historis adalah suatu ilmu yang di dalamnya dibahas
berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek,
latar belakang, dan pelaku dari peristiwa tersebut. Menurut ilmu ini,
segala peristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi,
di mana, apa sebabnya, siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut.
b) Pendekatan Sosiologis.
Definisi sosiologi secara luas ialah ilmu tentang masyarakat dan
gejala-gejala mengenai masyarakat. Sosiologi seperti itu disebut macro-
sociology, yaitu ilmu tentang gejala-gejala sosial, institusi-institusi sosial
dan pengaruhnya terhadap masyarakat. Secara sempit sosiologi
didefinisikan sebagai ilmu tentang perilaku sosial ditinjau dari
kecendrungan individu dengan individu lain dengan memperhatikan
simbol-simbol interaksi.contoh penelitian tradisi atau adat.
c) Pendekatan Antropologis.
Kata Antropologi berasal dari bahasa Yunani, anthropos dan
logos. Anthropos berarti manusia dan logos berarti pikiran atau ilmu.
Secara sederhana, Antropologi dapat dikatakan sebagai ilmu yang
mempelajari manusia. Tentunya kita akan semakin bertanya-tanya, begitu
banyak ilmu yang mempelajari manusia.contohnya. Nikah beda agama
pada masyarakat majemuk kota bengkulu bisa antropologis dan sosilogis.
3. Setelah Alquran dan hadis sebagai pedoman utama, para hakim (qadhi)
juga memperhatikan secara seksama tentang maqasid syari’ah secara
umum. Jelaskan konsep maqasid syari’ah meliputi pengertiannya,
pembagiannya, dan tujuannya dengan memberikan 1 contohnya dalam
bidang hukum keluarga !
Maqashid al-syari’ah terdiri dari dua kata, yaitu maqashid dan
syari’ah.Maqashid berarti kesengajaan atau tujuan, sedangkan syari’ah berarti
jalan menuju sumber air. Dengan demikian, secara istilah, maqashid al-
syari’ahadalah tujuan-tujuan syariat yang telah ditetapkan oleh Allah Ta‟ala
dimana tujuan-tujuan berisi kemaslahatan hamba-Nya di dunia maupun
akhirat.
Praktik pernikahan dini biasanya disebabkan beberapa faktor seperti
faktor ekonomi, perjodohan, desakan orang tua untuk cepat menikah, pola
pikir masyarakat desa, faktor media massa/internet, serta hamil di luar nikah.
Adapun dampak yang ditimbulkan dari pernikahan dini terbagi kepada dua
macam: dampak positif dan negatif.
Dampak positifnya seperti melatih kedua pasangan suami istri tersebut
berpikir dewasa, mandiri, dan memiliki pasangan hidup, serta terhindar dari
zina. Sementara dampak negatifnya adalah seperti dari sisi psikologis
berdampak pada kurangnya keharmonisan rumah tanggakarena emosi dan
pola pikir mereka yang masih labil; dari sisi kesehatan berakibat buruk pada
reproduksi perempuan; selain itu, juga berdampak pada rendahnya tingkat
pendidikan dan tingginya tingkat perceraian.
Pernikahan dini dalam tinjauan maqashid al-syari’ah Boleh atau
tidaknya pernikahan dini tidak bisa dilihat dari satu nilai maqashid saja
seperti hifz al-naslagar terhindar dari perbuatan zina. Namun ia juga perlu
ditinjau dari nilai maqashid yang lain yang lain seperti hifz al-nafs
(perlindungan terhadap jiwa), hifz al-mal (jaminan atas kekayaan dan
kepemilikan), hifz al-‘aql (jaminan terhadap kelangsungan fungsi akal), dan
hifz al-din (perlindungan atas nilai-nilai agama) supaya analisis maqashid
tidak berjalan dengan timpang.
Semuanya bergantung pada nilai kemaslahatan dan kemudaratan yang
ada di dalamnya. Adanya unsur maslahat (dampak positif) seperti terhindar
dari zina dan mafsadat (dampak negatif) seperti mengakibatkan tingginya
angka perceraian dalam pernikahan dini harus menjadi pertimbangan matang.
Oleh karena itu, setelah melihat dan mempertimbangkan beberapa dampak
yang ditimbulkan dari pernikahan dini sekarang ini maka sebaiknnya dengan
menyimpulkan bahwa nilai kemudaratan dalam pernikahan dini lebih besar
dari kemaslahatannya. Artinya, hendaknya kita lebih menganjurkan untuk
mengikuti dan mentaati undang-undang no 16 tahun 2019 tentang
perkawinan.
4. Jelaskan sumber yurisprudensi hukum Islam di Indonesia dan
kedudukannya dalam tata hukum di Indonesia !
Yurisprudensi merupakan keputusan keputusan/ijtihad hakim di
pengadilan, khususnya keputusan yang dikeluarkan oleh pengadilan negara
tertinggi (Mahkamah Agung). Himpunan keputusan-keputusan tersebut,
menjadi dasar keputusan hakim lainnya untuk mengadili perkara serupa dan
menjadi sumber hukum bagi pengadilan yang ada di bawahnya.
Hukum Islam memiliki sumber utama, berupa wahyu dari Allah, al-
Qur’an yang membedakannya dengan sistem perundang-undangan lainnya
yang semata-mata mengandalkan hasil ciptaan manusia. Lalu diikuti dengan
al-Hadits sebagai pelengkapnya. Baru kemudian hakim juga perlu
menimbang pendapat para ulama yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh.
Terkhusus Indonesia, maka para hakim juga hendaknya berpedoman dengan
Kompilasi Hukum Islam yang telah disusun secara sistematis oleh para ulama
Nusantara yang bertujuan untuk memberikan kepastian hukum bagi para
hakim-hakim pengadilan agama dalam perkara-perkara perdata tertentu di
kalangan umat Islam Indonesia.
Kedudukan Yurisprudensi sebagai sumber hukum di Indonesia.
Yurisprudensi dalam sistem civil law, berarti putusan-putusan hakim
terdahulu yang telah berkekuatan tetap dan diikuti oleh para hakim atau badan
peradilan lain dalam memutus perkara atau kasus yang sama. Sehingga, dapat
dikatakan bahwa yurisprudensi merupakan putusan-putusan hakim atau
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan dibenarkan oleh
Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Kasasi, atau Putusan Mahkamah
Agung sendiri yang sudah berkekuatan hukum tetap. Diakuinya yurisprudensi
sebagai sumber hukum, semakin menegaskan tugas dan kewenangan hakim
dalam melakukan penemuan hukum. Hakim tidak hanya sekedar menerapkan
undang-undang, melainkan hakim juga mampu membentuk hukum (judge
made law). Terlebih ketika aturan yang terdapat di dalam undang-undang
tidak jelas, undang-undang yang ada tidak sesuai dengan keadaan atau
undangundang tidak mengatur masalah yang dihadapi. Kewenangan hakim
dalam melakukan penemuan hukum, menurut Bambang Sutiyoso disebabkan
karena hakim dihadapkan pada peristiwa kongkrit atau konflik untuk
diselesaikan, sehingga sifatnya konfliktif.
Hasil penemuan hukumnya merupakan hukum, karena memiliki
kekuatan mengikat sebagai hukum yang dituangkan dalam bentuk putusan.
Lebih lanjut ditegaskan bahwa, fungsi yuriprudensi sebagai judge made law
adalah untuk mengatasi kekosongan hukum sampai adanya kodifikasi hukum
yang lengkap dan baku, sehingga baik menurut UUD 1945 (Pasal 24 sebelum
amandemen, atau Pasal 24 A setelah amandemen) maupun berdasarkan UU
Kekuasaan Kehakiman (Pasal 27 UU No. 14 Tahun 1970 jo. UU Nomor 35
Tahun 1999 atau Pasal 28 UU No. 4 Tahun 2004 jo. Pasal 5 ayat 1 UU No. 48
Tahun 2009), hakim dalam melaksanakan fungsi dan kewenangan kekuasaan
kehakiman itu, diberikan otonomi kebebasan yang jangkauannya secara luas
meliputi:
1. Menafsirkan peraturan perundangundangan.
2. Mencari dan menemukan asas-asas dan dasar-dasar hukum.
3. Menciptakan hukum baru apabila menghadapi kekosongan perundang-
undangan.
4. Bahkan dibenarkan melakukan contra legem apabila ketentuan suatu pasal
perundang-undangan yang bertentangan dengan kepentingan umum.
5. Memiliki otonomi yang bebas mengikuti yurisprudensi.
5. Jelaskan 1 contoh kasus yurisprudensi hukum Islam di Peradilan Agama
dan analisis fiqhnya ! Analisis Pembatalan Perkawinan Menurut Fiqh Islam
Contoh Yurisprudensi Pembatalan Perkawinan Pertimbangan Hukum Hakim
Terhadap Putusan No. 0012/Pdt.G/2016/PA.Sky
Fiqh Islam mengenal dua istilah yang berbeda kendati hukumnya
sama, yaitu nikah al-fasid dan nikah al-batil. Nikah fasid adalah nikah yang
tidak memenuhi salah satu syarat dari syarat-syaratnya, sedangkan nikah
batil, apabila tidak terpenuhi rukun-rukunnya. Hukum nikah fasid dan batil
adalah sama-sama tidak sah. Batalnya perkawinan menurut fiqih Islam antara
lain disebabkan oleh 2 (dua) hal, yaitu: pertama, karena tidak terpenuhi rukun
perkawinan dan/atau karena tidak terpenuhi syarat perkawinan. Kedua,
karena adanya sebab lain setelah perkawinan berlangsung, pembatalan
dimaksud dikenal dengan istilah “fasakh”.
Fasakh berasal dari bahasa Arab, yang berarti membatalkan. Istilah
batal dalam Islam sebenarnya dibedakan dalam dua pengertian, yaitu fasakh
dan infisakh yang penggunaannya mempunyai makna berbeda. Dijelaskan
dalam ensiklopedia Islam, istilah infisakh dipahami sebagai tindakan
pembatalan akad tanpa ada keinginan atau pernyataan pembatalan akad dalam
bentuk apapun, misalnya karena suatu peristiwa yang menyebabkan akad
tidak dapat diaplikasikan.
Wahbah Az-Zuhaili mengatakan bahwa putusnya akad meliputi
fasakh dan infisakh, hanya saja munculnya fasakh terkadang bersumber dari
kehendak sendiri, keridhaan dan terkadang berasal dari putusan hakim,
sedangkan infisakh muncul karena adanya peristiwa alamiah yang tidak
memungkinkan berlangsungnya akad.
Menurut Ali Hasabilah, seperti yang dikutip oleh Firdaweri, bahwa
fasakh perkawinan ialah sesuatu yang merusak akad (perkawinan) dan dia
tidak dinamakan talak. Mem-fasakh akad nikah berarti membatalkannya dan
melepaskan ikatan pertalian antara suami isteri. 8 Fasakh itu terbagi kepada
dua macam, yaitu: pertama, fasakh yang berkehendak kepada keputusan
hakim, jika kondisi penyebab fasakh masih samar-samar. Kedua, fasakh yang
tidak berkehendak kepada keputusan hakim, jika kondisi penyebab fasakh-
nya jelas.
Putusnya hubungan perkawinan dengan cara fasakh ini, dasar
hukumnya dapat disebutkan antara lain:
a) Dalam hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, artinya:
“Rasul membolehkan seorang wanita yang sesudah dia kawin baru
mengetahui bahwa dia tidak sekufu, untuk memilih tetap meneruskan
hubungan perkawinannya itu, atau apakah dia ingin di-fasakh-kan.
Wanita itu memilih terus (tetap dalam perkawinan dengan suami yang
lebih rendah derajatnya itu)”.
b) Dari Ka’ab bin Zain, bahwa Rasulullah (pada suatu ketika) menikah
dengan wanita dari Bani Ghaffar, maka sewaktu akan bergaul
(bersetubuh) dan wanita itu telah berbaring di kainnya dan duduk di
kasur, nampak oleh beliau “baros” (kulit putih) di lambungnya, maka
beliau berpaling dari kasur, lalu bersabda: “Ambillah kainmu dan tutup
kembali bajumu”. Dan Rasulullah tidak mengambil segala sesuatu yang
diberikan oleh beliau kepada wanita itu. (HR. Ahmad dan Baihaqi).
c) Diriwayatkan oleh Daraqhutni, bahwa Umar mem-fasakh suatu
perkawinan di masa dia jadi khalifah karena penyakit barshak (semacam
penyakit menular) dan gila.10
Syaikh Kamil, mengatakan beberapa hal yang dapat membatalkan akad
pernikahan (perkawinan) antara lain:
1) Jika isteri gila, menderita penyakit kusta atau sopak (belang).
2) Jika setelah berlangsungnya akad nikah, baru diketahui bahwa wanita
yang dinikahi itu ternyata saudara sepersusuan laki-laki yang
menikahinya, maka pernikahan tersebut menjadi batal karenanya.
3) Jika yang mengadakan akad nikah bagi calon pengantin masih di bawah
umur (belum dewasa) bukanlah ayah atau kakeknya. Akan tetapi, jika
telah dewasa, maka kedua belah pihak (suami isteri) berhak untuk
memilih meneruskan kehidupan perkawinannya maupun mengakhirinya
dan inilah yang disebut dengan khiyarul bulugh. Apabila keduanya
memilih untuk mengakhiri kehidupan bersuami isteri, maka menjadi
batal pernikahan tersebut.
4) Jika suami masuk Islam sedangkan isterinya menolak dan tetap menjadi
wanita musyrik, maka akad nikah yang dilakukan pada saat itu menjadi
batal karenanya.
5) Jika isteri memeluk Islam, sedangkan suaminya tetap kafir. Apabila
kemudian keduanya mau memeluk Islam, maka akad nikahnya tetap sah.
6) Jika si suami murtad, sedangkan isterinya masih tetap muslimah.
7) Jika si isteri murtad, sedangkan suaminya masih tetap sebagai seorang
muslim.
8) Jika isteri disetubuhi oleh ayah atau kakeknya karena faktor
ketidaksengajaan maupun dengan maksud menzinahinya.
9) Jika kedua belah pihak saling berli’an.
10) Jika keduanya bersama-sama murtad.
11) Jika salah satunya meninggal dunia.
Sayyid Sabiq menggunakan istilah mem-fasakh akad nikah yang
berarti membatalkannya dan melepaskan ikatan pertalian antara suami isteri.
Fasakh bisa terjadi karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi pada akad nikah
atau karena hal lain yang datang kemudian dan dapat membatalkan
kelangsungan perkawinan.
Berdasarkan pendapat Sayyid Sabiq tersebut, maka pembatalan
perkawinan (fasakh) dapat dibedakan sebagai berikut:
Dilihat dari sisi sebab pembatalannya, terdiri dari:
1) Sebab yang ada pada saat perkawinan dilangsungkan, contohnya
perkawinan dilangsungkan tidak memenuhi rukun dan/atau syarat
perkawinan.
2) Sebab yang ada setelah akad perkawinan berlangsung, contohnya setelah
perkawinan berlangsung, salah satu dari suami atau isteri murtad.
Dilihat dari kewenangan pembatalannya, terdiri dari:
1) Pembatalan perkawinan melalui keputusan hakim, berarti suami isteri
tidak dibolehkan membatalkannya tanpa ada keputusan hakim, hal ini
dilakukan jika alasan yang dapat membatalkan perkawinan masih samar-
samar, contohnya karena isteri masih belum memeluk agama Islam,
sedangkan suaminya sudah. Ada kemungkinan, setelah perkara dibawa ke
pengadilan, isterinya mau memeluk agama Islam.
2) Pembatalan perkawinan yang tidak harus melalui keputusan hakim, berarti
suami isteri dapat langsung membatalkannya tanpa harus menunggu
keputusan hakim, hal ini dilakukan jika alasan yang membatalkan
perkawinan sudah jelas, seperti karena terdapat halangan perkawinan di
antara mereka disebabkan hubungan nasab atau sesusuan, berhubung
perkawinan yang demikian adalah haram menurut fiqih Islam.
Memperhatikan beberapa hal yang dapat dijadikan alasan pembatalan
perkawinan menurut ulama-ulama fiqih sebagaimana yang telah diuraikan di
atas, terlihat adanya perbedaan dengan alasan pembatalan perkawinan yang
diatur dalam UUP, misalnya dalam hal persyaratan yang bersifat formalitas,
bahwamenurut UUP jika perkawinan dilaksanakan dihadapan pegawai
pencatat perkawinan yang tidak berwenang, maka perkawinan tersebut dapat
dibatalkan.
Menurut syaria’t Islam, ketentuan demikian tidaklah merupakan syarat
sah perkawinan, dengan kata lain sekalipun perkawinan dilaksanakan
dihadapan pegawai pencatatan perkawinan yang tidak berwenang, tetapi
sepanjang rukun- rukun dan syarat-syarat menurut syar'i telah dipenuhi, maka
perkawinan tersebut sah dan tidak dapat dibatalkan.

Anda mungkin juga menyukai