Anda di halaman 1dari 23

KEDEWASAAN CAKAP HUKUM BERDASARKAN PERSPEKTIF HUKUM

POSITIF DAN HUKUM ISLAM

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum Perdata

Disusun Oleh:

Olivia Nurul Utami

NIM : 2311112432164

PROGRAM STUDI HUKUM PERDATA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KALIMANTAN TIMUR

2024
ABSTRAK

Kedewasaan cakap hukum merupakan konsep yang penting dalam pemahaman tentang
keadilan dan keberlanjutan sistem hukum dalam masyarakat. Makalah ini bertujuan untuk
menyelidiki konsep kedewasaan cakap hukum dari dua perspektif utama: hukum positif dan
hukum Islam. Latar belakang dari studi ini adalah kompleksitas tantangan yang dihadapi oleh
sistem hukum dalam memastikan penegakan keadilan yang efektif dan inklusif. Dalam
mencapai tujuan tersebut, makalah ini menggunakan pendekatan deskriptif-analitis dengan
mengumpulkan data dari berbagai sumber literatur yang relevan. Dalam konteks hukum
positif, konsep kedewasaan cakap hukum dieksplorasi melalui kerangka hukum yang telah
ditetapkan oleh sistem hukum positif suatu negara. Di sisi lain, perspektif hukum Islam
memberikan pandangan yang berakar pada nilai-nilai moral dan ajaran agama dalam menilai
kedewasaan cakap hukum. Hasil analisis menunjukkan bahwa kedewasaan cakap hukum
dalam hukum positif lebih terfokus pada aspek kemampuan individu dalam memahami dan
mematuhi hukum yang berlaku, sementara dalam hukum Islam, kedewasaan cakap hukum
juga mencakup dimensi moral dan spiritual dalam pengambilan keputusan hukum. Meskipun
kedua perspektif tersebut memiliki pendekatan yang berbeda, keduanya memiliki kesamaan
dalam upaya memastikan keadilan dan keseimbangan dalam sistem hukum. Kesimpulannya,
pemahaman tentang kedewasaan cakap hukum dari perspektif hukum positif dan hukum
Islam memberikan kontribusi penting dalam perbaikan sistem hukum yang lebih inklusif dan
adil. Dengan demikian, penelitian ini memberikan landasan bagi diskusi lebih lanjut tentang
bagaimana integrasi antara prinsip-prinsip hukum positif dan hukum Islam dapat memperkuat
keberlanjutan sistem hukum secara keseluruhan.

Kata kunci: Kedewasaan cakap hukum, hukum positif, hukum Islam, keadilan, sistem
hukum.

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..............................................................................................................

KATA PENGANTAR .......................................................................................................... ii

DAFTAR ISI........................................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ............................................................................................ 1


B. Rumusan Masalah ...................................................................................................... 2
C. Tujuan Penelitian ....................................................................................................... 3
D. Manfaat Penelitian ..................................................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................................... 5

A. Pengertian Cakap Menurut Hukum ........................................................................... 5


B. Pengaturan Mengenai Batasan Dewasa Agar Seseorang Cakap Hukum Menurut
Hukum Positif Dan Hukum Islam.............................................................................. 7
C. Peraturan Hukum dalam Menentukan Kecakapan Hukum Seseorang .................... 14

BAB III PENUTUP ............................................................................................................ 18

A. Kesimpulan .............................................................................................................. 18

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 20

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kedewasaan cakap hukum merupakan konsep yang melintasi beragam bidang dalam
studi hukum, yang menjadi fokus perhatian utama para akademisi, praktisi hukum, dan
masyarakat pada umumnya. Kedewasaan cakap hukum tidak hanya berkaitan dengan
pengetahuan tentang hukum itu sendiri, tetapi juga melibatkan pemahaman yang mendalam
tentang nilai-nilai etika, keadilan, dan kebenaran.

Dalam konteks hukum positif, kedewasaan cakap hukum menjadi landasan bagi
keberhasilan sistem hukum dalam menciptakan aturan yang berfungsi secara efektif untuk
mengatur kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini, hukum positif berusaha untuk
mengembangkan mekanisme yang dapat menjamin perlindungan hak-hak individu dan
menegakkan kewajiban-kewajiban yang berlaku dalam suatu negara.

Sementara itu, dalam perspektif hukum Islam, kedewasaan cakap hukum dipandang
sebagai bagian integral dari konsep yang lebih luas tentang akhlak dan kepemimpinan yang
adil. Hukum Islam tidak hanya memberikan pedoman tentang tata cara berperilaku dalam
kehidupan sehari-hari, tetapi juga menawarkan prinsip-prinsip yang dapat membentuk
karakter dan moralitas individu dalam konteks hukum.

Namun demikian, terdapat perbedaan pendekatan antara hukum positif dan hukum
Islam dalam memahami dan menerapkan konsep kedewasaan cakap hukum. Perbedaan ini
mencakup berbagai aspek, seperti sumber legitimasi hukum, proses pembuatan keputusan,
dan penegakan hukum. Oleh karena itu, dalam rangka memahami secara holistik tentang
kedewasaan cakap hukum, perlu dilakukan analisis mendalam yang mempertimbangkan
perspektif hukum positif dan hukum Islam secara bersamaan. Penelitian ini bertujuan untuk
menjembatani pemahaman antara kedua perspektif tersebut serta mengidentifikasi kesamaan,
perbedaan, dan potensi sinergi dalam konsep kedewasaan cakap hukum.

Usia dewasa yang dianggap cakap dalam hukum masih belum tuntas diperdebatkan
oleh para ulama maupun oleh pemerintah Indonesia. Ketidakseragaman batasan usia dewasa
atau batasan usia anak pada berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia memang
kerap menimbulkan pertanyaan mengenai batasan yang mana yang seharusnya

1
digunakan.Pemerintah Indonesia ternyata mempunyai beberapa undang-undang mengenai
batasan kedewasaan yang berbeda-beda, misalnya di dalam UU Perkawinan 1974 terdapat
ketentuan 16 tahun bagi perempuan untuk menikah, sementara di dalam UU Ketenagakerjaan
terdapat ketentuan 18 tahun untuk menjadi tenaga kerja. Berdasarkan beberapa ketentuan
dalam peraturan perundang-undangan tersebut di atas memang masih tidak ditemui
keseragaman mengenai usia dewasa seseorang, sebagian memberi batasan 21 (dua puluh
satu) tahun, sebagian lagi 18 (delapan belas) tahun, bahkan ada yang 17 (tujuh belas) tahun.

Dalam Islam ada istilah ―Bâligh‖ dan ―Ar Rusyd‖. Baligh adalah kata yang
mengandung arti ―dewasa. Seorang yang sudah dewasa disebut bâligh. Kata bâligh dalam
diskursus fikih kebanyakan mengandung arti kedewasaan secara fisik, misalkan mimpi basah
bagi laki-laki dan menstruasi bagi perempuan. Secara otomatis dianggap cakap dalam hukum.
Sedangkan kata ―Ar Rusyd‖ adalah tingkat kesempurnaan dalam berpikir sebetulnya ar
rusyd bisa dicapai bersamaan dengan masa baligh apabila dalam proses menyongsong masa
baligh mendapatkan edukasi yang baik dan benar.

Hal ini menarik untuk dikaji untuk mengkomparasikan penetapan usia dewasa cakap
hokum menurut undangundang repebublik Indonesia dan menurut agama Islam. Untuk
menguraikan permasalahan diatas, ada beberapa pembahasan yang akan dikaji, mencakup
Pengertian dewasa cakap hokum, dewasa cakap hukum menurut undang- undang, dewasa
cakap hokum menurut islam dan penjabarannya.

Dengan demikian, makalah ini akan mengulas secara komprehensif tentang konsep
kedewasaan cakap hukum dalam perspektif hukum positif dan hukum Islam, serta
implikasinya dalam pembentukan sistem hukum yang adil dan berkeadilan.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan cakap menurut hukum?
2. Bagaimana pengaturan mengenai batasan dewasa agar seseorang cakap hukum
menurut hukum positif dan hukum islam?
3. Peraturan hukum manakan yang digunakan untuk menentukan kedewasaan seseorang
agar cakap secara hukum ditengah beragamnya regulasi hukum?

2
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui Pengertian Cakap Menurut Hukum
2. Mengetahui Pengaturan Mengenai Batasan Dewasa Agar Seseorang Cakap Hukum
Menurut Hukum Positif Dan Hukum Islam
3. Memahami Peraturan Hukum dalam Menentukan Kecakapan Hukum Seseorang

D. Manfaat Penelitian

Bagi Penulis:

 Pengembangan Pengetahuan: Proses penelitian memungkinkan penulis untuk


mendalami konsep kedewasaan cakap hukum dalam kedua perspektif yang dipelajari,
yang pada gilirannya memperluas pemahaman mereka tentang hukum positif dan
hukum Islam.

 Pengasahan Kemampuan Analisis: Penulisan makalah membutuhkan kemampuan


analisis yang kuat. Dengan melakukan penelitian ini, penulis dapat melatih dan
meningkatkan kemampuan analisis mereka dalam memahami dan mengevaluasi
konsep-konsep hukum yang rumit.

 Pengembangan Keterampilan Penulisan: Penulisan makalah ilmiah membutuhkan


kemampuan menyusun argumen dengan jelas dan sistematis. Melalui penelitian ini,
penulis dapat mengasah keterampilan penulisan akademik mereka.

 Kontribusi terhadap Literatur: Dengan menyumbangkan makalah ini ke dalam


literatur akademik, penulis dapat berkontribusi pada pemahaman yang lebih baik
tentang kedewasaan cakap hukum dalam konteks hukum positif dan hukum Islam. Ini
memberikan nilai tambah bagi komunitas akademik dan praktisi hukum.

Bagi Pembaca:

1. Pemahaman yang Lebih Mendalam: Makalah ini menyediakan pemahaman yang


lebih mendalam tentang konsep kedewasaan cakap hukum dari dua perspektif yang
berbeda. Pembaca akan mendapatkan wawasan yang lebih luas tentang bagaimana
hukum positif dan hukum Islam memandang dan menerapkan konsep ini.

2. Pengetahuan Komparatif: Pembaca akan mendapatkan manfaat dari perbandingan


antara perspektif hukum positif dan hukum Islam dalam konteks kedewasaan cakap
3
hukum. Ini membantu pembaca untuk memahami perbedaan, kesamaan, dan implikasi
praktis dari kedua perspektif tersebut.

3. Pertimbangan Etis: Diskusi tentang kedewasaan cakap hukum dalam konteks hukum
positif dan hukum Islam juga membuka ruang bagi refleksi etis. Pembaca dapat
mempertimbangkan implikasi moral dan etis dari konsep ini dalam konteks hukum
modern dan nilai-nilai Islam.

4. Penerapan Praktis: Makalah ini juga dapat memberikan wawasan bagi pembaca
tentang bagaimana konsep kedewasaan cakap hukum dapat diterapkan dalam praktek
hukum sehari-hari, baik dalam sistem hukum positif maupun hukum Islam.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Cakap Menurut Hukum

Dalam ajaran Islam, perkembangan manusia umumnya diuraikan dalam beberapa


tahap, yakni: (1) Tahap prenatal, dimana individu masih berada dalam kandungan ibunya. (2)
Tahap masa kanak-kanak, yang berlangsung dari kelahiran hingga sebelum mencapai usia
ketelitian. (3) Tahap ketelitian, dimulai dari momen individu mampu membedakan dan
berlangsung hingga mencapai usia baligh. (4) Tahap baligh, yang menandai peralihan dari
masa ketelitian menuju kedewasaan fisik dan syariat. (5) Tahap akhir, yaitu saat individu
memiliki akal yang sempurna. (Referensi: Al Mausu'ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 7/154).

1. Periode Janin

Periode prenatal (prenatal period) adalah masa pembuahan hingga lahir sekitar 9
bulan.Dalam periode ini terjadi pertumbuhan yang hebat sekali dari sebuah sel tunggal
hingga menjadi organisme lengkap yang memiliki otak dan kapasitas berperilaku (Ridho
Fauzi:2014). Periode ini dimulai semenjak seseorang itu berupa ‗alaqah (gumpalan darah)
dalam kandungan ibunya sampai dengan saat lahirnya.Pada periode ini sifat kemanusianya
belum sempurna. Karena jika dilihat dari wujud badanya seolah-olah ia merupakan bagian
dari ibunya. Ia makan dari apa yang ibunya makan, ia bergerak jika ibunya bergerak, dan ia
pindah dari suatu tempat ke tempat yang lain jika ibunya berpindah tempat. Tetapi dari segi
adanya roh ia telah merupakan suatu jiwa tersendiri. (Murni Jamal, 1983: 1)

2. Perode Thufulah (kanak-kanak)

Periode ini dimulai semenjak seseorang lahir ke dunia. Dengan lahirnya itu, maka
telah sempurnalah sifat kemanusiannya, karena ia telah berpisah dari ibunya. Namun
demikian, kemampuan akalnya belum ada, kemudian berkembang sedikit demi sedikit,
periode ini berlangsung sampai seseorang mencapai masa tamyiz. Masa bayi (infancy) adalah
periode perkembangan yang dimulai sejak lahir hingga usia 18 atau 24 bulan. Masa bayi
adalah sebuah masa dimana seseorang sangat bergantung kepada orang dewasa.Masuk
periode ini masa kanak-kanak awal (early childhood) adalah periode perkembagan yang
dimulai dari akhir masa bayi hingga usia 5 atau 6 tahun.

5
Periode ini kadang disebut sebagai ―masa prasekolah.‖Selama masa ini, anak-anak
kecil belajar untuk lebih mandiri dan merawat dirinya sendiri.Mereka mengembangkan
sejumlah keterampilan kesiapan sekolah (mengikuti intruksi, mengenal huruf) dan
meluangkan banyak waktu untuk bermain dengan kawan-kawan sebaya.Kelas satu biasanya
mengakhiri masa kanak-kanak awal.

3. Periode tamyiz

Mumayyiy adalah anak yang sudah mencapai usia dimana seorang anak sudah mulai
bisa membedakan mana hal yang bermanfaat baginya dan mana hal yang membahanyakan
dirinya, sebagian ulama' menyatakan bahwa pada usia ini seorang anak memiliki kemampuan
dalam otaknya untuk bisa menggali arti dari suatu hal. Dalam kenyataannya, pada masa ini
seorang anak msudah mampu untuk melakukan beberapa hal secara mandiri, seperti makan
sendiri, minum sendiri, dan lain lain. Umur tamyiz menurut mayoritas ulama' adalah 7 tahun,
dan berakhir setelah sampai pada masa baligh.(Al Mausu'ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah,
7/154). Tamyiz bisa dikelompokkan pada masa kanak-kanak pertengahan dan akhir (middle
and late childhood). Yaitu, periode perkembangan yang berlangsung antara usia 6 hingga 11
tahun.

4. Periode Baligh

Sedangkan baligh adalah anak yang sudah mencapai usia yang mengalihkannya dari
masa kanak-kanak (thufulah) menuju masa kedewasaan (rujulah/unutsah). Masa ini biasanya
ditandai dengan munculnya beberapa tanda-tanda fisik, seperti mimpi basah (ihtilam),
mengandung dan haidh.Dan apabila tanda-tanda tersebut tidak nampak, maka masa baligh
ditandai dengan sampainya seorang anak pada umur 15 tahun menurut pendapat madzhab
Syafi'i. Pada masa ini perkembangan tubuh dan akal seorang anak telah mencapai
kesempurnaan, sehingga ia diperkenankan melakukan berbagai tashorruf secara menyeluruh
(ahlul 'ada' al-kamilah).

Selain itu seorang anak juga sudah mulai terikat dengan semua ketentuan-ketentuan
hukum agama, baik yang berhubungan dengan harta atau tidak, dan baik itu berhubungan
dengan hak-hak Alloh dan hak-hak hamba-Nya.Namun, ketentuan ini berlaku apabila seorang
anak sudah sempurna akalnya, jika tidak, maka yang berlaku adalah ketentuanketentuan
hukum bagi anak kecil yang baru tamyiz kurang waras (mu'tawih) dan anak yang idiot
(safih). (Al Mausu'ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 7/154).

6
5. Periode ar Rusyd

Ar Rusyd secara bahasa akal, pikiran dan kebenaran (A.W. Munawir: 499) dalam al
Misbahul Munir, ar rusyd secara bahasa berarti baik dan sampai pada kebenaran. Ar Rusyd
menurut ulama Madzhab Hanafi, Maliki dan Hanbali adalah, baik dalam memdistribusikan
harta, dan mampu mengembangkan dan menggunakannya dengan baik.Dalam madzhab
Syafi‘I, baik dalam masalah agama dan harta. Sifat Ar Rusyd ini mungkin telah
dimilikibersama dengan masa pubertas, dan mungkin sedikit tertunda atau lebih lama,
tergantung pada pendidikan dan kesiapan orang tersebut dan kompleksitas kehidupan
kulturnya.(Al Mausu'ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 7/160). Bisa disimpulkan, masa ar rusyd
adalah masa kedewasaan yang datang bersama dengan datangnya masa baligh atau sedikit
terlambat. Apabila batasan usia baligh adalah 15 tahun, sifat ar rusyd antara 15- 17 tahun.

Islam menetapan seseorang dikatakan usia dewasa dan cakap dalam hukum adalah
ketika sampai pada usia baligh. Sejak itu dia dikatakan mukallaf, yaitu muslim yang dikenai
kewajiban atau perintah dan menjauhi larangan agama (pribadi muslim yang sudah dapat
dikenai hukum). Seseorang berstatus mukallaf bila ia telah dewasa dan tidak mengalami
gangguan jiwa maupun akal. Dalam al Mushtalahat wa syarhuha (1/28) mukallaf adalah
seorang muslim, yang berakal, bligh, sehat, mengetahui kewajiban-kewajiban dan tidak ada
penghalang sahnya beribadah.

B. Pengaturan Mengenai Batasan Dewasa Agar Seseorang Cakap Hukum Menurut


Hukum Positif Dan Hukum Islam

Ketidakseragaman batas minimal usia dewasa di Indonesai mengakibatkan ketidak


pastian hukum dan jaminan bagi warga Negara. Indonesia sebagai negara hukum sesuai
dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, seharusnya segala sesuatu yang terkait dengan hukum
harus ada kepastian dan jaminan hukum bagi warga negaranya, tetapi sampai saat ini batasan
usia dewasa belum ada satu kesatuan (unifikasi) yang berlaku di Republik ini, sehingga
membingungkan masyarakat.

Batasan usia dewasa yang bersifat pluralisme dapat membuat keambiguan dalam
menentukan kapan seseorang dinyatakan dewasa dan cakap untuk melakukan perbuatan
hukum. Karena perbuatan hukum selalu mensyaratkan bahwa seseorang harus dinyatakan
cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Secara yuridis kewenangan untuk melakukan

7
perbuatan hukum berarti kecakapan untuk menjadi subjek hukum yaitu sebagai pendukung
hak dan kewajiban.

Pada prinsipnya setiap orang mempunyai hak subjektif sejak dalam kandungan hingga
meninggal dunia hal ini ditegaskan dalam pasal 2 KUHPerdata, namun tidak semua setiap
subjek hukum mempunyai kewenangan dan kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum.
Ketika seorang anak memiliki keackapan hukum, maka dengan sendirinya anak tersebut
memiliki kapasitas untuk mempunyai hak subjektif yaitu hak untukmelakukan perbuatan
hukum dan kapasitas untuk membuat atau tidak membuat persetujuan.

Berbeda haknya dengan ketentuan pasal 2 ayat (1) dan (2) KUHPerdata yang
menyebutkan bahwa anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap telah
dilahirkan bila mana kepentingan si anak menghendakinya dan anak yang ada dalam
kandungan meningal pada saat dilahirkan atau sebelumnya dianggap tidak pernah ada atau
mati sewaktu dilahirkan dianggap tidak pernah ada, artinya anak tersebut telah memiliki hak
sebagai subjek hukum.

Pasal di atas dapat dipahami bahwa apa yang diatur dalam KUHPerdata khusunya
pasal 2 memberikan perlindungan hukum kepada seorang anak yang masih dalam kandungan
seorang wanita terkait dengan hak-hak yang akan dinikmatinya ketika anak tersebut
dilahirkan. Pada prinsipnya apa yang dijelaskan KUHPerdata terkait dengan manusia sebagai
subjek hukum berlaku sejak dilahirkan dan berakhir dengan kematian. Kecuali anak yang
dalam kandungan dianggap telah dilahirkan apabila kepentingan si anak menghendakinya,
keadaan di atas sering kali terjadi dalam hal kewarisan.

Permasalahan yang seering muncul adalah ketika seorang ibu mengandung seorang
anak, pada saat yang bersamaan suaminya meninggal dunia dan anak yang ada dalam
kandungan tersebut tidak diberi hak untuk mewarisi, padahal jika mengacu pada ketentuan
pasal 2 KUHPerdata maka pada saat itu juga anak akan mendapatkan warisan dari pewaris
yaitu ayahnya. Pada saat itu juga sistem kewarisan antara suami istri dan anak menjadi
terbuka. Ketentuan yang sudah diintrodusasi dalam pasal 2 KUHPerdata disebut dengan
istilah rechtsfictie (hal yang mendasa) dalam sistem kewarisan.

Pemahaman yang lain yang dapat diintroduksi dari ketentuan pasal 2 KUHPerdata
adalah bahwa pada prinsipnya seorang anak akan mempunyai hak subjektif sejak dilahirakn

8
hingga meninggal dunia, namun perlu dipahami tidak setiap anak mempunyai hak untuk
membuat persetujuan atau melakukan perbuatan hukum.

1. Batasan Minimal Usia Anak Dewasa Menurut KUHPerdata

Berdasarkan ketenatuan KUHPerdata, kecakapan hukum merupakan salah satu yang


harus dipenuhi setiap anak untuk sahnya perbuatan hukum tersebut termasuk dalam hal
perbuatan hukum keperdataan dan pidana. Perbuatan hukum yang dilakukan anak yang
belum dewasa atau orang yang belum cakan untuk melakukan perbuatan hukum dapat
dibatalkan atau dimintakan pembatalan dan batal dengan sendirinya. Artinya anak yang
belum dewasa akan mempengaruhi setiap perbuatan hukum yang dilakukan di mana
perbuatan hukum tersebut tidak memiliki akibat hukum.

Misalnya seorang anak yang masih di bawah umur 21 tahun dan belum menikah
melakukan perjanjian jula beli tanpa persetujuan dari walinya dapat dibatalkan, sekaalipun
pada prinsipnya jual beli tersebut sah akan tetapi perbuatan hukum jual beli yang dilakukan
tersebut tidak memiliki akibat hukum sehingga jual beli tersebut dapat dibatalkan melalui
walinya atau batal dengan sendirinya. Setidaknya ada dua pasal yang dijadikan sebagai acuan
atau paying hukum pengaturan batas minimal dewasa menurut ketentuan KUHperdata, yaitu
pasa 1330 dan 330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata BW.

Secara umum menurut ketentuan pasal 330 KUHPerdata batas minimal dewasa umur
21 tahun dan belum pernah melaksanakan perkawinan sekalipun beberapa peraturan
prundang undangan lainnya menentukan batas umur yang berbeda dalam menentukan batasan
minimal seorang anak dianggap telah dewasa. Begitu juga dengan kriteria dewasa untuk
melakukan perbuatan hukum, dengan perbuatan hukum yang lain memberikan syarat yang
berbeda kepada seseorang untuk dinyatakan cakap bertindak di depan hukum. Untuk
menentukan batasan minimal usia kedewasaan di Indonesia tergantung dalam konteks apa
kedewasaan tersebut digunakan.

Misalnya untuk menentukan batasan usia dewasa melakukan perbuatan hukum untuk
menikah maka sumber yang dapat dijadikan rujukan adalah pasal 7 Undang-undang No. 1
Tahun 19974 Tentang Perkawinan. Passal 7 menyebutkan bahwa kedwasaan seorang
perempuan untuk dapat melaksanakan perkawinan 16 tahun bagi wanita dan bagi laki-laki 19
tahun. Konsepsi perbedaan batasan usia minimal kedewasaan di Indonesia tentu akan
menimbulkan permasalahan tersendiri di setiap perbuatan hukum yang dilakukan oleh subjek

9
hukum, karena akan berpengaruh dengan boleh tidaknya seseorang melakukan perbuatan
hukum.

Adanya pluralisme batasan usia dewasa hingga saat ini menjadi perdebatan
dikalangan para akademisi dan praktisi hukum. Sekalipun pada praktiknya yurisprudensi
menyatakan dengan tegas tentang batas usia dewasa adalah 17 dan 18 Tahun, namun masih
banyak yang berpegang pada pasal 330 KUHPerdata bahwa batasan minimal kedawasaan
anak berumur 21 tahun. Pengaturan batas kedewasaan seorang anak di Indonesia menjadi
penting, mengingat sah tidaknya setiap orang untuk melakukan perbuatan hukum. Artinya
sejak seorang anak dinyatakan telah memasuki usia dewasa, maka berhak untuk melakukan
perbuatan hukum tertentu, misalnya menjual, membeli harta tetap atas namanya sendiri,
menjaminkan tanah yang terdaftar atas namanya sendiri, bertindak selaku pemegang saham
dalam suatu Perseroan Terbatas, Yayasan, Firma, Perkumpulan, membuat perjanjian dengan
orang lain dan lain-lain tanpa bantuan dari orang tuanya selaku wali.

Meskipun menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, bahwa setiap orang


dengan tanpa terkecuali memiliki hak yang sama untuk melakukan perbuatan hukum tetapi
tidak setiap subjek hukum dapat bertindak dengan sendirinya dalam melaksanakan hak
tersebut. Salah satu orang yang tidak dapat bertindak untuk melakukan perbuatan hukum
adalah anak yang belum dewasa sehingga mereka harus diwakili oleh orang lain. Ketentuan
pasal 1330 KUHPerdata mereka yang oleh hukum dinyatakan tidak cakap untuk melakukan
perbuatan hukum untuk dirinya sendiri adalah anak yang belum dewasa, orang yang ditaruh
di bawah pengampuan (curatele), dan seorang perempuan yang sudah menikah. Mereka yang
dianggap tidak cakap hukum disebut dengan istilah personae miserabile, artinya tidak dapat
melakukan sendiri hak dan kewajibannya.

Bagi mereka yang belum dewasa dapat melakukan perbuatan hukum


(rechtbekwaamheid) atau menjalankan hak dan kewajibannya dengan perantaraan atau
diwakili orang tua atau wali dan ditunjuk oleh orang tertentu. Kecakapan tersebut
sesungguhnya telah diatur melalui pasal 330 KUHPerdata bahwa batas usia minimal seorang
anak dapat melakukan perbuatan hukum umur 21 tahun. Batasan umur 21 tahun telah
dianggap dewasa atau di bawah umur 21 tahun tetapi telah menikah maka dianggap telah
dewasa dan tidak akan menjadi orang yang di bawah umur, sekalipun perkawinan tersebut
bubar sebelum mencapai umur 21 tahun. Sejak diterbitkannya Surat Edaran Mahkamah
Agung Nomor 3/1963 dan pasal 31 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,

10
bahwa perempuan yang masih terikat dengan perkawinan cakap untuk melakukan perbuatan
hukum secara sendiri.

Anak yang tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum mereka yang di taruh di
bawah pengampuan orang lain (curatele) yaitu setiap subjek hukum yang belum dewasa dan
di bawah pengampuan dalam melakukan perbuatan hukum diwakilkan kepada orang tuanya,
walinya atau pengampunya (curator), atau sudah dewasa tetapi dalam keadaan dungu, gila,
mata gelap dan pemboros. Menurut pasal 433 KUHPerdata bahwa orang yang ditaruh di
bawah pengampuan adalah orang yang dungu, sakit ingatan atau mata gelap, orang yang
pemboros. Bagi anak yang belum dewasa untuk menggunakan kewenangannya melakukan
perbuatan hukum dapat melalui orang tua atau walinya, sedangkan bagi mereka yang ditaruh
di bawah pengampuan harus diwakili pengampu (curator)

Selain itu subjek hukum yang tidak dapat dikategorikan orang yang cakap hukum
adalah setiap orang yang dilarang oleh undang-undang untuk melakukan perbuatan hukum
tertentu misalnya orang yang dinyatakan pailit. Ketentua ini diatur dalam pasal 88 ayat (1)
KUHPerdata terkait dengan ketidaksempurnaan akalnya, pasal 895 KUHPerdata orang yang
dapat dan mencabut surat wasiat, pasal 1330 KUHPerdata tidak cakap hukum membuat surat
perjanjian. Apabila dihubungkan antara kecakapan hukum dan kewenangan hukum dapat
disimpulkan bahwa setiap orang adalah subjek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban,
tetapi tidak setiap orang cakap hukum untuk kmelakukan perbuatan hukum tidak selalu
berwenang untuk melakukan perbuatan hukum, artinya kecakapan hukum adalah syarat
umum, sedangkan kewenangan hukum adalah syarat untuk melakukan perbuatan hukum.

Hal yang perlu dipahami menurut ketentuan KUHPerdata dikenal dengan istilah
Pendewasaan (handlichting). Istilah “kedewasaan” menunjuk pada keadaan sudah dewasa,
yang memenuhi syarat hukum sedangkan istilah pendewasaan menunjuk pada keadaan belum
dewasa yang oleh hukum dinyatakan dewasa. Salah satu upaya hukum yang dapat dilakukan
untuk menempatkan orang yang belum dewasa sama kedudukannya dengan orang yang
sudah dewasa baik untuk tindakan tertentu maupun untuk semua tindakan adalam dengan
cara pendewasaan. Pasal 419 KUHPerdata menentukan bahwa seorang anak yang masih di
bawah umur dapat dinyatakan telah dewasa dan kepadanya dapat diberikan hak-hak tertentu
layaknya dewasa.

Secara hukum proses pendewasaan dapat dilakukan dengan dua cara antara lain:

11
 Pendewasaan Secara Penuh Menurut Pasal 421 KUH Perdata untuk mendapatkan
pendewasaan secara penuh anak harus sudah berumur 20 (dua puluh) tahun, dengan
surat pernyataan dewasa (venia aetatis) oleh Kepala Negara melalui Menteri
Kehakiman setelah melakukan perundingan dan mendengarkan pertimbangan dari
Mahkamah Agung. Pasal 420 KUH Perdata mengatur bahwa permohonan
pendewasaan tersebut diajukan disertai dengan Akta Kelahiran dan akan didengar
keterangan dari kedua orang tuanya yang hidup terlama, wali badan harta peninggalan
(BHP) sebagai wali pengawas dan keluarga sedarah/semenda (Pasal 422 KUH
Perdata). Ketika anak yang masih dibawah umur 20 tahun dinyatakan telah dewasa
maka kedudukannya sama dengan orang yang sudah dewasa, artinya seluruh
perbuatan hukum yang dilakukannya disamakan dengan orang yang sudah dewasa
(Pasal 424 (1) KUHPerdata), kecuali dalam hal melakukan perbuatan hukum untuk
menikah maka harus mendapatkan izin dari dar orang tua atau wali, dan melakukan
perbuatan hukum untuk menjual barang tidak bergerak miliknya maka harus
mendapatkan izin dari pengadilan negeri setempat.
 Pendewasaan untuk beberapa perbuatan hukum tertentu (terbatas). Pendewasaan
terbatas diberikan kepada mereka yang mencapai umur 18 tahun melalui pengadilan
Negeri setempat dan atas permintaan yang bersangkutan. Untuk diperbolehkan
mengajukan permohonan pendewasaan terbatas seseorang harus berusia genap 18
(delapan belas) tahun. Instansi yang memberikan pendewasaan tersebut adalah
Pengadilan Negeri setempat (tempat tinggal si pemohon) tetapi jika orang tua yang
menjalankan kekuasaan atau perwalian tidak setuju, maka pendewasaan terbatas tidak
dapat diberikan. (Pasal 426 KUH Perdata). Pasal 429 KUHPerdata bahwa sebelum
dewasa yang telah memperoleh pendewasaan dianggap sebagai orang dewasa hanya
terhadap perbuatan dan tindakan yang dengan tegas diijinkan kepadanya. Seperti
melakukan perjanjian sewa menyew,, penguasaan bebas atas penghasilannya sendiri,
penguasaan dan penanaman tanah (lading, sawa, kebun atas miliknya sendiri,
mengelola perusahaan, menjalankan suatu usaha kerajinan tangan, ikut serta
mendirikan pabrik, dan usaha dagang. Menurut pasal 431 KUHPerdata pendewasaan
terbatas dapat dicabut oleh pengadilan atas permintaan orang tua atau wali dengan
alasa karena menyalah gunakannya atau karena timbul kehawatiran yang beralasan
kuat bahwa ada penyalahgunaan pendewasaan yang diberikan.13 Untuk hal-hal lain
tetap dalam kedudukannya dianggap belum dewasa. Perlu dipahami setelah

12
berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 19974 Tentang Perkawinan maka dengan
sendirinya lembaga pendewasaan tidak berlaku lagi.

Untuk hal tertentu seseorang tidak dibenarkan bertindak dengan sendirinya dalam
melaksanakan atau mengatur hak dan kewajibannya yaitu ketika belum dewasa atau masih di
bawah pengampuan. Menurut KUHPerdata pasal 330 seseorang masih dikatakan di bawah
umur atau belum dewasa apabila belum mencapai umur 21 tahun, kecuali kalau sudah
menikah sekalipun belum berusi 21 tahun dengan pernikahan tersebut anak yang belum
berusia 21 tahun sudah dewasa. Menurut ketentuan Undang-undang No. 1 Tahun1974
Tentang Perkawinan, seseorang dapat melangsungkan perkawinan atau sudah dewasa apabila
telah berusia 16 tahun bagi wanita dan 19 tahun bagi laki-laki hal ini senanada dengan apa
yang telah di sebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam.

2. Batas Kedewasan Anak Menurut Sistem Hukum Positif

Untuk memastikan batasan usia minimal anak dikategorikan orang yang sudah
dewasa tergantung dalam kontek apa dewasa tersebut hendak digunakan. Misalnya seorang
wanita yang ingin menikah baru dianggap dewasa jika sudah berumur minimal 16 tahun dan
laki-laki 19 tahun berdasarkan Pasal 7 UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
Undangundang No. 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bahwa hak pilih
pada pemilu legislatif maupun Pilpres dipersyaratkan minimal berusia 17 Tahun atau sudah
menikah, ( Ketentuan Umum Bab I Pasal 1 angka 25). Namun, lain bagi yang ingin
mencalonkan anggota legislatif, dipersyaratkan minimal berusia 21 tahun atau lebih.

Menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Seseorang


dapat melakukan hubungan kerja dan sudah diangap dewasa apabila telah berusia 18 tahun.
Menurut pasal 45 KUHPidana, seseorang dapat dipidana apabila melakukan tindak pidana
dan diangap telah dewasa apabila umur 16 tahun, tetapi apabila yang melakukan tindak
pidana tersebut anak yang masih di bawah umur 16 tahun menurut pasal 46 KUHPidana
hakim dapat memutuskan diantara tiga ketentuan: mengembalikan anak kepada orangtuanya,
menjadikannya anak dalam pemeliharaan negara atau menjatuhkan pidana dengan dikurangi
sepertiga dari ancaman hukuman maksimal untuk tindak pidana yang dilakakun dan hukuman
penjara khusus anak-anak.

13
Pasal 28 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 Tentang pemilihan umum. Hak
seseorang untuk memilih jika sudah mencapai umur 17 tahun dan atau sudah menikah pada
waktu pendaftaran pemilihan. Pasal 2 ayat (1) butir d PP Nomor 44 Tahun 1993 tentang
kenderaan dan pengemudi, bahwa usia untuk memperoleh Surat Izin Mengemudi adalah:
SIM C dan SIM D usia 16 tahun, SIM A usia 17 tahun, SIM B1 dan SIM B2 usian 20 tahun.
Passal 33 Keputusan presiden Nomor 52 Tahun 1977 Tentang Kependudukan, usia 17 tahun
atau sudah melangsungkan perkawinan wajib memiilki Kartu Tanda Penduduk.

Perspektif administrasi orang yang sudah dewasa adalah orang yang sudah berusia 17
tahun ke atas yang ditandai dan berhak memiliki Kartu Tanda Penduduk. Keberadaan Kartu
Tanda penduduk dengan sendirinya seacara hukum seseorang telah diakui sebagai orang yang
dewasa karena dianggap sudah bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan dapat melakukan
perbuatan hukum tertentu. Aspek legal hal ini merupakan tahap awal batas usia dewasa di
Indonesia dan jadi batas usia dasar dewasa di Indonesia. Sudut Undang-Undang No. 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-
Undang No. 35 Tahun 2014 batasan minimal dewasa usia 18 tahun, dan dibawahnya
termasuk kategori anak anak dan harus dilindungi dalam hal perlindungan anak. Berbeda
dengan Undang-undang Kependudukan yang menyatakan bahwa usia batas minimal dewasa
17 tahun.

C. Peraturan Hukum dalam Menentukan Kecakapan Hukum Seseorang

Pertanyaan mengenai kecakapan ini dapat muncul dikarenakan pengaturan yang ada
pada Pasal 1329 KUHPerdatayang berbunyi “setiap orang adalah cakap untuk membuat
perjanjian, kecuali jika ia ditentukan tidak cakap oleh undang-undang”. Berdasarkan
pengaturan yang ada didalam Pasal 1329 KUHPerdata itu, dipahami meskipun tiap orang
merupakan pendukung hak serta kewajiban, tapi tidak setiap orang cakap guna lakukan
tindakan hukum. Maka dari itu, dapat dipahami bahwa berdasarkan Pasal 1329 KUHPerdata,
tiap individu dinyatakan cakap dalam membuat perbuatan hukum, dengan pengecualian
apabila yang berkaitan dari UU diberi pernyataan tak cakap dalam lakukan tindakan hukum.

KUHPerdata pada dasarnya tidak mengatur mengenai kecakapan. Akan tetapi,


KUHPerdata mengatur mengenai ketidakcakapan. Ini diatur pada Pasal 1330 KUHPerdata
yang mengatur bahwa yang tak tidak cakap guna menciptakan persetujuan terdapat tiga
kriteria yakni anak yang masih belum menginjak dewasa, individu yang di taruh dibawah
pengampuan, serta wanita yang sudah melaksanakan perkawinan pada perihal-perihal yang

14
ditetapkan oleh UU serta secara umum seluruh individu yang bagi UU tidak boleh
menciptakan persetujuan khusus. Berdasarkan pengaturan mengenai ketidakcakapan yang
diberikan oleh Pasal 1330 KUHPerdata tersebut tampak bahwa terdapat tiga buah kondisi
yang berkaitan dengan seseorang yang dapat dinyatakan tidak cakap hukum.

Oleh karena itu, terhadap masing-masing kriteria seseorang yang tidak cakap guna
lakukan perbuatan hukum dapat dilakukan analisis terhadap masing-masing klasifikasi
tersebut. Selain pengaturan yang ada dalam KUHPerdata, terdapat pengaturan lain yang juga
menarik untuk membahas mengenai kecakapan. Pengaturan tersebut adalah sebagaimana
yang diatur pada UU No. 8 Tahun 2016 mengenai Penyandang Disabilitas (UU Penyandang
Disabilitas). Regulasi ini dapat dianggap cukup relevan dengan keadaan yang ada di masa ini
karena berkaitan dengan berbagai gangguan yang cukup sering muncul.

Berkaitan dengan hal ini, Pasal 1 angka 1 UU Penyandang Disabilitas memberikan


pengaturan jika penyandang disabilitas ialah tiap-tiap individu yang merasakan pembatasan
fisik, intelektual, mental, serta ataupun dengan periode yang Panjang yang pada saat
melakukan interaksi dengan lingkungan mampu alami rintangan serta hal yang tak mudah
dalam melakukan keikutsertaan dengan cara penuh serta efektif dengan masyarakat yang lain
yang berlandas atas kesetaraan hak. Apabila mengarah terhadap pengaturan tersebut, maka
tampak jelas bahwa ketentuan berkaitan dengan penyandang disabilitas tersebut akan sangat
relevan untuk dibahas lebih lanjut khususnya pada bagian orang yang tak cakap karena
berada di bawah pengampuan.

Pengaturan berhubungan kecakapan hukum pada dasarnya dapat ditemukan


berdasarkan pengaturan yang ada dalam Pasal 1330 KUHPerdata yang berbunyi “tidak cakap
untuk membuat perjanjian”. Meskipun ketentuan tersebut mengatur berkaitan dengan
ketidakcakapan, berdasarkan konstruksi hukum maka dapat dipahami berkaitan dengan
kecakapan hukum seseorang pula. Oleh karena itu, dapat ditemukan berkaitan dengan
klasifikasi individu-individu yang diputuskan tak cakap berdasarkan dengan pengaturan yang
berlandaskan atas Pasal 1330 KUHPerdata.

Klasifikasi pertama perihal individu yang tak cakap ialah anak yang belum dewasa.
Pengaturan mengenai ketidakdewasaan ada pada Pasal 330 KUHPerdata yang mengatur
perihal yang belum menginjak kedewasaan ialah mereka yang belum sampai ke usia yang
genap 21 tahun serta tak melaksanakan perkawinan saat sebelum itu. Apabila perkawinan
dilakukan pembubaran saat sebelum usia mereka genap 21 tahun, alhasil mereka tak lagi

15
memiliki status belum dewasa. Mereka yang belum menginjak kedewasaan serta tak dibawah
kuasa orangtua, ada dibawah perwalian atas dasar serta melalui cara semacam yang dimuat
pada bagian tiga, empat, lima, serta enam pada bab ini.

Penetapan perihal definisi julukan belum dewasa yang digunakan pada sejumlah
ketetapan UU pada masyarakat di Indonesia. Guna mehilangkan keraguan yang diakibatkan
dengan terdapatnya Ordonansi ditanggal 21 Desember 1971 pada S.1917- 738, alhasil
Ordonansi tersebut dilakukan pencabutan lagi, serta ditetapkan apabila peraturan-peraturan
yang memakai julukan ‘belum dewasa’, alhasil perihal masyarakat di Indonesia, yang
memakai julukan tersebut diartikan bahwa seluruh individu yang belum genap dua puluh satu
tahun serta yang saat sebelum itu tak melaksanakan perkawinan.

Yang kedua, apabila perkawinan tersebut dilakukan dibubarkan saat sebelum mereka
menginjak usia dua puluh satu, alhasil mereka tak lagi memiliki status belum dewasa. Yang
ketiga ialah pada definisi perkawinan tak masuk kedalam perkawinan oleh anak-anak.
Berdasarkan isi Pasal 330 KUHPerdata tersebut, diketahui bahwa pada dasarnya anak yang
belum memiliki kedewasaan ialah anak yang belum memiliki usia 21 tahun serta belum
pernah melangsungkan perkawinan. Lebih lanjut, mengenai pengaturan usia dewasa juga
sudah diatur sesuai peraturan perundang-undangan lainnya salah satunya UU No. 1 Tahun
1974 mengenai Perkawinan (UU Perkawinan).

Pada Pasal 47 UU Perkawinan diatur bahwa anak yang belum sampai ke usia 18 tahun
ataupun tidak pernah kawin terdapat di bawah kuasa orangtuanya pada saat mereka tak
dilakukan pencabutan kuasanya. Selain itu orangtua mewakilkan anak itu perihal seluruh
tindakan hukum baik di dalam ataupun di luar pengadilan.8 Pada Pasal 47 ayat (1) UU
Perkawinan dengan tegas dan jelas dipahami anak yang belum berumur 18 tahun ataupun
belum kawin harus tetap ada dibawah kuasa orangtuanya. Hal ini menandakan jikalau
seorang anak belum berumur 18 tahun dan belum kawin akan dianggap belum dewasa. Hal
serupa juga diatur di dalam Pasal 39 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2014 mengenai Perubahan
Atas UU No. 30 Tahun 2004 mengenai Jabatan Notaris (UU Jabatan Notaris) yang memuat
jika pengadap wajib melengkapi persyaratan yakni serendah-rendahnya memiliki usia 18
tahun ataupun sudah menikah serta cakap pada saat melaksanakan tindakan hukum.

Peraturan ini mengatur mengenai syarat seseorang untuk menghadap atau membuat
akta notaris. Sesuai Pasal 39 ayat (1) huruf a UU Jabatan Notaris secara tegas disebutkan
bahwa untuk menghadap atau membuat akta notaris sekurangkurangnya harus berumur 18

16
tahun atau sudah menikah. Sedangkan berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991
mengenau Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (untuk selanjutnya disebut KHI)
memiliki pengaturan yang sedikit berbeda dengan UU Perkawinan ataupun UU Jabatan
Notaris. Pengaturan ini ada pada Pasal 98 ayat 1 KHI yang mengatur jika Batasan umur anak
yang sanggup berdiri tegak secara individu ataupun dewasa ialah dua puluh satu tahun,
selama anak itu tak memiliki cacat fisik ataupun mental ataupun belum kawin.

Berdasarkan isi Pasal 98 ayat (1) KHI tersebut tampak bahwa mereka yang belum
dewasa ialah mereka yang belum memiliki umur dua puluh satu tahun ataupun belum
melaksanakan perkawinan.10 Bagi anak yang masih dibawah umur terhadapnya berlaku
kuasa orangtua. Hal ini diatur sesuai Pasal 45 UU Perkawinan yang mengatur bahwa
orangtua harus melakukan pemeliharaan serta memberikan didikan terhadap anaknya dengan
maksimal serta kewajiban orang tua yang dimiliki maksud pada ayat (1) bahwa pasal tersebut
sah hingga anak tersebut malaksanakan perkawinan ataupun mampu berdiri tegak secara
individu, kewajiban tersebut hendak berlaku secara terus menerus walaupun pernikahan
diantara orangtua telah putus.

Lebih lanjut, mengenai kecakapan seseorang khususnya berkaitan dengan orang yang
diberi anggapan tak cakap dikarenakan ada dibawah pengampuan perlu mengacu pada
pengaturan yang terdapat dalam UU Penyandang Disabilitas. Hal ini dikarenakan klasifikasi
yang dirujuk dalam Pasal 433 KUHPerdata cukup dekat dan relevan dengan klasifikasi
sebagaimana diatur berdasarkan UU Penyandang Disabilitas. Pasal 4 UU Penyandang
Disabilitas memberikan pengaturan mengenai ragam penyandang disabilitas, yakni dengan
mengatur bahwa Berbagai Macam Penyandang Disabilitas mencakup Penyandang Disabilitas
fisik; Penyandang Disabilitas intelektual; Penyandang Disabilitas mental; serta ataupun
Penyandang Disabilitas sensorik. Ragam Penyandang Disabilitas sebagai mana yang
dijelaskan dalam ayat (1) bisa dirasakan dengan cara tunggal, ganda, ataupun multi dengan
jangka waktu lama yang diputuskan dari tenaga medis selaras dengan ketetapan peraturan
perundang-undangan.

17
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Pengertian Cakap Menurut Hukum

Islam dengan tegas dan jelas pertanggung jawaban dalam perbuatan dimulai ketika
seseorang sampai pada usia akil baligh. Hal itu ditandai dengan Ihtilam, Tumbuh rambut
kemaluan, Usia tertentu, ditambah bagi perempuanmenstruasi, berkembangnya alatalat untuk
berketurunan, dan membesarnya buah dada. Apabila anak sudah mengalami salah satu tanda
di atas, maka ia telah baligh yang dengan itu ia telah sampai pada usia taklif dan cakap dalam
hukum.

2. Pengaturan Mengenai Batasan Dewasa Agar Seseorang Cakap Hukum Menurut


Hukum Positif Dan Hukum Islam

Anak dianggap dewasa dianggap mampu berbuat karena memiliki daya yuridis atas
kehendaknya sehingga dapat pula menentukan keadaan hukum bagi dirinya sendiri. Undang-
undang menyatakan bahwa anak yang telah dewasa dapat melakukan pernyataan
kehendaknya dalam suatu perbuatan hukum, misalnya membuat perjanjian, membuat surat
wasiat. Ketika hakim berpendapat seorang anak dinyatakan dewasa maka harus secara tegas
wewenang apa saja diberikan. Sehingga anak yang dewasa dapat melakukan perbuatan
hukum dan memilki kepastian dan perlindugan hukum. Perspektif peraturan perundang-
undangan yang berlaku di Indonesia batas kedewasaa anak tergantung perbuatan mana yang
dilakukan oleh anak, hal ini disebabkan tidak adanya keseragaman batas minimal usian anak
dewasa. Prinsipnya untuk melakukan perbuatan tersebut barakibat hukumatau tidak maka
sudut pandang yang dijadikan acuan adalah berbagai peraturan perundangundanagan yang
berlaku terkait dengan kedewasan seorang anak.

3. Peraturan Hukum dalam Menentukan Kecakapan Hukum Seseorang

Pada dasarnya tidak diatur mengenai kecakapan. Akan tetapi, pengaturan yang ada
merupakan pengaturan yang berkaitan dengan ketidakcakapan. Pengaturan tersebut
didasarkan pada ketentuan yang ada di dalam Pasal 1330 KUHPerdata. Berdasarkan Pasal
1330 KUHPerdata tersebut, terdapat tiga buah kondisi seseorang dapat disebut tidak cakap
hukum, yakni berada di bawah umur, berada di bawah pengampuan, ataupun merupakan

18
wanita bersuami. Berkaitan dengan pengaturan anak di bawah umur, terdapat beberapa
pengaturan mengenai umur minimal berkaitan dengan kedewasaan.

Akan tetapi, pada umumnya yang digunakan adalah 18 tahun. Lebih lanjut, terhadap
anak yang dibawah umur, terhadapnya dapat dilakukan kekuasaan orang tua atau perwalian.
Keadaan yang tidak cakap hukum lainnya merupakan wanita bersuami. Akan tetapi hal ini
sudah menjadi tidak relevan berdasarkan ketentuan yang diberikan oleh SEMA 3/1963 jo.
Pasal 31 UU Perkawinan.

Oleh karena itu, sudah tidak lagi relevan untuk membahas ketidakcakapan wanita
bersuami di masa ini. Keadaan terakhir terhadap orang yang tidak cakap hukum ialah
individu yang ada dibawah pengampuan. Untuk orang yang digolongkan gila, dungu, dan
mata gelap, maka mereka diwajibkan untuk ada dibawah pengampuan. Selain itu, bagi
individu yang diklasifikasikan sebagai boros, mereka dapat ada dibawah pengampuan.
Tentunya pada saat seseorang ada dibawah pengampuan, ia akan diurus oleh orang yang
disebut sebagai pengampu.

19
DAFTAR PUSTAKA

Efendi, Jonaedi dan Johnny Ibrahim. 2018. Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris.

Jakarta: Kencana.

Munir Fuadi, 2016. Konsep Hukum Perdata. Depok: Rajawali Pers.

Meliala, Djaja S. 2015. Perkembangan Hukum Perdata Tentang Orang Dan Keluarga.

Bandung: Nuansa Aulia.

Abdul Mu‘ti Muhammad Nawawi Al-Jawi, Syarah Safinatun Naja, Karya Toha Putra,

Semarang.

Abu abdillah bin abdi Salam allusy, 2010. Ibanah al-ahkam syarah bulugh al- maram, jilid

ketiga, Al Hidayah Publication, Kuala Lumpur.

Ahmad bin Ali biin Hajar al Asqalani asy Syafi‘I, Fathul Bari Syarh Shahihul Bukhari, Darul

Ma‘rifah, Beirut, 1379 H.

H.S. Salim dan Erlies Septiana Nurbani, 2014. Perbandingan Hukum Perdata (Comparative

Civil Law), Jakarta: Raja Garafindo Persada

HS, Salim, 2022. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta: Sinar Grafika.

Kansil, C. S. T. dan Christine S.T. Kansil, 2004. Modul Hukum Perdata: Termasuk Asas-

Asas Hukum Perdata. Jakarta: Pradnya Paramita.

Komariah, 2008. Hukum Perdata, Malang: Universsitas Muhammadiyah Malang.

Meliala, Djaja S., 2006. Perkembangan Hukum Perdata tentang Orang dan Hukum

Keluarga, Bandung: Nuansa Aulia

Simanjuntak, P.N.H., 2009. Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta: Djambatan,

20

Anda mungkin juga menyukai