Anda di halaman 1dari 15

PERADILAN KONEKSITAS DAN PEMERIKSAAN PERKARA DI

SIDANG PENGADILAN
Nurul Fuadha Siregar, Treissa Puspitasari, Ratu Rizkiyah Hisamasa, Rizal Aditia,
Zuwinda Herika Putri
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung
Jl. A.H Nasution No.105, Cibiru, Bandung

Abstrak
Peradilan koneksitas adalah peradilan yang mengatasi perkara yang melibatkan
pelaku tindak pidana dari lingkungan peradilan umum dan peradilan militer.
Peradilan ini bertujuan untuk menghindari impunitas atau kekebalan hukum bagi
tantara militer yang terlibat dalam tindak pidana dengan warga sipil. Peradilan
koneksitas diatur dalam Pasal 89 KUHAP dan Pasal 8 UU No. 31 Tahun 1997
tentang Peradilan Militer. Pemeriksaan perkara koneksitas di sidang pengadilan
dapat dilakukan oleh pengadilan umum atau pengadilan militer, tergantung pada
keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri
Kehakiman. Dalam pemeriksaan perkara koneksitas, susunan majelis hakim harus
mencerminkan keseimbangan antara hakim umum dan hakim militer. Perkara
koneksitas masih menghadapi berbagai kendala dan tantangan, seperti koordinasi
antarlembaga, penentuan forum peradilan, dan perlindungan hak asasi manusia.

Kata kunci: peradilan koneksitas, pemeriksaan perkara, tindak pidana, peradilan


umum, peradilan militer
Abstract:
Connected justice is a judicial process that handles cases involving criminal
offenders from the general and military judicial spheres. This judicial process
aims to avoid impunity or legal immunity for military members who are involved
in criminal acts with civilians. Connected justice is regulated in Article 89 of the
Criminal Procedure Code and Article 89 of Law No. 31 of 1997 concerning
Military Courts. The examination of connected cases in court can be conducted by
a general or military court, depending on the decision of the Minister of Defense
and Security with the approval of the Minister of Justice. In the examination of

1
connected cases, the composition of the panel of judges must reflect a balance
between general and military judges. Connected cases still face various obstacles
and challenges, such as inter-institutional coordination, determination of judicial
forums, and protection of human rights.
Keywords: connected justice, case examination, criminal act, general court,
military court

1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada esensinya yang namanya tindakan koneksitas itu, mesti dilakukan oleh
kedua belah pihak, baik dari segi kewenangan yang dimiliki oleh Peradilan militer
maupun kewenangan yang dimiliki Peradilan umum. Kesemuanya bisa dilihat dari
apa-apa yang menjadi objek sengketa, pantas kemudian ketikan objek sengketa
nya lebih condong kepada pelanggaran publik dan merugikan baik masyarakat
maupun negara tentunya mesti dibawa ke Peradilan umum. Akan tetapi ketika ada
suatu permasalahan hukum yang memang secara pelanggaran dilakukan oleh
orang-orang yang masuk kedalam lembaga militer, meskipun dengan seorang
warga civil sekalipun akan tetapi lebih condok kepada pelanggaran militer maka
mau tidak mau, mesti di lakukan tindak lanjut di Peradilan militer. Sebagian
dalam suatu perundang-undangan diatur Pasal 89 ayat ayat 1.

Lantas kemudian pada pasal tersebut telah jelas secara subtansi. Bahwasanya
perkara koneksitas yang ditegaskan didalam pasal tersebut yaitu suatu perkara
pidana yang memang dilakukan oleh kedua belah pihak. Baik berupa yang
dilakukan oleh militer maupun oleh warga cicil. Maka putusan ataupun
perkaranya messti di periksa di Peradilan umum. Akan tetapi ketika putusan
tersebut menurut keputusan menteri Pertahanan atau bahkan atas persetujuan
pengadilan umum mesti dilakukan di Peradilan militer maka seyogyanya perkara
tersebut di lakukan di Peradilan militer.

Konesitas pada prinsipnya merupakan suatu mekanisme yang ada dalam suatu
pelanggaran pidana. Yang dimana lembaga Peradilan umum atau pidana berhak
untuk mengurusi hal tersebut meskipun pada dasarnya kewenangan yang mesti

2
dilakukan terdapat oleh kedua belah pihak. Khususnya perbuatan tersebut yang
memang secara paralel telah ada dalam suatu kodifikasi hukum. Yang kemudian
melakukan suatu perbuatan yang dianggap melanggar norma, pidana, melukai
orang lain dll. Maka seyogyanya mesti dilakukan bentuk hukuman untuk mencari
keadilan yang sebenar-benarnya.

Adapun pembahasan secara rinci atas kodifikasi perundang-undangan terletak


pada pasal 88 ayat 1 KUHAP tadi bahwasanya apabila terjadi suatu peristiwa
hukum. Kemudian peristiwa tersebut dilakukan oleh warga civil atau masyarakat
biasa dengan aparatur negara atau tentara maka seyogyanya lembaga yang
mengurusi perkara tersebut terletak pada lembaga militer. Hal ihwal sejak awal
lembaga tersebut dibentuk untuk menertibkan perilaku yang tidak baik untuk
dilakukan oleh keamanan negara yakni oleh tentara tersebut.

Untuk lebih kompleks lagi dalam mengatur apakah perkara tersebut mesti
dilakukan oleh lembaga militer ataupun lembaga Peradilan umum terletak pada
pasal lain yakni pasal 90 KUHAP. Yakni untuk lebih jelas mengatur bagaimana
mekanisme yang mesti dilakukan ketika ada suatu pelanggaran yang dilakukan
oleh warga biasa dengan militer sebagaimana yang penulis buat dalam pemaparan
diatasa. Oleh karena itu akan diadakan suatu penelitian lebih lanjut bersamaan
dengan Jaksa arau bahwa oditur umum dan militer dan dilakukan penyelidikan
seyogyanya lembaga mana yang lebih tepat untuk mengurusi peristiwa hukum
tersebut. Maka dari itu penulis akan membahas secara komprehensif terkait
peradilan koneksitas ini kemudian penulis membuat makalah yang berjudul
“Peradilan Koneksitas dan Pemeriksaan Perkara di Sidang Pengadilan”.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu peradilan koneksitas dan proses pemeriksaan perkara di sidang
pengadilan?
2. Apa dasar hukum peradilan koneksitas?
3. Bagaimana proses penyidikan dalam perkara tindak pidana koneksitas?
4. Bagaimana prosedur dari pemeriksaan di persidangan?

3
5. Apa prinsip-prinsip di persidangan dan macam-macam putusan dalam
perkara pidana?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan artikel dari judul peradilan koneksitas dan pemeriksaan
perkara disidang pengadilan adalah untuk memberikan informasi tentang konsep,
dasar hukum, dan prosedur peradilan koneksitas di Indonesia, untuk menganalisis
berbagai permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam penerapan peradilan
koneksitas, khususnya terkait dengan koordinasi antarlembaga, penentuan forum
peradilan, dan perlindungan hak asasi manusia, untuk memberikan rekomendasi
dan saran untuk meningkatkan efektivitas dan keadilan peradilan koneksitas
sebagai salah satu upaya untuk menghapus impunitas anggota militer yang terlibat
dalam tindak pidana bersama warga sipil.

2. PEMBAHASAN
A. Peradilan Koneksitas dan Proses Pemeriksaan Perkara di Sidang
Pengadilan.
1. Peradilan Koneksitas

Koneksitas menurut bahasa latin berasal dari kata yaitu conexctio yang
artinya adanya hubungan dalam bertindak, menurut arti hukum yaitu perkara
pidana yg diperiksa pengadilan didalam wilayah peradilan umum kepada
mereka yg bersamaan berbuat tindak pidana termasuk dalam wilayah peradilan
umum dan peradilan militer, kecuali apabila kerugian dimunculkan oleh delik
tersebut di kepentingan militer, maka segera diadili oleh pihak yang berwajib
yaitu peradilan militer.

Yang dimaksud dari koneksitas di dalam KUHAP 89 adalah yurisdiksi


peradilan kepada tindak pidana yg dilakukan bersamaan oleh mereka yang
termasuk wilayah peradilan umum serta wilayah peradilan militer, dikoreksi dan
diadili di pengadilan dalam wilayah peradilan umum kecuali, apabila menurut
keputusan dari Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri
Kehakiman perkara itu harus dikoreksi dan diadili oleh pengadilan dalam wilayah
peradilan militer.

4
Peradilan koneksitas merupakan sistem peradilan yg di terapkan diatas satu
tindak pidana yakni antara tersangka terjadinya serta keikutsertaan penduduk sipil
dan anggota militer. Prof. Andi Hamzah mengatakan yg disebut dengan peradilan
koneksitas ialah prosedur peradilan terhadap tersangka pembuat delik yang
menyertakan orang sipil dengan orang militer.

Sehingga jelas bahwa di peradilan koneksitas menyqangkut paut delik


penyertaan yang dilakukan orang sipil bersamaan dengan militer. Prof Andi
Hamzah mengemukakan pendapat didalam peradilan koneksitas pasti terjadi
penyertaan antara penduduk sipil dengan orang militer.

Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa yang menjadi permasalahan


utama didalam peradilan koneksitas adalah tentang yuridiksi mana yang
berwenang untuk mengadili perkara yang melibatkan penyertaan antara penduduk
sipil dengan anggota militer.1

Cara Menetapkan wewenang Mengadili Perkara Tindak Pidana Koneksitas

Jaksa Tinggi dan Oditur Militer atau Oditur Militer Tinggi melakukan penelitian
hasil penyidikan.Pendapat dari penelitian bersama tersebut dituliskan didalam
berita acara yang ditandatangani oleh para pihak yang terlibat

Jika didalam penelitian ada kesesuaian pendapat mengenai pengadilan yang


berwenang mengadili perkara tersebut, maka dari itu hal tersebut dilporkan oleh
Jaksa Tinggi ke Jaksa Agung dan oleh Oditur Militer atau ( Oditur Militer
Tinggi ) ke Oditur Jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia ( ABRI ).

Jika didalam penelitian ada terdapat perbedaan pendapat antara Penuntut


Umum dan Oditur Militer atau Oditur Militer Tinggi, setiap dari mereka
melaporkan perbedaan pendapat itu secara tertulis, dengan menunjukkan berkas
perkara yang bersangkutan melalui Jaksa Tinggi kepada Jaksa Agung dan Oditur
Jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia ( ABRI)

1
Sumaryanti, Peradilan Koneksitas di Indonesia, Cetakan Ke-1, Bima Aksara,
Jakarta, 1987, hlm. 26.

5
Jaksa Agung serta oditur jenderal bermusyawarah mengambil keputusan
guna mengakhir adanya perbedaan pendapat.Dalam hal terjadi perbedaan
pendapat antara Jaksa Agung serta Odititur Jenderal, maka dari itu ndapat Jaksa
Agung yang menentukan.2

KUHAP telah menentukan cara yang berwenag didalam melaksanakan


penyidikan kepada perkara koneksitas. Aparat penyidik perkara koneksitas terdiri
mulai dari suatu “tim tetap”, unsur penyidik terdiri dari Polri, Polisi Militer, dan
oditur militer atau oditur militer tinggi.

Seluruh tim bekerja diselaraskan terhadap kekuasaan pada masing-masing


unsur. Jika ditinjaui segi wewenang dari setiap elemen tim maka tersangka sipil
diselidiki oleh unsur penyidik polri. Sedangkan tersangka pelaku anggota
TNI/Polri di selidiki oleh penyidik dari polisi militer dan oditur militer.

Jika perkara koneksitas diperikksa dan diaadili oleh peradilan umum, maka
susunan majelis hakimnya adalah terdiri dari ( 3 ) tiga orang.

a. Hakim ketua dari hakim PU/PN (pengadilan negeri).


b. Hakim anggota dipastikan seimbang antara daerah PU dengan lingkungan
PM.
c. Jika persoalan koneksitas diselidiki oleh wilayah Peradilan Militer, maka
susunan majelis hakimnya adalah hakim ketua dari wilayah PM, Hakim
anggota dipilih secara berbanding dari hakim peradilan umum dan
peradilan militer-hakim anggota yang dipilih dari wilayah peradilan umum
diberipangkat militer tituler.

Memberikan usulan hakim anggota adalah tugas dari KEMENHUMHAM


bersama dan KEMENHAN berlaku juga pada majelis hakim pada tingkat
banding.

Perkara pidana general yang dilaksanakan militer berdasarkan pada


keputusan penyelidikan dan penyidikan dan penuntutan yang ada di KUHAP.

2
https://heylawedu.id/blog/tindak-pidana-koneksitas diakses pada 26 mei 2023

6
Polisi militer terlibat dalam penyidikan perkara pidana umum yang
dilakukan oleh prajurit diterapkan jika polisi membutuhkan upaya paksa, Tetapi
tidak adanya batasan untuk penangkapan, penahanan, pemeriksaan, penyitaan dan
inspeksi surat.3

B. Dasar Hukum Peradilan Koneksitas

Koneksitas hanya dibentuk dalam kerangka transisi (amandemen KUHP


Militer atau adanya pembagian yang jelas antara KUHP dan KUHPM) dan akan
ditampung dalam aturan peralihan UU Peradilan Militer dan KUHAP. Kerangka
transisi berlaku sampai dipenuhinya syarat perubahan pada (1) UU No. 31 tahun
1997 tentang Peradilan Militer, dan (2) KUHPM selambat-lambatnya hingga akhir
Desember 2005.

C. Penyidikan dalam Perkara Tindak Pidana Koneksitas

Proses penyelidikan kasus koneksitas diatur oleh Pasal 89 ayat (2) KUHAP.
Pasal ini mengatur tentang tugas tim penyelidik yang berwenang dalam
menginvestigasi kasus koneksitas. Tim penyelidik terdiri dari beberapa elemen,
yaitu Penyidik POLRI, Polisi Militer, dan Oditur Militer atau Oditur Militer
Tinggi. Setiap unsur tim memiliki wewenang, sesuai dengan perannya. Misalnya,
3
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006,
hlm. 214

7
penyidik Polri akan memeriksa tersangka pelaku sipil, sementara penyidik Polisi
Militer dan Oditur Militer akan memeriksa tersangka pelaku yang merupakan
anggota TNI/Polri. Penetapan tim penyelidik untuk kasus koneksitas dilakukan
melalui kesepakatan menteri pertahanan dan keamanan serta menteri kehakiman secara
bersama-sama., yang kemudian dicatat dalam sebuah surat ketetapan.

Tim tetap penyidik kasus koneksitas juga dapat melibatkan penyidik pegawai
negeri sipil sesuai pada jenis delik yang terjadi. Jika kasus koneksitas termasuk
dalam kategori delik yang diatur oleh UU khusus, dengan syarat pidana spesifik
berdasarkan Pasal 284 ayat (2) KUHAP, kejaksaan atau pejabat penyidik yang
berwenang sesuai dengan peraturan perUUan juga akan menjadi anggota tetap
dalam tim penyidik.

Pasal 90 ayat (1) KUHAP kemudian mengatur bahwa penentuan apakah


persoalan pidana akan diperiksa oleh pengadilan militer atau pengadilan umum,
Penentuan tersebut dilakukan melalui evaluasi bersama oleh jaksa atau jaksa
tinggi dan oditur militer atau oditur militer tinggi, berdasarkan hasil. Hasil dari
evaluasi bersama tersebut direkam pada berita acara yang dijamin oleh semua
pihak sesuai dengan ketentuan pada ayat 2. Jika pada evaluasi tercapai
kesepakatan mengenai pengadilan yang memiliki kewenangan untuk mengadili
persoalan tersebut, maka jaksa atau jaksa tinggi akan melaporkan hal tersebut
pada jaksa agung, sementara oditur militer atau oditur militer tinggi akan
melaporkannya kepada oditur jenderal angkatan bersenjata Republik Indonesia.
Penetapan pengadilan yang memiliki wewenang untuk mengadili kasus pidana
koneksitas tergantung pada tingkat kerugian yang terjadi.

1. Tingkat kerugian yang timbul akibat delik tersebut lebih memprioritaskan


kepentingan umum, maka persoalan pidana tersebut hendaklah diperiksa oleh
pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, Dalam hal tersebut, perwira
yang menyerahkan persoalan akan lekas mengambil ketetapan mengenai
pelimpahan persoalan yang akan disampaikan lewat oditur militer atau oditur
militer tinggi kepada penuntut umum. Ketetapan tersebut akan digunakan
sebagai landasan untuk mengemukakan persoalan tersebut pada pengadilan
negeri yang memiliki yurisdiksi.

8
2. Apabila berlandaskan penilaian tersebut, tingkat kerugian yang disebabkan
akibat delik tersebut lebih memprioritaskan kepentingan militer, akibatnya
persoalan pidana tersebut mesti diperiksa lewat pengadilan di lingkungan
peradilan militer, Maka, penilaian akan menjadi landasan oditur jenderal
angkatan bersenjata republik indonesia mengajukan proposal kepada menteri
pertahanan dan keamanan. Setelah mendapatkan kesepakatan dari menteri
kehakiman, akan diterbitkan ketetapan oleh menteri pertahanan dan
keamanan yang menentukan bahwasannya persoalan pidana itu akan
disidangkan di pengadilan pada lingkungan peradilan militer.

1. Prosedur Pemeriksaan di Persidangan

Pelaksanaan penyelidikan pengadilan dalam tindakan koneksitas;4

1) Peradilan umum.
Tindakan peradilan diputuskan dalam persoalan pidana diputuskan dari
peradilan umum, maka prosesnya adalah :
a. Pelimpahan perkara
Perwira pelimpahan persoalan harus membuat sk pelimpahan persoalan yang
diterima dari oditur militer atau odm kepada penuntut umum, Dan dijadikan
pedoman mengungkapkan persoalan itu kepada PN yang berkuasa dijelaskan pada
pasal 91 ayat 1.
b. Berita acara pemeriksaan (BAP).
Penuntut umum yang mengemukakan persoalan, menjelaskan pada BAP
tersebut yang sudah dilimpahkan kepadanya. Perkara itu diadili dengan MH yang
terdiri dari tiga orang hakim. Pasal 94 ayat (1).
2) Peradilan militer.
Tindakan peradilan telah diputuskan bahwa persoalan pidana diadili oleh
pengadilan dalam lingkungan peradilan militer, maka langkah selanjutnya adalah;
a. Usul kepada Menhukam.
Perwira penyerah perkara segera membuat sk pelimpahan perkara yang
diberikan melalui oditur militer atau oditur militer tinggi kepada oditur jendral

4
Ibid 183

9
ABRI dan dijadikan pedoman gagasan mengemukakan persoalan kepada
menteri pertahanan dan keamanan, agar dengan persetujuan menteri kehakiman
diterbitkan putusan yang tetap. pasal 91 ayat (2).
b. Berita acara pemeriksaan;
Oditur militer melengkapi keterangan di berita acara yang dibentuk oleh tim,
Menjelaskan dalam berita acara itu sudah dikuasai olehnya. Pasal 92 ayat (2).
c. Pemeriksaan pengadilan.
Berdasarkan SK Menhankam, Perwira pelimpahan perkara atau jaksa tinggi
menyerahkan persoalan itu ke mahkamah militer atau mahkamah militer tinggi.
Pasal 91 ayat (3).

D. Prinsip-Prinsip di Persidangan dan Macam-Macam Putusan Dalam


Perkara Pidana
1. Prinsip-Prinsip Pemeriksaan di Persidangan

a. Prinsip yang paling pettama adalah prinsip erbuka untuk umum (Pasal 153 jis
Pasal 1 butir 11 KUHAP jis Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012). Selain
sidang terbuka ada juga sidang tertutup yang dijalankan sesuai ketentuan
tertentu.
Didalam sidang tertutup perlu diketahui ada beberapa pengecualian agar
supaya sidang tersebut tidak menimbulkan huru hara, dan juga masyarakat
yang terlampau banyak. Yang pada akhirnya akan membuat traumatik
tersendiri baik bagi korban maupun pelaku. Adapun sidang tertutup tersebut
dapat dilakukan pada perkata Pertama terdakwanya itu masih anak-anak dan
belum dewasa, dan kedua perkara yang diurusi merupakan perkara yang erat
kaitannya dengan kesusilaan dan kesopanan.
b. Kemudian pada prinsip ini diharapkan para pihak untuk menghadiri dalam
sidang peradilan maupun pemanggilan dan lupa juga bahwa Terdakwa mesti
hadir pada saat perkara diperiksa. Terdakwa boleh saja untuk tidak
menghadirinya akan tetapi dalam beberapa tindak pidana tertentu seperti pada
tindakan pidana berupa ekonomi, karena dikhawatirkan para pihak sibuk
untuk menghadiri persidangan, ada juga pada tindak pidana yang berkaitan
dengan terorisme dikhawatirkan pada saat persidangan akan mengalami ke

10
guncangan. Dan yang terakhir pada perkara tindak pidana Korporasi karena
yang dikhawatirkan dengan uang yang begitu banyak para pemangku hukum
bisa dengan mudahnha di cuci otak.
c. Kemudian terkait dengan pimpinan sidang:
a) Hakim pada persidangan merupakan ketua Majelis atau ketua dalam suatu
Peradilan.
b) Peranan yidiatur daripada hakim ini Pasal 217 KUHAP.
d. Pemeriksaan yang diadakan pada persidangan tentunya mesti secara
Langsung.
e. Keterangan terdakwa atau saksi mesti bebas tanpa intervensi dari siapapun.
f. Bahwa hak atau para pihak daripada peradilan mestilah didengar terlebih
dahulu.
g. Adapun untuk hakim harus memberikan sifat yang terbuka.
h. Surat putusan pemidanaan semoga termuat pada (Pasal 197 KUHAP)
a) Adapun secara mekanismenya dari awal memuat "DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA";
b) Untuk data diri daripada para pihak seperti terdakwa Mestilah termuat
dengan lengkap
c) Isi daripada dakwaan mestinya sesuai dengan apa yang telah menjadi
ketentuan.
d) Pertimbangan seyogyanya itu mesti termiat secara ringkas karena hal
tersebut menjadi dasar pada ketentuan kesalahan dari terdakwa .
e) Tuntutan pidana yang mestinya sesuai dengan ketentuan tuntutan.
f) Pasal peraturan perundang undangan tentunya mesti sesuai dengan apa
yang telah dituliskan pada kitan hukum acara pidana .
g) Perihal Hari dan tanggal diadakan pada musyawarah majelis dan juga
hakim tinggal.
h) Pernyataan kesalahan daripada terdakwa mesti sesuai dengan apa yang
menjadi kualifikasinya.
i) Ketentuan terkait pembiayaan mesti dituliskan secara jelas.
j) Keterangan yang seyogyanya dianggap surat atau bukti autentik yang
dianggap palsu mesti dibuktikan.

11
k) Diminta untuk membebaskan terdakwa yang sedang ditahan.
l) Ketika tidak terpenuhi poin-poin yang ada diatas maka akan batal demi
hukum

2. Macam-Macam Putusan dalam Perkara Pidana

1. Macam-macam yang pertama lebih bersifat formil yang dimana berkaitan


erat dengan kewenangan Pengadilan untuk memeriksa suatu perkara dan
juga memeriksa surat dakwaan. yang pada akhirnya menimbulkan suatu
keputusan batal demi hukum. Dan bisa saja dakwaan tersebut tidak akan
diterima. Terakhir bisa juga untuk menunda perkara dengan sementara
2. Kemudian macam putusan yang selanjutnya bersifat materil dan akhir
yaitu pertama bahwa seorang hakim tidak boleh memutuskan suatu
perkara dengan begitu saja tanpa adanya alat atau barang bukti minimal
dua alat bukti yang saha, dan kemudian terdakwa lah yang melakukan hal
tersebut. Kedua pembebasan seorang hakim mesti membebaskan apabila
barang bukti tidak cukup kuat untuk menghukum terdakwa. Dan yang
terakhir seorang hakim harus melepaskan terdakwa apabila yang menjadi
objek daripada perkara, bukan merupakan kewenangan daripada hukum
acara pidana. .

KESIMPULAN

Kesimpulan dari peradilan koneksitas dan pemeriksaan perkara disidang


pengadilan :

1. Peradilan koneksitas adalah peradilan yang menangani perkara yang


melibatkan pelaku tindak pidana dari lingkungan peradilan umum dan
peradilan militer.

12
2. Peradilan koneksitas bertujuan untuk menghindari impunitas atau kekebalan
hukum bagi anggota militer yang terlibat dalam tindak pidana bersama warga
sipil.
3. Peradilan koneksitas diatur dalam Pasal 89 KUHAP dan Pasal 8 UU No. 31
Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
4. Pemeriksaan perkara koneksitas di sidang pengadilan dapat dilakukan oleh
pengadilan umum atau pengadilan militer, tergantung pada keputusan Menteri
Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman.
5. Dalam pemeriksaan perkara koneksitas, susunan majelis hakim harus
mencerminkan keseimbangan antara hakim umum dan hakim militer.
6. Perkara koneksitas masih menghadapi berbagai kendala dan tantangan, seperti
koordinasi antarlembaga, penentuan forum peradilan, dan perlindungan hak
asasi manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, M. (2017). Peradilan Koneksitas dalam Penegakan Hukum di Indonesia.


Lex et Societatis, 5(2), 1-12.
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexetsocietatis/article/download/
15229/14789.

13
Lubis, M. M. (2021). Jika Polisi Korupsi, Lembaga Apa yang Berwenang
Menangani Kasusnya? Klinik Hukumonline.
https://www.hukumonline.com/klinik/a/polisi-korupsi-lt50269adb024b6/.

Furwoleksono, E. (2013). Hukum Acara Pidana. . surabaya: airlangga university


press.

Furwoleksono, E. (2013). hukum acara pidana. surabaya: airlangga university


press.

Furwoleksono, E. (2013hukum acara pidana). surabaya: surabaya airlangga


university press.

Furwoleksono, E. (2013). Hukum Acara Pidana. surabaya: Airlangga University


Press.

Andi, H. (t.thn.). Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Sumaryani. (1987). Peradilan Koneksitas di Indonesia. Jakarta: Bima Aksara.

Suyanto. (2018). Hukum Acara Pidana. Sidoarjo: Zifatama Jawara.

Prasetyo, R. E. (2015). Hukum Acara Pidana. Bandung: CV Pustaka Setia.

H. Suyanto, S. (2018). Hukum Acara Pidana. Sidoarjo: Zifatama Jawara.

Rizal, M. &. (2019). Penerapan Peradilan Koneksitas dalam Kasus Tindak


Pidana di Wilayah Hukum Pengadilan Militer I-01 Padang. Jurnal Ilmiah
Universitas Andalas, 1-11. http://scholar.unand.ac.id/39620/.

Sari, D. K. (2012). Hukum Acara Pidana dan Sistem Peradilan Pidana.


Universitas Islam Sultan Agung Semarang.
http://research.unissula.ac.id/file/publikasi/230315046/389HUKUM_ACA
RA_PIDANA.pdf.

Ramadhani, S. A. (2020). Koneksitas. Menurut Hukum.


https://menuruthukum.com/2020/09/22/koneksitas/.

https://heylawedu.id/blog/tindak-pidana-koneksitas diakses pada 26 Mei 2023

14
Pasal 22 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman yang Diperbaharui oleh Undang-undang
Nomor 35 Tahun 1999.

15

Anda mungkin juga menyukai