Anda di halaman 1dari 21

NAMA: Meliyani Turnip

NIM: 201081014
MATA KULIAH: Hukum Pidana Militer
TUGAS PRIBADI

1. Uraikan unsur-unsur Pasal 126 dan Pasal 127 KUHPM, kemudian apa persamaan dan
perbedaan ke dua Pasal tersebut, berikan contoh kasus.
Jawab:
PERSAMAAN DAN PERBEDAAN PASAL 126 KUHPM DAN PASAL 127 KUHPM.
a. Persamaan Pasal 126 KUHPM dan Pasal 127 KUHPM. Kedua pasal tersebut di atas
masuk dalam kategori tindak tidana penyalahgunaan jabatan (abuse of power) yang
dilakukan oleh seorang Militer selaku pejabat atau selaku atasan (Subyek) dan ada
orang orang lain yang bergerak ikut melakukan tindak pidananya tetapi tidak dapat
dimintai pertanggungjawaban karena mereka adalah Obyek yang tidak termasuk
dalam kategori yang ditentukan dalam Pasal 55 dan 56 KUHP. Apabila tidak terdapat
perbedaan level kepangkatan/jabatan maka pelaku lain selain pelaku utama dapat
dikategorikan turut serta atau turut membantu melakukan tindak pidana. Hal itulah
yang memasukkan ke dua pasal tersebut sebagai pasal pasal perlindungan terhadap
bawahan.
b. Perbedaan Pasal 126 KUHPM dan Pasal 127 KUHPM. Pada pasal 126 KUHPM
yang disalahgunakan adalah kekuasan, Obyeknya adalah seseorang dengan
pengertian bisa bawahan Militer dari Subyek/Pelaku atau Bukan Militer/Sipil yang
levelnya diperkirakan dibawah Pelaku/Subyek dimana Obyek menuruti keinginan
untuk melakukan yang dikehendaki Subyek adalah karena adanya pemaksaan baik
secara fisik, psikis atau pemaksaan verbal. Pada pasal 127 KUHPM yang
disalahgunakan adalah pengaruh sebagai atasan, Obyeknya adalah seorang Militer
yang merupakan bawahan dari Subyek/Pelaku dimana Obyek menuruti keinginan
untuk melakukan yang dikehendaki Subyek adalah karena adanya bujukan baik
secara fisik atau verbal dari Subyek/Pelaku.
Pasal 126 KUHP ancaman pidana maksimumnya 5 (lima) tahun sedangkan Pasal
127 KUHP ancaman pidananya 4 (empat) tahun, artinya Pasal 126 KUHP lebih berat
dari pada Pasal 127 KUHP karena unsur bersifat melawan hukumnya P “memaksa”.
Contoh Kasus 1 :
- Pada suatu hari Letkol B selaku Dantim Intel Sebuah Satuan mengumpulkan
anggotanya yaitu Lettu T, Serma R, Pelda D, Serma N, Serka S untuk breafing di
kantor dan dalam breafing tersebut Letkol B menyampaikan ada perintah menggalang
dana dalam rangka kunjungan Pimpinan, selanjutnya Letkol B menyapaikan akan
melaksanakan kegiatan pengamanan ballpres (pakaian bekas) ilegal dari Malaysia
memasuki perairan Indonesia dengan biaya pengawalan Rp. 200.000.000,
- (dua ratus juta rupiah). Letkol B juga memerintahkan Komadan Kapal V untuk
memback up Tim tersebut. - Pada tanggal yang ditentukan Letkol B dan Tim
mengawal KM. F dan KM. L yang membawa ballpres ilegal dari perairan Malaysia
memasuki perairan Indonesia dan menuju alur sungai ke gudang perusahaan swasta
PT. T.
- Perbuatan Letkol B terdapat cukup bukti telah melakukan tindak pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 127 KUHPM dengan alasan:
a. Subyek/Pelakunya adalah Letkol B selaku Dantim Intel.
b. Obyeknya Lettu T dkk yang merupakan bawahan langsung dari Letkol B di
Tim Intel Satu Kesatuan.
c. Unsur BHM-nya : Letlol B membujuk Lettu T dkk unt melakukan
pengawalan ballpres illegal dengan alasan mencari uang tambahan guna
mendukung kegiatan Pimpinan.
d. Akibat yang timbul, Negara rugi karena tidak ada bea masuk terhadap barang
yang masuk ke Indonesia.
Bahwa persamaan Pasal 126 KUHPM dan Pasal 127 KUHPM adalah dimaksudkan untuk
melindungi bawahan terhadap tindakan atasan/ Militer karena menjalankan perintah mereka.
Bahwa perbedaannya terletak pada Pasal 126 KUHPM unsur pemaksa yang bersifat melawan
hukumnya adalah memaksa seseorang sedangkan Pasal 127 KUHPM unsur pemaksa yang
bersifat melawan hukumnya adalah membujuk bawahan.
2. Jelaskan pengertian pengadilan militer dan sebutkan jenisnya, tulis dasar hukum
pengadilan militer sesuai peraturan perundang-undangan tertinggi sampai bawah, dan
bagimana pendapat saudara terkait status pengadilan militer di Indonesia.
Jawab:
Pengadilan Militer adalah merupakan badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman
dilingkungan peradilan militer. Pengadilan Militer ditetapkan dengan keputusan panglima.
Panglima yang dimaksud adalah Panglima TNI/Kapolri. Pengadilan Militer berdidang untuk
memeriksa dan memutus perkara pidana pada tingkat pertama dengan satu orang hakim
ketua, dua orang hakim anggota, dihadiri oleh satu orang oditur militer, dan dibantu oleh satu
orang Panitera.
Jenis-jenis Pengadilan Militer
a. Pengadilan Militer
Pengadilan Militer merupakan badan pelaksana kekuasaan kehakiman yang berada di
lingkungan Angkatan Bersenjata dan berpuncak pada Mahkamah Agung.
Pengadilan ini mempunyai wewenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pada
tingkat pertama dari golongan yang meliputi:

 Prajurit yang berpangkat kapten ke bawah atau menurut undang-undang disamakan


dengan prajurit, seperti prajurit siswa, prajurit mobilisan, dan orang yang diberi pangkat
titular
 Anggota suatu golongan, jawatan, badan yang disamakan dan dianggap sebagai rajurit
berdasarkan Undang-Undang

 Seseorang yang atas Keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri harus diadili oleh
suatu Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer

b. Pengadilan Militer Tinggi


Pengadilan Militer Tinggi bertugas mengadili perkara pidana yang diputus pada tingkat pertama
oleh Pengadilan Militer. Berikut adalah wewenang Pengadilan Militer Tinggi:

 Memeriksa dan memutus perkara pidana yang terdakwanya adalah prajurit atau salah satu
prajuritnya berpangkat mayor ke atas.

 Menurut undang-undang yang dipersamakan dengan prajurit seperti prajurit siswa,


prajurit mobilisan, dan orang yang diberi pangkat titular

 Anggota suatu golongan, jawatan, badan yang disamakan dan dianggap sebagai prajurit
berdasarkan undang-undang

c. Pengadilan Militer Utama


Berdasarkan Pasal 42 dan 43 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997, kewenangan
Pengadilan Militer Utama meliputi:
1. Memeriksa dan memutus pada tingkat banding perkara pidana dan sengketa Tata Usaha
Angkatan Bersenjata yang telah diputus pada tingkat pertamanya di Pengadilan Militer
Tinggi dan dimintakan banding.
2. Memeriksa dan memutus pada tingkat pertama dan terakhir semua sengketa tentang
wewenang yang mengadili:

 Antar-Pengadilan Militer yang berkedudukan di daerah hukum Pengadilan Militer Tinggi


yang berbeda

 Antar-Pengadilan Militer Tinggi

 Antara-Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan Militer.

3. Memutus perbedaan pendapat antara Papera dan Otmil tentang penyerahan atau diajukan
tidaknya suatu perkara ke pengadilan militer atau pengadilan umum.

d. Pengadilan Militer Pertempuran


Pengadilan Militer Pertempuran mempunyai wewenang, yaitu pengadilan tingkat pertama
dan terakhir dalam mengadili perkara pidana yang dilakukan oleh prajurit di daerah pertempuran.
Pengadilan ini berkedudukan di suatu medan pertempuran. Dengan demikian Pengadilan
Militer Pertempuran kerap berpindah-pindah mengikuti gerakan pasukan pada saat terjadi
pertempuran.
Keistimewaan dalam pengadilan militer pertempuran, yakni alat bukti tidak harus dibawa ke
dalam sidang pengadilan. Pada Pengadilan Militer Pertempuran, pendapat hakim dapat
digunakan sebagai alat bukti di persidangan.

Dasar hukum keberadaan Pengadilan Militer :

a. Undang-Undang Nomor 39  Tahun 1947 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Tentara/Militer (KUHPM).
b. Undang-Undang Nomor 8  Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
c. Surat Keputusan bersama Menhankam dan Menteri Kehakiman No.  KEP/
10/M/XII/1983 M.57.PR.09.03.th.1983  tanggal 29 Desember 1983 tentang Tim Tetap
Penyidikan Perkara Pidana Koneksitas.
d. Keputusan Pangab Nomor : KEP/01/P/I/1984 tanggal 20 Januari 1985 lampiran “K”
tentang organisasi dan prosedur Badan Pembinaan Hukum ABRI.
e. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1988 tentang Prajurit ABRI.
f. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
g. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No.14/1985 tentang
Mahkamah Agung.
h. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
i. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

3. Uraikan proses perkara koneksitas sertakan dasar hukumnya dan berikan contoh kasus
koneksitas
Jawab:
Perkara Militer disidangkan di Pengadilan Militer, namun jika perkara terdapat perkara
militer dan non militer maka hal tersebut disebut Perkara Koneksitas. Diatur dalam Pasal
89 ayat (1) KUHAP:

“ Apabila terjadi suatu tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh para subjek hukum
yang masuk ke dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan militer, maka lingkungan
peradilan yang mengadilinya adalah Lingkungan Peradilan Umum”.
Kecuali jika ada Keputusan MENHANKAM ( Menteri Pertahanan dan Keamanan ) yang
mengharuskan perkara koneksitas tersebut diperiksa dan diadil oleh Lingkungan Peradilan
Militer dan mendapat persetujuan dari Menteri Kehakiman.

PEMERIKSAAN KONEKSITAS:

PASAL 90 KUHAP:

a. Diukur dari segi kerugian yang ditimbulkan dari Tindak Pidana tersebut
b. Jika kerugian yang ditimbulkan lebih banyak diderita kalangan Militer, maka
pemeriksaan perkara koneksitas diperiksa dan diadili di Peradilan Militer
meskipun sebagian besar terdakwanya sipil.

PENYIDIKAN PERKARA KONEKSITAS

Diatur Pasal 89 Ayat (2) KUHAP : dilaksanakan oleh suatu tim tetap yang terdiri
dari penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Polisi Militer  Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia dan oditur militer atau oditur militer tinggi sesuai dengan wewenang mereka
masing-masing menurut hukum yang berlaku untuk penyidikan perkara pidana. 

Penentuan Peradilan Koneksitas Pasal 90

– diadakan penelitian bersama oleh jaksa atau jaksa tinggi dan oditur militer atau oditur militer
tinggi atas dasar hasil penyidikan tim tersebut pada Pasal 89 ayat (2).

– Pendapat dan penelitian bersama tersebut dituangkan dalam. berita acara yang ditandatangani
oleh para pihak.

– Jika dalam penelitian bersama itu terdapat persesuaian pendapat tentang pengadilan yang
berwenang mengadili perkara tersebut, maka hal itu dilaporkan oleh jaksa atau jaksa tinggi
kepada Jaksa Agung dan oleh oditur militer atau oditur militer tinggi kepada Oditur Jenideral
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. 
Persesuaian Pendapat:

Apabila perkara diajukan kepada Pengadilan Negeri , Penuntut Umum harus membuat
catatan pada berita acara pemeriksaan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik yang berisi
Penuntut Umum telah “Mengambil Alih “ Berita Aara PemeriksaanPenyidikan, hal ni diatur
dalam Pasal 92 Ayat (1)  KUHAP.

Perbedaan Pendapat:

Apabila dalam penelitian terdapat perbedaan pendapat antara penuntut umum dan oditur
militer atau oditur militer tinggi, mereka masing-masing melaporkan tentang perbedaan pendapat
itu secara tertulis, dengan disertai berkas perkara yang bersangkutan melalui jaksa tinggi, kepada
Jaksa Agung dan kepada Oditur Jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.

Jaksa Agung dan Oditur Jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia


bermusyawarah untuk mengambil keputusan guna  mengakhiri perbedaan pendapat . Dalam hal
terjadi perbedaan pendapat antara Jaksa Agung dan Oditur Jenderal Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia, pendapat Jaksa Agung yang menentukan. 

Susunan Majelis Koneksitas

Apabla perkara koneksitas diperiksa di Peradilan Umum :

– Sekurang-kurangnya  terdiri dari 3 orang Hakim,

– majelis hakim terdiri dari hakim ketua dari lingkungan peradilan umum dan hakim anggota
masing-masing ditetapkan dari peradilan umum dan peradilan militer secara berimbang.

Apabla perkara koneksitas diperiksa di Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer :


 Majelis Hakim terdiri dari :  hakim ketua dari lingkungan peradilan militer dan
hakim anggota secara berimbang dari masing-masing lingkungan peradilan militer
dan dari peradilan umum yang diberi pangkat militer tituler.
Contoh Kasus:
Kasus penembakan di Cengkareng yang dilakukan oleh Bripka CS merupakan salah satu contoh
kasus yang mana tersangka dijerat pasal 338 di KUHP. Hal ini disebabkan karena Bripka CS
menewaskan tiga orang dan salah satunya di antaranya adalah anggota TNI AD. Akibatnya, ia
harus diproses secara hukum dan kode etik.
4. Sebutkan dan jelaskan pengertian asas-asas organisasi militer.
Jawab:

Asas-Asas Hukum
Ada beberapa asas-asas hukum yang berlaku di Indonesia, baik asas hukum umum,
asas hukum khusus, serta ragam jenis asas hukum lainnya, sebagao sebagai berikut.

1. Asas Hukum Umum


Asas hukum umum merupakan asas hukum yang berhubungan dengan keseluruhan
bidang hukum. Yang termasuk asas hukum antara lain adalah asas lex posteriori derogat legi
priori, asas lex speciali derogat legi generali, serta asas lex superior derogat legi inferior.

a. Asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori, yang berarti peraturan yang baru akan
menghapus peraturan yang lama. Contohnya adalah UU No. 13 Tahun 1965 diganti
dengan UU No.14 Tahun 1992 tentang UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
b. Asas Lex Speciali Derogat Legi Generali, yang berarti peraturan yang lebih khusus akan
mengesampingkan peraturan yang bersifat lebih umum. Contohnya adalah KUH Dagang
dapat mengesampingkan KUH perdata dalam hal perdagangan.
c. Asas Lex Superior Derogat Legi Inferior, yang berarti peraturan yang lebih tinggi akan
mengesampingkan peraturan yang lebih rendah. Contohnya adalah pada kasus pasal 7
UU No. 10 Tahun 2004.
2. Asas Hukum Khusus
Asas hukum khusus adalah asas hukum yang berlaku dalam lapangan hukum tertentu dan
tidak berlaku secara keseluruhan. Yang termasuk asas hukum khusus contohnya antara lain
adalah :

a. Asas Pacta Sunt Servanda, yang berarti setiap janji itu mengikat, berlaku pada hukum
perdata.
b. Asas Konsensualisme, berlaku pada hukum perdata.
c. Asas Presumption of Innocence (asas praduga tak bersalah), berlaku pada hukum pidana.
d. Asas Legalitas, berlaku pada hukum pidana
5. Proses beracara dalam pengadilan militer ada proses penyidikan, penyerahan perkara
dan penuntutan, proses pemeriksaan di sidang pengadilan, pelaksanaan putusan,
pertanyaannya jelaskan tahapan satu proses yang mahasiswa/wi yang dimengerti.
Jawab:
Peradilan Militer merupakan pelaksanaan kekuasaan kehakiman di lingkungan Angkatan
Bersenjata untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan memperhatikan kepentingan
penyelenggaraan pertahanan keamanan Negara.
Alasan adanya pengadilan militer :
1. aturan mengenai peradilan militer sudah tidak sesuai dengan UU kekuasaan kehakiman
2. peradilan militer merupakan pelaksana kekuasana kehakiman dilingkungan angkatan militer
( psl 8 UU No 31/97 )
Adapun proses peradilan pidana militer
1. Penyidikan
Yaitu terdiri dari atasan yang Berhak Menghukum, Polisi Militer, dan Oditur (pasal 69 UU
No 31/1997). Seorang Penyidik berwenang melakukan penangkapan. Penangkapan terhadap
Tersangka di luar tempat kedudukan Atasan yang Berhak Menghukum yang langsung
membawahkannya dapat dilakukan oleh penyidik setempat di tempat Tersangka ditemukan,
berdasarkan permintaan dari Penyidik yang menangani perkaranya. Pelaksanaan penangkapan
dilakukan dengan surat perintah (pasal 75 UU No 31/1997)
a. Untuk kepentingan penyidikan, Penyidik dapat melakukan penggeledahan
rumah, penggeledahan pakaian, atau penggeledahan badan dan penyitaan.
Pelaksanaan penyitaan dilakukan dengan surat perintah.
Dalam penyelidikan, Penyidik berhak membuka, memeriksa, dan menyita
surat lain yang dikirim melalui kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau
perusahaan komunikasi atau jawatan atau pengangkutan apabila benda
tersebut dicurigai dengan alasan yang kuat mempunyai hubungan dengan
perkara pidana yang sedang diperiksa (pasal 96 UU No 31/1997)
2. Penyerahan Perkara
Perwira yang menyerahkan perkara adalah Panglima, Kepala Staf Tentara
Nasional Indonesia Angkatan Darat, Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia
Angkatan Laut, Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara, dan
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Panglima selaku Perwira Penyerah Perkara tertinggi melakukan
pengawasan dan pengendalian penggunaan wewenang penyerahan perkara
oleh Perwira Penyerah Perkara lainnya. Berdasarkan pendapat hukum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 ayat (1), Perwira Penyerah Perkara
mengeluarkan:
a. Surat Keputusan Penyerahan Perkara;
b. Surat Keputusan tentang Penyelesaian menurut Hukum Disiplin Prajurit;
atau
c. Surat Keputusan Penutupan Perkara demi kepentingan hukum.
3. Pemeriksaan di Sidang Pengadilan
a. Persiapan Persidangan
Dilakukan sesudah Pengadilan Militer/Pengadilan Militer Tinggi menerima
pelimpahan berkas perkara dari Oditurat Militer/Oditurat Militer Tinggi,
Kepala Pengadilan Militer/Kepala Pengadilan Militer Tinggi segera
mempelajarinya, apakah perkara itu termasuk wewenang Pengadilan yang
dipimpinnya.
b. Penahanan
Dalam pemeriksaan sidang tingkat pertama pada Pengadilan
Militer/Pengadilan Militer Tinggi, Hakim Ketua berwenang:
1) Apabila Terdakwa berada dalam tahanan sementara, wajib menetapkan
apakah Terdakwa tetap ditahan atau dikeluarkan dari tahanan sementara;
2) Guna kepentingan pemeriksaan, mengeluarkan perintah untuk menahan
Terdakwa paling lama 30 ( tiga puluh) hari.
c. Pemanggilan
Oditur mengeluarkan surat panggilan kepada Terdakwa dan Saksi yang
memuat hari, tanggal, waktu, tempat sidang, dan untuk perkara apa mereka
dipanggil. Surat panggilan harus sudah diterima oleh Terdakwa atau Saksi
paling lambat 3 (tiga) hari sebelum sidang dimulai. Apabila yang dipanggil di
luar negeri, pemanggilan dilakukan melalui perwakilan Republik Indonesia di
tempat orang yang dipanggil itu biasa berdiam.
d. Pemeriksaan dan Pembuktian
Dalam pemeriksaan Terdakwa yang tidak ditahan dan tidak hadir pada
hari sidang yang sudah ditetapkan, Hakim Ketua meneliti apakah Terdakwa
sudah dipanggil secara sah. Jika terdakwa dipanggil secara tidak sah, Hakim
Ketua menunda persidangan dan memerintahkan supaya Terdakwa dipanggil
lagi untuk hadir pada hari sidang berikutnya. Terdakwa ternyata sudah
dipanggil secara sah tetapi tidak datang di sidang tanpa alasan yang sah,
Hakim Ketua memerintahkan supaya Terdakwa dihadirkan secara paksa pada
sidang berikutnya.
Apabila Terdakwa lebih dari 1 (satu) orang dan tidak semua hadir pada
hari sidang, pemeriksaan terhadap yang hadir dapat dilangsungkan. Panitera
mencatat laporan dari Oditur mengenai pelaksanaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dan ayat (4) kemudian menyampaikannya kepada Hakim Ketua
(UU No. 31 tahun 1997 pasal 142)

a. Pemeriksaan Terdakwa :
1) Pemeriksaan Terdakwa dimulai setelah semua Saksi selesai didengar
keterangannya.
2) Apabila dalam suatu perkara terdapat lebih dari seorang Terdakwa
maka Hakim Ketua dapat mengaturnya menurut cara yang dipandangnya
baik, yaitu :
a) Memeriksa Terdakwa seorang demi seorang dengan dihadiri oleh
Terdakwa lainnya,
b) Memeriksa seorang Terdakwa tanpa dihadiri Terdakwa lainnya,
Terdakwa yang tidak sedang didengar keterangannya diperintahkan untuk
dibawa keluar sidang.
3) Hakim Ketua menanyakan kepada Terdakwa segala hal yang dipandang
perlu untuk memperoleh kebenaran materiil.
4) Setelah Hakim Ketua selesai mengajukan pertanyaan-pertanyaan, ia
memberikan kesem-patan kepada Hakim-Hakim Anggota, Oditur
Penuntut Umum dan Penasihat Hukum secara berturut-turut untuk
mengajukan pertanyaan kepada Terdakwa.
5) Hakim Ketua menjaga supaya tidak diajukan pertanyaan yang tidak
dibenarkan kepada Terdakwa seperti:
a) Pertanyaan yang menjerat ;
b) Pertanyaan yang bersifat sugestif ;
c) Pertanyaan yang tidak ada hubungannya dengan perkara yang
bersangkutan.
d) Pertanyaan yang tidak patut.
Pemeriksaan barang bukti :
1. Setelah pemeriksaan semuai Saksi dan Terdakwa selesai,
1. Hakim Ketua memperlihatkan kepada Terdakwa semua barang
bukti dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenal benda itu
serta menanyakan sangkut paut benda itu dengan perkara untuk
memperoleh kejelasan tentang peristiwanya.
2. Bila dipandang perlu barang bukti dapat juga diperlihatkan
sebelum pemeriksaan semua Saksi dan Terdakwa selesai.
3. Jika ada sangkut pautnya dengan Saksi tertentu, barang bukti
itu diperlihatkan juga kepada Saksi yang bersangkutan.
Berkenaan dengan alat bukti yang sah ialah:
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. keterangan terdakwa;
d. surat; dan
e. petunjuk.
Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
e. Penuntutan dan Pembelaan
Sesudah pemeriksaan dinyatakan selesai, Oditur mengajukan
tuntutan pidana.
f. Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Rugi
Apabila suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di
dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh Pengadilan
Militer/Pengadilan Militer Tinggi menimbulkan kerugian bagi
orang lain, Hakim Ketua atas permintaan orang itu dapat
menetapkan untuk menggabungkan perkargugatan ganti rugi k
epada perkara pidana itu.
g. Musyawarah dan Putusan
Sesudah pemeriksaan dinyatakan ditutup sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 182 ayat (5), Hakim mengadakan
musyawarah secara tertutup dan rahasia. Pelaksanaan
musayawarah didasarkan pada surat dakwaan dan segala sesuatu
yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang.Pada dasarnya
putusan dalam musyawarah Majelis Hakim merupakan hasil
permufakatan secara bulat. Dalam pelaksanaan musyawarah
Majelis Hakim, Hakim Anggota yang termuda (dalam
kepangkatan) memberikan pandangan, pendapat dan saran
urutan pertama disusul oleh Hakim Anggota yang lain, dan
Hakim Ketua memberikan pandangan, pendapat dan saran
urutan terakhir. Pelaksanaan pengambilan putusan dalam
musyawarah Majelis Hakim dicatat dalam Buku Himpunan
Putusan. Apabila tidak terdapat mufakat bulat, pendapat yang
berbeda dari salah seorang Hakim Majelis dicatat dalam Berita
Acara Musyawarah Majelis Hakim.
B. Tata Cara Tuntutan Pidana (Requisitoir) dan Pembelaan
(Pledoi):
Sebagaimana di singgung di atas dalam tuntutan dan
pembelaan prosedurnya adalah sebagai berikut:
1. Tuntutan (Requisitoir), Pledooi dan duplik disiapkan dalam
bentuk tertulis.
2. Apabila Hakim Ketua berpendapat bahwa pemeriksan
terhadap Terdakwa, Saksi-saksi, barang-barang bukti dan alat-
alat bukti lainnya telah selesai maka Hakim Ketua menyatakan
pemeriksaan selesai kemudian memberi kesempatan kepada
Oditur Penuntut Umum untuk membacakan tuntutannya.
3. Apabila Oditur Penuntut Umum belum siap, sidang ditunda
untuk memberikan waktu kepada Oditur Penuntut Umum untuk
menyusun tuntutan.
4. Oditur Penuntut Umum membacakan tuntutannya dengan
sikap berdiri, kecuali jika Hakim Ketua menentukan lain. Pada
waktu Oditur Penuntut Umum membacakan tuntutannya
Terdakwa berdiri dengan sikap sempurna, Terdakwa berdiri
dengan sikap sempurna menghadap Hakim Ketua. Setelah
selesai membacakan tuntutan Oditur Penuntut Umum
menyerahkan kepada Hakim Ketua, Terdakwa atau Penasihat
Hukumnya masing-masing satu eksemplar.
5. Hakim Ketua memberikan kesempatan kepada Terdakwa dan
atau Penasihat Hukum untuk menanggapi tuntutan Oditur.
Pembelaan dapat dibacakan oleh Terdakwa dan Penasihat
Hukum secara sendiri-sendiri atau hanya oleh Penasihat Hukum
saja. Setelah selesai dibacakan naskah pembelaan (Pledooi)
diserahkan kepada Hakim Ketua dan Oditur Penuntut Umum
masing-masing satu eksemplar, pembacaan pledooi dibacakan
dengan sikap berdiri, apabila dibacakan oleh Terdakwa ia berdiri
di sebelah kanan kursi Penasihat Hukum.
6. Terhadap pembelaan dari Terdakwa dan atau Penasihat
Hukum, Oditur Penuntut Umum dapat mengajukan jawaban
(replik) selanjutnya Terdakwa atau Penasihat Hukum dapat me-
ngajukan duplik.
7. Dalam hal mengajukan pidana berdasarkan asas kesatuan
penuntutan terutama mengenai perkara berat, sayogyanya Oditur
Penuntut Umum mengadakan konsultasi dengan Kabaotmil atau
Orjen TNI sebelum tuntutan dalam sidang.
C. Putusan Pengadilan
1. Apabila Majelis Hakim berpendapat bahwa Terdakwa terbukti
bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya,
maka Pengadilan menjatuhkan pidana.
2. Apabila ternyata Terdakwa tidak terbukti bersalah
sebagaimana didakwakan kepadanya, maka Pengadilan memutus
bebas dari segala dakwaan. Apabila ternyata Terdakwa terbukti
bersalah tetapi tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada
Terdakwa, maka Pengadilan memutus lepas dari segala tuntutan
hukum.
3. Putusan Pengadilan harus diucapkan dalam sidang yang
terbuka untuk umum. Pada waktu putusan
pemidanaan/pembebasan/pelepasan diucapkan, harus diikuti
dengan ketukan palu satu kali.
4. Besarnya biaya perkara yang dibebankan kepada Terdakwa
hendaknya memperhatikan Surat Edaran Mahkamah Agung RI
No.KMA/155/X/1981 tanggal 19 Oktober 1981.
5. Apabila Terdakwa diputus bebas dari segala dakwaan atau
lepas dari segala tuntutan hukum, biaya perkara dibebankan
kepada negara dengan kata lain Terdakwa tidak dipungut biaya
perkara.
6. Dalam hal Terdakwa dan atau Oditur Penuntut Umum
mengajukan permohonan banding, Panitera membuat Akte
permohonan banding.
Apabila sidang Pengadilan akan ditutup karena pemeriksaan dan
proses pengadilan telah selesai, Hakim Ketua mengucapkan
putusan.
7. Petikan putusan diberikan kepada Terdakwa atau Penasihat
Hukumnya segera setelah putusan dijatuhkan. Salinan putusan
diberikan kepada Oditur sedangkan kepada Terdakwa atau
Penasihat Hukumnya diberikan atas permintaan. Petikan putusan
dan salinan putusan dikirimkan kepada Babinkum TNI dan
Kadilmiltama pada kesempatan pertama.
8. Panitera membuat Berita Acara Sidang yang memuat segala
kejadian di sidang yang ber-hubungan dengan pemeriksaan itu,
juga memuat hal-hal yang penting dari keterangan Terdakwa,
saksi dan ahli, kecuali jika Hakim ketua menyatakan bahwa ini
cukup ditunjuk kepada keterangan dalam berita acara
pemeriksaan permulaan dengan menyebutkan perbedaan yang
terdapat antara yang satu dengan yang lainnya.
9. Setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum
tetap, Panitera membuat Akte putusan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, disampaikan kepada Terdakwa dan
Oditur serta yang berkepentingan. Akte tersebut dan petikan
putusan merupakan dasar pelaksanaan putusan Hakim.
Pelaksanaan Putusan Pengadilan
a. Bahwa putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan
hukum tetap, pelaksanaannya dilakukan oleh Oditur yang untuk
itu Panitera mengirimkan salinan putusan kepadanya.
b. Mendahului salinan putusan sebagaimana yang dimaksud
diatas, Oditur melaksananakan putusan pengadilan berdasarkan
petikan putusan.
c. Pelaksanaan pidana mati dilakukan menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak dimuka
umum.
d. Pidana penjara atau kurungan dilaksanakan di Lembaga
Pemasyarakatan Militer atau ditempat lain menurut ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
e. Dalam hal Terpidana dipidana penjara atau kurungan dan
kemudian dijatuhi pidana penjara atau sejenis, sebelum
menjalani pidana yang dijatuhkan terdahulu, pidana tersebut
mulai dijalan kan dengan pidana yang dijatuhkan terlebih
dahulu.
f. Apabila Terpidana dipecat dari dinas keprajuritan, pidana
(sudah BHT) sebagaimana di-maksud diatas dilaksanakan di
Lembaga Pemasyarakatan Umum.
g. Dalam hal pengadilan menjatuhkan pidana bersyarat,
pelaksanaannya dilakukan dengan pengawasan serta pengamatan
yang sungguh-sungguh dan menurut ketentuan Undang-undang
Nomor 31 tahun 1997.
Tahapan Suatu Perkara Dalam Proses Penanganan Perkara
a. PENYIDIK DILINGKUNGAN TNI
1.    ANKUM (ATASAN YANG BERHAK MENGHUKUM)
2.     POLISI MILITER
3.     ODITUR

ADA 4 TAHAP : DALAM PROSES PENYELESAIAN PERKARA DI PERADILAN


MILITER

1. TAHAP PENYIDIKAN
2. TAHAP PENUNTUTAN
3. TAHAP PEMERIKSAAN DI PERSIDANGAN
4. TAHAP PELAKSANAAN PUTUSAN

1.    TAHAP PENYIDIKAN.

SUATU PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN DIMULAI DARI ADANYA LAPORAN


POLISI.

a.        LAPORAN POLISI KEPADA POLISI MILITER MEMUAT

1. KETERANGAN YANG JELAS TENTANG WAKTU DAN TEMPAT KEJADIAN.


2. URAIAN KEJADIAN.
3. AKIBAT KEJADIAN (MISAL : MATI, LUKA-LUKA, KEKERASAN ATAU
KEHILANGAN BARANG).
4. NAMA, UMUR, PEKERJAAN SERTA ALAMAT TERSANGKA DAN PARA SAKSI.

b.        SYARAT LAPORAN POLISI

1) KEJADIAN YANG DILAPORKAN HARUS MERUPAKAN SUATU TINDAK


PIDANA.
2) FAKTA PERBUATAN TERSANGKA HARUS MEMENUHI UNSUR-UNSUR
TINDAK PIDANA SEBAGAIMANA DIATUR DAN DIANCAM DENGAN
PIDANA DALAM PERUNDANG-UNDANG PIDANA.
3) TERSANGKA ADALAH SEORANG ATAU LEBIH YANG PADA WAKTU
MELAKUKAN TINDAK PIDANA ADALAH ANGGOTA TNI ATAU YANG
DISAMAKAN.

c.         DALAM HAL TINDAK PIDANA YANG DILAPORKAN MERUPAKAN DELIK


ADUAN MAKA DISAMPING LAPORAN POLISI HARUS DIBUAT JUGA PENGADUAN
DARI PIHAK YANG DIRUGIKAN.

a.        PEMANGGILAN KEPADA TERSANGKA DAN SAKSI.

1) PEMANGGILAN KEPADA TERSANGKA DAN SAKSI ANGGOTA TNI


DILAKUKAN DENGAN SURAT PANGGILAN YANG DIALAMATKAN
KEPADA ANKUMNYA DENGAN PERMOHONAN SUPAYA
DIPERINTAHKAN KEPADA YANG BERSANGKUTAN UNTUK
MEMENUHI PANGGILAN.
2) PEMANGGILAN KEPADA SAKSU BUKAN ANGGOTA TNI DILAKUKAN
DENGAN SURAT PANGGILAN DAN DISAMPAIKAN KEPADA YANG
BERSANGKUTAN DITEMPAT TINGGALNYA / APABILA ALAMAT
TIDAK JELAS BISA MELALUI KELURAHAN / APABILA SAKSI
KARYAWAN BISA MELALUI INSTANSINYA.

b.         PEMERIKSAAN TERSANGKA DAN SAKSI.

PEMERIKSAAN TERSANGKA DAN SAKSI DILAKUKAN OLEH PENYIDIK


UNTUK MEMPEROLEH KETERANGAN-KETERANGAN TENTANG SUATU
KASUS/PERISTIWA YANG DIDUGA MERUPAKAN SUATU TINDAK PIDANA.

c.     PANANGKAPAN DAN PENAHANAN:

1)    PENANGKAPAN PENYIDIK BERWENANG MELAKUKAN PANGKAPAN.

a. PENANGKAPAN TERSANGKA DILUAR DAERAH HUKUM ANKUMNYA


DAPAT DILAKUKAN OLEH PENYIDIK SETEMPAT DI TEMPAT TERSANGKA
DILAPORKAN BERDASARKAN PERMINTAAN PENYIDIK YANG MENANGANI
PERKARANYA, DENGAN SURAT PERINTAH.
b. PERINTAH PANANGKAPAN BERDASARKAN BUKTI PERMULAAN YANG
CUKUP.
c. PELAKU PELANGGARAN TIDAK DAPAT DITANGKAP KECUALI APABILA
SUDAH DIPANGGIL 2 KALI SECARA SAH TIDAK MEMENUHI PANGGILAN
TANPA ALASAN YAN SAH.
d. PENANGKAPAN DILAKUKAN PALING LAMA 1 HARI.
e. PELAKSANAAN PENANGKAPAN DILAKUKAN OLEH PENYIDIK, ATAU POM
ATAU ANGGOTA ANKUM YANG BERSANGKUTAN DENGAN
MEMPERLIHATKAN SURAT PERINTAH PENANGKAPAN YANG
MENCANTMKAN IDENTITAS TERSANGKA ALASAN PENANGKAPAN,
URAIAN SINGKAT PERKARA DAN TEMPAT IA DIPERIKSA.
f. DALAM HAL TERTANGKAP TANGAN PENANGKAPAN TANPA SURAT
PERINTAH, DENGAN KETENTUAN HARUS SEGERA MENYERAHKAN
TERSANGKA DAN BARANG BUKTI  (BILA ADA) KEPADA PENYIDIK.
g. TEMBUSAN SURAT PERINTAH DIBERIKAN KELUARGANYA DAN PENYIDIK
SEGERA MELAPORKAN HAL ITU KEPADA ANKUMNYA.

2)    PENAHANAN

a)  ANKUM BERWENANG MENAHAN TERSANGKA PALING LAMA 20 HARI DENGAN


SURAT KEPUTUSAN.

b)      APABILA DPERLUKAN UNTUK KEPENTINGAN PENYIDIKAN PAPERA


BERWENANG MEMPERPANJANG PENAHANAN UNTUK SETIAP KALI PALING
LAMA 30 HARI DENGAN SURAT KEPUTUSAN DAN PALING LAMA 180 HARI.
c)      TIDAK MENUTUP KEMUNGKINAN MELEPAS TERSANGKA SEBELUM MASA
PENAHANAN TERSEBUT a) DAN b) DIATAS HABIS, NAMUN SETELAH 200 HARI
TERSANGKA HARUS DIBEBASKAN DEMI HUKUM.

SYARAT PENAHANAN

(a) TERDAPAT BUKTI YANG CUKUP DAN DIKHAWATIRKAN TERSANGKA AKAN


MELARIKAN DIRI, MERUSAK ATAU MENGHILANGKAN BARANG BUKTI ATAU
MENGULANGI MELAKUKAN TINDAK PIDANA ATAU MEMBUAT KEONARAN.

(b)  TERSANGKA DISANGKA MELAKUKAN TNDAK PIDANA DAN / ATAU


PERCOBAAN / BANTUAN YANG DIANCAM PIDANA PENJARA 3 BULAN ATAU
LEBIH.

(c)    PENAHANAN ATAU PERPANJANGANNYA DILAKSANAKAN OLEH PENYIDIK


DENGAN  SURAT PERINTAH BERDASARKAN SURAT PERINTAH BERDASARKAN
SURAT KEPUTUSAN, YANG MENCANTUMKAN IDENTITAS TERSANGKA, ALASAN,
URAIAN SINGKAT PERKARA KEJAHATAN YANG DIPERSANGKAKAN, DAN
TEMPAT IA DITAHAN, YANG TEMBUSANNYA DISAMAPAIKAN KEPADA
KELUARGANYA.

(d)   TEMPAT PENAHANAN DI RUMAH TAHANAN MILITER ATAU TEMPAT LAIN


YANG DITUNJUK PANGLIMA TNI.

(e)   PENAHANAN DAPAT DITANGGUHKAN OLEH ANKUM ATAU PAPERA ATAS


PERMINTAAN TERSANGKA DENGAN DISERTAI SARAN DARI POM ATAU ODITUR
DENGAN SYARAT YANG DITENTUKAN.

g.  PELAKSANAAN PENYIDIKAN

1) SETELAH PENYIDIK POM / ODITUR MENERIMA LAPORAN / PENGADUAN,


TENTANG TERJADINYA TINDAK PIDANA, IA WAJIB SEGERA MELAKUKAN
PENYIDIKAN, DALAM HAL YANG MENERIMA LAPORAN ANKUM, IA
SEGERA MENYERAHKAN PENYIDIKAN KEPADA PENYIDIK POM / ODITUR
SELANJUTNYA PENYIDI POM / ODITUR MELAKUKAN PENYIDIKAN DAN
MELAPORKANNYA KEPADA ANKUM.
2) SETIAP ORANG YANG MENJADI KORBAN ATAU MANGALAMI,
MENYAKSIKAN ATAU MENDENGAR TERJADINYA TINDAK PIDANA, IA
BERHAK MENGAJUKAN LAPORAN, DAN SETELAH MENERIMA LAPORAN,
PENYIDIK MEMBUAT TANDA TERIMA.
3) PENYIDIK SESUDAH SELESAI MELAKUKAN PENYIDIKAN WAJIB
MENYERAHKAN BERKAS PERKARA KEPADA ANKUM, PAPERA DAN
ASLINYA KEPADA ODITUR.
4) PAPERA DAPAT MENGHENTIKAN PENYIDIKAN DENGAN SURAT
KEPUTUSAN BERDASARKAN PENDAPAT HUKUM ODITUR.
5) DALAM HAL TERTANGKAP TANGAN SETIAP ORANG BERHAK
MENANGKAP, SEDANGKAN BAGI YANG BERWENANG DALAM TUGAS
KETENTRAMAN, KETERTIBAN DAN KEAMANAN MASYARAKAT WAJIB
MENANGKAP TERSANGKA DAN MENYERAHKAN KEPADA PENYIDIK.
6) SESUDAH MENERIMA LAPORAN, PENYIDIK MELAKUKAN PEMERIKSAAN
DAN TINDAKAN LAIN YANG DI PERLUKAN : DATANG KETEMPAT
KEJADIAN, DAN MELARANG ORANG MENINGGALKAN TEMPAT SELAMA
PEMERIKSAAN MEMANGGIL TERSANGKA DAN SAKSI.
7) PANGGILAN TERSANGKA / SAKSI PRAJURIT MELALUI KOMANDAN /
KEPALA KESATUAN ORANG YANG DIPANGGIL WAJIB MEMENUHI, DAN
APABILA PANGGILAN KEDUA JUGA TIDAK DIINDAHKAN DAPAT DIPANGGL
SECARA PAKSA KOMANDAN / KEPALA YANG BERSANGKUTAN WAJIB
MEMERINTAHKAN ANGGOTANYA UNTUK MEMENUHI PANGGILAN.
8) PENYIDIK WAJIB MEMBERI TAHU HAK TERSANGKA UNTUK MENDAMPINGI
PENASIHAT HUKUM. DALAM PENYIDIKAN PENASIHAT HUKUM DAPAT
MELIHAT DAN MENDENGAR JALANNYA PEMERIKSAAN, TETAPI DALAM
HAL KEJAHATAN TERHADAP KEAMANAN NEGARA, PENASIHAT HUKUM
DAPAT MELIHAT, TETAPI TIDAK MENDENGAR.
9) APABILA DIPERKIRAKAN DALAM SIDANG SAKSI TIDAK HADIR MAKA
DALAM PEMERIKSAAN SAKSI DISUMPAH.
10) SAKSI DIPERIKSA SENDIRI-SENDIRI, TETAPI BOLEH DIPERTEMUKAN.
11) TERSANGKA DAPAT MENGAJUKAN SAKSI YANG MERINGANKAN.
12) TERSANGKA / SAKSI TIDAK BOLEH DITEKAN DAN SEMUA
KETERANGANNYA DICATAT DALAM BERITA ACARA YANG DIPERIKSA.
APABILA YANG DIPERIKSA TIDAK MAU MENANDATANGANI HARUS
DICATAT DALAM BERITA ACARA. DALAM PELANGGARAN LALU LINTAS
CUKUP DIBUAT BERITA ACARA PELANGGARAN LALU LINTAS UNTUK
DISERAHKAN KEPADA ODITUR.
13) PEMERIKSAAN TERSANGKA / SAKSI YANG BERDIAM DILUAR DAERAH
HUKUM PENYIDIK DAPAT DIBEBANKAN KEPADA PENYIDIK  SETEMPAT.
14) PENYIDIK DAPAT MEMINTA PENDAPAT SEORANG AHLI, KECUALI APABILA
KARENA TERLAMBAT PEKERJAANNYA IA DIWAJIBKAN MENYIMPAN
RAHASIA IA DAPAT MENOLAK MEMBERIKAN PENDAPAT.
15) PENYIDIK WAJIB MEMBUAT BERITA ACARA YANG MEMBUAT TANGGAL,
TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN DENGAN MENYEBUT TANGGAL DAN
TEMPAT DAN KEADAAN KETIKA TINDAK PIDANA DILAKUKAN, IDENTITAS
TERSANGKA / SAKSI.
16) APABILA TERSANGKA DITAHAN, DALAM WAKTU SATU HARI SEJAK IA
DITAHAN HARUS SUDAH MULAI DIPERIKSA.
17) PENYIDIK DALAM MELAKUKAN PENGGLEDAHAN DAN PENYITAAN HARUS
MEMBUAT BERITA ACARA YANG SALINANNYA DIBERIKAN KEPADA
ORANG DARI MANA BENDA ITU DISITA /  KELUARGA LURAH.
18) DALAM HAL PENYIDIK MENANGANI KORBAN DARI TINDAK PIDANA, BAIK
LUKA, KERACUNAN ATAU MATI, BERWENANG MINTA KETERANGAN AHLI
KEPADA AHLI KEDOKTERAN KEHAKIMAN / DOKTER / AHLI LAINNYA
SECARA TERTULIS. DALAM HAL SANGAT DIPERLUKAN DAPAT
DIMINTAKAN BEDAH MAYAT UNTUK  KEPENTINGAN ATAU PENGGALIAN

          TAHAP PENUNTUTAN PELIMPAHAN PERKARA KEPADA ODITUR :

SETELAH PENYIDIK DALAM HAL INI POLISI MILITER SELESAI MELAKUKAN


PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA SELANJUTNYA MENYERAHKAN BERKAS
PERKARA KEPADA ODITUR MILITER DAN TINDAKAN ODITUR SETELAH
MENERIMA BERKAS ADALAH:

a. MENELITI PERSYARATAN MATERIIL / FORMIL.


b. BILA HASILNYA BELUM LENGKAP MEMINTA KEPADA PENYIDIK
AGAR MELENGKAPI.
c. ODITUR DAPAT MELENGKAPI SENDIRI ATAU MENGEMBALIKAN
BERKAS KEPADA PENYIDIK DENGAN PETUNJUK.
d. BERKAS PERKARA DESERSI YANG TERSANGKANYA TIDAK
DIKETEMUKAN, BERITA ACARA PEMERIKSAAN TERSANGKA TIDAK
MERUPAKAN SYARAT KELENGKAPAN BERKAS.
e. SETELAH MENELITI BERKAS ODITUR MEMBUAT DAN
MENYAMPAIKAN PENDAPAT HUKUM KEPADA PAPERA DENGAN
PERMINTAAN AGAR PERKARA DISERAHKAN KE PENGADILAN, DI
DISIPLINKAN ATAU DITUTUP.

3.  TAHAP PEMERIKSAAN DI PERSIDANGAN

a. BERKAS PERKARA YANG DITERIMA PENGADILAN MILITER DARI


ODITUR MILITER DI CATAT OLEH KATAUD DALAM AGENDA SURAT
MASUK, SELANJUTNYA BERKAS PERKARA DIGABUNGKAN DENGAN
SURAT-SURAT LAIN YANG TERKAIT DENGAN PERKARA TERSEBUT.
b. KEPALA PENGADILAN KEMUDIAN MENYERAHKAN BERKAS
PERKARA KEPAA KATERA MELALUI KATAUD UNTUK DICATAT
DALAM REGISTER PERKARA DAN KEPALA PENGADILAN MILITER
MENELITI  APA BERKAS TERSEBUT SUDAH MEMENUHI SYARAT
FORMIL MAUPUN MATERIIL.
c. DALAM HAL KEPALA PENGADILAN MILITER BERPENDAPAT BAHWA
PENGADILAN YANG DIPIMPINNYA TIDAK BERWENANG MEMERIKSA
PERKARA TERSEBUT KARENA TERDAKWA BERUBAH PANGKAT
DARI PERWIRA PERTAMA KE PERWIRA MENENGAH MAKA BERKAS
HARUS SEGERA DI KEMBALIKAN KE ODITUR MILITER DENGAN
PENETAPAN UNTUK DILIMPAHKAN KE PENGADILAN YANG LEBIH
BERWENANG.
d. DALAM HAL TERDAKWA TELAH BERPINDAH TUGAS KETEMPAT
LAIN DILUAR DAERAH HUKUM SUATU PENGADILAN MAKA BERKAS
PERKARA SEGERA DIKEMBALIKAN KE ODITUR MILITER DENGAN
PENETAPATN DARI KEPALA PENGADILAN UNTUK DILIMPAHKAN KE
PENGADILAN YANG DAERAH HUKUMNYA MELIPUTI TEMPAT TUGAS
TERDAKWA (SESUAI PASAL 10b UNDANG-UNDANG NOMOR 31
TAHUN 1997).
e. DALAM HAL KEPALA PENGADILAN BERPENDAPAT BAHWA
PERKAEA TERSEBUT TERMASUK DALAM KEWENANGAN
PENGADILAN YANG DIPIMPINNYA MAKA IA SEGERA MENUNJUK
HAKIM YANG MENYIDANGKAN PERKARA TERSEBUT DAN PANITERA
MEMBUAR RENCANA SIDANG UNTUK DI SERAHKAN KEPADA
ODITUR MILITER DENGAN PERINTAH SUPAYA ODITUR MEMANGGIL
TERDAKWA DAN PARA SAKSI UNTUK HADIR DIPERSIDANGAN.
f. PADA SAAT PEMERIKSAAN DI PERSIDANGAN PADA DASARNYA
TATA CARANYA SAMA DENGAN PEMERIKSAAN DI PENGADILAN
HUKUM.
g. PENASIHAT HUKUM

1)     GUNA KEPENTINGAN PEMBELAAN, TERDAKWA BERHAK MENDAPAT


BANTUAN HUKUM DARI SEORANG ATAU LEBIH PENASIHAT HUKUM UNTUK
MENDAMPINGINYA DALAM PERSIDANGAN.

2)     PEMBERIAN  DAN BANTUAN DAN NASIHAT HUKUM KEPADA ANGGOTA TNI
DIATUR DALAM SURAT KEPUTUSAN PANGLIMA TNI TENTANG PETUNJUK
PELAKSANAAN.

3)     DALAM HAL TERDAKWA DIDAKWA MELAKUKAN TINDAK PIDANA YANG


DIANCAM DENGAN:

a. PIDANA MATI;
b. PIDANA PENJARA LIMA BELAS TAHUN ATAU LEBIH;
c. PIDANA PENJARA LIMA TAHUN ATAU LEBIH SEDANGKAN
TERDAKWA TIDAK MAMPU MENGUSAHAKAN PENASIHAT HUKUM
SENDIRI;

MAKA HAKIM KETUA WAJIB MENGUSAHAKAN PENASIHAT HUKUM BAGI


TERDAKWA MALALUI PAPERA YANG BERSANGKUTAN ATAS BIAYA NEGARA
UNTUK MENDAMPINGI TERDAKWA DI SIDANG, KECUALI APABILA TERDAKWA
SANGGUP MENGUSAHAKAN SENDIRI PENASIHAT HUKUM.

4)    PENUNJUKAN PENASIHAT HUKUM DITETAPKAN DALAM SUATU PENETAPAN


OLEH HAKIM KETUA YANG BERSANGKUTAN

PENASIHAT HUKUM YANG BISA MENDAMPINGI TERDAKWA DIPERADILAN


MILITER BISA DARI PENASIHAT HUKUM SIPIL MAUPUN DARI DINAS HUKUM
ANGKATAN, NAMUN UNTUK PENASIHAT HUKUM SIPIL HARUS ADA IJIN DARI
PAPERA.
4.  TAHAP PELAKSANAAN PUTUSAN.

SESUAI KETENTUAN UNDANG-UNDANG BAHWA YANG MELAKSANAKAN


PUTUSAN HAKIM ADALAH ODITUR MILITER, PUTUSAN HAKIM BISA MEMUAT
PIDANA POKOK  DAN PIDANA TAMBAHAN DIPECAT DARI DINAS MILITER ATAU
HANYA PIDANA PENJARA SAJA.

DALAM HAL TERDAKWA DIJATUHI PIDANA POKOK PEJARA DAN PIDANA


TAMBAHAN (DIPECAT DARI DINAS MILITER) DAN TERDAKWA MENERIMA
PUTUSAN TERSEBUT MAKA PIDANA TERSEBUT DIJALANI DI LP UMUM, TETAPI
APABILA TERDAKWA ATAU ODITUR MASIH UPAYA HUKUM TERHADAP
PUTUSAN TERSEBUT MAKA TERDAKWA DITAHAN SAMBIL MENUNGGU PUTUSAN
BANDING, HAL INI DILAKUKAN KARENA DIKHAWATIRKAN TERDAKWA
MELARIKAN DIRI, MENGHILANGKAN BARANG BUKTI, MERUSAK BARANG BUKTI
ATAU MENGULANGI MELAKUKAN TINDAK PIDANA.

PENYELESAIAN PERKARA DISERSI DAN DELIK ADUAN DI PERADILAN MILITER

1. PERKARA DESERSI

–   SESUAI KETENTUAN PASAL 143 UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1997


PERKARA DESERSI BISA DI SIDANGKAN TANPA HADIRNYA TERDAKWA (IN
ABSENTIA) DENGAN KETENTUAN SETELAH DILIMPAHKAN KE PENGADILAN
MILITER SELAMA 6 BULAN DAN DIRENCANAKAN SIDANG SEBANYAK 4 KALI:

TUJUAN : UNTUK KEPASTIAN HUKUM BAGI TERDAKWA YANG MASIH


MELARIKAN DIRI DAN MENERTIBKAN ADMINISTRASI PERSONIL YANG
BERSANGKUTAN. HUKUMAN ADA HUKUMAN TAMBAHAN DI PECAT DARI DINAS
MILITER.

2.  DELIK ADUAN

–   ODITUR MILITER DAPAT MENUNTUT TERDAKWA YANG MELAKUKAN TINDAK


PIDANA ADUAN (DELIK ADUAN) APABILA ADA PENGADUAN DARI YANG
BERHAK MENGADU SESUAI KETENTUAN PASAL 74 AYAT 11 KUHP.

–   SESUAI HUKUM ACARA PIDANA TERHADAP DELIK ADUAN, SEBELUM


PEMERIKSAAN SIDANG DIMULAI PIHAK YANG BERHAK MENGADU BOLEH
MENCABUT PENGADUANNYA.

–   DALAM HAL  PENGADUAN DICABUT MAKA SYARAT PENUNTUTAN TIDAK ADA
DAN TERHADAP TERDAKWA TIDAK BISA DITUNTUT DI PERSIDANGAN OLEH
ODIITUR MILITER NAMUN KARENA PERBUATAN TERDAKWA TIDAK LAYAK
DILAKUKAN OLEH ANGGOTA TNI  KARENA MELANGGAR KEHIDUPAN DISIPLIN
MILITER MAKA PERKARA TERSEBUT OLEH ODITUR DISERAHKAN KEPADA
PAPERA (PERWIRA PENYERAH PERKARA) UNTUK DISELESAIKAN MELALUI
HUKUM DISIPLIN PRAJURIT SESUAI UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN 1997
TENTANG HUKUM DISIPLIN PRAJURIT.
–  SESUAI KETENTUAN PASAL 5 UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN 1997
TENTANG HUKUM DISIPLIN ADA 3 YAITU:

1.    TEGURAN

2.    PENAHANAN RINGAN PALING LAMA 14 HARI

3.    PENAHANAN BERAT PALING LAMA 21 HARI

GUGATAN TATA USAHA MILITER (DIATUR DALAM PASAL 256 SAMPAI


DENGAN 325 UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1997)

1. SESUAI KETENTUAN PASAL 265 UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1997


MAKA
   ORANG ATAU BADAN HUKUM PERDATA YANG MERASA
KEPENTINGANNYA DI RUGIKAN OLEH SUATU KEPUTUSAN TATA USAHA
ANGKATAN BERSENJATA DAPAT MENGAJUKAN GUGATAN TERTULIS KEPADA
PENGADILAN MILITER TINGGI YANG BERWENANG YANG DAERAH
HUKUMNYA MELIPUTI TEMPAT KEDUDUKAN TERGUGUT YANG BERISI
TUNTUTAN SUPAYA KEPUTUSAN TATA USAHA ANGKATAN BERSENJATA
TERSEBUT DINYATAKAN BATAL ATAU TIDAK SAH, DENGAN ATAU TANPA
DISERTAI TUNTUTAN GANTI RUGI DAN / ATAU REHABILITASI.
 SEMUA PRODUK YUDIKATIF TIDAK DAPAT DIGUGAT TATA USAHA
MILITER.
 TENGGANG WAKTU GUGATAN 90 HARI TERHITUNG SEJAK SAAT
DITERIMANYA/ DIUMUMKANNYA KEPUTUSAN BADAN / PEJABAT TATA
USAHA ANGKATAN BERSENJATA.
 DALAM HAL PENGGUGAT MENGADAKAN UPAYA HUKUM BANDING MAKA
PERMOHONANNYA DIAJUKAN KE PENGADILAN MILITER UTAMA, UNTUK
KASASI DIAJUKAN KE MAHKAMAH AGUNG

Anda mungkin juga menyukai