Anda di halaman 1dari 3

Nama : Luiziao Assen De Perdido Lalos

NIM : 22.C1.0029
Mata Kuliah : Metodologi Penelitian Hukum

Judul : Pembuktian Dakwaan Oditur Militer Dalam Pemeriksaan Secara In Absensia Pada
Persidangan Perkara Desersi Di Masa Damai
Studi Kasus Putusan DILMIL II 10 SEMARANG Nomor 15-K/PM.II-10/AD/III/2022

Rumusan Masalah

1. Bagaimana Mekanisme Pembuktian Dakwaan Oditur Militer Dalam Pemeriksaan


Secara In Absensia Pada Persidangan Perkara Desersi Di Masa Damai (Putusan
DILMIL II 10 SEMARANG Nomor 15-K/PM.II-10/AD/III/2022) ?
2. Bagaimana penerapan KUHPM dan PDM dalam kasus Desersi di Indonesia ?
3. Apakah dapat dilakukan pemeriksaan secara In Absensia pada perkara Desersi ?

Unsur
1. Penerapan hukuman terhadap perkara Desersi Di Masa Damai yang dilakukan oleh oknum
militer menurut KUHPM
2. Penerapan hukuman terhadap perkara Desersi Di Masa Damai yang dilakukan oleh oknum
militer menurut PDM
Variabel Penelitian
1. Variabel Bebas
 Penerapan hukuman terhadap Perkara Desersi di Masa Damai
 Oknum Milliter
2. Variabel Terikat
 KUHP Militer
 PDM
Pendahuluan
Keamanan negara Indonesia tidak pernah lepas dari peranan penting anggota militernya untuk
mendukung dan mempertahankan kesatuan, persatuan serta kedaulatan sebuah negara. Indonesia
memiliki kekuatan militer yang disebut sebagai Tentara Nasional Indonesia yang selanjutnya disebut
TNI. TNI merupakan bagian dari masyarakat umum yang dipersiapkan secara khusus untuk
melaksanakan tugas pembelaan negara dan bangsa. Agar dapat melaksanakan tugas dan kewajiban
yang berat dan amat khusus maka TNI di didik dan dilatih untuk mematuhi perintah-perintah ataupun
putusan tanpa membantah dan melaksanakan dengan tepat, berdaya guna dan berhasil guna.
Pemerintah Indonesia me-ngeluarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2004
tentang TNI dengan tujuan agar tugas dari TNI akan lebih terfokus. Dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI menyatakan: TNI sebagai alat pertahanan Negara
Kesatuan Republik Indonesia mempunyai tugas untuk melaksanakan kebijaksanaan pertahanan negara
untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah dan melindungi
keselamatan bangsa, menjalankan operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang serta
ikut aktif dalam tugas pemeliharaan perdamaian regional dan internasional. Sebagai Warga Negara
Republik Indonesia tentara bukan merupakan kelas tersendiri, karena tiap anggota tentara adalah juga
sebagai anggota masyarakat biasa, tetapi karena adanya beban kewajiban angkatan bersenjata sebagai
inti suatu pembelaan dan pertahanan negara, maka diperlukan suatu pemeliharaan ketertiban yang
lebih berdisiplin dalam organisasinya, sehingga seolah-olah merupakan kelompok tersendiri untuk
mencapai tujuan tugasnya yang pokok. Untuk itu diperlukan suatu hukum yang khusus dan peradilan
yang tersendiri terpisah dari peradilan umum (Moch. Faisal salam, 2002: 14).
Penyelesaian perkara Setiap anggota TNI harus tunduk dan taat terhadap ketentuan-ketentuan hukum
yang berlaku bagi Militer yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer yang selanjutnya
disebut KUHPM, Kitab Undang-Undang Hukum Disiplin Militer yang selanjutnya disebut KUHDM,
dan Peraturan Disiplin Militer yang selanjutnya disebut PDM dan peraturan-peraturan lainnya.
Peraturan hukum militer inilah yang diterapkan kepada semua Prajurit TNI, baik Tamtama, Bintara,
maupun Perwira yang melakukan suatu tindakan yang merugikan kesatuan masyarakat umum, dan
negara yang tidak terlepas dari peraturan lainnya yang berlaku juga bagi masyarakat umum. Apabila
ada prajurit yang tidak memenuhi peraturan-peraturan yang ada maka prajurit tersebut disebut
melakukan tindak pidana. Salah satu tindak pidana militer yang dikategorikan tindak pidana murni
adalah tindakan desersi. Macam-macam tindak pidana murni prajurit dalam Pasal 87 KUHPM yaitu
meninggalkan dinas dalam waktu 30 (tiga puluh) hari, meninggalkan tugas-tugas kedinasan yang
diperintahkan, melarikan diri dari kesatuan tugasnya selama pertempuran baik yang dilakukan secara
sengaja maupun tidak sengaja tanpa seizin komandannya. Mengenai proses pemidanaannya
berdasarkan Pasal 85 KUHPM, seorang prajurit dapat dijatuhi hukuman kedisiplinan, kurungan
hingga pemecatan dari dinas militer. Untuk melaksanakan proses hukuman bagi anggota TNI yang
telah melakukan desersi diperlukan sebuah lembaga hukum militer yang khusus menangani anggota
TNI yang terlibat hukum yaitu melalui hukum militer. Hukum militer yang dimaksud tersebut di atas
yaitu Peradilan Militer yang meliputi Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, Pengadilan
Militer Utama, dan Pengadilan Militer Pertempuran (Moch. Faisal Salam, 2002:223).
Tindak pidana desersi disebut juga sebagai tindakan/perbuatan kejahataan ketidakhadiran tanpa ijin
seperti yang tercantum dalam Bab III KUHPM yang mana pada tingkat permulaan umumnya lebih
cenderung merupakan suatu perbuatan yang tidak boleh terjadi dalam kehidupan militer. Suatu
kenyataan sampai saat ini masih banyak ditemukan di kesatuan militer yang personilnya
meninggalkan dinas tanpa ijin satuan berturut-turut lebih dari 30 (tiga puluh) hari atau desersi.
Disinilah keunikannya bahwa seorang militer yang melakukan tindak pidana desersi tetap dapat
dilakukan proses hukumnya (tetap dapat disidangkan) meskipun tersangka/terdakwanya tidak hadir
di persidangan atau disebut persidangan secara In Absensia (S.R. Sianturi, 2010:257). Seperti hal nya
pada kasus yang saya angkat dimana terdakwa melarikan diri dan tidak kembali lagi selama kurang
lebih 141 hari. Terdakwa juga sudah dipanggil sebanyak tiga kali berturut-turut secara sah dan patut
namun terdakwa tidak juga memenuhi panggilan. Oditur Militer tidak hanya melakukan penuntutan
atau penyidikan saja namun juga dapat melakukan pengejaran kepada anggota TNI yang melarikan
diri, selain itu juga memanggil dan menghadapkan tersangka desersi sebanyak 3x (tiga kali) berturut-
turut dahulu sebelum dilakukan upaya hukum secara in absensia. Hingga pada akhirnya Oditur
Militer mendaftarkan perkara desersi ini sehingga bisa disidangkan secara in absensia setelah
memenuhi peraturan perundang-undangan untuk diadakannya persidangan secara in absensia.
Proses penyidikan dalam menangani kasus desersi yang dilakukan secara in absensia adalah dalam
menangani kasus desersi seorang perwira militer dengan menyerahkan berkas-berkas perkara
kepada atasan yang berhak menghukum (Ankum), kemudian oleh Ankum dibuatlah Kepera
(Keputusan Penyerahan Perkara) yang dilimpahkan kepada Pengadilan Militer/Oditurat Militer untuk
diproses atau dicermati. Mengenai kelengkapan persyaratan berkas perkara dan sebagai dasar
pembuatan Surat Dakwaan kelengkapan berkas perkara berfungsi untuk mencermati pasal yang
dapat dikenakan pada desersi personil tersebut. Surat dakwaan tersebut kemudian dapat diteruskan
untuk diajukan dalam persidangan. Oditur Militer sebagai penyidik tambahan bertugas untuk
mencari tahu saksi kunci jika ada serta mencari tahu tentang keberadaan tersangka dan memeriksa
syarat-syarat formil maupun materilnya (Pasal 124 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang
Peradilan Militer).

Setelah itu barulah Oditurat Militer menindak lanjuti dengan memanggil saksi dan tersangka untuk
sidang. Jika dalam persidangan tersangka tidak dapat dihadirkan dengan beberapa alasan yang ada
dimana salah satunya karena tersangka telah meninggal dunia maka dilanjutkan dengan
pemeriksaan saksi-saksi. Sebagaimana dalam Pasal 141 Undnag-Undang Nomor 31 Tahun 1997 ayat
(10), yaitu “Dalam perkara desersi yang terdakwanya tidak diketemukan, pemeriksaan dilaksanakan
tanpa hadirnya terdakwa”. Pada kasus yang diangkat dalam penulisan hukum ini terdapat suatu
permasalahan dimana seharusnya Oditur Militer menghadirkan saksi-saksi dalam persidangan untuk
mengemukakan kesaksiannya. Sehingga Oditur Militer melakukan pembuktian dengan membacakan
keterangan saksi dalam persidangan. Padahal menurut penjelasan pada Pasal 173 ayat (1) mengenai
keterangan saksi yakni keterangan saksi yang dijadikan sebagai alat bukti adalah keterangan yang
dinyatakan saksi di sidang Pengadilan. Dapat ditarik kesimpulan bahwa saksi-saksi perlu dihadirkan
dalam persidangan untuk memberikan keterangannya untuk dapat dijadikan sebgai alat bukti. Hal
itu merupakan syarat sah dijadikannya keterangan saksi sebagai alat bukti.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, karena menganalisa putusan pengadilan. Data
yang digunakan dalam penelitian ini hanya berupa data sekunder, oleh sebab itu tehnik
pengumpulan data yang digunakan adalah tehnik studi dokumen.

Anda mungkin juga menyukai