Anda di halaman 1dari 21

LEGALITAS PENASEHAT HUKUM TNI AD BERACARA DI LINGKUNGAN

PERADILAN UMUM

PENDAHULUAN

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Dalam negara hukum,
negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia bagi setiap individu termasuk hak
atas Bantuan Hukum. Penyelenggaraan pemberian Bantuan Hukum kepada warga
negara merupakan upaya untuk memenuhi dan sekaligus sebagai implementasi negara
hukum yang mengakui dan melindungi serta menjamin hak asasi warga negara akan
kebutuhan akses terhadap keadilan (access to justice) dan kesamaan di hadapan
hukum (equality before the law). Begitu juga dengan prajurit TNI, merupakan warga
negara yang memiliki hak yang sama dimuka hukum seperti warga negara lainnya, yang
apabila terkena permasalahan hukum tetap harus dijamin hak-haknya, termasuk
mendapatkan akses terhadap keadilan terkait dengan permasalahan yang dihadapi baik
pribadi maupun kedinasan, oleh karena itu bantuan hukum bagi prajurit TNI merupakan
sebuah keniscayaan yang harus ada dan disediakan oleh negara, karena tugas
pokok/utama prajurit TNI adalah juga merupakan tugas pokok TNI yaitu untuk
mempertahankan kedaulatan, menjaga keutuhan wilayah dan melindungi segenap
Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia (Pasal 7 ayat 1 UU 34 Tahun
2004 tentang TNI), dimana permasalahan hukum yang dihadapi oleh prajurit TNI dapat
menghambat bahkan mengagalkan pencapaian tugas tersebut, disinilah urgensi
peranan bantuan hukum bagi prajurit TNI dalam menghadapi berbagai permasalahan
hukum yang dihadapi.
Bantuan Hukum merupakan bantuan yang diberikan oleh seorang ahli di bidang
hukum atau penasihat hukum kepada seorang yang terkena masalah hukum disetiap
tahapan pemeriksaan baik di luar maupun di dalam pengadilan. Peraturan perundang-
undangan yang mengatur bantuan hukum di lingkuangan TNI sepanjang sejarah
berdirinya TNI telah mengutamakan bantuan hukum kepada prajurit dan keluarganya
sebagai jaminan hak asasi dalam konstitusi. Pemberian bantuan hukum kepada prajurit
TNI dan keluarganya didasarkan pada ketentuan Pasal 50 ayat (2) huruf f dan ayat (3)
huruf c Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI (UU TNI) yang menyatakan
bahwa Prajurit TNI dan keluarganya memperoleh rawatan kedinasan yang meliputi
2

bantuan hukum, kemudian lebih lanjut dalam penjelasan pasalnya disebutkan bahwa
yang dimaksud dengan keluarga adalah istri/suami dan anak. Hal tersebut ditegaskan
kembali dalam Pasal 41 dan Pasal 44 Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2010
tentang Administrasi Prajurit TNI yang menyebutkan bahwa bantuan hukum merupakan
salah satu bentuk rawatan yang diberikan kepada prajurit dan keluarganya. Harapannya,
dengan adanya berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan yang menjamin dan
mengatur hak rawatan dinas untuk mendapatkan bantuan hukum bagi prajurit TNI, PNS
TNI, Keluarga prajurit/PNS TNI, dan satuan-satuan serta organisasi yang terkait dengan
TNI diatas maka akan mewujudkan rasa keadilan dan perlindungan hak bagi yang
bermasalah dan berperkara di pengadilan. Namun pada kenyataanya
legalitas/keabsahan pelaksanaan bantuan hukum yang diberikan oleh penasihat hukum
TNI termasuk pelaksanaan bantuan hukum di lingkungan TNI AD masih terjadi
penolakan-penolakan dari unsur majelis hakim ataupun dari jaksa penuntut umum di
lingkungan pengadilan umum, karena dianggap bertentangan dengan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2003 tentang Advokat.
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka dirumuskan permasalahan
yaitu: “Bagaimana strategi Korps Hukum Angkatan Darat guna terciptanya legalitas
penasehat hukum TNI AD untuk beracara di lingkungan Peradilan Umum?”.
Kemudian dari uraian latar belakang dan permasalahan diatas, maka dapat identifikasi
persoalan yang terkait dengan permasalahan mengenai strategi Korps Hukum
Angkatan Darat guna terciptanya legalitas penasehat hukum TNI AD untuk beracara di
lingkungan Peradilan Umum antara lain: Pertama, Bagaimana Legalitas Penasihat
Hukum TNI AD untuk beracara di Peradilan Umum?; Kedua, Bagaimana strategi agar
legalitas Penasihat hukum TNI AD beracara di Peradilan Umum tidak dipermasalahkan?;
dan Ketiga, Upaya apa yang harus dilakukan apabila Penasihat Hukum TNI AD di tolak
beracara di Peradilan Umum dan dipermasalahkan Legalitas beracara?.
Dari uraian yang telah dijabarkan dalam latar belakang di paragrap sebelumnya,
maka pentingya tulisan ini adalah sebagai tambahan pemikiran, pengetahuan dan
wawasan bagi para peserta Rakerniskum TNI AD TA 2020 agar dapat mengerti dan
memahami mengenai bagaimana strategi Korps Hukum Angkatan Darat guna
terciptanya legalitas penasehat hukum TNI AD untuk beracara di lingkungan Peradilan
Umum. Sedangkan penulisan esai ini menggunakan metode studi kepustakaan dan
pengalaman empiris selama penulis berdinas.
3

Adapun nilai guna dari tulisan ini adalah sebagai bahan tambahan referensi dan
pengetahuan bagi para peserta Rakorniskum TNI AD TA 2020 tentang bagaimana
strategi Korps Hukum Angkatan Darat guna terciptanya legalitas penasehat hukum TNI
AD untuk beracara di lingkungan Peradilan Umum. Sedangkan maksud dari penulisan
ini adalah untuk memberikan gambaran tentang bagaimana strategi yang dapat
dilaksanakan oleh Korps Hukum Angkatan Darat guna terciptanya legalitas penasehat
hukum TNI AD untuk beracara di lingkungan Peradilan Umum. Tujuan dari tulisan ini
yaitu sebagai sumbangan pemikiran dan bahan masukan agar para peserta
Rakerniskum dapat mengembangkan pemikirannya guna diperoleh suatu konsep untuk
menyelesaikan permasalahan legalitas penasehat hukum TNI AD yang beracara di
Lingkungan Peradilan Umum. Adapun ruang lingkup penulisan ini disusun dengan
sitematika Pendahuluan, Pembahasan, dan Penutup.

PEMBAHASAN
Bantuan hukum bagi prajurit TNI AD merupakan hak rawatan dinas yang
diberikan negara dan dijamin oleh UU, dalam Pasal 56 Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, disebutkan bahwa setiap orang orang yang
tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum, kemudian lebih lanjut dalam
penjelasan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan "bantuan hukum" adalah pemberian
jasa hukum yang meliputi pemberian konsultasi hukum, menjalankan kuasa, mewakili,
mendampingi, membela, melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan pencari
keadilan. Sesuai dengan Peraturan Panglima TNI Nomor Perpang 21/IV/2008 tentang
Nasihat dan Bantuan Hukum di Lingkungan TNI, disebutkan bahwa Biro Hukum TNI/Dinas
Hukum TNI adalah satuan kerja yang bertanggung jawab memberikan bantuan hukum
kepada prajurit TNI sesuai dengan areal service-nya. Di lingkungan TNI AD, berdasarkan
Perkasad Nomor 59/XII/2013 tanggal 27 Desember 2013, Direktorat Hukum Angkatan
Darat (Ditkumad) merupakan badan pelaksana pusat AD yang dibentuk untuk memberikan
nasihat dan bantuan hukum di lingkungan TNI AD, dengan fungsi utama memberikan
dukungan hukum, bantuan hukum dan perundang-undangan, Ditkumad berserta satuan
dibawah jajarannya diharapkan mampu memberikan rawatan kedinasan berupa bantuan
hukum bagi prajurit TNI AD, keluarganya, dan pihak-pihak lain yang ditentukan oleh
peraturan perundang-undangan sehingga permasalahan hukum yang dihadapi prajurit TNI
AD dapat diselesaikan dengan baik dan tuntas, dimana dalam pelaksanaannya diberikan
4

oleh seorang ahli di bidang hukum atau penasihat hukum yang merupakan perwira korps
hukum yang minimal telah bersarjana hukum yang mengawaki satuan hukum di pusat
(Ditkumad) maupun di daerah (Hukum Kodam/Korem). Oleh karena itu sesuai dengan
pokok-pokok permasalahan diatas, maka akan diuraikan mengenai kedalam sub judul
mengenai legalitas Penasehat Hukum TNI AD dalam beracara di Peradilan Umum,
strategi apa yang dapat di laksanakan agar legalitas tersebut tidak dipermasalahkan
saat beracara dan upaya yang dapat dilakukan apabila ada pihak-pihak yang menolak
legalitas Penasehat Hukum TNI AD beracara di Peradilan Umum.

Legalitas Penasihat Hukum TNI AD untuk beracara di Peradilan Umum

Bagi prajurit TNI sudah jelas apabila mereka melakukan tindak pidana maka
prosesnya adalah diadili di peradilan militer, namun dalam konteks privat sebagai
seorang individu, tidak menutup kemungkinan jeratan permasalahan perdata maupun
administrasi sering juga menimpa prajurit/PNS TNI dan keluarganya, termasuk perkara
pidana yang menjerat purnawirawan, warakawuri dan janda/duda PNS TNI yang di
proses di peradilan umum. Oleh karena itu Penasihat Hukum TNI AD dituntut tidak
hanya piawai beracara memberikan bantuan hukum di pengadilan militer tetapi juga
mendampingi prajurit TNI AD, di lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama
maupun lingkungan peradilan tata usaha negara. Namun kenyataan yang terjadi
dilapangan terdapat beberapa kasus, dimana Penasihat Hukum TNI AD ditolak untuk
beracara di luar lingkungan peradilan militer, khususnya saat beracara memberikan
bantuan hukum di pengadilan umum. Salah satu fakta penolakan tersebut adalah
bantuan hukum kepada Sdri, Herawati Br. Sinaga (istri dari Letkol Inf. Nelson B.S.
Situmeang) sehubungan dugaan telah melakukan tindak pidana penganiayaan terhadap
asisten rumah tangganya yang akan disidangkan di Pengadilan Negeri Pematang
Siantar, mendapat penolakan dari Jaksa Penuntut Umum dan Majelis Hakim yang
menyidangkan perkara a quo dengan alasan bahwa Sdri. Herawati Br. Sinaga
merupakan orang sipil dan harus di damping oleh Penasehat Hukum sipil sebagaimana
5

dalam UU Advokat.1 Hal serupa juga sempat terjadi pada saat Penasihat Hukum dari
TNI mendampingi Mayjen Purn Kivlan Zein saat berperkara di PN Jakarta Pusat.2
Berdasarkan beberapa contoh kasus diatas, adanya penolakan terhadap legalitas
Penasihat Hukum TNI AD yang beracara di lingkungan Peradilan Umum dari beberapa
pihak, terutama majelis hakim dan jaksa penuntut umum dikarenakan belum adanya
kesamaan presepsi dan pemahaman mengenai berbagai peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai bantuan hukum bagi prajurit TNI, keluarganya dan
pihak lain yang diatur UU termasuk purnawirawan TNI dan warakawuri. Penolakan ini
memang tidak terjadi secara umum di semua lingkungan PN di seluruh wilayah
Indonesia, namun hal ini menjadi salah satu penghambat bagi penyelesaian perkara
yang melibatkan Prajurit/PNS TNI, keluarganya dan pihak lain yang berhak. Dari fakta
diatas, penulis memiliki harapan dan keinginan bahwa Penasihat Hukum TNI AD yang
beracara di Peradilan Umum tidak mendapatkan penolakan dari unsur penegak hukum
lain (Hakim danJaksa), sehingga pihak-pihak yang diberikan bantuan/pendampingan
hukum dapat segera menyelesaikan permasalahannya dan mendapatkan kepastian
hukum.
Penasihat hukum mempunyai pengertian yang beragam, KUHAP menyatakan
bahwa penasihat hukum adalah seorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh
atau berdasarkan undang-undang untuk memberi bantuan hukum. 3 Sedangkan menurut
UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, penasihat hukum adalah seseorang
yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, memenuhi
persyaratan untuk memberikan bantuan hukum menurut cara yang diatur dalam
Undang-undang. Sedangkan berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 8 Tahun
1987 membagi Penasihat Hukum ke dalam dua kategori: pertama, para pengacara
advokat yang telah diangkat oleh Menteri Kehakiman dan atas dasar itu memperoleh ijin
melakukan kegiatan berpraktek hukum di manapun. Kedua, para pengacara praktek
yang diberi ijin oleh para Ketua Pengadilan Tinggi untuk berpraktek hukum di dalam
daerah hukum Pengadilan Tinggi yang bersangkutan. Namun dengan berlakunya UU
No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UUA), baik advokat, penasihat hukum, pengacara

1
“Hakim Tolak Tentara Jadi Kuasa Hukum Dokter Gigi Yang Jadi Terdakwa Penganiayaan”,
https://medan.tribunnews.com/2018/10/10/hakim-tolak-tentara-jadi-kuasa-hukum-dokter-gigi-yang-jadi-
terdakwa-penganiayaan, Rabu 10 Oktober 2018, diakses tanggal 27 Oktober 2020.
2
“Jaksa Keberatan Kivlan Zein Didampingi Penasihat Hukum TNI”, www.kompas.com tanggal 10
September 2019.
3
Pasal 1 ayat (13) KUHAP.
6

praktik dan konsultan hukum, semuanya disebut sebagai Advokat. 4 Dengan demikian
sejak berlakunya UUA, tidak ada perbedaan antara pengacara dan penasehat hukum.
Semuanya disebut sebagai Advokat yaitu orang yang berprofesi memberi jasa hukum,
baik di dalam maupun di luar pengadilan yang wilayah kerjanya di seluruh wilayah
Republik Indonesia,5 hal inilah yang kemudian menjadi perdebatan, dimanakah posisi
penasihat hukum dari Lembaga/Dinas hukum yang memberikan bantuan hukum bagi
pegawai/keluarga pegawai dan/atau pihak-pihak lain yang berhak di berikan bantuan
seuai aturan dari instansi yang bersangkutan? apakah kemudian mereka ini (Penasihat
Hukum dinas) disebut juga Advokat? Sampai saat ini belum ada penjelasan yang tegas
dari Mahkamah Agung mengenai hal ini.
Istilah legalitas, dapat diartikan sebagai perihal (keadaan) sah atau keabsahan. 6
Dengan demikian legalitas penasehat hukum TNI AD beracara di lingkungan peradilan
umum adalah keabsahan seorang/sekelompok orang/Tim yang ditunjuk oleh
dinas/satuan yang bertugas/bertindak sebagai penasehat/konsultan/pendamping hukum
bagi prajurit TNI AD atau pihak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
ada berhak mendapatkan bantuan hukum. Teori Keabsahan Tindakan Pemerintah dari
Philipus M. Hadjon dapat dipergunakan untuk menganalisa Penasihat Hukum TNI AD
berhak/sah dalam beracara di Peradilan Umum, teori tersebut menyatakan bahwa ruang
lingkup keabsahan meliputi: aspek kewenangan, prosedur dan substansi. Setiap
tindak pemerintahan disyaratkan harus bertumpu atas kewenangan yang sah yang
diperoleh secara atribusi, delegasi dan mandat, serta dibatasi oleh isi (materiae), wilayah
(locus) dan waktu (temporis). Prosedur berdasarkan asas negara hukum, yaitu berupa
perlindungan hukum bagi masyarakat; asas demokrasi yaitu pemerintah harus terbuka,
sehingga ada peran serta masyarakat (inspraak); dan asas instrumental yaitu efisiensi
dan efektivitas artinya tidak berbelit-belit serta perlu deregulasi. Substansi bersifat
mengatur dan mengendalikan apa (sewenang-wenang/legalitas ekstern) dan untuk apa
(penyalahgunaan wewenang, melanggar undang-undang/legalitas intern).7
Dengan melihat penjabaran dari Teori Keabsahan Tindakan Pemerintah tersebut
diatas maka dapat dianalisa mengenai legalitas Penasihat Hukum TNI AD dalam
4
Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat
5
Pasal 5 ayat (2), op cit
6
Kamus Besar Bahasa Indonesia.
7
Philipus M. Hadjon, Fungsi Normatif Hukum Administrasi Dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih,
Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 10
Oktober 1994, hlm. 7
7

beracara di Pengadilan Umum, sebagai berikut: pertama, dari aspek kewenangan,


bahwa kewenangan yang dimiliki oleh Penasihat Hukum TNI dalam beracara di
Peradilan Umum diperoleh dari delegasi beberapa peraturan perundang-undangan dan
kebijakan Mahkamah Agung sebagai lembaga negara tertinggi dalam bidang yudikatif
yang mempunyai kewenangan pembinaan peradilan di seluruh Indonesia, antara lain:
a. Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, dalam Pasal 50 ayat (2)
huruf f dan ayat (3) hururf c disebutkan bahwa keluarga prajurit memperoleh rawatan
kedinasan yang meliputi bantuan hukum.
b. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2010 tentang Administrasi Prajurit TNI,
dalam Pasal 41 dan 44 menyebutkan bahwa bantuan hukum merupakan salah satu
bentuk rawatan yang diberikan kepada prajurit dan keluarganya.
c. Peraturan Panglima TNI Nomor Perpang 21/IV/2008 tentang Nasihat dan Bantuan
Hukum di Lingkungan TNI, disebutkan bahwa Biro Hukum TNI/Dinas Hukum TNI adalah
satuan kerja yang bertanggung jawab memberikan bantuan hukum kepada prajurit TNI
sesuai dengan areal service-nya;
d. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 02/1971 tanggal 10 Februari 1971. Surat
Edaran ini memberikan larangan kepada pegawai negeri dan anggota militer untuk
bertindak memberikan bantuan hukum sebagai pembela/penasihat hukum di muka
pengadilan. Pengecualian bantuan hukum yang diberikan oleh anggota militer harus
memperoleh izin khusus dari atasannya dan memenuhi persyaratan yang ditentukan
dalam pasal 4 ayat (1) huruf b dan ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1952
dan Instruksi Direktur Kehakiman Angkatan Darat Nomor ST-D 112/1969 tanggal 2 Juli
1969 sub CCC dan EEE.
e. Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor: MA/Kumdil/8810/IX/1987 tanggal 21
September 1987 tentang Izin sebagai Pembela/Penasihat hukum, disebutkan bahwa
kuasa dari Kodam, bahwa perwira hukum dari Kodam diberikan ijin untuk memberikan
bantuan hukum bersifat insidentil di Pengadilan Negeri, dengan batasan bahwa perkara
yang dibelanya menyangkut :
1) Instansi atau badan-badan di lingkungan TNI AD, dalam wilayah hukum
Kotama setempat; dan
2) Para pejabat dan anggota TNI AD dan karyawan sipil AD, selaku individu
yang memiliki NIP, baik yang masih aktif maupun dalam masa persiapan pensiun
atau selama mereka berkedudukan sebagai purnawirawan maupun warakawuri.
8

f. Putusan Mahkamah Konstitusi No : 006/PUU-II/2004 tanggal 13 Desember 2004


yang isinya menyatakan bahwa Pasal 31 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003
tentang Advokat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dengan pertimbangan “Bahwa sebagai undang-undang yang
mengatur profesi, seharusnya UU No. 18 Tahun 2003 tidak boleh dimaksudkan sebagai
sarana legalisasi dan legitimasi bahwa yang boleh tampil di depan pengadilan hanya
advokat karena hal demikian harus diatur dalam hukum acara, padahal hukum acara
yang berlaku saat ini tidak atau belum mewajibkan pihak-pihak yang berperkara untuk
tampil dengan menggunakan pengacara (verplichte procureurstelling). Oleh karena tidak
atau belum adanya kewajiban demikian menurut hukum acara maka pihak lain di luar
advokat tidak boleh dilarang untuk tampil mewakili pihak yang berperkara di depan
pengadilan”
g. Buku Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan
Perdata Khusus Buku II Edisi 2007 yang disahkan berdasarkan Keputusan Ketua
Mahkamah Agung (MA) No : 012/KMA/SK/II/2007 tanggal 5 Februari 2007 pada hal 53-
54, digariskan bahwa yang dapat bertindak sebagai kuasa/wakil dari penggugat/tergugat
atau pemohon di pengadilan adalah :
1) Advokat ;
2) Jaksa dengan kuasa khusus sebagai kuasa/wakil Negara/Pemerintah
sesuai dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI Pasal
30 ayat (2);
3) Biro Hukum Pemerintah/TNI/Polri/Kejaksaan RI;
4) Direksi/Pengurus atau karyawan yang ditunjuk dari suatu badan hukum;
5) Mereka yang mendapat kuasa insidentil yang ditetapkan oleh Ketua
Pengadilan (misalnya LBH, Hubungan Keluarga Biro hukum TNI/POLRI untuk
perkara-perkara yang menyangkut anggota/keluarga TNI/POLRI);
6) Kuasa insidentil dengan alasan hubungan keluarga sedarah atau semenda
dapat diterima sampai dengan derajat ketiga yang dibuktikan dengan surat
keterangan kepala desa/lurah;
h. Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/1089/XII/2017 Tanggal 27 Desember 2017
tentang Petunjuk Penyelenggaraan Bantuan Hukum di Lingkungan TNI pada Bab II
angka 11 yang menyebutkan bahwa ada 11 (sebelas) pihak yang berhak menerima
bantuan hukum dari Biro Hukum TNI, yaitu: Satuan di Lingkungan TNI; Prajurit dan PNS
9

TNI; Keluarga Prajurit dan PNS TNI (terdiri atas: Istri/Suami Prajurit TNI dan PNS TNI,
Anak, Janda/Duda, Orang Tua, Mertua, dan saudara Kandung/ipar serta keponakan
Prajurit/PNS TNI); Organisasi Istri Prajurit TNI; Purnawirawan TNI, Pensiunan PNS TNI,
Warakawuri, Janda/Duda Pensiunan PNS TNI dan Veteran di lingkungan TNI; Orang
yang dipersamakan dengan Prajurit TNI; Prajurit Siswa; Koperasi dan Yayasan di
Lingkungan TN; badan Usaha yang didirikan oleh Koperasi dan Yayasan di Lingkungan
TNI; Mitra Koperasi dan Mitra Yayasan di Lingkungan TNI; dan Mereka yang mempunyai
hubungan kerja dalam rangka mendukung tugas pokok TNI.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijakan diatas, mestinya
sudah cukup sebagai dasar kewenangan bagi Penasihat Hukum TNI untuk dapat
beracara di Pengadilan Umum.
Kedua, dari aspek prosedur, bahwa pemberian bantuan hukum berupa
pendampingan oleh Penasihat Hukum TNI dalam sidang di Peradilan Umum tidak serta
merta, tetapi harus melalui prosedur yang jelas dan terbuka. Berdasarkan Keputusan
Panglima TNI Nomor Kep/1089/XII/2017 Tanggal 27 Desember 2017 tentang Petunjuk
Penyelenggaraan Bantuan Hukum di Lingkungan TNI, BAB II angka 12, disebutkan
bahwa:
a. Permohonan bantuan hukum untuk kepentingan dinas diajukan oleh
Komandan/Kepala Satuan Kerja (Dan/Kasatker);
b. Permohonan bantuan hukum bagi Prajurit TNI dan PNS TNI diajukan oleh
pemohon dan diketahui Dan/Kasatker atau diajukan langsung oleh Dan/Kasatker;
c. Permohonan bantuan hukum bagi keluarga Prajurit TNI dan PNS TNI:
1) Istri/Suami Prajurit TNI dan PNS TNI diajukan oleh Prajurit TNI dan PNS
TNI yang bersangkutan serta diketahui Dan/Kasatker;
2) Anak diajukan oleh orang tua dan/atau wali pemohon dan diketahui Dan/
Kasatker; dan
3) Janda/Duda, orang tua, mertua dan saudara kandung/ipar serta
keponakan Prajurit/PNS TNI diajukan langsung secara perorangan oleh Prajurit
TNI dan PNS TNI serta diketahui Dan/Kasatker.
d. Permohonan bantuan hukum untuk organisasi istri Prajurit TNI, diajukan oleh
Ketua/Pimpinan masing-masing;
e. Permohonan bantuan hukum untuk purnawirawan TNI, pensiunan PNS TNI,
Warakawuri, janda/duda pensiunan PNS TNI dan Veteran di lingkungan TNI diajukan
10

langsung secara perorangan dan diketahui pengurus organisasi yang bersangkutan;


f. Permohonan bantuan hukum bagi orang yang dipersamakan dengan Prajurit TNI
diajukan oleh pemohon;
g. Permohonan bantuan hukum bagi Prajurit Siswa diajukan oleh pemohon diketahui
oleh Dansat/Kasatker yang bersangkutan;
h. Permohonan bantuan hukum untuk Koperasi TNI dan Yayasan TNI di lingkungan
TNI diajukan oleh Ketua/Pimpinan masing-masing;
i. Permohonan bantuan hukum untuk badan usaha yang didirikan oleh Koperasi
dan Yayasan di lingkungan TNI diajukan oleh Ketua/Pimpinan masing-masing;
j. Permohonan bantuan hukum untuk Mitra Koperasi dan Mitra Yayasan di
lingkungan TNI diajukan oleh Ketua/Pimpinan masing-masing; dan
k. Permohonan bantuan hukum untuk mereka yang mempunyai hubungan kerja
dalam rangka mendukung tugas pokok TNI diajukan oleh pemohon sendiri setelah
mendapat izin dari Panglima TNI.
Setelah permohonan diajukan kepada Ditkumad/Satuan hukum setempat,
selanjutnya Dirkumad/Kepala Hukum wilayah (Kakumdam) mengeluarkan Surat Perintah
untuk melakukan pendampingan/bantuan hukum kepada pemohon, disertai dengan
Surat Kuasa dari pemohon dan Surat Permohonan untuk beracara Insidentil kepada
Ketua Pengadilan Negeri setempat, dengan berbekal surat-surat tersebut, Penasihat
Hukum TNI AD kemudian baru dapat secara sah menjalankan tugasnya untuk beracara
di Peradilan Umum.
Ketiga, dari aspek substansi, bahwa menurut Keputusan Panglima TNI Nomor
Kep/1089/XII/2017, jenis pelayanan hukum litigasi dan nonlitigasi yang diberikan oleh
Penasihat Hukum TNI AD meliputi perkara pidana, perdata, tata usaha negara,
perceraian dan perkara hukum lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Selain itu Peraturan Panglima TNI Nomor Perpang/21/IV/2008 tentang
Nasihat dan Bantuan Hukum di Lingkungan TNI, menyebutkan bahwa seorang
Penasihat Hukum yang memberikan bantuan hukum haruslah seorang Personel Korps
Hukum yang minimal telah menyelesaikan studi Sarjana Hukum. Dengan demikian
pemberian bantuan hukum oleh Penasihat Hukum TNI AD saat beracara di Peradilan
Umum adalah sah, karena sesuai dengan substansi perkara yang ditangani yaitu
perdata ataupun pidana, dan adanya pembatasan yang jelas siapa dan/atau pihak mana
saja yang dapat di dampingi oleh Penasihat Hukum TNI AD.
11

Dengan melihat penjabaran dari Teori Keabsahan Tindakan Pemerintah diatas,


sudah jelas, bahwa sebenarnya legalitas/keabsahan dari Penasihat Hukum TNI AD yang
beracara di Peradilan Umum tidak perlu lagi dipertanyakan oleh penegak hukum lain
dalam persidangan (Hakim dan Jaksa Penuntut Umum), sepanjang personel TNI yang
bertindak sebagai Penasihat Hukum tersebut memenuhi dan mentaati persyaratan dan
aturan yang ada, termasuk keabsahan subyek/terdakwa yang dibela.

Strategi agar legalitas Penasihat hukum TNI AD beracara di Peradilan Umum tidak
dipermasalahkan.

Merujuk dari beberapa kasus penolakan Pensihat Hukum TNI AD yang beracara
di Pengadilan Umum diatas, dapat dilihat bahwa dasar penolakan Hakim dan/atau Jaksa
Penuntut Umum (JPU) adalah kegiatan yang dilakukan oleh Penasihat Hukum TNI AD
beracara di Pengadilan Negeri adalah bertentangan dengan UU Nomor 18 Tahun 2003
tentang Advokat, khususnya Pasal 3 yang menyebutkan mengenai persyaratan yang
harus dipenuhi untuk dapat diangkat menjadi seorang advokat, diantaranya adalah tidak
berstatus sebagai pejabat negara dan harus magang minimal 2 (dua) tahun terus
menerus pada kantor Advokat. Kedua persyaratan inilah yang selalu menjadi dalil/dasar
hukum penolakan Hakim dan JPU dalam menolak beracaranya Penasihat Hukum TNI,
terutama dalam acara persidangan perkara pidana di pengadilan negeri. Kedua
persyaratan tersebut tentunya sulit atau bahkan tidak mungkin di penuhi oleh
Penasehat Hukum TNI untuk dipenuhi, padahal sudah jelas bahwa UU Nomor 34
Tahun 2004 memberikan hak kepada pajurit TNI dan keluarganya untuk mendapatkan
rawatan dinas bantuan hukum yang diberikan oleh Penasihat Hukum yang disediakan
oleh Satuan, yang kemudian pelaksanaan dari UU TNI tersebut dijabarkan dalam PP 39
Tahun 2010 tetang Prajurit TNI dan berberapa Peraturan Panglima TNI atau Peraturan
Kas Angkatan yang mengatur mengenai penyelenggaraan bantuan hukum bagi
Prajurit/PNS TNI beserta kelurganya.
Selain itu dalil lain yang disampaikan oleh Hakim dan/atau JPU adalah, walaupun
sudah ada PP 39 Tahun 2010 tetang Prajurit TNI dan berberapa Peraturan Panglima
TNI yang mengatur tentang pemberian bantuan hukum bagi prajurit TNI, namun sesuai
dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, aturan-aturan tersebut lebih rendah kedudukannya dari pada UU Advokat,
sehingga sesuai dengan asas hukum lex superiori derogate legi inferiori, maka aturan
12

dalam bentuk PP ataupun Keputusan Panglima tidaklah berlaku, disamping itu aturan
tersebut dianggap telah mengambil kewenangan Advokat untuk melakukan pembelaan
di persidangan, Kenyataan yang terjadi dalam praktek di lapangan, dalil-dalil penolakan
yang disampaikan oleh Hakim dan/atau JPU tersebut hanya berlaku saat sidang perkara
pidana saja, namun pada saat sidang perkara perdata, mereka (Hakim dan/atau JPU)
tidak berkeberatan/menolak. Hal tesebut terjadi karena semata-mata adanya Buku
Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus
Buku II Edisi 2007 yang disahkan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung
Nomor: 012/KMA/SK/II/2007 tanggal 5 Februari 2007 pada hal 53-54, digariskan bahwa
yang dapat bertindak sebagai kuasa/wakil dari penggugat/tergugat atau pemohon di
pengadilan diantaranya adalah Biro Hukum Pemerintah/TNI/Polri/Kejaksaan RI dan
mereka yang mendapat kuasa insidentil yang ditetapkan oleh Ketua Pengadilan
(misalnya LBH, Hubungan Keluarga Biro hukum TNI/POLRI untuk perkara-perkara yang
menyangkut anggota/keluarga TNI/POLRI). Berdasarkan dalil Hakim dan/atau JPU
diatas perlu dikritisi apakah Keputusan Ketua Mahkamah Agung juga tidak bertentangan
dengan UU Advokat dan Asas Hukum lex superiori derogate legi inferiori yang
disampaikan diatas? Hal inilah yang sampai saat ini masih menjadi perdebatan praktisi
hukum, dengan demikian aturan yang hanya diterapkan dalam perkara pidana-pun
dapat disimpangi dengan adanya Keputusan Ketua MA tersebut. Hal ini diperkuat
dengan adanya kebijakan Ketua MA (yang saat ini masih menjadi yurispundensi)
mengenai di perbolehkannya Periwara Hukum TNI memberikan pembelaan/nasihat
hukum di muka pengadilan umum, baik perkara perdata maupun pidana, yaitu Surat
Edaran Mahkamah Agung Nomor 02/1971 tanggal 10 Februari 1971 dan Surat Ketua
Mahkamah Agung Nomor: MA/Kumdil/8810/IX/1987 tanggal 21 September 1987.
Dasar lain yang menguatkan Penasihat Hukum TNI dalam beracara di Pengadilan
Umum adalah Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, Pasal 50 ayat (2)
huruf f dan ayat (3) hururf c disebutkan bahwa keluarga prajurit memperoleh rawatan
kedinasan yang meliputi bantuan hukum, selanjutnya pejelasan Pasal menyebutkan
bahwa yang dimaksud dengan keluarga prajurit adalah isteri/suami beserta anak yang
menjadi tanggungannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kalau melihat
dari UU Nomor 12 Tahun 2011, maka kedudukan UU TNI dan UU Advokat adalah
setara, sama-sama berkedudukan sebagai UU yang merupakan bentuk
pelaksanaan/delegasi dari amanat Konstitusi, namun kalau kita melihat asas hukum Lex
13

posterior derogat legi priori yang menyatakan bahwa hukum yang terbaru (lex posterior)
mengesampingkan hukum yang lama(lex prior), maka kedudukan UU TNI lebih kuat
dari pada UU Advokat, karena UU TNI diundangkan pada tahun 2004 sedangkan UU
Advokat diundangkan pada tahun 2003. Bentuk pemberian hak bantuan hukum terhadap
Prajurit/PNS TNI beserta keluarganya tersebut kemudian dijabarkan dalam beberapa
peraturan pelaksanaan diantaranya adalah PP 39 Tahun 2010 dan Keputusan Panglima
TNI Nomor Kep/1089/XII/2017.
Lebih lanjut dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No : 006/PUU-II/2004
tanggal 13 Desember 2004 yang isinya menyatakan bahwa Pasal 31 Undang-undang
Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan pertimbangan “Bahwa sebagai undang-
undang yang mengatur profesi, seharusnya UU No. 18 Tahun 2003 tidak boleh
dimaksudkan sebagai sarana legalisasi dan legitimasi bahwa yang boleh tampil di depan
pengadilan hanya advokat karena hal demikian harus diatur dalam hukum acara,
padahal hukum acara yang berlaku saat ini tidak atau belum mewajibkan pihak-pihak
yang berperkara untuk tampil dengan menggunakan pengacara (verplichte
procureurstelling). Oleh karena tidak atau belum adanya kewajiban demikian menurut
hukum acara maka pihak lain di luar advokat tidak boleh dilarang untuk tampil
mewakili pihak yang berperkara di depan pengadilan” Lebih lanjut dalam
pertimbangan Hakim Konstitusi, bahwa “sejarah lahirnya perumusan undang-undang a
quo (UU Advokat), dimaksudkan agar yang boleh tampil beracara di hadapan
pengadilan hanya advokat, yang dengan demikian berarti undang-undang a quo telah
mengatur materi muatan yang seharusnya menjadi materi muatan undang- undang yang
mengatur hukum acara.” Bahwa akses pada keadilan adalah bagian tak terpisahkan dari
ciri lain negara hukum yaitu bahwa hukum harus transparan dan dapat diakses oleh
semua orang (accessible to all), termasuk didalamnya Prajurit/PNS TNI dan
keluarganya, sebagaimana diakui dalam perkembangan pemikiran kontemporer tentang
negara hukum, sehingga apabila ada Prajurit/PNS TNI, keluarga dan pihak lain yang
berhak menurut peraturan perundang-undangan mengajukan permohonan untuk
mendapat bantuan hukum dari Penasihat Hukum TNI, maka adalah kewajiban negara
untuk memberikan dan memfasilitasinya bukan justru menutupinya.
Terlepas dengan adanya berbagai dasar hukum dan dalil yang menjadi patokan
bagi Penasihat Hukum TNI AD untuk beracara di Peradilan Umum, ada beberapa hal
14

yang menjadi kelemahan dan kendala agar legalitas Penasihat hukum TNI AD beracara
di Peradilan Umum tidak dipermasalahkan. Kendala tersebut antara lain: masih adanya
perbedaan penafsiran terhadap berbagai peraturan perundang-undangan terkait
legalitas Penasihat Hukum TNI AD yang beracara di Pengadilan Umum oleh beberapa
Hakim dan/atau JPU di beberapa wilayah PN; belum terbentukanya peraturan
pelaksanaan dari UU TNI, yang secara khusus mengatur mengenai bantuan hukum bagi
Prajurit/PNS TNI dan keluarganya, baik itu Peraturan Pemerintah atapun Peraturan
Presiden; belum dimasukkannya pensihat hukum dari Biro Hukum
Pemerintah/TNI/Polri/Kejaksaan RI dan mereka yang mendapat kuasa insidentil yang
ditetapkan oleh Ketua Pengadilan ke dalam sistem E-Court MA; dan adanya ke
khawatiran bahwa Penasihat Hukum TNI mengambil sebagian kewenangan Advokat
sehingga akan mengurangi lahan rezeki Advokat. Sedangkan beberapa kelemahan yang
dimiliki antara lain: kurang siapnya personel TNI yang menjadi Penasihat Hukum saat
beracara di Pengadilan Umum; kurangnya koordinasi dengan Kepala Pengadilan tempat
Penasihat Hukum beracara; dan kurangnya sosialisasi tentang Keputusan Panglima TNI
Nomor Kep/1089/XII/2017 Tanggal 27 Desember 2017 tentang Petunjuk
Penyelenggaraan Bantuan Hukum di Lingkungan TNI kepada Hakim dan/atau JPU di
lingkungan Pengadilan Umum.
Upaya yang dapat dilakukan sebagai suatu strategi agar legalitas Penasihat
hukum TNI AD beracara di Peradilan Umum tidak dipermasalahkan antara lain:
pertama, untuk menyamakan pandangan/presepsi mengenai legalitas Penasihat hukum
TNI AD beracara di Peradilan Umum, perlu dilakukan dengan menyampaikan surat
kepada Kepala MA/Jaksa Agung mengenai Peraturan-peraturan Panglima TNI yang
mengatur mengenai penyelenggaraan bantuan hukum di TNI yang terbaru, sehingga
MA/Jaksa Agung dapat segera membuat Surat Edaran terkait hal tersebut, sehingga
penolakan yang terjadi saat persidangan di Pengadilan Umum dapat
diminimalkan/dihilangkan; kedua, dalam jangka pendek perlu segera dibentuk/disusun
peraturan pelaksanaan dari UU TNI mengenai bantuan hukum bagi Prajurit/PNS TNI
dan keluarganya, dengan mengacu kepada berbagai peraturan perundang-undangan
dan yurisprudensi yang ada, dalam jangka panjang perlu dilakukannya revisi/perubahan
terhadap UU TNI, dengan memasukkan substansi yang lebih detail mengenai hak-hak
Prajurit TNI dalam hal rawatan dinas bantuan hukum, termasuk mengusulkan revisi UU
Advokat kepada Menteri Hukum dan HAM sebagai pemrakarsa Rancangan Undang-
15

Undang tersebut dengan memasukkan subtansi pengaturan yang lebih detail mengenai
hak dan kewenangan penasihat hukum yang berasal biro hukum/dinas hukum
Kementerian dan Lembaga, TNI,dan Polri; ketiga, Ditkumad secara berjenjang,
mengusulkan baik secara lisan maupun tertulis menyampaikan kepada MA agar dalam
sistem e-court yang saat ini baru di implementasikan oleh Pengadilan Negeri di seluruh
wilayah Indonesia, agar memasukkan Penasihat Hukum dari Biro Hukum/Satuan Hukum
Kementerian/Lembaga, TNI, dan Polri sebagai bagian dari sistem sehingga mudah
dalam administrasi berperkara di Pengadilan Negeri; keempat, untuk menghilangkan
adanya kekhawatiran dari pihak pihak-pihak lain khususnya Advokat, bahwa Penasihat
Hukum TNI (PH TNI) mengambil hak dan kewenangan advokat profesi, sehingga
mengurangi lahan rejeki mereka,yang perlu dilakukan adalah menyampaikan sosialisasi
dan diskusi serta bersurat dengan organisasi Advokat yang ada tentang berbagai aturan
mengenai pemberian bantuan hukum oleh Pensihat Hukum TNI, bahwa pemberian
bantuan hukum tersebut sifatnya terbatas hanya kepada pihak-pihak yang diatur dalam
Peraturan Panglima TNI saja (11 pihak), sehingga hal tersebut tidak perlu dikhawatirkan
oleh Advokat; kelima, untuk mengatasi ketidak siapan PH TNI dalam bersidang di
Peradilan Umum, perlu diberikannya pembekalan kepada Perwira Hukum yang akan
beracara di Peradilan Umum mengenai legal standing PH TNI dalam beracara di PN,
termasuk membuat SOP bagi PH TNI yang akan beracara di PN; kelima, setiap satuan
hukum di TNI AD baik pusat maupun daerah harus menjalin komunikasi yang intensif
dengan Kepala Pengadilan Umum setempat dimana satuan tersebut berada, sehingga
akan memudahkan koordinasi apabila ada kesulitan administrasi atau
hambatan/penolakan di level bawahan; dan keenam, dalam berbagai forum kumunikasi
dan komunitas hukum baik dipusat maupun di daerah diperlukan sosialisasi tentang
Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/1089/XII/2017 Tanggal 27 Desember 2017 tentang
Petunjuk Penyelenggaraan Bantuan Hukum di Lingkungan TNI, khususnya kepada
Hakim dan/atau JPU di lingkungan Pengadilan Umum yang ada di wilayah masing-
masing, seperti pada saat pelaksanaan kegiatan pertemuan Forkompinda di daerah
yang di gagas oleh Kemdagri/Pemda.

Upaya apa yang harus dilakukan apabila Penasihat Hukum TNI AD di tolak
beracara di Peradilan Umum dan dipermasalahkan Legalitas beracara.
16

Penolakan yang terjadi terhadap legalitas PH TNI AD dalam beracara di Peradilan


Umum baik itu oleh Hakim dan/atau JPU menjadi salah satu hal yang menghambat hak
pencari keadilan dari keluarga TNI untuk dapat segera menyelesaikan perkaranya.
Walaupun penolakan tersebut tidak terjadi di semua wilayah PN, namun beberapa kasus
sempat menjadi pembicaraan hangat di media, seperti yang terjadi di Ambon, Medan
dan Bali, walaupun kemudian hambatan tersebut teratasi dengan dikeluarkannya ijin dari
Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Legal atau tidaknya Seorang/Tim PH TNI
AD yang beracara di Peradilan Umum, ditunjukkan dengan adanya izin dari Ketua
Pengadilan Negeri tempat/locus perkara tersebut disidangkan. Izin merupakan salah
satu instrumen yang paling banyak digunakan dalam hukum administrasi. N.M. Spelt
dan J.B.J.M. ten Berge menyatakan bahwa izin merupakan instrumen yuridis untuk
mengendalikan tingkah laku warga negara. Izin merupakan suatu persetujuan yang
diberikan kepada seseorang atau badan hukum untuk melakukan suatu aktivitas
tertentu. Aktivitas dimaksud berdasarkan ketentuan peraturan perundangan-undangan
tidak boleh atau dilarang untuk dilakukan, kecuali setelah mendapat persetujuan dari
pejabat yang berwenang. Artinya suatu aktivitas hanya boleh dilakukan setelah
mendapat izin. Izin hanya akan diberikan oleh pejabat yang berwenang setelah
dipenuhinya sejumlah persyaratan sebagaimana yang ditetapkan oleh peraturan
dasarnya.8
Oleh karena itu beberapa hal yang dapat dilakukan apabila Penasihat Hukum TNI
AD di tolak beracara di Peradilan Umum dan dipermasalahkan Legalitas beracara,
antara lain:
1) Menjelaskan kepada Majelis Hakim dan/atau JPU dasar legalitas PN TNI
AD beracara di Peradilan Umum, disertai dengan bukti-bukti surat perintah, surat
kuasa dari Terdakwa dan surat keterangan bahwa Terdakwa adalah subyek yang
berhak mendapat bantuan hukum dari PH TNI AD berdasarkan Keputusan
Panglima TNI Nomor Kep/1089/XII/2017, Kep Kasad Nomor /362/VI/2015 tentang
Juknis Penyelengaraan Bankum Pidana, dan Kep Kasad Nomor /363/VI/2015
tentang Juknis Penyelengaraan Bankum Perdata;
2) Membuat dan mengajukan surat ijin sebagai kuasa hukum insidentil
kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat;
8
N.M. Spelt dan J.B.J.M. ten Berge, Pengantar Hukum Perizinan, disunting oleh Philipus M. Hadjon,
Yuridika, Surabaya, 1993, hlm. 2-3.
17

3) Kepala satuan hukum di pusat atau daerah melakukan


koordinasi/komunikasi dengan Kepala Pengadilan Negeri setempat dimana PH
TNI AD tersebut akan beracara, dengan komunikasi dan koordinasi yang intensif
diharapkan Kepala Pengadilan akan memberikan ijin beracara; dan
4) Mengajukan surat permohonan kepada Ketua MA untuk memberikan ijin
Kuasa Hukum insidentil di PN apabila Ketua PN setempat masih tetap menolak
permohonan PH TNI AD.

PENUTUP

Dari uraian yang telah dibahas diatas mengenai legalitas Penasihat Hukum TNI
AD beracara di lingkungan peradilan umum, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan,
bahwa pemberian bantuan hukum oleh Penasihat Hukum TNI AD saat beracara di
Peradilan Umum adalah legal/sah, dilihat dari aspek kewenangan, prosedur dan
substansi perkara yang ditangani, dengan didasari beberapa peraturan perundang-
undangan dan yuridpridensi yang ada, seperti UU TNI, PP 39 Tahun 2010, SE Ketua
MA Nomor 2 Tahun 1971, Surat Ketua MA Nomor: MA/Kumdil/8810/IX/1987, Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor: 006/PUU-II/2004, Keputusan Ketua MA Nomor:
012/KMA/SK/II/2007, dan Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/1089/XII/2017.
Kemudian terkait dengan strategi yang dapat dilakukan agar legalitas PN TNI AD tidak
dipersoalkan lagi saat beracara di Peradilan Umum, antara lain: 1) perlunya membuat
dan menyampaikan surat kepada Ketua MA dan Jaksa Agung mengenai pihak-pihak
yang menjadi subyek bantuan hukum oleh PH TNI di lingkungan Peradilan Umum,
berdasarka Peraturan Panglima TNI yang terbaru; 2) mengajukan/melakukan
revisi/perubahan terhadap UU TNI dan UU Advokat dengan memasukkan bantuan
hukum bagi prajurit TNI sebagai salah satu substansi yang dibahas; 3)
membentuk/menyusun peraturan pelaksanaan dari UU TNI tentang bantuan hukum bagi
Prajurit TNI dalam bentuk Peraturan Pemerintah/Peraturan Presiden; 4) mengadakan
sosialisasi dengan organisasi Advokat mengenai ketentuan pemberian bantuan hukum
di TNI; 5) Ditkumad membuat SOP bagi PH TNI yang akan beracara di PN; dan 6)
memanfaatkan berbagai forum komunikasi Pemda dan komunitas hukum sebagai
sarana koordinasi dan sosialisasi penyelenggaraan bantuan hukum di lingkungan TNI.
Selanjutnya upaya yang dapat dilakukan apabila Penasihat Hukum TNI AD di tolak
18

beracara di Peradilan Umum dan dipermasalahkan Legalitas beracara, antara lain: 1)


memberikan penjelasan kepada Majelis Hakim dan/atau JPU dengan disertai argumen
yang kuat dan bukti-bukti surat; 2) mengajukan surat kuasa hukum insidentil kepada
Ketua PN setempat; 3) koordinasi kepala satuan hukum baik dipusat maupun di daerah
secara langsung dengan Kepala PN setempat; dan 4) mengajukan surat permohonan
insidentil kepada Ketua MA apabila Kepala PN tersebut tidak memberikan ijin.

Berdasarkan uraian pembahasan diatas mengenai legalitas Penasihat Hukum TNI


AD yang beracara di Peradilan Negeri tidak dipermasalahkan, maka saran yang dapat
disampaikan kepada Komando Atas antara lain: 1) Mengajukan usulan Rancangan
PP/Perpres tentang Bantuan Hukum bagi Prajurit TNI; 2) mengakselerasi pembahasan
RUU Perubahan terhadap UU TNI, dengan memasukkan pengaturan yang lebih jelas
dan rinci mengenai bantuan hukum bagi prajurit TNI sebagai salah satu substansi
pembahasan; 3) Mendorong MA, secara berjenjang, melalui Dirjen Badilmiltun MA agar
MA membuat Peraturan/Keputusan/SE Ketua MA mengenai legalitas Penasihat Hukum
TNI ketika beracara di lingkungan Peradilan Umum.
Demikian tulisan ini kami susun sebagai upaya untuk menggabarkan dan
menjelaskan mengenai mengenai legalitas Penasihat Hukum TN AD beracara di
lingkungan Peradilan Umum, kami sadar tentunya masih banyak kekurangan dalam
tulisan ini, selanjutnya saran dan masukan dari atasan dan rekan-rekan akan sangat
berguna untuk menyempurnakan tulisan ini. Terima kasih.

Manokwari, Maret 2020

Kalakdukbankum,

Shodiq Ali Masruri, S.Sos., S.H.


Mayor Chk NRP 11040008880679
19

Daftar Pustaka:

1. M. Spelt dan J.B.J.M. ten Berge, Pengantar Hukum Perizinan, disunting oleh
Philipus M. Hadjon, Yuridika, Surabaya, 1993.
2. Hadjon, Philipus M., Fungsi Normatif Hukum Administrasi Dalam Mewujudkan
Pemerintahan yang Bersih, Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum,
Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 10 Oktober 1994.
3. Undang-Undang RI Tahun1945
4. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
5. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI
6. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
7. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
8. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.
9. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2010 tentang Administrasi Prajurit TNI
10. Peraturan Panglima TNI Nomor Perpang 21/IV/2008 tentang Nasihat dan Bantuan
Hukum di Lingkungan TNI.
11. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 02/1971 tanggal 10 Februari 1971
tentang Pegawai Negeri/Anggota Militer yang melakukan pekerjaan sebagai
20

pembela/penasehat hukum di mka pengadilan.


12. Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor: MA/Kumdil/8810/IX/1987 tanggal 21
September 1987 tentang Izin sebagai Pembela/Penasihat hukum.
13. Putusan Mahkamah Konstitusi No : 006/PUU-II/2004 tanggal 13 Desember 2004.
14. Buku Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan
Perdata Khusus Buku II Edisi 2007 yang disahkan berdasarkan Keputusan Ketua
Mahkamah Agung (MA) No : 012/KMA/SK/II/2007 tanggal 5 Februari 2007.
15. Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/1089/XII/2017 Tanggal 27 Desember 2017
tentang Petunjuk Penyelenggaraan Bantuan Hukum di Lingkungan TNI.
16. https://medan.tribunnews.com/2018/10/10/hakim-tolak-tentara-jadi-kuasa-hukum-
dokter-gigi-yang-jadi-terdakwa-penganiayaan, Rabu 10 Oktober 2018, diakses
tanggal 27 Oktober 2020.
17. www.kompas.com tanggal 10 September 2019, Jaksa Keberatan Kivlan Zein
Didampingi Penasihat Hukum TNI.
LEGALITAS PENASIHAT HUKUM TNI AD BERACARA DI LINGKUNGAN PERADILAN UMUM

LANDASAN

 UU NO 34/2004
 UU NO 18/2003
 PP 39/2010
 KEP PANG TNI 1089/2017
 SEMA 2/1971
 SRT KET MA MA/Kumdil/8810/IX/1987
MENDUKUNG
PENCAPAIAN
FAKTOR INTERNAL STRATEGI CHK AD GUNA TUGAS POKOK
TERCIPTANYA LEGALITAS
PH TNI AD BERACARA DI
UPAYA
DILUM
 REVISI UU ADVOKAT
1. LEGALITAS PH TNI AD  REV UU TNI
LEGALITAS PH TNI BERACARA DI DILUM  BTK PP/PERPRES
AD YG BERACARA MSH BANKUM TNI PH TNI AD DPT SAIKARA
DI PERADILAN DIPERMASALAHKAN  KOORD DG MA UTK BERACARA DI EFEKTIF &
UMUM SAAT INI BUAT PER LING DILUM EFISIEN
2. BLM ADA STRATEGI YG MA/SEMA/SOP
TEPAT AGR LEGALITAS BANKUM TNI
PH TNI AD BERACARA  SOSIALISASI ATRN
DI DILUM TDK BANKUM TNI
DIPERMASALAHKAN
FAKTOR EKSTERNAL
3. UPAYA BILA PH TNI AD
DI TOLAK BERACARA DI
DILUM
FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI

 KENDALA
 KELEMAHAN

Anda mungkin juga menyukai