Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH HUKUM PERTAMBANGAN

DISUSUN OLEH :

ODE GENTA ANUGERAH SAPUTRA

(4012011067)

DOSEN PENGAMPU :

NDARU SATRIO

JURUSAN ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS BANGKA BELITUNG

2021/2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mineral dan batubara merupakan sumber daya alam tak terbarukan yang mempunyai

peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak, serta memberi nilai tambah

secara nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan

kesejahteraan rakyat. Kegiatan usaha penambangan mineral dan batubara yang mengandung

nilai ekonomi dimulai sejak adanya usaha untuk mengetahui posisi, area, jumlah cadangan,

dan letak geografi dari lahan yang mengandung mineral dan batubara. Setelah ditemukan

adanya cadangan maka proses eksploitasi (produksi), angkutan, dan industri penunjang

lainnya akan memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi sehingga akan terbuka persaingan

usaha di dalam rangkaian industri tersebut.

Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian,

pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batu bara yang meliputi penyelidikan umum,

eksploitasi, studi kelayakan, kontruksi, penambangan, pengelolahan dan pemurnian,

pengangkutan dan penjualan serta kegiatan pasca tambang. 1Hukum pertambangan merupakan

bagian dari hukum yang mengatur lingkungan hidup. Dalam perkembangannya, kejahatan

lingkungan sering terjadi di sekelilinglingkungan masyarakat, misalnya pertambangan.

Pertambangan merupakan usaha untuk menggali berbagai potensi-potensi yang terkandung

dalam perut bumi.2 Berdasarkan jenis mineralnya, pertambangan di Indonesia terbagi menjadi

tiga kategori. Pertama, Pertambangan Golongan A, meliputi mineral strategis seperti: minyak,

gas alam, bitumen, aspal, natural wax, antrasit, batu bara, uranium dan bahan radioaktif

lainnya, nikel dan cobalt. Kedua, Pertambangan Golongan B, meliputi mineral-mineral vital,

1
Undang-undang Pertambangan Mineral dan Batubara Nomor 4 tahun 2009.
2
Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia. (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 7.
seperti: emas, perak, intan, tembaga, bauksit, timbal, seng dan besi. Ketiga, Pertambangan

Golongan C, umumnya mineral mineral yang dianggap memiliki tingkat kepentingan lebih

rendah daripada kedua golongan pertambangan lainnya, meliputi berbagai jenis batu,

limestone, dan lain-lain.

Sebagai kegiatan usaha, industri pertambangan mineral dan batubara merupakan industri

yang padat modal (high capital), padat resiko (high risk), dan padat teknologi (high

technology). Selain itu, usaha pertambangan juga tergantung pada faktor alam yang akan

mempengaruhi lokasi dimana cadangan bahan galian. Dengan karakteristik kegiatan usaha

pertambangan mineral dan batubara tersebut maka diperlukan kepastian berusaha dan

kepastian hukum di dunia pertambangan mineral dan batubara.

Tahun 2009 merupakan babak baru bagi pertambangan mineral dan batubara di Indonesia

dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral

dan Batubara (selanjutnya dalam paper ini disebut UU Minerba), menggantikan Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan.3

Perubahan mendasar yang terjadi adalah perubahan dari sistem kontrak karya dan

perjanjian menjadi sistem perijinan, sehingga Pemerintah tidak lagi berada dalam posisi yang

sejajar dengan pelaku usaha dan menjadi pihak yang memberi ijin kepada pelaku usaha di

industri pertambangan mineral dan batubara. Kehadiran UU Minerba tersebut menuai pro dan

kontra. Ada sementara kalangan yang berpendapat bahwa beberapa kebijakan dalam UU

Minerba tersebut tidak memberikan kepastian hukum terkait dengan kegiatan usaha di bidang

pertambangan mineral dan batubara dan memberikan hambatan masuk bagi pelaku usaha

tertentu.

3
H. Salim HS, 2004, Hukum Pertambangan di Indonesia, Mataram, PT Raja Grafindo Persada, Cetakan. 1,
hlm. 55.
B. Rumusan Masalah

1. Apa dampak dari kegiatan pertambangan terhadap banyak aspek?

2. Bagaimana kelemahan UU Minerba ini sebenarnya secara obyektif?

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

Pada dasarnya UU Minerba mengandung pokok-pokok pikiran sebagai berikut:

1. Mineral dan batubara sebagai sumber daya yang tak terbarukan dikuasai oleh negara

dan pengembangan derta pendayagunaannya dilaksanakan oleh Pemerintah dan pemerintah

daerah bersama dengan pelaku usaha.

2. Pemerintah selanjutnya memberikan kesempatan kepada badan usaha yang berbadan

hukum Indonesia, koperasi, perseorangan, maupun masyarakat setempat untuk melakukan

pengusahaan mineral dan batubara berdasarkan izin, yang sejalan dengan otonomi daerah,

diberikan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya

masing-masing.4

3. Dalam rangka penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, pengelolaan

pertambangan mineral dan batubara dilaksanakan berdasarkan prinsip eksternalitas,

akuntabilitas, dan efisiensi yang melibatkan pemerintah dan pemerintah daerah.

4. Usaha pertambangan harus memberi manfaat ekonomi dan sosial yang sebesar-besar

bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.

4
Ten Berge, Hukum Perizinan, Diterbitkan Universitas Airlangga, hal. 4
5. Usaha pertambangan harus dapat mempercepat pengembangan wilayah dan

mendorong kegiatan ekonomi masyarakat/pengusaha kesil dan menengah serta mendorong

tumbuhnya industri penunjang pertambangan.

6. Dalam rangka terciptanya pembangunan berkelanjutan, kegiatan usaha pertambangan

harus dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip lingkungan hidup, transparansi, dan

partisipasi masyarakat.

Sistematika dalam UU Minerba tersebut adalah sebagai berikut:

1. Ketentuan Umum

2. Asas dan Tujuan

3. Penguasaan mineral dan batubara

4. Kewenangan pengelolaan pertambangan mineral dan batubara

5. Wilayah pertambangan

6. Usaha Pertambangan

7. Izin Usaha Pertambangan

8. Persyarataan Perizinan Usaha Pertambangan

9. Izin Pertambangan Rakyat

10. Izin Usaha Pertambangan Khusus

11. Persyaratan Perizinan Usaha Pertambangan Khusus

12. Data Pertambangan

13. Hak dan Kewajinan

14. Penghentian Sementara Kegiatan Izin Usaha Pertambangan dan Izin Usaha

Pertambangan Khusus
15. berakhirnya Izin Usaha Pertambangan dan Izin Usaha Pertambangan Khusus

16. Usaha Jasa Pertambangan

17. Pendapatan Negara dan Daerah

18. Penggunaan Tanang untuk Kegiatan Usaha Pertambangan

19. Pembinaan, Pengawasan, dan Perlindungan Masyarakat

20. Penelitian dan Pengembangan serta Pendidikan dan Pelatihan

21. Penyidikan

22. Sanksi Administratif

23. Ketentuan Pidana

24. Ketentuan Lain-lain

25. Ketentuan Peralihan

26. Ketentuan Penutup

Pertambangan adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan penggalian ke dalam tanah

(bumi) untuk mendapatkan sesuatu yang berupa hasil tambang (Gatot, 2012). Berdasarkan

Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009, pertambangan yaitu sebagian atau

seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau

batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi,

penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan

pascatambang. Dari pengertian tersebut dapat diartikan berbagai kegiatan pertambangan yang

dapat dilakukan sebelum penambangan, proses penambangan maupun sesudah proses

penambangan. Pengertian pertambangan mineral dan pertambangan batubara jelaslah sangat

berbeda. Pertambangan mineral adalah pertambangan dari kumpulan mineral yang berupa

bijih atau batuan, diluar panas bumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah. Sedangkan
pengertian pertambangan batubara adalah pertambangan endapan karbon yang terdapat di

dalam bumi, termasuk bitumen padat, gambut dan batuan aspal.

Wilayah pertambangan merupakan wilayah yang memiliki potensi mineral atau batubara

dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan yang merupakan bagian dari tata

ruang nasional. Dalam pengertian tersebut dikatakan wilayah pertambangan tidak terikat

dengan batasan administrasi pemerintahan, karena wilayah pertambangan tidak mengikuti

wilayah administrasi pemerintahan (provinsi, kabupaten/kota), sehingga diperlukan

koordinasi dan kerja sama antar pemerintah daerah apabila pertambangan terjadi di lintas

batas pemerintahan daerah. Wilayah yang dapat ditetapkan menjadi wilayah pertambangan

memiliki kriteria adanya: 1. Indikasi formasi batuan pembawa mineral dan/atau pembawa

batubara 2. Potensi sumber daya bahan tambang yang berwujud padat dan/atau cair

Penyiapan wilayah tambang dilakukan melalui kegiatan perencanaan wilayah pertambangan

dan penetapan wilayah pertambangan. Perencanaan wilayah pertambangan disusun melalui

tahap inventarisasi potensi pertambangan dan tahap penyusunan rencana wilayah

pertambangan. Sedangkan penetapan wilayah pertambangan dilaksanakan secara transparan,

partisipasif dan bertanggungjawab secara terpadu dengan memperhatikan pendapat dari

instansi pemerintah terkait, dan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi dan

sosial budaya serta berwawasan lingkungan, dan dengan memperhatikan aspirasi daerah.

Wilayah pertambangan salah satu bagian dari tata ruang nasional merupakan landasan bagi

penetapan kegiatan pertambangan. Untuk menetapkan wilayah pertambangan harus

didasarkan atas data-data yang diperoleh di lapangan dari hasil penelitian. Oleh karena itu

pemerintah dan pemerintah daerah diwajibkan untuk melakukan penyelidikan dan penelitian

pertambangan dalam rangka penyiapan wilayah pertambangan. Pasal 13 Undang-undang

Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara membagi bentuk wilayah

pertambangan ke dalam 3 (tiga) bagian yang terdiri atas Wilayah Usaha Pertambangan
(WUP), Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), dan Wilayah Pencadangan Negara (WPN).

Wilayah Usaha Pertambangan merupakan bagian dari wilayah pertambangan yang telah

memiliki ketersediaan data, potensi dan/atau informasi geologi. Pemerintah dapat

melimpahkan sebagian kewenangannya kepada pemerintah provinsi sesuai dengan ketentuan

perundang-undangan. Untuk 1 (satu) WUP terdiri atas 1 (satu) atau beberapa Wilayah Izin

Usaha Pertambangan (WIUP) yang berada pada lintas wilayah provinsi, lintas wilayah

kabupaten/kota, dan/atau dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota. WIUP merupakan wilayah

yang diberikan kepada pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP). Luas dan batas WIUP

ditetapkan oleh pemerintah berkoordinasi dengan pemerintah daerah berdasarkan kriteria

yang dimiliki oleh pemerintah.

Izin Usaha Pertambangan Istilah Izin Usaha Pertambangan yang selanjutnya disebut IUP

berasal dari terjemahan bahasa inggris, yaitu mining permit (Salim, 2012). Definisi IUP

menurut Pasal 1 angka 7 Undang-undang 18 Nomor 4 Tahun 2009 adalah izin untuk

melaksanakan usaha pertambangan. Namun dengan adanya Undang-undang Nomor 23 Tahun

2014 tentang Pemerintah Daerah, maka yang berwenang memberikan Izin Usaha

Pertambangan adalah Pemerintah Provinsi sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya.

Prinsip pemberian IUP yang diatur di dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009

merupakan salah satu IUP hanya diperbolehkan untuk satu jenis tambang. Satu IUP diberikan

untuk satu jenis mineral atau batubara. Pemberian IUP tidak boleh lebih dari satu jenis

tambang (Gatot 2012). IUP dikenal ada dua macam yaitu IUP Eksplorasi dan IUP Operasi

Produksi, yang penerbitan izinnya dilakukan secara bertahap.

B. Landasan Teori

1. Teori Kewenangan

Fokus kajian teori kewenangan adalah berkaitan dengan sumber kewenangan dari

pemerintah dalam melakukan perbuatan hukum dalam hubungannya dengan hukum


publik maupun dalam hubungannya dengan hukum privat. Kewenangan itu meliputi :

1. Atribusi. 2. Delegasi. 3. Mandat. Atribusi ialah pemberian kewenangan oleh

pembuat undangundang sendiri kepada suatu organ pemerintahan, baik yang sudah

ada maupun yang baru sama sekali. Delegasi adalah penyerahan wewenang yang

dipunyai oleh organ pemerintahan kepada organ yang lain. Dalam delegasi

mengandung suatu penyerahan, yaitu apa yang semula kewenangan si A, untuk

selanjutnya menjadi kewenangan si B. Kewenangan yang telah diberikan oleh

pemberi delegasi selanjutnya menjadi tanggung jawab penerima wewenang. Mandat

diartikan suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan. Pelimpahan itu bermaksud

memberi wewenang kepada bawahan untuk membuat keputusan a.n (atas nama)

pejabat yang memberi mandat. Tanggungjawab tidak berpindah ke mandataris,

melainkan tanggungjawab tetap berada di tangan pemberi mandat, hal ini dapat dilihat

dan kata a.n (atas nama). Dengan demikian, semua akibat hukum yang ditimbulkan

oleh adanya keputusan yang dikeluarkan oleh mandataris adalah tanggung jawab si

pemberi mandat.

2. Teori Tanggung Jawab

Ada dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban dalam kamus hukum, yaitu

liability dan responsibility. Liability merupakan istilah hukum yang luas yang

menunjuk hampir semua karakter risiko atau tanggung jawab, yang pasti, yang

bergantung atau yang mungkin meliputi semua karakter hak dan kewajiban secara

aktual atau potensial seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya atau kondisi yang

menciptakan tugas untuk melaksanakan undang-undang. Responsibility berarti hal

yang dapat dipertanggungjawabkan atas suatu kewajiban, dan termasuk putusan,

ketrampilan, kemampuan dan kecakapan meliputi juga kewajiban bertanggung jawab

atas undang-undang yang dilaksanakan. Dalam pengertian dan penggunaan praktis,


istilah liability menunjuk pada pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung gugat

akibat kesalahan yang dilakukan oleh subyek hukum, sedangkan istilah responsibility

menunjuk pada pertanggungjawaban politik.5Tanggung jawab (responsibility)

merupakan suatu refleksi tingkah laku manusia. Penampilan tingkah laku manusia

terkait dengan kontrol jiwanya, merupakan bagian dari bentuk pertimbangan

intelektualnya atau mentalnya. Bilamana suatu keputusan telah diambil atau ditolak,

sudah merupakan bagian dari tanggung jawab dan akibat pilihannya. Tidak ada alasan

lain mengapa hal itu dilakukan atau ditinggalkan. Keputusan tersebut dianggap telah

dipimpin oleh kesadaran intelektualnya. Tanggung jawab dalam arti hukum adalah

tanggung jawab yang benar-benar terkait dengan hak dan kewajibannya, bukan dalam

arti tanggung jawab yang dikaitkan dengan gejolak jiwa sesaat atau yang tidak

disadari akibatnya.6

3. Teori Kesejahteraan

Kesejahteraan adalah salah satu aspek yang cukup penting untuk menjaga dan

membina terjadinya stabilitas sosial dan ekonomi.kondisi tersebut juga diperlukan

untuk meminimalkan terjadinya kecemburuan sosial dalam masyarakat. Selanjutnya

percepatan pertumbuhan ekonpomi masyarakat memerlukan kebijakan ekonomi atau

peranan pemerintah dalam mengatur perekonomian sebagai upaya menjaga stabilitas

perekonomian. Tingkat kesejahteraan seseorang dapat terkait dengan tingkat kepuasan

(utility) dan kesenangan (pleasure) yang dapat diraih dalam kehidupannya guna

mencapai tingkat kesejahteraannya yang diinginkan. Maka dibutuhkan suatu prilaku

yang dapat memaksimalkan tingkat kepuasa sesuai dengan sumberdaya yang tersedia.

Kesejahteraan hidup seseorang dalam realitanya, memiliki banyak indicator

keberhasilan yang dapat diukur. Dalam hal ini Thomas dkk. (2005:15) menyampaikan
5
Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 335-337.
6
Masyhur Efendi, Dimensi / Dinamika Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional Dan Internasional, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1994, hlm. 121.
bahwa kesejahteraan masyarakat menengah ke bawah dapat di representasikan dari

tingkat hidup masyarakat ditandai oleh terentaskannya kemiskinan, tingkat kesehatan

yang lebih baik, perolehan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, dan peningkatan

produktivitas masyarakat. Kesemuanya itu merupakan cerminan dari peningkatan

tingkat pendapatan masyarakat golongan menengah kebawah.

BAB III

PEMBAHASAN

A. Dampak dari Kegiatan Pertambangan Terhadap Banyak Aspek

Dampak kegiatan pertambangan terhadap lingkungan dilihat dari beberapa aspek,


menurut (Rissamasu, 2012) yaitu:

a. Aspek fisik

Kegiatan pembukaan lahan atau penyiapan lahan akan mengakibatkan hilangnya


tanaman penutup tanah dan pohon. Dengan begitu akibat dari hilangnya tanaman
penutup ini permukaan tanah menjadi rawan erosi oleh air maupun angin. Dan
terjadinya erosi oleh air permukaan serta penurunan kualitas tanah.

b. Aspek kimia

Penurunan kualitas kimiawi air permukan, air tanah, udara serta tanah akibat
masuknya unsur kimia yang berasal dari kegiatan pertambangan yang melampaui
baku mutu yang telah ditetapkan. Kegiatan sarana penunjang mempunyai pencemaran
yang berpotensi melepaskan limbah cair, padat maupun gas ke lingkungan dengan
karakteristik fisik maupun kimiawi berbeda.

c. Aspek biologi

Dengan adanya kegiatan pembukaan lahan dalam skala luas akan mengurangi jumlah
dan jenis tumbuhan lokal, dan berakibat menimbulkan kepunahan terutama
jenis/spesies indemik daerah tersebut. Flora dan fauna sangat rentan pada perubahan
lingkungan, sehingga upaya untuk mengembalikan seperti semula akan sulit berhasil.

d. Aspek sosial, ekonomi dan budaya

Salah satu sumber devisa negara yaitu kegiatan pertambangan dengan padat teknologi
dan padat modal. Perputaran ekonomi yang terjadi pada saat proyek berlangsung akan
merangsang pada pertumbuhan sektor perekonomian di daerah tersebut. Dan
terbukanya lapangan kerja untuk masyarakat setempat untuk membantu kegiatan
pertambangan. Dengan masuknya berbagai macam budaya dan pola hidup setiap
orang yang bekerja dalam proyek pertambangan ini, secara bertahap akan
mempengaruh pola kehidupan sosial dan budaya masyarakat setempat.

e. Aspek kesehatan dan keamanan

Kegiatan pertambangan di daerah tersebut akan berdampak pada lingkungan yang


mengakibatkan munculnya jenis penyakit pada masyrakat yang disebabkan oleh
kegiatan tersebut. Adanya perubahan kehidupan sosial, sehingga tidak jarang timbul
masalah akibat adanya perbedaan yang mungkin tidak bisa diterima masyarakat
setempat. Dengan begitu akan menimbulkan kerawanan keamanan yang dapat
mengganggu kelancaran pertambangan itu sendiri.

f. Reklamasi tambang

Reklamasi merupakan upaya yang terencana untuk mengembalikan fungsi dan daya
dukung lingkungan pada lahan bekas kegiatan tambang yang baik dan benar sejak
awal sudah mencantumkan upaya reklamasi suatu lahan bekas tambang, bahkan
dimana lapangan memungkinkan reklamasi juga dilakukan pada saat tambang masih
berjalan. Semua kegiatan reklamasi tertera di Peraturan Menteri Ekonomi Sumber
Daya Manusia No 18 Tahun 2008 Tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang.

Dampak Pencemaran Udara Terhadap Kesehatan Manusia

Pada tingkat konsentrasi tertentu zat-zat pencemar udara dapat berakibat langsung
terhadap kesehatan manusia, baik secara mendadak atau akut, menahun atau kronis/sub-klinis
dan dengan gejala-gejala yang samar. Dimulai dari iritasi saluran pernafasan, iritasi mata dan
alergi kulit sampai pada timbulnya tumbuhan atau kanker paru. Gangguan kesehatan yang
diakibatkan oleh pencemaran udara dengan sendirinya mempengaruhi daya kerja seseorang,
yang berakibat turunnya nilai produktivitas serta mengakibatkan kerugian ekonomis pada
jangka panjang dan timbulnya permasalahan sosial ekonomi keluarga dan masyarakat.

Dampak buruk polusi udara bagi kesehatan manusia tidak dapat dibantah lagi, baik
polusi udara yang terjadi di alam bebas (Outdoor air polution) ataupun yang terjadi di dalam
ruangan (Indoor air polution), polusi yang terjadi di luar ruangan terjadi karena bahan
pencemar yang berasal dari industri, transportasi, sementara polusi yang terjadi di dalam
ruangan dapat berasal dari asap rokok dan gangguan sirkulasi udara. Ada tiga cara masuknya
bahan pencemar udara kedalam tubuh manusia, yaitu melalui inhalasi, ingestasi dan penetrasi
kulit. Inhalasi merupakan masuknya bahan pencemar udara ke tubuh manusia melalui sistem
pernafasan. Bahan pencemar tersebut dapat menimbulkan gangguan pada paru-paru dan
saluran pernafasan, selain itu bahan pencemar ini kemudian masuk dalam peredaran darah
dan menimbulkan akibat pada alat tubuh lain. Bahan pencemar udara yang berdiameter cukup
besar tidak jarang masuk ke saluran pencernaan (ingestasi) ketika makan atau minum, seperti
juga halnya di paru-paru, maka bahan pencemar yang masuk ke dalam pencernaan dapat
menimbulkan efek lokal dan dapat juga menyebar ke seluruh tubuh melalui peredaran darah.
Permukaan kulit dapat juga menjadi pintu masuk bahan pencemar dari udara, sebagian besar
pencemar hanya menimbulkan akibat buruk pada bagian permukaan kulit seperti dermatitis
dan alergi saja, tetapi sebagian lain khususnya pencemar organic dapat melakukan penetrasi
kulit dan menimbulkan efek sistemik.

B. Kelemahan UU Minerba Secara Obyektif

Sepanjang 40 tahun terakhir, sejak UU No 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan

Pokok Pertambangan, kegiatan pengerukan di tanah air sangatlah identik dengan pencemaran,

penghancuran lingkungan dan sumber-sumber kehidupan rakyat, juga pelanggaran hak azasi

manusia, utamanya penduduk lokal sekitar tambang hingga kawasan hilir, pesisir maupun

pulau pulau kecil. Banyak pihak menuntut perubahan kebijakan pengurusan kekayaan

tambang.

Celakanya, penggantinya UU Minerba, masih kadaluwarsa isinya. RUU Minerba

akhirnya disahkan Sidang Paripurna DPR Senayan, 16 Desember 2008, setelah dibahas lebih

4 tahun, ditengah kontraversi berbagai kalangan, khususnya masyarakat sipil. Aksi walkout

tiga fraksi (PKS, PKB, dan PAN) mewarnai sidang. Panjangnya waktu pembahasan, ternyata

tak merubah subtansi UU ini lebih baik dari pendahulunya. UU ini mengancam keselamatan

warga negara dan lingkungan. Pemerintah dan Partai-partai penguasa Senayan, hanya

merubah UU lama dengan bungkus baru.

Sebagai reaksi tehadap pengundangan tersebut, kelompok masyarakat sipil, khususnya

JATAM, ICEL, HUMA, WALHI, KAU, SPI, dan KIARA menyatakan kecewa terhadap

proses dan substansi UU Minerba. Sebelumnya, mereka telah menyatakan penolakan

terhadap rencana pengesahan, jika DPR senayan memperbaiki subtansi UU tersebut. Secara

proses, pengundangan UU Minerba belum mengakomodir masukan publik. Secara substansi,

UU Minerba tak bergeser dari paradigma lama : jual murah keruk habis. Bahan tambang

sebatas menjadi komoditas dagang, eksploitatif dengan pendekatan top down, yang sepanjang

41 tahun lebih telah menimbulkan persoalan yang komplek di masyarakat.


Secara filosofis, kekayaan alam termasuk mineral dan batubara dikuasakan kepada

negara oleh rakyat, untuk dikelola bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ini tertuang dalam

aturan dasar negara (state fundamental norm) yaitu Pasal 33 Ayat (3) UUD RI 1945. Pasal ini

memberikan mandat negara untuk mengusai sumber daya alam dengan tujuan kemakmuran

bagi rakyat, selaku pemberi mandat, dalam teori kontrak sosial berdirinya suatu negara.

Dengan demikian, pasal ini harus ditafsirkan sepaket dengan bagaimana negara harus

mengelola sumber daya alam (SDA) sebagai sumber daya publik secara baik.

Oleh karenanya, setidaknya ada empat syarat agar pengelolaan sumber daya

pertambangan dilakukan secara baik:

1) Pengakuan terhadap hak-hak masyarakat, terutama yang memiliki keterkaitan

langsung dengan sumber daya pertambangan dan lingkungan.

2) Pengakuan dan pengaturan secara jelas dan tegas tentang transparansi, partisipasi, dan

akuntabilitas dalam pengelolaannya. Ini merupakan tiga pilar penting mewujudkan

good governance dan demokratisasi dalam pengelolaan pertambangan.

3) Akses keadilan, apabila hak-hak masyarakat dan prinsip transparansi dan partisipasi

dilanggar.

4) Pengakuan keterbatasan daya dukung dan daya tampung lingkungan.

Apakah UU Minerba telah memenuhi syarat-syarat diatas? Tidak.

Pertama. UU Minerba jelas bias darat, tak menaruh pertimbangan dinamika oseanografi

dan pentingnya menjaga perairan laut Indonesia; keluar dari konsepsi Indonesia sebagai

negara kelautan. Itulah mengapa perijinan di darat tak dibatasi, padahal tempat buangan

limbahnya berujung ke pesisir dan laut. Dan laut merupakan ruang hidup dan penghidupan

masyarakat. Konsekuensi sebagai negara kepulauan, membuat lebih 60% penduduknya

tinggal di wilayah hilir, pesisir dan pulau-pulau kecil. Dalam banyak kesempatan, diketahui
kegiatan pertambangan kerap menjadikan wilayah pesisir dan laut, baik melalui sungai,

lokasinya beroperasi layaknya jamban, tenpat buang kotoran. Kasus pencemaran di Teluk

Buyat, Sulawesi Utara, dan banyak perairan lainnya, menunjukkan bahwa atas nama

pertambangan, pemerintah dan industri dengan yakin mencemari wilayah laut yang sekaligus

tempat hidup jutaan nelayan Indonesia hingga hari ini. UU Minerba tidak bisa menjawab hal

tersebut, abai menanggapi masalah pencemaran pesisir dan laut akibat kegiatan

pertambangan.

Kedua. Tak heran, jika sistem perijinan dengan pertimbangan administratif, yang

dipromosikan UU Minerba tidak relevan, baik secara geografis, ekologis, apalagi dalam

konteks Republik Indonesia sebagai negara maritim. Seyogyanya cakupan perijinan

mengedepankan perhatian terhadap kerentanan satuan-satuan ekosistem, hingga

ketergangguan sosial-ekonomi masyarakat. Pertimbangan ini didasari pada karakter material

pencemar pada kegiatan pertambangan yang bersifat akumulatif dan dapat terdistribusi secara

luas, baik oleh media air dan udara. Ambil contoh, jika pencemaran dilakukan di perairan

sungai hingga laut, yang notabenenya bukanlah - tidak mungkin, menjadi bagian konsesi

yang diberikan pemerintah. Barang tentu sistem perijinan yang bersifat administratif tersebut

kaku, bahkan sejak awal abai mempertimbangkan pengurusan dampaknya ekologisnya.

Belum lagi, masyarakat yang tinggal di wilayah hilir (pesisir), umumnya tak dimasukkan

dalam kategori masyarakat yang terkena dampak langsung, karena kawasannya dianggap tak

masuk dalam kawasan tambang. Bisa dipastikan, warga pesisir akan sangat terancam dan

diabaikan keselamatannya oleh negara. Dan saat terjadi pencemaran, lebih sulit lagi jika

terjadi di perairan laut, yang dimensi pencemarannya bisa meliputi satu kabupaten, antar

kabupaten, antar propinsi, satu Negara, bahkan antar negara “marine pollution is no

boundaries”.
Ketiga. Pasal-pasal UU Minerba lebih banyak mengurus para pemodal. UU ini hanya

mengatur keberlanjutan ekploitasi bahan tambang dan keuntungan jangka pendek dari pajak

dan royalty. Ini terbaca dari BAB IVUU Minerba tentang kewenangan, dimana pemerintah

disemua level dapat mengeluarkan izin pertambangan, izin bisa diberikan kepada badan

usaha, koperasi dan perseorangan (pasal 38), yang luas konsesinya 1 ha hingga 100 ribu ha.

Keempat. UU Minerba tidak memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak

masyarakat adat. Dalam BAB XIII tentang Hak dan Kewajiban, yang diatur hanya Hak dan

Kewajiban yang diatur hanya sebatas hak dan kewajiban bagi pemegang izin pertambangan

(Pasal 90-112). UU tersebut tetap tak mau mengakui bahwa rakyat memiliki hak untuk

membuat keputusan apakah investasi tambang bisa ditanamkan di tanah mereka atau

diwilayah-wilayah yang jika ditambang akan mengancam sumber-sumber kehidupan mereka,

yag belakangan dikenal dengan istilah Free and Prior Inform Consent4. Terkait tanahnya,

rakyat hanya diberi dua pilihan dalam UU Minerba ini, menerima ganti rugi yang ditentukan

sepihak oleh pemerintah/ perusahaan atau jalur pengadilan. Ini jelas pelanggaran atas

kovenan internasional hak Ekonomi dan sosial budaya.

Kelima. UU Minerba secara asas mengakui prinsip transparansi, partisipasi dan

akuntabilitas. Namun itu kamuflase, sebab bagian ini tidak tercermin tegas dan jelas dalam

pasal-pasal. UU Minerba mengatur peran serta atau partisipasi namun masih sangat umum

dan terbatas. Pengakuan secara umum artinya penormaan tentang asas tersebut hanya sebatas

pengakuan prinsip tanpa diberikan aturan atau mandat pengaturan tentang bagaimana

mekanisme yang harus dibuat pemerintah agar bisa diterapkan, maupun penanggungjawab

usaha dalam menerapkan prinsip-prinsip tersebut secara nyata. Misalnya dalam hal

partisipasi, norma yang diatur masih sebatas pemberian kewenangan kepada Pemerintah

Provinsi untuk meningkatkan peran serta masyarakat (Pasal 7). Permasalahannya, partisipasi

masyarakat harusnya wajib dikelola pemerintah dalam semua level, baik Kab/Kota, Provinsi
dan Pusat. Demikian pula Pasal 10, yang menyatakan bahwa dalam penetapan wilayah

pertambangan harus dilaksanakan:

1) Secara transparan, partisipatif dan bertanggung jawab

2) Secara terpadu dengan memperhatikan pendapat dari instansi pemerintah terkait,

masyarakat dan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi dan sosial

budaya, serta berwawasan lingkungan

3) Memperhatikan aspirasi daerah. Permasalahannya, mekanisme partisipasi untuk

menjalankan ketentuan ini belum diatur dalam UU Minerba, dan tidak dimandatkan

untuk diatur. Seperti biasa, ketentuan ini bisa ditafsirkan sepihak penguasa, menjadi

terserah mereka tanpa parameter atau indikator yang jelas dan disepakati pihak-pihak

berkepentingan termasuk masyarakat. Selain itu, kepentingan partisipasi seharusnya

tak hanya saat menetapkan wilayah, tapi juga tahapan pemberian izin usaha.

Keenam. Akses keadilan harus kita jadikan titik tekan dalam UU Minerba ini, sebagai

prasyarat penting kepastian hukum, tidak hanya kepastian untuk mengeruk, tapi juga

kepastian hak-hak masyarakat tak dilanggar. Banyak pasal UU Minerba tak menjamin akses

keadian (access to justice) bagi masyarakat, diantaranya:

1) Tidak menyediakan mekanisme pengaduan dan penyelesaian sengketa yang

komprehensif sebagai saluran masyarakat mendapatkan keadilan.

2) Lemahnya pengaturan yang membuat pemerintah bertindak tegas terhadap pelanggar

UU Minerba.

3) Lemahnya pengaturan tentang hak prosedural dan beban pembuktian untuk

memperoleh keadilan bagi masyarakat.

4) UU Minerba berpotensi mengkriminalkan masyarakat yang memperjuangkan hak-

haknya. Padahal, mekanisme pengaduan dan penyelesaian sengketa merupakan


saluran penting bagi masyarakat yang hak-haknya dilanggar. UU Minerba tidak

mengatur tentang hal tersebut. Penyelesaian sengketa hanya diatur penyelesaiannya

melalui pengadilan dan arbitrase. Selain itu, UU Minerba tidak memberikan mandat

tegas, supaya pemerintah menjatuhkan sanksi administrasi bagi pelanggaran

ketentuan UU Minerba. Pasal 151 hanya menyatakan, pemerintah (Menteri,

Gubernur, atau Bupati/Walikota) berhak memberikan sanksi administratif kepada

pemegang IUP, IPR, dan IUPK atas pelanggaran ketentuan UU Minerba. Berhak

disini, bisa direduksi macam-macam oleh pemerintah di berbegai level, seperti

praktek-praktek saat ini. Dan kembali melanggar hak-hak masyarakat, dan pasif

(diam) terhadap pelanggaran yang terjadi.

5) Apalagi, ada lubang serius dalam penegakan sanksi administrasi pada UU No. 23

Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang diulang pada UU Minerba.

Pada UU 23/1997, pemerintah diberi mandat menjatuhkan sanksi administrasi bagi

pencemar lingkungan. Sebab sanksi pencabutan izin, harus dikeluarkan instansi

pemberi izin (sektoral), padahal kewenangan instansi lingkungan sebatas pemberian

rekomendasi yang tidak mengikat, apabila instansi pemberi izin (sektoral), misalnya

Departemen ESDM menolak, maka rekomendasi itu pun tumpul. Lubang ini diulang

pasal 151 UU Minerba.

Ketujuh. Hak prosedural merupakan bagian dari pemenuhan akses keadilan masyarakat.

Secara prosedural UU Minerba tak memberi saluran memadai untuk mendapatkan keadilan.

Misalnya, prosedur gugatan perwakilan (class action) apabila terdapat kerugian yang timbul

akibat usaha pertambangan. Gugatan perwakilan akan mempermudah dan menekan biaya

yang harus dikeluarkan masyarakat ketika mendapatkan dampak yang sifatnya luas/masif dari

usaha pertambangan. Memang UU 23/1997 telah mengatur tentang gugatan perwakilan,


namun hal tersebut masih sebatas untuk kerugian lingkungan, sedangkan dampak dari usaha

pertambangan bisa jadi tidak hanya kerugian lingkungan saja.

Kedelapan. Pasal 145 mengatur tentang perlindungan masyarakat, judul pasal memang

bagus, tapi lagi-lagi tipuan. Pasal 145 tentang Perlindungan Masyarakat ternyata tak seindah

judul pasalnya. Pasal ini beresiko melahirkan pelanggaran HAM baru. Awalnya, tentang

masyarakat terkena dampak. UU Minerba hanya mengenal masyarakat terkena dampak

negatif langsung kegiatan usaha pertambangan.

BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Sebagai kegiatan usaha, industri pertambangan mineral dan batubara merupakan industri

yang padat modal (high capital), padat resiko (high risk), dan padat teknologi (high

technology). Selain itu, usaha pertambangan juga tergantung pada faktor alam yang akan

mempengaruhi lokasi dimana cadangan bahan galian. Dengan karakteristik kegiatan usaha

pertambangan mineral dan batubara tersebut maka diperlukan kepastian berusaha dan

kepastian hukum di dunia pertambangan mineral dan batubara.

Celakanya, UU Minerba, masih kadaluwarsa isinya. RUU Minerba akhirnya disahkan

Sidang Paripurna DPR Senayan, 16 Desember 2008, setelah dibahas lebih 4 tahun, ditengah

kontraversi berbagai kalangan, khususnya masyarakat sipil. Namun, panjangnya waktu

pembahasan, ternyata tak merubah subtansi UU ini lebih baik dari pendahulunya. UU

Minerba ini mengancam keselamatan warga negara dan lingkungan. Pemerintah dan Partai-

partai penguasa Senayan, hanya merubah UU lama dengan bungkus baru.


B. SARAN

Banyak hal bisa dilakukan untuk menolak UU pertambangan lama dan UU Minerba yang

kadaluarsa. Salah satunya, terus menuntut penataan ulang pengurusan kekayaan, lewat

penghentian ijin baru, kaji ulang perijinan lama, pembatasan produksi hanya utuk kebutuhan

mendesak rakyat dan membawa UU Minerba ke Mahkamah Konstitusi.

DAFTAR PUSTAKA

H.Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia. (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), hlm.
7.
Ten Berge, Hukum Perizinan, Diterbitkan Universitas Airlangga, hal. 4
H. Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia, Mataram, PT Raja Grafindo Persada, 2004,
Cetakan. 1, hlm. 55.
Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 335-
337.
Masyhur Efendi, Dimensi / Dinamika Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional Dan
Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hlm. 121.
Kementerian Energi dan Sumber Daya: Direktorat Jenderal Geologi dan Sumber Daya
Mineral, Naskah Akademik Rancangan Undang- Undang tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara. 2004

UNDANG – UNDANG
Undang-undang Pertambangan Mineral dan Batubara Nomor 4 tahun 2009.

Anda mungkin juga menyukai