Anda di halaman 1dari 23

PENGELOLAAN PENAMBANGAN EMAS DI GUNUNG BOTAK ,

KAJIAN HUKUM LINGKUNGAN

ABSTRAK

Dewasa ini berbagai daerah di Indonesia telah banyak terjadi perubahan

ekosistem yang disebabkan oleh aktifitas manusia. Peran manusia dalam

menciptakan ekosistem buatan, dimana manusia mampu mengontrol, melestarikan

dan memulihkan lingkungan yang berada disekitar. Salah satu kegiatan manusia

yang dapat merubah ekosistem adalah terjadi di Maluku Tengah pulau Buru

kecamatan Waeapo yakni pengelolaan penambangan liar di gunung Botak.

Penambangan emas yang dilakukan di gunung Botak pulau Buru oleh

masyarakat setempat dan para pendatang masih mengunakan cara yang sangat

sederhana. Para penambang mengali lubang baik secara vertikal maupun horisontal,

5 sampai 10 meter untuk mengambil pendapatan yang cukup bagi para

penambangan , sehingga banyak masyarakat yang tergiur untuk melakukan

kegiatan penambangan dan meninggalkan pekerjaan mereka yang lama.

Besarnya penghasilan yang didapat penambang emas di gunung Botak

diikuti pula dengan besarnya dampak yang terjadi akibat adanya penambangan

emas yakni dari sisi lingkungan. Daerah gunung Botak menjadi rawan longsor
karena adanya pengalian pengalian lubang untuk pertambangan. Banyak pohon

yang ditebang / dirusak untuk keperluan para penambang membuat tenda dan

membuat lubang tambang, daerah yang mulanya merupakan ekosistem hutan

berubah menjadi lubang tambang yang ditinggalkan penambang tanpa dilakukan

rehabilitasi, hal ini sangat merusak lingkungan. Kerusakan ekosistem hutan

berdampak pada ketidakseimbangan sistim alam yang berdampak pada sungai yang

mulanya bersih menjadi kotor dan tercemar mercury,

Salah satu dampak yang timbul akibat penambangan emas yakni terjadi

penurunan kualitas air , air yang biasanya digunakan untuk kebutuhan manusia

untuk minum tidak dapat dimanfaatkan karena terjadinya kekeruhan air..Terjadi

peningkatan konsentrasi logam berat seperti adanya merkuri yang biasanya

ditemukan dibadan sungai akibat limbah hasil pengelolahan. Para penambang juga

tidak memiliki kuasa / izin untuk pertambangan , sehingga para penambang

melakukan kegiatan tidak sesuai dengan aturan aturan yang berlaku.Dari dampak

yang ditimbulkan dari aktifitas penambangan emas sangat tidak sesuai dengan UU

No 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan Dan Perlindungan Lingkungan Hidup .

Maka sangat dibutuhkan perhatian pemerintah dalam hal ini pemerintah

kabupaten Buru untuk melakukan kewenangan sesuai dengan aturan yang berlaku.

Oleh karena itu penyelengaraan pembinaan dan Pengawasan harus dilakukan

berdasarkan pedoman dan standar yang baku diperoleh kejelasan dan kepastian bagi

pelaku usaha yang melakukan kegiatan usaha dibidang mineral dan batubara.
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pengrusakan lingkungan hidup yang terjadi akan menjadi permasalahan

bilamana salah satu komponen terganggung kelestariannya sebagai akibat dari

kegiatan lainnya dalam hal ini adalah kegiatan manusia. Pengrusakan yang

dilakukan oleh manusia akan berdampak negatif pada lingkungan hidup , tetapi juga

akan berdampak pada kelangsungan hidup manusia itu sendiri.

Permasalahan lingkungan hidup pada dasarnya merupakan permasalahan

serius, baik bagi individu maupun kolektivitas masayarakat. Namun demikian

permasalahan lingkungan hidup baru mendapat perhatian dalam dasawarsa 1970.

Dengan adanya Konferansi PBB tentang lingkungan hidup di Stockhlom dibuka

pada tanggal 5 juni 1972 yang kemudian tanggal disepakati sebagai Hari

Lingkungan Hidup sedunia. Dalam Konferensi Stockhlom tersebut telah disetujui

banyak Resolusi tentang lingkungan hidup yang digunakan sebagai landasan tindak

lanjut.

Sebagai negara hukum, pengembangan sistim pengelolaan lingkungan

hidup di Indonesia harus diberi dasar hukum yang jelas dan menyeluruh, agar usaha

pengelolaan lingkungan hidup mendapat kepastian hukum yakni Undang Undang

No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang


merupakan ketentuan payung (umbrella Provision) bagi pembentukan sistim

hukum lingkungan nasional [1].

Sumber daya alam berupa tambang merupakan salah satu andalan negara

Indonesia setelah pertanian. Beberapa peraturan nasional baik berupa Undang

Undang, peraturan pemerintah maupun keputusan menteri yang mengatur tentang

antara lain Undang Undang No 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan

Batubara, Peraturan Pemerintah No 55 tahun 2010 tentang Pembinaan dan

Pengawasan Penyelengaraan dan Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral dan

Batubara, Peraturan Pemerintah No 24 tahun 2012 tentang perubahan Atas

Peraturan Pemerintah No 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha

Pertambangan Mineral Dan Batubara.

Tahun 1970 di Indonesia, perkembangan industri pertambangan meningkat

untuk memenuhi kebutuhan dalam maupun luar negeri. Berbagai komoditi di olah

dari pertambangan minyak dan gas bumi, batu bara, timah, emas dan perak, juga

bahan galian seperti pasir, batu kali, batu gamping yang juga diikuti dengan

pertumbuhan industri pengelolaan serta pembuatan barang jadi. Dampak yang

ditimbulkan dari industri pertambangan sangat beragam tergantung dari jenis

komoditi dan ciri penyebarannya. Selain dampak lingkungan, kegiatan

pertambangan juga dapat menimbulkan dampak sosial, ekonomi dan kriminal.[2]

Maluku terletak diantara pertemuan tiga Lempeng utama pembentuk kerak

bumi yaitu lempeng Eurasia (utara), lempeng Indo Australia (selatan), dan lempeng

Pasifik (barat), merupakan daerah potensi bagi terbentuknya berbagai cadangan


bahan galian mineral, panas bumi, dan cekungan hydrocarbon.Potensi bahan

tambang dan energi yang potensial untuk dikembangkan secara komersil yakni

emas, tembaga , nikel, batu gamping, belerang, minyak bumi, dan energi panas

bumi, terdapat diberbagai daerah di Propinsi Maluku. [3]

Sejak ditemukannya emas digunung Botak desa Dafa dusun Wamsaid

Kecamatan Waeapo Kabupaten Buru Propinsi Maluku pada pertengahan tahun

2012, Gunung Botak menjadi salah satu wilayah pertambangan yang didatangi

banyak penambang dari berbagi daerah di Indonesia. Belum adanya kesepakatan

dan ketegasan mengenai aturan penambangan emas di Gunung Botak oleh

pemerintah daerah membuat Gunung Botak menjadi subur bagi penambang liar.

Tingginya tinggkat kriminalitas di wilayah pertambangan Gunung Botak membuat

banyak permintaan agar wilayah pertambangan Gunung Botak ditutup bagi

kegiatan pendulang emas. Saat ini diperlukan adanya kebijakan daerah yang sesuai

dengan peraturan nasional terhadap pengelolaan penambangan emas Gunung

Botak,Sehingga sumber daya alam berupa emas di Gunung Botak dapat

meningkatkan kesejahteraan masayrakat Buru dan masyarakat Maluku pada

umumnya.

Dipandang dari sudut pembangunan yang berkelanjutan dan lestari, kita

diperhadapkan pada kondisi yang bersifat bersimpangan jalan (sumberdaya yang

dimiliki harus dieksploitasi untuk meningkatkan harkat dan kesejahteraan

masayrakat, pertumbuhan ekonomi) namun kegiatan penambangan bersifat

merusak lingkungan hidup dan mencemari tempat manusia hidup dan bernafas.
Pemanfaatan sumberdaya Geologik (pertambangan emas) adalah bukti

bahwa wilayah yang kita miliki, harus dapat dipergunakan untuk kesejateraan

rakyat, namun terjadi kerusakan lingkungan tertimpah kemasyarakat . Ekploitasi

sumber daya emas menghasilkan tailing (lumpur dan air ) yang merupakan masalah

besar dalam pengelolaan. Sehingga proses penghancuran batuan, tanah

menyebabkan terlepasnya bahan kimia berbahaya ke air dan tanah yang akan

berdampak negatif kepada lingkungan hidup

Berbagai kepentingan dalam kegiatan pertambangan harus pula

memperhatikan kepentingan masyarakat hukum adat yang sejak kemerdekaan telah

memiliki hak kepemilikan terhadap lahan yang dikelola sebagai wilayah

pertambangan. Negara melalui pemerintah memiliki kewajiban hukum untuk

menghormati hak- hak yang dimiliki masyarakat hukum adat.

Dari gambaran yang penulis telah uraikan diatas maka permasalahan yang

hendak dikaji adalah Sejauh mana Pengelolaan Penambangan Emas Di Gunung

Botak , Kajian Hukum Lingkungan

Adapun Tujuan Penulisan adalah : Untuk mengetahui sampai sejauh mana

Pengelolaan Penambangan Emas di Gunung Botak Desa Dafa Dusun Wamsaid

Kecamatan Waeapo Kebupaten Buru Propinsi Maluku , kajian Hukum lingkungan.


BAB II

METODE PENELITIAN

Didalam penelitian hukum terdapat berbagai pendekatan.Dengan

pendekatan tersebut peneliti akan mendapat informasi dari aspek mengenai isu yang

sedang dicoba dicari jawaban (Peter Mahmud Marzuki, 2005; 93)

Dengan memperhatikan permasalahan dan arahan tujuan dan manfaat

penelitian, maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan Yuridis Normatif dan pendekatan sosiologicalBagi kalangan hukum,

dan beberapa bahan hukum terkait dengan tema tulisan.

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

III.1Tambang Emas Pulau Buru di Gunung Botak

Pulau Buru merupakan salah satu pulau besar di Kepulauan Maluku.

Pulau Buru menempati urutan ketiga setelah pulau Halmahera di Maluku Utara dan

pulau Seram di Maluku Tengah. Pulau ini terkenal sebagai pulau pengasingan bagi

para tahanan politik pada zamanpemerintahan Orde Baru Presiden

Soeharto.[4] Letak geografis Kabupaten Buru pada 225 - 355 Lintang Selatan

dan 12570 - 12721 Bujur Timur. Pulau Buru 9.599 Km2, memiliki panjang 140

km dan lebar 90 km dengan puncak gunung tertinggi Kan Palatmada 2.429 m.


Dengan tiga pegunungan yang dipisahkan oleh struktur kelurusan lembah. Pada

bagian barat tapak Palatmada dengan ketinggian diatas 2000 m, yang dibatasi oleh

lembah depresi Sungai Nibe-Danau Rana dan Sungai Wala. Pada blok tengah

dengan ketinggian diatas 1000 m yang dibentuk oleh Teluk Kayeli dan Lembah

Apu, blok selatan dibentuk oleh Lembah Kalua dengan Gunung Batabual 1.731 m.

[5]

Tambang emas di Gunung Botak pulau Buru menjadi harapan baru bagi

masyarakat Buru pada khususnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Buru. Emas adalah unsur kimia dengan nomor atom 79 dan massa atom 196,967

berupa logam dengan titik lebur 1.063 C dan titik didih 2.600 C, emas merupakan

logam yang paling lenting dan mudah ditempa, juga konduktor yang baik. [6] Cara

penambangan emas tergantung pada keadaan geologi bentuk dan letak. Endapan

emas sekunder, ditambang secara sederhana dengan cara terbuka, dengan sistem

pendulangan atau dengan tambang semprot yang melibatkan banyak pekerja, tanpa

menggunakan peralatan besar dan padat teknologi serta modal yang besar.

Penambangan endapan emas primer memerlukan modal besar dan padat

teknologi.[7]

Penambangan emas yang dilakukan di Gunung Botak pulau Buru oleh

masyarakat setempat dan para pendatang masih menggunakan cara yang sangat

sederhana. Para penambang menggali lubang fertikal maupun horizontal, 5 sampai

dengan 10 meter untuk mengambil batuan yang mengandung emas. Kegiatan

penambangan tersebut melalui beberapa tahap antara lain; pemilik lahan atau
lubang, penggali lubang terowongan, dan orang yang bertugas memikul atau

membawa hasil galian. Aktifitas pada proses ini dapat menghasilkan pendapatan

yang cukup bagi para penambang. Sehingga banyak masyarakat yang tergiur untuk

melakukan kegiatan penambangan dan meninggalkan pekerjaan mereka yang lama.

Besarnya penghasilan yang di dapat penambang dari kegiatan penambangan

emas di Gunung Botak diikuti pula dengan besarnya dampak yang dapat terjadi

akibat adanya penambangan emas tersebut. Dalam tulisan ini dampak sosial yang

ditimbulkan dari adanya penambangan emas di Gunung Botak dapat dilihat dari

beberapa sisi, diantaranya dari sisi ekonomi, kesehatan, kemanan, lingkungan dan

hukum.

Dari sisi ekonomi, harga barang melonjak melebihi standar harga yang

berlaku. Kajian ekonomi regional propinsi maluku triwulan I 2012, empat imbas

yang timbul akibat ditemukannya tambang emas di Buru, antara lain : Pertama,

peralihan tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor pertambangan. Hasildari

penambangan emas yang menggiurkan dan menghasilkan uang dalam wakturelatif

singkat dibandingkan dengan bertani membuat banyak masyarakat

yangmeninggalkan sawah dan ladang untuk pergi ke area penambangan

emas.Kedua, peningkatan upah buruh tani. Adanya tambang emas membuat

standarupah buruh meningkat karena buruh membandingkan hasil yang lebih

menjanjikanjika bekerja menjadi penambang dibandingkan dengan bertani. Hal ini

membuat petani sulit mendapatkan buruh tani dengan upah yang murah.Ketiga,

penduduk Buru terancam kekurangan pasokan beras karenaproduksi yang


menurun. Mengacu pada perhitungan, Bulog berencanamembeli 4000 ton/tahun

untuk didistribusikan ke wilayah Maluku. Namun saat inikondisi terbalik 180

derajat. Buru menjadi daerah yang kekurangan beras. Untuk menutupi kekurangan

tersebut, Bulog Maluku menyuplai raskin dari Ambonke Buru. Sejak bulan Januari

2011 sebanyak 1700 ton raskin darigudang di Ambon sudah dikirim ke Pulau Buru.

Padahal pada tahun-tahunsebelumnya Buru merupakan pemasok raskin ke Ambon

yang didistribusikan ke wilayah Maluku.Keempat, terdapat persaingan antara

Bulog dan para penambang untukmendapatkan beras yang terbatas. Bulog Maluku

membeli beras dari para petanidengan harga Rp6.600,00/kg sedangkan para

penambang yang memiliki daya belidi atas rata-rata yakni sebesar Rp8.000,00/kg.

Menurutcatatan Bulog, dari target pembelian sebanyak 4000 ton pada tahun 2012,

sampaitriwulan I-2012, Bulog mendapatkan 65 ton[8]

Dari sisi kesehatan salah satunya, virus mematikan: HIV/AIDS

teridentifikasi di pulau Buru, empat pekerja seks komersial (PSK) diketahui positif

mengidap HIV. Kondisi ini mendapat perhatian serius pemerintah Kabupaten Buru

yang langsung melakukan berbagai sosialisasi pencegahan penularan virus

tersebut.[9] Pemerintah bersama aparat kepolisian juga melakukan razia di hotel

dan penginapan yang ada di Pulau Buru. Limbah mercury yang sudah diluar

ambang batas toleransi akan memberikan dampak buruk bagi kesehatan secara luas

terhadap masyarakat Kabupaten Buru, terlebih khusus lagi mereka yang terkon-

taminasi limbah tersebut Kesulitan penambang memperoleh air bersih dan

penambangan dilakukan berhari- hari tanpa memperhatikan kesehatan, para

penambang banyak yang menderita penyakit kulit.[10]


Dari sisi lingkungan, daerah Gunung Botak menjadi rawan longsor karena

adanya pengalian-pengalian lubang untuk pertambangan. Banyak pohon ditebang/

dirusak untuk keperluan para penambang membuat tenda dan membuat lubang

tambang, daerah yang mulanya merupakan ekosistem hutan berubah menjadi

lubang tambang yang ditinggalkan penambang tanpa dilakukan rehabilitasi hal ini

sangat merusak lingkungan. Hilangnya ekosistem hutan yang berganti menjadi

daerah pertambagan telah menghilangkan fungsi ekosistem hutan sebagai

pertukaran energi,siklus hidrologi, rantai makanan mahluk hidup, mempertahankan

keanrkaragaman hayati, daur nutrient dan pengendali ketika terjadi pencemaran.

Kerusakan ekosistem hutan berdampak pada keetidakseimbangan sistem alam.

Sungai yang mulanya menjadi kotor dan tecemar mercury.[11].

III.2 PENGELOLAAN PERTAMBANGAN DI GUNUNG BOTAK

Sumber daya mineral sebagai salah satu kekayaan yang dimiliki

bangsa Indonesia, apabila dikelola dengan baik akan memberikan kontribusi

terhadap pembangunan ekonomi didaerah. Dalam hal pemerintah sebagai penguasa

sumber daya tersebut, sesuai amanah Undang Undang Dasar 1945, pemerintah

harus mengatur tingkat pengunaannya untuk mencegah pemberosan potensi yang

dikuasainya dan dapat mengoptimalkan pendapatan dari penguasaan sumber daya

tersebut sehingga dapat diperoleh manfaat yang sebesar besarnya bagi

kesejahteraan rakyat.
Dalam pengelolaan pertambangan di Gunung Botak akan membawa

dampak negatif terhadap lingkungan. Hal ini menyebabkan kerusakan permanen

pada pohon, Senyawa yang sangat beracun juga digunakan untuk memisahkan emas

dari sedimen dan batuan. Mercuri yang dilepaskan ke sungai ini akan memasuki

rantai makanan .serta air sungai menjadi tercemar.

Berdasrkan pasal 1 Undang Undang No 11 tahun 1967 tenatng Ketentuan

Ketentaun Pokok Pertambangan menyatakan bahwa Semua bahan galian yang

terdapat dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia yang merupakan endapan-

endapan alam sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah kekayaan nasional

bangsa Indonesia dan oleh karenanya dikuasai dan dipergunakan oleh Negara untuk

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat .

Pasal tersebut membuktikan bahwa setiap warga Negara Indonesia dapat

memanfaatkan sumber daya alam yang ada, namun tetap mematuhi peraturan-

peraturan daerah yang ada, bahwasanya setiap pendirian bangunan ataupun usaha

harus ada izinnya.

Penambangan emas tanpa izin yang resmi dari Pemerintah, tentu dan sudah

pasti dilarang dan merupakan suatu aktifitas yang illegal. Diwajibkannya setiap

usaha untuk mengantongi izin usaha ialah merupakan upaya pemerintah dalam

pengelolaan dan pemantauan terhadap lingkungan, seperti yang tercantum dalam

Pasal 15 ayat (1) UU No. 11 Tahun 1967, bahwa Usaha pertambangan yang ada

hanya dapat dilakukan oleh perusahaan atau perseorangan yang tersebut dalam

pasal 6,7,8 dan 9, apabila kepadanya telah diberi kuasa pertambangan . Isi pasal
tersebut menunjukkan bahwa yang dapat dan dibolehkan untuk menjalankan usaha

pertambangan ialah mereka yang telah mengantongi izin dan syarat-syarat lain yang

menyertai dikeluarkannya izin tersebut.

Istilah pertambangan liar terjadi karena keluarnya Surat Keputusan Mentri

Pertambangan dan Energi No. 01P/201/M.PE/1986 tentang Pedoman Pengelolaan

Pertambangan Rakyat Bahan Galian Strategis dan Vital (golongan A dan B ). Di

dalam Kepmen tersebut disebutkan bahwa usaha pertambangan rakyat yang

dilakukan setelah adanya kuasa penambangan atau kontrak karya dianggap tidak

sah dan dapat digolongkan sebagai penambangan liar. Ini artinya pertambangan

rakyat yang tidak mendapat kuasa tambang digolongkan sebagai pertambangan

liar.[12]

Tiga faktor utama munculnya penambangan liar yaitu : Pertama, faktor

ekonomi. Masalah kemiskinan dan tidak ada alternatif sumber pendapatan lain

mendorong masyarakat mengambil jalan pintas untuk memenuhi kebutuhan

ekonomi dengan menggali bahan tambang secara liar. Hal ini diperparah dengan

adanya pelaku ekonomi bermodal yang tergiur untuk mendapat rente ekonomi

secara jangka pendek dengan membiayai kegiatan penambangan liar. Kedua, faktor

peraturan dan kapasitas aparatur. Tidak ada perangkat aturan dan kebijakan yang

tegas, konsisten, dan transparan yang mengatur usaha pertambangan termasuk di

antaranya dalam perizinan, pembinaan, kewajiban, dan sanksi. Lemahnya

pemahaman aparat pemerintah lokal dalam pemahaman tata laksana penambangan

yang benar (good mining practices) dan perilaku aparat yang berusaha mengambil
manfaat pribadi atas kegiatan penambangan liar, menjadi faktor penting tumbuhnya

penambangan liar. Ketiga, faktor pola hubungan dan kebijakan perusahaan berizin.

Hubungan antara penambangan liar dan perusahaan berizin yang dijarah dilandasi

oleh rasa curiga dan konflik. Dengan pola hubungan seperti ini dan penerapan

kebijakan yang represif untuk mengusir penambangan liar sesegera mungkin,

mungkin akan menjadikan penambangan liar sulit diberantas.

Ciri-ciri pertambangan tanpa izin, diantaranya: Pertama, produktifitas

rendah, karena kemampuan yang terbatas dalam cara penambangan, lebih banyak

disebabkan oleh kesederhanaan cara kerja alat dan hanya ingin memperoleh

keuntungan secara cepat. Kedua, mengabaikan lingkungan, disebabkan kemudahan

untuk memperoleh emas, umumnya tidak memperhatikan cara-cara penambangan

dan pengolahan yang benar. Ketiga, kurang memperhatikan keselamatan kerja,

ketidak tahuan mengenai K3 dan teknik penambangan menyebabkan sering

terjadinya kecelakaan yang dapat merenggut nyawa penambang. Keempat, tidak

memperhatikan konservasi bahan galian. [13]

Melihat faktor penyebab dan ciri-ciri pertambangan tanpa izin diatas,

kegiatan penambangan emas yang dilakukan di Gunung Botak memenuhi unsur

kedua komponen tersebut untuk dikatakan sebagai pertambangan tanpa izin. Para

penambang di Gunung Botak juga dapat disebut sebagai penambang liar karena

tidak memiliki kuasa atau izin untuk pertambangan

Perizinan merupakan instrumen hukum administrasi. Salah satu otoritas

pemerintah dalam rangka pengelolaan pertambangan yang baik adalah dengan


menerapkan izin pertambangan. Izin hanya merupakan otoritas dan monopoli dari

penguasa atau pemerintah. Tidak ada lembaga lain di luar pemerintah yang bisa

memberikan izin pengelolaan pertambangan, dan ini berkaitan dengan prinsip

kekuasaan negara atas semua sumber daya alam demi kepentingan hayat hidup

orang banyak.

Izin sebagai landasan hukum, sebagai instrumen untuk menjamin

kepastian hukum, sebagai instrumen untuk melindungi kepentingan. Menurut Siti

Sundari Rangkuti bahwa pengelolaan lingkungan hanya dapat berhasil menunjang

pembangunan berkelanjutan apabila pemerintahan berfungsi efektif dan

terpadu.[14]

Berdasarkan Undang Undang No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya penguatan tentang prinsip-prinsip

perlindungan dan pengelolaan lingkungna hidup yan didasarkan pada tata kelola

pemerintah yang baik karena dalam setiap proses perumusan dan penerapan

instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta

penangulangan dan penegakan hukum mewajibkan ada asapek

transparasi,partisipasi, akuntabilitas dan keadilan[15]

Dari temuan di Gunung Botak pengelolaan yang dilakukan untuk

penambangan sangat sederhana, tetapi dampak telah terjadi kerusakan pada

lingkungan sekitarnya , serta terjadi konflik antara penambang dan masayrakat adat

sehingga terjadi pembunuhan .


III.3 PENEGAKAN HUKUM TAMBANG EMAS GUNUNG BOTAK

Pengaturan mengenai Pertambangan di Indonesia memiliki dasar

konstitusional sebagaimana diatur dlam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang

menyebutkan bahwa Bumi, dan air,dan kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar- besarnya

kemakmuran rakyat

Pengaturan berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 telah menimbulkan

konsep penguasaan oleh negara. Dalam hal ini, rumusan kata dikuasai oleh

negara tentunya memiliki makna yuridis konstitusional dalam penyelenggaraan

negara. Yang dimaksud dengan dikuasai oleh negara sebagaimana diatur dalam

Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menunjukkan kepada makna kekuasaan hukum

(rechtsmacht) dalam bidang hukum publik. Kekuasaan hukum terkait dengan

wewenang dalam bidang hukum publik terutama dalam bidang hukum administrasi

pemerintahan. Kekuasaan hukum menunjuk kepada wewenang Pemerintah Pusat

dan diatur dalam norma pemerintahan.

Norma pemerintahan memiliki dasar pengaturan secara konstitusional

tentang kekuasaan pemerintahan dari pada Pemerintah. Hal tersebut diatur dalam

ketentuan Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara pada Pasal 4 Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa
Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut

Undang-Undang Dasar. Oleh karena itu, arti dikuasai oleh negara menunjuk

kepada tindakan hukum publik dalam hal ini tindakan pemerintahan.

Penyelenggaraan urusan pemerintahan negara dari aspek wewenang

Pemerintah secara tegas telah diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Tentu saja

dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan terkait pula dengan penyelenggaraan

pemerintahan daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UUD 1945. Pengaturan

dalam UUD 1945 bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan yang merupakan

tindakan hukum publik dalam tindakan pemerintahan dilakukan oleh tingkatan

pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah. Dalam hal ini pengaturan

penyelenggaraan urusan pemerintahan di tingkat pusat (Pasal 4) dan pada tingkatan

penyelenggaraan pemerintahan, maka penyelenggaraan urusan pemerintahan

tersebut pula dilaksanakan di daerah oleh pemerintahan daerah (Pasal 18).

Penekanan adanya hubungan antara Pemerintah dengan Pemerintah

Daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan dapat dilihat dalam rumusan

Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 yakni: Pemerintah daerah menjalankan otonomi

seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan

sebagai urusan Pemerintah Pusat. Rumusan ini tentunya mengisyaratkan bahwa

Pemerintah Daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam otonomi seluas-

luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang merupakan urusan Pemerintah Pusat.

Terkait dengan itu, penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 juga merupakan penyelenggaraan
urusan pemerintahan yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Hubungan

konstitusionalitas inilah yang merupakan dasar konstitusional bagi daerah dalam

pengelolaan sumberdaya alam melalui wewenang dalam bidang

perizinan.Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan urusan

pemerintahan terkait dengan pemenuhan kepentingan hidup bangsa dan negara

Republik Indonesia.

Hal ini berarti, wewenang daerah dalam bidang perizinan pengelolaan

sumberdaya alam memiliki dasar konstitusionalitas sebagaimana diaturdalam Pasal

4, Pasal 18 dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945. Lebih lanjut diperlukan adanya pengaturan pola pembagian wewenang

sebagai bagian dari pembagian kekuasaan negara[16].

Melalui prinsip otonomi yang dimiliki oleh pemerintahan daerah, maka

penyelenggaraan urusan pemerintahan yang sebelumnya didasarkan pada Pasal 33

ayat (3) UUD 1945, dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia telah

dilakukan pembagian kekuasaan vertikal, sehingga pemerintah daerah juga

memiliki wewenang dalam kaitannya dengan makna kata dikuasai oleh negara.

Itu berarti penyelenggaraan wewenang perizinan dalam pengelolaan sumber daya

alam termasuk pertambangan emas juga merupakan wewenang daerah.


Penegakan hukum terhadap kegiatan penambangan emas di Gunung Botak

didaasrkana pada peraturan perundang Undangan yang berkaitan secara langsung

dilakukan pada beberapa hal:

1. Pengendalian Pemerintah

Aktivitas penambangan emas di Gunung Botak telah dilakukan secara bebas

tanpa batas dan pemerintah daerah tidak dapat melakukan tindakan apapun

untuk mengendalikan pengelolaan penambangan emas. Didasarkan pada

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, setiap orang yang akan melakukan

aktivitas penambangan emas harus memperoleh IUP. Oleh karena Gunung

Botak masih berada dalam wilayah Kabupaten Buru, maka Pemerintah

Daerah terutama Bupati berwenang untuk memberikan IUP baik kepada

badan usaha, koperasi maupun perorangan dalam melakukan pengelolaan

eksplorasi maupun operasi produksi dalam penambangan emas. Namun

selama ini hingga ditutup untuk sementara oleh Pemerintah Daerah tidak

pernah dikendalikan. Wewenang Pemerintah Daerah merupakan wewenang

atributif yang diberikan oleh UU sebagai pengejewantahan UUD 1945.

2. Izin Pertambangan

Setiap kegiatan pertambangan emas harus memperoleh IUP dari Pemerintah

Daerah, baik badan usaha, koperasi maupun perorangan. Badan usaha ini

dapat berbentuk badan swasta, BUMN dan BUMD.Untuk kegiatan

penambangan emas harus diberikan IUP mineral logam, karena emas

termasuk salah satu jenis mineral logam. Fakta hukum izin hingga saat ini
belum pernah dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Malah aktivitas

penambangan lebih bersifat penambangan liar tanpa kendali apapun.

3. Perlunya Produk Hukum Daerah

Seyogyanya penambangan liar ini lebih dulu dikendalikan oleh Pemerintah

Daerah, yang ditindaklanjuti dengan adanya pembentukan Peraturan Daerah

tentang Penyelenggaraan Pertambangan Mineral dan Batubara di daerah yang

memberikan wewenang bagi daerah untuk mengendalikan aktivitas apapun.

Apabila kondisi tidak memungkinkan, maka Pemerintah Daerah dapat

mengeluarkan Peraturan Bupati untuk mengisi kekosongan hukumnya.

4. Kerjasama dengan Pemerintah

Sebagai upaya untuk menjawab permasalahan yang saat ini terjadi,

Pemerintah Daerah dapat meminta Pemerintah untuk memfasilitasi dalam

melakukan eksplorasi tambang emas terkait dengan kandungan emas yang

ada. Hal ini akan menentukan adanya IUP atau IPR. Dengan kapasitas emas

yang terbatas dan investasi yang sifatnya juga terbatas, maka Pemerintah

Daerah dapat mengembangkan IPR yang dikelola oleh koperasi untuk

kepentingan masyarakat di sekitarnya.

5. Dampak Lingkungan Hidup

Akibat dilakukannya aktivitas penambangan emas secara liar di Gunung

Botak, tanpa pengendalian limbahnya telah mengakibatkan tercemarnya


lingkungan di Pulau Buru. Kondisi ini akan berdampak bagi sumber daya

manusia maupun sumber daya alam di Pulau Buru.

IV . KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari apa yang telah diuraikan penulis, maka kesimpulan

adalah; Dalam pengelolaan pertambangan emas tidak

memperhatikan proses- proses pengelolaannya sehingga lingkungan

disekitar pertambangan tercemar oleh merkuri dan sianida dan akan

berdampak pula kepada manusia . Pemerintah kurang

memperhatikan antara penambang dan masyarakat adat sehingga

dapat berakibat konflik.serta kurang ada perhatian dari pemerintah

mengenai izin untuk melakukan penambang.

B. Saran

Berdasarkan pada uraian kesimpulan diatas, maka saran

adalah , Unttuk menghindari adanya penambangan liar di gunung Botak,

pemerintah daerah Buru dapat membuat suatu aturan khusus mengenai

pertambangan yang disusun atas dasar prinsip prinsip lingkungan dan


hukum. Pemerintah daerah juga dapat mengeluarkan berbagai peraturan

yang lebih meningkatkan peran dan partisipasi masyarakat adat yang

didalamnya memuat pembagian zona wilayah pertambangan, mencegah

terjadinya tumpang tindih kepentingan.

Daftar Pustaka

Adrian Sutedi, Hukum Pertambangan, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2011

Adjad Sudradjat, Otonomi Pengelolaan sumberdaya mineral dan pengembangan

masyarakat

Penerbit LPM UNPAD,2006

Irma Hanafi, Makalah, Kebijakan Daerah terhadap pengelolaan penambangan liar

di gunung Botak, Kabupaten Buru,2012

Nandang Sudrajat, Teori dan Praktik Pertambangan Indonesia Menurut Hukum,

Penerbit Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2010.

Mangara P. Pohan dan Ridwan Arief, Evaluasi Potensi Bahan Galian Pada Bekas

Tambang Dan Wilayah Peti Daerah Balai Karangan Sanggah Kalimantan


Barat, Proceeding Pemaparan Hasil-hasil Kegiatan Lapangan Dan Non

Lapangan Tahun 2006, Pusat Sumber Daya Geologi

Otto Soermawoto, Ekologi Lingkungan hidup dan pembangunan, djambatan,

Bandung 1997 .

Anda mungkin juga menyukai