Anda di halaman 1dari 49

BAB I

BATU BARA

A. Sejarah Pengembangan Batu Bara

Pengembangan Batubara di dunia sebagai sumber energy dimulai sejak


Revolusi Industri (Abad 19), yaitu digunakan untuk menggerakkan lkomotif dan
mesin-mesin uap sehingga disebut sebagai Zaman Keemasan Batubara.

Batubara merupakan sumber energy terpenting untuk pembangkit listrik dan


berfungsi sebagai bahan bakar pokok untuk produksi baja dan semen, efek
negative dari pengembangan batubara adalah banyak menimbulkan polusi karena
memilki kandungan karbon yang tinggi.

Menurut sejarah geologi, di bumi pernah terdapat satu benua besar yang di
sebut Pangea. Pangea terdirii dari daratan laurasia di bagian utara, dan gondwana
di bagian selatan. Kedua wilayah terpisah saat periode trias. Saat periode karbon,
di bagian utara pangea, cekungan batubara Eropa barat dan tengah, Amerika
Serikat timur, dan CIS, berada di wilayah tropis, sehingga mire batubaranya
mengandung flora lepidodendron, sigillaria, dan chordaites. Flora tersebut
merupakan karakteristik pengendapan dari batubara. Sementara di bagian selatan
pangea yang saat ini menjadi Afrika, India, Australia, Amerika Selatan, berada di
wilayah dingin, sehingga mire batubaranya terbentuk di kondisi di wilayah yang
lebih dingin. Kondisi ini ditemukan di cirikan dengan ditemukannya flora
glossopteris.

Di Indonesia hukum pertambangan yang mengatur kegiatan pengolahan


pertambangan telah ada dari zaman penjajahan Hindia Belanda hingga era
kemerdekaan. Di bawah ini akan diuraikan secara singkat pemberlakuan dan
perubahan atau penggantian produk peraturan perundang-undangan dari zaman
Hindia Belanda hingga Era kemerdekaan baik Orde lama, Orde Baru dan Orde
Reformasi. Pada era palezoikum bawah, tumbuhan pertama muncul di bumi dan
pada periode devon, endapan batubara pertama kali muncul. Namun, batubara
dalam jumlah besar, muncul dalam beberapa episode,yaitu episode pertama yang
terjadi pada era palezoikum akhir, yaitu periode karbon dan perm. Batubara yang
terbentuk biasanya mempunyai rank tinggi, dan telah mengalami perubahan
structural yang signifikan. Episode keduan terjadi pada periode jura-kapur.

1
Batubara ini di temukan di Amerika selatan, Afrika, Subkontinen India, Asia
tenggara. Episode terakhir adalah episode tersier. Batubara yang terbentuk
bervariasi dari gambut hingga antrasit. Batubara tersier menjadi cadangan besar
untuk batubara coklat dunia. Batubara tersier memiliki cirri-ciri singkapan lebar
dan jarang mengalami perubahan structural. Studi kronostratigrafi sulit di
terapkan, karena batubara terbentuk di linngkungan nonmarin. Padaendapan di
Eropa Barat, beberapa transgresi marin memungkinkan sikuen pembawa batubara,
dapat di dekati melalui dua cara yaitu studi pada sekuen sedimenter tempat
terjadinya batubara, dan studi pada batuan itu senidiri. Biasanya di terapkan
kronostratigrafi dan litostratigrafi untuk endapan batubara individual. Di tambah
juga dengan studi geofisika dan petrografi. Kombibasi dari studi – studi tersebut
memungkinkan untuk dibuatnya model geologi dan gambar 3d dari endapan
batubara.

B. Pengertian Batu Bara

Batu Bara adalah salah satu sumber energi yang penting bagi dunia, yang
digunakan pembangkit listrik untuk menghasilkan listrik hampir 40% di seluruh
dunia. Di banyak negara angka-angka ini jauh lebih tinggi: Polandia
menggunakan batu bara lebih dari 94% untuk pembangkit listrik; Afrika Selatan
92%; Cina 77%; dan Australia 76%. Batu bara merupakan sumber energi yang
mengalami pertumbuhan yang paling cepat di dunia di tahun-tahun belakangan ini
– lebih cepat daripada gas, minyak, nuklir, air dan sumber daya pengganti.
Batu Bara adalah sisa tumbuhan dari zaman yang berubah bentuk yang
awalnya berakumulasi di rawa dan lahan gambut ( World Coal Institute ). Batu
Bara merupakan bahan bakar fosil , yang dapat terbakar, terbentuk dari endapan,
batuan organic yang terutama terdiri dari Karbon, Hydrogen, dan Oksigen. Batu
Bara terbentuk dari tumbuhan yang telah terkonsolidasi antara strata batuan
lainnya dan di ubah oleh kombinasi pengaruh tekana dan panas selama jutaan
tahun sehingga membentuk lapisan batu bara.
Batu bara telah memainkan peran yang sangat penting ini selama berabad-
abad tidak hanya membangkitkan listrik , namun juga merupakan bahan bakar
utama bagi produksi baja dan semen, serta kegiatan-kegiatan industri lainnya.
Sumber Daya Batu Bara menyajikan tinjauan lengkap mengenai batu baradan

2
maknanya bagi kehidupan kita. Tinjauan ini menyajikan proses pembentukan batu
bara, penambangannya, penggunaannya serta dampaknya terhadap masyarakat
dan lingkungan hidup. Tinjauan ini menguraikan peran penting batu bara sebagai
sumber energi dan betapa pentingnya batu bara–bersama sumber energi lainnya –
dalam memenuhi kebutuhan energi dunia yang berkembang dengan cepat.
Batubara adalah mineral organik yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa
tumbuhan purba yang mengendap yang selanjutnya berubah bentuk akibat proses
fisika dan kimia yang berlangsung selama jutaan tahun. Oleh karena itu, batubara
termasuk dalam kategori bahan bakar fosil. Adapun proses yang mengubah
tumbuhan menjadi batubara tadi disebut dengan pembatubaraan (coalification).
Faktor tumbuhan purba yang jenisnya berbeda-beda sesuai dengan jaman geologi
dan lokasi tempat tumbuh dan berkembangnya, ditambah dengan lokasi
pengendapan (sedimentasi) tumbuhan, pengaruh tekanan batuan dan panas bumi
serta perubahan geologi yang berlangsung kemudian, akan menyebabkan
terbentuknya batubara yang jenisnya bermacam–macam. Oleh karena itu,
karakteristik batubara berbeda-beda sesuai dengan lapangan batubara (coal field)
dan lapisan batubara (coal seam).

C. Peraturan-Peraturan tentang Batu Bara, Undang-Undang, dan lain-


lain
Adapun peraturan-peraturan yang membahas tentang Batu Bara antara lain
sebagai berikut :
1. Peraturan Menteri Energi Dan Sumberdaya Mineral Republik Indonesia
Nomor 34 Tahun 2017 Tentang “Perizinan di Bidang Pertambangan
Mineral dan Batu Bara
2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambang Mineral dan
Batu Bara serta ketentuan Pasal 27 ayat (2), Pasal 41, Pasal 44 ayat (5),
Pasal 68, dan Pasal 83.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 29, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5111) sebagaimana telah beberapa
kali diubah, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun
2017 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 23
Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral
dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017

3
Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
6012); Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara
sebagaimana telah beberapa kali diubah.
4. Dengan Peraturan Pemerintsh Nomor 1 Tahun 2017 perubahan keempat
atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara, perlu
menetapkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
tentang Perizinan di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara;
5. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2010 tentang Pembinaan dan
Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan
Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2010 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5142);
6. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 28 Tahun
2013 tentang Tata Cara Lelang Wilayah Izin Usaha Pertambangan dan
Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus pada Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral Logam dan Batubara (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 1123);
7. UUD 1945;
8. UU Gangguan (Hinderordonnantie) 1926;
9. UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing;
10. UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pertambangan;
11. UU Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja;
12. PP Nomor 19 Tahun 1973 tentang Pengaturan dan Pengawasan
Keselamatan Kerja Dibidang Pertambangan
13. PP Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup,
14. PP Nomor 13 Tahun 2000 tentang Perubahan atas PP Nomor 58 Tahun
1998 tentang Tarif Atas Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku
Pada Departemen Dan Energi di Bidang Petambangan umum.
15. PP Nomor 75 Tahun 2001 tentang Perubahan Kedua Atas PP Nomor 32
Tahun 1969 tentang Pelaksanaan UU Nomor 11 Tahun 1967
16. PP Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan
Hutan

4
17. PP Nomor 45 Tahun 2003 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara
Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Energi dan Sumber Daya
Mineral
18. PP Nomor 2 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan
Negara Bukan Pajak Yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan
untuk Kepentingan Pembangunan diluar Kegiatan Kehutanan yang
Berlaku Pada Departemen Kehutanan
19. PP Nomor 55 Tahun 2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral dan
Batubara
20. PP Nomor 27 Tahun 2012 tentang Reklamasi dan Pasca Tambang
21. PP Nomor 27 tentang Izin Lingkunagan
22. PP Nomor 61 Tahun 2012 tentang Perubahan atas PP Nomor 24 Tahun
2010 Penggunaan Kawasan Hutan
23. Peraturan presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu
Satu Pintu Di Bidang Penanaman Modal
24. PERMEN ESDM Nomor 47 Tahun 2006 tentang Pedoman Pembuatan
dan Pemanfaatan Briket Batubara dan Bahan Bakar Padat Berbasis
Batubara
25. PERMEN ESDM Nomor 6 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis
Penerapan Kompetisi Profesi Bidang Pertambangan Mineral dan
Btubara
26. PERMEN ESDM Nomor 18 Tahun 2008 tentang Reklamasi Dan
Penutupan Tambang
27. PERMEN ESDM Nomor 18 Tahun 2009 tentang Tata Cara Perubahan
Penanaman Modal Dalam Rangka Pelaksanaan Kontrak Karya
Pengusahaan Perambangan Batubara
28. PERMEN ESDM Nomor 28 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan
Usaha Jasa Pertambangan Minerl Dan Batubara
29. PERMEN ESDM Nomor 33 Tahun 2009 tentang Pelimpahan Sebagai
Urusan Pemerintah Di Bidang Energi Dan Sumber Daya Mineral
Kepada Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Dalam Rangka
Penyelenggaraan Dekonsentrasi Tahun Anggaran 2010
30. PERMEN ESDM Nomor 34 Tahun 2009 tentang Pengutamaan
Pemasokan Kebutuhan Mineral Dan Batubara Untuk Kepentingan
Dalam Negei

5
31. PERMEN ESDM Nomor 5 Tahun 2010 tentang Pendelegasian
Wewenang Pemberian Izin Usaha Bidang Energi Dan Sumber Daya
Mineral Dalam Rangka Pelayanan Terpadu Satu Pintu DI Bidang
Penanaman Modal Kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Moda
32. PERMEN ESDM Nomor 17 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penetapan
dan Harga Patokan Penjualan Mineral dan Batubara
33. PERMEN ESDM Nomor 12 Tahun 2011 tentang Tata Cara Penetapan
Wilayah Usaha Pertambangan Dan Sistem Informasi Wilayah 11
34. PERMEN Negara Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Jenis Rencana Usaha Dan/Atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi
Dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
35. PERMEN Perdagangan Nomor 36/M-DAG/PER/9/2007 tentang
Penerbitan Surat Izin Usaha Perdangan
36. PERMEN Perdangan Nomor 46/M-DAG/PER/9/2009 tentang
Perubahan Atas PERMEN perdagangan Nomor 36/M-DAG/PER/9/2007
tentang Penerbitan Surat Izin Usaha Perdangan
37. PERMEN Dalam Negeri Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pedoman
Penetapan Izin Gangguan Di Daerah;
38. PERMEN Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2011 tentang Pedoman
Pinjam Pakai Kawasan Hutan;
39. PERMEN Keuangan Nomor 75/PMK.011/2012 tentang Penetapan
Barang Ekspor Yang Dikenakan Bea Keluar Dan Tarif Bea Keluar
40. Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1996 tentang Ketentuan Pokok
Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara;
41. Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2000 tentang Penanggulangan
Masalah Pertambangan Tanpa Izin;
42. Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 2001 tentang Tim Koordinasi
Penanggulangan Pertambangan Tanpa Izin, Penyalahgunaan Bahan
Bakar Minyal Serta Perusakan Instalasi Ketenagalistrikan dan Pencurian
Aliran Listrik;
43. Keputusan Menteri ESDM Nomor 1086 K/40/MEM/2003 tentang
Standardisasi Kompetensi Tenaga Teknik Khusu Bidang Geologi dan
Pertambangan;
44. Keputusan Menteri ESDM Nomor 1603 K/40/MEM/2003 tentang
Pedoman Pencadangan Wilayah Pertambangan;
45. Keputusan Menteri ESDM Nomor 0057 K/40/MEM/2004 tentang
Perubahan Keputusan Menteri Pertambangan Dan Energi Nomor 680

6
K/29/M.PE/1997 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 75
Tahun 1996 tentang Ketentuan Pokok Perjanjian Karya Pengusahaan
Pertambangan Batubara;
46. Keputusan Menteri ESDM Nomor 1128 K/40/MEM/2004 tentang
Kebijakan Batubara Nasional;
47. Keputusan Menteri ESDM Nomor 1614 Tahun 2004 tentang Pedoman
Pemrosesan Permohonan Kontrak Karya Dan Perjanjian Karya
Pengusahaan Pertambangan Batubara Dalam Rangka Penanaman Modal
Asing;

7
BAB II

GENESA BATU BARA

A. Genesa Batu Bara

Proses Pembentukan batubara itu


sendiri dimulai sejak zaman batubara
pertama (Carboniferous Period/Periode
Pembentukan Karbon atau Batubara),
yang berlangsung antara 360 juta
sampai 290 juta tahun yang lalu.

Pembentukan Batu Bara di mulai Gambar 2.1 lapisan Batu Bara

dari penimbunan material asal berupa penimbunan lanau dan sedimen lainnya.
Bersama dengan pergeseran kerak bumin( dikenal sebagai pergeseran tektonik ),
menimbun rawa dan gambut yang seringkali sampai kedalaman yang sangat
dalam. Dengan penimbunan tersebut material tumbuhan tersebut mengalami
proses perubahan fisika dan kimiawi dan mengubah tumbuhan tersebut menjadi
gambut dan kemudian Bstu Bara.

Mutu dari setiap endapan batu bara ditentukan oleh suhu dan tekanan serta
lama waktu pembentukan, yang disebut sebagai ‘maturitas organik’. Proses
awalnya gambut berubah menjadi lignite (batubara muda) atau ‘brown coal
(batubara coklat)’ – Ini adalah batubara dengan jenis maturitas organik rendah.
Dibandingkan dengan batubara jenis lainnya, batubara muda agak lembut dan
warnanya bervariasi dari hitam pekat sampai kecoklat-coklatan. Akibat pengaruh
suhu dan tekanan yang terus menerus selama jutaan tahun, batubara muda
mengalami perubahan yang secara bertahap menambah maturitas organiknya dan
mengubah batubara muda menjadi batubara ‘sub-bitumen’. Perubahan kimiawi
dan fisika terus berlangsung hingga batubara menjadi lebih keras dan warnanya
lebih hitam dan membentuk ‘bitumen’ atau ‘antrasit’. Dalam kondisi yang tepat,
peningkatan maturitas organik yang semakin tinggi terus berlangsung hingga
membentuk antrasit.

Mendapat pengaruh suhu dan tekanan yang terus menerus selama jutaan
tahun, batu bara muda mengalami perubahan yang secara bertahap menambah
maturitas organiknya dan mengubah batu bara muda menjadi batu bara ‘sub-

8
bitumen’ . Perubahan kimiawi dan fisika terus berlangsung hingga batu bara
menjadi lebih keras dan warnanya lebh hitam dan membentuk ‘bitumen’ atau
‘antrasit’ . Dalam kondisi yang tepat, penigkatan maturitas organik yang semakin
tinggi terus berlangsung hingga membentuk antrasit.

Pembentukan batu bara memerlukan kondisi-kondisi tertentu dan hanya


terjadi pada era-era tertentu sepanjang sejarah geologi. Zaman Karbon, kira-kira
340 juta tahun yang lalu (jtl), adalah masa pembentukan batu bara yang paling
produktif dimana hampir seluruhdeposit batu bara (black coal) yang ekonomis di
belahan bumi bagian utara terbentuk.

1. Materi Pembentuk Batu Bara

Hampir seluruh pembentuk batu bara berasal dari tumbuhan. Jenis-jenis


tumbuhan pembentuk batu bara dan umurnya menurut Diessel (1981) adalah
sebagai berikut

a) Alga, dari Zaman Pre-kambrium hingga Ordovisium dan bersel tunggal.


Sangat sedikit endapan batu bara dari perioda ini.
b) Silofita, dari Zaman Silur hingga Devon Tengah, merupakan turunan
dari alga. Sedikit endapan batu bara dari perioda ini.
c) Pteridofita, umur Devon Atas hingga Karbon Atas. Materi utama
pembentuk batu bara berumur Karbon di Eropa dan Amerika Utara.
Tetumbuhan tanpa bunga dan biji, berkembang biak dengan spora dan
tumbuh di iklim hangat.
d) Gimnospermae, kurun waktu mulai dari Zaman Permian hingga Kapur
Tengah. Tumbuhan heteroseksual, biji terbungkus dalam buah, semisal
pinus, mengandung kadar getah (resin) tinggi. Jenis Pteridospermae
seperti gangamopteris dan glossopteris adalah penyusun utama batu
bara Permian seperti di Australia, India dan Afrika.
e) Angiospermae, dari Zaman Kapur Atas hingga kini. Jenis tumbuhan
modern, buah yang menutupi biji, jantan dan betina dalam satu bunga,
kurang bergetah dibanding gimnospermae sehingga, secara umum,
kurang dapat terawetkan.

2. Pembentukan Batu Bara melalui beberapa tahapan


Tahap pembentukan Batu Bara

9
 Tahap pembentukan gambut dan tumbuhan (peatification); proses
mikrobial dan perubahan kimia (biochemichal coalification).
 Tahap pembentukan Batu Bara dari gambut (coalification);
perubahan struktur kimia dan fisika pada endapan pembentuk Batu
Bara.

3. Proses lain pembentukan Batu Bara


Melalui beberapa tahanpan,
a) Tahap Pertama : Pembentukan gambut

Iklim bumi selama zaman batubara adalah tropis dan berjenis-jenis tumbuh-
tumbuhan subur di daerah rawa membentuk suatu hutan tropis. Setelah banyak
tumbuhan yang mati dan menumpuk di atas tanah, tumpukan itu semakin lama
semakin tebal menyebabkan bagian dasar dari rawa turun secara perlahan-lahan
dan material tetumbuhan tersebut diuraikan oleh bakteri dan jamur. Tahap ini
merupakn tahap awal dari rangkaian pembentukan batubara yang ditandai oleh
reaksi biokimia yang luas. Selama proses penguraian tersebut, protein, kanji, dan
selulosa mengalami penguraian lebih cepat bila dibandingkan dengan penguraian
material kayu (lignin) dan bagian tetumbuhan yang berlilin (kulit ari daun,
dinding spora, dan tepung sari). Karena itulah dalam batubara yang muda masih
terdapat ranting, daun, spora, bijih, dan resin, sebagai sisa tumbuhan. Bagian-
bagian tumbuhan itu terurai di bawah kondisi aerob menjadi karbon dioksida, air
dan amoniak, serta dipengaruhi oleh iklim. Proses ini disebut proses pembentukan
humus dan sebagai hasilnya adalah gambut.

Gambut, adalah batuan sedimen yang dapat terbakar. Berasal dari tumpukan
hancuran atau bagian dari tumbuhan yang terhumufikasi (proses pembentukan
asam humin) dan dalam kondisi tertutup udara-umumnya di bawah air-tidak
padat, dengan kandungan air lebih dari 75% berat Ar (Ah received = berat pada
saat diambil di lapangan) serta kandungan mineral labih kecil dari 50% dalam
kondisi kecil (Wolf, 1984 dalam Anggayana, 2002).

Jika ada tumpukan sisa tumbuhan berada pada kondisi basah (di bawah air,
tidak seluruhnya berhubungan dengan udara) dan kandungan oksigennya sangat
rendah, sehingga tidak memungkinkan bakteri aerob hidup, sisa tumbuhan
tersebut tidak akan mengalami proses pembusukan dan penghancuran sempurna.
Pada kondisi tersebut hanya bakteri anerob yang melakukan proses dekomposisi
membentuk gambut (peat).

10
a) Faktor pembentukan gambut
1. Kelembapan yang berlebihan
2. Pengiriman zat makanan
3. Derajat keasaman atau alkalinitas
4. Potensial oksida reduksi
b) Pembagian gambut
1. Hochmoor ditumbuhi oleh jenis tumbuhan yang sangat terbatas
(lumut dan rumput dengan daun yang kecil)
2. Niedermoor, biasanya tumbuh rumput-rumputan dengan daun yang
lebar dan tumbuhan perdu (sehingga pada musim semi dan pada
musim padan kelihatan sangat hijau)
c) Fase Penggambutan
1. Terjadi perubahan biogenic, batang-batang tanaman yang mati
terurai secara biokimia dan ketika terkubur mengalami pertambahan
beban dari sedimen diatasnya serta mengalami peningkatan
temperaturnya membuatnya dewasa secara dinamotermal sehingga
lambat laun gambut berubah menjadi batubara.
2. Tahap gambut merupakan syarat mutlak untuk pembentukan
batubara. Dalam keadaan normal tumbuhan mati yang tersingkap di
udara akan hancur oleh proses oksidasi dan oleh organisme,
terutama fungi dan bakteri anaerob.
3. Bila tumbuhan tertimbun dalam rawa sehingga jenuh air, maka
terdapat beberapa kemungkinan perubahan. Bakteri aerobik yang
membutuhkan oksigen akan segera mati seiring dengan
berkurangnya oksigen dalam rawa. Sementara itu, bakteri anaerob
yang tidak membutuhkan oksigen akan muncul dengan fungsi yang
sama, yaitu menguraikan unsur-unsur tanaman.
4. Jika keadaan air rawa tenang maka hasil kegiatan bakteri tidak akan
hilang dan terkumpul di atasnya. Akibatnya, lingkungan rawa
menjadi tidak bersih, aktifitas bakteri menjadi terbatas dan
peruraian tumbuahan sisa kemudian berhenti. Pada tingkat ini
hasilnya disebut peat ( gambut ).
5. Jika gambut dialiri air maka bahan-bahan penghambat mejadi
hilang terbawa aliran dan peruraian berlangsung lagi dan
kemungkinan gambut tidak terbentuk. Jika endapan gambut tidak
teraliri lagi, akan tetapi terkubur oleh lapisan sedimen halus yang
sifatnya kedap air (“impermeable”) maka pengawetan secara alami

11
mungkin terjadi. Bila proses ini berlangsung berulang –ulang maka
akan terbentuk perlapisan batubara.
d) Pembagian Gambut
1. Hochmoor bisa mencapai beberapa meter dari permukaan tanah
dengan bentuk yang cembung. Moor ini tidak tergantung pada air
tanah atau air kolam karena moor ini mempunyai sistem air
tersendiri yang tergantung hanya pada air hujan. Moor ini terjadi
akibat neraca air yang positif (penguapan lebih kecil dari uap hujan)
sehingga air huan tersimpan dalam gambut. Akibatnya pH menjadi
lebih kecil dan miskin akkan oksigen. Dengan demikian
penghancuran sisa yumbuhan menjadi terhambat (penumpukkan
gambut menjadi cepat). Karena miskin akkan bahan makanan maka
disebut Ombrotoph
2. Niedermoor terbentuk pada lingkungan yang kaya akan bahan
makanan (eutrop) atau pada suatu bagian perairan (danau) yang
menjadi darat (Verlandung Nahrstofffreicher Gewasser), dimana
kaya akan makanan bagi tumbuhan sebagai penyebab
berlimpahnya/ tumbuh subur vegetasi.

b) Tahap Kedua : Pembentukan lignit

Proses terbentuknya gambut berlangsung tanpa menutupi endapan gambut


tersebut. Di bawah kondisi yang asam, dengan di bebaskannya H2O, CH4, dan
sedikit CO2. Terbentuklah material dengan rumus C65H4O30 yang pada keadaan
kering akan mengandung karbon 61,7%, hidrogen 0,3% dan oksigen 38%.

Dengan berubahnya topograpi daerah di sekelilingnya, gambut menjadi


terkubur di bawah lapisan lanau (silt ) dan pasir yang diendapkan oleh sungai dan
rawa. Semakin dalam terkubur, semakin bertambah timbunan sedimen yang
menghimpitnya. Sehingga tekanan pada lapisan gambut bertambah serta suhu naik
dengan jelas.

Tahap ini merupakan tahap kedua dari proses penbentukan batubara atau
yang disebut Tahap metamorfik. Penutupan rawa gambut memberikan
kesempatan pada bakteri untuk aktif dan penguraian dalam kondisi basa
menyebabkan dibebaskannya CO2, sehingga kandungan hidrogen dan karbon
bertambah. Tahap kedua dari proses pembentukan batubara ini adalah tahap
pembentukan lignit, yaitu batubara rank rendah yang mempunyai rumus perkiraan

12
C79H5,5O14,1. dalam keadaan kering, lignit mengandung karbon 80,4%,
hidrogen 0,5%, dan oksigen 19,1%.

c) Tahap Ketiga : Pembentukan Batubara Subbitumen

Tahap selanjutnya dari proses pembentukan batubara ialah pengubahan


batubara bitumen rank rendah menjadi batubara bitumen rank pertengahan dan
rank tinggi. Selama tahap ketiga, kandungan hidrogen akan tetap konstan dan
oksigen turun. Tahap ini merupakan tahap pembentukan batubara subbitumen
(sub-bituminous coal).

d) Tahap Keempat : Pembentukan Batubara Bitumen

Dalam tahap keempat atau tahap pembentukan batubara bitumen (bituminous


coal), kandungan hidrogen turun dengan menurunnya jumlah oksigen secara
perlahan-lahan, tidak secepat tahap-tahap sebelumnya. Produk sampingan dari
tahap ketiga dan keempat ialah CH4, CO2, dan mungkin H2O.

e) Tahap Pembatubaraan

Proses pembatubaraan adalah perkembangan gambut menjadi lignit, sub


bituminous, bituminous, antrasit sampai meta-antrasit.

1. Teori Pembatubaraan
• Teori In-situ
Batubara terbentuk dari tumbuhan atau pohon yang berasal dari hutan
ditempat dimana batubara tersebut. Batubara yang terbentuk biasanya
terjadidi hutan basah dan berawa, sehingga pohon-pohon di hutan
tersebut padasaat mati dan roboh, langsung tenggelam ke dalam rawa
tersebut dan sisa tumbuhan tersebut tidakmengalami pembusukan
secara sempurna dan akhirnya menjadi fosil tumbuhan yang
membentuk sedimen organik.
• Teori Drift
Batubara terbentuk dari tumbuhan atau pohon yang berasal dari hutan
yang bukan ditempat dimana batubara tersebut. Batubara yang
terbentuk biasanya terjadi di delta mempunyai ciri-ciri lapisannya yaitu
tipis, tidak menerus (splitting), banyak lapisannya (multiple seam),
banyak pengotor (kandungan abu cenderung tinggi).

13
2. Proses Pembatubaraan
 Jika lapisan gambut yang telah terbentuk kemudian di tutupi oleh
lapisan sedimen, bakteri an aerob akan mati, maka lapisan gambut akan
mengalami peningkatan tekanan seiring dengan penambahan beban dan
bertambahnya ketebalan lapisan sedimen. Tekanan yang besar
mengakibatkan peningkatan temperatur.
 Kenaikan tekanan dan temperatur pada lapisan gambut akan
mengubanya menjadi batubara.

B. Jenis-Jenis Batu Bara

1. Antrasit adalah kelas batu bara tertinggi, dengan warna hitam berkilauan
(luster) metalik, mengandung antara 86% - 98% unsur karbon (C) dengan
kadar air kurang dari 8%.Antrasit digunakan terutama untuk pemanasan
ruangan perumahan dan komersial. Antrasit bersifat keras, getas,
berwarna hitam mengkilap sehingga sering disebut hard coal. Batubara
ini lambat menyala apabila temperatur tungku tidak tinggi dan
memerlukan draft yang kuat. Batubara antrasit tanpa nyala api atau
dengan nyala api kebiru – biruan. Antrasit merupakan batubara yang
paling banyak ditambang di Sumatra, Bengkulu dan Kalimantan (Tim
Kajian Batubara Nasional, 2006).
2. Bituminus mengandung 68 - 86% unsur karbon (C) dan berkadar air 8-
10% dari beratnya. Kelas batu bara yang paling banyak ditambang di
Australia. Batubara bituminus biasanya berwarna hitam, kadang –
kadang coklat tua Bituminus terbakar dengan nyala api berwarna kuning
dan berasap. Bituminus merupakan batubara yang paling banyak
ditambang di Australia dan Kalimantan (Tim Kajian Batubara Nasional,
2006).
3. Sub-bituminus mengandung sedikit karbon dan banyak air, dan oleh
karenanya menjadi sumber panas yang kurang efisien dibandingkan
dengan bituminus. Batubara subbituminus (lignit hitam) merupakan
batubara yang memiliki sifat di antara sifat batubara lignit dan batubara
bituminous yang mengandung 68 % unsur Karbon (C) dan berkadar air
10-35 % dari beratnya. Biasanya digunakan sebagai bahan bakar pada
pembangkit listrik tenaga uap. Subbituminus mengandung sedikit karbon
dan banyak air sehingga menjadi sumber panas yang kurang efisien

14
dibandingkan dengan bituminous. Sub-bituminus banyak terdapat Pulau
Sumatra hingga di Pulau Kalimantan (Tim Kajian Batubara Nasional,
2006).
4. Lignit atau batu bara coklat adalah batu bara yang sangat lunak yang
mengandung air 35-75% dari beratnya. Batubara lignit atau sering
disebut batubara coklat (brown coal) adalah batubara yang sangat lunak.
Lignit memiliki kandungan volatile matter yang tinggi atau mengandung
air 35-75% dari beratnya sehingga membuatnya lebih mudah berubah
menjadi gas dan cairan dibandingkan batubara dengan peringkat yang
lebih tinggi. Jika tidak disimpan dengan hati–hati, lignit akan mengalami
pembakaran spontan. Jenis batubara ini banyak terdapat di Palau Jawa
terutama Jawa Timur dan Jawa Barat serta di Pulau Sulawesi dan Maluku
Utara (Tim Kajian Batubara Nasional, 2006).
5. Gambut, berpori dan memiliki kadar air di atas 75% serta nilai kalori
yang paling rendah.

Gambar 2.2 jenis-jenis Batu Bara

C. Lingkungan Pengendapan Batu Bara

Batubara terbentuk pada lingkungan pengendapan tertentu, dan sangat


berpengaruh pada penyebaran lateral, ketebalan, komposisi, serta kualitasnya.
Analisa lingkungan pengendapan menggunakan pendekatan yang dikemukakan
oleh Horne (1978), yang memberikan cara untuk mengenali lingkungan
pengendapanantara lain barrier, back-barrier, lower delta plain, transitional lower
delta plain, dan upper delta plain – fluvial .

15
Berdasarkan karakteristik endapan batubara, ada empat lingkungan
pengendapan utama batubara di daerah coastal menurut Horne (1978), yaitu:

1. Lingkungan back barrier

Lapisan batubaranya tipis, pola sebarannya memanjang sistem penghalang


atau sejajar jurus lapisan, bentuk lapisan melembar karena dipengaruhi tidal
channel setelah pengendapan atau bersamaan dengan proses pengendapan,
kandungan sulfur tinggi, sehingga tidak dapat ditambang. Urutan stratigrafi pada
lingkungan back barrier dicirikan oleh batulempung dan batulanau berwarna abu-
abu gelap yang kaya akan material organic, kemudian ditutupi oleh lapisan
tipis batubara yang tidak menerus atau zona sideritik dengan burrowing. Semakin
ke arah laut akan ditemukan batupasir kuarsitik sedangkan ke arah daratan
terdapat batupasir greywacke dari lingkungan fluvial– deltaic.

2. Lingkungan lower delta plain

Lapisan batubaranya tipis, kandungan sulfur bervariasi, pola sebarannya


umumnya sepanjang channel atau jurus pengendapan, bentuk lapisan ditandai oleh
hadirnya splitting oleh endapan crevasse splay, tersebar meluas cenderung
memanjang jurus pengendapan tetapi kemenerusan secara lateral sering terpotong
channel bentuk lapisan batubara. Endapan pada daerah ini didominasi oleh urutan
butrian mengkasar ke atas yang tebal. Pada bagian atasnya terdapat batupasir
dengan struktur sedimen ripple mark.

3. Lingkungan transitional lower delta plain

Lapisan batubaranya tebal, kandungan sulfur rendah. Ditandai oleh


perkembangan rawa yang ekstensif. Lapisan batubara tersebar meluas dengan
kecenderungan agak memanjang sejajar dengan jurus pengendapan. Splitting
juga berkembang akibat channel kontemporer dan washout oleh aktivitas channel
subsekuen. Batuan sedimen berbutir halus pada bagian bay fill sequences lebih
tipis daripada di bagian lower delta plain. Pada zona ini terdapat fauna air payau
sampai laut dan banyak ditemui burrowing.

16
Gambar 2.3 Sketsa lingkungan pengendapan dan kondisi akumulasi gambut
(Diessel, 1992)

D. Klasifikasi Batu Bara

Ada 5 macam Klasifikasi yang dikenal untuk dapat memperoleh beda


variasi kelas/mutu dari batubara yaitu:

1. Klasifikasi Menurut ASTM


Klasifikasi ini dikembangkan di Amerika oleh Bureau of Mines yang
akhirnya dikenal dengan Klasifikasi menurut ASTM (America Society for
Testing and Material). Klasifikasi ini berdasarkan rank dari batubara itu atau
berdasarkan derajat metamorphism nya atau perubahan selama proses
coalifikasi (mulai dari lignit hingga antrasit). Untuk menentukan rank
batubara diperlukan data fixed carbon (dmmf), volatile matter (dmmf) dan
nilai kalor dalam Btu/lb dengan basis mmmf (moist, mmf).
Parameter Kalsifikasi ASTM :
 Untuk Batubara yang berperingkat tinggi (Fixed carbon ≥ 69%),
parameter yang digunakan adalah jumlah karbon tertambat (fixed carbon)
dan zat terbang (volatile matter).
 Untuk batubara berperingkat rendah (fixed carbon ≤ 69%), maka
parameter yang digunakan adalah nilai calori (caloric value) nya;
 Parameter tambahan, berupa sifat karakter penggumpalan (coking).

2. Klasifikasi Menurut Natioal Coal Board (NCB)


Klasifikasi ini dikembangkan di Eropa pada tahun 1946 oleh suatu
organisasi Fuel Research dari departemen of Scientific and Industrial

17
Research di Inggris. Klasifikasi ini berdasarkan rank dari batubara, dengan
menggunakan parameter volatile matter (dry, mineral matter free) dan
cooking power yang ditentukan oleh pengujian Gray King.
Klasifikasi rank batubara didasarkan atas :
 Volatile matter (dry mineral matter free)
 Cooking power

Pembagian klasifikasi :

 Volatile dibawah 9,1% dmmf  coal rank 100  Antrasit

 Volatile dinatar 9,1%-19,5% dmmf  coal rank 200  Low Volatile/


Steam Coal

 Volatile diantara 19,5% - 32% dmmf  coal rank 300  Medium


Volatile Coal

 Volatile lebih dari 32% dmmf  coal rank 400-900  High Volatile
Coal.

3. Klasifikasi Menurut International


Klasifikasi ini dikembangkan oleh Economic Commision for Europe pada
tahun 1956 Klasifikasi ini dibagi atas dua bagian yaitu:
a. Hard Coal
Di definisikan untuk batubara dengan gross calorific value lebih besar
dari 10.260 Btu/lb atau 5.700 Kcal/kg (moist ash free). International
System dari hard coal dibagi atas 10 kelas menurut kandungan VM.
Kelas 0 sampai 5 mempunyai kandungan VM lebih kecil dari 33% dan
kelas 6 sampai 9 dibedakan atas nilai kalornya (mmaf) dengan
kandungan VM lebih dari 33%. Masingmasing kelas dibagi atas 4 group
(0-3) menurut sifat cracking nya dintentukan dari “Free Swelling Index”
dan “Roga Index”. Masingmasing group ini dibagi lagi atas sub group
berdasarkan tipe dari coke yang diperoleh pengujian Gray King dan
Audibert-Arnu dilatometer test. Jadi, pada International klasifikasi ini
akan terdapat 3 angka, angka pertama menunjukkan kelas, angka kedua
menunjukkan group dan angka ketiga menunjukkan sub-group.
b. Brown Coal
International klasifikasi dari Brown coal dan lignit dibagi atas
parameternya yaitu total moisture dan low temperature Tar Yield.

18
4. Standar ISO (Internasiona Standarization Organization)
 Penentu peringkatnya menggunakan Reflektan Vitrinite (Rv)
hasil analisis petrografi. ISO membagi menjadi tiga yaitu : peringkat
rendah, menengah dan peringkat tinggi.
 Peringkat rendah : lignit – sub bituminous  Rv ≤ 0,5%
 Peringkat menengah adalah batubara bituminous yang mempunyai Rv
antara 0,5 – 2,0
 Peringkat tinggi adalah kelompok antrasit yang memiliki Rv antara 2,0 –
6,0
5. Klasifikasi SNI
 Batubara Energi Rendah (Brown Coal)
Jenis batubara yang paling rendah peringkatnya, bersifat lunak, mudah
diremas, mengandung kadar air yang tinggi (10-70)%, terdiri dari batubara
energi rendah lunak (brown coal) dan batu bara energi tinggi (lignitic 
hard brown coal) masih memperlihatkan struktur kayu, nilai kalori < 7.000
kalori/ gram (dry ash free-ASTM).
 Batubara Energi Tinggi (Hard Coal)
Semua jenis batubara yang peringkatnya lebih tinggi dari brown coal,
bersifat keras, tidak mudah diremas, kompak, mengandung kadar air yang
rendah, struktur kayu tidak nampak lagi. Nilai kalori >7.000 kalori/gram
(dry ash free-ASTM).

E. Jenis-jenis Analisis Batu Bara

Pada prinsipnya dikenal dua jenis pengujian analisis untuk kualitas batubara
yaitu Analisis Prosikmat (Proximate analysis) dan Analisis Ultimate (Ultimate
Analysis/Elemental Analysis).

1. Analisis Proksimat
Analisis proksimat batubara bertujuan untuk menentukan kadar moisture
(air dalam batubara) kadar moisture ini mencakup pula nilai free moisture
serta toal moisture, ash (debu), volatile matters (zat terbang), dan fixed
carbon (karbon tertambat). Moisture ialah kandungan air yang terdapat
dalam batubara sedangkan abu (ash) merupakan kandungan residu non-
combustible yang umumnya terdiri dari senyawa-senyawa silika oksida
(SiO2), kalsium oksida (CaO), karbonat, dan mineral-mineral lainya volatile

19
matters adalah kandungan batubara yang terbebaskan pada temperatur tinggi
tanpa keberadaan oksigen. Fixed carbon ialah kadar karbon tetap yang
terdapat dalam batubara setelah volatile matters dipisahkan dari batubara.

Analysis Proksimat , meliputi analisisa.


 Moisture Content (Kadar Air)
 Ash Content (Kadar Abu)
 Volatile Metter (Zat Terbang)
 Fixed Carbon (karbon tertambat)

2. Analisis Ultimat
Analisis ultimat dijalankan dengan analisis kimia untuk menentukan kadar
karbon (C), Hidrogen (H2), Oksigen (O2), Nitrogen (N2), dan Belerang (S).
Keberadaan dan sifat dari unsur-unsur tersebut sebanding dengan peringkat
batubara, semakin tinggi rank batubara semakin tinggi kandungan
karbonnya, sementara kandungan hidrogen dan oksigennya akan semakin
berkurang. Sedangkan nitrogen merupakan unsur yang bersifat bervariasi
begantung dari material pembentuk batubara. Analisis karbon pada ultimate
tidak sama dengan analisis fixed carbon. Fixed carbon merupakan kadar
karbon terlambat atau karbon tetap tertinggal bersama abu bila batubara
telah dibakar tanpa oksigen dan setelah zat volatile habis. Fixed carbon
merupakan kadar karbon yang pada temperatur penetapan voliatile matter
tidak menguap sedangkan karbon yang menguap pada temperatur tersebut
termasuk kedalam voliatile matter.

Analisis Ultimate , meliputi analisis


 Carbon Content
 Hidrogen Content
 Oxygen Content
 Nitrogen Content
 Sulfur Content

3. Analisis Lain-Lain
Analisis lain-lain adalah analisa untuk menentukan calorific value (nilai
kalor), total sulfur, ash (susunan kandungan abu), ash fusion temperature/
AFT (titik leleh abu), hardgrove gradibility index (HGI).

20
Analisis Lain-lain
 Calorfic value (nilai kalor),
Nilai kalor adalah panas yang dihasilkan oleh pembakaran sampel dalam
lingkungan yang terkendali. Nilai kalor dapat dihitung dengan bomb
calorimeter dimana sampel ditutup rapat dan diberi tekanan atmosfer 20
– 30 atm.
 Hardgrove Gradibility Indeks adalah bilangan yang menyatakan mudah
tidaknya batubara digerus, dengan rumus HGI = 13,6 + 6,93 W, dengan
W adalah berat batubara lolos 200 mesh.
 Analisis kandungan abu, abu yang terjadi pada batubara akan
membentuk oksida SiO2, Fe2O3, TiO2, CaO, MgO. Analisa kandungan
abu dilakukan dengan mengabukan abu, kemudian dilarutkan dalam
HCL.
 Suhu leleh abu mempengaruhi jenis dasar tungku yang dibutuhkan dan
menunjukkan tendensi untuk terjadinya klinker dan pergerakan.

F. Mineral Pengikut Batu Bara (asosiasi)

Lapisan Batu Bara sering berasosiasi dengan batu Lanau , batulempung, dan
batupasir yang besifat kompak (consolidatet), atau dengan Lanau, Lempung dan
Pasir yang bersifat lepas (unconsilidatet). Sering pula dijumpai adanya sisipan
batugamping yang cukup tebal seperti di Tongkura. Lignit dan sub bituminus pada
umumnya berasosiasi dengan lapisan yang bersifat lepas disebabkan proses
terbentuknya dalam pengaruh tekanan dan suhu yang rendah. Sebaliknya,
peringkat batu bara yang lebih tinggi selalu ditemukan berasosiasi dengan lapisan
sedimen bersifat consolidated akibat pengaruh tekanan dan suhu yang tinggi pada
saat pembentukannya.

G. Potensi Batu Bara di Indonesia

Potensi batubara di Indonesia yang begitu besar sangat menjanjikan untuk


terus dikembangkan. Batubara merupakan energi alternatif pengganti minyak
bumi. Cadangan batubara yang terdapat di Indonesia mencapai 9 miliar ton atau
1,2 persen dari keseluruhan total cadangan batubara di dunia. Daerah tambang
batubara di Indonesia terbesar terdapat di wilayah Sumatra dan Kalimantan.

21
Potensi batubara di Pulau Sumatra memiliki cadangan yang cukup besar. Daerah
tambang batubara terbesar adalah Provinsi Sumatra Selatan dengan cadangan
batubara sebesar 85% dari seluruh sumberdaya batubara yang ada di pulau
Sumatra. Potensi batubara tersebut tersebar di dua wilayah kabupaten, yaitu di
Kabupaten Lahat dan Kabupaten Muara Enim. Pada tahun 2009 jumlah produksi
batubara Sumatra Selatan hanya mencapai 10 juta ton. Hasil produksi tersebut
masih tergolong kecil dibandingkan seluruh potensi batubara yang ada. Kendala
yang dihadapi untuk meningkatkan kapasitas produksi batubara di Sumatra
Selatan disebabkan oleh fasilitas sarana dan prasarana yang tidak memadai dan
ekonomis. Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Perkeretaapian, Kementerian
Perhubungan didalam Rencana Induk Perkeretaapian Nasional (RIPNAS)
mengaharapkan perkeretaapian nasioanal menjadi tulang punggung angkutan
barang dan angkutan penumpang, sehingga dapat menjadi salah satu penggerak
perekonomian nasional. Untuk itu, guna mendukung peningkatan produksi
batubara di Sumatra Selatan, Kementerian Perhubungan Dirjen Perkeretaapian
Inodnesia berupaya mengembangkan jaringan transportasi yang andal dan
berkapasitas besar. Alternatif yang paling memungkinkan adalah pengembangan
jaringan kereta api dengan membangun jalur kereta api ganda. Selain berkapasitas
besar, juga mempertimbangkan kondisi jarak antar stasiun yang ada di lintas
layanan Muara Enim – Lahat yang relatif jauh. Selain itu, tentunya akan
bermanfaat untuk meningkatkan minat masyarakat menggunakan angkutan kereta
api.

Di Indonesia, endapan batu bara yang bernilai ekonomis terdapat di


cekungan Tersier, yang terletak di bagian barat Paparan Sunda (termasuk Pulau
Sumatera dan Kalimantan), pada umumnya endapan batu bara ekonomis tersebut
dapat dikelompokkan sebagai batu bara berumur Eosen atau sekitar Tersier
Bawah, kira-kira 45 juta tahun yang lalu dan Miosen atau sekitar Tersier Atas,
kira-kira 20 juta tahun yang lalu menurut Skala waktu geologi.

Batu bara ini terbentuk dari endapan gambut pada iklim purba sekitar
khatulistiwa yang mirip dengan kondisi kini. Beberapa di antaranya tegolong
kubah gambut yang terbentuk di atas muka air tanah rata-rata pada iklim basah
sepanjang tahun. Dengan kata lain, kubah gambut ini terbentuk pada kondisi di
mana mineral-mineral anorganik yang terbawa air dapat masuk ke dalam sistem
dan membentuk lapisan batu bara yang berkadar abu dan sulfur rendah dan
menebal secara lokal. Hal ini sangat umum dijumpai pada batu bara Miosen.

22
Sebaliknya, endapan batu bara Eosen umumnya lebih tipis, berkadar abu dan
sulfur tinggi. Kedua umur endapan batu bara ini terbentuk pada lingkungan
lakustrin, dataran pantai atau delta, mirip dengan daerah pembentukan gambut
yang terjadi saat ini di daerah timur Sumatera dan sebagian besar Kalimantan.

Badan Geologi Nasional memperkirakan Indonesia masih memiliki 160


miliar ton cadangan batu bara yang belum dieksplorasi. Cadangan tersebut
sebagian besar berada di Kalimantan Timur dan Sumatera Selatan. Namun upaya
eksplorasi batu bara kerap terkendala status lahan tambang. Daerah-daerah tempat
cadangan batu bara sebagian besar berada di kawasan hutan konservasi. Rata-rata
produksi pertambangan batu bara di Indonesia mencapai 300 juta ton per tahun.
Dari jumlah itu, sekitar 10 persen digunakan untuk kebutuhan energi dalam
negeri, dan sebagian besar sisanya (90 persen lebih) diekspor ke luar.

Di Indonesia, batu bara merupakan bahan bakar utama selain solar (diesel
fuel) yang telah umum digunakan pada banyak industri, dari segi ekonomis batu
bara jauh lebih hemat dibandingkan solar, dengan perbandingan sebagai berikut:
Solar Rp 0,74/kilokalori sedangkan batu bara hanya Rp 0,09/kilokalori,
(berdasarkan harga solar industri Rp. 6.200/liter).

Dari segi kuantitas batu bara termasuk cadangan energi fosil terpenting bagi
Indonesia. Jumlahnya sangat berlimpah, mencapai puluhan miliar ton. Jumlah ini
sebenarnya cukup untuk memasok kebutuhan energi listrik hingga ratusan tahun
ke depan. Sayangnya, Indonesia tidak mungkin membakar habis batu bara dan
mengubahnya menjadi energis listrik melalui PLTU. Selain mengotori lingkungan
melalui polutan CO2, SO2, NOx dan CxHy cara ini dinilai kurang efisien dan
kurang memberi nilai tambah tinggi.

H. Batu Bara di Sulawesi Tenggara

Batubara Tawanga tua, Kolaka Timur

1. Pemetaan geologi
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya (Satapona, 2015), stratigrafi lokasi
penelitian terdiri dari tiga satuan, yaitu :
 Satuan sekis, terdiri dari sekis mika (Travis, 1955), sekis klorit (Travis,
1955), sisipan kuarsit (Travis, 1955) dan sisipan batubara (Noor, 2012).

23
 Satuan Batubara (Noor, 2012).
 Satuan alluvial, terdiri dari endapan alluvial berukuran pasir-bongkah
(Wentworth, 1922).
Satuan sekis
Pembahasan satuan batuan sekis pada daerah penelitian meliputi uraian
mengenai dasar penamaan satuan, penyebaran, ciri litologi meliputi karakteristik
megaskopis dan petrografis, penentuan fasies, panantuan umur dan lingkungan
pembentukanya dan hubungan stratigrafi dengan satuan lain pada daerah
penelitian.
a. Dasar penamaan satuan litologi
Penamaan untuk satuan ini berdasarkan hasil deskripsi secara megaskopis
dan analisis petrografis, yang kemudian dipadukan dengan klasifikasi batuan
metamorf menurut Travis (1955) dan informasi geologi regional. Berdasarkan
hasil deskripsi secara megaskopis dan petriografis satuan ini disusun oleh litologi
berupa sekis mika (Travis, 1955), sekis klorit (Travis, 1955) dan sisipan kuarsit
(Travis, 1955). Oleh karena satuan ini didominasi oleh sekis, maka satuan ini
dinamakan satuan sekis.

b. Penyebaran dan ketebalan


Penyebaran satuan sekis menempati sekitar (89,80%) dari luas keseluruhan
daerah penelitian atau sekitar 1.095,72 Ha. Penyebaran satuan ini pada daerah
penelitian yaitu berada pada bagian Barat dan timur yang dipisahkan oleh satuan
alluvial (Qal) daerah penelitian. Berdasarkan perhitungan ketebalan pada
penampang sayatan A – B pada peta geologi daerah penelitian ketebalan satuan
sekis adalah sekitar + 456 meter.
c. Ciri litologi
Berdasarkan pengamatan
secara megaskopik dan
petrografis, satuan ini disusun
oleh sekis mika dan sekis
klorit, dan disisipi kuarsit dan
batubara. Batuan Sekis Mika
(Travis, 1955) pada stasiun 68
secara megaskopik dalam Gambar2.4 Singkapan sekis mika difoto arah N1550E (Satapon, 2015).
keadaan segar memiliki warna segar putih keabu-abuan, warna lapuk kuning
kecokelatan, tekstur lepidoblastik, dan strukturnya berfoliasi (schistose) dengan
jurus foliasi N2980E dan kemirinan foliasi 380. Tersusun oleh mineral muskovit,

24
biotit,hornblende dan kuarsa. Singkapan batuan ini di jumpai di lereng sebuah
sungai di daerah penelitian. Gambar 1.4 Singkapan sekis mika difoto ke arah
N1550E (Satapon, 2015).

d. Penentuan fasies dan zona terbentuk


Menurut Turner (1960) dalam Graha (1987) setiap fasies dalam batuan
metamorfosa umumnya dinamakan menurut jenis batuan (kumpulan mineral)
yang dianggap kritis dan diagnestik untuk fasies yang bersangkutan. Menurut
Yardley (1989), penentuan fasies metamorf berdasarkan komposisi mineral yang
dominan, ditekankan pada salah satu mineral penyusun yang tetap pada kondisi
metamorfisme tertentu yang bekerja dalam metamorfisme.
Berdasarkan kumpulan mineral yang menyusun batuan metamorf pada satuan ini
termasuk dalam fasies sekis hijau (metabasic rock) yang dipengaruhi oleh
tempeatur sekitar 3500 C-5100 C pada tekanan 2-9 kbar (Yardley, 1989;
Turner,1960 dalam Graha,1987), dimana mineral-mineral penyusun batuan ini
yang teridentifikasi terdiri dari muskovit, klorit, kuarsa, biotit dan epidote.

e. Penentuan umur dan lingkungan pembentukan


Pentuan umur satuan ini ditentukan secara umur relatif berdasarkan posisi
stratigrafi, lokasi tipe dan kesebandingan ciri litologi dengan satuan batuan
metamorf yang telah resmi. Batuan sekis yang menyusun kompleks pompangeo
dua diantaranya adalah sekis muskovit dan sekis klorit, dimana sifat fisik batuan
sekis ini, biasanya berwarna kelabu muda sampai tua, kelabu kehijauan, kelabu
kecokelatan dan hitam bergaris putih keras, berfoliasi, menunjukan tekstur
nematoblastik (Simandjuntak dkk., 1993). Idrus (2011) menemukan batuan sekis
pada kompleks pompangeo disisipi vein kuarsa dengan takstur terbreksiasi, ada
yang sejajar dan ada pula yang memotong foliasi batuan. Ciri fisik sekis mika
yang dijumpai di daerah penelitian memilki warna putih kelabu, dengan tekstur
lepidoblastik, struktur berfoliasi sedangkan sekis klorit berwarna hijau kelabu,
dengan tekstur lepidoblastik dan juga berfoliasi. 81 Pada masing-masing batuan
ini dijumpai vein memotong dan sejajar foliasi dengan tekstur terbreksiasi. Maka,
sekis daerah penelelitian dapat disebandingkan dengan sekis kompleks pompango,
berumur Oligosen-awal Miosen. Dalam Simandjuntak (1993) dinyatakan bahwa
satuan sekis ini diperkirakan terbentuk dalam lajur penunjaman Benioff pada
akhir kapur awal hingga paleogen.

25
f. Hubungan stratigrafi dengan litologi lainnya
Hubungan stratigrafi antara satuan sekis dengan satuan batuan yang ada
diatasnya adalah selaras.

Satuan batubara
Batubara di daerah penelitian dijumpai sebagai sisipan dalam satuan ini di
stasiun 1 dan 2 di sungai Pulombua. Penyebaran batubara pada satuan ini
menempati areal sungai dengan luas 12,58 Ha atau 1,03% dari total luas daerah
penelitian. Berdasarkan hasil pengukuran penampang geologi A-B, diperoleh
ketebalan satuan ini adalah 22m.

Gambar 2.5 Foto singkapan batubara, difoto ke arah N3330E

(Satapona, 2015)

Hasil deskripsi secara megaskopis, batubara pada stasiun 1 dalam keadaan


segar menunjukan warna segar hitam, warna lapuk coklat kekuningan, tekstur
nonklastik, struktur berlapis dengan kedudukan N2070E/200 di stasiun 1 dan
N2470E di stasiun 2 dan tersusun oleh komponen organik dengan kelembapan
tinggi dan rapuh (unconsolidated). Berdasarkan klasifikasi batuan non-klastik oleh
Noor (2012), batuan ini merupakan Batubara.

Menurut Boogs (2006), tingkatan (rank) dalam batubara paling rendah


adalah peat. Peat menurut Boogs (2006) memiliki ciri fisik berwarna hitam,
tersusun oleh tumbuhan semi-karbonan (semicarbonazed plant) dan memiliki
kelembapan yang tinggi. Berdasarkan kenampakan secara fisiknya, batubara di
daerah penelitian berwarna hitam, masih menunjukan tekstur serabut tanaman
(tersusun oleh semicarbonized plant) dan memiliki kelembapan yang cukup
tinggi. Dalam keadaan basah, batubara ini memiliki sifat lengket bila disentuh
dengan tangan, dan dalam keadaan kering bersifat rapuh.

26
Satuan ini diperkirakan terbentuk pada cekungan busur belakang (back arc
basin) tumbukan pada akhir kapur awal hingga paleogen yang memalihkan
kembali batuan metamorf daerah penelitian. Maka, satuan ini diperkirakan
terbentuk pasca tumbukan pada awal Miosen (zaman Paleogen).

Satuan alluvial
Pembahasan mengenai satuan alluvial darah penelitian meliputi dasar
penamaan, penyebaran dan ketebalan, ciri endapan, umur dan lingkungan
pengendapan dan hubungan stratigrafi dengan batuan lainya.
a. Dasar penamaan
Penamaan dari satuan alluvial didasarkan atas ciri yang dijumpai di lapangan.
Berdasarkan atas ciri yang dijumpai di lapangan material penyusun dari satuan ini
terdiri dari endapan-endapan yang belum terlitifikasi dengan baik.

b. Penyebaran satuan

Penyebaran dari satuan alluvial ini menempati 124,49 Ha atau sekitar 10,20% dari
total luas daerah penelitian. Endapan ini terletak pada bagian tengah daerah
penelitian atau tepatnya di sekitar sungai Aala Tawanga.
c. Ciri endapan
Material penyusun dari satuan ini terdiri dari material hasil rombakan batuan yang
lebih tua berupa material-material lepas dari bongkah hingga lempung, yakni
batuan metamorf sejenis sekis. Dari hasil pengamatan lapangan dari sedimen ini
diperoleh bahwa material sedimen tersusun atas sekis mika, sekis klorit dan
kuarsit. Secara keseluruhan memperlihatkan warna abu-abu muda hingga abu-abu,
bentuk butirnya ekuan, mencakram (discoid) hingga bladed, kebundarannya
adalah membulat hingga menyudut tanggung. Satuan aluvial di sepanjang Sungai
Aala Tawanga ini memperlihatkan ciri ukuran butir yang semakin mengecil
dengan penyebaran yang relatif meluas kearah hilir.

d. Umur dan lingkungan pengendapan


Berdasarkan atas media pembentukkannya, dimana material penyusun dari satuan
ini tertransportasi dan terendapkan oleh aktifitas sungai, maka diketahui bahwa
satuan ini terendapkan pada kondisi lingkungan darat. Satuan ini merupakan
satuan termuda di daerah penelitian. Berdasarkan atas waktu pembentukannya
maka satuan ini terbentuk pada kala Holosen dan masih berlangsung hingga
sekarang.

27
BAB III

METODE PENAMBANGAN BATU BARA, PENGOLAHAN DAN METODE


PEMANFAATAN BATU BARA

A. Metode Penambangan Batu Bara

Pemilihan metode penambangan sangat ditentukan oleh unsur geologi


endapan batu bara. Saat ini, tambang bawah tanah menghasilkan sekitar 60% dari
produksi batu bara dunia, walaupun beberapa negara penghasil batu bara yang
besar lebih menggunakan tambang permukaan. Tambang terbuka menghasilkan
sekitar 80% produksi batu bara di Australia, sementara di AS, hasil dari tambang
permukaan sekitar 67%.

Sistem penambangan batubara ada 3, yaitu:

a. Penambangan Bawah Tanah


b. Penambangan Terbuka
c. Penambangan dengan Auger

1. Tambang Bawah Tanah

Tambang bawah tanah adalah sistem penambangan dimana seluruh


aktifitasnya tidak berhubungan langsung dengan udara luar. Tambang bawah
tanah mengacu pada metode pengambilan bahan mineral yang dilakukan dengan
membuat terowongan menuju lokasi mineral tersebut.

Untuk menentukan tambang bawah tanah harus memperhatikan:

 Karakteristik penyebaran deposit atau geometri deposit (massive, vein,


disseminated, tabular, platy, sill, dll)
 Karakteristik geologi dan hidrologi (patahan, sesar, air tanah,
permeabilitas)
 Karakteristik geoteknik (kuat tekan, kuat tarik, kuat geser, kohesi, Rock
Mass Rating, Q-System, dll)
 Faktor-faktor teknologi (hadirnya teknologi baru, penguasaan teknologi,
Sumber Daya Manusia, dll)
 Faktor lingkungan (limbah pencucian, tailing, amblesan, sedimentasi,
dll).

28
Ada dua metode tambang bawah tanah: tambang room and pillar dan
tambang longwall.

1. Room and Pillar

 Dalam tambang room and pillar, endapan batu bara ditambang dengan
memotong jaringan ‘ruang’ ke dalam lapisan batu bara dan membiarkan
‘pilar’ batu bara untuk menyangga atap tambang. Pilar-pilar tersebut
dapat memiliki kandungan batu bara lebih dari 40% – walaupun batu
bara tersebut dapat ditambang pada tahapan selanjutnya. Penambangan
batu bara tersebut dapat dilakukan dengan cara yang disebut retreat
mining (penambangan mundur), dimana batu bara diambil dari pilar-
pilar tersebut pada saat para penambang kembali ke atas. Atap tambang
kemudian dibiarkan ambruk dan tambang tersebut ditinggalkan.
 Metode penambangan ini dicirikan dengan meninggalkan pilar-pilar
batubara sebagai penyangga alamiah. Metode ini biasa diterapkan pada
daerah dimana penurunan (subsidence) tidak diijinkan.
 Seluruh blok batubaranya dibuat jalan (batubara yang digali = room
selebar 10 m) dan pillar (sebagai penyangga selebar 30×30 m)
menggunakan kombinasi continuous miner (CM), roof bolter, dan
shuttle catr.
 Metode penambangan batubara ini, menetapkan suatu panel atau blok
penambangan tertentu, kemudian menggali maju dua sistem (jalur)
terowongan, masing-masing melintang dan memanjang, untuk
melakukan penambangan batubara dengan pembagian pilar batubara.
 Metode ini hanya mengambil 30-40% dari total batubara yang ada.
 Untuk menaikkan produksi, setelah semua block tersebut di tambang,
ketika kembali ke jalan utama dekat shaft, pilarpilar yang ditinggalkan
di kikis sedikit (proses ini namanya retreat mining).

Peralatan yang biasa digunakan untuk metode room and pillar antara
lain :

a. Alat pemotong lapisan batubara bawah tanah disebut continuous miner.


Contohnya alat pemotong lapisan batubara antara lain; shearer dan plow
(plough).
b. Alat gali isi hasil peledakan bawah tanah adalah Load-HaulDump
(LHD), over shot loader, slusher (scrapper) dan sebagainya.

29
c. Alat angkut digunakan truck berdimensi kecil, belt conveyor, chain
conveyor, lori-lokomotif (train) dan lain-lain.

Ciri-ciri dari metode room and pillar ini, antara lain:

a. Produktivitas rendah
b. Investasi alat kecil
c. Rasio penambangan (mining recovery) sekitar 60 - 70 %
d. Lebih fleksibel terhadap gangguan operasi, geologi dan peralatan
e. Karena meninggalkan batubara dalam jumlah besar maka berpotensi
terjadi swabakar
f. Hanya dapat diaplikasikan pada ketebalan lapisan 1 - 4 m
g. Potensi subsidence kecil

Ada beberapa klasifikasi dari metode Room ad pillar yang umum,


yaitu :

a. Classic Room and Pillar Method


 Metode ini yang sering ditemukan pada bahan galian maupun
batubara yang cadangannya cenderung tersebar mendatar (flat) dan
dengan ketebalan yang memungkinkan.
 Kelebihan metode classic room and pillar method adalah, dapat
segera memulai penambangan batubara setelah pembuatan
permukaan kerja penambangan.
 Kekurangan classic room and pillar method adalah recovery sedikit,
hanya berkisar 40 - 60% bila tanpa mengekstraksi pilar.
b. Post Room and Pillar Method
 Dengan inklinasi candangan yang mencapai 20°-55°. Pengambilan
cadangan dilakukan dengan mengikuti arah dan ruang cadangan
sehingga kemungkinan tertinggalnya bahan galian yang ditambang
semakin kecil.
 Kelebihan metode post room and pillar method adalah recovery lebih
besar karena pengambilan cadangan dilakukan dengan mengikuti
arah dan ruang cadangan sehingga kemungkinan tertinggalnya bahan
galian yang ditambang semakin kecil.
 Kelemahan metode post room and pillar method adalah
kemungkinan terjadinya subsiden lebih besar bila tidak diikuti
dengan penambahan penyangga buatan.

30
c. Step Room and Pillar Method
 Metode step room and pillar cocok diterapkan pada cadangan dengan
inkliasi 15-30 dengan ketebalan lapisan cadangan antara 2-5 meter.
 Step room and pillar merupakan metode yang digunakan dan
dirancang untuk memudahkan peralatan beroperasi di dalam
cadangan (ore deposit), stope dirancang berjenjang akan tetapi
terdapat jalan yang menghubungkan antar step atau jenjang.
 Kelebihan metode step room and pillar method adalah pengangkutan
di dalam permukaan kerja hampir tidak memerlukan tenaga
penggerak karena dapat berjalan sendiri, misalnya melaluijalan
penghubung.
 Kelemahann metode step room and pillar method adalah
memerlukannya tenaga kerja yang banyak untuk membawa masuk
peralatan, sehingga volume produksi tergantung dari banyaknya alat
mekanis yang tersedia.

Keunggulan metode penambangan batubara sistem room dan pilar :

a. Lingkup penyesuaian terhadap kondisi alam penambangan lebih luas


dibanding dengan sistem long wall yang dimekanisasi.
b. Hingga batas-batas tertentu, dapat menyesuaikan terhadap variasi
kemiringan (kecuali lapisan yang sangat curam), tebal tipisnya
lapisan batubara, keberadaan patahan serta sifat dan kondisi lantai
dan atap.
c. Mampu menambang blok yang tersisa oleh penambang sistem
lorong panjang, misalnya karena adanya patahan.
d. Dapat melakukan penambangan suatu blok yang berkaitan dengan
perlindungan permukaan (seperti perlindungan bangunan terhadap
penurunan permukaan tanah).
e. Efektif untuk menaikkan recovery sedapatnya, pada blok yang tidak
cocok ditambang semua, misalnya penambangan bagian dangkal di
bawah dasar laut.

Kelemahan metode penambangan batubara sistem ruang dan pilar:

a. Recovery penambangan batubara yang sangat buruk (sekitar 60% -


70%).
b. Bila dibandingkan dengan metode penambangan batubara sistem
long wall, banyak terjadi kecelakaan, seperti atap ambruk.

31
c. Ada batas maksimum penambangan bagian dalam, yang antara lain
disebabkan oleh peningkatan tekanan bumi (batasnya sekitar lima
ratus meter di bawah permukaan bumi).
d. Karena banyak batubara yang disisakan, akan meninggalkan masalah
dari segi keamanan untuk penerapan di lapisan batubara yang mudah
mengalami swabakar.
e. Recovery metode penambangan batubara sistem ruang dan pilar
sangat rendah, namun akhir-akhir ini ada juga tambang batubara
yang berhasil menaikkan recoverynya.

Gambar 3.1 metode Room and Pillar

2. Longwall

 Metode penambangan ini dicirikan dengan membuat panel-panel


penambangan dimana ambrukan batuan atap diijinkan terjadi di
belakang daerah penggalian.
 suatu sistem penambangan bawah tanah untuk endapan batubara
dengan membuat lorong-lorong panjang, secara mekanis dan bagian
dari front penambangan yang sudah selesai ditambang dibiarkan runtuh
dengan sendirinya ( caving ).

32
Ciri-ciri metode penambangan batubara sistem long wall:

a. Recoverynya tinggi, karena menambang sebagian besar batubara.


b. Permukaan kerja dapat dipusatkan, karena dapat berproduksi besar di
satu permuka kerja.
c. Pada umumnya, apabila kemiringan landai, mekanisasi penambangan,
transportasi dan penyanggaan menjadi mudah, sehingga dapat
meningkatkan efisiensi penambangan batubara.
d. Karena dapat memusatkan permukaan kerja, panjang terowongan yang
dirawat terhadap jumlah produksi batubara menjadi pendek.
e. Menguntungkan dari segi keamanan, karena ventilasinya mudah dan
swabakar yang timbul juga sedikit.
f. Karena dapat memanfaatkan tekanan bumi, pemotongan batubara
menjadi mudah.
g. Apabila terjadi hal-hal seperti keruntuhan permuka kerja dan kerusakan
mesin, penurunan produksi batubaranya besar.

Gambar 3.2 metode Longwall

33
2. Tambang Terbuka
Tambang terbuka adalah suatu sistem penambangan dimana seluruh
aktifitasnya berhubungan langsung dengan udara luar. Tambang Terbuka – juga
disebut tambang permukaan – hanya memiliki nilai ekonomis apabila lapisan batu
bara berada dekat dengan permukaan tanah. Metode tambang terbuka memberikan
proporsi endapan batu bara yang lebih banyak daripada tambang bawah tanah
karena seluruh lapisan batu bara dapat dieksploitasi – 90% atau lebih dari batu
bara dapat diambil.
Tambang terbuka yang besar dapat meliputi daerah berkilo-kilo meter
persegi dan menggunakan banyak alat yang besar, termasuk: dragline (katrol
penarik), yang memindahkan batuan permukaan; power shovel (sekop hidrolik);
truk-truk besar, yang mengangkut batuan permukaan dan batu bara; bucket wheel
excavator (mobil penggali serok); dan ban berjalan.

Kegiatan-kegiatan dalam tambang batubara terbuka adalah sebagai


berikut.

a. Persiapan daerah penambangan


b. Pengupasan dan penimbunan tanah humus
c. Pengupasan tanah penutup
d. Pemuatan dan pembuangan tanah penutup (misalnya dengan shovel dan
truk, BWE, dan dragline)
e. Penggalian batubara
f. Pemuatan dan pengangkutan batubara
g. Penirisan tambang h. Reklamasi

Macam-macam tambang batubara terbuka

Pengelompokan jenis-jenis tambang terbuka batubara didasarkan pada letak


endapan, dan alat-alat mekanis yang dipergunakan. Teknik penambangan pada
umumnya dipengaruhi oleh kondisi geologi dan topografi daerah yang akan
ditambang. Jenis-jenis tambang terbuka batubara dibagi menjadi :

1. Contour mining
Contour mining cocok diterapkan untuk endapan batubara yang tersingkap
di lereng pegunungan atau bukit. Cara penambangannya diawali dengan
pengupasan tanah penutup (overburden) di daerah singkapan di sepanjang
lereng mengikuti garis ketinggian (kontur), kemudian diikuti dengan

34
penambangan endapan batubaranya. Penambangan dilanjutkan ke arah
tebing sampai dicapai batas endapan yang masih ekonomis bila ditambang.
a. Conventional contour mining
Pada metode ini, penggalian awal dibuat sepanjang sisi bukit pada daerah
dimana batubara tersingkap. Pemberaian lapisan tanah penutup dilakukan
dengan peledakan dan pemboran atau menggunakan dozer dan ripper serta
alat muat front end leader, kemudian langsung didorong dan ditimbun di
daerah lereng yang lebih rendah. Pengupasan dengan contour stripping akan
menghasilkan jalur operasi yang bergelombang, memanjang dan menerus
mengelilingi seluruh sisi bukit.
b. Block-cut contour mining
Pada cara ini daerah penambangan dibagi menjadi blok-blok penambangan
yang bertujuan untuk mengurangi timbunan tanah buangan pada saat
pengupasan tanah penutup di sekitar lereng. Pada tahap awal blok 1 digali
sampai batas tebing (highwall) yang diijinkan tingginya. Tanah penutup
tersebut ditimbun sementara, batubaranya kemudian diambil. Setelah itu
lapisan blok 2 digali kira-kira setengahnya dan ditimbun di blok 1.
Sementara batubara blok 2 siap digali, maka lapisan tanah penutup blok 3
digali dan berlanjut ke siklus penggalian blok 2 dan menimbun tanah
buangan pada blok awal.
Pada saat blok 1 sudah ditimbun dan diratakan kembali, maka lapisan tanah
penutup blok 4 dipidahkan ke blok 2 setelah batubara pada blok 3
tersingkap semua. Lapisan tanah penutup blok 5 dipindahkan ke blok 3,
kemudian lapisan tanah penutup blok 6 dipindahkan ke blok 4 dan
seterusnya sampai selesai. Penggalian beruturan ini akan mengurangi
jumlah lapisan tanah penutup yang harus diangkut untuk menutup final pit.

35
Gambar 3.3 Conventional Contour Mining (Anon, 1979)

Gambar 3.4 Block-Cut Contour Mining (Anon, 1979)

c. Haulback contour mining


Metode haulback ini merupakan modifikasi dari konsep block-cut, yang
memerlukan suatu jenis angkutan overburden, bukannya langsung
menimbunnya. Jadi metode ini membutuhkan perencanaan dan operasi yang
teliti untuk bisa menangani batubara dan overburden secara efektif.

36
Ada tiga jenis perlatan yang sering digunakan, yaitu :

1. Truk atau front-end loader


2. Scrapers
3. Kombinasi dari scrapers dan truk

Gambar 3.5 Teknik Haulback Truck dengan menggunakan Front-End Loader


(Anon, 1979)

Gambar 3.6 Haulback dengan menggunakan kombinasi scraper dan truk


(Chioronis, 1987)

37
d. Box-cut contour mining
Pada metode box-cut contour mining ini lapisan tanah penutup yang sudah
digali, ditimbun pada daerah yang sudah rata di sepanjang garis singkapan
hingga membentuk suatu tanggul-tanggul yang rendah yang akan membantu
menyangga porsi terbesar dari tanah timbunan.

Gambar 3.7 Metode Box-Cut Contour Mining (Chioronis, 1987)

2. Mountaintop removal method


Metode mountaintop removal method ini (Gambar 1.6) dikenal dan
berkembang cepat, khususnya di Kentucky Timur (Amerika Serikat).
Dengan metode ini lapisan tanah penutup dapat terkupas seluruhnya,
sehingga memungkinkan perolehan batubara 100%.

Gambar 3.8 Mountaintop Removal Method (Chioronis, 1987)

38
3. Area mining method
Metode ini diterapkan untuk menambang endapan batubara yang dekat
permukaan pada daerah mendatar sampai agak landai. Penambangannya
dimulai dari singkapan batubara yang mempunyai lapisan dan tanah
penutup dangkal dilanjutkan ke yang lebih tebal sampai batas pit.

Terdapat tiga cara penambangan area mining method, yaitu :

a. Conventional area mining method


Pada cara ini, penggalian dimulai pada daerah penambangan awal sehingga
penggalian lapisan tanah penutup dan penimbunannya tidak terlalu
mengganggu lingkungan. Kemudian lapisan tanah penutup ini ditimbun di
belakang daerah yang sudah ditambang.

Gambar 3.9 Conventional Area Mining Method (Chioronis, 1987)

b. Area mining with stripping shovel

Cara ini digunakan untuk batubara yang terletak 10–15 m di bawah


permukaan tanah. Penambangan dimulai dengan membuat bukaan
berbentuk segi empat. Lapisan tanah penutup ditimbun sejajar dengan arah
penggalian, pada daerah yang sedang ditambang. Penggalian sejajar ini
dilakukan sampai seluruh endapan tergali.

c. Block area mining Cara ini hampir sama dengan conventional area mining
method, tetapi daerah penambangan dibagi menjadi beberapa blok
penambangan. Cara ini terbatas untuk endapan batubara dengan tebal
lapisan tanah penutup maksimum 12 m. Blok penggalian awal dibuat
dengan bulldozer. Tanah hasil penggalian kemudian didorong pada daerah
yang berdekatan dengan daerah penggalian.

39
Gambar 3.10 Area Mining With Stripping Shovel (Chioronis, 1987)

Gambar 3.11 Block Area Mining (Chioronis, 1987)

4. Open pit Method

Metode ini digunakan untuk endapan batubara yang memiliki kemiringan


(dip) yang besar dan curam. Endapan batubara harus tebal bila lapisan tanah
penutupnya cukup tebal.

a. Lapisan miring

Cara ini dapat diterapkan pada lapisan batubara yang terdiri dari satu lapisan
(single seam) atau lebih (multiple seam). Pada cara ini lapisan tanah
penutup yang telah dapat ditimbun di kedua sisi pada masing-masing
pengupasan.

40
Gambar 3.12 Open Pit Method pada lapisan miring (Hartman, 1987)

b. Lapisan tebal
Pada cara ini penambangan dimulai dengan melakukan pengupasan tanah
penutup dan penimbunan dilakukan pada daerah yang sudah ditambang.
Sebelum dimulai, harus tersedia dahulu daerah singkapan yang cukup untuk
dijadikan daerah penimbunan pada operasi berikutnya. Pada cara ini, baik
pada pengupasan tanah penutup maupun penggalian batubaranya, digunakan
sistem jenjang (benching system).

Gambar 3.13 Open Pit Method pada lapisan tebal (Hartman, 1987)

41
3. Penambangan dengan Auger (Auger Mining)
Auger mining adalah sebuah metode penambangan untuk permukaan
dengan dinding yang tinggi atau penemuan singkapan (outcrop recovery)
dari batubara dengan pemboran ataupun penggalian bukaan ke dalam
lapisan di antara lapisan penutup. Auger mining dilahirkan sebelum 1940-an
adalah metode untuk mendapatkan batubara dari sisi kiri dinding tinggi
setelah penambangan permukaan secara konvensional. Penambangan
batubara dengan auger bekerja dengan prinsip skala besar drag bit rotary
drill. Tanpa merusak batubara, auger mengekstraksi dan menaikkan
batubara dari lubang dengan memiringkan konveyor atau pemuatan dengan
menggunakan loader ke dalam truk.
Pengembangan dan persiapan daerah untuk auger mining adalah tugas yang
mudah jika dilakukan bersamaan dengan pemakaian metode open cast atau
open pit. Setelah kondisi dinding tinggi, auger drilling dapat ditempatkan
pada lokasi. Kondisi endapan yang dapat menggunakan metode ini
berdasarkan Pfleider (1973) dan Anon (1979) adalah endapan yang
memiliki penyebaran yang baik dan kemiringannya mendekati horisontal,
serta kedalamannya dangkal (terbatas sampai ketinggian dinding dimana
auger ditempatkan.

Gambar 3.14 Auger Mining pada lapisan batubara dengan kemiringan lapisan
rendah (Salem Tool Inc.,1996)

42
Gambar 3.15 Auger Mining pada lapisan batubara dengan kemiringan lapisan
curam (Salem Tool Inc.,1996)

B. Pengolahan Batu Bara

Batu bara yang langsung diambil dari bawah tanah, disebut batu bara
tertambang run-of-mine (ROM), seringkali memiliki kandungan campuran yang
tidak diinginkan seperti batu dan lumpur dan berbentuk pecahan dengan berbagai
ukuran. Namun demikian pengguna batu bara membutuhkan batu bara dengan
mutu yang konsisten. Pengolahan batu bara – juga disebut pencucian batu bara
(“coal benification” atau “coal washing”) mengarah pada penanganan batu bara
tertambang (ROM Coal) untuk menjamin mutu yang konsisten dan kesesuaian
dengan kebutuhan pengguna akhir tertentu.
Pengolahan tersebut tergantung pada kandungan batu bara dan tujuan
penggunaannya. Batu bara tersebut mungkin hanya memerlukan pemecahan
sederhana atau mungkin memerlukan proses pengolahan yang kompleks untuk
mengurangi kandungan campuran.
Untuk menghilangkan kandungan campuran, batu bara terambang mentah
dipecahkan dan kemudian dipisahkan ke dalam pecahan dalam berbagai ukuran.
Pecahan-pecahan yang lebih besar biasanya diolah dengan menggunakan metode
‘pemisahan media padatan’. Dalam proses demikian, batu bara dipisahkan dari
kandungan campuran lainnya dengan diapungkan dalam suatu tangki berisi cairan
dengan gravitasi tertentu, biasanya suatu bahan berbentuk mangnetit tanah halus.
Setelah batu bara menjadi ringan, batu bara tersebut akan mengapung dan dapat
dipisahkan, sementara batuan dan kandungan campuran lainnya yang lebih berat
akan tenggelam dan dibuang sebagai limbah.

43
Pecahan yang lebih kecil diolah dengan melakukan sejumlah cara, biasanya
berdasarkan perbedaan kepadatannya seperti dalam mesin sentrifugal. Mesin
sentrifugal adalah mesin yang memutar suatu wadah dengan sangat cepat,
sehingga memisahkan benda padat dan benda cair yang berada di dalam wadah
tersebut. Metode alternatif menggunakan kandungan permukaan yang berbeda
dari batu bara dan limbah. Dalam ‘pengapungan berbuih’, partikel-partikel
batubara dipisahkan dalam buih yang dihasilkan oleh udara yang ditiupkan ke
dalam rendaman air yang mengandung reagen kimia. Buih-buih tersebut akan
menarik batu bara tapi tidak menarik limbah dan kemudian buih-buih tersebut
dibuang untuk mendapatkan batu bara halus. Perkembangan teknolologi
belakangan ini telah membantu meningkatkan perolehan materi batu bara yang
sangat baik.

Rencana Pengolahan Batu Bara

1. Tujuan proses pengolahan

Dikaitannya dengan rencana pemasaran dan operasi penambangan


batubara, maka pengadaan proses pengolahan batubara (Coal Processing Plant
/CCP) bertujuan untuk mengolah batubara menjadi produk batubara ( product area
) yang sesuai dengan permintaan pasar. Dengan mempertimbangkan beberapa
hal, misalnya kualitas atau mutu cadangan batubara, metode penambangan yang
terpilih, serta kualitas permintaan pasar, maka proses pengolahan batubara,
meliputi ruang lingkup proses sebagai berikut:

a. Melakukan reduksi ukuran (size reduction) melalui penggerusan (crushing)


b. Melakukan pemisahan (clasification) melalui pengayakan (screening)
c. Melakukan pencampuran (blending) batubara
d. Melakukan penimbunan/penumpukan batubara (sitockpilling)
e. Melakukan penanganan limbah air (water pollution treatment).

2. Desain pengolahan batubara

Dalam upaya mengolah batubara menjadi produk akhir yang diminati


konsumen perlu rancangan pengolahan yang komprehensif agar pelayanannya
memuaskan. Rancang bangun unit pengolahan didasarkan pada faktor-faktor
antara lain: target atau permintaan pasar rata-rata, kualitas batubara dari tambang
(raw coal), spesifikasi produk akhir yang diminta, ketersediaan lahan untuk area
pengolahan termasuk tempat penimbunan (stockpile) dan ketersediaan air

44
disekitar area pengolahan. Semua f aktor tersebut diatas akan menentukan jenis,
dimensi dan kapasitas peralatan atau mesin pengolahan yang dibutuhkan serta
flowsheet pengolahan yang sesuai dengan memperhatikan unsur keselamatan
kerja.

a. Kapasitas produksi

Kapasitas produksi pengolahan batubara harus mampu mencapai atau


memenuhi target produksi optimum yang direncanakan misal, yaitu 2.000.000 ton
per tahun dengan kapasitas stockpile sebesar 200.000 ton/2 bulan. Berdasarkan
target tahunan tersebut dapat dihitung kapasitas unit pengolahan yang beroperasi 2
shift/hari (8 jam/shift), 28 hari/bulan dan efisiensi kerja 80%.

b. Kualitas produksi

Kualitas produksi hasil proses pengolahan batubara harus dapat me menuhi


persyaratan yang diinginkan pasar. Berdasarkan survey pasar dapat disimpulkan
bahwa kualitas batubara yang harus dihasilkan proses pengolahan.

c. Prosedur pengolahan batubara

Prosedur pengolahan memperlihatkan tahapan proses pengolahan batubara


mulai dari penimbunan raw coal di lokasi pabrik pengolahan sampai produk akhir.

1. Persiapan pengumpanan (feeding)

Sebagai umpan (feed) awal proses pengolahan adalah batubara dari tambang
atau ROM atau raw coal yang ditumpuk di stockpile di lokasi pengolahan.
Ukuran maksimum umpan awal ini direncanakan 300 mm, sedangkan terhadap
umpan yang lebih besar d ari 300 mm akan dilakukan pengecilan secara manual
menggunakan hammer breaker. Baik umpan batubara dari tambang maupun hasil
pengecilan ulang semuanya dimasukkan ke hopper menggunakan wheel loader
untuk dilanjutkan ke proses reduksi dan pengayakan sampai diperoleh produkta
akhir yang siap jual.

2. Pengay akan dengan Grizzly

Grizzly berfungsi memisahkan fraksi batubara berukuran +300 mm dengan -


300 mm dan posisinya terletak tepat di bawah hopper. Lubang bukaan (opening)
grizzly berukuran 300 mm x 300 mm. Undersize grizzly -300 mm diangkut belt
conveyor untuk u mpan crusher primer. Sedangkan fraksi +300 mm di kembalikan

45
ke tumpukan untuk dire duksi ulang menggunakan hammer breaker. Hasil reduksi
ulang dikembalikan lagi ke grizzly untuk pemisahan atau pengayakan ulang.
Proses ini berlangsung terus menerus selama shift kerja berlangsung.

3. Peremukan tahap awal (primary crusher)

Proses peremukan awal bertujuan untuk mereduksi ukuran fraksi batubara -


300 mm menjadi ukuran rata-rata 150 mm. Dengan demikian nisbah reduksi
(reduction ratio) pada tahap primer ini adalah 2. Alat yang digunakan adala h roll
crusher yang berkapasitas 50 0 ton/jam. Untuk menaksir power atau energi (hp)
crusher digunakan rumus Bond Crusher Work Index Equation.

4. Pengayakan (screening) tahap-1

Proses pengayakan adalah salah satu proses yang bertujuan untuk


mengelompokan ukuran fraksi batubara, sehingga disebut juga dengan proses
classification. Alat yang dipakai untuk pengayakan biasanya ayakan getar
(vibrating screen). Pada pengolahan batubara ini proses pengayakan tahap awal
menggunakan vibrating screen-1 untuk memisahkan fraksi ukuran +150 mm dan -
150 mm. Fraksi -150 mm adalah umpan secondary crusher, sedangkan + 150
mm diresirkulasi sebagai umpan crusher primer untuk diremuk ulang. Produkta
dari proses pengayakan harus selalu dijaga konsistensi laju kapasitasnya sebanyak
500 ton/jam. Untuk itu perlu dilakukan penaksiran dimensi (panjang dan lebar)
dari ayakan (screen) yang harus dipasang.

Terdapat beberapa metoda untuk menentukan dimensi screen dan cara yang
dipakai dalam rancangan unit screen dalam studi ini adalah cara grafis dengan
beberapa rangkuman konstanta (faktor) yang diperlukan seperti terlihat pada
Tabel 2. Konstanta tersebut merupakan faktor yang telah disesuaikan dengan
kondisi di lapangan yang umumnya digunakan untuk pengayakan batubara.
Gambar 2.a adalah kurva untuk menghitung produkta hasil pengayakan
(ton/jam/ft²) dan Gambar 2.b hubungan antara lebar ayakan dengan laju
produkta per inci bed depth (ketebalan lapisan aggregate batubara di atas ayakan)
dengan kecepatan 1 ft/sec.

5. Pengayakan tahap-2

Jenis alat yang dipakai adalah vibrating screen yang digunakan untuk
memisahkan fraksi berukuran -50 mm. Umpan yang masuk adalah hasil
peremukan dari crusher sekunder berukuran -150 mm. Agar memperoleh

46
kapasitas sesuai dengan target, maka perhitungan dimensi ayakan pada tahap-2 ini
sama seperti yang telah diuraikan pada perhitungan dimensi ayakan tahap-1.

C. Metode Pemanfaatan Batu Bara

Batu bara memiliki riwayat yang panjang dan beragam. Beberapa ahli
sejarah yakin bahwa batu bara pertama kali digunakan secara komersial di Cina.
Ada laporan yang menyatakan bahwa suatu tambang di timur laut Cina
menyediakan batu bara untuk mencairkan tembaga dan untuk mencetak uang
logam sekitar tahun 1000 Sebelum Masehi. Salah satu dari rujukan batu bara yang
pertama kali diketahui dibuat oleh seorang filsuf dan ilmuwan Yunani Aristoteles,
yang menyebutkan arang seperti batu. Abu batu bara yang ditemukan di
reruntuhan bangsa Romawi di Inggris menunjukkan bahwa bangsa Romawi
menggunakan batu bara sebagai sumber energi pada tahun 400 Sebelum Masehi.
Catatan sejarah dari Abad Pertengahan memberikan bukti pertama penambangan
batu bara di Eropa bahkan suatu perdagangan internasional batu bara laut dari
lapisan batu bara yang terpapar di pantai Inggris dikumpulkan dan diekspor ke
Belgia.

Selama Revolusi Industri pada abad 18 dan 19, kebutuhan akan batu bara
amat mendesak. Penemuan besar mesin uap oleh James Watt, yang dipatenkan
pada tahun 1769, sangat berperan dalam pertumbuhan penggunaan batu bara.
Riwayat penambangan dan penggunaan batu bara tidak dapat dipungkiri berkaitan
dengan Revolusi Industri – produksi besi dan baja, transportasi kereta api dan
kapal uap.

Batu bara juga digunakan untuk menghasilkan gas untuk lampu gas di
banyak kota, yang disebut ‘kota gas’. Proses pembentukan gas dengan
menggunakan batu bara ini menunjukkan pertumbuhan lampu gas di sepanjang
daerah metropolitan pada awal abad 19, terutama di London. Penggunaan gas
yang dihasilkan batu bara untuk penerangan jalan akhirnya digantikan oleh
munculnya zaman listrik modern.

1. Batu Bara dalam Produksi Besi dan Baja

Baja penting untuk kehidupan sehari-hari – contohnya mobil, kereta api,


bangunan, kapal, jembatan, lemari pendingin, peralatan medis dimana semuanya

47
dibuat dengan menggunakan baja. Baja merupakan unsur vital untuk mesinmesin
yang membuat hampir setiap produk yang saat ini kita gunakan.

Batu bara penting bagi produksi besi dan baja; sekitar 64% dari produksi
baja di seluruh dunia berasal dari besi yang dibuat di tanur tiup yang

menggunakan batu bara. Produksi baja mentah dunia berjumlah 965 juta ton
pada tahun 2003, menggunakan batu bara sekitar 543 Jt.

2. Batu Bara & Semen

Semen sangat penting untuk industri konstruksi – dicampur dengan air, dan
kerikil akan menjadi beton, unsur bangunan dasar dalam masyarakat moderen.
Lebih dari 1350 juta ton semen digunakan di dunia setiap tahun.

Batu bara digunakan sebagai sumber energi dalam produksi semen. Energi
yang dibutuhkan untuk memproduksi semen sangat besar. Oven biasanya
membakar batu bara dalam bentuk bubuk dan membutuhkan batu bara sebanyak
450g untuk menghasilkan semen sebanyak 900g. Batu bara mungkin akan tetap
menjadi masukan penting untuk industri semen dunia di tahun-tahun yang
mendatang.

Coal combustion products (CCP – produk-produk pembakaranb batu bara)


juga memainkan peran yang penting dalam produksi beton. CCP merupakan hasil
sampingan dari pembakaran batu bara pada pusat pembangkit listrik tenaga uap.
Hasil-hasil sampingan tersebut termasuk abu arang batu, abu dasar, kerak ketel
dan gipsum desulfurisasi gas pembakaran. Abu arang batu misalnya, dapat
digunakan untuk mengganti atau menambah semen dalam pembuatan beton.
Dalam cara demikian, produk-produk pembakaran batu bara daur ulang
menguntungkan bagi lingkungan hidup, yang bertindak sebagai pengganti bahan
mentah utama.

Fungsi Lain dari Batu Bara

Pengguna batu bara yang penting lainnya mencakup pusat pengolahan


alumina, pabrik kertas, dan industri kimia serta farmasi. Beberapa produk kimia
dapat diproduksi dari hasil-hasil sampingan batu bara. Ter batu bara yang
dimurnikan digunakan dalam pembuatan bahan kimia seperti minyak kreosot,
naftalen, fenol dan benzene. Gas amoniak yang diambil dari tungku kokas
digunakan untuk membuat garam amoniak, asam nitrat dan pupuk tanaman.

48
Ribuan produk yang berbeda memiliki komponen batu bara atau hasil sampingan
batu bara: sabun, aspirin, zat pelarut, pewarna, plastik dan fiber, seperti rayon dan
nylon.

Batu bara juga merupakan suatu bahan yang penting dalam pembuatan
produk-produk tertentu:

a. Karbon teraktivasi – digunakan pada saringan air dan pembersih udara


serta mesin pencuci darah.
b. Serat karbon – bahan pengeras yang sangat kuat namun ringan yang
digunakan pada konstruksi, sepeda gunung dan raket tenis.
c. Metal silikon – digunakan untuk memproduksi silikon dan silan, yang
pada gilirannya digunakan untuk membuat pelumas, bahan kedap air,
resin, kosmetik, shampo dan pasta gigi.

49

Anda mungkin juga menyukai