Anda di halaman 1dari 10

SUMBER DAYA

ENERGI

DR. Andi Al adi n,


M T……… 

Jurusan Teknik Kimia. FTI


Universitas Muslim Indonesia
(UMI) Makassar
MATA KUIAH SUMBER DAYA MINERAL DAN ENERGI

DOSEN:
1. Andi aladin
2. Ummu Kalsum
3. M. Rafdi

Menurut
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009
TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA,

BAB I KETENTUAN UMUM,


Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka
penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi
penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan,
pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan
pascatambang.
2. Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam, yang memiliki sifat
fisik dan kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannya yang
membentuk batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu.
3. Batubara adalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara
alamiah dari sisa tumbuh-tumbuhan.
4. Pertambangan Mineral adalah pertambangan kumpulan mineral yang berupa bijih
atau batuan, di luar panas bumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah.
5. Pertambangan Batubara adalah pertambangan endapan karbon yang terdapat di
dalam bumi, termasuk bitumen padat, gambut, dan batuan aspal.

BAB VI USAHA PERTAMBANGAN,


Pasal 34
(1) Usaha pertambangan dikelompokkan atas:
a. pertambangan mineral; dan
b. pertambangan batubara.
(2) Pertambangan mineral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a digolongkan
atas:
a. pertambangan mineral radioaktif;
b. pertambangan mineral logam;
c. pertambangan mineral bukan logam; dan
d. pertambangan batuan.

Pokok bahasan kuliah Sumber Daya Mineral dan Energi (SDME)


1. Energi Batubara
2. Energi dari Mineral Radioaktif/Nuklir (Uranium, Thorium)
3. Mineral logam Nikel, Emas dan besi
4. Mineral/batuan galena
5. Mineral batuan lainnya (batu kapur, marmer, dll)
1. SUMBER ENERGI BATUBARA

1. Defenisi dan Sejarah Batubara


Batubara (coal) adalah sedimen batuan organik yang mudah terbakar (dengan
komposisi utama karbon, hidrogen dan oksigen), terbentuk dari sisa-sisa tumbuhan
selama periode waktu yang panjang (puluhan sampai ratusan juta tahun). Sisa-sisa
tumbuhan dapat berasal antara lain dari lumut, ganggang, kayu, buah dan dedaunan
yang merupakan sumber senyawa organik (sellulosa, karbohidrat, lignin, protein dan
lemak). Selain terbentuk dari senyawa-senyawa organik, juga disertai senyawa-
senyawa anorganik terutama unsur mineral yang berasal dari lempung, pasir kuarsa,
batu kapur dan sebagainya. Akibat pengaruh tekanan dan mikroba disertai beberapa
peristiwa kimia dan fisika ataupun keadaan geologi, sisa-sisa tumbuhan ini akan
hancur, menggumpal, bersatu dengan lainnya yang akhirnya membentuk lapisan
batubara.
Marco Polo salah seorang petualang dunia di abad 13 berkebangsaan Italia,
pada tahun 1271 telah menjelajah di negeri China. Selanjutnya melanjutkan
petualangnya selama 25 tahun kemudian kembali ke negerinya dengan membawa
banyak ceritra dan pengalaman. Salah satu kisah menarik adalah ditemukannya
benda aneh yang disebut black stone yang dimanfaatkan orang China sebagai bahan
bakar. Black stone sudah ratusan tahun yang silam digunakan sebagai bahan bakar.
Di Inggris, black stone telah dikenal sejak abad 9, yang kemudian dikenal
sebagai batubara (coal). Batubara di negara tersebut dipungut dari singkapan
batubara yang muncul dipermukaan, sehingga keberadaan batubara di alam mudah
dikenal. Pemanfaatan batubara pada awalnya hanya terbatas sebagai bahan bakar
dalam rumah tangga dan sebagai pemanas ruangan di musim dingin.
Namun memperhatikan nilai kalor batubara yang cukup tinggi, maka orang
kemudian mulai memanfaatkan batubara untuk pemanasan dan pembakaran skala
besar seperti untuk membakar batu gamping, pelelehan besi dan untuk penguapan
air. Selama abad 17, banyak kegiatan industri di Inggris memanfaatkan batubara
sebagai bahan bakar menggantikan penggunaan kayu bakar yang sudah semakin sulit
dan mahal harganya. Sejak itu sosialisasi pemanfaatan batubara sebagai bahan
alternatif menggantikan kayu bakar telah memasyarakat.
Pemanfaatan batubara telah memicu terjadinya revolusi industri di Eropa dan
negara lainnya, seiring dengan timbulnya industri baja dan mesin uap. Peranan
batubara mencapai puncaknya menjelang perang dunia I. Waktu itu hampir mencapai
80% kebutuhan energi dunia bersumber dari bahan bakar batubara. Namun kemudian
setelah pecah perang dunia I, pola penyediaan batubara terganggu, sehingga negara-
negara industri tidak bisa bertumpuh pada hanya satu sunber bahan bakar batubara.
Pada kapal mesin uap misalnya telah menggunakan 100% batubara, lambat laum
beralih kepada bahan bakar minyak sejak perang dunia I tersebut.
Di Indonesia masih menggunakan bahan bakar kayu dan batubara hingga awal
perang dunia II, misalnya pada angkutan darat khususnya kereta api. Seiring dengan
perkembangan teknologi, penggunaan kayu dan batubara sebagai bahan bakar secara
berangsur-angsur bekurang, digeser oleh bahan bakar minyak yang dianggap lebih
praktis dan efisien.
Negara-negara produsen minyak khususnya negara Timur tengah sekitar tahun
1973/1974 mengalami gejolak politik membuat ketidak stabilan di negara tersebut.
Akibatnya terjadi krisis minyak yang melanda hampir seluruh negara di dunia,
termasuk Indonesia. Persediaan minyak dunia tidak dapat memenuhi kebutuhan
dunia, terutama oleh negara-negara industri, menyebabkan harga minyak meningkat
tidak terkendali, dan biaya produksi di industri terpaksa meningkat tinggi.
Akibatnya, pada saat itu negara-negara industri di Eropa dan Asia mulai lagi melirik
sumber bahan bakar batubara dan bahkan mencari sumber-sumber energi alternatif
lain seperti gas alam, panas bumi (geothermal), tenaga angin, tenaga nuklir, tenaga
gelombang laut, tenaga matahari dan lain-lain.

2. Proses Pembentukan Batubara


Batubara memiliki kesamaan dengan arang kayu, yaitu memiliki kandungan
unsur kimia yang serupa (C, H,O, N, S, dan P), bersumber sama-sama dari bahan
kayu (tumbuhan), memiliki nilai kalori yang kurang lebih sama (nilai kalor arang
kayu sekitar 7000 kal/gr, batubara klas bituminius sekitar 6000-8000 kal/gr). Hanya
saja batubara terbentuk melalui proses alam dalam jangka waktu yang sangat panjang
seperti tergambar dalam definisi batubara di atas, sedangkan arang kayu dibuat
sebagai hasil rekayasa dan inovasi manusia dalam waktu proses pembuatannya
sangat singkat. Batubara terbentuk dari sisa-sisa tumbuhan yang sudah mati dengan
komposisi utama sellulosa (suatu polisakarida) melalui suatu proses coalification
oleh pengaruh faktor kimia, fisika dan biologi akan mengubah secara perlahan
sellulosa tersebut menjadi batubara (peat, lignit, subituminious, bituminous dan
antrasit). Reaksi coalification (pembentukan lignit) sesungguhnya cukup kompleks,
namun dapat disederhanakan sebagai berikut :
(C6H12O5)n  C20H22O4 + CH4 + H2O + COx
Tempat pembentukan batubara dapat terjadi dimana sisa-sisa tumbuhan
berasal, tetapi kemungkinan pula dengan satu dan lain faktor batubara terjadi di suatu
tempat yang berbeda dengan sumber sisa-sisa tumbuhan tersebut. Tempat
berlangsungnya pembentukan batubara tersebut menjadi penting untuk dipahami
sebab hal ini menjadi salah satu faktor penentu kualitas batubara. Dikenal dua teori
tempat terbentuknya batubara yaitu teori in situ dan teori drif. Berikut kedua teori ini
diuraikan secara singkat.

a. Teori in Situ
Teori ini menjelaskan bahwa bahan-bahan komponen lapisan batubara terbentuk
di tempat dimana tumbuhan-tumbuhan asal itu berada. Jadi, setelah tumbuhan
tersebut mati belum mengalami proses transportasi (perpindahan tempat) segera
tertutup oleh lapisan sedimen dan kemudian mengalami proses coalification.
Jenis batubara yang terbentuk dengan cara ini mempunyai penyebaran luas dan
relatif merata, kualitasnya relatif lebih baik sebab kadar abunya lebih rendah dan
bahan pengotornya lebih sedikit. Di Indonesia, jenis batubara yang terbentuk
berdasarkan teori in situ dapat ditemukan antara lain di lapangan batubara
Muara Enim, Sumatera Selatan.
b. Teori Drift
Teori ini menjelaskan bahwa bahan-bahan komponen penyusun lapisan batubara
terbentuk di tempat yang berbeda dengan tempat tumbuhan-tumbuhan asal itu
berada. Tumbuhan-tumbuhan yang telah mati diangkut oleh media air dan
terakumulasi di suatu tempat, lalu tertutup oleh lapisan sedimen dan kemudian
mengalami proses coalification. Jenis batubara ini mempunyai penyebaran
sempit dengan kualitas kurang baik sebab banyak mengandung bahan pengotor
yang terangkut bersama selama proses perpindahan dari tempat asal tumbuhan ke
tempat sedimentasi. Jenis batubara yang terbentuk berdasarkan teori drift dapat
dijumpai di Indonesia, antara lain di lapangan batubara delta Mahakam Purba,
Kalimantan Timur.

Gambar 1: Lokasi Penambangan batubara drif di daerah Pattukku, Sulawesi Selatan (2008)

3. Kandungan Kimia Batubara

Kandungan kimia batubara terdiri atas senyawa organik (sebagai komponen


utama) dan senyawa anorganik serta senyawa sulfur (Larsen, 1978).
a. Senyawa Organik.
Senyawa organik dalam batubara, mulai dari struktur sederhana hingga struktur
yang sangat kompleks, baik berupa senyawa aromatik maupun non aromatik
dalam bentuk antara lain: sellulosa, protein, waxes, resin, terpen, sterol,
flavonoid, tannins, lignin dan alkaloida. Senyawa organik sebagai komponen
utama batubara tersusun atas unsur-unsur penting seperti C dan H (unsur
utama), O dan N serta S (Sulfur unsur minor). Komposisi unsur-unsur penting
tersebut menentukan kualitas batubara. Secara umum dirumuskan bahwa semakin
besar komposisi karbon dan hidrogennya serta semakin kecil komposisi oksigen
dan moisturnya maka semakin baik mutu batubara, sebagaimana tergambar
dalam persamaan 2 dan persamaan 3.
b. Senyawa Anorganik .
Senyawa anorganik sebagai komponen minor batubara dijumpai dalam bentuk :
 Senyawa-senyawa mineral, seperti karbonat, oksida, sulfida, sulfat dan pospat
 Element volatile, berupa :
 As, Hg, Mo, Sb dan Se biasanya berassosiasi dengan pirit
 Cd dan Cu berassosiasi dengan sulfida (terkadang dengan Pb dan Zn sulfida)
 Ca, Mg dan Mn dalam senyawa karbonat
 Fly ash, yaitu: SiO2, Al2O3 , Fe2O3 , CaO, MgO, Na2O, K2O, TiO2 dan SO3

c. Senyawa Sulfur
Sekalipun sebagai komponen minor, tetapi sangat menentukan kualitas batubara
yang bersangkutan. Kandungan sulfur batubara berkisar 0,1 – 4 %, bahkan
batubara Turki mencapai 13%. Senyawa sulfur dalam batubara berupa :
 Sulfur organik, pada umunya komposisi lebih kecil sekitar 1,5% terdiri
0,144 % sulfur organik non aromatik dan sisanya aromatik cincin 1 – 5.
Sulfur organik dalam batubara lebih sering dijumpai dalam bentuk senyawa
merkaptan atau tiol (RSH), tioeter (RSR), disulfida (RSSR) dan aromatik
 Sulfur anorganik, terutama dijumpai dalam bentuk :
 Sulfur iron (mayor) dalam bentuk pirit atau markasit (FeS2)
 Sulfur sulfat (minor) dalam bentuk gipsun dan jarosite [ Fe3(SO4)3(OH)6 ]

4. Kriteria Kualitas dan Klasifikasi Batubara

Kualitas batubara khususnya dalam peruntukkannya sebagai sumber energi


dan bahan bakar dapat dilihat dari analisis proximate, ultimate dan calorific value
(nilai kalor). Analisis ini dapat dilakukan mengikuti prosedur ASTM Standar (Tabel
21).
a. Analisis Proximate
Jenis analisis proximate batubara didasarkan komposisi besaran (%) :
 Moisture (M), yaitu kandungan air dalam batubara.
 Volatile matter (VM), yaitu bahan mudah menguap dalam batubara.
 Ash, yaitu kandungan abu dalam batubara.
 Fixed carbon (FC), yaitu karbon tetap dalam batubara, dihitung setelah
ketiga parameter di atas diketahui, dengan persamaan sebagai berikut :
FC(%) = 100 - [ M + VM + Ash ] (1)
b. Analisis Ultimate
Jenis analisis ultimate batubara didasarkan pada analisis komposisi unsur-unsur
meliputi C, H, O, N dan sulfur (S) total serta logam-logam.
Nilai kalor dapat diperkirakan berdasarkan analisis proximate, yaitu komposisi
karbon tetap (fixed carbon) dan zat mudah menguap (volatile matter) dengan
persamaan empirik yang dituliskan oleh Peele and Chrush (1941), berikut :
 
 1 
Q  14544 FC  27000VM 1  
 FC
  0,5 
 VM  (2)
dimana Q adalah kalor dalam satuan Btu/lb, FC adalah karbon tetap (%) dan VM
adalah zat mudah menguap (%).
Nilai kalor (Btu/lb) batubara dapat juga diperkirakan berdasarkan analisis
ultimate, yaitu komposisi (%) karbon (C), hidrogen (H), oksigen (O) dan sulfur (S)
dengan persamaan empirik sebagai berikut (Peele and Chrush, 1941):
 O
Q  14600C  62000 H    4000 S
 8 (3)
Krevelen (1993) menyajikan tujuh jenis persamaan empirik (Dulong, Seyler,
Mott-Spooner, Boie, Given dan Neavel) yang menghubungkan nilai kalor Q (kal/g)
sebagai fungsi komposisi (%) kandungan karbon, oksigen, nitrogen, sulfur dan ash.
Dua diantaranya cukup akurat, yaitu persamaan Neavel (4) dan persamaan Given
(5) berturut-turut sebagai berikut :
Q = 881,05 C + 316,4 H – 29,9 O + 23,9 S – 3,5 Ash (4)
Q = 78,3 C + 339,1 H – 33 O + 22,1 S + 152 (5)
Berdasarkan kualitasnya, batubara memiliki kelas (grade) yang secara umum
diklasifikasi menjadi empat kelas utama menurut standar ASTM (Kirk-Othmer,
1979) atau lima kelas jika dimasukkan peat atau gambut sebagai jenis batubara yang
paling muda (Larsen, 1978). Dalam Tabel 1 disajikan kelas batubara disertai dengan
kriteria berdasarkan analisis proximate dan nilai kalornya, juga kriteria berdasarkan
analisis ultimate dan kandungan sulfur total serta densitasnya.
Peat (gambut) biasa juga disebut brown coal (batubara muda), merupakan
jenis batubara yang paling rendah mutunya, bersifat lunak, dapat dilihat dari warna
dan struktur (kayu), mudah pecah pada saat pemanasan. Lignite, yaitu jenis batubara
di atas brown coal, namun kualitasnya masih tergolong rendah. Jenis batubara ini
berwarna coklat mengkilat, struktur kayu masih tampak, kandungan air dan oksigen
relatif tinggi, dengan kandungan kalor relatif rendah. Sub-bituminous sering juga
disebut black lignite adalah jenis batubara transisi antara lignite dan bituminous,
dengan kualitas sedang. Bituminous, yaitu jenis batubara yang termasuk kategori
kualitas baik, memiliki sifat lebih keras dari sub-bituminous, kandungan oksigen
rendah, sedangkan kandungan karbon dan kalor relatif tinggi. Anthracite, yaitu jenis
batubara dengan kandungan karbon cukup tinggi, zat mudah menguap (volatile
matter) dan kandungan oksigenya relatif rendah, pada saat pembakaran tidak atau
kurang menghasilkan asap. Anthracite memiliki kandungan kalor tertinggi dengan
kualitas terbaik diantara jenis batubara yang telah disebutkan sebelumnya. Anthracite
yang paling keras, dengan struktur kompak dan padat dikenal dengan nama graphite
merupakan jenis batubara dengan kualitas tertinggi.
Tabel 1: Klasifikasi Batubara

Kelas Batubara
Kriteria
(basis kering) I. II. III. IV.
Anthracite Bituminous Subituminous Lignite
Proximate/kalor
Fixed carbon (%)  86 86 –54 53 – 56  52
Volatilematter (%)  14 14 - 54 53 – 56  52
Moisture (%)  6 5 – 16 18 – 30  38
Calorivic value 7740 – 8300 7410 – 8741 5990 – 7540  5250
(kcal/kg)
Ultimate/Density
Carbon (%) 75 – 85 65 – 80 55 – 70 35 – 45
Hidrogen (%) 1,5 – 3,5 4,5 – 6 5,5 – 6,5 6 – 7,5
Oksigen (%) 5,5 – 9 4,5 – 10 15 – 30 38 – 48
Nitrogen (%) 0,5 – 1 0,5 – 2,5 0,8 – 1,5 0,6 – 1
Sulfur (%) 0,5 – 2,5 0,5 – 6 0,3 – 1,5 0,3–2,5

Density (kg/L) 1,35 – 1,70 1,28 – 1,35 1,35 – 1,40 1,40-1,45

Sumber: Kirk and Othmer, 1979; Hessley et al, 1986

Kualitas batubara Indonesia hanya sebagian kecil termasuk kategori kualitas


sedang-tinggi yaitu berupa sub-bituminous (26,63%) dan bituminous (14,38%),
kualitas tinggi berupa antrasit (0,36). Sisanya sebagian besar masih tergolong
batubara muda dengan kualitas rendah, yaitu berupa lignite (58,6%) .
Hasil analisis batubara asal Sulawesi Selatan yang telah dilakukan oleh
Aladin, dkk (2006) menunjukkan kualitas yang rendah, khususnya jika ditinjau dari
kandungan sulfur relatif tinggi (2 – 4 %), demikian pula ditinjau dari kandungan
abunya juga relatif tinggi (Tabel 2). Berdasarkan analisis proximate tersebut ,
Batubara Asal Sulawesi termasuk kelas lignit hingga subbituminous. Namun jika
ditinjau dari kandungan kalornya yang relatif tinggi, yaitu menghampiri 7000
kkal/kg, maka Batubara Asal Sulawesi dapat dipertimbangkan untuk dijadikan
sebagai bahan bakar alternatif di Industri .

Anda mungkin juga menyukai