PENDAHULUAN
Batubara adalah salah satu sumber energi yang penting bagi dunia, yang
digunakan pembangkit listrik untuk menghasilkan listrik hampir 40% di seluruh
dunia. Di banyak negara angka-angka ini jauh lebih tinggi: Polandia menggunakan
batu bara lebih dari 94% untuk pembangkit listrik; Afrika Selatan 92%; Cina 77%;
dan Australia 76%. Batu bara merupakan sumber energi yang mengalami
pertumbuhan yang paling cepat di dunia di tahun-tahun belakangan ini – lebih cepat
daripada gas, minyak, nuklir, air dan sumber daya pengganti. Batu bara telah
memainkan peran yang sangat penting ini selama berabad-abad – tidak hanya
membangkitkan listrik , namun juga merupakan bahan bakar utama bagi produksi
baja dan semen, serta kegiatan-kegiatan industri lainnya. Sumber Daya Batu Bara
menyajikan tinjauan lengkap mengenai batu bara dan maknanya bagi kehidupan kita.
Tinjauan ini menyajikan proses pembentukan batu bara, penambangannya,
penggunaannya serta dampaknya terhadap masyarakat dan lingkungan hidup.
Tinjauan ini menguraikan peran penting batu bara sebagai sumber energi dan betapa
pentingnya batu bara – bersama sumber energi lainnya – dalam memenuhi kebutuhan
energi dunia yang berkembang dengan cepat.
Penimbunan lanau dan sedimen lainnya, bersama dengan pergeseran kerak
bumi (dikenal sebagai pergeseran tektonik) mengubur rawa dan gambut yang
seringkali sampai ke kedalaman yang sangat dalam. Dengan penimbunan tersebut,
material tumbuhan tersebut terkena suhu dan tekanan yang tinggi. Suhu dan tekanan
yang tinggi tersebut menyebabkan tumbuhan tersebut mengalami proses perubahan
fisika dan kimiawi dan mengubah tumbuhan tersebut menjadi gambut dan kemudian
batu bara. Pembentukan batubara dimulai sejak Carboniferous Period (Periode
Pembentukan Karbon atau Batu Bara) dikenal sebagai zaman batu bara pertama yang
berlangsung antara 360 juta sampai 290 juta tahun yang lalu. Mutu dari setiap
endapan batu bara ditentukan oleh suhu dan tekanan serta lama waktu pembentukan,
yang disebut sebagai ‘maturitas organik’. Proses awalnya gambut berubah menjadi
lignite (batu bara muda) atau ‘brown coal (batu bara coklat)’ Ini adalah batu bara
dengan jenis maturitas organik rendah. Dibandingkan dengan batu bara jenis lainnya,
1
batu bara muda agak lembut dan warnanya bervariasi dari hitam pekat sampai
kecoklat-coklatan. Mendapat pengaruh suhu dan tekanan yang terus menerus selama
jutaan tahun, batu bara muda mengalami perubahan yang secara
bertahapmenambah maturitas organiknya dan mengubah batu bara muda menjadi
batu bara ‘sub-bitumen’. Perubahan kimiawi dan fisika terus berlangsung hingga batu
bara menjadi lebih keras dan warnanya lebh hitam dan membentuk ‘bitumen’ atau
‘antrasit’. Dalam kondisi yang tepat, penigkatan maturitas organik yang semakin
tinggi terus berlangsung hingga membentuk antrasit.
A. Sejarah dan Umur Batubara
Pada era palezoikum bawah, tumbuhan pertama muncul di bumi dan pada
periode devon, endapan batubara pertama kali muncul. Namun, batubara dalam
jumlah besar, muncul dalam beberapa episode,yaitu episode pertama yang terjadi
pada era palezoikum akhir, yaitu periode karbon dan perm. Batubara yang terbentuk
biasanya mempunyai rank tinggi, dan telah mengalami perubahan structural yang
signifikan. Episode keduan terjadi pada periode jura-kapur. Batubara ini di temukan
di Amerika selatan, Afrika, Subkontinen India, Asia tenggara. Episode terakhir
adalah episode tersier. Batubara yang terbentuk bervariasi dari gambut hingga
antrasit. Batubara tersier menjadi cadangan besar untuk batubara coklat dunia.
Batubara tersier memiliki cirri-ciri singkapan lebar dan jarang mengalami perubahan
structural.
Menurut sejarah geologi, di bumi pernah terdapat satu benua besar yang di
sebut Pangea. Pangea terdirii dari daratan laurasia di bagian utara, dan gondwana di
bagian selatan. Kedua wilayah terpisah saat periode trias. Saat periode karbon, di
bagian utara pangea, cekungan batubara Eropa barat dan tengah, Amerika Serikat
timur, dan CIS, berada di wilayah tropis, sehingga mire batubaranya mengandung
flora lepidodendron, sigillaria, dan chordaites. Flora tersebut merupakan karakteristik
pengendapan dari batubara. Sementara di bagian selatan pangea yang saat ini
menjadi Afrika, India, Australia, Amerika Selatan, berada di wilayah dingin, sehingga
mire batubaranya terbentuk di kondisi di wilayah yang lebih dingin. Kondisi ini
ditemukan di cirikan dengan ditemukannya flora glossopteris.
Studi kronostratigrafi sulit di terapkan, karena batubara terbentuk di
linngkungan nonmarin. Padaendapan di Eropa Barat, beberapa transgresi marin
memungkinkan sikuen pembawa batubara, dapat di dekati melalui dua cara yaitu
studi pada sekuen sedimenter tempat terjadinya batubara, dan studi pada batuan itu
senidiri. Biasanya di terapkan kronostratigrafi dan litostratigrafi untuk endapan
batubara individual. Di tambah juga dengan studi geofisika dan petrografi. Kombibasi
dari studi – studi tersebut memungkinkan untuk dibuatnya model geologi dan gambar
3d dari endapan batubara.
Di Indonesia hukum pertambangan yang mengatur kegiatan pengolahan
pertambangan telah ada dari zaman penjajahan Hindia Belanda hingga era
kemerdekaan. Di bawah ini akan diuraikan secara singkat pemberlakuan dan
perubahan atau penggantian produk peraturan perundang-undangan dari zaman
2
Hindia Belanda hingga Era kemerdekaan baik Orde lama, Orde Baru dan Orde
Reformasi.
A. Undang-Undang
1. UUD 1945;
2. UU Gangguan (Hinderordonnantie) 1926;
3. UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing;
4. UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pertambangan;
5. UU Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja;
6. UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;
7. UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;
8. UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal;
9. UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara;
10. UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah;
11. UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
B. Peraturan Pemerintah
1. PP Nomor 32 Tahun 1969 tentang pelaksanaan UU Nomor 11 Tahun 1969
2. PP Nomor 19 Tahun 1973 tentang Pengaturan dan Pengawasan Keselamatan
Kerja Dibidang Pertambangan
3. PP Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup,
4. PP Nomor 13 Tahun 2000 tentang Perubahan atas PP Nomor 58 Tahun 1998
tentang Tarif Atas Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada
Departemen Dan Energi di Bidang Petambangan umum
5. PP Nomor 75 Tahun 2001 tentang Perubahan Kedua Atas PP Nomor 32
Tahun 1969 tentang Pelaksanaan UU Nomor 11 Tahun 1967
6. PP Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan
7. PP Nomor 45 Tahun 2003 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara
Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Energi dan Sumber Daya
Mineral
8. PP Nomor 2 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan
Negara Bukan Pajak Yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk
Kepentingan Pembangunan diluar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku Pada
Departemen Kehutanan
3
9. PP Nomor 55 Tahun 2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara
10. PP Nomor 27 Tahun 2012 tentang Reklamasi dan Pasca Tambang
11. PP Nomor 27 tentang Izin Lingkunagan
12. PP Nomor 61 Tahun 2012 tentang Perubahan atas PP Nomor 24 Tahun 2010
Penggunaan Kawasan Hutan.
C. Peraturan Presiden
1. Peraturan presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu
Pintu Di Bidang Penanaman Modal
D. Peraturan Menteri
1. PERMEN ESDM Nomor 47 Tahun 2006 tentang Pedoman Pembuatan dan
Pemanfaatan Briket Batubara dan Bahan Bakar Padat Berbasis Batubara
2. PERMEN ESDM Nomor 6 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Penerapan
Kompetisi Profesi Bidang Pertambangan Mineral dan Btubara
3. PERMEN ESDM Nomor 18 Tahun 2008 tentang Reklamasi Dan Penutupan
Tambang
4. PERMEN ESDM Nomor 18 Tahun 2009 tentang Tata Cara Perubahan
Penanaman Modal Dalam Rangka Pelaksanaan Kontrak Karya Pengusahaan
Perambangan Batubara
5. PERMEN ESDM Nomor 28 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Usaha
Jasa Pertambangan Minerl Dan Batubara
6. PERMEN ESDM Nomor 33 Tahun 2009 tentang Pelimpahan Sebagai
Urusan Pemerintah Di Bidang Energi Dan Sumber Daya Mineral Kepada
Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Dalam Rangka Penyelenggaraan
Dekonsentrasi Tahun Anggaran 2010
7. PERMEN ESDM Nomor 34 Tahun 2009 tentang Pengutamaan Pemasokan
Kebutuhan Mineral Dan Batubara Untuk Kepentingan Dalam Negei
8. PERMEN ESDM Nomor 5 Tahun 2010 tentang Pendelegasian Wewenang
Pemberian Izin Usaha Bidang Energi Dan Sumber Daya Mineral Dalam
Rangka Pelayanan Terpadu Satu Pintu DI Bidang Penanaman Modal Kepada
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Moda
9. PERMEN ESDM Nomor 17 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penetapan dan
Harga Patokan Penjualan Mineral dan Batubara
10. PERMEN ESDM Nomor 12 Tahun 2011 tentang Tata Cara Penetapan
Wilayah Usaha Pertambangan Dan Sistem Informasi Wilayah 11
E. Peraturan Menteri Terkait
1. PERMEN Negara Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun 2006 tentang Jenis
Rencana Usaha Dan/Atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi Dengan Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
2. PERMEN Perdagangan Nomor 36/M-DAG/PER/9/2007 tentang Penerbitan
Surat Izin Usaha Perdangan
4
3. PERMEN Perdangan Nomor 46/M-DAG/PER/9/2009 tentang Perubahan
Atas PERMEN perdagangan Nomor 36/M-DAG/PER/9/2007 tentang
Penerbitan Surat Izin Usaha Perdangan
4. PERMEN Dalam Negeri Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pedoman Penetapan
Izin Gangguan Di Daerah;
5. PERMEN Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Pinjam
Pakai Kawasan Hutan;
6. PERMEN Keuangan Nomor 75/PMK.011/2012 tentang Penetapan Barang
Ekspor Yang Dikenakan Bea Keluar Dan Tarif Bea Keluar;
F. Lain-lain
1. Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1996 tentang Ketentuan Pokok
Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara;
2. Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2000 tentang Penanggulangan Masalah
Pertambangan Tanpa Izin;
3. Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 2001 tentang Tim Koordinasi
Penanggulangan Pertambangan Tanpa Izin, Penyalahgunaan Bahan Bakar
Minyal Serta Perusakan Instalasi Ketenagalistrikan dan Pencurian Aliran
Listrik;
4. Keputusan Menteri ESDM Nomor 1086 K/40/MEM/2003 tentang
Standardisasi Kompetensi Tenaga Teknik Khusu Bidang Geologi dan
Pertambangan;
5. Keputusan Menteri ESDM Nomor 1603 K/40/MEM/2003 tentang Pedoman
Pencadangan Wilayah Pertambangan;
6. Keputusan Menteri ESDM Nomor 0057 K/40/MEM/2004 tentang Perubahan
Keputusan Menteri Pertambangan Dan Energi Nomor 680 K/29/M.PE/1997
tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1996 tentang
Ketentuan Pokok Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara;
7. Keputusan Menteri ESDM Nomor 1128 K/40/MEM/2004 tentang Kebijakan
Batubara Nasional;
8. Keputusan Menteri ESDM Nomor 1614 Tahun 2004 tentang Pedoman
Pemrosesan Permohonan Kontrak Karya Dan Perjanjian Karya Pengusahaan
Pertambangan Batubara Dalam Rangka Penanaman Modal Asing;
5
BA B 2
GENESA
BATUBARA
A. Genesa Batubara
Batubara adalah batuan sedimen (padatan) yang dapat terbakar, terbentuk dari
sisa tumbuhan yang terhumifikasi, berwarna coklat sampai hitam yang selanjutnya
terkena proses fisika dan kimia yang berlangsung selama jutaan tahun sehingga
mengakibatkan pengkayaan kandungan karbonnya (Wolf, 1984 dalam Anggayana,
2002).
Proses awalnya adalah gambut berubah menjadi lignite (batubara muda) atau
brown coal (batubara coklat), ini adalah batubara dengan jenis maturitas organik
rendah. Dibandingkan dengan batubara jenis lainnya. Batubara muda agak lembut
dan warnanya bervariasi dari hitam pekat sampai kecoklat-coklatan. Mendapat
pengaruh suhu dan tekanan yang terus menerus selama jutaan tahun, batubara muda
mengalami perubahan yang secara bertahap menambah maturitas organiknya dan
mengubah batu bara muda menjadi batu bara sub-bitumen. Perubahan kimiawi dan
fisika terus berlangsung hingga batubara menjadi lebih keras dan warnanya lebih
hitam dan membentuk bitumen atau antrasit. Dalam kondisi yang tepat, peningkatan
maturitas organiknya yang semakin tinggi tersu berlangsung hingga membentuk
antrasit.
6
SKEMA PEMBENTUKANBATUBARA
MATERIAL ASAL
Tumbuhan Dan Binatang
AUTOCHTHON
DIAGENESA
PENGGAMBUTAN
Perusakan oleh Mikroba dan
Pembentukan Humin,
BATUANSEDIMENORGANIK
Penurunan Keseimbangan Biotektonik
BATUBARA
Berkurang GAMBUT Bertambah
Air LIGNITE
SUB- BITUMINOUS
METAMORFOSA
HIGHVOL. BITUMINOUS
MEDIUMVOL. BITUMINOUS
LOWVOL. BITUMINOUS
SEMI ANTHRACITE
ANTRHRACITE
H2O%
C%(daf)
VM%(daf)
Rmax
H%(daf)
CV (af)
O%(daf)
Ada beberapa tahapan penting yang harus dilewati oleh bahan dasar
pembentuknya (tumbuhan). Tahapan penting tersebut yaitu :
1. Penggambutan (Peatification)
Gambut merupakan batuan sedimen organik (tidak padat) yang dapat terbakar
dan berasal dari sisa-sisa hancuran atau bagian tumbuhan yang tumbang dan mati di
permukaan tanah, pada umumnya akan mengalami proses pembusukan dan
penghancuran yang sempurna sehingga setelah beberapa waktu kemudian tidak
terlihat lagi bentuk asalnya. Pembusukan dan penghancuran tersebut pada dasarnya
merupakan proses oksidasi yang disebabkan oleh adanya oksigen dan aktivitas
bakteri atau jasad renik lainnya. Jika tumbuhan tumbang di suatu rawa, dicirikan
dengan kandungan oksigen yang sangat rendah sehingga tidak memungkinkan bakteri
aerob (bakteri yang memerlukan oksigen) untuk hidup, maka sisa tumbuhan tersebut
tidak mengalami proses pembusukan dan penghancuran yang sempurna sehingga
tidak akan terjadi proses oksidasi yang sempurna. Pada kondisi tersebut hanya
bakteri-bakteri anaerob saja yang berfungsi melakukan proses dekomposisi yang
kemudian membentuk gambut (peat).
Daerah yang ideal untuk pembentukan gambut misalnya rawa, delta sungai
danau dangkal atau daerah dalam kondisi tertutup udara. Gambut bersifat porous,
tidak padat dan umumnya masih memperlihatkan struktur tumbuhan asli, kandungan
7
airnya lebih besar dari 75 % (berat) dan komposisi mineralnya kurang dari 50%
(dalam keadaan kering).
Menurut Diessel (1992), untuk dapat terbentuknya gambut, beberapa faktor
yang mempengaruhi yaitu :
1. Evolusi tumbuhan
2. Iklim
3. Geografi dan
4. Tektonik daerah
Syarat untuk terbentuknya formasi batubara antara lain adalah kenaikan muka
air tanah lambat, perlindungan rawa terhadap pantai atau sungai dan energi relief
rendah. Jika muka air tanah terlalu cepat naik (atau penurunan dasar rawa cepat)
maka kondisi akan menjadi limnic atau bahkan akan terjadi endapan marin.
Sebaliknya kalau terlalu lambat, maka sisa tumbuhan yang terendapkan akan
teroksidasi dan tererosi. Terjadinya kesetimbangan antara penurunan cekungan atau
land-subsidence dan kecepatan penumpukan sisa tumbuhan (kesetimbangan
bioteknik) yang stabil akan menghasilkan gambut yang tebal (C.F.K Diessel, 1992).
Lingkungan tempat terbentuknya rawa gambut umumnya merupakan tempat
yang mengalami depresi lambat dengan sedikit sekali atau bahkan tidak ada
penambahan material dari luar. Pada kondisi tersebut muka air tanah terus mengikuti
perkembangan akumulasi gambut dan mempertahankan tingkat kejenuhannya.
Kejenuhan tersebut dapat mencapai 90 % dan kandungan air menurun drastis hingga
60 % pada saat terbentuknya brown-coal. Sebagian besar lingkungan yang memenuhi
kondisi tersebut merupakan topogenic low moor. Hanya pada beberapa tempat yang
mempunyai curah hujan sangat tinggi dapat terbentuk rawa gambut ombrogenik (high
moor) (C.F.K Diessel, 1992).
Penggambutan ini juga memiliki fase, yaitu seperti di bawah ini :
Terjadi perubahan biogenic, batang-batang tanaman yang mati terurai secara
biokimia dan ketika terkubur mengalami pertambahan beban dari sedimen
diatasnya serta mengalami peningkatan temperaturnya membuatnya dewasa
secara dinamotermal sehingga lambat laun gambut berubah menjadi batubara.
Tahap gambut merupakan syarat mutlak untuk pembentukan batubara. Dalam
keadaan normal tumbuhan mati yang tersingkap di udara akan hancur oleh proses
oksidasi dan oleh organisme, terutama fungi dan bakteri anaerob.
Bila tumbuhan tertimbun dalam rawa sehingga jenuh air, maka terdapat beberapa
kemungkinan perubahan. Bakteri aerobik yang membutuhkan oksigen akan
segera mati seiring dengan berkurangnya oksigen dalam rawa. Sementara itu,
bakteri anaerob yang tidak membutuhkan oksigen akan muncul dengan fungsi
yang sama, yaitu menguraikan unsur-unsur tanaman.
Jika keadaan air rawa tenang maka hasil kegiatan bakteri tidak akan hilang dan
terkumpul di atasnya. Akibatnya, lingkungan rawa menjadi tidak bersih, aktifitas
bakteri menjadi terbatas dan peruraian tumbuahan sisa kemudian berhenti. Pada
tingkat ini hasilnya disebut peat ( gambut ).
8
Jika gambut dialiri air maka bahan-bahan penghambat mejadi hilang terbawa
aliran dan peruraian berlangsung lagi dan kemungkinan gambut tidak terbentuk.
Jika endapan gambut tidak teraliri lagi, akan tetapi terkubur oleh lapisan sedimen
halus yang sifatnya kedap air (“impermeable”) maka pengawetan secara alami
mungkin terjadi. Bila proses ini berlangsung berulang –ulang maka akan
terbentuk perlapisan batubara.
2. Pembatubaraan (Coalification)
Proses pembatubaraan adalah perkembangan gambut menjadi lignit, sub-
bituminous, bituminous, antrasit sampai meta-antrasit. Proses pembentukan gambut
dapat berhenti karena beberapa proses alam, misalnya karena penurunan dasar
cekungan dalam waktu yang singkat. Jika lapisan gambut yang telah terbentuk
kemudian ditutupi oleh lapisan sedimen, maka tidak ada lagi bahan anaerob, atau
oksigen yang dapat mengoksidasi, maka lapisan gambut akan mengalami tekanan dari
lapisan sedimen. Tekanan terhadap lapisan gambut akan meningkat dengan
bertambah tebalnya lapisan sedimen. Tekanan yang bertambah besar pada proses
pembatubaraan akan mengakibatkan menurunnya porositas dan meningkatnya
anisotropi. Porositas dapat dilihat dari kandungan airnya yang menurun secara cepat
selama proses perubahan gambut menjadi brown coal. Hal ini memberi indikasi
bahwa masih terjadi proses kompaksi.
Proses pembatubaraan terutama dikontrol oleh kenaikan temperatur, tekanan
dan waktu. Pengaruh temperatur dan tekanan dipercayai sebagai faktor yang sangat
dominan, karena sering ditemukan lapisan batubara high-rank (antrasit) yang
berdekatan dengan intrusi batuan beku sehingga terjadi kontak metamorfisme.
Kenaikan peringkat batubara juga dapat disebabkan karena bertambahnya kedalaman.
Sementara bila tekanan makin tinggi, maka proses pembatubaraan makin cepat,
terutama di daerah lipatan dan patahan.
Adapun teori pembatubaraan terbagi atas dua yaitu:
Teori In-situ
Batubara terbentuk dari tumbuhan atau pohon yang berasal dari hutan
ditempat dimana batubara tersebut. Batubara yang terbentuk biasanya terjadidi hutan
basah dan berawa, sehingga pohon-pohon di hutan tersebut padasaat mati dan roboh,
langsung tenggelam ke dalam rawa tersebut dan sisa tumbuhan tersebut
tidakmengalami pembusukan secara sempurna dan akhirnya menjadi fosil tumbuhan
yang membentuk sedimen organik.
Teori Drift
Batubara terbentuk dari tumbuhan atau pohon yang berasal dari hutan yang
bukan ditempat dimana batubara tersebut. Batubara yang terbentuk biasanya terjadi di
delta mempunyai ciri-ciri lapisannya yaitu tipis, tidak menerus (splitting), banyak
lapisannya (multiple seam), banyak pengotor (kandungan abu cenderung tinggi).
Material pembentuk batubara terdiri dari Combustible Material, yaitu bahan
atau material yang dapat dibakar/dioksidasi oleh oksigen. Material tersebut umumnya
terdiri dari karbon padat (fixed carbon), senyawa hidrokarbon, total sulfur, senyawa
9
hidrogen, dan beberapa senyawa lainnya dalam jumlah kecil. Non Combustible
Material, yaitu bahan atau material yang tidak dapat dibakar/dioksidasi oleh oksigen.
Material tersebut umumnya terdiri dan senyawa anorganik (SiO2, A12O3, Fe2O3,
TiO2, Mn3O4, CaO, MgO, Na2O, K2O dan senyawa logam lainnya dalam jumlah
kecil) yang akan membentuk abu dalam batubara. Kandungan non combustible
material ini umumnya tidak diingini karena akan mengurangi nilai bakarnya.
Proses pembatubaraan ini memiliki tahapan seperti berikut:
• Tahap Biokimia/ Peatifikasi proses perubahan dari tumbuhan-tumbuhan yang
mengalami pembusukan kemudian terakumulasi hingga membentuk peat
(gambut).
• Tahap Dinamokimia/ Metamorfisme
• Proses pembentukan gambut dapat berhenti karena beberapa proses alam seperti
misalnya karena penurunan dasar cekungan dalam waktu singkat.
Jika lapisan gambut yang telah terbentuk kemudian tertutupi oleh lapisan
sedimen, maka tidak ada lapisan bahan anerob, atau oksigen yang mengoksidasi,
maka lapisan gambut akan mengalami tekanan dari lapisan sedimen.
• Tekanan terhadap lapisan gambut akan meningkat dengan bertambah tebalnya
lapisan sedimen.
• Tekanan yang bertambah besar pada proses pembatubaraan akan mengakibatkan
menurunnya porositas dan meningkatnya anisotropi.
• Porositas dapat dilihat dari kandungan airnya yang menurun secara cepat selama
proses perubahan gambut menjadi brown coal. Hal ini memberikan indikasi
bahwa masih terjadi proses kompaksi.
• Proses pembatubaraan terutama dikontrol oleh kenaikan temperature, tekanan dan
waktu. Pengaruh temperature dan tekanan dipercayai sebagai faktor yang sangat
dominan, karena sering ditemukan lapisan batubara high-rank (antrasit) yang
berdekatan dengan intrusi batuan beku sehingga terjadi kontak metamorfisme.
C. Cekungan batubara
1. Cekungan batubara daerah pesisir Kalimantan Timur
Geologi Regional
Secara regional daerah penyelidikan termasuk dalam Cekungan Sumatera
Selatan pada Antiklinorium Pendopo, stratigrafi cekungan tersebut disusun oleh
batuan sedimen yang terdiri Dari Formasi Lahat, Talang Akar, Baturaja, Gumai, Air
Benakat, Muara Enim, Kasai dan Aluvial. Batuan sedimen tersebut telah mengalami
gangguan tektonik sehingga terangkat membentuk lipatan dan pensesaran. Proses
erosi menyebabkan batuan terkikis kemudian membentuk morfologi yang tampak
sekarang.
Stratigrafi dan Struktur geologi
Kerangka stratigrafi daerah cekungan Sumatera Selatan pada umumnya
dikenal satu daur besar (megacycle) terdiri dari fase transgresi yang diikuti oleh fase
regresi. Formasi Lahat yang terbentuk sebelum trangresi utama pada umumnya
merupakan sedimen non marin. Formasi Yang terbentuk pada Farse Transgresi
adalah : Formasi Talang Akar, Baturaja, dan Gumai, Sedangkan yang terbentuk pada
fase regresi adalah Formasi Air Benakat, Muara Enim dan Kasai.
Formasi Talang Akar merupakan transgresi yang sebenarnya dan dipisahkan
dari Formasi Lahat oleh suatu ketidakselarasan yang mewakili pengangkatan regional
dalam Oligosen Bawah dan Oligosen Tengah. Sebagian dari formasi ini adalah
fluviatil sampai delta dan marin dangkal. Formasi Baturaja terdiri dari gamping yang
A. Klasifikasi Batubara
1. Klasifikasi menurut ASTM
Klasifikasi ini dikembangkan di Amerika oleh Bureau of Mines yang akhirnya
dikenal dengan Klasifikasi menurut ASTM (America Society for Testing and
Material). Klasifikasi ini berdasarkan rank dari batubara itu atau berdasarkan derajat
metamorphism nya atau perubahan selama proses coalifikasi (mulai dari lignit hingga
antrasit). Untuk menentukan rank batubara diperlukan data fixed carbon (dmmf),
volatile matter (dmmf) dan nilai kalor dalam Btu/lb dengan basis mmmf (moist,
mmf). Cara pengklasifikasian yaitu :
a. Untuk batubara dengan kandungan VM lebih kecil dari 31% maka klasifikasi
didasarkan atas FC nya, untuk ini dibagi menjadi 5 group, yaitu:
1. FC lebih besar dari 98% disebut meta antrasit
2. FC antara 92-98% disebut antrasit
3. FC antara 86-92% disebut semiantrasit
4. FC antara 78-86% disebut low volatil
5. FC antara 69-78% disebut medium volatil
b. Untuk batubara dengan kandungan VM lebih besar dari 31%, maka klasifikasi
didasarkan atas nilai kalornya dengan basis mmmf 1. 3 group bituminous coal yang
mempunyai moist nilai kalor antara 13.000 - 14.000 Btu/lb yaitu :
a. High Volatile A Bituminuos coal (>14.000)
b. High Volatile B Bituminuos coal (13.000-14.000)
c. High Volatile C Bituminuos coal (<13.000)
2. group Sub-Bituminous coal yang mempunyai moist nilai kalor antara 8.300 -
13.000 Btu/lb yaitu :
a. Sub-Bituminuos A coal (11.000-13.000)
b. Sub-Bituminuos B coal (9.000-11.000)
c. Sub-Bituminuos C coal (8.300-9.500)
c. Untuk batubara jenis lignit
1. 2 group Lignit coal dengan moist nilai kalor di bawah 8.300 Btu/lb yaitu:
a. Lignit (6300-8.300)
b. Brown Coal (<6.300)
F. Klasifikasi batubara
Berdasarkan bentuk dan kandunganya batubara dapat di kelompokan menjadi
empat jenis, (Kumar et al, 2004) yaitu :
1. Lignite
Batubara lignit atau sering disebut batubara coklat (brown coal) adalah
batubara yang sangat lunak. Lignit memiliki kandungan volatile matter yang tinggi
atau mengandung air 35-75% dari beratnya sehingga membuatnya lebih mudah
berubah menjadi gas dan cairan dibandingkan batubara dengan peringkat yang lebih
tinggi. Jika tidak disimpan dengan hati–hati, lignit akan mengalami pembakaran
spontan. Jenis batubara ini banyak terdapat di Palau Jawa terutama Jawa Timur dan
Jawa Barat serta di Pulau Sulawesi dan Maluku Utara
2. Sub-bituminus
Batubara subbituminus (lignit hitam) merupakan batubara yang memiliki sifat
di antara sifat batubara lignit dan batubara bituminous yang mengandung 68 % unsur
G. Konsep Penambangan
Dalam merencanakan suatu tambang batubara perlu pemahaman mengenai
Konsep Penambangan dan Perancangan Penambangan yang benar untuk suatu
tambang terbuka batubara. Hal ini menjadi penting karena penataan lahan bekas
tambang seharusnya menjadi bagian perencanaan tambang.
1. Pemilihan Daerah Penambangan
Pemilihan daerah penambangan tentunya harus didasarkan pada hasil Kajian
Geologi Tambang akan diperoleh daerah penambangan tersebut. Beberapa faktor
yang menyebabkan suatu daerah dapat dikatagorikan potensial adalah :
Penyebaran batubara yang merata.
Jumlah cadangan yang besar.
Lapisan batubara yang tebal.
Kualitas batubara yang baik.
Perhitungan cadangan tertambang pada daerah tambang tersebut dapat
menghasilkan nisbah kupas yang bervariasi. Besarnya nisbah kupas pada tambang-
tambang ini disebabkan antara lain oleh kondisi topografi dan hilangnya penyebaran
lapisan batubara pada daerah tersebut. Oleh karena itu daerah yang mempunyai
nisbah kupas > 12 : 1 dianggap tidak ekonomis untuk ditambang saat ini. Lapisan
penutup di atas lapisan batubara maupun antara lapisan batubara pada umumnya
terdiri dari siltstone, mudstone kadang-kadang dengan sisipan shally coal dan
sandstone. Kemiringan lapisan batubara berkisar antar 8 – 35 derajat.
2. Tahapan Penambangan
Dua pendekatan rancangan tambang terbuka :
3. Cadangan Tertambang
Seperti telah dijelaskan dalam Kajian Geologi Tambang, perhitungan
cadangan tertambang dilakukan dengan perhitungan dilakukan dengan metode
penampang atau metode lainnya.
4. Strategi Penambangan
Perancangan penambangan pada daerah tambang pada umumnya dilakukan
berdasarkan batasan nisbah kupas.
H. Perancangan Penambangan
1. Rencana Produksi
Semua perusahaan tambang merencanakan beroperasi dengan tingkat produksi
batubara per tahun. Produksi tahun ke-1 biasanya lebih kecil dari tahun-tahun
berikutnya. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa pada tahun awal
penambangan selain kegiatan penambangan juga diperlukan berbagai kegiatan
lainnya seperti persiapan permuka kerja, pembuatan jalan ke outside dump, dan lain
sebagainya.
Rencana produksi untuk setiap tahun memperhatikan pengaruh curah hujan
terhadap produksi batubara.
Rencana produksi bertahap seperti yang dijelaskan di atas selanjutnya menjadi
panduan untuk menentukan batas kemajuan penambangan setiap tahun.
2. Kriteria Penambangan
Kriteria penambangan pada umumnya dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor
berikut :
Faktor struktur geologi
Faktor geoteknik
Faktor hidrologi dan hidrogeologi
I. Penambangan Batubara
Dalam penambangan batubara ini terdapat dua mmetode dalam
penambangannya yaitu metode tambang bawah tanah dan tambang terbuka
sebagaimana berikut :
a. Tambang Bawah Tanah
Ada dua metode tambang bawah tanah: tambang room-and-pillar dan tambang
longwall.
1. Room and Pillar
Room and pillar merupakan salah satu system penambangan bawah tanah
untuk endapan batubara, dengan bentuk blok-blok persegi. Seluruh blok batubaranya
di buat jalan (batubara yang digali =room selebar 10 m) dan pillar (sebagai
penyangga selebar 30x30 m) menggunakan kombinasi contiuous miner (CM), roof
bolter, dan shuttle catr. Metode penambangan batubara ini, menetapkan suatu panel
atau blok penambangan tertentu, kemudian menggali maju dua sisitem (jalur)
Gambar 4.2 Foto singkapan batubara, difoto ke arah N3330E (Satapona, 2015)
Hasil deskripsi secara megaskopis, batubara pada stasiun 1 dalam keadaan
segar menunjukan warna segar hitam, warna lapuk coklat kekuningan, tekstur
nonklastik, struktur berlapis dengan kedudukan N2070E/200 di stasiun 1 dan N2470E
di stasiun 2 dan tersusun oleh komponen organik dengan kelembapan tinggi dan
rapuh (unconsolidated). Berdasarkan klasifikasi batuan non-klastik oleh Noor (2012),
batuan ini merupakan Batubara.
Menurut Boogs (2006), tingkatan (rank) dalam batubara paling rendah adalah
peat. Peat menurut Boogs (2006) memiliki ciri fisik berwarna hitam, tersusun oleh
tumbuhan semi-karbonan (semicarbonazed plant) dan memiliki kelembapan yang
tinggi. Berdasarkan kenampakan secara fisiknya, batubara di daerah penelitian
berwarna hitam, masih menunjukan tekstur serabut tanaman (tersusun oleh
semicarbonized plant) dan memiliki kelembapan yang cukup tinggi. Dalam keadaan
basah, batubara ini memiliki sifat lengket bila disentuh dengan tangan, dan dalam
keadaan kering bersifat rapuh.
Batubara menjadi sumber energi yang ditemukan hampir setiap benua dan
memiliki sifat yang berkelanjutan atau tidak mudah punah. Hal ini sangat masuk akal.
Batubara menjadi salah satu sumber energi yang banyak digunakan oleh negara maju.
Bagi beberapa negara maju yang tidak memiliki sumber minyak maka batubara
menjadi alternatif energi yang paling murah dan ditemukan berlimpah. Berikut ini
adalah beberapa alasan pemanfaatan batubara di seluruh dunia. Batubara menjadi
sumber energy yang ditemukan hampir setiap beau dan memiliki bila di bandingkan
dengan pemakaian sumber daya minyak yang terus menipis. Batubara menjadi
sumber energi yang sangat murah sehingga sesuai untuk negara-negara berkembang
seperti Indonesia, China dan juga India. Bahkan batubara memiliki harga yang paling
rendah dibandingkan sumber daya alam lain. Pertambangan batubara dan sistem
untuk mengolah batubara menjadi sumber energi membutuhkan biaya yang relatif
lebih rendah sehingga bisa menjadi energi yang menjangkau semua kalangan. Potensi
keberadaan batubara sangat besar dan lebih besar dari sumber minyak diseluruh
dunia. Bahkan ketersediaan batubara cukup untuk memenuhi energi selama 300 tahun
dan waktu yang sangat cukup untuk memperbaiki sumber daya minyak. Kapasitas
pembangkit tenaga listrik yang memerlukan sumber panas bisa terus beroperasi
dengan menggunakan bahan bakar batubara. Batubara menjadi salah satu sumber
energy terbaik yang bisa didapatkan dengan sumber yang lebih mudah. Selain itu
ketersedian batubara bersifat panjang dan bertahan dalam waktu lama sehingga