Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH ISU MUTAKHIR

“ISU MUTAKHIR BIDANG PERTAMBANGAN”

Dosen Pengampu: Delfriana Ayu A, SST, M.Kes

Disusun oleh:

K3-A/Semester VI

Chairina Tiara Yudha Lubis (0801182220)

Fadillah (0801183464)

Muhammad Akmal Pratama (0801182262)

M. Bagas Al-Fajar (0801183488)

Retno Dwi Yan (0801182196)

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UIN SUMATERA UTARA
MEDAN
2021/2022
ISU MUTAKHIR BIDANG PERTAMBANGAN

A. Pengertian Pertambangan
Usaha Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam
rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral dan batubara yang meliputi
penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan pengolahan
dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan serta kegiatan pasca tambang (Pasal 1
butir 6 Undang-Undang No.4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara).
B. Isu Mutakhir Kawasan Pertambangan
1. Pelanggaran HAM
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(selanjutnya ditulis UUD NKRI) menyatakan bahwa lingkungan hidup yang
baik dan sehat merupakan hak asasi dan hak konstitusional bagi setiap warga
negara Indonesia. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia (HAM) memuat prinsip bahwa HAM harus dilihat secara holistik
bukan parsial, sebab HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat
dan keberadaan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan YME dan merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh
negara hukum.
Dampak dari kegiatan pertambangan batubara seperti menimbulkan
kerusakan lingkungan dan tingginya tingkat pencemaran, juga telah merampas
hak ekonomi, sosial dan budaya warga negara, terutama masyarakat sekitar
tambang.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dampak dari eksploitasi pertambangan
batubara telah menimbulkan kerusakan yang serius terhadap ekosistem yang
sangat merugikan masyarakat, seperti: kerusakan hutan-hutan yang menjadi
wilayah usaha pertambangan, tingginya tingkat pencemaran terhadap aliran
sungai yanng berada di sekitar lahan pertambangan dan atau aliran sungai dalam
radius tertentu, serta pencemaran berupa penyebaran debu batubara akibat
aktifitas pengangkutan hasil tambang.Kecenderungan pencemaran dan
kerusakan lingkungan tersebut, merupakan pelanggaran HAM secara
konstitusional atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
2. Dampak Eksploitasi Pertambangan Batubara Terhadap Lingkungan
Hidup
Izin Usaha Pertambangan mayoritas dikeluarkan oleh pemerintah
kabupaten kota. Kondisi tersebut seolah menempatkan kepala daerah layaknya
“Raja Kecil” di daerah pimpinannya. Bahkan apabila pertambangan terjadi di
lahan tapal batas (lintas) Kabupaten/ kota yang sebenarnnya menjadi
kewenangan provinsi untuk mengeluarkan izin, maka biasanya akan “disiasai”
dengan mengeluarkan 2 (dua) buah IUP masing-masing pemerintah daerah
kabupaten/ kota.Dari total 10.776 IUP yang keluar, sebanyak 8.000 izin
perusahaan tambang dikeluarkan pemerintah kabupaten/ kota, sisanya
dikeluarkan oleh pemerintah provinsi. Celakanya dari jumlah itu sebanyak
4.807 bermasalah. (Tribun News: 2014). Dari rekapitulasi yang dilakukan oleh
Distamben Provinsi Kalimantan Selatan, bahwa dari 656 buah izin
pertambangan batubara yang dikeluarkan oleh kabupaten/ kota di Kalimantan
Selatan, maka 236 buah IUP batubara belum Clear and Clean (CNC).
Data dari Kementerian Kehutananyang dirilis sejak tahun 2008 bahwa
perizinan pertambangan menggelembung semakin tidak terkontrol sejak era
otonomi daerah. Sekitar 6-7 Izin Usaha Pertambangan dikeluarkan setiap
harinya, luas kawasan hutan yang digunakan untuk IUP eksplorasi sekitar
402.655,98 hektar, sedangkan kawasan untuk IUP Operasi produksi sekitar
191.433,04 ha. Secara umum dampak pertambangan terhadap lingkungan
adalah penurunan produktivitas lahan, kepadatan tanah bertambah, terjadinya
erosi dan sedimentasi, terjadinya gerakan tanah atau longsoran, terganggunya
flora dan fauna, terganggunya kesehatan masyarakat serta berdampak terhadap
perubahan iklim mikro. Sedangkan dampak pasca tambang yang terjadi adalah,
perubahan morfologi dan topografi lahan, perubahan bentang alam (bentuk
bentang alam pada lahan bekas tambang biasanya tidak teratur, menimbulkan
lubang-lubang terjal, gundukan tanah bekas timbunan alat berat), lahan menjadi
tidak produktif dan rawan potensi longsor.Kasi Pembinaan Usaha
Pertambangan Provinsi Kalimantan Selatan, Gunawan Sardjito, menyebutkan
bahwa dampak besar yang terjadi dari usaha/ kegiatan pertambangan adalah
perubahan bentang alam.
Pertambangan memiliki peran penting dalam pembangunan dengan
menghasilkan bahan-bahan baku untuk industri, penyerapan tenaga kerja,
sebagai sumber devisa negara, dan meningkatkan pendapatan asli daerah. Pada
sisi lain, pertambangan juga menghasilkan berbagai dampak buruk terhadap
lingkungan.
3. Tidak Berjalannya Konsep Clear & Clean
Pengertian Clear and Clean adalah sertifikat yang diterbitkan oleh
direktur jendral mineral dan batubara (Dirjen Minerba) yang merupakan status
kepada pemegang izin usaha pertambangan (IUP) yang telah memenuhi
persyaratan administrasi, kewilayahan, teknis, lingkungan dan finansial.
Clear diartikan suatu perusahaan tambang secara aktivitas
pertambangannya tidak bermasalah, misalnya permasalahan teknis dan
lingkungan. Kemudian konsep Clean mengacu kepada secara administrasi dan
finansial perusahaan tidak bermasalah. Artinya Clear and Clean merupakan IUP
yang proses penerbitan telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan
tidak memiliki masalah apapun.
Dirjen Minerba semenjak tahun 2014 – 7 Oktober 2016 mencatat ada
10.640 IUP, untuk clear and clean ada 5.976 atau sejumlah 56,13% IUP,
kemudian non clear and clean ada 4.672 atau sejumlah 43,87%.
4. Pertambangan Tanpa Izin (PETI) di Indonesia
Di Indonesia kegiatan pertambangan tradisional yang dilakukan rakyat
dengan peralatan sederhana tidak terikat dengan perizinan formal dan seringkali
“liar” diberi nama dengan kegiatan PETI (Pertambangan Tanpa Izin).
Kegiatan PETI menyebar nyaris di hampir semua wilayah di kepulauan
Indonesia (Jabar, Jatim, Babel, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua, dst.),
dengan ribuan lokasi penambangan dan sekitar 2 juta rakyat yang
menggantungkan kehidupan mereka dari kegiatan tersebut. Sebagian besar dari
mereka (laki-laki, juga terdapat wanita, anak-anak dan lansia) adalah penduduk
setempat yang telah melakukan pekerjaan tersebut turun temurun, di samping
juga yang datang dari tempat lain secara musiman. Mereka melakukan kegiatan
penambangan di sekitar (dan bahkan di dalam) wilayah pertambangan resmi,
dan di tanah negara, termasuk yang berstatus perkebunan, hutan konservasi,
hutan lindung, dan hutan produksi. Sebagian besar melakukan penambangan
emas, diikuti dengan mineral konstruksi dan industri, dan mendapatkan manfaat
ekonomi dari kegiatan pertambangan tanpa izin itu. Penambangan dilakukan
secara terbuka di atas tanah, underground (bawah tanah), dan bahkan bawah air.
Kecelakaan kerja dan konflik sosial merupakan kejadian yang relatif sering
terjadi.
Kegiatan PETI di Indonesia meningkat ketika terjadi krisis ekonomi
(misalnya krisis moneter 1998), juga ketika pekerja di sektor ekonomi subsisten
lainnya (misalnya pertanian) melihat pertambangan liar dapat memberikan
penghasilan yang lebih baik dibandingkan kegiatan sehari-hari yang mereka
lakukan, khususnya ketika sedang terjadi wabah “demam emas” atau lonjakan
harga komoditas pertambangan. Di Indonesia, pertambangan rakyat skala kecil
atau PETI dianggap sebagai kegiatan yang melawan hukum, terutama karena
para penambang tersebut tidak memiliki Izin Usaha Pertambangan sebagai
layaknya sebuah Badan Usaha. Mereka tidak membayar pajak dan royalti yang
merupakan sumber pendapatan negara dari kegiatan pertambangan. Kegiatan
mereka juga sering menyebabkan keresahan sosial dan kerusakan lingkungan.
Namun tindakan “penegakan hukum” terhadap para penambang PETI tersebut
juga kadang dilakukan dengan setengah hati terutama karena besarnya jumlah
penambang yang telah melakukan kegiatan tersebut secara turun temurun di
lokasi nenek moyang mereka (bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka), dan
juga secara ekonomi kegiatan mereka telah membantu mengurangi kemiskinan
dan pengangguran yang masih menjadi masalah bagi ekonomi lokal di banyak
daerah di Indonesia.
Kegiatan PETI di daerah-daerah di Indonesia lazim dibiayai oleh
“cukong” yang mungkin adalah pedagang di dekat lokasi tambang atau bahkan
berasal dari luar kota seperti Jakarta dan Surabaya. Cukong dapat bertindak
sebagai penyedia peralatan dan bahan penambangan untuk PETI maupun
sebagai penadah dari produk-produk pertambangan yang dihasilkan. Dalam hal
ini, bahwa bahan yang digunakan dalam proses produksi merupakan bahan yang
“berbahaya” (air raksa dalam produksi emas) tidaklah menjadi perhatian
penting bagi penyandang dana. Posisi PETI yang lemah secara hukum kadang
juga dimanfaatkan untuk “didenda” oleh oknum penegak hukum (Clive, 2001).
Selain aspek regulasi ataupun finansial yang telah disebutkan di atas,
PETI menghadapi sejumlah masalah lain, di antaranya lemahnya pembinaan
dari pemerintah. Karena PETI dipandang sebagai kegiatan “liar” maka
pemerintah hampir tidak melakukan pembinaan terhadap mereka sebab
pembinaan dari sudut pandang pemerintah adalah untuk kegiatan pertambangan
resmi. Sebaliknya, kegiatan PETI harus ditertibkan. 10 Pihak pemerintah,
bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi lebih melihat dari sisi “kerugian
negara” dalam memandang permasalahan PETI dibandingkan misalnya bahwa
kegiatan yang telah ada sejak ratusan tahun yang lalu tersebut dapat bersifat
sebagai “katup pengaman” persoalan ekonomi lokal yang tidak terperhatikan
dalam perencanaan pembangunan nasional.
Namun di sisi lain, lemahnya pembinaan PETI oleh pemerintah
disebabkan lemahnya kapasitas birokrasi pemerintah dalam penanganan
masalah pertambangan secara umum (Clive, 2001), termasuk koordinasi antar
pemerintah pusat dan daerah, dan bahkan antarsektor di pemerintahan pusat,
misalnya antar Kementerian Energi & Sumber Daya Mineral yang
bertanggungjawab atas pengelolaan sektor pertambangan dengan Kementerian
Lingkungan Hidup & Kehutanan yang bertanggungjawab terhadap dampak
lingkungan dari berbagai kegiatan termasuk pertambangan.
5. Dampak dan Pengaruh Pertambangan Batubara Terhadap Masyarakat
dan Lingkungan.
Kebutuhan masyarakat akan penggunaan sumber energi sangat
diperlukan untuk kelangsungan hidup mereka. Manusia tidak akan bisa lepas
dari penggunaan sumber energi itu sendiri. Saat ini kebutuhan manusia akan
sumber energi semakin besar, maka manusia membuat berbagai energi alternatif
untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Salah satu contoh energi alternatif
yang digunakan manusia saat ini adalah energi yang berasal dari batu bara.
Untuk pemanfaatannya batu bara dapat diolah sebagai Sumber Energi
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Porsi dalam penggunaan batu bara
masih sangat besar karena tidak semahal menggunakan energi dari minyak bumi
dan gas.
Hadirnya PLTU juga berdampak bagi masyarakat setempat, baik dalam
hal ekonomi maupun kesehatan. Dampak yang terimbas pada lingkungan
sekitar membuat para petani maupun pelaut yang berada di daerah sekitar
industri tersebut marah dan berkurangnya pendapatan mereka dikarenakan
limbah ataupun polusi yang dihasilkan oleh industri tersebut. Bukan hanya itu,
bahkan untuk daerah Kalimantan sendiri terdapat beberapa lubang galian yang
belum direklamasi. Di laut juga menimbulkan pengrusakan terumbu karang dan
menyebabkan biota laut mati dikarenakan polusi yang dihasilkan. Dengan
alasan itulah kemudian lahir gelombang protes yang dilakukan masyarakat
untuk menuntut hal tersebut.
Kalimantan Timur merupakan salah satu penghasil tambang terbesar di
Indonesia, dan menjadi potensi sumber daya alam yang melimpah. Batu bara
adalah salah satu hasil tambang yang berskala besar setiap tahunnya, dan
menjadi produk andalan di Kalimantan Timur. Namun batu bara adalah sumber
daya alam yang tidak dapat di perbaharui, sehingga keberadaannya terus dijaga
dan berusaha di kelola dengan baik agar sumber daya alam ini tetap ada.
Kalimantan Timur memiliki banyak izin usaha pertambangan batu bara,
dari yang aktif hingga tak berpemilik sehingga meninggalkan lubang bekas
tambang yang menganga. Lubang eks tambang ini tersebar di beberapa
kabupaten dan kota. Sayangnya jumlah perizinan ini tak sejalan dengan jumlah
tenaga pengawas yang begitu minim, ini membuat negara seakan tidak hadir
dalam mengawasi dan menindak perusahaan batu bara yang terindikasi
melanggar Hak Asasi Manusia.
Ternyata dalam prakteknya perusahaan selalu memberikan alasan
bahwa lubang habis galian masih bisa di tambang, memang masih ada
cadangan, tapi seharusnya tidak bisa, dan lubang harus ditutup terlebih dahulu.
Semakin di gali dan di keruk maka akan semakin dalam, membuat sulit
ditimbun kembali.
DAFTAR PUSTAKA
Listiyani, Nurul. 2017. Dampak pertambangan Terhadap Lingkungan Hidup di Kalimantan
Selatan & Implikasinya Bagi Hak-Hak Warga Negara. Kalimantan Selatan: Fakultas
Hukum Univ. Islam Kalimantan MAAB.
Afrizal, dkk. 2019. Praktik Sosial Pertambangan: Suatu Studi Penanganan Konflik Oleh
Sebuah Perusahaan Izin Clear and Clean di Ulayat Penghulu Nan Salapan, Nagari
Lunang Utara. Padang: Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya.
Nugroho, Hanan. 2020. Pandemi Covid-19: Tinjauan Ulang Kebijakan Mengenai PETI
(Pertambangan Tanpa Izin) di Indonesia: Kementrian Perencanaan Pembangunan
Nasional/BAPPENAS Republik Indonesia.
Albertus, Friendly, dkk. 2019. Dampak & Pengaruh Pertambangan Batubara Terhadap
Masyarakat & Lingkungan di Kalimantan Timur. Samarinda: Jurnal LEGALITAS.

Anda mungkin juga menyukai