HUKUM PIDANA
i
Prakata
Alhamdulillah, puja dan puji hanya untuk Allah SWT yang telah dan senantiasa
memberi inayah kepada tim penulis untuk menyelesaikan modul ini. Salam dan shawalat
kepada Rasulullah SAW atas segala petunjuknya untuk mengarahkan umat manusia ke jalan
kemanusian dan keilahian yang ditetapkan oleh Allah SWT. Tim Penulis berharap modul ini
dapat menjadi amal jariyah di masa datang.
Suatu kebahagian tersendiri dari tim pengampu yang telah menyelesaikan ini. Modul
ini memang belum sempurna. Namun, kebutuhan akan modul ini sangat diperlukan saat
pembelajaran. Meskipun sangat sederhana, modul ini tetap dicetak untuk digunakan di
kalangan sendiri.
Ucapan terima kasih tak lupa disampaikan kepada ketua dan seluruh dosen
diDepartemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Ucapan terima kasih
secara khsusus disampaikan kepada Prof. Dr. Andi Muhammad Sofyan, S.H., M.H dan Dr.
Nur Azisa, S.H.,M.H. sebagai penulis buku ajar Hukum Pidana yang merupakan referensi
utama dalam penyusunan modul ini. Modul ini juga secara garis besar mengadopsi isi dari
buku tersebut.
Semoga modul ini dapat menjadi referensi dan menambah pengetahuan mahasiswa
serta pembacanya dalam hal penerjemahan.
ii
Tim Pengampu Mata Kuliah Hukum Pidana
1. Prof. Dr. Andi Muhammad Sofyan, S.H., M.H (Penanggungjawab Mata Kuliah)
2. Prof. Dr. H.M. Said Karim, S.H., M.H., M.Si., CLA
3. Prof. Dr. Muhadar, S.H., M.S
4. Prof. Dr. Slamet Sampurno Soewondo, S.H. M.H
5. Prof. Dr. H.M. Syukri Akub, S.H., M.H
6. Prof. Dr. Aswano, S.H., M.H., DFM
7. Dr. Syamsuddin Muchtar, S.H., M.H
8. Dr. Abd. Asis, S.H., M.H
9. Dr. Amir Ilyas, S.H., M.H
10. Dr. Hj. Haeranah, S.H., M.H
11. Dr. Hj. Nur Azisa, S.H., M.H
12. Dr. Dara Indrawati, S.H., M.H
13. Dr. Hijrah Adhyanti M, S.H., M.H
14. Dr. Audyna Mayasari Muin, S.H., M.H
15. Andi Muhammad Aswin Anas, S.H., M.H.,CLA
16. Dr. Syarif Saddan Rivanie, S.H., M.H.
17. M.Djaelani, S.H.,M.H.
18. Arnita Arifin, S.H.,LLM
iii
Daftar Isi
Prakata ............................................................................................................................. i
Tim Pengampu Mata Kuliah Hukum Pidana ................................................................... ii
Daftar Isi ....................................................................................................................... iii
RPS Mata Kuliah Hukum Pidana ................................................................................... iv
BAB I MODUL 1 LINGKUNGAN KUASA BERLAKUNYA HUKUM PIDANA
MENURUT WAKTU DAN TEMPAT........................................................................... 1
KEGIATAN BELAJAR 5 LINGKUNGAN KUASA BERLAKUNYA HUKUM
PIDANA MENURUT WAKTU DAN TEMPAT ………………………………. 3
iv
MODUL 3 LINGKUNGAN KUASA BERLAKUNYA HUKUM PIDANA
MENURUT WAKTU DAN TEMPAT
1
KEGIATAN BELAJAR 6
TEORI TEORI TENTANG LOCUS DELICTI DAN TEMPUS DELICTI
A. DESKRIPSI SINGKAT
Pada kegiatan belajar 6 ini peserta kuliah mampu menguraikan teori-teori tentang Locus
Delicti dan Tempus Delicti.
B. RELEVANSI
Mengingat keberlakuan Hukum Pidana dibatasi oleh tempat dan waktu, maka
penentuan tempat terjadinya tindak pidana (Locus Delicti) dan waktu terjadinya
tindak pidana (Locus Delicti) menjadi hal yang penting. Locus Delicti dan Tempus
Delicti menjadi penentu keberlakuannya suatu ketentuan Hukum Pidana. Penentuan
Locus Delicti dan Tempus Delicti juga merupakan hal yang penting dalam surat
dakwaan sebagaimana diatur dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP.
C. CAPAIAN PEMBELAJARAN
1. Uraian
Undang-undang tidak memberikan penjelasan mengenai waktu dan tempat terjadinya
suatu tindak pidana. Oleh sebab itu teori-teori tentang waktu dan tempat ini menjadi
sangat penting dalam praktik hukum untuk menjadi pegangan hakim memecahkan
persoalan yang menyangkut tentang waktu dan tempat tindak pidana. 32
32
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1 , RajaGrafindo Persada, 2008, hlm. 139
33
Eddy O. S.Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana (Edisi Revisi), Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2016,
hlm.298
34
P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm. 228
19
b. Berkenaan dengan ruang lingkup berlakunya Undang-undang Pidana Indonesia
seperti termaksud di dalam Pasal-pasal 2-9 KUHP ;
c. Berkenaan dengan pengecualian seperti yang termaksud dalam Pasal 9 KUHP, yaitu
apabila tindak pidana dilakukan di atas sebuah kapal perang milik suatu Negara
asing ;
d. Berkenaan dengan adanya suatu syarat bahwa sutu tindak pidana tersebut harus
dilakukan di suatu tempat yang terlarang ;
e. Berkenaan dengan adanya suatu syarat bahwa suatu tindak pidana itu harus dilakukan
di suatu “tempat umum” sepeti misalnya yang dimaksud di dalam Pasal 160 KUHP.
f. Berkenan dengan adanya suatu syarat bahwa suatu tindak pidana harus dilakukan di
suatu tempat tertentu dimana seorang Pegawai Negeri sedang menjalankan tugas
jabatannya yang sah seperti yang antara lain dimaksud dalam Pasal 127 KUHP.
Ada empat teori untuk menentukan tempat terjadinya peristiwa pidana atau Locus delicti
yakni35 :
a. Teori Perbuatan Materil (leer van de lichamelijkedaad)
Teori yang didasarkan kepada perbuatan secara fisik. Itulah sebabnya teori ini
menegaskan bahwa yang dianggap sebagai tempat terjadinya tindak
pidana/locus delicti adalah tempat dimana perbuatan tersebut dilakukan.
b. Teori Alat (leer van het instrument)
Teori yang didasarkan kepada berfungsinya suatu alat yang digunakan dalam perbuatan
pidana. Jadi teori ini menegaskan bahwa yang dianggap sebagai tempat terjadinya
tindak pidana adalah tempat dimana alat yang digunakan dalam tindak pidana bereaksi.
c. Teori Akibat (leer van het gevolg)
Teori ini didasarkan kepada akibat dari suatu tindak pidana. Menurut teori ini bahwa
yang dianggap sebagai locus delicti adalah tempat dimana akibat dari pada tindak pidana
tersebut timbul.
d. Teori Beberapa Tempat (leer van de lichamelijke daad)
Menegaskan bahwa yang diaanggap sebagai tempat terjadinya tindak pidana yaitu
tempat-tempat di mana perbuatan tersebut secara fisik terjadi, tempat dimana alat yang
digunakan bereaksi, dan tempat dimana akibat dari tindak pidana tersebut timbul.
35
Sofjan Sastrawidjaja, Hukum Pidana I, C.V. Armico, Bandung, 1990, hlm. 146
20
B. Teori –teori Tentang Tempus Delicti
Tempus delicti adalah waktu terjadinya tindak pidana. Hal sederhana namun sulit dan
penting adalah penentuan terjadinya suatu tindak pidana. Hal ini mengingat bahwa suatu tindak
pidana atau delik tidak hanya terdiri atas tingkah laku tertentu, melainkan juga terkadang
dilakukan dengan bantuan alat yang bekerjanya dapat saja berbeda dengan waktu si pelaku
memasang alat, serta akibat yang timbul yang waktunya berbeda dengan waktu ketika perbuatan
dilakukan.
Pada umumnya waktu dilakukannya perbuatan material dianggap sebagai waktu delik, yaitu
waktu dimana si Pelaku bertindak. 36 Eddy O. S. Hiariej 37
mengutip postulat terkait Tempus
Delicti yaitu” Distigunda Sunt Tempora ; Distingue tempora, et concordabis leges “ yang artinya
“waktu (tempus delicti) sebaiknya dibedakan ; antara waktu perbuatan dilakukan dan waktu
ketika perbuatan itu selesai dilakukan dan waktu ketika perbuatan itu selesai dilakukan dan
waktu ketika perbuatan itu selesai dilakukan atau akibat dari perbuatan itu terjadi”.
Menurut Noyon & Langemeyer, waktu dilakukannya tindak pidana adalah waktu perbuatan
dan waktu akibat, jadi boleh memilih salah satu diantaranya sesuai maksud peraturan yang akan
dikenakan/diterapkan.Vos menolak pendapat tersebut dengan alasan jika waktu perbuatan dan
waktu akibat perbuatan adalah tempus delicti, maka konsekuensinya orang dapat membunuh pada
saat pembunuh sudah mati. Mezger berpendapat bahwa untuk menentukan tempus delicti, tidak
mungkin diperoleh jawaban untuk semua keperluan, tetapi haruslah dibedakan menurut peraturan
itu, misalnya untuk keperluan daluarsa (verjaring) atau hak penuntutan, maka tempus delicti
adalah pada waktu seluruh perbuatan telah terjadi atau sesudah terjadi akibat, sementara dalam
rangka menentukan apakah aturan pidana berlaku atau tidak dan untuk menentukan kemampuan
bertanggungjawab, tempus delictinya adalah saat tindakan atau kelakukan terjadi. 38 Dengan
demikian, secara ilmu pengetahuan, yang harus dianggap sebagai tempus delicti adalah seluruh
waktu yang ada antara saat dimulainyan sesuatu tindak pidana hingga saat tindak pidana tersebut
selesaika dilakukannya oleh pelaku.39
36
J. M. Van Bemmelen, Hukum Pidana 1 : Hukum Pidana Material Bagian Umum (diterjemahkan oleh Hasnan),
Binacipta, Bandung, 1987, h.75
37
Eddy O. S. Hiariej, Op.cit. hlm. 296
38
Ibid hlm. 297
39
P.A.F. Lamintang, Op.cit., hlm.230
21
Waktu tindak pidana (tempus delicti) selalu bersesuaian dengan tempat tindak pidana
(Locus Delicti), artinya bahwa dimana dan kapan unsur dari suatu tindak pidana telah
sempurna, pada saat kesempurnaan itulah waktu tindak pidana. Dengan mengikuti uraian-
uraian mengenai ajaran-ajaran tentang tempat tindak pidana (locus delicti) yang telah
diuraikan sebelumnya, atas maka penetuan waktu terjadinya tindak pidanapun mengikuti salah
satu ajaran atau teori yang terdapat pada Locus Delicti. 40 Oleh karena itu, dalam praktik, teori
tempus delicti yang digunakan adalah sesuai dengan keperluan yang dimaksud oleh suatu aturan
dan sifat khususnya dari perkara yang dihadapi. 41
1. Berkenaan dengan berlakunya Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) KUHP.
2. Berkaitan dengan usia pelaku dan korban ketika tindak pidana dilakukan,
misalnya pada delik kesusilaan yang menentukan batas usia tertentu.
3. Berkaitan dengan daluwarsa sebagaimana diatur dalam Pasal 78-85 KUHP.
4. Berkaitan dengan peristiwa yang menyaratkan bahwa tindak pidana tersebut
harus dilakukan dalam keadaan perang agar pelakunya dapat dihukum (misal :
Pasal 122 ayat (2) KUHP dan Pasal 124-127 KUHP).
5. Berkenaan dengan ketentuan mengenai pengulangan melakukan tindak pidana
seperti yang diatur dalam Pasal 486-Pasal 488 KUHP.
6. Berkenaan dengan kondisi kejiwaan pelaku yang memengaruhi kemampua
bertanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 KUHP.
7. Berkenaan dengan suatu pencurian dilakukan pada waktu malam sebagaimana
yang dimaksud dalam Pasal 363 KUHP.
2. Latihan
Dalam latihan ini, peserta kuliah diharapkan menjawab tiga soal berikut ini. Setelah
menjawab, peserta kuliah diharapkan dapat menelusuri jawabannya pada bagian uraian.
11. Jelaskan arti pentingnya penentuan waktu dan tempat terjadinya tindak pidana !
12. Jelaskan secara singkat tentang teori penentuan Locus Delicti !
40
Ibid, hlm. 115
41
Lihat Eddy O. S. Hiariej, Op.cit hlm. 297 dan A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I , Sinar Grafika, Jakarta
2007, hlm.188
42
P.A.F. Lamintang, Op.cit, hlm. 227-228
22
13. Secara Ilmu pengetahuan, kapankah waktu yang dinyatakan sebagai tempus
delicti, Jelaskan !
3. Rangkuman
a. Penentuan tempat terjadinya tindak pidana (Locus delicti) penting untuk keberlakuan Hukum
Pidana Indonesia dan menentukan pengadilan manakah yang berhak mengadili suatu perkara
pidana. Terdapat 4 Teori berkaitan dengan penentuan Locus delicti yaitu (1) teori perbuatan
materiil, yang menentukan bahwa locus delicti adalah tempat dimana perbuatan materiil
tersebut dilakukan, (2) teori alat, yang menentukan bahwa locus delicti adalah tempat
dimana alat yang digunakan dalam tindak pidana bekerja, (3) teori akibat, yang
menyatakan bahwa locus delicti adalah tempat dimana akibat dari pada tindak pidana
tersebut timbul, serta (4) teori beberapa tempat, yaitu yang menyatakan bahwa locus
delicti adalah tempat-tempat di mana perbuatan tersebut secara fisik terjadi, tempat
dimana alat yang digunakan bereaksi, dan tempat dimana akibat dari tindak pidana
tersebut timbul.
b. Penentuan terjadinya waktu tindak pidana (tempus delicti) penting untuk keberlakuan
hukum pidana termasuk jika terjadi perubahan perundang-undangan, keadaan jiwa pelaku
yang berhubungan dengan kemampuan bertanggung jawab, batas usia anak, daluwarsa
serta keadaan-keadaan tertentu yang dapat memperberat pidana. Secara ilmu pengetahuan,
yang harus dianggap sebagai tempus delicti adalah seluruh waktu yang ada antara saat
dimulainyan sesuatu tindak pidana hingga saat tindak pidana tersebut selesai
dilakukannya oleh pelaku. Secara praktik, mengikuti teori-teori tentang Locus Delicti
sehingga penerapannya sesuai dengan keperluan yang dimaksud oleh suatu aturan dan
sifat khususnya dari perkara yang dihadapi.
4. Pustaka
1. Andi Muhammad Sofyan dan Nur Azisa, Hukum Pidana (Buku Ajar), Pustaka Pena,
Makassar, 2016.
2. A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I , Sinar Grafika, Jakarta 2007.
3. Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1 , RajaGrafindo Persada, 2008
4. Eddy O. S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana (Edisi Revisi), Cahaya Atma Pustaka,
Yogyakarta, 2016
23
5. J. M. van Bemmelen, Hukum Pidana 1 : Hukum Pidana Material Bagian Umum
(diterjemahkan oleh Hasnan), Binacipta, Bandung, 1987
6. P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung,
1997
7. Sofjan Sastrawidjaja, Hukum Pidana I, C.V. Armico, Bandung, 1990.
E. TES FORMATIF
1. Penentuan tempat terjadinya tindak pidana disebut :
a. Locus Delicti
b. Tempus Delicti
c. Delik materiil
d. Delik formil
2. Arti Penting Locus Delicti adalah :
a. Berkaitan dengan daluwarsa sebagaimana diatur dalam Pasal 78-85 KUHP
b. Berkenaan dengan kondisi kejiwaan pelaku yang memengaruhi kemampua
bertanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 KUHP
c. Berkenaan dengan ruang lingkup berlakunya Undang-undang Pidana Indonesia seperti
termaksud di dalam Pasal-pasal 2-9 KUHP
d. Berkenaan dengan suatu pencurian dilakukan pada waktu malam sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 363 KUHP
3. Arti Penting Tempus Delicti adalah :
a. Berkenaan dengan kewenangan /kompetensi relative
b. Berkenaan dengan pengecualian seperti yang termaksud dalam Pasal 9 KUHP
c. Berkenaan dengan adanya suatu syarat bahwa sutu tindak pidana tersebut harus
dilakukan di suatu tempat yang terlarang
d. Berkaitan dengan usia pelaku dan korban ketika tindak pidana dilakukan.
4. Teori yang didasarkan kepada tempat berfungsinya suatu alat yang digunakan dalam
perbuatan pidana disebut :
24
e. Teori perbuatan materiil
f. Teori Alat
g. Teori Beberapa Tempat
h. Teori Akibat
5. Teori yang mendasarkan pada tempat terjadinya perbuatan fisik/materiil tindak pidana
adalah :
e. Teori alat
f. Teori Beberapa Tempat
g. Teori Perbuatan materiil
h. Teori Akibat
6. Teori yang mendasarkan pada tempat-tempat di mana perbuatan tersebut secara fisik
terjadi, tempat dimana alat yang digunakan bereaksi, dan tempat dimana akibat dari
tindak pidana tersebut timbul.
e. Teori Akibat
f. Teori Beberapa tempat
g. Teori Alat
h. Teori Perbuatan Materiil
7. Sarjana yang berpendapat bahwa untuk menentukan tempus delicti, tidak mungkin
diperoleh jawaban untuk semua keperluan, tetapi haruslah dibedakan menurut peraturan itu
a. Noyon & Langemeyer
b. Vos
c. Pompe
d. Mezger
8. Sarjana yang berpendapat bahwa waktu dilakukannya tindak pidana adalah waktu
perbuatan dan waktu akibat, jadi boleh memilih salah satu diantaranya sesuai maksud
peraturan yang akan dikenakan/diterapkan :
a. Simons
b. Noyon & Langemeyer
c. Mezger
d. Vos
9. Sarjana yang menolak pendapat Noyon & Langemeyer adalah :
a. Mezger
b. Simons
c. Vos
25
d. Pompe
10. Secara ilmu pengetahuan, tempus delicti adalah :
a. seluruh waktu yang ada antara saat dimulainya suatu tindak pidana hingga saat tindak
pidana tersebut selesai dilakukan
b. Pada waktu tindak pidana dilakukan
c. Pada waktu akibat tindak pidana terjadi
d. Semua Benar
26