Anda di halaman 1dari 7

ANALISIS IMPLIKASI UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA

TERHADAP PEMBANGUNAN PERIKANAN

Disusun Sebagai UTS Mata Kuliah Pembangunan


Perikanan Tahun Akademik 2021/2022

Disusun Oleh:

Fitriana Dyah
Rachmaningrum
230110180152

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PROGRAM STUDI PERIKANAN
JATINANGOR

2021
PENDAHULUAN

Industri perikanan merupakan salah satu sektor yang memiliki peran penting dalam
pembangunan perekonomian nasional, terutama dalam meningkatkan pemerataan
pendapatan, perluasan kesempatan kerja dan peningkatan taraf hidup bangsa. Oleh karena itu
untuk mewujudkan sektor perikanan yang kuat dan maju harus dilakukan dengan tetap
memelihara lingkungan, kelestarian, dan ketersediaan sumber daya ikan. Tujuan dari
kebijakan ini adalah untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan, pembudidaya, pengolah dan
pemasaran hasil perikanan, menyerap tenaga kerja, dan meningkatkan devisa negara.
Pada tanggal 5 Oktober 2020, DPR RI mengesahkan Rancangan Undang-Undang
(RUU) Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU). Disahkannya Undang-Undang No. 11
Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menimbulkan pro dan kotra dari berbagai pihak. Sejak awal
gagasan RUU Cipta Kerja yang disampaikan oleh presiden telah menimbulkan polemik. Pada
Peraturan Perundang-undangan mewajibkan masyarakat, sebagai subjek hukum, untuk ikut
dilibatkan. Namun hal tersebut tidak terjadi dalam penyusunan RUU ini. Ada sekitar 1.203
pasal dari 79 UU terkait yang akan mengalami dampak dari disahkannya UU RI Nomor
11 tahun 2020 tersebut. Banyak pihak yang menilai bahwa pokok isi dari UU tersebut
bermasalah. Hal ini karena kompleks dan banyaknya cakupan materi UU tersebut yang
dibahas dengan sangat tergesa-gesa di tengah masa pandemi COVID-19. Salah satu sektor
yang diduga akan berdampak dari pengesahan RUU Cipta Kerja adalah sektor perikanan
dan kelautan.
Perairan Indonesia memiliki 27,2% dari seluruh spesies flora dan fauna di dunia.
Kekayaan sumber daya perairan tersebut menjadikan Indonesia memiliki hasil tangkapan
produksi perikanan tertinggi kedua di dunia perikanan laut dan produksi perikanan tangkap
tertinggi ketujuh di dunia di perairan umum (FAO, 2016). Di sisi lain, lautan juga
menghadapi ancaman-ancaman berbahaya sebagai dampak dari perbuatan manusia.
Ancaman-ancaman tersebut diantaranya adalah penangkapan ikan berlebih, pemanasan
global, polusi plastik, kebocoran bahan bakar dan limbah yang dibuang ke laut, pengeboran
minyak dan gas yang merusak lingkungan laut, serta polusi udara dari kebisingan industri
laut hingga sonar militer (National Geographic Indonesia, 2019). Apabila ancaman tersebut
tidak ditangani dengan baik dapat mengakibatkan semakin meluasnya dampak negatif
terhadap kehidupan manusia dan biota laut. Mengingat berartinya sektor perikanan dan
kelautan bagi bangsa Indonesia baik dari sisi ekonomi, lingkungan, pariwisata, energi dan
lain-lain, maka dasar utama yang menjadi landasan adalah efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 ayat (4)
UUD RI 1945.
Implikasi Positif terhadap Pembangunan Perikanan
UU Cipta Kerja pada sektor Perikanan dan Kelautan mengubah beberapa peraturan
sebelumnya yang diantaranya memiliki dampak yang lebih baik kepada beberapa pihak
terutama masyarakat. Perubahan yang terjadi salah satunya pada Pasal 18 yaitu mengenai isu
perizinan lokasi dan pengelolaan pemanfaatan tata ruang laut dimana beberapa hal seperti
izin lokasi, izin pengelolaan dan izin lingkungan berubah menjadi perizinan berusaha. Lebih
mudahnya tahapan dalam memperoleh perizinan untuk melakukan pemanfaatan ruang laut
secara menetap ini memiliki dampak positif dalam pengembangan pembangunan perikanan.
Hal ini didukung dengan adanya kemungkinan dalam pemanfaatan ke tingkat yang lebih
maksimal sehingga akan mendukung kemajuan dalam laju produksi dan distribusi sektor
perikanan dan pemanfaatan.
Perubahan lain yang terdapat pada Pasal 19 yaitu mengenai Pengelolaan Ruang Laut
menjadi Bagian Integral dari Pengelolaan Tata Ruang Nasional. Untuk menciptakan peta
perencanaan di Indonesia, sehingga pola perencanaan tata ruang laut dan darat tetap
dibedakan merupakan upaya positif dari Integrasi perencanaan pengelolaan ruang laut ke
dalam perencanaan tata ruang nasional. Di laut terdapat tiga dimensi ruang (permukaan,
kolom perairan, dan dasar laut) sedangkan di darat hanya dikenal satu dimensi ruang.
Sehingga, perencanaan tata ruang laut perlu memperhatikan karakteristik dan kompleksitas
yang tidak ditemukan di perencanaan tata ruang darat.
Terdapat pula perubahan pada Pasal 27 yang diubahnya kata “memperhatikan standar
mutu hasil perikanan” menjadi “memenuhi standar mutu hasil perikanan” yang menegaskan
bahwa pentingnya standar mutu hasil perikanan. Hal itu menguntungkan bagi negara dimana
dapat meningkatkan mutu hasil perikanan di Indonesia. Perubahan dimana Pemerintah dan
Pemerintah Daerah memfasilitasi pengembang usaha perikanan untuk memenuhi standar
mutu hasil perikanan yang lebih kompleks dengan menambahkan peraturan standar mutu
hasil perikanan berdasarkan norma, prosedur dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah
Pusat.
Implikasi Negatif terhadap Pembangunan Perikanan
Perubahan UU Cipta Kerja memiliki dampak negatif pada sebagian isu perubahan yang
terjadi. Perubahan tata cara dan syarat untuk memperoleh perizinan yang terkandung dalam
Pasal 18, Pasal 19 dan Pasal 27 salah satunya. Tahapan memperoleh perizinan untuk
melakukan pemanfaatan ruang laut secara menetap dalam UU Cipta Kerja menjadi lebih
sederhana. Hal ini memberikan implikasi negatif terhadap beberapa pihak karena akan
menyulitkan dalam pengawasan pemanfaatan ruang laut yang ada. Lepas kontrolnya
pemanfaatan ruang laut memiliki dampak yang sangat besar terhadap ekosistem laut dan
pemanfaatan sumber daya yang ada serta masyarakat luas. Selain itu adanya penyederhanaan
perizinan usaha perikanan dimana sebelumnya terdapat 3 izin usaha yang harus dipenuhi
antara lain, SIUP (Surat Izin Usaha Perikanan), SIPI (Surat Izin Penangkapan Ikan) dan
SIKPI (Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan), namun dalam UU Cipta Kerja ketiganya digabung
dan hanya menjadi Perizinan Berusaha, hal ini juga akan menimbulkan masalah baru dalam
pelaksanaan pengawasan oleh pemerintah.
Sentralisasi kewenangan pemberian perizinan yang diberikan kepada Pemerintah Pusat
mengakibatkan akses pelaku usaha yang sebelumnya mengurus izin di daerahnya masing-
masing menjadi terhambat dan sulit. Seharusnya Pemerintah Pusat dapat memastikan adanya
kesetaraan kesempatan bagi masyarakat dan harus dapat memastikan sistem perizinan dapat
dijangkau oleh semua kalangan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia. Pada UU Cipta
Kerja, penarikan kewenangan dari Pemerintah Daerah ke Pemerintah Pusat tidak hanya
dilakukan untuk kewenangan perizinan saja, melainkan juga dalam perencanaan tata ruang.
Sedangkan pemerintah daerah lah yang umumnya lebih memahami kondisi riil di daerahnya.
Sehingga, penghapusan peran Pemerintah Daerah berpotensi merugikan masyarakat dan
pengawasan ekosistem laut yang menjadi tumpuan hidup bagi masyarakat setempat.
Perubahan penarikan kewenangan dari Menteri ke Pemerintah Pusat yang diatur dalam
Pasal 27 juga mengakibatkan kemungkinan kebijakan menjadi diskresi tidak didasarkan pada
basis keilmuan (scientific based) karena kementerian merupakan lembaga yang memiliki
bekal kemampuan dan sarana atau prasarana untuk melakukan perlindungan serta
pengelolaan ekosistem dan sumber daya alam yang menjadi tugasnya. Penetapan potensi
perikanan dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan sudah tepat dipegang oleh Menteri
dengan mendasarkan pada hasil kajian dari Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan.
Selain itu Pasal 27 membahas definisi nelayan kecil yang dimana pendefinisian itu
sangatlah penting karena berkaitan dengan pengecualian terhadap beberapa hak dan
kewajiban, pengecualian terhadap penjatuhan sanksi, serta pemberian insentif dan fasilitas
dari pemerintah. Dalam UU Cipta Kerja tidak mempertegas definisi tersebut, melainkan
membuat rumusan baru yang menghapuskan persyaratan batas maksimal ukuran kapal.
Definisi tanpa batasan ukuran kapal memberikan peluang bagi nelayan tertentu yang
sebelumnya tidak tergolong sebagai nelayan kecil dapat menikmati berbagai fasilitas serta hak
sebagai nelayan kecil, seperti pengecualian izin dan mendapatkan insentif dari pemerintah
yang berupa bantuan alat tangkap, subsidi bahan bakar serta asuransi. Selanjutnya SIPI dan
SIKPI (yang diubah menjadi Perizinan Berusaha) dikecualikan bagi nelayan kecil. Namun,
SIUP (yang diubah menjadi Perizinan Berusaha) tidak dikecualikan bagi nelayan kecil. Hal
yang tidak konsisten ini menyebabkan
ketidakjelasan dan akan menimbulkan permasalahan pada saat pelaksanaannya karena
nelayan kecil dapat diberi hukuman karena tidak memiliki Perizinan Berusaha.
Hal yang berdampak negatif lainnya adalah memburuknya kondisi stok ikan yang
berada di status over-exploited di beberapa WPP NRI dengan dibukanya akses penangkapan
ikan oleh kapal asing di wilayah ZEEI. Meskipun dalam Pasal 27 UU Cipta Kerja tidak
disebutkan secara utuh mengenai persyaratan pembukaan akses terhadap stok ikan di
Indonesia bagi negara lain, tetapi dalam UU Cipta Kerja wajib dilaksanakan hukum yang
utuh dan jelas juga sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 tahun 1985 tentang Ratifikasi
UNCLOS.
Selain itu UU Cipta Kerja juga menghapus ketentuan yang terdapat pada Undang-
Undang Perikanan yang mengatur bahwa kapal perikanan dengan bendera asing yang
melakukan penangkapan ikan di ZEEI wajib menggunakan paling sedikit 70% dari jumlah
anak buah kapal berkewarganegaraan Indonesia. Akibatnya, kesempatan kerja bagi tenaga
kerja Indonesia di bidang penangkapan ikan dalam kapal asing akan hilang akan semakin
sulit dalam menemukan kesempatan kerja, sehingga mendorong tenaga kerja Indonesia
bekerja sebagai pekerja migran kapal ikan asing di luar negeri yang saat ini sangat rentan
menjadi korban perdagangan manusia dan perbudakan modern di kapal-kapal tersebut.
Rekomendasi Kebijakan
Kewenangan penetapan potensi perikanan dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan
sebenarnya sudah tepat ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan dengan mendasarkan
pada hasil kajian dari Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan. Sehingga kebijakan
untuk mempertahankan Menteri Kelautan dan Perikanan sebagai pihak yang berwenang
dalam pengelolaan perizinan dan penetapan potensi perikanan didukung oleh Komisi
Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan merupakan keputusan yang tepat.
Masalah tindak pidana IUU fishing yang dilakukan oleh warga negara asing perlu
dijalankan sesuai dengan UNCLOS, yaitu melalui penetapan jaminan (bond) untuk prompt
release (pelepasan seketika). Dengan adanya sistem seperti ini, coastal state (negara pantai)
akan menerima sejumlah uang dari pemilik kapal dengan nilai yang pantas. Nilai yang pantas
tersebut merupakan akumulasi dari nilai kapal yang ditangkap, nilai hasil tangkapan, nilai
barang-barang selain hasil tangkapan (alat tangkap atau benda-benda lainnya yang memiliki
nilai valuasi tinggi), serta nilai denda maksimal dari ketentuan hukum negara yang
melakukan penangkapan.
Kondisi stok ikan yang berada di status over-exploited diperburuk dengan dibukanya
akses penangkapan ikan oleh kapal asing di ZEE. Sedangkaan hingga saat ini, Pemerintah
Indonesia belum mengeluarkan pernyataan resmi mengenai surplus allowable catch. Surplus
allowable catch tidak dapat dihitung secara sederhana dengan formula stok ikan dikurangi
tingkat produksi. Dengan demikian kepentingan nasional negara Indonesia wajib dilibatkan
dalam pertimbangan untuk menentukan surplus. Contoh yang dapat dilihat yaitu hingga saat
ini penduduk Indonesia masih banyak yang kelaparan dan tingkat stunting masih tinggi. Salah
satu solusi untuk dapat mengatasi permasalahan ini adalah sumber daya ikan. Oleh karena itu,
meskipun dari perhitungan stok ikan dikurangi tingkat produksi terdapat selisih (surplus),
selisih tersebut haruslah diperuntukkan bagi penyelesaian permasalahan kelaparan dan
stunting dan tidak untuk diberikan kepada negara lain. Menurut Pasal 33 (3) UUD 1945
dimana nelayan Indonesia serta seluruh masyarakat Indonesia wajib menjadi prioritas dalam
mendapatkan manfaat dari sumber daya perikanan di ZEE Indonesia.
Simpulan dan Saran
 Simpulan
Disahkannya UU Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020 membuat lahirnya kebijakan-
kebijakan yang dapat menguntungkan maupun merugikan sektor perikanan. Salah satu nya
adalah membuka peluang sumber daya kelautan dan perikanan Indonesia dieksploitasi oleh
negara asing. Hakikat serta fungsi perencanaan tata ruang dilemahkan, khususnya untuk
kebijakan nasional yang bersifat strategis dan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil oleh instansi pemerintah. UU Cipta Kerja juga banyak mengurangi pelibatan
masyarakat dalam kebijakannya. UU Cipta Kerja dengan ketentuan yang mengintegrasikan
nilai-nilai perlindungan daya dukung ekosistem dan memperkuat fungsi kontrol untuk
memastikan kepatuhan pelaku usaha tidak diimbangi dengan adanya penyederhanaan,
penghapusan, serta hilangnya izin ke dalam Perizinan Berusaha. Sentralisasi kewenangan ke
Pemerintah Pusat sangat kuat dan melemahkan peran Menteri dan Pemerintah Daerah.
Beberapa pengaturan sanksi dirumuskan secara tidak sempurna, walaupun perlu diakui telah
terdapat banyak perbaikan serta kemajuan pada UU Cipta Kerja dibanding RUU Cipta Kerja
versi Februari 2020.
 Saran
Sebaiknya pemerintah lebih memperhatikan dan mempertimbangkan isi dan kandungan
pasal yang akan diubah, apakah isi dari pasal tersebut akan menimbulkan kerugian yang besar
bagi masyarakat. Jika pasal tersebut banyak memberi kerugian maka masyarakat Indonesia
juga akan semakin sengsara. Pemerintah Indonesia harus dapat mensejahterakan rakyat nya,
jangan sampai dengan adanya UU Cipta Kerja ini masyarakat yang kaya semakin kaya dan
yang miskin semakin miskin.
Daftar Pustaka

FAO. (2016). The State of World Fisheries and Aquaculture – Contributing to Food Security
and Nutrition. Rome: Food and Agriculture Organization of The United Nations.
Febriyanti, D., Aini, S. N., Resta, A. V., & PKP, R. B. (2021). Fungsi AMDAL Dalam
Pengendalian Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan Setelah Diundangkannya UU
Cipta Kerja. Widya Pranata Hukum: Jurnal Kajian dan Penelitian Hukum, 3(2), 115-
133.
Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI). (2020). Analisis UU Cipta Kerja Sektor Kelautan
dan Perikanan. Jakarta Pusat. Retrieved from oceanjusticeinitiative.org.
Kasim, J., Sadikin, A., Pulungan, D., Rakhmatika, D., Agustiar, A., & Agustine, C. N.
(2020). Kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah ditinjau dari Pasal 176
Angka 9 UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. Jurnal Lex Specialis, 1(2).
Kennedy, P. S. J. (2020). Dampak RUU (Omnibus Law) Cipta Kerja Terhadap Penegakan
Hukum di Bidang Kelautan dan Perikanan.
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 50/ KEPMEN-
KP/2017 tentang Estimasi Potensi, Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan, dan
Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara
Republik Indonesia.
National geographic Indonesia. (2019). 9 Ancaman Terbesar yang Dihadapi Laut dan Isinya
Akibat Ulah Manusia.
Neununy, D. J. (2021). Urgensi Omnibus Law (Undang-Undang Cipta Kerja) Terhadap Hak
Masyarakat Adat di Wilayah Pesisir. Balobe Law Journal, 1(2), 119-131.
Oktaryal, Agil. (2020). Kertas Advokasi Kebijakan Atas UU No. 11 Tahun 2020 Tentang
Cipta Kerja Bidang Kelautan Dan Perikanan. Jakarta. Pusat Studi Hukum &
Kebijakan Indonesia.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 30/ PERMEN-
KP/2016 tentang Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan.
Priyanta, M. (2021). Implikasi Konsep Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut dalam
Pengelolaan Sumber Daya Kelautan Berkelanjutan. Jurnal Wawasan Yuridika, 5(1),
20-39.
Stephanie Juwana, dkk. (2020). RUU (Omnibus Law) Cipta Kerja dan Implikasinya
Terhadap Pembangunan Berkelanjutan I Sektor Kelautan, Policy Brief. Indonesia
Ocean Justice Inisiative.
Syah, A. F. (2021). Management of Marine and Fisheries Resources: Cipta Kerja act and
Islamic Perspective. Jurnal Kajian Peradaban Islam, 4(2), 63-70.
Tombokan, R. C. (2021). Prosedur Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Illegal Fishing di
Perairan Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang
Perikanan. Lex Crimen, 10(4).
Undang-Undang Cipta Kerja versi 5 Oktober 2020

Anda mungkin juga menyukai