Anda di halaman 1dari 21

REKAYASA IDE

MK. HUKUM
LINGKUNGAN

SKOR NILAI:

REKAYASA IDE HUKUM LINGKUNGAN

NAMA : Claudia Simanungkalit

NIM : 3192411016

DOSEN PENGAMPU : Dra.Yusna Melianti, M.H

MATA KULIAH : Hukum Lingkungan

JURUSAN PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2021

1
KATA PENGANTAR
Pertama-tama kita panjatkan Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkatnya
yang telah diberikannya sehingga rekayasa ide ini dapat terselesaikan dan dapat berjalan dengan
lancar sesuai dengan apa yg telah diinginkan.

Tujuan atau maksud penulis dalam melakukan rekayasa ide ini yaitu untuk memenuhi
tugas mata kuliah hukum lingkungan dan juga ingin lebih memperdalam kajian Ilmu hukum
lingkungan dalam pembahasan pemanfaatan hukum lingkungan sebagai alat rekayasa sosial
dalam pembangunan berkelanjutan dan pelestarian lingkungan hidup.

Maka dengan hal itu berhasilnya rekayasa ide ini pun tidak terlepas dari bantuan dan
dorongan atau pun didikan yang ditelah diberikan kepada saya sehingga saya mengucapkan
terimakasih yang sangat banyak kepada ibu Dra.Yusna Melianti,M.H selaku dosen pengampu
saya dan juga saya mengucapkan banyak terimakasih kepada teman dan orangtua yang selalu
memberikan support dan dorongan kepada saya dalam membuat rekayasa ide tersebut.

Maka dengan demikian penulis berharap rekayasa ide yang telah saya lakukan ini semoga
sangat bermanfaat kepada kita dan semoga memberikan Pengetahuan yang banyak kepada kita
dalam memahami pembahasan pemanfaatan hukum lingkungan sebagai alat rekayasa sosial
dalam pembangunan berkelanjutan dan pelestarian lingkungan hidup.

Penulis pun menyadari begitu banyak kekurangan dari jurnal review ini sehingga saya
pun sangat berharap mendapatkan kritik dan saran terhadap pembaca agar kedepannya saya
dapat melakukan rekayasa ide yang lebih baik lagi .

Medan,03 Mei 2021

2
DAFTAR ISI

Halaman Sampul.....................................................................................................1

Kata Pengantar.........................................................................................................2

Daftar Isi..................................................................................................................3

BAB I Pendahuluan :

1. Latar Belakang.........................................................................................4
2. Rumusan Masalah....................................................................................5
3. Tujuan Makalah.......................................................................................5

BAB II Tinjauan Pustaka :

1. Pembangunan berkelanjutan dan pelestarian lingkungan hidup..............6


2. Hukum di masa transisi dan teori hukum progresif.................................7

BAB III Pembahasan :

1. Fungsi hukum lingkungan dalam pembangunan berkelanjutan...............9


2. Pemanfaatan hukum lingkungan sebagai alat rekayasa sosial.................11
3. Pemanfaatan diskersi dalam penegakan hukum lingkungan....................13

BAB IV Penutub

1. Kesimpulan..............................................................................................19
2. Saran.........................................................................................................19

Daftar Pustaka.........................................................................................................20

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Musibah krisis moneter 1997/1998 yang kemudian diikuti krisis multidimensi, disamping
berdampak negatif juga berdampak positif yakni lahirnya era Reformasi yang ditandai
tumbuhnya demokrasi, kebebasan berekspresi, dan keterbukaan informasi, sehingga
memungkinkan munculnya ide-ide baru, orang-orang baru, cara-cara baru, dan lembaga-lembaga
baru. Era Reformasi juga memungkinkan kita mengetahui segala permasalahan bangsa yang
selama ini cenderung ditutupi penguasa Orde Baru. Permasalahan tersebut antara lain adanya
keserakahan dalam eksploitasi sumber daya alam oleh elit penguasa dan pengusaha yang
menyebabkan kerusakan lingkungan hidup, pemiskinan penduduk, dan kesenjangan sosial.

Pada masa Reformasi, sejak jatuhnya Presiden Soeharto 21 Mei 1998, banyak terjadi aksi
penjarahan dan perusakan lingkungan hidup yang dilakukan rakyat atas perintah oknum aparat
dan pemilik modal. Aksi-aksi tersebut terjadi karena lemahnya penegakan hukum yang dipicu
hilangnya rasa hormat rakyat kepada aparat hukum akibat terkuaknya banyak praktek korupsi,
kolusi, dan nepotisme pada masa Orde Baru. Permasalahan lingkungan hidup tidak dapat
dipisahkan dari upaya Pembangunan Berkelanjutan. Indonesia sebagai negara berkembang harus
terus berusaha membangun agar tidak tertinggal dari negara-negara lain. Agar manfaat
pembangunan bertahan lama, maka kita harus memperhatikan pelestarian lingkungan hidup.
Strategi pembangunan Orde Baru yang lebih mementingkan aspek pertumbuhan ekonomi
terbukti gagal karena mengabaikan aspek pemerataan, keadilan sosial, dan pelestarian
lingkungan hidup.

Permasalahan hukum di masa transisi atau di masa krisis tidak bisa ditangani lewat
prosedur hukum yang biasa berlaku pada saat kondisi normal. Menghadapi kondisi transisional
dimana persoalan saling berhimpitan, serba darurat dan penuh komplikasi, aparat penegak
hukum dituntut mampu melakukan langkah-langkah terobosan dalam menjalankan hukum dan
tidak sekedar menerapkan aturan hukum secara hitam-putih. Hal ini penting karena banyak
peraturan sudah ketinggalan zaman, peraturan yang ada tidak mampu menjawab permasalahan
yang muncul, ataupun peraturan yang ada saling kontradiktif dan tumpang tindih. Karena itu
kehadiran pelaku hukum yang arif, visioner, dan kreatif mutlak perlu untuk memandu
pemaknaan kreatif terhadap aturan-aturan yang demikian. Aparat penegak hukum, seperti polisi,
jaksa, hakim dituntut mencari dan menemukan Keadilan dan Kebenaran dalam batas dan di
tengah keterbatasan kaidah hukum yang ada. Inilah inti terobosan Hukum Progresif.

4
Teori Hukum Progresif tidak dapat dipisahkan dari pendapat Prof. Satjipto Rahardjo SH
tentang kekacauan hukum dan penegakan hukum di Indonesia pada era Reformasi. Teori ini
mencoba memberi solusi permasalahan tersebut antara lain melalui dua cara : (1) pemanfaatan
Hukum sebagai alat rekayasa sosial, dan (2) pemanfaatan Diskresi yang bertanggung jawab
dalam upaya penegakan hukum. Penggunaan kedua cara tersebut harus diarahkan untuk
mencapai dua tujuan Hukum Progresif yaitu “Hukum yang Pro-Keadilan” dan “Hukum yang
Pro-Rakyat”, dan juga harus diarahkan untuk mewujudkan tiga tujuan hukum menurut Gustav
Radbruch yaitu : Keadilan, Kemanfaatan, dan Kepastian Hukum. Hukum yang Pro-Rakyat
sesungguhnya adalah hukum yang juga menjunjung tinggi Kemanfaatan dan Kepastian Hukum.
Penulis selanjutnya mengkaji kedua cara tersebut dikaitkan dengan fungsi Hukum Lingkungan
dalam mendukung Pembangunan Berkelanjutan dan Pelestarian Lingkungan Hidup.

B. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah yang akan dibahas dalam penulisan makalah rekayasa ide ini terdiri dari :

1. Apakah fungsi Hukum Lingkungan dalam mendukung Pembangunan Berkelanjutan dan


Pelestarian Lingkungan Hidup ?
2. Bagaimana seharusnya Hukum Lingkungan dimanfaatkan sebagai alat rekayasa sosial
pada masa transisi (era Reformasi) saat ini ?
3. Bagaimana seharusnya Diskresi dimanfaatkan dengan benar dalam rangka penegakan
Hukum Lingkungan pada masa transisi (era Reformasi) saat ini ?

C. TUJUAN MAKALAH
Adapun tujuan makalah rekayasa ide ini yaitu :

1. Untuk mengetahui fungsi hukum lingkungan dalam mendukung pembangunan


berkelanjutan dan pelestarian lingkungan hidup.
2. Untuk mengetahui manfaat hukum lingkungan sebagai alat rekayasa sosial pada masa era
reformasi saat ini.
3. Untuk mengetahui bagaimana seharusnya diskresi dimanfaatkan dengan benar dalam
rangka penegakan hukum lingkungan pada masa transisi (era reformasi) saat ini.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DAN PELESTARIAN


LINGKUNGAN HIDUP
Pembangunan Berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup menurut UU Nomor 23
Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 1 angka 3, ialah upaya sadar dan
terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya, ke dalam proses
pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini
dan generasi masa depan. Pengertian “Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup”, menurut Pasal 1
angka 5, adalah rangkaian upaya memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup. Pengertian “Daya Dukung” lingkungan hidup, menurut Pasal 1 angka 6 adalah
kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup
lain; sedangkan pengertian “Daya Tampung” lingkungan hidup menurut Pasal 1 angka 8 adalah
kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk
atau dimasukkan ke dalamnya.

Isu lingkungan hidup dan pembangunan telah menjadi agenda penting masyarakat
internasional di forum regional dan multilateral sejak tahun 1972 setelah pelaksanaan konferensi
internasional mengenai Human Environment di Stockholm, Swedia dan khususnya setelah KTT
Bumi di Rio De Janeiro, Brazil tahun 1992. Sejak itu, masyarakat internasional menilai bahwa
perlindungan lingkungan hidup menjadi tanggung jawab bersama dan tidak terlepas dari aspek
pembangunan ekonomi dan sosial. Negara-negara berkembang, berhasil menuangkan hal-hal
penting bagi kepentingan mereka di dalam kesepakatan yang tertuang di dalam prinsip-prinsip
Deklarasi Stockholm, Deklarasi Rio De Janeiro, dan Agenda 21. Hal-hal penting tersebut antara
lain adalah : keterkaitan erat antara pembangunan dengan perlindungan lingkungan hidup,
komitmen negara maju untuk meningkatkan kerjasama internasional melalui program
peningkatan pembangunan negara-negara berkembang, penyaluran dana bantuan dan alih
teknologi dari negara-negara maju termasuk peningkatan stabilitas harga komoditi, dan
komitmen negara maju menyediakan bantuan luar negeri sebesar 0,7% dari PDB. Deklarasi
Stockholm juga mengakui kedaulatan sepenuhnya setiap negara dalam pelaksanaan eksplorasi
dan pengelolaan sumber daya alam sesuai kebijaksanaan lingkungan masing-masing negara.

Terlepas dari keberhasilan dalam bidang normatif dan institusional, kondisi lingkungan
hidup global malahan cenderung merosot. Kondisi ekonomi dan sosial masyarakat bangsa-
bangsa juga mengalami penurunan. Menipisnya lapisan ozon yang sangat berbahaya bagi
kesehatan, peningkatan permukaan air laut akibat pemanasan bumi (global warming), punahnya
sumber daya kelautan, penggundulan hutan, penggurunan dan degradasi lahan, serta keterbatasan
sumber air bersih merupakan indikasi semakin rusaknya kondisi lingkungan hidup global.
Kemiskinan, penurunan kualitas kesehatan manusia, marginalisasi negara-negara berkembang,

6
terjangkitnya epidemik seperti HIV-AIDS merupakan indikator kondisi sosial ekonomi yang
semakin merosot. Faktor-faktor ini sangat tidak kondusif dalam mendukung upaya pelestarian
lingkungan hidup yang sangat penting bagi generasi kini dan mendatang.

KTT Bumi 1992 telah menghasilkan Deklarasi Rio, Agenda 21, Forests Principles,
Konvensi Perubahan Iklim (Climate Change) dan Keanekaragaman Hayati (Biodiver-sity).
Untuk pertama kali, peran aktor non pemerintah yang tergabung dalam major group mendapat
pengakuan dan sejak saat itu peran mereka dalam keberhasilan pemba-
ngunan berkelanjutan tidak dapat diabaikan. KTT Bumi juga menghasilkan Konsep
Pembangunan Berkelanjutan yang mengandung 3 pilar utama yang saling terkait dan menunjang
yakni pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan pelestarian ling-
kungan hidup . Pelaksanaan konferensi PBB tentang perubahan iklim atau UNFCCC (United
Nations Framework Convention on Climate Change) di Bali, pada tanggal 3 sampai dengan 14
Desember 2007, semakin meneguhkan peran penting Indonesia di dunia internasional dalam
mendorong Pembangunan Berkelanjutan dan Pelestarian Lingkungan Hidup dikaitkan dengan
isu penanggulangan dampak pemanasan global (global warming). Pertemuan Bali semakin
meneguhkan tekad negara-negara sedunia mengurangi emisi gas karbon untuk menanggulangi
dampak negatif pemanasan global. Pada pertemuan tersebut Indonesia juga berhasil
memperjuangkan insentif dari negara maju kepada negara sedang berkembang yang berhasil
menjaga kelestarian hutannya.

B. HUKUM DI MASA TRANSISI DAN TEORI HUKUM PROGRESIF


Bidang hukum sangat berkaitan dengan perkembangan bangsa, bahkan menurut Prof.
Satjipto Rahardjo SH, hukum harus difungsikan untuk menghadapi totalitas kehidupan bangsa.
Tahun 2007, Indonesia sedikit banyak boleh disamakan dengan Amerika Serikat tahun 1960.
Saat itu Amerika juga dihadapkan pada problem besar yang belum pernah dihadapi sebelumnya.
Sementara itu, praktek hukum konvensional ternyata gagal menyelesaikan problem itu sehingga
orang lalu bertanya “apakah hukum sudah mati?”. Jika cara berhukum tidak difungsikan untuk
menghadapi totalitas kehidupan, maka negara hukum hanya dapat membuat peraturan
perundang-undangan saja. Dalam penegakan hukum, setiap kali orang hanya berpikir dan
bertanya “undang-undang manakah yang dilanggar?” atau “pasal-pasal apakah yang
diterapkan?”. Penegakan hukum hanya dipahami sebagai menjalankan perundang-undangan dan
sistem hukum secara rasional, bukan dengan tujuan memecahkan problem sosial. Memfungsikan
hukum sebagai institut yang harus berhadapan dengan totalitas kehidupan menjadikan hukum
selalu waspada dan terlibat ke dalam penyelesaian problem bangsa. Pada saat korupsi menjadi
problem besar bangsa ini, misalnya, hukum juga segera merasakannya sebagai problem hukum.

7
Amerika Serikat telah memberikan contoh yang bagus, yakni pada saat hukum
dihadapkan kepada usaha membangun Amerika yang modern sekian ratus tahun lalu. Saat itu
dengan berani Amerika membuat sendiri American Concept of Law, American Approach of
Law, Distinctly American Development, dengan tidak memperdulikan pro-
tes dunia internasional terhadap cara Amerika Serikat menjalankan hukum yang keluar dari
kebiasaan. Kita tidak dapat lagi menjalankan hukum sebagai businessusual tetapi harus progresif
dan kreatif mencari avenues baru untuk mengatasi masalah bangsa.

Krisis masyarakat mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap hukum daripada
aktivitas sosial lain. Perubahan dalam dasar-dasar masyarakat mengubah pula dasar-dasar nilai
hukum. Dasar-dasar hukum dengan jelas dipengaruhi oleh dasar-dasar politik, ekonomi,
kehidupan sosial, dan kesusilaan. Sebaliknya hukum mempunyai tugas memberi kepadanya
bentuk dan ketertiban. Meski setiap kali persoalan-persoalan hukum muncul dalam nuansa
transisi (era Reformasi), namun penyelenggaraan hukum terus saja dijalankan layaknya kondisi
normal. Hampir tidak ada terobosan hukum yang cerdas dalam menghadapi kemelut transisi
pasca Orde Baru. Yang lebih memprihatinkan, hukum tidak saja dijalankan seperti rutinitas
belaka (business as usual) tapi hukum juga dipermainkan seperti barang dagangan (business-
like), akibatnya hukum terdorong ke jalur lambat dan mengalami kemacetan yang cukup serius.
Dari sinilah kemudian Prof. Satjipto Rahardjo SH menyatakan perlunya Hukum Progresif.

Proses perubahan bagi Hukum Progresif tidak lagi berpusat pada peraturan semata tapi
pada kreativitas pelaku hukum mengaktualisasikan hukum dalam ruang dan waktu yang tepat.
Keadilan tidak bisa secara langsung ditemukan lewat proses logis-formal. Keadilan justru
diperoleh lewat intuisi, karenanya argumen logis-formal diperoleh sesudah Keadilan ditemukan,
yaitu untuk membingkai secara yuridis-formal keputusan yang diyakini adil tersebut. Hukum
Progresif merangkul baik peraturan maupun kebutuhan sosial sebagai dua hal yang harus
dipertimbangkan dalam tiap keputusan. Hukum tidak mengabdi bagi dirinya sendiri, melainkan
untuk tujuan yang berada di luar dirinya. Hukum Progresif memiliki sifat responsif, dimana
regulasi hukum selalu dikaitkan dengan tujuan sosial yang melampaui narasi tekstual aturan.
Hukum Progresif melihat dan menilai hukum dari tujuan sosial yang ingin dicapainya serta
akibat-akibat yang timbul dari bekerjanya hukum itu. Menurut Prof. Satjipto Rahardjo SH,
hukum tidak dapat berdiri sendiri dan selalu bergantung pada tuntutan lingkungannya (habitat
sosialnya). Selain itu hukum juga harus memiliki kandungan kulturalnya sendiri. Dengan
demikian, suatu masyarakat yang memilih hukum yang demokratis juga harus mengembangkan
kultur yang demokratis pula. Kehidupan demokrasi selalu butuh dukungan Hukum Progresif.

8
BAB III

PEMBAHASAN

A. FUNGSI HUKUM LINGKUNGAN DALAM PEMBANGUNAN


BERKELANJUTAN
Pembangunan Berkelanjutan tidak dapat dilepaskan dari Pelestarian Lingkungan Hidup.
Perwujudan kedua hal tersebut mensyaratkan adanya sistem hukum dan penegakan hukum yang
efisien dan efektif. Fungsi Hukum Lingkungan dalam mendukung upaya Pembangunan
Berkelanjutan dan Pelestarian Lingkungan Hidup tidak dapat dilepaskan dari pendapat Gustaf
Radbruch tentang adanya tiga asas hukum atau tiga tujuan hukum yaitu : Keadilan, Kemanfaatan
dan Kepastian. Aspek Keadilan menunjuk pada kesamaan hak setiap orang di depan hukum.
Aspek Kemanfaatan menunjuk pada tujuan Keadilan yaitu memajukan kebaikan dalam hidup
manusia (masyarakat). Keadilan dan Kemanfaatan menentukan isi hukum, sedangkan aspek
Kepastian menunjuk pada adanya jaminan bahwa hukum (yang berisi Keadilan dan norma-
norma yang memajukan kebaikan) benar-benar berfungsi sebagai peraturan yang ditaati. Aspek
Keadilan dan Kemanfaatan merupakan kerangka ideal hukum, sedangkan aspek Kepastian
merupakan kerangka operasional hukum.

Pendapat Gustav Radbruch tentang tiga tujuan hukum (Keadilan, Kemanfaatan dan
Kepastian) lahir sebagai koreksi atas teori hukum Hans Kelsen yang berpendapat “Hukum itu
normatif karena adanya Norma Dasar (Grundnorm)”. Hans Kelsen lebih menekankan aspek
Kepastian Hukum yaitu adanya keharusan dan kewajiban menaati hukum hanya karena telah
ditentukan demikian secara yuridis-formal. Pendapat Hans Kelsen yang lebih mementingkan
aspek yuridis-normatif sehingga mengabaikan aspek Keadilan dan Kemanfaatan, kemudian
disalahgunakan Rezim NAZI (Adolf Hitler) untuk menjalankan pemerintahan Jerman yang
otoriter dan sangat kejam.

Tanpa Kepastian Hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya sehingga
akhirnya timbul keresahan. Tetapi apabila kita terlalu mengejar Kepastian Hukum, terlalu ketat
dalam menaati peraturan hukum, akibatnya akan menjadi kaku dan akan menimbulkan rasa tidak
adil. Undang-undang sering terasa kejam apabila dilaksanakan secara ketat: lex dura, sed tamen
scripta (undang-undang itu kejam, tetapi memang demikianlah bunyinya). Menurut
Mertokusumo, kalau dalam hukum yang diperhatikan hanyalah Kepastian Hukum, maka unsur-
unsur lainnya dikorbankan. Demikian pula kalau yang diperhatikan hanyalah Kemanfaatan,
maka Kepastian Hukum dan Keadilan dikorbankan, demikian seterusnya. Oleh karena itu dalam
penegakan Hukum Ling-kungan ketiga unsur tersebut yaitu Kepastian, Kemanfaatan, dan
Keadilan harus dikompromikan. Artinya ketiganya harus mendapat perhatian secara proporsional
meskipun di dalam praktek tidak selalu mudah melakukannya.

9
Berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,
pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia mempunyai asas, tujuan, dan sasaran tertentu. Pasal 3
menyatakan pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggung jawab
negara, asas keberlanjutan dan asas manfaat, bertujuan untuk mewujudkan pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia
Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Penjelasan Pasal 3 menyatakan berdasarkan asas
tanggung jawab negara, di satu sisi, negara menjamin bahwa pemanfaatan sumberdaya alam
akan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup rakyat,
baik generasi masa kini maupun generasi masa depan. Sementara di sisi lain, negara mencegah
dilakukannya kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam dalam wilayah yuridiksinya yang
menimbulkan kerugian terhadap wilayah yuridiksi negara lain, serta melindungi negara terhadap
dampak kegiatan di luar wilayah negara. Asas keberlanjutan mengandung makna setiap orang
memikul kewajiban dan tanggung jawabnya terhadap generasi mendatang, dan terhadap
sesamanya dalam satu generasi. Untuk terlaksananya kewajiban dan tanggung jawab tersebut,
maka kemampuan lingkungan hidup harus dilestarikan. Terlestarikannya kemampuan
lingkungan hidup menjadi tumpuan terlanjutkannya pembangunan.

Sasaran pengelolaan lingkungan hidup menurut Pasal 4 UU Nomor 23 Tahun 1997,


adalah : (a) tercapainya keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara manusia dan
lingkungan hidup, (b) terwujudnya manusia Indonesia sebagai insan lingkungan hidup yang
memiliki sikap dan tindak melindungi dan membina lingkungan hidup, (c) terjaminnya
kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan, (d) tercapainya kelestarian fungsi
lingkungan hidup, (e) terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana, (f)
terlindunginya NKRI terhadap dampak usaha dan/atau kegiatan di luar wilayah negara yang
menyebabkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

Menurut Prof. Koesnadi Hardjasoemantri, ada pendapat keliru yang mengatakan bahwa
penegakan hukum hanyalah melalui proses di pengadilan. Ada pula pendapat keliru, seolah-olah
penegakan hukum adalah semata-mata tanggung jawab aparat penegak hukum. Padahal,
sesungguhnya, penegakan hukum adalah kewajiban dari seluruh anggota masyarakat sehingga
untuk itu pemahaman tentang hak dan kewajiban menjadi syarat mutlak. Salah satu upaya untuk
mengatasi hal tersebut, antara lain, dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui
pendidikan, pelatihan singkat bagi aparat penegak hukum dan aparatur pemerintah yang akan
melaksanakan undang-undang. Dalam hal penanganan kasus-kasus pencemaran lingkungan di
lapangan, ditentukan pula kasus-kasus prioritas yang dapat diselesaikan secara hukum, dan
pengembangan sistem penegakan hukumnya.

10
Dalam penegakan hukum, khususnya yang berhubungan dengan lingkungan hidup,
diperlukan pendekatan interdisipliner dan multidisipliner sehingga diperlukan pema-
haman berbagai disiplin ilmu lain yang terkait. Penegakan hukum dilaksanakan melalui berbagai
jalur dengan berbagai sanksi, seperti sanksi administratif, sanksi perdata, dan sanksi pidana.
Dalam kasus pencemaran lingkungan, jalur pertama penegakan hukum
seharusnya adalah jalur administratif dengan sanksi administratif : (1) pemberian teguran keras,
(2) pembayaran uang paksa, (3) penangguhan ijin, (4) pencabutan ijin.

Faktor pengawasan dan penegakan hukum yang konsekuen sangat banyak artinya dalam
usaha mempertahankan konservasi lingkungan. Benturan, dampak, dan interaksi yang berlebihan
pada lingkungan dapat dicegah melalui sistem pengawasan dan penegakan hukum. Tetapi
sebaliknya, faktor kontrol yang lemah dan sistem enforcement yang tidak tegas dapat menjadi
peluang besar bagi masyarakat untuk menggunakan lingkungan sekehendaknya. Misalnya,
intensitas keparahan ekosistem hutan yang kita rasakan saat ini banyak disumbang oleh
kurangnya pengawasan aparat berwenang terhadap para pemegang HPH. Begitu pula terhadap
cara-cara kerja para peladang berpindah yang masalahnya kian pelik ditanggulangi karena
kurangnya kontrol dari Departemen Pertanian atau Departemen Kehutanan.

B. PEMANFAATAN HUKUM LINGKUNGAN SEBAGAI ALAT


REKAYASA SOSIAL
Perubahan masyarakat dapat terjadi secara bertahap (evolusi) maupun secara mendadak
(revolusi). Sepanjang sejarah, perubahan sosial secara revolusioner umumnya dilakukan melalui
politik kekerasan yang penuh dengan tetesan darah dan air mata sehingga berpotensi
menimbulkan balas dendam. Pada masa kini perubahan sosial dengan cara kekerasan mulai
banyak ditinggalkan dan diganti dengan perubahan sosial secara damai yang dipandu oleh
Hukum dan Kebijaksanaan. UUD 1945 Pasal 1 Ayat (3) jelas-jelas menyatakan bahwa Negara
Indonesia adalah Negara Hukum. Amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali dalam waktu
sangat singkat (1999-2002) adalah satu contoh keberhasilan penggunaan Hukum dan
Kebijaksanaan sebagai alat rekayasa sosial atau sebagai alat pemandu perubahan sosial di
Indonesia.

Keberanian MPR era Reformasi mengamandemen UUD 1945 sebanyak empat kali dapat
digolongkan sebagai “Revolusi Konstitusional”. Sejak saat itu kehidupan bangsa kita mengalami
revolusi dalam berbagai bidang, akibat adanya : (a) pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil
Presiden maksimal dua periode, (b) pemilihan langsung Presiden, Wakil Presiden, DPD, DPR,
DPRD, dan Kepala Daerah (c) pengakuan terhadap Hak Asasi Manusia, (e) lembaga baru
Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Pemilihan Umum, (f) pemisahan TNI
dengan Polri, dan lain-lain.

11
Amandemen UUD 1945 di era Reformasi juga memicu munculnya banyak aturan hukum
baru yang mencoba mengisi kekosongan hukum serta menjawab segala permasalahan yang
banyak muncul selama masa Reformasi. Peraturan baru tersebut dalam prakteknya kurang
diimbangi faktor penegakan hukum. Penegakan hukum di Indonesia sangat lemah akibat masih
kuatnya budaya hukum Orde Baru yang bernuansa KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme).
Lembaga penegak hukum yang lama (Kepolisian, Kejaksaan, dan Kehakiman) masih banyak
yang tercemar KKN, sehingga hukum hanya dijadikan sebagai alat mencari keuntungan pribadi
semata.

Berdasarkan contoh keberhasilan Amandemen UUD 1945, maka pemanfaatan Hukum


Lingkungan sebagai alat rekayasa sosial untuk mendukung upaya Pembangunan Berkelanjutan
dan Pelestarian Lingkungan Hidup menjadi sangat mungkin untuk diterapkan, asalkan ada
komitmen kuat dari elit kekuasaan (eksekutif, legislatif, yudikatif) dan aparat penegak hukum
untuk selalu bertindak sesuai koridor hukum dan selalu berupaya untuk memperbaharui dan
menyempurnakan hukum mengikuti perkembangan masyarakat. Pemanfaatan Hukum
Lingkungan sebagai alat rekayasa sosial juga bertujuan untuk mewujudkan Keadilan,
Kemanfaatan dan Kepastian Hukum.

Menurut Prof. Satjipto Rahardjo, pemikiran hukum perlu kembali pada filosofi dasarnya,
yaitu “Hukum untuk Manusia”. Dengan filosofi tersebut, maka manusia menjadi penentu dan
titik orientasi hukum. Hukum bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena itu,
hukum bukan institusi yang lepas dari kepentingan manusia. Mutu hukum ditentukan oleh
kemampuannya untuk mengabdi pada kesejahteraan manusia. Ini menyebabkan Hukum
Progresif menganut ideologi : “Hukum yang Pro-Keadilan dan Hukum yang Pro-Rakyat”.
Dengan ideologi ini, dedikasi para pelaku hukum mendapat tempat yang utama untuk melakukan
pemulihan. Para pelaku hukum dituntut mengedepankan kejujuran dan ketulusan dalam
penegakan hukum. Mereka harus memiliki empati dan kepedulian pada penderitaan yang dialami
rakyat dan bangsa ini. Kepentingan rakyat (kesejahteraan dan kebahagiaannya) harus menjadi
titik orientasi dan tujuan akhir penyelenggaraan hukum. Pendapat ini semakin mempertegas
kaitan antara Hukum Progresif dan pemanfatan Hukum sebagai alat rekayasa sosial dengan
bidang studi tentang manusia, masyarakat dan budayanya.

Hukum Progresif bersifat emansipatoris (membebaskan). Hukum Progresif juga dekat


dengan paham social engineering (rekayasa sosial) dari Roscoe Pound (ahli hukum Amerika
Serikat, pelopor Pragmatisme Hukum). Paham ini menggunakan “Hukum sebagai Alat Rekayasa
Sosial” dengan mewajibkan semua pelaku hukum menemukan cara-cara yang dinilai paling baik
untuk memajukan dan mengarahkan masyarakat. Hukum dianggap memiliki potensi besar untuk
melakukan perubahan sosial secara terencana, sebab selain memiliki legalitas formal, hukum
juga mempunyai kewenangan pemaksa yang dalam bekerjanya didukung aktivitas birokrasi.
Pendapat Prof. Satjipto Rahardjo tentang Hukum Progresif yang bersifat emansipatoris atau
membebaskan dapat diartikan bahwa pemanfaatan Hukum harus selalu diarahkan untuk
memerdekakan manusia dari belenggu penjajahan dan ketidakadilan di segala bidang kehidupan.

12
Hukum tidak boleh digunakan sebagai alat kekuasaan untuk menghalangi kemajuan individu dan
masyarakat sebagaimana dipraktekkan di negara otoriter. Di samping itu, Hukum juga tidak
boleh digunakan untuk mendukung kepentingan individu secara berlebihan sehingga merugikan
kepentingan masyarakat.

Pemanfaatan Hukum (termasuk Hukum Lingkungan) sebagai alat rekayasa sosial selalu
membutuhkan pembaharuan dan penyempurnaan hukum secara berkesinambungan, agar aturan
hukum yang ada dapat selalu menjawab setiap permasalahan yang muncul di masyarakat. Proses
pembaharuan hukum itu dalam prakteknya memang tidak mudah dilakukan karena harus
melibatkan lembaga politik (Parlemen) yang anggotanya berasal dari partai-partai politik yang
memiliki berbagai macam kepentingan. Pada masa Reformasi saat ini, lembaga eksekutif
(Pemerintah) tidak lagi dapat seenaknya sendiri membuat peraturan tanpa melibatkan wakil
rakyat di Parlemen. Dalam mengatasi kelambanan ini, maka Teori Hukum Progresif memberi
jalan keluar melalui pemanfaatan Diskresi yang bertanggung jawab dalam upaya penegakan
hukum. Dengan kata lain, pemanfaatan Hukum sebagai alat rekayasa sosial senantiasa beriringan
dengan pemanfaatan Diskresi sebagai alat penegakan hukum.

C. PEMANFAATAN DISKRESI DALAM PENEGAKAN HUKUM


LINGKUNGAN
Diskresi (discretion) dapat diartikan sebagai pertimbangan, kemerdekaan bertindak, atau
kebijaksanaan. Jika dikaitkan dengan penegakan hukum, maka Diskresi dapat diartikan sebagai
pemberian “kebebasan yang bertanggung jawab” kepada setiap aparat penegak hukum (polisi,
jaksa, hakim) untuk menafsirkan hukum dan melaksanakan hukum secara tepat sesuai dengan
konteks peristiwa dan konteks sosial-budaya masyarakat. Tanpa Diskresi atau tanpa kebebasan
yang bertanggung jawab, maka aparat penegak hukum tidak akan mampu mewujudkan asas-asas
hukum yaitu Keadilan, Kemanfaatan, dan Kepastian Hukum. Selama ini, aturan Diskresi dalam
penegakan hukum hanya ditujukan kepada aparat Kehakiman, yaitu berdasarkan UUD 1945
(Hasil Amandemen) Pasal 24 Ayat (1) yang berbunyi “Kekuasaan kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan”. Berdasarkan Pasal tersebut, para hakim diberikan kebebasan sepenuhnya dalam
membuat keputusan hukum tanpa dapat diintervensi pihak lain bahkan atasannya sendiri.
Mahkamah Agung (MA) juga tidak boleh mencampuri proses keputusan hakim, walaupun MA
tetap diberi hak untuk mengoreksi hasil putusan hakim di bawahnya melalui mekanisme Kasasi
dan Peninjauan Kembali (PK). Aturan Diskresi bagi aparat Kepolisian dan Kejaksaan belum
diatur secara tegas oleh Konstitusi dan Undang-Undang sehingga lebih banyak berbentuk
konvensi (kebiasaan/ aturan tidak tertulis).

13
Hukum Progresif juga sangat mementingkan peran Diskresi. Karena Hukum Progresif
lebih mengutamakan tujuan dan konteks daripada teks-teks aturan semata, maka soal Diskresi
menjadi sangat urgen dalam penyelenggaraan hukum. Dalam Diskresi, para penyelenggara
hukum dituntut untuk memilih dengan bijaksana bagaimana ia harus bertindak. Diskresi yang
dilakukan seorang penyelenggara hukum semata-mata atas dasar pertimbangan kegunaan dan
kefungsian tindakan itu dalam mencapai tujuan yang lebih besar demi menjaga kewibawaan
hukum itu sendiri. Pada dasarnya Diskresi ditempuh karena sarana hukum yang ada dirasakan
kurang efektif dan terbatas.

Penggunaan Diskresi dalam penegakan hukum membutuhkan sosok penegak hukum


berkesadaran tinggi yang selalu mampu bersikap positif dalam kondisi sesulit apapun. Menurut
Darmadi Darmawangsa, salah satu ciri orang sukses adalah adanya attitude atau sikap yang
positif dalam menghadapi kehidupan. Orang optimis selalu mengambil tindakan, sementara
orang pesimis lebih senang diam dan menunggu. Orang optimis selalu memberikan kontribusi
bagi orang lain dan lingkungannya, sementara orang pesimis selalu mengambil kesempatan atau
manfaat dari orang lain dan lingkungan sekitarnya. Orang optimis selalu melihat kesempatan,
sementara orang pesimis selalu melihat hambatan-hambatan. Orang optimis selalu bersikap
responsif dalam menghadapi setiap masalah, sedangkan orang pesimis selalu bersikap reaktif.

Kualitas penegakan hukum berbeda-beda, mulai dari yang sangat lembek, lembek, keras,
sampai luar biasa keras. Konon seorang pemimpin China (PM Zhu Rong Ji) berjanji akan
memesan 100 peti mati untuk para koruptor dan salah satunya untuk dirinya manakala dia
melakukan korupsi. Di masa kini penegakan hukum oleh polisi, jaksa, pengacara, dan hakim,
memerlukan kualitas progresif. Kita membutuhkan penegakan hukum dan penegak hukum yang
berkualitas beyond the call of duty yaitu yang bekerja di atas standar biasa atau di atas rata-rata.
Undang-undang hanya bicara secara abstrak dan datar, baru di tangan penegak hukum itulah
kekuatan hukum bisa diuji kemampuannya. Maka, sikap progresif sangat diperlukan.

Kualitas negara hukum tidak menjadi lebih baik dengan hanya mengutamakan unsur
perundang-undangan, tetapi harus dengan meningkatkan kualitas manusia, baik itu hakim, jaksa,
advokat, polisi, birokrat, legislator, atau rakyat biasa. Oleh karena itu, menurut Prof. Satjipto
Rahardjo kita harus lebih berkonsentrasi pada pembangunan budi pekerti manusia Indonesia
dalam rangka membangun negara hukum, atau dalam istilah beliau “santun dulu baru bernegara
hukum”. Hukum formal, menurut Prof. Satjipto Rahardjo, adalah hukumnya para profesional
hukum. Di tangan mereka hukum bisa ditekuk-tekuk untuk keperluan profesi. Itulah barangkali
yang membuat William Shakespeare begitu berang terhadap para yuris sehingga ingin
menghabisi mereka semua. Hukum hanyalah alat yang dapat digunakan untuk tujuan positif atau
negatif tergantung pada kesadaran manusia atau pelaku hukumnya, sehingga pendidikan budi
pekerti sejak usia dini harus didahulukan sebelum menempuh pendidikan hukum.

14
Negara-negara lain, termasuk negara-negara sedang berkembang, telah mendorong para
hakim untuk giat menyumbang Hukum Lingkungan melalui putusannya. Putusan hakim tersebut
akan menjadi yurisprudensi yang baik bagi dasar Hukum Lingkungan. Para hakim di Filipina,
misalnya, dalam kasus Minor Opposa (1993), memutuskan hak penegakan ekologi yang
seimbang dan sehat serta mengenai ekosistem hutan yang makin rusak akibat dibabat para
pemegang HPH, sehingga dikhawatirkan bukan hanya menghabiskan cadangan untuk
kepentingan generasi sekarang, tetapi juga bagi generasi yang akan datang. Kasus ini
berhubungan atau merujuk pada Deklarasi Rio 1992 : The Principle of Intergenerational Equity.
Contoh lain adalah kasus Shela Zia vs Wapda, yang diputuskan Mahkamah Agung Pakistan
(1994) dengan menggugat rencana pembangunan stasiun pembangkit listrik di dekat pemukiman
yang dikhawatirkan menimbulkan radiasi elektro magnetik (EMR). Bukti-bukti tentang EMR
masih diperdebatkan, tetapi hakim mengeyampingkan masalah itu dan mengatakan bahwa
tiadanya bukti ilmiah yang pasti bukan alasan untuk mencegah efek radiasi. Putusan ini begitu
penting karena bisa meneguhkan prinsip pencegahan dini (Precautionary Principle) sebagaimana
ditetapkan dalam Deklarasi Rio. Pelaksanaan perundang-undangan di Indonesia, juga tampak
lemah dan tidak konsekuen. Sebagai contoh, UU Kehutanan (UU Nomor 41/ 1999) jelas-jelas
melarang kegiatan tambang di kawasan hutan, khususnya penambangan terbuka di kawasan
hutan lindung. Namun nyatanya pemerintah tetap memberikan izin penambangan di kawasan
hutan lindung.

Penggunaan Diskresi yang bertanggung jawab oleh penegak hukum harus terus didorong
agar mereka dapat mengatasi segala macam permasalahan yang banyak muncul di masa transisi
saat ini. Penggunaan Diskresi tersebut harus diarahkan untuk mewujudkan tiga asas hukum
yaitu : Keadilan, Kemanfaatan, Kepastian. Penggunaan Diskresi tidak dapat dilepaskan dari
kemampuan aparat penegak hukum dalam melakukan penafsiran hukum secara tepat. Setiap
aparat penegak hukum harus memiliki pemahaman yang baik terhadap aturan hukum, konteks
peristiwa, dan konteks sosial-budaya yang melatarbelakangi setiap kasus, agar keputusannya
tidak bias dan benar-benar menjunjung tinggi nilai-nilai Keadilan, Kemanfaatan dan Kepastian
Hukum.

Kemampuan penafsiran hukum tidak dapat diperoleh dalam waktu singkat, bahkan harus
melalui proses pendidikan panjang sejak usia dini. Kurikulum sekolah saat ini yang hanya
mengutamakan Intellegence Quotient (IQ) atau Kecerdasan Pikiran harus disempurnakan dengan
menambahkan kurikulum yang dapat merangsang Emotional Quotient (EQ) atau Kecerdasan
Emosional, dan Spiritual Quotient (SQ) atau Kecerdasan Spiritual. Nilai-nilai Keadilan,
Kemanfaatan, dan Kepastian Hukum tidak akan dapat diwujudkan oleh penegak hukum yang
hanya ber-IQ tinggi, tetapi ber-EQ rendah dan ber-SQ rendah, sebab orang semacam ini
cenderung egois, korup, tidak berperasaan, dan hanya pandai memutarbalikkan hukum untuk
kepentingan pribadi.

15
EQ memberi kita kesadaran mengenai perasaan diri sendiri dan orang lain. EQ memberi
rasa empati, cinta, motivasi, dan kemampuan menanggapi kesedihan atau kegembiraan secara
tepat. EQ digunakan sebagai persyaratan dasar untuk menggunakan IQ secara efektif. Jika bagian
otak yang dipakai untuk “merasa” telah rusak, maka kita tidak dapat berpikir efektif. SQ adalah
landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif, bahkan SQ merupakan
kesadaran tertinggi kita.

IQ dan EQ secara terpisah atau bersama-sama, tidak cukup menjelaskan keseluruhan


kompleksitas kecerdasan manusia, kekayaan jiwa serta imajinasinya. Komputer memiliki IQ
tinggi sebab mereka mengetahui aturan dan mengikutinya tanpa salah. Banyak hewan
mempunyai EQ tinggi sebab mereka mengenali situasi yang ditempatinya dan mengetahui cara
menanggapi situasi dengan tepat. Tetapi, komputer dan hewan tidak pernah bertanya mengapa
kita memiliki aturan dan situasi, atau apakah aturan dan situasi itu bisa diubah atau diperbaiki.
Mereka hanya bisa bekerja di dalam batasan atau memainkan “permainan terbatas”. Sebaliknya,
SQ memungkinkan manusia menjadi kreatif, mampu mengubah aturan dan situasi, dan
memungkinkan kita memainkan “permainan yang tak terbatas”.

Pendidikan Berimbang, yang mengajarkan ketiga jenis kecerdasan manusia (IQ, EQ, SQ),
harus sudah dimulai sejak usia dini. Kecerdasan Pikiran (IQ) dapat dikembangkan antara lain
dengan melatih berpikir rasional-logis lewat Matematika. Pelajaran yang hanya menekankan
aspek hafalan harus dikurangi seminimal mungkin, agar otak siswa dapat mengembangkan daya
nalar yang sehat dan kreatif. Kecerdasan Emosional (EQ) dapat dikembangkan melalui praktek
nyata di lapangan, kegiatan seni budaya, dan kegiatan olahraga yang menjunjung tinggi
sportifitas. Semua pelajaran di sekolah harus dapat “dipraktekkan” secara nyata dalam kehidupan
sehari-hari, agar pelajaran tersebut tidak mudah dilupakan. EQ akan tumbuh otomatis bersamaan
dengan tumbuhnya rasa cinta siswa terhadap ilmu dan kegiatan yang ditekuninya. Kecerdasan
Spiritual atau kepekaan Hati Nurani (SQ) dapat tumbuh manakala nilai-nilai Ketuhanan
(misalnya Kasih Sayang, Kejujuran, Keadilan) benar-benar diterapkan dalam kehidupan sehari-
hari di sekolah, di masyarakat, dan di keluarga. SQ dapat ditumbuhkan lewat kegiatan yang
mendorong kecintaan siswa kepada alam sekitarnya, sehingga mereka dapat merasakan kesatuan
dengan alam semesta. Pelatihan introspeksi diri, kemandirian, dan meditasi juga dapat
menumbuhkan SQ. SQ tidak selalu identik dengan kegiatan keagamaan. Kegiatan keagamaan
yang hanya mementingkan ritual tanpa menghayati kehidupan hanya akan melahirkan manusia
fanatik yang tidak punya kepekaan sosial.

Praktek Pendidikan Berimbang belum banyak dilakukan di Indonesia, bahkan di tingkat


pendidikan tinggi. Di Fakultas Hukum yang kelak menghasilkan para penegak hukum, sebagai
contoh, mata kuliah hukum kebanyakan hanya menekankan aspek hafalan. Sangat jarang dosen
mengaitkan mata kuliahnya dengan kejadian aktual di masyarakat. Kegiatan praktek lapangan di
lembaga-lembaga hukum (Pengadilan, Kejaksaan, Kepolisian, Penjara, LBH, dan lain-lain)
mulai banyak yang ditiadakan. Mahasiswa hanya dipacu untuk segera lulus dengan IPK tinggi,
tanpa diberi kesempatan merasakan ilmu yang dipelajarinya. Dengan model pendidikan

16
semacam ini, maka wajar jika kelak para sarjana hukum hanya berpikiran egois, materialistik,
manja, senang jalan pintas, dan tidak tahan menderita. Di sisi lain, pendidikan hukum yang
hanya mengandalkan IQ juga dapat menghasilkan sarjana hukum yang kaku, tidak peka dengan
penderitaan rakyat, dan hanya pandai berpikir secara yuridis-normatif.

Niat awal mahasiswa untuk menjadi sarjana hukum, kebanyakan bukan lagi untuk
menjadi aparat hukum yang mengabdi kepada Tuhan dan Masyarakat. Mereka sudah tercemar
penyakit sosial bangsa kita yang hanya menjadikan uang dan jabatan sebagai tujuan hidup.
Gejala sikap mental materialistik ini juga melanda mahasiswa jurusan lainnya. Mereka sudah
lupa ajaran Agama dan leluhur yang menjadikan pekerjaan sebagai alat beribadah atau alat
persembahan kepada Tuhan, Masyarakat, dan Alam Semesta. Niat untuk mengejar uang dan
kedudukan itulah yang kelak membuat mereka menjadi aparat penegak hukum yang korup dan
zalim. Kita sering meremehkan niat awal, padahal niat awal itulah yang akan menentukan masa
depan kita, sebagaimana sabda Nabi Muhammad : “segala amal perbuatan tergantung dari niat-
nya”.

Mahasiswa hukum di Indonesia jarang membaca karya sastra (novel atau film) bertema
hukum. Padahal, mahasiswa hukum di Amerika Serikat diharuskan membaca karya sastra
bertema hukum atau yang lazim disebut Law through Literature. Mahasiswa diajak membaca,
memahami, dan berdiskusi tentang novel bertema hukum misalnya The Firm atau Pelican Brief.
Mahasiswa juga diajak mengikuti kasus khusus yang sedang aktual di masyarakat. Mereka
kemudian diminta membuat opini hukum yang terkait dengan kasus tersebut. Lewat pelatihan
yang terus menerus semacam itulah, kelak akan lahir penegak hukum yang benar-benar mampu
menafsirkan hukum secara tepat sesuai konteks peristiwa dan konteks sosial-budaya
masyarakatnya.

Pentingnya pendidikan budi pekerti sejak usia dini sebagai dasar pendidikan hukum, juga
disinggung oleh Prof. Satjipto Rahardjo. Perilaku disiplin, budaya antre, jujur, menghormati
teman, kesantunan, adalah pendidikan hukum par excellence. Manusia Indonesia perlu diobati
dulu dari aneka penyakit mentalitas menerabas, tidak menghargai mutu, ingin cepat berhasil
tanpa usaha, enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, dan lain-lain. Langkah teraputik
inilah yang ditransformasikan menjadi pendidikan hukum substansial, sebelum masuk ke pernak-
pernik perundang-undangan, prosedur, sistem, dan sebagainya. Pendidikan budi pekerti
sebagaimana dinyatakan oleh Prof. Satjipto Rahardjo, pada hakikatnya sama dengan Pendidikan
Berimbang. Pendidikan budi pekerti bukan sekedar pelajaran yang bersifat teoritis dan hafalan,
tetapi harus benar-benar dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari para siswa pada saat di
sekolah, di rumah, dan di masyarakat. Pendidikan budi pekerti tersebut akan lebih mudah
dipraktekkan oleh para siswa jika ada teladan yang baik dari para guru, para orang tua, dan para
pemimpin di masyarakat. Faktor keteladanan inilah yang saat ini justru mulai langka dijumpai di
Indonesia. Para siswa, melalui pemberitaan di media massa, justru banyak disuguhi contoh buruk
perilaku orang tua khususnya para pejabat negara, politisi dan aparat hukum yang bermental
korup dan suka menipu rakyat.

17
Penggunaan Diskresi oleh aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) memerlukan
hadirnya lembaga pengawas internal maupun eksternal. Pengawasan internal dilakukan oleh
atasan langsung dan atau lembaga inspektorat. Pengawasan eksternal dilakukan oleh lembaga
negara yaitu : KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaaan,
Komisi Kepolisian, BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), BPKP (Badan Pemeriksa Keuangan dan
Pembangunan), PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan), serta lembaga
legislatif (DPR, DPD, DPRD). Pengawasan eksternal oleh masyarakat dilakukan lewat lembaga
swadaya masyarakat seperti ICW (Indonesian Corruptions Watch), WALHI (Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia), Greenpeace, MTI (Masyarakat Transparansi Indonesia), YLBHI
(Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), dan lain-lain. Pengawasan eksternal juga dapat
dilakukan melalui pemberitaan media massa yang bersifat kritis, investigatif, obyektif dan
berimbang. Pengawasan terhadap penggunaan Diskresi bukanlah dimaksudkan untuk
menghilangkan “kebebasan” aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya. Pengawasan
tersebut dilakukan justru agar supaya aparat penegak hukum dapat menggunakan Diskresi secara
bebas tetapi bertanggung jawab, serta untuk mencegah kemungkinan terjadinya penyalahgunaan
Diskresi.

18
BAB IV

PENUTUB

A. KESIMPULAN
Adapun kesimpulan yang terdapat pada makalah rekayasa ide ini yaitu :
1. Hukum Lingkungan berfungsi sebagai pemandu aturan dalam upaya Pembangunan
Berkelanjutan dan Pelestarian Lingkungan Hidup. Penegakan Hukum Lingkunganyang
tepat diharapkan dapat mewujudkan Keadilan, Kemanfaatan, dan Kepastian.

2. Hukum Lingkungan dapat digunakan sebagai alat rekayasa sosial untuk mensukseskan
Pembangunan Berkelanjutan dan Pelestarian Lingkungan Hidup, asalkan diikuti
komitmen kuat elit penguasa dan penegak hukum untuk senantiasa bertindak sesuai
hukum dan terus berupaya melakukan pembaharuan dan penyempurnaan hukum.

3. Pemanfaatan Diskresi dalam penegakan Hukum Lingkungan, diperlukan untuk mengatasi


kelemahan aturan hukum. Penggunaan Diskresi oleh aparat penegak hukum harus
diawasi agar tidak diselewengkan untuk kepentingan pribadi. Pengawasan dapat
dilakukan dari dalam (internal) dan dari luar (eksternal). Penggunaan Diskresi harus
diarahkan untuk mewujudkan Keadilan, Kemanfaatan, dan Kepastian Hukum.

B. SARAN
Adapun saran yang ingin disampaikan penulis pada rekayasa ide ini yaitu :
1. Pemerintah dan DPR, dalam melakukan pembaharuan dan penyempurnaan hukum, harus
selalu melibatkan unsur masyarakat agar hukum yang dihasilkan benar-benar dapat
menjunjung tinggi keadilan dan berpihak kepada kepentingan rakyat banyak.

2. Penggunaan Diskresi bagi aparat Kepolisian dan Kejaksaan harus diatur oleh UU
sebagaimana aturan diskresi bagi Hakim yang telah diatur UUD 1945 Pasal 24 (1).
Pengaturan yang jelas lewat UU akan dapat mencegah penyelewengan Diskresi.

3. Pendidikan Berimbang dan pendidikan budi pekerti sejak usia dini diperlukan untuk
menghasilkan aparat penegak hukum yang berkesadaran tinggi dan mampu menafsirkan
hukum sesuai konteks peristiwa dan kondisi sosial-budaya masyarakat.

19
DAFTAR PUSTAKA

Referensi Buku :

Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, dan Markus Y. Hage, 2006, Teori Hukum : Strategi
Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Penerbit : CV. Kita, Surabaya.

Danah Zohar, dan Ian Marshall, 2001, SQ : Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dan Berpikir
Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan, Mizan, Bandung.

Darmadi Darmawangsa, dan Imam Munadhi, 2008, Fight Like A Tiger, Win Like A Champion,
Cetakan ke-10, Penerbit PT. Elex Media Komputindo, Jakarta.

Koesnadi Hardjasoemantri, 2002, Hukum Tata Lingkungan, Edisi Ketujuh, Cetakan ke-17,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Mr. Soetiksno, 2004, Filsafat Hukum, Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta.

N. H. T. Siahaan, 2004, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, Edisi Kedua, Penerbit :
Erlangga, Jakarta.

RM. Gatot P. Soemartono, 1996, Hukum Lingkungan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.

20
Referensi Artikel :

Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Hasil Amandemen).

Undang Undang RI Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Undang Undang RI Nomor 19 Tahun 2004 Tentang Kehutanan.

Prof. Satjipto Rahardjo, 2007, Santun Dulu, Baru Bernegara Hukum, Artikel di Koran Kompas,
17-4-2007.

Prof. Satjipto Rahardjo, 2007, Hukum dan Totalitas Kehidupan, Artikel di Koran Kompas,
Jumat, 11-5-2007.

Prof. Satjipto Rahardjo, 2007, Hukum Progresif di Jaman Edan, Artikel di Koran Kompas,
Rabu, 27-6-2007.

Prof. Satjipto Rahardjo, 2008, Wajah Hukum Indonesia, Artikel di Koran Kompas, Senin, 28-7-
2008.

Makmur Widodo (Dubes RI di PBB), 2001, KTT Dunia Pembangunan Berkelanjutan 2002
Peluang dan Tantangan Bagi Indonesia Baru, makalah dalam rangka sosialisasi
persiapan World Summit on Sustainable Development, 8 September 2001, diakses
dari www.indonesiamission-ny.org, tanggal 11-07-2008.

Prof. Satjipto Rahardjo, 2004, Demokrasi Butuh Dukungan Hukum Progresif, Artikel di Koran
Kompas, Selasa, 22-6-2004; diakses dari www.kompas.com tgl 25-7-2008.

21

Anda mungkin juga menyukai