Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

TEORI SOCIAL ACTION DAN PENEGAKAN HUKUM TINDAK


PIDANA TERHADAP KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI
INDONESIA
Diajukan dalam rangka memenuhi tugas UTS mata kuliah sosiologi hukum

DISUSUN OLEH:
ANHAR SAPUTRA/2103020123

Dosen pengampu: Risman Setiawan, S.H.,M.H

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALOPO
2022/2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat ALLAH SWT, yang atas rahmat dan karunianya
penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya,Adapun tema dari makalah ini
adalah “Teori Social Action Dan Penegakan Tindak Pidana Terhadap Kebakaran Hutan Dan
Lahan Di Indonesia” Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar
besarnya kepada dosen mata kuliah Sosiologi Hukum yang telah memberikan tugas Makalah
ini sebagai pengganti UTS dan penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak yang turut
membantu dalam pembuatan makalah ini yang masih jauh dari sempurna,dan ini merupakan
langkah yang baik dari studi yang sesungguhnya,oleh karena itu keterbatasan waktu dan
kemampuan penulis,maka kritik dan saran yang membangun senantiasa saya harapkan semoga
makalah ini dapat berguna bagi saya pada khususnya dan pihak lain yang berkepentingan pada
umumnya

Palopo, November 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... ii


DAFTAR ISI...................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. iv
A. LATAR BELAKANG ............................................................................................ iv
B. RUMUSAN MASALAH ........................................................................................ iv
C. TUJUAN PENULISAN .......................................................................................... iv
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................... 1
1. Apa itu penegakan hukum ...................................................................................... 1
2. Tindak pidana.......................................................................................................... 1
3. Lingkungan hidup ................................................................................................... 1
4. Hutan menurut UUD NO 41 TAHUN 1999 ........................................................... 1
5. penegakan hukum terhadap pembakaran menurut hukum di Indonesia? .............. 1
6. Teori social action ................................................................................................... 2

BAB III PENUTUP ....................................................................................... 6


A. KESIMPULAN ..................................................................................................... 6
B. SARAN & SOLUSI ............................................................................................... 6

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 7

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pengalihfungsian lahan dengan menggunakan pola pembakaran di Indonesia
sebenarnya telah berlangsung sejak lama. Namun mulai menjadi perhatian sejak
masifnya alih fungsi lahan yang terjadi hampir di seluruh Indonesia pada tahun 1996
yang menyebabkan kabut asap di beberapa daerah. Indonesia sendiri sebenarnya telah
memiliki aturan terkait tata cara pengelolaan hutan seperti UndangUndang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 Tentang
Perkebunan, atau Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun ironinya, pengalihfungsian lahan
menggunakan pola pembakaran hingga menyebabkan pencemaran udara berupa kabut
asap masih terus berulang bahkan hingga sekarang. Undang-undang Nomor 18 Tahun
2004 Tentang Perkebunan misalnya, melarang penggunaan pola pembakaran guna
membuka atau membersihkan lahan dengan ancaman sanksi pidana atau mengganti
kerugian sebesar 3 hingga 10 milyar rupiah. Meski undangundang tersebut masih
membuka peluang boleh melakukan pembakaran dengan syarat harus memperhatikan
kearifan lokal.

A. RUMUSAN MASALAH
Apa itu penegakan hukum,tindak pidana,lingkungan hidup,UU No 41 Tahun
1999,upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana pembakaran hutan guna
pembukaan lahan menurut hukum di Indonesia,pembakaran hutan yang sering terjadi
dan kaitannya dengan teori social action.

B. TUJUAN PENULISAN
Makalah ini dibuat bertujuan sebagai pemenuhan tugas UTS mata kuliah
sosiologi hukum,sekaligus mengkaji mengenai masalah yang terjadi dalam lingkungan
sosial yang berdampak pada kerusakan alam sekaligus dengan memberikan solusi.

iv
BAB II
PEMBAHASAN
1. Apa itu penegakan hukum
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau
berfungsi norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu-
lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat dan
bernegara.Penegakan hukum adalah suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide tentang
keadilan kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan

2. Tindak pidana
Tindak pidana sebagai suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan
hukuman pidana dan pelaku itu dapat dikatakan merupakan subjek tindak pidana

Unsur-unsur tindak pidana:


Menurut S, R.Siantury, secara ringkas unsur-unsur tindak pidana, yaitu
1. Adanya subjek
2. Adanya unsue kesalahan
3. Perbuatan sifat melawan hukum
4. Suatu Tindakan yang dilarang atau di haruskan oleh uu atau perundangan dan
terhadap yang melarangnya di ancam pidana
5. Dalam suatu waktu tempat dan keadaan tertentu

3. Lingkungan hidup
Lingkungan hidup menurut uu Nomor 32 tahun2009 adalah kesatuan ruang
dengan semua benda daya keadaan dan mahluk hidup termasuk manusia dan
perilakunya yang mempengaruhu alam itu sendiri,kelangsungan perikehidupan dan
kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lain.

4. Hutan menurut UUD NO 41 TAHUN 1999


Hutan menurut UU no 41 tahun 1999, merumuskan pengertian hitan adalah
suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati
yang di dominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkunnya, yang satu dengan
yang lainnya tidak dapat dipisahkan,Kawasan hutan yaitu wilayah tertentu yang di
tunjuk dan atau di tetapkan oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaannya
sebagai hutan tetap

5. Bagaimana upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana pembakaran


hutan guna pembukaan lahan menurut hukum di Indonesia?
Pembakaran hutan dan lahan merupakan suatu perbuatan merusak lingkungan
hidup dengan membakar hutan maupun lahan yang dilakukan secara sengaja oleh
orang ataupun korporasi sehingga termasuk kedalam tindak pidana kingkungan
hidup.Untuk itu sangat diperlukan adanya peraturan perundang-undangan yang
berisi aturan-aturan terkait perbuatan pidana pembakaran hutan dan lahan ini,
peraturan perundang-undangan memiliki peran untuk mengatur mencegah serta
menanggulangi akibat pembakaran tersebut.

1
Pembakaran hutan dan tersebut diatur dalam beberapa peraturan perundang-
undangan yaitu kitab KUHP, UU No 32 Tahun 2009 mengenai perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidu, UU No 41 tahun 1999 mengenai kehutanan dan UU
No 39 tahun 2014 mengenai perkebunan.
Pada KUHP, tindak pidana pembakaran hutan dan lahan ini di atur pada pasal 187
KUHP yang menjelaskan bahwa, barangsiapa dengan sengaja menimbulkan
kebakaran ledakan atau banjir maka akan diancam dengan pidana paling lama 12
tahun 15 tahun hingga penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling
lama 20 tahun dimana masa hukuman tersebut berbeda-beda tergantuk dari akibat
yang akan terjadi dari perbuatan pidna yang dilakukan

6. Teori social action


Social action(aksi sosial) ini adalah perilaku yang dilakukan oleh individu
dengan pertimbangan interpretative atas situasi, intraksi, dan hubungan sosial
dikaitkan dengan preferensi nilai kepada sesuatu, kepercayaan kepada sesuatu,
minat pada sesuatu, emosi, kekuasaan, otoritas,kultur, kesepakatan, ide kebiasaan
atau lainnya yang di miliki oleh individu atau kelompok, hal ini tentu berasal dari
pengaruh seseorang di luar diri atau juga melibatkan diri sendiri sebagai actor untuk
mempengaruhi seseorang.
Tanggapan yang diberikannya ditentukan oleh sifat dasar stimulus yang
dating dari luar dirinya, fakta sosial juga melihat tindakan individu sebagai
ditentukan oleh norma-norma, nilai-nilai serta struktur sosial makroskopik dan
pranata-pranata yang mempengaruhi atau mengendalikan tingkah laku individu
menurut(George ritzer,1968:72).
Pranata sosial memang berperan terhadap tindak atau aksi sosial, hal ini jelas
karena pranata sosial memiliki cirisebagai adat-istiadat, tata kelakuan, kebiasaan,
serta unsur-unsur kebudayaan yang mana jelas hal ini bagaikan mengikat kepada
individu sesuai dengan dirinya juga mencakup dasar syarat bertindak yang
mengikat, tingkat kekekalan tentu dalam hal kepercayaan dan lainnya mempunyai
tujuan sama, memiliki sarana atau alat-alat yang sama, dan lainnya(elly m. setiadi
& usman kolip : 300-302).

Jika dikaitkan dengan teori social action, mengapa individua tau sekelompok
orang melakukan tindak pidana pembakaran hutan dan lahan?
Jika dikaitkan dengan teori social action, mengapa individua tau
sekelompok orang melakukan tindak pidana pembakaran hutan dan lahan karena
ada hubungan sosial yang dikaitkan dengan preferensi minat kepada sesuatu dan
kesepakatan, factor yang mempengaruhi terjadinya kebakaran hutan itu
banyak,salah-satunya yaitu pembukaan lahan yang dilakukan masyarakat petani,
hal ini dikarenakan kurangya kesadaran masyarakat terhadap lingkungan.

Regulasi Nilai-nilai Pelestarian Lingkungan


White (2008) menyebutkan apa yang menjadi hal yang mengemuka dalam
masyarakat adalah cerminan dari klaim akan kepastian yang dimasukkan dalam

2
wilayah publik dan menguntungkan kekuasaan. Secara mendasar, klaim dan
dukungan tersebut memerlukan informasi dan bukti. Ini melibatkan penemuan dan
penamaan permasalahan dan konstruksi bukti dari pembuktian khusus (White,
2008: 36). Penanaman nilai moral akan pentingnya pelestarian lingkungan
dipercaya dapat mempengaruhi cara pandang dan pengambilan keputusan
seseorang (Simpson, and Piquero, 2002; 537). Simpson dan Piquero (2002) menguji
teori Gottfredson dan Hirschi (1990) dalam kaitan kemungkinan seseorang
melakukan kejahatan atau menjadi penjahat, termasuk pada pelaku kejahatan
lingkungan (baik individu maupun korporasi). Mereka melihat bahwa ada banyak
hal yang dapat mempengaruhi keputusan yang diambil oleh seseorang, dan salah
satunya adalah pada hasil dari penanaman nilai-nilai yang dapat ataupun tidak dapat
diterima oleh sosial. Sejauh mana nilai-nilai sosial tertanam dalam diri seseorang.
Penanaman nilai-nilai ini penting karena individu memiliki ketertarikannya dan
pemahamannya sendiri (seperti persepsi terhadap sanksi, resiko, atau keyakinan
moral), dimana kemudian individu tersebut akan tergabungkan dalam organisasi
formal yang memiliki nilai-nilai institusionalnya sendiri, keyakinan, norma, dan
tujuan umum. Organisasi juga menjadi subjek kendala eksternal dan internal dan
tekanan yang menuntut respon dari anggota kelompok. Sehingga mereka
menyimpulkan bahwa keputusan yang diambil pelaku adalah rasional dan bukanlah
suatu yang spontan (Simpson, and Piquero, 2002; 538). Termasuk dalam hal
pelestarian lingkungan, perlu diupayakan internalisasi nilai-nilai pelestarian
lingkungan. Berbeda dengan kesan nilai yang dimunculkan oleh korporasi. Nilai-
nilai efektiftas dan efesiensi guna menekan biaya produksi dan memperoleh profit
atau keuntungan sebesar-besarnya seakan telah menjadi nilai utama dari semua
korporasi profit (atau berorientasi laba). Lingkungan hanya dipandang sebagai
bagian dari faktor produksi yang juga harus diolah semaksimal mungkin, dengan
biaya semurah mungkin. Sehingga terdapat jarak antara masyarakat sekitar dengan
korporasi, dimana nilai-nilai keberlangsungan dan kelestarian alam menjadi
terkesampingkan. Disadari, keberhasilan pendekatan ini tidak dapat dilakukan
secara instan, memerlukan waktu yang relatif lama, mungkin dalam hitungan
generasi. Oleh karena itu, diperlukan sosialisasi nilai-nilai pelestarian lingkungan
tersebut sedini mungkin.

Sosialisasi Pelestarian Lingkungan


Pemerintah memiliki kepentingan untuk mensosialisasikan kebijakan atau
peraturan yang mereka hasilkan, karena ini terkait dengan bagaimana kebijakan
atau aturan tersebut dilaksanakan. Sosialisasi diartikan sebagai proses sosialisasi
norma atau nilai-nilai yang ada (Alderson, 2001: 415). Hasil dari sosialisasi tidak
serta merta terlihat setelah prosesnya dilakukan, tetapi dapat saja muncul ketika
mereka yang disosialisasikan menghadapi situasi yang sesuai dengan nilai-nilai
yang disosialisasikan (Welch, 1980: 233). Jadi tidak ada kriteria waktu efektifnya
suatu sosialisasi. Sosialisasi atau redukasi terutama yang dilakukan oleh pemerintah
berisi prinsip-prinsip secara eksplisit, normanorma, aturan-aturan, dan prosedur
PENGENDALIAN SOSIAL PADA KEJAHATAN LINGKUNGAN (STUDI
KASUS PEMBAKARAN LAHAN OLEH KORPORASI) Fakhri Usmita Regulasi

3
Nilai-nilai Pelestarian Lingkungan White (2008) menyebutkan apa yang menjadi
hal yang mengemuka dalam masyarakat adalah cerminan dari klaim akan kepastian
yang dimasukkan dalam wilayah publik dan menguntungkan kekuasaan. Secara
mendasar, klaim dan dukungan tersebut memerlukan informasi dan bukti. Ini
melibatkan penemuan dan penamaan permasalahan dan konstruksi bukti dari
pembuktian khusus (White, 2008: 36). Penanaman nilai moral akan pentingnya
pelestarian lingkungan dipercaya dapat mempengaruhi cara pandang dan
pengambilan keputusan seseorang (Simpson, and Piquero, 2002; 537). Simpson dan
Piquero (2002) menguji teori Gottfredson dan Hirschi (1990) dalam kaitan
kemungkinan seseorang melakukan kejahatan atau menjadi penjahat, termasuk
pada pelaku kejahatan lingkungan (baik individu maupun korporasi). Mereka
melihat bahwa ada banyak hal yang dapat mempengaruhi keputusan yang diambil
oleh seseorang, dan salah satunya adalah pada hasil dari penanaman nilai-nilai yang
dapat ataupun tidak dapat diterima oleh sosial. Sejauh mana nilai-nilai sosial
tertanam dalam diri seseorang. Penanaman nilai-nilai ini penting karena individu
memiliki ketertarikannya dan pemahamannya sendiri (seperti persepsi terhadap
sanksi, resiko, atau keyakinan moral), dimana kemudian individu tersebut akan
tergabungkan dalam organisasi formal yang memiliki nilai-nilai institusionalnya
sendiri, keyakinan, norma, dan tujuan umum. Organisasi juga menjadi subjek
kendala eksternal dan internal dan tekanan yang menuntut respon dari anggota
kelompok. Sehingga mereka menyimpulkan bahwa keputusan yang diambil pelaku
adalah rasional dan bukanlah suatu yang spontan (Simpson, and Piquero, 2002;
538). Termasuk dalam hal pelestarian lingkungan, perlu diupayakan internalisasi
nilai-nilai pelestarian lingkungan. Berbeda dengan kesan nilai yang dimunculkan
oleh korporasi. Nilai-nilai efektiftas dan efesiensi guna menekan biaya produksi dan
memperoleh profit atau keuntungan sebesar-besarnya seakan telah menjadi nilai
utama dari semua korporasi profit (atau berorientasi laba). Lingkungan hanya
dipandang sebagai bagian dari faktor produksi yang juga harus diolah semaksimal
mungkin, dengan biaya semurah mungkin. Sehingga terdapat jarak antara
masyarakat sekitar dengan korporasi, dimana nilai-nilai keberlangsungan dan
kelestarian alam menjadi terkesampingkan. Disadari, keberhasilan pendekatan ini
tidak dapat dilakukan secara instan, memerlukan waktu yang relatif lama, mungkin
dalam hitungan generasi. Oleh karena itu, diperlukan sosialisasi nilai-nilai
pelestarian lingkungan tersebut sedini mungkin. Sosialisasi Pelestarian Lingkungan
Pemerintah memiliki kepentingan untuk mensosialisasikan kebijakan atau
peraturan yang mereka hasilkan, karena ini terkait dengan bagaimana kebijakan
atau aturan tersebut dilaksanakan. Sosialisasi diartikan sebagai proses sosialisasi
norma atau nilai-nilai yang ada (Alderson, 2001: 415). Hasil dari sosialisasi tidak
serta merta terlihat setelah prosesnya dilakukan, tetapi dapat saja muncul ketika
mereka yang disosialisasikan menghadapi situasi yang sesuai dengan nilai-nilai
yang disosialisasikan (Welch, 1980: 233). Jadi tidak ada kriteria waktu efektifnya
suatu sosialisasi. Sosialisasi atau redukasi terutama yang dilakukan oleh pemerintah
berisi prinsip-prinsip secara eksplisit, normanorma, aturan-aturan, dan prosedur
pengambilan keputusan para pelaku atau sasaran sosialisasi, dan pemerintah atau
negara memperoleh keuntungan dari sosialisasi tersebut (Alderson, 2001: 417).
Demikian pula halnya dengan sosialisasi pelestarian lingkungan. Menyadari arti

4
penting dan potensi keuntungan yang diperoleh negara dari sosialisasi yang
dilakukan, seharusnya negara atau pemerintah mengupayakan segala daya dan
upayanya untuk melakukan sosialisasi tersebut. Pemerintah melalui organorgannya
memang melakukan sosialisasi, namun masih terkesan sebatas formalitas semata,
tanpa ada upaya evaluasi yang terukur hingga sejauh mana keberhasilan sosialisasi
tersebut. Upaya sosialisasi belum dilakukan secara massif melibatkan semua pihak
yang terkait. Contoh sederhana dapat kita lihat pada sejauh mana pengenalan
pelestarian lingkungan termuat pada kurikulum pendidikan dasar misalnya.
Memang telah ada muatan-muatan pelestarian lingkungan pada pelajaran-pelajaran
tertentu, namun apakah telah diikuti dengan pembekalan secara khusus kepada
guru-guru atau tenaga pendidik tentang pelestarian lingkungan tersebut? Bila tidak
ada, berkemungkinan penyampaian materimateri tersebutpun hanya sebatas
formalitas semata. Sementara, sosialisasi sejak usia dini melalui jalur pendidikan
formal memiliki prospek keberhasilan yang cukup tinggi. Selain daya tangkap dan
daya ingat anak-anak yang masih cukup baik, generasi mereka ini pula diharap
dapat memutus mata rantai perusakan lingkungan di masa datang. Oleh karena itu,
penyiapan kurikulum pendidikan, dan kesiapan tenaga pendidik berbasis pada
pelestarian lingkungan harus direalisasikan.

5
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Hutan menurut UUD NO 41 TAHUN 1999 Hutan menurut UU no 41 tahun 1999,
merumuskan pengertian hitan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan
berisi sumber daya alam hayati yang di dominasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkunnya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan,Kawasan hutan yaitu
wilayah tertentu yang di tunjuk dan atau di tetapkan oleh pemerintah untuk di pertahankan
keberadaannya sebagai hutan tetap

Teori social action Social action(aksi sosial) ini adalah perilaku yang dilakukan oleh
individu dengan pertimbangan interpretative atas situasi, intraksi, dan hubungan sosial
dikaitkan dengan preferensi nilai kepada sesuatu, kepercayaan kepada sesuatu, minat pada
sesuatu, emosi, kekuasaan, otoritas,kultur, kesepakatan, ide kebiasaan atau lainnya yang di
miliki oleh individu atau kelompok, hal ini tentu berasal dari pengaruh seseorang di luar
diri atau juga melibatkan diri sendiri sebagai actor untuk mempengaruhi seseorang.

Sosialisasi atau redukasi terutama yang dilakukan oleh pemerintah berisi prinsip-prinsip
secara eksplisit, normanorma, aturan-aturan, dan prosedur “PENGENDALIAN SOSIAL
PADA KEJAHATAN LINGKUNGAN (STUDI KASUS PEMBAKARAN LAHAN OLEH
KORPORAS”) Fakhri Usmita Regulasi Nilai-nilai Pelestarian Lingkungan White (2008)
menyebutkan apa yang menjadi hal yang mengemuka dalam masyarakat adalah cerminan
dari klaim akan kepastian yang dimasukkan dalam wilayah publik dan menguntungkan
kekuasaan.

B. SARAN ATAU SOLUSI


yaitu pembuatan teknologi yang sifatnya bisa dipakai untuk tahan
organik, sisa-sisa kebakaran seperti tunggak kyu, teknologi itu juga harus bisa
digunakan untuk membuat bahan yang bermanfaat dan memiliki nilai jual,jika
itu bisa dimanfaatkan menurut saya pembakaran yang biasa dilakukan akan
berkurang, tapi itu juga harus didukung dengan system pemasaran yang baik,
lebih-lebih bisa sampai pada tahap expor.

6
DAFTAR PUSTAKA

➢ JURNAL ANALISIS SOSIAL POLITIK


VOLUME 2 , NO 2, DESEMBER 2018
➢ PENGENDALIAN SOSIAL PADA KEJAHATAN LINGKUNGAN (STUDI
KASUS PEMBAKARAN LAHAN OLEH KORPORASI) Fakhri Usmita
➢ JURNAL ANALISIS SOSIAL POLITIK
➢ VOLUME 2 , NO 2, DESEMBER 2018
➢ UUD NO 41 TAHUN 1999
➢ UU NOMOR 32 TAHUN 2009

Anda mungkin juga menyukai