Anda di halaman 1dari 30

PENEGAKAN HUKUM DAN PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN

Makalah
Untuk memenuhi Ujian Tengah Semester mata kuliah Hukum dan Kebijakan
Lingkungan yang diampu oleh Dr. Ir. Jacob Manusawai

Disusun oleh :

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PAPUA
OKTOBER
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-
Nya sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa penulis juga
mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi
dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya. Besar harapan
penulis semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para
pembaca, Untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi
makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman, penulis yakin masih
banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan
saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Manokwari, 24 November 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI
halaman
HALAMAN JUDUL................................................................................................i
KATA PENGANTAR..............................................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................1
1.1 Latar Belakang.....................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................................2
1.3 Tujuan..................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................4
2.1 Penegakan Hukum Secara Umum........................................................................4
2.2 Aspek Penegakan Hukum Lingkungan................................................................5
2.3 Alat – Alat Bukti Tindak Pidana Lingkungan......................................................6
2.4 Penyelesaian Sengketa Lingkungan.....................................................................8
BAB III PENUTUP..................................................................................................26
3.1 Kesimpulan..........................................................................................................26
3.2 Saran.....................................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................27

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Upaya dalam menyelesaikan permasalahan lingkungan hidup yang terjadi di Indonesia
adalah dengan menjamin adanya kepastian hukum dalam penegakan hukumnya. Penegakan
hukum lingkungan hidup adalah upaya untuk mencapai ketaatan terhadap peraturan dan
persyaratan dalam ketentuan hukum yang berlaku secara umum dan individual, melalui
pengawasan dan penerapan secara administrasi, keperdataan,dan kepidanaan. Pengaturan
kebijakan pemerintah dalam menegakan hukum lingkungan diaktualisasikan dengan
diundangkannya pertama kali peraturan yang mengatur tentang lingkungan hidup, yaitu
Undang-Undang Nomor 4Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup(UUKPPLH), yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor23
Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup(UUPLH), yang selanjutnya diganti
dengan Undang-Undang Nomor32Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UUPPLH).
Hukum lingkungan sebagai hukum yang mendasari penyelenggaraan perlindungan dan
tata pengelolaan serta peningkatan ketahanan lingkungan. Tujuannya adalah agar
perlindungan dan tata pengelolaan serta peningkatan ketahanan lingkungan terselenggara
secara tertib, pasti dan jika perlu dipaksakan. Fungsi hukum di sini merupakan sarana dalam
mewujudkan ketertiban masyarakat atau alat kontrol masyarak dan juga sebagai sarana dalam
menunjang keberhasilan usaha-usaha pembangunan di negara kita. Antara pembangunan dan
perlindungan lingkungan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan sebab kegiatan
pembangunan tanpa memperhatikan ·lingkungan akan meng akibatkan malapetaka yang akan
merugikan pelaku pembangunan itu sendiri. Di Negara yang sedang berkembang pemerintah
mempunyai peranan penting dalam pembangunan, sehingga kontrol sosial dapat dilakukan
pemerintah melalui kekuasaannya dengan menggunakan hukum sebagai alat pengatur di
bidang lingkungan.
Hukum lingkungan juga merupakan fungsional yang mengandung aspek hukum
administrasi, hukum perdata dan hukum pidana.Penegakan hukum lingkungan hidup dapat
dilihat melalui aspek hukum perdata walaupun di khususnya di Indonesialebih sering
menggunakan aspek hukum administrasi dan aspek hukum pidana dalam penegakan hukum
lingkungan hidup. Dari aspek hukum perdata penyelesaian sengketa lingkungan dapat
dilakukan melalui 2 (dua) jalur, yakni jalur proses di luar pengadilan dan jalur proses melalui

1
pengadilan. Penegakan hukum lingkungan dapat dilihat dari 3 aspek yaitu aspek pidana,aspek
perdata danaspek administrasi.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep penegakan hukum secara umum?
2. Bagaimana aspek penegakan hukum lingkungan?
3. Apa saja alat – alat bukti tindak pidana lingkungan?
4. Bagaimana proses penyelesaian sengketa lingkungan?

1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah
sebagai berikut:
1. Mengetahui konsep penegakan hukum secara umum
2. Mengetahui aspek penegakan hukum lingkungan
3. Mengetahui alat – alat bukti tindak pidana lingkungan
4. Mengetahui proses penyelesaian sengketa lingkungan
1.

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Penegakan Hukum Secara Umum
2.1.1 Konsep Hukum
Hukum sebagai padanan kata dari istilah Jerman Recht, istilah Perancis Droit, dan
istilah Italia Diritto diartikan sebagai tata perilaku yang mengatur manusia, dan merupakan
tatanan pemaksa. Ini berarti bahwa semua tatanan itu bereaksi terhadap kejadian-kejadian
tertentu, yang dianggap sebagai sesuatu yang tidak dikehendaki karena merugikan
masyarakat. Reaksi tersebut terutama ditujukan terhadap perilaku manusia yang merugikan
ini, dengan menggunakan tindakan paksa. Pengertian ini dikemukakan oleh Hans Kelsen
(2007). Van Doorn, sosiolog hukum Belanda seperti yang dikutip Satjipto Raharjo (2007)
mengutarakan bahwa: “Hukum adalah skema yang dibuat untuk menata (perilaku) manusia,
tetapi manusia itu sendiri cenderung terjatuh diluar skema yang diperuntukkan baginya. Ini
disebabkan faktor pengalaman, pendidikan, tradisi, dan lain-lain yang mempengaruhi dan
membentuk perilakunya”.
John Austin, seorang ahli filsafat dari Inggris yang dikutip Soerjono Soekanto (2007)
mengemukakan bahwa hukum merupakan perintah dari mereka yang memegang kekuasaan
tertinggi atau dari yang memegang kedaulatan. Menurut Austin, hukum adalah yang
dibebankan untuk mengatur makhluk berpikir, perintah mana dilakukan oleh makhluk
berpikir yang memegang dan mempunyai kekuasaan. Jadi hukum didasarkan pada kekuasaan
dari penguasa. Austin beranggapan bahwa hukum yang sebenarnya yaitu hukum yang dibuat
oleh penguasa bagi pengikut-pengikutnya mengandung 4 (empat) unsur, yaitu perintah,
sanksi, kewajiban dan kedaulatan.
Pendapat Friedrich Karl Von Savigny, seorang pemuka ilmu sejarah hukum dari
Jerman mengemukakan bahwa hukum merupakan perwujudan dari kesadaran hukum
masyarakat (Volkgeist). Menurutnya semua hukum berasal dari adat istiadat dan
kepercayaan, bukan dari pembentuk undang-undang. Pendapat ini dikutip oleh Soerjono
Soekanto (2007). Pendapat Rudolph Von Ihering yang juga dikutip Soerjono Soekanto (2007)
mengemukakan bahwa hukum merupakan suatu alat bagi masyarakat untuk mencapai
tujuannya. Von Ihering menganggap hukum sebagai sarana untuk mengendalikan individu-
individu, agar tujuannya sesuai dengan tujuan masyarakat dimana mereka menjadi warganya.
Menurutnya hukum juga merupakan suatu alat yang dapat dipergunakan untuk melakukan
perubahan-perubahan sosial.

3
Hestu Cipto Handoyo (2008) mengungkapkan bahwa “hukum” bila ditinjau dari sudut
kefilsafatan adalah mempelajari sebagian dari tingkah laku manusia, yaitu tingkah laku (atau
perbuatan manusia) dalam kehidupan antar pribadi yang akibatnya diatur oleh hukum dengan
menitikberatkan pada tujuan keserasian antara ketertiban dengan kebebasan/ketenteraman
dan dalam pergaulan hidup itu tercakup pula dalam aspek pemenuhan kedamaian.

2.1.2 Konsep Penegakan Hukum


Hukum sebagai social engineering atau social planning berarti bahwa hukum sebagai
alat yang digunakan oleh agent of change atau pelopor perubahan yang diberi kepercayaan
oleh masyarakat sebagai pemimpin untuk mengubah masyarakat seperti yang dikehendaki
atau direncanakan. Hukum sebagai tatanan perilaku yang mengatur manusia dan merupakan
tatanan pemaksa, maka agar hukum dapat berfungsi efektif mengubah perilaku dan memaksa
manusia untuk melaksanakan nilai-nilai yang ada dalam kaedah hukum, maka hukum
tersebut harus disebarluaskan sehingga dapat melembaga dalam masyarakat.
Di samping pelembagaan hukum dalam masyarakat, perlu dilakukan penegakan
hukum (law enforcement) sebagai bagian dari rangkaian proses hukum yang meliputi
pembuatan hukum, penegakan hukum, peradilan serta administrasi keadilan. Satjipto Raharjo
(2000) menyampaikan pendapatnya mengenai penegakan hukum (law enforcement) adalah
pelaksanaan hukum secara konkrit dalam kehidupan masyarakat. Setelah pembuatan hukum
dilakukan, maka harus dilakukan pelaksanaan konkrit dalam kehidupan masyarakat sehari-
hari, hal tersebut merupakan penegakan hukum. Namun dalam istilah lain sering disebut
penerapan hukum, atau dalam istilah bahasa asing sering disebut rechistoepassing dan
rechtshandhaving (Belanda), law enforcement dan application (Amerika).
Penegakan hukum merupakan tugas eksekutif dalam struktur kelembagaan negara
modern, dan dilaksanakan oleh birokrasi dari eksekutif dimaksud, atau yang disebut birokrasi
penegakan hukum. Eksekutif dengan birokrasinya merupakan bagian dari mata rantai untuk
mewujudkan rencana yang tercantum dalam peraturan (hukum) sesuai dengan bidang-bidang
yang ditangani (welfare state).Penegakan hukum menurut pendapat Soerjono Soekanto
(1983) adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-
kaidah, pandangan-pandangan yang mantap dan mengejawantahkannya dalam sikap, tindak
sebagai serangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan kedamaian pergaulan
hidup. Dalam hal penegakan hukum di Indonesia khususnya dalam pemberantasan korupsi,
Satjipto Raharjo (2007) berpandangan bahwa pada umumnya kita masih terpaku cara
penegakan hukum yang konvensional, termasuk kultur.

4
Hukum yang dijalankan berwatak liberal dan memiliki kultur liberal yang hanya
menguntungkan sejumlah kecil orang (privileged few) di atas “penderitaan” banyak orang.
Untuk mengatasi ketidakseimbangan dan ketidakadilan itu, kita bisa melakukan langkah
tegas (affirmative action). Langkah tegas itu dengan menciptakan suatu kultur penegakan
hukum yang beda, sebutlah kultur kolektif. Mengubah kultur individual menjadi kolektif
dalam penegakan hukum memang bukan hal yang mudah.
Sudikno Mertokusumo (2005), mengatakan bahwa hukum berfungsi sebagai
perlindungan kepentingan manusia, sehingga hukum harus dilaksanakan secara normal,
damai, tetapi dapat terjadi pula pelanggaran hukum, sehingga hukum harus ditegakkan agar
hukum menjadi kenyataan. Dalam penegakan hukum mengandung tiga unsur, pertama
kepastian hukum (rechtssicherheit), yang berarti bagaimana hukumnya itulah yang harus
berlaku dan tidak boleh menyimpang, atau dalam pepatah meskipun dunia ini runtuh hukum
harus ditegakkan (fiat justitia et pereat mundus). Hukum harus dapat menciptakan kepastian
hukum karena hukum bertujuan untuk ketertiban masyarakat. Kedua kemanfaatan
(zweekmassigkeit), karena hukum untuk manusia maka pelaksanaan hukum atau penegakan
hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat, jangan sampai justru karena
hukumnya diterapkan menimbulkan keresahan masyarakat. Ketiga keadilan (gerechtigheit),
bahwa dalam pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus adil karena hukum bersifat
umum dan berlaku bagi setiap orang dan bersifat menyamaratakan. Tetapi hukum tidak
identik dengan keadilan karena keadilan bersifat subyektif, individualistic dan tidak
menyamaratakan.
Penegakan hukum menurut A. Hamid S. Attamimi seperti yang dikutip Siswanto
Sunarno (2008) pada hakikatnya adalah penegakan norma-norma hukum, baik yang berfungsi
suruhan (gebot, command) atau berfungsi lain seperti memberi kuasa (ermachtigen, to
empower), membolehkan (erlauben, to permit), dan menyimpangi (derogieren, to derogate).
Lebih lanjut Siswanto Sunarno mengatakan bahwa dalam suatu negara berdasarkan atas
hukum materiil atau sosial yang bertekad memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa maka penegakan hukum peraturan perundang-undangan tidak dapat
dicegah.
Andi Hamzah (2005) mengemukakan penegakan hukum disebut dalam bahasa Inggris
Law Enforcement, bahasa Belanda rechtshandhaving. Beliau mengutip Handhaving
Milieurecht, 1981, Handhaving adalah pengawasan dan penerapan (atau dengan ancaman)
penggunaan instrumen administratif, kepidanaan atau keperdataan dicapailah penataan
ketentuan hukum dan peraturan yang berlaku umum dan individual. Handhaving meliputi

5
fase law enforcement yang berarti penegakan hukum secara represif dan fase compliance
yang berarti preventif.

2.2 Aspek Penegakan Hukum Lingkungan


Ada empat aspek yang terkait dalam penegakan hukum lingkungan yang akan dibahas
dalam tulisan ini. Pertama, materi peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan.
Kedua, kesadaran hukum masyarakat untuk mematuhi peraturan perundang-undangan di
bidang lingkungan. Ketiga, peranan pemerintah selaku pelaksana undang-undang dan alat
administrasi negara dalam menegakkan hukum lingkungan. Keempat, peranan aparat
peradilan (polisi, jaksa, dan hakim) selaku aparat penegak hukum dalam menangani kasus·-
kasus lingkungan. 
Tersedianya materi peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan yang cukup
memadai, baik yang bersifat preventif maupun represif amat diperlukan untuk mencegah dan
menanggulangi kerusakan lingkungan. Setelah peraturan perundang-undangan cukup
memadai, masyarakat harus sadar untuk mematuhinya. Agar masyarakat tahu dan memahami
kegunaan peraturan perundang-undangan serta akhirnya me matuhi, maka diperlukan usaha
penerangan dan pendidikan masyarakat yang dilakukan oleh pemerintah atau pihak lain,
misalnya organisasi-organisasi sosial yang ada dalam masya rakat dengan dikoordinasikan
oleh pemerintah. Peranan lain dari pemerintah, yakni karena hukum lingkungan sebagian
besar merupakan hukum administrasi negara, maka penyele saian konflik yang terjadi dalam
masyarakat diselesaikan oleh pemerintah melalui jalur administrasi. Apabila konflik-konflik
ini tidak bisa diselesaikan secara administrasi oleh pemerin tah, maka penyelesaiannya bisa
dilakukan oleh apara't penegak hukum melalui pengadilan.

2.3 Alat – Alat Bukti Tindak Pidana Lingkungan


Tindak pidana pelangaran terhadap perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
UUPPLH menjadikan satu antara penyidikandengan pembuktian yaitu berada dalam bab
XIVdimana dalam bagian satu terkait dengan penyi-dikan yang berwenang serta wewenangya
dalammalakukan penyidikan terhadap indikasi adaya pe-langaran terhadap pelindungan dan
penggelolaanlingkungan hidup (M. Taufik Makarno, 2011, 241).Adapun terkait dengan yang
berwenang da-lam melakukan proses penyidikan, maka seba-gaimana Undang-undang
khusus seperti yanglainnya maka yang berwenang untuk melakukanproses pnyidikan adalah
penyidik pejabat polisirepublik indonesia dan pejabat pegawai negerisipil tertentu yang

6
berada di lingkungan instansipemerintahan yang lingkup tugasnya dan tang-gung jawabnya
dibidang perlindungan dan penge-lolaan lingkungan hidup.UUPPLH adalah merupakan
aturan terhadaptindak pidana khusus yang tentunya secarapenyelesaianpun berbeda dengan
tindak pidanapada umumnya khususnya dalam proses penyidi-kan sampai dengan
pembuktian. Dalam hal pem-buktian sekilas hampir sama dengan pembuktianpada umumnya
yang diatur didalam KUHAPnamun bentuk aturan khususnya dalam hal pem-buktian karena
dampak yang ditimbulkan dari tindakan pelangaran hukum terhadap perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup sangat kom-pleks serta berdampak besar terhadap kondisi so-
sial masyarakat dalam berbagai aspek.
Oleh karena itu maka menurut hemat kamibahwa pelangaran ini termasuk pelanggaran
luarbiasa, sehingga berdasarkan UUPPLH dalam pembuktianya diatur khusus dalam undang-
undangtersebut. Sebagaimana berdasarkan Pasal 96 UUPPLH dalam bagian kedua tentang
pembuktian dikatakan bahwa alat bukti yang sah dalam tuntutan tindak pidana lingkungan
hidup terdiri dari:a) keterangan saksi; b) keterangan ahli; c) surat;d) petunjuk; e) keterangan
terdakwa dan/atau; f)alat bukti lain, termasuk alat bukti yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Berdasarkan hal diatas maka secara umumberbicara terkait dengan alat-alat bukti dalam
pem-buktian hampir sama dengan atauran pada umum-nya. Namun yang mejadi perbedan
adalah bahwaada alat bukti lain diluar alat bukti pada umum-nya tersebut yang diamsukan.
Hal tersebut seba-gaimana yang ditegaskan dalam huruf Pasal 96huruf f yang memberikan
kelenturan terhadapuandang-undang untuk mengatur sehingga tidaktejadi kekosongan dalam
menyelesaikan sebuahkasus yang secara tingkatan kasusnya adalah kasuskejahatan yang luar
biasa.Berdasarkan penjelasan terkait dengan alatbukti lain, sebagaiamana yang diatur dalam
Pasal96 huruf f dijelaskan dalam penjelasan bahwa yangdimaksud dengan alat bukti lain,
yaitu meliputi;informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima,atau disimpan secara
elektronik, magnetik, optik,dan/atau yang serupa dengan itu; dan atau alatbukti data,
rekaman, atau informasi yang dapatdibaca, dilihat, dan didengar yang dapat dikeluar-kan
dengan dan/atau tapa bantuan suatu sarana,baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik
apapun selain kertas, atau yang terekam secara elek-tronik, tidakterbatas pada tulisan, suara,
atau gam-bar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, simbol, atau
perporasi yang memilikimakna atau yang dapat dipahami atau dibaca.
Dengan demikian maka perluasan alat buktidalam hukum perlindungan dan
pengelolaan ling-kungan hidup, menurut hemat penulis cukup tepatsebagai antisipasi
terhadap kekakuan hukum yangterkadang aturan yang ada yang jusru membatasipenyelesaian

7
dalam setiap kasus. Dengan semangatdalam melindungi hak asasi manusia tentunta halitu
sangat diperlukan dengan tidak membatasisebuah alat bukti tentunya menjadi sebuah terobo-
san terseniduri dalam politik sistem hukum na-sional ini.Sehinga tinggal upaya para penegak
hukumuntuk berani menyelesaikan kasus perlangaran ter-haap lingkungan atau tidak, karena
kebanyakankasus-kasus yang berdampak terhadap lingkunganitu disebabkan oleh kelompok-
kelompok elit yangmempunyai pengaruh dan akses yang baik ter-hadap birokrasi
pemerintahan karena mau tidakmau dalam proses apapun yang berhubungan de-ngan
lingkungan harus meminta izin kepada peme-rintahan yang berwenang dalam hal ini bisa
jadipemerintahan provinsi maupun pemerintaha kabu-paten atau kota. Serta karena
dampaknya yangdahsyat tersebut di imbangi dengan keuntunganyayang lumayan mengiurkan
tidak jarang adanyaindikasi keterlibatan orang birokrasi pemerintahandalam melakukan
kejahatan tersebut.
Terkaitdengan alat bukti yang dimaksud degan UUPPLHAyat 96 huruf f meliputi
segala informasi yang da-pat menjadi bukti dalam sidang pembuktian. Halitu yang menjadi
unsur pembeda dari jenis pe-langaran pada umumnya dalam hal pembuktian.Oleh sebab itu
maka secara teori dibutuhkan keter-paduan antara para aparat penegak hukum
dalammenyelesaikan kasus pelangaran lingkungan hidupini

2.4 Penyelesaian Sengketa Lingkungan


2.4.1 Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Pengadilan Berdasarkan UU
Nomor 32 Tahun 2009
Sebagian besar ketentuan-ketentuan penyelesaian sengketa lingkungan UUPPLH
mengadopsi ketentuan-ketentuan dalam UULH 1997. Peneyelesaian sengketa lingkungan
hidup dalam UUPPLH diatur dalam pasal 87 hingga pasal 93. Menurut UUPPLH
penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh secara sukarela melalui dua pilihan
mekanisme, yaitu mekanisme proses pengadilan dan mekanisme diluar pengadilan. Jika para
pihak telah bersepakat untuk memilih mekanisme diluar pengadilan, maka gugatan
keperdataan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh jika mekanisme diluat pengadilan
dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak.
Penyelesaian lingkungan hidup melalui pengadilan bermula dari adanya gugatan dari
pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain yang dianggap penyebab kerugian itu. UUPPLH
menyediakan dua bentuk tuntunan yang dapat diajukan oleh penggugat, yaitu meminta ganti
kerugian dan meminta tergugat untuk melakukan tindakan tertentu. Agat tergugat dapat
dijatuhi hukuman seperti yang dituntut oleh penggugat, maka harus ditentukan lebih dahulu,

8
bahwa tergugat bertanggung jawab atas kerugian yang timbul. Didalam ilmu hukum terdapat
dua jenis tanggung gugat, yaitu tanggung gugat berdasarkan kesalahan (liability based on
fault) dan tanggung gugat tidak berdasarkan kesalahan (liability without fault) atau yang juga
disebut strict liability.
Tanggung gugat berdasarkan kesalahan ditemukan dalam rumusan pasal 1356
KUHPerdata. Bahwa ketentuan pasal 1356 menganut tanggung gugat berdasarkan kesalahan
dapat dilihat dari unsur-unsur rumusan pasal tersebut yaitu;
a. Perbuatan tergugat harus bersifat melawan hukum
b. Pelaku harus bersalah
c. Ada kerugian
d. Ada hubungan sebab akibat antara perbutan dengan kerugian.
Penggugat yang mengajukan gugatan berdasarkan pasal 1356 BW harus
membuktikan terpenuhinnya unsur-unsur tersebut agar gugatannya dapat dikabulkan oleh
hakim. Salah satu unsure itu adalah bahwa tergugat itu bersalah. Dalam ilmu hukum
kesalahan dapat dibedakan atas dua kategori, yaitu kesengajaan dan kealpaan atau kelalaian.
Jadi, berdasarkan asas tanggung gugat berdasarkan kesalahan, adalah tugas penggugat untuk
membuktikan adanya unsur kesengajaan atau kelalaian pada diri tergugat, sehingga telah
menimbulkan kerugian pada diri penggugat.
Selain tetap menganut tanggung gugat berdasarkan keasalahan, UUPPLH juga
memberlakukan tanggung gugat tanpa kesalahan (strict liability) yaitu untuk kegiatan-
kegiatan yang “menggunakan bahan berbahaya dan beracun atau mengahasilkan dan atau
mengelola limbah bahan berbahaya dan beracun dan atau yang menimbulkan ancaman serius
terhadap lingkungan hidup “. Terdapat perbedaan penting antara rumusan tanggung gugat
mutlak berdasarkan UULH 1997 dan berdasarkan UUPPLH yaitu;
a. Membuktikan unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 1365 BW, terutama unsur
kesalahan (“schuld”) dan unsur hubungan kausal. Pasal 1365 BW mengandung asas
tanggunggugat berdasarkan kesalahan (“schuld aansprakelijkheid”), yang dapat
dipersamakan dengan “Liability based on fault” dalam sistem hukum Anglo-
Amerika. Pembuktian unsur hubungan kausal antara perbuatan pencemaran dengan
kerugian penderitaan tidak mudah. Sangat sulit bagi penderita untuk menerangkan
dan membuktikan pencemaran lingkungan secara ilmiah, sehingga tidaklah pada
tempatnya. Rumusan UUPPLH lebih tepat karena sesuai dengan konsep dalam
Anglo Saxon yaitu strict liability atau yang disebut liability witout fault.

9
b. Masalah beban pembuktian (“bewijslast” atau “burde of proof”) yang menurut Pasal
1865 BW/Pasal 163 HIR Pasal 283 R.Bg. merupakan kewajiban penggugat. Padahal,
dalam kasus pencemaran lingkungan, korban pada umumnya awam soal hukum dan
seringkali berada pada posisi ekonomi lemah, bahkan sudah berada dalam keadaan
sekarat . Jika dikaitkan dengan kasus pencemaran lingkungan hidup, maka si
penggugat harus dapat membuktikan bahwa kerugian yang dideritannya disebabkan
oleh aktivitas industri atau pabrik yang menjadi tergugat. Pembuktian hal ini sangat
sulit karena kompleksnya sifat-sifat zat kimiawi dan reaksinnya dengan komponen
abiotik dan biotik di dalam suatu ekosistem yang akhirnya berpengaruh pada
kesehatan manusia.
c. Dalam UULH 1997 terdapat pengecualian atas berlakunya tanggung gugat mutlak,
yaitu penanggung jawab usaha atau kegiatan tidak bertanggung jawab atas kerugian
yang timbul jika kerugian yang timbul akibat dari tiga hal, yaitu : adanya bencana
alam atau peperangan, adanya keadaan terpaksa diluar kemampuan manusia, dan
adanya tindakan dari pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran atau
perusakkan lingkungan hidup. Dalam UUPPLH ketentuan pengecualian tidak ada.
Tujuan penerapan asas tanggung gugat mutlak adalah: untuk memenuhi rasa
keadilan; mensejalankan dengan kompleksitas perkembangan teknologi, sumber daya alam
dan lingkungan; serta mendorong badan usaha yang berisiko tinggi untuk
menginternalisasikan biaya sosial yang dapat timbul akibat kegiatannya.
Penyelesaian sengketa melalui peradilan diatur pada bagian ketiga UU No 32 Tahun
2009 dan terdiri dari: 
a. Ganti Kerugian dan Pemulihan Lingkungan
Hal ini termuat dan diatur lebih lanjut pada Pasal 87 UU No.32 Tahun 2009, ganti
kerugian dikenakan terhadap setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang
melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran atau perusakan
lingkungan yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup,
setiap orang yang melakukan pemindahtanganan, pengubahan sifat dan bentuk usaha,
dan/atau kegiatan dari suatu badan usaha yang melanggar hukum tidak melepaskan
tanggung jawab hukum/dan atau kewajiban badan usaha tersebut. Dalam hal ini
pengadilan dapat mengenakan uang paksa terhadap keterlambatan atas pelaksanaan
putusan pengadilan, dimana uang paksa ini didasarkan pada peraturan peraturan
perundang-undangan.
b. Tanggung Jawab Mutlak

10
Terhadap setiap orang yang tindakannya atau usahanya dan kegiatannya yang
menggunakan B3( Bahan Berbahaya Beracun), menghasilkan dan/atau mengelola
limbah B3 dan/atau menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup
bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur
kesalahan
c. Hak Gugat Pemerintah dan Pemerintah daerah
Dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang
lingkungan hidup, berwenang untuk mengajukan gugatan ganti rugi dan tindakan
tertentu terhadap usaha dan atau kegiatan yang menyebabkan kerusakan lingkungan
hidup dan atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran dan atau kerusakan
lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup. ( Pasal 90 Ayat 2).
d. Hak Gugat Masyarakat
Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan
dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan masyarakat apabila mengalami kerugian
akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Gugatan dapat diajukan
apabila terjadi kesamaan fakta atau peristiwa, dasar hukum, serta jenis tuntutan di
antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya.Ketentuan mengenai hak gugat ini
masyarakat dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
e. Hak gugat Organisasi Lingkungan Hidup
Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan
pelestarian fungsi lingkungan hidup. Hak mengajukan gugatan terbatas pada tuntutan
untuk melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya
atau pengeluaran riil. Organisasi lingkungan hidup dapat mengajukan gugatan apabila
memnuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Berbentuk badan hukum 
2. Menegaskan di dalam anggaran dasarnya bahwa organisasi tersebut didirikan
untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup.
3. Telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran dasarnya paling
singkat 2 tahun.
f. Gugatan Administratif
Setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan tata usaha Negara
apabila:

11
1. Badan atau pejabat tata usaha Negara menerbitkan izin lingkungan kepada
usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal tetapi tidak dilengkapi dengan
dokumen amdal.
2. Badan atau pejabat tata usaha Negara menerbitkan izin lingkungan kepada
kegiatan yang wajib UKL-UPL, tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen
UKL-UPL
3. Badan atau pejabat tata usaha Negara yang menerbitkan izin usaha dan/atau
kegiatan yang tidak dilengkapi dengan izin lingkungan.
Tata cara pengajuan gugatan terhadap keputusan tata usaha Negara mengacu pada
Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Kegiatan Penyidikan dilakukan oleh penyidik
baik dari POLRI juga dari Pejabat PNS yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pembuktian berupa alat bukti yang sah
dalam tuntutan tindak pidana lingkungan terdiri atas:
a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan terdakwa
f. Alat bukti lain termasuk alat bukti yang diatur dengan peraturan perundang-
undangan.
Dalam rangka penegakan hukum terpadu pelaku tindak pidana lingkungan hidup,
dapat dilakukan antara penyidik pegawai negeri sipil, kepolisian dan kejaksaan di bawah
Koordinasi Menteri. Akan tetapi dibalik ini semua, UU No 32 Tahun 2009 mengenal apa
yang dinamakan asas Ultimum Remedium,yakni mewajibkan penerapan penegakan hukum
pidana sebagai upaya terakhir setelah penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil.
Yang mana penerapan asas ini, hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu
pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan.
Jika dilihat dari penerapan hukum secara perdata, Hak gugat pemerintah dan
pemerintah daerah, hak gugat masyarakat dan hak gugat organisasi lingkungan hidup
merupakan bentuk-bentuk pengamalan konsep axio popularis, class action dan legal standing.
Konsep-konsep ini merupakan terobosan hukum yang sangat baik dalam penerapannya.
Penerapan hukum perdata ini juga diikuti engan berbagai persyaratan  seperti pelaksanaan
hak gugat oleh pemerintah bisa dilakukan oleh Kejaksaan, pelaksanaan clas action yang dapat
dilakukan oleh orang atau sekelompok orang dan pelaksanaan hak gugat oleh organisasi

12
Lingkungan yang harus memenuhi persyaratan organisasi sesuai dengan apa yang diatur
dalam UU No 32 Tahun 2009 ini. Ancaman hukuman yang ditawarkan oleh UU No 32 Tahun
2009 ini juga cukup komprehensif, misalkan mengenai pasal-pasal yang mengatur tentang
ketentuan pidana dan perdata yang mengancam setiap pelanggaran peraturan dibidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, baik perseorangan, korporasi, maupun
pejabat. Contoh yang paling konkret adalah porsi yang diberikan pada masalah AMDAL.
Sekurangnya terdapat 23 pasal yang mengatur mengenai AMDAL, tetapi pengertian dari
AMDAL itu sendiri berbeda antara UU No 32/2009 dengan UU No 23/1997, yakni hilangnya
”dampak besar”. Hal-hal baru mengenai AMDAL yang termuat pada undang-undang terbaru
ini antara lain:
1. AMDAL dan UKL/UPL merupakan salah satu instrumen pencegahan pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
2. Penyusunan dokumen AMDAL wajib memiliki sertifikat kompetensi penyusun
dokumen AMDAL;
3. Komisi penilai AMDAL pusat,Provinsi,maupun Kab/Kota wajib memiliki lisensi
AMDAL;
4. AMDAL dan UKL/UPL merupakan persyaratan untuk penertiban izin lingkungan;
5. Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri,Gubenur,Bupati/Walokota sesuai
kewenangannya.
 
Selain hal-hal yang disebutkan diatas, ada pengaturan yang tegas dan tercantum dalam
UU No 32 Tahun 2009 ini,yaitu dikenakannya sanksi pidana dan sanksi perdata terkait
pelanggaran bidang AMDAL. Hal-hal yang terkait dengan sanksi tersebut berupa:
a. Sanksi terhadap orang yang melakukan usaha/kegiatan tanpa memiliki izin
lingkungan;
b. Sanksi terhadap orang yang menyusun dokumen AMDAL tanpa memiliki sertifikat
kompetensi;
c. Sanksi terhadap pejabat yang memberikan izin lingkungan yang tanpa dilengkapi
dengan dokumen AMDAL atau UPL/UKL.

2.4.2 Mekanisme Penyelesaian Masalah Lingkungan Hidup Melalui Instrumen


Hukum Administrasi.
1. Pengawasan 

13
Penyelesaian masalah lingkungan melalui instrumen hukum administratif bertujuan
agar perbuatan atau pengabaian yang melanggar hukum atau tidak memenuhi persyaratan,
berhenti atau mengembalikan kepada keadaan semula (sebelum ada pelanggaran), oleh
karena itu, fokus dari sanksi administratif adalah perbuatannya, sedangkan sanksi hukum
pidana tidak hanya ditujukan kepada pembuat, tetapi juga kepada mereka yang potensial
menjadi pembuat (pelanggar). Upaya penegakan sanksi administrasi oleh pemerintah
secara ketata dan konsisten sesuai dengan kewenangan yang ada akan berdampak bagi
penegakan hukum, dalam rangka menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup. 
Sehubungan dengan hal itu, maka penegakan sanksi administrasi merupakan garda
terdepan dalan penegakan hukum lingkungan (primum remedium). Jika sanksi
administrasi dinilai tidak efektif, berulah dipergunakan sarana sanksi pidana sebagai
senjata pamungkas (ultimum remedium). Ini berarti bahwa kegiatan penegakan hukum
pidana terhadap suatu tindak pidana lingkungan hidup baru dapat dimulai apabila : Aparat
yang berwenang telah menjatuhkan sanksi administrasi dan telah menindak pelanggar
degan menjatuhkan suatu sanksi administrasi tesebut, namun ternyata tidak mampu
menghentikan pelanggaran yang terjadi, atau antara perusahaan yang melakukan
pelanggaran dengan pihak masyarakat yang menjadi korban akibat terjadi pelanggaran,
sudah diupayakan penyelesaian sengketa melalui mekanisme altenatif di luar pengadilan
dalam bentuk musyawarah / perdamaian / negoisasi / mediasi, namun upaya yang
dilakukan menemui jalan buntu, dan atau litigasi melalui pengadilan pedata, namun upaya
tersebut juga tidak efektif, baru dapat digunakan instrumen penegakan hukum pidana
lingkungan hidup.
Terdapat 4 (empat) peraturan perundang – undangan yang dapat dijadikan dasar bagi
penegakan hukum administrasi yaitu;
a. Hinder Ordonantie (S. 1926 – 226)
b. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
c. PP No. 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air jo. PP No. 82 Tahun
2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air;
d. PP No. 19 Tahun 1994 jo. PP No. 12 Tahun 1995 tentang Pengelolaan Limbah B-3,
sebagaimana telah diubah dengan PP No. 18 Tahun 1999 dan PP No. 85 Tahun
1999.
Sementara itu dalam pasal 48 PP No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas
Air dan Pengendalian Pencemaran Air dinyatakan: “Setiap penanggung jawab usaha dan
atau kegiatan yang melanggar ketentuan pasal 24 ayat (1), pasal 25, pasal 26 , pasal 32,

14
pasal 34 , pasal 35, pasal 37, pasal 38, pasal 40, dan pasal 42, bupati atau walikota
berwenang menjatuhkan sanksi administrasi.”
Ketentuan pasal diatas memberikan gambaran bahwa pemerintah daerah kabupataen
atau kota secara hukum memiliki kewenangan dalam pengaturan izin terhadap kegiatan
pengelolaan sumbar daya air. Namum demikian dalam konsep hukum administrasi
terdapat 4 (empat) sanksi hukum administratif yang terdiri atas, paksaan administratif,
penutupan perusahaan, larangan memakai peralatan tertentu, uang paksaan dan penarikan
izin. UU nomor 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, terhadap pelaku
tindak pidana lingkungan hidup dapat pula dikenakan tindakan tata tertib berupa:
 Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau
 Penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan; dan/atau
 Perbaikan akibat tindak pidana; dan/atau
 Mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
 Meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
 Menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama tiga tahun. 
Hukum lingkungan administrasi memiliki fungsi preventif dan fungsi korektif
terhadap kegiatan-kegiatan yang tidak memenuhi ketentuan atau persyaratan-persyaratan
pengelolaan lingkungan hidup. Fungsi preventif terhadap timbulnya masalah-masalah
lingkungan yang bersumber dari kegiatan usaha diwujudkan dalam bentuk pengawasan
yang dilakukan oleh aparat yang berwenang dibidang pengawasan lingkungan. Jika
berdasarkan fungsi pengawasan ditemukan pelanggaran ketentuan-ketentuan hukum
lingkungan administrasi, pejabat yang berwenang dapat menjatuhkan sanksi administrasi
teradap si pelanggar.
Didalam UUPPLH, pengawasan diatur dalam pasal 71 hingga pasal 74. Selain
terdapat pesamaan, juga ditemukan perbedaaan ketentuan-ketentuan tentang pengawasan
anatara UULH dan UUPPLH. Persamaan antara lain berkaitan dengan kewenangan
pengawasan ad pada Menteri Lingkungan Hidup dan Pemerintah Daerah, baik Menteri
atau Pemerintah Daerah berwenang menetapkan pejabat pengawas lingkungan hidup.
Perbedaannya yaitu:
a. Jika dalam UULH 1997 terdapat pasal 23 yang menjadi dasar hukum bagi BAPEDAL
yang tela dibahas dalam bab II untuk melakukan pengawasan, dalam UUPPLH
ketentuan ketentuan tentang lembaga BAPEDAL yang berwenang ditingkat pusat
melakukan pengawasan dibidang lingkugan hidup tidak lagi ditemukan karena

15
Kementrian Lingkugan Hidup sepenunya berwenang melakukan pengawasan setelah
BAPEDAL diintegrasikan ke dalam Kementrian Lingkugan Hidup.
b. Dalam UUPPLH memberlakukan mekanisme pengawasan dua jalur, sedangkan
UULH 1997 hanya satu jalur. Yang dimaksud dengan mekanisme dua jalur adalah
bahwa pada prinsipnya Gurbernur dan Bupati/Walikota berwenang melakukan
pengawasan lingkungan hidup sesuai dengan lingkup kewenangan masing-masing,
tetapi jika kewenangan pengawasan lingkungan tidak dilaksankan sehingga terjadi
“pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
“, Menteri Lingkungan Hidup dapat melakukan pengawasan terhadap ketaatan
penanggung jawab usaha/kegiatanyang izin lingkungannya diterbitkan oleh
Pemerintah Daerah.pemberlakuan pengawasan jalur kedua oleh Kementrian
Lingkungan Hidup terhadap kegiatan usaha yang izin lingkungannya diterbitkan oleh
Gurbernur atau Bupati/Walikota dilatarbelakangi oleh fakta bahwa
Gurbernur/Walikota sering kali tidak menggunakan kewenangnnya sebagaimana
mestinya terhadap kegiatan usaha, sehingga terjadi toleransi yang berkelebihan
terhadap pelanggaran hukum lingkungan administrasi.
Sebagaimana UULH 1997, UUPPLH juga menyebutkan kewenangan dari pejabat
pengawas lingkugan hidup yaitu:
a. Melakukan pemantauan
b. Meminta keterangan 
c. Membuat salinan dari dokumen dan atau membuat catatan yang di perlukan
d. Memasuki tempat tertentu
e. Memotret
f. Membuat rekaman audio visual 
g. Mengambil sampel
h. Memeriksa peralatan
i. Memeriksa instalasi dan/atau alat transportasi
j. Menghentikan pelanggaran tertentu
Sejak diundangkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang
kemudian diganti UU No. 32 Tahun 2004, yang menyerahkan masalah lingkungan hidup
kepada pemerintahan daerah, maka di setiap daerah, baik provinsi maupun kabupaten atau
kota telah memiliki kelembagaan pengelolaan lingkungan yang kuat dengan mandat yang
jelas. Strategi dikembangkan di setiap kota atau kabupaten (pendekatan “Atur Dan Awasi
“, Ekonomi, Perilaku, dan Tekanan publik).

16
2. Sanksi-Sanksi Hukum Lingkungan Administrasi 
J.B.J.M ten Berg menguraikan instrumen penegakan hukum administrasi, meliputi
pengawasan dan  penerapan sanksi. Sementar itu, instrumen penegakan hukum
administrasi terhadap hukum lingkungan hidup, menurut Philipus M. Hadjon terdiri dari
empat hal pokok, keempatnya berkaitan dengan penggunaan wewenang penegakkan
hukum administrasi yaitu :
1. legitimasi
2. instrumen hukum administrasi 
3. norma hukum administrasi
4. kumulasi sanksi : kumulasi eksternal dan kumulasi
Sanksi hukum administrasi adalah sanksi-sanksi hukum yang dapat dijatuhkan oleh
pejabat pemerintah tanpa melalui proses pengadilan terhadap seseorang atau kegiatan usaha
yang melanggar ketentuan-ketentuan hukum lingkugan administrasi. UUPPLH memuat
empat jenis sanksi hukum administrasi, sebagaimana tercantum dalam pasal 76 ayat (2) yatu
teguran tertulis, paksaan pemerintah, denda, pembekuan izin lingkungan dan pencabutan izin
lingkungan dan pencabutan izin lingkungan.
Pasal 80 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999 menyebutkan bahwa pemegang izin disektor
kehutanan dikenai sanksi administrasi jika melanggar ketentuan pasal 78, tetapi tanpa
mengatur secara rinci jenis dan proses penjatuhan sanksi hukum administrasi tersebut. Sanksi
administrasi dibidang kehutanan diatur lebi lanjut dalam PP No. 34 Tahun 2002 pasal 87
yang memberlakukan enam jenis sanksi administrasi yaitu : penghentian sementara pelayanan
administrasi, penghentian sementara kegiatan dilapangan, denda administratif, pengurangan
areal kerja, dan pencabutan izin. Sanksi administrasi diberlakukan jika melanggar pasal 88
hingga 97.
Dalam UUPPLH, kewenangan penjatuhan sanksi paksaan pemerintah ada pada tiga
pejabat yaitu: Menteri Lingkugan Hidup, Gurbernur, Bupati/Walikota. Pasal 80 ayat (1)
UUPPLH menyebutkan beberapa bentuk paksaan pemerintah yaitu :
a. Penghentian sementara kegiatan produksi
b. Pemindahan sarana produksi
c. Penutupan saluran pembungan saluran air limbah atau emisi
d. Pembingkaran
e. Penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran
f. Penghentiaan semetara seluruh kegiatan

17
g. Tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan Tindakan
memulihkan fungsi lingkugan hidup.
Sanksi pembekuan izin lingkungan dan pencabutan izin lingkungan merupakan upaya
terakhir dalam penegakkan hukum administrasi setelah penanggung jawab usaha tidak
melaksanakan paksaan pemerintah.

2.4.3 Penyelesaian Masalah Lingkungan Hidup Melalui Instrumen Hukum Perdata


Penyelesaian sengketa lingkungan melalui instrumen Hukum Perdata, untuk
menentukan seseorang atau badan hukum bertanggung jawab terhadap kerugian yang
diakibatkan oleh pencemaran atau perusakan lingkungan, penggugat dituntut
membuktikan adanya pencemaran, serta kaitan antara pencemaran dan kerugian yang
diderita. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup secara perdata, terjadi karena pada satu
sisi masyarakat dirugikan atas pengelolaan lingkungan hidup yang menyimpang dari
aturan yang sebenarnya. Pembuktian dalam kasus lingkungan, khususnya delik, karena
kasus-kasus pencemaran sering kali ditandai oleh sifat-sifat khasnya, anatara lain:
a. Penyebab tidak selalu dari sumber tunggal. Akan tetapi berasal dari berbagai sumber
b. Melibatkan disiplin-disiplin ilmu lainnya serta menuntut keterlibatan pakar-pakar di
luar hukum sebagai saksi
c. Sering kali akibat yang diderita tidak timbul  seketika, akan tetapi selang beberapa
lama kemudian.
Lingkungan hidup mempunyai peranan sangat besar dalam kehidupan masyarakat,
kualitas kehidupan masyarakat dapat dipengaruhi  lingkungan hidup, pada prinsipnya
lingkungan merupakan sumber daya yang dibutuhkan keberadaannya oleh makhluk
lainnya, khususnya manusia. Dalam UUPLH dasar hukum gugatan lingkungan terdapat
dalam Pasal 34 yaitu:
1. Setiap perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan
hidup, mewajibkan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk membayar
ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.
2. Selain pembebanan untuk melakukan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), hakim dapat menetapkan pembayaran uang paksa atas setiap hari
keterlambatan penyelesaian tindakan tertentu tersebut.

18
Dengan demikian berdasarkan Pasal 34 ayat (1) gugatan lingkungan untuk
mendapatkan ganti rugi dan/atau tindakan tertentu haruslah memenuhi persyaratan yang
menjadi unsur Pasal 34 ayat (1) yaitu:
a. Perbuatan melanggar hukum
b. Pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
c. Kerugian pada orang lain atau lingkungan
d. Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.
Hal tersebutlah yang menjadi acuan Dasar Pengajuan Gugatan Lingkungan
Gugatan Class Action atau gugatan perwakilan kelompok adalah suatu tata cara
pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan
gugatan untuk diri atau diri-diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili kelompok orang yang
jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok
dan anggota kelompok dimaksud. Sementara itu yang dimaksud dengan Wakil kelompok
adalah satu orang atau lebih yang menderita kerugian yang mengajukan gugatan dan
sekaligus mewakili kelompok orang yang lebih banyak jumlahnya. Setiap warga negara
memiliki hak yang sama di hadapan hukum dan ia pun berhak untuk membela hak-nya
apabila ia merasa dirugikan oleh pihak lain. Hal ini menjadi dasar pemikiran diadakannya
aturan gugatan perdata. Secara umum model gugatan perdata ada dua macam yaitu
a. Gugatan yang dilakukan di luar pengadilan dikenal dengan sebutan nonlitigasi, 
b. Gugatan yang dilakukan melalui peradilan disebut litigasi. Oleh karena itu,
gugatan perdata bisa menjadi dasar diselenggarakannya pengadilan perdata.
Gugatan perdata atas pelanggaran hubungan perdata dapat dilakukan dengan dua cara:
a. Oleh orang yang bersangkutan atau ahli warisnya. 
b. Sekelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama (class action).
Gugatan dengan prosedur gugatan perwakilan harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
1. Numerosity, yaitu gugatan tersebut menyangkut kepentingan orang banyak,
sebaiknya orang banyak itu diartikan dengan lebih dari 10 orang; sehingga
tidaklah efektif dan efisien apabila gugatan dilakukan sendiri-sendiri atau
bersama-sama dalam satu gugatan.
2. Commonality, yaitu adanya kesamaan fakta (question of fact) dan kesamaan
dasar hukum (question of law) yang bersifat subtansial, antara perwakilan
kelompok dan anggota kelompok; misalnya pencemaran; disebabkan dari
sumber yang sama, berlangsung dalam waktu yang sama, atau perbuatan

19
melawan hukum yang dilakukan oleh tergugat berupa pembuangan limbah cair
di lokasi yang sama, dll.
3. Tipicality, yaitu adanya kesamaan jenis tuntutan antara perwakilan kelompok
dan anggota kelompok; Persyaratan ini tidak mutlak mengharuskan bahwa
penggugat mempunyai tuntutan ganti rugi yang sama besarnya, yang terpenting
adalah jenis tuntutannya yang sama, misalnya tuntutan adanya biaya pemulihan
kesehatan, dimana setiap orang bisa berbeda nilainya tergantung tingkat penyakit
yang dideritanya.
4. Adequacy of Representation, yaitu perwakilan kelompok merupakan perwakilan
kelompok yang layak, dengan memenuhi beberapa persyaratan:
 Harus memiliki kesamaan fakta dan atau dasar hukum dengan anggota
kelompok yang diwakilinya;
 Memiliki bukti-bukti yang kuat;
 Jujur;
 Memiliki kesungguhan untuk melindungi kepentingan dari anggota
kelompoknya;
 Mempunyai sikap yang tidak mendahulukan kepentingannya sendiri
dibanding kepentingan anggota kelompoknya; dan
 Sanggup untuk menanggulangi membayar biaya-biaya perkara di
pengadilan.
2.4.4 Penyelesaian Masalah Lingkungan Hidup Melalui Pendekatan Instrumen
Hukum Pidana.
Menggunakan instrumen hukum pidana yang pada prinsipnya ialah sebagai ultimatum
remidium (obat terakhir). Artinya instrumen hukum pidana maupun penggunaan hukum
acara pidana dalam penyelesaian sengketa hukum lingkungan merupakan suatu jalan
terakhir yang dipakai dalam suatu kasus kejahatan maupun pelanggaran terhadap hukum
lingkungan, akan tetapi dapat pula langsung menggunakan instrumen hukum pidana
apabila kasus tersebut disinyalir sebagai suatu kejahatan yang berdampak besar atau
extraordinary crime. Dengan demikian instrumen hukum pidana ikut pula dalam ruang
lingkup penyelesaian sengketa hukum lingkungan.
Menurut pendapat dari Hermin Hadiati Koeswadji menunjukkan bahwa instrumen
hukum pidana melihat akan adanya suatu kasus bukan hanya akibat perbuatan akan tetapi
juga melihat kepada orang yang melakukan akibat dari perbuatan tersebut. Penjelasan

20
lebih lanjut mengenai alasan pertama mengenai hukum lingkungan dengan hukum pidana
ialah dalam hukum lingkunga tidak hanya mengatur mengenai pertanggungjawaban
lingkungan akan tetapi juga mengenai pertanggungjawaban sosial, sehingga hukum pidana
juga ikut berperan dalam mengatur pertanggungjawan di hukum lingkungan terutama yang
berkaitan dengan pertanggungjawaban sosial.
Lebih lanjut membahas penyelesaian sengketa hukum lingkungan dengan instrumen
hukum pidana terdapat alur penyelesaian sengketa mulai dari penyidikan, pembuktian
maupun gugatan dalam perspektif hukum pidana. Alur dari perspektif hukum pidana tidak
hanya terdapat dalam Kitab Undang – Undang Pidana saja meainkan salah satunya aturan
yang memuat alur perspektif hukum pidana adalah Undang – Undang No 32 Tahun 2009
tentang perlindungan dan pengelolaha lingkungan hidup dan AMDAL, kemudian  Undang
– Undang No 7 Tahun 2004 tentang sumber daya air yang khusus menangani masalah
berkaitan dengan hukum lingkungan yang berkaitan dengan sumber daya air. 
Penyelesaian masalah hukum lingkungan melalui instrumen pidana sangat
dipengaruhi oleh perkembangan zaman. Seiring dengan berjalannya waktu pengaturan
hukum lingkungan lebih dibuat lebih kompleks dari peraturan hukum lingkungan
sebelumnya, alasan yang paling utama ialah banyaknya kasus yang muncul terhadap
hukum lingkungan yang pada kenyataannya kasus tersebut perlu diatur lebih lanjut akibat
tindakannya yang bermacam-macam. Dengan adanya bermacam-macam kejahatan
terhadap hukum lingkungan hidup maka muncul Undang – Undang No. 32 Tahun 2009
tentang perlindungan dan pengelolahan lingkungan hidup yang lebih lengkap daripada
undang-undang sebelumnya (Undang-Undang No 23 Tahun 1997 tentang pengelolahan
lingkungan hidup).
Dalam penegakkan hukum lingkungan yang terdapat dalam Undang -Undang no 32
tahun 2009 menyebutkan bahwa terdapat empat pihak yang memiliki hak untuk
menggugat apabila terjadi pelanggaran terhadap hukum lingkungan, yaitu pihak
pemerintah, masyarakat, orang  dan pihak organisasi lingkungan hidup. Empat pihak
tersebut memiliki hak yang berbeda seperti yang terdapat dalam pasal 90, 91, dan 92
Undang  – Undang No 32 Tahun 2009, sehingga keempat pihak tersebut telah jelas
mendapatkan hak untuk mengajukan gugatan terhadap pelaku tindakan kejahatan terhadap
lingkungan hidup.
Adapun pihak pemerintah yang berhak mengajukan gugatan apabila terjadi
pelanggaran atau kejahatan terhadap lingkungan diatur dalam pasal 90 ayat 1 dan 2
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolahan lingungan

21
hidup. Menurut pasal tersebut secara garis besar pemerintah maupun pemerintah daerah
dapat meminta ganti rugi dan tindakan tertentu terhada usaha dan/atau kegiatan yang
menyebabkan pencemaran lingkungan hidup. Sedangkan untuk ketentuan lebih lanjut
mengenai kerugian yang dimaksud dalam pasal 90 diatur lebih dalam dengan Peraturan
Menteri.
Adapun pihak lain yang berhak mengajukan gugatan adalah masyarakat yang pada
dasarnya seperti yang tercantum dalam pasal 91 undang – undang no. 32 tahun 2009
tentang perlindungan dan pengelolahan lingungan hidup memiliki hak untuk mewakili
kelompok untuk kepentingan diri sendiri dan atau kepentingan masyarkat apabila
mengalami kerugian. Terdapat hal yang harus diperhatikan dalam mengajukan gugatan
yang mengatasnamakan pihak masyarakat yaitu harus terdapat kesamaan fakta atau
peristiwa, dasar huku, serta jenis tuntutan di antara wakil kelompok dan anggota
kelompok.
Selanjutnya pihak organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan apabila
untuk kepentingan pelestarian lingkungan hidup, akan tetapi ia tidak berhak meminta ganti
rugi kecuali biaya atau pengeluaran riil.  Adapun sebelum mengajukan gugatan, organisasi
lingkungan hidup harus memenuhi syarat – syarat sebagai berikut:
1. Berbentuk badan hukum.
2. Menegaskan didalam anggaran dasarnya bahwa organisasi tersebut didirikan untuk
kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup.
3. Telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran dasarnya paling singkat
dua tahun.
Kemudian pihak terakhir adalah setiap orang yang pada prinsipnya dapat
mengajukan gugatan berkaitan dengan pejabat tata usaha negara yang menerbitkan izin 
kegiatan terhadap suatu usaha atau kegiatan yang tidak dilengkapi dengan dokumen
AMDAL maupun UKLUPL, serta tidak dilengkapi dengan izin lingkungan. Tata cara
pengajuan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara mengacu pada hukum acara
peradilan tata usaha negara.
Penyidikan dalam hukum lingkungan tercantum dalam Undang-Undang No. 32
Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolahan lingungan hidup pasal 94 dan pasal
95. Adapun yag berhak melakukan penyidikan adalah pejabat polisi negara republik
Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu dilingkungan instansi pemerintah yang
lingkup tugas dan tanggung jawabnya dibidang perlindungan dan pengelolahan

22
lingkungan hidup diberi wewenang sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam
Hukum Acara Pidana  untuk melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup.
Adapun wewenang dari penyidik pegawai negeri sipil yang berwenang tercantum
dalam pasal 94 ayat 2 seperti:
1. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan tindakan
lingkungan hidup
2. Melakukan pemerikasaan terhadap setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana
dibidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
3. Meminta keterangan dan bahan bukti berkenaan peristiwa tindak pidana lingkungan
hidup
4. Melakukan pemeriksaan pembukaan, catata, dan dokumen lain berkenaa dengan
tindak pidana dibidang perlindungan dan pengelolahan lingkungan hidup.
5. Melakukan pemeriksaan ditempat tertentu yang diduga terhadap bahan bukti,
pembukuan, catatan, dan dokumen lain.
6. Melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat
dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana dibidang perlindungan dan pengelolahan
lingkungan hidup.
7. Menghentikan penyidikan
8. Memasuki tempat tertentu, memotret, dan/atau membuat rekaman audio visual
9. Melakukan penggeledahan terhadap badan, pakaian, ruangan, dan/atau tempat lain
yang diduga merupakan tempat dilakukannya tindak pidana.
10. Menangkap dan menyerahkan tersangka.

Kemudian dalam hal penyidikan yang pada dasarnya menentukan apakah suatu peristiwa
merupakan tindak pidana hukum lingkungan sangat erat kaitannya dengan pembuktian, yaitu
alat bukti. Alat bukti merupakan alat yang digunakan untuk menjerat tersangka atau pihak
tertentu untuk mendapatkan sanksi maupun hukuman. Adapun alat bukti terdiri dari ;

1. Keterangan saksi
2. Keterangan ahli
3. Surat
4. Petunjuk
5. Keterangan terdakwa

23
6. Alat bukti alain, termasuk alat bukti yang diatur dalam peraturan perundang –
undangan.
Mengenai penyidikan dan pembuktian, hal lain yang perlu diperhatikan adalah
terdapat ketentuan pidana dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang
perlindungan dan pengelolahan lingkungan hidup mulai dari pasal 97 hingga pasal 120. Isi
dari ketentuan pidana secara garis besar menjerat orang yang sengaja melakukan tindak
pidana lingkungan hidup, orang yang lalai sehingga mengakibatkan kerugian lingkungan
hidup, orang yang melanggar ketentuan lingkungan hidup, orang yang mengedarkan
rekayasa genetik, dan orang yang menghasilkan limbah B3 tanpa melakukan pertanggung
jawaban. Akan tetapi tidak hanya orang saja yang dapat dikenakan ketentuan pidana
melainkan pihak pemberi ijin atau dalam hal ini pejabat pemberi ijin lingkungan hidup,
serta penanggung jawab usaha dapat pula dikenakan ketentuan pidana.
Lebih lanjut mengenai penegakkan lingkungan hidup  seperti yang telah terjadi
dibeberapa kasus yang ada, setiap kali terjadi kejahatan terhadap tindak pidana maka hal
yang paling erat ialah berkaitan dengan kejahatan korporasi. Korporasi dalam hal bagian
dari kegiatan ekonomi dapat pula dikenakan ketentuan pidana lingkungan hidup apabila
dalam melakukan kegiatannya disinyalir telah melakukan kegiatan  merusak, mengurangi,
maupun mengubah sesuai batas – batas yang telah ditentukan. Apabila suatu korporasi
ternyata telah melakukan suatu kejahatan lingkungan yang serius maka yang perlu
diperhatikan sebaiknya aturan dari ketentuan hukum pidana  lingkungan itu sendiri, namun
apabila tindakan korporasi tersebut lebih mengarah ke pertanggungjawaban lainnya maka
dapat dipakai instrumen hukum perdata maupun instrumen hukum administrasi.
Adapun mengenai siapa yang bertanggungjawab dalam kejahatan lingkungan yang
dilakukan oleh pihak korporasi maka dapat diketahui dalam pasal 55 KUHP buku ke I
yang memberikan ancaman terhadap orang yang melakukan (pleger), yang menyuruh
melakukan (doen pleger), yang turut melakukan (medepleger), dan yang membujuk
(uitlokker). Dengan demikian apabila mengaju pada pasal 55 maka yang dapat dikenakan
sanksi dapat dimulai dari pemimpin suatu korporasi, kemudian pemberi perintah dari
kegiatan tersebut hingga orang-orang yang melakukan kegiatan yang pada hakekatnya
melakukan kejahatan lingkungan hidup.
Ketentuan instrumen hukum pidana sangat dipengaruhi dengan kemampuan
bertanggungjawaban dan unsur kesalahan, sehingga dalam strafbaar feit  menunjuk pada
kelakuan orang yang dirumuskan dalam undang-undang, yang melawan hukum, dan oleh
karenanya patut dipidana. Menurut pendapat ahli pompe dan vost yang menganut

24
pengertian melawan hukum identik dengan “in strijd met het recht” atau dapat dikatakan
bertentangan dengan hukum.Bertentangan dengan hukum bukan hanya dinilai sebagai hal
– hal yang bertentangan dengan undang – undang melainkan dengan kepatutan.
Selanjutnya apabila melihat pengertian strafbaar feit maka dapat dipertanyakan apa
hubungannya dengan dengan hukum lingkungan. Menjawab pertanyaan berkaitan
hubungan antara strafbaar feit  dengan hukum lingkungan maka pada pokoknya menurut
Hermin Hadiati Koeswadji mengatakan bahwa terdapat dua pokok unsur penting, yaitu;

1. Bahwa feit dalam strafbaar feit berarti hendeling, kelakuan, tingkah laku yag berada
dalam dunia nyata yang dapat dirasakan oleh panca indera.
2. Bahwa pengertian strafbaar feit dihubungkan dengan  kesalahan orang yag
menimbulkan kelakuan tadi, yaitu berada dalam lubuk batin atau tidak dirasakan
dengan pancaindra.
Kedua unsur penting tersebut mudah untuk dibuktikan karena pabila kita melihat dari
unsur yang pertama jelas bentuknya seperti pengerusakan hutan, pencemaran air, dan
segala tindakan yang dapat dirasa merupakan kejahatan lingkungan. Sedangakan
mengenai unsur kedua, keksalahan seeorang diakitkan suasana dalam batin seseorang
yaitu orang tersebut mengetahui dan merasa perbuatan tersebut bertentangan dengan
batinnya.

25
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Penegakan hukum (law enforcement) adalah pelaksanaan hukum secara konkrit dalam
kehidupan masyarakat. Ada empat aspek yang terkait dalam penegakan hukum lingkungan
yaitu pertama, materi peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan. Kedua, kesadaran
hukum masyarakat untuk mematuhi peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan.
Ketiga, peranan pemerintah selaku pelaksana undang-undang dan alat administrasi negara
dalam menegakkan hukum lingkungan. Keempat, peranan aparat peradilan (polisi, jaksa, dan
hakim) selaku aparat penegak hukum dalam menangani kasus-kasus lingkungan.
Berdasarkan Pasal 96 UUPPLH dalam bagian kedua tentang pembuktian dikatakan
bahwa alat bukti yang sah dalam tuntutan tindak pidana lingkungan hidup terdiri dari:a)
keterangan saksi; b) keterangan ahli; c) surat;d) petunjuk; e) keterangan terdakwa dan/atau;
f)alat bukti lain, termasuk alat bukti yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Penyelesaian sengketa lingkungan dapat dilakukan melalui 1) penyelesaian sengketa
lingkungan hidup melalui pengadilan berdasarkan UU Nomor 32 tahun 2009, 2) penyelesaian
masalah lingkungan hidup melalui instrumen hukum administrasi, 3) penyelesaian masalah
lingkungan hidup melalui instrumen hukum perdata, dan 4) penyelesaian masalah lingkungan
hidup melalui pendekatan instrumen hukum pidana.

3.2 Saran
Penegakkan hukum lingkungan sangat diperlukan untuk mewujudkan pembangunan
yang berkelanjutan agar lingkungan dapat diperuntukkan anak cucu di masa yang akan
datang. Untuk itu semua yang terlibat dalam penegakkan hukum lingkungan khususnya para
aparat penegak hukum harus memahami ,meresapi dan menerapkan nilai nilai karakter
tersebut dalam menjalankan tugasnya agar tujuan penegakan hukum lingkungan dapat
tercapai yakni mewujudkan lingkungan yang berkelanjutan guna tercapainya masyarakat
yang adil, tertib, sejahtera dan berkarakter

26
DAFTAR PUSTAKA
Chazawi, Adami. 2011. Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Cet. 1, Penerbit Bayu
media Publishing, Malang.
Harahap, M. Yahya. 2005. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP;
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Bandiang, Kasasi, Dan Peninjauan Kembali, Cet.
6, Edisi 2, Penerbit Sinar Grafika,Jakarta.
Komang Trie Krisnsari,I Ketut Mertha. 2013. Penerapan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Dalam Upaya
Penegakan Hukum Lingkungan Di Indonesia. Vol. 01
Muhjad, Hadin. 2015. Hukum Lingkungan, Cet. 1, Genta Publishing, Yogjakarta.Makarno,
M. Taufik, 2011, Aspek-aspek HukumLingkungan, Cet. II, Indeks, Jakarta.
Prodjo, Martimah, 2001. Penerapan PembuktianTerbalik Dalam Delik Korupsi. Penerbit
Mandar Maju, Bandung
Rina Suliastini. 2009. Perbandingan UU No 23/1997 dengan UU No 32 /2009
Rahmadi, Takdir. 2011. Hukum Lingkungan di Indonesia. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Supriadi, S.H., M.Hum 2005. Hukum lingkungan di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Tude Trisnajaya,Desak Putu Dewi Kasih. 2013. Penerapan Penegakan Hukum Lingkungan
Terkait Dengan Pencemaran Udara Di Kota Denpasar Setelah Keluarnya
Peraturan Gubernur Bali Nomor 8 Tahun 2007 Serta Upaya Penanggulangannya.
Vol. 01
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
Undang-undang No 8 tahun 1981 tentang KUHAP

27

Anda mungkin juga menyukai