Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

Analisis Undang-Undang Cipta Kerja terhadap Perlindungan Kaum Buruh di


Indonesia
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum Ketenagakerjaan
Dosen Pengampu Mata Kuliah: Prof. Dr. Abdullah Sulaiman, S.H., M.H

Disusun Oleh:
Deva Yulistiana (11210480000003)
Ghina Widia Saiddah (11210480000009)
Irfan Febriansyah Aziz Saputra (11210480000053)
Reyhana Nabila Ismail (11210480000072)
Lulu Fajri Hanifah (11210480000127)
Rizki Mubarok Arif (11210480000135)
Irsyad Asrizal (11210480000156)

HUKUM KETENAGAKERJAAN 4 IH B
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARI’AH & HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2023
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur terpanjatkan Kehadirat Allah SWT. Karena berkat petunjuk,
pertolongan, dan kehendak-Nya penulis dapat menyelesaikan sebuah makalah yang berjudul.
“Analisis Undang-Undang Cipta Kerja terhadap Perlindungan Kaum Buruh di Indonesia”.

Selama penyusunan makalah ini banyak kendala yang dihadapi, namun berkat
bimbingan serta bantuan dari segala pihak semua kendala tersebut dapat teratasi. Pada
kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang
terhormat:

1. Bpk. Prof. Dr. Abdullah Sulaiman, S.H., M.H.

2. Seluruh pihak yang telah membantu penyusunan makalah ini.

Adapun makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi
penyempurnaan pembuatan makalah ini dan kemajuan penulis di masa yang akan datang.
Selain itu, penulis mengharapkan semoga apa yang tertulis di dalam makalah ini bisa menjadi
hal yang bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi semua yang
memerlukan.

Tangerang Selatan, 02 Mei 2023

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................................ 1


DAFTAR ISI .......................................................................................................................................... 2
BAB I ...................................................................................................................................................... 3
PENDAHULUAN ................................................................................................................................. 3
1.1. Latar Belakang ...................................................................................................................... 3
1.2. Rumusan Masalah ................................................................................................................ 4
1.3. Tujuan Makalah .................................................................................................................... 4
BAB II .................................................................................................................................................... 5
PEMBAHASAN .................................................................................................................................... 5
2.1. Landasan Teori Perburuhan ..................................................................................................... 5
2.2. Pasal-pasal yang Merugikan kaum Buruh .............................................................................. 8
2.3. Perbandingan UU Cipta Kerja dengan UU Ketenagakerjaan tahun 2003......................... 12
2.4. Kasus kaum buruh yang menggugat UU Cipta Kerja kepada Mahkamah Konstitusi ..... 16
2.5. Dampak Negatif UU Cipta Kerja bagi Kaum Buruh ........................................................... 21
BAB III................................................................................................................................................. 23
PENUTUP ............................................................................................................................................ 23
3.1. Kesimpulan ............................................................................................................................... 23
3.2. Saran ......................................................................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................................... 25

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Berbicara mengenai buruh dan Undang-Undang Cipta Kerja memang seperti tak
menemukan ujung penyelesaian yang damai di negara Indonesia ini. Adanya peraturan-
peraturan yang telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengenai Cipta Kerja ini
menuai banyak pro dan kontra dikhalayak umum. Banyak hak yang dimiliki oleh kaum buruh
yang sebagian terabaikan oleh pemerintah Indonesia, terutama dalam hal kesejahteraan upah.
Meski mendapat banyak penolakan dari kalangan buruh, namun tetap saja DPR RI seperti
enggan untuk mendengar suara hati rakyat, terutama kaum buruh.

Awal mula yang menjadi buah bibir bangsa Indonesia adalah disahkannya UU Omnibus
Law tahun 2020 yang pada saat itu menimbulkan sejumlah keributan didepan gedung DPR RI.
Tak hanya itu akhir-akhir ini juga Indonesia kembali dibuat ramai oleh adanya pengesaah
Perppu Cipta Kerja yang digagas oleh Presiden kemudian disahkan bersama DPR RI sebagai
pengganti atau perbaikan dari adanya UU Cipta kerja tahun 2022 yang dianggap
inkonstitusional beryarat oleh Mahkamah Konstitusi seusai diuiji dari segi materil.

Dari banyaknya peraturan perundang-undangan mengenai Cipta Kerja ini, selalu ada
saja poin penting pada pasal-pasal yang tercantum merugikan kesejahteraan dan jaminan hidup
para kaum buruh. Karena dalam UU cipta kerja yang terbaru ini ada sejumlah poin yang
menyebutkan bahwa formula penentuan upah dapat ditentukan oleh pemerintah dengan syarat
“keadaan tertentu”. Maksudnya dalam pasal tersebut adalah penentuuan upah minimum
didasarkan pada inflasi, dan pertumbuhan ekonomi negara, tidak berdasarkan tingkat
kebutuhan hidup layak (KHL) seperti yang termaktub pada UU Ketenagakerjaan.

Dalam momentum yang akan datang, yakni tanggal 1 Mei hari buruh menjadi sebuah
momentum bagi kalangan buruh yang ingin kembali menyuarakan argumennya mengenai
kesejahteraannya yang serasa diabaikan oleh pemerintah Indonesia. Perppu Cipta Kerja yang
terbaru ini menjadi momok bagi kaum buruh maupun pekerja yang seluruh haknya diatur dalam
peraturan tertulis tersebut. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dijelaskan lebih mendalam
apa apa saja yang menjadi permasalahan dan buah bibir mengenai Peraturan Cipta Kerja pada
dewasa ini.

3
1.2.Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang menjadi dasar bahasan pada makalah kali ini, yakni
sebagai berikut:

a) Landasan teori Perburuhan.


b) Pasal-pasal yang merugikan kaum buruh.
c) Perbandingan UU Cipta Kerja dengan UU Ketenagakerjaan tahun 2003.
d) Kasus kaum buruh yang menggugat UU Cipta Kerja kepada Mahkamah Konstitusi.
e) Dampak negatif UU Cipta Kerja bagi kaum buruh.

1.3.Tujuan Makalah

Dibuatnya makalah ini juga memiliki beberapa poin tujuan, antara lain sebagai berikut:

a) Agar pembaca mengetahui betapa banyaknya masalah peraturan perburuhan di


Indonesia.
b) Agar dapat mengedukasi pembaca mengenai pasal-pasal yang merugikan kaum buruh
pada UU Ciptaker.
c) Untuk memberikan wawasan kepada pembaca maupun penulis mengenai pentingnya
hak buruh dalam peraturan perundang-undangan Indonesia.
d) Untuk memenuhi salah satu tugas terstruktur mata kuliah Hukum Ketenagakerjaan.

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Landasan Teori Perburuhan

Secara umum dapat dirumuskan, bahwa hukum ketenagakerjaan itu adalah sekumpulan
peraturan yang mengatur hubungan hukum antara pekerja atau organisasi pekerja dengan
majikan atau pengusaha atau organisasi majikan dan pemerintah, termasuk didalamnya adalah
proses-proses dan keputusan-keputusan yang dikeluarkan untuk merealisasikan hubungan
tersebut menjadi kenyataan. Maka dari rumusan tersebut ditarik kesimpulan, bahwa hukum
ketenagakerjaan itu adalah suatu himpuna peratuaran yang mengatur hubungan hukum antara
pekerja, majikan atau pengusaha, organisasi pekerja, organisasi pengusaha, dan pemerintah. 1

Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 1 UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan


bahwa hukum ketenagakerjaan juga disebut hukum perburuhan. Dimana pengertian
ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum,
selama, dan sesudah masa kerja.

Sedangkan pengertian pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan


menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.2 Dari perumusan tersebut diatas dapatlah
diambil kesimpulan bahwa hukum ketenagakerjaan mempunyai unsur-unsur sebagai berikut;
serangkaian peraturan yang tertulis maupun yang tidak tertulis bahwa peraturan tersebut
mengenai suatu kejadian dengan adanya orang yang bekerja pada orang lain (majikan) dan
adanya balas jasa yang berupa upah. 3

Terdapat beberapa pendapat dari para sarjana mengenai batasan pengertian Hukum
Perburuhan/Ketenagakerjaan secara berbeda-beda.

1
Darwin Prinst, “Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Buku Pegangan Pekerja Untuk
Mempertahankan hakhaknya)”, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994, hal. 1.
2
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
3
Halili Toha, Hari Pramono, “Hubungan Kerja Antara majikan Dan Buruh”, Jakarta: Bina Aksara,
Cetakan Pertama, 1987, hal. 1.

5
1. Menurut A.N Molenaar, hukum perburuhan adalah suatu bagian dari hukum yang
berlaku, yang mengatur hubungan antara buruh dengan buruh, buruh dengan majikan,
buruh dengan penguasa, dan penguasa dengan penguasa.
2. Menurut Prof. Imam Sorpomo, S.H., hukum perbutuhan adalah himpunan peraturan,
baik tertulis maupun tidak tertulis, yang berkenaan dengan suatu kejadian dimana
seseorang bekerja pada orang lain, dengan menerima upah.
3. Menurut Prof. Dr. Abdullah Sulaiman, S.H., M.H., hukum perburuhan atau
ketenagakerjaan adalah ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur
hubungan kerja antara pemberi kerja dengan penerima kerja yang melahirkan hubungan
4
hukum dengan menerima penghasilan upah atau gaji dan fasilitas kesejahteraan.

Perlindungan Hukum Ketenagakerjaan/Perburuhan di Indonesia

Lahirnya hukum ketenagakerjaan atas dasar pemikiran dalam memberikan


perlindungan bagi para pihak terutama pekerja/buruh sebagai pihak yang lemah dan keadilan
sosial dalam hubungan kerja diantara para pihak yang memiliki persamaan dan perbedaan yang
cukup besar.

Perlindungan terhadap pekerja dapat dilihat pada alinea ke empat pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945 (UUD 45) dan Pasal 27 ayat 2, Pasal 28 D ayat 1 dan ayat 2 yang berbunyi
UUD ’45.

Perlindungan terhadap pekerja/buruh dimaksudkan yaitu: Untuk menjamin


terpenuhinya hak-hak dasar pekerja, menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa
diskriminasi. Perlindungan terhadap pekerja dapat dilakukan baik dengan jalan memberikan
tuntunan, santunan, maupun dengan jalan meningkatkan pengakuan hak-hak asasi manusia,
perlindungan fisik dan sosial ekonomi melalui norma yang berlaku. Selain perlindungan
hukum terhadap pekerja, perlindungan hukum terhadap pengusaha juga sangat diperlukan
mengingat peranannya sebagai penyedia lapangan kerja juga penggerak roda perekonomian
suatu negara. Kewajiban pengusaha adalah untuk memenuhi hak-hak dari pekerja seperti yang
diuraikan diatas, antara lain: Hak atas pekerjaan, hak atas upah yang adil, hak untuk berserikat
dan berkumpul, hak atas perlindungan keamanan dan kesehatan, hak untuk diproses hukum

4
Abdullah Sulaiman dan Andi Wali, 2019, “Hukum Ketenagakerjaan/Perburuhan”, Jakarta:
Yayasan Pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia (YPPSDM), hal. 2-3

6
secara sah, hak untuk diperlakukan secara sama, hak atas rahasia pribadi, hak atas kebebasan
suara hati.

Menurut Soepomo terdapat 3 macam perlindungan terhadap pekerja, yaitu:

 Perlindungan ekonomis, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk


penghasilan yang cukup, termasuk bila tenaga kerja tidak mampu bekerja di luar
kehendaknya;
 Perlindungan sosial, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk jaminan
kesehatan kerja, dan kebebasan berserikat.
 Perlindungan hak untuk berorganisasi dan Perlindungan teknis, yaitu
perlindungan tenaga kerja dalam bentuk keamanan dan keselamatan kerja. 5

Perlindungan hukum selalu terkait dengan peran dan fungsi hukum sebagai pengatur
dan pelindung kepentingan masyarakat. Seperti yang diungkapkan oleh Philipus M Hadjon
bahwa: “hukum perburuhan merupakan disiplin fungsional karena memiliki karakter campuran
yaitu hukum publik dan hukum privat”. Karakter hukum privat mengingat dasar dari hubungan
hukum yang dilakukan oleh pemberi kerja dengan pekerja adalah perjanjian kerja. Sementara
mempunyai karakter hukum publik karena hubungan hukum yang dilakukan oleh pemberi
kerja dengan pekerja harus diatur dan diawasi atau difasilitasi oleh pemerintah dalam rangka
pemberian jaminan perlindungan hukum bagi pekerja. Untuk mewujudkan perlindungan hak-
hak pekerja dapat juga dilakukan melalui pengawasan. Pengawasan ketenagakerjaan
merupakan unsur penting dalam perlindungan tenaga kerja, sekaligus sebagai upaya penegakan
hukum ketenagakerjaan secara menyeluruh, juga sangat diperlukan adanya penegakan hukum
dibidang ketenagakerjaan. Penegakan hukum tidak hanya diartikan sebagai penerapan hukum
positif, tetapi juga penciptaan hukum positif. Apabila timbul masalah dibidang ketenagakerjaan
maka hakim yang menangani tidak mengeluarkan putusan yang hanya didasarkan pada
perjanjian semata yang telah didasari kebebasan berkontrak dan konsensualisme, namun harus
memperhatikan keselarasan dari seluruh prinsip-prinsip yang ada dalam hukum perjanjian
demi mewujudkan perlindungan dan keadilan bagi para pihak. 6

5
Abdul Hakim, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003, hal. 61
6
Sinaga, Niru Anita, and Tiberius Zaluchu. "Perlindungan Hukum Hak-Hak Pekerja Dalam
Hubungan Ketenagakerjaan Di Indonesia." Jurnal Teknologi Industri 6 (2021). hal. 66-67

7
2.2. Pasal-pasal yang Merugikan kaum Buruh

Pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022


tentang Cipta Kerja (Perppu Ciptaker) menjadi undang-undang (UU) diwarnai penolakan.
Meski demikian, pada akhirnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI tetap mengetuk palu
tanda disahkannya perppu itu menjadi UU. Perjalanan UU Cipta Kerja memang tak pernah
mulus. Sejak awal, UU ini menuai banyak penolakan, meski pada akhirnya tetap disahkan.
Dalam perjalanannya, UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah
Konstitusi (MK). Namun, merespons putusan tersebut, pemerintah justru menerbitkan perppu
yang pada akhirnya disahkan menjadi UU.7

Cipta Kerja sendiri menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 6 tahun 2023
adalah upaya penciptaan kerja melalui usaha kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan
koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi dan
kemudahan berusaha, dan investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis
nasional.8 Tujuan awal dari adanya UU Ciptaker adalah sebagai langkah bersama guna
mengakselerasi proses pembangunan nasional, utamanya dengan memberikan kemudahan
berusaha, berkembangnya investasi, sehingga mampu menyerap tenaga kerja, menciptakan
keadilan, dan kesejahteraan rakyat. Namun, Undang-Undang ini mendapat berbagai macam
penolakan terutama dari kaum buruh yang merasa dirugikan.9

Sejumlah poin-poin dalam Undang-Undang Cipta Kerja yang dinilai merugikan buruh,
diantaranya:

1. Waktu kerja yang berlebihan

UU Cipta Kerja mengatur batasan maksimal jam lembur dari tiga jam dalam
sehari dan 14 jam dalam sepekan, menjadi empat jam dalam sehari dan 18 jam dalam

7
Fitria Chusna Farisa, “Jejak Kontroversi UU Cipta Kerja: Disahkan Kilat, Perppu Diketok meski
Banjir Penolakan”, diakses 24 April 2023. https://nasional.kompas.com/read/2023/03/21/14021541/jejak-
kontroversi-uu-cipta-kerja-disahkan-kilat-perppu-diketok-meski-banjir.
8
Lihat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
9
Kementerian Sekretaris Negara Republik Indonesia, “UU Cipta Kerja Percepat Proses
Pembangunan Nasional”, diakses 25 April 2023.
https://www.setneg.go.id/baca/index/uu_cipta_kerja_percepat_proses_pembangunan_nasional.

8
seminggu. Hal ini akan berdampak pada kesehatan buruh dan besaran upah lembur
yang diterima juga tidak akan sebanding. 10 Mengingat, upah minimum yang menjadi
dasar penghitungan upah lembur didasarkan pada mekanisme pasar berdasarkan PP
Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.11

2. Praktik outscourcing meluas

UU Cipta Kerja tidak mengatur batasan kriteria pekerjaan yang dapat


dipekerjakan secara alih daya atau outsourcing. Berdasarkan UU Ketenagakerjaan,
outsourcing hanya dapat dilakukan jika suatu pekerjaan terlepas dari kegiatan utama
atau terlepas dari kegiatan produksi. Sementara itu, UU Cipta Kerja tidak memberikan
batasan demikian. Akibatnya, praktik outsourcing diprediksi makin meluas. Selain itu,
dalam UU Cipta Kerja juga hanya mengatur peralihan perlindungan pekerja pada
perusahaan penyedia jasa atau vendor lain. Hal ini sebagaimana amanat Putusan
Mahkamah Kontitusi (MK) Nomor 27/PUU-IX/2011. Sedangkan, peralihan hubungan
kerja dari vendor ke perusahaan pemberi kerja sebagaimana diatur UU Nomor 13
Tahun 2003 tidak tercantum dalam UU Cipta Kerja. Alhasil, peluang agar hubungan
kerja pekerja outsourcing beralih ke perusahaan pemberi kerja makin kecil. 12

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia, Said Iqbal, menyatakan ada 5


jenis pekerjaan outsourcing yang dihapus yakni cleaning service, catering, security,
driver, dan jasa penunjang perminyakan. Hal ini berarti seluruh jenis pekerjaan dapat
di-outsourcing baik yang sifatnya pekerjaan penunjang dan utama. Praktik
outsourcing juga selama ini membuat buruh tidak memiliki kejelasan terhadap upah,
jaminan kesehatan, jaminan pensiun, dan kepastian pekerjaan. Perusahaan
outsourcing kerap tidak bertanggung jawab terhadap masa depan buruhnya. Mereka

10
Aryo Putranto Saptohutomo, “Perppu Cipta Kerja Atur Durasi Lembur Maksimal 4 Jam Sehari”,
diakses 25 april 2023. https://nasional.kompas.com/read/2023/01/02/18103091/perppu-cipta-kerja-atur-durasi-
lembur-maksimal-4-jam-sehari.
11
Lihat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.
12
Tsarina Maharani, “5 Poin UU Cipta Kerja yang Dinilai Rugikan Buruh”, diakses 25 April 2023.
https://nasional.kompas.com/read/2021/05/01/11505841/5-poin-uu-cipta-kerja-yang-dinilai-rugikan-buruh.

9
terkesan hanya sekedar mengejar success fee atau ongkos yang diterima dari
perusahaan pengguna (user) dari setiap buruh yang disalurkan.13

3. Berkurangnya hak cuti dan istirahat

Istirahat bagi pekerja hanya diperoleh sekali dalam sepekan. Hal ini membuat
pengusaha tidak mempunyai kewajiban untuk memberikan waktu istirahat selama dua
hari kepada pekerja yang telah bekerja selama lima hari dalam sepekan. Apalagi, dalam
UU Cipta Kerja juga buruh dapat dikenakan wajib lembur. Selain itu, UU Cipta Kerja
juga menghilangkan hak cuti panjang selama dua bulan bagi buruh yang telah bekerja
minimal selama enam tahun. Pasal 79 UU Ciptaker hanya mewajibkan perusahaan
memberikan cuti tahunan paling sedikit 12 hari kerja setelah pekerja atau buruh bekerja
setahun. Sedangkan untuk istirahat atau cuti panjang tidak lagi menjadi kewajiban
perusahaan. Perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam
Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. 14

Berbeda dengan UU Ketenenagakerjaan, perusahaan wajib memberikan cuti


tahunan sekurang-kurangnya 12 hari kerja setelah karyawan bekerja satu tahun. Selain
itu juga ada istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 bulan dan dilaksanakan pada tahun
ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 bulan bagi pekerja yang telah bekerja selama
6 tahun. Aturan istirahat dan cuti yang termuat dalam UU Nomor 13 tahun 2003
menekankan kata kewajiban perusahaan. Dengan begitu setiap pekerja dan buruh
memiliki hak yang sama dan dijamin oleh undang-undang.15

4. Sistem kerja kontrak (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu)

Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) tidak dibatasi periode dan batas waktu
kontrak. Pasal 81 angka 15 UU Cipta Kerja mengubah ketentuan Pasal 59 pada UU

13
Ady Thea DA, “Sejumlah Substansi UU Cipta Kerja yang Dinilai Rugikan Buruh”, diakses 25 April
2023. https://www.hukumonline.com/berita/a/sejumlah-substansi-uu-cipta-kerja-yang-dinilai-rugikan-buruh-
lt5fa28130dfb31/?page=2.
14
Ira Guslina Sufa, “10 Poin Penting Perppu Cipta Kerja yang Berpotensi Rugikan Pekerja”,
diakses 25 April 2023. https://katadata.co.id/ira/berita/63b1da77bd319/10-poin-penting-perppu-cipta-kerja-
yang-berpotensi-rugikan-pekerja.
15
Lihat dalam Pasal 79 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

10
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal 81 angka 15 UU Cipta Kerja
menjelaskan bahwa pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang
tidak terlalu lama. Penggunaan frasa "tidak terlalu lama" mengubah ketentuan soal
batas waktu pekerjaan yang penyelesaiannya "tiga tahun" sebagai salah satu kriteria
PKWT. Hal ini diyakini akan membuat pengusaha leluasa menafsirkan frasa "tidak
terlalu lama" dan makin menipisnya kepastian kerja bagi buruh. Demikian juga
perpanjangan PKWT yang kemudian diatur Peraturan Pemerintah (PP).16 KSPI
(Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia) menyatakan, dengan diberlakukannya
pengaturan ini buruh dapat dikontrak dalam jangka pendek, tanpa periode, dan secara
terus menerus atau tanpa batas waktu sehingga menyebabkan buruh kehilangan
kesempatan menjadi karyawan tetap (PKWTT).

5. Rentan mengalami PHK

Buruh rentan mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), salah satunya


ketika mengalami kecelakaan kerja. Pasal 81 angka 42 UU Cipta Kerja menyisipkan
Pasal 154A mengenai alasan pemutusan hubungan kerja. Salah satu alasannya yakni
pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan
tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan. Sementara itu,
pasal 172 UU Ketenagakerjaan menyatakan buruh berhak atas dua kali pesangon jika
mengalami PHK karena sakit berkepanjangan melebihi 12 bulan. Namun, ketentuan
ini dihapuskan melalui UU Cipta Kerja.

Kompensasi pesangon bagi buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja


(PHK) jumlahnya pun dipangkas. UU Cipta Kerja mengurangi besaran kompensasi
pesangon yang diterima buruh dari 32 menjadi 25 bulan upah. Hal ini membuktikan
terjadi ketidakadilan dan sangat merugikan buruh karena nilai jaminan hari tua (JHT)
dan jaminan pensiun (JP) yang diterima buruh Indonesia jumlahnya relatif kecil
dibandingkan negara lain di Asean. Misalnya, kompensasi pesangon di Malaysia hanya
5-6 bulan upah, tapi besaran iuran JHT jaminan hari tua dan pensiun di Malaysia
totalnya 23 % dari upah. Sementara besaran iuran JHT dan JP buruh Indonesia hanya

16
Erizka Peratasari, “Aturan Perpanjangan dan Pembaruan PKWT Pasca UU Cipta Kerja”, diakses 25
April 2023. https://www.hukumonline.com/klinik/a/aturan-perpanjangan-dan-pembaruan-pkwt-pasca-uu-cipta-
kerja-lt57d76d588b24f

11
8,7 % dari upah sebulan. Oleh karena itu wajar jika kompensasi pesangon di Indonesia
jumlahnya lebih besar karena sebagai upaya negara melindungi buruh. 17

6. Sistem upah
Buruh memandang sistem upah yang berlaku dalam UU Cipta Kerja merugikan.
Dengan sistem upah itu, buruh berpotensi mendapatkan upah yang rendah.
Berdasarkan aturan tersebut, formula penetapan upah minimum bisa diubah dalam
keadaan tertentu. Pasal 88F UU Ciptaker berbunyi "Dalam keadaan tertentu
pemerintah dapat menetapkan formula penghitungan upah minimum yang berbeda
dengan formula penghitungan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal
88D ayat 2”. Berdasarkan ketentuan Pasal 88D tersebut, upah minimum dihitung
dengan menggunakan formula penghitungan upah minimum yang mempertimbangkan
variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu. Upah dihitung tanpa
memperhitungkan kebutuhan hidup layak rakyat Indonesia. Hal tersebut berbeda jika
dibandingkan dengan UU Ketenagakerjaan. Pasalnya, dalam UU Ketenagakerjaan,
UMP dihitung dengan turut memperhitungkan komponen kebutuhan hidup layak
(KHL).18

2.3. Perbandingan UU Cipta Kerja dengan UU Ketenagakerjaan tahun 2003

Regulasi atas ketenagakerjaan menjadi amat penting. Pasalnya UU ini terkesan sangat
terburu-buru, karena dalam proses pembuatan UU punya cukup waktu yang lama dalam
menjadi sebuah produk hukum yang akan berdampak pada banyak pihak seperti buruh, pekerja,
dll. karena itu terbantahkan oleh omnibuslaw menyatukan beberapa UU yang mengangkat satu
isu besar yaitu ekonomi.

Data Agustus 2019 pekerja informal sebanyak 70,49 juta yang berarti 55,72% dari total
angkatan kerja di Indonesia. Sedangkan jumlah pekerja formal di periode yang sama sebanyak

17
Ady Thea DA, “Sejumlah Substansi UU Cipta Kerja yang Dinilai Rugikan Buruh”, diakses 25 April
2023. https://www.hukumonline.com/berita/a/sejumlah-substansi-uu-cipta-kerja-yang-dinilai-rugikan-buruh-
lt5fa28130dfb31/?page=2.
18
CNN Indonesia, “Daftar 5 Aturan di Perppu Ciptaker yang Dinilai Buruh Merugikan”, diakses 25
April 2023. https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20230102122802-92-895026/daftar-5-aturan-di-perppu-
ciptaker-yang-dinilai-buruh-merugikan

12
56,02 juta orang. Jumlah tersebut setara 44,28% dari totalnya angkatannya kerjanya di
Indonesia. Pekerja formal adalah mereka yang berusaha dibantu buruh tetap. Juga, yang
menjadi buruh, karyawan, dan pegawai. Tingkat pengangguran terbuka di Agustus 2019
sebesar 5,28%. Angka ini lebih rendah daripada di Agustus 2018 yang di 5,34%., artinya
terdapat lima orang penganggur dari 100 angkatan kerja di Indonesia. 19

Klaster ketenagakerjaan yang terdapat dalam UU Cipta kerja (omnibuslaw) memiliki


beberapa bagian yang mengatur tentang ketenagakerjaan, dalam hal ini ketenagakerjaan hadir
sebagai bentuk kesejahteraan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup. Beberapa hal
yang diatur dalam UU Cipta kerja kluster ketenagakerjaan adalah sebagai berikut: 20

1. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)

Bentuk hubungan kerja yang dilakukan antara pemberi kerja dengan pekerja
adalah melalui Perjanjian Kerja, yang kemudian akan melahirkan hubungan hukum
antara pekerja dengan pengusaha, menurut Lalu Husni “Bahwa hubungan kerja sebagai
bentuk hubungan hukum lahir atau tercipta setelah adanya perjanjian kerja antara
pekerja dengan pengusaha”.

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) sebagai sebuah hubungan kerja,


hanya untuk pekerjaan yang memenuhi syarat-syarat tertentu atau pekerjaan tidak tetap.
PKWT memberikan perlindungan untuk kelangsungan bekerja dan perlindungan hak
pekerja sampai pekerjaan selesai. Hal Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah.
menjelaskan bahwa dalam skema batasan waktu kontrak akan diatur dalam regulasi
turunan seperti Peraturan Pemerintah (PP). Namun dalam pembahasannya masih akan
mempertimbangkan masukan pengusaha dan serikat buruh.

2. Alih Daya Pekerja (Outsorcing)

Alih daya perjanjian kerja harus mensyaratkan pengalihan perlindungan hak-


hak bagi pekerja/buruh apabila terjadi pergantian perusahaan alih daya dan sepanjang
objek pekerjaannya tetap ada.

19
https://www.topbusiness.id/26116/jumlah-pekerja-informal-7049-juta- orang.html, diakses pada
senin 1 may 2023.
20
An-Nizam: Jurnal Hukum dan Kemasyarakatan Vol: 14 No: 02.

13
Dalam praktek, pengertian dasar alih daya adalah pengalihan sebagian atau
seluruh pekerjaan dan atau wewenang kepada pihak lain guna mendukung strategi
pemakai jasa alih daya baik pribadi, perusahaan, divisi ataupun sebuah unit dalam
perusahaan. Jadi, pengertian alih daya untuk setiap pemakai jasanya akan berbeda-
beda. Semua tergantung dari strategi masing-masing pemakai jasa alih daya, baik itu
individu, perusahaan atau divisi maupun unit tersebut.

Pasal 65 disini yang menarik perhatian publik, perusahaan alih daya tidak ada
batasan dalam penyerahan pekerjaan borongan kepada lembaga lain, meski dalam
prakteknya banyak pelanggaran yang dilakukan oleh perusahan jasa, tapi ketika pasal
ini benar dihapuskan. Kewenangan outsourching memiliki kebebasan yang mutlak
dalam pelaksanaan pekerjaan produksi.

Seiring dengan perkembangan zaman , tujuan dari outsourcing tidak hanya


membagi resiko ketenagakerjaan, tetapi menjadi lebih kompleks. Outsourcing telah
menjadi alat manajemen, serta bukan hanya untuk menyelesaikan masalah, tetapi untuk
mendukung sasaran bisnis 21.

3. Waktu Kerja

Waktu kerjaburuh merupakan batasan para pekerja untuk bekerja disetiap


instansi swasta maupun pemerintah, hal ini sudah diatur dalam UU ketenagakerjaan,
setiap buruh memiliki hak untuk istirahat setelah bekerja dan bisa mulai aktivitas sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.

Perubahan yang paling signifikan dalam UU Cipta Kerja yakni jam kerja lembur
yang tadinya dilakukan paling banyak 3 jam dalam 1 hari dan 14 jam dalam 1 minggu
menjadi 4 jam per hari dan 18 jam per minggu. UU Cipta Kerja tidak mengatur soal
waktu istirahat panjang dan diserahkan pengaturannya dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.22

21
32 Richardus Eko Indrajit dan Richardus Djokopranoto, Proses Bisnis Outsourcing, Jakarta, PT.
Gramedia, 2004, hlm. 4-5.
22
Ady thea, 2021, Ada 9 Perubahan UU Ketenagakerjaan Lewat UU Cipta Kerja, di unduh 1 may
2023, https://www.hukumonline.com/berita/a/ada-9-perubahan-uu-ketenagakerjaan-lewat-uu-cipta-kerja-
lt6095378ff0690?page=2

14
4. Upah Minimum kabupaten/Kota (UMK) Tetap Diatur

Upah minimun ditetapkan dengan memperhatikan kelayakan hidup


pekerja/buruh dengan mempertimbangkan aspek pertumbuhan ekonomi atau inflasi.
Apabila terjadi pengalihan pekerjaan dan perusahaan alih daya, masa kerja dari
pekerja/buruh tetap dihitung.

Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk
uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang
ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atauperundang-
undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan
atau jasa yang telah dilakukan. Dengan demikian maka upah yang harus diterima oleh
buruh atau para tenaga kerja kita atas jasa-jasa yang dijualnya haruslah upah yang
wajar.23

5. Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP)

UU Cipta Kerja memuat ketentuan baru, yang tidak ada dalam UU


Ketenagakerjaan, yaitu mengenai Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Pemerintah
memastikan bahwa pesangon betul-betul menjadi hak dan dapat diterima oleh
pekerja/buruh. JKP adalah skema baru terkait dengan jaminan ketenagakerjaan yang
tidak mengurangi manfaat dari berbagai jaminan sosial lainnya seperti Jaminan
Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKm), Jaminan Hari Tua (JHT), dan
Jaminan Pensiun (JP).

JKP merupakan perluasan dari program Sistem Jaminan Sosial Nasional sebagai
perlindungan bagi pekerja yang kehilangan pekerjaan karena mengalami PHK.

6. Tenaga Kerja Asing (TKA)

23
G. Kartasapoetra, et. all., Hukum Perburuhan Indonesia Berdasarkan Pancasila, Jakarta, Bina
Aksara, 1986, hlm. 93.

15
Tenaga Kerja Asing (TKA) dapat dipekerjakan hanya dalam hubungan kerja
untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai jabatan yang
akan diduduki. Setiap pemberi kerja wajib memiliki Rencana Penggunaan Tenaga Kerja
Asing (RPTKA) Pemberi kerja orang perseorangan dilarang memperkerjakan TKA.37

Sesuai dengan isu besar yang diangkat dalam omnibuslaw, yaitu ekonomi dan
peningkatan investasi, TKA menjadi peran penting dalam laju ekonomi, sehingga
kemudahan pekera asing menjadi point penting dalam pengelolaan para pekerja di
Indonesia, yang dibutuhkan oleh pemberi kerja pada jenis kegiatan pemeliharaan mesin
produksi untuk keadaan darurat, vokasi, perusahaan rintisan (start-up), kunjungan
bisnis, dan penelitian untuk jangka waktu tertentu.

7. Pemutus Hubungan Kerja (PHK)

PHK merupakan pemutusan hubungan kerja antar pihak pertama dengan pihak
kedua, berdasar ketentuan yang berlaku pada setiap perjanjian, dalam setiap putusan
kerja pihak 1 berhak atas ketentuan yang berlaku. Jika ditinjau dari jenisnya, perjanjian
kerja dibagi menjadi dua yakni perjanjian kerja waktu tertentu dan perjanjian kerja
waktu tidak tertentu.
Pada sisi lain, adalah hak setiap manusia untuk mendapatkan perlindungan
kemanusiaan di mana pun berada. Atas dasar prinsip- prinsip kemanusiaan tersebut,
setiap negara wajib memberikan perlindungan bagi orang yang terancam jiwanya,
sekalipun orang tersebut bukan warga negaranya.43 Hal ini merupakan sifat hukum
yang secara jelas melindungi warganya dalam bentuk apapun. Kemudahan bagi TKA
dalam memajukan ekonomi sebagai isu besar omnibuslaw, menjadi keliru ketika sebuah
produk hukum tidak dapat mementingkan peran Warga Negara Indonesia (WNI).

2.4. Kasus kaum buruh yang menggugat UU Cipta Kerja kepada Mahkamah Konstitusi

Undang-undang Cipta Kerja atau UU Cipta Kerja (atau Omnibus Law) adalah sebuah
undang-undang yang disahkan oleh pemerintah Indonesia pada Oktober 2020. Undang-undang

16
ini memiliki beberapa pasal yang kontroversial, termasuk pasal yang mengenai fleksibilitas
tenaga kerja, perizinan usaha, dan lingkungan hidup.

Penolakan buruh terhadap UU Cipta Kerja berkaitan dengan pasal-pasal yang mengenai
fleksibilitas tenaga kerja, yang dianggap dapat mengancam hak-hak buruh dan kemampuan
mereka untuk mengorganisir diri dan melakukan mogok kerja.

Beberapa fakta sosial terkait penolakan buruh terhadap UU Cipta Kerja antara lain: 24

1. Aksi protes massal

Setelah UU Cipta Kerja disahkan, terjadi aksi protes massal yang dilakukan oleh buruh
dan serikat pekerja di berbagai kota di Indonesia. Aksi-aksi ini seringkali diwarnai
dengan bentrokan antara demonstran dan aparat keamanan.

2. Unjuk rasa yang berkelanjutan

Meskipun aksi protes massal pada awalnya berlangsung selama beberapa minggu,
namun protes buruh terhadap UU Cipta Kerja terus berlanjut hingga saat ini. Beberapa
aksi protes terbaru dilakukan oleh serikat pekerja dan buruh pada bulan April 2023.

3. Mogok kerja

Selain melakukan aksi protes, beberapa serikat pekerja dan buruh juga melakukan
mogok kerja sebagai bentuk protes terhadap UU Cipta Kerja. Mogok kerja ini dilakukan
untuk menuntut pembatalan pasal-pasal yang dianggap merugikan buruh.

4. Pengaruh pandemi COVID-19

Pandemi COVID-19 juga berpengaruh terhadap penolakan buruh terhadap UU Cipta


Kerja. Beberapa buruh dan serikat pekerja menganggap bahwa UU Cipta Kerja akan
memperburuk kondisi ekonomi dan kesejahteraan mereka di tengah pandemi.

5. Tuntutan pembatalan pasal-pasal

Buruh dan serikat pekerja menuntut pemerintah untuk membatalkan beberapa pasal UU
Cipta Kerja yang dianggap merugikan buruh dan mengancam hak-hak mereka.

24
Rifkianto Nugroho, “Tolak UU Ciptaker Partai Buruh Mogok Massal” diakses 30 April 2023
https://finance.detik.com/foto-bisnis/d-6655140/tolak-uu-ciptaker-partai-buruh-ancam-mogok-massal.

17
Beberapa pasal yang menjadi sorotan antara lain pasal 59 tentang upah minimum, pasal
64 tentang kontrak kerja, dan pasal 93 tentang pemutusan hubungan kerja.

Realita Sosial tersebut dapat di kuatkan berdasarkan Data Responden dimasyarakat


yang menentang hadirnya Undang-Undang Cipta Kerja di Indonesia. Sejak dikeluarkannya
Undang-Undang Cipta Kerja tahun 2020 silam yang menuai kontrovensi dan protes dari
berbagai pihak termasuk serikat buruh dan organisasi masyarakat sipil. Banyak buruh dan
serikat buruh yang mengganggap undang-undang tersebut merugikan pekerja, mengurangi
hak-hak pekerja, dan mempermudah perusahaan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja.
Salah satu riset yang dilakukan oleh Lembaga Surevi Indonesia pada Oktober 2020
menunjukan bahwa sekitar 70% responden menolak Omnibus Law. Lebih khusus lagi, sekitar
80% responden merupakan buruh menyatakan penolakan terhadap undang-undang tersebut.
Riset lain yang dilakukan oleh Indonesia Survey Institute pada bulan yang sama menunjukan
hasil yang serupa. Sekitar 72,6% responden menolak Omnibus Law, sementara 77,7%
responden yang merupakan buruh juga menolak undang-undang tersebut 25.

Selain itu, survei yang dilakukan oleh Aliansi Buruh Menggugat (ABM) pada bulan
September 2020 yang menemukan bahwa sekitar 96.7% dari 34.470 responden yang terdiri
dari buruh dan masyarakat umum menolak Omnibus Law26. Berdasarkan riset dan survei yang
dilakukan menunjukkan bahwa mayoritas buruh menolak Undang-Undang Cipta Kerja atau
Omnibus Law di Indonesia.

Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang Undang-Undang


Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) dihasilkan sebagai tanggapan atas beberapa permohonan uji
materi yang diajukan oleh beberapa pihak terkait dengan sah atau tidaknya UU Cipta Kerja
sebagai undang-undang yang berlaku di Indonesia.

UU Cipta Kerja merupakan undang-undang yang bertujuan untuk memperbaiki iklim


investasi di Indonesia dengan melakukan reformasi di berbagai bidang, seperti
ketenagakerjaan, perpajakan, hingga pengaturan sektor ekonomi kreatif. Namun, sejumlah
pihak menganggap bahwa UU Cipta Kerja mengandung beberapa pasal yang kontroversial dan
dianggap merugikan pekerja.

25
Indonesia Survey Institute, “Responden Penolakan Buruh Terhadap Omnibus Law” Diakses 30
April 2023 https://www.lsi.or.id/
26
Danang Sugianto, “Ini Alasan Buruh Tolak Omnibus Law” Diakses 30 April 2023
https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4865978/ini-alasan-buruh-tolak-omnibus-law

18
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi memutuskan sejumlah pasal UU Cipta Kerja
sebagai tidak sah karena dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Beberapa pasal yang diputuskan tidak sah antara lain Pasal
6A, Pasal 59A, Pasal 59B, Pasal 93, Pasal 94, dan Pasal 170.

Putusan Mahkamah Konstitusi ini menunjukkan bahwa meskipun UU Cipta Kerja


merupakan undang-undang yang telah disahkan oleh DPR dan Presiden, namun jika ada pasal-
pasal dalam undang-undang tersebut yang dianggap tidak sesuai dengan konstitusi, maka
Mahkamah Konstitusi berwenang untuk membatalkannya.

Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 91/PUU-XVIII/2020 UU Cipta Kerja tentunya


memiliki tanggapan yang beragam dari kalangan masyarakat, termasuk buruh. Sebagai
informasi, UU Cipta Kerja sendiri sebelumnya menuai kontroversi dan kritik dari berbagai
pihak, termasuk buruh, karena dianggap dapat merugikan hak dan kepentingan buruh.

Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa UU Cipta Kerja tidak


bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Beberapa poin penting dalam putusan tersebut antara lain: 27

1. Penghapusan upah minimum sektoral (UMS) dan penetapan upah minimum provinsi
(UMP) sebagai dasar penetapan upah minimum.

2. Penyederhanaan prosedur perizinan investasi dan pengurangan biaya perizinan.

3. Perluasan kesempatan kerja melalui deregulasi dan relaksasi ketenagakerjaan.

4. Pemberian perlindungan hukum dan jaminan sosial bagi pekerja informal.

Dalam tanggapan buruh, ada yang merasa kecewa dengan putusan ini karena dianggap
tidak memperhatikan kepentingan dan hak buruh. Sebaliknya, ada juga yang menyambut
positif putusan ini karena dianggap memberikan peluang kerja lebih banyak bagi para buruh.
Namun demikian, yang jelas buruh perlu memperhatikan dengan cermat dampak dari
implementasi UU Cipta Kerja dan bagaimana mereka bisa melindungi hak dan kepentingannya
dalam konteks perubahan ketenagakerjaan yang terjadi.

UU Cipta Kerja yang telah diundangkan serta tidak dibatalkan mengindikasikan bahwa
UU Cipta Kerja masih memiliki daya laku dan daya ikat. Keberlakuan suatu UU didasarkan
pada pengundangannya sebagaimana diatur dalam Pasal 87 UU 12/2011 yang berbunyi:

27
Lihat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (“MK”) Nomor 91/PUU-XVIII/2020, hal 416.

19
“Peraturan Perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada
tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam Peraturan Perundang-undangan yang
bersangkutan.”

Dengan demikian, suatu UU tetap berlaku atau keberlakuannya tidak terpengaruh oleh
ada atau tidaknya peraturan pelaksana. Kendati demikian, kondisi tersebut memiliki kelemahan
yakni kurang efektifnya pelaksanaan UU di masyarakat.

Menurut Prof. Maria Farida Indrati keberlakuan suatu peraturan perundang-undangan


didasarkan pada keabsahan secara formil. Keabsahan ini disebut juga sebagai daya laku
(validitas). Daya laku dari suatu peraturan perundang-undangan ada apabila suatu norma
dibentuk oleh norma yang lebih tinggi dan dibentuk oleh lembaga yang berwenang
membentuknya.28 Setiap orang pun akan mulai terikat dan dianggap telah mengetahui suatu
peraturan apabila peraturan tersebut telah diundangkan dalam lembaran negara.

Selain membutuhkan daya laku, peraturan perundang-undangan juga membutuhkan


daya guna (efficacy) yang berhubungan dengan efektivitas suatu norma untuk berlaku di
masyarakat. UU yang belum memiliki peraturan pelaksana belum sepenuhnya memiliki daya
guna. Padahal daya laku dan daya guna seharusnya berjalan beriringan, sebab daya guna
berhubungan erat dengan manfaat dirumuskannya suatu UU yang akan menjadi solusi atas
permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat. 29

Jika dihubungkan dengan kondisi UU Cipta Kerja pasca Putusan MK, maka kondisi ini
dapat dikatakan bahwa UU Cipta Kerja tetap berlaku meskipun kondisi norma tidak berdaya
guna secara efektif.30 Di sisi lain, Putusan MK atas UU Cipta Kerja masih memiliki sisi multi
tafsir karena dalam amar angka 7 putusan a quo, MK tidak memberikan kejelasan pada makna
“tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas”

Hal ini tentunya akan menimbulkan kebingungan pada pemerintah yang hendak
melaksanakan UU Cipta Kerja dan masyarakat pada umumnya. Ahli Hukum Tata Negara UGM
Zainal Arifin Mochtar pun turut berpendapat bahwa tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai

28
Maria Farida Indrati S. Ilmu Perundang-undangan. Yogyakarta: PT Kanisius, 2007, hal. 39.
29
Tjondro Tirtamulia. Peraturan Perundang-undangan dalam Sistem Hukum Nasional. Surabaya:
Universitas Surabaya, 2016, hal. 32-34.
30
ibid

20
makna sebenarnya dalam menentukan suatu yang termasuk dalam tindakan/kebijakan yang
tergolong strategis dan berdampak luas. 31

2.5. Dampak Negatif UU Cipta Kerja bagi Kaum Buruh

1. Melegitimasi investasi perusak lingkungan, mengabaikan investasi rakyat dan


masyarakat adat yang lebih ramah lingkungan dan mensejahterakan
Kolaborasi investor dengan pemerintah Indonesia nyatanya belum mampu
meningkatkan pertumbuhan ekonomi serta perdagangan dikarenakan ketidak selektifan
pemerintah dalam membuka ruang terhadap investor asing. Dalam artian investor yang
telah diberikan ruang oleh pemerintah belum mampu untuk menjawab permasalahan-
permasalahan yang dihadapi, salah satunya permasalahan terkait buruh yang mana
banyak para investor asing ini yang mengeksploitasi para buruh atau tenaga kerja
Indonesia, serta banyak juga para investor asing yang memanfaatkan hubungan
bilateral untuk memperluas pengeksploitasian alam serta merusak alam yang ada di
Indonesia. Tetapi pemerintah masih saja mempertahankan para investor asing dan
melupakan masyarakat lokal atau investor lokal yang juga dapat membantu
meningkatkan pertumbuhan perekonomian di Indonesia serta membuka lapangan
pekerja.32
2. Masalah sosial ekonomi
Salah satu alasan banyak masyarakat yang menolak RUU Cipta Kerja
dikarenakan perusahaan akan mudah melakukan pemutusan hubungan kerja atau PHK
karyawan. Bagi pekerja/buruh, terjadinya PHK berdampak sangat luas bagi
kehidupanya tidak hanya bagi dirinya pribadi namun juga keluarganya, karena tidak
dapat lagi memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya. 33
3. Mengurangi penghasilan pekerja

31
Zainal Arifin Mochtar dalam Diskusi Constitutional Law Society Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
“Membaca Arah Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Uji Formil UU Cipta Kerja: Bagaimana Selanjutnya?”
Diakses 30 April
32
Yusril Rahman Hakim, 2021, “Kebijakan Omnibus Law dalam Perspektif Kebijakan Buruh Di Indonesia”,
Journal of Politics and Government 3 (1): 258-259.
33
Dicky Cahya Permana Adhi, 2022, Publikasi Ilmiah: Analisis Dampak Undang-Undang Cipta
Kerja terhadap Karyawan Perusahaan dalam Mendapatkan Hak-Haknya ketika Terjadi Pemutusan Hubungan
Kerja, Surakarta: UMS, hlm 4.

21
UU Cipta Kerja menghilangkan ketentuan pasal 89 Undang-Undang
Ketenagakerjaan dan menambah beberapa poin pada pasal 88C. Tertuang dalam pasal
88C ayat (1) yang menyatakan bahwa “Gubernur wajib menetapkan upah minimum
provinsi.” selanjutnya dalam pasal 88C ayat (2) yang menyatakan bahwa “Gubernur
dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu.” Frasa pada
kata “dapat” dinilai akan adanya kemungkinan gubernur tidak menetapkan upah
minimum kabupaten/kota, karena penetapannya bersifat tidak wajib dan hal ini akan
memberikan dampak kepada buruh/pekerja dalam penerimaan upah yang bersifat
murah.34
Ketentuan dalam pasal 88 ayat 2 juga dinilai hanya memberikan kewajiban upah
minimum Provinsi sedangkan upah minimum di Kabupaten/Kota bersifat pilihan atau
opsional. Padahal upah minimum Provinsi meniliki nilai paling rendah, karena upah
minimum Kabupaten/Kota wajib menetapkan nilai lebih tinggi dari upah Provinsi. Oleh
karena itu, akan adanya kemungkinan disparitas kondisi ekonomi-sosial antar
Kabupaten/Kota dalam suatu Provinsi. Selain itu ketentuan upah minimum
Kabupaten/Kota yang memiliki syarat tertentu dapat mengakibatkan potensi merugikan
pekerja karena dapat mengurangi penghasilan pekerja di sektor masing-masing.35
Adanya kemungkinan nilai upah minimum pekerja sektor pertambangan atau sektor
otomotif disamakan dengan pekerja sektor makanan atau sektor tekstil yang sebenarnya
pekerja sektor pertambangan atau sektor otomotif mempunyai keahlian khusus yang
tentu berbeda dengan pekerja sektor makanan atau sektor tekstil yang memang
berkonsekuensi terhadap upah.36

34
Ima Qimmatul Maflahah, 2022, Skripsi: Ketentuan Pengupahan dalam UU No. 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja Perspektif Fikih Siyasah, Jakarta: UIN Jakarta, hlm 41.
35
Ibid, hlm 41-42.
36
Ibid, hlm 42.

22
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Peraturan tentang perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia memang menarik


untuk diperpincangkan, karena memang banyak sekali poin-poin didalam peraturan tertulis
yang amat merugikan para buruh baik dari segi material maupun non material. Penggugatan
uji materil kepada Mahkamah Konstitusi (MK) terus diajukan seakan tak ada hentinya oleh
para buruh yang hendak menuntut haknnya dapat diperhatikan oleh pemerintahan negara.

Jika dilihat pada peraturan yang terbaru yaitu Perppu Cipta Kerja yang tempo hari telah
disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), didalamnya memiliki pasal-pasal yang
membuat para buruh gerah akan peraturan tersebut. Pengimplementasiannya dikehidupan
perburuhan menuai banyak sekali protes dari berbagai kalangan, termasuk masyarakat umum.
Bagaimana tidak, didalam peraturan tersebut ada beberapa perubahan dari segi upah, waktu
kerja, dan lain-lain yang dianggap tak berperikemanusiaan jika diterapkan. Maka dari itu
Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan dari adanya respon gugatan uji materil UU Cipta
Kerja menyatakan membatalkan atau menghapus beberapa pasal yang berlawanan dengan
dasar konstitusi, yakni UUD 1945.

Antusiasme gugatan tersebut diramaikan juga oleh masyarakat umum yang memiliki
keprihatinan juga terhadap buruh di Indonesia, ditambah pada saat itu wabah Covid 19 sedang
merebak dan mempengaruhi sektor perekonomian dan kesejahteraan pekerja di Indonesia. Hal
ini tentu dapat dimaklumi oleh pemerintah negara yang mana Indonesia merupakan negara
yang berprinsip kerakyatan, tidak boleh ada satupun Undang-Undang yang dapat mengancam
kesejahteraan rakyat negaranya.

3.2. Saran

Penulis menyadari bahwasannya penulisan dalam makalah ini masih banyak


kekurangan, oleh karena itu penulis berharap kritik dan saran dari pembimbing dan rekan
mahasiswa/i sekalian yang bersifat membangun agar penulis bisa membuat makalah yang lebih
baik pada waktu yang akan datang. Berdasarkan pengetahuan penulis maka penulis

23
memberikan saran untuk mengakses sumber sumber yang penulis telah sertakan untuk
pemahaman lebih lanjut untuk topik terkait dan untuk kesalahan penulisan nama, penerbit,
daerah dan judul itu adalah kesalahan penulis, karena pada dasarnya penulis bukanlah makhluk
yang sempurna.

24
DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti


Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

Putusan Mahkamah Konstitusi (“MK”) Nomor 91/PUU-XVIII/2020.

Halili Toha, Hari Pramono, “Hubungan Kerja Antara majikan Dan Buruh”, Jakarta: Bina
Aksara, Cetakan Pertama, 1987.

Darwin Prinst, “Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Buku Pegangan Pekerja Untuk


Mempertahankan hakhaknya)”, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994.

Abdullah Sulaiman dan Andi Wali, 2019, “Hukum Ketenagakerjaan/Perburuhan”, Jakarta:


Yayasan Pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia (YPPSDM).

Abdul Hakim, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Berdasarkan Undang-Undang


Nomor 13 Tahun 2003, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003.

Sinaga, Niru Anita, and Tiberius Zaluchu. "Perlindungan Hukum Hak-Hak Pekerja Dalam
Hubungan Ketenagakerjaan Di Indonesia." Jurnal Teknologi Industri 6 (2021).

CNN Indonesia, “Daftar 5 Aturan di Perppu Ciptaker yang Dinilai Buruh Merugikan”, diakses
25 April 2023. https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20230102122802-92-
895026/daftar-5-aturan-di-perppu-ciptaker-yang-dinilai-buruh-merugikan.
DA, Ady Thea, “Sejumlah Substansi UU Cipta Kerja yang Dinilai Rugikan Buruh”, diakses
25 April 2023. https://www.hukumonline.com/berita/a/sejumlah-substansi-uu-cipta-
kerja-yang-dinilai-rugikan-buruh-lt5fa28130dfb31/?page=2.
Farisa, Fitria Chusna, “Jejak Kontroversi UU Cipta Kerja: Disahkan Kilat, Perppu Diketok
meski Banjir Penolakan”, diakses 24 April 2023.
https://nasional.kompas.com/read/2023/03/21/14021541/jejak-kontroversi-uu-cipta-
kerja-disahkan-kilat-perppu-diketok-meski-banjir.
Kementerian Sekretaris Negara Republik Indonesia, “UU Cipta Kerja Percepat Proses
Pembangunan Nasional”, diakses 25 April 2023.

25
https://www.setneg.go.id/baca/index/uu_cipta_kerja_percepat_proses_pembangunan
_nasional.
Maharani, Tsarina, “5 Poin UU Cipta Kerja yang Dinilai Rugikan Buruh”, diakses 25 April
2023. https://nasional.kompas.com/read/2021/05/01/11505841/5-poin-uu-cipta-
kerja-yang-dinilai-rugikan-buruh..
Peratasari, Erizka, “Aturan Perpanjangan dan Pembaruan PKWT Pasca UU Cipta Kerja”,
diakses 25 April 2023. https://www.hukumonline.com/klinik/a/aturan-perpanjangan-
dan-pembaruan-pkwt-pasca-uu-cipta-kerja-lt57d76d588b24f.

Saptohutomo, Aryo Putranto, “Perppu Cipta Kerja Atur Durasi Lembur Maksimal 4 Jam
Sehari”, diakses 25 april 2023.
https://nasional.kompas.com/read/2023/01/02/18103091/perppu-cipta-kerja-atur-
durasi-lembur-maksimal-4-jam-sehari.
Sufa, Ira Guslina, “10 Poin Penting Perppu Cipta Kerja yang Berpotensi Rugikan Pekerja”,
diakses 25 April 2023. https://katadata.co.id/ira/berita/63b1da77bd319/10-poin-
penting-perppu-cipta-kerja-yang-berpotensi-rugikan-pekerja.
An-Nizam: Jurnal Hukum dan Kemasyarakatan Vol: 14 No: 02

https://www.topbusiness.id/26116/jumlah-pekerja-informal-7049-juta- orang.html, diakses


pada senin 1 may 2023.

Richardus Eko Indrajit dan Richardus Djokopranoto, Proses Bisnis Outsourcing, Jakarta, PT.
Gramedia, 2004.

Ady thea, 2021, Ada 9 Perubahan UU Ketenagakerjaan Lewat UU Cipta Kerja, di unduh 1
may 2023, https://www.hukumonline.com/berita/a/ada-9-perubahan-uu-
ketenagakerjaan-lewat-uu-cipta-kerja-lt6095378ff0690?page=2

G. Kartasapoetra, et. all., Hukum Perburuhan Indonesia Berdasarkan Pancasila, Jakarta, Bina
Aksara, 1986.

Rifkianto Nugroho, “Tolak UU Ciptaker Partai Buruh Mogok Massal” diakses 30 April 2023
https://finance.detik.com/foto-bisnis/d-6655140/tolak-uu-ciptaker-partai-buruh-
ancam-mogok-massal
Indonesia Survey Institute, “Responden Penolakan Buruh Terhadap Omnibus Law” Diakses
30 April
https://www.lsi.or.id/
Danang Sugianto, “Ini Alasan Buruh Tolak Omnibus Law” Diakses 30 April 2023

26
https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4865978/ini-alasan-buruh-tolak-
omnibus-law.

Maria Farida Indrati S. Ilmu Perundang-undangan. Yogyakarta: PT Kanisius, 2007.

Tjondro Tirtamulia. Peraturan Perundang-undangan dalam Sistem Hukum Nasional.


Surabaya: Universitas Surabaya, 2016.

Zainal Arifin Mochtar dalam Diskusi Constitutional Law Society Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada. “Membaca Arah Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Uji Formil UU
Cipta Kerja: Bagaimana Selanjutnya?” Diakses 30 April 2023.

Adhi, Dicky Cahaya Permana. 2022. Analisis Dampak Undang-Undang Cipta Kerja
terhadap Karyawan Perusahaan dalam Mendapatkan Hak-Haknya ketika Terjadi
Pemutusan Hubungan Kerja. Publikasi Ilmiah, Surakarta: Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Hakim, Yusril Rahman. 2021. "Kebijakan Omnibus Law dalam Perspektif Kebijakan Buruh
di Indonesia." Journal of Politics and Government 258-259.
Maflahah, Ima Qimmatul. 2022. Ketentuan Pengupahan dalam UU No. 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja Perspektif Fikih SIyasah. Skripsi, Jakarta: Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah.

27

Anda mungkin juga menyukai