Anda di halaman 1dari 133

UNIVERSITAS PANCASILA

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Penyelenggara Transaksi Elektronik

Terhadap Perlindungan Data Pribadi (Data Privacy) Pengguna

SKRIPSI

Marwan O Baasir
3017215023

Fakultas Hukum
Program Reguler Khusus
Jakarta, Februari 2020
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama : Marwan O Baasir

i
ii

NPM : 3017215023

Tanda Tangan :

Tanggal : 1 Februari 2020

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi ini merupakan hasil penelitian,


pemikiran dan pemaparan asli saya sendiri.
Apabila dikemudian hari terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam
pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademi sesuai dengan peraturan
yang berlaku di Fakultas Hukum Universitas Pancasila.

Demikian pernyataan ini saya buat.

Jakarta, 1 / 02 / 2020
Yang membuat Pernyataan

Marwan O Baasir

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini diajukan oleh :


iii

Nama : Marwan O Baasir


NPM : 3017215023
Program Studi : Hukum Praktisi
Judul Skripsi : Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Penyelenggara
Transaksi Elektronik Terhadap Perlindungan Data
Pribadi (Data Privacy) Pengguna

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian
persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas
Hukum, Universitas Pancasila.
DEWAN PENGUJI

Pembimbing : Hasbullah,S.H.,M.H. (……………………………..)

Pembimbing : Yamin,S.H.,M.H. (……………………………..)

Penguji : …………………… (……………………………..)

Penguji : ……………………. (……………………………..)

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : Februari 2020
iv

PRAKATA

Alhamdulillah, puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga skripsi dengan judul

“Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Penyelenggara Transaksi Elektronik

Terhadap Perlindungan Data Pribadi (Data Privacy) Pengguna” dapat

terselesaikan dengan baik.

Penulis menyadari bahwa Skripsi ini dapat tersusun dengan baik tidak terlepas

dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan kali ini

penulis akan menyampaikan ucapan terimakasih kepada:

1. Prof. Dr. Wahono Sumaryono, Apt., Rektor Universitas Pancasila Jakarta;

2. Prof. Dr. Eddy Pratomo SH, MA, Dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasila

Jakarta;

3. Dr. Zaitun Abdullah, S.H., M.H., M.Hum., Wakil Dekan I Bidang Akademik

Fakultas Hukum Universitas Pancasila;

4. Dr. Andi Wahyu Wibisana, S.H.,M.H., sebagai Ketua Bagian Pidana Fakultas

Hukum Universitas Pancasila;

5. Bapak Hasbullah, S.H.,M.Hum. sebagai dosen pembimbing materi yang telah

memberikan bimbingan, motifasi, saran, dan kritik yang membangun dengan

sabar dan tulus sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini;


v

6. Bapak Yamin ,S.H., M.H., sebagai dosen pembimbing teknis materi yang telah

memberikan bimbingan, motifasi, saran, dan kritik yang membangun dengan

sabar dan tulus sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini;

7. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasila Jakarta yang telah

memberikan ilmunya yang bermanfaat bagi penulis dikemudian hari.

8. Seluruh Tenaga Kependidikan Fakultas Hukum Universitas Pancasila yang telah

memberikan pelayanan dengan baik.

9. Kepada Keluarga saya : Ratna Virgianti, Lutfiah Mahry, Sabrina Rahma dan

Sheila Rezkia serta kakak-kakak dan adik-adik yang selalu bertukar pikiran dan

ide-ide baru dalam berdiskusi, tidak lupa selalu memberikan do’a, motivasi dan

dukungan baik moral maupun material, sehingga Penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini dengan baik.

10. Teman-teman di Fakultas Hukum Universitas Pancasila khususnya kelar Reguler

Khusus sebagai teman perjuangan yang hebat dan semua pihak yang telah

membantu dalam penyusunan skripsi ini;

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan sehingga

diharapkan adanya kritik dan saran dari semua pihak. Akhirnya,semoga skripsi ini

bermanfaat bagi para pembaca dan bagi perkembangan hukum di Indonesia.

Jakarta, 1 Februari 2021


vi

Marwan O Baasir
vi

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan dengan permasalahan tentang bagaimanakah


pengaturan kewajiban korporasi penyelenggara transaksi elektronik dalam
melindungi data privasi pengguna, serta bagaimana tanggung jawab pidana korporasi
penyelenggara transaksi elektronik dalam rangka perlindungan data privasi pengguna.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menjelaskan tentang
pengaturan kewajiban korporasi penyelenggara transaksi elektronik dalam
melindungi data privasi pengguna, selain itu juga Untuk mengetahui dan mengkaji
tanggung jawab pidana korporasi penyelenggara transaksi elektronik dalam rangka
perlindungan data privasi ( data privacy) pengguna.
Metode yang digunakan penelitian ini mengunakan jenis penelitian normatif
yang didukung dengan pendekatan empiris dalam penyelenggaran sistem dan
transaksi elektronik. Akhirnya, dengan menggunakan perspektif Undang-Undang
Nomor 11 tahun 2008 sebagaimana yang telah diubah dalam Undang-Undang Nomor
19 Tahun 2016 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) serta peraturan pelaksananya, penelitian ini
mencoba untuk menemukan perangkat kewajiban serta sistem pertanggungjawaban
pidana bagi korporasi penyelenggara sistem dan transaksi elektronik.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan ditemukan bahwa
berdasarkan regulasi yang ada, Korporasi penyeleggara dalam menyelenggarakan
sistem dan transaksi elektronik memiliki kewajiban untuk melindungi dan menjaga
kualitas penyelenggaran sistem dan transaksi elektroniknya baik sebelum digunakan,
saat digunakan maupun setelah digunakan. Adapun terhadap adanya pelanggaran
terhadap ketentuan mengenai penyelenggaran sistem dan transaksi elektronik
khususnya oleh korporasi penyelenggara, sudah seharusnya dapat dimintakan
pertanggungjawaban pidana, dengan melihat indikator bahwa korporasi
penyelenggara tidak hanya telah membiarkan terjadinya tindak pidana, tetapi juga
korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan
pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap
ketentuan hukum yang berlaku.

Kata Kunci: penyelenggara sistem dan transaksi elektronik, data privasi,


Pertanggungjawaban pidana Korporasi
vii

ABSTRACT

This research was conducted with the problem of how to regulate the
corporate obligations of electronic transaction administrators in protecting user
privacy data, as well as how the criminal responsibility of electronic transaction
organizers in the context of protecting user privacy data. The purpose of this research
is to find out and explain about the regulation of the corporate obligations of
implementing electronic transactions in protecting user privacy data, in addition to
knowing and studying the criminal responsibility of electronic transaction organizers
in the context of protecting user data privacy (data privacy).
The method used in this study uses a type of normative research that is
supported by an empirical approach in the implementation of electronic systems and
transactions. Finally, using the perspective of Law Number 11 of 2008 as amended in
Law Number 19 of 2016 concerning amendments to Law Number 11 of 2008
concerning Electronic Information and Transactions (ITE) and its implementing
regulations, this study attempts to find out set of obligations as well as a criminal
liability system for corporations that operate electronic systems and transactions.
Based on the results of the research that has been conducted, it is found that
based on existing regulations, organizing corporations in implementing electronic
systems and transactions have the obligation to protect and maintain the quality of
their electronic transactions and systems both before use, during use and after use. As
for the violation of the provisions regarding the implementation of electronic systems
and transactions, especially by the organizing corporation, criminal responsibility
should be made, by looking at the indicator that the organizing corporation has not
only allowed criminal acts to occur, but also the corporation has not taken the
necessary steps to carry out prevention, prevent a bigger impact and ensure
compliance with applicable legal provisions.

Keywords: system administrators and electronic transactions, privacy data,


corporate criminal liability
viii

Daftar Isi

Halaman

HALAMAN JUDUL i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ii

LEMBAR PENGESAHAN iii

PRAKATA iv

ABSTRAK vi

ABSTRACT vii

DAFTAR ISI viii

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xii

Bab I Pendahuluan 13

A. Latar Belakang Masalah 13

B. Pokok Permasalahan 17

C. Tujuan Penelitian 17

D. Kerangka Konseptual 18

a. Sistem Elektronik 18

b. Penyelenggara Sistem Elektronik 19

c. Korporasi 20

d. Kejahatan Siber 21

e. Data Privasi 22
ix

f. Ketentuan Pidana Pelanggaran Privasi dalam Undang-Undang

Informasi dan Transaksi Elektronik 23

E. Metodologi Penelitian 25

1. Jenis Penelitian 25

2. Jenis Data 26

3. Tipe Penelitian 29

4. Alat dan metode Pengumpulan Data 30

5. Metode Analisis dan Penyajian Data 30

F. Sistematika Penulisan 30

Bab II Tinjauan Umum Tentang Data Privas Dan Tindak Kejahatan Siber

Dalam Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik 32

A. Tinjauan Umum Tentang Data Privasi 32

1. Perkembangan dan Ruang Lingkup Data Privasi 32

2. Perlindungan Data Privasi 41

3. Kejahatan terhadap privasi 45

B. Perkembangan penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik di

Indonesia 50

C. Tindak kejahatan siber dalam penyelenggara sistem dan transaksi

elektronik 55

1. Ruang Lingkup Tindak Kejahatan Siber 55

2. Jenis dan Klasifikasi Tindak Pidana Siber 58


x

Bab III. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Penyelenggara Sistem Dan

Transaksi Elektronik Dalam Perlindungan Data Pribadi Pengguna

63

A. Pengaturan Kewajiban Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik di

Indonesia 63

B. Pidana Korporasi dalam Pelanggaran Data Privasi Pengguna 84

1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Penyelenggara Sistem dan

Transaksi Elektronik. 84

2. Mekanisme Perlindungan Data Privasi Pengguna Sistem dan Transaksi

Elektronik 98

a. Pencegahan hukum atas pelanggaran data privasi oleh Korporasi

Penyelenggara Sistem dan Transaksi Elektronik 98

b. Penegakan hukum pelanggaran data privasi oleh Korporasi

Penyelenggara Sistem dan Transaksi Elektronik 110

Bab IV Penutup 120

A. Kesimpulan 120

B. Saran 121

Daftar Pustaka 123


xi

Daftar Tabel

Halaman

Tabel 1. Kewajiban Penyelenggara Sistem dan Transaksi Elektronik 75


xii

Daftar Gambar

Halaman

Gambar 1 Grafik Data Kasus kebocoran data, sejak januari hingga juni 2020 18

Gambar 2 Cybercrime Taxonomy 61


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Telematika yang juga dikenal sebagai the new hybrid technology, lahir akibat

perkembangan teknologi terpadu dalam bentuk konvergensi digital, yang telah

mengakibatkan teknologi telekomunikasi, penyiaran dan informatika didalam dunia

perdagangan menjadi satu kesatuan (integrated) terhubung dengan jaringan internet

publik baik di tingkat nasional maupun di tingkat global. Perubahan teknologi

informasi telah menyebabkan dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan

menyebabkan perubahan sosial yang secara signifikan berlangsung demikian cepat.

Pada perkembangannya yang pesat hingga saat ini, teknologi informasi dianggap

menjadi pedang bermata dua, karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan

kesejahteraan, kemajuan dan peradaban manusia, ternyata sekaligus dapat menjadi

sarana efektif perbuatan melawan hukum. Berkembangnya teknologi informasi pada

umumnya dan teknologi internet pada khususnya telah mempengaruhi dan setidak-

tidaknya memilki keterkaitan yang signifikan dengan instrument hukum positif

nasional. Sistem perdagangan elektronik menawarkan produk-produk dengan sebuah

model yang kreatif dan inovatif mengikuti kemajuan teknologi informasi. Model ini

tentunya juga dipahami sebagai konstruksi terhadap model perjanjian “klasik” yang

selama ini dikenal. Meskipun berbeda secara bentuk, akan tetapi secara substansi

tetaplah sama dengan sentuhan modifikasi.

13
14

Khusus di bidang pidana, perkembangan teknologi komputer, teknologi

informasi, dan teknologi komunikasi tidak lepas dari faktor yang menyebabkan

munculnya tindak pidana baru dengan karakteristik yang berbeda dengan tindak

pidana konvensional, dimana penyalahgunaan komputer sebagai salah satu dampak

dari ketiga perkembangan teknologi tersebut itu tidak terlepas dari sifatnya yang khas

sehingga membawa persoalan yang rumit dipecahkan berkenaan dengan masalah

penanggulangannya (penyelidikan, penyidikan hingga dengan penuntutan).1Salah

satu kejahatan yang ditimbulkan oleh perkembangan dan kemajuan teknologi

informasi atau telekomunikasi adalah kejahatan yang berkaitan dengan aplikasi

internet. Kejahatan ini dalam istilah asing sering disebut dengan cybercrime.

Apa yang menjadi penyebab berkembangnya cyber crime dapat dilihat dalam

penelitian oleh United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), pada 2011,

setidaknya 2,3 miliar orang setara dengan lebih dari sepertiga dari total populasi

dunia, memiliki akses ke internet. Lebih dari 60 persen dari semua pengguna internet

berada di negara berkembang, dengan 45 persen dari semua pengguna internet di

bawah usia 25 tahun. Pada tahun 2017, diperkirakan bahwa langganan broadband

seluler akan mendekati 70 persen dari total populasi dunia. Pada tahun 2020, jumlah

perangkat jaringan ('internet of things') akan melebihi jumlah orang dengan enam

banding satu, mengubah konsepsi internet saat ini. Dalam dunia hyperconnected,

akan sulit membayangkan 'kejahatan komputer', dan mungkin kejahatan apa pun,

yang tidak melibatkan bukti elektronik yang terkait dengan konektivitas protokol

1
Edmon Makarim , Pengantar Hukum Telematika (Suatu Kajian Kompilasi), (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada , 2005), hlm. 426.
15

internet (IP).2 Adapun salah satu cyber crime kontemporer yang hingga saat ini

sering menjadi permsalahan adalah terkait dengan pelanggaran data privasi.

Apabila dilihat pada ditelusuri di Indonesia, regulasi yang mengatur tentang

pelanggaran data privasi sebagai suatu kejahatan diatur dalam beberapa peraturan

perundang-undangan, yakni dalam UU telekomunikasi dan UU Nomor 11 Tahun

2008 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun

2016, dan secara khusus yang terkait dengan perlindungan terhadap konsumen yakni

dalam UU nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU PK).

Meskipun demikian, jika ditilik dalam ketentuan-ketentuan tersebut, pada dasarnya

belum secara sepenuhnya mengatur tentang bagaimana pengkategorian data privasi,

apa dan bagaimana penegakan terhadap pelanggaran data privasi, ketentuan tersebut

masih mengatur kategori perbuatan yang melanggar“data milik orang lain” serta

terkait dengan pertanggungjawaban pidananya.

Sehubungan dengan masalah pertanggungjawaban pidana, Barda Nawawi Arief

menyatakan bahwa untuk adanya pertanggungjawaban pidana harus jelas terlebih

dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini berarti harus dipastikan

terlebih dahulu siapa yang dinyatakan sebagai pembuat untuk suatu tindak pidana

tertentu. dan mengenai hal tersebut tentu mengarah kepada subjek yang dapat

dilekatkan suatu pertanggunajawaban. Saat ini, hukum pidana Indonesia, tidak hanya

melekatkannya pada perseorangan tetapi juga terhadap korporasi, hal ini dapat dilihat

dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara
2
United Nations Office on Drugs and Crime, Comprehensive Study on Cybercrime, (Vienna:
UNODC, 2013), hal xvii, E-Book diambil dari https://www.unodc.org/documents/organized-
crime/cybercrime/CYBERCRIME_STUDY_210213.pdf pada 24 Desember 2019.
16

Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi, Dimana dalam pertimbangannya

huruf a disebutkan bahwa “korporasi sebagai suatu entitas atau subjek hukum yang

keberadaannya memberikan kontribusi yang besar dalam meningkatkan pertumbuhan

ekonomi dan pembangunan nasional, namun dalam kenyataannya korporasi ada

kalanya juga melakukan berbagai tindak pidana (corporate crime) yang membawa

dampak kerugian terhadap negara dan masyarakat.

Sebagaimana diketahui, saat ini dalam penyelenggaran bisnis di bidang

teknologi informasi, korporasi sebagai penyedia jasa sudah sangat berkembang dan

dalam penyelenggaraan bisnisnya rentan terhadap pelanggaran atas data privasi

pengguna, salah satu contoh kasus pelanggaran data pribadi yang pernah terjadi dan

dilakukan oleh pihak perusahaan swasta yaitu bocornya data pelanggan pada awal

2011. Hal itu terungkap dari iklan di sebuah surat kabar nasional, di mana saat itu,

perusahaan penyedia layanan SMS Gateway, yaitu PT Bumi Kharisma lininusa, yang

memiliki software SMS center bernama Sempro Data, dalam iklan tersebut

menyebutkan dapat menyediakan 25 juta data pelanggan seluler aktif, valid dan

legal, seluruh Indonesia untuk sms promo” dan juga bocornya data pribadi 23 juta

pelanggan Telkomesl pada tahun 2011 serta data kartu kredit yang dijual belikan.3

Pada perkembangannya, dengan teknologi informasi komunikasi berbasis

komputer yang telah berkembang sangat pesat ditambah pola interaksi dunia maya di

masyarakat. JIka dilihat perkembangan tiga tahun terakhir, kasus dan jenis kebocoran

data privasi pun semakin banyak dan beragam, berdasarkan laporan dari perusahaan
3
Richardus Eko Indrajit, Fenomena Kebocoran Data: Mencari Sumber Penyebab dan Akar
Permasalahannya, artikel diakses dari http://www.idsirtii.or.id/doc/IDSIRTII-Artikel309-Fenomena
Kebocoran Data.pdf, diakses pada 22 Januari 2017
17

keamanan Gemalto, ada 4,5 miliar data telah dicuri selama paruh pertama 2018,

Adapun jumlah kasus pencurian data sebanyak 945 kasus. Sementara, pada 2017

kasus pencurian data mencapai 1.162 kasus.4

Selanjutnya menurut data Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) tahun

2019, sektor perbankan masih memimpin kasus kebocoran data, dengan banyaknya

pengaduan kasus pencurian data, yaitu sebanyak 106 kasus, diikuti dengan pinjaman

daring 96 kasus, sementara sektor asuransi menempati peringkat terakhir, yaitu ke

sepuluh dengan 21 kasus,5

Adapun ditahun 2020, data menunjukan, ada 54 kasus pencurian data e-

commerce, selanjutnya di sektor telekomunikasi ada 31 Kasus, Listrik 28 Kasus,

pinjaman online 27 Kasus, lain-lain 20 kasus, perbankan ada 17 kasus, perumahan 16

kasus, asuransi 15 kasus, kemudian kasus-kasus lain diberbagai sector seperti

transportasi, leasing, paket, otomotif, dan sector lainnya dengan total 277 kasus

selama bulan Januari hingga Juni 2020.6

4
Berita diakses dari https://www.liputan6.com/tekno/read/3665291/45-miliar-data-dicuri-
selama-6-bulan-pertama-2018, pada 19 Oktober 2020
5
Data diakses dari https://lokadata.id/artikel/kasus-kebocoran-data-semakin-banyak-belanja-
daring-paling-rentan, pada 21 Oktober 2020
6
Ibid
18

Gambar 1 Grafik Data Kasus kebocoran data, sejak januari hingga juni 2020.7

Meskipun demikian, kasus-kasus tersebut pada perkembangan selanjutnya tidak

pernah masuk ke ranah pidana khususnya dalam rangka penegakan terhadap

pelanggaran data privasi pengguna hal tersebut tentu berkaitan dengan belum adanya

suatu ketentuan khususnya yang mengatur mengenai pertanggungjawaban pidana

terhadap pelanggaran data privasi, khususnya oleh korporasi.

Berdasarkan narasi di atas, penulis kemudian tertarik untuk mengangkat kajian

dengan judul “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Penyelenggara Transaksi

Elektronik Terhadap Perlindungan Data Pribadi (Data Privacy) Pengguna”. Tema

tersebut dilandaskan pada adanya isu kekosongan hukum dalam kebutuhan

pengaturan mengenai perlindungan data privasi pengguna jasa transaksi elektronik,

padahal terlanggarnya data privasi pengguna dalam perkembangannya akan sangat

7
Ibid
19

berkaitan dengan kejahatan-kejahatan lain seperti penipuan, pemalsuan, serta

pencurian, misalnya pencurian nomor kartu kredit konsumen, ataupun pelalanggaran

kriminal khusus yang terkait dengan perlindungan data privasi seperti penyadapan,

intersepsi, dll.

B. Pokok Permasalahan

Berdasarkan ulasan diatas, penulis mengajukan 2 (dua) tema kajian dalam

rencana penelitian ini, yakni mengenai “kerangka hukum yang mengatur mengenai

korporasi penyelenggara transaksi elektronik” serta kajian mengenai perlindungan

data pribadi (data privacy) pengguna, dimana pada penelitian ini digunakan

pendekatan analisis yuridis yang akan dijabarkan secara deskriptif dengan pokok

permasalahan sebagai berikut

1. Bagaimanakah pengaturan kewajiban korporasi penyelenggara transaksi

elektronik dalam melindungi data privasi pengguna ?

2. Bagaimana tanggung jawab pidana korporasi penyelenggara transaksi

elektronik dalam rangka perlindungan data privasi pengguna ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini pada dasarnya membahas mengenai objek permasalahan

yang menyangkut dengan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam rangka

perlindungan data privasi pengguna sesuai dengan rumusan permasalahan di atas.

Tujuan tersebut dijabarkan, antara lain :


20

1. Untuk mengetahui dan menjelaskan tentang pengaturan kewajiban

korporasi penyelenggara transaksi elektronik dalam melindungi data

privasi pengguna

2. Untuk mengetahui dan mengkaji tanggung jawab pidana korporasi

penyelenggara transaksi elektronik dalam rangka perlindungan data

privasi ( data privacy) pengguna.

D. Kerangka Konseptual

Dalam Penelitian ini, konsep-konsep yang dijelaskan tidak lepas dari ketentuan

baik nasional maupun internasional serta teori-teori yang berkembang dan

pengertian-pengertian yang selama ini telah lazim baik dalam perkembangan dunia

akademik maupun dalam praktik penerapannya sehari-hari. Beberapa konsep yang

digunakan dalam penelitian ini antara lain :

a. Sistem Elektronik

Penyelenggaraan sistem elektronik diatur dalam UU No. 11 tahun 2008

tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sebagaimana yang

lanjutnya disebut UU ITE) kemudian diubah dalam Undang-Undang Nomor

19 Tahun 2016 (Selanjutnya disebut dengan UU ITE). Undang-Undang

No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)

menjadi tonggak lahirnya payung hukum baru dalam pengaturan masalah

pemanfaatan Informasi dan Transaksi Elektronik. UU tersebut mengatur

aspek-aspek penting dalam pemanfaatan informasi dan transaksi elektronik.


21

Khusus terkait dengan system elektronik sendiri dalam UU ITE dalam Pasal

1 angka 5 disebutkan bahwa sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat

dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan,

mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan,

mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik.

Selanjutnya ketentuan mengenai defenisi tersebut juga diatur dalam

Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan

Sistem dan Transaksi Elektronik, dimana dalam Pasal 1 angka 1 disebutkan

bahwa Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur

elektronik yang berfungsi. mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah,

menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan,

dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik. Selain mengenai system

elektronik dalam regulasi tersebut juga diatur mengenai apa yang dimaksud

dengan transaksi elektronik, yang dalam Pasal 1 angka 2 disebutkan bahwa

Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan

menggunakan komputer, jaringankomputer, dan/ atau media elektronik

lainnya.

b. Penyelenggara Sistem Elektronik

Pada Penelitian ini, salah satu konsep yang sering digunakan adalah konsep

Penyelenggara Sistem Elektronik. Adapun Penyelenggara Sistem elektronik

yang dimaksud adalah sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor

71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik,


22

dimana Penyelengara transaksi Elektronik diartikan sebagai setiap Orang,

penyelenggara negara, Badan Usaha, dan masyarakat yang menyediakan,

mengelola, dan/atau mengoperasikan Sistem Elektronik secara sendiri-sendiri

maupun bersama-sama kepada Pengguna Sistem Elektronik untuk keperluair

dirinya dan/ atau keperluan pihak lain.

c. Korporasi

Korporasi merupakan istilah yang biasa digunakan oleh para ahli hukum

pidana dan kriminologi untuk menyebut apa yang dalam bidang hukum lain,

khususnya bidang hukum perdata sebagai badan hukum, atau dalam bahasa

Belanda disebut rechtperson atau dalam bahasa Inggris dengan istilah legal

person atau legal body.8 Adapun Arti badan hukum atau korporasi bisa diketahui

dari jawaban atas pertanyaan, “apakah subjek hukum itu?” pegertian subjek

hukum pada pokoknya adalah manusia dan segala sesuatu yang berdasarkan

tuntutan kebutuhan masyarakat, yang oleh hukum diakui sebagai pendukung hak

dan kewajiban. Pengertian yang kedua inilah yang dinamakan badan hukum.9

Adapun dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016

tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi,

disebutkan bahwa Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang

terorganisir, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

Dimana dalam regulasi tersebut diatur mengenai jenis-jenisnya, yakni Korporasi

Induk (parent company) yakni perusahaan berbadan hukum yang memiliki dua

8
Setiyono, Kejahatan Korporasi, (Malang: Bayumedia Publishing, 2009), hlm. 2.
9
Ibid
23

atau lebih anak perusahaan yang disebut perusahaan subsidiari yang juga

memiliki status badan hukum tersendiri. Serta perusahaan Subsidiari (subsidiary

company) atau perusahaan-perusahaan berbadan hukum yang mempunyai

hubungan (sister company) adalah perusahaan yang dikontrol atau dimiliki

oleh satu perusahaan induk.

d. Kejahatan Siber

Kajian Strategis Keamanan Siber Nasional mendefinisikan ancaman

kejahatan siber (cyber crime) sebagai setiap kondisi dan situasi serta

kemampuan yang dinilai dapat melakukan tindakan atau gangguan atau serangan

yang mampu merusak atau segala sesuatu yang merugikan sehingga mengancam

kerahasiaan (confidentiality), integritas (integrity), dan ketersedian (availability)

sistem dan informasi.10Ancaman siber dapat terjadi karena adanya kepentingan

dari berbagai individu atau kelompok tertentu dalam aspek kehidupan

masyarakat dapat menimbulkan berbagai ancaman fisik, baik nyata ataupun

yang tidak nyata dengan menggunakan kode-kode komputer (software) untuk

melakukan pencurian informasi (information theft), kerusakan sistem (system

destruction), manipulasi informasi (information corruption) atau perangkat keras

(hardware) untuk melakukan gangguan terhadap sistem (network instruction)

10
Iwan, dkk, Kajian Strategi Keamanan Cyber Nasional: Dalam Rangka Meningkatkan
Ketahanan Nasional di Bidang Keamanan Cyber, (Jakarta: Tesis Universitas Pertahanan Indonesia,
2012). Dalam Ineu Rahmawati, “Analisis Manajemen Risiko Ancaman Kejahatan Siber (Cyber Crime)
Dalam Peningkatan Cyber Defense”, Jurnal Pertahanan & Bela Negara | Agustus 2017, Volume 7
Nomor 2, hlm 56
24

ataupun penyebaran data dan informasi tertentu untuk melakukan kegiatan

propaganda.11

e. Data Privasi

Hingga saat ini ruang lingkup dari apa yang dimaksud dengan data privasi

sudah semakin berkembang, dalam peneletian ini peneliti menggunakan konsep

data privasi menurut European Parliament And Of The Council, yang pada

tahun 2016 sendiri telah mengeluarkan suatu regulasi terkait dengan

perlindungan data privasi yang disebut dengan General Data Protection

Regulation, dimana data privasi diartikan sebagai:12

‘Personal data’ means any information relating to an identified or

identifiable natural person (‘data subject’); an identifiable natural person is one

who can be identified, directly or indirectly, in particular by reference to an

identifier such as a name, an identification number, location data, an online

identifier or to one or more factors specific to the physical, physiological,

genetic, mental, economic, cultural or social identity of that natural person”

Jika diterjemahkan maka dalam GDPR ‘Data pribadi’ diartikan sebagai

informasi apa pun yang berkaitan dengan orang secara alamiah yang

diidentifikasi atau dapat diidentifikasi (‘subjek data’). dimana orang secara

alamiah yang dapat diidentifikasi adalah orang yang dapat diidentifikasi secara

langsung atau tidak langsung, khususnya dengan merujuk pada pengidentifikasi


11
Ibid
12
REGULATION (EU) 2016/679 OF THE EUROPEAN PARLIAMENT AND OF THE
COUNCIL of 27 April 2016 on the protection of natural persons with regard to the processing of
personal data and on the free movement of such data, and repealing Directive 95/46/EC (General
Data Protection Regulation) diakses dari https://gdpr-info.eu/art-4-gdpr/
25

seperti nama, nomor identifikasi, data lokasi, pengenal online atau satu atau

lebih faktor spesifik untuk fisik, fisiologis, identitas genetik, mental, ekonomi,

budaya atau sosial dari orang tersebut.

f. Ketentuan Pidana Pelanggaran Privasi dalam Undang-Undang Informasi

dan Transaksi Elektronik

Kemudian, di dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik, sebagaimana yang telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016, ketentuan pidana terhadap

pelanggaran perlindungan data secara spesifik sebenarnya telah diatur ke

dalam pasal-pasal selanjutnya, yaitu pada Pasal 30 sampai Pasal 33 dan juga

pada Pasal 35 yang masuk ke dalam BAB VII mengenai Perbuatan Yang

Dilarang. Dengan penggunaan tafsiran yang umum, pelanggaran terhadap

perlindungan data dapat didasarkan pada ketentuan tersebut. Adapun yang

ketentuan yang secara khusus memiliki keterkaitan dengan pelanggaran data

privasi atas pemanfaatan data privasi yakni pada Pasal 31 dan Pasal 32 UU

Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2008, dimana pada Pasal 31 ayat (1) disebutkan “Setiap Orang dengan

sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau

penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam

suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain.”

Kemudian pada ayat (2) disebutkan, “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa

hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi


26

Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke,

dan didalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang

lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apapun maupun yang

menyebabkan adanya perubahan, penghilangan dan/atau penghentian

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang

ditransmisikan.”

Kemudian pada Pasal 32 disebutkan pada ayat (1) bahwa, “Setiap

Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara

apapun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak,

menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik

dan/atau Dokumen Elektronik milik Orang lain atau milik publik.” Lantas,

pada ayat (2) disebutkan, “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau

melawan hukum dengan cara apa pun memindahkan atau mentransfer

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronik

Orang lain yang tidak berhak.” Terakhir, pada ayat (3) disebutkan,

“Terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang

mengakibatkan terbukanya suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen

Elektronik yang bersifat rahasia menjadi dapat diakses oleh publik dengan

keutuhan data yang tidak sebagaimana mestinya.”

Adapun ketentuan pidana yang mengatur pelanggaran terhadap

ketentuan tersebut di atas diatur dalam Pasal 47 yang menyebutkan, “Setiap

Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1)
27

atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun

dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).”

Selain itu juga diatur dalam Pasal 48 ayat (1) , ayat (2), dan ayat (3) yang

menyebutkan:

(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8

(delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua

miliar rupiah).

(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 32 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 9

(sembilan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00

(tiga miliar rupiah).

(3) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 32 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10

(sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00

(lima miliar rupiah).

E. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian normatif yuridis dengan data sekunder dan

dilengkapi wawancara, adapun dalam penyusunan penelitian ini tidak memerlukan

populasi ataupun sampel. Menurut Soerjono Soekanto13 penelitian hukum normatif

13
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,( Jakarta: UI-Press, 2006 ), hlm 51
28

terdiri dari: a) Penelitian terhadap asas-asas hukum; b) Penelitian terhadap

sistematika hukum; c) Penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum, dan e) Penelitian

perbandingan hukum. Dan dikarenakan metode penelitian ini juga pendekatan

dengan menggunakan metode penelitian empiris maka akan didasarkan atas data

yang terkumpul dari bahan-bahan pustaka (data sekunder) dan lapangan (data

primer/data dasar).

2. Jenis Data.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.

Data sekunder diperoleh dengan cara melakukan penelitian terhadap data berupa

Peraturan perundang-undangan yang mengatur terkait dengan pertanggungjawaban

pidana korporasi serta perlindungan terhadap data privasi khususnya pada konsumen,

selain itu juga dilakukan penelitian kepustakaan untuk mendapatkan konsepsi teori,

doktrin pemikiran atau penelitian yang telah dilakukan oleh pihak lain yang relevan

dengan penelitian ini.

Sedangkan data primer akan diperoleh dengan melakukan penelitian lapangan

melalui wawancara terhadap narasumber. Wawancara sendiri adalah proses

memperoleh keterangan untuk tujuan tertentu dengan tanya jawab, tatap muka

dengan responden dan juga menggunakan panduan wawancara.14

Oleh karena penelitian ini adalah penelitian hukum normatif maka yang

digunakan adalah bahan pustaka. Apabila dilihat dari sudut sifat informasi yang

14
Maria SW. Sumardjono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jogjakarta: Universitas Gadjah
Mada, 2014) hlm 27
29

diberikannya bahan pustaka dapat dibagi dalam beberapa jenis, antara lain sebagai

berikut:

a. Bahan hukum primer,

Merupakan bahan yang memiliki kekuatan mengikat baik bagi

individu maupun masyarakat, antara lain:

1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 khususnya Pasal 28 G ayat (1) dan Pasal 28 H ayat (4)

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.

3) Peraturan Perundang-undangan yang terkait dengan Korporasi

penyelenggara transaksi elektronik, Data Privasi, dan

Perdagangan Elektronik antara lain:

a) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik (khususnya Pasal 31

dan Pasal 32)

b) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008

tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (khususnya

Pasal 31 dan Pasal 32)

c) Pasal 22 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang

telekomunikasi

d) Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang


30

Penyelenggaran Sistem dan Transaksi Elektronik

e) Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor

20 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Data Pribadi

4) Putusan Mahkamah Konstitusi (MK);

b. Bahan hukum sekunder,

Dalam hal ini merupakan dokumen-dokumen pendukung

bahan hukum primer yang memberikan informasi mengenai bahan

hukum primer dan implementasinya.15. Bahan sekunder yang

digunakan antara lain berupa teori atau pendapat para sarjana,

penelusuran internet, artikel ilmiah, jurnal, makalah, surat kabar baik

yang cetak ataupun yang bersal dari media internet, dan sebagainya,

khususnya yang terkait dengan pidana korporasi, system elektronik

dan perlindungan data privasi, beberapa contoh referensi yang

kemudian digunakan oleh penulis dalam penelitian ini antara lain

seperti

1) Pengantar Hukum Telematika (Suatu Kajian Kompilasi), oleh

Edmon Makarim

2) Sistem Pertanggung Jawaban Pidana, oleh Mahrus Hanafi

3) 99 Privacy Breaches to Beware Of: Practical Data Protection

Tips from Real Life Experiences: Practical Data Protection

15
Sri Mamudji, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. (Jakarta :Badan Penerbit Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm 28
31

Tips from Real-Life Experience oleh Kevin

Shepherdson (Author) dkk

4) Cyberlaw: Text and Cases. Second Edition oleh Ferrera DKK

c. Bahan hukum tersier,

Merupakan bahan hukum yang memberikan petunjuk atas

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.16 Dokumen-

dokumen ini merupakan referensi hukum antara lain, kamus hukum,

indeks artikel hukum dan sebagainya. Dalam penelitian ini penulis

juga menggunakan bahan hukum berupa rancangan perundang-

undangan terkait dengan perlindungan data privasi, yaki Rencna

Undang-Undang Data Privasi. Selain itu penulis juga menggunakan

regulasi yang berlaku di Negara lain sebagai bahan perbandingan,

selah satunya regulasi yang mengatur mengenai perlindungan data

privasi yang berlaku di uni eropa yakni: REGULATION (EU)

2016/679 OF THE EUROPEAN PARLIAMENT AND OF THE

COUNCIL of 27 April 2016 on the protection of natural persons with

regard to the processing of personal data and on the free movement of

such data, and repealing Directive 95/46/EC (General Data

Protection Regulation/GDRP).

3. Tipe Penelitian

16
Ibid, hal 31
32

Penelitian ini merupakan penelitian dengan tipe deskriptif melalui pendekatan

kualitatif dan kuantitatif. penelitian deskriptif adalah penelitian yang dilakukan untuk

mengetahui nilai variabel mandiri, baik satu variabel atau lebih (independen) tanpa

membuat perbandingan, atau menghubungkan antara variabel satu dengan variabel

lain.17 Selanjutnya metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan

masalah yang diselidiki dengan menggambarkan/ melukiskan keadaan subyek/ obyek

penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain) pada saat sekarang

berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.18

4. Alat dan metode Pengumpulan Data.

Alat yang dipergunakan untuk penelitian kepustakaan yaitu dokumen berupa

buku, surat kabar, jurnal hukum, majalah, artikel, dan peraturan perundang-

undangan. Selain itu peneliti juga akan menggunakan alat pengumpul data selain dari

studi dokumen, yaitu kuisioner wawancara dengan narasumber. Adapun metode yang

digunakan adalah studi dokumen, yaitu mengiventarisasi dan menelaah pemikiran

atau pendapat mengenai perlindungan hukum data pribadi dalam e-Commerce. Serta

metode wawancara terstruktur sebagai metode pengumpulan data yang dilakukan

melalui tatap muka dan tanya jawab langsung antara peneliti dan narasumber. Seiring

perkembangan teknologi, metode wawancara dapat pula dilakukan melalui media-

media tertentu.

5. Metode Analisis dan Penyajian Data

17
Sugiyono. Memahami Penelitian Kualitatif. (Bandung: CV. Alfabeta,2005), hal 11
18
Nawawi Hadari, Penelitian Terapan.(Yogyakarta:Gajah Mada University Press,2005) hal. 63
33

Analisa bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan

metode kualitatif yaitu hanya mengambil data yang bersifat khusus dan yang

berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Data yang diperoleh dari penelitian ini

dianalisis secara kualitatif dengan melakukan interpretasi data yang bersifat

deskriptif,19 dalam hal ini dengan menjelaskan atau menggambarkan suatu keadaan

yang sebenarnya di lapangan, sehingga dapat memberikan gambaran atau

pemahaman yang mampu memberikan kesimpulan dari permasalahan yang

ada.20adapun data-data yang telah dianalisis akan di sajikan dalam bentuk uraian dan

gambaran-gambaran baik dari proses maupun hasil penelitian.

F. Sistematika Penulisan

Penulisan hasil penelitian ini diurai secara analis-deskriptif dalam 5 (lima) bab

dengan sistematika sebagai berikut :

Bab 1 Pendahuluan yang berisi tentang latar belakang permasalahan penelitian

ini, pokok permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori dan kerangka

konsep, metode penelitian, serta sistematika penulisan.

Bab 2 tinjauan umum yang berisi tentang data privasi dan kejahatan dalam

penyelenggaraan transaksi elektronik di Indonesia dimana akan dijabarkan mengenai,

apa itu data privasi dan bagaimana perkembangan penyelenggaraan system dan

transaksi elektronik di Indonesia, selain itu juga akan dibahas tentang bentuk dan

jenis kejahatan siber dalam penyelenggara system dan transaksi elektronik. Serta

19
Maria SW. Sumardjono, Op.Cit, hlm 33
20
Amirudin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Prasada, 2006), hlm
182
34

yang terakhir mengenai kejahatan terhadap privasi dalam penyelenggaraan system

dan transaksi elektronik.

Bab 3 berisi penjabaran mengenai kerangka regulasi penyelenggaraan sistem dan

transaksi elektronik serta contoh kasus pelanggaran data privasi dalam

penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik baik di Indonesia maupun di Negara

lain. Serta uraian hasil analisis mengenai bagaimana pertanggungjawaban pidana

korporasi penyelenggara sistem dan transaksi elektronik dalam perlindungan data

privasi pengguna.

Bab 4 berisi kesimpulan atas analisis terhadap permasalahan dalam penelitian

ini, serta saran-saran yang merupakan kristalisasi dari gagasan yang muncul sebagai

tindak lanjut dari hasil analisis dalam penelitian ini.


BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG DATA PRIVASI DAN TINDAK

KEJAHATAN SIBER DALAM PENYELENGGARAAN SISTEM DAN

TRANSAKSI ELEKTRONIK

A. Tinjauan Umum Tentang Data Privasi

1. Perkembangan dan Ruang Lingkup Data Privasi

Dalam konsep hukum telematika, data merupakan representasi formal

suatu konsep, fakta, atau instruksi, dimana dalam penggunaan sehari-hari data

berarti suatu pernyataan yang diterima secara apa adanya. Data adalah bentuk jamak

dari datum, berasal dari bahasa Latin yang berarti sesuatu yang diberikan 21. Pada

dasarnya bentuk perlindungan terhadap data dibagi dalam dua kategori, yaitu bentuk

perlindungan data berupa pengamanan terhadap fisik data itu, baik data yang kasat

mata maupun data yang tidak kasat mata (pengamanan teknis). Bentuk perlindungan

data lain adalah adanya sisi regulasi yang mengatur tentang penggunaan data oleh

orang lain yang tidak berhak, penyalahgunaan data untuk kepentingan tertentu, dan

perusakan terhadap data itu sendiri.22

Adapun privasi adalah hak fundamental yang penting bagi otonomi dan

perlindungan martabat manusia dan bertujuan untuk menjadi dasar dimana banyak

hak asasi manusia dibangun diatasnya. Privasi memungkinkan kita untuk membuat

pembatasan dan mengelolanya untuk melindungi diri dari gangguan yang tidak
21
Purwanto, Penelitian Tentang Perlindungan Hukum Data Digital, (Jakarta: Badan
Pembinaan Hukum Nasional, 2007 ), hlm. 13
22
Ibid

34
35

diinginkan, yang membolehkan kita untuk menegosiasikan siapa kita dan bagaimana

kita mau berinteraksi dengan orang di sekitar kita. Privasi membantu kita untuk

membangun batasan tentang siapa yang memiliki akses ke badan, tempat dan barang

kita, sebagaimana juga akses terhadap komunikasi dan informasi kita. Peraturan yang

melindungi privasi memberikan legitimasi terhadap hak yang kita miliki dan menjadi

penting untuk melindungi diri kita dan masyarakat dari penggunaan kekuasaan yang

sewenang-wenang dan tidak sah, dengan cara mengurangi apa yang bisa diketahui

orang lain tentang kita dan dilakukan terhadap kita sembari melindungi diri dari

pihak yang ingin memaksakan kontrol. Privasi adalah hal yang penting bagi makhluk

hidup dan kita membuat keputusan tentangnya setiap hari. Hal ini memberikan kita

ruang untuk menjadi diri kita sendiri tanpa dihakimi, membolehkan kita untuk

berpikir bebas tanpa diskriminasi, dan merupakan elemen penting dalam

memberikan kita kontrol atas siapa yang tahu tentang kita.23

Black ‘s Law Dictionary mendefinisikan privasi sebagai:24

“The right that determines the nonintervention of secret surveillance and the

protection of an individual’s information. It is split into 4 categories (1)

Physical: An imposition whereby another individual is restricted from

experiencing an individual or a situation. (2) Decisional: The imposition of a

restriction that is exclusive to an entity. (3) Informational: The prevention of

23
Lembaga Studi dan Advokasi Masyrakat (ELSAM), Privasi 101: Panduan Memahami
Privasi, Perlindungan Data, dan Surveilans Komunikasi, (Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat, ,2015), hlm 1
24
https://thelawdictionary.org/privacy/
36

searching for unknown information and (4) Dispositional: The prevention of

attempts made to get to know the state of mind of an individual.”

Danrivanto Budhijanto menyatakan bahwa “privasi sebagai suatu hak yang

melekat pada setiap individu dapat dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu25:

a. Privasi atas Informasi

Privasi atas informasi di antaranya menyangkut informasi pribadi,

data diri, rekaman medis, pos elektronik, anonimitas online,

enkripsi data, dan hak-hak khusus lainnya.

b. Privasi Fisik

Privasi fisik adalah bentuk privasi sebagai suatu hak untuk tidak

ditekan, dicari, maupun ditangkap oleh pemerintah, yang pada

umumnya berlaku bagi individu yang menggunakan kebebasan

berpendapat dan berasosiasinya.

c. Privasi untuk Menentukan Jati Diri

Privasi untuk menentukan jati diri adalah kebebasan seorang

individu untuk menentukan apa yang diinginkan tanpa campur

tangan dari pihak lain, salah satu bentuk privasi ini adalah untuk

melakukan aborsi, bunuh diri, transgender, dan hal-hal sejenisnya.

d. Privasi atas Harta Benda

Privasi atas harta benda adalah hak individual untuk memiliki

identitas, kekayaan intelektual, dan kekayaan fisik.”


25
Danrivanto Budhijanto, The Present and Future of Communication and Information Privacy
in Indonesia, Jurnal Hukum Internasional Universitas Padjadjaran, Vol. 2 No. 2 (Agustus 2003), hal.
140
37

Mengingat ruang lingkup yang sangat luas maka beberapa ahli kemudian

mencoba mempermudah mempelajari privasi dengan membagi dalam empat

kategori, yaitu:26

1. Information Privacy

Information Privacy yaitu privasi yang mengatur tentang pengumpulan dan

pengelolaan data atau data privasi seperti informasi tentang keuangan dan

informasi tentang kesehatan seseorang.

2. Bodily Privacy

Yaitu privasi atas tubuh seseorang seperti privasi atas DNA, Data biometrik

seseorang seperti retina mata dan sidik jari;

3. Communication privacy

Communication privacy yaitu privasi atas komunikasi seseorang seperti surat

telepon, email atau bentuk komunikasi lainnya;

4. Territorial Privacy

Territorial privacy yaitu privasi atas tempat tinggal seseorang, tempat bekerja

Weistin sebagaimana yang dikutip oleh Solove dan Roternberg telah membagi

jenis privasi ke dalam empat jenis yaitu:27

1. Solitude

Solitude yaitu keinginan untuk dapat menyendiri. seseorang diberi hak untuk

dapat menyendiri dan bebas dari gangguan orang lain seperti bebas dari

26
Sinta Dewi Rosadi, Cyber Law: Aspek Data Privasi menurut Hukum internasional, Regional
dan Nasional, (Bandung: Refika Aditama, 2015) hlm 19
27
Solove and Rotenberg, Information Privacy Law, (New York:Aspen Publications,2004), hlm
28-31
38

gangguan suara (Noise), bau yang tidak sedap (odours), atau getaran keras

(vibration)

2. Intimacy (kedekatan)

Seseorang mempunyai hak untuk dapat melakukan hubungan yang sangat

pribadi dengan orang-orang terdekat seperti hubungan kekeluargaan, hubungan

antara suami-istri, hubungan kerja tanpa adanya gangguan dari pihak lain.

3. Anonymity (tidak kenal)

Hak ini menjadi dasar seseorang untuk tidak dikenal atau diketahui identitasnya

dan seseorang tidak boleh diikuti gerak-geriknya.

4. Reserve (Adanya Jarak)

Seseorang mempunyai hak untuk mengatur jarak antara kepentingan umum dan

kepentingan pribadinya sehingga seseorang bebas untuk menentukan apakah

akan mengambil jarak atau tidak dengan publik.

Hingga saat ini ruang lingkup dari apa yang dimaksud dengan data privasi sudah

semakin berkembang, menurut European Parliament and Of The Council, yang pada

tahun 2016 telah mengeluarkan suatu regulasi terkait dengan perlindungan data

privasi yang disebut dengan General Data Protection Regulation, dimana data

privasi diartikan sebagai:28

‘Personal data’ means any information relating to an identified or

identifiable natural person (‘data subject’); an identifiable natural person is one

28
REGULATION (EU) 2016/679 OF THE EUROPEAN PARLIAMENT AND OF THE
COUNCIL of 27 April 2016 on the protection of natural persons with regard to the processing of
personal data and on the free movement of such data, and repealing Directive 95/46/EC (General
Data Protection Regulation) diakses dari https://gdpr-info.eu/art-4-gdpr/ pada 17 Oktober 2020
39

who can be identified, directly or indirectly, in particular by reference to an

identifier such as a name, an identification number, location data, an online

identifier or to one or more factors specific to the physical, physiological,

genetic, mental, economic, cultural or social identity of that natural person”

Jika diterjemahkan maka dalam GDPR ‘Data pribadi’ diartikan sebagai

informasi apa pun yang berkaitan dengan orang secara alamiah yang diidentifikasi

atau dapat diidentifikasi (‘subjek data’). Adapun secara alamiah yang dapat

diidentifikasi adalah orang yang dapat diidentifikasi secara langsung atau tidak

langsung, khususnya dengan merujuk pada pengidentifikasi seperti nama, nomor

identifikasi, data lokasi, pengenal online atau satu atau lebih faktor spesifik untuk

fisik, fisiologis, identitas genetik, mental, ekonomi, budaya atau sosial dari orang

tersebut.

Pada perkembangannya di Indonesia, data privasi belum diatur dalam 1 (satu)

Undang-Undang tersendiri, adapun Undang-Undang yang berkaitan dengan data

privasi masih bersifat parsial dan sektoral, beberapa regulasi yang berkaitan dengan

data privasi antara lain:

1) UU nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi

2) UU nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU nomor 11 tahun 2008

tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)

3) UU nomor 8 tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan

4) UU nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan

5) UU nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen


40

6) UU nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik

7) UU nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

8) UU nomor 24 tahun 2013 tentang Perubahan Atas UU nomor 23 tahun 2006

tentang Administrasi Kependudukan

Saat ini Pemerintah Indonesia masih mencanangkan Undang-Undang Khusus

yang mengatur mengenai Perlindungan Data Pribadi dimana dengan Rancangan

Undang-Undang (RUU) diharapkan akan menempatkan Indonesia sejajar dengan

negara-negara maju yang telah menerapkan hukum mengenai perlindungan data

pribadi.29

Berdasarkan RUU Perlindungan Data Pribadi, ruang lingkup Data pribadi dapat

dilihat dalam penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan Data Pribadi, dimana

dalam Pasal 1 angka 1 dijelaskan bahwa, “Data Pribadi adalah setiap data tentang

seseorang baik yang teridentifikasi dan/atau dapat diidentifikasi secara tersendiri atau

dikombinasi dengan informasi lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung

melalui sistem elektronik dan/atau nonelektronik.”30

2. Perlindungan Data Privasi

Sejarah perlindungan privasi berawal dari perlindungan atas tempat kediaman

seseorang (rumah) dan lalu berlanjut pada perlindungan atas informasi dan

komunikasi melalui surat menyurat. Pengaturan perlindungan hak atas privasi

awalnya memang lebih dikenal di Eropa dan Amerika. Pada saat itu hukum, meski

29
Naskah Akademik RUU Perlindungan Data Peribadi, diakses dari
http://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/RJ1-20200217-053705-3960.pdf, pada 05 Oktober 2020
30
Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Data Pribadi, diakses dari
http://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/RJ2-20200217-053705-3169.pdf, pada 5 Oktober 2020
41

secara terbatas, telah memberikan perlindungan terhadap kegiatan “menguping”

pembicaraan di dalam rumah dan juga melindungi rumah seorang laki – laki dari

kegiatan lain yang tidak sah. 31

Perlindungan hak atas privasi di Amerika Serikat dimulai dengan disahkannya

“Bill of Rights” dari Konstitusi Amerika Serikat. Selanjutnya Amandemen Ketiga

Konstitusi Amerika Serikat kemudian mencegah pemerintah untuk memerintahkan

tentara menetap di rumah – rumah rakyat. Amandemen Keempat Konstitusi Amerika

Serikat mencegah pemerintah untuk melakukan penggeledahan dan penyitaan yang

tidak sah. Pejabat pemerintah diwajibkan mendapatkan persetujuan dari Pengadilan

untuk melakukan penggeledahan melalui surat penggeledahan yang didukung oleh

bukti permulaan yang cukup. Dan Amandemen Kelima Konstitusi Amerika Serikat

menjamin setiap orang untuk tidak dapat dipaksa memberikan keterangan yang

memberatkan dirinya sendiri.32

Secara universal prinsip-prinsip mengenai perlindungan terhadap privasi dalam

rezim hukum hak asasi manusia internasional diatur pertama kali pada Deklarasi

Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pada Pasal 12 yang menyatakan:

“No one shall be subjected to arbitrary interference with his privacy, family,

home or correspondence, nor to attacks upon his honour and reputation.

Everyone has the right to the protection of the law against such interference

or attacks.”
31
Daniel J. Solove, , A Brief History of Information Privacy Law in PROSKAUER ON
PRIVACY, PLI 2006, dalam Anggara, DKK, Menyeimbangkan Hak: Tantangan Perlindungan Privasi
dan Menjamin Akses Keterbukaan Informasi dan Data di Indonesia, (Jakarta: Institute for Criminal
Justice Reform, 2015), hlm 3
32
Ibid
42

Pengaturan lebih mengikat dituangkan dalam Kovenan Internasional Hak Sipil

dan Politik (Kovenan Sipol) yang diatur dalam Pasal 17 yang menyatakan:

“1. No one shall be subjected to arbitrary or unlawful interference with his

privacy, family, home or correspondence, nor to unlawful attacks on his

honour and reputation.

2. Everyone has the right to the protection of the law against such

interference or attacks. “

Rezim hukum hak asasi manusia secara regional juga mengatur perlindungan

terhadap hak atas privasi ini. Diantaranya dalam dilihat pada Pasal 11 American

Convention on Human Rights (ACHR) yang mengatur:

“1. Everyone has the right to have his honor respected and his dignity

recognized.

2. No one may be the object of arbitrary or abusive interference with his

private life, his family, his home, or his correspondence, or of unlawful

attacks on his honor or reputation.

3. Everyone has the right to the protection of the law against such

interference or attacks.”

Dalam European Convention on Human Rights (ECHR), hak atas privasi diatur

dalam Pasal 8 yang menyatakan:

1. Everyone has the right to respect for his private and family life, his home

and his correspondence.


43

2. There shall be no interference by a public authority with the exercise of

this right except such as is in accordance with the law and is necessary

in a democratic society in the interests of national security, public safety

or the economic wellbeing of the country, for the prevention of disorder

or crime, for the the protection of health or morals, or for the protection

of the rights and freedoms of others.”

European Parliament And Of The Council, yang pada tahun 2016 telah

mengeluarkan suatu regulasi terkait dengan perlindungan data privasi yang disebut

dengan General Data Protection Regulation (GDPR), yang mengatur perlindungan

data pribadi secara terpusat untuk semua sektor, berbeda di Amerika yang mengatur

perlindungan data privasi secara sektoral menyesuaikan dengan kebutuhan masing-

masing sektor.

Ketentuan yang diatur oleh GDPR sendiri mengacu kepada prinsip:33

a. Lawfulness of processing, fairness of processing, transparency processing

b. Principle of purpose limitation

c. Data minimization

d. Data accuracy

e. Storage limitation

f. Data security

33
REGULATION (EU) 2016/679 OF THE EUROPEAN PARLIAMENT AND OF THE
COUNCIL of 27 April 2016 on the protection of natural persons with regard to the processing of
personal data and on the free movement of such data, and repealing Directive 95/46/EC (General
Data Protection Regulation) diakses dari https://gdpr-info.eu/art-4-gdpr/ diakses Pada 17 Oktober
2020
44

g. Accountability

Pada konteks di Indonesia, sejarah modern mengenai privasi dimulai dari

hadirnya Belanda di Indonesia. Keputusan Raja Belanda No 36 yang dikeluarkan

pada 25 Juli 1893, bisa dianggap peraturan tertua mengenai perlindungan privasi

komunikasi di Indonesia. Dan sejak 15 Oktober 1915 melalui Koninklijk Besluit No

33 (Stbl.1915 No.732) pengaturan perlindungan privasi mulai muncul di dalam Kitab

Undang – Undang Hukum Pidana.34

Meski pengaturan perlindungan hak atas privasi sudah cukup lama di Indonesia,

namun perlindungan hak atas privasi baru menjadi perlindungan konstitusional sejak

disahkannya Amandemen Kedua UUD 1945 melalui Pasal 28 G ayat (1) dan Pasal

28 H ayat (4). Namun tentang penerapan dari peraturan legislasi mengenai

perlindungan hak atas privasi masih belum terjadi dan yang berakibat lemahnya

perlindungan warga Negara dari peretasan perlindungan hak atas privasi.35

Pada prakteknya saat ini, perlindungan hukum atas privasi data/informasi pribadi

dalam transaksi online di internet dapat diperoleh berdasarkan peraturan perundang-

undangan yang ada, misalnya Undang-undang Perlindungan Data atau undang-

undang lainnya yang mengatur pula mengenai perlindungan privasi data pribadi.

Selain itu, perlindungan hukum juga dapat diperoleh berdasarkan peraturan yang

dibuat oleh situs misalnya kebijakan privasi (privacy policy), privacy notice, privacy

statement maupun ketentuan pelayanan situs. 36

34
Ibid
35
Ibid
36
Purwanto, Op.cit, hlm 95-96
45

Salah satu tujuan penting dari adanya undang-undang mengenai perlindungan

privasi data adalah untuk menjamin bahwa setiap individu mempunyai kemampuan

untuk mengawasi dan mengakses informasi pribadi mereka yang dikumpulkan oleh

pihak lain serta untuk memberikan perbaikan jika diperlukan. Hal ini dimaksudkan

untuk menjamin bahwa setiap individu mengetahui informasi mengenai mereka yang

ada pada pihak lain, serta untuk mendorong pengumpul data (data collector) untuk

lebih menjaga privasi informasi pribadi yang mereka kumpulkan tersebut.37

3. Kejahatan terhadap privasi

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa data privasi merupakan bagian dari

hak asasi manusia, sehingga pengumpulan dan penyebarluasan data pribadi

merupakan pelanggaran terhadap privasi seseorang karena hak privasi mencakup hak

menentukan memberikan atau tidak memberikan data pribadi.38

Potensi pelanggaran hak privasi atas data pribadi tidak saja ada dalam kegiatan

on-line tetapi juga kegiatan off-line. Potensi pelanggaran privasi atas data pribadi

secara on-line misalnya terjadi dalam kegiatan pengumpulan data pribadi secara

masal (digital dossier), pemasaran langsung (direct selling), media sosial,

pelaksanaan program e-KTP, pelaksanaan program e-health dan kegiatan komputasi

awan (cloud computing).39

Adapun metode-metode yang dilakukan dalam kasus-kasus pelanggaran

terhadap data privasi sering dikaitkan dengan beberapa tindakan yang berhubungan
37
Purwanto, Ibid
38
Human Rights Committee General Comment No. 16 (1988) on the right to respect of privacy,
family, home and correspondence, and protection of honour and reputation (art. 17) seperti yang
dikutip dalam Privacy International Report, 2013, Op.Cit, hlm. 1-2.
39
Naskah Akademik RUU Perlindungan Data Peribadi, Op.Cit hlm 4
46

dengan perbuatan yang dalam dunia telematika tergolong dalam suatu tindak pidana

yang biasa disebutkan dalam penggolongan tindak pidana telematika (Cyber Crime),

antara lain, “Penyadapan, Intersepsi, Electronic Surveillance.”

Penyadapan merupakan terjemahan dari wire tapping yang dijelaskan dalam

Black’s Law Dictionary sebagai: “electronic or mechanical eavesdropping ussually

done by law enforcement officers under court order, to listen to private

conversation”.40 Berdasarkan penegertian tersebut, maka wiretapping disebut juga

sebagai electronic atau mechaniccal eavesdropping. Sementara itu, eavesdropping

dipahami sebagai tindakan mencuri dengar (listening) dari para pihak yang berbicara

secara verbal, secara manual maupun dengan menggunakan alat tertentu. Tindakan

yang lazim dilakukan adalah dengan cara mendengar/menguping secara langsung

dari para pihak yang sedang berbicara atau dengan menggunakan suatu alat bantu

pendengar (listening device) seperti bug dan parabolic microphone untuk mendengar

dan/atau merekam pembicaraan.41

Adapun yang dimaksud dengan Electronic surveillance dalam Black’s Law

Dictionary diartikan sama dengan eavesdropping yaitu “The act of secretly listening

to private conversation of others without their consent” 42dan metode tindakan

mendengarkan percakapan rahasia dalam black’s law dictionary dikatakan juga

40
Garner Bryan A, Black’s Law Dictionary (Editor in Chief) , (ST.Paul: West Group, 2004),
hlm 1631, dalam Reda Manthovani, Penyadapan vs Privasi, (Jakarta:Bhuana Ilmu Populer, 2015), hlm
13
41
Ibid
42
Ibid hlm 14
47

sebagai wiretapping (“to covertly receive pr listen to a communication). The term

ussualy refers to cevert reception by a law enforcement agency see wire tapping”). 43

Menurut Diffie, wiretapping mulai dilakukan setelah adanya penemuan telepon

sekitar tahun 1876. Dengan adanya fasilitas jaringan telepon kegiatan komunikasi

antar individu menjadi lebih intens dilakukan mengingat hubungan jarak jauh tidak

lagi menjadi masalah. Tindakan penyadapan baru dilakukan oleh polisi di Amerika

Serikat tahun 1890-an, namun sangat terbatas sekali sampai dengan adanya

pelarangan produksi , penjualan, dan transportasi minuman beralkohol ke dalam

negara Amerika Serikat. Salah satu upaya dari aparat penegak hukum dalam

mengungkap perdagangan gelap dan penyelundupan tersebut melalui tindakan

wiretapping.44

Pada situasi dan kondisi pelarangan produksi, penjualan, dan transportasi

minuman beralkohol tersebut, tindakan penyadapan merupakan metode yang paling

efektif dalam mengungkap penyelundupan yang dilakukan. Kesulitan dalam

mengungkap hal tersebut karena sulitnya orang diminta untuk menjadi saksi, dengan

alasan khawatir jiwanya terancam. Selain itu tindakan penyadapan pada saat itu

masih bebas dipergunakan dan belum dibatasi penggunaannya oleh peraturan

perundang-undangan. Salah satu prestasi penggunaan penyadapan pada masa itu

adalah penangkapan terhadap pedagang dan penyelundup minuman beralkohol yang

bernama Roy Olmstead.45 Teknik penyadapan yang digunakan dalam kasus Roy

43
Ibid hlm 15
44
Whitfield Diffie dan Susan Landau, Communication Survailance: Privacy and Security Risk,
dalam Reda Manthovani, Ibid hlm 17.
45
Roy Olmstead Vs US, 277 US 438 (1928) dlm Reda Manthovani, Ibid.
48

Olmstead adalah menggunakan metode wiretapping dan eaves dopping. Wiretapping

tersebut dilakukan dengan mencantolkan alat pada saluran kabel komunikasi yang

biasa digunakan Roy Olmstead dan juga menempatkan bug Devices pada gagang

telepon.46

Sedangkan mekanisme kerja penyadapan di era digital network khususnya pada

jaringan telepon seluler (GSM, GPRS, CDMA) sudah sangat berbeda. Hal tersebut

dikarenakan telepon seluler saat ini menggunakan gelombang berfrekwensi tinggi

yang dienkripsi, dipancarkan dan ditangkap melalui BTS (Base transceiver station),

gelombang itu kemudian diubah menjadi digital dan pada akhirnya menjadi data.

Suatu jaringan telekomunikasi modern menawarkan akses yang luas seperti PSTN,

ISDN, Xdsl, WLAN, WiMax, GSM, GPRS, UMTS, CDMA, Cable dan teknologi

lainnya yang berbasis internet protocol (IP).47 Dengan perkembangan teknologi

telekomunikasi dari yang berbasis jaringan kabel (wireline) menjadi jaringan

telekomunikasi yang berbasis internet protocol (IP), sehingga membuat komunikasi

dapat dilakukan dengan medium nirkabel (wireless).

Pada perkembangannya, semakin meluasnya cakupan dari teknologi informasi

dan komunikasi kerentanan terhadap pelanggaran hak privasi menjadi semakin besar

pula. Metode-metode yang dilakukan dalam pelanggaran terhadap data privasi juga

semakin beragam. Berdasarkan laporan dari perusahaan keamanan Gemalto, ada 4,5

miliar data telah dicuri selama paruh pertama 2018 dimana pada tahun 2018 jumlah

kasus pencurian data sebanyak 945 kasus. Sementara, pada 2017 kasus pencurian

46
Ibid
47
Dalam Reda Manthovani, Ibid, hlm 18
49

data mencapai 1.162 kasus. Gemalto melaporkan, jumlah data yang dibobol per

harinya mencapai 6,9 juta data. Hal ini berdasarkan laporan pencurian data sejak

2013 hingga 2018 yang jumlahnya sebanyak 14,6 miliar. 48

Adapun terkait penyebab bocornya data, 56,08 persen dari data yang dibobol

ditengarai gara-gara malware dari pihak luar. Kasus serangan malware dari pihak

luar pun meningkat hingga 1.000 persen dengan angka 3,6 miliar data dicuri.

Sementara, data yang bocor gara-gara insiden tak disengaja oleh orang dalam

perusahaan mencapai 33,6 persen. Dari persentase ini, jumlah data yang hilang

mencapai 900 juta data. Gemalto mengklasifikasi, tipe pelanggaran data yang ada,

antara lain adalah pencurian data (64,55 persen), akses akun (17,47 persen), akses

finansial (13,02 persen), berbagai gangguan, hingga data eksistensial.49

Pada kasusnya di Indonesia, Bareskrim Polri mencatat pada 2017 terdapat 47

kasus, 2018 meningkat jadi 88 kasus, dan lonjakan kasus terus terjadi pada 2019-

2020 sebanyak 140 kasus. Jenis kasus pencurian data pribadi bermacam-macam,

seperti penipuan, pencemaran nama baik, pornografi, perjudian, hingga mengubah

tampilan situs.50

B. Perkembangan penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik di

Indonesia

Perkembangan Teknologi Informasi dan Telekomunikasi, mengakibatkan

semakin beragamnya aneka jasa-jasa (features) fasilitas telekomunikasi yang ada,


48
Berita diakses dari https://www.liputan6.com/tekno/read/3665291/45-miliar-data-dicuri-
selama-6-bulan-pertama-2018 pada 3 November 2020
49
Ibid
50
Berita diaakses dari https://www.alinea.id/nasional/polri-kejahatan-pencurian-data-pribadi-di-
level-bahaya-b1ZQw9vR0 pada 3 November 2020
50

serta semakin canggihnya produk-produk teknologi informasi yang mampu

mengintegrasikan semua media informasi. Di tengah globalisasi komunikasi yang

semakin terpadu (global communication network) dengan semakin populernya

internet seakan telah membuat dunia semakin menciut (shrinking the world) dan

semakin memudarkan batas-batas negara berikut kedaulatan dan tatananan

masyarakatnya.51

Sebagaimana diketahui, lahirnya teknologi digital telah mengakibatkan

terjadinya keterpaduan ataupun konvergensi dalam perkembangan Teknologi

Informasi, Multimedia dan Telekomunikasi (Information, Media and

Communication Technology).52 Semula masing-masing teknologi tersebut seakan

berjalan terpisah atau linear antara yang satu dengan yang lainnya, namun kini

semua teknologi tersebut semakin menyatu. Wujud konvergensi

(perpaduan) teknologi Telekomunikasi, Multimedia dan Informatika

(“Telematika”).53 tersebut adalah lahirnya produk-produk teknologi baru yang

memadukan kemampuan sistem informasi dan sistem komunikasi yang berbasiskan

sistem komputer yang selanjutnya terangkai dalam suatu jaringan (network) sistem

informasi dan/atau sistem komunikasi secara elektronik (selanjutnya disebut, "sistem

elektronik") baik dalam lingkup lokal, regional maupun global. Kehadiran sistem

informasi tersebut seakan-akan telah membuat suatu ruang baru dalam dunia ini

51
Nining Latianingsih, “Prinsip Tanggung Jawab Pelaku Usaha Dalam Transaksi Elektronik
Menurut Undang-Undang Informasi Dan Transaksi Elektronik”, dalam “Jurnal Ekonomi Dan Bisnis,
Vol 11, No. 2, Desember 2012”
52
Edmon Makarim, Pengantar Hukum Telematika, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2005), hlm 4
53
Ibid
51

yang populer dengan istilah cyberspace. Dimana sebagaimana yang dinyatakan Abu

Bakar Munir, apa yang dimaksud dengan cyber space yakni:54

Cyberspace my be described as the non-physical ‘place’ where electronic


communications happen and digital data is located. It refers to metaphor of
electronic communication as a kind of dimensionless space.

Perkembangan ruang siber yang semakin pesat hingga saat ini, menjadikan

ruang siber menjadi salah satu tempat dilakukannya banyak aktivitas masyarakat

dalam kehidupan sehari-hari, salah satunya terkait dengan aktivitas jual beli yang

melalui media ruang siber saat ini dikenal dengan istilah e-Commerce. Dalam

konteks jual beli sendiri, perkembangan aktivitas salah satunya dipengaruhi oleh

cara, metode atau strategi yang digunakan oleh penjual atau pelaku sebagai penyedia

barang atau jasa dengan tujuan tidak lain untuk mendapatkan keuntungan dari

usahanya, meskipun dalam perkembangannya hal tersebut yang menjadi alasan

mengapa penjual atau pelaku usaha dalam aktivitasnya memiliki kesempatan untuk

bertindak yang tidak hanya mendapatkan keuntungan tetapi juga dapat merugikan

kepentingan pembeli atau konsumen. Oleh karena itu, dalam perkembangan

peraturan yang mengatur tentang aktivitas jual beli, selain terdapat pengaturan yang

secara umum mengatur tentang aktivitas tersebut, selalu terdapat peraturan khusus

yang mengatur tentang perlindungan terhadap kepentingan konsumen, sebagai pihak

yang rentan dapat dirugikan kepentingannya.

e-Commerce sebagai bentuk penyelenggaraan system dan transaksi elektronik

pada hakikatnya merupakan salah satu bentuk perwujudan dari era globalisasi yang

54
Abu Bakar Munir, Cyber law:Policies and Challenges, (Kuala Lumpur,Butterworths Asia,
1999), hlm 1
52

memiliki ciri khas meluasnya gerak arus transaski barang dan/atau jasa melintasi

batas-batas wilayah suatu negara sehingga barang dan.atau jasa yang ditawarkan

sangat bervariasi. Kondisi yang demikian pada satu pihak mempunyai manfaat bagi

konsumen karena kebutuhan konsumen akan barang dan/atau jasa yang diinginkan

dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis

dan kualitas barang dan atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan

konsumen. Di sisi lain, kondisi dan fenomena tersebut dapat mengakibatkan

kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen

berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk

meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha.55

Sistem elektronik yang digunakan sebagai metode dalam transaksi elektronik e-

Commerce di Indonesia telah dijelaskan di dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang

Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 tahun

2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yakni serangkaian perangkat

dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan,

mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan,

dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik. Kemudian yang dimaksud dengan

transaksi elektronik menurut UU Nomor 11 tahun 2008 adalah sebuah perbuatan

hukum yang dilakukan dengan komputer, jaringan komputer dan/atau media

elektronik lainnya.

55
Firman Tumantara Endipradja, Hukum Perlindungan Konsumen: Filosofi Perlindungan
Konsumen dalam Perspektif Politik Hukum Negara Kesejahteraan, Setara Press, Malang, 2016, hlm
107
53

Adapun dalam kegiatannya penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik

dilakukan oleh penyelenggara sistem elektronik, yang dalam Pasal 1 angka 6b

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), disebutkan

yakni setiap Orang, penyelenggara negara, Badan Usaha, dan masyarakat yang

menyediakan, mengelola, dan/atau mengoperasikan Sistem Elektronik, baik

secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama kepada pengguna Sistem Elektronik

untuk keperluan dirinya dan/atau keperluan pihak lain.

E-Commerce sendiri sebagai bagian dari penyelenggaran system dan transaksi

elektronik sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik telah banyak digunakan khususnya di Indonesia

seiring dengan meningkatnya pengguna internet di Indonesia. Menurut data

Departemen Komuikasi Dan Informatika (Kominfo), jumlah pengguna internet pada

bulan februari 2008 mencapai 25 juta pengguna. Dimana sebelum keluarnya Undang-

undang No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE),

kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan e-Commerce diatur dalam berbagai

peraturan perundang-undangan seperti Undang-undang nomor 12 tahun 2002 tentang

Hak Cipta, Undang-undang Nomor 14 tahun 2001 tentang Paten, Undang-Undang

Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, Undang- undang Telekomunikasi Nomor 36

tahun 1999, hingga termasuk Undang-Undang Nomor 8 Thun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen, dan lain-lain.


54

Beberapa masalah yang muncul dalam bidang hukum dalam aktivitas e-

Commerce antara lain otentifikasi subyek hukum yang membuat transaksi melalui

internet, saat perjanjian berlaku dan memiliki kekuatan mengikat secara hukum dan

pertanggungjawaban para pihak yang terlibat dalam transaksi baik penjual, pembeli,

maupun para pendukung seperti perbankan, internet service provider (ISP), dan lain-

lain, legalitas dokumen catatan elektronik serta tanda tangan digital sebagai alat bukti,

mekanisme penyelesaian sengketa, pilihan hukum dan forum peradilan yang

berwenang dalam penyelesaian sengketa.56

Meskipun demikian dalam perkembangannya, dengan adanya Undang-Undang

Informasi dan Transaksi elektronik (UU ITE) serta dilengkapi dengan berbagai

peraturan perundang-undangan lainnya termasuk Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata (KUHPer) dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) sampai saat

ini dianggap dapat menjamin dan menjadi dasar pelaksanaan e-Commerce termasuk

dalam hal perlindungan terhadap konsumen. Perlindungan hukum tersebut terlihat

dalam ketentuan-ketentuan UU PK dan UU ITE dimana kedua peraturan tersebut

telah mengatur mengenai penggunaan data pribadi konsumen, syarat sahnya suatu

transaksi e-Commerce, penggunaan CA (Certification Authoriy), dan mengatur

mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha dalam memasarkan dan

memproduksi barang dan jasa yang dapat dijadikan acuan bagi obyek dalam transaksi

e-Commerce. Walaupun Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) memiliki

kelemahan yaitu hanya menjangkau pelaku usaha yang berkedudukan di Indonesia


56
Rika Bherta, Electronic Commerce (e-Commerce) Ditinjau dari Hukum Perjanjian dan UU
ITE di Indonesia, diakses dari lppm.akmi-baturaja.ac.id/.../ELECTRONIC-COMMERCE-E-COM,
pada 16 Desember 2020
55

saja, namun kelemahan ini dianggap dapat ditutupi oleh Undang-Undang Informasi

dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan berbagai peraturan perundang-undangan

lainnya.57

C. Tindak kejahatan siber dalam penyelenggara sistem dan transaksi elektronik

1. Ruang Lingkup Tindak Kejahatan Siber

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, perkembangan teknologi

komputer, teknologi informasi, dan teknologi komunikasi tidak lepas dari faktor yang

menyebabkan munculnya tindak pidana baru dengan karakteristik yang berbeda

dengan tindak pidana konvensional, dimana penyalahgunaan komputer sebagai salah

satu dampak dari ketiga perkembangan teknologi tersebut itu tidak terlepas dari

sifatnya yang khas sehingga membawa persoalan yang rumit dipecahkan berkenaan

dengan masalah penanggulangannya (penyelidikan, penyidikan hingga dengan

penuntutan).58 Salah satu kejahatan yang ditimbulkan oleh perkembangan dan

kemajuan teknologi informasi atau telekomunikasi adalah kejahatan yang berkaitan

dengan penyelenggaran sistem dan transaksi elektronik dalam dunia siber.

Pada prakteknya terdapat berbagai istilah yang biasanya muncul ketika terjadi

kejahatan yang berhubungan dengan penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik

dalam dunia siber. Marjie T. Britz, membagi 4 (empat) istilah yang biasanya muncul

berkaitan dengan hal tersebut, antara lain Computer crime, Computer-related crime,

Cyber Crime dan Digital Crime sebagaimana dijelaskan :

57
Ibid
58
Edmon Makarim, Pengantar Hukum Telematika (Suatu Kajian Kompilasi), Op.Cit, hlm.
426.
56

“Computer crime has been traditionally defined as any criminal act


committed via computer. Computer-related crime has been defined as any
criminal act in which a computer is involved, even peripherally. Cybercrime has
traditionally encompassed abuses and misuses of computer systems or computers
connected to the Internet which result in direct and/or concomitant losses. Finally,
digital crime, a relatively new term, includes any criminal activity which involves
the unauthorized access, dissemination, manipulation, destruction, or corruption
of electronically stored data”59.

Jika melihat penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa istilah-istilah yang

muncul untuk mengidentifikasi kejahatan dalam penyelenggaraan sistem dan

transaksi elektronik sangat berkaitan dengan instrumen, media serta metode yang

digunakan dalam kejahatan yang dilakukan, sehingga istilah yang digunakan pun

berbeda-beda. meskipun demikian pada dasarnya istilah-istilah tersebut tetap merujuk

pada penjelasan mengenai bagaimana kejahatan yang dilakukan dalam dunia siber,

sehingga dalam perkembangannya istilah kejahatan siber (cyber crime) lebih sering

digunakan.

Ensiklopedia Britanica memberikan penjabaran konsep Cybercrime, yang

dikhususkan pada istilah computer crime dimana disebutkan:

“the use of a computer as an instrument to further illegal ends, such as


committing  fraud, trafficking in child pornography and intellectual 
property, stealing identities, or violating privacy. Cybercrime, especially through
the Internet, has grown in importance as the computer has become central to
commerce, entertainment, and government”.60

Jika dikaji dari perkembangan istilahnya, Siber sendiri diartikan sebagai

istilah lain, yaitu cyberspace yang diambil dari data cybermetics. Pada mulanya

istilah cyberspace tidak ditujukan untuk menggambarkan interaksi yang terjadi


59
Marjie T. Britz, Computer Forensics and Cyber Crime An Introduction, Clemson University.
—Third Edition, (South Carolina: Pearson, 2013), hlm 5
60
https://www.britannica.com/topic/cybercrime
57

melalui jaringan komputer. John Perry Barlow pada tahun 1990 mengaplikasikan

istilah siber (cyber) yang dihubungkan pada jaringan internet. Dalam

perkembangannya, siber dapat membawa dampak positif dan negatif yang bisa

menimbulkan suatu kejahatan dalam perkembangan dunia cyber. Kejahatan yang

lahir sebagai suatu dampak negatif dari perkembangan aplikasi pada internet ini

disebut dengan kejahatan siber (cyber crime) yang mencakup semua jenis kejahatan

beserta modus operandinya yang dilakukan sebagai dampak negatif aplikasi

internet.61 Adapun terkait dengan ancaman kejahatan siber, Kajian Strategis

Keamanan Siber Nasional mendefinisikan ancaman kejahatan siber (cyber crime)

sebagai setiap kondisi dan situasi serta kemampuan yang dinilai dapat melakukan

tindakan atau gangguan atau serangan yang mampu merusak atau segala sesuatu yang

merugikan sehingga mengancam kerahasiaan (confidentiality), integritas (integrity),

dan ketersedian (availability) sistem dan informasi.62

2. Jenis dan Klasifikasi Tindak Pidana Siber

The Budapest Convention on Cybercrime 2001 sebagai konvensi internasional

pertama yang membahas kejahatan internet dan komputer, membagi beberapa jenis

aktivitas yang masuk dalam kategori sebagai kejahatan dalam dunia siber, antara

lain:63

61
Ineu Rahmawati, “Analisis Manajemen Risiko Ancaman Kejahatan Siber (Cyber Crime)
Dalam Peningkatan Cyber Defense,: Jurnal Pertahanan & Bela Negara, Agustus 2017, Volume 7
Nomor 2, hlm 55
62
Iwan, dkk, Kajian Strategi Keamanan Cyber Nasional: Dalam Rangka Meningkatkan
Ketahanan Nasional di Bidang Keamanan Cyber, (Jakarta: Tesis Universitas Pertahanan Indonesia,
2012)., dalam Ibid hlm 56
63
  Council of Europe. (2001). Council of Europe. Retrieve from Council of
Europe: http://www.europarl.europa.eu/meetdocs/2014_2019/documents/libe/dv/7_conv_budapest_/7_
conv_budapest_en.pdf diakses pada 16 Novmber 2020
58

1. Intentional access without right to the whole part of any computer


system.
2. Intentional interception, without right, of non-public transmissions of
computer data.
3. Intentional damage, deletions, deterioration, alteration, or suppression
of computer data without right. Intentional and serious hindering of the
function of a computer system by inputting, transmitting, damaging,
deleting, deterioration, altering, or suppressing computer data.
4. The production, sale, procurement for use, importation, or distribution
of devices designed to commit any of the above crimes, or of passwords
or similar data used to access computer systems, with the intent of
committing any of the above crimes.

Adapun pada konvensi tersebut, jenis kejahatan yang diklasifikasikan sebagai

kejahatan dunia siber masih terbatas pada empat kelompok pelanggaran. Pertama,

pelanggaran terhadap kerahasiaan, integritas, dan ketersediaan data dan sistem

komputer. Kedua, pelanggaran terkait komputer. Pelanggaran ketiga terkait dengan

pelanggaran hak cipta dan hak terkait. Yang terakhir, pelanggaran terkait konten yang

hanya terbatas pada pelanggaran yang terkait dengan pornografi anak.64

Dalam perkembangan kasusnya secara kongkrit dapat diketahui bahwa

kejahatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan system dan transaksi elektronik

dalam dunia siber sendiri bila dikhususkan pada kejahatan yang berkaitan dengan

komputer, bisa dikategorikan dalam dua kategori utama yakni yang bersifat aktif dan

pasif. Hamid Jahankhani dkk, menjelaskan:65

An active crime is when someone uses a computer to commit the crime, for
example, when a person obtains access to a secured computer environment or
telecommunications device without authorization (hacking). A passive computer
crime occurs when someone uses a computer to both support and advance an
64
Ibid
65
Hamid Jahankhani, Ameer Al-Nemrat, Amin Hosseinian-Far, “Cybercrime classification and
characteristics”, dalam Babak Akhgar, Francesca Bosco, Andrew Staniforth, Cyber Crime and Cyber
Terrorism Investigator’s Handbook, (Sheffield, Elsevier , 2014), hlm 154
59

illegal activity. An example is when a narcotics suspect uses a computer to track


drug shipments and profits.

Sebagaimana dijelaskan bahwa kejahatan aktif adalah ketika seseorang

menggunakan komputer untuk melakukan kejahatan, misalnya ketika seseorang

memperoleh akses ke lingkungan komputer yang aman atau perangkat

telekomunikasi tanpa izin (hacking). Kejahatan pasif terjadi ketika seseorang

menggunakan komputer untuk mendukung dan memajukan aktivitas atau perbuatan

yang ilegal. Contohnya adalah ketika seorang tersangka narkotika menggunakan

komputer untuk melacak pengiriman dan keuntungan narkoba.

Selanjutnya dijelaskan beberapa tipe kejahatan dalam system dan transaksi

elektronik antara lain:66

1. Computer as the Target: theft of intellectual property, theft of marketing


information (e.g., customer list, pricing data, or marketing plan), and
blackmail based on information gained from computerized files (e.g.,
medical information, personal history, or sexual preference).
2. Computer as the Instrumentality of the Crime: fraudulent use of
automated teller machine (ATM) cards and accounts, theft of money from
accrual, conversion, or transfer accounts, credit card fraud, fraud from
computer transaction (stock transfer, sales, or billing), and
telecommunications fraud.
3. Computer Is Incidental to Other Crimes: money laundering and unlawful
banking transactions, organized crime records or books, and
bookmaking.
4. Crime Associated with the Prevalence of Computers: software piracy/
counterfeiting, copyright violation of computer programs, counterfeit
equipment, black market computer equipment and programs, and theft of
technological equipment

Jika melihat dari klasifikasi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dalam

menganalisis kejahatan yang terjadi dalam dunia siber, terdapat dua patokan utama,

yakni apakah kejahatan tersebut merupakan kejahatan tradisional yang telah diketahui
66
Ibid
60

secara umum dimana system teknologi menjadi instrument atau alat, ataukah yang

kedua yakni apakah kejahatan tersebut merupakan kejahatan baru yang terbentuk

dalam pelaksanaan system teknologi di dalam dunia siber. Regner Sablon dkk,

kemudian mencoba membangun taksonomi dari kejahatan siber yang terdiri dari

kejahatan-kejahatan yang sangat sering terjadi dalam dunia siber akhir-akhir ini,

taksonomi tersebut dapat dilihat pada gambar berikut :67

Gambar 2 Cybercrime Taxonomy.68

67
REGNER SABILLON, Cybercrime and Cybercriminals: A Comprehensive Study,
International Journal of Computer Networks and Communications Security, VOL. 4, NO. 6, JUNE
2016, hlm 171
68
Ibid hlm. 172, lihat juga dalam International Telecommunication Union – ITU (2014).
―Understanding cybercrime: phenomena, challenges and legal response‖ (pp. 12-42). Edited by
Marco Gercke.
Geneva,Switzerland.http://www.itu.int/ITUD/cyb/cybersecurity/docs/CybercrimelegislationEV6.pdf
dan European Network and Information Security Agency – ENISA (2014). ―ENISA Threat
Landscape 2014‖ (pp. 14-39) Heraklion,
Greece.<https://www.enisa.europa.eu/activitiesriskmanagement/evolving-threatnvironment/enisa-
threat-landscape/enisahreat-landscape2014/at_download/fullReport
61

Apabila melihat perkembangannya di Indonesia, regulasi yang ada di

Indonesia secara umum tidak menjelaskan definisi hukum untuk kejahatan siber,

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 sebagaimana yang telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

(UU ITE) hanya mengatur kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengan Informasi dan

transaksi elektronik. Adapun klasifikasi kejatan dalam undang-undang tersebut jika

dikaji secara mendalam dapat dibagi menjadi dua. Pertama, kejahatan yang

menargetkan internet, komputer, dan teknologi terkait. Di bawah Undang-Undang

Informasi dan Transaksi Elektronik, ada tujuh jenis kejahatan yang diklasifikasikan

sebagai kejahatan yang menargetkan internet, komputer, dan teknologi terkait.

Kejahatan-kejahatan tersebut dianggap sebagai kejahatan kontemporer yang

menghasilkan bentuk kejahatan baru.

Adapun Kelompok kedua adalah konten ilegal dengan menggunakan internet,

komputer dan teknologi terkait untuk melakukan kejahatan. Di bawah UU ITE, ada

tujuh jenis kejahatan yang diklasifikasikan sebagai kejahatan yang menargetkan

internet, komputer, dan teknologi terkait. Kejahatan ini terkait dengan publikasi dan

distribusi konten ilegal.69

69
Vidya Prahassacitta, Konsep Kejahatan Siber Dalam Sistem Hukum Indonesia, artikel
diakses dari https://business-law.binus.ac.id/2019/06/30/konsep-kejahatan-siber-dalam-sistem-hukum-
indonesia/ pada Kamis, 1 Oktober 2020
BAB III

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI PENYELENGGARA

SISTEM DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DALAM PERLINDUNGAN

DATA PRIBADI PENGGUNA

A. Pengaturan Kewajiban Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik

di Indonesia

Pada perkembangannya dengan teknologi informasi komunikasi berbasis

komputer yang telah berkembang sangat pesat ditambah pola interaksi dunia maya di

masyarakat yang beragam, kasus dan jenis kejahatan yang terjadi dalam sistem dan

transaksi elektronik pun semakin banyak dan beragam, sebagai contoh dalam kasus

kebocoran data pribadi, berdasarkan laporan dari perusahaan keamanan Gemalto, ada

4,5 miliar data telah dicuri selama paruh pertama 2018, Adapun jumlah kasus

pencurian data sebanyak 945 kasus. Sementara, pada 2017 kasus pencurian data

mencapai 1.162 kasus.70

Kasus kebocoran data pengguna lainnya kembali dialami oleh startup unicorn

Indonesia. Kali ini giliran database pengguna e-commerce Tokopedia yang dibobol

peretas. Sebanyak 91 juta data pengguna dan lebih dari tujuh juta data merchant

Tokopedia dilaporkan dijual di situs gelap (dark web), dengan harga 5.000 dollar AS

atau sekitar Rp 75 juta (kurs rupiah saat berita ini ditulis). Pihak Tokopedia pun

mengakui adanya upaya pencurian data pengguna. Meskipun beberapa informasi

70
Berita diakses dari https://www.liputan6.com/tekno/read/3665291/45-miliar-data-dicuri-
selama-6-bulan-pertama-2018, pada 19 Oktober 2020

63
64

rahasia pengguna seperti password dan informasi pembayaran, diklaim telah berhasil

dilindungi oleh sistem enkripsi.71

Contoh lainnya dalam sistem dam transaksi jual beli secara elektronik dimana

proses bertransaksi membeli barang atau jasa diselenggarakan melalui media

elektronik di dunia maya atau virtual, pembeli dan penjual tidak bertemu secara

fisik, dan saling tawar menawar sebatas percakapan pada forum-forum jual beli

online, setelah menemui persetujuan dan sepakat akan barang dan harga, maka

transaksi melalui transfer pun bisa di lakukan. Namun hal tersebut memicu adanya

tindak kejahatan penipuan menggunakan media elektronik dengan modus baru,

contoh dari tindak pidana penipuan melalui media elektronik yakni seseorang dengan

sengaja melakukan transaksi pada situs situs belanja online secara fiktif atau

seseorang yang melakukan penipuan dengan memanfaatkan sarana suatu situs atau

web bahkan melalui fasilitas email dengan memberikan data-data maupun janji

palsu.72

Sistem elektronik yang digunakan sebagai metode dalam transaksi elektronik

sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, pengertiannya telah dijelaskan pada

Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 sebagaimana yang telah

diubah dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE),

yakni serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan,

71
https://tekno.kompas.com/read/2020/05/05/19080067/kasus-kebocoran-data-di-indonesia-
dan-nasib-uu-perlindungan-data-pribadi?page=all, Diakses tanggal 27 Desember 2020
72
Teguh Arifiyadi, Pemberantasan Cyber Crime dengan KUHP dalam
http://kominfo.go.id/index.php/content/detail, Diakses tanggal 19 Oktober 2020
65

mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan,

mengumumkan, mengirimkan, dan/ataui menyebarkan informasi elektronik.

Kemudian yang dimaksud dengan transaksi elektronik menurut UU ITE adalah

sebuah perbuatan hukum yang dilakukan dengan komputer, jaringan komputer

dan/atau media elektronik lainnya.

Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi

dan Transaksi Elektronik, kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan sistem dan

transaksi elektronik diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan seperti

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan, Undang-

Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 Tentang Perlindungan konsumen, Undang-undang Nomor 14 tahun

2001 tentang Paten, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, dan

peraturan-peraturan terkait lainnya.

Pada perkembangannya, dengan adanya Undang-Undang Informasi dan

Transaksi elektronik (UU ITE) serta dilengkapi dengan berbagai peraturan

perundang-undangan lainnya sampai saat ini, regulasi yang ada dianggap dapat

menjamin dan menjadi dasar pelaksanaan sistem dan transaksi elektronik termasuk

dalam hal perlindungan terhadap penggunanya. Perlindungan hukum tersebut terlihat

dalam beberapa ketentuan-ketentuan yang telah telah mengatur mengenai

perlindungan hak pengguna layanan yang salah satunya adalah yang terkait dengan

penggunaan data pribadi konsumen, syarat sahnya suatu transaksi elektronik,

penggunaan CA (Certification Authoriy), dan mengatur mengenai perbuatan yang


66

dilarang bagi pelaku usaha dalam memasarkan dan memproduksi barang dan jasa

yang dapat dijadikan acuan bagi obyek dalam transaksi elektronik.

Untuk melengkapi regulasi yang ada dengan pesatnya perkembangan teknologi

informasi serta dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi digital dan

penegakan kedaulatan negara atas informasi elektronik di wilayah Negara

Kesatuan Republik Indonesia, pemerintah kemudian menerbitkan pengaturan

khusus mengenai penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik, pengaturan

tersebut terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang

Penyelenggaran Sistem dan Transaksi Elektronik, yang mengganti Peraturan

Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan

Transaksi Elektronik.

Jika dikaji ketentuan yang telah diatur di dalamnya, beberapa hal penting

mengenai penyelenggaran sistem dan transaksi elektronik telah diatur seperti

mengenai siapa subjek penyelenggara sistem elektronik, yang dalam peraturan

tersebut ditentukan meliputi:73

a. Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Publik;

b. Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat

Selain mengenai penyelenggara sistem elektronik, syarat minimum sebagai

penyelenggara sistem elektronik juga diatur dimana dalam Pasal 4 nya ditentukan:

73
Pasal 2 Peraturan pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaran Sistem dan
Transaksi Elektronik
67

a. dapat menampilkan kembali Informasi Elektronik dan/atau Dokumen

Elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan

dengan peraturan perundang-undangan;

b. dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan

keteraksesan Informasi Elektronik dalam penyelenggaraan Sistem

Elektronik tersebut;

c. dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam

penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut;

d. dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan

bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang

bersangkutan dengan penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut; dan

e. memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan,

kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk.

Syarat minimum tersebut kemudian dilengkapi dengan jaminan yang harus ada

pada penyelenggara sistem elektronik, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 11 ayat

(1), yakni:

a. tersedianya perjanjian tingkat layanan;

b. tersedianya perjanjian keamanan informasi terhadap jasa layanan

Teknologi Informasi yang digunakan; dan

c. keamanan informasi dan sarana komunikasi internal yang

diselenggarakan.
68

Baik dalam sistem konvensional maupun secara elektronik, setiap transaksi tentu

memiliki risiko yang bisa bersumber dari alam, manusia ataupun sistem itu sendiri.

Risiko yang munculpun sangat beragam, khususnya dalam sistem elektronik dengan

cara, strategi atau metode yang digunakan oleh penyelenggara sistem, sifat

kerentanan terhadap risiko juga dapat semakin luas, dimana salah satunya melalui

sistem elektronik yang bersifat terbuka, hak atas privasi konsumen juga pengguna

dapat terlanggar.

Kerentanan tersebut tidak lepas dari ruang penyelenggaran sistem transaksi yang

terjadi secara elektronik atau dalam hal ini dalam ruang siber (cyberspace) yang

berbeda dengan transaksi secara konvensional, pelaksanaan transaksi dalam ruang

siber lebih tanpa batas bahkan dimensi ruang, hal ini dapat dilihat dari pengertian

cyberspace sebagaimana yang dinyatakan Abu Bakar Munir, yakni:74

Cyberspace my be described as the non-physical ‘place’ where electronic

communications happen and digital data is located. It refers to metaphor of

electronic communication as a kind of dimensionless space.

Kerentanan terhadap risiko kemudian memunculkan kewajiban bagi

penyelenggara untuk menecgah muncul risiko-risko yang dikhawatirkan,

sebagaimana diatur dalam Peraturan Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan

Sistem dan Transaksi Elektronik, yakni terkait dengan kewajiban yang melekat pada

setiap penyelenggara sistem dan transaksi elektronik, dimana kewajiban-kewajiban

tersebut dapat dilihat dalam table berikut:


74
Abu Bakar Munir, Cyber law:Policies and Challenges, (Kuala Lumpur: Butterworths Asia,
1999), hlm 1
69

Kewajiban Ketentuan
Wajib menghindari Muatan Informasi - Penyelenggara Sistem Elektronik

yang dilarang sesuai dengan wajib memastikan Sistem

ketentuan perundang-undangan Elektroniknya tidak memuat

Informasi Elektronik dan/atau

Dokumen Elektronik yang dilarang

sesuai dengan ketentuan

perundangundangan.75

- Penyelenggara Sistem Elekronik

wajib memastikan Sistem

Elektroniknya tidak memfasilitasi

penyebarluasan Informasi

Elektronik dan/atau Dokumen

Elektronik yang dilarang sesuai

dengan ketentuan perundang-

undangan.76
Wajib melaksanakan prinsip Penyelenggara Sistem Elektronik

pelindungan Data Pribadi dalam wajib melaksanakan prinsip

melakukan pemrosesan Data Pribadi pelindungan Data Pribadi dalam

melakukan pemrosesan Data Pribadi

75
Pasal 5 ayat (1) Peraturan pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaran Sistem
dan Transaksi Elektronik
76
Pasal 5 ayat (2) Peraturan pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaran Sistem
dan Transaksi Elektronik
70

meliputi:77

a. pengumpulan Data Pribadi

dilakukan secara terbatas dan

spesifik, sah secara hukum, adil,

dengan sepengetahuan dan

persetujuan dari pemilik Data

Pribadi;

b. pemrosesan Data Pribadi

dilakukan sesuai dengan tujuannya;

c. pemrosesan Data Pribadi

dilakukan dengan menjamin hak

pemilik Data Pribadi;

d. pemrosesan Data Pribadi

dilakukan secara akurat, lengkap,

tidak menyesatkan, mutakhir, dapat

dipertanggungjawabka, dan

memperhatikan tujuan pemrosesan

Data Pribadi;

e. pemrosesan Data Pribadi

dilakukan dengan melindungi

keamanan Data Pribadi dari

77
Pasal 14 ayat (1) Peraturan pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaran
Sistem dan Transaksi Elektronik
71

kehilangan, penyalahgunaan, Akses

dan pengungkapan yang tidak sah,

serta pengubahan atau perusakan

Data Pribadi;

f. pemrosesan Data Pribadi

dilakukan dengan memberitahukan

tujuan pengumpulan, aktivitas

pemrosesan, dan kegagalan

pelindungan Data Pribadi; dan

g. pemrosesan Data Pribadi

dimusnahkan dan/atau dihapus

kecuali masih dalam masa retensi

sesuai dengan kebutuhan

berdasarkan ketentuan peraturan

perundang-undangan.
Menghapus Informasi Elektronik Setiap Penyelenggara Sistem

dan/atau Dokumen Elektronik yang Elektronik wajib menghapus Informasi

tidak relevan. Elektronik dan/atau Dokumen

Elektronik yang tidak relevan yang

berada di bawah kendalinya atas

permintaan orang yang

bersangkutan.78
72

Kewajiban penghapusan Informasi

Elektronik dan/atau Dokumen

Elektronik yang tidak relevan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

terdiri dari:

a.penghapusan (right to erasure) dan

b.pengeluaran dari daftar mesin

pencari (right to delisting)


Wajib memiliki rencana Penyelenggara Sistem Elektronik

keberlangsungan kegiatan Lingkup Publik wajib memiliki

rencana keberlangsungan kegiatan

untuk menanggulangi gangguan atau

bencana sesuai dengan risiko dari

dampak yang ditimbulkannya.79


Wilayah pengelolaan dan pemroses, Penyelenggara Sistem Elektronik

serta penyimpanan wajib di Indonesia Lingkup Publik wajib melakukan

pengelolaan, pemrosesan, dan/atau

penyimpanan Sistem Elektronik dan

Data Elektronik di wilayah

Indonesia.80
Wajib memiliki sarana dan prasarana Penyelenggara Sistem Elektronik
78
Pasal 15 ayat (1) Peraturan pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaran
Sistem dan Transaksi Elektronik
79
Pasal 20 ayat (1) Peraturan pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaran
Sistem dan Transaksi Elektronik
80
Pasal 20 ayat (2) Peraturan pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaran
Sistem dan Transaksi Elektronik
73

pengamanan wajib memiliki dan

menjalankan prosedur dan sarana

untuk

pengamanan Sistem Elektronik

dalam menghindari

gangguan, kegagalan, dan kerugian


Penyelenggara Sistem Elektronik Edukasi sebagaimana dimaksud pada

wajib melakukan edukasi kepada ayat (1) paling

Pengguna Sistem Elektronik sedikit mengenai hak, kewajiban,

dan tanggung

jawab seluruh pihak terkait, serta

prosedur

pengajuan komplain
Penyelenggara Sistem Elektronik Informasi tersebut paling sedikit

wajib menyampaikan informasi mengenai:81

kepada Pengguna Sistem Elektronik a. identitas Penyelenggara Sistem

Elektronik;

b. objek yang ditransaksikan;

c. kelaikan atau keamanan Sistem

Elektronik;

d. tata cara penggunaan perangkat;

e. syarat kontrak;

81
Pasal 29 Peraturan pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaran Sistem dan
Transaksi Elektronik
74

f. prosedur mencapai kesepakatan;

g. jaminan privasi dan/atau

pelindungan Data Pribadi ;

h. nomor telepon pusat pengaduan


wajib menjaga kerahasiaan, Penyelenggara Sistem Elektronik

keutuhan, keautentikan, keteraksesan, wajib menjaga kerahasiaan, keutuhan,

ketersediaan, dan dapat ditelusurinya keautentikan, keteraksesan,

suatu Informasi Elektronik dan/atau ketersediaan, dan dapat ditelusurinya

Dokumen Elektronik sesuai dengan suatu Informasi Elektronik dan/atau

ketentuan peraturan perundang Dokumen Elektronik sesuai dengan

undangan. ketentuan peraturan perundang-

undangan.82
Wajib melindungi pengguna dan Penyelenggara Sistem Elektronik

masyarakat dari kerugian wajib melindungi penggunanya dan

masyarakat luas dari kerugian yang

ditimbulkan oleh Sistem Elektronik

yang diselenggarakannya.83
Wajib memberikan informasi untuk Untuk keperluan proses peradilan

keperluan penegakan hukum pidana, Penyelenggara Sistem

Elektronik wajib memberikan

Informasi Elektronik dan/atau Data

Elektronik yang terdapat di dalam


82
Pasal 26 ayat (1) Peraturan pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaran
Sistem dan Transaksi Elektronik
83
Pasal 24 Peraturan pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaran Sistem dan
Transaksi Elektronik
75

Sistem Elektronik atau Informasi

Elektronik dan/atau Data Elektronik

yang dihasilkan oleh Sistem

Elektronik atas permintaan yang sah

dari penyidik untuk tindak pidana

tertentu sesuai dengan kewenangan

yang diatur dalam undang-undang


Tabel 1. Kewajiban Penyelenggara Sistem dan Transaksi Elektronik

Jika diperbandingkan dengan Negara lain, beberapa Negara maju seperti

Amerika dan Eropa telah mengatur kewajiban penyedia layanan elektronik yang

rentan terhadap resiko sehingga dapat memuncul kan kejahatan siber dan dapat

merugikan pihak pengguna, meskipun demikian Penyedia layanan elektronik

dibarikan tanggung jawab yang dibatasi selama pelaksanaan layanan,

Amerika Serikat misalnya sebagaimana yang diatur dalam 17 U.S. Code § 512

yang mengatur tentang Limitations on liability relating to material online, dimana

disebutkan.: 84

(a) Transitory Digital Network Communications

A service provider shall not be liable for monetary relief, or, except as

provided in subsection (j), for injunctive or other equitable relief, for

infringement of copyright by reason of the provider’s transmitting, routing,

or providing connections for, material througha system or network controlled

or operated by or for the service provider, or by reason of the intermediate

84
Diakses dari https://www.law.cornell.edu/uscode/text/17/512 pada 10 Desember 2020
76

and transient storage of that material in the course of such transmitting,

routing,or providing connections, if –

1) the transmission of the material was initiated by or at the direction of a

person other than the service provider;

2) the transmission, routing, provision of connections, or storage is carried

out through an automatic technical process without selection of the

material by the service provider;

3) the service provider does not select the recipients of the material except

as an automatic response to the request of another person;

4) no copy of the material made by the service provider in the course of

such intermediate or transient storage is maintained on the system or

network in a manner ordinarily accessible to anyone other than

anticipated recipients, and no such copy is maintained on the system or

network in a manner ordinarily accessible to such anticipated recipients

for a longer period than is reasonably necessary for the transmission,

routing, or provision of connections; and

5) the material is transmitted through the systemor network without

modification of its content

(b) System Caching

(1) Limitation on liability.– A service provider shall not be liable for

monetary relief, or, except as provided in subsection (j), for injunctive or

other equitable relief, for infringement of copyright by reason of the


77

intermediate and temporary storage ofmaterial on a system or network

controlled or operated by or for the service provider in a case in which –

a) the material is made available online bya person other than the service

provider;

b) the material is transmitted from the person described in subparagraph

(A) through the system or network to a person other than the person

described in subparagraph (A) at the direction of that other person;

and

c) the storage is carried out through an automatic technical process for

the purpose of making the material available to users of the system

ornetwork who, after the material is transmitted as described in

subparagraph (B), request access to the material from the person

described in subparagraph (A), if the conditions set forth in paragraph

(2) are met. […]

Contoh lain yang dapat dilihat, yakni pengaturan di Eropa, dimana European

Union Directive on Electronic Commerce mengatur tentang Liability of access

provider, sebagai mana yang diatur dalam Section 4 artikel 12 mengenai Liability of

intermediary service providers, dimana disebutkan:85

“Mere conduit”

1. Where an information society service is provided that consists of the

transmission in a communication network of information provided by a

85
Diakses dari, alamat webste, https://eur-lex.europa.eu/legal-content/EN/TXT/HTML/?
uri=CELEX:32000L0031&rid=5 pada 10 Desember 2020
78

recipient ofthe service, or the provision of access to a communication

network, Member States shall ensurethat the service provider is not liable

for the information transmitted, on condition that the provider:

1. does not initiate the transmission;

2. does not select the receiver of the transmission; and

3. does not select or modify the information contained in the

transmission.

2. The acts of transmission and of provision of access referred to in paragraph

1 include the automatic, intermediate and transient storage of the

information transmitted in so far as this takes place for the sole purpose of

carrying out the transmission in the communication network, and provided

that the information is not stored for any period longer than is reasonably

necessary for the transmission.

3. This Article shall not affect the possibility for a court or administrative

authority, in accordance with Member States’ legal systems, of requiring

the service provider to terminate or prevent an infringement.

Selain kedua Negara tersebut, Austria juga mengatur secara khusus kewajiban

dalam bentuka pertanggungjawaban bagi penyedia mesin pencari, dimana diatur

dalam Sec. 14 ECC(Austria) tentang Liability of search engine operators, dimana

diatur bahwa:86

86
Diakses dari https://eur-lex.europa.eu/legal-content/EN/TXT/PDF/?
uri=CELEX:52011SC1641&from=PL pada 10 Desember 2020
79

(1) A provider who makes available a search engine orother electronic tools

to provided by third party is not liable on condition that the provider:

1. does not initiate the transmission;

2. does not select the receiver of the transmission; and

3. does not select or modify the information contained in the

transmission

Selain kewajiban tersebut, terdapat kewajiban-kewajiban yang lain yang pada

dasarnya bersifat teknis dalam penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik.

Kewajiban-kewajiban tersebut, jika diteliti lebih mendalam pada dasarnya mengarah

kepada dua isu utama dalam penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik, yakni

bagaimana penyelenggara melindungi kepentingan pengguna dan masyrakat luas

khususnya berkaitan dengan data privasi serta bagaimana keterbukaan informasi

dilakukan oleh penyelenggara sistem dan transaksi elektronik.

Pada perkembangannya didunia ini terdapat dua model legislasi terkait dengan

keterbukaan informasi dan data dan perlindungan privasi. Model pertama adalah

adanya satu legislasi mengenai perlindungan privasi dan keterbukaan informasi.

Model ini setidaknya diikuti oleh Canada, Hungaria, Meksiko, dan Thailand.87 Model

ini menurut Mahkamah Agung Canada sebagai peraturan yang baik dengan

ketentuan pelengkap yang dapat dan wajib untuk diinterpretasikan secara harmonis.88

Terhadap model ini, David Banisar menyatakan bahwa ada kerugian ketika legislasi
87
David Banisar, 2011, The Right to Information and Privacy: Balancing Rights and
Managing Conflict, World Bank Institute, hlm 17, dalam Anggara, DKK, , Menyeimbangkan Hak:
Tantangan Perlindungan Privasi dan Menjamin Akses Keterbukaan Informasi dan Data di Indonesia,
(Institute for Criminal Justice Reform, Jakarta, 2015) hlm 13
88
Ibid
80

perlindungan privasi dan keterbukaan informasi menjadi satu. Dengan mengatur dua

fungsi secara bersamaan akan menyebabkan kebingungan di tataran legislasi atas

maksud dari pengaturan tersebut. Kebingungan tersebut akan menyebabkan adanya

dua pihak yang saling bertentangan karena mendukung salah satu tindakan. Dan

ketika ada kelemahan, sulit untuk dilakukan perubahan legislasi.89

Sementara itu ada model kedua yang mengadopsi dua legislasi yang mengatur

mengenai keterbukaan informasi dan perlindungan privasi. Karena itu jika ada

legislasi baru yang akan disahkan maka harus dipastikan adanya harmonisasi

diantara kedua legislasi tersebut. Jika harmonisasi ini diabaikan, kedua legislasi

tersebut akan berbenturan dan diperlukan upaya untuk melakukan revisi kembali atas

legislasi keterbukaan informasi dan perlindungan privasi.90

Pada konteks Indonesia, regulasi di Indonesia mengikuti model kedua dimana

keterbukaan informasi dan perlindungan privasi diatur secara terpisah. Saat ini,

keterbukaan informasi diatur dalam UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan

Informasi Publik, sementara perlindungan privasi di diatur dalam Peraturan Menteri

Kominfo tentang Perlindungan Data Pribadi Dalam Sistem Elektronik. Sebagai

amanat dari Pasal 15 ayat (3) Peraturan Pemerintah No 82 tahun 2012 tentang

Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik, yang menyatakan bahwa

“Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman perlindungan Data Pribadi dalam Sistem

Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.

89
Ibid
90
Ibid
81

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaran

Sistem dan Transakasi Elektronik yang kemudian diganti dengan Perturan

Pemerintah Nomor 71 tahun 2019 tentang Penyelenggaran Sistem dan Transakasi

Elektronik (PP PSTE) tersebut, selanjutnya juga diterbitkan Peraturan Menteri

Komunikasi dan Informatika Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Data

Pribadi (selanjutnya dibaca: Permen Kominfo No.20 Tahun 2016) yang diundangkan

pada tanggal 1 Desember 2016. Dalam Permen Kominfo No.20 Tahun 2016

disebutkan dalam pengertian tentang apa yang dimaksud dengan data pribadi, di

dalam Pasal 1 angka 1, disebutkan bahwa “Data Pribadi adalah data perseorangan

tertentu yang disimpan, dirawat, dan dijaga kebenaran serta dilindungi

kerahasiaannya”

Adapun cakupan dari perlindungan data pribadi, sebagaimana yang diatur dalam

Permen Kominfo No.20 Tahun 2016 tersebut dapat dilihat pada Pasal 2 ayat (1) yang

menyebutkan bahwa “Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem Elektronik

mencakup perlindungan terhadap perolehan, pengumpulan, pengolahan,

penganalisisan, penyimpanan, penampilan, pengumuman, pengiriman,

penyebarluasan, dan pemusnahan Data Pribadi.”

Selanjutnya pada Pasal 3 disebutkan bahwa “Perlindungan Data Pribadi dalam

Sistem Elektronik dilakukan pada proses:

a. perolehan dan pengumpulan;

b. pengolahan dan penganalisisan;

c. penyimpanan;
82

d. penampilan, pengumuman, pengiriman, penyebarluasan, dan/atau

pembukaan akses; dan

e. pemusnahan”

Adanya peraturan Kominfo tersebut dapat dikatakan merupakan salah satu

bentuk jaminan adanya perlindungan data privasi terhadap berbagai kegiatan

masyarakat dalam penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik. Meskipun

demikian, jaminan tersebut belum seluruhnya dapat melindungi kepentingan

pengguna , apalagi tingkat regulasinya yang berada pada tataran peraturan Menteri,

jika dikaji dari pentingnya materi muatan yang diatur, sudah seharusnya regulasi

mengenai perlindungan atas privasi berada pada tingkat Undang-Undang, apalagi

secara khusus dalam rangka memberi pertanggungjawaba pidana terhadap

penyelenggara sistem dan transaksi elektronik yang melanggar prinsip perlindungan

data pribadi.

Pemerintah sendiri telah mencanangkan undang-undang tentang perlindungan


91
data pribadi yang mengusulkannya pada tanggal 24 Januari 2020, dimana salah

satu pertimbangan pembentukannya adalah isu mengenai pentingnya perlindungan

data pribadi yang mulai menguat seiring dengan meningkatnya jumlah pengguna

telepon seluler dan internet. Sejumlah kasus yang mencuat, terutama yang memiliki

keterkaitan dengan kebocoran data pribadi seseorang dan bermuara kepada aksi

91
Riwayat pengusulan ruu perlindungan data pribadi dapat dilihat pada website
https://www.dpr.go.id/uu/detail/id/353
83

penipuan atau tindak kriminal pornografi, menguatkan wacana pentingnya

pembuatan aturan hukum untuk melindungi data pribadi.92

Potensi pelanggaran hak privasi atas data pribadi tidak saja ada dalam kegiatan

on-line tetapi juga kegiatan off-line. Potensi pelanggaran privasi atas data pribadi

secara on-line misalnya terjadi dalam kegiatan pengumpulan data pribadi secara

masal (digital dossier), pemasaran langsung (direct selling), media sosial,

pelaksanaan program e-KTP, pelaksanaan program e-health dan kegiatan komputasi

awan (cloud computing).93

Sebagai contoh kasus di tahun 2020, beberapa korporasi penyelenggara sistme

dan transaksi elektronik di Indonesia telah tersangkut kasus yang berkaitan dengan

data pribadi. Seperti kasus Telkomsel melawan Denny siregar sebagai pengguna atau

pelangganan sistem telekomunikasi yang diselenggarakan oleh Telkomsel,dimna

pada 5 Juli 2020, data pribadi milik Denny Siregar tersebar media sosial. Data

milik Denny ini diunggah oleh akun twitter @opposite6891 berupa unggahan foto

dan tertulis Access Point Name (APN) Telkomsel. Telkomsel kemudian melakukan

investigasi dan melaporkannya ke polisi. Hasilnya, kebocoran data ini ternyata

berasal dari FPH, seorang karyawan outsourcing yang berprofesi sebagai Customer

Service (CS) DI Grapari Rungkut Surabaya, Jawa Timur. Kasus tersebut berlanjut

dengan digugatnya Telkomsel oleh Denny Siregar, dan dilaporkannya pegawai

telkomsel tersebut ke kepolisian. 94


92
Naskah akademik RUU perlundungan data Pribadi, hlm 3, diakses dari
https://bphn.go.id/data/documents/na_perlindungan_data_pribadi.pdf
93
Ibid
94
Berita diakses dari https://bisnis.tempo.co/read/1364724/kasus-denny-siregar-telkomsel-
semua-data-pelanggan-aman/full&view=ok pada 6 Desmeber 2020
84

Selain kasus tersebut, kasus perusahaan penyelenggara sistem dan transaksi

lainnya adalah PT Indosat Ooredo melawan Ilham Bintang yang saat ini tengah

dalam pemeriksaan di persidangan. Dalam kasus tersebut pelanggan atas nama Ilham

Bintang menggugat PT Indosat dikarenakan raibnya uang miliknya setelah data SIM

Card nya telah dipalsukan oleh orang lain, yang kemudian mengakses data

perbankan miliknya dan mengambil sejumlah uang milik pelanggan tersebut.95

Contoh kasus lain yang menimpa perusahaan penyedia jasa dan transaksi

elektronik yaitu perusahaan Tokopedia dimana pada awal Mei 2020 Tokopedia

mengalami kebocoran data 15 juta akunnya. Akun yang membocorkan juga

menginfokan memiliki dan akan menjual 91 juta data pengguna Tokopedia. Data

yang sebelumnya diperjualbelikan seharga USD 5.000 atau sekitar Rp 70 juta itu kini

bisa didownload secara bebas.96

Kasus-kasus tersebut pada dasarnya mengindikasikan perlunya penguatan

regulasi perundang-undangan yang menaungi wilayah penyelenggaraan sistem dan

transaksi elektronik dan data pribadi, dan secara khusus korporasi penyeleggara

sistem dan transaksi elektronik dalam menyelenggarakan sistem dan transaksi

elektronik memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan sistem yang dapat

melindungi dan menjaga kualitas penyelenggaran sistem dan transaksi elektronik

baik sebelum digunakan seperti menciptakan sistem pencegahan dan identifikasi

risiko kerugian terhadap pelanggan, saat digunakan, seperti proses pengolahan data

95
Berita diakses dari https://megapolitan.kompas.com/read/2020/11/03/05150081/ilham-
bintang-gugat-indosat-dan-commonwealth-bank-total-rp-200-miliar?page=all pada 6 Desember 2020
96
Berita diakses dari https://www.jawapos.com/oto-dan-tekno/teknologi/05/07/2020/91-juta-
data-akun-tokopedia-bocor-dan-disebar-di-forum-internet/ pada 6 Desember 2020
85

pengguna yang terjamin kerahasiaannya maupun setelah digunakan yakni seperti

sistem penyimpanan data pengguna yang aman serta jaminan penegakan hukum jika

terjadi pelanggaran oleh Penyedia jasa sistem dan transaksi elektronik., hal tersebut

tidak lepas dari sistem dan transaksi elektronik yang bersifat terbuka sehingga rentan

khususnya terhadap pelanggaran hak atas privasi pengguna.

B. Pidana Korporasi dalam Pelanggaran Data Privasi Pengguna

1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Penyelenggara Sistem dan

Transaksi Elektronik.

Beberapa kasus yang cukup menarik perhatian diluar Indonesia

mengarahkan kepada kesalahan korporasi penyelenggara sistem dan transaksi

elektronik yang cenderung pada kurangnya pencegahan yang dilakukan

koorporasi, sebagai contoh pada tahun 2017, Yahoo ! mengumumkan bahwa

pada 2013 terdapat cyberattack, dimana perusahaan memperkirakan serangan

tersebut berdampak pada miliyaran akun, dan faktanya sekitar 3 milyar

pengguna.97 Selain kasus tersebut, pada bulan September 2017, Equifax Inc,

sebuah lembaga pelaporan kredit konsumen mengumumkan bahwa data

pribadi hamper 143 juta penggunanya telah disusupi peretas yang dapat

menjelajahi jaringannya tanpa terdeteksi lebih dari 4 bulan, dan dampak dari

pelanggaran data tersebut, perusahaan telah menerima berbagai gugatan class

97
Taylor Armerding,Yahoo! Braces Itself for Enormous Class-Action Suit over Breaches,
NAKEDSECURITY(Sept. 5, 2017), https://nakedsecurity.sophos.com/2017/09/05/yahoo-
bracesitself-as-judge-rules-that-its-on-the-hook-for-a-class-action-suit. diakses pada 10 Desember
2020
86

action,98 serta pemecatan CEO lama Equifax serta serangkaian teguran publik

di Capitol Hill.99

Jika melihat contoh kasus tersebut dapat dilihat bahwa korporasi

penyelenggara sistem dan transaksi elektronik tersebut dapat dikatakan

menjadi korban langsung dari adanya serangan siber, namun dampak dari hal

tersebut adalah bocornya data pribadi jutaan pengguna, hal itu kemudian

menimbulkan pertanyaan, apakah perusahaan penyelenggara sistem dan

transaksi elektronik tersebut dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana ?,

Kemajuan teknologi dan berkembangnya aktivitas perekonomian di

masyarakat selain membawa manfaat dan kesejahteraan bagi masyarakat

tetapi juga menyebabkan timbulnya modus operandi kejahatan baru yang

bukan saja pelakunya bersifat individu tetapi juga berbentuk organisasi

atau korporasi. Kondisi seperti inilah yang mendorong adanya politik

hukum pidana untuk pemberantasan kejahatan yang dilakukan oleh korporasi

melalui berbagai undang-undang pidana di luar Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP), seperti antara lain: (a) Undang-Undang Darurat

Nomor 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak

Pidana Ekonomi; (b) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Nomor 20

Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; (c) Undang-

98
Eduard Goodman,The Equifax Data Breach and Its Impact on Business,LAW360 (Sept.
14,2017), https://www.law360.com/articles/963870/the-equifax-data-breach-and-its-impact-
onbusinesses. diakses pada 10 Desember 2020
99
Hamza Shaban,‘This is a Travesty’: Lawmakers Grill Former Equifax Chief Executive on
Breach Response,WASH.POST(Oct. 3, 2017), https://www.washingtonpost.com/news/the-
switch/wp/2017/10/02/what-to-expect-from-equifaxs-back-to-back-hearings-on-capitol-hill-this-week
diakses pada 10 Desember 2020
87

Undang Nomor 18 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang: (d)

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Perdagangan Orang; (e) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997

tentang Psikotropika; (f) Undang-Undang 35 Tahun 2009 tentang Narkotika;

(g) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Terorisme; (h)

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; (i)

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup; (j) UndangUndang Nomor 22 Tahun 2001

tentang Minyak dan Gas Bumi; (k) Undang-Undang Nomor 41 Tahun

1999 tentang Kehutanan.100

Khusus mengenai regulasi yang mengatur tentang pengaturan

perlindungan data privasi di Indonesia sebagaimana yang telah dijelaskan

sebelumnya diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, adapun

yang terkait dengan perlindungan data privasi pada sistem dan transaksi

elektronik, regulasinya yakni dalam UU telekomunikasi dan UU Nomor 11

Tahun 2008 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor

19 Tahun 2016 serta dalam UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang

telekomunikasi (UU Telekomunikasi) diatur dalam Pasal 22 dinyatakan

bahwa “setiap orang dilarang melakukan perbuatan tanpa hak, tidak sah, atau

manipulasi: (a) akses ke jaringan telekomunikasi; dan/atau (b) akses ke jasa

telekomunikasi; dan atau (c) akses ke jaringan telekomunikasi khusus”. Bagi


100
Maroni, Fungsionalisasi PERMA No. 13 Tahun 2016 Dalam Pemberantasan Tindak
Pidana Khusus Dengan Pelaku Korporasi, Makalah disampaikan pada Seminar Focus Group
Discussion (FGD) Mahkamah Agung RI di Swiss-Belhotel Bandar Lampung tgl 25 Agustus 2020
88

pelanggar ketentuan tersebut diancam pidana penjara maksimal enam tahun

dan/atau denda maksimal Rp 600 juta (enam ratus juta rupiah).

Selanjutnya, di dalam Pasal 40 dinyatakan bahwa “setiap orang dilarang

melakukan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan

telekomunikasi dalam bentuk apapun”. Bagi yang melanggar ketentuan

tersebut, diancam pidana penjara maksimal 15 Tahun. Undang-Undang

Telekomunikasi ini juga mengatur kewajiban penyelenggara jasa

telekomunikasi untuk merahasiakan informasi yang dikirimkan dan atau

diterima oleh pelanggan jasa telekomunikasi melalui jaringan telekomunikasi

dan atau jasa telekomunikasi yang diselenggarakannya (Pasal 42 ayat (1)).

Bagi penyelenggara yang melanggar kewajiban tersebut diancam pidana

penjara maksimal dua tahun dan atau denda maksimal Rp 200 juta (dua ratus

juta rupiah).

Kemudian, di dalam UU ITE, ketentuan pidana terhadap pelanggaran

perlindungan data secara spesifik sebenarnya telah diatur ke dalam pasal-

pasal selanjutnya, yaitu pada Pasal 30 sampai Pasal 33 dan juga pada Pasal 35

yang masuk ke dalam BAB VII mengenai Perbuatan Yang Dilarang. Dengan

penggunaan tafsiran yang umum, pelanggaran terhadap perlindungan data

dapat didasarkan pada ketentuan tersebut. Adapun yang ketentuan yang

secara khusus memiliki keterkaitan dengan pelanggaran data privasi atas

pemanfaatan data privasi yakni pada Pasal 31 dan Pasal 32 UU Nomor 19

Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008,


89

dimana pada Pasal 31 ayat (1) disebutkan “Setiap Orang dengan sengaja dan

tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer

dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain.” Kemudian pada ayat

(2) disebutkan, “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan

hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau

Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan didalam suatu

Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang

tidak menyebabkan perubahan apapun maupun yang menyebabkan adanya

perubahan, penghilangan dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau

Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan.”

Selanjutnya pada Pasal 32 disebutkan pada ayat (1) bahwa, “Setiap

Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara

apapun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak,

menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik

dan/atau Dokumen Elektronik milik Orang lain atau milik publik.” Lantas,

pada ayat (2) disebutkan, “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau

melawan hukum dengan cara apa pun memindahkan atau mentransfer

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronik

Orang lain yang tidak berhak.” Terakhir, pada ayat (3) disebutkan,

“Terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang

mengakibatkan terbukanya suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen


90

Elektronik yang bersifat rahasia menjadi dapat diakses oleh publik dengan

keutuhan data yang tidak sebagaimana mestinya.”

Adapun ketentuan pidana yang mengatur pelanggaran terhadap

ketentuan tersebut di atas diatur dalam Pasal 47 yang menyebutkan, “Setiap

Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1)

atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun

dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).”

Selain itu juga diatur dalam Pasal 48 ayat (1) , ayat (2), dan ayat (3) yang

menyebutkan:

(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8

(delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.2.000.000.000,00

(dua miliar rupiah).

(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 32 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 9

(sembilan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00

(tiga miliar rupiah).

(3) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 32 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10

(sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00

(lima miliar rupiah).


91

Sehubungan dengan masalah pertanggungjawaban pidana, Barda

Nawawi Arief menyatakan bahwa untuk adanya pertanggungjawaban pidana

harus jelas terlebih dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini

berarti harus dipastikan terlebih dahulu siapa yang dinyatakan sebagai

pembuat untuk suatu tindak pidana tertentu.101

Muladi dan Dwidja Priyatno, kemudian mengemukakan beberapa

model pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi, yang terkait dengan

kedudukan sebagai pembuat dan sifat pertanggung jawaban pidana korporasi,

antara lain : 102

a. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang

bertanggung jawab;

b. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggung jawab; dan

c. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggung

jawab.

Dalam hal pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang

bertanggung jawab, kepada pengurus korporasi dibebankan kewajiban

tertenu. Kewajiban yang dibebankan itu sebenarnya adalah kewajiban dari

korporasi. Pengurus yang tidak memenuhi kewajiban itu diancam dengan

pidana. Sehingga dalam sistem ini terdapat alasan yang menghapuskan

101
Barda Nawawi Arief, “Masalah Pemidanaan Sehubungan Perkembangan Delik-Delik
khusus dalam masyarakat Modern,” Kertas Kerja, pada Seminar Perkembangan Delik-delik Khusus
dalam Masyarakat yang mengalami Modernisasi BPHN-FH UNAIR Surabaya, Tanggal 25-27
Februari 1980 (Bandung : Bina Cipta, 1982), h. 105-107.
102
Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2011), hlm 46
92

pidana. Sedangkan dasar pemikirannya adalah korporasi itu sendiri tidak

dapat dipertanggungjawabkan terhadap sautu pelanggaran, melainkan selalu

penguruslah yang melakukan delik itu, dan karenanya penguruslah yang

diancam pidana dan dipidanakan.

Adapun dalam perkembangan berikutnya, ternyata saat ini hukum

pidana Indonesia telah mengakomodir ajaran terkait adanya

pertanggungjawaban terhadap korporasi untuk beberapa tindak pidana, hal ini

dapat dilihat dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016

tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi,

Dimana dalam pertimbangannya huruf a disebutkan bahwa “korporasi

sebagai suatu entitas atau subjek hukum yang keberadaannya memberikan

kontribusi yang besar dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan

pembangunan nasional, namun dalam kenyataannya korporasi ada kalanya

juga melakukan berbagai tindak pidana (corporate crime) yang membawa

dampak kerugian terhadap negara dan masyarakat.

Pada Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016,

kemudian disebutkan tentang, “Maksud dan tujuan pembentukan tata cara

penanganan perkara tindak pidana oleh Korporasi adalah untuk:

a. menjadi pedoman bagi penegak hukum dalam penanganan

perkara pidana dengan pelaku Korporasi dan/atau Pengurus;


93

b. mengisi kekosongan hukum khususnya hukum acara pidana

dalam penanganan perkara pidana dengan pelaku Korporasi

dan/atau Pengurus; dan

c. mendorong efektifitas dan optimalisasi penanganan perkara

pidana dengan pelaku Korporasi dan/atau Pengurus.”

Pada Pasal 3 disebutkan bahwa, “Tindak pidana oleh Korporasi

merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh orang berdasarkan hubungan

kerja, atau berdasarkan hubungan lain, baik sendiri-sendiri maupun bersama-

sama yang bertindak untuk dan atas nama korporasi didalam maupun diluar

Lingkungan Korporasi”.

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, potensi

pelanggaran hak privasi atas data pribadi tidak saja ada dalam kegiatan on-

line tetapi juga kegiatan off-line, meskipun demikian metode-metode yang

dilakukan dalam kasus-kasus pelanggaran terhadap data privasi sering

dikaitkan dengan beberapa tindakan yang berhubungan dengan perbuatan

yang dalam dunia telematika tergolong dalam suatu tindak pidana yang biasa

disebutkan dalam penggolongan tindak pidana telematika (Cyber Crime).

Korporasi penyelenggara sistem dan transaksi elektronik sendiri sangat

rentan terhadap pelanggaran terhadap data privasi bagi penggunanya, hal

tersebut lah yang kemudian membuat korporasi wajib melaksanakan prinsip

pelindungan Data Pribadi dalam melakukan pemrosesan Data Pribadi

sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019


94

tentang Penyelenggaran Sistem dan Transaksi Elektronik, ketentuan tersebut

didasarkan pada pengaturan yang ada dalam Undang-Undang ITE, dimana

pada Pasal 26 ayat (1), bahwa “Kecuali ditentukan lain oleh peraturan

perundang-undangan, penggunaan setiap informasi melalui media

elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas

persetujuan Orang yang bersangkutan.” Penegakan terhadap ketentuan

tersebut sendiri didalam UU ITE masih bersifat keperdataan, hal tersebut

dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 26 ayat (2) UU ITE yang mengatur

bahwa “Setiap Orang yang dilanggar haknya sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dapat mengajukan gugatan atas kerugian yang ditimbulkan

berdasarkan Undang-Undang ini.”

Ketentuan pidana bagi pelanggar data privasi sendiri memang telah

diatur di dalam UU ITE, namun ketentuan yang ada masih dikenakan

terhadap perbuatan-perbuatan yang bersifat khusus, yakni intersepsi atau

penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik , UU

ITE belum mengatur mengenai ketentuan pidana terhadap adanya kebocoran

data privasi pengguna khususnya dalam kegiatan penyelenggaran sistem dan

transaksi elektronik. Apalagi dalam perbuatan-perbuatan khusus seperti

penyadapan atau intersepsi sering langsung dihubungkan pada perbuatan

individu sehingga korporasi sering luput dari pertanggungjawaban pidana.

Kejaksaan Republik Indonesia sendiri pernah menerbitkan pedoman

penanganan pidana korporasi yakni Peraturan Jaksa Agung Republik


95

Indonesia Nomor: Per- 028 / A/Ja/10/2014 Tentang Pedoman Penanganan

Perkara Pidana Dengan Subjek Hukum Korporasi. adapun dalam pedoman

tersebut diatur mengenai kriteria perbuatan korporasi yang dapat dikenakan

pidana, antara lain:

a. Segala bentuk perbuatan yang didasarkan pada keputusan Pengurus

Korporasi yang melakukan maupun turut serta melakukan;

b. Segala bentuk perbuatan baik berbuat atau tidak berbuat yang

dilakukan oleh seseorang untuk kepentingan korporasi baik karena

pekerjaannya dan/ atau hubungan lain;

c. Segala bentuk perbuatan yang menggunakan sumber daya manusia,

dana dan/ atau segala bentuk dukungan atau fasilitas lainnya dari

korporasi;

d. Segala bentuk perbuatan yang dilakukan oleh pihak ketiga atas

permintaan atau perintah korporasi dan / atau pengurus korporasi;

e. Segala bentuk perbuatan dalam rangka melaksanakan kegiatan

usaha sehari-hari korporasi;

f. Segala bentuk perbuatan yang menguntungkan korporasi;

g. Segala bentuk tindakan yang diterima/biasanya diterima (accepted)

oleh korporasi tersebut;

h. Korporasi yang secara nyata menampung hasil tindak pidana

dengan subjek hukum korporasi, dan/ atau


96

i. Segala bentuk perbuatan lain yang dapat dimintakan

pertanggungjawaban kepada korporasi menurut undang-undang.

Jika diperbandingkan dengan ketentuan dalam Perma 13 Tahun 2016

tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi,

korporasi penyelenggara sistem dan traksaksi elektronik dapat dikenai

tanggungjawab karena beberapa jenis kesalahan, antara lain:

a. Korporasi dapat memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak

pidana tersebut atau tindak pidana tersebut dilakukan untuk

kepentingan Korporasi;

b. Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana; atau

c. Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk

melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan

memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku

guna menghindari terjadinya tindak pidana.103

Apabila dikaji secara teoritis, terdapat beberapa doktrin

pertanggungjawaban pidana korporasi yaitu: Doktrin ldentifikasi, Doktrin

Pertanggungjawaban Pengganti (vicarious liability), dan Doktrin

Pertanggungjawaban yang ketal menurut undang-undang

(strictliability).104selain doktrin tersebut, Sutan Remy Sjahdeini,

103
Pasal 4 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara
Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi
104
Rony Sapotra. "Pertanggunggjawaban Pidana Koroporasi Pidana Korupsi; Jumal Cita
Hukum, 2, no.2 (2015), hl 279,
97

menambahkan doktrin Delegasi, Agregasi, The Corporate Culture Model, dan

reactive corporate fault.105

Pada suatu sistem pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan,

pengelola sistem elektronik dikatakan bertanggungjawab apabila secara

sengaja melakukan pelanggaran Ouga terhadap hak orang/pihak lain).

Menurut Baistrocchi, terdapat dua jenis tingkatan dalam sistem

pertanggungjawaban ini: pengetahuan aktual, dan pengetahuan konstruktif.

Untuk pengetahuan aktual, apabila pengelola sistem elektronik mengetahui

ada konten atau materi dalam sistemnya yang merupakan pelanggaran

ketentuan pidana, maka pengelola sistem elektronik dapat dikenakan

pertanggungjawaban. Untuk pengetahuan konstruktif, pengelola sistem

elektronik akan dikenakan pertanggungjawaban apabila mereka sudah

memiliki petunjuk tertentu, atau seharusnya dapat mengasumsi keberadaan

konten alau materi lertentu yang melanggar hukum, 106 namun tidak

melakukan tindakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Memang

permasalahan yang muncul terl

Jika dilihat dalam rancangan UU Perlindungan Data Pribadi, korporasi

telah diatur sebagai pihak yang dapat dimintakan pertanggungjawaban

pidananya. Dimana awalnya korporasi sudah masuk dalam unsur “setiap

orang” sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 1 ayat (6) RRU


105
Sutan Remi Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, ( Jakarta: IKAPI, 2007),
hlm 78-113.
106
Anton Hendrik Samudra, Liability Korporasi Pengelola Sistem Elektronik & Delik Terkait
Penyelenggaraan Sistem Elektronik Dl Era Industri 4.0, diakses dari buku Persektif Hukum BIsnis
Indonesia: Kumpulan Catatan Kritis, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2019) hlm 117
98

Perlindungan Data Pribadi, selanjutnya disebutkan bahwa yang dimaksud

dengan korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang

terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum

sesuai peraturan perundang-undangan.107

Adapun ketentuan mengenai pertanggungjawaban terhadap korporasi

diatur dalam Pasal 66 ayat (1), yang menyebutkan : 108

“Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 sampai

dengan Pasal 64 dilakukan oleh Korporasi, pidana dapat dijatuhkan

kepada pengurus, pemegang kendali, pemberi perintah, pemilik manfaat,

dan/atau Korporasi.”

Berdasarkan uraian tersebut, terhadap adanya pelanggaran terhadap

ketentuan mengenai penyelenggaran sistem dan transaksi elektronik

khususnya oleh korporasi penyelenggara, sudah seharusnya dapat dimintakan

pertanggungjawaban pidana, dengan melihat indikator bahwa korporasi

penyelenggara tidak hanya telah membiarkan terjadinya tindak pidana, tetapi

juga korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk

melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan

kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku.

2. Mekanisme Perlindungan Data Privasi Pengguna Sistem dan Transaksi

Elektronik

107
Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Data Pribadi, diakses dari
http://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/RJ2-20200217-053705-3169.pdf, pada 5 Oktober 2020
108
Ibid
99

a. Pencegahan hukum atas pelanggaran data privasi oleh Korporasi

Penyelenggara Sistem dan Transaksi Elektronik

Penanggulangan pelanggaran terhadap data privasi dapat ditempuh

dengan upaya preventif. Upaya prefentif adalah membuat rintangan atau

hambatan agar tidak terjadi perbuatan pidana dan untuk itu dibutuhkan

pemahaman yang seksama terhadap semua faktor yang dapat menimbulkan

munculnya resiko terhadap data privasi serta semua hal-hal yang mendukung

atau mempengaruhinya.109 Upaya pencegahan (preventive) terhadap

pelanggaran data privasi oleh korporasi dapat juga digunakan untuk menilai

kesalahan yang dilakukan oleh Korporasi sehingga nantinya korporasi dapat

dimintai pertanggungjawabannya, hal tersebut sesuai dengan pedomana

penilaian kesalahan korporasi sebagaimana yang diatur dalam Perma 13

Tahun 2016, dimana diatur bahwa korporasi dapat dimintai

pertanggungjawaban disaat Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang

diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar

dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna

menghindari terjadinya tindak pidana.

Bila ditelusurui dalam peraturan yang ada, beberapa kaidah sebagai

upaya pencegahan terlanggarnya data privasi pengguna oleh korporasi telah

diatur didalam PP nomor 71 tahun 2019, kaidah-kaidah tersebut antara lain:

109
Leden Marpaung, Tindak Pidana Korupsi (Pemberantasan dan Pencegahan), (Jakarta:
Djambatan, 2001), hlm 74.
100

1) Penyelenggara Sistem Elektronik harus menerapkan tata kelola

sistem yang baik dan akuntabel

Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 11 ayat (1) PP PSTE tata

kelola sistem elektronik haruslah menjamin tiga hal yakni:

a. tersedianya perjanjian tingkat layanan;

b. tersedianya perjanjian keamanan informasi terhadap jasa

layanan Teknologi Informasi yang digunakan; dan

c. keamanan informasi dan sarana komunikasi internal yang

diselenggarakan

Selanjutnya dalam Pasal 19 diatur mengenai syarat tata kelolsa

sistem elektronik yang baik dan akuntabel yakni antara lain:

a. tersedianya prosedur atau petunjuk dalam penyelenggaraan

Sistem Elektronik yang didokumentasikan dan/atau

diumumkan dengan bahasa, informasi, atau simbol yang

dimengerti oleh pihak yang terkait dengan penyelenggaraan

Sistem Elektronik tersebut;

b. adanya mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga

kebaruan dan kejelasan prosedur pedoman pelaksanaan;

c. adanya kelembagaan dan kelengkapan personel pendukung

bagi pengoperasian Sistem Elektronik sebagaimana mestinya;


101

d. adanya penerapan manajemen kinerja pada Sistem

Elektronik yang diselenggarakannya untuk memastikan

Sistem Elektronik beroperasi sebagaimana mestinya; dan

e. adanya rencana menjaga keberlangsungan penyelenggaraan

Sistem Elektronik yang dikelolanya.

2) Pemrosesan data Privasi melalui prinsip perlindungan dan

persetujuan pengguna

Kaedah tersebut dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 14 PP PSTE,

yang mengatur bahwa Penyelenggara Sistem Elektronik wajib

melaksanakan prinsip pelindungan Data Pribadi dalam

melakukan pemrosesan Data Pribadi meliputi:

a. pengumpulan Data Pribadi dilakukan secara terbatas dan

spesifik, sah secara hukum, adil, dengan sepengetahuan dan

persetujuan dari pemilik Data Pribadi;

b. pemrosesan Data Pribadi dilakukan sesuai dengan tujuannya;

c. pemrosesan Data Pribadi dilakukan dengan menjamin hak

pemilik Data Pribadi;

d. pemrosesan Data Pribadi dilakukan secara akurat, lengkap,

tidak menyesatkan, mutakhir, dapat dipertanggungjawabkan,

dan memperhatikan tujuan pemrosesan Data Pribadi;

e. pemrosesan Data Pribadi dilakukan dengan melindungi

keamanan Data Pribadi dari kehilangan, penyalahgunaan,


102

Akses dan pengungkapan yang tidak sah, serta pengubahan

atau perusakan Data Pribadi;

f. pemrosesan Data Pribadi dilakukan dengan memberitahukan

tujuan pengumpulan, aktivitas pemrosesan, dan kegagalan

pelindungan Data Pribadi; dan

g. pemrosesan Data Pribadi dimusnahkan dan/atau dihapus

kecuali masih dalam masa retensi sesuai dengan kebutuhan

berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Prinsip-prinsip tersebut dilengkapi dengan kaidah bahwa

Pemrosesan Data Pribadi harus memenuhi ketentuan adanya

persetujuan yang sah dari pemilik Data Pribadi untuk 1 (satu)

atau beberapa tujuan tertentu yang telah disampaikan kepada

pemilik Data Pribadi. Dimana selain itu pemerosesan data pribadi

harus memenuhi ketentuan yang diperlukan untuk:

a. pemenuhan kewajiban perjanjian dalam hal pemilik Data

Pribadi merupakan salah satu pihak atau untuk memenuhi

permintaan pemilik Data Pribadi pada saat akan melakukan

perjanjian;

b. pemenuhan kewajiban hukum dari pengendali Data Pribadi

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

c. pemenuhan pelindungan kepentingan yang sah (vital interest)

pemilik Data Pribadi;


103

d. pelaksanaan kewenangan pengendali Data Pribadi

berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;

e. pemenuhan kewajiban pengendali Data Pribadi dalam

pelayanan publik untuk kepentingan umum; dan/atau

f. pemenuhan kepentingan yang sah lainnya dari pengendali

Data Pribadi dan/atau pemilik Data Pribadi.

Terkait dengan konsep persetujuan yang sah dari pemilik data

pribadi, menarik untuk disimak pendapat dari Claudio A. Ardagna,

dkk, bahwa hal tersebut berkaitan dengan munculnya apa yang

disebut trust negotiation, yang muncul sebelum adanya interaksi

dalam sistem dan transaksi elektronik, dimana disebutkan:110

In many situations, before an interaction can start, a certain level

of trust is established through the exchange of information

(credentials) between the interacting parties. However, the access

control process should be able to operate without the requester’s

knowledge of the set of credentials she should have to access the

resource. Consequently, the information about the needed

credentials has to be communicated to the counterpart during the

access control process itself. The access control decision is

therefore obtained through a complex process and completing a

service may require communicating information not related to the

110
Claudio A. Ardagna, dkk, Trust Management, dalam Milan Petkovi´c , Security, Privacy,
and Trust inModern Data Management, (Berlin Heidelber: Springer, 2007) hlm 103
104

access itself, but related to additional restrictions on its execution,

introducing possible forms of trust negotiation. Trust negotiation is

an approach to automated trust establishment.

Jika diterjemahkan bebas, disebutkan bahwa sebelum interaksi

dapat dimulai, tingkat kepercayaan tertentu dibuat melalui

pertukaran informasi (kredensial) antara pihak-pihak yang

berinteraksi. Namun, proses kontrol akses harus dapat beroperasi

tanpa sepengetahuan pemohon tentang kumpulan kredensial yang

harus dia miliki untuk mengakses sumber daya. Akibatnya,

informasi tentang kredensial yang diperlukan harus

dikomunikasikan kepada pihak lawan selama proses kontrol akses

itu sendiri. Oleh karena itu, keputusan pengendalian akses informasi

diperoleh melalui proses yang kompleks dan dalam penyelesaian

layanan memerlukan komunikasi informasi yang tidak terkait

dengan akses itu sendiri, tetapi terkait dengan pembatasan tambahan

pada pelaksanaannya, hal tersebut mengenalkan apa yang disebut

dengan bentuk negosiasi kepercayaan Negosiasi kepercayaan adalah

pendekatan untuk membentuk kepercayaan yang bersifat otomatis

antara pengguna dan penyedia layanan.

Adapun langkah-langkah secara umum yang biasanya dilakuka

untuk memperoleh kepercayaan tersebut antara lain:111

111
Ibid
105

1. The client requests an access to a service.


2. Upon receiving the request, the server checks if the client has
provided the necessary credentials. In the case of a positive
answer, the access to the service is granted; otherwise the
server sends to the client the policies that she must fulfil to gain
access.
3. The client selects, if possible, the requested credentials and
sends them to the server together with the service request.
4. If the submitted credentials are appropriate, the user gains
access to the service

Langkah tersebut dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar. Tahap pembentukan kepercayaan dalam sistem elektronik

Persetujuan penggunaan data juga dapat dikaitkan dengan perjanjian

yang muncul saat dilakukan transaksi elektronik, dimana terkait dengan

keabsahan perjanjian yang dilakukan dalam transaksi elektronik, dapat dilihat

dalam Pasal 46 ayat (2) PP PSTE bahwa Transaksi Elektronik dapat

dilakukan berdasarkan kontrak elektronik atau bentuk kontraktual lainnya

sebagai bentuk kesepakatan yang dilakukan oleh para pihak.


106

Selanjutnya, terkait dengan sarat sah kontrak elektronik tersebut, diatur

dalam Pasal 46 ayat (2), yang menyatakan bahwa kontrak elektronik dianggap

sah apabila:

a. terdapat kesepakatan para pihak;

b. dilakukan oleh subjek hukum yang cakap atau yang

berwenang mewakili sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan;

c. terdapat hal tertentu; dan

d. objek transaksi tidak boleh bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan, kesusilaan, dan

ketertiban umum.

Syarat sah kontrak elektronik tersebut pada dasarnya sama dengan

syarat sah perjanjian secara umum sebagaimana yang diatur di dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, namun kemudian di dalam Pasal 47 ayat (3)

PP PSTE ini, diatur juga tentang syarat minimum materi muatan dalam suaatu

kontrak elektronik, dimana disebutkan bahwa kontrak elektronik paling

sedikit memuat:

a. data identitas para pihak;

b. objek dan spesifikasi;

c. persyaratan transaksi elektronik;

d. harga dan biaya;


107

e. prosedur dalam hal terdapat pembatalan oleh para

pihak;

f. ketentuan yang memberikan hak kepada pihak yang

dirugikan untuk dapat mengembalikan barang dan/atau

meminta penggantian produk jika terdapat cacat

tersembunyi; dan

g. pilihan hukum penyelesaian transaksi elektronik;

Selain melalui kontrak elektronik, penyelenggara sistem elektronik

juga diwajibkan untuk menyediakan formulir persetujuan agar

dalam hal ini pihak-pihak yang digunakan datanya dalam hal ini

secara khusus konsumen, bisa mendapatkan informasi bahwa data

milikya akan digunakan, dalam Permen kominfo Nomor 20 Tahun

2016 tentang perlindungan data pribadi dalam sistem elektronik,

menyebutkan pada Pasal 16 bahwa “Penyelenggara Sistem

Elektronik yang melakukan proses sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 3 wajib menyediakan formulir persetujuan dalam Bahasa

Indonesia untuk meminta Persetujuan dari Pemilik Data Pribadi

yang dimaksud.

3) Kewajiban penghapusan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen

Elektronik

Kaidah ini diatur dalam Pasal 15 ayat (3) PP PSTE yang mengatur

bahwa, “Penyelenggara Sistem Elektronik yang wajib menghapus


108

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) merupakan Penyelenggara Sistem

Elektronik yang memperoleh dan/atau memproses Data Pribadi

di bawah kendalinya.

Selanjutnya disebtkan bahwa kewajiban penghapusan Informasi

Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:

a. penghapusan (right to erasure); dan

b. pengeluaran dari daftar mesin pencari (right to delisting).

Adapun ketentuan mengenai penghapusan tersebut dijabarkan

dalam Pasal 16 ayat (1) bahwa Informasi Elektronik dan/atau

Dokumen Elektronik yang tidak relevan yang dilakukan

penghapusan

(right to erasure) terdiri atas Data Pribadi yang:

a. diperoleh dan diproses tanpa persetujuan pemilik Data

Pribadi;

b. telah ditarik persetujuannya oleh pemilik Data Pribadi;

c. diperoleh dan diproses dengan cara melawan hukum;

d. sudah tidak sesuai lagi dengan tujuan perolehan berdasarkan

perjanjian dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan;


109

e. penggunaannya telah melampaui waktu sesuai dengan

perjanjian dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan;

dan/atau

f. ditampilkan oleh Penyelenggara Sistem Elektronik yang

mengakibatkan kerugian bagi pemilik Data Pribadi

Selanjutnya penghapusan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen

Elektronik yang tidak relevan yang dilakukan pengeluaran dari

daftar mesin pencari (right to delisting) dilakukan berdasarkan

penetapan pengadilan. Dimana pada Pasal 17 ayat (2) PP PSTE

diatur prosedur permohonan untuk dikeluarkannya penetapan

pengadilan tersebut.

Selain ketentuan tersebut, setiap Penyelenggara Sistem Elektronik

dalam PP PSTE diwajibkan untuk menyediakan mekanisme

penghapusan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik

yang sudah tidak relevan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan. Dimana mekanisme penghapusan

sebagaimana dimaksud paling sedikit memuat ketentuan

mengenai:

a. penyediaan saluran komunikasi antara Penyelenggara Sistem

Elektronik dengan pemilik Data Pribadi;


110

b. fitur penghapusan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen

Elektronik yang tidak relevan yang memungkinkan pemilik

Data Pribadi melakukan penghapusan Data Pribadinya; dan

c. pendataan atas permintaan penghapusan Informasi Elektronik

dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan.

Berdasarkan hal tersebut dari sisi pencegahan dalam pandangan

penulis korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana, dalam

hal ini ketika terjadinya pelanggaran data privasi akibat tidak ada atau

tidak terpenuhinya standar pencegahan yang diwajibkan bagi korporasi

penyelenggara sistem dan transaksi elektronik.

Hal tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Perma 13 tahun 2016

dimana Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan

untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan

memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna

menghindari terjadinya tindak pidana.112

b. Penegakan hukum pelanggaran data privasi oleh Korporasi

Penyelenggara Sistem dan Transaksi Elektronik

Secara hukum acara atau prosedur penanganan perkara korporasi

sebagai pelaku tindak pidana dalam perundang-undangan yang ada dan

berlaku selama ini tidak lengkap dan tidak jelas,113sedangkan Undang-


112
Pasal 4 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara
Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi
113
Konsieran huruf c Perma No.13 Tahun 2016 menyatakan bahwa “banyak undang-
undang di Indonesia menempatkan korporasi sebagai subjek tindak pidana yang dapat dimintai
pertanggungjawaban, namun perkara dengan subjek hukum korporasi yang diajukan dalam
111

Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP) tidak dapat memberikan “jalan keluar”

karena memang KUHAP tidak mengatur korporasi sebagai subjek

hukum. Implikasinya, dalam tataran praktis timbul kesulitan dan kendala,

seperti yang disebutkan Laode M. Syarif bahwa ada tiga kendala

dalam pertanggungjawaban pidana korporasi yaitu berkenaan dengan

hukum acara, penentuan perbuatan dan kesalahan korporasi, serta

eksekusi.114 Hambatan dan kendala tersebut yang membuat masih sangat

sedikit perkara korporasi yang berhasil dituntut dan diputus

pemidanaannya secara inkracht.

Untuk mengatasi persoalan tersebut di atas, Kejaksaan Agung

tanggal 1 Oktober 2014 menerbitkan Peraturan Jaksa Agung Republik

Indonesia Nomor: Per-028/A/JA/10/2014 tentang Pedoman

Penanganan Perkara Pidana Dengan Subjek Hukum Korporasi.

dimana selanjutnya dua tahun setelah diterbitkannya Perja tersebut Ketua

Mahkamah Agung pada tanggal 29 Desember 2016 menerbitkan

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara

Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi. Selain ditujukan

untuk para hakim, Perma ini juga ditujukan kepada penegak hukum

dalam penanganan perkara pidana dengan pelaku Korporasi dan/atau

proses pidana masih sangat terbatas, salah satu penyebabnya adalah prosedur dan tata cara
pemeriksaan korporasi sebagai pelaku tindak pidana masih belum jelas…
114
Tim Pokja Penyusun Pedoman Pertanggungjawaban Pidana Korporasi,Tata Cara
Penanganan Perkara Pidana Korporasi, (Jakarta: KPK dan Mahkamah Agung, 2017)hlm.v
112

Pengurus.

Terkait dengan perbuatan pidana yang berkaitan dengan pelanggaran

data privasi, pada sub bab sebelumnya telah dibahas, dimana baik di

dalam UU ITE maupun UU terkait lainnya telah mengatur larangan

penyalahgunaan serta akses illegal terhadap data pribadi orang lain,

meskipun demikian didalam ketentuan yang ada tidak semua mengatur

tentang bagaimana proses penegakannya jika pelakunya adalah

korporasi.

Dalam UU ITE yang mengatur mengenai ancaman pidana bagi

pelaku instersepsi dan penyadapan terhadap data privasi, unsu Orang

diartikan tidak hanya orang perseorangan, baik warga negara

Indonesia, warga negara asing, maupun juga terhadap badan hukum

dalam hal ini termasuk korporasi.

Undang-Undang lain yang mengatur ancaman pidana terkait dengan

data privasi adalah UU 24 tahun 2013 tentang Perubaha Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2006, sebagaimana yang tertuang dalam pada Pasal 77

UU Adminduk sebagai berikut, “Setiap orang dilarang memerintahkan

dan/atau memfasilitasi dan/atau melakukan manipulasi data

kependudukan dan/atau elemen data penduduk”, dimana setiap Orang

dan lebih khususnya petugas menjadi Subjek dalam peraturan ini.


113

Berdasarkan larangan tersebut, dalam UU 24 Tahun 2013 ini

selanjutnya juga menegaskan adanya sanksi yang diberikan kepada

oknum yang menentang melalui pasal-pasal berikut:

Pasal 94 ‘‘Setiap orang yang memerintahkan dan/atau memfasilitasi

dan/atau melakukan manipulasi Data Kependudukan dan/atau elemen

data Penduduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 dipidana dengan

pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak

Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah)’’.

Pasal 95A ‘‘Setiap orang yang tanpa hak menyebarluaskan Data

Kependudukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (3) dan Data

Pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (1a) dipidana dengan

pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak

Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah)’’.

Pasal 96 ‘‘Setiap orang atau badan hukum yang tanpa hak mencetak,

menerbitkan, dan/atau mendistribusikan Dokumen Kependudukan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf c dipidana dengan

pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak

Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)’’.

Meskipun demikian, Pasal 94 dan 95 A UU Adminduk sendiri tidak

mengatur mengenai bagaimana jika pelanggar ketentuan tersebut adalah

korporasi, padahal jika dilihat dalam ketentuan Perma No. 13 tahun 2016

diatur bahwa Hakim menjatuhan pidana didasarkan pada masing-


114

masing undang-undangyang mengatur ancaman pidana terhadap

Korporasi dan/atau Pengurus. Hal tersebut menjadi salah satu hambatan

yang membuat masih banyak korporasi penyelenggara sistem dan

transaksi elektronik, yang masih luput dari pertanggungjawaban pidana

dikarenakan undang-undang sektoralnya tidak mengatur mengenai

pidana terhadap korporasi.

Jika dilihat dalam rancangan UU Perlindungan Data Pribadi,

ketentuan mengenai penegakan hukum terhadap korporasi diatur dalam

Pasal 66 ayat (1), dimana disebutkan: 115

“Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61

sampai dengan Pasal 64 dilakukan oleh Korporasi, pidana dapat

dijatuhkan kepada pengurus, pemegang kendali, pemberi perintah,

pemilik manfaat, dan/atau Korporasi.”

Selanjutnya pada ayat (2) dan (3) diatur bahwa:

“Pidana yang dapat dijatuhkan terhadap Korporasi hanya pidana

denda. Pidana denda yang dijatuhkan kepada Korporasi paling banyak 3

(tiga) kali dari maksimal pidana denda yang diancamkan. Pada ayat (4)

diatur bahwa:

“Selain dijatuhi pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2),

Korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:

115
Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Data Pribadi, diakses dari
http://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/RJ2-20200217-053705-3169.pdf, pada 5 Oktober 2020
115

a. perampasan keuntungan dan/atau harta kekayaan yang diperoleh

atau hasil dari tindak pidana;

b. pembekuan seluruh atau sebagian usaha Korporasi;

c. pelarangan permanen melakukan perbuatan tertentu;

d. penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan

Korporasi;

e. melaksanakan kewajiban yang telah dilalaikan; dan

f. pembayaran ganti kerugian.

Meskipun saat ini masih dalam tahap rancangan, penegakan hukum

terhadap korporasi penyelenggara sistem dan transaksi elektronik sudah

seharusnya dapat dilaksanakan. Secara prosedural, Perma No. 13

Tahun 2016 sebenarnya telah memberikan pedoman berkaitan dengan

pemeriksaan korporasi baik sebagai Tersangka maupun Terdakwa, Isi

surat panggilan terhadap Korporasi, isi surat dakwaan terhadap

korporasi, gugatan ganti rugi dan restitusi, penanganan harta kekayaan

korporasi, hapusnya kewenangan menuntut pidana dan menjalankan

pidana, putusan dan pelaksanaan putusan pengadilan. Dalam hal

pembuktian, Perma No. 13 Tahun 2016 menentukan bahwa

“keterangan Korporasi merupakan alat bukti yang sah” dan diatur juga

bahwa “sistem pembuktian dalam penanganan tindak pidana yang

dilakukan oleh Korporasi mengikuti KUHAP dan ketentuan hukum

acara yang diatur khusus dalam undang-undang lainnya.”


116

Selain peraturan tersebut, Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia

Nomor: Per- 028 / A/Ja/10/2014 Tentang Pedoman Penanganan Perkara

Pidana Dengan Subjek Hukum Korporasi juga telah mengkategorikan

tuntutan pidana tambahan atau tindakan tata tertib yang dapat dikenakan

terhadap korporasi dan pengurus korporasi yang menjadi pelaku

penyalahgunaan data pribadi berdasarkan ketentuan yang menjadi dasar

pemidanaan berupa:

a. Pembayaran uang pengganti kerugian keuangan negara;

b. Perampasan atau penghapusan keuntungan yang diperoleh dari tindak

pidana;

c. Perbaikan kerusakan akibat dari tindak pidana;

d. Kewajiban mengerjakan apa yang dilakukan tanpa hak;

e. Penempatan perusahaan dibawah pengampunan untuk jangka waktu

tertentu;

f. Penutupan atau pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan

perusahaan untuk jangka waktu tertentu;

g. Pencabutan sebagian atau seluruh hak-hak tertentu;

h. Pencabutan izin usaha;

i. Perampasan barang bukti atau harta kekayaan/asset korporasi;

dan/atau;

j. Tindakan lain sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku.


117

Kedua perangkat peraturan tersebut seharusnya sudah dapat

diterapkan untuk menegakan hukum terhadap korporasi penyelenggara

sistem dan transaksi elektronik yang telah melanggara ketentuan

mengenai perlindungan data pribadi. Namun, jika dilihat pada

prakteknya memang hingga saat ini belum ada korporasi penyelenggara

sistem dan transaksi elektronik yang dapat dimintai pertanggungjawaban

pidananya atas dasar pelanggaran data privasi, padahal jika dilihat pada

data kasus yang terjadi sudah banyak data privasi pengguna yang bocor

atas kelalaian korporasi penyelenggara sistem dan transaksi elektronik.

Di tahun 2020 saja, data menunjukan, ada 54 kasus pencurian data e-

commerce, selanjutnya di sektor telekomunikasi ada 31 Kasus, Listrik 28

Kasus, pinjaman online 27 Kasus, lain-lain 20 kasus, perbankan ada 17

kasus, perumahan 16 kasus, asuransi 15 kasus, kemudian kasus-kasus

lain diberbagai sector seperti transportasi, leasing, paket, otomotif, dan

sector lainnya dengan total 277 kasus selama bulan Januari hingga Juni

2020.116

Fenomena tersebut sesuai dengan teori mengenai faktor-faktor yang

mendukung penegakan hukum, bahwa faktor regulasi hanya salah satu

dari faktor-faktor lain, sebagaimna menurut Soerjono Soekanto yang

berpendapat bahwa penegakan hukum ditentukan oleh lima faktor yaitu:

Pertama, Undang-undang: undang-undang dalam arti material adalah

116
Ibid
118

peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh Penguasa

Pusat maupun Daerah yang sah; Kedua, Penegak Hukum: penegak

hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang

hendaknya mempunyai kemampuankemampuan tertentu sesuai

dengan aspirasi masyarakat. Mereka harus dapat berkomunikasi dan

mendapat pengertian dari golongan sasaran, di samping mampu

menjalankan atau membawakan peranan yang dapat diterima oleh

mereka; Ketiga, Faktor Sarana dan Fasilitas: tanpa adanya sarana

atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan

berjalan dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain,

mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan trampil,

organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang

cukup, dan seterusnya; Keempat, Faktor Masyarakat: Penegakan

hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai

kedamaian dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sisi

tertentu, maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum

tersebut; Kelima, Faktor Kebudayaan. Kebudayaan hukum pada

dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku,

nilai-nilai yang merupakan konsepsi abstrak mengenai apa yang

dianggap baik sehingga dianut dan apa yang dianggap buruk sehingga

dihindari.117

117
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2008) hlm, 80-87
119

Berdasarkan hal tersebut, dalam pandangan penulis penegakan hukum

pidana bagi korporasi penyelenggara sistem dan transaksi elektronik

sudah seharusnya dapat dijalankan, hal itu didukung dengan adanya

perangkat regulasi yang mengatur standar sistem yang menjadi

kewajiban bagi korporasi penyelenggara sistem dan transaksi elektronik

tidak hanya sebelum ataupun saat digunakan, tetapi juga setelah

digunakan.

Standar sistem tersebut dapat dijadikan indikasi ada atau tidaknya

pelanggaran pidana yang telah dilakukan oleh suatu korporasi, dengan

patokan tiga jenis kesalahan korporasi sebagaimana yang diatur dalam

Perma 13 Tahun 2016, yakni:

1. Korporasi dapat memperoleh keuntungan atau manfaat dari

tindak pidana tersebut atau tindak pidana tersebut dilakukan

untuk kepentingan Korporasi;

2. Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana; atau

3. Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan

untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih

besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum

yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana.


BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian hasil penelitian diatas, penulis kemudian mengambil

beberapa simpulan yang menjadi intisari dari hasil penelitian ini, antara lain :

1. Pengaturan yang mengatur kewajiban Korporasi penyelenggara sistem dan

transaksi elektronik telah menetapkan standar-standar penyelenggaraan dalam

rangka melindungi dan menjaga kualitas penyelenggaran sistem dan transaksi

elektroniknya serta melindungi hak-hak pengguna layanan, baik sebelum

digunakan seperti memiliki rencana serta manajemen risiko, saat digunakan

yakni dengan menerapkan prinsipprinip perlindungan bagi pengguna

khususnya perlindungan data pribadi maupun setelah digunakan contohnya

dengan membuat sistem penyimpanan data yang berkualitas setrta menjamin

perlindungan pengguna dari kerugian.

2. Pada kaitannya dengan pertanggungjawaban pidana korporasi penyelenggara

sistem dan transaksi elektronik ketika terjadi pelanggaran terhadap data

pribadi pengguna, berdasarkan hasil penelitian dapat dimintakan

pertanggungjawaban pidana dengan melihat indikator bahwa korporasi

penyelenggara tidak hanya telah membiarkan terjadinya tindak pidana, tetapi

juga korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk

melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan

kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku.

120
121

B. Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, penulis kemudian

memberikan saran terhadap beberapa subjek hukum yang berkaitan dengan

penelitian ini antara lain sebagai berikut :

1. Bagi Korporasi Penyelenggara sistem dan transaksi elektronik. Penulis

menyarankan agar dapat memenuhi standar penyelenggaraan sistem dan

transaksi elektronik sebagaimana yang telah diatur dalam regulasi baik

sebelum penyelenggaraan, saat penyelenggaraan maupun standar setelah

diselenggarakan sistem dan transaksi elektronik, khususnya standar yang

dibuat dalam rangka pelaksanaan prinsip perlindungan data pribadi bagi

pengguna layanan.

2. Bagi Pemerintah. Penulis menyarankan perlu adanya penciptaaan iklim

penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik yang tidak hanya

mengutamakan inovasi ataupun invasi teknologi informasi, tetapi juga

mengindahkan hak-hak dasar penggguna layanan, khususnya hak atas data

pribadi pengguna.

3. Bagi Regulator. Penulis menyarankan di dalam rancangan Undang-Undang

Perlindungan Data Privasi tidak hanya mengatur secara materil kaidah

perlindungan data privasi, tetapi juga secara formil bagaimana penegakan

terhadap pelanggaran data privasi dalam penyeleggaraan sistem dan transaksi

elektronik khususnya terhadap korporasi penyelenggara yang telah melakukan

pelanggaran terhadap perlindungan data privasi penggunanya.


122

4. Bagi Penegak Hukum. Dalam pandangan penulis penegakan hukum pidana

bagi korporasi penyelenggara sistem dan transaksi elektronik sudah

seharusnya dapat dijalankan, hal itu didukung dengan adanya perangkat

regulasi yang mengatur standar sistem yang menjadi kewajiban bagi korporasi

penyelenggara sistem dan transaksi elektronik tidak hanya sebelum ataupun

saat digunakan, tetapi juga setelah digunakan. Standar sistem tersebut dapat

dijadikan indikasi ada atau tidaknya pelanggaran pidana yang telah dilakukan

oleh suatu korporasi, dengan patokan tiga jenis kesalahan korporasi

sebagaimana yang diatur dalam Perma 13 Tahun 2016, yakni:

a. Korporasi dapat memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana

tersebut atau tindak pidana tersebut dilakukan untuk kepentingan

Korporasi;

b. Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana; atau

c. Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk

melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan

memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna

menghindari terjadinya tindak pidana.

5. Bagi masyarakat. Secara umum penulis menyarankan agar dapat terciptakannya

budaya kehati-hatian dalam menggunakan layanan sistem dan transaksi

elektronik, dan secara khusus bagi pengguna layanan sistem dan transaksi

elektronik untuk dapat cermat dalam memilih layanan sistem dan transaksi

elektronik dengan memperhatikan apakah sistem layanan yang akan digunakan


123

sudah memenuhi atau tidak standar penyelenggaraan sistem dan transaksi

elektronik.
DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Amirudin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo

Prasada, 2006)

Anggara, DKK, , Menyeimbangkan Hak: Tantangan Perlindungan Privasi dan

Menjamin Akses Keterbukaan Informasi dan Data di Indonesia, (Institute for

Criminal Justice Reform, Jakarta, 2015)

Arief, Barda Nawawi, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan

Penanggulangan Kejahatan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001

Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya

Bakti 1996,

Atmasasmita, Romli, Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana. (Jakarta: LBHI,

1989).

Banisar, David, The Right to Information and Privacy: Balancing Rights and

Managing Conflict, World Bank Institute, 2011,

Chairul, Huda, “Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan” Menuju Kepada “Tiada

Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan”: Tinjauan Kritis Terhadap Teori

Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggunggjawaban Pidana, (Jakarta: Kencana,

2006 )

Hadari, Nawawi, Penelitian Terapan.(Yogyakarta:Gajah Mada University

Press,2005)

123
124

Hamid Jahankhani, dkk “Cybercrime classification and characteristics”, dalam

Babak Akhgar, Francesca Bosco, Andrew Staniforth, Cyber Crime and Cyber

Terrorism Investigator’s Handbook, (Sheffield, Elsevier , 2014)

Hanafi, Mahrus, Sistem Pertanggung Jawaban Pidana, Cetakan pertama,

(Jakarta, Rajawali Pers, 2015)

Leden Marpaung, Tindak Pidana Korupsi (Pemberantasan dan Pencegahan),

(Jakarta: Djambatan, 2001)

Lembaga Studi dan Advokasi Masyrakat (ELSAM), Privasi 101: Panduan

Memahami Privasi, Perlindungan Data, dan Surveilans Komunikasi, (Jakarta:

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ,2015)

Makarim, Edmon, Pengantar Hukum Telematika (Suatu Kajian Kompilasi),

(Jakarta PT Raja Grafindo Persada, 2005)

Mamudji, Sri, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. (Jakarta :Badan

Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005)

Maria SW. Sumardjono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jogjakarta: Universitas

Gadjah Mada, 2014)

Marjie T. Britz, Computer Forensics and Cyber Crime An Introduction,

Clemson University.—Third Edition, (South Carolina: Pearson, 2013)

Munir, Abu Bakar, Cyber law:Policies and Challenges, (Kuala

Lumpur,Butterworths Asia, 1999)

Muladi dkk, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Kencana Prenada

Media Group, 2011)


125

Purwanto, Penelitian Tentang Perlindungan Hukum Data Digital, (Jakarta:

Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2007 )

Saleh, Roeslan, Pikiran-pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta,

Ghalia Indonesia, 1982)

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum,( Jakarta: UI-Press, 2006 )

Sugiyono. Memahami Penelitian Kualitatif. (Bandung: CV. Alfabeta,2005)

Sinta Dewi Rosadi, Cyber Law: Aspek Data Privasi menurut Hukum

internasional, Regional dan Nasional, (Bandung: Refika Aditama, 2015)

Solove and Rotenberg, Information Privacy Law, (New York:Aspen

Publications, 2004)

Sjahdeini, Sutan Remi, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, ( Jakarta:

IKAPI, 2007)

Soekanto, Soerjono, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,

(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008)

JURNAL, MAKALAH, ARTIKEL, INTERNET

Richardus Eko Indrajit, Fenomena Kebocoran Data: Mencari Sumber Penyebab

dan Akar Permasalahannya, artikel diakses dari

http://www.idsirtii.or.id/doc/IDSIRTII-Artikel309-Fenomena Kebocoran Data.pdf,

diakses pada 22 Januari 2017

Bherta, Rika, Electronic Commerce (e-Commerce) Ditinjau dari Hukum

Perjanjian dan UU ITE di Indonesia, diakses dari lppm.akmi-

baturaja.ac.id/.../ELECTRONIC-COMMERCE-E-COM, pada 16 Desember 2020


126

Budhijanto, Danrivanto, The Present and Future of Communication and

Information Privacy in Indonesia, Jurnal Hukum Internasional Universitas

Padjadjaran, Vol. 2 No. 2 (Agustus 2003)

Iwan, dkk, Kajian Strategi Keamanan Cyber Nasional: Dalam Rangka

Meningkatkan Ketahanan Nasional di Bidang Keamanan Cyber, (Jakarta: Tesis

Universitas Pertahanan Indonesia, 2012).

Rahmawati, Ineu, “Analisis Manajemen Risiko Ancaman Kejahatan Siber

(Cyber Crime) Dalam Peningkatan Cyber Defense”, Jurnal Pertahanan & Bela

Negara | Agustus 2017, Volume 7 Nomor 2,

Sapotra. Rony "Pertanggunggjawaban Pidana Koroporasi Pidana Korupsi; Jumal

Cita Hukum, 2, no.2 (2015

Tim Pokja Penyusun Pedoman Pertanggungjawaban Pidana Korporasi,Tata Cara

Penanganan Perkara Pidana Korporasi, (Jakarta: KPK dan Mahkamah Agung, 2017)

Maroni, Fungsionalisasi PERMA No. 13 Tahun 2016 Dalam Pemberantasan

Tindak Pidana Khusus Dengan Pelaku Korporasi, Makalah disampaikan pada

Seminar Focus Group Discussion (FGD) Mahkamah Agung RI di Swiss-Belhotel

Bandar Lampung tgl 25 Agustus 2020

Vidya Prahassacitta, Konsep Kejahatan Siber Dalam Sistem Hukum Indonesia,

artikel diakses dari https://business-law.binus.ac.id/2019/06/30/konsep-kejahatan-

siber-dalam-sistem-hukum-indonesia/ pada Kamis, 1 Oktober 2020


127

Hamid Jahankhani, dkk “Cybercrime classification and characteristics”, dalam

Babak Akhgar, Francesca Bosco, Andrew Staniforth, Cyber Crime and Cyber

Terrorism Investigator’s Handbook, (Sheffield, Elsevier , 2014)

Rahmawati, Ineu, “Analisis Manajemen Risiko Ancaman Kejahatan Siber

(Cyber Crime) Dalam Peningkatan Cyber Defense,: Jurnal Pertahanan & Bela

Negara, Agustus 2017, Volume 7 Nomor 2

Nining Latianingsih, “Prinsip Tanggung Jawab Pelaku Usaha Dalam Transaksi

Elektronik Menurut Undang-Undang Informasi Dan Transaksi Elektronik”, dalam

“Jurnal Ekonomi Dan Bisnis, Vol 11, No. 2, Desember 2012”

Sabillon, Regner, Cybercrime and Cybercriminals: A Comprehensive Study,

International Journal of Computer Networks and Communications Security, VOL. 4,

NO. 6, JUNE 2016

United Nations Office on Drugs and Crime, Comprehensive Study on

Cybercrime, (Vienna: UNODC, 2013), hal xvii, E-Book diambil dari

https://www.unodc.org/documents/organized-

crime/cybercrime/CYBERCRIME_STUDY_210213.pdf pada 24 Desember 2019.

REGULATION (EU) 2016/679 OF THE EUROPEAN PARLIAMENT AND OF

THE COUNCIL of 27 April 2016 on the protection of natural persons with regard to

the processing of personal data and on the free movement of such data, and

repealing Directive 95/46/EC (General Data Protection Regulation) diakses dari

https://gdpr-info.eu/art-4-gdpr/

http://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/RJ1-20200217-053705-3960.pdf
128

https://www.liputan6.com/tekno/read/3665291/45-miliar-data-dicuri-selama-6-

bulan-pertama-2018

https://www.alinea.id/nasional/polri-kejahatan-pencurian-data-pribadi-di-level-

bahaya-b1ZQw9vR0

https://www.britannica.com/topic/cybercrime

Council of Europe. (2001). Council of Europe. Retrieve from Council of

Europe: http://www.europarl.europa.eu/meetdocs/2014_2019/documents/libe/dv/7_c

onv_budapest_/7_conv_budapest_en.pdf

International Telecommunication Union – ITU (2014). ―Understanding

cybercrime: phenomena, challenges and legal response‖ (pp. 12-42). Edited by

Marco Gercke.

Geneva,Switzerland.http://www.itu.int/ITUD/cyb/cybersecurity/docs/Cybercrimelegi

slationEV6.pdf dan European Network and Information Security Agency –

ENISA (2014). ―ENISA Threat Landscape 2014‖ (pp. 14-39) Heraklion,

Greece.<https://www.enisa.europa.eu/activitiesriskmanagement/evolving-

threatnvironment/enisa-threat-landscape/enisahreat-

landscape2014/at_download/fullReport

https://www.liputan6.com/tekno/read/3665291/45-miliar-data-dicuri-selama-6-

bulan-pertama-2018, pada 19 Oktober 2020

https://tekno.kompas.com/read/2020/05/05/19080067/kasus-kebocoran-data-di-

indonesia-dan-nasib-uu-perlindungan-data-pribadi?page=all, Diakses tanggal 27

Desember 2020
129

Arifiyadi, Teguh Pemberantasan Cyber Crime dengan KUHP dalam

http://kominfo.go.id/index.php/content/detail

https://www.law.cornell.edu/uscode/text/17/512

webste, https://eur-lex.europa.eu/legal-content/EN/TXT/HTML/?

uri=CELEX:32000L0031&rid=5

Diakses dari https://eur-lex.europa.eu/legal-content/EN/TXT/PDF/?

uri=CELEX:52011SC1641&from=PL

Taylor Armerding,Yahoo! Braces Itself for Enormous Class-Action Suit over

Breaches,NAKEDSECURITY(Sept. 5, 2017),

https://nakedsecurity.sophos.com/2017/09/05/yahoo-bracesitself-as-judge-rules-that-

its-on-the-hook-for-a-class-action-suit..

Eduard Goodman,The Equifax Data Breach and Its Impact on

Business,LAW360 (Sept. 14,2017), https://www.law360.com/articles/963870/the-

equifax-data-breach-and-its-impact-onbusinesses. diakses pada 10 Desember 2020

Hamza Shaban,‘This is a Travesty’: Lawmakers Grill Former Equifax Chief

Executive on Breach Response,WASH.POST(Oct. 3, 2017),

https://www.washingtonpost.com/news/the-switch/wp/2017/10/02/what-to-expect-

from-equifaxs-back-to-back-hearings-on-capitol-hill-this-week.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan


Konsumen, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821)
130

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1999 Tentang


Telekomunikasi, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3881)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 251,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5952)
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaran Sistem dan Transaksi Elektronik, Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 189, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5348
Peraturan pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaran Sistem dan
Transaksi Elektronik, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019
Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6400
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan
Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi, Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2016, Nomor 2058
Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: Per- 028 / A/Ja/10/2014 Tentang
Pedoman Penanganan Perkara Pidana Dengan Subjek Hukum Korporasi, Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 204 Nomor 1492
Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 20 Tahun 2016 Tentang
perlindungan Data Pribadi Dalam Sistem Elektronik, (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2016 Nomor 1829)
Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika Republik Indonesia Nomor 23
Tahun 2016 Tentang Sertifikasi Perangkat Telekomunikasi Pesawat Telepon
131

Seluler, Komputer Genggam, Dan Komputer Tablet, (Berita Negara Republik


Indonesia Tahun 2016 Nomor 2085)

Anda mungkin juga menyukai