LAPORAN AKHIR
Oleh
Ketua : Subaidah Ratna Juita, S.H., M.H., NIDN 0614127801
Anggota : Dewi Tuti Muryati, S.H., M.H., NIDN 0612045801
Anggota : Ani Triwati, S.H., M.H., NIDN 0628107401
Berdasarkan
Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan Penugasan Penelitian
Dosen Pemula bagi Dosen Perguruan Tinggi Swasta Tahun Anggaran 2013
Nomor 012/SP2H/KL/KOPERTIS6/2013
tanggal 27 Agustus 2013
UNIVERSITAS SEMARANG
NOVEMBER, 2013
i
HALAMAN PENGESAHAN
ii
RINGKASAN
Dalam hukum pidana dikenal asas actus non facit reum, nisi mens sit rea,
atau asas tiada pidana tanpa kesalahan. Penerapan asas tersebut secara kaku akan
menyulitkan untuk pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana, salah
satunya adalah dalam bidang lingkungan hidup. Oleh karena itu apabila korporasi
melakukan tindak pidana lingkungan hidup sehingga mengakibatkan pencemaran
atau perusakan lingkungan hidup yang berdampak membahayakan dan merugikan
bagi pihak lain, maka berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam UU No. 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH)
korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana dengan penerapan asas
strict liability. Pengaturan mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap
korporasi sebagai pelaku tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana yang
terdapat dalam UUPPLH merupakan kebijakan legislasi yang memberikan
legitimasi bahwa korporasi dapat dipertanggungjawabkan semata karena telah
melakukan perbuatan melawan hukum tanpa memperhatikan kesalahannya.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang
menitikberatkan pada data sekunder. Sebagai penelitian hukum normatif, maka
penelitian ini meliputi penelitian inventarisasi hukum positif, asas-asas hukum,
penemuan hukum in concreto dan sinkronisasi hukum, sehingga pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan yuridis-normatif, yaitu penelitian yang difokuskan
untuk mengkaji penerapan kaedah-kaedah atau norma-norma hukum positif.
Dengan demikian, pendekatan yuridis-normatif dalam penelitian digunakan untuk
menganalisis permasalahan yang berkaitan dengan penerapan asas strict liability
untuk pertanggungjawaban korporasi sebagai pelaku tindak pidana di bidang
lingkungan hidup.
iii
PRAKATA
kehadiran Allah SWT, atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat
pembaca guna menambah wacana mengenai apa yang menjadi substansi dalam
penelitian ini. Dengan demikian, secara umum hasil penelitian ini dapat
dan lebih khusus lagi sebagai bahan masukan kepada para praktisi hukum yang
lainnya yang ingin mengetahui lebih dalam mengenai kebijakan hukum pidana
berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung, maka pada
iv
2. Koordinator Kopertis Wilayah VI Jawa Tengah yang telah meneruskan
penelitian.
penelitian.
6. Semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu yang telah
Kami menyadari akan segala kekurangan yang ada, yang tentunya sangat
mempengaruhi penelitian ini. Untuk itu, segala kritik dan saran yang bersifat
membangun dari berbagai pihak akan kami terima dengan senang hati, demi
Tim Peneliti
v
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL ............................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN …………………………………………... ii
RINGKASAN .......................................................................................... iii
PRAKATA ............................................................................................... iv
DAFTAR ISI ……………………………………………………………... vi
BAB 1. PENDAHULUAN ...................................................................... 1
1.1. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ................................................................ 5
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………... 6
2.1. Landasan Pemahaman tentang Pertanggungjawaban Pidana
sebagai Suatu Sistem .......................................................... 6
2.2. Doktrin Strict Liability dalam Hukum Pidana ..................... 19
2.3. Tinjauan tentang Tindak Pidana Lingkungan Hidup ........... 26
BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ............................... 41
3.1. Tujuan Penelitian ................................................................. 41
3.2. Manfaat Penelitian ............................................................... 41
BAB 4. METODE PENELITIAN ………………………...................... . 43
4.1. Metode Pendekatan ............................................................. 44
4.2. Spesifikasi Penelitian .......................................................... 44
4.3. Metode Pengumpulan Data ................................................. 45
4.4. Metode Analisis Data .......................................................... 46
BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................... 48
5.1. Kedudukan Korporasi sebagai Subjek Hukum (Pelaku Tindak
Pidana) dalam Bidang Lingkungan Hidup ........................... 48
vi
5.2. Sistem Pertanggungjawaban Pidana terhadap Korporasi sebagai
Pelaku Tindak Pidana di Bidang Lingkungan Hidup berdasarkan
Asas Strict Liability .................................................................... 55
BAB 6. SIMPULAN DAN SARAN ………………………............................ 65
6.1. Simpulan ...................................................................................... 65
6.2. Saran ............................................................................................ 66
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………........... viii
LAMPIRAN …………………………………………………………….......... xi
vii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
Romli Atmasasmita, Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan Pertama (Jakarta:
Yayasan LBH, 1989), halaman 79.
2
Ibid., halaman 80.
1
dalam hukum pidana tidak lepas dari pro dan kontra. Hal ini tidak lepas dari
yaitu tidak memberikan opsi selain manusia (naturalick person) sebagai subjek
delinquere non protest, yang artinya korporasi tidak mungkin melakukan tindak
juga tidak lepas dari aliran-aliran alam hukum pidana, baik aliran klasik (daad
dader strafrecht) yang hanya melihat individu sebagai pelaku atau subjek hukum
sentral.
kesulitan karena melekat pada sifat dasar manusia alamiah seperti kesengajaan
dan kealpaan, tingkah laku material, pidana dan tindakan. Pemidanaan terhadap
korporasi juga dapat merugikan orang yang tidak bersalah dan kemungkinan
2
karyawan, pemegang saham mapun biaya penegakan hukum yang mahal.
masih belum diakui secara tegas dalam hukum pidana. Dan kalaupun korporasi
liability) sebagai pengecualian dari asas kesalahan. Dalam asas strict liability si
3
delik dan mengenai asas kesalahan, di dalam perkembangannya mengalami
yang dianut hukum pidana selama ini. Harus diakui bahwa asas kesalahan
merupakan asas yang sangat fundamental dalam hukum pidana sehingga asas
jawab. Namun di pihak lain, karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
tindak pidana di bidang lingkungan hidup yang dilakukan oleh korporasi dengan
4
dipertanggungjawabkan sehingga memberikan efek jera (deterent effect). Harus
KUHP tidak cukup untuk mengadakan represi terhadap tindak pidana yang
dilakukan korporasi.
sekaligus sebagai respon atas keadaan di atas dengan tujuan melengkapi literatur
gambaran yang jelas mengenai asas strict liability sebagai alternatif bentuk
TINJAUAN PUSTAKA
harus dipenuhi. Gambaran itu dapat dilihat dalam bentuk skema berikut:
yang sentral dalam hukum pidana. Unsur perbuatan pidana terletak dalam
6
2.1.1. Pengertian dan Unsur-unsur Tindak Pidana
padahal pengertian tindak pidana itu sangat penting untuk dipahami agar
Demikian pula sebaliknya, jika unsur itu tidak dipenuhi, orang tersebut
yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman
itu.3
3
Moljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Cetakan Kedua, (Jakarta: Bina Aksara, 1984),
7
Simons mengartikan perbuatan pidana (delik) sebagai suatu
dari (1) perbuatan manusia (positif atau negatif; berbuat atau tidak
bertanggung jawab.
kesalahan.5
halaman 54.
4
Leden Marpaung, Unsur-unsur Perbuatan yang Dapat Dihukum (Deik), C etakan
Pertama, (Jakarta: Sinar Grafika, 1991), halaman 4.
5
Sudarto, Hukum Pidana I, Cetakan kedua (Semarang: Yayasan Sudarto Fakultas
Hukum Universitas Diponegoro, 1990 ), halaman 41.
8
manusia; dan (2) diancam pidana dalam undang- undang.6
bagian suatu peristiwa. Uraian perbuatan dan keadaan yang ikut serta
disimpulkan oleh Moljatno mengenai unsur atau elemen yang harus ada
sebagai berikut:
6
A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Cetakan Pertama, (Jakarta: Sinar Grafika,
1995), halaman 225.
7
Ibid., halaman 226.
8
Moeljatno, Op. Cit., halaman 63.
9
Lima unsur atau elemen tersebut di atas pada dasarnya dapat
positif, dan
perbuatan negatif.
10
hukum bertentangan dengan hukum yakni berkenaan
kalau tak ada kesalahan” (an act does not make guilty unless
the mind is guilty, actus not facit reum nisi mens sit rea).
1. Kesengajaan
eventualis).
9
Leden Marpaung, Op.Cit., halaman 6-7.
11
2.1.2. Perbuatan atau Tindakan
kelakuan pasif atau negatif, seperti Pasal 164-165, 224, 523, 529, dan
disebut Delictum omissionis. Di samping itu, ada juga delik yang dapat
mengandung delik demikian, yaitu seorang penjaga pintu kereta api yang
12
dikehendaki yang diadakan untuk menimbulkan suatu akibat.10
dipandang dari sudut psikologi, untuk hukum pidana dan ilmu hukum
pidana, hal itu tidak mempunyai arti. Ada kalanya untuk mengadakan
Hal itu cukup dilakukan dengan sikap badan atau pandangan mata
keluar, dan yang diarahkan kepada tujuan yang menjadi objek hukum.
10
Moeljatno, Op.Cit, halaman 83-87.
11
Ibid., halaman 84.
13
c. Sikap jasmani yang terwujud karena keadaan tak sadar,
seperti mengigau, terhipnotis, dan mabuk.12
di atas tidak didukung oleh suatu kehendak atau terwujud bukan karena
tersebut.
12
Ibid., halaman 85.
14
jabatan yang sah (Pasal 51 ayat (1) KUHP); (2) jaksa menahan orang
15
itu memenuhi rumusan delik, itu merupakan tanda atau indikasi bahwa
perbuatan itu bersifat melawan hukum. Akan tetapi, sifat itu hapus
pembenar itu hanya boleh diambil dari hukum positif yang tertulis,
berpendapat bahwa alasan itu boleh diambil dari luar hukum yang
tertulis.
menjadi unsur perbuatan pidana, ini tidak berarti bahwa karena itu
13
Ibid., halaman 134
16
Disebutkan dengan nyata-nyata. Jika dalam rumusan delik
unsur tersebut tidak dinyatakan, maka juga tidak perlu dibuktikan. Pada
b. Fungsi positif.
sebagai suatu delik, meskipun tidak nyata diancam dengan pidana dalam
17
delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan, hal tersebut belum
perlu adanya syarat, yaitu bahwa orang yang melakukan perbuatan itu
Kesalahan” (Keine Strafe ohne Schuld atau Geen straf zonder schuld
atau Nulla Poena Sine Culpa (“culpa” di sini dalam arti luas,
apabila ada orang yang dijatuhi pidana padahal ia sangat sekali tidak
bersalah.
hukum pidana yang ada dewasa ini dapat disebut sebagai ”Tat-
18
sebagai Sculdstrafrecht, artinya bahwa untuk penjatuhan pidana
(liability without fault). Hal itu berarti bahwa si pembuat sudah dapat
14
Sudarto, op cit. halaman 91.
19
dirumuskan dalam pasal 38 ayat ( 1) RUU KUHP. Bunyi rumusannya adalah
kesalahan”.
dicantumkannya asas strict liability itu ke dalam konsep, dapat dilihat pada
dipertahankan lagi untuk setiap kasus pidana. Adalah tidak mungkin apabila
tetap berpegang teguh pada asas mens-rea untuk setiap kasus pidana dalam
ketentuan undang- undang modern sekarang ini. Oleh karena itu, perlu
absolute liability. Mengenai hal itu ada dua pendapat. Pendapat pertama
20
menyatakan strict liability merupakan absolute liability. Alasan atau dasar
(mens rea) atau tidak. Jadi seseorang yang sudah melakukan perbuatan pidana
harus atau belum tentu dipidana. Kedua pendapat itu antara lain, dikemukakan
juga oleh Smith dan Brian Hogan, yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief.
21
kendaraan yang membahayakan” (melampaui batas maksimum),
dapat diajukan alasan pembelaan bahwa dalam mengenai
kendaraan itu ia berada dalam keadaan automatism. Misal lain, A
mabuk-mabukan di rumahnya sendiri. Akan tetapi dalam
keadaan tidak sadar (pingsan), A diangkat oleh kawan-
kawannya dan diletakkan di jalan raya. Dalam hal itu memang
ada Strict liability, yaitu berada di jalan raya dalam keadaan
mabuk, tetapi A dapat mengajukan pembelaan berdasarkan
adanya compulsion. Jadi, dalam hal itu pun Strict liability
bukanlah absolute liability.15
15
Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan Pertama, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2002), halaman 132-133.
16
L. H . C Hulsman, Sistem Peradilan Pidana dalam Perspektif Perbandingan
Hukum Pidana, Penyadur, Soedjono Dirdjosisworo, (Jakarta; CV: Rajawali Pers, 1984), halaman
56.
22
sudah melembaga dalam hukum pidana Indonesia. 17
masyarakat itu tidak mesti harus tindak pidana yang serius (real crime),
menghadapi masalah yang demikian rumitnya, sudah saatnya doktrin atas asas
17
Mardjono Reksodiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan,
PusatPelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum. (Jakarta: Universitas Indonesia, 1994),
halaman 32.
18
Barda Nawawi Arief, Op.Cit, halaman 129.
23
pemecahan masalah kesulitan dalam pembuktian kesalahan dan
perumusan strict liability dalam KUHP baru merupakan refleksi dalam menjaga
yang harus diperhatikan apabila kita akan menerapkan asas strict liability
Jadi inti masalahnya menurut Barda Nawawi Arief berkisar pada sejauh
19
Hamzah Hetrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana,
( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada , 1996), halaman 38.
20
Ibid.
21
Barda Nawawi Arief dan Muladi, Teori dan Kebijakan Pidana,( Bandung: Alumni, 1998),
halaman 141.
24
diperluas sedemikian rupa sampai pada konsepsi ketiadaan kesalahan
sama sekali. Hal yang terakhir itu merupakan akar yang paling dalam dari
perbuatan dengan akibat yang ditimbulkan tidaklah mudah. Karena jaksa tidak
tertentu dan terbatas. Agar lebih jelas apa yang menjadi landasan penerapan
25
tindak pidana, tetapi sangat terbatas dan tertentu, terutama
sosial.
(unreasonable precausions).
suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana tertentu bagi barang siapa yang
tindak pidana adalah suatu tindakan melanggar hukum yang dilakukan dengan
22
Moeljatno, Op.Cit., halaman 54.
26
atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu
tersebut, pandangan Simons lebih luas dari pada pandangan Moeljatno dimana
yang tidak disengaja. Definisi tindak pidana lingkungan hidup di dalam Undang-
Hidup (UUPPLH) tidak dapat ditemukan secara lengkap. Namun dapat dirujuk
tersebut perlu diperhatikan konsep dasar tindak pidana lingkungan hidup yang
UUPPLH sampai dengan Pasal 115 UUPPLH, melalui metode konstruksi hukum
dapat diperoleh pengertian bahwa inti dari tindak pidana lingkungan (perbuatan
dikatakan sebagai rumusan umum (genus) dan selanjutnya dijadikan dasar untuk
menjelaskan perbuatan pidana lainnya yang bersifat khusus (species), baik dalam
23
Ibid.
27
undang lain (ketentuan sektoral di luar UUPPLH) yang mengatur perlindungan
dengan kalimat aktif dan dengan kalimat pasif (kata benda) dalam proses
menimbulkan akibat.24
24
Mudzakir, Aspek Hukum Pidana Dalam Pelanggaran Lingkungan, dalam Erman
Rajagukguk dan Ridwan Khairandy (ed), Hukum Lingkungan Hidup di Indonesia, 75 Tahun Prof.
Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, SH.,ML., (Jakarta Universitas Indonesia, 2001, ), halaman 527.
28
ke dalam lingkungan;
2. dilakukan oleh kegiatan manusia;
3. melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.
hidup. Baku mutu lingkungan berdasarkan Pasal 1 angka (13) UUPPLH, yaitu:
“ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada
atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam
meliputi:
teknologi.
29
Baku mutu air, baku mutu air laut, baku mutu udara ambien dan baku
mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, diatur
dalam Peraturan Pemerintah. Sedangkan baku mutu air limbah, baku mutu emisi,
baku mutu gangguan, diatur dalam peraturan menteri negara lingkungan hidup.
- “baku mutu air” adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup,
zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada, dan/atau unsur
pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air.
- “baku mutu air limbah” adalah ukuran batas atau kadar polutan yang
ditenggang untuk dimasukkan ke media air .
- “baku mutu air laut” adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat,
energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar
yang ditenggang keberadaannya di dalam air laut.
- “baku mutu udara ambien” adalah ukuran batas atau kadar zat,
energi, dan/atau komponen yang seharusnya ada, dan/atau unsur
pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam udara ambien.
- “baku mutu emisi” adalah ukuran batas atau kadar polutan yang
ditenggang untuk dimasukkan ke media udara.
- “baku mutu gangguan” adalah ukuran batas unsur pencemar yang
ditenggang keberadaannya yang meliputi unsur getaran, kebisingan, dan
kebauan.
Pengertian istilah “perusakan lingkungan hidup” secara otentik
menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia,
lingkungan hidup.”.
30
Adapun unsur-unsur “perusakan lingkungan hidup”, sebagaimana
1. adanya tindakan;
2. menimbulkan:
- perubahan langsung atau
- tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayati lingkungan;
3. melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
15 UUPPLH, yaitu ukuran batas perubahan sifat fisik, kimia, dan/atau hayati
lingkungan hidup yang dapat ditenggang oleh lingkungan hidup untuk dapat tetap
ayat (2) UUPPLH, meliputi baku kerusakan ekosistem dan kriteria baku
ekosistem dan kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim, diatur dalam
peraturan pemerintah.
meliputi:
31
d. kriteria baku kerusakan mangrove;
e. kriteria baku kerusakan padang lamun;
f. kriteria baku kerusakan gambut;
g. kriteria baku kerusakan karst; dan/atau
h. kriteria baku kerusakan ekosistem lainnya sesuai dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi.
a. kenaikan tempratur;
b. kenaikan muka air laut;
c. badai; dan/atau
d. kekeringan.
Penjelasan Pasal 21 ayat (3) UUPPLH memberikan penjelasan terhadap
32
dengan kebakaran hutan dan/atau lahan yang diakibatkan oleh suatu
usaha dan/atau kegiatan.
Memperhatikan, uraian terdahulu tampak bahwa teknik perumusan
tindak pidana pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup dalam UUPPLH
tidak lagi luas dan abstrak, sebagaimana tercantum dalam UUPLH. Rumusan
dalam UUPPLH dapat memberi ruang gerak bagi penegak hukum (hakim) untuk
menegakkan hukum dan keadilan dalam melindungi lingkungan hidup. Atau, juga
berdasarkan UUPPLH, tidak lagi abstrak dan luas sebagaimana diatur dalam
memberikan kata kunci bagi tindak pidana dan atau kerusakan lingkungan, yaitu:
Ketentuan Pidana dalam UUPPLH diatur dalam Bab XV, yaitu dari Pasal
33
menyatakan tindak pidana yang diatur dalam ketentuan Pidana UUPPLH,
merupakan perbuatan yang tidak adil menurut filsafat, yaitu yang tidak tergantung
dari suatu ketentuan hukum pidana, tetapi dalam kesadaran bathin manusia
dirasakan bahwa perbuatan itu tidak adil, dengan kata lain kejahatan merupakan
dilakukan menyangkut pelanggaran terhadap hak atas lingkungan hidup yang baik
hidup.
– 115 UUPPLH, terdapat tindak pidana materiil yang menekankan pada akibat
perbuatan, dan tindak pidana formil yang menekankan pada perbuatan. Tindak
pidana materiil memerlukan (perlu terlebih dahulu dibuktikan) adanya akibat dalam
34
hal ini terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan.Tindak pidana
formal, tidak memerlukan adanya akibat, namun jika telah melanggar rumusan
dinyatakan sebagai telah terjadi tindak pidana dan karenanya pelaku dapat dijatuhi
hukuman. Tindak pidana formal dapat digunakan untuk memperkuat sistem tindak
pidana materiil jika tindak pidana materiil tersebut tidak berhasil mencapai target
bagi pelaku yang melakukan tindak pidana yang berskala ecological impact.
Artinya tindak pidana formal dapat digunakan bagi pelaku tindak pidana
lingkungan) yang timbul, sehingga tidak perlu dibuktikan adanya hubungan sebab
akibat (causality) dari suatu tindak pidana lingkungan. Hal yang perlu diketahui
dalam tindak pidana formal dalam UUPPLH, yaitu, seseorang telah melakukan
Ketentuan Pasal 98 ayat (2), (3) UUPPLH dan Pasal 99 ayat (2),
(3) UUPPLH, jika di simak lebih lanjut mengandung makna selain termasuk delik
formal juga delik materiil. Pasal 98 ayat (2), (3) UUPPLH dan Pasal 99 ayat (2),
perbuatannya yang melanggar baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu
air laut, atau kriteria kerusakan lingkungan, sehingga orang luka dan/atau bahaya
kesehatan manusia, atau mengakibatkan orang luka berat atau mati. Dalam kasus
ini harus dibuktikan hubungan sebab akibat antara perbuatan pelanggaran baku
udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria kerusakan
35
lingkungan tersebut dengan terjadinya orang luka dan/atau bahaya kesehatan
manusia atau luka berat atau kematian. Akan tetapi, jika ternyata tidak terbukti
bahwa terjadinya pelanggaran baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu
air laut atau kriteria kerusakan lingkungan menyebabkan orang luka dan atau
bahaya kesehatan manusia atau luka berat atau kematian, maka pelaku dibebaskan
Terkait dengan tindak pidana yang selain mengandung delik formal dan
dalam UUPPLH 2009, dimana dalam Pasal 60 disebutkan, “Setiap orang dilarang
izin”. Kemudian dapat diambil lagi ketentuan dalam Pasal 69 ayat (1) disebutkan
36
6. Membuang B3 dan limbah B3 ke media lingkungan hidup;
7. Melepaskan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan;
8. Melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar;
9. Menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal;
dan/atau
10. Memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi,
11. merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar.
merupakan genus atau rumusan umum, mejadi species atau rumusan khususnya
lingkungan hidup”. Inilah yang disebut dengan genus tindak pidana lingkungan
hidup. Akan tetapi mulai dari angka 2 sampai dengan angka 10 merupakan species
Sampai pada penafsiran di dalam Pasal 98 ayat (1), Pasal 99 ayat (1),
Pasal 100 ayat (1), Pasal 101, Pasal 102, Pasal 103, Pasal 104, Pasal 105, Pasal
106, Pasal 107, Pasal 108, Pasal 109, Pasal 110, Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113,
Pasal 114, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, dan
25
Alvi Syahrin., Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, (Medan: Sofmedia,
2009), halaman 19.
37
Pasal 120 UUPPLH , merupakan ketentuan yang menggariskan species-species
ayat (1), disebutkan “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan
yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku
mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu
air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Pasal 100 ayat (1): Setiap
orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu
102: Setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin. Pasal 103:
dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin. Pasal 105: Setiap orang
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 107: Setiap orang yang
38
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 108: Setiap orang yang
melakukan pembakaran Lahan. Pasal 109: Setiap orang yang melakukan usaha
dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan. Pasal 110: Setiap orang yang
menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal. Pasal 111
ayat (1): Pejabat pemberi izin lingku ngan yang menerbitkan izin lingkungan
Dalam Pasal 112: Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak
tidak benar yang diperlukan dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan
yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah. Pasal 115: Setiap orang yang
negeri sipil.
Pasal 116 ayat (1): Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan
oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana
dijatuhkan kepada:
39
a. Badan usaha; dan/atau
selalu diawali dengan kalimat “setiap orang”, artinya adalah bahwa hanya orang
lah yang dapat dipidana walupun dalam UUPPLH dikenal adanya badan hukum
atau korporasi akan tetapi tidak disebutkan kalimat yang diawali dengan “setiap
badan hukum” atau setiap korporasi”. Logikanya adalah mana bisa mungkin suatu
lembaga organisasi atau badan hukum atau badan usaha atau korporasi dapat
dipertanggungjawabkan.
40
BAB 3
pengetahuan, baik secara teoritis maupun praktis. Adapun tujuan penelitian ini
adalah:
strict liability.
kepentingan praktis.
strict liability.
41
2. Manfaat praktis, hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat
mengenai pidana.
42
BAB 4
METODE PENELITIAN
pengetahuan tidak dapat hidup dan tidak dapat diyakini kebenarannya. Tetapi
lebih dinamis lagi penelitian juga berfungsi dan bertujuan inventif, yakni terus-
menerus lagi memperbaharui lagi kesimpulan dari teori yang telah diterima
bahkan akan surut kebelakang.26 Oleh karena itu di dalam setiap penelitian
diperlukan suatu tata cara yang nantinya akan digunakan untuk meneliti objek
Penelitian.
objek yang diteliti. Biasanya objek tersebut adalah berupa fakta empiris yang
terjadi dalam masyarakat, yang kemudian akan dikaji secara metodis dan disusun
secara sistematis kemudian diuraikan secara logis dan analitis. Dari semua
dapat benar-benar terwujud dalam suatu penyusunan karya ilmiah atas dasar hasil
penelitian.
26
Anton Bakker dan Ahmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta:
Kanisius, 1990), halaman 11.
43
Adapun metode-metode yang digunakan oleh peneliti dalam melakukan
dikaitkan dengan teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif dalam
masalah yang ada pada masa sekarang (masalah aktual) dengan mengumpulkan
27
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Yurimetri, cet III,
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), halaman 22-23.
44
data, menyusun, mengklasifikasikan, menganalisis dan mengintepretasikannya. 28
pertanggungjawaban pidana.
yaitu data yang bersumber dari penelitian kepustakaan yaitu data yang diperoleh
tidak secara langsung dari sumber pertamanya, melainkan bersumber dari data-
data yang sudah terdokumenkan dalam bentuk bahan-bahan hukum yang terdiri
dari :
28
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2002), halaman 36.
45
b. Bahan Hukum Sekunder
yang diteliti.
a. Kamus Hukum
46
dasarnya menggunakan pemikiran logis, analisis dengan logika 29. Dengan induksi,
bersifat khusus. Dari hasil analisis tersebut kemudian akan ditarik kesimpulan
29
Analisis kualitatif pada dasarnya mempergunakan pemikiran logis analitis (lihat M.
Sommers, Logika, (Bandung: Alumni,1992), halaman 2, demikian pula Jujun S. Suriasumantri,
Filsafat Ilmu-Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), halaman 43.
30
Tatang A. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian, (Jakarta: CV. Rajawali, 1986),
halama 95. Menurut Niles dan Huberman, langkah-langkah ini untuk menganalisis data meliputi
pengumpulan data, reduksi data, display data dan perumusan kesimpulan. (Lihat Esmi Warassih,
“Metodologi Penelitian Bidang Ilmu Humaniora, Kompilasi makalah Pelatihan Metodologi
Penelitian Ilmu Sosial, Bagian Hukum dan Masyarakat”, (Semarang: Fakultas Hukum UNDIP,
1999), halama 51-52. Lihat pula : Matthrew B. Mikles & A. Michael Huberman, Analisis Data
Kualitatif, terj. Tjetjep Rehendy Rohidi, (Jakarta: UI Press, 1992), halaman 15-21.
47
BAB 5
pidana umum yang hanya terbatas pada orang pribadi, tidak dapat dilepaskan
dasarnya hanya manusia dapat dipandang sebagai subyek hukum pidana. Hal ni
31
Andi Zaenal Abidin , Bunga Rampai Hukum Pidana, (Jakarta: Pradnya Paramita,
1993), halaman 51.
48
Mei 1990. Dalam Pasal 51 ditentukan :
diperlukan sesuatu hal lain yang bukan manusia yang menjadi subyek hukum. Di
samping orang dikenal juga subyek hukum yang bukan manusia yang disebut
badan hukum. Badan hukum adalah organisasi atau kelompok manusia yang
mempunyai tujuan tertentu yang dapat menyandang hak dan kewajiban. Negara
dan perseroan terbatas misalnya adalah organisasi atau kelompok manusia yang
merupakan badan hukum (Korporasi). Korporasi sebagai pembawa hak yang tak
Bedanya subyek hukum orang dengan subyek hukum badan hukum adalah
bahwa badan hukum itu tidak dapat melakukan perkawinan dan tidak dapat
dipidana penjara. Penentuan atau perluasan badan hukum sebagai subyek hukum
32
Ibid.
49
ilmu pengetahuan manusia. Namun pada hakekatnya, manusialah yang merasakan
atau menderita pemidanaan itu. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa subyek
hukum baik orang maupun korporasi adalah segala sesuatu yang dapat
mengakomodir pengaturan seperti tersebut di atas, dan tentu saja dengan tetap
atau orang pribadi. Oleh karena itu hukum pidana selama ini hanya mengenal
orang seorang atau kelompok orang sebagai subyek hukum, yaitu sebagai
pelaku dari suatu tindak pidana. Hal ini bisa dilihat dalam perumusan pasal-
pasal KUHP yang dimulai dengan kata “barangsiapa” yang secara umum
mengacu kepada orang atau manusia. Dengan melihat gejala pelanggaran hukum
yang dapat dilakukan oleh suatu badan hukum yang merugikan masyarakat, maka
kedudukan badan hukum mulai diperhatikan tidak saja menjadi subjek hukum
perdata, tetapi juga menjadi subjek dalam hukum pidana, sehingga dapat dituntut
50
Secara umum, baik dalam sistem hukum common law maupun civil law,
sangat sulit untuk dapat mengartikan suatu bentuk tindakan tertentu (actus reus
atau guilty act), serta membuktikan unsur mens rea (criminal act). Oleh karena
itu, kejahatan korporasi memiliki karakteristik yang lebih khusus dari pada
tersebut.33 Bukan saja tindak pidana dalam UUPPLH 2009 namun seluruh tindak
liability.
Pidana) Indonesia yang dianggap sebagai subyek hukum pidana hanyalah orang
perseorangan dalam konotasi biologis yang alami (naturlijkee person). Selain itu,
KUHP juga masih menganut asas sociates delinquere non potest dimana badan
hukum atau korporasi dianggap tidak dapat melakukan tindak pidana. 34 Jadi,
dasar pemikiran yang digunakan oleh KUH Pidana itu adalah bahwa kejahatan
tidak dapat dilakukan oleh sebuah korporasi, karena walaupun tindak pidana
33
Korporasi di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dikenal sebagai subjek hukum yang dapat
dipertanggungjawabkan seperti layaknya manusia alamiah, yang mempertanggungjawabkan itu
adalah orang-orang sebagai pengurus korporasi itu sendiri. Unsur-unsur kejahatan korporasi adalah
sebagai berikut:
1. Tindak pidana korporasi dilakukan oleh pengurus dan atau pegawai yang melaksanakan
pekerjaannya atas nama korporasi.
2. Pertanggung jawaban dibebankan kepada korporasi dan pengurus korporasi secara
langsung atau pun tidak langsung.
3. Motif tindak kejahatan korporasi untuk mencapai kebutuhan, keuntungan dan tujuan
korporasi.
4. Tindak kejahatan korporasi terkait ke dalam bidang hukum pidana, hukum perdata dan hukum
administrasi.
5. Beban pembuktian dan sangsi memiliki karakteristik khusus.
34
Ibid., halaman 70.
51
tersebut dilakukan oleh korporasi, tetapi tindak pidana tetap dilakukan oleh orang
(seperti dalam hukum lingkungan hidup), yang akan lahir sebagai satu kesatuan
yang diakui serta mendapat perlakuan sebagai badan hukum atau korporasi.
Oleh karena itu, dalam KUH Pidana, pembuat undang-undang dapat merujuk
Pidana Indonesia belum mengatur secara tersurat mengenai tindak kejahatan yang
dilakukan oleh korporasi, maka tindak pidana korporasi dalam bidang lingkungan
orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang
tidak berbadan hukum”. Apabila diterjemahkan lebih jauh bahwa subjek hukum
dimaksud dalam Pasal 1 angka 32 UUPPLH 2009 ini adalah orang, badan
52
hukum, dan tidak berbadan hukum. Berbadan hukum dan tidak berbadan hukum
maksudnya adalah korporasi. Maka, subjek tindak pidana yang dimaksud dalam
hal ini adalah korporasi. Perlu diketahui, bahwa seseorang atau badan hukum atau
perbuatan yang melawan hukum, ada atau tidak ada peraturan yang
tidak diatur di dalam KUH Pidana sebagai lex generalis. Karena hukum pidana
35
T. Suhaimi., Pertanggungjawaban Pidana Direksi, (Bandung: BooksTerrace &
Library, 2010), halaman 32.
53
hidup tersebut saat ini dikategotikan sebagai kejahatan yang luar biasa (extra
dalam hal pengaturannya ada hal-hal yang dikecualikan dari asas-asas yang
berlaku umum.
kerusakan lingkungan hidup yang disebutkan di dalam Pasal 1 ayat (16) UU No.
legislatif dalam produk perundang-undangan dewasa ini. Hal ini sejalan dengan
perkembangan dunia internasional dan pendapat para sarjana yang secara teoritis
mengatakan bahwa korporasi dapat diterima sebagai subjek hukum pidana (bukan
54
5.2. Sistem Pertanggungjawaban Pidana terhadap Korporasi sebagai Pelaku
Liability
berikut:
36
Beberapa Hasil International Meeting Of Expert On The Use Of Criminal Sanction
In the Protections Of Environment, Internationally, Domestically and Regionally, Portland,
Oregon, USA, 19-23 March 1994, diisarikan oleh Barda Nawawi Arief, “Bahan Penataran
Hukum Pidana dan Kriminologi”, Semarang, 3-15 Desember 1995, halaman 6 – 7.
55
Berdasarkan pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa
masih berada di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hal ini
dalam KUHP yang berlaku sekarang, karena subjek tindak pidana yang diatur
semacam ini lebih lanjut membawa konsekuensi yuridis berupa hanya orang
bahwa seseorang bisa dipidana apabila memang terbukti bersalah. Artinya tidak
bisa secara otomatis sanksi pidana dialihkan dari corporate crime menjadi
personal crime. Dalam hukum pidana, mutlak harus dibuktikan adanya niat
untuk melakukan perbuatan pidana. Inilah yang dimaksud asas mens rea
ini sangat baik untuk menjaga keberlangsungan hidup masyarakat yang menjadi
korban. Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) dalam UU No. 32 Tahun
2009 tentang Perlindugan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada Bab XII
mendefinisikan asas strict liability dengan tanggung jawab mutlak. Pasal tersebut
mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.”
atau strict liability adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak
penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan ayat ini sebagai lex
Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak
lingkungan hidup menurut Pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu, yang
dimaksud dengan “sampai batas waktu tertentu” adalah jika menurut penetapan
37
Rufinus, Hotmaulana Hutauruk, Penanggulangan Kejahatan Korporasi melalui
Pendekatan Restoratif suatu Terobosan Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), halaman 56.
57
kegiatan yang bersangkutan atau telah tersedia dana lingkungan hidup.
khusus karena unsur-unsurnya telah secara khusus menunjuk kepada hal atau
utamanya antara lain timbulnya tanggung jawab langsung dan seketika pada saat
diakibatkan oleh perbuatan atau kegiatan tergugat (atau para tergugat). Hal ini
without fault, eases the burden of establishing liability because fault need not to
be established. However, the injured party must still prove that the damage was
yaitu:
a. Setiap orang
B3,
58
menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup
bukan atas dasar kesalahan (fault) sebagaimana dengan prinsip dari “Tortious
Liability”.
kerugian timbul. Hal ini berarti bahwa: Pertama, para korban dilepaskan dari
kegiatannya (level of activity). Dua hal ini merupakan kelebihan strict liability
dari konsep kesalahan. Oleh karena sifat khasnya yang tegas dan keras, maka
strict liability tidaklah dapat dikenakan kepada semua kegiatan. Hanya kegiatan-
59
1. Tingkat risiko (the degree of risk); dalam hal ini risiko
Strict liability atau absolute liability atau yang disebut juga dengan
liability itu sama dengan absolute liability. Mengenai hal ini ada dua pendapat.
liability. Alasan atau dasar pemikirannya ialah, bahwa dalam perkara strict
60
liability seseorang yang telah melakukan perbuatan terlarang (actus reus)
Jadi sesorang yang sudah melakukan tindak pidana menurut rumusan undang-
untuk tindak pidana tertentu walaupun pada diri orang itu tidak ada
hukum Eropa Kontinental. Sebagai konsep yang berakar dari sistem hukum Anglo
saxon, pembuktian ini lebih mudah dan cenderung praktis dibandingkan dengan
38
Barda Nawawi Arief , Op.Cit., halaman 40.
39
Ibid.
61
terjadi jika sebelumnya subyek hukum pidana tersebut melakukan tindak pidana.
Sedangkan didalam sistem hukum Common law system, berlaku asas “actus non
est reus, nisi mens sit rea”. Suatu perbuatan tidak dapat dikatakan bersifat
seseorang karena melakukan tindak pidana, sangat ditentukan oleh adanya mens
rea pada diri seseorang tersebut. Dengan demikian, mens rea yang hal ini dapat
kita lihat dari rujukan sistem hukum Civil law, atau dengan kata lain dapat kita
pertanggungjawban pembuat tindak pidana. Dari dari sisi ini, penggunaan mens
rea dalam common law sistem, pada prinsipnya sejalan dengan penerapan asas
rea” dalam sistem hukum common law sejalan dengan asas “geen straf zonder
schul beginsel” dalam sistem hukum civil law. Maka untuk menentukan kesalahan
dengna menggunakan “tiada pidana tanpa kesalahan yaitu “Geen straf zonder
schuld, actus non facit reum nisi mens sir rea”, (aqua means rea atau “kehendak
jahat”). Prinsip ini kemudian dinegasikan Prinsip tanggung jawab mutlak mutlak
melakukan tindak pidana yang dituduhkan melakukan kesalahan atau tidak, tapi
62
dibebankan kepada perusahaan lingkungan hidup yang nyata-nyata melakukan
praktis sehingga tidak perlu memenuhi unsur yang dituduhkan kepada pelaku
(dader). Berangkat dari prinsip ini, praktis kejahatan yang berkaitan dengan
pemeriksaan kasus Lapindo dan tarik menarik antara Kepolisian dan Kejaksaan
dan belum juga dinyatakan lengkap (P21), berangkat dari pemahaman penegak
hukum yang tidak menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak mutlak (strict
(dader) kemudian terjebak dengan hak-hal yang bersifat teknis yang sulit
mutlak (strict liability), maka tidak perlu dibuktikan, apakah para pelaku (dader)
melakukan perbuatan itu atau tidak, tapi penegak hukum bisa membuktikan,
Dengan pembuktian yang sederhana ini, maka kasus Lapindo bisa disidangkan
dimuka hukum. Dan korporasi yang bertanggung jawab dalam bencana Lapindo
Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) inilah salah satu solusi
63
liability) merupakan prinsip yang sederhana dan pembuktian yang mudah
64
BAB 6
6.1. Simpulan
“Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang
1 angka 32 UUPPLH 2009 ini adalah orang, badan hukum, dan tidak
65
dengan tanggung jawab mutlak. Pasal tersebut berbunyi: “Setiap
6.2. Saran
66
korporasi dapat dikatakan melakukan tindak pidana. Demikian juga halnya
tegas, agar supaya korporasi tidak dapat mengelak atas kejahatan yang
67
1
DAFTAR PUSTAKA
a. Buku-Buku
Muladi dan Barda Nawawi Arief. Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung:
Alumni, 1998.
b. Peraturan Perundang-undangan
ix
Sekretariat Negara RI. Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentang
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Jakarta, 1999
c. RUU KUHP :
x
LAMPIRAN
xi
1.1.2. Pengalaman Penelitian dalam 5 Tahun Terakhir
Sumber Jumlah
(Rp)
xii
terhadap Pelaku
Pelanggaran Hak Cipta
(Studi Kasus di Pengadilan
Negeri Semarang)
xiii
1.1.3. Pengalaman Pengabdian Kepada Masyarakat dalam 5 Tahun
Terakhir
Sumber Jumlah
(Rp)
xiv
4. 2012 Penyuluhan Hukum tentang Kenakalan Mandiri
Remaja di Kelurahan Lumansari, Kecamatan
Keguh, Kota Kendal
xv
2.2. Biodata Anggota Peneliti 1
3. Jabatan Struktural : -
2. Hukum Bisnis
xvi
2.2.2. Pengalaman Penelitian Dalam 5 Tahun Terakhir
xvii
Penyelesaian Sengketa
Konsumen Berdasarkan UU
No. 8 Th. 1999 tentang
Perlindungan Konsumen
(sebagai anggota).
Sumber Jml.Rp.
xviii
3 2011 Penyuluhan Hukum mengenai Mandiri 1.500.000,
UU No. 8 Th. 1999 tentang -
Perlindungan Konsumen di
Kelurahan Sambiroto, Kota
Semarang.
xix
2.3. Biodata Anggota Peneliti 2
xx
2.3.3. Pengalaman Pengabdian Kepada Masyarakat dalam 5 Tahun
Terakhir
xxi
Lampiran 2. Susunan Organisasi Tim Peneliti dan Pembagian Tugas
xxiii
Lampiran 3. Laporan Pengeluaran Biaya Penelitian
1. Honor
3. Perjalanan Dinas
4. Lain-lain
xxv
Pengetikan laporan Draft laporan yang 100 lbr 2.000,- 200.000,-
penelitian sudah selesai,
diketik menjadi
laporan final
Penyelenggaraan Konsumsi,tenaga 50 pax 20.000,- 1.000.000,-
seminar pembantu dan lain-
lain
Publikasi Jurnal 725.000,- 725.000,-
Ilmiah
Sub Jumlah 2.165.000,-
Total Pengeluaran 12.500.000,-
5. Rekapitulasi
Saldo 0,00
xxvi
Lampiran 4. Luaran (Artikel)
ABSTRAK
xxvii
ABSTRACT
xxviii
PENDAHULUAN Memperhatikan dampak
negatif dari pembangunan dan
Pertanggungjawaban pidana
modernisasi, khususnya
pada korporasi akan mendapat
munculnya tindak pidana yang
kesulitan karena melekat pada sifat
dilakukan oleh korporasi dalam
dasar manusia alamiah seperti
bidang lingkungan hidup, wajar jika
kesengajaan dan kealpaan, tingkah
pusat perhatian penegakan hukum
laku material, pidana dan tindakan.
ditujukan pada upaya
Pemidanaan terhadap korporasi juga
penanggulangannya. Salah satu
dapat merugikan orang yang tidak
penanggulangannya yang masih
bersalah dan kemungkinan kesulitan
dipermasalahkan adalah
menentukan antara batas pengurus
penggunaan sarana hukum pidana.
dan korporasi . Sementara itu
Permasalahan tersebut meliputi
perkembangan kehidupan
subjek korporasi yang masih
bermasyarakat terutama dalam
belum diakui secara tegas dalam
bidang perekonomian telah
hukum pidana. Dan kalaupun
melahirkan korporasi-korporasi
korporasi diakui sebagai pelaku
dengan semangat kapitalisme yang
tindak pidana, bagaimana sistem
bertujuan memperoleh keuntungan
pertanggungjawaban pidananya
sebesar-besarnya. Akibatnya aspek
mengingat korporasi bukanlah
viktimologis dari kejahatan korporasi
manusia yang mempunyai kesalahan,
sangatlah besar yang dapat meliputi
baik berupa kesengajaan maupun
kerugian terhadap negara,
kealpaan.
masyarakat, konsumen, perusahaan
saingan, karyawan, pemegang saham Di samping permasalahan
mapun biaya penegakan hukum yang tersebut di atas (pertanggungjawaban
mahal. pidana korporasi /corporate
liability), permasalahan dalam
viii
bentuk lain adalah pembuktian dengan adanya perkembangan
bentuk-bentuk pelanggaran di masyarakat, dituntut adanya
bidang lingkungan hidup yang pengakuan terhadap korporasi
sangat sulit dan kompleks. Untuk sebagai pelaku dan dapat
mengatasi kesulitan dan dipertanggungjawabkan dalam
kompleksitas pembuktian tersebut hukum pidana (corporate liability).
muncul alternatif lain dalam hal Terhadap sistem
pertanggungjawaban pidana, yakni pertanggungjawaban pidana,
adanya asas pertanggungjawaban muncul asas strict liability sebagai
pidana terbatas/ketat (strict pengecualian dari asas kesalahan.
liability) sebagai pengecualian dari
Munculnya sistem
asas kesalahan. Dalam asas strict
pertanggungjawaban pidana seperti
liability si pembuat sudah dapat
tersebut di atas tentu saja
dipidana apabila ia telah melakukan
menimbulkan pertanyaan yang
perbuatan sebagaimana dirumuskan
berkaitan dengan asas kesalahan
dalam undang- undang tanpa
yang dianut hukum pidana selama
melihat bagaimana sikap
ini. Harus diakui bahwa asas
batinnya. Asas itu sering diartikan
kesalahan merupakan asas yang
secara singkat sebagai
sangat fundamental dalam hukum
pertanggungjawaban tanpa
pidana sehingga asas itu sangat
kesalahan (liability without fault).
penting dan dianggap adil dalam
Dengan demikian, asas strict mempertanggungjawabkan pelaku
liability di atas yakni mengenai delik. Dikatakan demikian, karena
subjek delik dan mengenai asas pidana hanya dapat dijatuhkan
kesalahan, di dalam kepada pelaku delik yang
perkembangannya mengalami mempunyai kesalahan dan mampu
perluasan. Terhadap subjek delik, bertanggung jawab. Namun di pihak
ix
lain, karena kemajuan ilmu korporasi sebagaimana dalam Pasal
pengetahuan dan teknologi, 59 KUHP tidak cukup untuk
tampaknya penyimpangan terhadap mengadakan represi terhadap tindak
asas kesalahan itu juga akan pidana yang dilakukan korporasi.
berpengaruh terhadap hukum pidana.
Bertolak dari hal tersebut jelas
Apabila penyimpangan asas itu
cakupannya sangat luas, guna
harus diterapkan, akan timbul
mencegah luasnya cakupan tersebut,
pertanyaan bagaimanakah
dan untuk memudahkan pembahasan
perkembangan sistem
maka perlu dilakukan pembatasan
pertanggungjawaban pidana di era
permasalahan. Adapun permasalahan
sekarang ini, bagaimana sistem
dalam penelitian ini dapat
pertanggungjawaban pidana dalam
dirumuskan sebagai berikut:
hukum pidana nasional,
pertanggungjawaban pidana dalam 1. Bagaimanakah kedudukan
hukum pidana nasional yang akan korporasi sebagai subjek hukum
datang. (pelaku tindak pidana) dalam
bidang lingkungan hidup?
Oleh karena itu hukum pidana
harus responsif untuk 2. Bagaimana sistem
menanggulangi tindak pidana di pertanggungjawaban pidana
bidang lingkungan hidup yang terhadap korporasi sebagai pelaku
dilakukan oleh korporasi dengan tindak pidana di bidang
menempatkannya sebagai subjek lingkungan hidup berdasarkan
hukum dalam hukum pidana yang asas strict liability?
dapat dipertanggungjawabkan
Berdasarkan pertimbangan,
sehingga memberikan efek jera
bahwa masih sedikit kajian atau
(deterent effect). Harus diakui
penelitian dan literatur mengenai
pemidanaan terhadap pengurus
sistem pertanggungjawaban pidana
x
terhadap korporasi dalam bidang pada data sekunder. Sebagai
lingkungan hidup berdasarkan penelitian hukum normatif, maka
perspektif pendekatan asas strict penelitian ini meliputi penelitian
liability sebagai alternatif bentuk inventarisasi hukum positif, asas-
pertanggungjawaban pidana oleh asas hukum, penemuan hukum in
korporasi (corporate liability) concreto dan sinkronisasi hukum,
sebagai pelaku tindak pidana di sehingga pendekatan yang digunakan
bidang lingkugan hidup, sekaligus adalah pendekatan penal. Sebagai
sebagai respon atas keadaan di atas pendekatan penal, maka dapat
dengan tujuan melengkapi literatur dikatakan penelitian ini
maka penelitian ini mendapatkan menggunakan pendekatan yuridis-
urgensinya. Penelitian yang normatif. Pendekatan yuridis-
komprehensif, dan dilakukan normatif digunakan untuk
berdasarkan kajian normatif ini menganalisis permasalahan yang
diharapkan dapat memberikan berkaitan dengan sistem
gambaran yang jelas mengenai asas pertanggungjawaban pidana pada
strict liability sebagai alternatif tindak pidana lingkungan hidup,
bentuk pertanggungjawaban pidana yang dikaji melalui asas Strict
oleh korporasi (corporate liability) Liability.
sebagai pelaku tindak pidana di
Spesifikasi Penelitian
bidang lingkungan hidup.
Bertitik-tolak dari judul dan
permasalahan yang mendasari
METODE PENELITIAN
penelitian ini, maka penelitian ini
Metode Pendekatan termasuk jenis penelitian deskriptif-
Penelitian ini merupakan analitis, yaitu menggambarkan
penelitian hukum normatif, yaitu peraturan perundang-undangan yang
penelitian yang menitikberatkan berlaku / hukum positif dikaitkan
xi
dengan teori hukum dan praktek yaitu data yang bersumber dari
pelaksanaan hukum positif dalam penelitian kepustakaan yaitu data
masyarakat. Penelitian deskriptif yang diperoleh tidak secara langsung
merupakan penelitian untuk dari sumber pertamanya, melainkan
memecahkan masalah yang ada pada bersumber dari data-data yang sudah
masa sekarang (masalah aktual) terdokumenkan dalam bentuk bahan-
dengan mengumpulkan data, bahan hukum yang terdiri dari :
menyusun, mengklasifikasikan, a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer terdiri dari
menganalisis dan
Peraturan Perundang-undangan
mengintepretasikannya.40 Dengan
seperti :
demikian, dari penelitian ini dapat
- Undang-Undang No. 1
memberikan gambaran mengenai
Tahun 1946 tentang
sistem pertanggungjawaban pidana
Peraturan Hukum Pidana
pada tindak pidana lingkungan hidup
(Kitab Undang-Undang
dengan melakukan reorientasi
Hukum Pidana/ KUHP);
tentang asas strict liability sebagai
- Undang-Undang No. 32
bentuk pertanggungjawaban pidana.
Tahun 2009 tentang
Perlindugan dan Pengelolaan
Metode Pengumpulan Data
Lingkungan Hidup.
Berdasarkan pendekatan yang
- Peraturan Pemerintah No. 27
dipergunakan dalam penelitian ini,
Tahun 1999 tentang
maka metode pengumpulan data
AMDAL
yang dipergunakan adalah studi
b. Bahan Hukum Sekunder
kepustakaan atau dokumen (library
Bahan hukum sekunder adalah
research). Studi kepustakaan
bahan yang memberikan
dilakukan terhadap data sekunder,
penjelasan mengenai bahan
40
Bambang Sunggono, Metode
Penelitian Hukum (Jakarta: PT. Raja hukum primer, seperti :
Grafindo Persada, 2002), halaman 36.
xii
- Buku-buku hukum dan non Metode Analisis Data
hukum yang berkaitan Analisis data dilakukan secara
dengan objek yang diteliti. kualitatif kemudian diidentifikasi
- Hasil-hasil penelitian serta dilakukan kategorisasi. Analisis
maupun literatur lainnya kualitatif yaitu metode analisis yang
yang berkaitan dengan obyek pada dasarnya menggunakan
penelitian.. pemikiran logis, analisis dengan
c. Bahan Hukum Tersier logika . Dengan induksi, deduksi,
Bahan hukum tersier adalah analogilinterpretasi, komparasi dan
bahan yang memberikan sejenis itu. Metode berpikir yang
petunjuk maupun penjelasan digunakan adalah metode deduktif
mengenai bahan hukum primer yaitu dengan berdasarkan pada dasar
dan tersier seperti : pengetahuan yang bersifat umum
- Kamus Hukum untuk mengkaji persoalan-persoalan
- Kamus Besar Bahasa yang bersifat khusus. Dari hasil
Indonesia analisis tersebut kemudian akan
- Ensiklopedi, majalah- ditarik kesimpulan sebagai jawaban
majalah hukum, jurnal-jurnal atas permasalahan yang ada.
hukum, surat kabar serta
HASIL DAN PEMBAHASAN
membaca berkas-berkas
lainnya yang dianggap
Kedudukan Korporasi sebagai
relevan dengan penelitian ini,
Subjek Hukum (Pelaku Tindak
yang kemudian dilakukan
Pidana) dalam Bidang Lingkungan
inventarisasi sesuai dengan
Hidup
permasalahan yang
dikemukakan.
Korporasi dalam hukum pidana
umum, belum dimasukkan sebagai
subyek hukum. Pandangan tentang
xiii
subyek hukum pidana di bidang dikenakan terhadap
hukum pidana umum yang hanya manusia.
terbatas pada orang pribadi, tidak d. Hukum acara pidana
dapat dilepaskan dengan sejarah tidak mengandung
pembentukan WvS Nederland tahun ketentuan tatacara
1881, dimana pada dasarnya hanya terhadap korporasi.
manusia dapat dipandang sebagai
subyek hukum pidana. Hal ni dapat Manusia bukanlah satu-satunya
diketahui dari : subyek hukum. Dalam lalu lintas
a. Memory van Toelichting hukum diperlukan sesuatu hal lain
Pasal 51 WvS Nederland yang bukan manusia yang menjadi
(Pasal 59 KUHP): suatu subyek hukum. Di samping orang
strafbaarfeit hanya dapat dikenal juga subyek hukum yang
diwujudkan oleh manusia bukan manusia yang disebut badan
dan fiksi tentang badan hukum. Badan hukum adalah
hukum tidak berlaku dalam organisasi atau kelompok manusia
bidang hukum pidana. yang mempunyai tujuan tertentu
b. Uraian delik dalam banyaak yang dapat menyandang hak dan
pasal WvS selalu dimulai kewajiban. Negara dan perseroan
dengan “Barang Siapa” dan terbatas misalnya adalah organisasi
sering disyaratkan adanya atau kelompok manusia yang
berbagai faktor manusia, merupakan badan hukum
seperti sengaja dan lalai, (Korporasi). Korporasi sebagai
faktor mana hanya dapat pembawa hak yang tak berjiwa dapat
dimiliki oleh manusia. bertindak sebagai pembawa hak
c. Sistem pidana terdiri dari manusia, misalnya: dapat melakukan
pidana kekayaan dan pidana persetujuan-persetujuan, memiliki
badan hanyalah dapat kekayaan yang sama sekali terlepas
xiv
dari kekayaan anggota-anggotanya. supaya korporasi dalam menjalankan
Bedanya subyek hukum orang usahanya tidak melakukan tindakan-
dengan subyek hukum badan hukum tindakan yang melanggar ketentuan
adalah bahwa badan hukum itu tidak hukum dan merugikan masyarakat
dapat melakukan perkawinan dan umum. Oleh karena itu, pengaturan
tidak dapat dipidana penjara. korporasi sebagai subjek tindak
Penentuan atau perluasan badan pidana berikut pertanggungjawaban
hukum sebagai subyek hukum adalah pidananya ditempatkan di luar
karena sesuatu kebutuhan, terutama KUHP agar dapat mengakomodir
dalam soal perpajakan, pengaturan seperti tersebut di atas,
perekonomian dan keamanan negara, dan tentu saja dengan tetap mengacu
yang disesuaikan dengan pada KUHP sebagai pedoman
perkembangan peradaban dan ilmu umum.
pengetahuan manusia. Namun pada Pada umumnya tindak pidana
hakekatnya, manusialah yang hanya dapat dilakukan oleh
merasakan atau menderita manusia atau orang pribadi. Oleh
pemidanaan itu. Dengan demikian karena itu hukum pidana selama ini
dapat dikatakan, bahwa subyek hanya mengenal orang seorang atau
hukum baik orang maupun korporasi kelompok orang sebagai subyek
adalah segala sesuatu yang dapat hukum, yaitu sebagai pelaku dari
memperoleh, mempunyai atau suatu tindak pidana. Hal ini bisa
menyandang hak dan kewajiban. dilihat dalam perumusan pasal-pasal
Seiring dengan perkembangan KUHP yang dimulai dengan kata
masyarakat, dirasa sangat perlu “barangsiapa” yang secara umum
untuk menempatkan korporasi mengacu kepada orang atau manusia.
sebagai subjek tindak pidana agar Dengan melihat gejala pelanggaran
dapat dibebani pertanggungjawaban hukum yang dapat dilakukan oleh
pidana apabila melakukan kejahatan, suatu badan hukum yang merugikan
xv
masyarakat, maka kedudukan badan menuntut subjek hukum yang
hukum mulai diperhatikan tidak saja melakukan kejahatan korporasi
menjadi subjek hukum perdata, tetapi tersebut. Bukan saja tindak pidana
juga menjadi subjek dalam hukum dalam UUPPLH 2009 namun seluruh
pidana, sehingga dapat dituntut dan tindak pidana (crime) dapat
dijatuhi hukuman atau sanksi pidana. diidentifikasi dengan timbulnya
Korporasi dijadikan sebagai kerugian (harm), yang kemudian
subjek hukum pidana merupakan mengakibatkan lahirnya
kebijakan legislatif dalam produk pertanggungjawaban pidana atau
perundang-undangan dewasa ini. Hal criminal liability.
ini sejalan dengan perkembangan Apabila meninjau pada Kitab
dunia internasional dan pendapat Undang-undang Hukum Pidana
para sarjana yang secara teoritis (KUH Pidana) Indonesia yang
mengatakan bahwa korporasi dapat dianggap sebagai subyek hukum
diterima sebagai subjek hukum pidana hanyalah orang perseorangan
pidana (bukan lagi suatu fiksi). dalam konotasi biologis yang alami
Secara umum, baik dalam (naturlijkee person). Selain itu,
sistem hukum common law maupun KUHP juga masih menganut asas
civil law, sangat sulit untuk dapat sociates delinquere non potest
mengartikan suatu bentuk tindakan dimana badan hukum atau korporasi
tertentu (actus reus atau guilty act), dianggap tidak dapat melakukan
serta membuktikan unsur mens rea tindak pidana. Jadi, dasar
(criminal act). Oleh karena itu, pemikiran yang digunakan oleh
kejahatan korporasi memiliki KUH Pidana itu adalah bahwa
karakteristik yang lebih khusus dari kejahatan tidak dapat dilakukan oleh
pada kejahatan perorangan, karena sebuah korporasi, karena walaupun
kejahatan korporasi lebih bersifat tindak pidana tersebut dilakukan oleh
abstrak untuk menyangka dan korporasi, tetapi tindak pidana tetap
xvi
dilakukan oleh orang persorangan lebih khusus, yaitu Undang-undang
atau legal persoon. Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlu diketahui bahwa, Perlindungan dan Pengelolaan
pembuat undang-undang dalam Lingkungan Hidup (UUPPLH 2009).
merumuskan delik harus Pengakuan korporasi sebagai
memperhitungkan bahwa manusia subjek hukum yang dapat
melakukan tindakan di dalam atau dipertanggungjawabkan secara
melalui organisasi yang dalam pidana pada tindak pidana
hukum keperdataan maupun di lingkungan hidup ditegaskan dalam
luarnya (seperti dalam hukum Pasal 1 angka 32 UU No. 32 Tahun
lingkungan hidup), yang akan lahir 2009 tentang Perlindungan dan
sebagai satu kesatuan yang diakui Pengelolaan Lingkungan Hidup,
serta mendapat perlakuan sebagai yaitu “Setiap orang adalah orang
badan hukum atau korporasi. Oleh perseorangan atau badan usaha, baik
karena itu, dalam KUH Pidana, yang berbadan hukum maupun yang
pembuat undang-undang dapat tidak berbadan hukum”. Apabila
merujuk pada pengurus atau diterjemahkan lebih jauh bahwa
komisaris korporasi apabila mereka subjek hukum dimaksud dalam Pasal
berhadapan dengan situasi seperti itu. 1 angka 32 UUPPLH 2009 ini
Sehubungan dengan itu, adalah orang, badan hukum, dan
mengingat Kitab Undang-undang tidak berbadan hukum. Berbadan
Hukum Pidana Indonesia belum hukum dan tidak berbadan hukum
mengatur secara tersurat mengenai maksudnya adalah korporasi. Maka,
tindak kejahatan yang dilakukan oleh subjek tindak pidana yang dimaksud
korporasi, maka tindak pidana dalam hal ini adalah korporasi. Perlu
korporasi dalam bidang lingkungan diketahui, bahwa seseorang atau
hidup di Indonesia, dapat badan hukum atau suatu korporasi
menggunakan undang-undang yang yang melakukan kejahatan dapat
xvii
digolongkan ke dalam dua kategori, pertanggungjawaban tanpa
yaitu tindakan yang merupakan mala kesalahan. Jadi, kesalahan di
in se atau perbuatan yang merupakan dalam hukum lingkungan tidak
mala in prohibita. Tindakan yang mesti harus dibuktikan ada atau
termasuk mala in se, adalah tidaknya kesalahan si pembuat.
perbuatan yang melawan hukum, Mengenai hal tersebut di atas,
ada atau tidak ada peraturan yang UUPPLH 2009, sebagai lex spesialis,
melarangnya misalnya mencuri, bukan merupakan suatu
menipu, membunuh, dan sebagainya. penyimpangan asas akan tetapi
Sedangkan perbuatan yang merupakan penyempurnaan terhadap
merupakan mala in prohibita adalah asas umum, sebab kejahatan di
perbuatan yang dinyatakan bidang lingkungan hidup tersebut
melanggar hukum apabila ada aturan saat ini dikategotikan sebagai
yang melarangnya misalnya aturan- kejahatan yang luar biasa (extra
aturan lalu lintas. oridnary crime) sehingga
Selain dari pada korporasi penanganannya harus dilakukan luar
yang diatur sebagai subjek hukum biasa termasuk dalam hal
dalam hukum lingkungan, juga pengaturannya ada hal-hal yang
diatur hal-hal yang berkenaan dikecualikan dari asas-asas yang
dengan pertanggungjawaban mutlak, berlaku umum.
dimana bahwa pertanggungjawaban Kejahatan korporasi
mutlak ini tidak diatur di dalam sebagaimana diatur dalam UU No.
KUH Pidana sebagai lex generalis. 32 Tahun 2009 merupakan rumusan
Karena hukum pidana masih kejahatan korporasi sebagaimana
menggunakan pertanggungjawaban diatur dalam KUHP Belanda. Jadi
dengan kesalahan, sementara korporasi sebagai legal persoon,
pertanggungjawaban mutlak ini dapat dipidana berdasarkan UU No.
menggunakan asas 32 Tahun 2009. Dalam hal ini,
xviii
pertanggungjawaban pidana Sistem Pertanggungjawaban
(criminal liability) dari pimpinan Pidana terhadap Korporasi
korporasi (factual leader) dan sebagai Pelaku Tindak Pidana di
pemberi perintah (instrumention Bidang Lingkungan Hidup
giver), keduanya dapat dikenakan berdasarkan Asas Strict Liability
hukuman secara berbarengan.
Hukuman tersebut bukan karena Strict Liability adalah
perbuatan fisik atau nyatanya, akan pertanggungjawaban tanpa
tetapi berdasarkan fungsi yang kesalahan (liability without
diembannya di dalam suatu fault). Hal itu berarti bahwa si
perusahaan. Kejahatan lingkungan pembuat sudah dapat dipidana
yang didefinisikan di dalam undang- jika ia telah melakukan
undang ini hanyalah kerusakan perbuatan sebagaimana yang telah
lingkungan hidup yang disebutkan di dirumuskan dalam Undang-
dalam Pasal 1 ayat (16) UU No. 32 Undang tanpa melihat bagaimana
Tahun 2009, yaitu Perusakan sikap batinnya. Konsep Strict
lingkungan hidup adalah tindakan liability merupakan penyimpangan
yang menimbulkan perubahan dari asas kesalahan yang
langsung atau tidak langsung dirumuskan dalam pasal 38 ayat
terhadap sifat fisik dan/atau ( 1) RUU KUHP. Bunyi
hayatinya yang mengakibatkan rumusannya adalah sebagai berikut
lingkungan hidup tidak berfungsi : “Bagi tindak pidana tertentu,
lagi dalam menunjang pembangunan undang-undang dapat menentukan
berkelanjutan. bahwa seseorang dapat di pidana
semata- mata karena telah
dipenuhinya unsur-unsur tindak
pidana tersebut tanpa
memperhatikan adanya kesalahan”.
xix
Untuk memahami lebih jauh tidak dapat dipertahankan lagi
latar belakang dan alasan untuk setiap kasus pidana. Adalah
dicantumkannya asas strict tidak mungkin apabila tetap
liability itu ke dalam konsep, berpegang teguh pada asas mens-
dapat dilihat pada penjelasannya rea untuk setiap kasus pidana dalam
berikut ini.: ketentuan undang- undang modern
Ketentuan dalam ayat ini sekarang ini. Oleh karena itu, perlu
merupakan suatu perkecualian dipertimbangkan untuk
terhadap asas tiada pidana tanpa menerapkan strict liability
kesalahan. Oleh karena itu, tidak terhadap kasus-kasus tertentu.
berlaku juga bagi semua tindak Praktek peradilan yang menerapkan
pidana, melainkan hanya untuk strict liability itu ternyata
tindak pidana tertentu yang mempengaruhi legislatif dalam
ditetapkan oleh undang-undang. membuat undang-undang.
Untuk tindak pidana tertentu Sering dipersoalkan,
tersebut, pembuat tindak pidananya apakah strict liability itu sama
telah dapat dipidana hanya karena dengan absolute liability.
telah dipenuhinya unsur-unsur Mengenai hal itu ada dua
tindak pidana oleh perbuatannya. pendapat. Pendapat pertama
Di sini kesalahan pembuat tindak menyatakan strict liability
pidana dalam melakukan merupakan absolute liability.
perbuatan tersebut tidak lagi Alasan atau dasar pemikirannya
diperhatikan. Asas ini dikenal ialah seseorang yang telah
sebagai asas “strict liability”. melakukan perbuatan terlarang
Strict liability ini pada (actus reus) sebagaimana
awalnya berkembang dalam praktik dirumuskan dalam undang-undang
peradilan di Inggris. Sebagian sudah dapat dipidana tanpa
hakim berpendapat asas mens- rea mempersoalkan apakah si pelaku
xx
mempunyai kesalahan (mens rea) itu biasanya merupakan
atau tidak. Jadi seseorang yang salah satu ciri utama, tetapi
sudah melakukan perbuatan pidana sama sekali tidak berarti
menurut rumusan undang-undang bahwa mens rea itu tidak
yang sudah melakukan disyaratkan sebagai unsur
perbuatan pidana menurut pokok yang tetap ada untuk
rumusan undang-undang harus atau tindak pidana itu. Misalnya,
mutlak dapat dipidana. Pendapat A dituduh melakukan
kedua menyatakan Strict liability tindak pidana “menjual
bukan Absolute liability. Artinya, daging yang tidak layak
orang yang telah melakukan untuk dimakan karena
perbuatan terlarang menurut membahayakan kesehatan
undang-undang tidak harus atau atau jiwa orang lain”.
belum tentu dipidana. Kedua Tindak pidana ini menurut
pendapat itu antara lain, hukum Inggris termasuk
dikemukakan juga oleh Smith dan tindak pidana yang dapat
Brian Hogan, yang dikutip oleh dipertanggungjawabkan
Barda Nawawi Arief. Ada dua secara strict liability. Dalam
alasan yang dikemukakan oleh hal itu tidak perlu dibuktikan
mereka, yaitu : bahwa A mengetahui daging
a. Suatu tindak pidana dapat itu tidak layak untuk
dipertanggungjawabkan dikonsumsi, tetapi tetap
secara Strict liability apabila harus dibuktikan, bahwa
tidak ada mens rea yang sekurang-kurangnya A
perlu dibuktikan sebagai satu- memang menghendaki
satunya unsur untuk actus reus (sengaja) untuk menjual
yang bersangkutan. Unsur daging itu. Jadi jelas dalam
utama atau unsur satu-satunya hal itu Strict liability tidak
xxi
bersifat absolut. Dalam hal itu memang ada
b. Dalam kasus-kasus strict Strict liability, yaitu berada di
liability memang tidak jalan raya dalam keadaan
dapat diajukan alasan mabuk, tetapi A dapat
pembelaan untuk “kenyataan mengajukan pembelaan
khusus” (particular fact) yang berdasarkan adanya
menyatakan terlarang compulsion. Jadi, dalam hal
menurut undang- undang. itu pun Strict liability
Misalnya, dengan bukanlah absolute liability.41
mengajukan “reasonable
mistake”. Kita tetap dapat Mardjono Reksodiputro
mengajukan alasan dalam salah satu tulisannya
pembelaan untuk keadaan- memberikan jalan keluar untuk
keadaan lainnya. Contoh lain, membenarkan diterapkannya asas
misal dalam kasus strict liability di Indonesia yang
“mengendarai kendaraan yang menganut sistem Eropa
membahayakan” (melampaui Continental, yaitu :
batas maksimum), dapat Berhubung kita tidak
diajukan alasan pembelaan mengenal ajaran Strict liability
bahwa dalam mengenai yang berasal dari system hukum
kendaraan itu ia berada dalam Anglo-Amerika tersebut, maka
keadaan automatism. Misal sebagai alasan pembenar dapat
lain, A mabuk-mabukan di dipergunakan ajaran feit materiel
rumahnya sendiri. Akan yang berasal dari system hukum
tetapi dalam keadaan tidak Eropa Kontinental. Dalam kedua
sadar (pingsan), A diangkat 41
Barda Nawawi, Perbandingan
oleh kawan-kawannya dan Hukum Pidana, Cetakan Pertama, (Jakarta:
diletakkan di jalan raya. CV. Rajawali, 1990), halaman 32-33.
xxii
ajaran ini atidaklah penting asas kesalahan maka para ahli
hukum pidana membatasi
adanya unsur kesalahan. Ajaran
penerapannya hanya pada
strict liability hanya delik-delik tertentu saja.
Kebanyakan strict liability
dipergunakan untuk tindak
terdapat pada delik-delik yang
pidana ringan (regulatory offences) diatur dalam undang-undang
(statutory offences;
yang hanya mengancam pidana
regulatory offences; mala
denda, seperti pada kebanyakan prohibita) yang pada
umumnya merupakan delik-
public welfare offences.
delik terhadap kesejahteraan
Namun,karena kita telah umum (public welfare
offences). Termasuk
mengambil alih konsep yang
regulatory offences misalnya
berasal dari system hukum yang penjualan makanan dan
minuman atau obat-obatan
berlainan akarnya kedalam
yang membahayakan,
system hukum di Indonesia, maka pencegahan terhadap polusi,
penggunaan gambar dagang
memerlukan ketekunan dari para
yang menyesatkan dan
ahli hukum pidana Indonesiauntuk pelanggaran lalulintas. 43
menjelaskan konsep ini dengan
Dari uraian tersebut, dapat
mengkaitkannya pada asas-asas
disimpulkan bahwa pertimbangan
yang sudah melembaga dalam
untuk menerapkan asas strict
42
hukum pidana Indonesia.
liability disamping perbuatannya
Alasan senada juga
membahayakan masyarakat juga
dikemukakan oleh Barda Nawawi
pembuktiannya yang sangat sulit.
Arief yang menyatakan:
Kriteria membahayakan
Karena strict liability ini
masyarakat itu tidak mesti harus
sangat jauh menyimpang dari
tindak pidana yang serius (real
42
Mardjono Reksodiputro,
crime), akan tetapi juga meliputi
Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan
Kejahatan, PusatPelayanan Keadilan dan
Pengabdian Hukum. (Jakarta: Universitas 43
Barda Nawawi Arief, Op.Cit,
Indonesia, 1994), halaman 32. halaman 29.
xxiii
“regulatory offences” seperti dalam KUHP baru merupakan
pelanggaran lalulintas, pencemaran refleksi dalam menjaga
lingkungan, makanan, minuman keseimbangan kepentingan
dan obat-obatan yang tidak sosial. Dengan demikian, strict
memenuhi syarat kesehatan. liability merupakan konsep yang
Muladi mengatakan bahwa digunakan dan diarahkan untuk
“jika hukum pidana harus memberikan perlindungan sosial
digunakan untuk menghadapi dalam menjaga kepentingan
masalah yang demikian rumitnya, masyarakat terhadap aktivitas-
sudah saatnya doktrin atas asas aktivitas yang dapat menimbulkan
strict liability digunakan dalam kerugian bagi masyarakat, baik
kasus-kasus pelanggaran terhadap kerugian fisik, ekonomi maupun
peraturan mengenai kesejahteraan social cost.45
umum”. Pembuktian kesalahan Selanjutnya Barda Nawawi
dalam mempertanggungjawabkan Arief memberikan kriteria batas-
pembuat bukan hal yang mudah. batas yang harus diperhatikan
Jadi, perumusan konsep strict apabila kita akan menerapkan
liability dalam KUHP Indonesia asas strict liability yang
merupakan jalan pemecahan merupakan penyimpangan dari
masalah kesulitan dalam asas kesalahan. Batas-batas itu
pembuktian kesalahan dan adalah:
pertanggungjawaban pidana.44 1) Sejauh mana akibat-akibat
yang ditimbulkan oleh
Lebih jauh Muladi mengatakan
perkembangan delik-delik
bahwa perumusan strict liability baru itu mengancam
kepentingan umum yang
44
sangat luas dan eksistensi
Hamzah Hetrik, Asas pergaulan hidup sebagai
Pertanggungjawaban Korporasi dalam totalitas ?
Hukum Pidana, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada , 1996), halaman 38. 45
Ibid.
xxiv
2) Sejauh mana nilai-nilai dalam dari nilai- nilai keadilan
keadilan berdasarkan
berdasarkan Pancasila.
Pancasila membenarkan
asas ketiadaan kesalahan Penerapan asas strict liability
sama sekali ? 46
itu sangat penting terhadap kasus-
kasus tertentu yang menyangkut
Jadi inti masalahnya menurut
membahayakan sosial atau anti
Barda Nawawi Arief berkisar pada
sosial, membahayakan kesehatan
sejauh mana makna kesalahan atau
dan keselamatan, serta moral
pertanggungjawaban pidana itu
public. Kasus-kasus seperti
harus diperluas dengan tetap
pencemaran lingkungan hidup,
mempertimbangkan keseimbangan
perlindungan konsumen, serta yang
antara kepentingan individu dengan
berkaitan dengan minuman keras,
kepentingan masyarakat luas. Lebih
pemilikan senjata, dan pemilikan
jauh Barda Nawawi Arief
obat-obatan terlarang, merupakan
mengingatkan bahwa pertimbangan
kasus yang sangat memungkinkan
harus dilakukan dengan hati-hati
untuk diterapkan strict liability.
sekali, terlebih melakukan
Kasus pencemaran
pelompatan yang drastis dari
lingkungan, seperti kasus yang
konsepsi kesalahan yang
terjadi di Sidoarjo sangat sulit bagi
diperluas sedemikian rupa
aparat penegak hukum untuk
sampai pada konsepsi ketiadaan
membuktikan kesalahan terdakwa.
kesalahan yang diperluas
Hal itu disebabkan untuk
sedemikian rupa sampai pada
membuktikan hubungan kausal
konsepsi ketiadaan kesalahan
antara perbuatan dengan akibat
sama sekali. Hal yang terakhir itu
yang ditimbulkan tidaklah mudah.
merupakan akar yang paling
Karena jaksa tidak dapat
46
Barda Nawawi Arief dan Muladi,
membuktikan kesalahan tersebut,
Teori dan Kebijakan Pidana,( Bandung: akhirnya terdakwa dibebaskan oleh
Alumni, halaman 141.
xxv
hakim. Kesulitan yang serupa itu dengan keras oleh undang-
banyak terjadi pada kasus-kasus undang karena dikategorikan
lingkungan yang lain. Padahal, sebagai aktivitas atau
akibat yang ditimbulkan sangat kegiatan yang sangat
merugikan masyarakat. Disitu potensial mengandung
tampak betapa urgennya penerapan bahaya kepada kesehatan,
asas strict liability. keselamatan, dan moral
Jadi penerapan strict liability publik (a particular activity
sangat erat kaitannya dengan potential danger of public
ketentuan tertentu dan terbatas. health,safety or moral).
Agar lebih jelas apa yang 4) Perbuatan atau aktivitas
menjadi landasan penerapan strict tersebut secara keseluruhan
liability crime, dapat dikemukakan dilakukan dengan cara
patokan berikut : melakukan pencegahan yang
1) Perbuatan itu tidak berlaku sangat wajar (unreasonable
umum terhadap semua jenis precausions).
tindak pidana, tetapi sangat Pengaturan mengenai
terbatas dan tertentu, pertanggungjawaban pidana
terutama mengenai kejahatan korporasi saat ini masih berada di
anti sosial atau yang luar Kitab Undang-Undang Hukum
membahayakan sosial. Pidana (KUHP). Hal ini dikarenakan
2) Perbuatan itu benar-benar tidak dianutnya prinsip korporasi
bersifat melawan hukum sebagai subjek tindak pidana dalam
(unlawful) yang sangat KUHP yang berlaku sekarang,
bertentangan dengan kehati- karena subjek tindak pidana yang
hatian yang diwajibkan diatur dalam KUHP sekarang
hukum dan kepatutan. hanyalah manusia atau orang
3) Perbuatan tersebut dilarang perorangan. Pengaturan semacam ini
xxvi
lebih lanjut membawa konsekuensi it intended to do something wrong,
yuridis berupa hanya orang This mental state is generally
perorangan saja yang dapat referred to as Mens rea”.
dibebani pertanggungjawaban Prinsip tanggung jawab mutlak
pidana dan dijatuhi pidana, (strict liability) korporasi pada tindak
sedangkan korporasi tidak. Seiring pidana lingkungan hidup di
dengan adanya kebijakan legislatif Indonesia belum pernah terlaksana.
yang mencantumkan korporasi Padahal konsep ini sangat baik untuk
sebagai subjek hukum pidana menjaga keberlangsungan hidup
seyogyanya diatur pula ketentuan masyarakat yang menjadi korban.
secara rinci yang berkaitan dengan Prinsip tanggung jawab mutlak
permasalahan sistem pemidanaan (strict liability) dalam UU No. 32
(pertanggungjawaban pidana Tahun 2009 tentang Perlindugan dan
korporasi). Pengelolaan Lingkungan Hidup pada
Dalam hukum pidana ada asas Bab XII (Penyelesaian Sengketa
kulpabilitas, sehingga harus Lingkungan), Bagian Ketiga
dibuktikan bahwa seseorang bisa (Penyelesaian Sengketa Lingkungan
dipidana apabila memang terbukti Hidup Melalui Pengadilan), Paragraf
bersalah. Artinya tidak bisa secara 2, Pasal 88 secara jelas
otomatis sanksi pidana dialihkan dari mendefinisikan asas strict liability
corporate crime menjadi personal dengan tanggung jawab mutlak.
crime. Dalam hukum pidana, Pasal tersebut berbunyi: “Setiap
mutlak harus dibuktikan adanya orang yang tindakannya, usahanya,
niat untuk melakukan perbuatan dan/atau kegiatannya menggunakan
pidana. Inilah yang dimaksud asas B3, menghasilkan dan/atau
mens rea (guilty mind) sebagaimana mengelola limbah B3, dan/atau yang
dikatakan oleh Stevanus.“an act is a menimbulkan ancaman serius
crime because the perso committing terhadap lingkungan hidup
xxvii
bertanggung jawab mutlak atas Tahun 2009 secara jelas bersifat
kerugian yang terjadi tanpa perlu khusus karena unsur-unsurnya telah
pembuktian unsur kesalahan.” secara khusus menunjuk kepada hal
Selanjutnya dalam penjelasan Pasal atau syarat tertentu sehingga dapat
88 Undang-Undang Nomor 32 diidentifikasi atau digolongkan ke
Tahun 2009 dirumuskan bahwa yang dalam bentuk pertanggungjawaban
dimaksud dengan “bertanggung tertentu. Unsur-unsur yang bersifat
jawab mutlak” atau strict liability khusus yang mencirikan
adalah unsur kesalahan tidak perlu pertanggungjawaban khusus itu ialah
dibuktikan oleh pihak penggugat strict liability yang ciri utamanya
sebagai dasar pembayaran ganti rugi. antara lain timbulnya tanggung
Ketentuan ayat ini sebagai lex jawab langsung dan seketika pada
specialis dalam gugatan tentang saat terjadinya perbuatan, sehingga
perbuatan melawan hukum pada tidak perlu dikaitkan dengan unsur
umumnya. Besarnya nilai ganti rugi kesalahan (fault, schuld). Dengan
yang dapat dibebankan terhadap demikian pihak penggugat yang
pencemar atau perusak lingkungan mengalami kerugian (injured party)
hidup menurut Pasal ini dapat masih harus membuktikan bahwa
ditetapkan sampai batas tertentu, kerugian yang dialami diakibatkan
yang dimaksud dengan “sampai oleh perbuatan atau kegiatan tergugat
batas waktu tertentu” adalah jika (atau para tergugat). Hal ini
menurut penetapan peraturan diistilahkan dengan pembuktian
perundang-undangan ditentukan causal link (kausalitas) atau
keharusan asuransi bagi usaha hubungan sebab akibat. Hal ini
dan/atau kegiatan yang bersangkutan sebagaimana yang ditegaskan dalam
atau telah tersedia dana lingkungan Green Paper on Remedying
hidup. Environmental Damage sebagai
Rumusan Pasal 88 UU No. 32 berikut: “Strict liability or liability
xxviii
without fault, eases the burden of (logika) hukum yang umum bahwa
establishing liability because fault tidaklah mungkin untuk menentukan
need not to be established. However, seseorang bertanggung jawab pada
the injured party must still prove that suatu hal yang merugikan seseorang,
the damage was caused by some sebelum ia dinyatakan bersalah.
one’s act…”. Artinya seseorang tidak dapat
Pasal 88 UU No. 32 Tahun dibebankan kewajiban bertanggung
2009 mengandung beberapa unsur jawab kecuali kalau bukan atas dasar
penting, yaitu: kesalahan (fault) sebagaimana
a. Setiap orang dengan prinsip dari “Tortious
b. yang tindakannya, usahanya, Liability”.
dan/atau kegiatannya Di dalam strict liability,
menggunakan B3, seseorang bertanggung jawab
c. menghasilkan dan/atau kapanpun kerugian timbul. Hal ini
mengelola limbah B3, dan/atau berarti bahwa: Pertama, para korban
yang menimbulkan ancaman dilepaskan dari beban berat untuk
serius terhadap lingkungan membuktikan adanya hubungan
hidup kausal antara kerugiannya dengan
d. bertanggung jawab mutlak atas tindakan indivual tergugat; Kedua,
kerugian yang terjadi para “potential polluter” akan
e. tanpa perlu pembuktian unsur memperhatikan baik tingkat kehati-
kesalahan hatiannya (level of care), maupun
Berdasarkan unsur-unsur di tingkat kegiatannya (level of
atas, unsur d) dan e) dapat activity). Dua hal ini merupakan
diinterpretasikan sebagai suatu kelebihan strict liability dari konsep
pengertian yang tampaknya belum kesalahan. Oleh karena sifat khasnya
umum dalam perangkat- perangkat yang tegas dan keras, maka strict
hukum Indonesia. Dalam pengertian liability tidaklah dapat dikenakan
xxix
kepada semua kegiatan. Hanya ini pertimbangan risiko dan
kegiatan-kegiatan tertentu saja yang manfaat kegiatan telah
dapat dikenakan strict liability. dilakukan secara memadai
Pertimbangan untuk menentukan sehingga dapat diperkirakan
ruang lingkup strict liability : bahwa keuntungan yang
1. Tingkat risiko (the degree of diperoleh akan lebih besar jika
risk); dalam hal ini risiko dibandingkan dengan ongkos-
dianggap tinggi apabila tidak ongkos yang harus dikeluarkan
dapat dijangkau oleh upaya untuk mencegah timbulnya
yang lazim, menurut bahaya.
kemampuan teknologi yang Strict liability atau absolute
telah ada; liability atau yang disebut juga
2. Tingkat bahaya (the gravity of dengan pertanggungjawaban tanpa
harm); dalam hal ini bahaya kesalahan (no-fault liability or
dianggap sangat sulit untuk liability without fault) adalah prinsip
dicegah pada saat mulai tanggung jawab tanpa keharusan
terjadinya; untuk membuktikan adanya
3. Tingkat kelayakan upaya kesalahan. Menurut Barda Nawawi
pencegahan (the Arief sering dipersoalkan, apakah
appropriateness); dalam hal ini strict liability itu sama dengan
si penanggung jawab harus absolute liability. Mengenai hal ini
menunjukkan upaya maksimal ada dua pendapat. Pendapat pertama
untuk mencegah terjadinya menyatakan, bahwa strict liability
akibat yang menimbulkan merupakan absolute liability. Alasan
kerugian pada pihak lain; atau dasar pemikirannya ialah,
4. Pertimbangan terhadap bahwa dalam perkara strict liability
keseluruhan nilai kegiatannya seseorang yang telah melakukan
(value of activity); dalam hal perbuatan terlarang (actus reus)
xxx
sebagaimana dirumuskan dalam saxon, pembuktian ini lebih mudah
undang-undang sudah dapat dipidana dan cenderung praktis dibandingkan
tanpa mempersoalkan apakah si dengan sistem hukum Eropa
pelaku mempunyai kesalahan (mens Kontinental yang dianut oleh
rea) atau tidak. Jadi sesorang yang Indonesia. Pemidanaan haruslah
sudah melakukan tindak pidana dapat dilihat dari
menurut rumusan undang-undang dipertanggungjawabkan perbuatan
harus/mutlak dapat dipidana. seseorang. Dengan demikian
Pendapat kedua menyatakan, pertanggungjawaban pidana selalu
bahwa strict liability bukan absolute selalu tertuju pada pembuat tindak
liability, artinya orang yang telah pidana tersebut. Pertanggungjawaban
melakukan perbuatan terlarang pidana ditujukan kepada pembuat
menurut undang-undang tidak (dader). Maka apabila orang yang
harus/belum tentu dipidana. Menurut melakukan tindak pidana maka
doktrin strict liability pertanggungjawaban haruslah
(pertanggungjawaban mutlak), dikenakan kepada para pelaku.
seseorang sudah dapat Pertanggungjawaban pidana hanya
dipertanggungjawabkan untuk tindak dapat terjadi jika sebelumnya subyek
pidana tertentu walaupun pada diri hukum pidana tersebut melakukan
orang itu tidak ada kesalahan (mens tindak pidana. Sedangkan didalam
rea). sistem hukum Common law system,
Dalam lapangan hukum berlaku asas “actus non est reus, nisi
pidana, Prinsip tanggung jawab mens sit rea”. Suatu perbuatan tidak
mutlak (strict liability), prinsip ini dapat dikatakan bersifat kriminal jika
menegaskan pembuktian kesalahan “tidak terdapat kehendak jahat”
berdasarkan sistem hukum Eropa didalamnya. Dengan demikian,
Kontinental. Sebagai konsep yang dalam sistem common law system,
berakar dari sistem hukum Anglo bahwa untuk dapat
xxxi
dipertanggungjawabkan seseorang kemudian dinegasikan Prinsip
karena melakukan tindak pidana, tanggung jawab mutlak mutlak (strict
sangat ditentukan oleh adanya mens liability). Pembuktian tidak semata-
rea pada diri seseorang tersebut. mata dilihat apakah pelaku (dader)
Dengan demikian, mens rea yang hal melakukan tindak pidana yang
ini dapat kita lihat dari rujukan dituduhkan melakukan kesalahan
sistem hukum Civil law, atau dengan atau tidak, tapi beban pembuktian
kata lain dapat kita sinkronkan langsung mutlak dibebankan
dengan ajaran “guilty of mind”, terhadap pelaku (dader) terhadap
merupakan hal yang menentukan kejahatan-kejahatan yang berkaitan
pertanggungjawban pembuat tindak dengna sumber daya alam (termasuk
pidana. Dari dari sisi ini, penggunaan kejahatan lingkungan hidup). Prinsip
mens rea dalam common law sistem, tanggung jawab mutlak (strict
pada prinsipnya sejalan dengan liability) dibebankan kepada
penerapan asas “tiada pidana tanpa perusahaan lingkungan hidup yang
kesalahan” dalam civil law sistem. nyata-nyata melakukan
Berdasarkan hal di atas, maka kesalahan/kelalaian dalam
secara prinsip penggunaan doktrin pengelolaan lingkungan hidup.
“mens rea” dalam sistem hukum Dengan demikian, maka pembuktian
common law sejalan dengan asas menjadi sederhana dan mudah
“geen straf zonder schul beginsel” diterapkan. Pembuktian ini praktis
dalam sistem hukum civil law. Maka sehingga tidak perlu memenuhi
untuk menentukan kesalahan dengna unsur yang dituduhkan kepada
menggunakan “tiada pidana tanpa pelaku (dader). Berangkat dari
kesalahan yaitu “Geen straf zonder prinsip ini, praktis kejahatan yang
schuld, actus non facit reum nisi berkaitan dengan lingkungan hidup
mens sir rea”, (aqua means rea atau lebih banyak dibebankan kepada
“kehendak jahat”). Prinsip ini perusahaan. Kasus Lapindo sebagai
xxxii
contoh merupakan sebuah peristiwa pertanggungjawaban pidana.
yang menarik. Berlarut-larutnya Prinsip tanggung jawab mutlak
pemeriksaan kasus Lapindo dan tarik (strict liability) inilah salah satu
menarik antara Kepolisian dan solusi untuk menyelesaikan berbagai
Kejaksaan dan belum juga kejahatan baik kesengajaan ataupun
dinyatakan lengkap (P21), berangkat kelalaian dari korporasi lingkungan
dari pemahaman penegak hukum hidup. Prinsip tanggung jawab
yang tidak menerapkan prinsip mutlak mutlak (strict liability)
tanggung jawab mutlak mutlak (strict merupakan prinsip yang sederhana
liability). Sikap ngototnya penegak dan pembuktian yang mudah
hukum untuk melihat keterlibatan menyebabkan berbagai kejahatan di
pelaku (dader) kemudian terjebak berbagai dunia dapat diselesaikan.
dengan hak-hal yang bersifat teknis
yang sulit pembuktiannya. Padahal PENUTUP
dengan menerapkan prinsip tanggung
Simpulan
jawab mutlak mutlak (strict liability),
maka tidak perlu dibuktikan, apakah 1. Pengakuan korporasi sebagai
para pelaku (dader) melakukan subjek hukum yang dapat
perbuatan itu atau tidak, tapi penegak dipertanggungjawabkan secara
hukum bisa membuktikan, bahwa pidana pada tindak pidana
karena kesalahan atau kelalaian dari lingkungan hidup ditegaskan
Lapindo, menyebabkan bencana. dalam Pasal 1 angka 32 UU No.
Dengan pembuktian yang sederhana 32 Tahun 2009 tentang
ini, maka kasus Lapindo bisa Perlindungan dan Pengelolaan
disidangkan dimuka hukum. Dan Lingkungan Hidup, yaitu “Setiap
korporasi yang bertanggung jawab orang adalah orang perseorangan
dalam bencana Lapindo dapat atau badan usaha, baik yang
dipersalahkan dan berbadan hukum maupun yang
xxxiii
tidak berbadan hukum”. Apabila limbah B3, dan/atau yang
diterjemahkan lebih jauh bahwa menimbulkan ancaman serius
subjek hukum dimaksud dalam terhadap lingkungan hidup
Pasal 1 angka 32 UUPPLH 2009 bertanggung jawab mutlak atas
ini adalah orang, badan hukum, kerugian yang terjadi tanpa perlu
dan tidak berbadan hukum. pembuktian unsur kesalahan.”
Berbadan hukum dan tidak Selanjutnya dalam penjelasan
berbadan hukum maksudnya Pasal 88 Undang-Undang
adalah korporasi. Maka, subjek Nomor 32 Tahun 2009
tindak pidana yang dimaksud dirumuskan bahwa yang
dalam hal ini adalah korporasi. dimaksud dengan “bertanggung
2. Prinsip tanggung jawab mutlak jawab mutlak” atau strict liability
(strict liability) dalam UU No. 32 adalah unsur kesalahan tidak
Tahun 2009 tentang Perlindugan perlu dibuktikan oleh pihak
dan Pengelolaan Lingkungan penggugat sebagai dasar
Hidup pada Bab XII pembayaran ganti rugi. Ketentuan
(Penyelesaian Sengketa ayat ini sebagai lex specialis
Lingkungan), Bagian Ketiga dalam gugatan tentang perbuatan
(Penyelesaian Sengketa melawan hukum pada umumnya.
Lingkungan Hidup Melalui Besarnya nilai ganti rugi yang
Pengadilan), Paragraf 2, Pasal 88 dapat dibebankan terhadap
secara jelas mendefinisikan asas pencemar atau perusak
strict liability dengan tanggung lingkungan hidup menurut Pasal
jawab mutlak. Pasal tersebut ini dapat ditetapkan sampai batas
berbunyi: “Setiap orang yang tertentu, yang dimaksud dengan
tindakannya, usahanya, dan/atau “sampai batas waktu tertentu”
kegiatannya menggunakan B3, adalah jika menurut penetapan
menghasilkan dan/atau mengelola peraturan perundang-undangan
xxxiv
ditentukan keharusan asuransi
Arief, Barda Nawawi.
bagi usaha dan/atau kegiatan yang
Perbandingan Hukum
bersangkutan atau telah tersedia Pidana, Cetakan Pertama.
Jakarta: CV. Rajawali,
dana lingkungan hidup.
1990.
Atmasasmita, Romli. Asas-asas
Saran Perbandingan Hukum
Pidana, Cetakan Pertama.
Harus diatur secara eksplisit Jakarta: Yayasan LBH,
1989.
dalam peraturan perundang-
Hetrik, Hamzah. Asas
undangan yang menentukan Pertanggungjawaban
Korporasi dalam Hukum
korporasi sebagai subjek tindak
Pidana. Jakarta: PT. Raja
pidana mengenai kapan suatu Grafindo Persada , 1996.
Mikles, Matthrew B. & A.
korporasi dapat dikatakan
Michael Huberman. Analisis
melakukan tindak pidana. Demikian Data Kualitatif, terj. Tjetjep
Rehendy Rohidi. Jakarta: UI
juga halnya dengan ketentuan
Press, 1992
mengenai siapa yang dapat dituntut Moljatno. Asas-asas Hukum
Pidana, Cetakan Kedua.
dan dijatuhi pidana atas kejahatan
Jakarta: Bina Aksara, 1984.
yang dilakukan korporasi harus Marpaung, Leden. Unsur-unsur
Perbuatan yang Dapat
diatur secara tegas, agar supaya
Dihukum, Cetakan Pertama.
korporasi tidak dapat mengelak atas Jakarta: Sinar Grafika,
1991.
kejahatan yang dilakukannya dengan
Mudzakir, Aspek Hukum Pidana
berlindung dibalik pengurus Dalam Pelanggaran
Lingkungan, dalam Erman
korporasi.
Rajagukguk dan Ridwan
Khairandy (ed), Hukum
Lingkungan Hidup di
DAFTAR PUSTAKA Indonesia, 75 Tahun Prof.
Dr. Koesnadi
d. Buku-buku: Hardjasoemantri, SH.,ML.
Jakarta: Universitas
Amirin, Tatang A. Menyusun Indonesia, 2001.
Rencana Penelitian. Jakarta:
CV. Rajawali, 1986.
xxxv
Muladi dan Barda Nawawi 2000, Rancangan Undang-
Arief. Teori dan Kebijakan undang Republik Indonesia
Pidana. Bandung: Alumni, Tentang Kitab Undang-
1998.
Undang Hukum Pidana.
Sunggono, Bambang. Metode
Penelitian Hukum. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada,
2002.
Syahrin, Alvi. Beberapa Isu
Hukum Lingkungan
Kepidanaan. Medan:
Sofmedia, 2009.
e. Peraturan Perundang-
undangan
Sekretariat Negara RI. Undang-
Undang No. 1 Tahun 1946
tentang Peraturan Hukum
Pidana (KUHP). Jakarta,
1946.
Sekretariat Negara RI. Undang-
Undang No. 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Jakarta, 2009.
Sekretariat Negara RI. Peraturan
Pemerintah No. 27 Tahun
1999 tentang Analisis
Mengenai Dampak
Lingkungan. Jakarta, 1999.
f. RUU KUHP
Direktorat Perundang-undangan,
Direktorat Jenderal Hukum
dan Perundang-undangan,
Departemen Hukum dan
Perundang-undangan, 1999-
xxxvi
Lampiran 5. Bahan Ajar (SAP Kejahatan Korporasi)
viii
Minggu Pokok Sub Pokok Bahasan Tujuan Sumber Media Tugas Keterangan
Bahasan Instruksional Pustaka
Khusus
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
1 dan 2 Pengantar 1. Deskripsi Singkat Mata Kuliah Mahasiswa A,B,C,D, Tatap Mengumpulka
2. Korporasi Sebagai Subyek Hukum mampu Muka, n dan
E,F,G,H,
3. Pengertian Korporasi memahami LCD, Mempelajari
4. Korporasi Sebagai Subyek Hukum 1. pengertian I Diskusi Buku-buku
Dalam Berbagai Lapangan Hukum korporasi . Wajib.
5. Pengaturan Korporasi Sebagai secara
Subyek Hukum Tindak Pidana etimologis
6. Pembagian Badan Hukum dan
(Korporasi) pendapat
7. Urgensi Studi Kejahatan Korporasi beberapa
sarjana
2. bentuk-
bentuk
korporasi
3. posisi kajian
korporasi
dan manfaat
mempelajrai
korporasi
4. kriteria
korporasi
dalam
ix
konteks
kejahatan
korporasi
5. alasan-
alasan
pihak
yang pro
dan
kontra
terhadap
pertanggung
jawaban
pidana bagi
korporasi
3-4 Ruang 1. Pengertian Kejahatan Korporasi Mahasiswa A,B,C,D, Tatap Membuat
Lingkup 2. Batas-Batas Kejahatan Korporasi dapat E, F. Muka, Resume Buku
Kejahatan 3. Anatomi Kejahatan Korporasi memahami LCD, A. Setiyono,
Korporasi 4. Motif-Motif Kejahatan Korporasi mengenai Diskusi tentang
5. Bentuk-Bentuk Kejahatan karakteristik . Kejahatan
Korporasi kejahatan Korporasi
6. Korban Kejahatan Korporasi korporasi (Analisis
sehingga Viktimologis
dapat dan
menjelaskan pertanggungja
perbedaannya waban
dengan Korporasi
kejahatan dalam Hukum
konvensional Pidana
x
Indonesia),
Malang:
Averroes Press
dan Pustaka
Pelajar, 2002.
5-6 Sistem 1. Pertanggungjawaban Pidana Mahasiswa A,B,C,D, Tatap Menganalisa
Pertanggungja 2. Pertanggungjawaban Pidana dapat E,F,G,H, Muka, beberapa
waban Pidana Korporasi (Corporate Criminal memahami I LCD, Kejahatan
Korporasi Liability) mengenai Diskusi yang terjadi di
3. Pola Pertanggungjawaban Pidana teori, asas dan . Indonesia,
Terhadap Korporasi sistem
4. Teori-Teori Pertanggungjawaban pertanggungja
Pidana Terhadap Korporasi waban pidana
5. Doktrin Identifikasi korporasi
6. Doktrin Vicarious Liability dengan
7. Doktrin Strict Liability merujuk pada
KUHP,
Peraturan
perundang-
undangan di
luar KUHP,
dan RUU
KUHP
xi
8-9 Korban 1. Karakteritik korban kejahatan Mahasiswa A,B,C,D, Tatap
Kejahatan korporasi dapat E,F,G,H, Muka,
Korporasi 2. Bentuk-bentuk kerugian dari memahami I,J LCD,
kejahatan korporasi : mengenai Diskusi
karakteristik .
a.kerugian Materi korban dengan
b. kerugian bidang kesehatan dan berbagai
keselamatan jiwa bentuk
c. kerugian sosial moral kerugian yang
dialami dan
3. Jaminan perlindungan hukum perlindungan
bagi korban kejahatan hukum yang
korporasi pada berbagai berhak
peraturan perundang-undangan : diperoleh.
a. Kompensasi
b. Restitusi
10 Pemidanaan 1. Konsep Pemidanaan Terhadap Mahasiswa A, B, C, Tatap
terhadap Korporasi mampu D,E, Muka,
Korporasi 2. Pengaturan Stelsel Pidana memahami F.G,H,I,J LCD,
Terhadap Korporasi sistem Diskusi
pemidanaan .
terhadap
korporasi
12-13 Kejahatan 1. Ruang Lingkup Kejahatan Mahasiswa A, B, C, Tatap Menganalis
Korporasi di Korporas di Bidang Lingkungan dapat D,E, F. Muka, Kasus-kasus
Bidang Hidup memahami LCD, Kejahatan
Lingkungan 2. Korban Kejahatan Korporasi di Kejahatan Diskusi Korporasi di
xii
Hidup Bidang Lingkungan Hidup Korporasi di . Bidang
3. Pertanggungjawaban Pidana bagi Bidang Lingkungan
Korporasi di Bidang Lingkungan Lingkungan Hidup
Hidup Hidup dan
teori-teori
Pertanggungja
waban Pidana
bagi Korporasi
di Bidang
Lingkungan
Hidup
13 Penanggulanga 1. Macam dan bentuk sarana kontrol bagi
Mahasiswa A, B, C, Tatap
n Kejahatan upaya penanggulangan kejahatan dapat D,E, Muka,
Korporasi korporasi : memahami F.G,H,I,J LCD,
a. Upaya penanggulangan Non Penalteori-teori Diskusi
b. Upaya penanggulangan yang .
2. Pengaturan sanksi pidana terhadap menjelaskan
kejahatan korporasi dalam berbagaikejahatan dari
peraturan perundang-undangan struktur sosial
3. Antisipasi terhadap perkembangan dan
kejahatan korporasi di masa dampaknya
mendatang
14 Ujian Akhir Semester
xiii
DAFTAR PUSTAKA:
A. Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta hukum Pidana, 2003
B. Dwija Priyatno, Kebijakan Legislasi tentang Sistem pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di Indonesia, 2003
C. Gibert Geiss dan Robert F Meier, Corporate Crime, 1989
D. Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1996Setiyono, Kejahatan Korporasi (Analisis Viktimologis dan pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana
Indonesia), Malang: Averroes Press dan Pustaka Pelajar, 2013
E. I.S.Susanto, Diktat Kejahatan Korporasi, Semarang, UNDIP, 2005.
F. J.E.Sahetapy, Bunga Rampai Viktimisasi, Bandung: Eresco, 1995
G. ----------------------------, Kejahatan Korporasi, Bandung:Eresco, 1994
H. Marshall B Clinard dan Peter C Yeager, Corporate Crime, New York: The Free Press, 1980
I. Muhammad Topan, Kejahatan Korporasi di Bidang Lingkungan Hidup, Bandung: Nusa Media, 2009.
J. Penanggulanggan Kejahatan Korporasi melalui Pendekatan Restoratifsuatu Terobosan Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
xiv
xv
16