Anda di halaman 1dari 134

Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum

LAPORAN AKHIR

PENELITIAN DOSEN PEMULA

SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PADA TINDAK PIDANA


LINGKUNGAN HIDUP
(SUATU REORIENTASI TENTANG ASAS STRICT LIABILITY)

Oleh
Ketua : Subaidah Ratna Juita, S.H., M.H., NIDN 0614127801
Anggota : Dewi Tuti Muryati, S.H., M.H., NIDN 0612045801
Anggota : Ani Triwati, S.H., M.H., NIDN 0628107401

Berdasarkan
Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan Penugasan Penelitian
Dosen Pemula bagi Dosen Perguruan Tinggi Swasta Tahun Anggaran 2013
Nomor 012/SP2H/KL/KOPERTIS6/2013
tanggal 27 Agustus 2013

UNIVERSITAS SEMARANG
NOVEMBER, 2013

i
HALAMAN PENGESAHAN

Judul : Sistem Pertanggungjawaban Pidana pada


Tindak Pidana Lingkungan Hidup (Suatu
Reorientasi tentang Asas Strict Liability)
Peneliti
Ketua
a. Nama Lengkap : Subaidah Ratna Juita, S.H., M.H.
b. NIDN : 0614127801
c. Jabatan Fungsional : Asisten Ahli
d. Program Studi : Ilmu Hukum
e. Nomor HP : 081390896644
f. Alamat surel (e-mail) : ratna.shmh@yahoo.co.id
Anggota (1)
a. Nama Lengkap : Dewi Tuti Muryati, S.H., M.H.
b. NIDN : 0612045801
c. Perguruan Tinggi : Universitas Semarang
Anggota (2)
a. Nama Lengkap : Ani Triwati, S.H., M.H.
b. NIDN : 0628107401
c. Perguruan Tinggi : Universitas Semarang

Penanggung Jawab : LPPM Universitas Semarang


Tahun Pelaksanaan : Tahun ke-1 dari rencana 1 tahun
Biaya Keseluruhan : Rp. 12.500.000,- (dua belas juta lima ratus
ribu rupiah)

Semarang, 25 November 2013

ii
RINGKASAN

Dalam hukum pidana dikenal asas actus non facit reum, nisi mens sit rea,
atau asas tiada pidana tanpa kesalahan. Penerapan asas tersebut secara kaku akan
menyulitkan untuk pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana, salah
satunya adalah dalam bidang lingkungan hidup. Oleh karena itu apabila korporasi
melakukan tindak pidana lingkungan hidup sehingga mengakibatkan pencemaran
atau perusakan lingkungan hidup yang berdampak membahayakan dan merugikan
bagi pihak lain, maka berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam UU No. 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH)
korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana dengan penerapan asas
strict liability. Pengaturan mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap
korporasi sebagai pelaku tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana yang
terdapat dalam UUPPLH merupakan kebijakan legislasi yang memberikan
legitimasi bahwa korporasi dapat dipertanggungjawabkan semata karena telah
melakukan perbuatan melawan hukum tanpa memperhatikan kesalahannya.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang
menitikberatkan pada data sekunder. Sebagai penelitian hukum normatif, maka
penelitian ini meliputi penelitian inventarisasi hukum positif, asas-asas hukum,
penemuan hukum in concreto dan sinkronisasi hukum, sehingga pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan yuridis-normatif, yaitu penelitian yang difokuskan
untuk mengkaji penerapan kaedah-kaedah atau norma-norma hukum positif.
Dengan demikian, pendekatan yuridis-normatif dalam penelitian digunakan untuk
menganalisis permasalahan yang berkaitan dengan penerapan asas strict liability
untuk pertanggungjawaban korporasi sebagai pelaku tindak pidana di bidang
lingkungan hidup.

Kata kunci: pertanggungjawaban korporasi, asas strict liability, tindak pidana


lingkungan hidup.

iii
PRAKATA

Alhamdulillahirabbil’alamin, Tim Peneliti panjatkan puji syukur

kehadiran Allah SWT, atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat

menyelesaikan penelitian dengan judul “ Sistem Pertanggungjawaban Pidana

pada Tindak Pidana Lingkungan Hidup (Suatu Reorientasi tentang Asas

Strict Liability) ” ini dengan baik dan tepat waktu.

Laporan hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para

pembaca guna menambah wacana mengenai apa yang menjadi substansi dalam

penelitian ini. Dengan demikian, secara umum hasil penelitian ini dapat

memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan hukum pidana,

dan lebih khusus lagi sebagai bahan masukan kepada para praktisi hukum yang

bertugas menangani perkara pidana, dan bagi pihak-pihak yang berkepentingan

lainnya yang ingin mengetahui lebih dalam mengenai kebijakan hukum pidana

tentang pertanggungjawaban pidana pada tindak pidana lingkungan hidup.

Menyadari bahwa penelitian ini terselesaikan berkat bantuan dari

berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung, maka pada

kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih kepada :

1. Direkur Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Direktorat

Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

yang telah menyetujui dan memberikan dana penelitian.

iv
2. Koordinator Kopertis Wilayah VI Jawa Tengah yang telah meneruskan

dana penelitian melalui Kontrak Nomor 012/SP2H/KL/KOPERTIS6/2013

tanggal 27 Agustus 2013.

3. Rektor Universitas Semarang yang telah memberikan izin penelitian dan

berbagai fasilitas kepada penulis untuk berkarya.

4. Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas

Semarang yang telah membantu segala hal yang berkaitan dengan

penelitian.

5. Dekan Fakultas Hukum Universitas Semarang yang telah memberikan izin

penelitian.

6. Semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu yang telah

mendukung terselesaikannya penelitian ini.

Kami menyadari akan segala kekurangan yang ada, yang tentunya sangat

mempengaruhi penelitian ini. Untuk itu, segala kritik dan saran yang bersifat

membangun dari berbagai pihak akan kami terima dengan senang hati, demi

kesempurnaan penelitian ini di kemudian hari.

Semarang, November 2013

Tim Peneliti

v
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN SAMPUL ............................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN …………………………………………... ii
RINGKASAN .......................................................................................... iii
PRAKATA ............................................................................................... iv
DAFTAR ISI ……………………………………………………………... vi
BAB 1. PENDAHULUAN ...................................................................... 1
1.1. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ................................................................ 5
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………... 6
2.1. Landasan Pemahaman tentang Pertanggungjawaban Pidana
sebagai Suatu Sistem .......................................................... 6
2.2. Doktrin Strict Liability dalam Hukum Pidana ..................... 19
2.3. Tinjauan tentang Tindak Pidana Lingkungan Hidup ........... 26
BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ............................... 41
3.1. Tujuan Penelitian ................................................................. 41
3.2. Manfaat Penelitian ............................................................... 41
BAB 4. METODE PENELITIAN ………………………...................... . 43
4.1. Metode Pendekatan ............................................................. 44
4.2. Spesifikasi Penelitian .......................................................... 44
4.3. Metode Pengumpulan Data ................................................. 45
4.4. Metode Analisis Data .......................................................... 46
BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................... 48
5.1. Kedudukan Korporasi sebagai Subjek Hukum (Pelaku Tindak
Pidana) dalam Bidang Lingkungan Hidup ........................... 48

vi
5.2. Sistem Pertanggungjawaban Pidana terhadap Korporasi sebagai
Pelaku Tindak Pidana di Bidang Lingkungan Hidup berdasarkan
Asas Strict Liability .................................................................... 55
BAB 6. SIMPULAN DAN SARAN ………………………............................ 65
6.1. Simpulan ...................................................................................... 65
6.2. Saran ............................................................................................ 66
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………........... viii
LAMPIRAN …………………………………………………………….......... xi

vii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Kebijakan menetapkan suatu sistem pertangungguangjawaban pidana

sebagai salah satu kebijakan kriminal merupakan persoalan pemilihan dari

berbagai alternatif. Dengan demikian, pemilihan dan penetapan sistem

pertanggungjawaban pidana tidak dapat dilepaskan dari berbagai pertimbangan

yang rasional dan bijaksana sesuai dengan keadaan dan perkembangan

masyarakat. Sehubungan dengan masalah tersebut di atas maka Romli

Atmasasmita menyatakan sebagai berikut :

Berbicara tentang konsep liability atau “pertanggungjawaban”


dilihat dari segi falsafat hukum, seorang filosof besar dalam
bidang hukum pada abad ke-20, Roscou Pound, dalam An
Introduction to the Philosophy of Law, telah mengemukakan
pendapatnya ”I …. Use the simple word “liability” for the situation
whereby one exact legally and otheris legally subjected to the
exaction.1

Selanjutnya dikatakan oleh Romli Atmasasmita :

Dengan demikian konsep liability diartikan sebagai _reparation


sehingga mengakibatkan perubahan arti konsepsi liability dari
composition for vengeance menjadi reparation for injury.
Perubahan bentuk wujud ganti rugi dalam sejumlah uang kepada ganti
rugi dengan penjatuhan hukuman, secara historis merupakan awal
dari liability atau “pertanggungjawaban”.2

Permasalahan mengenai pertanggungjawaban pidana oleh korporasi

1
Romli Atmasasmita, Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan Pertama (Jakarta:
Yayasan LBH, 1989), halaman 79.
2
Ibid., halaman 80.

1
dalam hukum pidana tidak lepas dari pro dan kontra. Hal ini tidak lepas dari

paradigma pertanggungjawaban pidana dalam KUHP yang bersifat individual,

yaitu tidak memberikan opsi selain manusia (naturalick person) sebagai subjek

hukum. Pada waktu dirumuskan, penyusun KUHP menerima asas universitas

delinquere non protest, yang artinya korporasi tidak mungkin melakukan tindak

pidana. Korporasi dipandang sebagai suatu fiksi hukum dalam lingkungan

keperdataan yang tidak cocok diambil alih dalam hukum pidana.

Konsekuensinya maka penentangan terhadap wacana mempertanggungjawabkan

korporasi dalam hukum pidana selalu mendapat pembenaran. Argumen tersebut

juga tidak lepas dari aliran-aliran alam hukum pidana, baik aliran klasik (daad

strafrecht), aliran modern (dader strafrecht) maupun aliran neoklasik (daad-

dader strafrecht) yang hanya melihat individu sebagai pelaku atau subjek hukum

sentral.

Penerapan pertanggungjawaban pidana oleh korporasi akan mendapat

kesulitan karena melekat pada sifat dasar manusia alamiah seperti kesengajaan

dan kealpaan, tingkah laku material, pidana dan tindakan. Pemidanaan terhadap

korporasi juga dapat merugikan orang yang tidak bersalah dan kemungkinan

kesulitan menentukan antara batas pengurus dan korporasi . Sementara itu

perkembangan kehidupan bermasyarakat terutama dalam bidang perekonomian

telah melahirkan korporasi-korporasi dengan semangat kapitalisme yang

bertujuan memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Akibatnya aspek

viktimologis dari kejahatan korporasi sangatlah besar yang dapat meliputi

kerugian terhadap negara, masyarakat, konsumen, perusahaan saingan,

2
karyawan, pemegang saham mapun biaya penegakan hukum yang mahal.

Memperhatikan dampak negatif dari pembangunan dan

modernisasi, khususnya munculnya tindak pidana yang dilakukan oleh

korporasi dalam bidang lingkungan hidup, wajar jika pusat perhatian

penegakan hukum ditujukan pada upaya penanggulangannya. Salah satu

penanggulangannya yang masih dipermasalahkan adalah penggunaan sarana

hukum pidana. Permasalahan tersebut meliputi subjek korporasi yang

masih belum diakui secara tegas dalam hukum pidana. Dan kalaupun korporasi

diakui sebagai pelaku tindak pidana, bagaimana sistem pertanggungjawaban

pidananya mengingat korporasi bukanlah manusia yang mempunyai kesalahan,

baik berupa kesengajaan maupun kealpaan.

Di samping permasalahan tersebut di atas (pertanggungjawaban

pidana korporasi /corporate liability), permasalahan dalam bentuk lain adalah

pembuktian bentuk-bentuk pelanggaran di bidang lingkungan hidup yang

sangat sulit dan kompleks. Untuk mengatasi kesulitan dan kompleksitas

pembuktian tersebut muncul alternatif lain dalam hal pertanggungjawaban

pidana, yakni adanya asas pertanggungjawaban pidana terbatas/ketat (strict

liability) sebagai pengecualian dari asas kesalahan. Dalam asas strict liability si

pembuat sudah dapat dipidana apabila ia telah melakukan perbuatan

sebagaimana dirumuskan dalam undang- undang tanpa melihat bagaimana

sikap batinnya. Asas itu sering diartikan secara singkat sebagai

pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault).

Dengan demikian, asas strict liability di atas yakni mengenai subjek

3
delik dan mengenai asas kesalahan, di dalam perkembangannya mengalami

perluasan. Terhadap subjek delik, dengan adanya perkembangan masyarakat,

dituntut adanya pengakuan terhadap korporasi sebagai pelaku dan dapat

dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana (corporate liability).

Terhadap sistem pertanggungjawaban pidana, muncul asas strict liability

sebagai pengecualian dari asas kesalahan.

Munculnya sistem pertanggungjawaban pidana seperti tersebut di atas

tentu saja menimbulkan pertanyaan yang berkaitan dengan asas kesalahan

yang dianut hukum pidana selama ini. Harus diakui bahwa asas kesalahan

merupakan asas yang sangat fundamental dalam hukum pidana sehingga asas

itu sangat penting dan dianggap adil dalam mempertanggungjawabkan pelaku

delik. Dikatakan demikian, karena pidana hanya dapat dijatuhkan

kepada pelaku delik yang mempunyai kesalahan dan mampu bertanggung

jawab. Namun di pihak lain, karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,

tampaknya penyimpangan terhadap asas kesalahan itu juga akan berpengaruh

terhadap hukum pidana. Apabila penyimpangan asas itu harus diterapkan,

akan timbul pertanyaan bagaimanakah perkembangan sistem

pertanggungjawaban pidana di era sekarang ini, bagaimana sistem

pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana nasional, pertanggungjawaban

pidana dalam hukum pidana nasional yang akan datang.

Oleh karena itu hukum pidana harus responsif untuk menanggulangi

tindak pidana di bidang lingkungan hidup yang dilakukan oleh korporasi dengan

menempatkannya sebagai subjek hukum dalam hukum pidana yang dapat

4
dipertanggungjawabkan sehingga memberikan efek jera (deterent effect). Harus

diakui pemidanaan terhadap pengurus korporasi sebagaimana dalam Pasal 59

KUHP tidak cukup untuk mengadakan represi terhadap tindak pidana yang

dilakukan korporasi.

Berdasarkan pertimbangan, bahwa masih sedikit kajian atau penelitian

dan literatur mengenai sistem pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi

dalam bidang lingkungan hidup berdasarkan perspektif pendekatan asas strict

liability sebagai alternatif bentuk pertanggungjawaban pidana oleh korporasi

(corporate liability) sebagai pelaku tindak pidana di bidang lingkugan hidup,

sekaligus sebagai respon atas keadaan di atas dengan tujuan melengkapi literatur

maka penelitian ini mendapatkan urgensinya. Penelitian yang komprehensif, dan

dilakukan berdasarkan kajian normatif ini diharapkan dapat memberikan

gambaran yang jelas mengenai asas strict liability sebagai alternatif bentuk

pertanggungjawaban pidana oleh korporasi (corporate liability) sebagai pelaku

tindak pidana di bidang lingkungan hidup.

1.2. Rumusan Masalah


Bertolak dari hal tersebut jelas cakupannya sangat luas, guna

mencegah luasnya cakupan tersebut, dan untuk memudahkan pembahasan maka

permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah kedudukan korporasi sebagai subjek hukum (pelaku

tindak pidana) dalam bidang lingkungan hidup?

2. Bagaimana sistem pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi

sebagai pelaku tindak pidana di bidang lingkungan hidup berdasarkan

asas strict liability?


5
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Pemahaman tentang Pertanggungjawaban Pidana

Pembicaraan mengenai pertanggungjawaban pidana tidak dapat

dilepaskan dari pembicaraan mengenai perbuatan pidana. Orang tidak

mungkin dipertanggungjawabkan untuk dipidana, apabila ia tidak melakukan

tindak pidana. Para penulis sering menggambarkan bahwa dalam

menjatuhkan pidana unsur “tindak pidana” dan “pertanggungjawaban pidana”

harus dipenuhi. Gambaran itu dapat dilihat dalam bentuk skema berikut:

Tindak Pidana + Pertanggungjawaban = Pidana

Unsur tindak pidana dan kesalahan (kesengajaan) adalah unsur

yang sentral dalam hukum pidana. Unsur perbuatan pidana terletak dalam

lapangan objektif yang diikuti oleh unsur sifat melawan hukum,

sedangkan unsur pertanggungjawaban pidana merupakan unsur

subjektif yang terdiri dari kemampuan bertanggung jawab dan adanya

kesalahan (kesengajaan dan kealpaan). Sebelum membicarakan mengenai

pertanggungjawaban yang terletak di lapangan subjektif tersebut, terlebih

dahulu akan dibicarakan mengenai pengertian dan unsur-unsur tindak pidana.

6
2.1.1. Pengertian dan Unsur-unsur Tindak Pidana

Di dalam pasal-pasal KUHP maupun Undang-Undang di luar

KUHP tidak ditemukan satu pun pengertian mengenai tindak pidana,

padahal pengertian tindak pidana itu sangat penting untuk dipahami agar

dapat diketahui unsur-unsur yang terkandung di dalamnya. Unsur-unsur

tindak pidana tersebut merupakan indikator atau tolok ukur dalam

memutuskan apakah perbuatan seseorang dapat dikualifikasikan sebagai

perbuatan pidana atau tidak. Apabila perbuatan seseorang telah

memenuhi unsur-unsur perbuatan pidana, tentu ia dapat dipidana.

Demikian pula sebaliknya, jika unsur itu tidak dipenuhi, orang tersebut

tidak akan dipidana. Karena tidak terdapat di dalam perundang-undangan,

para ahli hukum mencoba memberikan pengertian dan unsur-unsur dari

perbuatan pidana tersebut. Berikut akan diuraikan pendapat beberapa

ahli hukum tersebut.

Moeljatno mendefinisikan perbuatan pidana sebagai perbuatan

yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman

(sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar

larangan tersebut. Larangan ditujukan kepada perbuatan (suatu keadaan

atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan

ancaman pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian

itu.3

3
Moljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Cetakan Kedua, (Jakarta: Bina Aksara, 1984),

7
Simons mengartikan perbuatan pidana (delik) sebagai suatu

tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja

ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan

atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu


4
perbuatan atau tindakan yang dapat dihukum. Dari definisi Simons

tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur perbuatan pidana terdiri

dari (1) perbuatan manusia (positif atau negatif; berbuat atau tidak

berbuat); (2) diancam dengan pidana; (3) melawan hukum; (4)

dilakukan dengan kesalahan; dan (5) oleh orang yang mampu

bertanggung jawab.

Van Hamel menguraikan perbuatan pidana sebagai perbuatan

manusia yang dirumuskan oleh undang-undang, melawan hukum

(patut atau bernilai untuk dipidana) dan dapat dicela karena

kesalahan.5

Dari definisi tersebut dapat dilihat unsur- unsurnya, yaitu (1)

perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang; (2) melawan

hukum; (3) dilakukan dengan kesalahan; dan (4) patut dipidana.

Selanjutnya Vos memberikan definisi singkat mengenai perbuatan

pidana yang disebutkan straafbaarfeit, yaitu kelakuan atau tingkah

laku manusia yang oleh peraturan perundang- undangan

diberikan pidana. Jadi, unsur-unsurnya adalah (1) kelakuan

halaman 54.
4
Leden Marpaung, Unsur-unsur Perbuatan yang Dapat Dihukum (Deik), C etakan
Pertama, (Jakarta: Sinar Grafika, 1991), halaman 4.
5
Sudarto, Hukum Pidana I, Cetakan kedua (Semarang: Yayasan Sudarto Fakultas
Hukum Universitas Diponegoro, 1990 ), halaman 41.

8
manusia; dan (2) diancam pidana dalam undang- undang.6

Sementara itu Pompe memberikan dua macam definisi terhadap

perbuatan pidana, yaitu yang bersifat teoretis dan yang bersifat

perundang-undangan. Menurut Pompe, dari segi definisi teoretis,

perbuatan pidana ialah pelanggaran normal/ kaidah/ tata hukum, yang

diadakan karena kesalahan pelanggar, dan yang harus diberikan

pidana itu dapat mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan

kesejahteraan umum. Selanjutnya, menurut hukum positif, perbuatan

pidana ialah suatu peristiwa yang oleh undang- undang ditentukan

mengandung perbuatan dan pengabaian atau tidak berbuat. Tidak

berbuat biasanya dilakukan di dalam beberapa keadaan yang merupakan

bagian suatu peristiwa. Uraian perbuatan dan keadaan yang ikut serta

itulah yang disebut uraian delik.7

Berdasarkan beberapa rumusan tentang pengertian perbuatan

pidana tersebut di atas, menurut hemat penulis, tepat apa yang

disimpulkan oleh Moljatno mengenai unsur atau elemen yang harus ada

dalam suatu perbuatan pidana. Unsur atau elemen tersebut adalah

sebagai berikut:

a) Kelakuan dan akibat (perbuatan).


b) Hal atau keadaan yang menyertai perbuatan.
c) Keadaan tambahan yang memberatka pidana.
d) Unsur melawan hukum yang objektif.
e) Unsur melawan hukum yang subjektif. 8

6
A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Cetakan Pertama, (Jakarta: Sinar Grafika,
1995), halaman 225.
7
Ibid., halaman 226.
8
Moeljatno, Op. Cit., halaman 63.

9
Lima unsur atau elemen tersebut di atas pada dasarnya dapat

diklasifikasikan ke dalam dua unsur pokok, yaitu unsur pokok objektif

dan unsur pokok subjektif.

a. Unsur Pokok Objektif.

1. Perbuatan manusia yang termasuk unsur pokok objektif

adalah sebagai berikut:

a) Act ialah perbuatan aktif yang disebut juga perbuatan

positif, dan

b) Ommission, ialah tidak aktif berbuat dan disebut juga

perbuatan negatif.

2. Akibat perbuatan manusia.

Hal itu erat hubungannya dengan kausalitas. Akibat yang

dimaksud adalah membahayakan atau menghilangkan

kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum,

misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik/

harta benda, atau kehormatan.

3. Keadaan-keadaan yang menyertai perbuatan.

Pada umumnya keadaan-keadaan ini dibedakan atas:

a. Keadaan pada saat perbuatan dilakukan; dan

b. Keadaan setelah perbuatan dilakukan.

4. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum.

Sifat dapat dihukum itu berkenaan dengan alasan-alasan

yang membebaskan terdakwa dari hukuman. Sifat melawan

10
hukum bertentangan dengan hukum yakni berkenaan

dengan larangan atau perintah.

b. Unsur Pokok Subjektif

Asas pokok hukum pidana ialah “tak ada hukuman

kalau tak ada kesalahan” (an act does not make guilty unless

the mind is guilty, actus not facit reum nisi mens sit rea).

Kesalahan dimaksud di sini adalah sengaja

(intention/dolus/opzet) dan kealpaan (negligent/schuld).

1. Kesengajaan

Menurut para pakar, ada tiga bentuk kesengajaan, yaitu :

a. Kesengajaan sebagai maksud.

b. Kesengajaan dengan sadar kepastian

c. Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus

eventualis).

2. Kealpaan, adalah bentuk kesalahan yang lebih ringan

dari pada kesengajaan. Ada dua bentuk kealpaan, yaitu:

a. Tidak berhati-hati; dan

b. Tidak menduga-duga akibat perbuatan itu.9

9
Leden Marpaung, Op.Cit., halaman 6-7.

11
2.1.2. Perbuatan atau Tindakan

Perbuatan pidana dapat diwujudkan dengan kelakuan aktif atau

positif, sesuai dengan uraian delik yang mensyaratkannya, misalnya,

mencuri atau menipu. Perbuatan demikian dinamakan delictum

commissionis. Ada juga ketentuan undang-undang yang mensyaratkan

kelakuan pasif atau negatif, seperti Pasal 164-165, 224, 523, 529, dan

631 KUHP. Delik-delik semacam itu terwujud dengan mengabaikan

apa yang diperintahkan oleh undang-undang untuk dilakukan yang

disebut Delictum omissionis. Di samping itu, ada juga delik yang dapat

diwujudkan dengan berbuat negatif yang dinamakan delicta commissionis

per omnissionem commissa. Delik demikian terdapat dalam Pasal 341

KUHP, yaitu seorang ibu dengan sengaja menghilangkan nyawa

anaknya dengan jalan tidak memberikannya makanan. Pasal 194 juga

mengandung delik demikian, yaitu seorang penjaga pintu kereta api yang

dengan sengaja tidak menutup pintu kereta api pada waktunya,

sehingga menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas.

Apakah arti kelakuan atau tingkah laku manusia itu?

Beberapa ahli hukum telah mencoba memberikan pengertian

kelakuan atau tingkah laku tersebut. Pendapat Simons dan Van

Hamel mengenai kelakuan atau tingkah laku dapat dijumpai di

dalam beberapa literatur hukum pidana. Menurut Simons dan Van

Hamel, kelakuan (handeling) positif adalah gerakan otot yang

12
dikehendaki yang diadakan untuk menimbulkan suatu akibat.10

Rumusan “gerakan otot yang dikehendaki” itu ditentang oleh

Pompe. Menurut Pompe, bagaimanapun pentingnya gerakan otot itu jika

dipandang dari sudut psikologi, untuk hukum pidana dan ilmu hukum

pidana, hal itu tidak mempunyai arti. Ada kalanya untuk mengadakan

perbuatan pidana tidak diperlukan adanya gerakan otot, misalnya

Pasal 111 KUHP, yakni mengadakan hubungan dengan negara asing.

Hal itu cukup dilakukan dengan sikap badan atau pandangan mata

tertentu. Menurut Pompe, makna kelakuan dapat ditentukan dengan 3

ayat suatu kejadian yang ditimbulkan oleh seseorang, yang nampak

keluar, dan yang diarahkan kepada tujuan yang menjadi objek hukum.

Moeljatno tidak menyetujui pendapat Pompe tersebut

dengan menyatakan alasan sebagai berikut:

Apakah rumusan Pompe dapat kita terima? Hemat saya


tidak. Sebab dengan demikian titik berat makna pengertian
diletakkan pada kejadian, yaitu akibatnya kelakuan, hal
mana justru kita pisahkan dari pengertian kelakuan. Lain
halnya kalau melihat formularing Mezger, yang di samping
adanya “Willens-grundlage” juga mensyaratkan adanya
“gerakan jasmani beserta akibat-akibatnya”.11

Selanjutnya Moeljatno tidak memasukkan tiga macam aktivitas

ke dalam arti kelakuan, yaitu:

a. Sikap jasmani yang sama sekali pasif, yang tidak


dikehendaki, karena orang itu dipaksa oleh orang lain
(berada dalam daya paksa, Overmacht, compulsion.
b. Gerakan refleks; dan

10
Moeljatno, Op.Cit, halaman 83-87.
11
Ibid., halaman 84.

13
c. Sikap jasmani yang terwujud karena keadaan tak sadar,
seperti mengigau, terhipnotis, dan mabuk.12

Akhirnya Moeljatno berkesimpulan bahwa pendapatnya

sesuai dengan pendapat Mezger, karena ketiga sikap jasmani tersebut

di atas tidak didukung oleh suatu kehendak atau terwujud bukan karena

bekerjanya kehendak. Beliau lebih menyetujui pendapat Vos, karena:

a. Pandangan Vos lebih mudah dipahami; dan


b. Pandangan Vos bukan hanya menyangkut kelakuan
positif, tetapi juga meliputi kelakuan negatif.

2.1.3. Unsur Melawan Hukum


Salah satu unsur perbuatan pidana adalah unsur sifat

melawan hukum. Unsur itu merupakan suatu penilaian objektif terhadap

perbuatan dan bukan terhadap si pembuat. Bilamana suatu perbuatan

itu dikatakan melawan hukum? Orang akan menjawab, apabila perbuatan

itu masuk dalam rumusan delik sebagaimana dirumuskan dalam undang-

undang. Jawaban itu tidak salah. Akan tetapi, perbuatan yang

memenuhi rumusan delik itu tidak senantiasa bersifat melawan hukum.

Mungkin ada yang menghilangkan sifat melawan hukumnya perbuatan

tersebut.

Contoh kasus menghilangkan sifat melawan hukum, yaitu (1) regu

tembak yang menembak mati seorang terhukum yang dijatuhi pidana

mati, memenuhi unsur-unsur Pasal 338 KUHP, akan tetapi perbuatan

mereka tidak melawan hukum karena mereka menjalankan perintah

12
Ibid., halaman 85.

14
jabatan yang sah (Pasal 51 ayat (1) KUHP); (2) jaksa menahan orang

yang dicurigai telah melakukan kejahatan, ia tidak dapat dikatakan

melanggar pasal 333 KUHP karena ia melaksanakan undang-undang

sehingga tidak ada unsur sifat melawan hukum (Pasal 50 KUHP).

Pada umumnya para ahli hukum membagi sifat melawan hukum

itu ke dalam dua macam, yaitu :

a. sifat melawan hukum formil; dan

b. sifat melawan hukum materiel.

Menurut ajaran sifat melawan hukum formil, yang dikatakan

melawan hukum apabila suatu perbuatan telah mencocoki semua

unsur yang termuat dalam rumusan deilik. Jika ada alasan-alasan

pembenar, alasan-alasan tersebut harus juga disebutkan secara tegas

dalam undang-undang. Jadi, menurut ajaran ini melawan hukum sama

dengan melawan undang-undang (hukum tertulis).

Menurut ajaran sifat melawan hukum materiel, di samping

memenuhi syarat-syarat formil, yaitu mencocoki semua unsur yang

tercantum dalam rumusan delik, perbuatan itu harus benar-benar

dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau

tercela. Karena itu pula ajaran ini mengakui alasan-alasan

pembenar di luar undang-undang. Dengan perkataan lain, alasan

pembenar dapat berada pada hukum yang tidak tertulis.

Dari kedua ajaran tentang sifat melawan hukum tersebut

(formil dan materiel) dapat disimpulkan bahwa, apabila suatu perbuatan

15
itu memenuhi rumusan delik, itu merupakan tanda atau indikasi bahwa

perbuatan itu bersifat melawan hukum. Akan tetapi, sifat itu hapus

apabila diterobos dengan adanya alasan pembenar. Mereka yang

menganut ajaran sifat melawan hukum formil berpendapat bahwa alasan

pembenar itu hanya boleh diambil dari hukum positif yang tertulis,

sedangkan penganut ajaran sifat melawan hukum materiil

berpendapat bahwa alasan itu boleh diambil dari luar hukum yang

tertulis.

Moeljatno mengemukakan perbedaan pandangan yang

dengan pandangan formil adalah:

1. Mengakui adanya pengecualian/ penghapusan dari sifat


melawan hukumnya perbuatan menurut hukum yang
tertulis dan yang tidak tertulis, sedangkan pandangan
yang formal hanya mengakui pengecualian yang tersebut
dalam undang-undang hanya mengakui pengecualian
yang tersebut dalam undang-undang saja.
2. Sifat melawan hukum adalah unsur mutlak dari tiap-tiap
perbuatan pidana, juga bagi yang dalam rumusannya
tidak menyebut unsur-unsur tersebut; sedang bagi
pandangan yang formal, sifat tersebut tidak selalu
menjadi unsur deik. Hanya jika dalam rumusan delik
disebutkan dengan nyata-nyata, barulah menjadi unsur
delik. 13

Dengan mengakui bahwa sifat melawan hukum selalu

menjadi unsur perbuatan pidana, ini tidak berarti bahwa karena itu

harus selalu dibuktikan adanya unsur tersebut oleh penuntut umum.

Soal apakah harus dibuktikan atau tidak, adalah tergantung dari

rumusan delik, yaitu apakah dalam rumusan unsur tersebut.

13
Ibid., halaman 134

16
Disebutkan dengan nyata-nyata. Jika dalam rumusan delik

unsur tersebut tidak dinyatakan, maka juga tidak perlu dibuktikan. Pada

umumnya dalam perundang-undangan kita, lebih banyak delik yang tidak

memuat unsur melawan hukum di dalam rumusannya.

Sifat melawan hukum materiel itu dapat dibedakan ke dalam dua

macam fungsi, yaitu :

a. Fungsi negatif; dan

b. Fungsi positif.

Ajaran sifat melawan hukum material dalam fungsinya yang

negatif mengakui kemungkinan adanya hal-hal yang ada di luar undang-

undang mempunyai kekuatan menghapus sifat melawan hukumnya

perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang. Jadi, hal itu

sebagai alasan penghapus sifat melawan hukum.

Pengertian sifat melawan hukum yang materiel dalam

fungsinya yang positif menganggap bahwa suatu perbuatan tetap

sebagai suatu delik, meskipun tidak nyata diancam dengan pidana dalam

undang-undang, apabila bertentangan dengan hukum atau ukuran-

ukuran lain yang ada di luar undang-undang. Jadi, harus diakui

bahwa hukum yang tak tertulis merupakan sumber hukum positif.

2.1.4. Pengertian Kesalahan

Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah

melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat

melawan hukum. Jadi meskipun perbuatannya memenuhi rumusan

17
delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan, hal tersebut belum

memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih

perlu adanya syarat, yaitu bahwa orang yang melakukan perbuatan itu

mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt).

Di sini berlaku apa yang disebut asas “Tiada Pidana Tanpa

Kesalahan” (Keine Strafe ohne Schuld atau Geen straf zonder schuld

atau Nulla Poena Sine Culpa (“culpa” di sini dalam arti luas,

meliputi juga kesengajaan). Asas ini tidak tercantum dalam KUHP

Indonesia atau dalam peraturan lain, namun berlakunya asas tersebut

sekarang tidak diragukan. Akan bertentangan dengan rasa keadilan,

apabila ada orang yang dijatuhi pidana padahal ia sangat sekali tidak

bersalah.

Untuk adanya pemidanaan harus ada kesalahan harus ada

kesalahan pada sipembuat. Asas “tiada pidana tanpa kesalahan” yang

telah disebutkan di atas mempunyai sejarahnya sendiri. Dalam

ilmu hukum pidana dapat dilihat pertumbuhan dari hukum pidana

yang menitikberatkan kepada perbuatan orang beserta akibatnya

(Tatstrafrecht atau Erfolgstrafrecht) ke arah hukum pidana yang berpijak

pada orang yang melakukan tindak pidana (taterstrafrecht), tanpa

meninggalkan sama sekali sifat dari Tatstrafrecht. Dengan demikian

hukum pidana yang ada dewasa ini dapat disebut sebagai ”Tat-

Taterstrafrecht”, ialah hukum pidana yang berpijak pada perbuatan

maupun orangnya. Hukum pidana dewasa ini dapat pula disebut

18
sebagai Sculdstrafrecht, artinya bahwa untuk penjatuhan pidana

disyaratkan adanya kesalahan pada sipembuat.

Dari apa yang telah disebutkan di atas, maka dapat

dikatakan bahwa kesalahan terdiri atas beberapa unsur, ialah:

a. Adanya kemampuan bertanggung jawab


pada sipembuat (Schuldfahigkeit atau
Zurechnungsfahigkeit); artinya keadaan jiwa sipembuat
harus normal.
b. Hubungan batin antara sipembuat dengan perbuatannya,
yang berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa):
ini disebut bentuk-bentuk kesalahan.
c. Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak
ada alasan pemaaf.

Kalau ketiga-tiga unsur ada maka orang yang bersangkutan bisa

dinyatakan bersalah atau mempunyai pertanggung jawab pidana,

sehingga bisa di pidana.14 Dalam pada itu harus diingatkan bahwa

untuk adanya kesalahan dalam arti seluas-luasnya

(pertanggungjawaban pidana), orang yang bersangkutan harus

dinyatakan lebih dulu bahwa perbuatannya bersifat melawan hukum.

2.2. Doktrin Strict Liability dalam Hukum Pidana

Strict Liability adalah pertanggungjawaban tanpa kesalahan

(liability without fault). Hal itu berarti bahwa si pembuat sudah dapat

dipidana jika ia telah melakukan perbuatan sebagaimana yang telah

dirumuskan dalam Undang- Undang tanpa melihat bagaimana sikap batinnya.

Konsep Strict liability merupakan penyimpangan dari asas kesalahan yang

14
Sudarto, op cit. halaman 91.

19
dirumuskan dalam pasal 38 ayat ( 1) RUU KUHP. Bunyi rumusannya adalah

sebagai berikut : “Bagi tindak pidana tertentu, undang-undang dapat

menentukan bahwa seseorang dapat di pidana semata- mata karena telah

dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya

kesalahan”.

Untuk memahami lebih jauh latar belakang dan alasan

dicantumkannya asas strict liability itu ke dalam konsep, dapat dilihat pada

penjelasannya berikut ini.:

Ketentuan dalam ayat ini merupakan suatu perkecualian terhadap asas


tiada pidana tanpa kesalahan. Oleh karena itu, tidak berlaku juga
bagi semua tindak pidana, melainkan hanya untuk tindak pidana
tertentu yang ditetapkan oleh undang-undang. Untuk tindak pidana
tertentu tersebut, pembuat tindak pidananya telah dapat dipidana
hanya karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana oleh
perbuatannya. Di sini kesalahan pembuat tindak pidana dalam
melakukan perbuatan tersebut tidak lagi diperhatikan. Asas ini
dikenal sebagai asas “strict liability”.

Strict liability ini pada awalnya berkembang dalam praktik peradilan di

Inggris. Sebagian hakim berpendapat asas mens- rea tidak dapat

dipertahankan lagi untuk setiap kasus pidana. Adalah tidak mungkin apabila

tetap berpegang teguh pada asas mens-rea untuk setiap kasus pidana dalam

ketentuan undang- undang modern sekarang ini. Oleh karena itu, perlu

dipertimbangkan untuk menerapkan strict liability terhadap kasus-kasus

tertentu. Praktek peradilan yang menerapkan strict liability itu ternyata

mempengaruhi legislatif dalam membuat undang-undang.

Sering dipersoalkan, apakah strict liability itu sama dengan

absolute liability. Mengenai hal itu ada dua pendapat. Pendapat pertama

20
menyatakan strict liability merupakan absolute liability. Alasan atau dasar

pemikirannya ialah seseorang yang telah melakukan perbuatan terlarang

(actus reus) sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang sudah dapat

dipidana tanpa mempersoalkan apakah si pelaku mempunyai kesalahan

(mens rea) atau tidak. Jadi seseorang yang sudah melakukan perbuatan pidana

menurut rumusan undang-undang yang sudah melakukan perbuatan

pidana menurut rumusan undang-undang harus atau mutlak dapat dipidana.

Pendapat kedua menyatakan Strict liability bukan Absolute liability. Artinya,

orang yang telah melakukan perbuatan terlarang menurut undang-undang tidak

harus atau belum tentu dipidana. Kedua pendapat itu antara lain, dikemukakan

juga oleh Smith dan Brian Hogan, yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief.

Ada dua alasan yang dikemukakan oleh mereka, yaitu :

a. Suatu tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan secara Strict


liability apabila tidak ada mens rea yang perlu dibuktikan
sebagai satu-satunya unsur untuk actus reus yang bersangkutan.
Unsur utama atau unsur satu-satunya itu biasanya merupakan
salah satu ciri utama, tetapi sama sekali tidak berarti bahwa
mens rea itu tidak disyaratkan sebagai unsur pokok yang tetap ada
untuk tindak pidana itu. Misalnya, A dituduh melakukan
tindak pidana “menjual daging yang tidak layak untuk
dimakan karena membahayakan kesehatan atau jiwa orang
lain”. Tindak pidana ini menurut hukum Inggris termasuk
tindak pidana yang dapat dipertanggungjawabkan secara strict
liability. Dalam hal itu tidak perlu dibuktikan bahwa A
mengetahui daging itu tidak layak untuk dikonsumsi, tetapi
tetap harus dibuktikan, bahwa sekurang-kurangnya A memang
menghendaki (sengaja) untuk menjual daging itu. Jadi jelas
dalam hal itu Strict liability tidak bersifat absolut.
b. Dalam kasus-kasus strict liability memang tidak dapat
diajukan alasan pembelaan untuk “kenyataan khusus” (particular
fact) yang menyatakan terlarang menurut undang- undang.
Misalnya, dengan mengajukan “reasonable mistake”. Kita
tetap dapat mengajukan alasan pembelaan untuk keadaan-
keadaan lainnya. Contoh lain, misal dalam kasus “mengendarai

21
kendaraan yang membahayakan” (melampaui batas maksimum),
dapat diajukan alasan pembelaan bahwa dalam mengenai
kendaraan itu ia berada dalam keadaan automatism. Misal lain, A
mabuk-mabukan di rumahnya sendiri. Akan tetapi dalam
keadaan tidak sadar (pingsan), A diangkat oleh kawan-
kawannya dan diletakkan di jalan raya. Dalam hal itu memang
ada Strict liability, yaitu berada di jalan raya dalam keadaan
mabuk, tetapi A dapat mengajukan pembelaan berdasarkan
adanya compulsion. Jadi, dalam hal itu pun Strict liability
bukanlah absolute liability.15

Di dalam Ilmu hukum pidana terdapat perbedaan pendapat

mengenai doktrin strict liability. Sebagian pendapat menyatakan bahwa

prinsip “tidak terdapat kesalahan sama sekali” harus dapat diterapkan,

kecuali apabila diterapkan kesalahan besar kepada si pelaku. Dipihak lain

menyatakan bahwa penerapan strict liability harus dibuat persyaratan yang

lebih ketat, tergantung dari kasus-kasus yang bersangkutan.16

Mardjono Reksodiputro dalam salah satu tulisannya memberikan jalan

keluar untuk membenarkan diterapkannya asas strict liability di Indonesia

yang menganut sistem Eropa Continental, yaitu :

Berhubung kita tidak mengenal ajaran Strict liability yang berasal


dari system hukum Anglo-Amerika tersebut, maka sebagai
alasan pembenar dapat dipergunakan ajaran feit materiel yang berasal
dari system hukum Eropa Kontinental. Dalam kedua ajaran ini
atidaklah penting adanya unsur kesalahan. Ajaran strict liability
hanya dipergunakan untuk tindak pidana ringan (regulatory
offences) yang hanya mengancam pidana denda, seperti pada
kebanyakan public welfare offences. Namun,karena kita telah
mengambil alih konsep yang berasal dari system hukum yang
berlainan akarnya kedalam system hukum di Indonesia, maka
memerlukan ketekunan dari para ahli hukum pidana Indonesiauntuk
menjelaskan konsep ini dengan mengkaitkannya pada asas-asas yang

15
Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan Pertama, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2002), halaman 132-133.
16
L. H . C Hulsman, Sistem Peradilan Pidana dalam Perspektif Perbandingan
Hukum Pidana, Penyadur, Soedjono Dirdjosisworo, (Jakarta; CV: Rajawali Pers, 1984), halaman
56.

22
sudah melembaga dalam hukum pidana Indonesia. 17

Alasan senada juga dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief yang


menyatakan:
Karena strict liability ini sangat jauh menyimpang dari asas kesalahan
maka para ahli hukum pidana membatasi penerapannya hanya pada
delik-delik tertentu saja. Kebanyakan strict liability terdapat pada
delik-delik yang diatur dalam undang-undang (statutory offences;
regulatory offences; mala prohibita) yang pada umumnya merupakan
delik-delik terhadap kesejahteraan umum (public welfare offences).
Termasuk regulatory offences misalnya penjualan makanan dan
minuman atau obat-obatan yang membahayakan, pencegahan terhadap
polusi, penggunaan gambar dagang yang menyesatkan dan
pelanggaran lalulintas. 18

Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pertimbangan untuk

menerapkan asas strict liability disamping perbuatannya membahayakan

masyarakat juga pembuktiannya yang sangat sulit. Kriteria membahayakan

masyarakat itu tidak mesti harus tindak pidana yang serius (real crime),

akan tetapi juga meliputi “regulatory offences” seperti pelanggaran lalulintas,

pencemaran lingkungan, makanan, minuman dan obat-obatan yang tidak

memenuhi syarat kesehatan.

Muladi mengatakan bahwa “jika hukum pidana harus digunakan untuk

menghadapi masalah yang demikian rumitnya, sudah saatnya doktrin atas asas

strict liability digunakan dalam kasus-kasus pelanggaran terhadap peraturan

mengenai kesejahteraan umum”. Pembuktian kesalahan dalam

mempertanggungjawabkan pembuat bukan hal yang mudah. Jadi,

perumusan konsep strict liability dalam KUHP Indonesia merupakan jalan

17
Mardjono Reksodiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan,
PusatPelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum. (Jakarta: Universitas Indonesia, 1994),
halaman 32.
18
Barda Nawawi Arief, Op.Cit, halaman 129.

23
pemecahan masalah kesulitan dalam pembuktian kesalahan dan

pertanggungjawaban pidana.19 Lebih jauh Muladi mengatakan bahwa

perumusan strict liability dalam KUHP baru merupakan refleksi dalam menjaga

keseimbangan kepentingan sosial. Dengan demikian, strict liability

merupakan konsep yang digunakan dan diarahkan untuk memberikan

perlindungan sosial dalam menjaga kepentingan masyarakat terhadap aktivitas-

aktivitas yang dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakat, baik kerugian

fisik, ekonomi maupun social cost.20

Selanjutnya Barda Nawawi Arief memberikan kriteria batas- batas

yang harus diperhatikan apabila kita akan menerapkan asas strict liability

yang merupakan penyimpangan dari asas kesalahan. Batas-batas itu adalah:

1) Sejauh mana akibat-akibat yang ditimbulkan oleh


perkembangan delik-delik baru itu mengancam kepentingan
umum yang sangat luas dan eksistensi pergaulan hidup sebagai
totalitas ?
2) Sejauh mana nilai-nilai keadilan berdasarkan Pancasila
membenarkan asas ketiadaan kesalahan sama sekali ? 21

Jadi inti masalahnya menurut Barda Nawawi Arief berkisar pada sejauh

mana makna kesalahan atau pertanggungjawaban pidana itu harus diperluas

dengan tetap mempertimbangkan keseimbangan antara kepentingan individu

dengan kepentingan masyarakat luas. Lebih jauh Barda Nawawi Arief

mengingatkan bahwa pertimbangan harus dilakukan dengan hati-hati sekali,

terlebih melakukan pelompatan yang drastis dari konsepsi kesalahan yang

19
Hamzah Hetrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana,
( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada , 1996), halaman 38.
20
Ibid.
21
Barda Nawawi Arief dan Muladi, Teori dan Kebijakan Pidana,( Bandung: Alumni, 1998),
halaman 141.

24
diperluas sedemikian rupa sampai pada konsepsi ketiadaan kesalahan

yang diperluas sedemikian rupa sampai pada konsepsi ketiadaan kesalahan

sama sekali. Hal yang terakhir itu merupakan akar yang paling dalam dari

nilai- nilai keadilan berdasarkan Pancasila.

Penerapan asas strict liability itu sangat penting terhadap kasus-kasus

tertentu yang menyangkut membahayakan sosial atau anti sosial,

membahayakan kesehatan dan keselamatan, serta moral public. Kasus-kasus

seperti pencemaran lingkungan hidup, perlindungan konsumen, serta yang

berkaitan dengan minuman keras, pemilikan senjata, dan pemilikan obat-

obatan terlarang, merupakan kasus yang sangat memungkinkan untuk

diterapkan strict liability.

Kasus pencemaran lingkungan, seperti kasus yang terjadi di Sidoarjo

sangat sulit bagi aparat penegak hukum untuk membuktikan kesalahan

terdakwa. Hal itu disebabkan untuk membuktikan hubungan kausal antara

perbuatan dengan akibat yang ditimbulkan tidaklah mudah. Karena jaksa tidak

dapat membuktikan kesalahan tersebut, akhirnya terdakwa dibebaskan oleh

hakim. Kesulitan yang serupa itu banyak terjadi pada kasus-kasus

lingkungan yang lain. Padahal, akibat yang ditimbulkan sangat merugikan

masyarakat. Disitu tampak betapa urgennya penerapan asas strict liability.

Jadi penerapan strict liability sangat erat kaitannya dengan ketentuan

tertentu dan terbatas. Agar lebih jelas apa yang menjadi landasan penerapan

strict liability crime, dapat dikemukakan patokan berikut :

1) Perbuatan itu tidak berlaku umum terhadap semua jenis

25
tindak pidana, tetapi sangat terbatas dan tertentu, terutama

mengenai kejahatan anti sosial atau yang membahayakan

sosial.

2) Perbuatan itu benar-benar bersifat melawan hukum

(unlawful) yang sangat bertentangan dengan kehati-hatian yang

diwajibkan hukum dan kepatutan.

3) Perbuatan tersebut dilarang dengan keras oleh undang- undang

karena dikategorikan sebagai aktivitas atau kegiatan yang

sangat potensial mengandung bahaya kepada kesehatan,

keselamatan, dan moral publik (a particular activity

potential danger of public health,safety or moral).

4) Perbuatan atau aktivitas tersebut secara keseluruhan

dilakukan dengan cara melakukan pencegahan yang sangat wajar

(unreasonable precausions).

2.3. Tinjauan tentang Tindak Pidana Lingkungan Hidup

Definisi tindak pidana menurut Moeljatno, adalah perbuatan yang oleh

suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana tertentu bagi barang siapa yang

melanggar larangan tersebut.22 Sementara, disebutkan Simons menyatakan, bahwa

tindak pidana adalah suatu tindakan melanggar hukum yang dilakukan dengan

sengaja ataupun tidak disengaja oleh seseorang yang dapat dipertangungjawabkan

22
Moeljatno, Op.Cit., halaman 54.

26
atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu

perbuatanatau tindakan yang dapat dihukum.23 Berdasarkan kedua pendapat

tersebut, pandangan Simons lebih luas dari pada pandangan Moeljatno dimana

Simons disebutkannya tindakan yang disengaja maupun yang tidak disengaja.

Tindak pidana lingkungan hidup, mencakup perbuatan disengaja maupun

yang tidak disengaja. Definisi tindak pidana lingkungan hidup di dalam Undang-

Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup (UUPPLH) tidak dapat ditemukan secara lengkap. Namun dapat dirujuk

kepada Pasal 97 UUPPLH yang menyebutkan bahwa, “Tindak pidana dalam

undang-undang ini merupakan kejahatan”. Ketentuan pidana sebagaimana diatur

dalam UUPPLH dimaksudkan untuk melindungi lingkungan hidup dengan

memberikan ancaman sanksi pidana. Untuk membahas tindak pidana lingkungan

tersebut perlu diperhatikan konsep dasar tindak pidana lingkungan hidup yang

ditetapkan sebagai tindak pidana umum (delic genus) dan mendasari

pengkajiannya pada tindak pidana khususnya (delic species).

Pengertian tindak pidana lingkungan sebagaimana diatur dalam Pasal 98

UUPPLH sampai dengan Pasal 115 UUPPLH, melalui metode konstruksi hukum

dapat diperoleh pengertian bahwa inti dari tindak pidana lingkungan (perbuatan

yang dilarang) adalah “mencemarkan atau merusak lingkungan”. Rumusan ini

dikatakan sebagai rumusan umum (genus) dan selanjutnya dijadikan dasar untuk

menjelaskan perbuatan pidana lainnya yang bersifat khusus (species), baik dalam

ketentuan yang terdapat dalam UUPPLH maupun dalam ketentuan undang-

23
Ibid.

27
undang lain (ketentuan sektoral di luar UUPPLH) yang mengatur perlindungan

hukum pidana bagi lingkungan hidup. Kata “mencemarkan” dengan

“pencemaran” dan “merusak” dengan “perusakan” adalah memiliki makna

substansi yang sama, yaitu tercemarnya atau rusaknya lingkungan. Tetapi

keduanya berbeda dalam memberikan penekanan mengenai suatu hal, yakni

dengan kalimat aktif dan dengan kalimat pasif (kata benda) dalam proses

menimbulkan akibat.24

Pengertian secara otentik mengenai istilah “pencemaran lingkungan

hidup”, dicantumkan pada Pasal 1 angka 14 UUPPLH yang perumusannya

sebagai berikut: “Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau

dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam

lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu

lingkungan hidup yang telah ditetapkan.”

Adapun unsur dari pengertian “pencemaran lingkungan hidup”

sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 14 UUPPLH, yaitu:

1. masuknya atau dimasukkannya:


- makhluk hidup,
- zat,
- energi,dan atau
- komponen lain

24
Mudzakir, Aspek Hukum Pidana Dalam Pelanggaran Lingkungan, dalam Erman
Rajagukguk dan Ridwan Khairandy (ed), Hukum Lingkungan Hidup di Indonesia, 75 Tahun Prof.
Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, SH.,ML., (Jakarta Universitas Indonesia, 2001, ), halaman 527.

28
ke dalam lingkungan;
2. dilakukan oleh kegiatan manusia;
3. melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.

Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UUPPLH dinyatakan bahwa penentuan

terjadinya pencemaran lingkungan hidup diukur melalui baku mutu lingkungan

hidup. Baku mutu lingkungan berdasarkan Pasal 1 angka (13) UUPPLH, yaitu:

“ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada

atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam

suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup.”.

Baku mutu lingkungan hidup, berdasarkan Pasal 20 ayat (2) UUPPLH,

meliputi:

a. Baku mutu air;

b. Baku mutu air limbah;

c. Baku mutu air laut;

d. Baku mutu udara ambien;

e. Baku mutu emisi;

f. Baku mutu gangguan, dan

g. Baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi.

29
Baku mutu air, baku mutu air laut, baku mutu udara ambien dan baku

mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, diatur

dalam Peraturan Pemerintah. Sedangkan baku mutu air limbah, baku mutu emisi,

baku mutu gangguan, diatur dalam peraturan menteri negara lingkungan hidup.

Penjelasan Pasal 20 ayat (2) UUPPLH, memberikan penjelasan terhadap

baku mutu tersebut, sebagai berikut:

- “baku mutu air” adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup,
zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada, dan/atau unsur
pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air.
- “baku mutu air limbah” adalah ukuran batas atau kadar polutan yang
ditenggang untuk dimasukkan ke media air .
- “baku mutu air laut” adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat,
energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar
yang ditenggang keberadaannya di dalam air laut.
- “baku mutu udara ambien” adalah ukuran batas atau kadar zat,
energi, dan/atau komponen yang seharusnya ada, dan/atau unsur
pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam udara ambien.
- “baku mutu emisi” adalah ukuran batas atau kadar polutan yang
ditenggang untuk dimasukkan ke media udara.
- “baku mutu gangguan” adalah ukuran batas unsur pencemar yang
ditenggang keberadaannya yang meliputi unsur getaran, kebisingan, dan
kebauan.
Pengertian istilah “perusakan lingkungan hidup” secara otentik

dirumuskan dalam Pasal 1 angka 16 UUPPLH, yaitu “tindakan orang yang

menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia,

dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan

lingkungan hidup.”.

30
Adapun unsur-unsur “perusakan lingkungan hidup”, sebagaimana

terkandung dalam Pasal 1 angka 16 UUPPLH, yaitu:

1. adanya tindakan;
2. menimbulkan:
- perubahan langsung atau
- tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayati lingkungan;
3. melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.

Berdasarkan Pasal 21 ayat (1) UUPPLH dinyatakan bahwa untuk

menentukan terjadinya kerusakan lingkungan, ditetapkan kriteria baku kerusakan

lingkungan hidup. Baku kerusakan lingkungan hidup, berdasarkan Pasal 1 angka

15 UUPPLH, yaitu ukuran batas perubahan sifat fisik, kimia, dan/atau hayati

lingkungan hidup yang dapat ditenggang oleh lingkungan hidup untuk dapat tetap

melestarikan fungsinya. Baku kerusakan lingkungan hidup berdasarkan Pasal 21

ayat (2) UUPPLH, meliputi baku kerusakan ekosistem dan kriteria baku

kerusakan akibat perubahan iklim. Ketentuan mengenai kriteria baku kerusakan

ekosistem dan kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim, diatur dalam

peraturan pemerintah.

Kriteria baku kerusakan ekosistem menurut Pasal 21 ayat (3) UUPPLH,

meliputi:

a. kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa;


b. kriteria baku kerusakan terumbu karang;
c. kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan
kebakaran hutan dan/atau lahan;

31
d. kriteria baku kerusakan mangrove;
e. kriteria baku kerusakan padang lamun;
f. kriteria baku kerusakan gambut;
g. kriteria baku kerusakan karst; dan/atau
h. kriteria baku kerusakan ekosistem lainnya sesuai dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi.

Selanjutnya, kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim menurut

Pasal 21 ayat (4) UUPPLH, didasarkan pada parameter antara lain:

a. kenaikan tempratur;
b. kenaikan muka air laut;
c. badai; dan/atau
d. kekeringan.
Penjelasan Pasal 21 ayat (3) UUPPLH memberikan penjelasan terhadap

maksud “produksi biomassa”, “kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi

biomassa”, “kriteria baku kerusakan terumbu karang”, dan “kerusakan lingkungan

hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan”.

- “produksi biomassa” adalah bentuk-bentuk pemanfaatan sumber daya


tanah untuk menghasilkan biomassa.
- “kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa” adalah ukuran
batas perubahan sifat dasar tanah yang dapat ditenggang berkaitan
dengan kegiatan produksi biomassa. Kriteria baku kerusakan tanah untuk
produksi biomassa mencakup lahan pertanian atau lahan budi daya dan
hutan.
- “kriteria baku kerusakan terumbu karang” adalah ukuran batas perubahan
fisik dan/atau hayati terumbu karang yang dapat ditenggang.
- “kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan
dan/atau lahan” adalah pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang
berupa kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan

32
dengan kebakaran hutan dan/atau lahan yang diakibatkan oleh suatu
usaha dan/atau kegiatan.
Memperhatikan, uraian terdahulu tampak bahwa teknik perumusan

tindak pidana pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup dalam UUPPLH

tidak lagi luas dan abstrak, sebagaimana tercantum dalam UUPLH. Rumusan

dalam UUPPLH dapat memberi ruang gerak bagi penegak hukum (hakim) untuk

melakukan inovasi hukum dalam menafsirkan hukum pidana lingkungan hidup

guna merespon perkembangan yang terjadi dalam masyarakat di bidang

lingkungan hidup karena ia (hakim) mempunyai semangat dan kepedulian untuk

menegakkan hukum dan keadilan dalam melindungi lingkungan hidup. Atau, juga

dapat menyulitkan penegak hukum pidana lingkungan, sebab jika aparat

penenegak hukum (termasuk hakim) tidak peka dalam merespon perkembangan

yang terjadi di dalam masyarakat di bidang lingkungan hidup, dapat memberi

peluang bagi penegak hukum untuk menyelewengkan hukum untuk kepentingan

lain (“kepentingan pribadi”).

Perumusan tindak pidana pencemaran dan atau kerusakan lingkungan

berdasarkan UUPPLH, tidak lagi abstrak dan luas sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 (UUPLH), karena UUPPLH telah

memberikan kata kunci bagi tindak pidana dan atau kerusakan lingkungan, yaitu:

“melampaui baku mutu lingkungan yang telah ditetapkan” atau “melampaui

kriteria baku kerusakan lingkungan”.

Ketentuan Pidana dalam UUPPLH diatur dalam Bab XV, yaitu dari Pasal

97 sampai dengan Pasal 120 UUPPLH. Ketentuan Pasal 97 UUPPLH,

33
menyatakan tindak pidana yang diatur dalam ketentuan Pidana UUPPLH,

merupakan kejahatan. Kejahatan disebut sebagai“rechtsdelicten” yaitu tindakan-

tindakan yang mengandung suatu “onrecht” hingga orang pada umumnya

memandang bahwa pelaku-pelakunya itu memang pantas dihukum, walaupun

tindakan tersebut oleh pembentuk undang-undang telah tidak dinyatakan sebagai

tindakan yang terlarang di dalam undang-undang. Kejahatan (rechtsdelicten)

merupakan perbuatan yang tidak adil menurut filsafat, yaitu yang tidak tergantung

dari suatu ketentuan hukum pidana, tetapi dalam kesadaran bathin manusia

dirasakan bahwa perbuatan itu tidak adil, dengan kata lain kejahatan merupakan

perbuatan tercela dan pembuatnya patut dipidana (dihukum) menurut masyarakat

tanpa memperhatikan undang-undang pidana.

Terkait dengan tindak pidana lingkungan yang dinyatakan sebagai

kejahatan (rechtsdelicten), maka perbuatan tersebut dipandang sebagai secara

esensial bertentangan dengan tertib hukum atau perbuatan yang bertentangan

dengan (membahayakan) kepentingan hukum., pelanggaran hukum yang

dilakukan menyangkut pelanggaran terhadap hak atas lingkungan hidup yang baik

dan sehat serta keharusan untuk melaksanakan kewajiban memelihara lingkungan

hidup, mencegah dan menanggulangi kerusakan dan pencemaran lingkungan

hidup.

Jika ditinjau dari perumusan tindak pidana, ketentuan Pasal 98 UUPPLH

– 115 UUPPLH, terdapat tindak pidana materiil yang menekankan pada akibat

perbuatan, dan tindak pidana formil yang menekankan pada perbuatan. Tindak

pidana materiil memerlukan (perlu terlebih dahulu dibuktikan) adanya akibat dalam

34
hal ini terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan.Tindak pidana

formal, tidak memerlukan adanya akibat, namun jika telah melanggar rumusan

ketentuan pidana (ketentuan peraturan perundang-undangan), maka telah dapat

dinyatakan sebagai telah terjadi tindak pidana dan karenanya pelaku dapat dijatuhi

hukuman. Tindak pidana formal dapat digunakan untuk memperkuat sistem tindak

pidana materiil jika tindak pidana materiil tersebut tidak berhasil mencapai target

bagi pelaku yang melakukan tindak pidana yang berskala ecological impact.

Artinya tindak pidana formal dapat digunakan bagi pelaku tindak pidana

lingkungan yang sulit ditemukan bukti-bukti kausalitasnya.Tindak pidana formal

ini tidak diperlukan akibat (terjadinya pencemaran dan atau perusakan

lingkungan) yang timbul, sehingga tidak perlu dibuktikan adanya hubungan sebab

akibat (causality) dari suatu tindak pidana lingkungan. Hal yang perlu diketahui

dalam tindak pidana formal dalam UUPPLH, yaitu, seseorang telah melakukan

pelanggaran atas peraturan perundang-undangan atau izin.

Ketentuan Pasal 98 ayat (2), (3) UUPPLH dan Pasal 99 ayat (2),

(3) UUPPLH, jika di simak lebih lanjut mengandung makna selain termasuk delik

formal juga delik materiil. Pasal 98 ayat (2), (3) UUPPLH dan Pasal 99 ayat (2),

(3) UUPPLH mengatur bahwa seseorang harus bertanggungjawab atas

perbuatannya yang melanggar baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu

air laut, atau kriteria kerusakan lingkungan, sehingga orang luka dan/atau bahaya

kesehatan manusia, atau mengakibatkan orang luka berat atau mati. Dalam kasus

ini harus dibuktikan hubungan sebab akibat antara perbuatan pelanggaran baku

udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria kerusakan

35
lingkungan tersebut dengan terjadinya orang luka dan/atau bahaya kesehatan

manusia atau luka berat atau kematian. Akan tetapi, jika ternyata tidak terbukti

bahwa terjadinya pelanggaran baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu

air laut atau kriteria kerusakan lingkungan menyebabkan orang luka dan atau

bahaya kesehatan manusia atau luka berat atau kematian, maka pelaku dibebaskan

dari tindak pidana materiil, namun ia tetap harus bertanggungjawab atas

perbuatannya karena melanggar tindak pidana formal.

Terkait dengan tindak pidana yang selain mengandung delik formal dan

materiil, Jaksa Penuntut Umum yang menangani kasus tersebut hendaknya

mendakwakan pelaku dengan dakwaan alternatif dan kumulatif. Artinya, jika

dakwaan berdasarkan tindak pidana materiil tidak berhasil dibuktikan, maka

dakwaan berdasarkan tindak pidana formal dapat dilakukan.

Tindak pidana lingkungan hidup dapat pula ditelaah terhadap pasal-pasal

dalam UUPPLH 2009, dimana dalam Pasal 60 disebutkan, “Setiap orang dilarang

melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa

izin”. Kemudian dapat diambil lagi ketentuan dalam Pasal 69 ayat (1) disebutkan

bahwa setiap orang dilarang:

1. Melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau


perusakan lingkungan hidup;
2. Memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan ke
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
3. Memasukkan limbah yang berasal dari luar wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia ke media lingkungan hidup Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
4. Memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
5. Membuang limbah ke media lingkungan hidup;

36
6. Membuang B3 dan limbah B3 ke media lingkungan hidup;
7. Melepaskan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan;
8. Melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar;
9. Menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal;
dan/atau
10. Memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi,
11. merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar.

Berdasarkan Pasal 60 dan Pasal 69 ayat (1) di atas, dapat dipahami

bahwa tindak pidana lingkungan hidup itu merupakan perbuatan yang

dilarang oleh undang-undang dalam konteks “mencemarkan atau merusak

lingkungan”.Mencemarkan atau merusak lingkungan, menurut Alvi Syahrin,25

merupakan genus atau rumusan umum, mejadi species atau rumusan khususnya

dapat dilihat dari berbagai ketentuan di dalam pasal-pasal UUPPLH 2009.

Merujuk pada Pasal 69 ayat (1) di atas, dalam angka 1 disebutkan

”melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan

lingkungan hidup”. Inilah yang disebut dengan genus tindak pidana lingkungan

hidup. Akan tetapi mulai dari angka 2 sampai dengan angka 10 merupakan species

tidank pidana lingkungan hidup.

Sampai pada penafsiran di dalam Pasal 98 ayat (1), Pasal 99 ayat (1),

Pasal 100 ayat (1), Pasal 101, Pasal 102, Pasal 103, Pasal 104, Pasal 105, Pasal

106, Pasal 107, Pasal 108, Pasal 109, Pasal 110, Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113,

Pasal 114, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, dan

25
Alvi Syahrin., Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, (Medan: Sofmedia,
2009), halaman 19.

37
Pasal 120 UUPPLH , merupakan ketentuan yang menggariskan species-species

tindak pidana lingkungan hidup tersebut.

Berdasarkan Pasal 98 sampai dengan Pasal 120 di atas, dapat diketahui

bentuk-bentuk tindak pidana yang dikenal di dalam UUPPLH. Dalam Pasal 98

ayat (1), disebutkan “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan

yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku

mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup”.

Dalam Pasal 99 ayat (1): Setiap orang yang karena kelalaiannya

mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu

air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Pasal 100 ayat (1): Setiap

orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu

gangguan dipidana. Pasal 101: Setiap orang yang melepaskan dan/atau

mengedarkan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan. Pasal

102: Setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin. Pasal 103:

Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan.

Dalam Pasal 104: Setiap orang yang melakukan dumping limbah

dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin. Pasal 105: Setiap orang

yang memasukkan limbah ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Pasal 106: Setiap orang yang memasukkan limbah B3 ke dalam

wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 107: Setiap orang yang

memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan ke dalam

38
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 108: Setiap orang yang

melakukan pembakaran Lahan. Pasal 109: Setiap orang yang melakukan usaha

dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan. Pasal 110: Setiap orang yang

menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal. Pasal 111

ayat (1): Pejabat pemberi izin lingku ngan yang menerbitkan izin lingkungan

tanpa dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL.

Dalam Pasal 112: Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak

melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau

kegiatan terhadap peraturan perundangundangan dan tanpa izin lingkungan. Pasal

113: Setiap orang yang memberikan informasi palsu, menyesatkan,

menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang

tidak benar yang diperlukan dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan

hukum yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Dalam Pasal 114: Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan

yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah. Pasal 115: Setiap orang yang

dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan pelaksanaan

tugas pejabat pengawas lingkungan hidup dan/atau pejabat penyidik pegawai

negeri sipil.

Pasal 116 ayat (1): Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan

oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana

dijatuhkan kepada:

39
a. Badan usaha; dan/atau

b. Orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana

tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam

tindak pidana tersebut.

Semua ketentuan di atas, merupakan bentuk-bentuk tindak pidana di

dalam lingkungan hidup. Bentuk-bentuk tindak pidana lingkungan hidup di atas,

selalu diawali dengan kalimat “setiap orang”, artinya adalah bahwa hanya orang

lah yang dapat dipidana walupun dalam UUPPLH dikenal adanya badan hukum

atau korporasi akan tetapi tidak disebutkan kalimat yang diawali dengan “setiap

badan hukum” atau setiap korporasi”. Logikanya adalah mana bisa mungkin suatu

lembaga organisasi atau badan hukum atau badan usaha atau korporasi dapat

dipidana secara fisiknya, melainkan pengurus-pengurusnya lah yang dapat

dipertanggungjawabkan.

40
BAB 3

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.1. Tujuan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk pengembangan ilmu

pengetahuan, baik secara teoritis maupun praktis. Adapun tujuan penelitian ini

adalah:

1. Untuk mengetahui kedudukan korporasi sebagai subjek hukum (pelaku

tindak pidana) dalam bidang lingkungan hidup.

2. Untuk mengetahui sistem pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi

sebagai pelaku tindak pidana di bidang lingkungan hidup berdasarkan asas

strict liability.

3.2. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk kepentingan teoretis dan

kepentingan praktis.

1. Manfaat teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangan pemikiran bagi ilmu pengetahuan, khususnya hukum pidana

dalam kaitannya dengan pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi

sebagai pelaku tindak pidana di bidang lingkungan hidup berdasarkan asas

strict liability.

41
2. Manfaat praktis, hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat

bagi aparat penegak hukum untuk memperluas wacana mengenai

pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi sebagai pelaku tindak

pidana di bidang lingkungan hidup berdasarkan asas strict liability. Bagi

penentu kebijakan, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan

dalam menetapkan kebijakan mengenai formulasi dan penerapan pidana

dalam rangka melengkapi dan penyempurnaan peraturan perundangan

mengenai pidana.

42
BAB 4

METODE PENELITIAN

Perkembangan dan pengembangan ilmu pengetahuan, mensyaratkan dan

memutlakkan adanya suatu kegiatan penelitian. Tanpa penelitian itu ilmu

pengetahuan tidak dapat hidup dan tidak dapat diyakini kebenarannya. Tetapi

lebih dinamis lagi penelitian juga berfungsi dan bertujuan inventif, yakni terus-

menerus lagi memperbaharui lagi kesimpulan dari teori yang telah diterima

berdasarkan fakta-fakta. Tanpa penelitian ilmu pengetahuan akan berhenti ,

bahkan akan surut kebelakang.26 Oleh karena itu di dalam setiap penelitian

diperlukan suatu tata cara yang nantinya akan digunakan untuk meneliti objek

penelitian. Proses yang demikian inilah yang disebut dengan Metodologi

Penelitian.

Dengan demikian, metodologi merupakan perencanaan penelitian terhadap

objek yang diteliti. Biasanya objek tersebut adalah berupa fakta empiris yang

terjadi dalam masyarakat, yang kemudian akan dikaji secara metodis dan disusun

secara sistematis kemudian diuraikan secara logis dan analitis. Dari semua

penelitian ini akan mendapatkan suatu pemecahan masalah atau mendapatkan

jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tertentu, sehingga hasil yang diharapkan

dapat benar-benar terwujud dalam suatu penyusunan karya ilmiah atas dasar hasil

penelitian.

26
Anton Bakker dan Ahmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta:
Kanisius, 1990), halaman 11.

43
Adapun metode-metode yang digunakan oleh peneliti dalam melakukan

penelitian ini adalah sebagai berikut:

4.1. Metode Pendekatan

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, yaitu penelitian

yang menitikberatkan pada data sekunder. Sebagai penelitian hukum normatif,

maka penelitian ini meliputi penelitian inventarisasi hukum positif, asas-asas

hukum, penemuan hukum in concreto dan sinkronisasi hokum,27 sehingga

pendekatan yang digunakan adalah pendekatan penal. Sebagai pendekatan penal,

maka dapat dikatakan penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis-normatif.

Pendekatan yuridis-normatif digunakan untuk menganalisis permasalahan yang

berkaitan dengan sistem pertanggungjawaban pidana pada tindak pidana

lingkungan hidup, yang dikaji melalui asas Strict Liability.

4.2. Spesifikasi Penelitian

Bertitik-tolak dari judul dan permasalahan yang mendasari penelitian ini,

maka penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif- analitis, yaitu

menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku / hukum positif

dikaitkan dengan teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif dalam

masyarakat. Penelitian deskriptif merupakan penelitian untuk memecahkan

masalah yang ada pada masa sekarang (masalah aktual) dengan mengumpulkan

27
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Yurimetri, cet III,
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), halaman 22-23.

44
data, menyusun, mengklasifikasikan, menganalisis dan mengintepretasikannya. 28

Dengan demikian, dari penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai

sistem pertanggungjawaban pidana pada tindak pidana lingkungan hidup dengan

melakukan reorientasi tentang asas strict liability sebagai bentuk

pertanggungjawaban pidana.

4.3. Metode Pengumpulan Data

Berdasarkan pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka

metode pengumpulan data yang dipergunakan adalah studi kepustakaan atau

dokumen (library research). Studi kepustakaan dilakukan terhadap data sekunder,

yaitu data yang bersumber dari penelitian kepustakaan yaitu data yang diperoleh

tidak secara langsung dari sumber pertamanya, melainkan bersumber dari data-

data yang sudah terdokumenkan dalam bentuk bahan-bahan hukum yang terdiri

dari :

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer terdiri dari Peraturan Perundang-undangan seperti :

- Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana

(Kitab Undang-Undang Hukum Pidana/ KUHP);

- Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindugan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup.

- Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentang AMDAL

28
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2002), halaman 36.

45
b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer, seperti :

a. Buku-buku hukum dan non hukum yang berkaitan dengan objek

yang diteliti.

b. Hasil-hasil penelitian maupun literatur lainnya yang berkaitan

dengan obyek penelitian..

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan mengenai bahan hukum primer dan tersier seperti :

a. Kamus Hukum

b. Kamus Besar Bahasa Indonesia

c. Ensiklopedi, majalah-majalah hukum, jurnal-jurnal hukum, surat

kabar serta membaca berkas-berkas lainnya yang dianggap relevan

dengan penelitian ini, yang kemudian dilakukan inventarisasi

sesuai dengan permasalahan yang dikemukakan.

4.4. Metode Analisis Data

Analisis data dilakukan secara kualitatif kemudian diidentifikasi serta

dilakukan kategorisasi. Analisis kualitatif yaitu metode analisis yang pada

46
dasarnya menggunakan pemikiran logis, analisis dengan logika 29. Dengan induksi,

deduksi, analogilinterpretasi, komparasi dan sejenis itu.30 Metode berpikir yang

digunakan adalah metode deduktif yaitu dengan berdasarkan pada dasar

pengetahuan yang bersifat umum untuk mengkaji persoalan-persoalan yang

bersifat khusus. Dari hasil analisis tersebut kemudian akan ditarik kesimpulan

sebagai jawaban atas permasalahan yang ada.

29
Analisis kualitatif pada dasarnya mempergunakan pemikiran logis analitis (lihat M.
Sommers, Logika, (Bandung: Alumni,1992), halaman 2, demikian pula Jujun S. Suriasumantri,
Filsafat Ilmu-Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), halaman 43.
30
Tatang A. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian, (Jakarta: CV. Rajawali, 1986),
halama 95. Menurut Niles dan Huberman, langkah-langkah ini untuk menganalisis data meliputi
pengumpulan data, reduksi data, display data dan perumusan kesimpulan. (Lihat Esmi Warassih,
“Metodologi Penelitian Bidang Ilmu Humaniora, Kompilasi makalah Pelatihan Metodologi
Penelitian Ilmu Sosial, Bagian Hukum dan Masyarakat”, (Semarang: Fakultas Hukum UNDIP,
1999), halama 51-52. Lihat pula : Matthrew B. Mikles & A. Michael Huberman, Analisis Data
Kualitatif, terj. Tjetjep Rehendy Rohidi, (Jakarta: UI Press, 1992), halaman 15-21.

47
BAB 5

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Kedudukan Korporasi sebagai Subjek Hukum (Pelaku Tindak Pidana)

dalam Bidang Lingkungan Hidup

Korporasi dalam hukum pidana umum, belum dimasukkan sebagai

subyek hukum. Pandangan tentang subyek hukum pidana di bidang hukum

pidana umum yang hanya terbatas pada orang pribadi, tidak dapat dilepaskan

dengan sejarah pembentukan WvS Nederland tahun 1881, dimana pada

dasarnya hanya manusia dapat dipandang sebagai subyek hukum pidana. Hal ni

dapat diketahui dari :

a. Memory van Toelichting Pasal 51 WvS Nederland (Pasal 59


KUHP): suatu strafbaarfeit hanya dapat diwujudkan oleh manusia
dan fiksi tentang badan hukum tidak berlaku dalam bidang hukum
pidana.
b. Uraian delik dalam banyaak pasal WvS selalu dimulai dengan
“Barang Siapa” dan sering disyaratkan adanya berbagai faktor
manusia, seperti sengaja dan lalai, faktor mana hanya dapat
dimiliki oleh manusia.
c. Sistem pidana terdiri dari pidana kekayaan dan pidana badan
hanyalah dapat dikenakan terhadap manusia.
d. Hukum acara pidana tidak mengandung ketentuan tatacara
terhadap korporasi.31

Di Belanda telah terjadi pergeseran pandangan sehubungan dengan

ketentuan tentang korporasi sebagai subyek hukum pidana, sebagaimana yang

diatur dalam Pasal 51 WvS Nederland berdasarkan Undang-undang tanggal 23

31
Andi Zaenal Abidin , Bunga Rampai Hukum Pidana, (Jakarta: Pradnya Paramita,
1993), halaman 51.

48
Mei 1990. Dalam Pasal 51 ditentukan :

1. There are two categories of criminal offender : natural persons and


juristic persons.
2. Where a criminal offence is committed by juristic person,
criminal proceedings may be instituted and such penalties and
measures as are prescribe by law, where applicable, may be
imposed :
a. against the juristic person; or
b. against those who have ordered the commission of the
criminal offense, and against those in control of such unlawful
behavior; or
c. against the persons mentioned under a and b jointly. 32

Manusia bukanlah satu-satunya subyek hukum. Dalam lalu lintas hukum

diperlukan sesuatu hal lain yang bukan manusia yang menjadi subyek hukum. Di

samping orang dikenal juga subyek hukum yang bukan manusia yang disebut

badan hukum. Badan hukum adalah organisasi atau kelompok manusia yang

mempunyai tujuan tertentu yang dapat menyandang hak dan kewajiban. Negara

dan perseroan terbatas misalnya adalah organisasi atau kelompok manusia yang

merupakan badan hukum (Korporasi). Korporasi sebagai pembawa hak yang tak

berjiwa dapat bertindak sebagai pembawa hak manusia, misalnya: dapat

melakukan persetujuan-persetujuan, memiliki kekayaan yang sama sekali terlepas

dari kekayaan anggota-anggotanya.

Bedanya subyek hukum orang dengan subyek hukum badan hukum adalah

bahwa badan hukum itu tidak dapat melakukan perkawinan dan tidak dapat

dipidana penjara. Penentuan atau perluasan badan hukum sebagai subyek hukum

adalah karena sesuatu kebutuhan, terutama dalam soal perpajakan, perekonomian

dan keamanan negara, yang disesuaikan dengan perkembangan peradaban dan

32
Ibid.

49
ilmu pengetahuan manusia. Namun pada hakekatnya, manusialah yang merasakan

atau menderita pemidanaan itu. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa subyek

hukum baik orang maupun korporasi adalah segala sesuatu yang dapat

memperoleh, mempunyai atau menyandang hak dan kewajiban.

Seiring dengan perkembangan masyarakat, dirasa sangat perlu untuk

menempatkan korporasi sebagai subjek tindak pidana agar dapat dibebani

pertanggungjawaban pidana apabila melakukan kejahatan, supaya korporasi

dalam menjalankan usahanya tidak melakukan tindakan-tindakan yang

melanggar ketentuan hukum dan merugikan masyarakat umum. Oleh karena

itu, pengaturan korporasi sebagai subjek tindak pidana berikut

pertanggungjawaban pidananya ditempatkan di luar KUHP agar dapat

mengakomodir pengaturan seperti tersebut di atas, dan tentu saja dengan tetap

mengacu pada KUHP sebagai pedoman umum.

Pada umumnya tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh manusia

atau orang pribadi. Oleh karena itu hukum pidana selama ini hanya mengenal

orang seorang atau kelompok orang sebagai subyek hukum, yaitu sebagai

pelaku dari suatu tindak pidana. Hal ini bisa dilihat dalam perumusan pasal-

pasal KUHP yang dimulai dengan kata “barangsiapa” yang secara umum

mengacu kepada orang atau manusia. Dengan melihat gejala pelanggaran hukum

yang dapat dilakukan oleh suatu badan hukum yang merugikan masyarakat, maka

kedudukan badan hukum mulai diperhatikan tidak saja menjadi subjek hukum

perdata, tetapi juga menjadi subjek dalam hukum pidana, sehingga dapat dituntut

dan dijatuhi hukuman atau sanksi pidana.

50
Secara umum, baik dalam sistem hukum common law maupun civil law,

sangat sulit untuk dapat mengartikan suatu bentuk tindakan tertentu (actus reus

atau guilty act), serta membuktikan unsur mens rea (criminal act). Oleh karena

itu, kejahatan korporasi memiliki karakteristik yang lebih khusus dari pada

kejahatan perorangan, karena kejahatan korporasi lebih bersifat abstrak untuk

menyangka dan menuntut subjek hukum yang melakukan kejahatan korporasi

tersebut.33 Bukan saja tindak pidana dalam UUPPLH 2009 namun seluruh tindak

pidana (crime) dapat diidentifikasi dengan timbulnya kerugian (harm), yang

kemudian mengakibatkan lahirnya pertanggungjawaban pidana atau criminal

liability.

Apabila meninjau pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUH

Pidana) Indonesia yang dianggap sebagai subyek hukum pidana hanyalah orang

perseorangan dalam konotasi biologis yang alami (naturlijkee person). Selain itu,

KUHP juga masih menganut asas sociates delinquere non potest dimana badan

hukum atau korporasi dianggap tidak dapat melakukan tindak pidana. 34 Jadi,

dasar pemikiran yang digunakan oleh KUH Pidana itu adalah bahwa kejahatan

tidak dapat dilakukan oleh sebuah korporasi, karena walaupun tindak pidana
33
Korporasi di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dikenal sebagai subjek hukum yang dapat
dipertanggungjawabkan seperti layaknya manusia alamiah, yang mempertanggungjawabkan itu
adalah orang-orang sebagai pengurus korporasi itu sendiri. Unsur-unsur kejahatan korporasi adalah
sebagai berikut:
1. Tindak pidana korporasi dilakukan oleh pengurus dan atau pegawai yang melaksanakan
pekerjaannya atas nama korporasi.
2. Pertanggung jawaban dibebankan kepada korporasi dan pengurus korporasi secara
langsung atau pun tidak langsung.
3. Motif tindak kejahatan korporasi untuk mencapai kebutuhan, keuntungan dan tujuan
korporasi.
4. Tindak kejahatan korporasi terkait ke dalam bidang hukum pidana, hukum perdata dan hukum
administrasi.
5. Beban pembuktian dan sangsi memiliki karakteristik khusus.
34
Ibid., halaman 70.

51
tersebut dilakukan oleh korporasi, tetapi tindak pidana tetap dilakukan oleh orang

persorangan atau legal persoon.

Perlu diketahui bahwa, pembuat undang-undang dalam merumuskan

delik harus memperhitungkan bahwa manusia melakukan tindakan di dalam

atau melalui organisasi yang dalam hukum keperdataan maupun di luarnya

(seperti dalam hukum lingkungan hidup), yang akan lahir sebagai satu kesatuan

yang diakui serta mendapat perlakuan sebagai badan hukum atau korporasi.

Oleh karena itu, dalam KUH Pidana, pembuat undang-undang dapat merujuk

pada pengurus atau komisaris korporasi apabila mereka berhadapan dengan

situasi seperti itu.

Sehubungan dengan itu, mengingat Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana Indonesia belum mengatur secara tersurat mengenai tindak kejahatan yang

dilakukan oleh korporasi, maka tindak pidana korporasi dalam bidang lingkungan

hidup di Indonesia, dapat menggunakan undang-undang yang lebih khusus, yaitu

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup (UUPPLH 2009).

Pengakuan korporasi sebagai subjek hukum yang dapat

dipertanggungjawabkan secara pidana pada tindak pidana lingkungan hidup

ditegaskan dalam Pasal 1 angka 32 UU No. 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yaitu “Setiap orang adalah

orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang

tidak berbadan hukum”. Apabila diterjemahkan lebih jauh bahwa subjek hukum

dimaksud dalam Pasal 1 angka 32 UUPPLH 2009 ini adalah orang, badan

52
hukum, dan tidak berbadan hukum. Berbadan hukum dan tidak berbadan hukum

maksudnya adalah korporasi. Maka, subjek tindak pidana yang dimaksud dalam

hal ini adalah korporasi. Perlu diketahui, bahwa seseorang atau badan hukum atau

suatu korporasi yang melakukan kejahatan dapat digolongkan ke dalam dua

kategori, yaitu tindakan yang merupakan mala in se atau perbuatan yang

merupakan mala in prohibita. Tindakan yang termasuk mala in se, adalah

perbuatan yang melawan hukum, ada atau tidak ada peraturan yang

melarangnya misalnya mencuri, menipu, membunuh, dan sebagainya.

Sedangkan perbuatan yang merupakan mala in prohibita adalah perbuatan yang

dinyatakan melanggar hukum apabila ada aturan yang melarangnya misalnya

aturan-aturan lalu lintas.35

Selain dari pada korporasi yang diatur sebagai subjek hukum

dalam hukum lingkungan, juga diatur hal-hal yang berkenaan dengan

pertanggungjawaban mutlak, dimana bahwa pertanggungjawaban mutlak ini

tidak diatur di dalam KUH Pidana sebagai lex generalis. Karena hukum pidana

masih menggunakan pertanggungjawaban dengan kesalahan, sementara

pertanggungjawaban mutlak ini menggunakan asas pertanggungjawaban tanpa

kesalahan. Jadi, kesalahan di dalam hukum lingkungan tidak mesti harus

dibuktikan ada atau tidaknya kesalahan si pembuat.

Mengenai hal tersebut di atas, UUPPLH 2009, sebagai lex spesialis,

bukan merupakan suatu penyimpangan asas akan tetapi merupakan

penyempurnaan terhadap asas umum, sebab kejahatan di bidang lingkungan

35
T. Suhaimi., Pertanggungjawaban Pidana Direksi, (Bandung: BooksTerrace &
Library, 2010), halaman 32.

53
hidup tersebut saat ini dikategotikan sebagai kejahatan yang luar biasa (extra

oridnary crime) sehingga penanganannya harus dilakukan luar biasa termasuk

dalam hal pengaturannya ada hal-hal yang dikecualikan dari asas-asas yang

berlaku umum.

Kejahatan korporasi sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009

merupakan rumusan kejahatan korporasi sebagaimana diatur dalam KUHP

Belanda. Jadi korporasi sebagai legal persoon, dapat dipidana berdasarkan UU

No. 32 Tahun 2009. Dalam hal ini, pertanggungjawaban pidana (criminal

liability) dari pimpinan korporasi (factual leader) dan pemberi perintah

(instrumention giver), keduanya dapat dikenakan hukuman secara

berbarengan. Hukuman tersebut bukan karena perbuatan fisik atau nyatanya,

akan tetapi berdasarkan fungsi yang diembannya di dalam suatu perusahaan.

Kejahatan lingkungan yang didefinisikan di dalam undang-undang ini hanyalah

kerusakan lingkungan hidup yang disebutkan di dalam Pasal 1 ayat (16) UU No.

32 Tahun 2009, yaitu Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan yang

menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik

dan/atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi

dalam menunjang pembangunan berkelanjutan.

Korporasi dijadikan sebagai subjek hukum pidana merupakan kebijakan

legislatif dalam produk perundang-undangan dewasa ini. Hal ini sejalan dengan

perkembangan dunia internasional dan pendapat para sarjana yang secara teoritis

mengatakan bahwa korporasi dapat diterima sebagai subjek hukum pidana (bukan

lagi suatu fiksi).

54
5.2. Sistem Pertanggungjawaban Pidana terhadap Korporasi sebagai Pelaku

Tindak Pidana di Bidang Lingkungan Hidup berdasarkan Asas Strict

Liability

Sejalan dengan perkembangan dunia internasional (salah satunya adalah

International Meeting of Experts on the Use of Criminal Sanction in ‘The

Protection of Enviropment, Internationally, Domestically and Regionally,

Portland, Oregon, USA, 19-23 March 1994) menempatkan korporasi sebagai

subjek tindak pidana. Dalam pertemuan dirumuskan mengenai

pertanggungjawaban korporasi (Legal entity liability) yang ditentukan sebagai

berikut:

1. Delik-delik yang dirumuskan dalam generic crimes dan specific


crimes dapat dipertanggungjawabkan terhadap seseorang individu
maupun korporasi, dengan ketentuan bahwa delik itu dilakukan
dalam rangka pelaksanaan kegiatan organisiasi (korporasi) itu;
2. Pertanggungjawaban korporasi terjadi apabila
a. ada kesalahan manajemen dari koorporasi itu dan telah
terjadi generic crimes; atau
b. ada pelanggaran peraturan atau ketentuan undang-undang oleh
korporasi itu.
3. Pertangungjawaban korporasi dikenakan juga pada
pertanggungjawaban perseorangan dan manajer, petugas, agen,
karyawan atau pelayan dan korporasi itu.
4. Pertanggunigjawaban korporasi diterapkan tanpa memperhatikan
apakah orang atau individu yang melakukan perbuatan atas nama
korporasi itu telah diidentifikasikan, telah dituntut atau telah
dipidana atau tidak; dan
5. Semua sanksi, kecuali sanksi pidana penjara, dapat dikenakan kepada
korporasi.36

36
Beberapa Hasil International Meeting Of Expert On The Use Of Criminal Sanction
In the Protections Of Environment, Internationally, Domestically and Regionally, Portland,
Oregon, USA, 19-23 March 1994, diisarikan oleh Barda Nawawi Arief, “Bahan Penataran
Hukum Pidana dan Kriminologi”, Semarang, 3-15 Desember 1995, halaman 6 – 7.

55
Berdasarkan pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa

pertanggungjawaban pidana korporasi dikenakan kepada:

1. Badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain;


2. Mereka yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana atau
yang bertindak sebagai pemimpin dalmn perbuatan itu; atau
3. Kedua-duanya yaitu korporasi dan pengurus.

Pengaturan mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi saat ini

masih berada di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hal ini

dikarenakan tidak dianutnya prinsip korporasi sebagai subjek tindak pidana

dalam KUHP yang berlaku sekarang, karena subjek tindak pidana yang diatur

dalam KUHP sekarang hanyalah manusia atau orang perorangan. Pengaturan

semacam ini lebih lanjut membawa konsekuensi yuridis berupa hanya orang

perorangan saja yang dapat dibebani pertanggungjawaban pidana dan

dijatuhi pidana, sedangkan korporasi tidak. Seiring dengan adanya kebijakan

legislatif yang mencantumkan korporasi sebagai subjek hukum pidana

seyogyanya diatur pula ketentuan secara rinci yang berkaitan dengan

permasalahan sistem pemidanaan (pertanggungjawaban pidana korporasi).

Dalam hukum pidana ada asas kulpabilitas, sehingga harus dibuktikan

bahwa seseorang bisa dipidana apabila memang terbukti bersalah. Artinya tidak

bisa secara otomatis sanksi pidana dialihkan dari corporate crime menjadi

personal crime. Dalam hukum pidana, mutlak harus dibuktikan adanya niat

untuk melakukan perbuatan pidana. Inilah yang dimaksud asas mens rea

(guilty mind) sebagaimana dikatakan oleh Stevanus.“an act is a crime because

the perso committing it intended to do something wrong, This mental state is


56
generally referred to as Mens rea”.37

Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) korporasi pada tindak

pidana lingkungan hidup di Indonesia belum pernah terlaksana. Padahal konsep

ini sangat baik untuk menjaga keberlangsungan hidup masyarakat yang menjadi

korban. Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) dalam UU No. 32 Tahun

2009 tentang Perlindugan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada Bab XII

(Penyelesaian Sengketa Lingkungan), Bagian Ketiga (Penyelesaian Sengketa

Lingkungan Hidup Melalui Pengadilan), Paragraf 2, Pasal 88 secara jelas

mendefinisikan asas strict liability dengan tanggung jawab mutlak. Pasal tersebut

berbunyi: “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya

menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang

menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab

mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.”

Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2009 dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan “bertanggung jawab mutlak”

atau strict liability adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak

penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan ayat ini sebagai lex

specialis dalam gugatan tentang perbuatan melawan hukum pada umumnya.

Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak

lingkungan hidup menurut Pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu, yang

dimaksud dengan “sampai batas waktu tertentu” adalah jika menurut penetapan

peraturan perundang-undangan ditentukan keharusan asuransi bagi usaha dan/atau

37
Rufinus, Hotmaulana Hutauruk, Penanggulangan Kejahatan Korporasi melalui
Pendekatan Restoratif suatu Terobosan Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), halaman 56.

57
kegiatan yang bersangkutan atau telah tersedia dana lingkungan hidup.

Rumusan Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009 secara jelas bersifat

khusus karena unsur-unsurnya telah secara khusus menunjuk kepada hal atau

syarat tertentu sehingga dapat diidentifikasi atau digolongkan ke dalam bentuk

pertanggungjawaban tertentu. Unsur-unsur yang bersifat khusus yang

mencirikan pertanggungjawaban khusus itu ialah strict liability yang ciri

utamanya antara lain timbulnya tanggung jawab langsung dan seketika pada saat

terjadinya perbuatan, sehingga tidak perlu dikaitkan dengan unsur kesalahan

(fault, schuld). Dengan demikian pihak penggugat yang mengalami kerugian

(injured party) masih harus membuktikan bahwa kerugian yang dialami

diakibatkan oleh perbuatan atau kegiatan tergugat (atau para tergugat). Hal ini

diistilahkan dengan pembuktian causal link (kausalitas) atau hubungan sebab

akibat. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan dalam Green Paper on

Remedying Environmental Damage sebagai berikut: “Strict liability or liability

without fault, eases the burden of establishing liability because fault need not to

be established. However, the injured party must still prove that the damage was

caused by some one’s act…”.

Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009 mengandung beberapa unsur penting,

yaitu:

a. Setiap orang

b. yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan

B3,

c. menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang

58
menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup

d. bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi

e. tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan

Berdasarkan unsur-unsur di atas, unsur d) dan e) dapat diinterpretasikan

sebagai suatu pengertian yang tampaknya belum umum dalam perangkat-

perangkat hukum Indonesia. Dalam pengertian (logika) hukum yang umum

bahwa tidaklah mungkin untuk menentukan seseorang bertanggung jawab pada

suatu hal yang merugikan seseorang, sebelum ia dinyatakan bersalah. Artinya

seseorang tidak dapat dibebankan kewajiban bertanggung jawab kecuali kalau

bukan atas dasar kesalahan (fault) sebagaimana dengan prinsip dari “Tortious

Liability”.

Di dalam strict liability, seseorang bertanggung jawab kapanpun

kerugian timbul. Hal ini berarti bahwa: Pertama, para korban dilepaskan dari

beban berat untuk membuktikan adanya hubungan kausal antara kerugiannya

dengan tindakan indivual tergugat; Kedua, para “potential polluter” akan

memperhatikan baik tingkat kehati-hatiannya (level of care), maupun tingkat

kegiatannya (level of activity). Dua hal ini merupakan kelebihan strict liability

dari konsep kesalahan. Oleh karena sifat khasnya yang tegas dan keras, maka

strict liability tidaklah dapat dikenakan kepada semua kegiatan. Hanya kegiatan-

kegiatan tertentu saja yang dapat dikenakan strict liability. Pertimbangan

untuk menentukan ruang lingkup strict liability :

59
1. Tingkat risiko (the degree of risk); dalam hal ini risiko

dianggap tinggi apabila tidak dapat dijangkau oleh upaya yang

lazim, menurut kemampuan teknologi yang telah ada;

2. Tingkat bahaya (the gravity of harm); dalam hal ini bahaya

dianggap sangat sulit untuk dicegah pada saat mulai terjadinya;

3. Tingkat kelayakan upaya pencegahan (the appropriateness);

dalam hal ini si penanggung jawab harus menunjukkan upaya

maksimal untuk mencegah terjadinya akibat yang menimbulkan

kerugian pada pihak lain;

4. Pertimbangan terhadap keseluruhan nilai kegiatannya (value of

activity); dalam hal ini pertimbangan risiko dan manfaat

kegiatan telah dilakukan secara memadai sehingga dapat

diperkirakan bahwa keuntungan yang diperoleh akan lebih besar

jika dibandingkan dengan ongkos-ongkos yang harus dikeluarkan

untuk mencegah timbulnya bahaya.

Strict liability atau absolute liability atau yang disebut juga dengan

pertanggungjawaban tanpa kesalahan (no-fault liability or liability without fault)

adalah prinsip tanggung jawab tanpa keharusan untuk membuktikan adanya

kesalahan. Menurut Barda Nawawi Arief sering dipersoalkan, apakah strict

liability itu sama dengan absolute liability. Mengenai hal ini ada dua pendapat.

Pendapat pertama menyatakan, bahwa strict liability merupakan absolute

liability. Alasan atau dasar pemikirannya ialah, bahwa dalam perkara strict

60
liability seseorang yang telah melakukan perbuatan terlarang (actus reus)

sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang sudah dapat dipidana tanpa

mempersoalkan apakah si pelaku mempunyai kesalahan (mens rea) atau tidak.

Jadi sesorang yang sudah melakukan tindak pidana menurut rumusan undang-

undang harus/mutlak dapat dipidana. 38

Pendapat kedua menyatakan, bahwa strict liability bukan absolute

liability, artinya orang yang telah melakukan perbuatan terlarang menurut

undang-undang tidak harus/belum tentu dipidana. Menurut doktrin strict liability

(pertanggungjawaban mutlak), seseorang sudah dapat dipertanggungjawabkan

untuk tindak pidana tertentu walaupun pada diri orang itu tidak ada

kesalahan (mens rea).39

Dalam lapangan hukum pidana, Prinsip tanggung jawab mutlak (strict

liability), prinsip ini menegaskan pembuktian kesalahan berdasarkan sistem

hukum Eropa Kontinental. Sebagai konsep yang berakar dari sistem hukum Anglo

saxon, pembuktian ini lebih mudah dan cenderung praktis dibandingkan dengan

sistem hukum Eropa Kontinental yang dianut oleh Indonesia. Pemidanaan

haruslah dapat dilihat dari dipertanggungjawabkan perbuatan seseorang. Dengan

demikian pertanggungjawaban pidana selalu selalu tertuju pada pembuat tindak

pidana tersebut. Pertanggungjawaban pidana ditujukan kepada pembuat (dader).

Maka apabila orang yang melakukan tindak pidana maka pertanggungjawaban

haruslah dikenakan kepada para pelaku. Pertanggungjawaban pidana hanya dapat

38
Barda Nawawi Arief , Op.Cit., halaman 40.
39
Ibid.

61
terjadi jika sebelumnya subyek hukum pidana tersebut melakukan tindak pidana.

Sedangkan didalam sistem hukum Common law system, berlaku asas “actus non

est reus, nisi mens sit rea”. Suatu perbuatan tidak dapat dikatakan bersifat

kriminal jika “tidak terdapat kehendak jahat” didalamnya. Dengan demikian,

dalam sistem common law system, bahwa untuk dapat dipertanggungjawabkan

seseorang karena melakukan tindak pidana, sangat ditentukan oleh adanya mens

rea pada diri seseorang tersebut. Dengan demikian, mens rea yang hal ini dapat

kita lihat dari rujukan sistem hukum Civil law, atau dengan kata lain dapat kita

sinkronkan dengan ajaran “guilty of mind”, merupakan hal yang menentukan

pertanggungjawban pembuat tindak pidana. Dari dari sisi ini, penggunaan mens

rea dalam common law sistem, pada prinsipnya sejalan dengan penerapan asas

“tiada pidana tanpa kesalahan” dalam civil law sistem.

Berdasarkan hal di atas, maka secara prinsip penggunaan doktrin “mens

rea” dalam sistem hukum common law sejalan dengan asas “geen straf zonder

schul beginsel” dalam sistem hukum civil law. Maka untuk menentukan kesalahan

dengna menggunakan “tiada pidana tanpa kesalahan yaitu “Geen straf zonder

schuld, actus non facit reum nisi mens sir rea”, (aqua means rea atau “kehendak

jahat”). Prinsip ini kemudian dinegasikan Prinsip tanggung jawab mutlak mutlak

(strict liability). Pembuktian tidak semata-mata dilihat apakah pelaku (dader)

melakukan tindak pidana yang dituduhkan melakukan kesalahan atau tidak, tapi

beban pembuktian langsung mutlak dibebankan terhadap pelaku (dader) terhadap

kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengna sumber daya alam (termasuk

kejahatan lingkungan hidup). Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability)

62
dibebankan kepada perusahaan lingkungan hidup yang nyata-nyata melakukan

kesalahan/kelalaian dalam pengelolaan lingkungan hidup. Dengan demikian,

maka pembuktian menjadi sederhana dan mudah diterapkan. Pembuktian ini

praktis sehingga tidak perlu memenuhi unsur yang dituduhkan kepada pelaku

(dader). Berangkat dari prinsip ini, praktis kejahatan yang berkaitan dengan

lingkungan hidup lebih banyak dibebankan kepada perusahaan. Kasus Lapindo

sebagai contoh merupakan sebuah peristiwa yang menarik. Berlarut-larutnya

pemeriksaan kasus Lapindo dan tarik menarik antara Kepolisian dan Kejaksaan

dan belum juga dinyatakan lengkap (P21), berangkat dari pemahaman penegak

hukum yang tidak menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak mutlak (strict

liability). Sikap ngototnya penegak hukum untuk melihat keterlibatan pelaku

(dader) kemudian terjebak dengan hak-hal yang bersifat teknis yang sulit

pembuktiannya. Padahal dengan menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak

mutlak (strict liability), maka tidak perlu dibuktikan, apakah para pelaku (dader)

melakukan perbuatan itu atau tidak, tapi penegak hukum bisa membuktikan,

bahwa karena kesalahan atau kelalaian dari Lapindo, menyebabkan bencana.

Dengan pembuktian yang sederhana ini, maka kasus Lapindo bisa disidangkan

dimuka hukum. Dan korporasi yang bertanggung jawab dalam bencana Lapindo

dapat dipersalahkan dan pertanggungjawaban pidana.

Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) inilah salah satu solusi

untuk menyelesaikan berbagai kejahatan baik kesengajaan ataupun kelalaian dari

korporasi lingkungan hidup. Prinsip tanggung jawab mutlak mutlak (strict

63
liability) merupakan prinsip yang sederhana dan pembuktian yang mudah

menyebabkan berbagai kejahatan di berbagai dunia dapat diselesaikan.

64
BAB 6

SIMPULAN DAN SARAN

6.1. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikemukakan di atas, maka

kami tim peneliti dapat menyimpulkan hasil penelitian sebagai berikut :

6.1.1. Pengakuan korporasi sebagai subjek hukum yang dapat

dipertanggungjawabkan secara pidana pada tindak pidana lingkungan

hidup ditegaskan dalam Pasal 1 angka 32 UU No. 32 Tahun 2009

tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yaitu

“Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang

berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum”. Apabila

diterjemahkan lebih jauh bahwa subjek hukum dimaksud dalam Pasal

1 angka 32 UUPPLH 2009 ini adalah orang, badan hukum, dan tidak

berbadan hukum. Berbadan hukum dan tidak berbadan hukum

maksudnya adalah korporasi. Maka subjek tindak pidana yang

dimaksud dalam hal ini adalah korporasi.

6.1.2. Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) dalam UU No. 32

Tahun 2009 tentang Perlindugan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

pada Bab XII (Penyelesaian Sengketa Lingkungan), Bagian Ketiga

(Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Pengadilan),

Paragraf 2, Pasal 88 secara jelas mendefinisikan asas strict liability

65
dengan tanggung jawab mutlak. Pasal tersebut berbunyi: “Setiap

orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya

menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3,

dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan

hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa

perlu pembuktian unsur kesalahan.” Selanjutnya dalam penjelasan

Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 dirumuskan

bahwa yang dimaksud dengan “bertanggung jawab mutlak” atau strict

liability adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak

penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan ayat ini

sebagai lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melawan

hukum pada umumnya. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat

dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup

menurut Pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu, yang

dimaksud dengan “sampai batas waktu tertentu” adalah jika menurut

penetapan peraturan perundang-undangan ditentukan keharusan

asuransi bagi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan atau telah

tersedia dana lingkungan hidup.

6.2. Saran

Harus diatur secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan yang

menentukan korporasi sebagai subjek tindak pidana mengenai kapan suatu

66
korporasi dapat dikatakan melakukan tindak pidana. Demikian juga halnya

dengan ketentuan mengenai siapa yang dapat dituntut dan dijatuhi

pidana atas kejahatan yang dilakukan korporasi harus diatur secara

tegas, agar supaya korporasi tidak dapat mengelak atas kejahatan yang

dilakukannya dengan berlindung dibalik pengurus korporasi.

67
1
DAFTAR PUSTAKA

a. Buku-Buku

Amirin, Tatang A. Menyusun Rencana Penelitian. Jakarta: CV. Rajawali,


1986.

Abidin, Andi Zaenal. Bunga Rampai Hukum Pidana. Jakarta: Pradnya


Paramita, 1983.

Arief, Barda Nawawi. Perbandingan Hukum Pidana. Jakarta: PT


Rajagrafindo Persada, 2002.

Atmasasmita, Romli. Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan


Pertama. Jakarta: Yayasan LBH, 1989.

Bakker, Anton., dan Ahmad Charris Zubair. Metodologi Penelitian Filsafat


Yogyakarta: Kanisius, 1990.

Farid, A. Zainal Abidin. Hukum Pidana I, Cetakan Pertama. Jakarta: Sinar


Grafika, 1995.

Hetrik, Hamzah. Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum


Pidana. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada , 1996.

Hulsman, L. H . C, Sistem Peradilan Pidana dalam Perspektif


Perbandingan Hukum Pidana, Penyadur, Soedjono Dirdjosisworo,
(Jakarta; CV: Rajawali Pers.

Hutauruk, Rufinus Hotmaulana. Penanggulangan Kejahatan Korporasi


melalui Pendekatan Restoratif suatu Terobosan Hukum. Jakarta:
Sinar Grafika, 2013.

Mikles, Matthrew B. & A. Michael Huberman. Analisis Data Kualitatif, terj.


Tjetjep Rehendy Rohidi. Jakarta: UI Press, 1992
Moljatno. Asas-asas Hukum Pidana, Cetakan Kedua. Jakarta: Bina Aksara,
1984.

Marpaung, Leden. Unsur-unsur Perbuatan yang Dapat Dihukum (Deik),


Cetakan Pertama. Jakarta: Sinar Grafika, 1991.

Mudzakir, Aspek Hukum Pidana Dalam Pelanggaran Lingkungan, dalam


Erman Rajagukguk dan Ridwan Khairandy (ed), Hukum
Lingkungan Hidup di Indonesia, 75 Tahun Prof. Dr. Koesnadi
viii
Hardjasoemantri, SH.,ML. Jakarta: Universitas Indonesia, 2001.

Muladi dan Barda Nawawi Arief. Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung:
Alumni, 1998.

Reksodiputro, Mardjono. Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan


Kejahatan, PusatPelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum.
Jakarta: Universitas Indonesia, 1994.

Soemitro, Ronny Hanitijo. Metodologi Penelitian Hukum dan Yurimetri,


Cetakan III. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988.

Sommers, M. Logika. Bandung: Alumni, 1992.

Sudarto, Hukum Pidana I, Cetakan kedua. Semarang: Yayasan Sudarto


Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1990.

Suhaimi, T. Pertanggungjawaban Pidana Direksi. Bandung: Books


Terrace & Library, 2010.

Sunggono, Bambang. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo


Persada, 2002.

Suriasumantri Jujun S. Filsafat Ilmu-Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:


Pustaka Sinar Harapan, 1996.

Syahrin, Alvi. Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan. Medan:


Sofmedia, 2009.

Warassih, Esmi. “Metodologi Penelitian Bidang Ilmu Humaniora, Kompilasi


makalah Pelatihan Metodologi Penelitian Ilmu Sosial, Bagian
Hukum dan Masyarakat”. Semarang: Fakultas Hukum UNDIP,
1999.

b. Peraturan Perundang-undangan

Sekretariat Negara RI. Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan


Hukum Pidana (KUHP). Jakarta, 1946.

Sekretariat Negara RI. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang


Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta, 2009.

ix
Sekretariat Negara RI. Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentang
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Jakarta, 1999

c. RUU KUHP :

Direktorat Perundang-undangan, Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-


undangan, Departemen Hukum dan Perundang-undangan, 1999-
2000, Rancangan Undang-undang Republik Indonesia Tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

x
LAMPIRAN

Lampiran 1. Biodata Ketua dan Anggota Peneliti

1.1 Biodata Ketua Peneliti

1.1.1. Identitas Diri

No. Biodata Uraian


1. Nama Lengkap (dengan gelar) Subaidah Ratna Juita, S.H., M.H.

2. Jabatan Fungsional Asisten Ahli / III b


3. Jabatan Struktural Kepala Lab. FH-USM (2012-1016)
4. NIS / NIDN 06557003801049 / 0614127801
5. Tempat dan Tanggal Lahir Sorong / 14 Desember 1978
6. Alamat Rumah Jl. Sidoluhur VII No. 11 Tlogosari
Semarang
7. No. Telepon/Faks./HP 081390896644
8. Alamat e-mail Ratna.shmh@yahoo.co.id
9. Mata Kuliah yang Diampu 1. Hukum Pidana
2. Hukum Pidana Lanjut
3. Kriminologi
4. Hukum dan HAM
5. Kebijakan Kriminal
10. Riwayat Pendidikan S-1 S-2
Magister
Fakultas Hukum-
Hukum-UII
UII Yogyakarta
Yogyakarta

xi
1.1.2. Pengalaman Penelitian dalam 5 Tahun Terakhir

No. Tahun Judul Penelitian Pendanaan

Sumber Jumlah
(Rp)

1. 2009 Penerapan Sanksi Pidana dan USM 2.500.000,-


Tindakan sebagai Sistem
Pemidanaan (Studi Kasus di
Pengadilan Negeri Semarang)

2. 2010 Abortus Provocatus Pada USM 2.500.000,-


Korban Perkosaan dalam
Perspektif Hukum Pidana
(Suatu Kajian Normatif)

Kebijakan Penerapan USM 2.500.000,-


Sanksi Pidana Penjara
terhadap Perempuan Pelaku
Tindak Pidana dalam
Hukum Positif
3. 2011 Implikasi Ketentuan Tindak LPJKD 34.000.000,-
Pidana Korupsi terhadap Semarang
Kontrak Jasa Konstruksi

Implikasi Undang-Undang DEPKUMHAM 35.000.000,-


Nomor 30 Tahun 2004 Kanwil Jawa
berkaitan dengan Tengah
Pemanggilan Notaris 0leh
Penyidik Polri di Jawa
Tengah

Sistem Pemidanaan USM 2.500.000,-

xii
terhadap Pelaku
Pelanggaran Hak Cipta
(Studi Kasus di Pengadilan
Negeri Semarang)

4. 2012 Fungsionalisasi Lembaga USM 2.500.000,-


Praperadilan dalam Perkara
Pidana : Suatu Kajian
Normatif

Perlindungan Hukum bagi USM 2.500.000,-


Konsumen dalam
Perjanjian Pembiayaan
Konsumen (Suatu Kajian
Normatif)

5. 2013 Kebijakan Hukum Pidana USM 2.500.000,-


tentang Formulasi Sanksi
Pidana pada Tindak Pidana
Narkotika : Suatu Kajian
Normatif

Kebijakan Formulasi USM 2.500.000,-


Hukum Pidana Terhadap
Keadilan Restorasi dan
Diversi Menurut UU No.11
Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak

xiii
1.1.3. Pengalaman Pengabdian Kepada Masyarakat dalam 5 Tahun
Terakhir

No. Tahun Judul Pengabdian Kepada Masyarakat Pendanaan

Sumber Jumlah
(Rp)

1. 2009 Penyuluhan Hukum tentang Sosialisasi USM 1.500.000,-


Pemilihan Umum 2009 di Kelurahan
Bugangan Kecamatan Semarang Timur

Penyuluhan Hukum tentang Sosialisasi USM 1.500.000,-


Pemilihan Umum 2009 di Kelurahan
Mlatiharjo Kecamatan Semarang Timur

2. 2010 Penyuluhan Hukum tentang Penghapusan USM 1.500.000,-


Kekerasan Dalam Rumah Tangga di RW. 10
Kelurahan Pudak Payung Kecamatan
Semarang Selatan

Penyuluhan Hukum tentang Penghapusan USM 1.500.000,-


Kekerasan Dalam Rumah Tangga di RT.08
RW. 06 Kelurahan Pedalangan Kecamatan
Banyumanik

3. 2011 Peningkatan Pemahaman Masyarakat USM 1.500.000,-


tentang Perlindungan bagi Anak di
Kelurahan Mlatiharjo, Kecamatan Semarang
Timur, Kota Semarang

Penyuluhan Hukum tentang Tindak Pidana USM 1.500.000,-


Pengguguran Kandungan (Abortus
Provocatus) pada Korban Perkosaan di
Kelurahan Mlatiharjo, Kecamatan Semarang
TimurKota Semarang

xiv
4. 2012 Penyuluhan Hukum tentang Kenakalan Mandiri
Remaja di Kelurahan Lumansari, Kecamatan
Keguh, Kota Kendal

Penyuluhan Hukum tentang Penghapusan Mandiri


Kekerasan dalam Rumah Tangga di
Kelurahan Tembalang, Kecamatan
Tembalang, Kota Semarang

Peningkatan Pemahaman Masyarakat USM 1.500.000,


mengenai Aspek Hukum Pidana tentang
Tawuran Pelajar

5. 2013 Peningkatan Pemahaman Siswa SMA USM 1.500.000,


Kesatrian 2 Semarang mengenai
Pelanggaran Lalu Lintas dan Sanksi
Hukumnya.

Semarang,25 November 2013


Ketua Tim Peneliti,

Subaidah Ratna Juita, S.H., M.H.


NIS: 06557003801049

xv
2.2. Biodata Anggota Peneliti 1

2.2.1. Identitas Diri

1. Nama Lengkap (dengan gelar) : Dewi Tuti Muryati,S.H.,M.H.

2. Jabatan Fungsional : Lektor/ IIIc

3. Jabatan Struktural : -

4. NIS/NIDN : 06557003801003 /0612045801

5. Tempat dan Tanggal Lahir : Kudus, 12 April 1958

6. Alamat Rumah : Jl. Gombel Permai XV/456 Semarang

7. Nomor Telepon/Faks/HP : 081805824489

8. Alamat e-mail : dewitutimuryati@yahoo.com

9. Mata Kuliah yang Diampu : 1. Hukum Lingkungan

2. Hukum Bisnis

3. Penyelesaian Sengketa di Luar


Pengadilan
4. Hukum Perusahaan

5. Hukum Persaingan Usaha

10. Riwayat Pendidikan : 1. S1 Fak. Hukum UNDIP

2. S2 Magister Ilmu Hukum UNDIP

xvi
2.2.2. Pengalaman Penelitian Dalam 5 Tahun Terakhir

No Tahun Judul Penelitian Pendanaan

Sumber Jml. (Rp)

1 2009 Implementasi Kebijakan USM 2.500.000


Lingkungan Hidup Dalam
Aktivitas Industri di Kota
Semarang (sebagai ketua).

2 2010 Efektifitas Pelaksanaan Sunset USM 2.500.000


Policy dalam Meningkatkan
Kepatuhan Wajib Pajak di
Kota Semarang (sebagai
anggota).

3 2010 Penerapan Konsep Tanggung USM 2.500.000


Jawab Sosial Perusahaan
dalam Kebijakan Korporasi
(sebagai ketua).

4 2011 Kajian Normatif Penerapan USM 2.500.000


Fungsi Pajak sebagai
Instrumen Pelindung
Lingkungan Hidup pada
Peraturan Daerah Pajak Air
Tanah dan Pajak Mineral
Bukan Logam dan Batuan di
Kota Semarang (sebagai
anggota).

5 2011 Implikasi Ketentuan Tindak LPJKD 34.000.000


Pidana Korupsi Terhadap Semarang
Kontrak Jasa Konstruksi
(sebagai ketua).

6 2011 Penyelesaian Sengketa Bidang USM 2.500.000


Perdagangan melalui
Mekanisme Nonlitigasi
(sebagai ketua).

7 2011 Pelaksanaan Tugas dan USM 2.500.000


Wewenang Badan

xvii
Penyelesaian Sengketa
Konsumen Berdasarkan UU
No. 8 Th. 1999 tentang
Perlindungan Konsumen
(sebagai anggota).

8 2012 Implikasi dan Konsekuensi USM 2.500.000


Hukum Pembubaran Perseroan
Terbatas dalam Perspektif UU
No. 40 Th. 2007 (sebagai
ketua).

9 2012 Persepsi Dosen mengenai USM 2.500.000


Perlindungan Hak Cipta atas
Buku dan Karya Tulis menurut
UU No. 19 Th. 2002 tentang
Hak cipta di Lingkungan
Universitas Semarang (sebagai
anggota).

2.2.3. Pengalaman Pengabdian Kepada Masyarakat Dalam 5 Tahun


Terakhir

No Tahun Judul Penelitian Pendanaan

Sumber Jml.Rp.

1 2009 Penyuluhan Hukum mengenai USM 1.500.000,


UU No. 23 Th. 2004 tentang -
Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga di Kelurahan
Mlatiharjo, Kecamatan Semarang
Timur, Kota Semarang.

2 2010 Penyuluhan Hukum mengenai Mandiri 1.500.000,


UU No. 23 Th. 2004 tentang -
Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga di Kelurahan
Mlatiharjo, Kecamatan Semarang
Timur, Kota Semarang.

xviii
3 2011 Penyuluhan Hukum mengenai Mandiri 1.500.000,
UU No. 8 Th. 1999 tentang -
Perlindungan Konsumen di
Kelurahan Sambiroto, Kota
Semarang.

4 2011 Konsultasi Hukum tentang USM 1.500.000,


Prosedur Pengajuan Gugatan -
Perceraian di Pengadilan Agama
di Kelurahan Sambiroto, Kota
Semarang.

Semarang, 25 November 2013


Anggota Tim Peneliti 1,

Dewi Tuti Muryati, SH.,MH.


06557003801003

xix
2.3. Biodata Anggota Peneliti 2

2.3.1. Identitas Diri

No. Biodata Uraian


1. Nama Lengkap (dengan gelar) Ani Triwati, S.H.,M.H.
2. Jabatan Fungsional Tenaga Pengajar
3. Jabatan Struktural -
4. NIS / NIDN 06557003801050/0628107401`
5. Tempat dan Tanggal Lahir Semarang, 28 Oktober 1974
6. Alamat Rumah Perum Pedurungan Sari No.45, Jl.Wolter
Monginsidi, Semarang.
7. No. Telepon/Faks./HP 08156545354
8. Alamat e-mail ani_triwati@yahoo.com
9. Mata Kuliah yang Diampu 1. Hukum Acara Pidana
2. Kemahiran Bantuan Hukum
3. Kemahiran Litigasi
10. Riwayat Pendidikan S-1 S-2
Fakultas Hukum- Magister
USM Semarang IlmuHukum
UNDIP

2.3.2. Pengalaman Penelitian dalam 5 Tahun Terakhir

No. Tahun Judul Penelitian Pendanaan


Sumber Jumlah
1. 2011 Perlindungan Hukum Bagi USM Rp.2.500.000,00
Konsumen dalam Perjanjian
Pembiayaan Konsumen
2. 2012 Fungsionalisasi Lembaga USM Rp.2.500.000,00
Praperadilan dalam Perkara
Pidana

xx
2.3.3. Pengalaman Pengabdian Kepada Masyarakat dalam 5 Tahun
Terakhir

No. Tahun Judul Pengabdian Kepada Pendanaan


Masyarakat Sumber Jumlah
1. 2011 Konsultasi Hukum USM Rp.1.500.000,000,-
Prosedur Pengajuan
Gugatan Perceraian di
Pengadilan Agama
2. 2012 Penyuluhan Hukum Mandiri
Mengenai Kekerasan
dalam Rumah Tangga
3. 2012 Penyelesaian Perkara Mandiri
Kekerasan dalam Rumah
Tangga

Semarang,25 November 2013


Anggota Tim Peneliti 2,

Ani Triwati, S.H., M.H.


NIS: 06557003801050

xxi
Lampiran 2. Susunan Organisasi Tim Peneliti dan Pembagian Tugas

No. Nama NIDN Bidang Ilmu Alokasi Uraian Tugas


Waktu
(jam/minggu)
1. Subaidah 0614127801 Ilmu Hukum 12 1. menyiapkan
Ratna Juita, (Hukum jam/minggu rancangan
S.H., M.H. Pidana) usulaan
penelitian
2.mengkoordinir
teknis
Pengumpulan
data
3.mengkoordinir
pengolahan
Data
4.mengkoordinir
penyusunan
laporan hasil
penelitian
5.mempresentasik
an usulan
dan hasil
penelitian

2. Dewi Tuti 0612045801 Ilmu Hukum 12 1.membantu


Muryati,S.H., (Hukum jam/minggu menyiapkan
M.H. Lingkungan) rancangan
usulan
penelitian
2.menyiapkan
sarana prasarana
Penelitian
3.bersama-sama
dengan ketua
mengumpulkan
dan mengolah
data penelitian
4.bersama-sama
dengan ketua
menyusun
laporan hasil
penelitian
3. Ani Triwati, 0628107401 Ilmu Hukum 12 1.membantu
xxii
S.H., M.H. ` (Hukum jam/minggu menyiapkan
Acara rancangan
Pidana) usulan
penelitian
2.menyiapkan
sarana prasarana
Penelitian
3.bersama-sama
dengan ketua
mengumpulkan
dan mengolah
data penelitian
4.bersama-sama
dengan ketua
menyusun
laporan hasil
penelitian

xxiii
Lampiran 3. Laporan Pengeluaran Biaya Penelitian

LAPORAN PENGELUARAN BIAYA PENELITIAN


PENELITIAN DOSEN PEMULA TAHUN 2013
“ SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PADA TINDAK
PIDANA LINGKUNGAN HIDUP
(SUATU REORIENTASI TENTANG ASAS STRICT LIABILITY ”

1. Honor

Honor Jumlah diterimakan (Rp) Bukti Fisik


(sudah di potong pph 5% dari Rp
2.500.000,00)
Ketua 1.425.000,00 K.01

Anggota 1 475.000,00 K.02

Anggota 2 475.000,00 K.03

Sub Jumlah 2.375.000,00

2. Bahan Habis Pakai dan Peralatan Penunjang

Material Justifikasi Pemakaian Kuantitas Harga Satuan Harga


(Rp) Peralatan
Penunjang
(Rp)
Proposal Memperbanyak 10 eks 35.000,00 350.000,-
proposal (hardcopy)
Dokumen/data Dokumen untuk bahan 2.000 lbr 250,00 500.000,-
penelitian analisis
Laporan Akuntabilitas 20 eks 75.000,00 1.500.000,-
Penelitian administrasi laporan
Bahan Untuk disampaikan 20 x 50 = 150,00 150.000,-
Presentasi dalam forum seminar 1000
seminar hasil hasil lembar
penelitian
Buku Untuk proposal dan 15 judul 100.000,00 1.500.000,-
referensi penelitian
xxiv
Tinta Refil Untuk mencetak 2 tabung 350.000,- 700.000,-
proposal,
(toner)
instrumen,dokumentasi
data,laporan
penelitian,dan lain-lain
Tinta Refil Untuk mencetak 4 botol 50.000,- 200.000,-
(desk-jet) proposal, dokumentasi
data, laporan
penelitian, dan lain-
lain
Kertas HVS Untuk pembuatan 4 rim 40.000,- 160.000,-
proposal, dokumentasi
data,laporan penelitian
dan lain-lain
Compact disc Untuk merekam data 1 pak 150.000,- 150.000,-
dan dokumen lain
ATK lain Untuk tulis menulis LS 750.000,- 750.000,-
(klip,pensil dan keperluan
penghapus, pengadminisitrasian
spidol, dokumen penelitian
blocknote
Sub 5.960.000,00
Jumlah

3. Perjalanan Dinas

Material Justifikasi Perjalanan Kuantitas Harga Satuan Jumlah


(Rp) Harga
(Rp)
Perjalanan Pembelian literatur 3 kali 625.000,- 1.875.000,-
Sub Jumlah 1.875.000,-

4. Lain-lain

Kegiatan Justifikasi Kuantitas Harga Jumlah


Satuan Harga
(Rp) (Rp)
Pengumpulan dan Untuk memperoleh 24 hari 10.000,- 240.000,-
analisis data hasil, kerja
pembahasan, dan
simpulan
penelitian

xxv
Pengetikan laporan Draft laporan yang 100 lbr 2.000,- 200.000,-
penelitian sudah selesai,
diketik menjadi
laporan final
Penyelenggaraan Konsumsi,tenaga 50 pax 20.000,- 1.000.000,-
seminar pembantu dan lain-
lain
Publikasi Jurnal 725.000,- 725.000,-
Ilmiah
Sub Jumlah 2.165.000,-
Total Pengeluaran 12.500.000,-

5. Rekapitulasi

Total Pengeluaran 12.500.000,00

Biaya disetujui 12.500.000,00

Saldo 0,00

Semarang, 25 November 2013


Ketua,

Subaidah Ratna Juita, S.H., M.H.


NIS.06557003801049

xxvi
Lampiran 4. Luaran (Artikel)

ASAS STRICT LIABILITY DALAM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA


PADA KORPORASI PELAKU TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP

Subaidah Ratna Juita, Dewi Tuti Muryati, Ani Triwati.


Dosen Fakultas Hukum Universitas Semarang

ABSTRAK

Pengaturan mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi sebagai


pelaku tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana yang terdapat dalam
UUPPLH merupakan kebijakan legislasi yang memberikan legitimasi bahwa
korporasi dapat dipertanggungjawabkan semata karena telah melakukan
perbuatan melawan hukum tanpa memperhatikan kesalahannya. Oleh karena itu
apabila korporasi melakukan tindak pidana lingkungan hidup sehingga
mengakibatkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup yang berdampak
membahayakan dan merugikan bagi pihak lain, maka berdasarkan ketentuan yang
terdapat dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UUPPLH) korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara
pidana dengan penerapan asas strict liability. Penelitian ini merupakan penelitian
hukum normatif, yaitu penelitian yang menitikberatkan pada data sekunder.
Sebagai penelitian hukum normatif, maka penelitian ini meliputi penelitian
inventarisasi hukum positif, asas-asas hukum, penemuan hukum in concreto dan
sinkronisasi hukum, sehingga pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
yuridis-normatif, yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan
kaedah-kaedah atau norma-norma hukum positif. Dengan demikian, pendekatan
yuridis-normatif dalam penelitian digunakan untuk menganalisis permasalahan
yang berkaitan dengan penerapan asas strict liability untuk pertanggungjawaban
korporasi sebagai pelaku tindak pidana di bidang lingkungan hidup.

Kata kunci: pertanggungjawaban korporasi, asas strict liability, tindak


pidana lingkungan hidup.

xxvii
ABSTRACT

Arrangement hits penal's accountability to corporation as agent acts penal


environment as it were that available in UUPPLH constitutes legislation policy
that gives legitimasi that corporation that accountability can one eye because
have done conduct contempts of court irregardless its fault. Therefore if
corporation does to act pidana environment so begets sacrilege or impacted
environment impairment jeopardizes and disadvantaging to side any other,
therefore bases rule that exists in UU No. 32 Years 2009 about protection and
Environment Managements (UUPPLH) corporation that accountability can
penal's with implemented base strict liability. This research constitute
normatif's law research, which is research which emphasize on secondary data.
As observational as normatif's law, therefore this research cover stocktaking
research sentences positive, jurisdictional grounds, in concreto's jurisdictional
find and law synchronization, so approaching that is utilized is normatif's judicial
formality approaching, which is research which is focused for study norms's
implement or positive law norms. Thus, normatif's judicial formality approaching
in observational being utilized for menganalisis about problem which gets
bearing with implemented base strict liability for corporation accountability as
agent acts pidana at environment area.

Key word: corporation accountability, ground strict liability , environment


criminal act.

xxviii
PENDAHULUAN Memperhatikan dampak
negatif dari pembangunan dan
Pertanggungjawaban pidana
modernisasi, khususnya
pada korporasi akan mendapat
munculnya tindak pidana yang
kesulitan karena melekat pada sifat
dilakukan oleh korporasi dalam
dasar manusia alamiah seperti
bidang lingkungan hidup, wajar jika
kesengajaan dan kealpaan, tingkah
pusat perhatian penegakan hukum
laku material, pidana dan tindakan.
ditujukan pada upaya
Pemidanaan terhadap korporasi juga
penanggulangannya. Salah satu
dapat merugikan orang yang tidak
penanggulangannya yang masih
bersalah dan kemungkinan kesulitan
dipermasalahkan adalah
menentukan antara batas pengurus
penggunaan sarana hukum pidana.
dan korporasi . Sementara itu
Permasalahan tersebut meliputi
perkembangan kehidupan
subjek korporasi yang masih
bermasyarakat terutama dalam
belum diakui secara tegas dalam
bidang perekonomian telah
hukum pidana. Dan kalaupun
melahirkan korporasi-korporasi
korporasi diakui sebagai pelaku
dengan semangat kapitalisme yang
tindak pidana, bagaimana sistem
bertujuan memperoleh keuntungan
pertanggungjawaban pidananya
sebesar-besarnya. Akibatnya aspek
mengingat korporasi bukanlah
viktimologis dari kejahatan korporasi
manusia yang mempunyai kesalahan,
sangatlah besar yang dapat meliputi
baik berupa kesengajaan maupun
kerugian terhadap negara,
kealpaan.
masyarakat, konsumen, perusahaan
saingan, karyawan, pemegang saham Di samping permasalahan
mapun biaya penegakan hukum yang tersebut di atas (pertanggungjawaban
mahal. pidana korporasi /corporate
liability), permasalahan dalam

viii
bentuk lain adalah pembuktian dengan adanya perkembangan
bentuk-bentuk pelanggaran di masyarakat, dituntut adanya
bidang lingkungan hidup yang pengakuan terhadap korporasi
sangat sulit dan kompleks. Untuk sebagai pelaku dan dapat
mengatasi kesulitan dan dipertanggungjawabkan dalam
kompleksitas pembuktian tersebut hukum pidana (corporate liability).
muncul alternatif lain dalam hal Terhadap sistem
pertanggungjawaban pidana, yakni pertanggungjawaban pidana,
adanya asas pertanggungjawaban muncul asas strict liability sebagai
pidana terbatas/ketat (strict pengecualian dari asas kesalahan.
liability) sebagai pengecualian dari
Munculnya sistem
asas kesalahan. Dalam asas strict
pertanggungjawaban pidana seperti
liability si pembuat sudah dapat
tersebut di atas tentu saja
dipidana apabila ia telah melakukan
menimbulkan pertanyaan yang
perbuatan sebagaimana dirumuskan
berkaitan dengan asas kesalahan
dalam undang- undang tanpa
yang dianut hukum pidana selama
melihat bagaimana sikap
ini. Harus diakui bahwa asas
batinnya. Asas itu sering diartikan
kesalahan merupakan asas yang
secara singkat sebagai
sangat fundamental dalam hukum
pertanggungjawaban tanpa
pidana sehingga asas itu sangat
kesalahan (liability without fault).
penting dan dianggap adil dalam
Dengan demikian, asas strict mempertanggungjawabkan pelaku
liability di atas yakni mengenai delik. Dikatakan demikian, karena
subjek delik dan mengenai asas pidana hanya dapat dijatuhkan
kesalahan, di dalam kepada pelaku delik yang
perkembangannya mengalami mempunyai kesalahan dan mampu
perluasan. Terhadap subjek delik, bertanggung jawab. Namun di pihak

ix
lain, karena kemajuan ilmu korporasi sebagaimana dalam Pasal
pengetahuan dan teknologi, 59 KUHP tidak cukup untuk
tampaknya penyimpangan terhadap mengadakan represi terhadap tindak
asas kesalahan itu juga akan pidana yang dilakukan korporasi.
berpengaruh terhadap hukum pidana.
Bertolak dari hal tersebut jelas
Apabila penyimpangan asas itu
cakupannya sangat luas, guna
harus diterapkan, akan timbul
mencegah luasnya cakupan tersebut,
pertanyaan bagaimanakah
dan untuk memudahkan pembahasan
perkembangan sistem
maka perlu dilakukan pembatasan
pertanggungjawaban pidana di era
permasalahan. Adapun permasalahan
sekarang ini, bagaimana sistem
dalam penelitian ini dapat
pertanggungjawaban pidana dalam
dirumuskan sebagai berikut:
hukum pidana nasional,
pertanggungjawaban pidana dalam 1. Bagaimanakah kedudukan
hukum pidana nasional yang akan korporasi sebagai subjek hukum
datang. (pelaku tindak pidana) dalam
bidang lingkungan hidup?
Oleh karena itu hukum pidana
harus responsif untuk 2. Bagaimana sistem
menanggulangi tindak pidana di pertanggungjawaban pidana
bidang lingkungan hidup yang terhadap korporasi sebagai pelaku
dilakukan oleh korporasi dengan tindak pidana di bidang
menempatkannya sebagai subjek lingkungan hidup berdasarkan
hukum dalam hukum pidana yang asas strict liability?
dapat dipertanggungjawabkan
Berdasarkan pertimbangan,
sehingga memberikan efek jera
bahwa masih sedikit kajian atau
(deterent effect). Harus diakui
penelitian dan literatur mengenai
pemidanaan terhadap pengurus
sistem pertanggungjawaban pidana
x
terhadap korporasi dalam bidang pada data sekunder. Sebagai
lingkungan hidup berdasarkan penelitian hukum normatif, maka
perspektif pendekatan asas strict penelitian ini meliputi penelitian
liability sebagai alternatif bentuk inventarisasi hukum positif, asas-
pertanggungjawaban pidana oleh asas hukum, penemuan hukum in
korporasi (corporate liability) concreto dan sinkronisasi hukum,
sebagai pelaku tindak pidana di sehingga pendekatan yang digunakan
bidang lingkugan hidup, sekaligus adalah pendekatan penal. Sebagai
sebagai respon atas keadaan di atas pendekatan penal, maka dapat
dengan tujuan melengkapi literatur dikatakan penelitian ini
maka penelitian ini mendapatkan menggunakan pendekatan yuridis-
urgensinya. Penelitian yang normatif. Pendekatan yuridis-
komprehensif, dan dilakukan normatif digunakan untuk
berdasarkan kajian normatif ini menganalisis permasalahan yang
diharapkan dapat memberikan berkaitan dengan sistem
gambaran yang jelas mengenai asas pertanggungjawaban pidana pada
strict liability sebagai alternatif tindak pidana lingkungan hidup,
bentuk pertanggungjawaban pidana yang dikaji melalui asas Strict
oleh korporasi (corporate liability) Liability.
sebagai pelaku tindak pidana di
Spesifikasi Penelitian
bidang lingkungan hidup.
Bertitik-tolak dari judul dan
permasalahan yang mendasari
METODE PENELITIAN
penelitian ini, maka penelitian ini
Metode Pendekatan termasuk jenis penelitian deskriptif-
Penelitian ini merupakan analitis, yaitu menggambarkan
penelitian hukum normatif, yaitu peraturan perundang-undangan yang
penelitian yang menitikberatkan berlaku / hukum positif dikaitkan

xi
dengan teori hukum dan praktek yaitu data yang bersumber dari
pelaksanaan hukum positif dalam penelitian kepustakaan yaitu data
masyarakat. Penelitian deskriptif yang diperoleh tidak secara langsung
merupakan penelitian untuk dari sumber pertamanya, melainkan
memecahkan masalah yang ada pada bersumber dari data-data yang sudah
masa sekarang (masalah aktual) terdokumenkan dalam bentuk bahan-
dengan mengumpulkan data, bahan hukum yang terdiri dari :
menyusun, mengklasifikasikan, a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer terdiri dari
menganalisis dan
Peraturan Perundang-undangan
mengintepretasikannya.40 Dengan
seperti :
demikian, dari penelitian ini dapat
- Undang-Undang No. 1
memberikan gambaran mengenai
Tahun 1946 tentang
sistem pertanggungjawaban pidana
Peraturan Hukum Pidana
pada tindak pidana lingkungan hidup
(Kitab Undang-Undang
dengan melakukan reorientasi
Hukum Pidana/ KUHP);
tentang asas strict liability sebagai
- Undang-Undang No. 32
bentuk pertanggungjawaban pidana.
Tahun 2009 tentang
Perlindugan dan Pengelolaan
Metode Pengumpulan Data
Lingkungan Hidup.
Berdasarkan pendekatan yang
- Peraturan Pemerintah No. 27
dipergunakan dalam penelitian ini,
Tahun 1999 tentang
maka metode pengumpulan data
AMDAL
yang dipergunakan adalah studi
b. Bahan Hukum Sekunder
kepustakaan atau dokumen (library
Bahan hukum sekunder adalah
research). Studi kepustakaan
bahan yang memberikan
dilakukan terhadap data sekunder,
penjelasan mengenai bahan
40
Bambang Sunggono, Metode
Penelitian Hukum (Jakarta: PT. Raja hukum primer, seperti :
Grafindo Persada, 2002), halaman 36.
xii
- Buku-buku hukum dan non Metode Analisis Data
hukum yang berkaitan Analisis data dilakukan secara
dengan objek yang diteliti. kualitatif kemudian diidentifikasi
- Hasil-hasil penelitian serta dilakukan kategorisasi. Analisis
maupun literatur lainnya kualitatif yaitu metode analisis yang
yang berkaitan dengan obyek pada dasarnya menggunakan
penelitian.. pemikiran logis, analisis dengan
c. Bahan Hukum Tersier logika . Dengan induksi, deduksi,
Bahan hukum tersier adalah analogilinterpretasi, komparasi dan
bahan yang memberikan sejenis itu. Metode berpikir yang
petunjuk maupun penjelasan digunakan adalah metode deduktif
mengenai bahan hukum primer yaitu dengan berdasarkan pada dasar
dan tersier seperti : pengetahuan yang bersifat umum
- Kamus Hukum untuk mengkaji persoalan-persoalan
- Kamus Besar Bahasa yang bersifat khusus. Dari hasil
Indonesia analisis tersebut kemudian akan
- Ensiklopedi, majalah- ditarik kesimpulan sebagai jawaban
majalah hukum, jurnal-jurnal atas permasalahan yang ada.
hukum, surat kabar serta
HASIL DAN PEMBAHASAN
membaca berkas-berkas
lainnya yang dianggap
Kedudukan Korporasi sebagai
relevan dengan penelitian ini,
Subjek Hukum (Pelaku Tindak
yang kemudian dilakukan
Pidana) dalam Bidang Lingkungan
inventarisasi sesuai dengan
Hidup
permasalahan yang
dikemukakan.
Korporasi dalam hukum pidana
umum, belum dimasukkan sebagai
subyek hukum. Pandangan tentang
xiii
subyek hukum pidana di bidang dikenakan terhadap
hukum pidana umum yang hanya manusia.
terbatas pada orang pribadi, tidak d. Hukum acara pidana
dapat dilepaskan dengan sejarah tidak mengandung
pembentukan WvS Nederland tahun ketentuan tatacara
1881, dimana pada dasarnya hanya terhadap korporasi.
manusia dapat dipandang sebagai
subyek hukum pidana. Hal ni dapat Manusia bukanlah satu-satunya
diketahui dari : subyek hukum. Dalam lalu lintas
a. Memory van Toelichting hukum diperlukan sesuatu hal lain
Pasal 51 WvS Nederland yang bukan manusia yang menjadi
(Pasal 59 KUHP): suatu subyek hukum. Di samping orang
strafbaarfeit hanya dapat dikenal juga subyek hukum yang
diwujudkan oleh manusia bukan manusia yang disebut badan
dan fiksi tentang badan hukum. Badan hukum adalah
hukum tidak berlaku dalam organisasi atau kelompok manusia
bidang hukum pidana. yang mempunyai tujuan tertentu
b. Uraian delik dalam banyaak yang dapat menyandang hak dan
pasal WvS selalu dimulai kewajiban. Negara dan perseroan
dengan “Barang Siapa” dan terbatas misalnya adalah organisasi
sering disyaratkan adanya atau kelompok manusia yang
berbagai faktor manusia, merupakan badan hukum
seperti sengaja dan lalai, (Korporasi). Korporasi sebagai
faktor mana hanya dapat pembawa hak yang tak berjiwa dapat
dimiliki oleh manusia. bertindak sebagai pembawa hak
c. Sistem pidana terdiri dari manusia, misalnya: dapat melakukan
pidana kekayaan dan pidana persetujuan-persetujuan, memiliki
badan hanyalah dapat kekayaan yang sama sekali terlepas
xiv
dari kekayaan anggota-anggotanya. supaya korporasi dalam menjalankan
Bedanya subyek hukum orang usahanya tidak melakukan tindakan-
dengan subyek hukum badan hukum tindakan yang melanggar ketentuan
adalah bahwa badan hukum itu tidak hukum dan merugikan masyarakat
dapat melakukan perkawinan dan umum. Oleh karena itu, pengaturan
tidak dapat dipidana penjara. korporasi sebagai subjek tindak
Penentuan atau perluasan badan pidana berikut pertanggungjawaban
hukum sebagai subyek hukum adalah pidananya ditempatkan di luar
karena sesuatu kebutuhan, terutama KUHP agar dapat mengakomodir
dalam soal perpajakan, pengaturan seperti tersebut di atas,
perekonomian dan keamanan negara, dan tentu saja dengan tetap mengacu
yang disesuaikan dengan pada KUHP sebagai pedoman
perkembangan peradaban dan ilmu umum.
pengetahuan manusia. Namun pada Pada umumnya tindak pidana
hakekatnya, manusialah yang hanya dapat dilakukan oleh
merasakan atau menderita manusia atau orang pribadi. Oleh
pemidanaan itu. Dengan demikian karena itu hukum pidana selama ini
dapat dikatakan, bahwa subyek hanya mengenal orang seorang atau
hukum baik orang maupun korporasi kelompok orang sebagai subyek
adalah segala sesuatu yang dapat hukum, yaitu sebagai pelaku dari
memperoleh, mempunyai atau suatu tindak pidana. Hal ini bisa
menyandang hak dan kewajiban. dilihat dalam perumusan pasal-pasal
Seiring dengan perkembangan KUHP yang dimulai dengan kata
masyarakat, dirasa sangat perlu “barangsiapa” yang secara umum
untuk menempatkan korporasi mengacu kepada orang atau manusia.
sebagai subjek tindak pidana agar Dengan melihat gejala pelanggaran
dapat dibebani pertanggungjawaban hukum yang dapat dilakukan oleh
pidana apabila melakukan kejahatan, suatu badan hukum yang merugikan
xv
masyarakat, maka kedudukan badan menuntut subjek hukum yang
hukum mulai diperhatikan tidak saja melakukan kejahatan korporasi
menjadi subjek hukum perdata, tetapi tersebut. Bukan saja tindak pidana
juga menjadi subjek dalam hukum dalam UUPPLH 2009 namun seluruh
pidana, sehingga dapat dituntut dan tindak pidana (crime) dapat
dijatuhi hukuman atau sanksi pidana. diidentifikasi dengan timbulnya
Korporasi dijadikan sebagai kerugian (harm), yang kemudian
subjek hukum pidana merupakan mengakibatkan lahirnya
kebijakan legislatif dalam produk pertanggungjawaban pidana atau
perundang-undangan dewasa ini. Hal criminal liability.
ini sejalan dengan perkembangan Apabila meninjau pada Kitab
dunia internasional dan pendapat Undang-undang Hukum Pidana
para sarjana yang secara teoritis (KUH Pidana) Indonesia yang
mengatakan bahwa korporasi dapat dianggap sebagai subyek hukum
diterima sebagai subjek hukum pidana hanyalah orang perseorangan
pidana (bukan lagi suatu fiksi). dalam konotasi biologis yang alami
Secara umum, baik dalam (naturlijkee person). Selain itu,
sistem hukum common law maupun KUHP juga masih menganut asas
civil law, sangat sulit untuk dapat sociates delinquere non potest
mengartikan suatu bentuk tindakan dimana badan hukum atau korporasi
tertentu (actus reus atau guilty act), dianggap tidak dapat melakukan
serta membuktikan unsur mens rea tindak pidana. Jadi, dasar
(criminal act). Oleh karena itu, pemikiran yang digunakan oleh
kejahatan korporasi memiliki KUH Pidana itu adalah bahwa
karakteristik yang lebih khusus dari kejahatan tidak dapat dilakukan oleh
pada kejahatan perorangan, karena sebuah korporasi, karena walaupun
kejahatan korporasi lebih bersifat tindak pidana tersebut dilakukan oleh
abstrak untuk menyangka dan korporasi, tetapi tindak pidana tetap
xvi
dilakukan oleh orang persorangan lebih khusus, yaitu Undang-undang
atau legal persoon. Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlu diketahui bahwa, Perlindungan dan Pengelolaan
pembuat undang-undang dalam Lingkungan Hidup (UUPPLH 2009).
merumuskan delik harus Pengakuan korporasi sebagai
memperhitungkan bahwa manusia subjek hukum yang dapat
melakukan tindakan di dalam atau dipertanggungjawabkan secara
melalui organisasi yang dalam pidana pada tindak pidana
hukum keperdataan maupun di lingkungan hidup ditegaskan dalam
luarnya (seperti dalam hukum Pasal 1 angka 32 UU No. 32 Tahun
lingkungan hidup), yang akan lahir 2009 tentang Perlindungan dan
sebagai satu kesatuan yang diakui Pengelolaan Lingkungan Hidup,
serta mendapat perlakuan sebagai yaitu “Setiap orang adalah orang
badan hukum atau korporasi. Oleh perseorangan atau badan usaha, baik
karena itu, dalam KUH Pidana, yang berbadan hukum maupun yang
pembuat undang-undang dapat tidak berbadan hukum”. Apabila
merujuk pada pengurus atau diterjemahkan lebih jauh bahwa
komisaris korporasi apabila mereka subjek hukum dimaksud dalam Pasal
berhadapan dengan situasi seperti itu. 1 angka 32 UUPPLH 2009 ini
Sehubungan dengan itu, adalah orang, badan hukum, dan
mengingat Kitab Undang-undang tidak berbadan hukum. Berbadan
Hukum Pidana Indonesia belum hukum dan tidak berbadan hukum
mengatur secara tersurat mengenai maksudnya adalah korporasi. Maka,
tindak kejahatan yang dilakukan oleh subjek tindak pidana yang dimaksud
korporasi, maka tindak pidana dalam hal ini adalah korporasi. Perlu
korporasi dalam bidang lingkungan diketahui, bahwa seseorang atau
hidup di Indonesia, dapat badan hukum atau suatu korporasi
menggunakan undang-undang yang yang melakukan kejahatan dapat
xvii
digolongkan ke dalam dua kategori, pertanggungjawaban tanpa
yaitu tindakan yang merupakan mala kesalahan. Jadi, kesalahan di
in se atau perbuatan yang merupakan dalam hukum lingkungan tidak
mala in prohibita. Tindakan yang mesti harus dibuktikan ada atau
termasuk mala in se, adalah tidaknya kesalahan si pembuat.
perbuatan yang melawan hukum, Mengenai hal tersebut di atas,
ada atau tidak ada peraturan yang UUPPLH 2009, sebagai lex spesialis,
melarangnya misalnya mencuri, bukan merupakan suatu
menipu, membunuh, dan sebagainya. penyimpangan asas akan tetapi
Sedangkan perbuatan yang merupakan penyempurnaan terhadap
merupakan mala in prohibita adalah asas umum, sebab kejahatan di
perbuatan yang dinyatakan bidang lingkungan hidup tersebut
melanggar hukum apabila ada aturan saat ini dikategotikan sebagai
yang melarangnya misalnya aturan- kejahatan yang luar biasa (extra
aturan lalu lintas. oridnary crime) sehingga
Selain dari pada korporasi penanganannya harus dilakukan luar
yang diatur sebagai subjek hukum biasa termasuk dalam hal
dalam hukum lingkungan, juga pengaturannya ada hal-hal yang
diatur hal-hal yang berkenaan dikecualikan dari asas-asas yang
dengan pertanggungjawaban mutlak, berlaku umum.
dimana bahwa pertanggungjawaban Kejahatan korporasi
mutlak ini tidak diatur di dalam sebagaimana diatur dalam UU No.
KUH Pidana sebagai lex generalis. 32 Tahun 2009 merupakan rumusan
Karena hukum pidana masih kejahatan korporasi sebagaimana
menggunakan pertanggungjawaban diatur dalam KUHP Belanda. Jadi
dengan kesalahan, sementara korporasi sebagai legal persoon,
pertanggungjawaban mutlak ini dapat dipidana berdasarkan UU No.
menggunakan asas 32 Tahun 2009. Dalam hal ini,
xviii
pertanggungjawaban pidana Sistem Pertanggungjawaban
(criminal liability) dari pimpinan Pidana terhadap Korporasi
korporasi (factual leader) dan sebagai Pelaku Tindak Pidana di
pemberi perintah (instrumention Bidang Lingkungan Hidup
giver), keduanya dapat dikenakan berdasarkan Asas Strict Liability
hukuman secara berbarengan.
Hukuman tersebut bukan karena Strict Liability adalah
perbuatan fisik atau nyatanya, akan pertanggungjawaban tanpa
tetapi berdasarkan fungsi yang kesalahan (liability without
diembannya di dalam suatu fault). Hal itu berarti bahwa si
perusahaan. Kejahatan lingkungan pembuat sudah dapat dipidana
yang didefinisikan di dalam undang- jika ia telah melakukan
undang ini hanyalah kerusakan perbuatan sebagaimana yang telah
lingkungan hidup yang disebutkan di dirumuskan dalam Undang-
dalam Pasal 1 ayat (16) UU No. 32 Undang tanpa melihat bagaimana
Tahun 2009, yaitu Perusakan sikap batinnya. Konsep Strict
lingkungan hidup adalah tindakan liability merupakan penyimpangan
yang menimbulkan perubahan dari asas kesalahan yang
langsung atau tidak langsung dirumuskan dalam pasal 38 ayat
terhadap sifat fisik dan/atau ( 1) RUU KUHP. Bunyi
hayatinya yang mengakibatkan rumusannya adalah sebagai berikut
lingkungan hidup tidak berfungsi : “Bagi tindak pidana tertentu,
lagi dalam menunjang pembangunan undang-undang dapat menentukan
berkelanjutan. bahwa seseorang dapat di pidana
semata- mata karena telah
dipenuhinya unsur-unsur tindak
pidana tersebut tanpa
memperhatikan adanya kesalahan”.
xix
Untuk memahami lebih jauh tidak dapat dipertahankan lagi
latar belakang dan alasan untuk setiap kasus pidana. Adalah
dicantumkannya asas strict tidak mungkin apabila tetap
liability itu ke dalam konsep, berpegang teguh pada asas mens-
dapat dilihat pada penjelasannya rea untuk setiap kasus pidana dalam
berikut ini.: ketentuan undang- undang modern
Ketentuan dalam ayat ini sekarang ini. Oleh karena itu, perlu
merupakan suatu perkecualian dipertimbangkan untuk
terhadap asas tiada pidana tanpa menerapkan strict liability
kesalahan. Oleh karena itu, tidak terhadap kasus-kasus tertentu.
berlaku juga bagi semua tindak Praktek peradilan yang menerapkan
pidana, melainkan hanya untuk strict liability itu ternyata
tindak pidana tertentu yang mempengaruhi legislatif dalam
ditetapkan oleh undang-undang. membuat undang-undang.
Untuk tindak pidana tertentu Sering dipersoalkan,
tersebut, pembuat tindak pidananya apakah strict liability itu sama
telah dapat dipidana hanya karena dengan absolute liability.
telah dipenuhinya unsur-unsur Mengenai hal itu ada dua
tindak pidana oleh perbuatannya. pendapat. Pendapat pertama
Di sini kesalahan pembuat tindak menyatakan strict liability
pidana dalam melakukan merupakan absolute liability.
perbuatan tersebut tidak lagi Alasan atau dasar pemikirannya
diperhatikan. Asas ini dikenal ialah seseorang yang telah
sebagai asas “strict liability”. melakukan perbuatan terlarang
Strict liability ini pada (actus reus) sebagaimana
awalnya berkembang dalam praktik dirumuskan dalam undang-undang
peradilan di Inggris. Sebagian sudah dapat dipidana tanpa
hakim berpendapat asas mens- rea mempersoalkan apakah si pelaku
xx
mempunyai kesalahan (mens rea) itu biasanya merupakan
atau tidak. Jadi seseorang yang salah satu ciri utama, tetapi
sudah melakukan perbuatan pidana sama sekali tidak berarti
menurut rumusan undang-undang bahwa mens rea itu tidak
yang sudah melakukan disyaratkan sebagai unsur
perbuatan pidana menurut pokok yang tetap ada untuk
rumusan undang-undang harus atau tindak pidana itu. Misalnya,
mutlak dapat dipidana. Pendapat A dituduh melakukan
kedua menyatakan Strict liability tindak pidana “menjual
bukan Absolute liability. Artinya, daging yang tidak layak
orang yang telah melakukan untuk dimakan karena
perbuatan terlarang menurut membahayakan kesehatan
undang-undang tidak harus atau atau jiwa orang lain”.
belum tentu dipidana. Kedua Tindak pidana ini menurut
pendapat itu antara lain, hukum Inggris termasuk
dikemukakan juga oleh Smith dan tindak pidana yang dapat
Brian Hogan, yang dikutip oleh dipertanggungjawabkan
Barda Nawawi Arief. Ada dua secara strict liability. Dalam
alasan yang dikemukakan oleh hal itu tidak perlu dibuktikan
mereka, yaitu : bahwa A mengetahui daging
a. Suatu tindak pidana dapat itu tidak layak untuk
dipertanggungjawabkan dikonsumsi, tetapi tetap
secara Strict liability apabila harus dibuktikan, bahwa
tidak ada mens rea yang sekurang-kurangnya A
perlu dibuktikan sebagai satu- memang menghendaki
satunya unsur untuk actus reus (sengaja) untuk menjual
yang bersangkutan. Unsur daging itu. Jadi jelas dalam
utama atau unsur satu-satunya hal itu Strict liability tidak
xxi
bersifat absolut. Dalam hal itu memang ada
b. Dalam kasus-kasus strict Strict liability, yaitu berada di
liability memang tidak jalan raya dalam keadaan
dapat diajukan alasan mabuk, tetapi A dapat
pembelaan untuk “kenyataan mengajukan pembelaan
khusus” (particular fact) yang berdasarkan adanya
menyatakan terlarang compulsion. Jadi, dalam hal
menurut undang- undang. itu pun Strict liability
Misalnya, dengan bukanlah absolute liability.41
mengajukan “reasonable
mistake”. Kita tetap dapat Mardjono Reksodiputro
mengajukan alasan dalam salah satu tulisannya
pembelaan untuk keadaan- memberikan jalan keluar untuk
keadaan lainnya. Contoh lain, membenarkan diterapkannya asas
misal dalam kasus strict liability di Indonesia yang
“mengendarai kendaraan yang menganut sistem Eropa
membahayakan” (melampaui Continental, yaitu :
batas maksimum), dapat Berhubung kita tidak
diajukan alasan pembelaan mengenal ajaran Strict liability
bahwa dalam mengenai yang berasal dari system hukum
kendaraan itu ia berada dalam Anglo-Amerika tersebut, maka
keadaan automatism. Misal sebagai alasan pembenar dapat
lain, A mabuk-mabukan di dipergunakan ajaran feit materiel
rumahnya sendiri. Akan yang berasal dari system hukum
tetapi dalam keadaan tidak Eropa Kontinental. Dalam kedua
sadar (pingsan), A diangkat 41
Barda Nawawi, Perbandingan
oleh kawan-kawannya dan Hukum Pidana, Cetakan Pertama, (Jakarta:
diletakkan di jalan raya. CV. Rajawali, 1990), halaman 32-33.

xxii
ajaran ini atidaklah penting asas kesalahan maka para ahli
hukum pidana membatasi
adanya unsur kesalahan. Ajaran
penerapannya hanya pada
strict liability hanya delik-delik tertentu saja.
Kebanyakan strict liability
dipergunakan untuk tindak
terdapat pada delik-delik yang
pidana ringan (regulatory offences) diatur dalam undang-undang
(statutory offences;
yang hanya mengancam pidana
regulatory offences; mala
denda, seperti pada kebanyakan prohibita) yang pada
umumnya merupakan delik-
public welfare offences.
delik terhadap kesejahteraan
Namun,karena kita telah umum (public welfare
offences). Termasuk
mengambil alih konsep yang
regulatory offences misalnya
berasal dari system hukum yang penjualan makanan dan
minuman atau obat-obatan
berlainan akarnya kedalam
yang membahayakan,
system hukum di Indonesia, maka pencegahan terhadap polusi,
penggunaan gambar dagang
memerlukan ketekunan dari para
yang menyesatkan dan
ahli hukum pidana Indonesiauntuk pelanggaran lalulintas. 43
menjelaskan konsep ini dengan
Dari uraian tersebut, dapat
mengkaitkannya pada asas-asas
disimpulkan bahwa pertimbangan
yang sudah melembaga dalam
untuk menerapkan asas strict
42
hukum pidana Indonesia.
liability disamping perbuatannya
Alasan senada juga
membahayakan masyarakat juga
dikemukakan oleh Barda Nawawi
pembuktiannya yang sangat sulit.
Arief yang menyatakan:
Kriteria membahayakan
Karena strict liability ini
masyarakat itu tidak mesti harus
sangat jauh menyimpang dari
tindak pidana yang serius (real
42
Mardjono Reksodiputro,
crime), akan tetapi juga meliputi
Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan
Kejahatan, PusatPelayanan Keadilan dan
Pengabdian Hukum. (Jakarta: Universitas 43
Barda Nawawi Arief, Op.Cit,
Indonesia, 1994), halaman 32. halaman 29.

xxiii
“regulatory offences” seperti dalam KUHP baru merupakan
pelanggaran lalulintas, pencemaran refleksi dalam menjaga
lingkungan, makanan, minuman keseimbangan kepentingan
dan obat-obatan yang tidak sosial. Dengan demikian, strict
memenuhi syarat kesehatan. liability merupakan konsep yang
Muladi mengatakan bahwa digunakan dan diarahkan untuk
“jika hukum pidana harus memberikan perlindungan sosial
digunakan untuk menghadapi dalam menjaga kepentingan
masalah yang demikian rumitnya, masyarakat terhadap aktivitas-
sudah saatnya doktrin atas asas aktivitas yang dapat menimbulkan
strict liability digunakan dalam kerugian bagi masyarakat, baik
kasus-kasus pelanggaran terhadap kerugian fisik, ekonomi maupun
peraturan mengenai kesejahteraan social cost.45
umum”. Pembuktian kesalahan Selanjutnya Barda Nawawi
dalam mempertanggungjawabkan Arief memberikan kriteria batas-
pembuat bukan hal yang mudah. batas yang harus diperhatikan
Jadi, perumusan konsep strict apabila kita akan menerapkan
liability dalam KUHP Indonesia asas strict liability yang
merupakan jalan pemecahan merupakan penyimpangan dari
masalah kesulitan dalam asas kesalahan. Batas-batas itu
pembuktian kesalahan dan adalah:
pertanggungjawaban pidana.44 1) Sejauh mana akibat-akibat
yang ditimbulkan oleh
Lebih jauh Muladi mengatakan
perkembangan delik-delik
bahwa perumusan strict liability baru itu mengancam
kepentingan umum yang
44
sangat luas dan eksistensi
Hamzah Hetrik, Asas pergaulan hidup sebagai
Pertanggungjawaban Korporasi dalam totalitas ?
Hukum Pidana, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada , 1996), halaman 38. 45
Ibid.

xxiv
2) Sejauh mana nilai-nilai dalam dari nilai- nilai keadilan
keadilan berdasarkan
berdasarkan Pancasila.
Pancasila membenarkan
asas ketiadaan kesalahan Penerapan asas strict liability
sama sekali ? 46
itu sangat penting terhadap kasus-
kasus tertentu yang menyangkut
Jadi inti masalahnya menurut
membahayakan sosial atau anti
Barda Nawawi Arief berkisar pada
sosial, membahayakan kesehatan
sejauh mana makna kesalahan atau
dan keselamatan, serta moral
pertanggungjawaban pidana itu
public. Kasus-kasus seperti
harus diperluas dengan tetap
pencemaran lingkungan hidup,
mempertimbangkan keseimbangan
perlindungan konsumen, serta yang
antara kepentingan individu dengan
berkaitan dengan minuman keras,
kepentingan masyarakat luas. Lebih
pemilikan senjata, dan pemilikan
jauh Barda Nawawi Arief
obat-obatan terlarang, merupakan
mengingatkan bahwa pertimbangan
kasus yang sangat memungkinkan
harus dilakukan dengan hati-hati
untuk diterapkan strict liability.
sekali, terlebih melakukan
Kasus pencemaran
pelompatan yang drastis dari
lingkungan, seperti kasus yang
konsepsi kesalahan yang
terjadi di Sidoarjo sangat sulit bagi
diperluas sedemikian rupa
aparat penegak hukum untuk
sampai pada konsepsi ketiadaan
membuktikan kesalahan terdakwa.
kesalahan yang diperluas
Hal itu disebabkan untuk
sedemikian rupa sampai pada
membuktikan hubungan kausal
konsepsi ketiadaan kesalahan
antara perbuatan dengan akibat
sama sekali. Hal yang terakhir itu
yang ditimbulkan tidaklah mudah.
merupakan akar yang paling
Karena jaksa tidak dapat
46
Barda Nawawi Arief dan Muladi,
membuktikan kesalahan tersebut,
Teori dan Kebijakan Pidana,( Bandung: akhirnya terdakwa dibebaskan oleh
Alumni, halaman 141.
xxv
hakim. Kesulitan yang serupa itu dengan keras oleh undang-
banyak terjadi pada kasus-kasus undang karena dikategorikan
lingkungan yang lain. Padahal, sebagai aktivitas atau
akibat yang ditimbulkan sangat kegiatan yang sangat
merugikan masyarakat. Disitu potensial mengandung
tampak betapa urgennya penerapan bahaya kepada kesehatan,
asas strict liability. keselamatan, dan moral
Jadi penerapan strict liability publik (a particular activity
sangat erat kaitannya dengan potential danger of public
ketentuan tertentu dan terbatas. health,safety or moral).
Agar lebih jelas apa yang 4) Perbuatan atau aktivitas
menjadi landasan penerapan strict tersebut secara keseluruhan
liability crime, dapat dikemukakan dilakukan dengan cara
patokan berikut : melakukan pencegahan yang
1) Perbuatan itu tidak berlaku sangat wajar (unreasonable
umum terhadap semua jenis precausions).
tindak pidana, tetapi sangat Pengaturan mengenai
terbatas dan tertentu, pertanggungjawaban pidana
terutama mengenai kejahatan korporasi saat ini masih berada di
anti sosial atau yang luar Kitab Undang-Undang Hukum
membahayakan sosial. Pidana (KUHP). Hal ini dikarenakan
2) Perbuatan itu benar-benar tidak dianutnya prinsip korporasi
bersifat melawan hukum sebagai subjek tindak pidana dalam
(unlawful) yang sangat KUHP yang berlaku sekarang,
bertentangan dengan kehati- karena subjek tindak pidana yang
hatian yang diwajibkan diatur dalam KUHP sekarang
hukum dan kepatutan. hanyalah manusia atau orang
3) Perbuatan tersebut dilarang perorangan. Pengaturan semacam ini
xxvi
lebih lanjut membawa konsekuensi it intended to do something wrong,
yuridis berupa hanya orang This mental state is generally
perorangan saja yang dapat referred to as Mens rea”.
dibebani pertanggungjawaban Prinsip tanggung jawab mutlak
pidana dan dijatuhi pidana, (strict liability) korporasi pada tindak
sedangkan korporasi tidak. Seiring pidana lingkungan hidup di
dengan adanya kebijakan legislatif Indonesia belum pernah terlaksana.
yang mencantumkan korporasi Padahal konsep ini sangat baik untuk
sebagai subjek hukum pidana menjaga keberlangsungan hidup
seyogyanya diatur pula ketentuan masyarakat yang menjadi korban.
secara rinci yang berkaitan dengan Prinsip tanggung jawab mutlak
permasalahan sistem pemidanaan (strict liability) dalam UU No. 32
(pertanggungjawaban pidana Tahun 2009 tentang Perlindugan dan
korporasi). Pengelolaan Lingkungan Hidup pada
Dalam hukum pidana ada asas Bab XII (Penyelesaian Sengketa
kulpabilitas, sehingga harus Lingkungan), Bagian Ketiga
dibuktikan bahwa seseorang bisa (Penyelesaian Sengketa Lingkungan
dipidana apabila memang terbukti Hidup Melalui Pengadilan), Paragraf
bersalah. Artinya tidak bisa secara 2, Pasal 88 secara jelas
otomatis sanksi pidana dialihkan dari mendefinisikan asas strict liability
corporate crime menjadi personal dengan tanggung jawab mutlak.
crime. Dalam hukum pidana, Pasal tersebut berbunyi: “Setiap
mutlak harus dibuktikan adanya orang yang tindakannya, usahanya,
niat untuk melakukan perbuatan dan/atau kegiatannya menggunakan
pidana. Inilah yang dimaksud asas B3, menghasilkan dan/atau
mens rea (guilty mind) sebagaimana mengelola limbah B3, dan/atau yang
dikatakan oleh Stevanus.“an act is a menimbulkan ancaman serius
crime because the perso committing terhadap lingkungan hidup
xxvii
bertanggung jawab mutlak atas Tahun 2009 secara jelas bersifat
kerugian yang terjadi tanpa perlu khusus karena unsur-unsurnya telah
pembuktian unsur kesalahan.” secara khusus menunjuk kepada hal
Selanjutnya dalam penjelasan Pasal atau syarat tertentu sehingga dapat
88 Undang-Undang Nomor 32 diidentifikasi atau digolongkan ke
Tahun 2009 dirumuskan bahwa yang dalam bentuk pertanggungjawaban
dimaksud dengan “bertanggung tertentu. Unsur-unsur yang bersifat
jawab mutlak” atau strict liability khusus yang mencirikan
adalah unsur kesalahan tidak perlu pertanggungjawaban khusus itu ialah
dibuktikan oleh pihak penggugat strict liability yang ciri utamanya
sebagai dasar pembayaran ganti rugi. antara lain timbulnya tanggung
Ketentuan ayat ini sebagai lex jawab langsung dan seketika pada
specialis dalam gugatan tentang saat terjadinya perbuatan, sehingga
perbuatan melawan hukum pada tidak perlu dikaitkan dengan unsur
umumnya. Besarnya nilai ganti rugi kesalahan (fault, schuld). Dengan
yang dapat dibebankan terhadap demikian pihak penggugat yang
pencemar atau perusak lingkungan mengalami kerugian (injured party)
hidup menurut Pasal ini dapat masih harus membuktikan bahwa
ditetapkan sampai batas tertentu, kerugian yang dialami diakibatkan
yang dimaksud dengan “sampai oleh perbuatan atau kegiatan tergugat
batas waktu tertentu” adalah jika (atau para tergugat). Hal ini
menurut penetapan peraturan diistilahkan dengan pembuktian
perundang-undangan ditentukan causal link (kausalitas) atau
keharusan asuransi bagi usaha hubungan sebab akibat. Hal ini
dan/atau kegiatan yang bersangkutan sebagaimana yang ditegaskan dalam
atau telah tersedia dana lingkungan Green Paper on Remedying
hidup. Environmental Damage sebagai
Rumusan Pasal 88 UU No. 32 berikut: “Strict liability or liability
xxviii
without fault, eases the burden of (logika) hukum yang umum bahwa
establishing liability because fault tidaklah mungkin untuk menentukan
need not to be established. However, seseorang bertanggung jawab pada
the injured party must still prove that suatu hal yang merugikan seseorang,
the damage was caused by some sebelum ia dinyatakan bersalah.
one’s act…”. Artinya seseorang tidak dapat
Pasal 88 UU No. 32 Tahun dibebankan kewajiban bertanggung
2009 mengandung beberapa unsur jawab kecuali kalau bukan atas dasar
penting, yaitu: kesalahan (fault) sebagaimana
a. Setiap orang dengan prinsip dari “Tortious
b. yang tindakannya, usahanya, Liability”.
dan/atau kegiatannya Di dalam strict liability,
menggunakan B3, seseorang bertanggung jawab
c. menghasilkan dan/atau kapanpun kerugian timbul. Hal ini
mengelola limbah B3, dan/atau berarti bahwa: Pertama, para korban
yang menimbulkan ancaman dilepaskan dari beban berat untuk
serius terhadap lingkungan membuktikan adanya hubungan
hidup kausal antara kerugiannya dengan
d. bertanggung jawab mutlak atas tindakan indivual tergugat; Kedua,
kerugian yang terjadi para “potential polluter” akan
e. tanpa perlu pembuktian unsur memperhatikan baik tingkat kehati-
kesalahan hatiannya (level of care), maupun
Berdasarkan unsur-unsur di tingkat kegiatannya (level of
atas, unsur d) dan e) dapat activity). Dua hal ini merupakan
diinterpretasikan sebagai suatu kelebihan strict liability dari konsep
pengertian yang tampaknya belum kesalahan. Oleh karena sifat khasnya
umum dalam perangkat- perangkat yang tegas dan keras, maka strict
hukum Indonesia. Dalam pengertian liability tidaklah dapat dikenakan
xxix
kepada semua kegiatan. Hanya ini pertimbangan risiko dan
kegiatan-kegiatan tertentu saja yang manfaat kegiatan telah
dapat dikenakan strict liability. dilakukan secara memadai
Pertimbangan untuk menentukan sehingga dapat diperkirakan
ruang lingkup strict liability : bahwa keuntungan yang
1. Tingkat risiko (the degree of diperoleh akan lebih besar jika
risk); dalam hal ini risiko dibandingkan dengan ongkos-
dianggap tinggi apabila tidak ongkos yang harus dikeluarkan
dapat dijangkau oleh upaya untuk mencegah timbulnya
yang lazim, menurut bahaya.
kemampuan teknologi yang Strict liability atau absolute
telah ada; liability atau yang disebut juga
2. Tingkat bahaya (the gravity of dengan pertanggungjawaban tanpa
harm); dalam hal ini bahaya kesalahan (no-fault liability or
dianggap sangat sulit untuk liability without fault) adalah prinsip
dicegah pada saat mulai tanggung jawab tanpa keharusan
terjadinya; untuk membuktikan adanya
3. Tingkat kelayakan upaya kesalahan. Menurut Barda Nawawi
pencegahan (the Arief sering dipersoalkan, apakah
appropriateness); dalam hal ini strict liability itu sama dengan
si penanggung jawab harus absolute liability. Mengenai hal ini
menunjukkan upaya maksimal ada dua pendapat. Pendapat pertama
untuk mencegah terjadinya menyatakan, bahwa strict liability
akibat yang menimbulkan merupakan absolute liability. Alasan
kerugian pada pihak lain; atau dasar pemikirannya ialah,
4. Pertimbangan terhadap bahwa dalam perkara strict liability
keseluruhan nilai kegiatannya seseorang yang telah melakukan
(value of activity); dalam hal perbuatan terlarang (actus reus)
xxx
sebagaimana dirumuskan dalam saxon, pembuktian ini lebih mudah
undang-undang sudah dapat dipidana dan cenderung praktis dibandingkan
tanpa mempersoalkan apakah si dengan sistem hukum Eropa
pelaku mempunyai kesalahan (mens Kontinental yang dianut oleh
rea) atau tidak. Jadi sesorang yang Indonesia. Pemidanaan haruslah
sudah melakukan tindak pidana dapat dilihat dari
menurut rumusan undang-undang dipertanggungjawabkan perbuatan
harus/mutlak dapat dipidana. seseorang. Dengan demikian
Pendapat kedua menyatakan, pertanggungjawaban pidana selalu
bahwa strict liability bukan absolute selalu tertuju pada pembuat tindak
liability, artinya orang yang telah pidana tersebut. Pertanggungjawaban
melakukan perbuatan terlarang pidana ditujukan kepada pembuat
menurut undang-undang tidak (dader). Maka apabila orang yang
harus/belum tentu dipidana. Menurut melakukan tindak pidana maka
doktrin strict liability pertanggungjawaban haruslah
(pertanggungjawaban mutlak), dikenakan kepada para pelaku.
seseorang sudah dapat Pertanggungjawaban pidana hanya
dipertanggungjawabkan untuk tindak dapat terjadi jika sebelumnya subyek
pidana tertentu walaupun pada diri hukum pidana tersebut melakukan
orang itu tidak ada kesalahan (mens tindak pidana. Sedangkan didalam
rea). sistem hukum Common law system,
Dalam lapangan hukum berlaku asas “actus non est reus, nisi
pidana, Prinsip tanggung jawab mens sit rea”. Suatu perbuatan tidak
mutlak (strict liability), prinsip ini dapat dikatakan bersifat kriminal jika
menegaskan pembuktian kesalahan “tidak terdapat kehendak jahat”
berdasarkan sistem hukum Eropa didalamnya. Dengan demikian,
Kontinental. Sebagai konsep yang dalam sistem common law system,
berakar dari sistem hukum Anglo bahwa untuk dapat
xxxi
dipertanggungjawabkan seseorang kemudian dinegasikan Prinsip
karena melakukan tindak pidana, tanggung jawab mutlak mutlak (strict
sangat ditentukan oleh adanya mens liability). Pembuktian tidak semata-
rea pada diri seseorang tersebut. mata dilihat apakah pelaku (dader)
Dengan demikian, mens rea yang hal melakukan tindak pidana yang
ini dapat kita lihat dari rujukan dituduhkan melakukan kesalahan
sistem hukum Civil law, atau dengan atau tidak, tapi beban pembuktian
kata lain dapat kita sinkronkan langsung mutlak dibebankan
dengan ajaran “guilty of mind”, terhadap pelaku (dader) terhadap
merupakan hal yang menentukan kejahatan-kejahatan yang berkaitan
pertanggungjawban pembuat tindak dengna sumber daya alam (termasuk
pidana. Dari dari sisi ini, penggunaan kejahatan lingkungan hidup). Prinsip
mens rea dalam common law sistem, tanggung jawab mutlak (strict
pada prinsipnya sejalan dengan liability) dibebankan kepada
penerapan asas “tiada pidana tanpa perusahaan lingkungan hidup yang
kesalahan” dalam civil law sistem. nyata-nyata melakukan
Berdasarkan hal di atas, maka kesalahan/kelalaian dalam
secara prinsip penggunaan doktrin pengelolaan lingkungan hidup.
“mens rea” dalam sistem hukum Dengan demikian, maka pembuktian
common law sejalan dengan asas menjadi sederhana dan mudah
“geen straf zonder schul beginsel” diterapkan. Pembuktian ini praktis
dalam sistem hukum civil law. Maka sehingga tidak perlu memenuhi
untuk menentukan kesalahan dengna unsur yang dituduhkan kepada
menggunakan “tiada pidana tanpa pelaku (dader). Berangkat dari
kesalahan yaitu “Geen straf zonder prinsip ini, praktis kejahatan yang
schuld, actus non facit reum nisi berkaitan dengan lingkungan hidup
mens sir rea”, (aqua means rea atau lebih banyak dibebankan kepada
“kehendak jahat”). Prinsip ini perusahaan. Kasus Lapindo sebagai
xxxii
contoh merupakan sebuah peristiwa pertanggungjawaban pidana.
yang menarik. Berlarut-larutnya Prinsip tanggung jawab mutlak
pemeriksaan kasus Lapindo dan tarik (strict liability) inilah salah satu
menarik antara Kepolisian dan solusi untuk menyelesaikan berbagai
Kejaksaan dan belum juga kejahatan baik kesengajaan ataupun
dinyatakan lengkap (P21), berangkat kelalaian dari korporasi lingkungan
dari pemahaman penegak hukum hidup. Prinsip tanggung jawab
yang tidak menerapkan prinsip mutlak mutlak (strict liability)
tanggung jawab mutlak mutlak (strict merupakan prinsip yang sederhana
liability). Sikap ngototnya penegak dan pembuktian yang mudah
hukum untuk melihat keterlibatan menyebabkan berbagai kejahatan di
pelaku (dader) kemudian terjebak berbagai dunia dapat diselesaikan.
dengan hak-hal yang bersifat teknis
yang sulit pembuktiannya. Padahal PENUTUP
dengan menerapkan prinsip tanggung
Simpulan
jawab mutlak mutlak (strict liability),
maka tidak perlu dibuktikan, apakah 1. Pengakuan korporasi sebagai
para pelaku (dader) melakukan subjek hukum yang dapat
perbuatan itu atau tidak, tapi penegak dipertanggungjawabkan secara
hukum bisa membuktikan, bahwa pidana pada tindak pidana
karena kesalahan atau kelalaian dari lingkungan hidup ditegaskan
Lapindo, menyebabkan bencana. dalam Pasal 1 angka 32 UU No.
Dengan pembuktian yang sederhana 32 Tahun 2009 tentang
ini, maka kasus Lapindo bisa Perlindungan dan Pengelolaan
disidangkan dimuka hukum. Dan Lingkungan Hidup, yaitu “Setiap
korporasi yang bertanggung jawab orang adalah orang perseorangan
dalam bencana Lapindo dapat atau badan usaha, baik yang
dipersalahkan dan berbadan hukum maupun yang
xxxiii
tidak berbadan hukum”. Apabila limbah B3, dan/atau yang
diterjemahkan lebih jauh bahwa menimbulkan ancaman serius
subjek hukum dimaksud dalam terhadap lingkungan hidup
Pasal 1 angka 32 UUPPLH 2009 bertanggung jawab mutlak atas
ini adalah orang, badan hukum, kerugian yang terjadi tanpa perlu
dan tidak berbadan hukum. pembuktian unsur kesalahan.”
Berbadan hukum dan tidak Selanjutnya dalam penjelasan
berbadan hukum maksudnya Pasal 88 Undang-Undang
adalah korporasi. Maka, subjek Nomor 32 Tahun 2009
tindak pidana yang dimaksud dirumuskan bahwa yang
dalam hal ini adalah korporasi. dimaksud dengan “bertanggung
2. Prinsip tanggung jawab mutlak jawab mutlak” atau strict liability
(strict liability) dalam UU No. 32 adalah unsur kesalahan tidak
Tahun 2009 tentang Perlindugan perlu dibuktikan oleh pihak
dan Pengelolaan Lingkungan penggugat sebagai dasar
Hidup pada Bab XII pembayaran ganti rugi. Ketentuan
(Penyelesaian Sengketa ayat ini sebagai lex specialis
Lingkungan), Bagian Ketiga dalam gugatan tentang perbuatan
(Penyelesaian Sengketa melawan hukum pada umumnya.
Lingkungan Hidup Melalui Besarnya nilai ganti rugi yang
Pengadilan), Paragraf 2, Pasal 88 dapat dibebankan terhadap
secara jelas mendefinisikan asas pencemar atau perusak
strict liability dengan tanggung lingkungan hidup menurut Pasal
jawab mutlak. Pasal tersebut ini dapat ditetapkan sampai batas
berbunyi: “Setiap orang yang tertentu, yang dimaksud dengan
tindakannya, usahanya, dan/atau “sampai batas waktu tertentu”
kegiatannya menggunakan B3, adalah jika menurut penetapan
menghasilkan dan/atau mengelola peraturan perundang-undangan
xxxiv
ditentukan keharusan asuransi
Arief, Barda Nawawi.
bagi usaha dan/atau kegiatan yang
Perbandingan Hukum
bersangkutan atau telah tersedia Pidana, Cetakan Pertama.
Jakarta: CV. Rajawali,
dana lingkungan hidup.
1990.
Atmasasmita, Romli. Asas-asas
Saran Perbandingan Hukum
Pidana, Cetakan Pertama.
Harus diatur secara eksplisit Jakarta: Yayasan LBH,
1989.
dalam peraturan perundang-
Hetrik, Hamzah. Asas
undangan yang menentukan Pertanggungjawaban
Korporasi dalam Hukum
korporasi sebagai subjek tindak
Pidana. Jakarta: PT. Raja
pidana mengenai kapan suatu Grafindo Persada , 1996.
Mikles, Matthrew B. & A.
korporasi dapat dikatakan
Michael Huberman. Analisis
melakukan tindak pidana. Demikian Data Kualitatif, terj. Tjetjep
Rehendy Rohidi. Jakarta: UI
juga halnya dengan ketentuan
Press, 1992
mengenai siapa yang dapat dituntut Moljatno. Asas-asas Hukum
Pidana, Cetakan Kedua.
dan dijatuhi pidana atas kejahatan
Jakarta: Bina Aksara, 1984.
yang dilakukan korporasi harus Marpaung, Leden. Unsur-unsur
Perbuatan yang Dapat
diatur secara tegas, agar supaya
Dihukum, Cetakan Pertama.
korporasi tidak dapat mengelak atas Jakarta: Sinar Grafika,
1991.
kejahatan yang dilakukannya dengan
Mudzakir, Aspek Hukum Pidana
berlindung dibalik pengurus Dalam Pelanggaran
Lingkungan, dalam Erman
korporasi.
Rajagukguk dan Ridwan
Khairandy (ed), Hukum
Lingkungan Hidup di
DAFTAR PUSTAKA Indonesia, 75 Tahun Prof.
Dr. Koesnadi
d. Buku-buku: Hardjasoemantri, SH.,ML.
Jakarta: Universitas
Amirin, Tatang A. Menyusun Indonesia, 2001.
Rencana Penelitian. Jakarta:
CV. Rajawali, 1986.
xxxv
Muladi dan Barda Nawawi 2000, Rancangan Undang-
Arief. Teori dan Kebijakan undang Republik Indonesia
Pidana. Bandung: Alumni, Tentang Kitab Undang-
1998.
Undang Hukum Pidana.
Sunggono, Bambang. Metode
Penelitian Hukum. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada,
2002.
Syahrin, Alvi. Beberapa Isu
Hukum Lingkungan
Kepidanaan. Medan:
Sofmedia, 2009.

e. Peraturan Perundang-
undangan
Sekretariat Negara RI. Undang-
Undang No. 1 Tahun 1946
tentang Peraturan Hukum
Pidana (KUHP). Jakarta,
1946.
Sekretariat Negara RI. Undang-
Undang No. 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Jakarta, 2009.
Sekretariat Negara RI. Peraturan
Pemerintah No. 27 Tahun
1999 tentang Analisis
Mengenai Dampak
Lingkungan. Jakarta, 1999.

f. RUU KUHP
Direktorat Perundang-undangan,
Direktorat Jenderal Hukum
dan Perundang-undangan,
Departemen Hukum dan
Perundang-undangan, 1999-
xxxvi
Lampiran 5. Bahan Ajar (SAP Kejahatan Korporasi)

SATUAN ACARA PERKULIAHAN

Mata Kuliah : Kejahatan Korporasi


Kode Mata Kuliah : HKS08656
Satuan Kredit Semester : 2 (dua) SKS
Semester : VII (tujuh)
Program Studi : S.1. Ilmu Hukum
Proses belajar mengajar
a. Dosen : menjelaskan, memberikan contoh, diskusi, memberikan tugas terstuktur.
b. Mahasiswa : mendengarkan, mencatat, mempelajari, diskusi, mengerjakan tugas terstruktur.
Tujuan Instruksional Umum : Mahasiswa dapat memahami dan menjelaskan mengenai kejahatan yang secara faktual terjadi di
masyarakat yang dilakukan oleh Korporasi dengan cakupan pengkajian tentang konsep
kejahatan korporasi, kausa kejahatan korporasi, tipe kejahatan korporasi, pertanggungjawaban
pidana bagi korporasi dan upaya penanggulangannya.
DESKRIPSI MATA KULIAH : Mata kuliah yang mengkaji tentang kejahatan yang dilakukan oleh korporasi dari berbagai
aspek secara komprehensif yang berkaitan dengan perkembangan dan pembangunan di
masyarakat.
Media :
a. Papan tulis
b. LCD
c. Tatap Muka
d. Diskusi
Evaluasi :
a. Hasil test
b. Hasil ujian
c. Penilaian terhadap hasil penugasa

viii
Minggu Pokok Sub Pokok Bahasan Tujuan Sumber Media Tugas Keterangan
Bahasan Instruksional Pustaka
Khusus
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
1 dan 2 Pengantar 1. Deskripsi Singkat Mata Kuliah Mahasiswa A,B,C,D, Tatap Mengumpulka
2. Korporasi Sebagai Subyek Hukum mampu Muka, n dan
E,F,G,H,
3. Pengertian Korporasi memahami LCD, Mempelajari
4. Korporasi Sebagai Subyek Hukum 1. pengertian I Diskusi Buku-buku
Dalam Berbagai Lapangan Hukum korporasi . Wajib.
5. Pengaturan Korporasi Sebagai secara
Subyek Hukum Tindak Pidana etimologis
6. Pembagian Badan Hukum dan
(Korporasi) pendapat
7. Urgensi Studi Kejahatan Korporasi beberapa
sarjana
2. bentuk-
bentuk
korporasi
3. posisi kajian
korporasi
dan manfaat
mempelajrai
korporasi
4. kriteria
korporasi
dalam

ix
konteks
kejahatan
korporasi
5. alasan-
alasan
pihak
yang pro
dan
kontra
terhadap
pertanggung
jawaban
pidana bagi
korporasi
3-4 Ruang 1. Pengertian Kejahatan Korporasi Mahasiswa A,B,C,D, Tatap Membuat
Lingkup 2. Batas-Batas Kejahatan Korporasi dapat E, F. Muka, Resume Buku
Kejahatan 3. Anatomi Kejahatan Korporasi memahami LCD, A. Setiyono,
Korporasi 4. Motif-Motif Kejahatan Korporasi mengenai Diskusi tentang
5. Bentuk-Bentuk Kejahatan karakteristik . Kejahatan
Korporasi kejahatan Korporasi
6. Korban Kejahatan Korporasi korporasi (Analisis
sehingga Viktimologis
dapat dan
menjelaskan pertanggungja
perbedaannya waban
dengan Korporasi
kejahatan dalam Hukum
konvensional Pidana

x
Indonesia),
Malang:
Averroes Press
dan Pustaka
Pelajar, 2002.
5-6 Sistem 1. Pertanggungjawaban Pidana Mahasiswa A,B,C,D, Tatap Menganalisa
Pertanggungja 2. Pertanggungjawaban Pidana dapat E,F,G,H, Muka, beberapa
waban Pidana Korporasi (Corporate Criminal memahami I LCD, Kejahatan
Korporasi Liability) mengenai Diskusi yang terjadi di
3. Pola Pertanggungjawaban Pidana teori, asas dan . Indonesia,
Terhadap Korporasi sistem
4. Teori-Teori Pertanggungjawaban pertanggungja
Pidana Terhadap Korporasi waban pidana
5. Doktrin Identifikasi korporasi
6. Doktrin Vicarious Liability dengan
7. Doktrin Strict Liability merujuk pada
KUHP,
Peraturan
perundang-
undangan di
luar KUHP,
dan RUU
KUHP

7 Ujian Tengah Semester

xi
8-9 Korban 1. Karakteritik korban kejahatan Mahasiswa A,B,C,D, Tatap
Kejahatan korporasi dapat E,F,G,H, Muka,
Korporasi 2. Bentuk-bentuk kerugian dari memahami I,J LCD,
kejahatan korporasi : mengenai Diskusi
karakteristik .
a.kerugian Materi korban dengan
b. kerugian bidang kesehatan dan berbagai
keselamatan jiwa bentuk
c. kerugian sosial moral kerugian yang
dialami dan
3. Jaminan perlindungan hukum perlindungan
bagi korban kejahatan hukum yang
korporasi pada berbagai berhak
peraturan perundang-undangan : diperoleh.

a. Kompensasi
b. Restitusi
10 Pemidanaan 1. Konsep Pemidanaan Terhadap Mahasiswa A, B, C, Tatap
terhadap Korporasi mampu D,E, Muka,
Korporasi 2. Pengaturan Stelsel Pidana memahami F.G,H,I,J LCD,
Terhadap Korporasi sistem Diskusi
pemidanaan .
terhadap
korporasi
12-13 Kejahatan 1. Ruang Lingkup Kejahatan Mahasiswa A, B, C, Tatap Menganalis
Korporasi di Korporas di Bidang Lingkungan dapat D,E, F. Muka, Kasus-kasus
Bidang Hidup memahami LCD, Kejahatan
Lingkungan 2. Korban Kejahatan Korporasi di Kejahatan Diskusi Korporasi di

xii
Hidup Bidang Lingkungan Hidup Korporasi di . Bidang
3. Pertanggungjawaban Pidana bagi Bidang Lingkungan
Korporasi di Bidang Lingkungan Lingkungan Hidup
Hidup Hidup dan
teori-teori
Pertanggungja
waban Pidana
bagi Korporasi
di Bidang
Lingkungan
Hidup
13 Penanggulanga 1. Macam dan bentuk sarana kontrol bagi
Mahasiswa A, B, C, Tatap
n Kejahatan upaya penanggulangan kejahatan dapat D,E, Muka,
Korporasi korporasi : memahami F.G,H,I,J LCD,
a. Upaya penanggulangan Non Penalteori-teori Diskusi
b. Upaya penanggulangan yang .
2. Pengaturan sanksi pidana terhadap menjelaskan
kejahatan korporasi dalam berbagaikejahatan dari
peraturan perundang-undangan struktur sosial
3. Antisipasi terhadap perkembangan dan
kejahatan korporasi di masa dampaknya
mendatang
14 Ujian Akhir Semester

xiii
DAFTAR PUSTAKA:
A. Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta hukum Pidana, 2003
B. Dwija Priyatno, Kebijakan Legislasi tentang Sistem pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di Indonesia, 2003
C. Gibert Geiss dan Robert F Meier, Corporate Crime, 1989
D. Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1996Setiyono, Kejahatan Korporasi (Analisis Viktimologis dan pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana
Indonesia), Malang: Averroes Press dan Pustaka Pelajar, 2013
E. I.S.Susanto, Diktat Kejahatan Korporasi, Semarang, UNDIP, 2005.
F. J.E.Sahetapy, Bunga Rampai Viktimisasi, Bandung: Eresco, 1995
G. ----------------------------, Kejahatan Korporasi, Bandung:Eresco, 1994
H. Marshall B Clinard dan Peter C Yeager, Corporate Crime, New York: The Free Press, 1980
I. Muhammad Topan, Kejahatan Korporasi di Bidang Lingkungan Hidup, Bandung: Nusa Media, 2009.
J. Penanggulanggan Kejahatan Korporasi melalui Pendekatan Restoratifsuatu Terobosan Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2013.

xiv
xv
16

Anda mungkin juga menyukai