Anda di halaman 1dari 101

PENYELESAIAN SENGKETA ATAS PERJANJIAN LISENSI SEBAGAI BAGIAN

DARI HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL (STUDI PUTUSAN


NOMOR 10/HKI.HAK CIPTA/2016/PN/NIAGA.SBY)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh


Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara

Oleh

TOHA WARDANA
NIM : 160200110

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN


PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2020

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK
Toha Wardana*
Saidin**
Maria Kaban***

Upaya perlindungan Hak Cipta dilakukan dalam rangka pencegahan pelanggaran


terhadap hak cipta itu sendiri. Pemegang hak cipta dapat dibedakan antara orang secara
individu dan juga badan hukum. Sengketa yang terjadi dalam hal ini adalah mengenai
pelanggaran terhadap hak cipta yang dimiliki oleh perusahaan PT. Inter Sport Marketing.
Perusahaan ini adalah perusahaan pemegang hak cipta berupa lisensi hak siar piala dunia
berdasarkan perjanjian dengan pihak FIFA tertanggal 5 Mei 2011. Perlindungan dilakukan
dengan memberikan sanksi yang berat terhadap pelaku pelanggaran hak cipta di Indonesia.
Atas dasar itulah, dirasa perlu untuk menggali lebih dalam tentang terjadinya pelanggaran
hak cipta. Adapun penelitian ini dituangkan dalam bentuk tulisan skripsi dengan judul
“Penyelesaian Sengketa Atas Perjanjian Lisensi Sebagai Bagian dari Hak Kekayaan
Intelektual (Studi Putusan Nomor 10/HKI.HAK CIPTA/2016/PN/Niaga.Sby)”. Adapun
permasalahan dalam penelitian ini adalah: bagaimanakah pengaturan perjanjian lisensi dalam
undang-undang hak cipta di Indonesia, bagaimanakah terjadinya pelanggaran terhadap
pemegang hak lisensi sebagai bagian dari Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) dan
bagaimanakah analisis yuridis Putusan Nomor 10/HKI.HAK CIPTA/2016/PN/Niaga.Sby.
Penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif atau doktriner yaitu
ditekankan pada penggunaan data sekunder. Peneliti menggunakan alat pengumpulan data
berupa Studi Kepustakaan atau Studi Dokumen (Documentary Study) yang berkaitan dengan
Putusan Nomor 10/HKI.HAK CIPTA/2016/PN/Niaga.Sby.
Pengertian lisensi menurut Pasal 1 angka (20) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014
tentang Hak Cipta adalah izin tertulis yang diberikan oleh Pemegang Hak Cipta atau Pemilik
Hak Terkait kepada pihak lain untuk melaksanakan hak ekonomi atas Ciptaannya atau produk
Hak Terkait dengan syarat tertentu. Jadi pada dasarnya lisensi hak cipta merupakan suatu
bentuk pemberian izin pemanfaatan atau penggunaan hak cipta, yang bukan merupakan
pengalihan hak, yang dimiliki oleh pemberi lisensi kepada penerima lisensi dalam jangka
waktu tertentu, yang pada umumnya disertai dengan imbalan berupa royalti. Adanya izin
dalam lisensi hak cipta tersebut bersifat mutlak dan izin yang diberikan harus dituangkan
dalam bentuk perjanjian. Penanyangan tersebut dilakukan di area publik yang seharusnya
lebih dulu mendapatkan izin PT. Inter Sport Marketing selaku pemegang lisensi izin
penanyangan pertandingan piala dunia di seluruh wilayah Republik Indonesia. Penggunaan
lisensi tersebut tentu saja melanggar ketentuan dalam undang- undang hak cipta sehingga
terhadap pelaku dapat diberikan sanksi. Saksi yang diberikan dalam putusan ini adalah denda
berupa kewajiban pembayaran ganti rugi sebesar Rp 100.000.000,00 atau seratus juta rupiah
kepada penggugat. Berdasarkan hal- hal yang menjadi pertimbangan dalam persidangan,
maka Putusan Mahkamah Agung tersebut telah memenuhi asas- asas yang terdapat dalam
Undang-undang. Putusan ini tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2004 tentang Hak Cipta dan juga Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.

Kata kunci: HAKI, Sengketa, Lisensi

* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


** Dosen Pembimbing I
*** Dosen Pembimbing II

Universitas Sumatera Utara


ABSTRACT
Toha Wardana*
Saidin**
Maria Kaban***

Efforts to protect copyrights are carried out in order to prevent violations against
copyright itself. Copyright holders can be distinguished between individuals as well as legal
entities. Disputes that occur in this case are regarding violations of copyright owned by the
company PT. Inter Sport Marketing. The company is a copyright holder in the form of a
license for broadcasting rights to the world cup based on an agreement with FIFA dated May
5, 2011. Protection is carried out by giving severe sanctions against the perpetrators of
copyright infringement in Indonesia. For this reason, it is felt necessary to dig deeper into the
occurrence of copyright infringement. The research is written in the form of a thesis with the
title "Dispute Settlement of License Agreements as Part of Intellectual Property Rights
(Decision Study Number 10 / IPR / COPYRIGHT / 2016 / PN / Niaga.Sby)". The problems
in this research are: how is the licensing agreement in the copyright law in Indonesia, how is
the violation of the licensee as part of Intellectual Property Rights (IPR) and how is the
juridical analysis of Decision Number 10 / IPR. COPYRIGHT / 2016 /PN/Niaga.Sby.
Research conducted is normative or doctrinal legal research, which is emphasized on
the use of secondary data. Researchers used a data collection tool in the form of a Literature
Study or Documentary Study relating to Decision Number 10 / HKI. COPYRIGHT / 2016 /
PN / Niaga.Sby.
The definition of a license according to Article 1 number (20) of Law Number 28
Year 2014 concerning Copyright is a written permission granted by the Copyright Holder or
Owner of Related Rights to other parties to exercise economic rights over his Work or
Related Right products with certain conditions. So basically a copyright license is a form of
granting permission to use or use of copyright, which is not a transfer of rights, which is
owned by the licensor to the licensee within a certain period of time, which is generally
accompanied by compensation in the form of royalties. The permission in the copyright
license is absolute and the permission given must be stated in the form of an agreement. The
announcement was carried out in a public area that should have obtained PT. Inter Sport
Marketing as the licensing holder of the world cup competition in all regions of the Republic
of Indonesia. The use of the license of course violates the provisions in the copyright law so
that the perpetrators can be sanctioned. The witness given in this decision was a fine in the
form of an obligation to pay compensation amounting to Rp 100,000,000.00 or one hundred
million rupiah to the plaintiff. Based on matters considered in the trial, the Supreme Court
Decision has fulfilled the principles contained in the Act. This decision does not contradict
Law Number 28 of 2004 concerning Copyright and also Law Number 48 of 2009 concerning
Judicial Power.

Keywords: Intellectual Property Rights, Disputes, Licenses


* University of North Sumatra Faculty of Law students
** 1st Thesis Adviser of Law University of North Sumatera
*** 2nd Thesis Adviser of Law University of North Sumatera

ii

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas anugerah, kasih

karunia, hikmat dan sukacita sehingga penulis dapat menyelsaikan skripsi ini

dengan judul “PENYELESAIAN SENGKETA ATAS PERJANJIAN LISENSI

SEBAGAI BAGIAN DARI HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL (STUDI

PUTUSAN NOMOR 10/HKI.HAK CIPTA/2016/PN/NIAGA.SBY)” sebagai

salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Hukum (S-1) pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara Medan.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak sekali mendapatkan

bimbingan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung yang

telah membantu menyelesaikan skripsi ini.

1. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum Selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

2. Prof. Dr. OK. Saidin, S.H., M.HumSelaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara sekaligus Dosen Pembimbing I penulis.

3. Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum Selaku Wakil Dekan II Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara

4. Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum Selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

5. Terima kasih juga saya ucapkan kepada ibu Dr. Rosnidar Sembiring,

SH,M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan di Fakultas

Hukum USU dan sekaligus Dosen Pembimbing saya.

ii

Universitas Sumatera Utara


6. Terima kasih saya ucapkan kepada bapak Syamsul Rizal, SH, M.Hum

selaku sekretaris Departemen Hukum Keperdataan di Fakultas Hukum

USU.

7. Terima kasih saya ucapkan kepada ibu Dr. Maria Kaban,SH.,M.Hum

selaku Dosen Pembimbing II saya, yang telah banyak membantu dan

memberi bimbingan dalam penulisan skripsi ini.

8. Terima kasih kepada kedua orang tua saya yang selalu memberi dukungan

dan semangat kepada saya baik secara moral maupun secara materi.

9. Terima kasih kepada rekan- rekan saya di Fakutas Hukum USU yang telah

membantu saya selama pengerjaan skripsi ini.

Mudah- mudahan skripsi saya ini dapat bermanfaat khususnya dalam hal

pengembangan ilmu pengetahuan dan berguna bagi masyarakat.

Medan, Januari 2020

Penulis

iii
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI

Abstrak...................................................................................................................i

Kata Pengantar......................................................................................................ii

Daftar Isi................................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang............................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................... 8
D. Keaslian Penelitian ........................................................................ 9
E. Tinjauan Pustaka .......................................................................... 9
F. Metode Penelitian .......................................................................... 21
G. Sistematika Penulisan ................................................................... 23
BAB II PENGATURAN PERJANJIAN LISENSI DALAM UNDANG-
UNDANG HAK CIPTA DI INDONESIA
A. Pengertian Perjanjian ..................................................................... 26
B. Pengertian Lisensi dan Regulasinya .............................................. 38
C. Jenis-jenis Lisensi .......................................................................... 41
D. Lisensi Sebagai Bagian dari Hak Kekayaan Intelektual ................ 43
BAB III TERJADINYA PELANGGARAN TERHADAP PEMEGANG
HAK LISENSI SEBAGAI BAGIAN DARI HAK KEKAYAAN
INTELEKTUAL (HAKI)
A. Tata Cara Penggunaan Hak Cipta ................................................. 57
B. Hak Pemegang Hak Cipta ............................................................ 60
C. Pelanggaran Hak Pemegang Lisensi ............................................ 65
BAB IV ANALISIS YURIDIS Putusan NOMOR 10/HKI.HAK
CIPTA/2016/PN/NIAGA.SBY
A. Kasus Posisi ................................................................................... 72
B. Pertimbangan dalam Memutuskan Sengketa Hak Cipta ............... 73
C. Analisis Terhadap Putusan No. 10/ HKI. HAK CIPTA/ 2016/
PN/ NIAGA. SBY ......................................................................... 84

iv

Universitas Sumatera Utara


v

D. Akibat Hukum Atas Putusan Nomor 10/ HKI .HAK CIPTA/


2016/ PN/ NIAGA. SBY ............................................................... 86
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan.....................................................................................89
B. Saran............................................................................................. 90
Daftar Pustaka.................................................................................................... 92

Lampiran

v
Universitas Sumatera Utara
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hak cipta merupakan salah satu bagian dari kekayaan intelektual yang

memiliki ruang lingkup objek dilindungi paling luas, karena mencakup ilmu

pengetahuan, seni dan sastra (art and literary) yang di dalamnya mencakup pula

program komputer. Hak cipta adalah hak khusus bagi pencipta atau penerima hak

untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaanya atau memberi izin untuk itu

dalam bidang pengetehuan, kesenian, dan kesusastraan, dengan pembatasan-

pembatasan tertentu.1 Dalam dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 28

tahun 2014 tentang Hak Cipta diatur bahwa hak cipta adalah hak eksklusif

pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu

ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai

dengan ketentuan perundang-undangan.

Tujuan dari adanya penggolongan Hak Kekayaan Intelektual adalah untuk

mempertahankan kreativitas dan identitas yang sudah dibangun oleh sebuah

perusahaan agar lebih dikenal oleh masyarakat luas. Pada dasarnya pemilik merek

ingin meraih loyalitas konsumen yaitu perilaku puncak konsumen terhadap merek,

dimana konsumen bersedia melakukan apa saja demi mempertahankan merek

pilihannya.2

1
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2011), hal. 208
2
Maulana, Insan Budi, Perlindungan Hukum Terhadap Merek Terkenal Asing Di
Indonesia Dari Masa Ke Masa. Bandung : Citra Aditya Bakti, 1999 hal 91

Universitas Sumatera Utara


2

Adapun ciptaan-ciptaan yang dilindungi dalam bidang ilmu pengetahuan,

seni, dan sastra salah satunya adalah karya sinematografi. Dari karya

sinematografi, terciptalah film. Film adalah karya seni budaya yang merupakan

pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah

sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertujukkan. Film juga dikenal

sebagai media penyimpan dari karya sinematografi tersebut. Film dihasilkan

dengan rekaman dari orang dan benda dengan kamera, dan/atau oleh animasi.

Di Indonesia, masalah hak cipta diatur dalam undang-undang hak cipta

yang berlaku saat ini, yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 tahun

2002 tentang Hak Cipta. Dalam undang-undang tersebut, pengertian Hak Cipta

adalah “Hak eksklusif bagi pencipta maupun penerima hak untuk mengumumkan

atau memperbanyak ciptaannya maupun memberikan izin untuk itu dengan tidak

mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan

yang berlaku” (pasal 1 butir 1).3

Dengan bertambahnya hak cipta, manusia menyadari akan adanya hak

baru di luar hak kebendaan atau barang. Pengakuaan atas segala temuan, ciptaan

dan kreasi baru yang ditemukan dan diciptakan baik oleh individu maupun

kelompok telah melahirkan apa yang disebut dengan Hak Milik Intelektual (HMI)

atau Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Pada abad kuno, hak cipta belum dikenal

oleh masyarakat, sekalipun banyak karya cipta yang dihasilkan masyarakat pada

saat itu. Karya cipta dianggap sebagai hal biasa yang eksistensinya tidak perlu

dilindungi oleh peraturan perundang-undangan. Mereka menganggap bahwa hak

3
Muhammad Djakfar, Hukum Bisnis: Membangun Wacana Integrasi Perundangan
Nasional dengan Syariáh, (Malang: UIN-Malang Press, Cet I, 2009), hal. 235

Universitas Sumatera Utara


3

cipta tidak memiliki arti yang strategis dalam kehidupan manusia, seperti halnya

rumah, tanah atau benda lainnya. 4

Pengakuan dan perlindungan terhadap kekayaan intelektual telah

dilakukan sejak dahulu. Sebagai negara bekas jajahan Belanda, maka sejarah

hukum tentang perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Indonesia tidak

dapat dilepaskan dari sejarah hukum serupa di Belanda pada masa itu, karena

hampir seluruh peraturan yang berlaku di Belanda waktu itu juga diperlakukan di

Indonesia (Hindia Belanda). Undang-Undang Hak Cipta (UUHC) yang pertama

kali berlaku di Indonesia adalah UUHC pada tanggal 23 September 1912 yang

berasal dari Belanda yang diamandemenkan oleh Undang-Undang No 6 Tahun

1982 tentang Hak Cipta yang mendapat penyempurnaan pada tahun 1987.

Departemen Kehakiman pada tahun 1989 mengeluarkan UUHP, pada tahun 1992

mengeluarkan UUHM, dan yang terakhir Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002

tentang Hak Cipta. Dengan demikian, Hak Cipta diakui dan mempunyai

perlindungan hukum yang sah, dan pelanggarnya dapat dituntut dengan hukuman

penjara maksimal 7 tahun dan atau denda maksimal Rp. 5.000.000.000.00,-.

Sebagai suatu kekayaan intelektual yang berasal dari daya pikir manusia,

suatu kekayaan intelektual perlu dilindungi, dengan alasan:5

1. Suatu kekayaan intelektual sebagai hasil kreasi manusia di bidang ilmu

pengetahuan, seni dan sastra serta bidang teknologi baru yang

mengandung langkah inovatif serta dapat diterapkan dalam industri

4
Syafrinaldi, Hukum tentang Perlindungan Hak Milik Intelektual dalam Menghadapi Era
Global, (Riau: UIR Press, Cet I, 2001), hal.1
5
Andriana Krinawati, TRIPs-WTO & Hukum HKI Indonesia, Jakarta: PT. Rineka Cipta,
2005 hal. 12

Universitas Sumatera Utara


4

harus diberikan suatu penghargaan dan pengakuan serta perlindungan

hukum atas keberhasilan melahirkan kekayaan intelektual ciptaan baru

itu. Secara umum perlindungan hak kekayaan intelektual adalah untuk

melindungi hak moral dan ekonomi.

2. Hasil kreasi tersebut dalam masyarakat beradab diakui bahwa yang

menciptakan boleh menguasai untuk tujuan yang menguntungkan.

Kreasi sebagai milik berdasarkan postulat hak milik dalam arti yang

seluas- luasnya termasuk milik yang tidak berwujud dapat menguasai

dan menggunakannya untuk kepentingan pemilik.

3. Hak kekayaan intelektual sebagai hasil ciptaan atau penemuan yang

bersifat rintisan dapat membuka kemungkinan para pihak lain dapat

mengembangkan lebih lanjut penemuan yang dihasilkan oleh penemu

karya tersebut.

4. Bidang hak kekayaan intelektual lain selain rahasia dagang, seperti

paten pada dasarnya bersifat terbuka, artinya penemuannya harus

menguraikan atau membeberkan penemuannya dengan jelas dan

terperinci sebagai salah satu syarat pendaftaran paten. Keadaan ini

potensial menimbulkan risiko, karena orang lain dapat belajar atau

melaksanakan penemuan tersebut secara tanpa hak. Oleh karena itu,

sebagai imbalannya kepada penemu diberikan hak khusus untuk dalam

jangka waktu tertentu melakukan eksploitasi atas penemuannya,

sehingga setiap pelanggaran atas hak itu dapat dituntut baik secara

perdata maupun pidana.

Universitas Sumatera Utara


5

5. Mendorong bakat setempat dalam mencurahkan energinya untuk

melahirkan suatu karya seni serta merangsang kreativitas nasional.

Oleh karena itu, negara harus memberikan jaminan perlindungan hak

cipta secara efektif. Upaya- upaya kreatif dari seniman suatu negara

mencerminkan jiwa dari bangsa itu sendiri serta menunjukkan adanya

sifat moral, kebiasaan dna budaya untuk terus berkembang.

Selain memberikan kepastian hukum, perlindungan hak kekayaan

intelektual yang efektif juga memberikan manfaat yang dapat dirasakan dari segi

politis, ekonomi, sosial, maupun budaya. Bahkan, segi pertahanan kemanan juga

dapat meraih manfaat dari adanya perlindungan hak kekayaan intelektual ini.

Secara garis besar kita dapat melihat beberapa keuntungan dan manfaat yang

diharapkan dengan adanya perlindungan hak kekayaan intelektual, baik secara

ekonomi mikro maupun ekonomi makro yaitu di antaranya: 6

1. Perlindungan hak kekayaan intelektual yang kuat dapat memberikan

dorongan untuk meningkatkan landasan teknologi (technological base)

nasional guna meningkatkan pengembangan teknologi yang lebih cepat

lagi.

2. Pada dasarnya, pemberian perlindungan hukum terhadap hak kekayaan

intelektual dimaksudkan agar upaya untuk mewujudkan iklim yang

lebih baik lagi tumbuh dan berkembangnya gairah mencipta atau

menemukan sesuatu di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra.

6
Mahadi, Hak Milik Immateriil, Jakarta: Bina Cipta, 1985 hal. 4

Universitas Sumatera Utara


6

3. Pemberian perlindungan hukum terhadap hak kekayaan intelektual

bukan saja merupakan pengakuan negara terhadap hasil karya, karsa

manusia, tetapi secara ekonomi makro merupakan penciptaan suasana

sehat untuk menarik penanaman modal asing, serta memperlancar

perdagangan internasional.

Ditingkat internasional hak cipta juga diberikan perlindungan, yaitu

diantaranya dalam perjanjian internasional seperti Bern Convention, The

Universal Copyrights Convention dan The TRIPs Agreement. The TRIPs

Agreement tercantum dalam perjanjian multilateral GATT/ WTO yang diikuti

oleh Indonesia, yang mana tujuan dari perjanjian The TRIPs Agreement untuk

melindungi dan menegakkan hukum hak milik intelektual guna mendorong

timbulnya inovasi, pengalihan serta penyebaran teknologi dengan cara

menciptakan kesejahteraan sosial ekonomi serta keseimbangan antara hak dan

kewajiban. 7Perjanjian tersebut memungkinkan negara-negara anggotanya untuk

menyediakan perlindungan yang lebih luas terkait dengan Hak Kekayaan

Intelektual (HKI) berlaku juga bagi Indonesia, dalam hal ini dapat diartikan

bahwa negara-negara yang menjadi anggota perjanjian tersebut dapat mengatur

dan membuat sendiri ketentuan-ketentuan dan pembatasan-pembatasan hak cipta

sesuai dengan kebijakan pemerintah di negaranya. Di Indonesia sendiri hak cipta

diatur di dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Sebelumnya Undang-Undang ini telah dilakukan beberapa kali pembaharuan.

Dimulai dari lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 yang kemudian

7
Budi Agus Riswandi, Hak Cipta Di Internet Aspek Hukum Dan Permasalahannya Di
Indonesia, (Yogyakarta: FH UII Press, 2009, hal. 23

Universitas Sumatera Utara


7

harus dilakukan pembaharuan sebagai bentuk konsekuensi yuridis keikutsertaan

Indonesia dalam perjanjian multilateral GATT/ WTO, sehingga melahirkan

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta. Pembaharuan masih

berlanjut hingga melahirkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, sampai

dilakukan pembaharuan yang terakhir yaitu Undang-Undang Nomor 28 Tahun

2014 yang masih berlaku sampai sekarang ini.

Dapat dilihat bahwa segala upaya perlindungan Hak Cipta dilakukan

dalam rangka pencegahan pelanggaran terhadap hak cipta itu sendiri. Pemegang

hak cipta dapat dibedakan antara orang secara individu dan juga badan hukum.

Sengketa yang terjadi dalam hal ini adalah mengenai pelanggaran terhadap hak

cipta yang dimiliki oleh perusahaan PT. Inter Sport Marketing. Perusahaan ini

adalah perusahaan pemegang hak cipta berupa lisensi hak siar piala dunia

berdasarkan perjanjian dengan pihak FIFA tertanggal 5 Mei 2011. Perlindungan

dilakukan dengan memberikan sanksi yang berat terhadap pelaku pelanggaran hak

cipta di Indonesia. Atas dasar itulah, dirasa perlu untuk menggali lebih dalam

tentang terjadinya pelanggaran hak cipta. Adapun penelitian ini dituangkan dalam

bentuk tulisan skripsi dengan judul “Penyelesaian Sengketa Atas Perjanjian

Lisensi Sebagai Bagian dari Hak Kekayaan Intelektual (Studi Putusan Nomor

10/HKI.HAK CIPTA/2016/PN/Niaga.Sby)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas maka beberapa

permasalahan yang perlu dikaji, yakni:

Universitas Sumatera Utara


8

1. Bagaimanakah pengaturan perjanjian lisensi dalam undang-undang hak

cipta di Indonesia?

2. Bagaimanakah terjadinya pelanggaran terhadap pemegang hak lisensi

sebagai bagian dari Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) ?

3. Bagaimanakah analisis yuridis Putusan Nomor 10/HKI.HAK

CIPTA/2016/PN/Niaga.Sby?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah di uraikan di atas maka tujuan

penelitian yang hendak dicapai adalah :

1. Untuk mengetahui pengaturan perjanjian lisensi dalam undang-undang

hak cipta di Indonesia.

2. Untuk mengetahui tentang terjadinya pelanggaran terhadap pemegang

hak lisensi sebagai bagian dari Hak Kekayaan Intelektual (HAKI).

3. Untuk mengetahui tentang analisis yuridis Putusan Nomor

10/HKI.HAK CIPTA/2016/PN/Niaga.Sby.

Sedangkan manfaat penelitian ini adalah untuk mencapai hal- hal sebagai

berikut ini:

1. Manfaat Teoritis

Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum

keperdataan, yang terkhusus berkaitan dengan pemberian sanksi terhadap

pelanggaran hak cipta sebagai upaya perlindungan pemegang hak cipta.

Universitas Sumatera Utara


9

2. Manfaat Praktis

a. Dapat menjadikan sebagai pedoman dan bahan rujukan bagi rekan

mahasiswa, masyarakat, maupun pihak lainnya dalam penulisan-

penulisan ilmiah lainnya yang berhubungan.

b. Agar menambah pengetahuan kepada masyarakat berkaitan dengan

Perlindungan Hukum pemegang hak cipta dengan memberikan

sanksi kepada pelanggar ketentuan hak cipta.

c. Dapat dijadikan sebagai rujukan bagi pelaksanaan Pemberian

Sanksi Terhadap Pelanggar Hak Cipta Sebagai Perlindungan

Kepada Pemegang Hak Cipta.

D. Keaslian Penulisan

Penelitian ini dilakukan atas ide dan pemikiran dari peneliti sendiri atas

masukan yang berasal dari berbagai pihak guna membantu penelitian dimaksud.

Sepanjang yang telah diketahui dan ditelusuri di lingkungan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara, penelitian tentang Penyelesaian Sengketa Atas

Perjanjian Lisensi Sebagai Bagian dari Hak Kekayaan Intelektual (Studi Putusan

Nomor 10/HKI.HAK CIPTA/2016/PN/Niaga.Sby), belum pernah diteliti oleh

peneliti sebelumnya. Dengan demikian, jika dilihat kepada permasalahan yang

ada dalam penelitian ini, maka dapat dikatakan bahwa penelitian ini merupakan

karya ilmiah yang asli, apabila ternyata dikemudian hari ditemukan judul yang

sama, maka dapat dipertanggungjawabkan sepenuhnya.

Universitas Sumatera Utara


10

E. Tinjauan Kepustakaan

Adapun judul yang dikemukakan oleh penulis adalah “Penyelesaian

Sengketa Atas Perjanjian Lisensi Sebagai Bagian dari Hak Kekayaan Intelektual

(Studi Putusan Nomor 10/HKI.HAK CIPTA/2016/PN/Niaga.Sby)” Dalam

tinjauan dicoba untuk mengemukakan beberapa ketentuan dan batasan yang

menjadi sorotan dalam mengadakan studi kepustakaan. Hal ini akan berguna bagi

penulis untuk membantu melihat ruang lingkup skripsi agar tetap berada di dalam

topik yang diangkat dari permasalahan yang telah diangkat di atas. Adapun yang

menjadi pengertian secara etimologis daripada judul skripsi ini adalah sebagai

berikut:

1. Penyelesaian Sengketa

Sengketa tidak lepas dari suatu konflik. Dimana ada sengketa pasti disitu

ada konflik. Begitu banyak konflik dalam kehidupan sehari-hari. Entah konflik

kecil ringan bahkan konflik yang besar dan berat. Hal ini dialami oleh semua

kalangan, karena hidup ini tidak lepas dari permasalahan. Tergantung bagaimana

kita menyikapinya. Kenapa harus mempelajari tentang sengketa. Karena untuk

mengetahui lebih dalam bagaimana suatu sengketa itu dan bagaimana

penyelesaiannya.8

Pengertian sengketa dalam kamus Bahasa Indonesia adalah pertentangan

atau konflik. Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang,

kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu obyek

permasalahan. Menurut Winardi, pertentangan atau konflik yang terjadi antara

8
Sarjita, Teknik dan Strategi Penyelesaian Sengketa Pertanahan, Yogyakarta, Tugujogja
Pustaka, 2005, hal. 8

Universitas Sumatera Utara


11

individu-individu atau kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau

kepentingan yang sama atas suatu obyek kepemilikan, yang menimbulkan akibat

hukum antara satu dengan yang lain.9

Macam-macam penyelesaian sengketa pada awalnya, bentuk-bentuk

penyelesaian sengketa yang dipergunakan selalu berorientasi pada bagaimana

supaya memperoleh kemenangan (seperti peperangan, perkelahian bahkan

lembaga pengadilan). Oleh karena kemenangan yang menjadi tujuan utama, para

pihak cenderung berupaya mempergunakan berbagai cara untuk mendapatkannya,

sekalipun melalui cara-cara melawan hukum. Akibatnya, apabila salah satu pihak

memperoleh kemenangan tidak jarang hubungan diantara pihak-pihak yang

bersengketa menjadi buruk, bahkan berubah menjadi permusuhan. Dalam

perkembangannya, bentuk-bentuk penyelesaian yang berorientasi pada

kemenangan tidak lagi menjadi pilihan utama, bahkan sedapat mungkin dihindari.

Pihak-pihak lebih mendahulukan kompromi dalam setiap penyelesaian sengketa

yang muncul di antara mereka, dengan harapan melalui kompromi tidak ada pihak

yang merasa dikalahkan/dirugikan.

Upaya manusia untuk menemukan cara-cara penyelesaian yang lebih

mendahulukan kompromi, dimulai pada saat melihat bentuk-bentuk penyelesaian

yang dipergunakan pada saat itu (terutama lembaga peradilan) menunjukkan

berbagai kelemahan/kekurangan, seperti: biaya tinggi, lamanya proses

pemeriksaan, dan sebagainya. Akibat semakin meningkatnya efek negatif dari

lembaga pengadilan, maka pada permulaan tahun 1970-an mulailah muncul suatu
9
Ali. Achmad Chomzah, Seri Hukum Pertanahan III Penyelesaian Sengketa Hak Atas
Tanah dan Seri Hukum Pertanahan IV Pengadaan Tanah Instansi Pemerintah, Jakarta, Prestasi
Pustaka, 2003, hal. 14

Universitas Sumatera Utara


12

pergerakan dikalangan pengamat hukum dan akademisi Amerika Serikat untuk

mulai memperhatikan bentuk-bentuk penyelesaian sengketa.

Laura Nader dan Herry F. Todd membedakan konflik dan sengketa

melalui proses bersengketa (disputing process), sebagai berikut:10

1. Tahap pra-konflik atau tahap keluhan, yang mengacu kepada keadaan

atau kondisi yang oleh seseorang atau suatu kelompok dipersepsikan

sebagai hal yang tidak adil dan alasan-alasan atau dasar-dasar dari

adanya perasaan itu. Pelanggaran terhadap rasa keadilan itu dapat

bersifat nyata atau imajinasi saja. Yang terpenting pihak itu merasakan

haknya dilanggar atau diperlakukan dengan salah;

2. Tahap Konflik (conflict), ditandai dengan keadaan dimana pihak yang

merasa haknya dilanggar memilih jalan konfrontasi, melemparkan

tuduhan kepada pihak pelanggar haknya atau memberitahukan kepada

pihak lawannya tentang keluhan itu. Pada tahap ini kedua belah pihak

sadar mengenai adanya perselisihan pandangan antar mereka;

3. Tahap Sengketa (dispute), dapat terjadi karena konflik mengalami

eskalasi berhubung karena adanya konflik itu dikemukakan secara

umum. Suatu sengketa hanya terjadi bila pihak yang mempunyai

keluhan telah meningkatkan perselisihan pendapat dari pendekatan

menjadi hal yang memasuki bidang publik. Hal ini dilakukan secara

sengaja dan aktif dengan maksud supaya ada sesuatu tindakan

mengenai tuntutan yang diinginkan.

10
http://sofian-memandang.blogspot.co.id/2015/03/perbedaan-konflik-dan-sengketa.html
diakses pada 21 Oktober 2019

Universitas Sumatera Utara


13

2. Hak Cipta

Hak cipta ialah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk

mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu

dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Dari pengertian ini, hasil ciptaan seseorang merupakan

hasil karya dalam bentuk yang khas dan menunjukkan keaslian konsep dalam

lapangan pendidikan, ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Sementara itu, pencipta

ialah seorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya

lahir suatu ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan,

keterampilan, atau keahlian yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan bersifat

pribadi.

Adapun ciri-ciri hak cipta yang diantaranya yaitu:

a. Jangka waktu perlindungan ialah seumur hidup dan tambahan waktu

50 tahun setelah pemegang hak meninggal dunia.

b. Hak cipta didapatkan secara otomatis, tidak ada kewajiban

mendaftarkan. Namun demi kepentingan pencipta atau pemegang hak

cipta surat pendaftaran ciptaan tetap penting, terutama jika da

permasalahan hukum pada kemudian hari. Surat pendaftaran dapat

dijadikan sebagai alat bukti awal untuk menentukan siapa pencipta

atau pemegang hak cipta yang lebih berhak atas suatu ciptaan.

c. Bentuk-bentuk pelanggaran, misalnya terdapat bagian-bagiannya telah

disalin secara sinstantif, memiliki kesamaan, diperbanyak atau

diumumkan tanpa izin.

Universitas Sumatera Utara


14

d. Sanksi pidana yang dikenakan jika terbukti bersalah melakukan

pelanggaran hak cipta, hukuman yang dikenakan maksimum tujuh

tahun dan atau denda lima milyar rupiah.

e. Dilindungi, misalnya ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan

sastra, musik, buku ceramah, seni tari, program komputer dan lainnya.

f. Kriteria benda atau hal-hal yang mendapatkan perlindungan hak cipta

hanya ciptaan yang asli.

Fungsi adari hak cipta adalah sebagai berikut:

a. Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta atau pemegang Hak

Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya yang

timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa

mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

b. Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta atau pemegang Hak

Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya yang

timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa

mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

3. Perlindungan Hukum

Perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman kepada hak asasi

yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat

agar mereka dapat menikmati semua hak- hak yang diberikan oleh hukum atau

dengan kata lain perlindungan hukum adalah berbagai upaya hukum yang harus

Universitas Sumatera Utara


15

diberikan oleh aparat penegak hukum hak yang diberikan oleh hukum untuk

memberikan rasa aman, baik secara pikiran maupun fisik dari gangguan dan

berbagai ancaman dari pihak manapun.11

Menurut Muchsin, yang dikuti dari buku Nashriana perlindungan hukum

merupakan kegiatan untuk melindungi individu dengan menyerasikan hubungan

nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam

menciptakan adanya ketertiban dalam pergaulan hidup antar sesama manusia.12

Perlindungan hukum merupakan suatu hal yang melindungi subyek-

subyek hukum melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku dan

dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Perlindungan hukum dapat

dibedakan menjadi dua, yaitu:13

a. Perlindungan Hukum Preventif

Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk

mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan

perundangundangan dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta

memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan sutu kewajiban.

b. Perlindungan Hukum Represif

Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi

seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah

terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran.

Menurut Philipus M. Hadjon, bahwa sarana perlindungan Hukum ada dua

macam, yaitu :
11
Ishaq, Dasar- dasar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2009 hal. 43
12
Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana, Jakarta: Rajawali, 2016 hal. 17
13
Ibid, hal. 20

Universitas Sumatera Utara


16

a. Sarana Perlindungan Hukum Preventif

Pada perlindungan hukum preventif ini, subyek hukum diberikan

kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu

keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Tujuannya adalah

mencegah terjadinya sengketa. Perlindungan hukum preventif sangat besar artinya

bagi tindak pemerintahan yang didasarkan pada kebebasan bertindak karena

dengan adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk

bersifat hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi. Di

indonesia belum ada pengaturan khusus mengenai perlindungan hukum preventif.

b. Sarana Perlindungan Hukum Represif

Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan

sengketa. Penanganan perlindungan hukum oleh Pengadilan Umum dan

Pengadilan Administrasi di Indonesia termasuk kategori perlindungan hukum ini.

Prinsip perlindungan hukum terhadap tindakan pemerintah bertumpu dan

bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak

asasi manusia karena menurut sejarah dari barat, lahirnya konsep-konsep tentang

pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia diarahkan kepada

pembatasanpembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan pemerintah.

Prinsip kedua yang mendasari perlindungan hukum terhadap tindak pemerintahan

adalah prinsip negara hukum. Dikaitkan dengan pengakuan dan perlindungan

terhadap hak-hak asasi manusia, pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak

asasi manusia mendapat tempat utama dan dapat dikaitkan dengan tujuan dari

negara hukum.

Universitas Sumatera Utara


17

Pengertian perlindungan menurut ketentuan Pasal 1 butir 6 Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

menentukan bahwa perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan

pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban

yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan

ketentuan Undang-Undang ini.

4. Undang-Undang Hak Cipta

Di Indonesia, masalah hak cipta diatur dalam Undang-undang Hak Cipta,

yaitu, yang berlaku saat ini, Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014. Dalam

undang-undang tersebut, pengertian hak cipta adalah "hak eksklusif bagi pencipta

atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau

memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku" (pasal 1 butir 1).

Hak cipta di Indonesia juga mengenal konsep "hak ekonomi" dan "hak

moral". Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas

ciptaan, sedangkan hak moral adalah hak yang melekat pada diri pencipta atau

pelaku (seni, rekaman, siaran) yang tidak dapat dihilangkan dengan alasan apa

pun, walaupun hak cipta atau hak terkait telah dialihkan. Contoh pelaksanaan hak

moral adalah pencantuman nama pencipta pada ciptaan, walaupun misalnya hak

cipta atas ciptaan tersebut sudah dijual untuk dimanfaatkan pihak lain. Hak moral

diatur dalam pasal 24- 26 Undang-undang Hak Cipta.

Perkecualian hak cipta dalam hal ini berarti tidak berlakunya hak eksklusif

yang diatur dalam hukum tentang hak cipta. Contoh perkecualian hak cipta adalah

Universitas Sumatera Utara


18

doktrin fair use atau fair dealing yang diterapkan pada beberapa negara yang

memungkinkan perbanyakan ciptaan tanpa dianggap melanggar hak cipta.

Dalam Undang-undang Hak Cipta yang berlaku di Indonesia, beberapa hal

diatur sebagai dianggap tidak melanggar hak cipta (pasal 14–18). Pemakaian

ciptaan tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta apabila sumbernya disebut

atau dicantumkan dengan jelas dan hal itu dilakukan terbatas untuk kegiatan yang

bersifat nonkomersial termasuk untuk kegiatan sosial, misalnya, kegiatan dalam

lingkup pendidikan ilmu pengetahuan, kegiatan penelitian dan pengembangan,

dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari penciptanya.

Kepentingan yang wajar dalam hal ini adalah "kepentingan yang didasarkan pada

keseimbangan dalam menikmati manfaat ekonomi atas suatu ciptaan". Termasuk

dalam pengertian ini adalah pengambilan ciptaan untuk pertunjukan atau

pementasan yang tidak dikenakan bayaran. Khusus untuk pengutipan karya tulis,

penyebutan atau pencantuman sumber ciptaan yang dikutip harus dilakukan

secara lengkap. Artinya, dengan mencantumkan sekurang-kurangnya nama

pencipta, judul atau nama ciptaan, dan nama penerbit jika ada. Selain itu, seorang

pemilik (bukan pemegang hak cipta) program komputer dibolehkan membuat

salinan atas program komputer yang dimilikinya, untuk dijadikan cadangan

semata-mata untuk digunakan sendiri.

5. Sanksi

Menurut Utrecht sebagaimana yang dikutip oleh Soeroso dalam bukunya

yang berjudul Pengantar Ilmu Hukum, mengatakan bahwa ilmu hukum

merupakan himpunan petunjuk hidup (perintah-perintah) dan larangan-larangan

Universitas Sumatera Utara


19

yang mengatur tata tertib dalam sesuatu masyarakat dan seharusnyalah ditaati oleh

anggota masyarakat itu. Oleh karena itu, pelanggaran petunjuk tersebut dapat

menimbulkan tindakan dari pihak pemerintah terhadap masyarakat itu.14

Menurut P. Borst hukum adalah keseluruhan peraturan bagi kelakuan atau

perbuatan manusia di dalam masyarakat yang pelaksanaannya dapat dipaksakan

dan bertujuan agar menimbulkan tata kedamaian atau keadilan. Pelaksanaan

peraturan hukum itu dapat dipaksakan artinya bahwa hukum mempunyai sanksi,

berupa ancaman dengan hukuman terhadap si pelanggar atau merupakan gantirugi

bagi yang menderita.15

Dari kedua definisi tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa hukum

berkaitan dengan sanksi. Hal ini dapat dipahami karena pada dasarnya hukum itu

memiliki sifat mengatur dan memaksa. Didalam sifat hukum yang mengatur,

terdapat larangan-larangan. Apabila suatu larangan tersebut dilanggar, maka dapat

menimbulkan sanksi. Sanksi hukum ini bersifat memaksa, hal ini berarti bahwa

tertib itu akan bereaksi terhadap peristiwa-peristiwa tertentu karena dianggap

merugikan masyarakat sebagai akibat dari adanya pelanggaran tersebut. Dengan

cara memaksa, maka suatu penderitaan dikenakan terhadap seseorang dengan

paksa walaupun yang bersangkutan tidak menghendakinya.

Sedangkan pengertian sanksi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia

merupakan tanggungan (tindakan atau hukuman) untuk memaksa orang menepati

perjanjian atau menaati ketentuan undang-undang (anggaran dasar, perkumpulan,

14
Soerjono Soekanto, Teori Yang Murni Tentang Hukum, (Bandung: PT. Alumni, 1985)
hal. 40
15
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, cet. ke-8, (Jakarta, Sinar Grafika, 2006) hal. 40

Universitas Sumatera Utara


20

dan sebagainya); tindakan (mengenai perekonomian) sebagai hukuman kepada

suatu negara hukum, a imbalan negatif, berupa pembebanan atau penderitaan yg

ditentukan dalam hukum; b imbalan positif, yg berupa hadiah atau anugerah yg

ditentukan dalam hukum.16

Berbagai tipe ideal dapat dirumuskan atas dasar cara-cara perilaku

manusia dilaksanakan berdasarkan perintah atau larangan. Suatu tertib sosial

mungkin memerintahkan agar manusia melakukan perbuatan tertentu, tanpa

memberikan akibat tertentu apabila perintah itu ditaati atau dilanggar. Suatu tertib

sosial dapat pula memerintahkan agar suatu perbuatan dilakukan sekaligus dengan

imbalan atau hukumannya. Imbalan dan hukuman merupakan sanksi-sanksi,

namun lazimnya hanya hukuman yang disebut sebagai sanksi.

Menurut Hans Kelsen, sanksi didefinisikan sebagai reaksi koersif

masyarakat atas tingkah laku manusia (fakta sosial) yang mengganggu

masyarakat. Setiap sistem norma dalam pandangan Hans Kelsen selalu bersandar

pada sanksi. Esensi dari hukum adalah organisasi dari kekuatan, dan hukum

bersandar pada sistem paksaan yang dirancang untuk menjaga tingkah laku sosial

tertentu. Dalam kondisi-kondisi tertentu digunakan kekuatan untuk menjaga

hukum dan ada sebuah organ dari komunitas yang melaksanakan hal tersebut.

Setiap norma dapat dikatakan “legal” apabila dilekati sanksi, walaupun norma itu

harus dilihat berhubungan dengan norma yang lainnya.17

16
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai Fustaka, 1995) hal. 1265
17
Antonius Cahyadi dan E. Fernando M. Manullang, Pengantar Ke Filsafat Hukum,
(Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2007) hal. 84

Universitas Sumatera Utara


21

F. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu

pengetahuan maupun teknologi yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran

secara sistematis, metodologis, dan konsisten. Melalui proses penelitian tersebut

diadakan analisa dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah.

Oleh karena penelitian merupakan suatu sarana (ilmiah) bagi pengembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi, maka metodologi penelitian yang diterapkan harus

senantiasa disesuaikan dengan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya.

Penulisan skripsi ini, menggunakan metodologi penulisan sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif

adalah penelitian yang menggunakan latar ilmiah, dengan maksud menafsirkan

fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode

yang ada. Fenomena yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai

Penyelesaian Sengketa Atas Perjanjian Lisensi Sebagai Bagian dari Hak

Kekayaan Intelektual (Studi Putusan Nomor 10/HKI.HAK

CIPTA/2016/PN/Niaga.Sby). Penelitian ini juga didasarkan pada upaya untuk

membangun pandangan subjek penelitian yang rinci, dibentuk dengan kata-kata,

gambaran holistik dan rumit agar dapat membantu memperjelas hasil penelitian 18.

2. Metode penelitian

Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis

normatif yaitu penelitian yang mengkonsepkan hukum sebagai apa yang tertulis

18
Moeleong, Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT.Remaja
Rosdakarya, 2007) hal. 6

Universitas Sumatera Utara


22

dalam peraturan perundang-undangan (law in book) atau hukum dikonsepkan

sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang

dianggap pantas dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan analitis

(Analitical Approach).

Pendekatan Analitis (Analitical Approach) tujuannya adalah mengetahui

makna yang dikandung dalam peraturan perundang-undangan secara

konsepsional, sekaligus mengetahui penerapannya dalam praktik. 19 Penggunaan

metode penelitian yuridis normatif dan pendekatan Analitis disesuaikan dengan

judul penelitian ini yaitu Penyelesaian Sengketa Atas Perjanjian Lisensi Sebagai

Bagian dari Hak Kekayaan Intelektual (Studi Putusan Nomor 10/HKI.HAK

CIPTA/2016/PN/Niaga.Sby). Metode ini digunakan untuk menyesuaikan

peraturan yang ada dengan realita di lingkungan sekitar.

3. Data dan sumber data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu

memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a. Data sekunder pada umumnya ada dalam keadaan siap terbuat.

b. Bentuk maupun isinya data sekunder telah dibentuk dan diisi olehpeneliti-

peneliti terdahulu.

c. Data sekunder tanpa terikat/dibatasi oleh waktu dan tempat.

Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini dibedakan menjadi :

a. Bahan-bahan hukum primer, yang mencakup Putusan Nomor

10/HKI. Hak Cipta/2016/PN/Niaga.Sby. Undang-Undang Nomor

19
Ibrahim Johny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Edisi Revisi),
(Malang: Bayu Media Publishing, 2007) hal. 303

Universitas Sumatera Utara


23

28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Peraturan

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Insentif Kekayaan Intelektual.

b. Bahan-bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang erat

hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu

menganalisis dan memahami bahan hukum primer seperti Jurnal

mengenai hak cipta dan sengketa hak cipta Nasional maupun

Internasional, hasil-hasil penelitian.

c. Bahan-bahan hukum tersier,meliputi kamus hukum, kamus bahasa

Indonesia.

G. Sistematika Penulisan

Keseluruhan sistematika dalam penulisan skripsi ini adalah satu kesatuan

yang saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya dan tidak terpisahkan.

Sistematika penulisan adalah sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Berisikan pendahuluan yang merupakan pengantar

di dalamnya terurai mengenai latar belakang,

perumusan masalah, kemudian dilanjutkan, dengan

tujuan penulisan, manfaat penulisan, keaslian

penulisan, tinjauan pustaka, metode penulisan, dan

sistematika penulisan.

Universitas Sumatera Utara


24

BAB II : PENGATURAN PERJANJIAN LISENSI

DALAM UNDANG-UNDANG HAK CIPTA DI

INDONESIA

Bab ini merupakan bab yang membahas tentang

Pengertian Perjanjian, Pengertian Lisensi dan

Regulasinya, Jenis- jenis Lisensi dan Lisensi

Sebagai Bagian dari Hak Kekayaan Intelektual.

BAB III : TERJADINYA PELANGGARAN TERHADAP

PEMEGANG HAK LISENSI SEBAGAI

BAGIAN DARI HAK KEKAYAAN

INTELEKTUAL (HAKI)

Bab ini merupakan bab yang membahas tentang Tata

Cara Penanganan Lisensi, Hak Pemegang Lisensi

dan Pelanggaran Terhadap Hak Pemegang Lisensi.

BAB IV : ANALISIS YURIDIS Putusan NOMOR

10/HKI.HAK CIPTA/2016/PN/NIAGA.SBY

Bab ini merupakan bab yang membahas tentang

Posisi Kasus, Pertimbangan dalam Memutuskan

Sengketa Hak Cipta, Analisis Terhadap Putusan

Pengadilan Nomor Negeri Surabaya Nomor

10/HKI.HAK CIPTA/2016/PN/Niaga.Sby dan

Akibat Hukum Atas Putusan Pengadilan Negeri

Universitas Sumatera Utara


25

Surabaya Nomor 10/HKI.HAK

CIPTA/2016/PN/Niaga.Sby.

BAB V : PENUTUP

Berisikan tentang kesimpulan dari bab-bab yang

telah dibahas sebelumnya dan saran-saran yang

mungkin berguna.

Universitas Sumatera Utara


BAB II

PENGATURAN PERJANJIAN LISENSI DALAM UNDANG-UNDANG

HAK CIPTA DI INDONESIA

A. Pengertian Perjanjian

Didalam kehidupan sehari-hari, istilah dari perjanjian sangat sering

didengar dan juga sangat sering dilakukan oleh masyarakat misalnya: perjanjian

jual beli, perjanjian sewa-menyewa, perjanjian simpan-pinjam, perjanjian tukar-

menukar, dan jenis perjanjian lainnya. 39 Pelaksanaan sebuah perjanjian, bentuk

perjanjian-perjanjian yang dibuat ini pada dasarnya berbentuk bebas. Dapat

diadakan secara lisan, dan dapat pula di terapkan dalam bentuk tulisan. Namun

perjanjian yang diterapkan dalam bentuk tulisan biasanya digunakan hanya

sebagai alat bukti semata.40

Pembuktian dengan adanya perjanjian tertulis tentu akan membantu dari

aspek legalitas. Sebab dalam perkara perdata, bukti surat menjadi sebuah

pertimbangan hakim dalam memutus sebuah perkara perdata di lembaga

peradilan. Sehingga dapat dikatakan bahwa perjanjian dalam bentuk tertulis

sebagai langkah antisipasi terhadap kemungkinan- kemungkinan terjadinya

sengketa di kemudian hari.

Apabila melihat ketentuan dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata yang berisi mengenai peraturan perikatan. Pada pasal 1233 Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena

persetujuan, baik karena Undang-Undang BW (KUHPerdata) sebagai Undang-


39
. Novia Andrina, Op.Cit., hal.21
40
Wan Sadjaruddin, Beberapa Sendi Hukum Perikatan, Medan: USU Press, 1992,
hal. 24

26

Universitas Sumatera Utara


27

Undang mulai berlaku atau diumumkan secara resmi pada tanggal 30 April 1847

(St. No. 23/1847). Dari tahun pengundanganya jelas dapat kita ketahui, BW yang

dalam Buku III mengatur hukum perjanjian adalah Undang-Undang produk

kolinial Belanda.41

Perjanjian dapat dimaknai sebagai pelaksanaan dari sebuah kesepakatan

antara dua pihak atau lebih. Untuk mengetahui arti sebenarnya dari suatu

perjanjian tidaklah mudah karena banyak pendapat para ahli hukum di dalam

memberikan rumusan perjanjian tersebut. Dengan adanya berbagai pendapat

tentang rumusan dari perjanjian tersebut. Penulis merasa perlu memberikan

beberapa pengertian perjanjian menurut para sarjana.

Buku III KUHPeradata berbicara tentang perikatan (van verbibtenissen)

yang memiliki sifat terbuka artinya isinya dapat ditentukan oleh para pihak

dengan beberapa syarat yaitu tidak bertentangan dengan ketertiban umum,

kesusilaan dan Undang-Undang. 42 Dalam pasal 1313 Kitab Undang-Undang

Hukum Peradata menyebutkan bahwa “Perjanjian adalah suatu perbuatan yang

satu atau orang lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”

Pengertian perjanjian menurut Wrijono Prodjodikoro Perjanjian adalah:

“Sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak,

dalam mana suatu pihak berjanji atau di anggap berjanji untuk melakukan suatu

hal, sedang pihak lain berhak menuntut janji itu.”43

41
M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni, 1986, hal 3
42
Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009,
hal. 39
43
Wirjono Prodjodikoro, Azas-asas Hukum Perjanjian, Bandung: Mandar Maju, 2000,
hal.7

Universitas Sumatera Utara


28

Pendapat yang hampir sama juga disebutkan oleh Mariam Darus

Badrulzaman: perjanjian ialah suatu hubungan yang terjadi antara dua orang atau

lebih, yag terletak dalam bidang harta kekayaan, dengan mana pihak yang satu

berhak atau prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu.44

Sedangkan menurut para Sarjana, antara lain Abdul Kadir Muhammad,

bahwa rumusan perjanjian dalam KUHPerdata itu kurang memuaskan, karena

mengandung beberapa kelemahannya yaitu:

a. Hanya menyangkut sepihak saja

Hal ini diketahui dari perumusan “satu orang atau lebih mengikatkan

dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya.” Kata kerja “mengikatkan” sifatnya

hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya

perumusan itu “Saling mengikatkan diri”, jadi ada konsensus antara pihak-pihak.

b. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsesus

Dalam pengertian “Perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan

tugas tanpa kuasa (Zaakwaarneming), tindakkan melawan hukum atau

(onrechtmatige daad) yang tidak mengandung konsesus. Seharusnya dipakai kata

“Persetujuan”.

c. Pengertian perjanjian terlalu luas

Pengertian perjanjian dalam pasal tersebut di atas terlalu luas, karena

mencakup juga pelangsungan perkawinan, janji kawin, yang diatur dalam

lapangan hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara

debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang

44
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Bandung: Alumni, 1994, hal. 3

Universitas Sumatera Utara


29

dikehendaki oleh Buku Ketiga KUH Perdata sebenarnya hanyalah perjanjian yang

bersifat kebendaan bukan perjanjian yang bersifat personal.

d. Tanpa menyebut tujuan

Dalam perumusan pasal itu tidak disebutkan tujuan mengadakan

perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri tidak jelas untuk apa.45

Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa perjanjian adalah “Hubungan

antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan

hukum”.46

Subekti mengatakan bahwa: “Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa

dimana seseorang berjanji kepada seseorang lain atau dimana dua orang itu saling

berjanji utnuk melaksankan suatu hal”.47

Menurut Tan Kamello, “Perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara

dua orang atau lebih yang didasarkan pada kata sepakat mengenai sesuatu hal

dengan tujuan untuk menimbulkan akibat hukum. Hubungan hukum yang

dimaksud disini adalah suatu perbuatan hukum yang bersegi dua.”

Secara harafiah kata “verbintenis” yang merupakan pengambil alihan dari

kata “obligation” dalam code civil prancis dengan demikian berarti perikatan

adalah kewajiban pada salah satu pihak dalam hubungan hukum perikatan

tersebut.

Dari bebarapa pengertian perjanjian yang telah dikemukakan diatas dapat

disimpulkan bahwa wujud pengertian perjanjian itu sendiri yaitu, hubungan

45
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Bandung: Alumni, 1982, hal. 78
46
Sudiksno Mertokusumo, Mengenai Hukum, Yogyakarta: Liberty, 1998, hal. 97
47
Johannnes Ibrahim, Kartu Kredit-Dilematis Antara Kontrak Dan Kejahatan, Bandung:
Refika Aditama, 2004, hal. 30

Universitas Sumatera Utara


30

hukum antara dua orang atau lebih yang memberi hak pada satu pihak dan

kewajiban dipihak laim untuk memenuhi suatu hal (prestasi) yang telah

disepakati. Perjanjian harus menjadi perbuatan kedua belah pihak yang berjanji

untuk memenuhi prestasi kepada pihak lainnya, begitu pula pihak lainnya harus

memperoleh pemenuhan prestasi yang telah dijanjikan oleh pihak lainnya itu.48

Bentuk-bentuk perjanjian dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu

tertulis dan tidak tertulis. Perjanjian tertulis adalah perjanjian yang dibuat oleh

para pihak dalam bentuk tulisan. Sedangkan perjanjian lisan suatu perjanjian yang

dibuat oleh para pihak dalam wujud lisan (cukup kesepakatan para pihak).

Ada tiga bentuk perjanjian tertulis, sebagimana dikemukakan berikut ini: 49

a. Perjanjian di bawah tangan yang ditandatangani oleh para pihak yang

bersangkutan saja. Perjanjian itu hanya mengikat para pihak dalam

perjanjian, tetapi tidak mempunyai kekuatan mengikat pihak ketiga.

Dengan kata lain, jika perjanjian tersebut disangkal pihak ketiga maka para

pihak atau salah satu pihak dari perjanjian itu berkewajiban mengajukan

bukti-bukti yang diperlukan untuk membuktikan keberatan pihak ketiga

dimaksud tidak berdasar dan tidak dapat dibenarkan.

b. Perjanjian dengan saksi notaris untuk melegalisir tanda tangan para pihak.

Fungsi kesaksian notaris atau suatu dokumen semata-mata hanya untuk

melagilisir kebenaran tanda tangan para pihak. Akan tetapi, kesaksian

tersebut tidaklah mempengaruhi kekuatan hukum dari isi perjanjian. Salah

48
Aquila Siregar, Aspek Perjanjian Kerjasama Pengangkutan Limbah B3 Pada
Perusahaan pengangkutan, Medan: USU, hal. 15
49
Salim, Hukum Perjanjian, Teori dan Praktik Penyusunan Perjanjian, Jakarta : Sinar
Gafika, 2008, hal. 42

Universitas Sumatera Utara


31

satu pihak mungkin saja menyangkal isi perjanjian namun pihak yang

menyangkal itu adalah pihak yang harus membuktikan penyangkalannya.

c. Perjanjian yang dibuat dihadapan dan oleh notaris dalam bentuk akta

notariel. Akta notariel adalah akta yang dibuat di hadapan dan di muka

pejabat yang berwenang untuk itu. Pejabat yang berwenang untuk itu

adalah notaris, camat, PPAT, dan lain-lain. Jenis dokumen ini merupakan

alat bukti yang sempurna bagi para pihak yang bersangkutan maupun

pihak ketiga.

Ada fungsi akta notariel (autentik), yaitu: 50

a. Sebagai bukti bahwa para pihak yang bersangkutan telah mengadakan

perjanjian tertentu.

b. Sebagai bukti bagi pra pihak bahwa apa yang telah tertulis dalam

perjanjian adalah menjadi tujuan dan keinginan para pihak.

c. Sebagai bukti kepada pihak ketiga bahwa pada tanggal tertentu, kecuali

jika sitentukan sebaliknya para pihak telah mengadakan perjanjian dan

bahwa isi perjanjian adalah sesuai dengan kehendak para pihak.

Dalam hukum perjanjian dikenal beberapa asas penting yang merupakan

dasar kehendak pihak-pihak dalam mencapai tujuan. Beberapa asas tersebut di

antaranya adalah sebagai berikut:51

a. Asas Konsensualisme

Asas konsensualisme memiliki arti penting, yaitu bahwa untuk

melahirkan perjanjian adalah cukup dengan dicapainya sepakat


50
Ibid.
51
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2011, hal. 3

Universitas Sumatera Utara


32

mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian tersebut dan bahwa

perjanjian itu lahir pada saat detik tercapainya kesepakatan para pihak,

walaupun perjanjian tersebut belum dilaksanakan pada saat itu. Hal ini

berarti bahwa dengan tercapainya kesepakatan oleh para pihak,

melahirkan hak dan kewajiban bagi mereka atau biasa juga disebut

bahwa perjanjian tersebut bersifat obligator, yakni melahirkan

kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi perjanjian tersebut.

Kemudian, untuk beralihnya hak milik masih dibutuhkan suatu

perbuatan hukum yaitu penyerahan.

b. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat

penting dalam hukum perjanjian. Kebebasan berkontrak ini oleh

sebagian sarjana hukum biasanya didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1)

KUH Perdata menentukan bahwa:

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai

undangundang bagi mereka yang membuatnya.” Apabila dicermati

Pasal 1338 ayat (1) di atas, pada kalimat “semua perjanjian yang dibuat

secara sah” menunjukkan adanya pokok (asas) kebebasan berkontrak

yang terkandung di dalamnya.

Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada

seseorang untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan

dengan perjanjian.

Universitas Sumatera Utara


33

Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu dasar yang menjamin

kebebasan orang dalam melakukan perjanjian. Hal ini tidak terlepas

juga dari sifat Buku III KUH Perdata yang hanya merupakan hukum

yang mengatur sehingga para pihak dapat menyimpanginya

(mengesampingkannya), kecuali terhadap pasal-pasal tertentu yang

sifatnya memaksa.

c. Asas Mengikatnya Perjanjian (Pacta Sunt Servanda)

Asas Mengikatnya Perjanjian (Pacta Sunt Servanda), artinya setiap

orang yang membuat perjanjian, dia terikat untuk memenuhi perjanjian

tersebut karena perjanjian tersebut mengandung janji-janji yang harus

dipenuhi dan janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana

mengikatnya suatu undang-undang. Hal ini dapat dilihat pada Pasal

1338 ayat (1) khususnya pada kalimat “berlaku sebagai undang-

undang” yang menunjukkan pokok (asas) kekuatan mengikatnya

perjanjian yang terkandung di dalamnya.52

d. Asas Iktikad Baik

Ketentuan tentang asas iktikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat

(3) yang menentukan bahwa: “Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan

dengan Iktikad baik.” Adapun yang dimaksud asas iktikad baik adalah

bahwa dalam pelaksanaan perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan

dengan kepatutan dan keadilan. Menurut Subekti, hakim mempunyai

kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian, agar tidak

52
Ibid, hal. 14

Universitas Sumatera Utara


34

melanggar kepatutan dan keadilan. Ini berarti hakim berwenang untuk

menyimpang dari perjanjian jika pelaksanaan perjanjian bertentangan

dengan iktikad baik.

Asas Iktikad baik ini terbagi menjadi dua macam, yaitu iktikad baik

nisbi dan iktikad baik mutlak. Pada iktikad baik nisbi orang

memerhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada

iktikad baik mutlak, penilaiannya terletak pada akal sehat dan keadilan,

dibuat ukuran keadilan yang objektif untuk menilai keadaan (penilaian

tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.53

e. Asas Kepribadian (Personalitas)

Asas Kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang

yang akan melakukan dan atau membuat perjanjian hanya untuk

kepentingan perseorangan saja.

Agar suatu perjanjian oleh hukum dianggap sah sehingga mengikat kedua

belah pihak, maka perjanjian tersebut haruslah memenuhi syaratsyarat tertentu.

Mengenai syarat sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata,

yang isinya sebagai berikut:

“Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

c. Sesuatu hal tertentu

d. Sesuatu yang halal.”

53
Subekti, Op.Cit, hal. 41

Universitas Sumatera Utara


35

Dari keempat syarat sahnya suatu perjanjian dapat dibedakan atas adanya

syarat-syarat subjektif yang merupakan syarat yang berkenaan dengan orang atau

subjek yang mengadakan perjanjian, dan adanya syarat-syarat objektif yang

berkenaan dengan objek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu. Yang

merupakan konsekuensi hukum dari tidak terpenuhinya salah satu atau lebih dari

syarat-syarat sahnya perjanjian tersebut bervariasi mengikuti syarat mana yang

dilanggar.

Perjanjian mulai berlaku sejak dimulai kata sepakat antara pihak.

Perjanjian ini akan berlaku sampai kedua belah pihak menyatakan telah

mengakhiri perjanjian. Cara hapusnya perjanjian berbeda dengan cara hapusnya

perikatan. Hapusnya perikatan belum tentu menghapuskan suatu perjanjian.

Kecuali semua perikatan-perikatan yang ada pada perjanjian tersebut sudah hapus.

Sebaliknya jika perjanjian berakhir atau hapus, maka perikatan yang bersumber

dari perjanjian tersebut juga menjadi berakhir atau hapus.

Dalam ilmu hukum, dikenal beberapa ajaran mengenai kapan suatu

perjanjian dianggap lahir. Menurut Setiawan saat terjadinya perjanjian yaitu:54

1. Teori kehendak (wilstheorie)

Teori ini adalah yang tertua dan menekankan kepada faktor kehendak.

Menurut teori ini jika kita mengemukakan suatu pernyataan yang

berbeda dengan apa yang dikehendaki, maka kita tidak terikat kepada

pernyataan tersebut.

54
Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bandung: Alumni, 1979, hal. 4

Universitas Sumatera Utara


36

2. Teori pernyataan (Verklaringstheorie)

Menurut teori ini, kebutuhan masyarakat menghendaki bahwa kita

dapat berpegang kepada apa yang dinyatakan.

3. Teori kepercayaan (Vetrouwenstheorie)

Teori yang sekarang dianut, juga oleh yurisprudensi adalah teori

kepercayaan, di mana menurut teori ini kata sepakat terjadi jika ada

pernyataan yang secara objektif dapat dipercaya.

4. Teori ucapan (Uitingstheorie)

Menurut teori ini bahwa persetujuan terjadi pada saat orang yang

menerima penawaran telah menyiapkan surat jawaban bahwa ia

menyetujui penawaran tersebut. Kelemahan teori ini adalah bahwa

sulit untuk menentukan saat terjadinya persetujuan dan selain itu

jawabannya setiap saat masih dapat berubah.

5. Teori pengiriman (Verzendingstheorie)

Menurut beberapa sarjana, terjadinya persetujuan adalah pada saat

dikirimkannya surat jawaban. Diterangkan selanjutnya bahwa dengan

dikirimkannya surat tersebut si pengirim kehilangan kekuasaan atas

surat tersebut dan lagi pula saat pengiriman dapat ditentukan secara

tepat.

6. Teori pengetahuan (Vernemeningstheorie)

Teori ini mengemukakan bahwa persetujuan terjadi setelah orang yang

menawarkan mengetahui bahwa penawarannya disetujui. Kelemahan

Universitas Sumatera Utara


37

teori ini adalah sulit untuk menentukan saat diketahuinya isi surat

tersebut.

7. Teori penerimaan (Ontvangstheorie)

Menurut teori ini, bahwa persetujuan terjadi pada saat diterimanya

surat jawaban penerimaan penawaran oleh orang yang menawarkan.

Suharnoko menyebutkan bahwa berakhirnya perjanjian harus dibedakan

dengan perjanjian karena suatu perjanjian dikatakan berakhir apabila segala

sesuatu yang menjadi isi perjanjian telah dilaksanakan. Semua kesepakatan

diantara para pihak menjadi berakhir setelah apa yang menjadi tujuan
55
diadakannya perjanjian telah tercapai oleh para pihak. Bila X dan Y

mengadakan jual beli, perikatan dapat hapus dengan dibayarkannya harga oleh Y

selaku pembeli, tetapi mungkin perjanjiannya masih ada. Untuk hapusnya

perjanjian, tujuan perjanjiannya (yaitu untuk memiliki barang) harus tercapai

dulu. Jadi, bila perjanjian telah hapus seluruhnya barulah perjanjian dinyatakan

telah berakhir.

Menurut Setiawan, adapun beberapa cara hapusnya perjanjian adalah:56

1. Ditentukan dalam perjanjian oleh kedua belah pihak. Misalnya penyewa

yang menyewakan bersepakat untuk mengadakan perjanjian sewa

menyewa yang akan berakhir selama 3 tahun.

2. Undang-undang menentukan batas berlakunya suatu perjanjian. Misalnya,

menurut Pasal 1066 ayat 3 KUHPerdata bahwa para ahli waris dapat

mengadakan perjanjian untuk selama waktu tertentu untuk tidak


55
Suharnoko, Hukum Perjanjian (Teori dan Analisa Kasus), Jakarta: Kencana, 2004, hal.
30
56
Setiawan, Op.Cit, hal. 69

Universitas Sumatera Utara


38

melakukan pemecahan harta warisan. Akan tetapi waktu perjanjian

tersebut oleh Pasal 1066 ayat 4 KUHPerdata dibatasi berlakunya hanya

untuk lima tahun.

3. Para pihak atau undang-undang dapat menentukan bahwa dengan

terjadinya peristiwa tertentu, maka perjanjian akan hapus. Misalnya, jika

salah satu meninggal perjanjian menjadi hapus:

a. Perjanjian perseroan (Pasal 1646 ayat 4 KUHPerdata)

b. Perjanjian pemberian kuasa (Pasal 1813 KUHPerdata)

c. Perjanjian kerja (Pasal 1603 j KUHPerdata)

4. Pernyataan menghentikan perjanjian (opzegging). Hal ini dapat dilakukan

baik oleh salah satu atau dua belah pihak. Opzegging hanya ada pada

perjanjian-perjanjian yang bersifat sementara, misalnya perjanjian kerja

dan perjanjian sewa-menyewa.

5. Tujuan perjanjian telah tercapai. Misalnya dalam perjanjian jual beli bila

salah satu pihak telah mendapat uang dan pihak lain telah mendapatkan

barang maka perjanjian akan berakhir.

6. Perjanjian hapus karena putusan hakim.

7. Dengan perjanjian para pihak. Dalam hal ini para pihak masing-masing

setuju untuk saling mengentikan perjanjiannya. Misalnya perjanjian

pinjam pakai berakhir karena pihak yang meminjam telah mengembalikan

barangnya.

Universitas Sumatera Utara


39

B. Pengertian Lisensi dan Regulasinya

Secara umum lisensi merupakan adopsi penuh dari kata license (noun)

dalam bahasa Inggris yang memiliki arti “permission from someone in authority

for somebody to do something”. Pada dasarnya lisensi merupakan suatu bentuk

pemberian izin oleh seseorang atas sesuatu yang menjadi haknya kepada pihak

lain untuk menerima hak tersebut.

Pengertian lisensi menurut Pasal 1 angka (20) Undang-Undang Nomor 28

Tahun 2014 tentang Hak Cipta adalah izin tertulis yang diberikan oleh Pemegang

Hak Cipta atau Pemilik Hak Terkait kepada pihak lain untuk melaksanakan hak

ekonomi atas Ciptaannya atau produk Hak Terkait dengan syarat tertentu. Jadi

pada dasarnya lisensi hak cipta merupakan suatu bentuk pemberian izin

pemanfaatan atau penggunaan hak cipta, yang bukan merupakan pengalihan hak,

yang dimiliki oleh pemberi lisensi kepada penerima lisensi dalam jangka waktu

tertentu, yang pada umumnya disertai dengan imbalan berupa royalti. Adanya izin

dalam lisensi hak cipta tersebut bersifat mutlak dan izin yang diberikan harus

dituangkan dalam bentuk perjanjian. Hal ini membawa konsekuensi bahwa lisensi

harus dibuat secara tertulis antara pihak pemberi lisensi yaitu pemegang hak cipta

dengan pihak penerima lisensi.

Dari rumusan ketentuan pasal diatas , maka yang menjadi objek lisensi

bukan hanya hak cipta tetapi juga hak lain yang terkait dengan hak cipta. Hak

cipta yang dimaksudkan misalnya hak cipta di bidang lagu atau musik, dimana

lagu berkaitan dengan suara yang dapat direkam sehingga menimbulkan hak di

bidang rekaman. Kemudian apabila ciptaan itu disiarkan kepada masyarakat juga

Universitas Sumatera Utara


40

menimbulkan hak siar. Hak rekam dan hak siar merupakan hak yang menjadi

ruang lingkup objek lisensi.57

Pada dasarnya lisensi di bidang Hak Kekayaan Intelektual tidak

sematamata hanya sekedar perbuatan pemberian izin saja,akan tetapi perbuatan

tersebut menimbulkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang saling bertimbal

balik antara pihak satu dengan pihak lain. Atas hal tersebut maka lisensi

merupakan perjanjian yang mengikat mereka. Dalam ilmu hukum perjanjian yang

demikian disebut perjanjian obligatoire.58

Perjanjian lisensi hak cipta juga merupakan merupakan perjanjian

konsensualise, karena terjadinya perjanjian itu dilandasi dengan sebuah consensus

atau kata sepakat. Kemudian lahirnya perjanjian lisensi hak cipta mengikuti asas

kebebasan berkontrak, bahwa setiap orang dapat membuat perjanjian apa saja,

kapan saja, dan berisi apa saja asal tidak bertentangan dengan hukum, kebiasaan,

dan kepatutan. Batasan-batasan yang diberikan Undang-Undang Nomor 28 Tahun

2014 tentang Hak Cipta terhadap kebebasan dalam melakukan perjanjian lisensi

adalah seperti yang disebutkan dalam Pasal 82 bahwa perjanjian lisensi dilarang

memuat ketentuan yang mengakibatkan kerugian perekonomian Indonesia; isi

perjanjian lisensi dilarang bertentangan dengan ketentuan peraturan

perundangundangan perjanjian lisensi dilarang menjadi sarana untuk

menghilangkan atau mengambilalih seluruh hak pencipta atas ciptaanya.

57
Gatot Supramono, Hak Cipta dan Aspek-Aspek Hukumnya, (Bandung : Penerbit Rineka
Cipta, 2010), hal. 45
58
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


41

C. Jenis- jenis Lisensi

Perjanjian lisensi harus memenuhi syarat yang terdapat dalam Pasal 80

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta disebutkan bahwa

lisensi hak cipta dibuat dengan dasar perjanjian tertulis. Sesuai dengan ketentuan

dalam Pasal 83 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014, maka suatu perjanjian

lisensi wajib dicatatkan pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual yang

kemudian dimuat dalam Daftar Umum dengan membayar biaya yang besarnya

ditetapkan dengan Keputusan Menteri. Namun, jika perjanjian lisensi tidak

dicatatkan, maka perjanjian lisensi tidak mempunyai akibat hukum terhadap pihak

ketiga.

Pada dasarnya perjanjian yang berbentuk tulisan sengaja dibuat oleh

mereka memang untuk kepentingan pembuktian apabila dikemudian hari timbul

sengketa,akan lebih mudah membuktikan peristiwanya. Tetapi walaupun

UndangUndang menghendaki demikian, namun keharusan membuat perjanjian

lisensi secara tertulis ternyata tidak diikuti dengan sanksi hukum yang tegas,

sehinggaapabila perjanjiannya dilakukan secara lisan tidak mempunyai akibat

hukum. Perjanjian lisensi secara tidak tertulis tetap sah sepanjang para pihak

melaksanakan perjanjiannya dengan itikad baik. 59

Mekanisme lisensi di bidang hak cipta ternyata terdapat perbedaan

mekanisme dalam pelaksanaan pemberian lisensi antara obyek hak cipta yang satu

terhadap obyek hak cipta yang lain, baik antara lisensi lagu atau musik, lisensi

penerbitan buku maupun lisensi komputer program atau piranti lunak program

59
Munir Fuady, Op.Cit, hal. 67

Universitas Sumatera Utara


42

komputer. Di samping itu, di dalam mekanisme lisensi hak cipta, menyangkut

pembuatan perjanjian lisensi ada yang menggunakan kontrak baku dan ada pula

yang tidak. Di dalam mekanisme lisensi pengumuman lagu atau musik misalnya,

perjanjian lisensinya dibuat setelah para pengguna (user) mengumumkan lagu

atau musik terlebih dahulu dan itupun ditagih oleh kuasa dari para pencipta atau

pemegang hak cipta lagu atau musik. Begitu juga dengan lisensi hak siar, setiap

pihak yang hendak menanyangkan hak siar di area publik, maka harus meminta

izin kepada pihak yang memegang lisensi hak siar.

Lisensi pengumuman/penyiaran (performing licenses) ialah bentuk izin

yang diberikan oleh pemegang hak cipta bagi lembaga-lembaga penyiaran seperti

televisi, radio, konser dan lain sebagainya. Setiap kali sebuah lagu ditampilkan

atau diperdengarkan kepada umum untuk kepentingan komersial, penyelenggara

siaran tersebut berkewajiban membayar royalti kepada si pencipta lagunya.

Pemungutan royalti performing rights ini umumnya dikelola atau ditangani oleh

sebuah lembaga administrasi kolektif hak cipta (collective Administration of

Copyright) atau Collecting Society atau yang dalam disertai ini disebut Lembaga

Manajemen Kolektif (LMK).

Dalam lingkungan hukum hak cipta di kenal istilah lisensi paksa atau

lisensi wajib (compulsory license). Maksud dari lisensi wajib ini adalah bahwa

untuk kepentingan pendidikan, ilmu pengetahuan, serta kegiatan penelitian dan

pengembangan, pemerintah dapat mewajibkan agar pencipta memberi izin untuk

menerjemahkan, dan atau memperbanyak ciptaannya. Walaupun disebut lisensi

Universitas Sumatera Utara


43

wajib, biasanya pencipta tetap juga mendapat imbalan, tetapi jumlahnya bukan

berdasarkan hasil kesepakatan, melainkan ditentukan sendiri oleh pemerintah.

Jika dikaitkan dengan sengketa dalam putusan ini, maka lisensi yang

dipegang oleh PT. Inter Sport Marketing adalah jenis hak siar. Hak siar dalam hal

ini adalah hak menyiarkan tayangan sepakbola piala dunia. Apabila ada yang

menayangkan pertandingan sepakbola piala dunia di area publik tanpa seizin

pihak PT. Inter Sport Marketing, maka dapat digugat sesuai ketentuang yang

berlaku di atas.

D. Lisensi Sebagai Bagian dari Hak Kekayaan Intelektual

Hak kekayaan intelektual adalah hak yang timbul bagi hasil olah pikir otak

yang menghasilkan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia.

Menurut OK. Saidin, hak kekayaan intelektual adalah hak kebendaan, hak atas

sesuatu benda yang bersumber dari hasil kerja otak dan hasil kerja rasio.60 Hasil

kerja otak itu kemudian dirumuskan sebagai intelektualitas. Orang yang optimal

memerankan kerja otaknya disebut sebagai orang yang terpelajar, mampu

menggunkan rasio, mampu berpikir secara rasional dengan menggunakan logika,

karena itu hasil pemikirannya disebut rasional dan logis. 61

Menurut Munir Fuady, hak milik intelektual (intellectual property rights)

merupakan suatu hak kebendaan yang sah dan diakui oleh hukum atas benda tidak

berwujud berupa kekayaan/kreasi intelektual. Berbicara mengenai intellectual

property rights, makna dari istilah tersebut yaitu, hak, kekayaan, dan intelektual.

Kekayaan merupakan abstraksi yang dapat dimiliki, dialihkan, dibeli, maupun

60
Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, (Jakarta: Rajawali Press, 2010) hal. 9
61
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


44

dijual. Adapun kekayaan intelektual merupakan kekayaan atas segala hasil

produksi kecerdasan daya pikir seperti teknologi, pengetahuan, seni, sastra,

gubahan lagu, karya tulis, dan lain-lain.62

Menurut Arthur Lewis, umumnya hak kekayaan intelektual digunakan

untuk menyebut semua hal yang berasal dari penggunaan otak manusia, seperi

gagasan, invensi, puisi, desain, dan lain-lain. Berbicara mengenai tentang

kekayaan intelektual juga berbicara tentang hak-hak dan perlindungannya, seperti

hak cipta, paten, merek, dan lain-lain. Terlihat bahwa hak-hak ini terutama

memberikan pemiliknya menguasai dan menikmati manfaat-manfaat dari

karyanya tersebut dalam periode atau batas waktu tertentu. Hukum memberikan

hak kepada pemilik kekayaan intelektual agar dapat menarik manfaat dari waktu

dan biaya yang telah dikeluarkannya dalam memproduksi sesuatu itu.63

Pada intinya hak kekayaan intelektual adalah hak untuk menikmati secara

ekonomis hasil dari suatu kreatifitas intelektual. 64 Hak yang berasal dari hasil

kegiatan intelektual manusia yang mempunyai manfaat ekonomi. Konsepsi

mengenai hak kekayaan intelektual didasarkan pada pemikiran bahwa karya

intelektual yang telah dihasilkan manusia memerlukan pengorbanan tenaga, waktu

dan biaya. Adanya pengorbanan ini menjadikan karya yang telah dihasilkan

memiliki nilai ekonomi karena manfaat yang dapat dinikmatinya. Berdasarkan

konsep ini maka mendorong kebutuhan adanya penghargaan atas hasil karya yang

telah dihasilkan berupa perlindungan hukum bagi hak kekayaan intelektual.

62
Munir Fuady, Op.Cit, hal. 208
63
Arthur Lewis, Dasar-Dasar Hukum Bisnis, (Bandung: Nusa Media, 2014) hal. 335
64
Muhammad Firmansyah, Tata Cara Mengurus HAKI, (Jakarta: Visi Media, 2008) hal.
7

Universitas Sumatera Utara


45

Menurut OK. Saidin, hak kekayaan intelektual merupakan bagian dari

benda yang tidak berwujud (benda immateril), benda dalam hukum perdata dapat

diklasifikasikan kedalam berbagai kategori. Salah satu di antara kategori itu ialah

pengelompokan benda ke dalam klasifikasi benda berwujud dan benda tidak

berwujud. Untuk hal ini dapatlah dilihat batasan benda yang terdapat pada Pasal

499 KUHPerdata. Untuk pasal ini, kemudian Mahadi mengungkapkan,

seandainya dikehendaki rumusan lain dari pasal ini dapat diturunkan kalimat,

yaitu: yang dapat menjadi objek hak milik adalah benda dan benda itu terdiri dari

barang dan hak. Barang yang dimaksudkan oleh Pasal 499 KUHPerdata tersebut

adalah benda materil (stoffelijk voorwerp), sedangkan hak adalah benda

immateril. Uraian ini sejalan dengan klasifikasi benda berdasarkan Pasal 503

KUHPerdata, yaitu penggolongan benda ke dalam kelompok benda berwujud

(bertubuh) dan benda tidak berwujud (tidak bertubuh).65

Konsekuensi lebih lanjut dari batasan hak kekayaan intelektual adalah

terpisahnya antara hak kekayaan intelektual itu dengan hasil material yang

menjadi bentuk jelmaannya. Yang disebut terakhir ini adalah benda berwujud

(benda materil). Suatu contoh dapat dikemukakan misalnya hak cipta dalam

bidang karya sinematografi (berupa hak kekayaan intelektual) dan hasil materil

yang menjadi bentuk film. Jadi yang dilindungi dalam kerangka hak kekayaan

intelektual adalah haknya bukan jelmaan dari hak tersebut. Jelmaan dari hak

tersebut dilindungi oleh hukum benda dalam kategori benda materil (benda

berwujud).

65
Saidin, Op.Cit, hal. 11

Universitas Sumatera Utara


46

Pengelompokan hak kekayaan intelektual itu lebih lanjut dapat

dikategorikan dalam kelompok sebagai berikut:66

a. Hak Cipta (Copy Rights)

b. Hak Kekayaan Industri (Industrial Property Rights)

Hak cipta sebenarnya dapat lagi diklasifikasikan kedalam dua bagian,

yaitu: 67

a. Hak Cipta; dan

b. Hak Terkait (dengan hak cipta) (neighbouring rights)

Selanjutnya hak kekayaan perindustrian dapat diklasifikasikan lagi

menjadi:

a. Paten

b. Paten sederhana

c. Desain industri

d. Merek dagang dan nama dagang

e. Sumber asal atau sebutan asal

Secara histroris, peraturan yang mengatur hak kekayaan intelektual di

Indonesia telah ada sejak tahun 1840-an. Burgerlijk Wetboek diberlakukan di

wiliyah Hindia Belanda melalui Staatsblaad No. 23 tahun 1847 tentang Burgerlijk

Wetboek Voor Indonesie dan dinyatakan berlaku pada tahun 1848 bersamaan

diberlakukannya Wetboek Van Koophandel pada tanggal 1 Mei 1848. Mengikuti

peraturan itu, tahun 1885 peraturan Merek diberlakukan Pemerintah Kolonial.

Tahun 1912 memberlakukan peraturan tentang Paten, disusul oleh peraturan

66
Ibid, hal. 13
67
Ibid, hal. 16

Universitas Sumatera Utara


47

tentang Hak Cipta dua tahun kemudian. Pada masa pendudukan Jepang, peraturan

di bidang Hak Kekayaan Intelektual peninggalan Kolonial Belanda tetap

diberlakukan, sampai dengan Indonesia meraih kemerdekaan pada tahun 1945.

Setelah Indonesia merdeka, pemerintah Indonesia melalui Pasal 2 aturan peralihan

UUD 1945 menyatakan semua peraturan yang ada sebelum ada yang baru

menurut Undang-Undang Dasar Tahun 1945 masih terus berlaku, sehingga

ketentuan-ketentuan tentang Hak kekayaan Intelektual peninggalan Kolonial

Belanda masih terus berlaku, hingga akhirnya pasca kemerdekaan beberapa

pengaturan tentang hak cipta, paten dan merek digantikan dengan Undang-

Undang Produk Indonesia Merdeka.68

Perkembangan kemajuan teknologi (teknologi informasi, elektronika,

transportasi, perfilman, dan teknologi serat optik) juga membawa pengaruh dalam

perkembangan peraturan perundang-undangan tentang Hak Kekayaan Intelektual,

sehingga perkembangan tersebut melahirkan bidang-bidang hukum Hak

Kekayaan Intelektual baru. Kemajuan teknologi micro chip atau semi konduktor

melahirkan temuan dalam bidang desain atas topogragi atau elektronika yang

kemudian dikenal sebagai desain tata letak sirkut terpadu (intergrated circuits)

yang pada gilirannya melahirkan instrumen pengaturan tersendiri yang di

Indonesia dikenal dengan Undang-Undang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu,

demikian juga kemajuan dalam bidang bioteknologi dan botani melahirkan

instrumen hukum tersendiri tentang perlindungan varietas tanaman.

68
Ibid, hal. 32

Universitas Sumatera Utara


48

Hak cipta sejak awal kemunculannya selalu berkaitan dengan

perkembangan teknologi. Istilah hak cipta yang dikenal sekarang merupakan

padanan istilah dari Copyright yang riwayatnya dimulai dengan ditemukannya

mesin cetak pada tahun 1436 di Eropa. Mesin ini mempermudah perbanyakan

karya-karya tulis yang ada pada saat itu dalam jumlah besar. Diperkirakan bahwa

sebelum mesin cetak ditemukan, jumlah buku yang beredar di Eropa hanya

ribuan, namun hanya dalam waktu 50 tahun, jumlah tersebut meningkat hingga 10

juta buku.

Pada gilirannya muncul perusahaan-perusahaan di bidang penerbitan buku.

Dalam rangka melindungi kepentingan bisnis mereka, para pengusaha penerbitan

buku meminta kepada Raja untuk memberikan hak monopoli perbanyakan buku-

buku yang akan diterbitkan. Para pengusaha ini menginginkan agar hanya mereka

yang memiliki hak memperbanyak (copyright) atas karya-karya tulis yang akan

diterbitkan. Dari sini cikal bakal rezim perlindungan hak cipta beranjak.

Permulaan perlindungan hak cipta di Eropa salah satunya dimulai di

Inggris pada tahun 1557. King Philip dan Queen Mary memberikan Royal Charter

kepada Stationers Company sebuah perusahaan penerbitan yang berbasis di

London hak monopoli untuk menyelenggarakan sistem registrasi dan percetakan

karya tulis. Dengan monopoli yang dipunyainya, pencetakan dan penerbitan karya

tulis dalam bentuk buku hanya boleh dilakukan perusahaan ini atau

penerbitpenerbit lain yang terdaftar sebagai anggota Stationers Company. Hak-

Universitas Sumatera Utara


49

hak pengarang untuk memperbanyak karya tulis sama sekali diabaikan. 69 Bahkan

dalam praktiknya, tujuan diberikannya hak monopoli ini tidak lain dari upaya

pihak kerajaan melakukan sensor terhadap penerbitan yang berisi

pandanganpandangan yang melawan kekuasaan monarki ataupun yang

menyimpang dari agama kerajaan.

Gagasan bahwa pengaranglah yang berhak atas hak memperbanyak karya

tulisnya kemudian diatur dalam Statute of Anne tahun 1710. Statute of Anne berisi

ketentuan tentang hak eksklusif seorang pengarang sebagai pemilik hak yang

memiliki kebebasan untuk mencetak karya tulisnya. Statute of Anne merupakan

undang-undang hak cipta pertama di dunia dan besar pengaruhnya dalam sejarah

perkembangan hak cipta karena untuk pertama kalinya seorang pengarang diakui

secara sah bahwa ia pemegang hak eksklusif atas karya tulisnya.

Jika dicermati mengenai sejarah istilah Copyright, pada mulanya istilah

Copyright kurang begitu mempersoalkan siapa penciptanya, dan hanya

melindungi kepentingan perusahaan penerbit. Kata Copyright memang bermakna

the right to copy atau hak untuk memperbanyak karya-karya tulis pada masa itu.

Itulah sebabnya muncul reaksi terhadap doktrin Copyright di negara-negara

dengan tradisi hukum Civil Law seperti Prancis, Jerman, Italia, dan Belanda. Di

negaranegara ini muncul istilah: droit de auteur, auteursrecht, dan atau authors’s

right. Pusat gagasan perlindungan diletakkan pada pencipta melalui konsep

author’s right yang artinya hak pengarang. Di Belanda, perlindungan bagi

69
Eddy Damian, Hukum Hak Cipta, edisi ke-2, cetakan ke-3, (Bandung: P.T. Alumni,
2009), hal. 48

Universitas Sumatera Utara


50

pencipta dituangkan dalam Auteurswet tahun 1912. Belanda membuat Auteurswet

pada tahun 1912 karena telah menandatangani dan meratifikasi Konvensi Berne.70

Untuk Indonesia sendiri Istilah hak cipta diusulkan pertama kalinya oleh

St. Moh. Syah, S.H. pada Kongres Kebudayaan di Bandung Tahun 1951 (yang

kemudian diterima oleh Kongres tersebut) sebagai pengganti istilah hak

pengarang yang dianggap kurang luas cakupan pengertiannya. Istilah hak

pengarang itu sendiri merupakan terjemahan dari istilah bahasa Belanda Auteurs

Rechts.

Dinyatakan “kurang luas” karena istilah hak pengarang itu memberikan

kesan “penyempitan” arti seolah-olah yang dicakup oleh hak pengarang itu

hanyalah hak dari para pengarang saja, yang ada sangkut pautnya dengan karang

mengarang. Sedangkan istilah hak cipta itu lebih luas, dan ia mencakup juga

tentang karang mengarang.71

Menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak

Cipta, hak cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta atau pemegang hak untuk

mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis

setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku. 72

Dari definisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa hak cipta adalah

hak kebendaan yang bersifat eksklusif bagi seorang pencipta atau penerima hak

atas suatu karya atau ciptaannya di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra.

70
Agus Sardjono, Hak Cipta dalam Desain Grafis (Jakarta: Yellow Dot Publishing,
2008), hal. 16
71
Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2010), hal. 58
72
Yusran Isnain, Buku Pintar HAKI (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hal. 1

Universitas Sumatera Utara


51

Sebagai suatu hak kebendaan yang bersifat khusus, hak cipta memiliki sifat dan

karakter yang sedikit berbeda dengan hak kebendaan pada umumnya. Hakikat,

kriteria, dan sifat dari hak cipta, baik secara implisit maupun eksplisit terkandung

dalam beberapa pasal Undang-Undang Hak Cipta, yaitu Pasal 1 ayat (1), Pasal 2,

Pasal 3, dan Penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Hak Cipta, yaitu:73

1. Hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau pemegang hak untuk

mengumumkan dan memperbanyak atau menyewakan ciptaannya;

2. Hak cipta timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan;

3. Hak cipta dikategorikan sebagai benda bergerak;

4. Hak cipta dapat dialihkan sebagian atau seluruhnya;

5. Pengalihan hak cipta dapat terjadi karena pewaris, hibah, wasiat,

lisensi, atau sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan

perundang-undangan yang berlaku;

6. Hak cipta merupakan satu kesatuan dengan penciptanya dan tidak

dapat disita, kecuali jika hak-hak tersebut diperoleh secara melawan

hukum.

Pada dasarnya, hak eksklusif pencipta atau pemegang hak cipta timbul

secara otomatis terhitung sejak suatu ciptaan dilahirkan. Sejak saat itu, pencipta

atau pemegang hak telah memiliki hak eksklusif atas ciptaannya tersebut tanpa

memerlukan proses pendaftaran hak secara formal.

Berne Convention tidak mendefinisikan tentang siapakah yang disebut

sebagai pencipta (author). Karena itu, siapakah yang disebut sebagai pencipta atau

73
Elyta Ras Ginting, Hukum Hak Cipta Indonesia, (Bandung, PT. Citra Aditya Bakti,
2012), hal. 61

Universitas Sumatera Utara


52

the author diserahkan sepenuhnya pada kebijakan sistem hukum masing-masing

negara anggota. Hukum Prancis dan negara-negara civil law pada umumnya,

termasuk Indonesia, merumuskan pencipta dalam bentuk orang perorangan,

seperti penulis, komposer, pelukis, koreografer, arsitektur, dan sebagainya.

Sedangkan negara common law cenderung merumuskan pencipta dalam bentuk

subjek hukum berupa badan hukum (legal entity), seperti produser film, organisasi

penyiaran, perusahaan penerbit, serta perusahaan rekaman (record company atau

publishing company). Secara yuridis, badan hukum ini dianggap sebagai pencipta

sekaligus sebagai pemegang hak cipta (the original rights owner) atas sebuah

ciptaan.

a. Buku, program computer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis

yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulisan lain;

b. Ceramah, kuliah, pidato, dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu;

c. Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu

pengetahuan;

d. Lagu atau musik dengan atau tanpa teks;

e. Drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan

pantomime;

f. Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir,

seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan;

g. Arsitektur;

h. Peta;

i. Seni batik;

Universitas Sumatera Utara


53

j. Fotografi;

k. Sinematografi;

l. Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, data base, dan karya lain

dari hasil pengalihwujudan.

Jangka waktu yang diberikan untuk perlindungan paling lama adalah

selama hidup pencipta dan terus berlangsung selama 50 tahun setelah Pencipta

meninggal dunia. Untuk beberapa ciptaan tertentu, dilindungi 50 tahun sejak

pertama kali diumumkan. Jangka waktu perlindungan paling pendek selama 25

tahun sejak pertama kali diumumkan (misalnya fotografi).

Tanpa mengurangi hak pencipta atas jangka waktu perlindungan hak cipta

yang dihitung sejak sejak lahirnya suatu ciptaan, perhitungan jangka waktu

perlindungan bagi ciptaan yang dilindungi, sebagai berikut:

a. Sepanjang hayat pencipta ditambah 50 tahun setelah meninggal dunia,

untuk ciptaan yang asli dan bukan turunan (derivatif);

b. Selama 50 tahun sejak perama kali diumumkan. Jenis-jenis ciptaan

yang dimaksud meliputi program computer dan karya derivatif seperti

karya sinematografi, rekaman suara, karya pertunjukan, dan karya

siaran;

c. Selama 25 tahun. Perlindungan yang terpendek ini diberikan untuk

karya fotografi, karya susunan perwajahan, dan karya tulis yang

diterbitkan;

d. Ciptaan yang dimiliki atau dipegang oleh badan hukum, berlaku

selama 50 tahun dan 25 tahun sejak pertama kali di umumkan;

Universitas Sumatera Utara


54

e. Ciptaan yang dipegang atau dilaksanankan oleh negara berdasarkan

Pasal 10 ayat (2) huruf b, berlaku tanpa batas.

Pada dasarnya pencipta suatu karya atau ciptaan pada awalnya adalah

pemegang hak cipta atas karyanya karena dianggap sebagai pemilik pertama dari

hak cipta tersebut. Adanya istilah pemegang hak cipta selain pencipta muncul

karena hak cipta dapat di alihkan seperti hak kebendaan lainnya. Setelah hak itu

dialihkan sepenuhnya maka yang tertinggal pada pencipta hanyalah hak moral

saja (moral right). Dalam Undang-Undang Hak Cipta Pasal 1 ayat (4) yang

dimaksud dengan pemegang hak cipta adalah pencipta sebagai pemilik hak cipta,

atau pihak yang menerima hak tersebut dari pencipta atau pihak lain yang

menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut.

Hak tersebut diterima oleh pemegang hak cipta karena adanya peritiwa

hukum. Adapun peristiwa hukum yang dimaksud diatur dalam Pasal 3 ayat (2)

UUHC seperti pengalihan hak berdasarkan perjanjian, jual beli, pemberian hibah,

wasiat, dan warisan. Tidak hanya itu, Pasal 45 UUHC juga membolehkan pemilik

hak cipta memberi izin kepada pihak lain untuk melaksanakan hak eksklusifnya

atas ciptaan berdasarkan perjanjian lisensi. Dalam hal ini pihak yang menerima

pengalihan hak cipta berdasarkan waris, jual beli, atau perjanjian izin lisensi

disebut sebagai pemegang hak cipta (copyright owner).

Disamping adanya pemegang hak cipta berdasarkan peristiwa hukum

sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 45 tersebut, Undang-Undang

Hak Cipta juga memiliki konsep kepemilikan hak cipta disebabkan oleh undang-

undang (by law) yang di atur dalam Pasal 9, 10, dan 11 Undang-Undang Hak

Universitas Sumatera Utara


55

Cipta. Dalam hal ini, negara atau badan hukum, seperti penerbit atau produser

rekaman dianggap sebagai pemegang hak cipta secara hukum dalam hal sebagai

berikut:

a. Pencipta tidak diketahui jati dirinya atau tidak dikenal (anonymous

works);

b. Pencipta tidak ingin diketahui jati dirinya atau pencipta yang

menggunakan nama samaran (pseudonymous works);

c. Ciptaan-ciptaan berupa warisan budaya nasional dan peninggalan

sejarah ataupun prasejarah (cultural heritage works);

d. Ciptaan yang belum diterbitkan dan tidak diketahui siapa penciptanya

dan penerbitnya;

Konsep pemegang hak cipta yang terjadi karena undang-undang ini

mengindikasikan bahwa hak cipta merupakan suatu hak kebendaan bergerak yang

dapat dimiliki oleh subjek hukum, baik perorangan maupun badan hukum

termasuk negara.

Memperhatikan pada pengertian hak cipta yang diberikan Undang-Undang

Nomor 28 Tahun 2014 dapat ditentukan unsur-unsur dari hak cipta, yakni :

a. Hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau pemegang hak cipta ;

b. Untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaan ;

c. Timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan ;

d. Tanpa mengurangi pembatasan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Universitas Sumatera Utara


56

Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat berbagai jenis hak cipta yang

dilindungi oleh undang-undang. Salah satunya adalah pemberian hak cipta melalui

lisensi. Dalam hal ini, perjanjian lisensi dilakukan oleh PT. Inter Sport Marketing

dengan pihak FIFA dalam hal penyiaran pertandingan sepakbola piala dunia

(world cup). Dalam gugatan tersebut pihak PT. ISM menyatakan pelanggaran hak

lisensi karena pihak PT. Akmanindo Legian telah menanyangkan pertandingan

sepakbola piala dunia di area publik tanpa melalui izin dari pihak PT. Inter Sport

Marketing.

Universitas Sumatera Utara


BAB III

TERJADINYA PELANGGARAN TERHADAP PEMEGANG HAK

LISENSI SEBAGAI BAGIAN DARI HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL

(HAKI)

A. Tata Cara Penggunaan Hak Cipta

Pengaturan hak cipta di Indonesia telah beberapa kali mengalami

perubahan hingga yang terbaru yaitu Undang-Undang No. 28 Tahun 2014.

Pengaturannya telah berkembang disesuaikan guna mengakomodir permasalahan

yang baru. Hak cipta dapat dikatakan sebagai hak absolut. Hak absolut adalah

hubungan hukum antara subjek hukum dengan objek hukum yang menimbulkan

kewajiban pada setiap orang lain untuk menghormati hubungan hukum itu.39

Sifat absolut ini kemudian melekat pada hak eksklusif yang diberikan kepada

pencipta dan pemegang hak cipta. Hak ekslusif itu berupa hak moral dan hak

ekonomi. Hak moral dalam terminologi Bern Convention menggunakan istilah

moral rights, yakni hak yang dilekatkan pada diri pencipta.109

Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak cipta,

hak moral merupakan bentuk perwujudan apresiasi secara moral yang tetap

melekat pada pencipta. Hak ini menjadi satu kesatuan yang tidak dapat

dipisahkan. Hak moral terdiri dari:

1) Tetap mencantumkan atau tidak mencantumkan namanya pada salinan

sehubungan dengan pemakaian Ciptaannya untuk umum;

2) Menggunakan nama aliasnya atau samarannya;

109
Saidin, Op.Cit. hal. 250

57

Universitas Sumatera Utara


58

3) Mengubah ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat;

4) Mengubah judul dan anak judul Ciptaan; dan

5) Mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi Ciptaan, mutilasi

Ciptaan, modifikasi ciptaan, atau hal yang bersifat merugikan

kehormatan diri atau reputasinya.

Pasal 1 angka 20 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak

Cipta bahwa hak ekonomi yaitu hak untuk dapat menikmati manfaat ekonomi dari

ciptaan. Hak ini dimiliki oleh pencipta atau pemegang hak cipta secara eksklusif.

Hak cipta sendiri lahir secara deklaratif, yaitu lahir tanpa perlu adanya

pendaftaran. Namun demikian, agar suatu hak cipta memiliki bukti otentik yang

sangat berperan dalam pembuktian awal di pengadilan, maka sebaiknya hak cipta

tersebut didaftarkan.

Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2014, dimasukkan beberapa ketentuan

baru, antara lain mengenai hal-hal sebagai berikut :

a) Perlindungan hak cipta dilakukan dengan waktu lebih panjang sejalan

dengan penerapan aturan di berbagai Negara sehingga jangka waktu

perlindungan Hak Cipta diberlakukan selama hidup pencipta ditambah

70 tahun setelah pencipta meninggal dunia.,

b) Perlindungan yang lebih baik terhadap hak ekonomi para Pencipta

dan/atau Pemilik Hak Terkait.

c) Penyelesaian sengketa melalui proses mediasi, arbitrase atau

pengadilan, serta penerapan delik aduan untuk tuntutan pidana.

Universitas Sumatera Utara


59

d) Tanggung jawab pengelolaan tempat perdagangan atas pelanggaran

Hak Cipta dan/atau Hak Terkait.

e) Hak Cipta sebagai benda bergerak tidak berwujud dapat dijadikan

objek jaminan fidusia.

f) Kewenangan Menteri untuk menghapus Ciptaan yang sudah dicatatkan

apabila Ciptaan tersebut melanggar norma dan peraturan

perundangundangan.

g) Imbalan royalty yang didapatkan oleh Pencipta dan/atau Pemilik Hak

Terkait untuk Ciptaan dalam hubungan dinas dan digunakan secara

komersil.

h) Lembaga Manajemen Kolektif yang berfungsi menghimpun dan

mengelola hak ekonomi Pencipta dan Pemilik Harta Terkait Wajib

mengajukan permohonan izin operasional kepada Menteri.

i) Penggunaan Hak Cipta dan Hak Terkait dalam sarana multimedia

untuk merespon perkembangan teknologi informasi dan komunikasi

Pengaturan yang berlaku bagi perlindungan hak cipta di Indonesia saat ini

adalah Undang-Undang Hak Cipta. Undang-undang ini disebutkan lebih memberi

perlindungan bagi para pencipta di Indonesia.Hal ini dapat dilihat dari Pasal-Pasal

di dalamnya yang lebih memberi kepastian hukum bagi pihak-pihak dalam hak

cipta, terutama pencipta. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak

Cipta ini mengatur lebih banyak mengenai defenisi, seperti adanya defenisi atas

“fiksasi”, “fonogram”, “penggandaan”, “royalti”, “Lembaga Manajemen

Kolektif”, “pembajakan”, “penggunaan secara komersial”, “ganti rugi”, dan

Universitas Sumatera Utara


60

sebagainya. Undang-Undang Hak Cipta membahas lebih detail isu yang

sebelumnya telah dicantumkan dalam undang-undang lama. Sebagai contoh,

pembahasan hak ekonomi, hak cipta, dan hak terkait diberi porsi 17 Pasal.

Termasuk di dalamnya adalah ketentuan mengenai kepemilikan hak ekonomi

pencipta yang telah dijual putus sold flat kepada pihak lain akan beralih kembali

kepada pencipta setelah 25 tahun Pasal 18 Undang-Undang Hak Cipta dan

ketentuan yang sama untuk performer lagu dan/atau musik yang telah dijual hak

ekonominya Pasal 30 Undang-Undang Hak Cipta 2014. 110

Berdasarkan hal di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam penggunaan hak

cipta, harus terlebih dulu mendapatkan izin dari pemilik hak cipta. permohonan

izin ini adalah dilakukan dengan pemberian royalti atau disebut dengan imbalan

royalti kepada pemegang hak cipta. Pemberian ini sebagai tanda bahwa pihak

tersebut telah mendapatkan izin atas hak cipta yang dimohon akan digunakan.

Dalam sengketa putusan ini, hak cipta yang dipegang oleh PT. Inter Sport

Marketing melalui perjanjian lisensi dengan pihak FIFA dalam hal penayangan

piala dunia. Seharusnya sebelum melakukan penyiaran di area publik, PT. Bali

Giri Kencana harus lebih dulu melakukan permohonan izin kepada PT. Inter Sport

Marketing. Permohonan izin ini tentunya akan memberikan royalti pemegang hak

kepada PT. Inter Sport Marketing.

B. Hak Pemegang Hak Cipta

Dalam penggunaan hak cipta, ada dua hak yang dimiliki oleh pencipta atau

pemegang hak cipta. kedua hak tersebut adalah sebagai berikut:


110
Selvie Sinaga, “Catatan Terhadap UU Hak Cipta Baru”, Kompas,
http://print.kompas.com/2015/01/12/Catatan-terhadap-UU-Hak-Cipta-Baru, diakses tanggal 15
Oktober 2019

Universitas Sumatera Utara


61

1. Hak Ekonomi

Hak cipta berhubungan dengan kepentingan-kepentingan yang bersifat

ekonomi (economic rights). Adanya kepentingan-kepentingan yang bersifat

ekonomi di dalam hak cipta tersebut, merupakan suatu perwujudan dari sifat hak

cipta itu sendiri, yaitu bahwa ciptaan-ciptaan yang merupakan produk olah pikir

manusia itu mempunyai nilai, karena ciptaan-ciptaan tersebut merupakan suatu

bentuk kekayaan, walaupun bentuknya tidak berwujud (intangible).

Bagi manusia yang menghasilkan karya cipta tersebut memang

memberikan kepuasan, tetapi dari segi yang lain karya cipta tersebut sebenarnya

juga memiliki arti ekonomi. Hal ini rasanya perlu dipahami, dan tidak sekedar

menganggapnya semata-mata sebagai karya yang memberikan kepuasan batiniah,

bersifat universal dan dapat dinikmati oleh siapapun, dimanapun dan kapanpun

juga, apalagi dengan sikap bahwa sepantasnya hak itu dapat diperoleh secara

cuma-cuma.

Hak ekonomi ini diperhitungkan karena hak kekayaan intelektual dapat

digunakan/dimanfaatkan oleh pihak lain dalam perindustrian atau perdagangan

yang mendatangkan keuntungan. 111

Hak ekonomi tersebut adalah hak yang dimiliki oleh seseorang pencipta

untuk mendapatkan keuntungan atas ciptaannya. Hak ekonomi pada setiap

undang-undang selalu berbeda, baik terminologinya, jenis hak yang diliputnya,

dan ruang lingkup dari tiap jenis hak ekonomi tersebut. Dalam Pasal 9 ayat (1)

111
Abdulkadir Muhammad, Kajian Hukum Hak Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual,
(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001) hal. 19

Universitas Sumatera Utara


62

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, menyatakan bahwa

pencipta atau pemegang hak cipta memiliki hak ekonomi untuk melakukan:

1) Penerbitan ciptaan;

2) Penggandaan ciptaan dalam segala bentuknya.

Hak cipta sebagai hak ekonomi dapat dilihat dari penerapan hak eksklusif,

seorang pencipta/pemegang hak cipta melakukan perbanyakan ciptaan kemudian

dijual di pasaran, maka ia memperoleh keuntungan materi dari perbanyakan

ciptaan tersebut.

Demikian pula dengan memberi izin kepada pihak lain untuk

memproduksi, memperbanyak dan menjual hasil copy-an ciptaan adalah bukan

semata-mata karena perbuatan memberi izin saja melainkan pencipta/pemegang

hak cipta juga bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari perbuatan tersebut.

Hal ini memang wajar, pencipta/pemegang hak cipta ikut serta mendapat bagian

keuntungan, karena pihak yang diberi izin mendapatkan keuntungan dari

penerimaan izin tersebut.112

Sejalan dengan itu Muhammad mengatkan, bahwa hak ekonomi tersebut

berupa keuntungan sejumlah uang yang diperoleh karena penggunaan sendiri hak

kekayaan intelektual atau karena penggunaan pihak lain berdasarkan lisensi.

Dalam perjanjian lisensi hak cipta selain memperjanjikan izin menggunakan hak

cipta juga memperjanjikan pembagian keuntungan yang diperoleh penerima

lisensi dengan pemberi lisensi.113

112
Gatot Supramono,Op,Cit., hal. 45
113
Ibid, hal. 46

Universitas Sumatera Utara


63

2. Hak moral Atas Suatu Ciptaan

Berbicara tentang hak cipta tidak dapat dipisahkan dari masalah moral

karena di dalam hak cipta itu sendiri melekat hak moral sepanjang jangka waktu

perlindungan hak cipta masih ada. Masalah moral muncul disebabkan pada

dasarnya setiap orang mempunyai keharusan untuk menghormati atau menghargai

karya cipta orang lain. Dengan kata lain, hak moral merupakan penghargaan

moral yang diberikan masyarakat kepada seseorang karena orang tersebut telah

menghasilkan suatu ciptaan atau karya tertentu yang bermanfaat bagi masyarakat.

Penghargaan moral ini tidak dapat dinilai dengan uang, tetapi berwujud

pemberian kekuasaan atau wewenang tertentu kepadanya untuk melakukan

sesuatu dan orang lain tidak dapat dengan sesuka hatinya mengambil maupun

mengubah karya cipta seseorang menjadi atas namanya.

Hak moral adalah hak yang melindungi kepentingan pribadi atau reputasi

pencipta. Hak moral melekat pada pribadi pencipta. Apabila hak cipta dapat

dialihkan kepada pihak lain, maka hak moral tidak dapat dipisahkan dari pencipta

dan penemu karena bersifat pribadi atau kekal. Sifat pribadi menunjukkan ciri

khas yang berkenaan dengan nama baik, kemampuan dan integritas yang hanya

dimiliki oleh pencipta atau penemu. Kekal artinya melekat pada pencipta atau

penemu selama hidup bahkan setelah meninggal dunia.

Hak-hak moral tercantum dalam Pasal 6 Konvensi Bern yang menyatakan

bahwa:

“ Pencipta memiliki hak untuk mengklaim kepemilikan atas karyanya dan

mengajukan keberatan atas distorsi, mutilasi, atau perubahan-perubahan serta

Universitas Sumatera Utara


64

perbuatan lain yang berkaitan dengan karya tersebut yang dapat merugikan

kehormatan atau reputasi si Pengarang/ Pencipta”.

Sesuai dengan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014, hak moral

merupakan hak yang melekat secara abadi pada diri pencipta untuk: 114

1) Tetap mencantumkan atau tidak mencantumkan namanya pada salinan

sehubungan dengan pemakain ciptaanya untuk umum;

2) Menggunakan nama aliasnya atau samarannya;

3) Mengubah ciptannya sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat;

4) Mengubah judul dan anak judul ciptaan; dan

5) Mempertahankan haknya dalam hal terjadi distrosi ciptaan, mutilasi

ciptaan, modifikasi ciptaan, atauhal yang bersifat merugikan kehormatan

dirinya.

Apabila terjadi pengalihan pelaksaan hak moral setelah pencipta

meninggal dunia, maka penerima pengalihan pelaksanaan hak moral tersebut

dapat memilih apakah menerima atau menolak pengalihan pelaksanaan haknya

hak moral tersebut. Penerima dapat melepaskan atau menolak pelaksanaan haknya

dengan syarat pelepasan atau penolakan pelaksanaan hak tersebut dinyatakan

secara tertulis.

Berdasarkan hal di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hak yang

dimiliki oleh PT. Inter Sport Marketing adalah hak ekonomi. Hal ini dapat dilihat

dalam Pasal 9 Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, yang

mana disebutkan bahwa pencipta dan pemegang hak cipta memiliki hak ekonomi.

114
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


65

Kemudian diperjelas dengan pernyataan hak ekonomi tersebut berupa keuntungan

sejumlah uang yang diperoleh karena penggunaan sendiri hak kekayaan

intelektual atau karena penggunaan pihak lain berdasarkan lisensi. Dalam

perjanjian lisensi hak cipta selain memperjanjikan izin menggunakan hak cipta

juga memperjanjikan pembagian keuntungan yang diperoleh penerima lisensi

dengan pemberi lisensi.

C. Pelanggaran Hak Pemegang Lisensi

Selama ini kita tidak asing dengan istilah pelanggaran Hak Cipta.

Pelanggaran hak cipta merupakan permasalahan hak cipta di Indonesia yang

sampai sekarang masih belum dapat dilakukan penegakan hukum secara

maksimal. Munculnya permasalahan hak cipta adalah seiring dengan masalah

liberalisasi ekonomi yang berdampak pada keadaan sosial budaya masyarakat.

Liberalisasi telah menjadikan masyarakat Indonesia menjadi masyarakat transisi

industrial. Masyarakat transisi industrial adalah masyarakat yang sedang

mengalami perubahan dari masyarakat agraris yang berbudaya komunal/ social

tradisional ke masyarakat yang berbudaya individual modern. Keadaan sosial

budaya masyarakat Indonesia yang masih dalam proses perubahan sosial menuju

masyarakat yang rasional dan komersial berdampak pada kurangnya pemahaman

konsep hak cipta yang sebelumya belum pernah dikenal pada masyarakat

tradisional. Pada keadaan masyarakat transisi industrial, tentunya hukum yang

mengatur juga mengalami perubahan yaitu dari hukum tradisional menjadi hukum

modern, contohnya adalah munculnya hukum yang mengatur masalah hak cipta.

Konsep hak cipta berasal dari negara Eropa dengan budaya masyarakat yang

Universitas Sumatera Utara


66

menjunjung tinggi hak individu, sedangkan masyarakat Indonesia dengan budaya

timurnya lebih mengutamakan nilai sosial (komunal). Hal ini tentunya berdampak

pada pemikiran bahwa munculnya perasan senang dan tersanjung jika hasil

karyanya dapat bermanfaat bagi orang banyak, apalagi karyanya dapat dinikmati

dan dikenal publik.115

Budaya masyarakat tradisional di Indonesia tidak mengenal konsep hak

cipta. Nilai budaya masyarakat Indonesia juga tidak mengenal kepemilikan

individu atas karya cipta dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra.

Kepemilikan cenderung bersifat sosial/ komunal, artinya dimiliki oleh keluarga

atau masyarakat hukum adatnya. Karya seni asli yang ada tidak pernah

mencantumkan nama atau tanda lain sebagai tanda pengenal penciptanya. 116

Hukum hak cipta melindungi karya intelektual dan seni dalam bentuk

ekspresi. Ekspresi yang dimaksud adalah dalam bentuk tulisan seperti lirik lagu,

puisi, artikel, dan buku, dalam bentuk gambar seperti foto, logo, gambar arsitektur

dan peta, serta dalam bentuk suara dan video seperti rekaman lagu, pidato, video

pertunjukan, dan video koreografi. Pada dasarnya dengan adanya perlindungan

hukum terhadap hak cipta, berarti hak dan kepentingan pencipta diakui dan

dilindungi oleh Undang-Undang, sehingga mereka dapat menuntut setiap orang

yang melanggar hak dan kepentingannya atas karya cipta tersebut. Upaya hukum

untuk menuntut para pelanggar hak cipta dapat dilakukan oleh pencipta atau

organisasi yang terkait dengan ciptaan tersebut, melalui tuntutan pidana atau

115
Maryadi, Transformasi Budaya, Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2000
hal. 53
116
Riswandi, Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum, Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2004 hal. 140

Universitas Sumatera Utara


67

gugatan secara perdata. Berdasarkan uraian tentang perlindungan hukum hak cipta

dapat diketahui bahwa ketentuan- ketentuan hukum yang mengatur tentang hak

cipta dengan segala aspeknya sudah cukup memadai dan mendukung

perlindungan hak cipta. Namun demikian meskipun ketentuan hukum telah cukup

memadai untuk memberikan perlindungan terhadap hak cipta, sebagaimana telah

disebutkan masih ada saja hambatan yang sering menghadang dalam upaya

penegakan hukum tersebut sehingga perlu ada solusi atau pemecahan terhadap

hambatan tersebut.

Selama ini berbagai usaha untuk mensosialisasikan penghargaan atas Hak

Kekayaaan Intelektual (HKI) telah dilakukan secara bersama-sama oleh aparat

pemerintah terkait beserta lembaga- lembaga pendidikan dan lembaga swadaya

masyarakat. Akan tetapi sejauh ini upaya sosialisasi tersebut tampaknya belum

cukup berhasil. Ada beberapa alasan yang mendasarinya. Pertama, konsep dan

perlunya HKI belum dipahami secara benar di kalangan masyarakat. Kedua,

kurang optimalnya upaya penegakan, baik oleh pemilik HKI itu sendiri

maupunaparat penegak hukum. Ketiga, tidak adanya kesamaan pandangan dan

pengertian mengenai pentingnya perlindungan dan penegakan HKI di kalangan

pemilik HKI dan aparat penegak hukum, baik itu aparat Kepolisian, Kejaksaan

maupun hakim.117

Dalam praktik pergaulan internasional, HKI telah menjadi salah satu

isu penting yang selalu diperhatikan oleh kalangan negara-negara maju di

dalam melakukan hubungan perdagangan dan atau hubungan ekonomi

117
Lindsey Tim, dkk, Hak Kekayaan Intelektual, Bandung: PT. Alumni, 2013 hal. 26

Universitas Sumatera Utara


68

lainnya. Khusus dalam kaitannya dengan dengan Amerika Serikat misalnya,

hingga saat ini status Indonesia masih tetap sebagai negara dengan status

Priority Watch List (PWL) sehingga memperlemah negosiasi. Globalisasi

yang sangat identik dengan free market, free competition dan transparansi

memberikan dampak yang cukup besarterhadap perlindungan HKI di

Indonesia. Situasi seperti ini pun memberikan tantangan kepada Indonesia,

dimana Indonesia diharuskan untuk dapat memberikan perlindungan

yang memadai atas HKI sehingga terciptanya persaingan yang sehat yang

tentu saja dapat memberikan kepercayaan kepada investor untuk berinvestasi

di Indonesia.

Lebih dari itu, meningkatnya kegiatan investasi yang sedikit

banyak melibatkan proses transfer teknologi yang dilindungi HKI-nya akan

terlaksana dengan baik, apabila terdapat perlindungan yang memadai atas HKI itu

sendiri diIndonesia. Mengingat hal- hal tersebut, tanpa usaha sosialisasi di

berbagai lapisan masyarakat, kesadaran akan keberhargaan HKI tidak akan

tercipta. Sosialisasi HKI harus dilakukan pada semua kalangan terkait, seperti

aparat penegak hukum, pelajar, masyarakat pemakai, para pencipta dan yang tak

kalah pentingnya adalah kalangan pers karena dengan kekuatan tinta kalangan

jurnalis upaya kesadaranakan pentingnya HKI akan relatif lebih mudah terwujud.

Upaya sosialisasi perlu dilakukan oleh semua stake holder secara sistematis,

terarah dan berkelanjutan. Selain itu target audience dari kegiatan sosialisasi

tersebut harus dengan jelas teridentifikasi dalam setiap bentuk sosialisasi,

seperti diskusi ilmiah untuk kalangan akademisi, perbandingan sistem

Universitas Sumatera Utara


69

hukum dan pelaksanaannya bagi aparat dan praktisi hukum, dan lain-

lain. Berdasarkan praktik, belum begitu memasyarakatnya HKI menyebabkan

perlindungan yang diberikan pemerintah belum optimal. Untuk itu pemilik

hak perlu melakukan langkah- langkah non-legal untuk menegaskan

kepemilikan haknya, dan juga menegaskan kepada pihak-pihak lain bahwa

mereka akan mengambil tindakan yang tegas terhadap segala upaya penggunaan

atau pemanfaatan secara tidak sahatas haknya tersebut. Upaya perlindungan HKI

di Indonesia tidak cukup dengan menyerahkan perlindungan kepada aparat atau

sistem hukum yang ada, tetapi perlu langkah-langkah non-legal. Langkah itu

diantaranya adalah pemberian informasi mengenai kepemilikan HKI oleh pemilik

hak, survei lapangan,peringatan kepada pelanggar, dan sebagainya.118

Dalam Pasal 113 ayat (3) Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang

Hak Cipta disebutkan bahwa: Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/ atau tanpa

izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi

Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e,

dan/ atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana

penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp.

1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

118
Edy Damian, Hukum Hak Cipta, Bandung: PT. Alumni, 2002 hal. 61

Universitas Sumatera Utara


70

Sedangkan menurut ketentuan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

2014 tentang Hak Cipta disebutkan bahwa:

1. Penggandaan untuk kepentingan pribadi atas ciptaan yang telah

dilakukan Pengumuman hanya dapat dibuat sebanyak 1 (satu) salinan

dan dapat dilakukan tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta.

2. Penggandaan untuk kepentingan pribadi sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) tidak mencakup:

a. Karya arsitektur dalam bentuk bangunan atau kontruksi lain;

b. Seluruh atau bagian yang substansial dari suatu buku atau notasi

musik;

c. Seluruh atau bagian substansial dari database dalam bentuk digital;

d. Program komputer, kecuali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45

ayat (1);

e. Penggandaan untuk kepentingan pribadi yang pelaksanaannya

bertentangan dengan kepentingan yang wajar dari Pencipta atau

Pemegang.

Dalam hal ini yang dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak cipta

adalah penayangan pertandingan sepakbola piala dunia secara sepihak oleh PT.

Bali Giri Kencana. Penanyangan tersebut dilakukan di area publik yang

seharusnya lebih dulu mendapatkan izin PT. Inter Sport Marketing selaku

pemegang lisensi izin penanyangan pertandingan piala dunia di seluruh wilayah

Republik Indonesia. Penggunaan lisensi tersebut tentu saja melanggar ketentuan

dalam undang- undang hak cipta sehingga terhadap pelaku dapat diberikan sanksi.

Universitas Sumatera Utara


71

Saksi yang diberikan dalam putusan ini adalah denda berupa kewajiban

pembayaran ganti rugi sebesar Rp 100.000.000,00 atau seratus juta rupiah kepada

penggugat.

Universitas Sumatera Utara


BAB IV

ANALISIS YURIDIS Putusan NOMOR 10/HKI.HAK

CIPTA/2016/PN/NIAGA.SBY

A. Posisi Kasus

Kasus ini adalah gugatan yang diajukan oleh PT. Inter Sport Marketing.

Penggugat adalah suatu Badan Hukum dengan nama PT. INTER SPORTS

MARKETING yang sudah ada dan didirikan sejak Tahun 2010 berdasarkan

Akta Pendirian No. 02 Tanggal 05-10-2010 yang dibuat dihadapan Notaris

ZACHARIAS OMAWELE,SH Notaris di Jakarta yang telah mendapat

pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia Republik Indonesia

dengan Surat Keputusannya No. AHU-09377.AH.01.01 .Tahun 2011 tertanggal

23-02-2011 dan Akta mana telah dirubah dengan Akta Pernyataan Keputusan

Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa “ PT. INTER SPORTS

MARKETING “ No.05 Tanggal 05 Mei 2014 yang dibuat dihadapan Notaris

IRMA BONITA,SH Notaris di Jakarta , Akta mana telah dicatatkan perubahan

Data Perseroan “ PT. INTER SPORTS MARKETING “ di Kementerian Hukum

dan Hak Asasi Manusia No. AHU.-08835.40.22.2014 tertanggal 19 Mei 2014.

Tergugat adalah suatu Badan Hukum Perseroan yang mana bidang

usaha yang di kelolanya adalah Hotel dan Resort yang dikenal dengan nama

FOUR SEASON RESORT beralamat di kawasan Bukit Permai Jimbaran -

Badung – Bali. ternyata di tempat Tergugat yaitu di FOUR SEASON

RESORT beralamat di kawasan Bukit Permai Jimbaran - Badung – Bali , Bali

didapati oleh Penggugat pada tanggal 27 Juni 2014 pada pukul 00.30 Wita

72

Universitas Sumatera Utara


73

telah menayangkan siaran Langsung Piala Dunia di RESTORANT dan juga di

kamar-kamar, yang mana saat itu sedang bertanding antara negara AMERIKA

SERIKAT ( USA) dengan negara JERMAN.

Tayangan siaran 2014 FIFA World Cup Brazil atau Piala Dunia Fifa

Brazil 2014 tersebut ditayangkan oleh Tergugat tanpa ijin dari Penggugat yang

mempunyai Hak Media atas tayangan 2014 FIFA World Cup Brazil, dan

perbuatan yang melakukan nonton siaran 2014 FIFA World Cup Brazil di

tempat komersial tanpa ijin dari Penggugat adalah perbuatan melawan hukum,

dan akibatnya Penggugat sangat dirugikan , karena Tergugat tidak membayar

biaya perijinan kepada Penggugat atau yang ditunjuk oleh Penggugat yaitu

PT.NONBAR.

Atas perbuatan Tergugat yang telah menayangkan siaran 2014 FIFA

World Cup Brazil di areal komersil di tempat Tergugat yaitu di restorant dan

dikamar-kamar tersebut, Penggugat melalui PT. NONBAR perwakilan Bali

telah melakukan Somasi/Teguran agar Tergugat dapat memproses Ijin tersebut,

namun sampai beberapa kali Somasi Tergugat tidak menghiraukan

B. Pertimbangan dalam Memutuskan Sengketa Hak Cipta

Perjanjian lisensi merupakan suatu jenis perjanjian yang dipergunakan

oleh para pihak untuk mengatur hubungan hukum antara pemberi lisensi dengan

penerima lisensi. Definisi dari perjanjian lisensi didalilkan oleh Dewi Astutty

Mochtar, di mana beliau menyatakan bahwa, “Perjanjian lisensi merupakan

hubungan hukum antara pemilik atau pemberi teknologi, dimana pemilik

Universitas Sumatera Utara


74

tekonologi memindahkan teknologinya melalui pemberian hak dengan suatu

lisensi kepada setiap orang atau badan hukum.”129

Dari definisi tersebut dapat dimengerti bahwa perjanjian lisensi

merupakan suatu penjualan izin untuk mempergunakan hak paten, teknologi, hak

atas merek ataupun hak atas kekayaan intelektual lainnya dari suatu pihak kepada

pihak lainnya, dimana pemberi lisensi akan memperoleh keuntungan berupa

pembayaran fee atau royalty dari penerima lisensi. Dapat dikatakan juga bahwa

dengan lisensi, terjadi suatu penyerahan hak dari pemberi lisensi kepada penerima

lisensi untuk memakai penemuan yang dilindungi oleh paten, baik membuat,

menggunakan dan/atau menjual barang yang ada di bawah lisensi tersebut dengan

membayar.

Pengertian lisensi tercantum dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002

tentang Hak Cipta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 85)

yang sebagaimana telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014

tentang Hak Cipta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor

266) (selanjutnya disebut Undang-undang Hak Cipta), dimana berdasarkan

ketentuan Pasal 1 angka 20 ditentukan bahwa, “Lisensi adalah izin tertulis yang

diberikan oleh Pemegang Hak Cipta atau Pemilik Hak Terkait kepada pihak lain

untuk melaksanakan hak ekonomi atas Ciptaannya atau produk Hak Terkait

dengan syarat tertentu.”

Dalam suatu perjanjian lisensi terdapat para pihak yang terlibat dalam

perjanjian tersebut. Pihak pertama dalam perjanjian lisensi adalah pihak pemberi

129
Dewi Astutty Mochtar, Perjanjian Lisensi Alih Teknologi dalam Pengembangan
Teknologi Indonesia, (Bandung: Penerbit Alumni, 2001), hal. 21

Universitas Sumatera Utara


75

lisensi, yaitu badan atau orang yang memberikan izin tertulis kepada pihak lain

untuk melaksanakan hak ekonomi atas ciptaannya atau produk hak terkait dengan

syarat tertentu., adapun pihak pemberi lisensi dalam penelitian ini adalah

Federation Internationale de Football Association (selanjutnya disebut FIFA).

Sedangkan yang dimaksud dengan pihak kedua adalah pihak penerima lisensi,

yaitu badan atau orang yang diberikan izin oleh pemegang hak cipta atau pemilik

hak terkait untuk melaksanakan hak ekonomi atas ciptaannya atau produk hak

terkait dengan syarat tertentu, adapun pihak kedua dalam penelitian ini adalah PT.

Inter Sport Marketing (selanjutnya disebut PT. ISM) dan PT. Nonbar. Sedangkan

yang dimaksud dengan pihak ketiga disini adalah orang atau badan selain pemberi

dan penerima lisensi yang yang tidak ada sangkut pautnya dengan pelaksanaan

perjanjian lisensi diantara kedua belah pihak tersebut, adapun pihak ketiga dalam

penelitian ini adalah Hotel, Villa maupun Restoran yang mengalami tuntutan

maupun gugatan atas dasar dianggap melanggar Undang-undang Hak Cipta

karena menayangkan Siaran Piala Dunia tahun 2014.

Berdasarkan perjanjian lisensi tersebut, FIFA memberikan hak-hak media

kepada PT. ISM, antara lain:

a. Hak-hak Televisi, termasuk didalamnya:

1) Basic Feed, Multi Feed, Additional Feed dan Liputan Unilateral

atas dasar live, deleyed atau repeat

2) Audio Feed atas dasar live, deleyed atau repeat

3) Highlights atas dasar deleyed atau repeat

b. Hak-hak Mobil, termasuk didalamnya:

Universitas Sumatera Utara


76

1) Basic Feed, Multi Feed, Additional Feed dan Liputan Unilateral

atas dasar live, deleyed atau repeat

2) Audio Feed atas dasar live, deleyed atau repeat

3) Highlights atas dasar deleyed atau repeat

c. Hak-hak Radio, termasuk didalamnya:

1) Audio Feed atas dasar live, deleyed atau repeat

2) Highlights atas dasar deleyed atau repeat

d. Hak-hak Internet, termasuk didalamnya:

1) Audio Feed atas dasar live, deleyed atau repeat

2) Highlights atas dasar deleyed atau repeat

3) Periklanan dan promosi

4) Branding FIFA dan perlindungan merek dagang

5) Properti intelektual

6) Sub Lisensi

7) Hak-hak Eksibisi Publik (hak-hak area komersial)

Selanjutnya atas penjelasan di atas, terjadi pelanggaran atas hak- hak yang

diberikan oleh FIFA kepada pihak PT. Inter Sport Marketing yang dilakukan oleh

PT. Bali Giri Kencana dengan melakukan perbuatan melawan hukum dengan

menayangkan 2014 FIFA World Cup Brazil di area komersial tanpa izin dari PT.

Inter Sport Marketing. Kemudian diajukan gugatan oleh PT. Inter Sport

Marketing di Pengadilan Negeri Surabaya dengan Nomor register

9/Pdt.Sus/HAKI/2018/PN.Niaga.Sby yang kemudian diputuskan untuk

mengabulkan gugatan pengggat untuk sebagaian.

Universitas Sumatera Utara


77

Pada putusan ini disebutkan bahwa eksepsi yang diajukan oleh tergugat

ditolak untuk seluruhnya sehingga tergugat diwajibkan membayar sanksi denda

materiil sebesar Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan denda immaterial

sebesar Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). Atas putusan tersebut,

tergugat kemudian memohonkan kasasi kepada. Dalam memutus perkara ini,

hakim memiliki pertimbangan sendiri.

Dalam memutus perkara yang terpenting adalah kesimpulan hukum atas

fakta yang terungkap di dalam persidangan. Untuk itu hakim harus menggali nilai-

nilai, mengikuti dan memahami nilai- nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup
130
dalam masyarakat. Sumber hukum yang dapat berupa peraturan perundang-

undangan berikut peraturan pelaksananya, hukum tidak tertulis (hukum adat),

putusan desa, yurisprudensi, maupun doktrin/ ajaran para ahli. 131

Dalam praktik pengadilan perdata yang mana sengketa merek dan HAKI

adalah bagian dari perdata, dikenal sumber hukum berupa Burgerlijk Wetboek

(BW) yang terdiri dari 1993 pasal. BW tersebut berdasarkan Pasal 1 Aturan

Peralihan UUD 19945 (amandemen) masih berlaku hingga saat ini. Pada masa

dulu sebelum dicabutnya keberlakukan pembagian golongan penduduk,

diberlakukan aturan berlakunya BW yaitu: 132

a) Mereka yang termasuk golongan Eropa; „

130
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman
131
R. Soerparmono, Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi, Bandung: Mandar Maju,
2005 hal. 146
132
R. Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: PT. Pradnya Paramitha,
2004 hal. 6

Universitas Sumatera Utara


78

b) Mereka yang termasuk golongan Tiong Hoa dengan beberapa

kekecualian dan tambahan seperti termuat dalam Lembaran Negara

tahun 1917- 129 (lampiran II);

c) Mereka yang termasuk golongan Timur Asing selain daripada Tiong

Hoa dengan kekecualian dan penjelasan seperti termuat dalam

Lembaran Negara tahun 1924- 556 (lampiran I)

Sementara itu untuk golongan bangsa Indonesia Asli berlaku hukum adat

yang sejak dahulu telah berlaku di kalangan rakyat, yang sebagian besar masih

belum tertulis, tetapi telah hidup dalam tindakan- tindakan rakyat, mengenai
133
segala soal dalam kehidupan masyarakat.

Pembahasan mengenai cacat tidaknya suatu putusan hakim harus ditinjau

dari asas- asas putusan yang harus diterapkan dalam putusan. Pada hakikatnya

asas- asas tersebut terdapat dalam Pasal 178 HIR/ 189 RBG dan Pasal 50 Undang-

Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu:

a. Memuat Dasar Alasan yang Jelas dan Rinci

Putusan yang dijatuhkan oleh hakim harus berdasarkan pertimbangan

yang jelas dan cukup. Putusan yang tidak memenuhi ketentuan

tersebut dikategorikan putusan yang tidak cukup pertimbangan

atau onvoldoende gemotiveerd. Alasan yang dijadkan pertimbangan

dapat berupa pasal-pasal tertentu peraturan perundang-undangan,

hukum kebiasaan, yurisprudensi atau doktrin hukum.

133
R. Subekti, Pokok- pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT. Intermasa, 1996 hal. 10

Universitas Sumatera Utara


79

Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 48

Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menegaskan

bahwasanya Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar

putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-

undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang

dijadikan dasar untuk mengadili. Bahkan menurut Pasal 178 ayat (1)

HIR, hakim karena jabatannya wajib mencukupkan segala alasan

hukum yang tidak dikemukakan para pihak yang berperkara. Untuk

memenuhi kewajiban itulah Pasal 5 Undang-Undang Kekuasan

Kehakiman memerintahkan hakim untuk menggali nilai-nilai,

mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang

hidup dalam masyarakat.134

Bertitik tolak dari pasal-pasal yang dikemukakan di atas, putusan yang

tidak cukup pertimbangan adalah masalah yuridis, Akibatnya putusan

dapat dibatalkan pada tingkat banding atau kasasi. Begitu pula

pertimbangan yang mengandung kontradiksi, putusan demikian tidak

memenuhi syarat sebagai putusan yang jelas dan rinci, sehingga cukup

alasan menyatakan putusan yang dijatuhkan melanggar asas yang

digariskan Pasal 178 ayat (1) HIR/189 ayat (1) RBG dan Pasal 50

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman.

134
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005 hal. 798

Universitas Sumatera Utara


80

b. Wajib Mengadili Seluruh Bagian Gugatan

Asas kedua yang digariskan oleh Pasal 178 ayat (2) HIR/Pasal 189

ayat (2) RBG dan Pasal 50 RV adalah putusan harus secara total dan

menyeluruh memeriksa dan mengadili setiap segi gugatan yang

diajukan. Tidak boleh hanya memeriksa dan memutus sebagian saja

dan mengabaikan gugatan selebihnya. Cara mengadili yang demikian

bertentangan dengan asas yang digariskan oleh undang-undang.

c. Tidak Boleh Mengabulkan Melebihi Tuntutan

Berdasarkan Pasal 178 ayat (3) HIR/Pasal 189 ayat (3) RBG dan Pasal

50 RV, putusan tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan yang

dikemukakan dalam gugatan. Larangan itu disebut ultra petitum

partium. Hakim yang mengabulkan posita maupun petitum gugatan,

dianggap telah melampaui batas wewenang atau ultar vires yakni

bertindak melampaui wewenangnya. Apabila putusan mengandung

ultra petitum, harus dinyatakan cacat (invalid) meskipun hal itu

dilakukan hakim dengan itikad baik (good faith) maupun sesuai

dengan kepentingan umum (public interest). Mengadili dengan cara

mengabulkan melebihi dari apa yang di gugat dapat dipersamakan

dengan tindakan yang tidak sah (illegal)meskipun dilakukan dengan

itikad baik. 135

135
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


81

d. Diucapkan di Depan Umum

Persidangan dan putusan diucapkan dalam siding pengadilan yang

terbuka untuk umum atau di muka umum merupakan salah satu bagian

yang tidak terpisahkan dari asas fair trial. Melalui asas fair trial,

pemeriksaan persidangan harus berdasarkan proses yang jujur sejak

awal sampai akhir. Prinsip peradilan terbuka untuk umum mulai dari

awal pemeriksaan sampai putusan dijatuhkan. Hal itu tentunya

dikecualikan untuk perkara tertentu, misalnya perkara

perceraian. Akan tetapi walaupun dilakukan dalam persidangan

tertutup untuk umum, putusan wajib diucapkan dalam sidang yang

terbuka untuk umum.

Pelanggaran terhadap hal di atas ditegaskan dalam Pasal 13 ayat (2)

Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi :

“Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum

apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.”

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka putusan yang tidak diucapkan di

muka umum berakibat putusan batal demi hukum.

Hukum positif dituangkan dalam undang-undang adalah kristalisasi

kehendak masyarakat. Penguasaan atas bahasa undang-undang sangat diperlukan

untuk memahami kehendak masyarakat tersebut agar tidak menimbulkan

penafsiran yang bertentangan dengan kehendak masyarakat. Itulah latar belakang

pentingnya penguasaan Bahasa Belanda untuk dapat memahami maksud dari

segala pasal-pasal dalam BW.

Universitas Sumatera Utara


82

Faktanya adalah minimnya penguasaan Bahasa Belanda oleh para

yurist saat ini. Sepengetahuan penulis tidak lebih dari seperlima dari jumlah

keseluruhan hakim agung yang menguasai Bahasa Belanda. Konsekuensinya

adalah penggunaan BW terjemahan oleh para hakim/praktisi hukum untuk

menjadi problem solving atas berbagai permasalahan hukum yang ada. BW

adalah undang-undang sehingga harus diterapkan sebagai legal reasoning hakim

dalam putusannya.

Penggunaan BW terjemahan tersebut telah menjadi kebiasaan bagi para

hakim baik hakim tingkat pertama, banding maupun kasasi. Tidak pernah tercatat

dalam sejarah peradilan Indonesia putusan hakim menjadi batal atau batal demi

hukum dikarenakan penggunaan BW terjemahan. Substansi dari putusan yang

pada hakikatnya menggunakan BW terjemahan juga telah dapat diterima oleh

masyarakat mengingat kebutuhan menghendakinya (doelmatigheid).

Dari berbagai putusan perdata yang menggunakan BW sebagai problem

solving atas sengketa yang ada, tidak pernah hakim dalam pertimbangannya

mengatakan bahwasanya pasal BW yang dikutip adalah terjemahan dari orang

lain. Terlihat seolah hakim tersebutlah yang menterjemahkannya dalam Bahasa

Indonesia. Menurut penulis hal tersebut tidak menjadi persoalan asalkan diambil

dari terjemahan penterjemah yang diakui dan teruji kapasitasnya.

Secara yuridis, tidak terdapat suatu pengaturan yang mengancam kebatalan

bagi suatu putusan yang menggunakan BW terjemahan sebagai dasar

pertimbangan. Pasal 50 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang

Kekuasaan Kehakiman hanya menegaskan bahwasanya Putusan pengadilan selain

Universitas Sumatera Utara


83

harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan

perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang

dijadikan dasar untuk mengadili. Pelanggaran terhadap pasal tersebut

mengakibatkan putusan dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi dikarenakan

alasan tidak cukup pertimbangan atau onvoldoende gemotiverd.

Adapun pertimbangan hakim dalam memutuskan sengketa perkara perdata

ini adalah sebagai berikut:

1. Putusan Negeri Surabaya yang tercatat dengan Nomor Register

10/Pdt.Sus/HAKI/2016/PN.Sby;

2. Permohonan Kasasi oleh PT. Bali Giri Kencana atas putusan

Pengadilan Negeri Surabaya di atas;

3. Bahwa Penggugat adalah pemegang hak eksklusif lisensi hak cipta

yang bersumber dari perjanjian lisensi dengan FIFA;

4. Menimbang bahwa perbuatan tergugat menyangkan konten Piala

Dunia Tahun 2014 di Restoran yang merupakan area komersial Hotel

milik Tergugat (The Bali Giri Kencana) merupakan perbuatan

melawan hukum;

5. Bahwa meskipun demikian, putusan Judex Facti/ Pengadilan Niaga

pada Pengadilan Negeri Surabaya harus diperbaiki sepanjang

mengenai amar yang menghukum tergugat membayar ganti rugi

immaterial karena penggugat tidak menguraikan dengan jelas kerugian

immaterial yang dialaminya.

Universitas Sumatera Utara


84

C. Analisis Terhadap Putusan No. 10/ HKI. HAK CIPTA/ 2016/ PN/

NIAGA. SBY

Adapun Putusan perdata HAKI yang diputuskan oleh hakim adalah

sebagai berikut:

MENGADILI:

1. Menyatakan bahwa Perjanjian Lisensi antara PT. INTER SPORTS

MARKETING (PT.ISM) dengan FEDERATION INTERNATIONAL

DE FOOTBALL ASSOCIATION (FIFA) tertanggal 05 Mei 2011

adalah sah;

2. Menyatakan bahwa Penggugat adalah satu-satunya Penerima Lisensi dari

FEDERATION INTERNATIONAL DE FOOTBALL ASSOCIATION

(FIFA) untuk Media rights menyiarkan tayangan 2014 FIFA World

Cup Brazil di seluruh wilayah Indonesia;

3. Menyatakan bahwa Tergugat telah melakukan Perbuatan Melawan

Hukum dengan menayangkan 2014 FIFA World Cup Brazil di areal

Komersial yaitu di RESTORANT dan KAMAR-KAMAR FOUR

SEASON RESORT tanpa ijin dari Penggugat;

4. Menyatakan hukum Penggugat mengalami Kerugian atas tayangan 2014

Fifa World Cup Brazil di areal komersial tanpa ijin sebesar

Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah);

5. Menghukum Tergugat membayar Ganti Rugi Immateriil kepada

Penggugat sebesar Rp.400.000.000,- (empat ratus juta rupiah);

Universitas Sumatera Utara


85

6. Menghukum Tergugat membayar uang paksa (dwangsom) atas

keterlambatan pembayaran ganti rugi setiap hari Rp.1.000.000,- (Satu juta

rupiah).

Putusan ini dapat dilihat bahwa hakim dalam perkara pedata ini memutus

dengan melihat fakta- fakta yang ada dalam persidangan. Hakim melihat bahwa

hal- hal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Hak

Cipta yang mengatur tentang Pencipta sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2)

dan juga Pemegang Hak Cipta sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (4). Pada

perkara ini telah dijelaskan oleh Penggugat bahwa pemilik lisensi untuk

menayangkan konten sepakbola piala dunia Brazil 2014 adalah PT. Inter Sport

Marketing.

Terhadap keabsahan putusan ini, dapat dilihat dari asas- asas yang diatur

seperti telah dijelaskan di atas, dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu:

a. Memuat Dasar Alasan yang Jelas dan Rinci

Dalam putusan tersebut telah diuraikan mengenai alasan- alasan

pengambilan keputusan yang diuraikan dalam pertimbangan-

pertimbangan keputusan. Hal- hal yang menjadi pertimbangan putusan

ini yaitu pada pokoknya bukti- bukti yang dihadirkan dalam

persidangan dan fakta- fakta dalam persidangan. Alasan utama adalah

bahwa Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum atas

pelanggaan hak lisensi penggugat

b. Wajib Mengadili Seluruh Bagian Gugatan

Universitas Sumatera Utara


86

Dalam perkara perdata ini, gugatan yang diajukan Penggugat adalah

mengenai kasasi atas putusan sengketa HAKI di Pengadilan Negeri

Surabaya. Dan atas putusan itu telah dijadikan sebagai pertimbangan

serta diperbaiki. Hal ini membuktikan terpenuhinya asas wajib

mengadili selurh bagian gugatan.

c. Tidak Boleh Mengabulkan Melebihi Tuntutan

Putusan yang dijatuhkan dalam perkara ini tidak melebihi tuntutan. Hal

ini dapat dilihat bahwa hakim menolak kasasi yang diajukan oleh pihak

pemohon.

d. Diucapkan di Depan Umum

Adapun putusan ini dibacakan tanggal 14 Mei 2019 dalam persidangan

yang dinyatakan terbuka untuk umum oleh Ketua Majelis Hakim

tersebut dengan didampingi Hakim Anggota dan dibantu oleh Lisnur

serta Panitera Pengganti. Dengan begitu, jelas bahwa putusan ini telah

sesuai dan diucapkan di muka umum telah memenuhi ketentuan yang

berlaku.

D. Akibat Hukum Atas Putusan Nomor 10/ HKI .HAK CIPTA/ 2016/ PN/

NIAGA. SBY

Setiap perbuatan hukum akan menyebabkan konsekuensi terhadap para

pelaku hukum tersebut. Perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum, sehingga

akan melahirkan sebuah akibat hukum. Akibat hukum adalah suatu akibat yang

ditimbulkan oleh hukum, terhadap suatu perbuatan yang dilakukan oleh subjek

hukum. Akibat hukum merupakan suatu akibat dari tindakan yang dilakukan,

Universitas Sumatera Utara


87

untuk memperoleh suatu akibat yang diharapkan oleh pelaku hukum. Akibat yang

dimaksud adalah akibat yang diatur oleh hukum, sedangkan tindakan yang

dilakukan merupakan tindakan hukum yaitu tindakan yang sesuai dengan hukum

yang berlaku.136

Akibat hukum adalah akibat yang ditimbulkan oleh suatu peristiwa hukum,

yang dapat berwujud:137

1. Lahir, berubah atau lenyapnya suatu keadaan hukum. Contohnya,

akibat hukum dapat berubah dari tidak cakap hukum menjadi cakap

hukum ketika seseorang berusia 21 tahun.

2. Lahir, berubah atau lenyapnya suatu hubungan hukum antara dua atau

lebih subjek hukum, dimana hak dan kewajiban pihak yang satu

berhadapan dengan hak dan kewajiban pihak yang lain. Contohnya, X

mengadakan perjanjian sewa-menyewa rumah dengan Y, maka lahirlah

hubungan hukum antara X dan Y apabila sewa menyewa rumah

berakhir, yaitu ditandai dengan dipenuhinya semua perjanjian sewa-

menyewa tersebut, maka hubungan hukum tersebut menjadi lenyap.

3. Lahirnya sanksi apabila dilakukan tindakan yang melawan hukum.

Contohnya, seorang pencuri diberi sanksi hukuman adalah suatu akibat

hukum dari perbuatan si pencuri tersebut yaitu, mengambil barang

orang lain tanpa hak dan secara melawan hukum.

Akibat hukum merupakan suatu peristiwa yang ditimbulkan oleh karena

suatu sebab, yaitu perbuatan yang dilakukan oleh subjek hukum, baik perbuatan

136
R. Soeroso, Praktek Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2006 hal. 295
137
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


88

yang sesuai dengan hukum, maupun perbuatan yang tidak sesuai dengan hukum.

Akibat hukum sebagai implikasi atas dilakukannya suatu perbuatan hukum,

dipengaruhi oleh norma- norma dan aturan- aturan yang ada di dalam lingkungan

subjek hukum tersebut.

Adapun akibat hukum atas putusan ini adalah penolakan kasasi derta

terjadinya perbaikan atas putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor

9/Pdt.Sus/HAKI/2018/PN.Sby tanggal 3 September 2018. Perbaikan tersebut

dilakukan terhadap nominal denda yang dikenakan kepada pihak PT. Bali Giri

Kencana menjadi sebesar Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) karena tidak

menguraikan nilai kerugian materiil pada gugatannya.

Universitas Sumatera Utara


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hal- hal di atas ditarik kesimpulan sebagai berikut di bawah

ini:

1. Pengertian lisensi menurut Pasal 1 angka (20) Undang-Undang Nomor

28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta adalah izin tertulis yang diberikan

oleh Pemegang Hak Cipta atau Pemilik Hak Terkait kepada pihak lain

untuk melaksanakan hak ekonomi atas Ciptaannya atau produk Hak

Terkait dengan syarat tertentu. Jadi pada dasarnya lisensi hak cipta

merupakan suatu bentuk pemberian izin pemanfaatan atau penggunaan

hak cipta, yang bukan merupakan pengalihan hak, yang dimiliki oleh

pemberi lisensi kepada penerima lisensi dalam jangka waktu tertentu,

yang pada umumnya disertai dengan imbalan berupa royalti. Adanya

izin dalam lisensi hak cipta tersebut bersifat mutlak dan izin yang

diberikan harus dituangkan dalam bentuk perjanjian. Hal ini membawa

konsekuensi bahwa lisensi harus dibuat secara tertulis antara pihak

pemberi lisensi yaitu pemegang hak cipta dengan pihak penerima

lisensi.

2. Dalam perkara antara PT. Inter Sport Marketing dengan PT.

Akmanindo Legian yang dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak

cipta adalah penayangan pertandingan sepakbola piala dunia secara

sepihak oleh PT. Akmanindo Legian. Penanyangan tersebut dilakukan

89

Universitas Sumatera Utara


90

di area publik yang seharusnya lebih dulu mendapatkan izin PT. Inter

Sport Marketing selaku pemegang lisensi izin penanyangan

pertandingan piala dunia di seluruh wilayah Republik Indonesia.

Penggunaan lisensi tersebut tentu saja melanggar ketentuan dalam

undang- undang hak cipta sehingga terhadap pelaku dapat diberikan

sanksi. Saksi yang diberikan dalam putusan ini adalah denda berupa

kewajiban pembayaran ganti rugi sebesar Rp 100.000.000,00 atau

seratus juta rupiah kepada penggugat.

3. Berdasarkan hal- hal yang menjadi pertimbangan dalam persidangan,

maka Putusan Mahkamah Agung tersebut telah memenuhi asas- asas

yang terdapat dalam Undang-undang. Putusan ini tidak bertentangan

dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Hak Cipta dan

juga Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, diberikan saran- saran sebagai berikut ini:

1. Perlindungan terhadap pemegang hak cipta dengan perjanjian lisensi harus

diperketat. Sebab banyak sekali gugatan hak cipta di bidang ini yang

terdapat di pengadilan.

2. Dengan berpedoman bahwa hak lisensi adalah hak pemegang hak cipta,

maka sudah selayaknya hukumannya diperberat.

3. Sebagai perlindungan kepada pemegang hak cipta harus mendapat royalti

terhadap penggunaan lisensinya. Yang terjadi pada saat ini adalah

Universitas Sumatera Utara


91

banyaknya pencipta yang tidak mendapatkan royalti atas karya ciptanya.

Hal ini hendaknya menjadi perhatian yang perlu diatasi oleh pemerintah

baik pusat maupun daerah agar memacu niat dan bakat seni di kalangan

masyarakat.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Cahyadi, Antonius dan E. Fernando M. Manullang. 2007. Pengantar Ke Filsafat
Hukum, Jakarta, Kencana Prenada Media Group
Damian, Eddy. 2009. Hukum Hak Cipta, edisi ke-2, cetakan ke-3, Bandung: P.T.
Alumni
Damian, Edy. 2002. Hukum Hak Cipta, Bandung: PT. Alumni
Djakfar, Muhammad. 2009. Hukum Bisnis: Membangun Wacana Integrasi
Perundangan Nasional dengan Syariáh, Malang: UIN-Malang Press
Djumhana, Muhammad dan Djuboedillah. 2003. Hak Milik Intelektual (Sejarah,
Teori, dan Praktiknya di Indonesia), Bandung: Citra Aditya Bakti
Firmansyah, Muhammad. 2008. Tata Cara Mengurus HAKI, Jakarta: Visi Media
Fuady, Munir. 2011. Pengantar Hukum Bisnis, Bandung: Citra Aditya Bakti
Ginting, Elyta Ras. 2012. Hukum Hak Cipta Indonesia, Bandung, PT. Citra
Aditya Bakti
Harahap, M. Yahya. 2005. Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika
Ishaq. 2009. Dasar- dasar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika
Isnain, Yusran. 2010. Buku Pintar HAKI Bogor: Ghalia Indonesia, 2010
Johny, Ibrahim. 2007. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Edisi
Revisi), Malang: Bayu Media Publishing
Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1995. Jakarta, Balai Fustaka
Lewis, Arthur. 2014. Dasar-Dasar Hukum Bisnis, Bandung: Nusa Media, 2014
Lindsey Tim, dkk. 2013. Hak Kekayaan Intelektual, Bandung: PT. Alumni
Maryadi. 2000. Transformasi Budaya, Surakarta: Muhammadiyah University
Press
Mochtar, Dewi Astutty. 2001. Perjanjian Lisensi Alih Teknologi dalam
Pengembangan Teknologi Indonesia, Bandung: Penerbit Alumni
Moeleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT.Remaja
Rosdakarya
Muhammad, Abdulkadir. 2001. Kajian Hukum Hak Ekonomi Hak Kekayaan
Intelektual, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti

92

Universitas Sumatera Utara


93

Nashriana. 2016. Perlindungan Hukum Pidana, Jakarta: Rajawali


Riswandi, Budi Agus. 2009. Hak Cipta Di Internet Aspek Hukum Dan
Permasalahannya Di Indonesia, Yogyakarta: FH UII Press
Riswandi. 2004. Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum, Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada
Saidin. 2010. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Jakarta: Rajawali Press
Sardjono, Agus. 2008. Hak Cipta dalam Desain Grafis, Jakarta: Yellow Dot
Publishing
Soekanto, Soerjono. 1985. Teori Yang Murni Tentang Hukum, Bandung: PT.
Alumni
Soeroso, R. 2006. Pengantar Ilmu Hukum, cet. ke-8, Jakarta, Sinar Grafika
Soerparmono, R. 2005. Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi, Bandung:
Mandar Maju
Subekti, R. 2004. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: PT. Pradnya
Paramitha
Subekti, R. 1996. Pokok- pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT. Intermasa
Syafrinaldi. 2001. Hukum tentang Perlindungan Hak Milik Intelektual dalam
Menghadapi Era Global, Riau: UIR Press
Supramono, Gatot. 2010. Hak Cipta dan Aspek-Aspek Hukumnya, Bandung :
Penerbit Rineka Cipta
B. Perundang- Undangan

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta,

Tambahan Lembaran Negara Nomor: 5599

C. Internet
Sinaga, Selvie. “Catatan Terhadap UU Hak Cipta Baru”, Kompas,
http://print.kompas.com/2015/01/12/Catatan-terhadap-UU-Hak-Cipta-Baru,
diakses tanggal 15 Oktober 2019

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai