Anda di halaman 1dari 80

PENGHAPUSAN PERSAMAAN LOGO ASICS TIGER

JEPANG DALAM PERSPEKTIF HAK CIPTA

(Analisis Putusan Nomor 189 K/Pdt.Sus-HKI (H.C)/2013)

SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

MUHAMAD ALDI SUBHAN


11140480000136

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1440H/2018M
2
ii
ABSTRAK

MUHAMAD ALDI SUBHAN. NIM 11140480000136 Penghapusan Persamaan


Logo Asics Tiger Jepang Dalam Persepktif Hak Cipta (Analisis Putusan Nomor
189 K/Pdt.Sus-HKI (H.C)/2013). Program Studi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah
dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440 H/ 2018
M. x + 68 halaman 28 hal lampiran. Penelitian ini menganalisis Putusan Mahkamah
Agung Nomor 189 K/Pdt.Sus-HKI (H.C)/2013 tentang penghapusan persamaan
logo Asics Tiger Jepang dalam perspektif Hak Cipta.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara ilmiah
yakni dalam studi ilmu hukum, dan secara praktis maupun akademis yakni sebagai
masukan bagi peneliti maupun pihak-pihak yang memiliki keinginan untuk
menganalisis kasus perselisihan Hak Cipta seni lukis logo Asics Tiger. Metode
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian kepustakaan (library research) yang bersifat yuridis normatif,
yaitu penelitian mengacu pada norma-norma hukum yang ada dalam peraturan
perundang-undangan, literatur, pendapat ahli, jurnal, makalah-makalah. Dalam
studi kepustakaan, peneliti menganalisi Putusan Mahkamah Agung Nomor 189
K/Pdt.Sus-HKI (H.C)/2013 bahwa apabila terjadi perselisihan Hak Cipta seni lukis
logo Asics Tiger maka pencipta dari suatu logo bisa mendapatkan perlindungan atas
ciptaannya dengan cara mendaftarkan ciptaannya tersebut.
Ciptaan berupa logo tidak dapat dicatatkan dan akibatnya ciptaan berupa
seni lukis logo tidak dapat pengakuan secara sah atas ciptaannya. Hal ini sangat
mengancam perlindungan terhadap ciptaan logo yang telah dibuat oleh seseorang
dengan imajinasi dan pola pikir sehingga menghasilkan sebua karya seni. Saat ini
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta menentukan bahwa
seni lukis logo tidak dapat dicatatkan, hal ini dapat menimbulkan banyak
penjiplakan atau plagiasi sehingga sulit menentukan siapa pemegang Hak Cipta
tersebut. Penyelesaian sengketa Hak Cipta logo dapat dilakukan di luar pengadilan
dan di pengadilan. Para pihak yang bersengketa ingin meminta penetapan
sementara bahwa logo tersebut pemilik pencipta dengan memberikan bukti-bukti
yang telah ada. Hal tersebut sangat sulit karena Hak Cipta logo tidak dapat
dicatatkan.

Kata Kunci : Hak kekayaan Intelektual, Hak Cipta, Seni Lukis Logo

Pembimbing : Dr. Nahrowi, S.H., M.H.


Daftar Pustaka : Tahun 1997 Sampai Tahun 2017

v
KATA PENGANTAR

‫يم‬
ِ ‫الر ِح‬
َّ ‫من‬
ِ ْ‫الرح‬
َّ ِ‫س ِم هللا‬
ْ ِ‫ب‬

Segala puji dan syukur hanya untuk Allah SWT. Atas berkat rahmat,
hidayat dan juga anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan
judul “Penghapusan Persamaan Logo Asics Tiger Jepang Dalam Persepktif
Hak Cipta (Analisis Putusan Nomor 189 K/Pdt.Sus-HKI (H.C)/2013)”.
Sholawat serta salam tidak lupa tercurah oleh penulis kepada junjungan Nabi
Muhammad SAW, yang telah membawa umat manusia dari zaman jahiliah,
kepada zaman islamiyah pada saat ini.

Penelitian skripsi ini dilakukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum


pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini
tidak dapat diselesaikan oleh peneliti tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai
pihak selama penyusunan skripsi ini.

Peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kepada


pihak yang telah memberikan peranan secara langsung dan tidak langsung atas
pencampaian yang telah dicapai oleh peneliti, yaitu antara lain kepada :

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.M, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum
dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekertaris Program Studi Ilmu Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Dr. Nahrowi, S.H., M.H. pembimbing skripsi peneliti, saya ucapkan terima
kasih atas kesempatan waktu, arahan dan kritik serta saran yang diberikan demi
penelitian yang saya lakukan. Semoga ilmu yang diajarkan dapat bermanfaat
dan mendapatkan balasan dari ALLAH SWT.
4. Kepada Staff Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Syari’ah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan

vi
studi kepustakaan, sehingga saya dapat memperoleh bahan referensi untuk
melengkapi hasil penelitian saya.
5. Kedua orang tua tercinta Ayahanda Mohamad Zaenudin Hanafie dan Ibunda
Siti Alimah, yang selalu mengirimkan doa dan mencurahkan kasih sayangnya,
serta Kakakku Putik Nutfie dan Wisik Mayang sari yang memberikan semangat
untuk menyelesaikan skripsi ini.
6. Dhea Reka Putri, terima kasih atas semangat, dukungan dan waktu kepada
peneliti yang tiada hentinya sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini.
7. Keluarga besar Kitlec Indonesia yang telah memberikan semangat dan
dukungan untuk menyelesaikan skripsi ini.
8. Kawan-kawan dibawah pohon rindang ilmu hukum Khaerul Rizal, Iqbal
Hardian, Muhzen, Farhan Febriaji. Serta teman-teman seperjungan Ilmu
Hukum 2014.
9. Semua pihak yang telah membantu peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini,
yang tidak dapat peneliti sebutkan namanya satu persatu. Semoga Allah SWT
memberikan berkah dan karunia-Nya serta membalas kebaaikan mereka
(Aamiin)
Sebagai akhir kata semoga Allah Subhanahu Wata’ala memberikan balasan
atas bantuan yang telah diberikan kepada peneliti sehingga dapat menyelesaikan
skripsi ini, dan juga menjadi berkah dan amal kebajikan serta bermanfaat bagi
kita semua. Amin.

Jakarta, 13, Desember 2018


Peneliti,

Muhamad Aldi Subhan

vii
DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING………………………………………...…….ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI………………………………….iii

LEMBAR PERNYATAAN……………………………………………………..iv

ABSTRAK………………………………………………………………………..v

KATA PENGANTAR…………………………………………………………..vi

DAFTAR ISI…………………………………………………………………...viii

DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………………..x

BAB I PENDAHULUAN …………………...………………………………….1

A. Latar Belakang Masalah .......................................................................1


B. Identifikasi, Pembatasan , dan Perumusan Masalah ............................7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……………………………………….8
D. Metode Penelitian……………………………………………………..9
E. Sistematika Penulisan ……………………………………………….12

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Kerangka Konseptual……………………………………...………...14
1. Sejarah Hak Cipta di Indonesia………………………..……........14
2. Pengertian Hak Cipta………………….…………………….........15
3. Hak- Hak Yang Terkait Dengan Hak Cipta ……………………..18
4. Sejarah Hak Merek …………………………………………........21
5. Pengetian Hak Merek ………………………………………........22
6. Pembatalan Pendaftaran Hak Cipta ………………….……..........24

viii
7. Penghapusan Pencatatan Hak Cipta ……………….……….........27
8. Profil ASICS TIGER .……………………………………….......28
B. Kerangka Teori……………….....……………………………...........30
1. Teori Keadilan………………………………………………........30
2. Teori Kepastian Hukum……………………………………..........32
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu…………………………..........33

BAB III PUTUSAN HAKIM DALAM PERKARA NOMOR 189 K/Pdt.Sus-

HKI/2013 LOGO ASICS TIGER JEPANG DENGAN


INDONEESIA
A. Posisi Kasus …………………………………………………………36
B. Putusan Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.………………........37
Putusan Nomor 48/HAK CIPTA/2012/PN Niaga.Jkt.Pst…………...37
C. Putusan Hakim Mahkamah Agung ……………………………........41
Putusan Nomor 189 K/Pdt.Sus-HKI/2013…………………………..41

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMEGANG HAK


CIPTA LOGO
A. Perlindungan Hukum Hak Cipta…………………………………….47
B. Bentuk-Bentuk Perlindungan Hukum……………………………….49
C. Perlindungan Hak Cipta Logo……………….....................................50
D. Analisis Peneliti …………………………………………………….57

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan …………………………………………………..……...61
B. Rekomendasi …………..…………………………………………...62

DAFTAR PUSTAKA…………….……………………………………………..64

ix
DAFTAR LAMPIRAN

Putusan Mahkamah Agung Nomor 189 K/Pdt.Sus-HKI (H.C)/2013

x
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Sejak awal kemerdekaan, bangsa dan negara Indonesia telah bertekad
untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur, spiritual dan
materiil. Oleh karena itu, bagi Indonesia sebagai negara berkembang telah tiba
saatnya membangun suatu negara untuk maju dan juga berperan aktif
memberikan perlindungan hukum terhadap Hak Cipta.1 Karya intelektual pada
umumnya berhubungan dengan perlindungan penerapan ide dan informasi
yang memiliki nilai komersil. Karya intelektual adalah kekayaan pribadi yang
dapat dimiliki dan diperlakukan sama dengan bentuk-bentuk kekayaan lainnya.
Semakin tinggi tingkat peradaban manusia dan meningkatnya karya-
karya intelektual manusia, kebutuhan akan jaminan perlindungan hukum atas
karya-karya intelektual tersebut menjadi hal yang sangat utama untuk terhindar
dari tindakan-tindakan persaingan curang seperti pemalsuan, peniruan,
penjiplakan, pendomplengan, pembajakan. Menyadari akan pentingnya
perlindungan karya intelektual, lahirlah konvensi-konvensi Internasional yang
mengatur perlindungan karya-karya intelektual tersebut.

Pemerintah negara hukum modern bertugas selain menjaga keamanan


rakyatnya juga berfungsi untuk memajukan kesejahteraan bangsanya, bahkan
ia pun dituntut untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia. Tugas pemerintah
negara modern bukan semata-mata hanya dibidang pemerintahan saja,
melainkan harus melaksanakan kesejahteraan sosial dalam rangka mencapai
tujuan negara.2

1
Eddy Damian, Hukum Hak Cipta,(Bandung: Alumni, 2009), h. 1.
2
Syarifuddin, Perjanjian Lisensi dan Pedaftaran Hak Cipta, (Bandung: Alumni, 2013), h.
1.

1
2

HKI (menurut pasal 8 huruf g Keputusan Presiden Nomor 177 Tahun


2000 tentang Susunan Organisasi dan Tugas Departemen dan Surat Keputusan
Menteri Hukum dan PerUndang-Undangan Republik Indonesia Nomor
M.03.PR.07.10 Tahun 2000 dan Persetujuan Menteri Negara Pendayagunaan
Aparatur Negara, dalam surat Nomor 24/M/PAN/1/2000 istilah “Hak
Kekayaan Intelektual”(tanpa “Atas” dapat disingkat “HKI” atau akronim
“HKI” telah resmi dipakai)3menjadi sangat penting untuk menggairahkan laju
perekonomian dunia yang pada akhirnya membawa kesejahteraan umat
manusia. Meski terus ada upaya pengurangan angka tarif dan kuota secara
gradual dalam ragka mempercepat terbentuknya perdagangan bebas, jika
produk impor barang dan jasa dibiarkan bebas dipublikasi dan diproduksi
secara illegal, ini merupakan beban berat bagi pelaku perdagangan
Internasional.4

Menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002


tentang Hak Cipta, bahwa Hak Cipta adalah adalah hak ekslusif bagi pencipta
atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau
memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Pasal 1 Angka
1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, bahwa Hak Cipta
adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip
deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa
mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Kepemilikan Hak Cipta terkait hak-hak yang melekat atau dimiliki


pemegang Hak Cipta. Dalam Hak Cipta terdapat beberapa hak yang dikenal
dengan hak eksklusif (a number exclusive rights). Dalam pembahasan ini
sangat diperlukan untuk mendeskripsikan beberapa traktat dan perjanjian

3
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl3290/dasar-hukum-perubahan-istilah-
HKI-menjadi-hki diakses pada tanggal 23 September 2018.
4
Adrian Sutedi, Hak Atas Kekayaan Intelektual, (Jakarta : Sinar Grafika, 2013), h. 5.

2
3

internasional yang mengatur khusus dalam bidang Hak Cipta karena


kesepakatan internasional yang tertuang dalam persetujuan TRIP’s Agreement.

WIPO sebagai lembaga internasional yang bertanggung jawab dalam


kerangka mengadministrasi aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan revisi
beberapa traktat internasional bidang Hak Kekayaan Intelektual. Tugas WIPO
dalam kerangka perlindunagan Hak Cipta dan hak terkait, termasuk di ataranya
sebagai berikut:

a. Konvensi Berne tentang perlindungan karya seni dan karya satra (Berne
Convention for the Protection of Literary and Artictic Works 1886).
b. Konvensi Hak Cipta Universal (Universal Copyright Convention
1995).
c. Konvensi Roma tentang Perlindungan Pelaku, Produser Rekaman:
(International Convention for the Protection of Performers, Producers
of Phonogram and Broadcating Organization Rome Convention 1961).
d. Konvensi Jenewa tentang Perlindungan Produser Rekaman Suara dan
perbanyak Tidak sah Rekaman Suara: (Geneva Convention for the
Protection of Producers of Phonogram Againts Unnauthorized
Duplication of Their Phonograms (Geneva Convention) 1971).
e. Persetujuan tentang Aspek Perlindungan Hak atas Kekayaan
Intelektual: (Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual
Property Rights (TRIPs), 1994).5
Hak Cipta terdiri dari hak ekonomi (economic rights) dan Hak Moral
(moral rights). Hak Ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi
atas ciptaan serta produk hak terkait. Hak Moral adalah hak yang melekat pada
diri Pencipta atau Pelaku yang tidak dapat dihilangkan atau dihapus tanpa
alasan apa pun, walaupun Hak Cipta atau hak terkait telah dialihkan.
Perlindungan Hak Cipta tidak diberikan kepada ide atau gagasan karena karya
cipta harus memiliki bentuk yang has, bersifat pribadi dan menunjukkan

5
Suyud Margono, Hukum Hak Cipta Indonesia, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2010), h. 30.

3
4

keaslian sebagai ciptaan yang lahir berdasarkan kemaampuan, kreatifitas, atau


keahlian sehingga ciptaan itu dapat dilihat, dibaca, atau didengar.

Hukum Hak Cipta melindungi karya intelektual dan seni dalam bentuk
ekspresi. Ekspresi yang di maksud adalah dalam bentuk tulisan seperti lirik
lagu, puisi, artikel, dan buku, dalam bentuk gambar seperti foto, gambar
arsitektur, dan peta, serta dalam bentuk suara atau video seperti rekaman lagu,
pidato, video pertunjukan, dan video koreografi.

Hukum Hak Cipta bertujuan untuk melindungi hak pembuat dalam


mendistribusikan, menjual, atau membuat turunan dari karya tersebut.
Perlindungan yang didapatkan oleh pembuat (author) adalah perlindungan
terhadap penjiplakan (plagiat) oleh orang lain. Hak Cipta sering diasosiasikan
sebagai jual beli, sebab dipakai dan didistribusikan (tanpa jual beli). Misalnya
yang kita kenal dalam dunia Open Source (sistem pengembangan yang tidak
dikoordinasi oleh suatu individu / lembaga pusat, tetapi oleh para pelaku yang
bekerja sama dengan memanfaatkan kode sumber (source-code) yang tersebar
dan tersedia bebas (biasanya menggunakan fasilitas komunikasi internet)6,
keaslian karya tetap dimiliki oleh pembuat, namun distribusi dan redistribusi
mengacu pada aturan Open Source.7

Dalam kerangka ciptaannya yang mendapatkan Hak Cipta setidaknya


harus memperhatikan beberapa prinsip-prinsip dasar Hak Cipta, yakni:

1. Yang dilindungi Hak Cipta adalah ide yang berwujud dan asli;
2. Hak Cipta timbul dengan sendirinya (otomatis);
3. Suatu ciptaan tidak perlu diumumkan untuk memperoleh Hak Cipta;
4. Hak Cipta suatu ciptaan merupakan suatu hak yang diakui hukum (legal
right) yang harus dipisahkan dan harus dibedakan dari penguasaan fisik
suatu ciptaan;

6
https://id.wikipedia.org/wiki/Sumber_terbuka diakses pada tanggal 24 september 2018.
7
Adrian Sutedi, Hak Atas Kekayaan Intelektual, … , h. 116.

4
5

5. Hak Cipta bukan hak mutlak (absolut);


Untuk ciptaan yang ada dalam ketentuan Pasal 12 Undang -Undang
Nomor 22 tahun 2002 tentang Hak, ciptaan ini dilindungi dalam wilayah dalam
negeri maupun luar negeri, sementara itu untuk ciptaan yang terdapat pada
ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2002 tentang Hak Cipta,
sifat perlindungannya hanya berlaku ketika ciptaan itu digunakan oleh orang
asing. Undang-Undang Hak Cipta selain mengatur ciptaan yang diberikan
perlindungan hukum, juga mengatur ciptaan-ciptaan yang tidak diberikan
perlindungan hukum.8

Bahwa perlindungan HKI akan memberikan pengaruh besar bagi


masuknya investor asing. Selain mewujudkan hal tersebut, perlindungan HKI
juga sangat diperlukan bagi eksistensi produk HKI indonesia sendiri, termasuk
desain industri. Salah satu kendala untuk dapat memberikan perlindungan
tersebut adalah justru masyarakat Indonesia sendiri yang di satu sisi masih
menganggap HKI merupakan suatu public right yang mempunyai fungsi sosial,
bukan sebagai suatu hak privat yang membutuhkan perlindungan.9

Perlu ditambahkan bahwa undang-undang Hak Cipta juga memberikan


perlindungan hukum terhadap ciptaan hukum warga negara indonesia bukan
penduduk indonesia atau bahkan badan hukum indonesia. Ciptaan tersebut
diumumkan untuk pertama kali di indonesia atau negara dari warga negara atau
penduduk atau badan hukum tersebut mengadakan perjanjian bilateral
mengenai perlindungan Hak Cipta dengan Indonesia, atau menjadi peserta
perjanjian multilateral yang sama di bidang Hak Cipta yang diikuti pula oleh
Indonesia.10

8
Budi Agus Riswandi dan Syamsudin, Hak Kekayaaan Intelektual dan Budaya Hukum,
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004).
9
Ranti Fauza Mayana, Perlindungan Desai Industri Di Indonesia Dalam Era Perdagangan
Bebas,( Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2004), h. 7.
10
Farida Hasyim, Hukum Dagang, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 193.

5
6

Terdapat perbedaan antara pencipta dengan pemegang Hak Cipta. Jika


pencipta adalah pembuat logo, maka pemegang Hak Cipta belum tentu
pencipta logo tersebut, melainkan bisa pihak lain yang menggunakan jasa
pencipta tersebut untuk membuatkan logo tertentu. Hal ini biasa terjadi di
perusahaan. Semua ciptaan dalam berbagai bidang pada prinsipnya
mendapatkan perlindungan dalam ruang lingkup HKI. Pasal 40 Undang-
Undang Nomor 28 tahun 2014 Tentang Hak Cipta yang mengatur terkait
dengan bidang-bidang ciptaan yang dilindungi. Pasal 40 ayat (1) huruf (f)
Undang-Undang Nomor 28 tahun 2014 menentukan bahwa ciptaan yang
dilindungi salah satunya adalah gambar. Makna gambar tersebut kemudian
dijelaskan dalam penjelasan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 28 tahun 2014.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka jelas bahwa logo termasuk dalam
ciptaan yang dilindungi oleh Hak Cipta dalam hukum Indonesia. Hal ini karena
terdapat Hak Cipta yang tidak dilindungi Hak Cipta, sebagaimana diatur dalam
Pasal 41 Undang-Undang Nomor 28 tahun 2014.11

Hal ini terjadi dalam banyak kasus, seperti yang diputus dalam Putusan
Nomor 189 K/Pdt.Sus-HKI (H.C)/2013 bahwa Asics Corporation sebagai
pemilik Hak Cipta logo STRIP dan Asics Tiger di Jepang yang sudah terdaftar
sebagai Hak Cipta diberbagai negara eropa. Logo Asics dibuat oleh desainer
grafis asal Amerika Serikat, F Lubalin pada 1977. Lubalin bekerja untuk
Jepang Design Centre dan kantor desain PAOS, Tokyo. Desain itu berupa
penciptaan seni lukis logo setrip, logo a dan kata Asics/Asics Tiger berserta
variasinya. Indonesia telah meratifikasi Bern Convention melalui Keputusan
presiden Nomor 18 Tahun 1997 yang mengatakan perlindungan Hak Cipta atas
ciptaan yang telah dipublikasikan di negara anggota Bern Convention, maka
secara simultan harus diakui oleh negara anggota Bern Convention.12

11
Direktorat Hak Kekayaan Intelektual, http://www.dgip.go.id diakses pada tanggal 6 April
2018.

12
https://news.detik.com/berita/d-3521502 diakses pada tanggal 6 April 2018.

6
7

Gugatan Asics mencampuradukan antara gugatan Hak Cipta dengan


hak merek sehingga menjadi kabur. Hubungan hukum yang menyebabkan
penggugat mempunyai legal standing untuk mengajukan gugatan ini menjadi
tidak tegas, dari pencipta atau pemakai Hak Cipta. Dalam hal ini gugatan
menjadi cacat formil.13

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka peneliti tertarik


untuk melakukan penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul : Penghapusan
Persamaan Logo Asics Tiger Jepang Dalam Persepktif Hak Cipta
(Analisis Putusan Nomor 189 K/Pdt.Sus-HKI (H.C)/2013).

B. Identifikasi, Pembatasan, Dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah
Sesuai dengan latar belakang yang sudah diuraikan , terdapat
persoalan yang berkaitan dengan putusan Nomor 189 K/Pdt.Sus-HKI
(H.C)/2013 tentang Penghapusan Persamaan Logo Asics Tiger Jepang
Dalam Perspektif Hak Cipta muncul berbagai permaslahan.

Dari latar belakang tersebut timbul berbagai masalah tentang Hak


Cipta logo adalah sebagai berikut :

a. Indonesia telah meratifikasi Bern Convention melalui Keputusan


presiden Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pengesahan Bern Convention
For The Protection Of Literary And Artistic Works yang mengatakan
perlindungan Hak Cipta atas ciptaan yang telah dipublikasikan di
negara anggota Bern Convention, maka secara simultan harus diakui
oleh negara anggota Bern Convention.
b. Hak Cipta logo ASISC TIGER telah didaftarkan di berbagai negara
tetapi hanya di Indonesia Hak Cipta logo tersebut dapat ditiru oleh
pihak lain.

13
https://news.detik.com/berita/3520158 diakses pada tanggal 6 April 2018

7
8

c. Logo yang dimiliki oleh suatu perusahaan biasanya dihasilkan dalam


bentuk gambar. Gambar termasuk dalam salah satu ciptaan yang
dilindungi oleh Hak Cipta berdasarkan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
d. Pandangan HKI menyatakan bahwa pihak penggugat
mencampuradukan Hak Cipta dengan Hak Merek sehingga masalahnya
menjadi kabur atau kurang jelas.

2. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah berguna untuk memberikan suatu gambaran
yang jelas masalah-masalah yang menjadi pusat perhatian dalam
penelitian hukum ini dan untuk menghindari adanya perluasan masalah
yang dikaji serta agar penelitian ini bisa lebih terarah dari apa yang telah
menjadi dasar permasalahan dan tujuan yang akan dicapai, maka ruang
lingkup permasalahan dalam penelitian ini penelitian ini difokuskan pada
masalah penghapusan persamaan logo Asics Tiger.

3. Perumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalan penelitian ini yaitu kurangnya
perlindungan terhadap Hak Cipta logo yang sudah terdaftar,. Dalam pasal
1 angka 4 Undang-Undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta
dijelaskan bahwa Pemegang Hak Cipta adalah pencipta sebagai pemilik
Hak Cipta, pihak yang menerima hak tersebut secara sah dari pencipta,
atau pihak lain menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak
tersebut secara sah. Maka dari itu peneliti membuat beberapa pertanyaan
penelitian sebagai berikut :
a. Bagaimana pertimbangan hakim dalam sengketa logo Asics Tiger
yang telah dijiplak?
b. Bagaimana perlindungan hukum terhadap pemegang Hak Cipta
yang telah terdaftar?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

8
9

1. Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lebih jauh


mengenai Putusan Nomor 189 K/Pdt.Sus-HKI (H.C)/2013 tentang sengketa
Hak Cipta logo yang terjadi antara Asics Corporation dengan Theng Tjing
Djie. Secara khusus tujuan yang ingin dicapai oleh penulis berkaitan dengan
penelitian ini adalah:
a. Untuk menjelaskan perlindungan hukum terhadap Hak Cipta logo garis
yang terlah terdaftar.
b. Untuk mengetahui pertimbangan Hakim yang dapat dilakukan dalam
sengketa Hak Cipta logo garis.

2. Manfaat penelitian
a) Secara Teoritis, penelitian ini dapat dijadikan sebagai pembelajaran
peneliti, dan pengaplikasian teori-teori ilmu hukum yang telah dipelajari
selama ini. Dan sebagai acuan untuk pembelajaran dan pembuatan karya
ilmiah khususnya yang berkaitan dengan Hak Kekayaan Intelektual
terutama tentang Hak Cipta.
b) Secara Praktis, penelitian ini dapat menambah wawasan penulis tentang
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta dan lebih
spesifiknya dalam penulisan skripsi ini adalah Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta dan dapat dijadikan bahan masukan
terhadap pemerintah agar lebih teliti dalam menjalankan undang-undang
tersebut serta lebih mengedepankan sikap keadilan agar dalam
masyarakat tidak timbul kekhawatiran terhadap peraturan tersebut. Serta
menjadi bahan masukan terhadap aparatur penegak hukum (polisi, jaksa,
hakim, advokat, dan lembaga Direktorat Jendral Kekayaan Intelektual
(DJKI), sehingga aparat penegak hukum dan para pihak terlibat dalam
HKI mendapatkan literatur atau bahan sehingga terbentuk suatu persepsi
yang sama.

D. Metode Penelitian

9
10

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan


analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan
konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu;
sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak
adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.

1. Tipe Penelitian

Jenis yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah


penelitian kualitatif. Tipe penelitian ini adalah penelitian yuridis
normatif. Penelitian yuridis normatif adalah penelitian hukum
keputakaan yang meliputi surat-surat pribadi, buku-buku harian, buku-
buku, sampai pada dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan
pemerintah.14
2. Pendekatan Masalah

Mengingat pada penelitian ini menggunakan tipe penelitian


yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan ilmu perundang-
undangan, maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pendekatan ilmu perundang-undangan (Statue Approach) dan
pendekatan konseptual (Conceptual Approach). Pendekatan ilmu
perundang-undangan ini digunakan untuk menelaah aturan-aturan yang
berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak
Kekayaan Intelektual dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014
Tentang Hak Cipta berkaitan dengan putusan Mahkamah Agung
Nomor 189 K/Pdt.Sus-HKI (H.C)/ 2013 berjudul Penghapusan
Persamaan Logo Asics Tiger Jepang Dengan Perspektif Hak Cipta.

1. Sumber Data

14
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2011, Cet. Ketigabelas), h. 24.

10
11

Sumber pada penelitian ini antara lain mencakup bahan hukum


primer, bahan hukum sekunder, bahan non hukum.

a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat


autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer
meliputi perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah
dalam pembuatan perundang-undangan, dan putusan-putusan
Hakim.15 Dalam penelitian ini yang termasuk dalam bahan hukum
primer adalah:

1) Undang-Undang Nomor 19 Tahub 2002 Tentang Hak


Kekayaan Intelektual.
2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta.
3) Putusan Mahkamah Agung Nomor 189 K/Pdt.Sus-HKI
(H.C)/ 2013

b. Bahan hukum Sekunder berupa semua publikasi tentang hukum


yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang
hukum dalam bidang persaingan usaha tidak sehat meliputi meliputi
buku-buku teks, jurnal hukum, dan komentar-komentar atas norma
hukum.
c. Bahan non-hukum adalah bahan diluar bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder yang dipandang perlu. Bahan non hukum
dapat berupabuku-buku mengenai Ilmu Ekonomi, Sosiologi, Filsafat
atau laporan-laporan penelitian non-hukum sepanjang mempunyai
relevansi dengan topik penelitian. Bahan-bahan non-hukum tersebut
dimaksudkan untuk memperkaya dan memperluas wawasan peneliti.

4. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum


Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan
ini, makapenulis menggunakan prosedur pengumpulan bahan

15
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. (Jakarta: Kencana, cet-IV 2010), h. 35.

11
12

hukum dengan cara studi kepustakaan (library research), yaitu


mempelajari dan menganalisa secara sistematis buku-buku, majalah-
majalah, surat kabar, peraturan perundang- undangandan bahan-
bahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam
skripsi ini.

5. Metode Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Adapun bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian studi


kepustakaan, aturan perundang-undangan dimaksud penulis
deskriptif dan hubungkan sedemikian rupa, sehingga disajikan
dalam penulisan lebih sistematis guna menjawab permasalahan yang
telah dirumuskan.

Selanjutnya bahan hukum yang dianalisis untuk melihat


pokok-pokok penting dalam Hak Cipta logo terutama dalam hal
penggunaan Hak Cipta yang telah terdaftar sehingga dapat
membantu sebagai dasar acuan dan pertimbangan hukum yang
berguna dalam menangani masalah peniruan logo.

F. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun sesuai dengan “Petunjuk Penulisan Skripsi Fakultas


Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2017”. Masing-masing bab terdiri atas beberapa subbab sesuai pembahasan
dan materi yang diteliti, adapaun perincian sebagai berikut:

BAB I : Bab ini menjelaskan tentang latar belakang masalah, pembatasan


dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, metode
penelitian, rancangan penelitian, dan daftar pustaka sementara.

12
13

BAB II : Kerangka konseptual, bab ini membahas uraian penelitian


kepustakaan yang meliputi :Sejarah Hak Cipta, pengertian Hak
Cipta, hak-hak terkait Hak Cipta, sejarah Merek, pengertian Merek,
pembatalan pendaftaran Hak Cipta, Penghapusan pencatatan Hak
Cipta, profil Asics Tiger, kerangka teori dan tinjauan review
terdahulu. Materi ini merupakan landasan untuk menganalisis
putusan Mahkamah Agung Nomor. 189 K/Pdt.Sus-HKI (H.C)/2013.

BAB III : Bab ini memuat tentang Putusan Mahkamah Agung Nomor 189
K/Pdt.Sus-HKI (H.C)/2013 dimana terdapat kekeliruan tentang Hak
Cipta logo yang sudah terdaftar.

BAB IV : Bab ini berisi hasil Putusan Nomor 189 K/Pdt.Sus-HKI (H.C)/2013
yang dimana pada bab ini membahas tentang perlindungan hukum
bagi Hak Cipta logo garis , dan analisis peneliti.

BAB V : Bab ini merupakan bab terakhir dalam penelitian di skripsi ini yang
berisi kesimpulan dan rekomendasi.

13
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kerangka Konseptual
1. Sejarah Hak Cipta Di Indonesia

Perkembangan Hak Cipta di Indonesia dimulai sejak tahun 1886,


dikalangan negara-negara kawasan Eropa telah diberlakukan Konvensi Bern
1886, yang ditujukan bagi perlindungan ciptaan- ciptaan di bidang sastra dan
seni, dapat dikatakan bahwa Konvensi Bern ini adalah suatu pengaturan
perlindungan hukum Hak Cipta yang dianggap modern pada waktu itu.
Kecenderungan negara-negara Eropa Barat untuk menjadi peserta pada
Konvensi ini, hal ini yang mendorong kerajaan Belanda untuk memperbaharui
undang-undang Hak Ciptanya yang sudah berlaku sejak 1881. Tidak lama
setelah pemberlakuan undang-undang ini, kerajaan Belanda mengikatkan diri
tanggal 1 April 1913 pada Konvensi Bern 1886 dengan beberapa reservation.
Indonesia sebagai negara jajahan Belanda diikutsertakan pada konvensi ini
sebagaimana diumumkan dalam staatsblad 1914 nomor 797.

Kedudukan dalam hubungan internasional dan pengaturan dalam hukum


nasionalnya sebagai negara jajahannya ditentukan dan bergantung sepenuhnya
kepada kerajaan Belanda. Dengan kondisi sedemikian ini hukum positif tentang
Hak Cipta yang secara formal berlaku di Indonesia pada zaman penjajahan
kerajaan Belanda adalah A.W. 1912 (Set van23 September 1912, staatsblad
1912-600) mulai berlaku 23 September 1912. Pada tanggal 12 April 1982
pemerintah Indonesia memutuskan untuk mencabut A.W. 1912 Staatsblaad
Nomor 600 Tahun 1912 dan sekaligus mengundangkan Undang-Undang Nomor
6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1982 Nomor 15.

Dalam waktu lima tahun sejak pengundangannya, Undang-Undang Nomor


2 Tahun 1982 tentang Hak Cipta telah mengalami perubahan pada tahun 1987.

14
15

Yang menjadi latar belakang perubahan tersebut karena meluasnya pelanggaran


Hak Cipta, dengan pengamatan terhadap keadaan yang mendorong pelanggaran
secara lebih besar untuk memperoleh keuntungan ekonomi yang besar secara
cepat dengan mengabaikan kepentingan para pemilik atau pemegang Hak Cipta.1

Sebagai bagian dari upaya pembangunan hukum nasional, penyusunan


Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta pada dasarnya
merupakan tonggak awal era pembangunan sistem Hak Kekayaan Intelektual
nasional di Indonesia. Meski bernuansa monopoli dan berkarakter
individualistik, kelahiran Undang-Undang Hak Cipta nyaris tanpa reaksi. Reaksi
pro-kontra justru sumber penplakannya adalah langkah kebijakan pemerintah
dalam mengembangkan sistem nasional Hak Kekayaan Intelektual Hak Cipta
yang dimulai kurang tepat pada waktu itu.

Kebijakan itu dianggap tidak sejalan dengan nilai-nilai dan semangat gotong
royong yang telah menjadi budaya yang mengakar dalam kehidupam masyarakat
Indonesia. Pengembangan konsepsi dan pengaturan Hak Cipta secara pragmatis
dianggap tidak kondusif dan bahkan bersebrangan dengan upaya mencerdaskan
kehidupan bangsa. Pandangan-pandangan yang sering muncul dalam seminar-
seminar Hak Cipta ini mendalilkan perlunya “kebebasan” untuk memanfaatkan
ciptaan secara cuma-cuma guna membantu endidikan anak-anak bangsa agar
pandai, cerdas dan berbudaya. Setelah direvisi kedua kalinya tahun 1997,
Undang-Undang Hak Cipta diganti dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun
20022, dan pada akhirnya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 yang kini
berlaku.

2. Pengertian Hak Cipta

Pengertian Hak Cipta menurut ketentuan Auteurswet 1912 dapat dilihat


dalam Pasal 1 yang menyebutkan pengertian Hak Cipta adalah Hak tunggal dari
pada pencipta atau hak dari yang mendapat hak tersebut, atas hasil ciptaannya

1
Suyud Margono, Hukum Hak Cipta Indonesia, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2010), h. 53.

2
Henry Soelistyo, Hak Cipta Tanpa Hak Moral, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 45.
16

dalam lapangan kesusasteraan, pengetahuan dan kesenian untuk mengumumkan


dan memperbanyak dengan mengingat pembatasan-pembatasan yang ditentukan
oleh undang-undang. Istilah Hak Cipta telah diusulkan untuk pertama kalinya
oleh Prof. St. Moh. Syah, SH. Pada Kongres Kebudayaan di Bandung tahun
1951( yang kemudian diterima oleh Kongres tersebut) sebagai pengganti istilah
hak pengarang yang dianggap kuang luas cakupan pengertiannya. Istilah hak
pengarang itu sendiri merupakan terjemahan dari istilah bahasa Belanda Auteurs
Rechts.

Dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak


Cipta menyebutkan bahwa Hak Cipta adalah Hak eksklusif bagi pencipta atau
penerima untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau
memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang berbunyi Hak Cipta adalah hak
eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif
setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi
pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam hal ini ada beberapa pendapat menurut para sarjana mengenai
pengertian Hak Cipta, antara lain sebagai berikut:3

1) J.S.T. Simorangkir yang berpendapat bahwa Hak Cipta adalah hak tunggal
dari pencipta, atauu hak dari pada yang mendapat hak tersebut aras hasil
ciptaannya dalam lapangan kesusasteraan, pengetahuan, dan kesenian.
Untuk mengumumkan dan memperbanyak, dengan mengigat pembatasan-
pembatasan yang ditentukan oleh undang-undang.
2) WIPO (World Intelectual Property Organization) menjelaskan bahwa
“Copy Right is legal from describing right given to creator for their literary
and artistic works” yang artinya Hak Cipta adalah terminology hukum yang

3
Suyud Margono, Aspek Hukum Komersialisasi Asset Intelektual, (Bandung: Nuansa Aulia
, 2010), h. 15.
17

menggambarkan hak-hak yang diberikan kepada pencipta untuk karya-


karya mereka dalam bidang seni dan sastra.
3) Imam Trijono berpendapat bahwa Hak Cipta mempunyai arti tidak hanya si
pencipta dan hasil ciptaannya yang mendapat perlindungan hukum, akan
tetapi juga perluasan ini memberikan perlindungan kepada yang diberi
kuasa kepada pihak yang menerbitkan terjemah daripada karya yang
dilindungi oleh perjanjian ini.
Berdasarkan beberapa pengertian mengenai Hak Cipta diatas dapat
disimpulkan bahwa pada dasarnya yang dimaksud dengan Hak Cipta adalah
suatu hak khusus yang dimiliki oleh pencipta atas suatu karya dibidang ilmu,
seni dan sastra yang dapat dipertahankan terhadap setiap orang yang melanggar
hak tersebut sesuai dengan ketentuan undang- undang yang berlaku. Hak Cipta
tersebut misalnya karya buku, film, program computer, drama, seni lukis dan
lain sebagainya.4
Sistem hukum Hak Cipta didasarkan pada dasar pemikiran untuk
melindungin suatu ciptaan dibidang ilmu pengetahuan, sastra dan seni yang telah
berwujud. Ciptaan yang telah berwujud harus merupakan ciptaan yang dibaca,
didengar atau dilihat. Sunaryati Hartono menyatakan ada empat prinsip dalam
system Hak Kekayaan Intelektual untuk menyeimbangkan kepentingan individu
dengan kepentingan masyarakat sebagai berikut:
a) Prinsip keadilan ;
b) Prinsip Ekonomi;
c) Prinsip Kebudayaan;
d) Prinsip Sosial;

Setelah memperoleh sedikit gambaran tentang Hak Cipta dalam bentuk


definisi, untuk memperoleh pengertian lebih baik tentang Hak Cipta, perlu

4
Yustisia,, “Konsep Perlindungan Hak Cipta Intelektual Dalam Ranah Hukum Hak
Kekayaan Intelektual (Studi Kritis Pembajakan Karya Cipta Musik Dalam Bentuk VCD dan DVD.
Vol. 4, 3, (2015): 747-748.
18

diberikan penjelasan tentang dasar pemikiran untuk menunjang beberapa


pengertian Hak Cipta. Dasar hukum yang diberikan adalah hukum alam.5

3. Hak- Hak Yang Terkait Dengan Hak Cipta

Hak Cipta adalah hak khusus bagi pencipta maupun penerima hak untuk
mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya maupun untuk memberi izin
untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut Peraturan
Perundang-Undangan yang berlaku dan hak khusus dari pencipta dimaksudkan
tidak kecuali dengan izin penciptanya. Hak Cipta adalah suatu hak yang
memenuhi unsur sebagai berikut:
a. Adanya hak yang dapat dipindahkan atau dialihkan kepada pihak lain;
b. Adanya hak moral yang dalam keadaan bagaiman pun ada dengan jalan
apapun tidak dapat lepas daripadanya.

Hak Cipta di dalam ilmu hukum dikenal sebagai hak kebendaan yang
dikelompokkan dalam Hak Kekayaan Intelektual, hak ini dapat memberikan
kekuasaan langsung atas suatu benda untuk dipertahankan kepada siapapun, dan
hak kebendaan tersebut merupakan hak mutlak yang berarti absolut, yang
dipertentangkan atau dihadapkan dengan relative yang hanya dapat
dipertahankan kepada orang tertentu saja.6

Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang


Hak Cipta (disebut dengan UUHC) menegaskan Hak Cipta adalah Hak Eksklusif
bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak
ciptaannya atau memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku dan menurut Pasal 2 ayat
(1) UUHC 2002 menegaskan , Hak Cipta merupakan Hak Eksklusif bagi
pencipta atau pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak

5
Syarifuddin, Perjanjian Lisensi Dan Pendaftaran Hak Cipta, (Jakarta: P.T. Alumni,
cetakan ke-1, 2013), h. 34.
6
Syarifuddin, Perjanjian Lisensi Dan Pendaftaran Hak Cipta,… , h. 44.
19

ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah ciptaan dilahirkan tanpa


mengurangi pembatasan-pembatsan menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.7

Dalam hal ini peneliti membagi hak-hak yang terdapat didalam undang-
undang Hak Cipta menjadi 3 (tiga) hak, karena 3 (tiga) hak ini sangat mendasar
didalam Hak Cipta, yaitu sebagai berikut:

a) Hak Eksklusif (exclusive right)


Hak Eksklusif adalah hak yang melekat pada pemiliknya atau
pemegang yang merupakan kekuasaan pribadi atas ciptaan yang
bersangkutan. Tidak ada pihak lain yang boleh memanfaatkan Hak Cipta
kecuali atas izin pemegangnya. Hal ini dilatarbelaknagi oleh pemikiran
bahwa menciptakan sesuatu ciptaan merupakan pekerjaan yang tidak mudah
dilakukan. Mencipta suatu ciptaan diawali dengan mencari inspirasi
kemudian menggunakan sebuah pemoikiran untuk dapat mewujudkan
ciptaannya.8
Dari penjelesan di atas menyatakan bahwa orang lain tidak boleh
langsung meniru atau menjiplak suatu ciptaan karena setiap ciptaan selalu
ada penciptanya. Kalau hendak meniru suatu ciptaan harus ada sopan
santunnya yaitu harus permisi atau meminta izin dulu kepada pemiliknya.
Munculnya Hak Eksklusif setelah sebuah ciptaan diwujudkan dan sejak itu
hak tersebut mulai dapat dilaksanakan. Hak Eksklusif seorang pencipta atau
pemegang Hak Cipta mempunyai hak untuk mengumumkan atau
memperbanyak ciptaan serta memberi izin kepada pihak lain untuk
melakukan perbuatan tersebut. Sebuah ciptaan yang telah diwujudkan
bentuknya oleh seorang pencipta yang sekaligus sebagai pemegang Hak

7
Henry Soelistyo, Hak Cipta Tanpa Hak Moral,… , h. 47.
8
Gatot Supramono, Hak Cipta dan Aspek-Aspek Hukumnya, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010),
h. 44.
20

Cipta dapat mengumumkan dengan cara seperti melakukan pameran atau


pementasan sehingga diketahui oleh orang lain.9
b) Hak Ekonomi
Hak Ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas
ciptaan yang telah dihasilkan dari pencipta. Pendapat tersebut sesuai dengan
James W. Nickel yang mengatakan bahwa Hak Ekonomi menentukan siapa
yang memiliki kekuasaan, keleluasaan untuk menggunakan, menjual atau
memberi barang sehingga memungkinkan tindakan-tindakan yang pokok
bagi aktivitas ekonomi.
Hak ekonomi tersebut berkembang dengan pemanfaatan hak secara
komersial. Karena suatu ciptaan memerlukan pengorbanan waktu, tenaga
sehingga hasil ciptaan dikelola secara komersial untuk dapat
mengembalikan modal dan memperoleh keuntungan. Pendapat tersebut
dikuatkan oleh Komen dan Varlande yang mengkualifikasikan dari Hak
Ekonomi menjadi hak reproduksi yaitu memperbanyak dan menerbitkan.
c) Hak Moral
Hak Moral adalah hak yang melindungi kepentingan pribadi pencipta.
Konsep hukum ini berasal dari hukum Kontinental yang berasal dari negara
Prancis, maksudnya adalah hak pencipta (droit, auteur, author rights),
terbagi menjadi Hak Ekonomi untuk mendapatkan keuntungan, yang
bernilai ekonomi seperti uang dan Hak Moral yang menyangkut
perlindungan atas reputasi pencipta. Contoh dari Hak Moral adalah
pencantuman nama pencipta pada ciptaan, walaupun misalnya hak cipta atas
ciptaan tersebut sudah dijual untuk dimanfaatkan pihak lain.
Komen dan Verkade berpendapat bahwa Hak Moral ini meliputi
beberapa hal sebagai berikut:
1) Larangan untuk mengadakan perubahan dalam ciptaan;
2) Larangan mengubah judul;

9
Muhamad Djumhana dan Djubaedillah, Hak Milik Intelektual: Sejarah Teori dan
Praktiknya di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), h.55.
21

3) Larangan mengubah penentuan pencipta;


4) Hak untuk mengadakan perubahan;10

4. Sejarah Hak Merek

Sejarah merek dapat ditelusuri bahkan mungkin berabad-abad sebelum


masehi. Sejak zaman kuno, misalnya periode Minoan, orang sudah memberikan
tanda untuk barang-barang miliknya, hewan bahkan manusia. Di era yang sama
bangsa Mesir sudah mencatatkan namanya untuk batu bata yang dibuat diatas
perintah raja. Perundang-undangan tentang Merek dimulai Statue of Parma yang
sudah mulai memfungsikan merek sebagai pembeda untuk produksi berupa
pisau, pedang, atau barang dari produk tembaga lainnya.11
Hukum Merek yang berkembang pada pertengahan abad XIX, sebagai
bagian dari hukum yang mengatur masalah persaingan curang dan pemalsuan
barang. Norma dasar perlindungan Merek bahwa tidak ada seorang pun berhak
menawarkan barangnya kepada masyarakat seolah-olah sebagai barang
pengusaha lainnya, yaitu dengan menggunakan merek yang sama yang dikenal
oleh masyarakat sebagai merek pengusaha lainnya. Lambat laun perlindungan
diberikan sebagai suatu pengakuan bahwa merek tersebut sebagai milik dari
orang yang telah memakainya sebagai tanda pengenal dari barang-barangnya
dan untuk membedakannya dari barang-barang lain yang tidak menggunakan
merek tersebut.
Di Indonesia merek pertama kali diatur dalam Undang-Undang Nomor 21
Tahun 1961 tentang Merek Dagang dan Merek Perniagaan. Prinsip utama yang
diatur dalam undang-undang ini adalah Hak Merek diperoleh melalui pemakaian
pertamakali (first to use system atau stelsel deklaratif). First to use system atau
stelsel deklaratif artinya anggapan hukum timbul bahwa pemakai pertama adalah
pihak yang berhak, sampai dapat terbukti sebaliknya. Selanjutnya Undang-

10
Syarifuddin, Perjanjian Lisensi Dan Pendaftaran Hak Cipta,…, h .48-56.
11
Rahmi Jened, Hak Kekayaan Intelektual Penyalahgunaan Hak Eksklusif, (Surabaya:
Airlangga University Press, 2007), h. 159.
22

Undang Nomor 21 Tahun 1961 diubah dengan Undang-Undang Nomor 19


Tahun 1992 tentang Merek, dengan beberapa perubahan yang mendasar sebagai
berikut:
a) Judul yang dipilih adalah “Undang-Undang Merek”, sehingga bersifat
sederhana, namun mencakup pengaturan yang luas.
b) Perubahan menyangkut system perolehan hak yang semula First to use
system atau stelsel deklaratif menjadi sistem pendaftar pertama (First to use
system atau stelsel konstitutif).
c) Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 Tentang Merek diatur
pendaftaran merek dengan hak prioritas.
d) Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 Tentang Merek juga
mengatur tentang sanksi pidana, baik untuk tindak pidana dengan kualifikasi
kejahatan maupun pelanggaran.

Penyempurnaan dan kepraktisannya dibuat single text melalui Undang-


Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek. Yang menjadi pertimbangannya
adalah sejalan dengan konvensi-konvensi internasional yang diratifikasi oleh
Indonesia, maka dirasakan peranan Merek menjadi sangat penting terutama
untuk menjaga persaingan usaha tidak sehat diera perdagangan bebas.12 Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis yang
digunakan saat ini. Diperlukan penaturan yang memadai tenang Merek guna
memberikan peningkatan pelayanan bagi masyarakat.

5. Pengertian Hak Merek

Merek (trademark) sebagai Hak Kekayaan Intelektual pada dasarnya adalah


tanda untuk mengidentifikasi asal barang dan jasa dari suatu perusahaan barang
dan atau jasa perusahaan lain. Merek merupakan ujung tombak perdagangan
barang dan jasa. Melalui Merek, pengusaha dapat menjaga dan memberikan

12
Rahmi Jened, Hukum Merek (dalam Era Globalisasi dan Integrasi Ekonomi), (Jakarta:
Kencana, 2015), h. 1-16.
23

jaminan akan kualitas barang dan atau jasa yang dihasilkan dan mencegah
tindakan persaingan yang tidak jujur dari pengusaha lain yang beritikad buruk
bermaksud memboceng reputasinya.13 Menurut ketentuan Pasal 1 Angka 1
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang merek menyatakan bahwa:
“Merek adalah tanda berupa gambar, nama, kata, huruf- huruf, angka-
angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki
daya pembeda dan di gunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa”.

Merek merupakan suatu yang ditempelkan pada suatu produk tapi bukan
produk itu sendiri dan yang dapat dinikmati oleh konsumen adalah produk bukan
Merek. Merek hanya dapat mmenimbulkan kepuasan bagi konsumennya.
Menurut Pasal 1 Angka 1 Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang
Merek dan Indikasi Geografis, Merek memiliki pengertian sebagai tanda yang
dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka,
susunan warna, dalam bentuk 2(dua) dimensi dan atau 3 (tiga) dimensi, suara,
hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk
membedakan barang dan atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum
dalam kegiatan perdagangan barang dan atau jasa.

Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek


dan Indikasi geografis

“Merek Dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang


diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau
badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang yang sejenis lainnya.”

Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek


dan Indikasi Geografis “Merek jasa adalah merek yang digunakan pada barang
yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama
atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa – jasa yang sejenis lainnya”.

13
Rahmi Jened, Hukum Merek (dalam Era Globalisasi dan Integrasi Ekonomi),… , h. 3.
24

Definisi dari merek yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun


2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis menunjukkan adanya
perkembangan atau perluasan dari pengertian merek yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek, yaitu masuknya tipe merek baru
dalam dalam lingkup merek yang dilindungi meliputi pula merek suara, merek
tiga dimensi, merek hologram, yang termasuk dalam kategori merek
nontradisional.14

Menurut Kotler dan Keller Merek adalah produk atau jasa yang dimensinya
mendiferensiasikan merek tersebut dengan beberapa cara dari produk atau jasa
lainnya yang dirancang untuk memuaskan kebutuhan yang sama. Menurut
Tjiptono menyatakan bahwa Merek adalah janji penjual untuk menyampaikan
kumpulan sifat, manfaat dan jasa spesifik secara konsisten kepada pembeli.
Merek dapat , menyampaikan denak tingkat arti yaitu atribut, manfaat, nilai,
budaya, kepribadian, dan pemakaian. Sehingga menurut para ahli yang telah
dijelaskan bahwa Merek adalah tanda, nama, atau istilah yang digunakan
pemasar pada barang dan jasanya agar dapat menjadikan pembeda dengan
pesaing untuk menjadi identifikasi dari produk tersebut dan dirancang untuk
memuaskan kebutuhan konsumen seperti menyampaikan sifat, manfaat dan jasa
spesifik secara konsisten terhadap konsumen.15

6. Pembatalan Pendaftaran Hak Cipta


Meskipun Undang-Undang Hak Cipta tidak mewajibkan suatu ciptaan
untuk didaftarkan, undang-undang mengatur secara khusus ketentuan mengenai
pendaftaran ciptaan dari Pasal 35 sampai dengan Pasal 44 Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta. Prinsip-prinsip ketentuan yang diatur
dalam undang-undang tersebut adalah sebagai berikut:

14
Tommy Hendra Purwaka, Perlindungan Merek,(Jakarta: Yayasan Pusaka Obor
Indonesia, 2017), h. 101-102.
15
Philip Kotler dan Keller, Manajemen Pemasaran. Terjemahan Bob Sabran . (Jakarta:
Erlangga, Edisi ke 13 Jilid 1. 2009), h. 45.
25

1) Direktorat Jendral menyelenggarakan pendaftaran ciptaan dalam Daftar


Umum Ciptaan. Pendaftaran ciptaan tidak merupakan kewajiban untuk
mendapatkan Hak Cipta.
2) Pendaftaran ciptaan tidak mengandung arti sebagai pengesahan atas, isi, arti
atau bentuk ciptaan yang didaftar.
3) Pendaftaran ciptaan dilakukan atas dasar permohonan yang diajakukan oleh
pencipta atau pemegang Hak Cipta atau kuasa (Konsultan Terdaftar). Dalam
hal permohonan diajukan oleh lebih dari seorang atau suatu badan hukum
yang secara Bersama-sama berhak atas ciptaan, maka permohonan itu harus
dilampiri Salinan resmi akta atau keterangan yang membuktikan
kepemilikan haknya.
4) Pendaftaran ciptaan dianggap telah dilakukan pada saat diterimanya
permohonan oleh Direktorat Jendral dengan lengkap, termasuk yang
diajukan oleh lebih dari seorang atau badan hukum.
5) Dalam hal ciptaan didaftar tidak sesuai dengan nama pencipta atau pihak
yang berhak, maka pihak yang berhak atas Hak Cipta tersebut dapat
mengajukan gugatan pembatalan melalui Pengadilan Niaga.
6) Kekuatan hukum suatu pendaftaran ciptaan hapus karena dinyatakan batal
oleh putusan pengadilan. Selain itu, penghapusan dapat dilakukan atas
permohonan orang atau badan hukum yang namanya tercatat sebagai
pencipta atau pemegang Hak Cipta. Selebihnya, pendaftaran hapus karena
berakhirnya jangka waktu perlindungan Hak Cipta.

Pengaturan gugatan pendaftaran Hak Cipta tersebut pada dasarnya


merupakan manifestasi dari jaminan perlindungan Hak Moral, terutama dari
aspek atributif. Dalam hal ciptaan terdaftar atas nama orang lain selain pencipta
atau pemegang Hak Cipta , pendaftaran itu harus dibatalkan. Dengan
mengajukan gugatan ke pengadilan guna meluruskan status kepemilikannya
pada pencipta yang sebenarnya. Undang-Undang Hak Cipta mengatur
administrasi pencatatan ciptaan yang memiliki dimensi Hak Moral. Perubahan
nama orang atau badan hukum yang namanya tercatat sebagai pencipta atau
26

pemegang Hak Cipta, dicatat dalam daftar umum ciptaan dan diutamakan dalam
berita resmi ciptaan.

Pemerintah memfasilitasi kebutuhan pencipta untuk mendaftarkan


ciptaannya, terutama untuk memperoleh alat bukti kepemilikan ciptaannya.
Pemerintah menyelenggarakan administrasi khusus pendaftaran ciptaan, dengan
menetapkan syarat-syarat dan biaya pendaftaran. Administrasi pendaftaran
ciptaan diatur dalam Peraturan Menteri Kehakiman Nomor: M.01-HC.03.01
Tahun 1987 yanng diadministrasikan oleh Direktorat Jendral Hak Kekayaan
Intelektual. Peraturan Menteri Kehakiman tersebut hingga saat ini masih berlaku
meski Undang-Undang Hak Cipta sudah diubah dan diganti dengan Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta.

Dari segi hukum, pendaftaran ciptaan tidak memberi dasar bagi lahirnya
Hak Cipta. Hak Cipta lahir secara otomatis sejak saat diciptaan selesai
diwujudkan. Pendaftaran juga tidak memberi arti pengesahanseseorang sebagai
pencipta. Dalam hal terbukti bahwa orang lain yang Namanya tidak tercatat
dalam daftar umum ciptaan merupakan pencipta sesungguhnya, maka
pendaftaran tersebut harus dibatalkan. Yang menjadi persoalan, pembatalan
serupa itu harus dilakukan dengan mengajukan gugatan pembatalan melalui
Pengadilan Niaga. Ketentuan yang diatur dalam Pasal 42 Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta.16

Pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta mengenai


pembatalan pendaftaran Hak Cipta telah dirubah dikarenakan pendaftaran
ciptaan bukan merupakan suatu keharusan bagi pencipta atau pemegang Hak
Cipta dan timbulnya perlindungan suatu ciptaan dimulai sejak ciptaan itu ada
atau terwujud dan bukan karena pendaftaran. Hal tersebut berarti suatu ciptaan
baik yang terdaftar maupun tidak terdaftar tetap dilindungi. Oleh karena itu, pada

16
Henry Soelistyo, Hak Cipta Tanpa Hak Moral, … , h. 83-85.
27

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak cipta di rubah hanya


menjadi penghapusan pencatatan Hak cipta.

Prinsip-prinsip dasar yang terdapat pada Hak Cipta yaitu :

a. Yang dilindungi Hak Cipta adalah ide yang telah berwujud dan asli. Dari
prinsip ini diturunkan beberapa prinsip yakni :
1) Suatu ciptaan harus mempunyai keaslian (orisinil) untuk dapat
menikmati hak-hak yang diberikan undang-undang.
2) Suatu ciptaan mempunyai Hak Cipta jika ciptaan yang bersangkutan
diwujudkan dalam bentuk tulisan atau bentuk material yang lain.
3) Karena Hak Cipta adalah hak khusus maka tidak ada orang lain yang
boleh melakukan itu kecuali dengan izin pencipta.
b. Hak Cipta timbul dengan sendirinya (otomatis).
c. Suatu ciptaan tidak selalu diumumkan untuk memperoleh Hak Cipta.17

7. Penghapusan Pencatatan Hak Cipta


Penghapusan Hak Cipta diatur dala Pasal 74 Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2014 Tentang Hak Cipta yang menyatakan bahwa kekuatan hukum
pencatatan ciptaan dan produk Hak Terkait hapus karena:
a. Permintaan orang atau badan hukum yang namanya tercatat sebagai Pencipta,
Pemegang Hak Cipta, atau Pemilik Hak Terkait;
b. Lampaunya waktu sebagaimana dimaksu dalam Pasal 58, Pasal 59, Pasal 60
Ayat (2) dan Ayat (3), dan Pasal 61;
c. Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap mengenai
pembatalan pencatatan ciptaan atau produk Hak Terkait;
d. Melanggar norma agama, norma Susila, ketertiban umum, pertahanan, dan
keamanan negara, atau peraturan perundang-undangan yang penghapusannya
dilakukan oleh Menteri.

17
Eddy Damian, Hukum Hak Cipta, (Bandung : Alumni, 2002), h. 99.
28

Penghapusan pencatatan ciptaan atas permintaan orang atau badan hukum


yang Namanya tercatat sebagai pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau pemilik Hak
Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikenai biaya. Ketentuan
lebih lanjut mengenai hapusnya kekuatan hukum pencatatan ciptaan dan produk
Hak Terkait sebagaimana dimaksud dalam pasal 74 diataur dengan Peraturan
Pemerintah.

8. Profil Asics Corporation

Asics (アシックス Ashikkusu), ditulis asics, adalah sebuah perusahaan


multinasional yang memproduksi sepatu dan peralatan olahraga yang dirancang
untuk berbagai macam olahraga. Nama perusahaan ini merupakan singkatan dari
kalimat Bahasa latin anima sana in corpore sano yang diterjemahkan sebagai “
dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat ”. dalam beberapa tahun
terakhir, sepatu lari yang diproduksi oleh perusahaan ini berada diperingkat atas
pasaran dunia.
Asics Ltd. dimulai sebagai Onitsuka Co., Ltd pada tanggal 1 September
1949 yang didirikan oleh Kihachiro Onitsuka, yang mulai memproduksi sepatu
basket di rumahnya di kota Kobe, Prefektur Hygo, Jepang. Onitsuka menjadi
sangat terkenal karena desain Mexico dimana terdapat garis-garis khas yang
melintas, saat ini identic dengan merek perusahaan. Pata tahun 1977, Onitsuka
Tiger digabung dengan GTO dan JELENK untuk membentuk Asics
Corporation. Meskipun telah melakukan nama produk sepatu Asics masih
diproduksi dan dijual secara Internasional dibawah label Onitsuka Tiger.
Untuk tahun fiscal 2006, Asics menghasilkan 171 miliar yen dalam
penjualan bersih dan 13 miliar yen dalam pendapatan bersih. Enam puluh enam
persen pendapatan perorangan berasal dari penjualan sepatu olahraga, 24% dari
pakaian olahraga, dan 10% dari peralatan olahraga. Empat puluh Sembilan
persen dari penjualan perusahaan di Jepang, 28% di Amerika, dan 19% di Eropa.
29

Pada 12 juli 2010, Asics membeli merek Haglöfs dengan biaya 1.000.000.000
krona Swedia ( $128.7 juta).18
Debut awal Onitsuka kurang berhasil di pasaran dikarenakan desain sepatu
yang menyerupai sandal jerami yang tidak begitu disukai oleh banyak pihak.
Kegagalan pada debut pertamanya membuat dirinya tidak menyerah, Kihachiro
Onitsuka yang pernah menjabat sebagai perwira militer ini tidak menyerah dan
terus mengembangkan produknya agar sesuai dengan kebutuhan para pemain
basket professional.
Tidak memiliki bakat dalam membuat sepatu bukan masalah baginya, riset
terus menerus yang ia lakukan akhirnya mendapatkan hal yang positif. Pada
percobaan berikutnya ia kembali melepas sepatu basket dan kali ini mereka
memperbaharui desain pada bagian sol sepatu yang membentuk seperti cangkir
dengan beberapa ruang untuk membuat sepatu lebih efektif dan nyaman saat di
gunakan.
Sejak saat itu perusahaan sepatu tertua di Jepang ini terus memperluas
koleksinya dan di tahun 1951 mereka merilis sepatu voli pertamanya yang
disambut dengan kesuksesan Onitsuka Co.Ltd secara internasional dan bahkan
menjadi pilihan paling popular dikalangan atlet Olimpiade. Produk sepatu lari
yang digunakan di Olimpiade merupakan salah satu yang terbaik di dunia.

Pada tahun 2013-2014 seiring berjalannya waktu, dan sneakers mulai


menggila, Asics pun melakukan beberapa terobosan baru dengan berkolaborasi
bersama Extra Butter, retailer asal New York untuk menciptakan ‘Death List′
pack yang terdiri Asics Gel Saga “Cottonmouth”,”, Asics Gel Lyte III
“Copperhead”, Asics Gel Epirus “California Mountain Snake”, Asics GT-Cool
“Sidewinder”, dan Asics Gel Lyte V “Snake Charmer”.19 Kemunculan sneakers
ini semakin membawa mereka kepuncak kesuksesan.

18
https://id.wikipedia.org/wiki/ASICS diakses pada tanggal 19 Oktober 2018.
19
https://roysetiawan007.wordpress.com/2015/03/27/sejarah-sepatu-asics diakses pada
tanggal 19 Oktober 2018
30

B. Kerangka Teori

1. Teori Keadilan

Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak


dibicarakan sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum.20 Hal yang paling
fundamental ketika membicarakan hukum tidak terlepas dengan keadilan
dewi keadilan dari Yunani. Dari zaman Yunani hingga zaman modern para
pakar memiliki disparitas konsep keadilan, hal ini disebabkan pada kondisi
saat itu. Pada konteks ini sebagaimana telah dijelaskan pada pendahuluan,
bahwa tidak secara holistik memberikan definisi keadilan dari setiap pakar di
zamannya akan tetapi akan disampaikan parsial sesuai penulisan yang
dilakukan. Dalam bukunya Nichomacen Ethics, Aristoteles sebagaimana
dikutip Shidarta telah menulis secara panjang lebar tentang keadilan. Ia
menyatakan, keadilan adalah kebajikan yang berkaitan dengan hubungan
antar manusia. Kata adil mengandung lebih dari satuarti. Adil dapat berarti
menurut hukum, dan apa yang sebanding, yaitu yang semestinya. Di sini
ditunjukan, bahwa seseorang dikatakan berlaku tidak adil apabila orang itu
mengambil lebih dari bagian yang semestinya.
John Rawls yang dipandang sebagai perspektif “liberal-egalitarian of
social justice” berpendapat bahwa keadilan adalah kebijakan utama dari
hadirnya institusi-institusi social. Akan tetapi, kebijakan bagi seluruh
masyarakat tidak dikesampingkan atau menggugat rasa keadilan dari setiap
orang yang telah memperoleh rasa keadilan. Khususnya masyarakat yang
lemah para pencari keadilan.21
Prinsip perbedaan menuntut diaturnya struktur dasar masyarakat
sedemikian rupa sehingga kesenjangan prospek mendapat hal-hal utama

20
Dardji Darmohardjo, Shidarta., Pokok-pokok filsafat hukum: apa dan bagaimana filsafat
hukum Indonesia,( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), h.155.
21
Faiz Pan Mohamad, Teori Keadilan John Rawls, dalam jurnal konstitusi, volume 6 nomor
1, April 2009, h. 139-140.
31

kesejahteraan, pendapatan, otoritas diperuntukkan bagi keuntungan orang-


orang yang paling kurang beruntung. Ini berarti keadilan social harus
diperjuangkan untuk dua hal. Pertama, melakukan koreksi dan perbaikan
terhadap kondisi ketimpangan yang dialami kaum lemah dengan
menghadirkan institusi social, ekonomi, dan politik yang memberdayakan.
Kedua, setiap aturan harus memposisikan diri sebagai pemandu untuk
mengembangkan kebijakan-kebijakan untuk mengoreksi ketikadilan.
Hans Kelsen mengemukakan keadilan sebagai pertimbangan nilai yang
bersifat subjektif. Walaupun suatu tatanan yang adil beranggapan bahwa
suatu tatanan bukan kebahagiaan setiap perorangnya, melainkan kebahagiaan
sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin individu dalam arti kelompok,
yakni terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tertentu, yang oleh penguasa atau
pembuat hukum, dianggap sebagai kebutuhan-kebutuhan yang patut
terpenuhi.22
Putusan hakim yang adil menurut Mertokusumo adalah suatu
pernyataan yang oelh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang
untuk itu diucapkan dipersidangan dan bertujuan untuk menyelesaikan suatu
perkara atau sengketa antara para pihak secara adil. Tampaknya tugas pokok
dan hakim ini sangat sederhana yaitu hanya menerima, memeriksa, serta
mengadili suatu perkara, namun pada kenyataannya tidaklah sesederhana itu.
Putusan hakim harus bisa melihat, mengakui atau membenarkan telah
terjadinya peristiwa yang diajukan, akan tetapi untuk sampai kepada
konstateringnya ia harus mempunyai kepastian. Hakim tidak sekedar dugaan
atau kesimpulan yang dangkal atau gegabah saja. Hakim harus menggunakan
sarana-sarana atau alat untuk memastikan tentang pristiwa yang
bersangkutan.
Dalam menentukan kebenaran suatu peristiwa, Kattsoff
mengemukakan beberapa teori yaitu teori koherensi yang pada perinsipnya
menyatakan bahwa makna suatu pernyataan cenderung benar jika makna

22
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, diterjemahkan oleh Rasisul Muttaqien,
(Bandung: Nusa Media, 2011) , h. 7.
32

suatu pernyataan tersebut dalam keadaan saling berhubungan dengan makna


penyataan yang lain benar, atau dengan kata lain makna suatu pernyataan
saling berhubungan. Teori korespondensi adalah suatu pernyataan benar jika
makna pernyataan itu sungguh-sungguh sesuai dengan faktanya. Teori
empiris yang memandang bahwa kebenaran adalah berdasarkan pengalaman-
pengalaman manusia. Teori pragmatis memandang bahwa kebenaran jika
suatu pernyataan berdasarkan konsekuensinya yang ditimbulkan atau
kebenaran merupakan gagasan yang berguna atau dapat dilaksanakan di
dalam suatu situasi.23

2. Teori Kepastian Hukum

Menurut Fance M. Wantu, kepastian hukum dirumuskan sebagai berikut:

1) Melakukan solusi autotorif yaitu memberikan jalan keluar untuk


menciptakan stabilitas yakni memberikan ketertiban dan ketentraman
bagi para pihak dan masyarakat.
2) Efisiensi prosesnya cepat, sederhana, dan biaya ringan.
3) Sesuai dengan tujuan hukum yaitu Undang-Undang yang dijadikan dasar
dari putusan untuk memberikan kepastian dalam hukum itu sendiri dan
kepastian karena hukum.24

Menurut Sudikno Mertukusumo, kepastian hukum merupakan jaminan


bahwa hukum tersebut dapat dijalankan dengan baik. Sudah tentu kepastian
hukum sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan hal ini lebih diutamakan
untuk norma hukum tertulis. Karena kepastian sendiri hakikatnya merupakan

23
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, (Yogyakarta:Liberti,
1988), h. 167.
24
Lihat Syafruddin Kalo, “Penegakan Hukum yang Menjamin Kepastian Hukum dan Rasa
keadilan Masyarakat” dikutip dari http://www.academia.edu.com diakses 8 Desember 2016, h. 4.
33

tujuan utama dari hukum, kepastian hukum ini menjadi keteraturan


masyarakat berkaitan erat dengan kepastian itu sendiri.25

C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Untuk menghidari kesamaan pada penulisan skripsi ini dengan penelitian


tentang Hak Cipta logo lainnya, maka penulis melakukan penelusuran terhadap
beberapa penelitian terlebih dahulu, diantaranya penelitian-penelitian tersebut
yakni :

1. Skripsi yang disusun oleh: Riviantha Putra, Jurusan Hukum Bisnis,


Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syraif
Hidayatullah Jakarta 2014 tentang Perlindungan Hukum Terhadap Hak
Cipta Lagu Dan Musik Di Media Internet (Analisa Putusan Mahkamah
Agung Nomor 385 K/Pdt/.Sus/2009) dalam skripsi ini membahas
perlindungan hukum Hak Cipta lagu di media internet. Dalam skripsi
ini peneliti membahas objek dari Hak Cipta
2. Skripsi yang disusun oleh Dwi Anto, Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta 2014 tentang
Tinjauan Yuridis Terhadap Peniruan Merek Helm INK Oleh Merek
Helm INX dengan menganalisis putusan nomor:
68/Merek/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst. perbedaan penelitian ini dengan
penelitian yang akan peneliti lakukan berada pada sengketa yang akan
dianalisis di mana peneliti akan menganalisis sengketa Hak Cipta yang
terjadi pada logo Asics Tiger buatan Jepang yang memiliki garis pada
logo sama dengan Asics Tiger buatan pengusaha Indonesia.
3. Skripsi yang disusun oleh Primastuti Purnamasari, Fakultas hukum
Universitas Indonesia tahun 2013 tentang Perlindungan Merek
Terkenal Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan Nasional,
Termasuk Konvensi Internasional. Dalam skripsi diatas tentang merek
terkenal berdasarkan perundang-undangan nasioanl dan konvensi

25
Sudikno Mertukusumo, Penemuan Hukum, (Yogyakarta: Liberty 2009), h. 21.
34

internasional sedangkan skripsi ini peneliti menjelaskan tentang


sengketa logo berdasarkan hukum nasional.
4. Skripsi yang disusun oleh Istiqomah Andreany Prananingtyas, fakultas
hukum Universitas Negeri Semarang tahun 2016 tentang Perlindungan
Hukum Merek Terkenal Untuk Barang Tidak Sejenis (Analisis Yuridis
Pasal 6 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001). Dalam skripsi
diatas skripsi membahas perlindungan hukum terhadap merek-merek
terkenal yang beraneka jenis sedangkan skripsi yang peneliti jelaskan
membahas satu jenis persamaan logo garis Asics Tiger.
5. Skripsi yang disusun oleh Marwan A . Joesoef, fakultas hukum
Universitas Indonesia tahun 2006 dengan judul Perlindungan Hukum
Terhadap Pemilik Merk Terdaftar : Suatu Tinjauan Atas Sengketa Merk
Terdaftar Epiderma Antara PT Epiderma Indonesia Indah Melawan Sri
Linarti Sasmito. Peneliti diatas hanya menjelaskan perlindungan merek
terdaftar dalam sengketa PT Epiderma Indonesia dengan Sri Linarti
Sasmito, sedangkan skripsi yang peneliti lakukan mengenai persamaan
logo garis Asics tiger jepang dengan Indonesia.
6. Buku : Undang-undang Hak Cipta diberbagai negara tidak saja
melindungi hak pencipta atau ciptaannya tetapi juga melindungi hak
orang yang mempertunjukkanatau dengan cara lain menyebarkan suatu
ciptaan kepada masyarakat luas, misalnya meski seorang penyanyi
tidak menciptakan karya baru semaata-mata karena membawakan lagu
yang sudah ada, penggunaan gaya dan bentuk ekspresi yang
menggugah hati pendengar juga dianggap tindakan kreatif. Dalam
skripsi yang akan saya bahas mendekati serupa apa yang telah di
jelaskan diatas hanya objeknya yang berbeda.
7. Artikel “Perlindungan Hukum dan Penyelesaian Sengketa Bagi
pemegang Hak Cipta logo” Ishak Bisma Widiyanto Fakultas Hukum
Universitas Narotama Surabaya tahun 2016. Penelitian ini membahas
pencipta dari suatu logo bisa mendapatkan perlindungan atas
ciptaannya dengan cara mendaftarkan ciptaannya tersebut. Bahwa Hak
35

Cipta logo tidak dapat di catatkan, hal tersebut menimbukan banyak


plagiasi dan pembktiannya siapa pemegang Hak Ciptaan juga sulit.
Penyelesain sengekta ciptaan logo dapat dilakukan diluar pengadilan
dan di pengadilan.26
8. Artikel “Perlindungan Hukum merek Terkenal di Indonesia” Ridwan
Khairandy. Peneliti ini membahas merek terkenal di Indonesia
diberikan Undang-Undang merek yang bersifat preventif , yakni
berkaitan dengan pendaftaran merek sudah selaras dengan ketentuan
TRIPs sebagaimana sudah ditenntukan pasal 6 ayat 3 dan 4 mencakup
perlindungan terhadap barang atau jasa baik yang sejenis maupun
bukan sejenis.27

Sebagai pertimbangan sekaligus pembeda, penelitian yang diangkat oleh


penulis adalah cakupan pembahasan skripsi yang lebih fokus kepada analisis
yuridis terhadap putusan Mahkamah Agung.

26
Ishak Bima Widyanto, Jurnal Perlindungan Hukum dan Penyelesaian Sengketa bagi
Pemegang Hak Cipta Logo, 2016. Diakses pada tanggal 8 juni 2018.
27
Ridwan Khairandy, Jurnal Perlindungan Hukum Merek Terkenal di Indonesia No 12 Vol
6, 1999. Diakses pada tanggal 2 September 2018.
BAB III

PUTUSAN HAKIM DALAM PERKARA PENJIPLAKAN LOGO ASICS


TIGER JEPANG DENGAN INDONEESIA

A. Posisi Kasus

Pada tahun 2012, terjadi sebuah kasus antara Asics Corporation dengan
Theng Tjhing Djie dan Liong Hian Fa yang diajukan oleh Asics Corporation
terhadap Theng Tjhing Djie dikarenakan adanya kegiatan usaha yang
mempergunakan karya cipta seni lukis logo strip Asics Tiger yang terdapat pada
sepatu tanpa meminta izin terhadap pemegang Hak Cipta logo Asics Tiger. Logo
strip tersebut telah dipublikasikan pertama kali oleh pemegang Hak Cipta atas seni
lukis logo strip dan variasinya sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang menyatakan bahwa “ jika suatu
badan hukum mengumumkan bahwa ciptaan berasal daripadanya dengan tidak
menyebut seseorang sebagai penciptanya, badan hukum tersebut dianggap sebagai
penciptanya kecuali jika terbukti sebaliknya”.
Asics Corporation dalam gugatannya menyatakan bahwa Liong Hian Fa
telah menjiplak , meniru dan memodifikasi bentuk dan karakteristik Hak Cipta
penggugat atas seni lukis logo maupun variasi-variasinya dan setelah itu
memperbanyak dan mengumumkannya dengan cara mendaftarkannya pada
kantor turut tergugat. Pendaftaran Hak Cipta oleh tergugat II telah dillandasi oleh
itikad buruk karena ciptaan tersebut telah mendompleng ketenaran dan reputasi
Hak Cipta penggugat atas seni lukis logo maupun variasi-variasinya yang telah
didaftarakan sebagai merek dan desain oleh penggugat maupun perusahaan lama
penggugat.
Adanya pendaftaran Hak Cipta atas nama pencipta tergugat II dan
pemegang Hak Cipta tergugat I yang dilandasi itikad buruk yang akan
membingungkan khalayak ramai tentang asal usul dan sumber dari Hak Cipta atas
seni lukis logo maupun variasi-variasinya. Sehingga mengganggu ketertiban

36
37

umum pada akhirnya merugikan penggugat sebagai pencipta dan atau pemegang
Hak Cipta yang sebenarnya.
Penggugat dalam permohonan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
untuk mengabulkan gugatan penggugat untuk selurunya. Pihak Asics Corporation
meminta kepada Theng Tjhing Djie dan Liong Hian Fa untuk membatalkan dan
mencoret dari daftar umum ciptaan dan mengumumkan pencoretan tersebut dalam
berita resmi Hak Cipta yang terdaftar atas sebagai pemegang Hak Cipta dan
sebagai pencipta.
Penggugat mengajukan pembatalan pendaftaran Hak Cipta seni lukis logo

ASICS TIGER terdaftar dengan nomor 012405 yang diajukan pada tanggal
9 Agustus 1994, seni lukis logo Asics Tiger dengan nomor
012406 diajukan pada tanggal 9 Agustus 1994, selanjutnya seni lukis logo Asics
Tiger dengan nomor 015299 yang diajukan pada tanggal 14

Juni 1995, dan yang terakhir seni lukis logo ASICS TIGER TIGER
dengan nomor 018085 yang diajukan pada tanggal 14 Oktober 1996.
Perseturan yang terjadi antara Asics Corporation dengan Theng Tjhing Djie
semakin memanas karena Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tidak
bertentangan dengan hukum atau Undang-Undang sehingga permohonan kasasi
yang diajukan pemohon kasasi harus ditolak. Putusan tersebut dikuatkan oleh
Putusan Mahkamah Agung Nomor 189 K/ Pdt/.Sus-HKI (H.C)/2013.

B. Putusan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat


Putusan Nomor 48/Hak Cipta/2012/PN.NIAGA.JKT.PST.

Asics Corporation dalam hal ini sebagai penggugat dalam persidangan di


Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mengajukan gugatan kepada Theng Tjhing Djie
dan Lion Hian Fa dalam hal ini sebagai tergugat.
Penggugat adalah badan hukum yang didirikan menurut Undang-Undang
Negara Jepang yang bergerak dibidang manufaktur dan penjulan barang-barang
untuk olahraga. Sedangkan tergugat adalah pemilik logo Asics Tiger dengan
38

daftar nomor 012405, 012406, 015299, 018085 yang terdaftar dalam daftar umum
ciptaan di kantor turut tergugat sebagai pemegang Hak Cipta.
Dalam dalil-dalil gugatan yang diajukan, pada pokoknya mengajukan dalil-
dalil gugatan sebagai berikut:
Pertama, menyatakan Penggugat sebagai pencipta dan/atau pemegang Hak
Cipta yang sebenarnya atas ciptaan-ciptaan seni lukis logo strip, logo a, logo strip
dan kata Asics/ Asics Tiger gabungan serta berbagai macam bentuk variasinya.
Kedua, menyatakan bahwa Hak Cipta dengan daftar nomor 012405,
012406, 015299, dan 018085 atas nama Tergugat I sebagai pemegang Hak Cipta
dan Tergugat II sebagai pencipta, tidak orisinil dan menjiplak, meniru Hak Cipta
Penggugat atas seni lukis logo strip, logo a, logo strip dan kata Asics/ Asics Tiger
berikut dengan berbagai macam variasinya.
Ketiga, Hak Cipta dengan daftar nomor 012405, 012406, 015299, dan
018085 atas nama Tergugat I sebagai pemegang Hak Cipta dan Tergugat II
sebagai pencipta telah diajukan pendaftarannya dengan dilandasi itikad yang tidak
baik yang sebenarnya tidak berhak atas Hak Cipta tersebut.
Keempat, membatalkan setidak-tidaknya menyatakan batal Hak Cipta
dengan daftar nomor 012405, 012406, 015299, dan 018085 atas nama Tergugat I
sebagai pemegang Hak Cipta dan Tergugat II sebagai pencipta dengan segala
akibat hukumnya.
Kelima, memerintahkan kepada turut Tergugat untuk membatalkan dan
mencoret dari daftar umum ciptaan, dan menumumkan pencoretan tersebut dalam
berita resmi Hak Cipta, Hak Cipta dengan daftar nomor 012405, 012406, 015299,
dan 018085 atas nama Tergugat I sebagai pemegang Hak Cipta dan Tergugat II
sebagai pencipta.
Keenam, memerintahkan turut Tergugat untuk tidak menerima dan/atau
menolak permohonan pendaftaran Hak Cipta yang secara substansial sangat mirip
dengan Hak Cipta Penggugat baik yang diajukan oleh Tergugat I atau Tergugat II
atau pihak-pihak yang lain.
Maka, berdasarkan uraian di atas, apa yang telah dilakukan Tergugat dalam
melakukan kegiatan bisnisnya yang menggunakan logo Asics Tiger milik
39

Penggugat adalah bertentangan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014


tentang Hak Cipta sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat 1 yang berbunyi: Hak
Cipta merupakan hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan
prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa
mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Adapun dalam provisinya, Asics Corporation mengajukan permohonan
kepada bapak ketua Pengadilan Niaga Jakarta Pusat c.q Majelis Hakim untuk
memberikan keputusan sebagai berikut:
Pertama, memerintahkan Tergugat untuk menghentikan kegiatan membuat
atau memproduksi, menggunakan, menjual sepatu dengan menggunakan Merek
Asics atau Merek Asics Tiger maupun dengan Merek lainnya sepanjang produk
tersebut menggunakan Hak Cipta Penggugat berupa seni lukis logo Asics Tiger
atau melarang Tergugat untuk menggunakan atau memakai ciptaan seni lukis logo
Asics Tiger atau yang mempunyai persamaan dengan ciptaan seni lukis logo Asics
Tiger milik penggugat.
Memerintahkan kepada Tergugat untuk menarik dari peredaran,
memusnahkan dan menghentikan seluruh kegiatan membuat atau memproduksi,
menggunakan, menjual produk sepatu yang menggunakan atau yang mempunyai
persamaan dengan Hak Cipta Penggugat berupa seni lukis logo Asics Tiger
beserta variasinya.
Adapun dalam pokok perkara, Asics Corporation mengajukan gugatan
rekonpensi kepada Theng Tjhing Djie dan Liong Hian Fa sebagai berikut:
Pertama, perbuatan Tergugat dalam membuat/memproduksi menggunakan,
menjual sepatu dengan menggunakan Merek Asics atau Merek Asics Tiger
maupun dengan Merek lainnya sepanjang produk tersebut menggunakan Hak
Cipta Penggugat berupa seni lukis logo Asics Tiger telah melakukan perbuatan
melanggar hukum dan menimbulkan kerugian Penggugat.
Kedua, Tergugat telah menggunakan tanpa hak, Hak Cipta yang mempunyai
persamaan dengan seni lukis logo Asics Tiger milik Penggugat. Telah
40

menggunakan tanpa hak, Merek Asics atau Merek Asics Tiger dan logo yang
mempunyai persamaan dengan seni lukis logo Asics Tiger milik penggugat.
Ketiga, memerintahkan Tergugat menghentikan kegiatan
membuat/memproduksi menggunakan, menjual sepatu dengan menggunakan
Merek Asics atau Merek Asics Tiger maupun Merek lainnya sepanjang produk
tersebut menggunakan Hak Cipta Penggugat berupa seni lukis logo Asics Tiger
atau melarang Tergugat untuk menggunkan/ memakai ciptaan seni lukis logo
Asics Tiger atau yang mempunyai persamaan dengan ciptaan seni lukis logo Asics
Tiger milik Penggugat.
Keempat, menyatakan batal dan menolak pendaftaran Merek Asics atau
Merek Asics Tiger di Indonesia atas nama Penggugat/Tergugat sepanjang produk
tersebut menggunakan Hak Cipta Penggugat berupa seni lukis logo Asics Tiger
dan variasinya. Turut memerintahkan Kantor Direktorat Jendral Hak Kekayaan
Intelektual, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI serat Direktorat
Merek untuk tunduk dan taat terhadap putusan perkara.
Kelima, kerugian yang diderita Penggugat akibat perbuatan melawan
hukum yang dilakukan Tergugat yaitu kerugian materiil sebesar Rp.
4.800.000.000,- (empat milyar delapan ratus juta rupiah) serta kerugian
immaterial sebesar Rp. 1.200.000.000,- (satu milyar dua ratus juta rupiah)
Keenam, menghukum Tergugat untuk membayar ganti rugi sebesar Rp.
6.000.000.000,- (enam milyar rupiah) kepada Penggugat secara sekaligus dan
tunai setelah putusan dalam perkara ini mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Serta membayar seluruh biaya yang timbul dalam perkara ini.
Terhadap gugatan yang diajukan di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, maka
hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah mengambil putusan pada tanggal 19
November 2012 yaitu Putusan Nomor 48/HAK
CIPTA/2012/PN.NIAGA.JKT.PST. yang amar putusannya berbunyi :
Dalam Eksepsi :
a. Mengabulkan eksepsi Tergugat I untuk sebagian ;
b. Menyatakan gugatan Penggugat tidak jelas (kabur) ;

Dalam Konpensi :
41

Menyataakan gugatan Penggugat Konpensi tidak dapat diterima ;

Dalam Rekonpensi :

Menyatakan gugatan Penggugat Rekonpensi tidak dapat diterima ;

Dalam Konpensi-Rekonpensi :

Menghukum Penggugat Konpensi/Tergugat Rekonpensi untuk membayar


biaya yang timbul dalam perkara ini, yang hingga kini diperhitungkan
sebesar Rp. 5.416.000,- (lima juta empat ratus enam belas ribu rupiah) ;

C. Putusan Hakim Mahkamah Agung


Putusan Nomor 189 K/ Pdt/.Sus-HKI (H.C)/2013

Setelah dijatuhkannya putusan Pegadilan Niaga pada Pengadilan Niaga


Jakarta Pusat dalam siding terbuka untuk umum pada tanggal 22 November 2012,
terhadap putusan tersebut penggugat melalui kuasanya berdasarkan Surat Kuasa
Khusus tanggal 27 November 2012 mengajukan permohonan kasasi pada tanggal
6 November 2012 sebagaimana ternyata dari Akta Permohonan Kasasi Nomor 47
K/HaKI/2012/PN Niaga.Jkt.Pst, jo. Nomor 48/Hak Cipta/PN Niaga.Jkt.Pst., yang
dibuat oleh Panitera Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,
permohonan tersebut diikuti dengan memori kasasi yang diterima di Kepaniteraan
Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut pada tanggal 19
Desember 2012.
Setelah itu memori kasasi telah disampaikan kepada Termohon pada Kasasi
I dan II masing-masing pada tanggal 2 Januari 2013 dan pada tanggal 28
Desember 2012, kemudian Termohon Kasasi mengajukan jawaban memori kasasi
yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat masing-masing pada tanggal 11 Januari 2013.
Atas keberatan-keberatan yang diajukan pleh pemohon kasasi, dalam
memori kasasinya tersebut pada pokoknya adalah:
42

Pertama, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat secara sumir atau tanpa disertai
dasar yang jelas menyimpulkan bahwa Penggugat dapat dikategorikan sebagai
pencipta dan sebagai pemegang Hak Cipta ciptaan seni lukis logo strip, logo a,
logo strip dan kata Asics/Asics Tiger gabungan dan variasinya apabila Pemohon
Kasasi/Penggugat Konvensi memiliki bukti surat kontraknya dengan F.Lubalin,
desainer grafis Amerika, Jepang Design Centre dan kantor desain Paos di Tokyo,
Jepang sebagai konsultan desainnya.
Kedua, kepemilikan Hak Cipta atas ciptaan-ciptaan dalam perkara a quo
telah diakui oleh negara Jepang sebagai milik dari Pemohon Kasasi/Penggugat
Bern Convention Pasal 3 ayat 1 (b) yang telah diratifikasi Pemerintahan Republik
Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997 mengatakan
perlindungan Hak Cipta di suatu negara anggota Bern Convention secara simultan
harus diakui oleh negara-negara anggota Bern Convention yang lain. Dengan
demikian, Pemerintah Indonesia harus mengakui kepemilikan Hak Cipta
Penggugat/ Pemohon Kasasi atas ciptaan-ciptaan yang telah diumumkan di
Jepang, dan telah diakui kepemilikannya oleh negara Jepang. Pertimbangan hakim
yang mempersalahakan ada atau tidaknya kontrak tertulis pencipta kepada
pemegang Hak Cipta adalah keliru dan tidak benar.
Ketiga, pertimbangan Pengadilan Jakarta Pusat yang mengharuskan adanya
kontrak tertulis untuk mendapatkan pengakuan kepemilikan di Indonesia ata Hak
Cipta dari suatu ciptaan yang telah diumumkan di negara asal pencipta/ pemegang
Hak Cipta merupakan suatu pelanggaran terhadap perjanjian Bern Convention,
sehingga akan memberikan dampak negative dari dunia Internasional terhadap
penegakan hukum di Indonesia khususnya Hak Cipta. Hal ini akan berakibat pada
keyakinan para investor akan kepastian hukum di Indonesia dan pada akhirnya
mengurangi minat investasi-investasi asing yang ingin berusaha dan membuka
lapangan pekerjaan di Indonesia.
Keempat, seni lukis logo Asics yang dibuat oleh F.Lubalin atas perintah
kantor desain Paos pada tahun 1977 merupakan pesanan Pemohon
Kasasi/Penggugat untuk menyempurnakan seni lukis logo Asics yang diambil dari
kata Asics yang diajukan pendaftarannya sebagai merek pada tahun 1976 di
43

Jepang oleh Penggugat, sehingga Penggugat dapat dianggat sebagai pencipta dan
sekaligus pemegang Hak Cipta atas kata Asics berdasarkan ketentuan pasal 9
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
Kelima, F.Lubalin sebagai desainer grafis Amerika, Jepang Design Centre
dan kantor desain Paos di Tokyo-Jepang, yang disebut dalam Gugatan Pemohon
Kasasi/ Penggugat merupakan bagian dari proses penyempurnaan kata Asics yang
telah dimiliki oleh Pemohon Kasasi/ Penggugat sebelumnya, di mana pada tahun
1992 seni lukis logo “a” gabungan dengan Asics digunakan dan dipublikasikan
pertama kali oleh Pemohon Kasasi/ Penggugat.
Keenam, berdasarkan uraian Pemohon Kasasi mengenai F.Lubalin dan
kantor desain Paos dalam gugatan, jelas bahwa Pemohon Kasasi tidak perlu
membuktikan adanya kontrak antara Pemohon Kasasi dengan F.Lubalin muapun
kantor desain Paos, keputusan pengadilan mempunyai pendapat yang berbeda,
seharusnya mempertimbangkan bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon Kasasi/
Penggugat dalam persidangan yang notabene telah membuktikan adanya
pengumuman lebih dahulu ciptaan-ciptaan dalam perkara a quo oleh Pemohon
Kasasi/ Penggugat antara lain:
a) Surat kabar, katalog, jurnal dan majalah yang terbit sejak tahun 1970
yang berisikan artikel Asics Corporation (Pemohon Kasasi) yang
memaparkan seni lukis logo strip, logo a, logo strip dan kata Asics/ Asics
Tiger gabungan dan variasinya (vide bukti P-2, P-3,P-4, dan P-5).
b) Kutipan buku dari kantor desain Paos tahun 1989 yang menuliskan
tentang pendirian Asics Corporation dan proses penciptaan seni lukis
logo strip, logo a, logo strip, dan kata Asics/ Asics Tiger gabungan
variasi-variasinya (vide bukti P-17).
c) Surat-surat Pemberitahuan Merek Dagang Terdaftar milik Pemohon
Kasasi yang dikeluarkan sejak tahun 1972 do negara Jepang maupun
negara-negara lainnya untuk seni lukis logo strip, logo a, logo strip dan
kata Asics/ Asics Tiger gabungan dan variasi-variasinya yang diajukan
oleh Pemohon Kasasi sebagai bukti dalam persidangan dengan tanda
bukti P-27.a s.d P-27.v.
44

Ketujuh, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat telah mengabaikan bukti dari


Termohon Kasasi I/ Tergugat I sendiri yaitu bukti T-1.15 s/d bukti T-1.17, yang
mana dalam bukti tersebut telah tercatat keterangan saksi-saksi sebagai berikut:

i. Termohon Kasasi II/ Tergugat II (Liong Hian Fa) sebagai saksi yang
memberi keterangan dimuka pengadilan bahwa Termohon Kasasi II/
Tergugat II mengetahui asal-usul ciptaan Asics Tiger dan logo adalah
berasal dari Jepang sejak tahun 1970 dan bahwa Termohon Kasasi II/
Tergugat II mengajukan pendaftaran ciptaan tersebut semata-mata untuk
mencegah gugatan saja dari pihak lain.
ii. Saudara Harry Susanto dan saudara Setyadi Budhiarto yang telah
mengakui secara tegas bahwa Asics Tiger adalah milik orang Jepang
sejak tahun 1970 dan bahkan pernah menjadi pemegang lisensi dari
perusahaan Pemohon Kasasi/Penggugat di Indonesia.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah mengabaikan fakta bahwa telah ada
pengakuan dari pencipta sendiri ( Termohon Kasasi II/ Tergugat II ) atas ciptaan-
ciptaan yang diajukan pembatalannya bahwa ciptaan-ciptaan tersebut bukan
ciptaan orisinil dari Termohon II/ Tergugat II, melainkan ciptaan dari Pemohon
Kasasi/Penggugat.

Terlepas dari alasan-alasan kasasi tersebut dengan tidak perlu


mempertimbangkan alas an-alasan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi
menurut Mahkamah Agung, Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat telah menerapkan hukum dalam Putusan halaman 57 paragraf 2 dan 3
Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menyatakan bahwa gugatan Penggugat
dalam perkara ini, telah melakukan kumulasi yang melanggar Hukum Acara
Perdata, Penggugat telah mencampuradukan antara Merek dengan Hak Cipta atas
objek perkara mengenai pembatalan Hak Cipta seni lukis logo milik Tergugat I,
tidak dapat disatukan dalam satu gugatan karena peristiwa hukum dan dsar
hukumnya berbeda.
45

Pemohon Kasasi/ Penggugat tidak pernah mencampuradukkan antara


Merek dengan Hak Cipta atas objek perkaranya. Dalam posita Pemohon Kasasi
jelas diuraikan kapan dan bagaimana objek perkara tersebut pertama kali
diciptakan, disempurnakan dan pada akhirnya digunakan dan dipublikasikan
sehingga mendukung Petitum Pemohon Kasasi dalam gugatan yang meminta
pendaftaran Hak Cipta Termohon.

Menimbang, bahwa terhadap keberatan-keberatan tersebut, Mahkamah


Agung berpendapat:

Keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti


secara seksama memori kasasi tanggal 19 Desember 2012 dan kontra memori
kasasi tanggal 11 Januari 2013 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti,
dalam hal ini Pengadilan Niaga pada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tidak salah
menerapkan hukum dengan pertimbangan tersebut.

Bahwa setelah meneliti isi surat gugatan Penggugat terutama pada halaman
4, 5, 7, 10, 11 dan 12 benar Penggugat telah mencampuradukkan gugatan masalah
Hak Cipta dengan Merek sehingga melanggar tata tertib beracara, dengan
demikian gugatan yang diajukan oleh Penggugat menjadi kabur.Bahwa disamping
itu hubungan hukum yang menyebabkan Penggugat mempunyai legal standing
untuk mengajukan gugatan ini menjadi tidak tegas dari pencipta atau pemakai Hak
Cipta hal inipun menjadikan gugatan menjadi catat formil.

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, ternyata


bahwa Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam
perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga
permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi Asics Corporation
tersebut harus ditolak.

Menimbang, bahwa oleh karena permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi


ditolak, Pemohon Kasasi harus dihukum untuk membayar biaya perkara dalam
tingkat kasus ini;
46

Memperhatikan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta,


Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua
dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 serta peraturan perundang-
undangan lain yang bersangkutan.

Atas dasar-dasar pertimbangan di atas maka para hakim Mahkamah Agung


mengadili untuk menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : Asics
Corporation tersebut dan menghukum Pemohon Kasasi/ Penggugat untuk
membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi.
BAB IV

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMEGANG HAK


CIPTA LOGO SEPATU ASICS TIGER

A. Perlindungan Hukum Hak Cipta

Sifat lain yang juga mirip dalam berbagai hak dari Hak Kekayaan
Intelektual adalah citra dari arti ciptaan atau penemuan dan produksi. Ciptaan atau
penemuan atau produksi merupakan hasil yang muncul setelah sebuah gagasan
dijewantahkan kedalam objek tertentu. Objek ini mengandung Hak Kekayaan
Intelektual. Dengan kata lain “ tindakan menciptakan terjadi pada ssaat individu
tertentu melaksanakan usaha mentalnya untuk merubah bahan mentah” (the act of
creation occurs when an individual excercises their mental labour to manipulate
raw material).
Makna dari penciptaan atau penemuan atau produksi memiliki kaitan erat
dengan system pendaftaran Hak Kekayaan Intelektual dan penegakan Hak
Kekayaan Intelektual. Rejim pendaftaran Hak Kekayaan Intelektual terdiri dari the
first to file system, the first to use system dan sebuah sistem campuran dari dua
system yang ada. Sebuah hak lahir setelah karya cipta atau hasil penemuan lahir
menjadi kenyataan. Karya tertentu menjadi kenyataan setelah mencapai kesatuan
yang utuh yang dapat diperbanyak. Arti dari pemahaman seperti ini adalah bahwa
perlindungan hukum terhadap Hak Kekayaan Intelektual bias diperoleh setelah
sebuah karya telah menjadi kenyataan. Dengan kata lain, gagasan di dalam bisa
memperoleh perlindungan Hak Kekayaan Intelektual sebab itu belum menjadi
karya atau hasil.1
Menurut David Bainbridge justifikasi perlindungan Hak Kekayaan
Intelektual dapat digambarkan dengan ungkapan sederhana. Intinya setiap orang

1
Syopiansyah Jaya Putra dan Yusuf Durachman, Etika Bisnis dan Hak Kekayaan
Intelektual, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), h. 126.

47
48

harus diakui dan berhak memiliki apa yang dihasilkannya. Bila hak itu diambil
darinya, ia tak lebih dari seorang budak. Ungkapan ini menjadi semakin penting
mengingat dalam perspektif Hak Kekayaan Intelektual apa yang dihasilkan
sepenuhnya berasal dari otak atau kemampuan intelektual manusia. Selanjutnya
perlu pula dicatat rasionalitas lain yang lebih bersifat pragmatik. Rasionalitas ini
bertumpu pada prinsip bahwa perlindungan diperlukan untuk menjaga tatanan
perekonomian pada khususnya dan kehidupan sosial pada umumnya. 2
Perlindungan hukum terhadap Hak Cipta dimaksudkan untuk mendorong
individu-individu di dalam masyarkat yang memiliki kemampuan intelektual dan
kreativitas agar lebih bersemangat menciptakan sebanyak mungkin karya cipta
yang berguna bagi masyarakat.3 Dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002
tentang Hak Cipta pada dasarnya dimaksudkan untuk memberikan rasa aman bagi
pencipta atau pihak-pihak lain yang menjadi pemegang Hak Cipta khususnya
dikalangan industri. Sehingga bagi para pencipta dapat menikmati hasil dari
ciptaannya yang menghasilkan nilai ekonomi di kalangan masyarakat.
Kenyataannya menunjukkan bahwa hingga saat ini berbagai pelanggaran hukum
atas karya cipta seperti peniruan, pembajakan, penjiplakan maupun perbuatan
curang lainnya masihg sering terjadi di tengah-tengah masyarakat.Kondisi ini
dipicu oleh mahalnya produk-produk karya cipta yang asli, sehingga sulit
terjangkau bagi kalangan masyarakat Indonesia.4
Tata cara perolehan Hak Cipta pada prinsipnya dapat diperoleh ketika
ciptaan tersebut diwujudkan. Hal ini berbeda dengan karya intelektual lainnya yang
mempersyaratkan dalam perolehan haknya melalui proses pendaftaran. Pada
dasarnya hak cipta dapat didaftarkan. Namum, fungsi pendaftaran hanya sebagai
alat bukti bahwa pencipta berhak atas Hak Cipta. Pendaftaran ini akan memberikan

2
Henry Soelistyo, Hak Cipta Tanpa Hak Moral, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 21-22.
3
Iswi Hariani, Prosedur Mengurus HAKI Yang Benar, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia,
2010), h. 46.
4
Zae, “Open Source, Indonesia Go Open source (IGOS), dan Penghormatan HKI” 2005.
Hukumonline, 25 Juli 2005. Diakses pada tanggal 24 Oktober 2018.
49

manfaat yaitu pendaftartetap dianggap sebagai pencipta sampai ada pihak lain yang
dapat membuktikan sebaliknya di pengadilan. Pendaftar (pendaftar Hak Cipta)
menikmati perlindungan hukum sampai adanya keputusan hakim yang berkekuatan
hukum tetap yang menyatakan bahwa pihak lain ( bukan pendaftar) yang menjadi
pencipta.5

B. Bentuk-Bentuk Perlindungan Hukum

Perlindungan hukum dalam konteks Hukum Administrasi Negara


merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi hukum untuk mewujudkan tujuaan-
tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Perlindungan
hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada subyek hukum sesuai
dengan aturan hukum, baik itu bersifat preventif (pencegahan) maupun dalam
bentuk yang bersifat represif (pemaksaan), baik secara tertulis maupun tidak tertulis
dalam rangka menegakkan peraturan hukum. Bentuk perlindungan hukum bagi
rakyat meliputi dua hal yaitu sebagai berikut:

a. Perlindungan hukum preventif, yaitu bentik perlindungan hukum di mana


kepada rakyat diberi kesempatan untuk mengaukan keberatan atau pendapat
sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitive.
b. Perlindungan hukum represif yaitu bentuk perlindungan hukum di mana lebih
ditujukan dalam penyelesaian sengketa.6

Perlindungan hukum yang diberikan bagi raksyat Indonesia merupakan


implementasi atas prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan
martabat manusia yang bersumber pada Pancasila dan prinsip negara hukum
berdasarkan Pancasila. Setiap orang berhak mendapatkan perlindungan dari hukum.
Hampir seluruh hubungan hukum harus mendapat perlindungan dari hukum. Oleh
karena itu terdapat banyak macam perlindungan dari hukum, beberapa diantaranya
yang cukup popular dan telah akrab ditelinga kita seperti perlindungan hukum Hak

5
Abdul Rasyid Saliman, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan, (Jakarta: Kencana, 2005), h.
175.
6
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Bandung, (Citra Aditya Bakti, 2009), h. 38-
41.
50

Cipta yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
dan saat ini menjadi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

C. Perlindungan Hak Cipta Logo Garis


1. Ciptaan Yang Di Lindungi Oleh Undang-Undang

Mengikuti konsepsi pengaturaan Konvensi Bern, Undang-Undang


Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta menegaskan bahwa ciptaan adalah
setiap karya pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu
pengetahuan, seni, atau sastra. Sejauh menyangkut kriteria keaslian, hal itu
telah dibahas dalam konsepsi orisinnalitas. Perlu diulas kembali lingkup
ciptaan yang dilindungi Hak Cipta yang menjangkau ketiga bidang ciptaan
tersebut.
Dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002, jenis-jenis ciptaan yang
dilindungi diuraikan secara kategoris dalam Pasal 12 Ayat (1) yang meliputi:
a) buku, program komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang
diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;
b) ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu;
c) alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu
pengetahuan;
d) lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
e) drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;
f) seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni
kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan;
g) arsitektur;
h) peta;
i) seni batik;
j) fotografi;
k) sinematografi;
l) terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari
hasil pengalihwujudan.
51

Rincian jenis-jenis ciptaan ini pada dasarnya tidak exhaustive yang


berarti di luar yang telah secara eksplisit tercantum, dapat saja ditambahkan
dengan jenis ciptaan yang lainnya sepanjang ciptaan ini memang merupakan
karya ilmu pengetahuan, karya seni dan sastra.7

Dalam Undang-Undang Hak Cipta juga disertakan pengertian dan


penjelasan dari berbagai jenis ciptaan yang telah disebutkan diatas antara lain
sebagai berikut:

1) Susunan perwajahan karya tulis atau typhographical arrangement yaitu


aspek seni atau estetika pada susunan dan bentuk penulisan karya tulis. Hal
ini antara lain mencakup format hiasan, warna dan susunan atau tata letak
huruf yang secara keseluruhan menampilkan wujudu yang khas.
2) Ciptaan lain yang sejenis, yaitu ciptaan-ciptaan yang belum disebutkan
tetapi dapat disamakan dengan ciptaan seperti ceramah, kuliah dan pidato.
3) Alat peraga adalah ciptaan yang berbentuk dua ataupun tiga dimensi yang
berkaitan dengan geografi, topografi, arsitektur, biologi atau ilmu
pengetahuan lainnya.
4) Lagu dan music diartikan sebagai karya yang bersifat utuh, sekalipun
terdiri atas unsur lagu atau melodi; syair atau lirik, dan aransemennya,
termasuk intonasi.
5) Gambar, antara lain meliputi: motif, diagram, sketsa, logo dan bentuk
huruf indah, di mana gambar tersebut dibuat bukan untuk tujuan desain
industri. Kolase diartikan sebagai komposisi artistik yang dibuat dari
berbagai bahan misalnya dari kain, kertas dan kayu) yang ditempelkan
pada permukaan gambar.
6) Arsitektur, anatar lain meliputi: seni gambar bangunan dan seni gambar
miniature dan seni gambar market bangunan.

7
Henry Soelistyo, Plagiarisme: Pelanggaran Hak Cipta dan Etika, (Yogyakarta: Kanisius,
2011), h. 68.
52

7) Peta adalah suatu gambaran dari unsur-unsur alam dan/atau buatan


manusia yang berada di atas maupun di bawah permukaan bumi yang
digambarkan pada suatu bidang datar dengan sketsa tertentu.
8) Batik yang dibuat secara konvensional dilindungi dalam Undang-Undang
ini sebagai bentuk ciptaan tersendiri. Karya-karya tersebut memperoleh
perlindungan karena mempunyai nilai seni, baik pada ciptaan motif,
gambar, maupun komposisi warnanya. Pengertian seni batik juga
diterapkan pada karya tradisional lainnya yang merupakan kekayaan
bangsa Indonesia yang terdapat diberbagai daerah, seperti seni songket,
ikat dan lain-lain yang dewasa ini terus dikembangkan.
9) Karya sinematografi yaitu ciptaan yang merupakan media komunikasi
masa gambar bergerak (moving images) antara lain film documenter, film
iklan, reportase, atau film cerita yang dibuat dengan scenario, dan film
kartun. Karya ini dibuat dalam pita seluloid, pita video, piringan video,
cakram optik, dan/atau ,media lain yang memungkinkan untuk
dipertunjukkan dibioskop, dilayar lebar, ditayangkan ditelevisi, atau media
lainnya
10) Bunga rampai, meliputi ciptaan dalam bentuk buku yang berisi kumpulan
berbagai karya tulis pilihan, himpunan lagu-lagu pilihan yang direkam
dalam satu kaset, cakram optic atau media lainnya, serta komposisi dari
berbagai karya pilihan.
11) Database diartikan sebagai kompilasi data dalam bentuk apapun yang
dapat dibaca oleh mesin (komputer) atau dalam bentuk lain, di mana
karena alas an pemilihan atau pengaturan atas isi data itu merupakan kreasi
intelektual. Perlindungan terhadap database diberikan dengan tidak
mengurangi hak pencipta lain yang ciptaannya dimasukkan dalam
database tersebut.
12) Pengalihwujudan adalah perubahan bentuk, misalnya dari bentuk patung
menjadi lukisan, cerita roman menjadi drama, atau film dan lain-lain.

Banyak terjadi pelanggaran dan pembajakan Hak Cipta di Indonesia.


Guna mendapatkan perlindungan hukum dan kepastian hukum sebaiknya
53

didaftarkan hasil karya cipta di Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual


sehingga negara mempunyai data yang lengkap setiap pemohon Hak Cipta
yang telah mendaftarkan suatu karya ciptaan asli atau yang pertama kali
menciptakan suatu karya ciptaan.8

2. Perlindungan Hukum Terhadap Hak Cipta Logo Garis

Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI) merupakan


lemabaga yang ditugaskan untuk memberikan perlindungan terhadap Hak
Kekayaan Intelektual seperti Hak Cipta logo. Tugas untuk melindungi Hak
Kekayaan Intelektual tersebut lahir karena Ditjen Hak Kekayaan Intelektual
merupakan lembaga yang memberikan legitimasi terhadap pendaftaran Hak
Cipta logo. 9
Pencipta dari suatu logo bisa mendapatkan perlindungan atas ciptaannya
dengan cara mendaftarkan ciptaannya tersebut. Hak Cipta logo merupakan
hasil kreatifitas yang mengandung nilai komersil karena bisa digunakan dalam
dunia usaha. Berdasarkan hal tersebut maka HKI harus melindungi Hak Cipta
logo tersebut terutama perlindungan penjiplakan dari para competitor bisnis
yang lainnya.
Ciptaan berupa logo tidak dapat dicatatkan dalam pengatura tersebut, tentu
mengancam perlindungan pemegang Hak Cipta logo dan pembuktiannya yang
sulit. Ketentuan tersebut tidak sesuai dengan fenomena yang banyak terjadi di
masyarakat, di mana terdapat banyak kasus penjiplakan atau tiruan Hak Cipta
logo yang dapat di jadikan bisnis.
Logo dimasukkan dalam kualifikasi ciptaan, akan tetapi tidak dapat
didaftarkan di Kemenkumham. Pengaturan tersebut mereduksi perlindungan
huku bagi pemegang Hak Cipta Logo karena tidak ada pencatatan terkait siapa
pemegang Hak Cipta logo pertama. Tidak tercatatnya logo tersebut tetntu

8
Syarifuddin, Perjanjian Lisensi Dan Pendaftaran Hak Cipta, (Jakarta: P.T. Alumni,
cetakan ke-1, 2013), h. 165.
9
Surianto Ruslan, Mendesain Logo, (Jakarta: Garmedia Pustaka, 2009), h. 40.
54

mempunyai akibat hukum kesulitaan penentuan siapa yang berhak atas ciptaan
logo tersebut.
Jika melihat ketentuan dalam bagian konsideran terlihat jelas bahwa
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta disusun untuk
merespon perkembangan ilmu pengetahuan dan menjawab tantangan
teknologi, seni dan sastra. Bagian konsideran tersebut secara jelas
menyebutkan bahwa Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak
Cipta sudajh tidak lagi relevan dengan kondisi sekarang ini, terutama yang
berkaitan dengan perkembangan teknologi informasi. Oleh sebab itu, penting
untuk diadakan perubahan sehingga terdapat relevansi dengan perkembangan
jaman saat ini.
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014
tentang Hak Cipta masih menimbulkan beberapa permaasalahan yuridis. Satu
sisi, Pasal 1 ayat (1) Undang Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
yang berbunyi Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara
otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan
dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Hak Cipta merupakan hak bagi pencipta atau pemegang Hak Cipta atas
ciptaannya. Pasal 1 ayat (2), (3) dan (4) Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2014 tentang Hak Cipta menjelaskan pengertian Hak Cipta. Terdapat
perbedaan antara pencipta dengan pemegang Hak Cipta. Jika pencipta adalah
pembuat logo, maka pemegang Hak Cipta belum tentu pencipta logo tersebut,
melainkan bisa pihak lain yang menggunakan jasa pencipta tersebut untuk
membuatkan logo tertentu. Hal seperti ini biasa terjadi di berbagai perusahan-
perusahan.
Suatu ciptaan dalam berbagai bidang pada prinsipnya mendapatkan
perlindungan dalam ruang lingkup Hak Kekayaan Intelektual. Pasal 40
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta mengatur terkait
dengan bidang-bidang ciptaan yang dilindungi. Pasal 40 ayat (1) huruf (f)
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 menentukan bahwa ciptaan yang
55

dilindungi salah satunya adalah gambar. Gambar tersebut kemudian dijelaskan


dalam penjelasan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang
Hak Cipta. Berdasarkan ketentuan terssebut, jelas bahwa logo termasuk
kedalam ciptaan yang dilindungi oleh Hak Cipta dalam hukum Indonesia.10
Meskipun Hak Cipta logo termasuk dalam ciptaan yang dilindungi, akan
tetapi Hak Cipta logo termasuk dalam kualifikasi Hak Cipta yang tidak dapat
dicatatkan untuk mendapatkan surat pencatatan atau surat pendaftaran ciptaan
maupun petikan resmi. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 65
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Tidak jelas tujuan
dari pengaturan dalam Pasal 65 tersebut dalam bagian penjelasan tidak
dijelaskan terkait Pasal tersebut melainkan hanya terdapat keterangan “cukup
jelas”. Tidak ada penjelasn kenapa logo atau tanda pembeda yang digunakan
sebagai lambing organisasi, badan usaha atau badan hukum tidak dapat
dilakukan pencatatan. Hal tersebut tentu menimbulkan berbagai potensi
permasalahan yang akan terjadi.
Permasalah yuridisnya adalah pada satu sisi, logo diakui sebagai ciptaan
yang dilindungi, akan tetapi pada lain sisi logo tidak dapat dicatatkan.
Perlindungan seperti apa yang diberikan jika logo yang ada tidak didaftarkan.
Hal ini tentu menimbulkan kerancuan dan akibat hukum yaitu logo yang ada
akan mudah dijiplak atau diplagiasi dan membutukan pembuktian yang sulit
mengenai siapa pencipta logo yang sebenarnya karena tidak tercatat.
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak
Cipta, maka logo tidak bisa didaftarkan atau dicatatkan. Hal tersebut berakibat
terhadap keberadaan pencipta atau pemegang logo tidak mempunyai bukti
sebagai pemegang Hak Cipta. Beberapa pemegang atau pemilik Hak Cipta logo
mendaftarkan logonya kepada Direktorat Merek. Pendaftaran kepada
Direktorat Merek tersebut dilakukan untuk produksi perdagangan dan jasa. Hal
tersebut merupakan penyimpangan karena logo termasuk dalam ranah Hak
Cipta bukan Hak Merek.

10
Direktorat Hak Kekayaan Intelektual, http://www.dgip.go.id diakses pada tanggal 27
Oktober 2018.
56

Sejak adanya penagturan tentang Hak Cipta beberapa abad yang lalu, Hak
Cipta sudah menjadi bagian dari industri kreatif terhadap orang-orang yang
mempunyai kreatifitas di bidang seni maupun dibidang lainnya yang tidak
ingin karya seninya dibajak, ditiru, atau diplagiasi orang lain untuk
kepentingan diri sendiri yang dapat menghasilkan pundi-pundi uang dan
merugikan kepada penciptanya. Upaya untuk melindungi Hak cipta terebut
adalah untuk menghindari dari duplikasi pihak lain yang tidak
bertanggungjawab.
Hal terjadi dalam banyak kasus, seperti yang diputus dalam Putusan
Mahkamah Agung Nomor 189 K/ Pdt/.Sus-HKI (H.C)/2013, di mana Asics
Corporation selaku pemilik sah atas Hak Cipta “Seni Lukis Logo” yang telah
di publikasikan sejak tahun 1966 yang menjadi ciri kas dari perusahaan
tersebut. Akan tetapi, Theng Tjing Djie sebagai pemilik sah Hak Cipta dan
Liong Hian Fa sebagai pencipta logo. Logo yang di gunakan atau
dipublikasikan ke masyarakat sama persis dengan desain logo Asics Tiger
terutama dari segi komposisi garis dan konfigurasinya.
Logo Asics yang diduplikasi sangat mirip secara substansial dengan Hak
Cipta yang dimiliki oleh Asics Corporation sehingga dapat dikatakan bahwa
Hak Cipta tersebut di duplikasi secara langsung oleh Lion Hian Fa sebagai
pencipta dan Theng Tjhing Djie sebagai pemilik Hak Cipta, ciptaan tersebut
bukanlah ciptaan yang orisinil karena bukan berasal dari hasil karya buah pikir
Lion Hian Fa, hal mana yang bertentangan dengan pasal 1 butir 3 jo pasal 37
ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang
menyatakan bahwa Ciptaan adalah hasil setiap karya cipta yang menunjukkan
keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni atau sastra (Pasal 1 butir
3). Serta menurut Pasal 37 ayat (1) yang menyatakan bahwa Pendaftaran
ciptaan dalam daftar umum ciptaan dilakukan atas permohonan yang diajukan
oleh pencipta atau pemegang Hak Cipta atau kuasanya.
Seni lukis logo Asics Tiger tersebut saat ini digunakan dalam logo sepatu
yang di produksi oleh Asics Corporation. Seni lukis logo tersebut merupakan
ciri kas dari perusahan yang telah berdiri sejak tahun 1949 yang terkenal di
57

berbagai negara seperti Amerika Serikat, Canada Berasil, Negara-negara


Eropa, Australia, China, Hongkong, Taiwan dsb. Seni lukis logo Asics
memiliki karya seni yang simple dan mudah diingat oleh kalangan masyarkat.
Beberapa jenis seni lukis logo Asics serta variasinya adalah sebagai berikut:

D. Analisis Peneliti

Dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 189 K/ Pdt/.Sus-HKI (H.C)/2013


yang pada intinya menolak permohonan kasasi oleh Asics Corporation asal Jepang
tersebut berlandasan pada publikasi dari apa yang menjadi objek sengata (seni lukis
logo strip, logo a dan variasinya). Publikasi yang dilakukan oleh Asics Corporation
dilaukan pada event Olympiade Mexico di tahun 1968 yang digunakan oleh para
atlit dalam event tersebut mengandung seni lukis logo strip ini.
Asics Corporation telah mempublikasikan pertama kali dalam katalog produk
dan mendaftarkan berbagai seni lukis logo strip beserta variasinya sebagai desain
dan merek diberbagai negara termasuk Indonesia pada tahun 1966. Sebagaimana
diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 19 Thun 2002 Tentang Hak Cipta
yang menyatakan bahwa jika suatu badan hukum mengumumkan bahwa ciptaan
berasal daripadanya dengan tidak menyebut seseorang sebagai penciptanya, badan
hukum tersebut dianggap sebagai penciptanya. Jika dicermati lebih dalam lagi pasal
35 ayat (4) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, yang
menyebutkan bahwa ketentuan pendaftaran ciptaan tidak merupakan kewajiban
untuk mendapatkan Hak Cipta, maka perlindungan hukum terhadap Hak Cipta
mutlak diberikan kepada seseorang yang berhak mendapatkannya, karena pada
dasarnyan perlindungan Hak Cipta timbul secara otomatis (Automatically
58

Protection) sejak ciptaan tersebut diwujudkan dalam bentuk nyata, tanpa harus
melalui prosedur pendaftaran.
Pendaftaran ciptaan bukan merupakan suatu keharusan bagi pencipta atau
pemegang Hak Cipta, dan timbulnya perlindungan Hak Cipta suatu ciptaan dimulai
sejak ciptaan itu ada dan atau terwujud dan bukan karena pendaftaran. Hal ini
berarti suatu ciptaan baik yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar tetap
dilindungi. Namun demikian, surat pendaftaran ciptaan dapat dijadikan sebagai alat
bukti awal di pengadilan apabila timbul sengketa di kemudian hari terhadap ciptaan.
Hak yang sangat berkaitan dengan Hak Cipta adalah hak moral dan ekonomi
yang melekat secara pribadi pada pencipta suatu Hak Cipta. Salah satu dari hak
moral adalah tetap mencantumkan nama pencipta atau sebaliknya dalam publik,
pencipta bebas untuk merubah dan mengganti ciptaannya dalam bentuk yang lebih
sempurna dan lain sebagainya. Hal tersebut diatur dalam pasal 5 Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta.
Menurut ketentuan penjelasan Pasal 5 Ayat (2) Undang-Undang Hak Cipta
Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta bahwa pada prinsipnya Hak Cipta
diperoleh bukan karena pendaftaran tetapi dalam hal terjadi sengketa di pengadilan
mengenai ciptaannya yang terdaftar dan yang tidak terdaftar sebagaimana dimaksud
pada ketentuan Ayat (1) huruf a dan b serta apabila pihak-pihak yang
berkepentingan dapat membuktikan kebenaran dan hakim dapat menentukan
pencipta yang sebenarnya berdasarkan pembuktian tersebut.
Dalam kasus ini Pemggugat sangat keberatan dan dirugikan dengan
pendaftaran Hak Cipta nomor 012405, 012406, 015299 dan 018085 yang telah
terdaftar atas nama pencipta. Jelas bahwa Penggugat adalah pencipta dan/atau
pemegang Hak Cipta atas seni lukis logo maupun variasi-variasinya berdasarkan
pola pikir dari pencipta, kreatifitas dan seni dari para penciptanya sehingga
terciptalah lukisan dan logo yang unik dan mempunyai karakteristik tertentu.
Bahwa pada dasarnya perlindungan terhadap ciptaan hanya diberikan kepada
pihak yang pertama kali mengumumkan ciptaannya kepada masyarkat, baik yang
diumumkan dalam bentuk penjualan dan peredaran ciptaan atau barang yang
didalamnya mengandung ciptaan maupun dalam bentuk pengumuman melalui
59

media massa dan atau bentuk-bentuk pengumuman lainnya kepada masyarakat luas
sehingga ciptaan tersebut dapat dilihat, dibaca dan didengar.
Penggugat sebagai pencipta atas seni-seni lukis logo strip memiliki hak moral
yang harus dilindungi berupa hak untuk dicantumkan Namanya (hak distribusi),
hak untuk diminta ijinnya dari berbagai bentuk perubahan (hak integritas) atas seni-
seni lukis strip. Sebagaimana telah di atur dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor
19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta.
Penggugat sebagai pemegang Hak Cipta dan seni-seni lukis logo yang
diperlihatkan beserta variasinya, memiliki hak eksklusif atas ciptaan-ciptaan
tersebut dan oleh karenanya berhak menggunakan sendiri, memberikan ijin dan
bahkan melarang pihak-pihak lain yang tanpa seijinnya mengumumkan atau
memperbanyak ciptaan-ciptaan tersebut dalam berbagai cara dan media,
sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Unang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang
Hak Cipta.
Beberapa alasan Tergugat yang keberatan atas gugatan yang diajukan oleh
Penggugat yaitu bahwa dengan terdaftarnya ciptaan logo atas nama Tergugat II,
maka Tergugat II secara hukum dapat dianggap sebagai pencipta atau pemegang
Hak Cipta yang mempunyai hak ekslusif untuk mengumumkan, memperbanyak
atau memberi izin atas ciptaan.
i. Bahwa unsur-unsur yang menjadi indicator atau syarat formal diajukan sebagai
gugatan pembatalan pendaftaraan ciptaan yaitu :
ii. Bahwa Penggugat harus membuktikan terlebih dahulu sebagai pihak yang
dikategorikan sebagai pencipta atau pemegang Hak Cipta yang sebenarnya
iii. Bahwa Penggugat dapat menjelaskan dan membuktikan secara factual kapan
pertama kali ciptaan tersebut diumumkan atau dipublikasikan.
iv. Bahwa Penggugat harus membuktikan bagaimana ciptaan tersebut dibuat atau
diciptakan.

Bahwa untuk menentukan siapa pencipta atau pemegang Hak Cipta yang
sebenarnya atas suatu pencipta maka dikatakan sebagai pencipta yaitu seseorang
atau beberapa orang secara Bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu
ciptaan berdasarkan kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan atau
60

keahlian yang dituangkan kedalam bentuk yang kas atau bersifat pribadi, sedangkan
pemegang Hak Cipta adalah pencipta sebagai pemilik Hak Cipta, atau pihak yang
menerima hak tersebut dari pencipta, atau pihak lain menerima lebih lanjut dari
pihak yang menerima hak tersebut.

Bahwa dengan demikian berdasarkan ketentuan tersebut, Penggugat memiliki


kewajiban untuk membuktikan secara factual tentang kapan dan di mana ciptaan
tersebut diciptakan, sehingga memenuhi syarat formal untuk mengajukan gugatan
sebagai pihak yang berhak atas suatu ciptaan.

Pendapat peneliti mengenai kasus sengketa logo Asics Tiger menimbulkan


pro dan kontra sehingga banyak pandangan mengenai Hak Cipta. Bahwa
pendaftaran ciptaan bukan keharusan bagi pencipta atau pemegang Hak Cipta untuk
mendapatkan perlindungan hukum. Pemerintah Indonesia sebagai negara yang
telah meratifikasi Perjanjian TRIPS melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984
dan juga Berne Convention for the Protection of Artistic and Literary Works
melalui Keppres Nomor 18 Tahun 1997 dan World Intelectual Property
Organization Copyrights Treaty melalui Keppres Nomor 19 Tahun 1997 harus
mengakui dan memberikan perlindungan bagi ciptaan-ciptaan baik yang terdaftar
maupun tidak terdaftar, sebagaimana diatur dalam Pasal 35 ayat (4) Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.

Dalam putusan kasasi pihkak Tergugat II memberi keterangann di muka


pengadilan bahwa Tergugat II mengetahui asal-usul ciptaan logo Asics Tiger dan
logo variasi-variasinya berasal dari Jepang sejak tahun 1970 dan bahwa Tergugat
II mengajukan pendaftaran ciptaan tersebut semata-mata untuk mencegah gugatan
dari pihak lainnya agar seni lukis logo tersebut tidak dijiplak oleh orang lain. Harry
Susanto dan Setyadi Budhiarto yang telah mengakui secara tegas bahwa Asics Tiger
adalah milik Jepang sejak tahun 1970 dan bahkan pernah menjadi pemegang lisensi
dari perusahaan Penggugat di Indonesia.

Putusan Hakim pada kasus tersebut tidak cermat dalam pertimbangan


hukumnya karena telah mengabaikan bukti-bukti Tergugat yang tidak satupun
61

dapat membuktikan bahwa Tergugat telah mengumumkan ciptaannya sebelum


Penggugat. Bukti-bukti Tergugat hanya menunjukkan surat pencatatn Hak Cipta
nomor 012405, 012406, 015299 dan 018085 yang diajukan paling awal sejak
taahun 1994 dan dalam surat tersebut dinyatakan ciptaan-ciptaan tersebut
diumumkan di Indonesia paling awal sejak tahun 1983. Tidak ada satupun bukti
mengenai pengumuman Hak Cipta dalam perkara ini. Penggugat yang dapat
dibuktikan dengan bukti-bukti Penggugat yang dapat ditelusuri sejak tahun 1976.

Pada kasus tersebut sudah dijelaskan dalam Al Quran surat An Nisa ayat 29
yang berbunyi:

Artinya: “wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta kamu
di antara kamu dengan jalan yang bathil kecuali dengan jalan perniagaan yang
berdasarkan kerelaan di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh diri kamu,
sesungguhnya Allah Maha Penyayang Kepadamu.”

Yang dimaksud “makan” disini adalah segala bentuk tindakan, baik


mengambil atau menguasai sesuatu yang bukan miliknya. Ayat tersebut telah
menjelaskan bahwa Hak Cipta merupakan hasil pola pikir manusia berbentuk
desain gambar atau logo yang dapat dilihat oleh banyak orang dan dipatenkan oleh
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Hasil karya tersebut tidak dapat
ditiru atau dijiplak oleh orang lain tanpa ijin pencipta logo.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil yang telah dipaparkan oleh peneliti maka kesimpulan
yang dapat diambil oleh peneliti adalah :
1. Logo merupakan salah satu karya seni yang termasuk dalam ruang
lingkup Hak Cipta yang harus dilindungi. Perlindungan hukum
terhadap pemegang Hak Cipta logo terdapat pada Pasal 40 Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta bahwa semua ciptaan
dalam berbagai bidaang mendapat perlindungan hukum dalam ruang
lingkup Hak Kekayaan Intelektual. Menurut Pasal 65 Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta menyatakan bahwa
pencatatan ciptaan tidak dapat dilakukan terhadap seni lukis yang
berupa logo atau tanda pembeda yang digunakan sebagai merek dalam
perdagangan barang/jasa atau digunakan sebagai lambang organisasi,
badan usaha, atau badan hukum. Perlindungan hukum tersebut tidak
maksimal karena jika logo tidak dicatatkan, maka pembuktian siapa
yang lebih dulu menciptakan suatu ciptaan logo tersebut sangat sulit,
tidak tercatat siapa pemegang haknya dan sangat berpotensi
menimbulkan plagiasi dan duplikasi serta publikasi kepada masyarakat
tanpa seizin pemegang Hak Cipta atau pencipta. Tidak dicatatkannya
Hak Cipta logo tersebut tidak mendukung pemenuhan hak moral dan
hak ekonomi yang sangat melekat pada Hak Cipta.
2. Ciptaan berupa logo tidak dapat dicatatkan dan sebagai akibatnya
ciptaan berupa logo tidak mendapatkan petikan resmi atas ciptaannya.
Hal ini mengancam perlindungan terhadap ciptaan logo yang telah
dibuat oleh orang yang berasal dari imajinasi dan pola pikirnya
berpotensi dijiplak atau diplagiasi dan diakui sebagai ciptaan pihak lain.
Ketika ada pihak lain yang melakukan plagiasi maka pembuktiannya
akan sulit karena siapa yang lebih dulu menciptakan logo tersebut.

62
63

Pencatatan Hak Cipta logo apabila tidak dicatatkan akan mengancam


perlindungan pemegang Hak Cipta logo dan pembuktiannya yang sulit.
3. Penyelesaian sengketa ciptaan logo dapat dilakukan dengan dua cara
yaitu di Pengadilan daan diluar Pengadilan. Penyelsaian di Pengadilan
hanya dapat dilakukan di Pengadilan Niaga, akan tetapi jika para pihak
ingin meminta penetapan sementara ke Pengadilan seperti penyitaan
barang sengketa dan lain sebagainya, maka syaratnya adalah
melampirkan bukti kepemilikan Hak Cipta atau hak terkait. Ketentuan
ini sulit untuk diterapkan pada sengketa Hak Cipta logo yang tidak
dapat dicatatkan. Selain itu juga ketentuan tata cara pembuktian Hak
Cipta yang tidak dapat dicatatkan. Selanjutnya penyelesaian sengketa
diluar Pengadilan dapat dilakukan dengan menggunakan alternatif
penyelesaian sengketa yaitu mediasi, negoisasi, konsiliasi dan arbitrase.
Ketentuan alternatif penyelesaian sengketa tersebut lebih sempit apa
yang sudah diatur dalam Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 yang menentukan bahwa alternatif penyelesaian sengketa
dapat dilakukan dengan cara konsultasi, negoisasi, mediasi, konsiliasi,
atau penilaian ahli.

B. Rekomendasi

Dari kesimpulan yang telah dipaparkan oleh peneliti maka


dikemukakan beberapa rekomendasi sebagai berikut :

1. Hak Cipta logo seharusnya dapat dicatatkan atau diatur mekanisme lain
agar jelas siapa pemegang dan pencipta ha katas logo tersebut dan lebih
banyak lagi orang berkreasi dan berimajinasi dalam membuat kreasi
logo yang dapat menghasilkan pundi-pundi rupiah. Hal tersebut jelas
memberikan perlindungan bagi pemegang Hak Cipta. Jika tidak
dicatatkan, maka Hak Cipta logo bisa menimbulkan sengketa dan
pembuktinnya akan sulit siapa pemegang atau penciptanya karena tidak
ada surat pendaftaran ciptaan.
64

2. Direktorat Jendral Kekayaan Intelektual seharusnya memberikan


keadilan kepada pencipta dan pemegang Hak Cipta yang telah
berimajinasi dan mengeluarkan kemampuannya untuk menciptakan
sesuatu yang baru dalam bentuk ilmu pengetahuan, sastra dan seni.
Memberikan perlindungan agar karya yang diciptakan tidak dijiplak
atau diplagiasi oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab dan
menjadikan Hak Cipta tersebut keuntungan berupa materil.
3. Penyelesaian sengketa diluar Pengadilan seharusnya bisa lebih
diutamakan seperti yang diatur dalam Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 yang menentukan bahwa alternatif penyelesaian
sengketa dapat dilakukan dengaan cara konsultasi, negoisasi, mediasi,
konsiliasi atau penilaian ahli.
65

Daftar Pustaka

Buku :

Asshiddiqie, Jimly dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum,
Jakarta: Sekertariat Jendral Kepaniteraan MK RI, 2006.

Damian, Eddy , Hukum Hak Cipta, Bandung: Alumni, 2009.

Darmohardjo, Dardji dan Shidarta., Pokok-pokok filsafat hukum: apa dan


bagaimana filsafat hukum Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2006.

Diantha I Made Pasek, Metodologi Penelitian Hukum Normatif dalam


Justifikasi Teori Hukum, Jakarta: Prenada Media Group, 2016.

Dirdjosisworo, Soedjono, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo


Persada, 2008.

Djumhana Muhamad dan Djubaedillah, Hak Milik Intelektual: Sejarah Teori


dan Praktiknya di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997.

Hans Kelsen , General Theory of Law and State, diterjemahkan oleh Rasisul
Muttaqien, (Bandung: Nusa Media), 2011.

Hariani, Iswi Prosedur Mengurus HAKI Yang Benar, Yogyakarta: Pustaka


Yustisia, 2010.

Hasyim, Farida, Hukum Dagang, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.


66

Jened, Rahmi Hak Kekayaan Intelektual Penyalahgunaan Hak Eksklusif,


Surabaya: Airlangga University Press, 2007.

, Hukum Merek (dalam Era Globalisasi dan Integrasi


Ekonomi), Jakarta: Kencana, 2015.

Kotler, Philip dan Keller, Manajemen Pemasaran. Terjemahan Bob Sabran .


Jakarta: Erlangga, Edisi ke 13 Jilid 1. 2009.

Margono, Sayud, Hukum Hak Cipta Indonesia, Bogor : Ghalia Indonesia,


2010.
, Aspek Hukum Komersialisasi Asset Intelektual, Bandung:
Nuansa Aulia , 2010.

Marzuki, Peter Mahmud , Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana, cet-IV, 2010.

Mayana Ranti Fauza , Perlindungan Desai Industri Di Indonesia Dalam Era


Perdagangan Bebas, Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia,
2004.

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta:


Liberty, 2005.

, Penemuan Hukum, Bnadung: Citra Aditya Bakti, 2009.

Purwaka, Tommy Hendra, Perlindungan Merek, Jakarta: Yayasan Pusaka


Obor Indonesia, 2017.

Putra Syopiansyah Jaya dan Yusuf Durachman, Etika Bisnis dan Hak
Kekayaan Intelektual, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009.
67

Rahardjo, Satjipto Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Jakarta: Kompas, 2003.

, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, Cetakan ke-v,


2000.

Riswandi, Budi Agus dan Syamsudin, Hak Kekayaaan Intelektual dan Budaya
Hukum, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004.

Rustan, Surianto, Mendesain Logo, Yogyakarta; CV.Andi Offset.


Jakarta:Gramedia. 2013.

Saliman Abdul Rasyid , Hukum Bisnis Untuk Perusahaan, Jakarta: Kencana,


2005.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu


Tinjauan Singkat, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2011.

Soelistyo,Henry, Hak Cipta Tanpa Hak Moral, Jakarta: Rajawali Pers, 2011.

, Plagiarisme: Pelanggaran Hak Cipta dan Etika, Yogyakarta:


Kanisius, 2011.

Supramono, Gatot Hak Cipta dan Aspek-Aspek Hukumnya, Jakarta: Rineka


Cipta, 2010

Sutedi, Adrian, Hak Atas Kekayaan Intelektual, Jakarta : Sinar Grafika, 2013.

Syarifuddin, Perjanjian Lisensi dan Pedaftaran Hak Cipta, Bandung: Alumni,


2013.

Jurnal :
68

Faiz Pan Mohamad, Teori Keadilan John Rawls, dalam jurnal konstitusi,
volume 6 nomor 1, April 2009

Widyanto Ishak Bima, Jurnal Perlindungan Hukum dan Penyelesaian


Sengketa bagi Pemegang Hak Cipta Logo, 2016.

Yustisia, “Konsep Perlindungan Hak Cipta Intelektual Dalam Ranah Hukum


Hak Kekayaan Intelektual (Studi Kritis Pembajakan Karya Cipta Musik
Dalam Bentuk VCD dan DVD. Vol. 4, 3, 2015.

Zae, “Open Source, Indonesia Go Open source (IGOS), dan Penghormatan


HKI” 2005. Hukumonline, 25 Juli 2005.

Website :

Direktorat Hak Kekayaan Intelektual, http://www.dgip.go.id

https://news.detik.com/berita/d-3521502

https://news.detik.com/berita/3520158

http://www.spengetahuan.com/2017/07/pengertian-logo-fungsi-logo-jenis-
logo-aspek-logo-terlengkap.html

https://id.wikipedia.org/wiki/Sumber_terbuka

https://id.wikipedia.org/wiki/ASICS

https://roysetiawan007.wordpress.com/2015/03/27/sejarah-sepatu-asics
69

Undang-Undang :

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak


Cipta.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak


Cipta.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan


Indikasi Geografis.

Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 48/Hak Cipta/ PN.


Niaga.Jkt.Pst.

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 189 K/Pdt.Sus-HKI


(H.C)/2013.
70

Anda mungkin juga menyukai