Anda di halaman 1dari 99

AKIBAT HUKUM KEPAILITAN TERHADAP KARYAWAN

(Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 186 K/Pdt.Sus-Pailit/2015


juncto Nomor 557 K/Pdt.Sus-Pailit/2018)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat


Menyelesaikan Program Strata Satu (S_1) Ilmu Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Mpu Tantular

Oleh :

SOFIA MANIK

No. Pokok : 193300040044

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MPU TANTULAR
JAKARTA
2023
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : SOFIA MANIK


No. Pokok : 193300040044
Program Studi : Ilmu Hukum
Program Kekhususan : Perdata
Judul Skripsi : Akibat Hukum Kepailitan Terhadap Karyawan (Analisis
Putusan Mahkamah Agung Nomor 186 K/Pdt.Sus-
Pailit/2015 juncto Nomor 557 K/Pdt.Sus-Pailit/2018)
Tanggal Ujian Skripsi :
Waktu :
Tempat : Universitas Mpu Tantular

TIM PENGUJI

1. ……………………………. Penguji I ……………………….


2. ……………………………. Penguji II……………………….
3. ……………………………. Penguji III………………………

Diketahui,
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Mpu Tantular

Dr. Suyud Margono, SH., M.Hum,. FCIArb

ii
LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI

Nama : SOFIA MANIK


No. Pokok : 193300040044
Program Studi : Ilmu Hukum
Program Kekhususan : Perdata
Judul Skripsi : Akibat Hukum Kepailitan Terhadap Karyawan (Analisis
Putusan Mahkamah Agung Nomor 186 K/Pdt.Sus-
Pailit/2015 juncto Nomor 557 K/Pdt.Sus-Pailit/2018)

Jakarta, Mei 2023


Mengetahui, Menyetujui
Ketua Program Studi Ilmu Hukum, Pembimbing Materi (I)

Dr. Ina Heliany, SH., MH. Dr. Ina Heliany, SH., MH.
Pembimbing Teknis (II)

Setia Jaya, SIP., SH., MM., MH.

iii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang menyatakan dengan sesungguhnya bahwa Skripsi yang telah saya
susun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana dari Fakultas Hukum
Universitas Mpu Tantular seluruhnya merupakan hasil karya saya sendiri.
Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan Skripsi yang saya kutip dari
hasil karya sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu saya bersedia
menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan sanksi-sanksi
lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Jakarta, 19 Mei 2023

Sofia Manik

iv
KATA PENGHANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
yang telah memberikan berkat dan rahmat yang berlimpah sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas akhir berupa penulisan skripsi dengan judul “Akibat Hukum
Kepailitan terhadap Karyawan (Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 186
K/Pdt.Sus-Pailit/2015 juncto Nomor 557 K/Pdt.Sus-Pailit/2018)” dengan baik dan
tepat pada waktunya.
Adapun penulisan hukum ini disusun untuk memenuhi sebagian
syarat dalam menyelesaikan program Strata Satu (S1) Ilmu Hukum pada Fakultas
Hukum Universitas Mpu Tantular. Dalam penyusunan tugas akhir ini penulis banyak
mendapat arahan, bimbingan, serta dukungan dari berbagai pihak, maka dari itu, pada
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Orang tua tercinta, Ibu Rosmina Silalahi dan Suami tercinta Edward Sinambela
SH.CLA., yang dengan sabar senantiasa memberi bimbingan, semangat,
dukungan baik moral maupun materi, serta doa kepada penulis sehingga
penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum ini.
2. Sahabat terbaik saya Astrid Eka Deva, Ronny Pangihutan Simanjuntak, Murni
Ewanan, Feri Evandani Saragih dan teman-teman yang lain yang dengan sabar
senantiasa memberi semangat dan dukungan baik moral maupun materi, serta
doa kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum
ini.
3. Dr. FX. Suyud Margono, SH., M. Hum,. FCIArb selaku dekan Fakultas
Hukum Universitas Mpu Tantular, atas perhatian dan bantuannya selama
penulis menjalani masa pekuliahan.
4. Dr. Ina Heliany, SH., MH, selaku ketua program studi Ilmu Hukum
Universitas Mpu Tantular sekaligus menjadi pembimbing skripsi I yang
dengan sabar atas segala kekurangan penulis terus membimbing penulis dalam
pembuatan materi dalam penulisan hukum ini dari awal hingga
terselesaikannya penulisan hukum ini.

v
5. Setia Jaya, SIP., SH., MM., MH, selaku pembimbing skripsi II yang dengan
sabar atas segala kekurangan penulis terus membimbing penulis dalam
menyusun penulisan hukum ini dari awal hingga terselesaikannya penulisan
hukum ini.
6. Seluruh dosen Fakultas Hukum Universitas Mpu Tantular, yang telah
memberikan bekal ilmu kepada penulis selama masa perkuliahan.
7. Ibu Risma Tambunan yang selalu memberikan semangat dan dukungan kepada
penulis sehingga penulisan hukum ini dapat terselesaikan dengan baik.
8. Seluruh pihak yang telah membantu terselesaikannya penulisan hukum ini
yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa dalam penyusunan penulisan


hukum ini banyak terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna, maka dari itu
penulis mengharapkan masukan yang bersifat membangun atas penulisan hukum ini
sehingga penulis dapat menghindari kesalahan yang sama dikemudian hari. Semoga
penulisan hukum ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Jakarta, 19 Mei 2023

Sofia Manik

vi
ABSTRAK

Sofia Manik (193300040044),


Akibat Hukum Kepailitan Terhadap Karyawan (Analisis Putusan Mahkamah
Agung Nomor 186 K/Pdt.Sus-Pailit/2015 juncto Nomor 557
K/Pdt.Sus-Pailit/2018)

Pailit merupakan suatu keadaan dimana debitor tidak mampu untuk melakukan
pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para kreditornya. Masalah akan
timbul ketika perusahaan yang mempekerjakan pekerja/karyawan tersebut dinyatakan
pailit (bankrupt) oleh putusan Pengadilan Niaga. Perusahan tidak lagi menjadi pihak
yang memenuhi hak-hak atas kesejahtraan bagi karyawan, melainkan telah berpindah
kepada kurator. Berdasarkan paparan diatas maka skripsi ini meneliti tentang
Bagaimana pertimbangan Mahkamah Agung terhadap Karyawan PT. United Coal
Indonesia akibat putusan pailit, berdasarkan hukum kepailitan di Indonesia?
Bagaimana implikasi putusan kasasi Mahkamah Agung terhadap karyawan ketika
perusahaan di nyatakan pailit? Metode penelitian yang dipergunakan dalam penulisan
skripsi adalah yuridis normatif. Berdasarkan kesimpulan diketahui bahwa
Pertimbangan hukum Mahkamah Agung terhadap karyawan PT. United Coal
Indonesia (dalam pailit), bahwa dalam pembuktian pembagian akhir harta pailit yang
dilakukan oleh kurator telah tepat dalam melakukan tugasnya sesuai dengan asas
keadilan, peraturan perundang-undangan dan telah sesuai dengan amar Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU/XI/2013. Dalam hal perusahaan dinyatakan
pailit berdasarkan peraturan perundang-undangan upah dari karyawan/perkerja
merupakan utang yang di dahulukan pembayarannya. Posisi kedudukan karyawan
diberikan hak istimewa sebagai kreditor yang mana pemenuhan haknya merupakan
prioritas pertama sehingga PT. United Coal Indonesia harus membayar tagihan upah
karyawan/pekerja.

Kata Kunci : Kepailitan, Karyawan, Kurator, Debitor, Kreditor, Pengadilan Niaga,


Mahkamah Agung

vii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...............................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN................................................................................ii
HALAMAN PERSETUJUAN.............................................................................iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN......................................iv
KATA PENGHANTAR.........................................................................................v
ABSTRAK............................................................................................................vii
DAFTAR ISI.......................................................................................................viii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah...............................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................5
C. Tujuan Penelitian.........................................................................................5
D. Kegunaan Penelitian.....................................................................................6
E. Kerangka Konseptual...................................................................................6
F. Metode Penelitian.......................................................................................10
G. Sistematika Penulisan.................................................................................13

BAB II TINJAUAN UMUM/TINJAUAN PUSTAKA


A. Pengertian Kepailitan, Pengaturan dan Tujuan Kepailitan........................15
B. Sejarah Singkat Hukum Kepailitan di Indonesia.......................................17
C. Syarat-syarat Pengajuan Permohonan kepailitan.......................................20
D. Langkah-langkah dalam proses Kepailitan................................................20
E. Asas-Asas Hukum Kepailitan di Indonesia................................................21
F. Pihak-pihak yang dapat mengajukan Permohonan Kepailitan...................23
G. Kedudukan Buruh sebagai Kreditor dalam Kepailitan..............................24
H. Tanggung Jawab Pribadi Direksi dan Komisaris atas terjadinya pailit
Perseroan Terbatas.....................................................................................30

viii
I. Perlindungan Hukum Terhadap Buruh sebagai Kreditor...........................33

BAB III DESKRIPSI MASALAH POKOK/DATA HASIL PENELITIAN


A. Pengenalan PT. United Coal Indonesia......................................................35
B. Teori Perjanjian..........................................................................................36
C. Teori Pertimbangan Hakim........................................................................39
D. Teori Keadilan............................................................................................43

BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN/ANALISIS PUTUSAN


PENGADILAN
A. Kronologi Singkat Perkara No. 186/K/Pdt.Sus-Pailit/2015
juncto 557/K/Pdt.Sus-Pailit/2018...............................................................49
B. Tinjauan Peraturan Perundang-Undangan Nomor 37 Tahun 2004
Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
terhadap PT. United Coal Indonesia Nomor 186 K/Pdt.Sus-Pailit/2015
juncto Nomor 557 K/Pdt.Sus-Pailit/2018..................................................51
C. Pertimbangan Mahkamah Agung...............................................................55
D. Putusan Mahkamah Agung........................................................................58
E. Analisa Putusan Pailit Nomor 186 K/Pdt.Sus-Pailit/2015
juncto Nomor 557 K/Pdt.Sus-Pailit/2018..................................................59
F. Pertimbangan hukum Mahkamah Agung terhadap karyawan
PT. United Coal Indonesia akibat putusan pailit, berdasarkan
hukum kepailitan di Indonesia...................................................................64
G. Implikasi Putusan Pailit Terhadap Karyawan............................................71
H. Pemenuhan Hak Karyawan PT. United Coal Indonesia
Akibat Putusan Pailit..................................................................................76

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan................................................................................................82
B. Saran...........................................................................................................83
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................85

ix
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

x
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pada saat ini hampir tidak ada negara yang tidak mengenal hukum
kepailitan dalam hukumnya. Keadaan pailit atau bangkrut merupakan peristiwa
yang dapat terjadi pada siapa saja, baik itu dari orang perorangan maupun badan
hukum (legal entry). Kepailitan tidak mengenal siapapun pihaknya, dalam
kehidupan yang sesungguhnya kita dapati bahwa seorang milioner maupun
perusahaan multinasional juga dapat mengalami kepailitan.
Di Indonesia, secara formal, hukum kepailitan sudah ada sejak tahun
1905 dengan di berlakukannya Staatsblad 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad
1906 Nomor 348. Staatsblad 1905 Nomor 217 dan Staatsblad 1906 Nomor 348
kemudian di rubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1998, yang kemudian di terima oleh Dewan Perwakilan Rakyat
sehingga menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998. Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tersebut tentang Perubahan
atas Undang-Undang (peraturan) tentang kepailitan, yang kemudian di
sempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004.1 Undang-Undang
Kepailitan, juga di maksudkan untuk mewujudkan keadilan dan pembagian
menurut tagihan masing-masing diantara para kreditor. Di dalam hukum,
setidaknya terdapat dua pihak yang terikat oleh hubungan hukum itu, yaitu
Kreditor (creditor) dan Debitor (debitor).2
Menurut hukum kepailitan yang berlaku di negara Indonesia,
kepailitan mengakibatkan Debitor yang dinyatakan pailit kehilangan segala hak
perdata untuk menguasai dan mengurus harta kekayaan yang telah dimasukkan

1
Munir Fuady. 2017. Hukum Pailit dalam Teori & Praktek. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.
hal. 3.
2
Zainal Asikin. 2013. Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang di
Indonesia. Bandung : Pustaka Reka Cipta. hal. 20.
2

ke dalam harta pailit. “Pembekuan” hak Perdata ini di berlakukan oleh Pasal 24
ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang terhitung sejak saat kepailitan pernyataan pailit diucapkan. Mengenai
pihak yang mengajukan permohonan PKPU diatur dalam Pasal 222 sampai pasal
294 Undang-Undang Kepailitan, antara lain Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang dapat diajukan oleh debitor maupun oleh kreditor. 3 Debitor yang tidak
dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan pembayaran utang-
utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat di tagih dapat mengajukan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dengan maksud untuk mengajukan
rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh
utang kepada kreditor.
Pailit merupakan suatu keadaan dimana debitor tidak mampu untuk
melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para kreditornya.
Keadaan tidak mampu membayar lazimnya disebabkan karena kesulitan kondisi
keuangan (Financial distress) dari usaha debitor yang telah mengalami
kemunduran. Sedangkan kepailitan merupakan putusan pengadilan yang
mengakibatkan sita umum atas seluruh kekayaan debitor pailit, baik yang telah
ada maupun yang akan ada di kemudian hari. Ketidakmampuan tersebut harus
disertai dengan suatu tindakan nyata untuk mengajukan, baik yang di lakukan
secara sukarela oleh debitor sendiri, maupun untuk permintaan pihak ketiga (di
luar debitor), suatu permohonan pernyataan ke Pengadilan.4
Kepailitan merupakan suatu jalan keluar yang bersifat komersial
untuk keluar dari persoalan utang piutang yang menghimpit seorang debitor,
dimana debitor utang piutang yang menghimpit seorang debitor sudah tidak
mempunyai kemampuan lagi untuk membayar utang-utangnya tersebut kepada
para kreditornya.5 Permohonan pernyataan pailit dapat di kabulkan jika
persyaratan kepailitan telah terpenuhi: 1. debitor tersebut mempunyai dua atau

3
Jono. 2013. Hukum Kepailitan. Jakarta : Sinar Grafika. hal. 169.
4
Ahmad Yani, 2002. Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Kepailitan. Jakarta : PT
RajaGrafindo Persada. hal. 11.
5
Hadi Shubhan. 2008. Hukum Kepailitan. Jakarta : Kencana. hal. 2.
3

lebih kreditor; 2. debitor tersebut tidak membayar sedikitnya satu utang yang
telah jatuh waktu dan dapat di tagih.6
Dalam suatu negara, tidak dapat di pungkiri buruh atau
pekerja/karyawan merupakan salah satu penggerak roda perekonomian bangsa
yang memiliki pengaruh yang sangat signifikan. Adalah sebuah konsekuensi
logis, dengan tidak adanya atau dengan berhentinya pekerja/karyawan bekerja,
maka aktivitas produksi perusahaan akan terhenti dan hal itu akan
mengakibatkan terhentinya pula aktivitas produksi barang dan jasa suatu negara.
Oleh karena itu keberadaan pekerja/karyawan tidak dapat dipandang sebelah
mata dalam sistem perekonomian negara, khususnya pada negara berkembang
seperti Indonesia.
Pekerja/karyawan adalah manusia biasa, yang memiliki hasrat akan
terpenuhinya kebutuhan pokok dalam kehidupannya; sandang, pangan. Hasrat
tersebut dapat terwujud apabila buruh mendapatkan hak-haknya atas
kesejahteraan yang ada padanya, yaitu secara umum berupa pembayaran upah
ketika bekerja dan ketika berhenti bekerja. Pemberi kerja/perusahaan memiliki
tanggung jawab atas pemenuhan hak-hak tersebut, setelah sebelumnya
perusahaan telah mendapatkan hak-haknya dari buruh yaitu, kerja yang
menghasilkan barang dan/atau jasa. Pada awalnya hubungan kerja antara
perusahaan dan pekerja/karyawan hanya menyangkut kepentingan perdata, yang
dalam hal ini berarti terkait dengan aspek hukum perdata. Akan tetapi, ketika di
antara mereka terjadi perbedaan pendapat/perselisihan atau permasalahan, maka
dari sini intervensi dan otoritas Pemerintah sangat di perlukan.
Dalam hubungan pekerja/karyawan karena dilaksanakan berdasarkan
perjanjian kerja, akan timbul hak dan kewajiban antara pemberi kerja dan
penerima kerja. Pengusaha atau perusahaan memiliki hak, misalnya
mendapatkan hasil produksi barang atau jasa yang di lakukan oleh buruh.
Keadaan tersebut ada dalam kondisi normal, yakni perusahaan secara normal

6
Gunawan Widjaja. 2004. Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan. Jakarta : PT.
Raja Grafindo persada. hal. 85.
4

dan regular dapat membayar seluruh upah bagi pekerja/karyawan dan ketika
berhenti bekerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja pesangon dapat di
bayarkan juga kepada pekerja/karyawan sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan di bidang perburuhan atau ketenagakerjaan yang ada.
Dalam hal ini pekerja/karyawan ingin sekali memperjuangkan
haknya atas upah dan pesangon yang sering kali sulit untuk di dapat karena
keberadaan kreditor separatis (kreditor yang memiliki hak jaminan hutang
kebendaan), sebagai pihak yang menjadi prioritas dalam pembagian harta ketika
terjadi pailit. Dan tidak sedikit ketika suatu perusahaan yang di nyatakan pailit
berdampak besar pada kerugian yang di alami oleh karyawan terhadap
perusahaan yang di nyatakan pailit oleh Pengadilan. Karyawan hanya dianggap
sebagai kreditor, yang pembayaran utangnya di lakukan setelah utang negara
(pajak) dan utang kreditor separatis selesai di bayarkan. Dengan kata lain
pekerja/karyawan memiliki hak istimewa yang tidak lebih tinggi dari kreditor
separatis dan utang pajak.
Masalah akan timbul ketika perusahaan yang mempekerjakan
pekerja/karyawan tersebut dinyatakan pailit (bankrupt) oleh putusan Pengadilan
Niaga. Maka akan timbul persoalan karena perusahan tidak lagi menjadi pihak
yang memenuhi hak-hak atas kesejahtraan bagi karyawan, melainkan telah
berpindah kepada kurator. Perusahaan ketika masih dapat beroperasi dengan
baik, kepentingan dan hak-hak pekerja/karyawan, masih dapat di akomodasi
oleh manajemen perusahaan. Tetapi ketika perusahaan tersebut mendapatkan
terpaan krisis atau masalah keuangan (pailit) seringkali hak-hak
pekerja/karyawan tidak bisa di akomodasi lagi bahkan di lupakan oleh
manajemen perusahaan dan pihak-pihak yang di perintahkan untuk mengurusi
masalah keuangan dan asset perusahaan.7
Di Indonesia ketentuan Pasal 39 Undang-Undang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengatur mengenai akibat kepailitan
terhadap perjanjian kerja. Dari ketentuan tersebut di ketahui bahwa

7
Ali Rido. 1998. Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan
Koperasi, Yayasan Wakap. Bandung : Alumni. hal. 78.
5

pekerja/karyawan yang bekerja pada debitor dapat memutuskan hubungan kerja.


Namun pihak lain, Kurator dapat memberhentikannya dengan mengindahkan
jangka waktu menurut persetujuan atas menurut ketentuan perundang-undangan
yang berlaku.8 Kepentingan pekerja/karyawan suatu perusahaan yang dinyatakan
pailit adalah berkaitan dengan pembayaran upah dan pesangon. Maka dari itu
sangat di perlukannya perlindungan hukum terhadap pekerja atau karyawan pada
kasus kepailitan tersebut, untuk memperluas dan meningkatkan kualitas hukum
di Indonesia.
Berdasarkan latar belakang di atas ada persoalan yang menarik
karena terdapat beberapa pusaran masalah, sehingga penulis tertarik untuk
melakukan penelitian hukum dengan judul: “AKIBAT HUKUM
KEPAILITAN TERHADAP KARYAWAN (Analisis Putusan Mahkamah
Agung Nomor 186 K/Pdt.Sus-Pailit/2015 juncto Nomor 557 K/Pdt.Sus-
Pailit/2018.”

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah di uraikan diatas, maka
pertanyaan hukum yang timbul adalah:
a. Bagaimana pertimbangan Mahkamah Agung terhadap Karyawan PT.
United Coal Indonesia akibat putusan pailit, berdasarkan hukum kepailitan
di Indonesia?
b. Bagaimana implikasi putusan kasasi Mahkamah Agung terhadap karyawan
ketika perusahaan di nyatakan pailit?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian antara lain:
a. Untuk mengetahui pertimbangan hukum Mahkamah Agung terhadap
karyawan PT. United Coal Indonesia akibat putusan pailit, berdasarkan
hukum kepailitan di Indonesia.
8
Man S. Sastrawidjaja. 2010. Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang. Bandung : P.T Alumni. hal. 118.
6

b. Untuk mengetahui implikasi putusan kasasi Mahkamah Agung terhadap


Karyawan ketika perusahaan di nyatakan pailit.

D. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat memberikan manfaat
berupa konstribusi yang bersifat teoritis maupun yang bersifat praktis yaitu
sebagai berikut :
a. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penulisan ini adalah sebagai bahan kajian dan acuan
bagi pengembangan wawasan ilmu hukum pada hukum kepailitan. Dengan
di lakukan penelitian ini di harapkan dapat memberikan pemikiran-
pemikiran baru bagi kalangan akademis dalam mengembangkan bidang
ilmu hukum khususnya hukum kepailitan.
b. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini di harapkan dapat bermanfaat bagi kalangan
praktisi baik para pelaku ekonomi maupun para pembuat Undang-Undang
(law maker). Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi
para pembuat kebijakan dan
Undang-Undang dalam menyusun suatu pedoman atau ketentuan
yang memberikan kepastian dan dasar untuk bertindak bagi para pelaku
ekonomi (pengusaha). Penelitian ini juga di harapkan menjadi masukan
bagi para penegak hukum khususnya dalam bidang kepailitan, selain itu
juga dapat memperkaya model-model penyelesaian kasus kepailitan di
Indonesia.

E. Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual akan menjelaskan beberapa konsep terkait
teori-teori yang di gunakan di dalam penelitian ini. Menurut Lili Rasjidi, teori
hukum adalah jawaban dari pertanyaan dasar berlakunya suatu ketentuan
hukum, faktor-faktor apa yang mendasari berlakunya suatu peraturan hukum,
7

bagaimana daya berlakunya, dan dapatkah hukum itu dikembangkan.9 Agar tidak
terjadi kekaburan dan kerancuan dalam memahami teori-teori penulisan skripsi
ini yaitu sebagai berikut:
1. Teori Perjanjian
Istilah perjanjian berasal dari bahasa Belanda yaitu overeenkomst,
dan dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah contract/agreement. Salah
satu bentuk hukum yang berperan nyata dan penting bagi kehidupan
masyarakat adalah Hukum Perjanjian. Pasal 1313 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUH Perdata) menyatakan “suatu perjanjian adalah suatu
perbuatan yang mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
satu orang lain atau lebih”. Pasal 1 angka 14 Undang-Undang No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa “Perjanjian kerja
adalah perjanjian antara pekerja atau buruh dengan pengusaha atau
pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para
pihak”.
Dalam suatu hubungan antara dua orang atau lebih tersebut yang
dinamakan perikatan. Setiap perjanjian itu akan menimbulkan suatu
perikatan antara dua orang atau lebih yang membuatnya. Hubungan atau
kaitannya antara pekerja dan perusahaan sejatinya sangat erat, hal tersebut
tercipta karena adanya perjanjian kerja antara kedua belah pihak.
Hubungan tersebut dapat tercipta karena adanya sifat yang saling
membutuhkan. Perusahaan ada hanya apabila buruh ada, demikian juga
sebaliknya, buruh ada karena adanya pemberi kerja. Kepentingan
perusahaan adalah untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal.
Sedangkan, kepentingan buruh adalah upah yang maksimal.
2. Teori Kepailitan
Kepailitan menurut undang-undang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 yaitu sita umum atas semua kekayaan Debitor
Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di

9
Lili Rasjidi, 2010. Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum. Bandung : Madar Maju. hal.
35
8

bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-


Undang ini. Kepailitan dimaksud untuk menghindari terjadinya sitaan
terpisah atau eksekusi terpisah oleh kreditor dan menggantikannya dengan
mengadakan sitaan bersama sehingga kekayaan debitor dapat dibagikan
kepada semua kreditor sesuai dengan hak masing-masing.10
Syarat bagi debitor untuk dinyatakan pailit adalah:11
1. Debitor terhadap siapa permohonan itu diajukan harus paling
sedikit mempunyai dua kreditor atau dengan kata lain harus
memiliki lebih dari satu kreditor;
2. Debitor tidak membayar sedikitnya satu utang kepada salah satu
kreditornya;
3. Utang yang tidak dibayar itu harus telah jatuh waktu dan telah dapat
ditagih.
Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang Indonesia secara fundamental menganut teori
universalitas kepailitan yang diadopsi dari Pasal 1131 dan 1132 KUH
Perdata yang menganut tentang pembayaran secara pari pasu dan pro rata
parte. Prinsip collective executive terkandung dalam Pasal 21, Pasal 59,
Pasal 178 dan 178 Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang yang mengatur seluruh harta debitor berada di bawah
sita umum sejak debitor dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga.
3. Teori Ketenagakerjaan
Menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan adalah segala hal yang
berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan
sesudah masa kerja. Defenisi Ketenagakerjaan tersebut dapat di temukan
dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan. Karyawan/buruh adalah setiap orang yang bekerja

10
Imran Nating. 2005. Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan
Pemberesan Harta Pailit, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. hal. 9.
11
Bagus Irawan. 2007. Aspek-Aspek Hukum Kepailitan Perusahaan dan Asuransi Analisis
Yuridis tentang Kepailitan Perusahaan dan Asuransi Manulife dan Prudential. Bandung : PT.
Alumni. hal. 36.
9

dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Defenisi Pekerja
atau buruh tersebut dapat di temukan dalam Pasal 1 angka 4 Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan,
Pekerja/karyawan/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan
menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.12
Berdasarkan ketentuan Pasal 95 Ayat (4) Undang-Undang
Ketenagakerjaan yang menyatakan “Dalam hal perusahaan dinyatakan
pailit atau likuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, maka upah hak-hak yang lainnya dari pekerja/buruh merupakan
utang yang di dahulukan pembayarannya” Berdasarkan penjelasan pasal
tersebut menyatakan bahwa saat perusahaan dinyatakan pailit, maka upah
dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang di
dahulukan pembayarannya. Tagihan pembayaran upah buruh di
kategorikan sebagai hak istimewa umum, sehingga buruh/tenaga kerja
dapat di kategorikan sebagai kreditor preferen pemegang hak istimewa
umum.
4. Teori Pertimbangan Hakim
Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam
menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung
keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian hukum, di
samping itu juga mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan
sehingga pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan teliti, baik, dan
cermat. Apabila pertimbangan hakim tidak teliti, baik, dan cermat, maka
putusan hakim yang berasal dari pertimbangan hakim tersebut akan
dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung.13
Menurut Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, Hakim Pengawas adalah hakim yang di tunjuk oleh
Pengadilan dalam putusan pailit atau putusan penundaan kewajiban
12
Zainal Asikin. 2004. Dasar-Dasar Hukum Perburuhan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
hal 41.
13
Mukti Arto. 2004. Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar. hal.140.
10

pembayaran utang. Defenisi hakim pengawas sebagai hakim yang ditunjuk


oleh pengadilan sebagaimana seperti hal diatas dapat ditemukan dalam
Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Dalam Undang-Undang Kepailitan menjelaskan mengenai Asas
Keadilan dimana dalam kepailitan asas keadilan mengandung pengertian,
bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi
para pihak yang berwenang. Asas keadilan ini mencegah terjadinya
kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran
atas tagihan masing-masing terhadap Debitor, dengan tidak
memperdulikan Kreditor lainnya.

F. Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini di butuhkan data yang akurat, yang
berasal dari studi dokumentasi untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang
ada pada skripsi ini. Oleh karena itu penelitian yang di gunakan adalah :
1. Jenis dan Sifat penelitian
Jenis penelitian ini yaitu penelitian kualitatif yang merupakan
penelitian tentang riset yang bersifat deskriptif dan cenderung
menggunakan analisis. Menggunakan bahan hukum sebagai rujukan.
Dalam penelitian ini, menggunakan metode penelitian yuridis normatif.
Pendekatan yuridis normatif di lakukan dengan cara menelaah dan
menginpretasikan hal-hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas,
konsepsi, doktrin, dan norma hukum yang berkaitan dengan akibat dari
kepailitan Perseroan Terbatas terhadap karyawan yang bekerja di
perusahaan tersebut.
Pendekatan yuridis disini menekankan dari segi perundang-undangan
dan peraturan-peraturan serta norma-norma hukum yang relevan dengan
permasalahan ini, yang bersumber pada yang di lakukan dengan melihat
kenyataan yang ada dalam praktek yang menyangkut prosedur dalam
11

pelaksanaan pailit atas Badan Usaha Milik Swasta yaitu Perseroan


Terbatas.
Pendekatan yuridis normatif mengacu pada peraturan perundang-
undangan dan keputusan pengadilan, penelitian hukum normatif mencakup
asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum dan sinkronisasi
hukum serta penelitian terhadap sejarah dan perbandingan hukum,14 yang
mengatur tentang akibat kepailitan atas badan hukum berbentuk Perseroan
Terbatas terhadap karyawan yang bekerja di Perusahaan tersebut.
2. Spesifikasi Masalah
Spesifikasi masalah yang di gunakan penulis dalam penelitian ini
adalah deskriptif analisis, yaitu menggambarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku yang di kaitkan dengan teori-teori hukum dan
praktek pelaksanaan hukum positif yang menyangkut perusahaan diatas.
Data yang di peroleh dari penelitian, di usahakan memberikan
gambaran atau mengungkapkan berbagai faktor yang di pandang erat
hubungannya dengan gejala-gejala yang di teliti, kemudian akan di analisa
mengenai penerapan atau pelaksanaan peraturan perundang-undangan
serta ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan kepailitan terhadap PT.
United Coal Indonesia yang berdampak kepada hak-hak karyawan.
3. Sumber Data dan Bahan Hukum
Data yang di gunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder.
Data sekunder dalam penelitian hukum merupakan data yang di peroleh
dari hasil penelaahan atau bahan Pustaka yang berkaitan dengan
permasalahan atau materi penelitian yang di sebut bahan hukum.15
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif yang artinya memiliki otoritas. Bahan-bahan hukum
primer meliputi perundang-perundangan, catatan-catatan resmi atau

14
Soerjono Soekanto. 2014. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : Universitas Indonesia (UI-
Press). hal 51.
15
Mukti Fajar Nur Dewata, 2010. Yulianto Ahmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris. Jakarta : Pustaka Pelajar. hal 56.
12

risalah dalam pembuatan perundang-undangan atau putusan-putusan


hukum. Bahan hukum primer yang di gunakan dalam tulisan ini
antara lain :
1) UUD 1945
2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
3) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang;
4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;
5) Undang-undang No 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan;
6) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
Terbatas;
7) Putusan Mahkamah Agung Nomor 186
K/Pdt.Sus-Pailit/2015;
8) Putusan Mahkamah Agung Nomor Nomor 557 K/Pdt.Sus-
Pailit/2018;
9) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU/XI/2013;
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang dapat
memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, yang berupa
rancangan peraturan perundang-undangan, hasil penelitian, buku,
buku teks, jurnal, media cetak dan media elektronik.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier berupa kamus bahasa maupun kamus
hukum, dan ilmu hukum yang terkait.
d. Bahan Non Hukum
Bahan Non Hukum yaitu berupa literatur yang berasal dari non
hukum yang mempunyai relevansi dengan topik penelitian berupa
kamus besar bahasa Indonesia, kamus hukum, majalah, koran,
internet, dan lainnya.
4. Teknik Penumpulan Data dan Analisis Data
13

Pengumpulan data dalam penulisan penelitian hukum normatif


dilakukan dengan studi pustaka terhadap bahan-bahan hukum maupun non
hukum yang berkaitan dengan topik penelitian. Dilakukan dengan
membaca, melihat, mendengarkan maupun penelusuran lebih lanjut
sehingga mampu memberikan penjelasan terhadap masalah yang terdapat
dalam penelitian ini yang nantinya dapat menyimpulkan uraian dari bahan-
bahan hukum tersebut.

G. Sistematika Penulisan
Untuk menjelaskan isi skripsi secara menyeluruh ke dalam penulisan
yang sistematis dan terstruktur di susun dengan sistematika penulisan yang
terdiri dari lima bab yaitu sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini di jelaskan latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka konseptual, metode
penelitian, sistematika penelitian.
BAB II : TINJAUAN UMUM/TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini akan membahas teori-teori yang di gunakan untuk
menganalisa dan menginterpretasikan data penelitian dan gambaran
umum Undang-Undang yang berkaitan.
BAB III : DESKRIPSI MASALAH POKOK/DATA HASIL PENELITIAN
Dalam bab ini membahas tentang teori-teori khusus yang berkaitan
dengan akibat hukum pailit PT United Coal Indonesia dan peraturan
undang-undang yang mengaturnya.
BAB IV : ANALISA DAN HASIL PENELITIAN
Dalam bab ini akan di jelaskan apa yang menjadi pokok dari semua
bab sesuai dengan judul skripsi ini antara lain mengenai posisi kasus,
mengenai pemenuhan hak karyawan PT. United Coal Indonesia,
berdasarkan hukum kepailitan di Indonesia, serta mengenai tinjauan
perundang-undangan Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang terhadap PT. United Coal
14

Indonesia. Dan selanjutnya pertimbangan Mahkamah Agung


terhadap karyawan PT. United Coal Indonesia hingga implikasi
putusan pailit terhadap karyawan.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN


Dalam bab ini berisi kesimpulan dari seluruh rangkaian penulisan
skripsi serta saran-saran yang di perlukan dari penelitan ini.

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
15

BAB II
TINJAUAN UMUM/TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Kepailitan, Pengaturan dan Tujuan Kepailitan


Secara etimologi, istilah kepailitan berasal dari kata “pailit” yang
berasal dari kata bahasa Belanda “failliet”.16 Kata “faillief” berasal dari kata
bahasa Perancis “faillite” yang berarti pemogokan atau kemacetan pembayaran.
Dalam Black’s Law Dictionary, “pailit” atau “bankrupt” diartikan sebagai “the
state or condition of person (individual, partnership, corporation, or
municipality) who is unable to pay his debt as they are, or become due”, yaitu
suatu keadaan dimana seseorang tidak mampu melunasi utang-utangnya yang
telah jatuh tempo.
Berbagai defenisi tentang kepailitan menurut hukum telah banyak di
kemukakan oleh beberapa ahli hukum, yang melihat dari berbagai sudut
pandang. Salah satunya yaitu Purwosutjipto, yang menyatakan bahwa “pailit”
adalah keadaan berhenti membayar (utang-utangnya)17 sedangkan Subekti
menyatakan kepailitan adalah eksekusi massal yang di tetapkan dengan
keputusan hakim, yang berlaku serta merta dengan melakukan penyitaan umum
atas semua harta orang yang dinyatakan pailit, baik yang ada pada waktu
pernyataan pailit maupun yang di peroleh selama kepailitan berlangsung, untuk

16
Rachmadi Usman. 2004. Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia. Jakarta : Gramedia
Pustaka Utama. hal 11.
17
H.M.N. Purwosutjipto. 1999. Pengertian dan Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia.
Jakarta : Djambatan. hal 28.
16

kepentingan semua kreditor, yang di lakukan dengan pengawasan pihak yang


berwajib.18
Kepailitan menurut undang-undang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 yaitu sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang
pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan
Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Kepailitan
dimaksud untuk menghindari terjadinya sitaan terpisah atau eksekusi terpisah
oleh kreditor dan menggantikannya dengan mengadakan sitaan bersama
sehingga kekayaan debitor dapat dibagikan kepada semua kreditor sesuai dengan
hak masing-masing. Profesor Radin mengungkapkan “a purpose of all
bankruptcy laws is to provide a collective forum for sorting out the rights of the
various claimants against the assets of debtor where there are not enough assets
to go around”.19 Dari penuturan tersebut, dapat diartikan bahwa tujuan dari
hukum kepailitan adalah menyediakan forum kolektif untuk membagi hak-hak
dari berbagai penagih terhadap seluruh asset milik debitor dimana tidak cukup
nilainya. Lebih lanjut pembagian harta pailit ini, Profesor Rading menyatakan
sebagai berikut:
“In bankcruptcy, with an inadequate pie to divide and the looming discharge of
unpaid debts, the disputes center on who is entitled to shares of the debtor’s
assets and how these shares are to be divided. Distribution among creditors is
no incidental to other concerns; it is the center of the bankruptcy scheme”.20
Berdasarkan Pendapat dari Profesor Radin tersebut, bahwa inti dari
hukum kepailitan (bankruptcy law) lebih dahulu maupun sekarang adalah “a
debt collection system” sekalipun bankruptcy bukan satu-satunya “a debt
collection system”.
Tujuan dari hukum kepailitan (bankruptcy law) adalah:21

18
Subekti. 1995. Pokok-Pokok Hukum Dagang. Jakarta : Intermasa. hal. 28.
19
Ibid.
20
Ibid.
21
Sutan Remy Sjahdeini. 2002. Hukum Kepailitan: Memahami Failissementsverordening
Juncto Undang-undang No. 4 Tahun 1998. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti. hal. 38.
17

1. untuk menjamin pembagian yang sama terhadap harta kekayaan debitor di


antara para kreditornya;
2. mencegah agar debitor tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat
merugikan kepentingan kreditor;
3. memberikan perlindungan kepada debitor yang beritikad baik dari para
kreditornya, dengan cara pembebasan utang.

B. Sejarah Singkat Hukum Kepailitan di Indonesia


Sejarah berlakunya hukum kepailitan Belanda di Hindia Belanda
atau Indonesia adalah tidak terlepas dari peristiwa kepailitan yang menimpa
perusahaan monopoli dagang terbesar di Belanda bernama Vereenigde
Oosindische Compagnie atau VOC pada tahun 1800 berkuasa penuh Hindia
Belanda sejak tahun 1798, dan selama periode kekuasaannya tersebut VOC telah
menjadikan Indonesia sebagai daerah sumber pendapatan utama VOC selama
lebih 2 (dua) abad.22 Lalu ketika VOC dinyatakan bangkrut, wilayah Hindia
Belanda atau Indonesia dijadikan sebagai kompensasi pembayaran utang VOC
kepada kerajaan Belanda dengan nilai sebesar 140 miliar gulden. Uang tersebut
tidak dapat lagi dibayar oleh VOC, karena ternyata VOC memang telah bangkrut
secara de facto. Namun VOC menyembunyikan keadaan bangkrut tersebut dan
tetap melaporkan laba yang tinggi ke Kerajaan Belanda.
Hingga pada tahun 1780, ketika Inggris menyerang dan memblokade
masuknya kapal-kapal VOC yang membawa hasil rempah-rempah dari Hindia
Belanda ke Belanda, VOC tidak lagi menutupi status kebangkrutannya.
Akhirnya pada tahun 1798 VOC yang telah bangkrut secara de facto
menyerahkan Hindia Belanda kepada Kerajaan Belanda sebagai kompensasi
pembayaran utangnya. Penyerahan itu menjadi awal mula Indonesia menjadi
salah satu koloni Kerajaan Belanda. Sejarah tata hukum Indonesia di bawah
jajahan Kerajaan Belanda, karena meskipun VOC berkuasa di Indonesia selama
22
Jimly Assiddiqie. 2006. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi.
Jakarta : Konstitusi Press. hal. 159.
18

kurang lebih 2 (dua) abad lamanya, namun VOC tidak membentuk tata hukum
yang berlaku di seluruh wilayah negara Indonesia.
Perkembangan sejarah hukum kepailitan di Indonesia cukup
panjang, yang terbagi menjadi 4 (empat) fase sebagai berikut:
a. Zaman Pendudukan Belanda.
b. Zaman Pendudukan Jepang.
c. Zaman Republik Indonesia.
d. Zaman Krisis Moneter.
Peraturan kepailitan di Indonesia mengalami perkembangan dari
mulai ketika Pemerintahan Penjajahan Belanda sampai dengan Pemerintahan
Republik Indonesia. Pada Tahun 1838 pembuat Undang-undang di Negeri Belanda
Menyusun Wetboek van Koophandel (WvK) yang terdiri dari 3 buku yaitu :
a. Buku I tentang Van Den Koophandel in Het Algemeen yang terdiri dari 10
bab.
b. Buku II Tentang Van Den Regten En Verpligtingen uit Scheepvaart
Voortsruitende yang terdiri dari 13 bab, yang kemudian bab ke-7 di
hapuskan.
c. Buku III yang berjudul Van de Voorzieningen in geval van onvermogen
van Kooplieden, yang diatur dari Pasal 749 sampai dengan Pasal 910
(WvK).
Peraturan Kepailitan dalam Buku III WvK tersebut hanya berlaku
untuk para pedagang. Di samping itu, terdapat pula buku III Titel 8 Wetbook
Van Burgerlijke Rechttsvordering (BRV) yang mengatur kepailitan bukan
pedagang.23 Dewasa ini hampir tidak ada negara yang tidak mengenal kepailitan
dalam hukumnya. Di Indonesia, secara formal, hukum kepailitan sudah ada,
bahkan sudah ada Undang-undang khusus sejak tahun 1905 dengan berlakunya
S.1905-217 juncto S.1906-348. Malahan dalam pergaulan sehari-hari, kata-kata
“bangkrut” sudah lama di kenal.24 S. 1905-217 dan S. 1906-348 tersebut
kemudian diubah dengan Perpu Nomor 1 Tahun 1998, yang kemudian diterima

23
Man S. Sastrawidjaja, Op.cit., hal. 5.
24
Munir Fuady, Op.cit., hal 3.
19

oleh Dewan Perwakilan Rakyat sehingga menjadi Undang-Undang Nomor 4


Tahun 1998. Perpu Nomor 1 Tahun 1998 tersebut adalah tentang Perubahan atas
Undang-undang (Peraturan) tentang Kepailitan yang kemudian disempurnakan
dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004.
Jika kita menelusuri sejarah hukum tentang kepailitan ini, hukum
tentang kepailitan itu sendiri sudah ada sejak zaman Romawi. Jika kita
menelusuri lebih lanjut, sebenarnya kata bangkrut, dalam bahasa Inggris disebut
dengan bankrupt berasal dari Undang-undang di Itali yang disebut dengan banca
rupta. Sementara itu, pada Abad pertengahan di Eropa ada praktek kebangkrutan
dengan melakukan penghancuran di Eropa ada praktek kebangkrutan dengan
melakukan penghancuran bangku-bangku dari para banker atau pedagang yang
melarikan diri diam-diam dengan membawa harta para kreditor. Atau seperti
keadaan di Venesia (Italia) waktu itu, dimana para pembeli pinjaman (bankir)
saat itu yang banco (bangku) mereka yang tidak mampu lagi membayar utang
atau gagal usahanya, bangku tersebut benar-benar telah patah atau hancur.
Dari masa ke masa sebagai bagian dari sejarah kepailitan di
Indonesia, maka Undang-Undang Kepailitan Indonesia mengalami perubahan
dan pergantian. Perubahan dan penggantian tersebut di lakukan untuk
menyesuaikan dengan kebutuhan yang timbul selama ruas waktu tertentu demi
tercapainya tujuan dibuatnya Undang-undang tersebut. Perubahannya antara lain
yaitu menyangkut kepentingan dari pihak-pihak yang diatur dan pihak-pihak
yang terlibat dalam operasionalisasi Undang-undang itu terjaminnya kepastian,
keadilan dan ketertiban. Dengan mengetahui dan mempelajari sejarah
perkembangan Undang-undang kepailitan yang telah ada hingga sekarang, maka
apabila kita membuat perubahan atau membuat Undang-undang kepailitan yang
baru, kita dapat lebih menempatkannya sebagai perangkat hukum yang dapat
memenuhi kebutuhan pembangunan yang berakar dari pada nilai-nilai yang
dijunjung dalam pandangan hidup kita sebagai bangsa Indonesia yang baik.
Dengan demikian Undang-Undang Kepailitan tersebut nantinya akan benar-
20

benar memiliki kepribadian Indonesia yang mampu memenuhi kebutuhan


bangsa, sesuai dengan yang di butuhkan oleh Negara Republik Indonesia.25

C. Syarat-syarat Pengajuan Permohonan kepailitan


Pengadilan yang berwenang menjatuhkan pernyataan pailit terhadap
debitor yang telah memenuhi persyaratan pailit sebagaimana telah dinyatakan
dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Pasal tersebut
menyebutkan:
“Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas
sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat di tagih, dinyatakan pailit
dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas
permohonan satu atau lebih kreditornya.”
Berdasarkan pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa syarat bagi
debitor untuk dinyatakan pailit adalah:
1. Debitor terhadap siapa permohonan itu diajukan harus paling sedikit
mempunyai dua kreditor atau dengan kata lain harus memiliki lebih dari
satu kreditor;
2. Debitor tidak membayar sedikitnya satu utang kepada salah satu
kreditornya;
3. Utang yang tidak dibayar itu harus telah jatuh waktu dan telah dapat
ditagih.

D. Langkah-langkah dalam proses Kepailitan


1. Permohonan pailit, syarat permohonan pailit telah diatur;
2. Keputusan pailit berkekuatan hukum tetap, jangka waktu permohonan pailit
sampai keputusan pailit berkekuatan hukum tetap adalah 90 hari;

25
Sutan Remy Sjahdeini. 2009. Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun
2004 Tentang Kepailitan. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti. hal. 17-18
21

3. Rapat verifikasi, adalah rapat pendaftaran utang-piutang, pada langkah ini


dilakukan pendataan berupa jumlah utang dan piutang yang dimiliki oleh
debitor. Verifikasi utang merupakan tahap yang paling penting dalam
kepailitan karena akan ditentukan untuk pertimbangan hak dari masing-
masing kreditor.
4. Perdamaian, jika perdamaian diterima maka proses kepailitan berakhir, jika
tidak maka akan dilanjutkan ke proses selanjutnya. Proses perdamaian selalu
di upayakan dan diagendakan.
5. Homologasi akur, yaitu permintaan pengesahan oleh Pengadilan Niaga, jika
proses perdamaian di terima.
6. Insolvensi, yaitu suatu keadaan dimana debitor dinyatakan benar-benar tidak
mampu membayar, atau dengan kata lain harta debitor lebih sedikit jumlah
dengan hutangnya.
7. Pemberesan/likuidasi, yaitu penjualan harta kekayaan debitor pailit, yang di
bagikan kepada kreditor konkruen, setelah di kurangi biaya-biaya;
8. Rehabilitasi, yaitu suatu usaha pemulihan nama baik kreditor, akan tetapi
dengan catatan jika proses perdamaian di terima, karena jika perdamaian di
tolak maka rehabilitasi tidak ada.
9. Kepailitan berakhir.
E. Asas-Asas Hukum Kepailitan di Indonesia
Asas hukum kepailitan di Indonesia merupakan bagian yang tidak
dapat dipisahkan dari asas-asas Hukum Perdata, karena hukum kepailitan
sebagai subsistem dari hukum perdata nasional merupakan bagian yang utuh dari
hukum perdata dan hukum acara perdata nasional. Asas hukum kepailitan yang
diatur dalam hukum perdata merupakan asas umum hukum kepailitan Indonesia,
sedangkan asas khususnya adalah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004.26
1. Asas Umum

26
Susanti Adi Nugroho. 2018. Hukum Kepailitan di Indonesia Dalam Teori dan Praktik Serta
Penerapan Hukumnya. Jakarta: Prenadamedia Grup. hal. 37.
22

Asas umum hukum kepailitan di Indonesia, semula diatur dalam Pasal


1131 KUH Perdata yang disebut dengan prinsip kesamaan kedudukan
kreditor (Paritas Creditorium) dan Pasal 1132 KUH Perdata yang disebut
dengan prinsip pari pasu proparate perte, yaitu semua kreditor mempunyai
hak yang sama atas harta debitor, kecuali ada alasan-alasan yang sah untuk
di dahulukan. Prinsip Paritas Creditorium diatur dalam Pasal 1131 KUH
Perdata karena memberikan jaminan, disebut “jaminan umum”. Adapun
yang diatur dalam Pasal 1132 KUH Perdata adalah bahwa semua kreditor,
mempunyai hak yang sama atas asset debitor, kecuali ada alasan-alasan
yang sah untuk lebih diutamakan atau di dahulukan.27
2. Asas Khusus
Selain asas umum, Indonesia juga mempunyai asas khusus, sebagaimana
diuraikan dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2004. Asas-asas tersebut, antara lain yaitu:28
a. Asas Keseimbangan
Undang-undang ini mengatur beberapa ketentuan yang merupakan
perwujudan dari asas keseimbangan, yaitu satu pihak, terdapat
ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata
dan lembaga kepailitan oleh debitor yang tidak jujur, di lain pihak,
terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan
pranata dan lembaga kepailitan oleh kreditor yang tidak beritikad
baik.
b. Asas Kelangsungan Usaha
Dalam undang-undang ini terdapat ketentuan yang memungkinkan
perusahaan debitor yang prospektif tetap di langsungkan. Oleh
karena itu permohonan pernyataan pailit seharusnya hanya dapat di
ajukan terhadap debitor yang insolven, yaitu yang tidak membayar
utang-utangnya kepada kreditor mayoritas.
c. Asas Keadilan

27
Ibid. hal 38.
28
Ibid. hal 40-41.
23

Dalam kepailitan asas keadilan mengandung pengertian, bahwa


ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi
para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah
terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang
mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap
debitor, dengan tidak memperdulikan kreditor lainnya.

d. Asas Integrasi dalam Undang-undang


Asas Integrasi dalam Undang-undang ini mengandung pengertian
bahwa sistem hukum formil dan hukum materialnya merupakan
suatu kesatuan hukum formil dan hukum materielnya merupakan
suatu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum
acara nasional.

F. Pihak-pihak yang dapat mengajukan Permohonan Kepailitan.


Pihak yang dapat dinyatakan terlibat dalam pailit salah satunya
adalah permohonan pailit yakni pihak yang mengambil inisiatif salah satunya
adalah permohonan pailit ke Pengadilan, yang dalam perkara disebut dengan
pihak penggugat.29
Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang pihak yang
dapat menjadi pemohon dalam suatu perkara pailit adalah sebagai berikut:
1. Pihak Debitor itu sendiri
Undang-undang memungkinkan seorang debitor untuk mengajukan
permohonan pernyataan pailit atas dirinya sendiri. Jika debitor masih
terikat dalam pernikahan yang sah, permohonan hanya dapat diajukan atas
persetujuan suami atau istri yang menjadi pasangannya.
2. Salah satu atau lebih dari pihak kreditor

29
Munir Fuady, Op.cit., hal. 35.
24

Kreditor yang dapat mengajukan permohonan pailit terhadap debitornya


adalah kreditor konkuren, kreditor preferen ataupun kreditor separatis.
3. Pihak kejaksaan jika menyangkut dengan kepentingan umum
Maksud dari kepentingan umum disini adalah kepentingan bangsa dan
negara dan/atau kepentingan masyarakat luas, misalnya:30
a. Debitor melarikan diri.
b. Debitor menggelapkan bagian dari harta kekayaan.
c. Debitor mempunyai utang kepada Badan Usaha Milik Negara atau
badan usaha lain yang menghimpun dana dari masyarakat.
d. Debitor mempunyai utang yang berasal dari penghimpunan dana dari
masyarakat luas.
e. Debitor tidak beritikad baik, atau tidak kooperatif dalam
menyelesaikan masalah utang piutang yang telah jatuh waktu; atau
f. Dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan kepentingan
umum.
4. Pihak Badan Pengawas Pasar Modal jika debitornya adalah suatu
perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjamin serta lembaga
penyimpanan dan penyelesaian.
5. Menteri Keuangan jika debitor perusahaan asuransi, reasuransi, dana
pensiun atau BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik.
6. Likuidator perusahaan terbatas dalam hal likuidator tersebut
memperkirakan bahwa utang perseroan lebih besar dari kekayaan
perseroan, yang dalam hal ini kepailitan wajib diajukan oleh likuidator
tersebut, kecuali jika perundang-undangan menentukan lain atau semua
kreditor menyetujui penyelesaian di luar kepailitan.

G. Kedudukan Buruh sebagai Kreditor dalam Kepailitan


Undang-Undang Ketenagakerjaan mengatur mengenai pengertian
tenaga kerja dan buruh, yang ketiga memiliki arti yang berbeda. Tenaga kerja
adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan
30
Man S. Sastrawidjaja, Op.cit., hal. 92.
25

barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk
masyarakat.31 Sedangkan pekerja atau buruh adalah setiap orang yang bekerja
dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pengertian tenaga kerja
memiliki arti yang lebih luas dari pada pekerja atau buruh, karena meliputi
pegawai negeri, pekerja formal, pekerja informal dan yang belum bekerja atau
pengangguran.32 Kata pekerja memiliki pengertian yang luas, yakni setiap orang
yang melakukan pekerjaan baik dalam hubungan kerja maupun swapekerja.
Istilah pekerja biasa juga diidentikkan dengan karyawan, yaitu
pekerja non fisik, sifat pekerjaannya halus atau tidak kotor. Sedangkan istilah
buruh sering diidentifikasikan denga pekerja kasar, Pendidikan minim dan
penghasilan yang rendah. Buruh menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapat upah. 33 Menurut Imam
Soepomo, buruh adalah seorang yang menjalankan pekerjaan untuk majikan,
dalam hubungan kerja dengan menerima upah.34 Menurut pengertian tersebut,
konsep dari buruh adalah setiap orang yang menjalankan pekerjaan yang berupa
perintah dari majikannya yang di dasari oleh adanya suatu hubungan kerja, dan
menerima imbalan berupa upah yang disepakati sebelumnya oleh buruh dan
majikan.
Pada umumnya, kedudukan kreditor adalah sama berdasarkan asas
paritas creditorium, oleh karenanya, para kreditor tersebut memiliki hak yang
sama atas hasil penjualan boedel pailit, sebesar tagihan yang masing-masing
dimiliki (pari pasu prorate parte). Prinsip paritas creditorium di atas memiliki
filosofi bahwa adalah suatu ketidakadilan jika debitor memiliki harta benda yang
memiliki nilai tinggi, sementara debitor memiliki utang terhadap kreditor yang

31
Republik Indonesia. Undang-undang Ketenagakerjaan. UU No. 13 Tahun 2003. LN No. 39
Tahun 2003. TLN No. 4279. Ps. 1 (2).
32
Uti Ilmu Royen. 2009. Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja/Buruh Outsourching (Studi
Kasus di Kabupaten Ketapang) (Tesis Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana
Universitas Diponegoro). hal. 26.
33
Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2023. Kamus Versi Online/Daring. Diakses dari:
https://kbbi.web.id/buruh. tanggal 19 Maret 2023.
34
Imam Soepomo. 2003. Pengantar Hukum Perburuhan. Jakarta: Djambata. hal. 28.
26

tidak terbayarkan. Ketidakadilan prinsip paritas creditorium adalah


memposisikan kedudukan para kreditor pada kedudukan yang sama.
Kedudukan kreditor yang memiliki piutang yang lebih banyak
nominalnya dari kreditor lainnya yang lebih sedikit nominal piutangnya, namun
diklasifikasikan dalam posisi yang sama merupakan ketidakadilan yang timbul
dari prinsip ini. Demikian pula bagi kreditor yang memegang jaminan
kebendaan yang di tempatkan pada posisi yang sama dengan yang tidak
memegang jaminan kebendaan sama sekali. Namun demikian prinsip atau asas
tersebut mengenai pengecualian yaitu golongan kreditor yang memegang
jaminan kebendaan dan golongan kreditor yang haknya di dahulukan
berdasarkan Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Ketika suatu perusahaan telah dinyatakan pailit dalam suatu putusan
pengadilan, maka upah dan hak-hak lainnya para pekerja merupakan utang yang
harus di dahulukan pembayarannya. Kedudukan buruh sebagai kreditor dalam
perkara kepailitan harus dilihat terlebih dahulu apakah yang menjadi tagihan
buruh. Buruh yang belum mendapatkan pembayaran atas upah sebagai
pembayaran daripada pekerjaan yang telah dipenuhi, maka upah tersebut
menjadi tagihan dari kreditor preferen yang harus di dahulukan pembayarannya.
Kreditor preferen adalah kreditor yang memiliki hak istimewa atau
hak prioritas. Hak istimewa mengandung arti hak yang oleh undang-undang
diberikan kepada seorang berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi dari pada
orang berpiutang lainnya, merujuk pada KUH Perdata, terdapat dua jenis hak
istimewa, yaitu hak istimewa khusus (Pasal 1139 KUH Perdata) yaitu hak
istimewa yang menyangkut benda-benda tertentu dan hak istimewa umum (Pasal
1149 KUH Perdata) yaitu menyangkut seluruh benda. Sesuai dengan ketentuan
KUH Perdata pula, hak istimewa khusus di dahulukan atas hak istimewa umum
(Pasal 1138 KUH Perdata)
Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Ketenagakerjaan berbunyi “Dalam
hal perusahaan dinyatakan pailit atau di likuidasi berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari
27

pekerja/buruh merupakan utang yang di dahulukan pembarannya”. Upah buruh


harus di dahulukan pembayarannya sehingga termasuk dalam kreditor preferen
di karenakan adanya hubungan kerja oleh majikan atau pemberi kerja dan buruh.
Majikan atau pemberi kerja memberikan perintah kepada buruh untuk
melakukan suatu pekerjaan, yang mana pekerja tersebut merupakan kewajiban
yang harus di penuhi suatu pekerjaan, maka majikan atau pemberi kerja wajib
melaksanakan kewajibannya untuk memenuhi hak dari buruh tersebut yaitu
memberikan upah sesuai dengan pekerjaan yang telah di lakukannya.
Terkait dengan hak-hak lain dari buruh tersebut yang harus di penuhi
pembayarannya oleh debitor pailit adalah pesangon. Hal ini di karenakan setelah
putusan pailit di ucapkan, buruh tidak lagi bekerja pada perusahaan sehingga
pesangon merupakan hak dari buruh yang timbul bukan karena adanya
kewajiban yang telah di lakukan oleh buruh, melainkan hanya berupa piutang
yang timbul setelah hubungan kerja berakhir. Maka dari itu, pesangon
merupakan piutang yang menggolongkan buruh sebagai kreditor konkuren, dan
pelunasannya dapat dilakukan bersamaan dengan pembayaran piutang kreditor
konkuren lainnya.
Upah pekerja atau upah buruh yang didahulukan pembayarannya
sesuai dengan ketentuan Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan kemudian di
perkuat lagi kedudukannya berdasarkan Pasal 37 ayat (2) Peraturan Pemerintah
Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, sehingga memang pantaslah jika
upah buruh di golongkan kepada piutang dari kreditor preferen, yang mana harus
di dahulukan pembayarannya. Kemudian pada ayat selanjutnya dalam pasal yang
sama menyatakan bahwa hak-hak lainnya dari pekerja/buruh di dahulukan
pembayarannya setelah pembayaran para kreditor pemegang hak kebendaan.
Prinsip hak dan kewajiban dalam suatu perjanjian merupakan dasar
dari timbulnya hubungan kerja antara buruh dan majikan atau pemberi kerja.
Berdasarkan Pasal 1320 jo 1338 ayat (1) KUH Perdata, dikenal adanya asas
konsensual, yaitu perjanjian atau kontrak lahir pada saat terjadinya consensus
atau kata sepakat dari para pihak yang membuat kontrak pada objek yang di
perjanjikan. Perjanjian ini kemudian berlaku secara sah terhadap para pihak
28

sebagai undang-undang. Artinya, setiap perjanjian yang di buat oleh para pihak
merupakan suatu undang-undang yang mengikat keduanya sehingga kedua belah
pihak harus menjalankan dan menaatinya.
Konsensus atau kata sepakat merupakan persesuaian kehendak atau
keinginan dari para pihak di dalam kontrak. Kontrak dalam hal ini adalah
ekspresi persetujuan keinginan dan “keinginan dengan disesuaikan berguna dan
di hormati”.35 Seorang yang memberikan persetujuannya atau kesepakatannya
jika ia memang menghendaki apa yang di sepakati. Konsensus atau kesepakatan
yang di lahirkan tersebut merupakan hal yang membentuk suatu perjanjian yang
mana menimbulkan hubungan hukum antara para pihak.
Dengan demikian menjadi logis, jika terjadi perselisihan mengenai
pemutusan hubungan kerja yang ada kaitannya dengan kepailitan maka
penyelesaiannya melalui hakim pengawas dan sejauhmana perlu Pengadilan
Niaga. Terkait upah buruh dalam Pasal 39 ayat (2) Undang-undang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menentukan bahwa upah buruh
sebelum setelah putusan pailit, merupakan utang harta pailit artinya
pembayarannya di dahulukan dari preferen khusus dan preferen umum.
Kedudukan buruh sebagai kreditor dalam kepailitan dapat dilihat
kembali pada golongan kreditor yang seperti apa buruh tersebut. Menurut
ketentuan Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan, telah di tegaskan bahwa upah
buruh merupakan kreditor preferen yang mana pembayarannya, harus di
dahulukan.
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU/XI/2013,
Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa upah atau gaji buruh merupakan
piutang yang wajib di dahulukan, baik dari piutang pajak maupun piutang
kreditor separatis, pajak namun tidak mengenyampingkan piutang kreditor
separatis. Antara kreditor separatis dan pekerja/buruh dasar hukumnya adalah
sama, yaitu perjanjian, namun manakala dilihat dari aspek lain, yaitu aspek

35
Morris Ginsberg. 2003. Keadilan Dalam Masyarakat. Bantul: Pondok Edukasi. hal. 35.
29

subjek hukum yang melakukan perjanjian, objek, dan resiko, antara keduanya
terdapat perbedaan yang secara konstitusional signifikan.
Bahwa dalam aspek subjek hukum, perjanjian gadai, hipotik, dan
fidusia serta perjanjian tanggungan lainnya, merupakan perjanjian yang
dilakukan oleh subjek hukum, yaitu pengusaha dan pemodal, yang secara sosial
ekonomis para pihak tersebut dapat dikonstruksikan sama. Terlebih lagi pemodal
adalah pengusaha. Sebaliknya, perjanjian kerja merupakan perjanjian yang
dilakukan oleh subjek hukum yang berbeda, yaitu pengusaha dan pekerja/buruh.
Pengusaha dan pekerja/buruh, secara sosial ekonomis tidaklah sejajar, melainkan
pihak yang satu, sebagai pengusaha tentu lebih kuat dan lebih tinggi, bila
dibandingkan pekerja/buruh, karena pekerja/buruh secara sosial ekonomis jelas
lebih lemah dan lebih rendah daripada pengusaha, meskipun antara pengusaha
dan pekerja/buruh saling memerlukan. Pengusaha tidak akan berproduksi tanpa
pekerja/buruh dan pekerja/buruh tidak dapat bekerja tanpa ada pengusaha.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah Agung,
oleh karena pekerja/buruh secara sosial ekonomis berkedudukan lebih lemah dan
lebih rendah dibandingkan pengusaha dan hak-hak pekerja/buruh telah dijamin
oleh UUD 1945 maka Undang-undang harus memberikan jaminan perlindungan
untuk dipenuhinya hak-hak para pekerja/buruh tersebut. Bahwa dalam aspek
objek, perjanjian gadai, hipotik, fidusia dan perjanjian tanggungan lainnya yang
menjadi objeknya adalah properti. Sementara itu, perjanjian kerja yang menjadi
objeknya adalah tenaga atau keterampilan (jasa) dengan imbalan jasa dalam
kerangka untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup bagi diri dan keluarga
pekerja/buruh, sehingga antara keduanya dalam aspek ini memiliki perbedaan
yang mendasar yaitu properti dan manusia.
Pertanyaannya adalah bagaimana perbedaan tersebut terkait dengan
apa yang sejatinya di lindungi oleh hukum. Pembentukan hukum jelas
dimaksudkan untuk melindungi kepentingan manusia. Dalam kasus ini manakah
yang seharusnya menjadi prioritas, kepentingan manusia terhadap properti atau
kepentingan manusia terhadap diri dan kehidupannya. Apalagi berdasarkan
sistem pembagian upah pekerja/buruh, yang seharusnya harus dibayar sebelum
30

kering keringatnya. Dalam perspektif tujuan negara dan ketentuan mengenai hak
konstitusional menurut Mahkamah Agung kepentingan manusia terhadap diri
dan kehidupannya haruslah menjadi prioritas, harus menduduki peringkat
terdahulu sebelum kreditor separatis.36Maka dari itu, Mahkamah Konstitusi
memutuskan bahwa agunan tersebut akan digunakan terlebih dahulu untuk
pembayaran gaji buruh. Kemudian, jika pemegang jaminan kebendaan tidak
menggunakan haknya untuk melakukan parate eksekusi pada saat insolvensi,
maka aset pailit yang diikat dengan jaminan kebendaan tersebut termasuk dalam
boedel pailit.
Dengan demikian, berdasarkan putusan a quo, prioritas pelunasan
hutang dalam proses kepailitan adalah sebagai berikut:
1. Upah pekerja/ buruh;
2. Kreditor separatis;
3. Hak-hak pekerja/buruh lainnya;
4. Tagihan hak negara, kantor lelang dan badan umum yang dibentuk
pemerintah;
5. Kreditor konkuren.
H. Tanggung Jawab Pribadi Direksi dan Komisaris atas terjadinya pailit
Perseroan Terbatas
Tidak semua usaha yang di jalankan oleh setiap perusahaan
(Perseroan Terbatas) berjalan sesuai dengan target yang di inginkan, adakalanya
usaha yang sudah dirilis sejak lama mengalami kendala dalam pengoperasiannya
dan tidak sedikit juga yang mengalami kebangkrutan karena tidak bisa
membiayai operasional perusahaannya sehingga tidak sedikit perusahaannya
dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga. Dalam hal perusahaan pailit, tentu ada
tanggung jawab yang di pikul oleh pelaku usaha seperti direksi yang
memberikan kepercayaan oleh seluruh pemegang saham melalui mekanisme
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) untuk menjadi organ perseroan yang
akan bekerja untuk kepentingan perseroan, serta kepentingan seluruh pemegang

36
Ibid. hal.18
31

saham yang mengangkat dan mempercayakan sebagai satu-satunya organ yang


mengurus dan mengelola perseroan.37
Jika terjadi kepailitan dalam perseroan, akan membawa akibat bahwa
direksi tidak berhak dan berwenang lagi untuk mengurus harta kekayaan
perseroan tersebut.
1. Tanggung Jawab Direksi sebagai Organ Perseroan
Tugas pokok direksi adalah untuk mengurus dan mewakili perseroan
dalam melakukan kegiatannya dan memiliki tanggung jawab internal dan
eksternal. Keterkaitan antara perseorangan dengan direksi dilandasi pada
prinsip fiduciary duty to exercise care and deligence, yaitu direksi wajib
melakukan pengurusan dengan itikad baik dan penuh dengan tanggung
jawab. 38
Dalam menjalankan tugasnya mengurus perseroan, direksi tidak
boleh menerima manfaat terhadap dirinya sendiri, berarti kepentingan
terhadap perseroan di dahulukan. Dengan adanya perusahaan yang di
pailitkan, maka tentu ada akibat hukum dan tanggung jawab dari para
pemegang saham maupun direksi dalam terjadinya pailit tersebut.
Perbuatan hukum direksi merupakan tindakan ultra vires adalah tanggung
jawab pribadi dari direksi perseroan tersebut. Namun tindakan ultra vires
ini harus di bedakan dalam dua kategori, yaitu:
a) Tindakan yang di dahulukan di luar kewenangan direksi untuk
melakukan tapi masih dalam cakupan maksud dan tujuan perseroan,
serta
b) Tindakan yang di lakukan di luar kewenangan direksi untuk
melakukannya yang berada di luar maksud dan tujuan perseroan.
Pada pasal 104 ayat (4) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
Tentang Perseroan Terbatas membuat beberapa pengecualian terhadap

37
Susanti Adi Nugroho. 2018. Hukum Kepailitan di Indonesia Dalam Teori dan Praktik Serta
Penerapan Hukumnya. Jakarta : Prenadamedia Grup. hal. 359.
38
Elysa Ras Ginting. 2008. Hukum Kepailitan Teori Kepailitan. Jakarta : Kencana
Prenadamedia Group. hal 240.
32

tanggung jawab anggota Direksi dalam hal perseroan dinyatakan Pailit,


yaitu sebagai berikut:39
a) Anggota Direksi hanya akan bertanggung jawab secara pribadi jika
perseroan dinyatakan sesuai dengan prosedur berlaku.
b) Terbukti ada unsur kesalahan atau kelalaian yang telah di lakukan
direksi dalam mengurus dan mewakili perseroan.
c) Tanggung jawab anggota direksi bersifat residual yang artinya hanya
akan bertanggung jawab bila kekayaan perseroan tidak cukup untuk
menutupi kerugian akibat kepailitan tersebut.
d) Tanggung jawab direksi tersebut juga bersifat tanggung jawab
renteng, yang artinya walaupun kesalahan atau kelalaian itu di
lakukan seorang anggota direksi, tetapi yang lain juga dipresumsi
untuk ikut tertanggung jawab dalam hal tersebut.
Namun berdasarkan pada Pasal 104 ayat (4) Undang-Undang
Perseroan Terbatas menyatakan bahwa anggota direksi yang dapat
membuktikan bahwa kepailitan bukan karena kesalahan atau kelalaiannya
tidak bertanggung jawab serta tanggung renteng atau kerugian tersebut.
2. Tanggung Jawab Komisaris dan Kepailitan Perseroan
Selain Direksi dalam Perseroan juga terdapat Komisaris, yang juga
tidak bisa dimintai pertanggungan jawaban pribadi dalam hal perseroan
yang tidak mampu membayar kewajiban utangnya di karenakan kinerja
keuangan perseroan sebagai akibat dari lingkungan bisnis yang ada.
Menurut Pasal 114 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
Tentang Perseroan Terbatas menyatakan bahwa dewan komisaris wajib
dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk
kepentingan dan usaha perseroan, secara normatif yang mana disini sangat
bertitik tolak dengan ketentuan tersebut.
Fungsi Utama komisaris adalah melakukan pengawasan. Yang mana
maksud dari melakukan pengawasan disini adalah suatu tindakan

39
Susanti Adi Nugroho. 2018. Hukum Kepailitan di Indonesia Dalam Teori dan Praktik Serta
Penerapan Hukumnya. Jakarta: Prenadamedia Grup. hal. 362.
33

digariskan atau menilai apakah yang telah di laksanakan sesuai dengan


yang direncanakan. Dengan cara melakukan pemantauan tepat waktu yang
dapat mengetahui penyimpangan sehingga kerugian dapat di cegah atau
setidaknya dapat diminimalisir.
Di dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas mengenai komisaris
tidak disebutkan secara spesifik tanggung jawabnya jika terjadi kepailitan
dalam perusahaan.

I. Tanggung jawab Kurator pengurusan dan pemberesan harta pailit


Menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Kurator adalah Balai harta
peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh Pengadilan untuk
mengurus dan membereskan harta Debitor Pailit di bawah pengawasan Hakim
Pengawas sesuai dengan Undang-Undang ini.40
Pemberesan mengenai harta pailit, merupakan tugas utama kurator
sebagai pihak yang berwenang melakukan pengurusan dan pemberesan harta
pailit. Menurut Jerry Hoff, tujuan kepailitan adalah untuk membayar hak para
kreditor yang seharusnya mereka peroleh sesuai dengan tingkat urutan tuntutan
mereka. Oleh karenanya, kurator harus bertindak untuk kepentingan yang terbaik
bagi kreditor, tetapi kurator juga harus memperhatikan kepentingan debitor
pailit.41
Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang Nomor 37 Tahun 2004 mengakomodasi kepentingan seluruh pihak yang
terlibat dalam perkara kepailitan debitor, berarti tidak hanya kepentingan
kreditor konkuren, tetapi juga kepentingan kreditor preferen dan kelangsungan
usaha debitor. Sebab dengan adanya kepailitan secara langsung mengurangi hak
perdata dari debitor, yaitu tidak di perbolehkannya debitor mengurus harta
pailitnya sendiri. Untuk itu seluruh hak perdata daripada debitor pailit di
40
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang, Pasal 1 Ayat (5).
41
Imran Nating. 2005. Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan
Pemberesan Harta Pailit. Jakarta: Rajagrafindo Persada. hal. 71.
34

laksanakan oleh Kurator, yang demi hukum mengambil alih segala hak dan
kewajiban debitor pailit terhadap pihak ketiga, termasuk pengurusan dan
pemberesan harta pailit dari debitor pailit, dengan segala akibat hukumnya.
Kurator di berikan hak dan kewajiban untuk melakukan pengurusan
dan pemberesan harta pailit milik debitor pailit. Kurator harus melakukan
pencocokan atas segala piutang-piutang debitor pailit termasuk untuk membela
kepentingan debitor pailit di muka pengadilan. Selain itu, kurator juga ikut
mengawasi dan mencegah dilaksanakannya atau minta pembatalan penjualan
dan pengalihan asset debitor kepada pihak ketiga, baik yang dilakukan
berdasarkan perintah hakim maupun yang dilaksanakan secara sukarela. Untuk
melindungi kepentingan kreditor konkuren atas pelunasan kewajiban debitor
melalui harta pailit, Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang memberikan hak kepada Para Kreditor untuk menentang atau
melakukan perlawanan terhadap hasil pencocokan utang-piutang yang dianggap
tidak benar.
35

BAB III
DESKRIPSI MASALAH POKOK/DATA HASIL PENELITIAN

A. Pengenalan PT. United Coal Indonesia


PT. United Coal Indonesia yang beralamat di Sudirman Plaza
Marein 11th Floor, Jalan Jenderal Sudirman Kav. 76-78. Jakarta. PT. United Coal
Indonesia ini bergerak sebagai perusahaan pertambangan batu bara di Samarinda.
Bahwa termohon telah dinyatakan berstatus dalam PKPU sementara selama 45
(empat puluh lima) hari berdasarkan Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat No.
55/Pdt.Sus-PKPU/2014/PN.Niaga.Jkt.Pst.JoNomor:32/Pdt.Sus.Pailit/2014/PN.
Niaga.Jkt. Pst, tanggal 15 Oktober 2014. Dan pada tanggal 14 Januari 2015
dinyatakan Batal Putusan Perdamaian (Homologasi) dikarenakan PT. United Coal
Indonesia telah lalai dan melanggar Perjanjian Perdamaian pada tanggal 8 Januari
2015.
Permohonan kepailitan tersebut diajukan karena adanya hak-hak
kreditor lain yang diajukan, yaitu untuk membantu karyawan PT. United Coal
Indonesia cabang site Palaran yang upahnya tidak dibayar selama 3 bulan
berturut-turut sejak bulan Juni, Juli dan Agustus oleh PT. United Coal Indonesia
mempunyai tagihan kepada 89 kreditor. Tagihan tersebut terdiri dari kreditor
36

preferen (prioritas) kreditor separatis, kreditor konkuren. Dengan nomor perkara


di Pengadilan yaitu:
55/Pdt.Sus.PKPU/2014/PN.Niaga.Jkt.Pst.Jo.32/Pdt.Sus.Pailit/2014/
PN.Niaga.Jkt.Pst Dengan nomor pembatalan perdamaian 11/Pdt.Sus/Pembatalan
Perdamaian/2015/PN/Niaga/Jkt/Pst. dan pada tingkat kasasi, dengan Nomor
Perkara yaitu 186/K/Pdt.Sus-Pailit/2015 dan 557/K/Pdt.Sus-Pailit/2018.

B. Teori Perjanjian.
1. Pengertian Perjanjian
Istilah perjanjian berasal dari bahasa Belanda yaitu overeenkomst
dan dalam bahasa Inggris di kenal dengan istilah contract/agreement. Pasal 1313
KUH Perdata menyebutkan bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau
lebih. Pasal 1313 KUH Perdata mengatur bahwa suatu perjanjian adalah suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lainnya.
Istilah perjanjian atau kontrak merupakan terjemahan dari bahasa
inggris yaitu contract law, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut
overeenscomsrecht. Menurut Salim H.S, perjanjian atau kontrak kerja adalah
suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seseorang yang lain atau
dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.42
Bentuk perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang
mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Kontrak
atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Kontrak atau persetujuan

Salim HS. 2007. Perkembangan hukum jaminan di Indonesia. Jakarta : Raja Grafindo
42

Persada. hal. 57.


37

(contract or agreenment) yang diatur dalam Buku III bab kedua KUH Perdata
(BW) Indonesia, sama saja dengan pengertian perjanjian.
Kontrak kerja adalah suatu perjanjian antara pekerja dan pengusaha
secara lisan dan atau tulisan, baik untuk waktu tertentu maupun untuk waktu
tidak tertentu yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban. Setiap
perusahaan wajib memberikan kontrak kerja di hari pertama bekerja. Dalam
kontrak kerja biasanya terpapar dengan jelas pekerja memiliki hak mendapat
kebijakan perusahaan yang sesuai dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan
yang berlaku di Indonesia.43
Dalam suatu hubungan antara dua orang atau lebih tersebut yang
dinamakan perikatan. Setiap perjanjian itu akan menimbulkan suatu perikatan
antara dua orang atau lebih yang membuatnya. Dalam bentuknya, pada
hakekatnya perjanjian itu adalah suatu rangkaian perkataan yang mengandung
janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau tertulis.44
Perjanjian, terdiri atas kontrak kerja/perjanjian kerja, perjanjian kerja
bersama, dan perjanjian perusahaan. Hubungan kerja adalah hubungan antara
seorang buruh dengan seorang majikan. Hubungan kerja menunjukkan
kedudukan kedua belah pihak itu yang pada dasarnya menggambarkan hak-hak
dan kewajiban-kewajiban buruh/pekerja terhadap majikan/pengusaha serta hak-
hak dan kewajiban majikan/pengusaha terhadap buruh/pekerja.45
Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pekerja
dan pengusaha yaitu suatu perjanjian dimana pihak yang satu yaitu buruh
mengikatkan diri untuk bekerja menerima upah pada pihak lainnya yaitu
pengusaha dan pihak pekerja mengikatkan diri untuk melakukan pekerjaan di
bawah pimpinan pengusaha. Pasal 1 angka 14 Undang-Undang No. 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa “Perjanjian kerja adalah
perjanjian antara pekerja atau buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang
memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak”.
43
Ibid. hal. 62.
44
Koko Kosidin. 2002. “Perjanjian kerja, Perjanjian Perburuhan dan Peraturan Perusahaan”.
Bandung : Mandar Maju. hal. 4.
45
Iman Soepono. 2007. Pengantar Hukum Perburuhan. Jakarta : Djambatan. hal. 55.
38

Wiwoho Soedjono menyebutkan bahwa “perjanjian kerja adalah suatu


perjanjian antara orang perorang pada satu pihak dengan pihak lain sebagai
pengusaha untuk melaksanakan suatu pekerjaan dengan mendapatkan upah”.46
Sedangkan Lalu Husni menjelaskan bahwa perjanjian kerja adalah “suatu
perjanjian dimana pihak kesatu, si buruh mengikatkan dirinya pada pihak lain,
si majikan untuk bekerja dengan mendapatkan upah, dan majikan menyatakan
kesanggupannya untuk mempekerjakan si buruh dengan membayar upah”. 47
Pengertian kontrak/perjanjian kerja di atas melahirkan ciri-ciri perjanjian kerja
sebagai berikut:
1. Adanya perjanjian antara pekerja dengan pengusaha.
2. Perjanjian dilakukan secara tertulis maupun tidak tertulis (lisan).
3. Perjanjian dilakukan untuk waktu tertentu dan untuk waktu tidak
tertentu.
4. Perjanjian memuat syarat-syarat kerja serta hak dan kewajiban para
pihak.48
2. Syarat sahnya perjanjian
Syarat sahnya perjanjian diatur di dalam Pasal 1320 KUH Perdata,
antara lain:
a. Kesepakatan
Sebuah merupakan dasar lahirnya suatu perjanjian. Suatu
perjanjian dianggap lahir atau terjadi, pada saat dicapainya kata sepakat
antara para pihak yang mengadakan perjanjian.
b. Kecakapan
Menurut Pasal 1329 KUH Perdata setiap orang adalah cakap
untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak
dinyatakan tak cakap. Namun, KUH Perdata tidak menyebutkan
mengenai orang yang cakap membuat perjanjian. Selanjutnya Pasal
1330 KUH Perdata menyatakan bahwa tak cakap untuk membuat
46
Wiwoho Soedjono. 2003. Hukum Perjanjian Kerja. Jakarta : Bina Aksara. hal. 9.
47
Lalu Husni. 2000. Pengantar Hukum Tenaga Kerja Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo
Persada. hal. 51.
48
Ibid. hal. 46-47.
39

perjanjian adalah : 1) Orang-orang yang belum dewasa; 2) Mereka yang


ditaruh di bawah pengampuan; 3) Orang perempuan dalam hal-hal
tertentu ditetapkan oleh undang-undang.
c. Suatu hal tertentu
Adapun yang dimaksud suatu hal atau objek tertentu
(eenbepaald onderwerp) dalam Pasal 1320 B syarat 3, adalah prestasi
yang menjadi pokok kontrak yang bersangkutan. Hal ini untuk
memastikan sifat dan luasnya pernyataan-pernyataan yang menjadi
kewajiban para pihak. Prestasi tersebut harus bisa ditentukan,
dibolehkan, dimungkinkan dan dapat dinilai dengan uang.
d. Sebab yang halal
Syarat sahnya suatu perjanjian yang keempat adalah sebab yang halal.
Syarat adanya sebab yang halal maksudnya bukanlah sebab dalam arti
yang menyebabkan orang membuat perjanjian, melalaikan isi atau
tujuan perjanjian tersebut.
C. Teori Pertimbangan Hakim
Pertimbangan hakim adalah suatu tahapan dimana majelis
hakim mempertimbangkan fakta-fakta yang terungkap selama proses
persidangan berlangsung. Pertimbangan hakim merupakan salah satu
aspek terpenting dalam menentukan terwujudnya nilai dari suatu
putusan hakim yang mengandung keadilan dan mengandung kepastian
hukum, disamping itu juga mengandung manfaat bagi para pihak yang
bersangkutan sehingga pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan
teliti, baik, dan cermat. Apabila pertimbangan hakim tidak teliti, baik,
dan cermat maka putusan hakim yang berasal dari pertimbangan hakim
tersebut akan dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung.49
Hakim dalam memeriksa suatu perkara juga memerlukan
adanya pembuktian, dimana hasil dari pembuktian itu dapat dijadikan
bahan pertimbangan oleh hakim dalam memutus perkara. Pembuktian

Mukti Arto. 2004. Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama. Yogyakarta : Pustaka
49

Pelajar. hal. 140.


40

merupakan tahap yang paling penting dalam pemeriksaan selama


persidangan. Pembuktian bertujuan untuk memperoleh kepastian bahwa
suatu peristiwa/fakta yang sudah diajukan itu benar-benar terjadi, guna
mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil. Hakim tidak dapat
menjatuhkan suatu putusan sebelum nyata baginya bahwa
peristiwa/fakta tersebut benar-benar terjadi, yakni dapat dibuktikan
kebenarannya, sehingga tampak adanya hubungan hukum antara para
pihak.50
Pertimbangan-pertimbangan hakim akan dimuat dalam putusan, putusan
yang baik adalah putusan yang memenuhi 3 unsur aspek secara berimbang,
yaitu sebagai berikut:

a. Kepastian Hukum
Dalam hal ini kepastian hukum menginginkan hukum harus
dilaksanakan dan ditegakkan secara tegas bagi setiap peristiwa konkret
dan tidak boleh terdapat penyimpangan. Kepastian hukum memberikan
perlindungan kepada masyarakat dan tindakan sewenang-wenang dari
pihak lain, dan hal ini berkaitan dalam usaha ketertiban di masyarakat.
b. Keadilan
Masyarakat selalu berharap agar dalam pelaksanaan atau penegakan
hukum, memperhatikan nilai-nilai keadilan. Hukum itu mengikat
setiap orang, dan bersifat menyamaratakan atau tidak membanding-
bandingkan status ataupun perbuatan yang dilakukan oleh manusia.
c. Manfaat
Hukum itu ada untuk manusia, sehingga masyarakat mengharapkan
kemanfaatan dari pelaksanaan atau penegakan hukum. Jangan sampai
terjadi dalam pelaksanaan atau penegakan hukum itu timbul keresahan
dalam kehidupan bermasyarakat.

50
Ibid. hal. 141.
41

Putusan Hakim adalah suatu pernyataan oleh hakim yang diucapkan di


persidangan untuk mengakhiri suatu perkara yang diperhadapkan kepadanya. 51
Definisi putusan agak berbeda dalam tradisi common law tersebut adalah pihak
yang mengambil putusan. Pada tradisi hukum Indonesia, majelis hakim yang
mengambil kesimpulan untuk kemudian dituangkan dalam putusan, maka
dalam tradisi common law, juri yang berwenang untuk menyimpulkan atau
memutuskan suatu perkara yang sedang diadili.

b. Jenis-jenis Putusan
Putusan ditinjau dari sifatnya, maka putusan hakim ini dapat dibedakan
menjadi 3 (tiga) macam, yaitu :
a) Putusan Declaratoir (Pernyataan)
Yang dimaksud dengan Putusan Declaratoir adalah putusan
yang dijatuhkan oleh hakim amar yang menyatakan atau
menegaskan tentang suatu keadaan atau kedudukan hukum semata-
mata.52 Putusan yang bersifat deklaratif adalah pernyataan hakim
yang tertuang dalam putusan yang dijatuhkannya. Pernyataan
tersebut merupakan penjelasan atau penetapan tentang suatu hak
maupun status. Dan pernyataan tersebut dicantumkan dalam amar
putusan, dengan adanya pernyataan tersebut putusan telah
menentukan dengan pasti siapa yang berhak atau siapa yang
mempunyai kedudukan atas permasalahan yang di sengketakan.53
Misalnya perjanjian antara penggugat dan tergugat dinyatakan sah
menurut hukum, dan dinyatakan tergugat berhutang kepada
penggugat dalam jumlah tertentu.
b) Putusan Constitutief (Pengaturan)

51
Sudikno Mertokusumo. 2002. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta : Liberty. hal.
201.
52
Sarwono. 2016. Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik. Jakarta: Sinar Grafika. hal. 212.
53
Yahya Harahap, Op.cit., hal. 876
42

Yang dimaksud dengan constitutief atau konstitutif adalah


putusan yang memastikan suatu keadaan hukum, baik yang bersifat
meniadakan suatu keadaan hukum maupun yang menimbulkan
keadaan hukum baru.54 Misalnya putusan perceraian, yang mana
merupakan putusan yang meniadakan keadaan hukum yakni tidak
ada lagi ikatan hukum antara suami dan istri.
c) Putusan Condemnatoir (Menghukum)
Pengertian dari Putusan Condemnatoir (Menghukum) pihak
yang dikalahkan dalam persidangan untuk memenuhi prestasi. Pada
umumnya putusan ini terjadi disebabkan oleh karena dalam
hubungan perikatan antara penggugat dan tergugat yang bersumber
pada perjanjian atas Undang-undang telah terjadi wanprestasi dan
perkaranya diselesaikan dipengadilan.55
c. Asas-asas dalam Putusan Hakim
1) Asas musyawarah majelis
Putusan hakim harus didasarkan pada hasil musyawarah majelis,
musyawarah ini dilakukan oleh hakim untuk mengambil kesimpulan
terhadap sengketa yang sedang diadili untuk selanjutnya dituangkan
dalam putusan. Dalam musyawarah majelis ini, hakim diperbolehkan
mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion) sepanjang didasari
para argumentasi yang kuat dan rasional.
2) Putusan harus memuat dasar/alasan yang cukup
Putusan hakim harus dilandasi atas pertimbangan hukum (legal
reasoning, ratio decidendi) yang komprehensif. Putusan hakim yang
tidak cukup pertimbangannya menyebabkan putusan tersebut dapat
dikategorikan onvoldoende gemotiveerd. Keadaan demikian merupakan
permasalahan yuridis, karenanya dapat dibatalkan oleh pengadilan yang
lebih tinggi.
3) Putusan harus mengadili seluruh bagian gugatan
54
Ibid. hal 877.
55
Ibid. hal 213.
43

Seluruh bagian adalah segala sesuatu yang menjadi pokok


persengketaan para pihak di dalam gugatan. Dalam pengertian yang lebih
sederhana, seluruh bagian gugatan adalah petitum penggugat, karena
pada dasarnya setiap petitum dilandasi atau dilatari oleh posita
(fundamentum potendi)
4) Asas ultra petitum partium
Asas ultra petitum partium adalah asas yang melarang hakim untuk
memutus melebihi apa yang dituntut. Hakim yang memutus melebihi apa
yang dituntut Penggugat dianggap telah melampaui kewenangannya
(ultra vires, beyond the power of his authority).
5) Asas keterbukaan
Substansi utama dari asas keterbukaan adalah kewajiban untuk
mengucapkan putusan dalam persidangan yang terbuka untuk umum.
Asas keterbukaan ini bertujuan agar putusan pengadilan dapat lebih
transparan dan akuntabel. Asas keterbukaan juga dimaksudkan untuk
memberikan akses kepada publik yang ingin mengetahui langsung vonis
pengadilan atas kasus tertentu.
Prinsip keterbukaan ini bertujuan untuk menghindari adanya praktik
peradilan yang berat sebelah (partial). Prinsip demikian akan membuat
hakim yang mengadili perkara tersebut lebih berhati-hati dan cermat
dalam memutus.
6) Putusan harus tertulis
Putusan sebagai produk pengadilan merupakan akta autentik yang
memiliki kekuatan pembuktian dan kekuatan mengikat terhadap pihak-
pihak berperkara dan pihak ketiga. Sebagai kata autentik, putusan harus
dibuat secara tertulis dengan memperhatikan sistematika tertentu dan
syarat-syarat formil yang ditetapkan oleh perundang-undangan yang
berlaku.
D. Teori Keadilan
Dalam penulisan ini menggunakan teori keadilan. Latar belakang
lahirnya hukum kepailitan adalah sebagai reaksi atas ketidakadilan yang
44

ditimbulkan oleh prinsip hak prioritas kreditor, karna kreditor yang lebih cepat
mengeksekusi harta debitor akan mendapatkan pelunasan dari harta debitor,
sedangkan kreditor yang terlambat mengeksekusi harta debitor tidak akan
mendapatkan pelunasan piutangnya. Akibatnya kreditor cenderung bertindak
semena-mena mengambil harta debitor tanpa perhitungan yang jelas. Dari sisi
debitor, pelaksanaan hak prioritas kreditor berpotensi merugikan debitor, karna
tidak ada peraturan yang berlaku atau instansi yang berwenang menangani
pelaksanaan peraturan hak prioritas kreditor.
Hukum kepailitan di Indonesia di rancang sedemikian rupa untuk
menghindari adanya sitaan yang terpisah-pisah antara kreditor yang dapat
menimbulkan konflik hukum lainnya di masa depan, untuk mewujudkan
keadilan maka dibuat sitaan umum atas seluruh harta kekayaan debitor untuk
kepentingan seluruh debitor. Putusan atas permohonan kepailitan tersebut
mungkin tidak dapat memuaskan semua pihak, oleh karena itu terdapat
mekanisme kasasi atas putusan permohonan kepailitan tersebut. Menurut Pasal
11 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang pengajuan kasasi ke Mahkamah Agung adalah upaya hukum yang dapat
di tempuh oleh para pihak terhadap suatu putusan tingkat pertama atas
permohonan pailit. Seperti halnya pengajuan permohonan pailit pada tingkat
pertama, pengajuan kasasi ini dapat diajukan baik oleh debitor maupun
kreditor. Namun pada tingkat kasasi ini terdapat pihak lain yang dapat
mengajukan permohonan kasasi ini.
Di Negara Republik Indonesia keadilan digambarkan dalam Pancasila
sebagai dasar negara, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.56
Dalam sila lima tersebut terkandung nilai-nilai yang merupakan tujuan dalam
hidup bersama. Adapun keadilan tersebut didasari dan dijiwai oleh hakikat
keadilan kemanusiaan yaitu keadilan dalam hubungannya manusia dengan
dirinya sendiri, manusia dengan manusia lainnya, manusia dengan masyarakat,
bangsa, dan negara, serta hubungan manusia dengan Tuhannya.

56
Muhammad Sadi. 2015. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : Kencana. hal.196-197.
45

Sejarah juga sudah mencatat bahwa banyak filosof Yunani klasik lainnya
dimasa dulu yang telah mencoba untuk memberikan arti terhadap teori keadilan
sendiri, antara lain sebagai berikut:
1. Parmenides dari Elea (sekitar 475 sebelum Masehi)
2. Damon dari Athena (sekitar 460 sebelum Masehi)
3. Democritus dari Abdera (sekitar 420 sebelum Masehi)57
Dari beberapa filosof diatas, kemudian datang filosof Plato (427-347
sebelum Masehi), yang mengaitkan keadilan dengan prinsip-prinsip etika dari
sikap tindakan manusia. Menurut Plato, keadilan merupakan nilai kebajikan
untuk semua yang di ukur dari apa yang seharusnya di lakukan secara moral,
bukan hanya di ukur dari tindakan dan motif manusia saja. Lalu apa arti dari
keadilan bagi Plato, dimana Plato mengusahakan sebuah konsep mengagumkan
mengenai tentang Keadilan, yang hingga kini masih sangat mempengaruhi
tokoh-tokoh besar hukum di dunia dalam mengartikan makna dari Keadilan itu
sendiri antara lain adalah Profesor Scholten dari Belanda.
Setelah itu, datang filosof Aristoteles (384-322 sebelum Masehi),
Teori mengenai keadilan menurut Aristoteles adalah perlakuan yang sama bagi
mereka yang sederajat di depan hukum, tetap menjadi urusan tatanan politik
untuk menentukan siapa yang harus di perlakukan sama atau sebaliknya.58 Dari
teori keadilan melahirkan teori kemanfaatan.
Teori hukum tentang kemanfaatan yang berasal dari Jeremy
Bentham yang menerapkan salah satu prinsip dari aliran utilitarianism ke dalam
lingkungan hukum, yaitu: manusia akan bertindak untuk mendapatkan
kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaan. Bentham
selanjutnya berpendapat bahwa pembentuk Undang-undang hendaknya dapat
melahirkan Undang-undang yang dapat mencerminkan keadilan bagi semua
individu. Dengan berpegang pada prinsip tersebut di atas, perundangan itu
hendaknya dapat memberikan kebahagiaan yang terbesar bagi sebagian besar

57
Munir Fuady. 2010. Dinamika Teori Hukum. Bogor : Ghalia Indonesia. hal. 83.
58
Lawrence. M. Friedman. 2001. American Law an Introduction Terjemahan Wisma Bakti.
Jakarta: PT. Nusa. hal 4.
46

masyarakat (the greates happiness for the greatest number).59 Jadi yang di
utamakan dalam teori Jeremy Bentham adalah mewujudkan kebahagiaan yang
sebesar-besarnya.
Hal-hal yang telah diuraikan di atas maka dapat menjawab
permasalahan yang diajukan penulis untuk di pergunakan sebagai pendekatan
dengan kerangka teori. Kerangka berfikir menjadi konsep keadilan dan
perlindungan yang seimbang terhadap kepentingan karyawan perusahaan
(Perseroan Terbatas) kreditor dan debitor dalam hukum kepailitan yang terdapat
di Indonesia.
Teori Hukum Kepailitan terdiri dari : Universalist Theory, Creditor’s
Bargain Theory, Contractarian Approach Theory, Ethnical Vision Theory, Team
Production Theory of Bankruptcy. Disini penulis akan memaparkan 2 (dua) teori
yang relevan dengan apa yang akan dianalisis dengan karya tulis.
a. Universalist Theory
Jerome Sgard berpendapat bahwa tujuan dari hukum kepailitan yang di
kenal saat ini merupakan konvergensi dari 2 (dua) sistem hukum yaitu civil law
dengan common law. Konvergensi kedua sistem hukum kepailitan terjadi
pertama kali tatkala Inggris mengadopsi beberapa ketentuan hukum kepailitan
Prancis pada abad XVII Konvergensi antara sistem civil law dengan sistem
common law yang terjadi pada pertengahan abad ke XVII tersebut menandai
awal kelahiran dari teori universalitas hukum kepailitan atau universalist
theory. Tidak berlebihan jika Michelle Dean menyebutkan bahwa teori yang
paling mendasar dalam hukum kepailitan adalah teori universalis (universalist
theory).
Teori universalis kepailitan dibangun berdasarkan prinsip collective
execution atau sita umum atas aset debitor yang telah insolven atau tidak dapat
membayar utangnya. Teori ini menerapkan asas keseimbangan di antara para
kreditor dalam menanggung akibat kepailitan debitor. Teori universalis
merupakan teori hukum kepailitan klasik yang penerapannya mengalami
perkembangan sesuai dengan perkembangan zaman. Teori universalis
59
Lili Rasjidi, Op.cit., hal. 61.
47

mensyaratkan keadaan insolven sebagai dasar untuk menyatakan telah pailit.


Keadaan insolven adalah suatu kondisi di mana debitor seseorang tidak lagi
mampu membayar atau memenuhi kewajibannya pada pihak kreditornya,
dikarenakan utangnya lebih banyak dari asetnya dan usahanya tidak lagi
beroperasi (not going concern). Keadaan insolven dan debitor memiliki
beberapa kreditor menjadi dasar dari dilakukannya sita umum atas harta
debitor. Tanpa keadaan insolven, sita umum (collective execution) tidak
memiliki daya hukum untuk dilaksanakan atas harta benda seseorang,
meskipun orang tersebut terbukti tidak membayar utang-utangnya dan
utangnya lebih banyak dari pada asetnya.
b. Creditors Bargain Theory
Creditors' bargain theory atau dikenal juga sebagai creditor wealth
maximization, merupakan landasan teori yang memberi pengaruh dalam
perkembangan hukum kepailitan. Teori ini digagas pertama kali oleh Thomas
H. Jackson pada awal tahun 1980-an dan diikuti oleh Robert E.Scott dan
Doughlas G.Baird. Bargain theory lahir sebagai jawaban atas persoalan
commonpool yang diakibatkan oleh ketidakadilan dari praktik prinsip hak
prioritas kreditor (debtcollective system.) Hak prioritas kreditor berlandaskan
prinsip who gets what from a bankrupt debtor dan merupakan
pengejawantahan dari prinsip keadilan distributif (suum cuique tribuere).
Jackson menilai sistim ini hanya menguntungkan kreditor yang agresif
bertindak cepat mengeksekusi haknya dari harta debitor. Karenanya kreditor
yang tidak agressif atau kalah cepat untuk mengeksekusi harta debitornya akan
menanggung resiko tidak mendapat pembayaran . Kondisi ini disebut sebagai
commonpool problem atau grab race atau creditor run problem yang menjadi
alasan utama dari lahirnya creditors' barggiy theory. Jackson bersikukuh
bahwa praktek penagihan utang berdasarkan collecting debt dan melikuidasi
harta pailit tidak efektif dan berbiaya tinggi. Di sisi lain, kreditor tidak
selamanya dapat memperoleh pembayaran atas piutangnya secara maksimal
hanya dengan cara melikuidasi harta pailit. Bahkan tidak jarang terjadi, ketika
48

debitor dinyatakan pailit, tidak ada aset debitor yang dapat dieksekusi untuk
pembayaran utangnya.
Kondisi ini yang disebut sebagai commonpool yaitu suatu keadaan
dimana tagihan para kreditor menumpuk tidak dapat dibayar dari harta pailit
yang ada dikarenakan kewajiban debitor lebih besar dari nilai hartanya. Untuk
menghindari kondisi commonpool tersebut, efisiensi pengurusan dan
pemberesan harta pailit harus ditingkatkan dengan fokus utama meningkatkan
atau mengakumulasikan nilai dari harta pailit serta sekaligus menekan biaya
kepailitan dengan cara terbaik disepakati oleh para kreditor.
Untuk tujuan tersebut, maka hukum kepailitan sebagai instrumen
pembayaran utang secara kolektif atau collectivized debt collection divice
idealnya harus ditujukan untuk memberikan pembayaran secara maksimal
kepada tiap-tiap kreditor dengan melakukan upaya terbaik yang dapat
diterapkan terhadap harta pailit (the 'best use' of the common poll). Upaya
terbaik tersebut dapat dicapai dengan tawar-menawar kepentingan antara
sesama kreditor (creditor's bargaining). Dengan cara demikian, para kreditor
sepakat menentukan cara terbaik yang akan ditempuh guna meningkatkan nilai
harta pailit.
49

BAB IV
ANALISIS HASIL PENELITIAN/ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN

A. Kronologi Singkat Perkara No. 186/K/Pdt.Sus-Pailit/2015 juncto


557/K/Pdt.Sus-Pailit/2018
Pada penelitian ini membahas mengenai kepailitan pada PT. United
Coal Indonesia yang di gugat oleh dua perusahaan terkait utang. Sidang gugatan
permohonan kepailitan kepada termohon berlangsung di Pengadilan Niaga
Jakarta Pusat, Jalan Gajah Mada, Gambir pada Senin, 13 Oktober 2014. Dalam
sidang perdana tersebut, CV. Satria Duta Perdana dan CV. Exsiss Jaya
mengajukan permohonan kepailitan kepada PT. United Coal Indonesia yang
bergerak sebagai perusahaan pertambangan batubara di Samarinda. Sidang
dibuka Majelis Hakim Pengadilan Niaga yang di ketuai oleh Titik Tejaningsih.
Permohonan kepailitan diajukan kepada PT. United Coal Indonesia teregister
dengan nomor perkara No. 32/Pdt.Sus/Pailit/2014/PN.Niaga.Jkt merupakan
sebuah bentuk upaya proses hukum akibat tidak dibayarnya utang para kreditor
PT. United Coal Indonesia dan utang tersebut telah jatuh tempo serta dapat
ditagih. Permohonan kepailitan tersebut diajukan karena adanya hak-hak
kreditor lain yang diajukan untuk membantu 5 (lima) karyawan PT. United Coal
Indonesia cabang Site Palaran yang upahnya tidak dibayar selama 3 (tiga) bulan
50

berturut-turut sejak bulan Juni, Juli dan Agustus oleh PT. United Coal Indonesia
dan utang tersebut sudah jatuh tempo.60
Dasar pengajuan permohonan perkara kepailitan karena PT. United
Coal Indonesia mengalami kegagalan dalam melunasi pembayaran tagihan yang
timbul atas pembelian alat-alat kebutuhan operasional PT. United Coal
Indonesia yang dilakukan berdasarkan pemesanan (Purchase Order) yang jatuh
tempo pembayaran dengan jumlah nilai total tagihan mencapai Rp.116.137.500,-
(seratus enam belas juta seratus tiga puluh tujuh ribu lima ratus rupiah) dan
Rp.103.817.700,- (seratus tiga juta delapan ratus tujuh belas ribu tujuh ratus
rupiah). Jumlah total tagihan sebesar Rp.219.955.200,- (dua ratus sembilan belas
juta sembilan ratus lima puluh lima ribu dua ratus rupiah). Sedangkan utang
kreditor yang lain yang diajukan, berasal dari 5 (lima) karyawan PT. United
Coal Indonesia yang upahnya tidak dibayar selama 3 (tiga) bulan berturut-turut.
Upah sudah jatuh tempo dengan nilai sebesar Rp.103.728.000,- (seratus tiga juta
tujuh ratus dua puluh delapan ribu rupiah). Tak hanya itu, selain 5 (lima)
karyawan PT. United Coal Indonesia yang upahnya belum dibayar oleh PT.
United Coal Indonesia, ternyata masih ada sekitar 91 (sembilan puluh satu)
karyawan PT. United Coal Indonesia cabang site Palaran yang hak-hak berupa
tunggakan upah 3 (tiga) bulan gaji tidak dibayar oleh PT. United Coal Indonesia
dengan nilai total keseluruhan hampir mencapai Rp.1.000.000.000,- (satu miliar
rupiah). Namun dari hasil persidangan permohonan kepailitan yang diajukan tim
kuasa hukum CV. Satria Duta Perdana dan CV. Exsiss Jaya kepada Majelis
Hakim, ternyata di tangguhkan menjadi PKPU (Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang), dan kini PT. United Coal Indonesia sudah resmi dinyatakan
pailit dengan pembatalan perdamaian oleh Pengadilan Niaga Jakarta pada tahun
2015, karena telah lalai dalam menjalankan perjanjian pembayaran utang.
Setelah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga, untuk selanjutnya
pengurusan dan pemberesan harta pailit debitor dilakukan oleh Kurator selaku
pihak yang di tunjuk oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta
60
Pebrianto Eko Wicaksono. 2014. United Coal di gugat pailit. Diakses dari:
https://www.liputan6.com/bisnis/read/2118397/united-coal-indonesia-digugat-pailit. Tanggal 13
Oktober 2014.
51

debitor pailit. Dalam hal ini debitor mempunyai 1 (satu) kreditor separatis yaitu
PT. Bank Mandiri, 2 (dua) kreditor preferen yaitu karyawan dan kantor
pelayanan pajak dan terdapat 160 (seratus enam puluh) kreditor konkuren.
Dalam pembagian utang harta debitor pailit yang di lakukan oleh Kurator CV.
Exiss Jaya dan CV. Satria Dua Perdana selaku kreditor konkuren merasa
keberatan atas pembagian utang harta debitor. Tidak hanya itu untuk selanjutnya
Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal Pajak, Kantor
Wilayah DJP Wajib Pajak Besar, Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar
Satu juga merasa keberatan atas pembagian utang yang di lakukan oleh kurator.
B. Tinjauan Peraturan Perundang-Undangan Nomor 37 Tahun 2004
Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
terhadap PT. United Coal Indonesia Nomor 186 K/Pdt.Sus-Pailit/2015
juncto Nomor 557 K/Pdt.Sus-Pailit/2018.
Permohonan pernyataan pailit diajukan pada tanggal 13 Oktober 2014
oleh CV Satria Duta Perdana dan CV. Exiss Jaya dengan perkara Nomor
32/Pdt.Sus.Pailit/2014/PN.Niaga.Jkt.Pst. Sebagai kreditor (yang selanjutnya
disebut sebagai pemohon), Terhadap PT. United Coal Indonesia yang bergerak
sebagai perusahaan pertambangan batu bara di Samarinda, yang berkedudukan
di Sudirman Plaza Marein 11th Floor, jalan Jenderal Sudirman Kav 76-78,
Jakarta, yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Rahmat Indra, SH.,
LLM., Djamaludin, SH., dan Bayu Putra Wicaksono, SH., Advokat dan
Pengacara yang berkantor di RID & Associate, yang beralamat di komplek
Mitra Sunter Blok B Nomor 26 Jalan Ros Sudarso Kav. 89, Jakarta yang
berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 23 Oktober 2015, (yang selanjutnya
disebut sebagai Termohon)
Berdasarkan Pemaparan proses Kepailitan PT. United Coal Indonesia
diatas dan melihat tentang penerapan Undang-Undang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam menyelesaikan kasus
Kepailitan PT. United Coal Indonesia. Pengajuan Permohonan kepailitan
adalah harus memenuhi syarat berdasarkan Pasal 2 ayat (1) adalah
1) Debitor harus mempunyai dua atau lebih kreditor
52

2) Tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu
dan dapat di tagih.
Dan berdasarkan pemaparan dalam buku karya Munir Fuady umumnya
orang sering menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pailit atau bangkrut itu
adalah sitaan umum atau seluruh harta debitor agar tercapainya perdamaian
antara debitor dan para kreditor atau agar harta tersebut dapat di bagi-bagi
secara adil diantara para kreditor. Dari ketentuan dalam Pasal 2 Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2004 bahwa syarat-syarat yuridis agar suatu
perusahaan dapat dinyatakan pailit adalah sebagai berikut:
1) Adanya utang.
2) Minimal satu dari utang sudah jatuh tempo.
3) Minimal satu dari utang dapat di tagih.
4) Adanya Debitor.
5) Adanya Kreditor.
6) Kreditor lebih dari satu.
7) Pernyataan pailit di lakukan oleh pengadilan khusus yang disebut
dengan “Pengadilan Niaga”.
8) Permohonan Pernyataan Pailit diajukan oleh pihak yang berwenang,
yaitu :
a. Pihak Debitor;
b. Satu atau lebih kreditor;
c. Jaksa untu kepentingan umum;
d. Bank Indonesia jika debitor bank;
e. Bapepam jika debitornya perusahaan efek, bursa efek, lembaga
kliring dan penjamin, dan lembaga penyimpanan dan
penyelesaian; serta
f. Menteri Keuangan jika debitornya perusahaan asuransi, dana
pension; dan BUMN yang bergerak di bidang kepentingan
publik;
53

g. Syarat-syarat lainnya yang di sebutkan di dalam Undang-


Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang;
h. Apabila syarat-syarat terpenuhi, hakim “menyatakan pailit”,
bukan “dapat menyatakan pailit”. Dengan demikian, dalam hal
ini kepada hakim tidak di berikan ruang untuk memberikan
“judgement” yang luas seperti pada kasus-kasus lainnya,
sungguhpun limited defence masih di benarkan, mengingat yang
berlaku adalah prosedur pembuktian yang sumir (vide Pasal 8
ayat (4) Undang-Undang Kepailitan).
Berdasarkan syarat yang mendasar dari pengajuan permohonan
pailit tersebut, maka terhadap kasus Kepailitan PT. United Coal
Indonesia sudah bisa dikatakan memenuhi syarat dasar kepailitan
tersebut yaitu:
Bahwa PT. United Coal Indonesia mempunyai kreditor-kreditor
lebih dari dua kreditor yaitu PT. United Coal Indonesia, yang mana
permohonan kepailitan diajukan oleh CV. Satria Duta dan CV. Exiss
Jaya. Permohonan kepailitan tersebut diajukan karena adanya hak-hak
kreditor lain yang diajukan, yaitu untuk membantu 5 (lima) karyawan
PT. United Coal Indonesia cabang site Palaran yang upahnya tidak
dibayarkan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut sejak bulan Juni, Juli
dan Agustus oleh PT. United Coal Indonesia dan telah jatuh tempo dan
karyawan lainnya.
Sedangkan pengertian Utang menurut Pasal 1 angka 6 Nomor
37 Tahun 2004 Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang adalah “Kewajiban yang dinyatakan atau dapat
dinyatakan dalam jumlah utang baik dalam mata uang Indonesia
maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan
timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian
atau Undang-Undang dan wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak
54

dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya


dari harta kekayaan debitor.
Dari pengertian utang diatas, bahwa PT. United Coal Indonesia
tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan
dapat ditagih. Dalam Putusan Nomor 186 K/Pdt.Sus-Pailit/2015
berdasarkan hasil verifikasi yang telah dilakukan oleh Pengurus,
Kreditor dan Debitor disampaikan bahwa jumlah utang PT. United Coal
Indonesia adalah sebagai berikut :
Jumlah kreditor (separatis dan konkuren) sebanyak 161 (seratus
enam puluh satu) kreditor dengan tagihan Rp.488.731.532,38 (empat
ratus delapan puluh delapan juta tujuh ratus tiga puluh satu lima ratus
tiga puluh dua koma tiga puluh delapan rupiah) dengan perincian
sebagai berikut:
1. Kreditor separatis sebanyak 1(satu) kreditor dengan total
tagihan sebesar Rp.281.099.798.470,- (dua ratus delapan puluh
satu miliar sembilan puluh sembilan juta tujuh ratus sembilan
puluh delapan ribu empat ratus tujuh puluh rupiah);
2. Kreditor konkuren sebanyak 160 (seratus enam puluh) kreditor
yang terdiri dari:
a. Yang mengajukan tagihan sebanyak 88 (delapan puluh
delapan) kreditor dengan total tagihan sebesar
Rp.77.611.322.621,58 (tujuh puluh tujuh miliar enam ratus
sebelas juta tiga ratus dua puluh dua ribu enam ratus dua
puluh satu koma lima puluh delapan rupiah);
b. Yang tidak mengajukan tagihan dan diakui oleh Debitor
sebanyak 72 (tujuh puluh dua) kreditor dengan total tagihan
sebesar Rp.130.020.710.440,80 (seratus tiga puluh miliar
dua puluh juta tujuh ratus sepuluh ribu empat ratus empat
puluh koma delapan puluh rupiah)
Bahwa menurut Pasal 170 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyatakan:
55

“Kreditor dapat menuntut pembatalan suatu perdamaian yang telah


disahkan apabila Debitor lalai memenuhi isi perdamian tersebut”.
Dan penjelasan Pasal 170 ayat (1) tersebut, Kreditor CV Exiss
Jaya dan CV Satria Dua Perdana dapat menuntut pembatalan suatu
perdamaian yang telah di sahkan, karena PT. United Coal Indonesia
terbukti telah lalai dalam memenuhi isi perdamaian tersebut. Untuk
selanjutnya Pasal 291 Ayat (2) Undang-Undang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyatakan:
“Dalam putusan Pengadilan yang membatalkan perdamaian, Debitor juga harus
dinyatakan Pailit” sebagai konsekuensi lebih lanjut adanya pembatalan
perdamaian yang telah disahkan tersebut, maka debitor harus dinyatakan pailit
C. Pertimbangan Mahkamah Agung
Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam
menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung
keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian hukum, dan disamping
itu juga mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan sehingga
pertimbangan hakim ini harus di sikapi dengan teliti, baik dan cermat.61
1. Nomor 186 K/Pdt.Sus-Pailit/2015
Pada kasus ini Majelis Hakim Mahkamah Agung setelah meneliti
secara seksama memori kasasi tanggal 20 Januari 2015 dan 21 Januari
2015 serta kontra memori kasasi tanggal 2 Februari 2015, di hubungkan
dengan pertimbangan Judex Facti dalam hal ini Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak salah menerapkan hukum dengan
pertimbangan sebagai berikut:
Bahwa tidak di temukan alasan-alasan untuk menolak adanya
pengesahan perdamaian berdasarkan Pasal 285 Ayat (2) Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang dan voting telah di lakukan sesuai dengan ketentuan
Pasal 281 Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
61
Mukti Arto. Op.cit., hal. 140.
56

Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, ternyata Putusan


Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
55/Pdt.Sus.PKPU/2014/PN.Niaga.Jkt.Pst.juncto.32/Pdt.Sus.Pailit/2014/
PN.Niaga.Jkt.Pst Tanggal 14 Januari 2015 dalam perkara ini tidak
bertentangan dengan hukum dan/atau Undang-undang, sehingga
permohonan kasasi yang diajukan oleh Para Pemohon Kasasi: CV. Exiss
Jaya dan CV Satria Dua Perdana tersebut harus ditolak:
Bahwa oleh karena permohonan kasasi dari Para Pemohon Kasasi
ditolak. Para Pemohon Kasasi harus dihukum untuk membayar biaya
perkara dalam tingkat kasasi ini:
Memperhatikan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan
kedua dengan Undang-Udang Nomor 3 Tahun 2009, serta peraturan
perundang-undangan lain yang bersangkutan.
2. Nomor 557 K/Pdt.Sus-Pailit/2018
Pada kasus ini Majelis Hakim Mahkamah Agung setelah meneliti
secara seksama memori kasasi tanggal 13 Februari 2018 dan kontra
memori kasasi tanggal 21 Februari 2018, dihubungkan dengan
pertimbangan Judex Facti dalam hal ini Pengadilan Niaga pada Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan
sebagai berikut:
a. Pemohon Keberatan selaku Kreditor Preferen yang memiliki tagihan
yang diakui sebesar Rp.43.334.542.265,- (empat puluh tiga miliar
tiga ratus tiga puluh empat juta lima ratus empat puluh dua ribu dua
ratus enam puluh lima rupiah) dengan jumlah harta pailit yang akan
dibagi kepada para Kreditor hanya sejumlah Rp.30.987.247.383,-
(tiga puluh miliar sembilan ratus delapan puluh tujuh juta dua ratus
empat puluh tujuh ribu tiga ratus delapan puluh tiga rupiah), yang
57

mana jumlah ini tidak akan memenuhi seandainya dibayarkan


seluruhnya kepada Pemohon Keberatan, padahal terhadap pula
Kreditor Separatis yang memiliki tagihan yang diakui sejumlah
Rp.280.637.628.291,27 (dua ratus delapan puluh miliar enam ratus
tiga puluh tujuh juta enam ratus dua puluh delapan ribu dua ratus
sembilan puluh satu koma dua puluh tujuh rupiah);
b. Pembagian yang dilakukan oleh Kurator dengan persetujuan Hakim
Pengawas yaitu terhadap Pemohon Keberatan Kantor Pelayanan
Pajak Wajib Pajak Besar Satu memperoleh Rp.2.549.161.883,- (dua
miliar lima ratus empat puluh sembilan juta seratus enam puluh satu
ribu delapan ratus delapan puluh tiga rupiah) atau sebesar 5,88% dari
tagihan yang diakui dan Kreditor Separatis PT. Bank Mandiri
(Persero) Tbk., menerima Rp.14.000.000.000,- (empat belas miliar
rupiah) atau sebesar 4,99% dari tagihan yang diakui adalah tepat dan
benar, karena sesuai dengan asas keadilan yang dijadikan dasar
dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
c. Demikian pula tagihan Kreditor Konkuren PT Palaran Indah Lestari
telah sesuai dengan ketentuan Pasal 189 Ayat (3) Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang;
Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, ternyata Putusan
Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
11/Pdt.Sus/Pembatalan Perdamaian/2015/PN/Niaga/Jkt.Pst juncto
55/Pdt.Sus.PKPU/2014/PN.Niaga.Jkt.Pst.
juncto.32/Pdt.Sus.Pailit/2014/PN.Niaga.Jkt.Pst, tanggal 6 Februari 2018
dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau Undang-
undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi
Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pajak,
Kantor Wilayah DJP Wajib Pajak Besar, Kantor Pelayanan Pajak Wajib
Pajak Besar Satu tersebut harus di tolak.
58

Oleh karena permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi ditolak, maka


Pemohon Kasasi harus di hukum untuk membayar biaya perkara dalam
tingkat kasasi ini;
Memperhatikan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan Perubahan
Kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, serta peraturan
perundang-undangan lain yang bersangkutan.

D. Putusan Mahkamah Agung


Didalam Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang memberi hak atau kesempatan bagi kreditor lain
(bukan pemohon pailit) untuk mengajukan upaya hukum kasasi yang
bertujuan untuk mencegah adanya kolusi atau mufakat jahat antara
Kreditor dan Debitor. Putusan kasasi harus diucapkan dalam jangka waktu
paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung setelah tanggal permohonan
kasasi diterima Mahkamah Agung. Salinan putusan kasasi dikirim oleh
Panitera Mahkamah Agung. Salinan putusan kasasi dikirim oleh Panitera
Mahkamah Agung ke Pengadilan Niaga dalam jangka waktu paling lambat
3 (tiga) hari setelah tanggal putusan kasasi diucapkan.62
Berdasarkan Pasal 196 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyatakan bahwa kurator atau
setiap kreditor dapat mengajukan permohonan kasasi atas putusan majelis
hakim prosedur renvoi mengenai perlawanan atas Daftar Pembagian yang
diajukan oleh kreditor yang keberatan atas isi Daftar Pembagian harta
debitor pailit. Sebagaimana sama halnya dengan beberapa pihak dari
kreditor PT. United Coal Indonesia mengajukan kasasi ke Mahkamah

62
Elysa Ras Ginting. Op.cit., hal. 342.
59

Agung dengan putusan Nomor 186 K/Pdt.Sus-Pailit/2015 dan Nomor 557


K/Pdt.Sus-Pailit/2018
1. Putusan Nomor 186 K/Pdt.Sus-Pailit/2015
a) Menolak permohonan kasasi dari Para Pemohon Kasasi:
CV. Exiss Jaya dan CV. Satria Dua Perdana tersebut:
b) Menghukum Para Pemohon Kasasi untuk membayar biaya
perkara dalam tingkat kasasi yang di tetapkan sebesar
Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah);
Putusan tersebut berdasarkan rapat musyawarah Majelis
Hakim pada hari Selasa, anggal 12 Mei 2015 oleh Syamsul
Ma’arif, S.H., LL.M., Ph.D., Hakim Agung yang di tetapkan
oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, Dr. H.
Abdurrahman, S.H., dan I Gusti Agung Sumanatha, S.H.,
M.H., Hakim-Hakim Agung, masing-masing sebagai Anggota,
putusan tersebut diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum
pada hari itu juga oleh ketua dengan dihadiri oleh Anggota-
Anggota tersebut dan oleh Rita Elsy, S.H., M.H., Panitera
Pengganti tanpa di hadiri oleh para pihak.
c) Putusan Nomor 557 K/Pdt.Sus-Pailit/2018
1) Menolak permohonan Kasasi dari pemohon Kasasi
Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat
Jenderal Pajak, Kantor Wilayah DJP Wajib Pajak Besar,
Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar Satu,
tersebut;
2) Menghukum Pemohon Kasasi untuk membayar biaya
perkara dalam tingkat kasasi yang di tetapkan sebesar
Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah);
Putusan tersebut berdasarkan rapat musyawarah Majelis Hakim pada
hari Selasa, tanggal 10 Juli 2018 oleh Dr. Yakup Ginting S.H., C.N.,
M.Kn., Hakim Agung yang di tetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung
sebagai Ketua Majelis, Dr. H. Zahrul Rabain, S.H., M.H., dan Sudrajat
60

Dimyati, S.H., M.H., Hakim-hakim Agung sebagai Hakim Anggota dan


diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua
Majelis dengan di hadiri Para Hakim Anggota tersebut dan oleh Susi
Saptati, S.H., M.H., Panitera Pengganti dan tidak di hadiri oleh para pihak.

E. Analisa Putusan Pailit Nomor 186 K/Pdt.Sus-Pailit/2015 juncto Nomor 557


K/Pdt.Sus-Pailit/2018.
Berdasarkan dari serangkaian pemahaman sebagaimana peneliti telah
diuraikan diatas, maka peneliti dapat menjabarkan hal-hal substansial dalam
menganalisis penelitian ini, yaitu Analisis Pertimbangan Hukum Putusan
Mahkamah Agung Nomor 186 K/Pdt.Sus-Pailit/2015 juncto Nomor 557
K/Pdt.Sus-Pailit/2018.
a. Pertimbangan Hukum Mahkamah Agung pada perkara Nomor 186
K/Pdt.Sus-Pailit/2015 adalah sebagai berikut :
Bahwa pertimbangan hukum tersebut telah tepat dan benar, yaitu
dengan menolak permohoan kasasi para pemohon yaitu 1. CV. Exiss Jaya
dan 2. CV. Satria Dua Perdana, yang mana telah sesuai dengan fakta
persidangan yang telah di pertimbangkan secara cukup oleh Judex Facti
yang menunjukkan bahwa perbuatan Tergugat 1 (Pemohon Kasasi) merasa
keberatan karena sebelum dilaksanakannya homologasi baik kepada
Majelis Hakim Pemeriksa Perkara maupun Hakim Pengawas. Bahwa
dalam hal rencana perdamaian (homologasi) PT. United Coal Indonesia
(dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) tersebut tidak secara
jelas menyebutkan berapa banyak kepemilikan saham-saham PT. United
Coal Indonesia pada PT. Karya Putra Borneo, karena dengan adanya
kejelasan komposisi saham yang di miliki PT United Coal Indonesia ini
akan berkaitan dengan nilai jual dan hak pemegang saham lainnya pada
PT. Karya Putra Borneo dalam kaitannya dengan rencana penjualan asset
berupa saham-saham milik PT. United Coal Indonesia.
Pertimbangan Hukum demikian yang di buat oleh Mahkamah Agung
memungkinkan adanya perdebatan yang muncul, hal ini di dasari bahwa
61

sebenarnya inti poin-poin keberatan pemohon Kasasi (kreditor pailit) tidak


terjawab secara mendetail dan substansial. Karena sikap dari termohon
kasasi baik terhadap Pengurus, dan Hakim Pengawas yang sejak awal
tidak pernah transparan dan terbuka menjelaskan mengenai keberadaan
asset Termohon Kasasi berupa anak perusahaan PT. Karya Putra Borneo.
Namun menurut peneliti hal ini tidak terlepas dari status Mahkamah
Agung sebagai Judex Jurist yang hanya menilai tepat atau tidaknya Judex
Jurist dalam menerapkan hukum. Hal ini menjadi logis dan tepat bila kita
teliti Pemohon Kasasi (Kreditor Pailit) menggaungkan poin-poin keberatan
mengenai bukti yang ada. Adapun dalil-dalil keberatan yang diajukan oleh
pemohon kasasi I dalam memory kasasinya adalah sebagai berikut :
1) Bahwa Judex Facti telah salah menerapkan atau melanggar hukum
yang berlaku dengan mengabaikan keberatan dan penolakan yang
diajukan Permohonan Kasasi sebagai homologasi.
2) Pelaksanaan Perdamaian tidak menjamin terpenuhinya hak-hak
Kreditor
3) Perdamaian dicapai karena penipuan, atau persekongkolan dengan
satu atau lebih kreditor dengan upaya tidak jujur antara Kreditor
dengan Debitor PT. United Coal Indonesia.
Adapun dalil-dalil keberatan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi II
dalam memori kasasinya adalah sebagai berikut :
1) Perdamaian dicapai karena penipuan, atau persekongkolan dengan
satu atau lebih Kreditor, dengan upaya tidak jujur antara Kreditor
dengan Debitor PT. United Coal Indonesia.
2) Pelaksanaan Perdamaian tidak menjamin terpenuhinya hak-hak
Kreditor karena ada manipulasi Fakta
3) Judex Facti telah salah menerapkan atau melanggar hukum yang
berlaku dengan tidak melakukan pemeriksaan secara patut terhadap
kebenaran gadai saham milik PT. United Coal Indonesia pada PT.
Karya Putra Borneo sebelum Homologasi.
62

b. Pertimbangan Hukum Mahkamah Agung pada perkara Nomor 557


K/Pdt.Sus-Pailit/2018 adalah sebagai berikut :
Bahwa pertimbangan hukum tersebut tepat dan benar, yaitu dengan
menolak permohonan kasasi para pemohon yaitu:
Pemohon (Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat
Jenderal Pajak, Kantor Wilayah DJP Wajib Pajak Besar, Kantor Pelayanan
Pajak Wajib Pajak Besar Satu) selaku sebagai Kreditor Preferen yang
memiliki tagihan yang diakui sebesar Rp.43.334.542.465,- (empat puluh
tiga miliar tiga ratus tiga puluh empat juta lima ratus empat puluh dua ribu
enam ratus enam puluh lima rupiah) dengan jumlah harta pailit yang akan
dibagi kepada kreditor hanya sejumlah Rp30.987.247.383,- (tiga puluh
miliar sembilan ratus delapan puluh tujuh juta dua ratus empat puluh tujuh
ribu tiga ratus delapan puluh tiga rupiah) yang mana jumlah ini tidak akan
memenuhi seandainya dibayarkan seluruhnya kepada Pemohon Keberatan,
padahal terdapat pula kreditor separatis, dan kreditor konkuren lainnya.
Berdasarkan poin-poin ini argumentasi para Pemohon kasasi juga di
hubungkan dengan pertimbangan hukum Mahkamah Agung yang
memperkuat Judex Facti, maka menurut Peneliti Mahkamah Agung telah
tepat, karena pada prinsipnya Mahkamah Agung hanya perlu melihat dan
fokus pada Pasal 285 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan
voting yang telah di lakukan sesuai dengan Pasal 281 Tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang sebagai landasan yuridis
unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam pembuktian action paulina.
Sehingga putusan Mahkamah Agung tersebut setidaknya telah memuat
alasan dan dasar hukum yang menjadi acuan terbentuknya putusan
tersebut, sebagaimana telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang 14 Tahun
1985 Tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan Perubahan kedua dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009.
63

Dalam prakteknya dalam hukum kepailitan di seluruh dunia


menganut teori kombinasi antara creditors bargain theory, procedure
theory dengan contractarian approach atau teori multiple value.
Contractarian theory dan Creditors bargain theory sependapat untuk
memfungsikan hukum kepailitan sebagai a compulsory bankruptcy
procedure dengan satu tujuan yaitu untuk memaksimalkan pembayaran
kepada kreditor. Perbedaannya adalah bahwa Contractarian theory
memfokuskan cara memaksimalkan nilai harta pailit dengan meneruskan
usaha debitor pailit dan kalaupun harus dilikuidasi sebaiknya perusahaan
dijual dalam kondisi going concern dalam satu paket daripada dijual satu
persatu (peace in peace). Sedangkan Creditor’s bargain theory tidak
menjadikan kelangsungan usaha debitor pailit sebagai satu-satunya cara
terbaik (the ‘best use”) untuk memaksimalkan perolehan nilai harta
pailit.63
Berbeda halnya dengan Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang Indonesia secara fundamental menganut
teori universalitas kepailitan yang diadopsi dari Pasal 1131 dan 1132 KUH
Perdata yang menganut tentang pembayaran secara pari pasu dan pro rata
parte. Prinsip collective executive terkandung dalam Pasal 21, Pasal 59,
Pasal 178 dan 178 Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang yang mengatur seluruh harta debitor berada di bawah
sita umum sejak debitor dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga.
Collective execution atau sita umum harta debitor pailit tidak di kecualikan
dari harta debitor yang berstatus sebagai jaminan utang, meskipun Pasal 55
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyatakan dengan tegas
bahwa para kreditor pemegang hak jaminan atas kebendaan (gadai, hak
tanggungan, jaminan fidusia, hipotek, dan hak agunan lainnya) dapat
mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. 64
Hal ini sama
63
Ibid. hal. 85-86.
64
Ibid. hal 98.
64

halnya dengan perkara Nomor 186 K/Pdt.Sus-Pailit/2015 juncto Nomor


557 K/Pdt.Sus-Pailit/2018, dalam kasus ini yang menjadi satu-satunya
kreditor separatis adalah PT. Bank Mandiri sebagai kreditor yang
memegang jaminan gadai saham PT. United Coal Indonesia pada PT.
Karya Putra Borneo (sebagai anak perusahaan).
Teori creditor’s bargaining sangat kental berpengaruh dalam
Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Indonesia terutama berkaitan dengan kepentingan para kreditor konkuren.
Yang mana dalam kasus perkara Pailit pada PT. United Coal Indonesia ini
terdapat 88 (delapan puluh delapan) kreditor konkuren, 68 (enam puluh
delapan) kreditor yang hadir dalam pemungutan suara (voting) dan
terdapat 63 (enam puluh tiga) kreditor konkuren yang setuju dengan
proposal perdamaian dan sebanyak 5 (lima) kreditor konkuren yang tidak
setuju dengan proposal perdamaian. Hal tersebut di bahas dalam rapat
proposal perdamaian final pada tanggal 8 Januari 2015.

F. Pertimbangan hukum Mahkamah Agung terhadap karyawan PT.


United Coal Indonesia akibat putusan pailit, berdasarkan hukum
kepailitan di Indonesia.
Pertimbangan hukum berisi mengenai analisis, argument, pendapat atau
kesimpulan hakim dari hakim yang memeriksa perkara. Biasanya terdapat
pertimbangan yang sering kali dijadikan alasan atau dasar bagi pihak yang
dikalahkan untuk melakukan upaya hukum selanjutnya, dengan menganggap
bahwa suatu putusan tidak memiliki cukup pertimbangan, sehingga berharap
putusan tersebut dibatalkan. Seperti yang tertuang dalam Putusan Mahkamah
Agung Nomor 672 K/Sip/1972, bahwa putusan harus dibatalkan, karena tidak
cukup pertimbangan.65
Guna keperluan penelitian agar lebih menyeluruh maka kiranya perlu
juga ditinjau hasil pertimbangan yang telah di keluarkan oleh hakim

65
M.Yahya Harahap. 2007. Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta : Sinar Grafika. hal. 809-810.
65

ditingkatkan pertama sebagai judex facti untuk mendapatkan gambaran yang


terang tentang perkara ini, dalam hal ini peneliti akan menganalisis hal-hal
yang menjadi pertimbangan hukum dalam memutus perkara kepailitan
terhadap PT. United Coal Indonesia dengan di kaitkan dengan peraturan
Perundang-Undangan yang ada yaitu sebagai berikut:
Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang
memeriksa dan mengadili perkara keberatan atas pembagian harta pailit pada
pengadilan tingkat pertama, telah menjatuhkan putusan perkara antara
Kementerian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pajak, Kantor
Wilayah DJP Wajib Pajak Besar, Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar
Satu selaku Pemohon I dan sebagai Kreditor Preferen dan PT. Palaran Indah
Lestari selaku Pemohon II dan sebagai kreditor konkuren, yang mana
mengajukan permohonan yang menyatakan keberatan atas Pengumuman
Daftar Pembagian akhir harta pailit PT. United Coal Indonesia (dalam pailit)
terhadap DR Andrey Sitanggang, S.H., M.H., S.E., Rio Ferry Sihombing S.H.,
Vychung Chongson, S.H. selaku tim kurator PT. United Coal Indonesia (dalam
pailit), Pada tanggal 19 Desember 2017. Adapun pertimbangan hukumnya
sebagai berikut:
1. Eksepsi tergugat yang menyatakan bahwa alasan termohon melakukan
daftar pembagian tersebut adalah
a. Bahwa sebagaimana penetapan Hakim Pengawas tentang Daftar
Pembagian Harta Pailit PT. United Coal Indonesia tertanggal 19
Desember 2017, yang telah diumumkan disurat kabar Harian Kompas
dan Rakyat Merdeka tanggal 21 Desember 2017, jumlah piutang
Pemohon 1 (selaku kreditor preferen) yang diakui adalah sebesar
Rp.43.334.542.465,- (empat puluh tiga miliar tiga ratus tiga puluh
empat juta lima ratus empat puluh dua empat ratus enam puluh lima
rupiah), dengan hasil pembagian hasil akhir sesuai Penetapan Hakim
Pengawas sebesar Rp.2.549.161.883,- (dua miliar lima ratus empat
puluh sembilan juta seratus enam puluh satu ribu delapan ratus delapan
puluh tiga rupiah);
66

b. Bahwa dari bukti tersebut diketahui dari jumlah harta pailit yang akan
dibagikan kepada para kreditor yakni sebesar Rp.30.987.247.383,- (tiga
puluh miliar sembilan ratus delapan puluh tujuh juta dua ratus empat
puluh tujuh ribu tiga ratus delapan puluh tiga rupiah), Pemohon I akan
menerima total Rp.2.549.161.883,- (dua miliar lima ratus empat puluh
sembilan juta seratus enam puluh satu ribu delapan ratus delapan puluh
tiga rupiah) atau sebesar 5,88% dari nilai seluruh tagihan yang diakui,
sedangkan Kreditor Separatis PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk hanya
menerima Rp.14.000.000.000,- (empat belas miliar rupiah) atau hanya
sebesar 4,99% dari nilai seluruh tagihan yang diakui.
2. Bahwa alasan Kurator melakukan pembagian yang demikian adalah sesuai
dengan Asas Keadilan yang dianut dalam Undang-Undang Kepailitan
sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Umum Undang-Undang
Kepailitan.
3. Bahwa selain daripada itu alasan Kurator melakukan pembagian tersebut
Pemohon I ada pula Kreditor Preferen yaitu Gaji Karyawan Debitor Pailit
atau PT. United Coal Indonesia (dalam pailit) dengan tagihan sebesar
Rp.12.288.085.500 (dua belas miliar dua ratus delapan puluh delapan juta
delapan puluh lima ribu lima ratus rupiah), dimana berdasarkan Putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 67/PUU/XI/2013 tanggal 13
September 2014 disebutkan bahwa kedudukan dan hak tagih Gaji
Karyawan berada di atas seluruh kreditor lainnya, termasuk Pemohon I.
4. Bahwa dalam perkara ini tagihan Kreditor Separatis PT. Bank Mandiri
(Persero) Tbk, Adalah sebesar Rp.280.637.628.291,27 (dua ratus delapan
puluh miliar enam ratus tiga puluh tujuh juta enam ratus dua puluh delapan
ribu dua ratus sembilan puluh satu koma dua puluh tujuh rupiah), namun
hanya mendapatkan bagian pembagian akhir sejumlah Rp.14.000.000.000,-
(empat belas miliar rupiah) atau hanya sebesar 4,99% dari jumlah
tagihanya.
5. Bahwa apabila berpedoman Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut maka
seharusnya Pemohon I tidak mendapat porsi pembagian karena terhadap
67

tagihan Kreditor Separatis PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk, masih belum
terbayarkan. Akan tetapi berdasarkan Asas Keadilan, maka Termohon dan
Hakim Pengawas telah menentukan bahwa terhadap tagihan Pemohon I
juga mesti diperhatikan dan mendapatkan porsi pembagian. Oleh karena itu
dalam daftar pembagian tersebut Pemohon I mendapatkan bagian
pembagian akhir sebesar Rp.2.549.161.883,- (dua miliar lima ratus empat
puluh sembilan juta seratus enam puluh satu ribu delapan ratus delapan
puluh tiga rupiah) atau sebesar 5,88% dari nilai seluruh tagihan yang
diakui;
6. Bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas menurut majelis Termohon telah
mengajukan usulan pembagian hasil pemberesan yang telah disetujui oleh
Hakim Pengawas dengan mengacu kepada Pasal 189 Ayat (1) Undang-
Undang Kepailitan, Pasal 27 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999
Tentang Jaminan Fidusia (“Undang-Undang Fidusia”), Pasal 189 Ayat (4)
b Undang-Undang Kepailitan, Demikian pula terhadap Kreditor Preferen
KPP Wajib Pajak Besar Satu (Pemohon 1) melalui peraturan perundang-
undangan di bidang perpajakan, juga merupakan peraturan yang bersifat
khusus. Dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (3a) Undang-undang Nomor 6
Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 Tentang
Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang
Umum dan tata cara perpajakan Menjadi Undang-Undang (“UU KUP) dan
juga Asas Keadilan sebagaimana Penjelasan Umum Undang-Undang
Kepailitan.
7. Bahwa Pemohon II (PT. Palaran Indah Lestari) dan surat Permohonannya
selaku Kreditor Konkuren yang tagihannya telah diakui dan terdaftar dalam
kepailitan PT. United Coal Indonesia (dalam pailit) sebesar
Rp.14.400.003.209,- (empat belas miliar empat ratus juta tiga ribu dua
ratus sembilan rupiah) mendapatkan bagian yang tidak sesuai berdasarkan
pembagian yang di lakukan Termohon tersebut apabila dibandingkan
68

dengan jumlah tagihan Pemohon yang telah di setujui oleh Termohon hak
ini Tidak memenuhi rasa keadilan bagi Pemohon dan sangat merugikan
Pemohon Eksepsi tergugat yang menyatakan keberatan tersebut terhadap
pemohon adalah
a. Bahwa dalam daftar pembagian yang telah di buat Termohon dan telah
disetujui Hakim Pengawas dengan nilai Rp.1.000.000.000,- (satu miliar
rupiah) dengan pembagian secara proporsional sesuai dengan tagihan
masing-masing Kreditor Konkuren. Bahwa adapun jumlah pembagian
akhir kepada Kreditor Konkuren sebesar Rp.1.000.000.000,- (satu
miliar rupiah) sebagai Penetapan Hakim Pengawas tanggal 19
Desember 2017 adalah di lakukan oleh Hakim Pengawas berdasarkan
pada Pasal 189 Ayat (3) Undang-Undang Kepailitan yang berbunyi
“Kreditor Konkuren harus di berikan bagian yang di tentukan oleh
Hakim Pengawas”
b. Bahwa selain itu pembagian akhir kepada Kreditor Konkuren sebesar
Rp.1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) tersebut juga dilakukan
berdasarkan Asas Keadilan dan Asas Keseimbangan sebagaimana
diatur dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Kepailitan.
8. Bahwa setelah Majelis Hukum mempelajari penetapan jumlah pembagian
kepada PT. Palaran Indah Lestari selaku Pemohon II tersebut sesuai dengan
ketentuan Pasal 189 ayat (3) dan asas-asas dalam Undang-Undang
Kepailitan, yang menyatkan “Kreditor Konkuren harus di berikan bagian
yang di tentukan oleh Hakim Pengawas”
Ada beberapa hal yang perlu dianalisis dalam pertimbangan hukum
pada putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tersebut, yakni adalah
pembuktian bahwa kurator kurang tepat dalam melakukan tugasnya sesuai
dengan asas keadilan peraturan perundang-undangan yang elah sesuai dengan
amar Putusan Mahkamah Nomor 67/PUU/XI/2013.
Hal tersebut akan Peneliti analisis secara mendetail sehingga mudah untuk
menjabarkannya, adapun analisis Penelitian adalah sebagai berikut:
1. Bahwa kurator telah memenuhi ketentuan sesuai dengan asas keadilan.
69

Dalam Undang-Undang Kepailitan menjelaskan mengenai Asas


Keadilan adalah sebagai berikut:
Asas Keadilan
“Dalam kepailitan asas keadilan mengandung pengertian, bahwa ketentuan
mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang
berwenang. Asas keadilan ini mencegah terjadinya kesewenang-wenangan
pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-
masing terhadap Debitor, dengan tidak memperdulikan Kreditor lainnya”.
Prinsip Keadilan yang dimaksud oleh Undang-Undang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah keadilan bagi semua yang
terkait kepentingannya dengan kapailitan debitor. Hal ini bermakna bahwa
keadilan tidak hanya ditunjukkan kepada debitor semata, akan tetapi
kepada kreditor maupun pihak yang ketiga yang terimbas atau terkait
dengan kepailitan debitor. Misalnya para pekerja debitor atau pihak ketiga
lainnya.
Prinsip dari keadilan ini bertujuan mencegah kesewengan-wenangan
kreditor yang berkepentingan langsung dengan harta pailit. Prinsip keadilan
terkandung dalam Pasal 55 Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang. Yang menetapkan bahwa kreditor separatis
dapat melaksanakan parate eksekusi terhadap barang jaminan piutangnya
seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Namun hal tersebut tidak berlaku serta
merta ketika debitor dinyatakan pailit. Ketentuan tersebut mengatur
ketentuan stay yang membekukan sementara hak parate eksekusi dari
kreditor separatis. Ketentuan stay bertujuan membekukan hak parate
kreditor separatis terhadap harta pailit adalah agar kreditor separatis tidak
semena-mena menjual sendiri barang jaminan yang bertugas sebagai harta
pailit sejak debitor dinyatakan pailit.
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa sejak dijatuhkan putusan pailit,
maka sejak itu juga debitor akan kehilangan haknya untuk mengurus dan
penguasaan harta bendanya tersebut, dan akan beralih ke kurator atau Balai
70

Harta Peninggalan BPH. Dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang


Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004 dikatakan bahwa :
“Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang
diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitor
pailit di bawah pengawas hakim pengawas sesuai dengan undang-undang
ini”.
Adapun tugas dari kurator dalam melaksanakan pemberesan harta pailit
diantaranya adalah:
a. Membuat pencatatan harta pailit paling lama dua hari setelah
menerima surat pengangkatannya sebagai kurator (Pasal 100
Undang-Undang Kepailitan & Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang).
b. Membuat daftar catatan yang menyatakan sifat, jumlah piutang dan
utang harta pailit, nama dan tempat tinggal kreditor serta jumlah
piutang masing-masing kreditor (Pasal 102 Undang-Undang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang).
c. Setelah kepailitan dinyatakan dibuka kembali, kurator harus
seketika memulai pemerasan harta pailit (Pasal 175 Undang-
Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang).
d. Memenuhi pemberesan dan menjual harta pailit tanpa perlu
memperoleh persetujuan atau bantuan debitor (Pasal 184 ayat (1)
Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang.
e. Memutuskan tindakan apa yang akan dilakukan terhadap benda
yang tidak lekas atau sama sekali tidak dapat di bereskan (Pasal 185
ayat (ayat 3) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang.
f. Menggunakan jasa bantuan debitor pailit guna keperluan
pemberesan harta pailit dengan memberikan upah (Pasal 186
Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang)
71

g. Melakukan pembagian harta debitor pailit kepada para kreditor


(Pasal 201 Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang.
2. Bahwa kurator telah sesuai dengan amar Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 67/PUU/XI/2013 tanggal 11 September 2014.
Bahwa amar Putusan Mahkamah Konstitusi 67/PUU/XI/2013
tanggal 11 September 2014 menjelaskan diantaranya adalah terbukti
bahwa penyebutan urutan kreditor separatis setelah upah buruh (gaji)
adalah tagihan kreditor separate baru kemudian tagihan hak negara dan
seterusnya. Dengan demikian maka urutan dan kedudukan kreditor
yang ditentukan dalam Putusan Mahkah Konstitusi tersebut adalah
sesuai dengan yang ditentukan oleh Termohon dan Hakim Pengawas
yakni:
1. Urutan Pertama : Kreditor Preferen Buruh, dalam hal ini tagihan
upah
2. Urutan Kedua : Kreditor Separatis
3. Urutan Ketiga : Kreditor Preferen Buruh, dalam hal ini tagihan
pesangon
4. Urutan Keempat : Kreditor Tagihan Kantor Pajak
5. Urutan Kelima : Kreditor Konkuren
Dalam perkara ini Gaji Karyawan PT. United Coal Indonesia terdapat
tagihan sebesar Rp.12.288.085.500,- (dua belas miliar dua ratus delapan puluh
delapan juta delapan puluh lima ribu lima ratus rupiah), dimana berdasarkan
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 67/PUU/XI/2013 tanggal 11
September 2014 disebutkan bahwa kedudukan dan hak tagih Gaji Karyawan
berada diatas seluruh kreditor lainnya, termasuk kreditor Preferen dalam hal ini
adalah Kantor Pajak.
Bahwa dengan demikian terbukti bahwa terhadap tagihan dari Pemohon
I (tagihan kantor pajak) kedudukannya adalah setelah kreditor preferen upah
buruh dan kreditor separatis. Dengan demikian urutan pembagian terhadap
72

tagihan Permohonan I adalah dilakukan setelah pembayaran terhadap tagihan


Kreditor Preferen Upah Buruh dan tagihan Kreditor Separatis.
Bahwa berdasarkan ketentuan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut
maka seharusnya Pemohon I (tagihan kantor pajak) tidak mendapat porsi
pembagian karena terhadap tagihan Kreditor Separatis PT. Bank Mandiri
(Persero) Tbk, masih belum terbayarkan sepenuhnya. Akan tetapi, berdasarkan
Asas Keadilan, maka Termohon (Kurator) dan Hakim Pengawas telah
menentukan bahwa terhadap tagihan Pemohon I juga mesti diperhatikan dan
mendapat porsi pembagian.
Berdasarkan uraian bukti-bukti diatas adalah tepat jika majelis hakim
dalam pertimbangannya menganggap bahwa kurator telah memenuhi seluruh
unsur-unsur yang sesuai dengan Prinsip keadilan dan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang telah ada.

G. Implikasi Putusan Pailit Terhadap Karyawan


Sebenarnya tujuan di dirikannya suatu proses di muka
pengadilan adalah untuk memperoleh putusan hakim. 66 Putusan hakim
atau biasanya disebut dengan istilah putusan pengadilan merupakan
sesuatu yang sangat di inginkan atau dinanti-nantikan oleh pihak-pihak
yang berperkara guna menyelesaikan sengketa diantara para pihak
dengan sebaik-baiknya. Sebab dengan putusan hakim tersebut pihak-
pihak yang bersengketa mengharapkan adanya keadilan dalam perkara
yang mereka hadapi.67
Putusan hakim ditinjau dari sifatnya, maka putusan hakim ini di
pengadilan adalah putusan Condemnatoir (menghukum) dimana pihak
yang dikalahkan dalam persidangan untuk memenuhi prestasi. Di
pengadilan putusan Condemnatoir ini mempunyai kekuatan mengikat
terhadap salah satu pihak yang di kalahkan dalam persidangan untuk
memenuhi prestasinya sesuai dengan perjanjian yang sebelumnya telah
66
M.Nur Rasaid. 2003. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika Offset. hal. 48.
67
Moh. Taufik Makarao. 2004. Pokok-pokok Hukum Acara Perdata. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
hal.124.
73

mereka sepakati bersama ditambah bunga dan biaya-biaya persidangan


dan eksekusi, yang mana pelaksanaanya eksekusi terhadap barang-barang
yang menjadi jaminan atas perikatan dapat dilaksanakan dengan cara
paksa oleh panitera pengadilan yang di bantu oleh apparat territorial
(apparat pemerintah) setempat. Eksekusi berasal dari kata eksecutie,
artinya melaksanakan putusan hakim
Jika dikaitkan dalam sebuah putusan Pengadilan Niaga tentang
kepailitan, sejak debitor dinyatakan pailit, upah karyawan dianggap
utang harta pailit, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.68 Dan jika dikaitkan
dengan salah satu sifat putusan tersebut maka putusan hakim ini
termasuk dalam putusan Condemnatoir, yang mana putusan tersebut
dapat di eksekusi (dapat dilaksanakan).
Di dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan
“tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan”. Sedang Pasal 280 Ayat (2) Undang-Undang Dasar
1945 menyatakan : “Setiap orang berhak atas pekerjaan serta mendapat
imbalan dan pengakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
“Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha yang terjadi setelah
adanya perjanjian kerja, yakni suatu perjanjian dimana pekerjaan
menyatakan kesanggupan untuk bekerja pada pihak perusahaan dengan
menerima upah dan pengusaha menyatakan kesanggupannya untuk
mempekerjakan pekerja dengan membayar upah.69 Sedang pekerja/buruh
adalah setiap orang yang bekerja dan dengan menerima upah atau imbalan
dalam bentuk apapun. Pengertian tersebut terdapat dalam Pasal 1 Angka 4
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Hubungan atau kaitannya antara pekerja dan perusahaan sejatinya
sangat erat, hal tersebut tercipta karena adanya perjanjian kerja antara

68
Susanti Adi Nugroho. 2018. Hukum Kepailitan di Indonesia Dalam Teori dan Praktik Serta
Penerapan Hukumnya. Jakarta : Prenadamedia Grup. hal. 348.
69
Lalu Husni. 2012. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Jakarta : Rajawali Pers.
hal. 123.
74

kedua belah pihak. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang


Ketenagakerjaan memberikan pengertian mengenai Perjanjian Kerja.
Perjanjian Kerja adalah suatu perjanjian antara pekerja/buruh dengan
pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja tertentu,
hak, dan kewajiban para pihak yang bersangkutan.
Hubungan tersebut dapat tercipta karena adanya sifat yang saling
membutuhkan. Perusahaan ada hanya apabila buruh ada, demikian juga
sebaliknya, buruh ada karena adanya pemberi kerja. Kepentingan
perusahaan adalah untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal.
Sedangkan, kepentingan buruh adalah upah yang maksimal. Secara
konstitusional, posisi buruh sejatinya telah mendapat perlindungan yang
memadai.70
Namun seringkali tenaga kerja menjadi salah satu pihak yang merasa
paling lemah ketika di hadapkan kepada pemberi kerja yang merupakan
pihak yang memiliki kekuatan. Sebagai pihak yang dianggap lemah dalam
hal ini, tidak jarang jika para tenaga kerja seringkali mengalami
ketidakadilan apabila berhadapan dengan kepentingan perusahaan.
Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan juga telah di jelaskan mengenai hak-hak dasar buruh
sesuai dengan amanat konstitusi yang telah menetapkan kebijakan
pengupahan yang melindungi kepentingan buruh dari permasalahan ini
seringkali buruh/pekerja cenderung tidak mendapatkan perlindungan yang
cukup atas pembayaran hak-haknya tersebut. Dari kondisi permasalahan
ini seringkali buruh/pekerja cenderung tidak mendapatkan perlindungan
yang cukup atas pembayaran hak-haknya tersebut. Dari kondisi
permasalahan ini seringkali dapat berdampak buruk dengan meningkatnya
pengangguran yang cukup tinggi di Indonesia akibat dengan meningkatnya
pengangguran yang cukup tinggi di Indonesia akibat kepailitan tersebut.
Pada Pasal 39 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

70
Tri Budiyono. 2013. Problematika Posisi Buruh Pada Perusahaan Pailit. Salatiga : Fakultas
Hukum Universitas Kristen Satya Wacana, Jilid 42, Nomor 3. hal. 418.
75

Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang


menyatakan bahwa :
1. Pekerja yang bekerja pada Debitor pailit dapat memutuskan
hubungan kerja, dan sebaliknya kurator dapat memberhentikannya
dengan mengindahkan jangka waktu menurut persetujuan atau
ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dengan pengertian
bahwa hubungan kerja tersebut dapat diputuskan dengan
pemberitahuan paling singkat 45 (empat puluh lima) hari
sebelumnya.
2. Sejak tanggal putusan penyataan pailit diucapkan oleh hakim
Pengadilan Niaga, upah yang terutang sebelum maupun sesudah
putusan pernyataan pailit diucapkan merupakan utang harta pailit.
Akibat Kepailitan terhadap Perjanjian Kerja terdapat dalam ketentuan
Pasal 39 Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang yang telah disebutkan sebelumnya bahwa ketentuan
tersebut mengatur mengenai akibat kepailitan terhadap perjanjian kerja.
Dari ketentuan tersebut pekerja yang bekerja pada Debitor pailit dapat
memutuskan hubungan kerja, jangka waktu menurut persetujuan atau
ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Perlu diperhatikan bahwa
hubungan kerja tersebut dapat diputuskan dengan pemberitahuan paling
singkat 45 (empat puluh lima) hari sebelumnya. Dan sejak tanggal putusan
pernyataan pailit di ucapkan, upah yang sebelumnya maupun sesudah
pernyataan pailit di ucapkan merupakan utang harta pailit.71
Akibat dari Pemutusan Hubungan Kerja jika ditinjau dari tenaga
kerja/karyawan. Dilihat dari suatu pandang tenaga kerja/karyawan, dari
pemutusan hubungan kerja dapat mengakibatkan kehilangan nafkah dan
kehilangan status bagi para tenaga kerja/karyawan. Sehingga dari hal
tersebut berdampak buruk terhadap karyawan salah satu akan kesulitan
dalam membiayai kehidupan rumah tangganya terutama bagi kepala rumah

71
Man S. Sastrawidjaja, Op.cit., hal 117-118.
76

tangga yang menjadi pekerja tunggal dalam menghidupi istrinya dan


membiayai sekolah anak-anaknya.
Dalam hal yang telah diuraikan diatas, maka Akibat Hukum
kepailitan PT. United Coal Indonesia terhadap karyawannya yaitu, PT.
United Coal Indonesia harus membayar utang yang mencapai
Rp.22.300.000.000,- (dua puluh dua miliar tiga ratus juta rupiah) dengan
tagihan karyawan sebesar Rp12.288.085.500,- (dua belas miliar dua ratus
delapan puluh delapan juta delapan puluh lima ribu lima ratus rupiah).
Dimana mereka belum menerima upahnya selama 3 (tiga) bulan berturut-
turut sejak bulan juni, juli dan agustus oleh PT. United Coal Indonesia dan
telah jatuh tempo. Dari pembahasan ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa
akibat hukum kepailitan PT. United Coal Indonesia terhadap karyawan
yaitu PT. United Coal Indonesia harus membayar utang yang mencapai
Rp.22.300.000.000,- (dua puluh dua miliar tiga ratus juta rupiah).
Hal tersebut dalam salah satu sifat putusan, yaitu putusan
condemnatoir (menghukum) yang mana putusan tersebut mengandung
unsur penghukuman, sehingga dapat di gunakan sebagai pemaksa bagi
pihak yang kalah (PT. United Coal Indonesia selaku debitor) untuk
melaksanakan putusan tersebut dengan pengurusannya di wakili oleh
Kurator sebagai pihak yang diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus dan
membereskan harta Debitor pailit di bawah pengawasan hakim pengawas
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

H. Pemenuhan Hak Karyawan PT. United Coal Indonesia Akibat Putusan


Pailit
Membahas mengenai hak pekerja/buruh dalam sebuah perusahaan sama
halnya dengan membahas mengenai hak asasi, atau bukan asasi. Hak Asasi
Manusia (HAM) merupakan hak-hak yang di miliki manusia sejak lahir yang
berlaku seumur hidup dan tidak dapat di ganggu gugat oleh siapapun. Sama
halnya dengan hak asasi adalah hak yang melekat pada diri pekerja itu akan
menjadi turun derajat dan harkatnya sebagai manusia. Sedangkan hak yang
77

bukan asasi berupa hak pekerja atau buruh yang telah diatur oleh perundang-
undangan yang sifatnya non asasi, hak asasi sebagai konsep moral dalam
bermasyarakat dan bernegara bukanlah suatu konsep moral dalam
bermasyarakat dan bernegara bukanlah suatu konsep yang lahir seketika
bersifat menyeluruh.72
Perlu dibedakan pengertian antara hak-hak asasi dengan hak-hak dasar,
perbedaan antara keduanya istilah tersebut adalah bahwa hak-hak asasi
menunjuk pada hak-hak memperoleh pengakuan secara internasional,
sedangkan hak dasar diakui melalui hukum nasional. Konotasi antara kedua hal
tersebut yaitu hak-hak manusia terkait erat dengan asas-asas ide dan politis,
sedangkan hak dasar merupakan bagian dari hukum dasar.73
Menurut Pasal 1 angka (14) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan, perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja
buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja,
hak, dan kewajiban para pihak. Hal yang timbul dari perjanjian kerja, dalam
hal ini hak pekerja salah satunya yaitu upah pekerja merupakan salah satu
kewajiban Persero di dalam perjanjian kerja. Dan apabila Perseroan tidak
mampu melaksanakan kewajibannya, yang dalam hal ini membayar upah,
maka hal tersebut dapat mengakibatkan adanya utang terhadap karyawan.
Keadaan yang demikian akan menimbulkan kerugian bagi para karyawan.
Dengan cara untuk menyelesaikan permasalahan tersebut salah satunya yaitu
dapat dilakukan melalui lembaga kepailitan dalam hal ini adalah Pengadilan
Niaga.74
Dalam pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang menyebutkan bahwa yang di maksud dengan
upah adalah hak pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang
sebagai imbalan dari pemberi kerja kepada pekerja atau suatu pekerja atau jasa
72
Adian Sutedi. 2009. Hukum Perburuhan. Jakarta : Sinar Grafika. hal 14-17.
73
Zaeni Asyhadie, et.al., 2019. Hukum Ketenagakerjaan Dalam Teori & Praktik di Indonesia.
Jakarta : Prenadamedia Group. hal. 42.
74
Dimas Hanif Alfarizi, et.al., 2016. Tanggung Jawab Perseroan Terbatas Terhadap Karyawan
Sebagai Kreditor Preferen Dalam Kepailitan. Universitas Diponegoro: Diponegoro Law Review
Volume.2 Nomor 2. hal. 3.
78

yang telah atau akan di lakukan, ditetapkan,dan dibayarkan menurut suatu


perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk
tunjangan bagi pekerja dan keluarga.75
Saat perusahaan mengalami kerugian perusahaan tetap masih memiliki
tanggung jawab untuk memenuhi hak karyawan, karena karyawan telah
memberikan tenaga serta pikiran untuk mendapatkan keuntungan bagi
perusahaan dan saat perusahaan menderita kerugian, karyawan akan tetap
menyandang hak-hak sebagai pekerja atau buruh.76 Sama halnya ketika
perusahaan dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga, karyawan berhak atas
uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan penggantian hak, selain itu
karyawan juga berhak atas upah yang terutang sebelum dan sesudah putusan
pailit.
1. Tanggung Jawab Perseroan Terbatas yang dinyatakan Pailit terhadap
Karyawan sebagai Kreditor Preferen.
Berdasarkan ketentuan Pasal 95 Ayat (4) Undang-Undang
Ketenagakerjaan yang menyatakan sebagai berikut:
“Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau likuidasi berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah hak-hak yang
lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang di dahulukan
pembayarannya”
Berdasarkan penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa saat
perusahaan dinyatakan pailit, maka upah dan hak-hak lainnya dari
pekerja/buruh merupakan utang yang di dahulukan pembayarannya.
Tagihan pembayaran upah buruh di kategorikan sebagai hak istimewa
umum, sehingga buruh/tenaga kerja dapat di kategorikan sebagai
kreditor preferen pemegang hak istimewa umum.
2. Tanggung Jawab Kurator terhadap Karyawan Sebagai Kreditor
Preferen Dalam Kepailitan.
75
Man S. Sastrawidjaja, Op.cit., hal. 118.
76
Dimas Hanif Alfarizi, Op.cit., hal. 8.
79

Karyawan sebagai tenaga kerja adalah orang yang mampu


melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik
untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat, dan
sebagai pekerja, karyawan berhak untuk menerima upah atau imbalan
atas pekerjaan yang ia lakukan. Apabila terjadi keadaan dimana
Perseroan melakukan suatu pelanggaran hukum yang berakhir dengan
pembubaran Perseroan dan hal tersebut mengakibatkan tidak
terbayarkannya upah yang merupakan hak seorang pekerja dalam
perjanjian kerja.
Maka Perseroan harus merealisasikan pembayaran upah tersebut
karena tidak terbayarkannya upah merupakan suatu kerugian atas
perbuatan Perseroan tersebut. Dalam hal Perseroan mengalami
kepailitan, upah karyawan dapat tidak terealisasi pembayarannya
karena Perseroan tidak memiliki kewenangan lagi dalam mengurus
harta kekayaannya karena kewenangan tersebut telah berpindah kepada
kurator sebagai pihak yang melakukan pengurusan serta pemberesan
harta pailit Perseroan dan hal tersebut mengakibatkan munculnya
utang.77
Membahas mengenai upah karyawan diatur dalam Pasal 95
Ayat (4) Undang-Undang Ketenagakerjaan yaitu dalam hal perusahaan
dinyatakan pailit atau likuidasi berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja
atau buruh merupakan utang yang di dahulukan pembayarannya. Sama
halnya dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013
pembayaran upah pekerja atau buruh yang terhutang di dahulukan atas
semua jenis kreditor separatis, tagihan hak negara, kantor lelang, dan
badan umum yang di bentuk Pemerintah, sedangkan pembayaran hak-
hak pekerja atau buruh lainnya di dahulukan atas semua tagihan
termasuk tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang di
bentuk Pemerintah, kecuali tagihan dari kreditor separatis.
77
Ibid. hal. 10.
80

Dalam perkara ini, peneliti akan mengkaji mengenai kasus


kepailitan pada PT. United Coal Indonesia sebagai Kreditor Preferen.
Dalam hal gaji karyawan debitor pailit atau PT. United Coal Indonesia
dengan tagihan sebesar Rp.12.288.085.500,- (dua belas miliar dua ratus
delapan puluh delapan juta delapan puluh lima ribu lima ratus rupiah)
dimana berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan dan berdasarkan
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 67/PUU/XI/2013 tanggal
11 September 2014 menyebutkan bahwa kedudukan dan hak tagih gaji
karyawan berada diatas seluruh kreditor lainnya.
Karyawan sebagai kreditor pemegang hak yang diistimewakan
dalam hal ini sangat bergantung dengan tindakan-tindakan yang di
lakukan oleh kurator karena karyawan tidak memiliki kewenangan
untuk melakukan eksekusi atas jaminan kebendaan seperti yang di
miliki oleh kreditor separatis. Dengan demikian jika di kaitkan dengan
perkara kepailitan PT. United Coal Indonesia ini, Kurator yang
menangani kasus pemberesan harta debitor pailit telah tepat dalam
membagikan harta kekayaan debitor kepada para kreditornya yang telah
sesuai dengan prinsip keadilan menurut perundang-undangan, karena
tanggung jawab kurator sangat penting untuk melindungi hak para
karyawan serta memberikan kepastian, meskipun hak para karyawan
tersebut sebelumnya telah di lindungi oleh Undang-Undang.
Seorang kurator harus bekerja dan bertanggung jawab sesuai
dengan amanat Undang-Undang yang berlaku, bukan hanya
memperhatikan Undang-Undang Kepailitan saja, tetapi juga Undang-
Undang lainnya yang berkaitan dengan tugas-tugasnya. Hal tersebut
dilakukan agar tercipta adanya sinkronisasi mengenai hal-hal apa saja
yang perlu di lakukan oleh seorang kurator, sehingga prinsip keadilan
dan perlindungan hukum khususnya terhadap karyawan maupun
kreditor lainnya dapat tercapai dengan semaksimal mungkin.
Mengenai pembagian asset pailit dalam kasus kepailitan PT.
United Coal Indonesia ini yaitu sebagai berikut:
81

Urutan dan kedudukan kreditor yang di tentukan dalam Putusan


Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU/XI/2013 yakni sebagai berikut:
1. Urutan pertama : Kreditor Preferen Buruh, dalam hal ini tagihan
upah.
Dalam hal ini, kreditor preferen buruh mendapat bagian sebesar
Rp.12.288.085.500,- (dua belas miliar dua ratus delapan puluh
delapan juta delapan puluh lima ribu lima ratus rupiah) dalam hal
ini adalah gaji karyawan.
2. Urutan kedua : Kreditor Separatis
Terdapat 1(satu) kreditor separatis yaitu PT. Bank Mandiri
(Persero) Tbk, hanya menerima Rp.14.000.000.000,- (empat belas
miliar rupiah) atau hanya sebesar 4.99% dari nilai seluruh tagihan
yang diakui.
3. Urutan ketiga : Kreditor Preferen Buruh, dalam hal ini tagihan
pesangon.
Besarnya utang pesangon yang seharusnya dibayarkan kepada
karyawan sebesar Rp.10.011.914.500,- (sepuluh miliar sebelas juta
sembilan ratus empat belas ribu lima ratus rupiah).
4. Urutan keempat : Kreditor Tagihan Kantor Pajak
Dalam hal ini kreditor preferen pajak mendapatkan bagian sebesar
Rp.2.549.161.883,- (dua miliar lima ratus empat puluh sembilan
juta seratus enam puluh satu ribu delapan ratus delapan puluh tiga
rupiah) atau hanya sebesar 5,88% dari nilai seluruh tagihan yang
diakui.
5. Urutan kelima : Kreditor Konkuren
Kreditor konkuren hanya mendapat bagian sebesar
Rp.1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) dari 160 (setatus enam
puluh) kreditor konkuren, yang mengajukan tagihan sebesar 88
(delapan puluh delapan) kreditor dan sebanyak 72 (tujuh puluh dua)
kreditor yang diakui oleh debitor.
82

Dalam hal ini, terdapat kelemahan Undang-Undang Kepailitan


terletak pada pembagian hak-hak para kreditor, karena hal tersebut
tidak diatur secara rinci dan sistematik di dalam Undang-undang.
Dalam pembagian harta pailit tidak terdapat rumusanya, melainkan
semua itu tergantung dari kewenangan hakim dan kurator sebagai pihak
yang mengurus dan membereskan boedel pailit.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari penelitian dan pembahasan yang telah peneliti
kaji pada setiap sub bab pembahasan diatas, maka dalam hal ini peneliti
memberikan kesimpulan sebagai berikut :
1. Pertimbangan hukum Mahkamah Agung terhadap karyawan PT. United
Coal Indonesia (dalam pailit), bahwa dalam pembuktian pembagian
akhir harta pailit yang dilakukan oleh kurator telah tepat dalam
melakukan tugasnya sesuai dengan asas keadilan, peraturan perundang-
undangan dan telah sesuai dengan amar Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 67/PUU/XI/2013. Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit
83

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku upah,


karyawan/perkerja merupakan utang yang di dahulukan
pembayarannya. Sehingga Majelis Hakim dalam pertimbangannya
menganggap bahwa kurator telah memenuhi seluruh unsur-unsur yang
sesuai dengan Prinsip Keadilan dan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang ada.
2. Dalam kepailitan pada Perseroan Terbatas yang dinyatakan pailit,
perusahaan tetap harus bertanggung jawab terhadap karyawan sebagai
kreditor preferen. Dari posisi kedudukan karyawan pada perusahaan
pailit, karyawan diberikan hak istimewa sebagai kreditor yang mana
pemenuhan haknya merupakan prioritas pertama. Apabila di dasarkan
pada prinsip keadilan yang berarti bahwa kekayaan tersebut harus
dibagikan secara proporsional antara para pihak kreditor lainnya,
kecuali jika diantara para kreditor itu ada yang menurut Undang-
undang harus di dahulukan dalam menerima pembayaran tagihannya.
Akibat Hukum Kepailitan PT. United Coal Indonesia terhadap
karyawannya jika dilihat dari Perusahaan yaitu, PT. United Coal
Indonesia harus membayar utang yang mencapai Rp.22.300.000.000,-
(dua puluh dua miliar tiga ratus juta rupiah) dengan tagihan karyawan
sebesar Rp12.288.085.500,- (dua belas miliar dua ratus delapan puluh
delapan juta delapan puluh lima ribu lima ratus rupiah). Dimana mereka
belum menerima upahnya selama 3 bulan berturut-turut sejak bulan
juni, juli dan agustus oleh PT. United Coal Indonesia dan telah jatuh
tempo sehingga jika dilihat dari sudut pandang karyawan/buruh, dari
pemutusan hubungan kerja dapat mengakibatkan kehilangan nafkah dan
kehilangan status perekjaan bagi para karyawan/buruh.

B. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan diatas, maka Penulis dapat
memberikan saran sebagai berikut :
84

1. Dalam peraturan hukum kepailitan di Indonesia hendaknya memuat sanksi-


sanksi pidana khusus tentang masalah kepailitan terlepas dari Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata untuk melindungi para pihak yang merasa
dirugikan atas perkara tersebut, karena pada dasarnya permasalahan
kepailitan bermula dari suatu perjanjian yang telah di setujui oleh para
pihak yaitu Debitor dan Kreditor, sehingga secara otomatis akan
menimbulkan hak dan kewajiban antara para pihak. Hal tersebut apabila
tidak dipenuhi secara baik maka akan menimbulkan ketidakseimbangan
dan ketidakadilan yang berakibat merugikan salah satu pihak. Dengan
adanya sanksi pidana akan menimbulkan efek jera kepada pihak yang
merugikan lainnya.
2. Dalam hal ini pembagian hak-hak para kreditor terdapat kelemahan
Undang-Undang Kepailitan, karena hal tersebut tidak diatur secara rinci
dan sistematik di dalam Undang-undang. Dalam pembagian harta pailit
tidak terdapat rumusanya, melainkan semua itu tergantung dari
kewenangan hakim dan kurator sebagai pihak yang mengurus dan
membereskan boedel pailit. Seorang kurator harus bekerja dan bertanggung
jawab sesuai dengan amanat Undang-Undang yang berlaku, bukan hanya
memperhatikan Undang-Undang Kepailitan saja, tetapi juga Undang-
Undang lainnya yang berkaitan dengan tugas-tugasnya. Hal tersebut
dilakukan agar tercipta adanya sinkronisasi mengenai hal-hal apa saja yang
perlu di lakukan oleh seorang kurator, sehingga prinsip keadilan dan
perlindungan hukum khususnya terhadap karyawan maupun kreditor
lainnya dapat tercapai dengan semaksimal mungkin. Begitu pula dengan
hakim pengawas, yang harus memperhatikan tugas yang telah diberikan
oleh undang-undang kepadanya. Kurator dan Hakim Pengawas harus
mengetahui tugas masing-masing dan kapan akan membutuhkan peran satu
sama lain dalam melaksanakan tugas dari kurator dan hakim pengawas
yang seharusnya di lakukan dengan baik dan professional, dengan
memperhatikan regulasi yang mendasarinya. Formalitas yang terdapat
dalam tugas masing-masing pihak merupakan hal yang harus diperhatikan
85

secara cermat untuk dipenuhi. Dalam melakukan tugasnya, kedua pihak


harus lebih berhati-hati karena kepailitan merupakan suatu perkara yang
melibatkan tidak hanya kepentingan kreditor, melainkan banyak pihak.
Oleh karena rumitnya penerapan pembagian harta debitor pailit terkadang
menjadi batu sandungan tersendiri bagi para kreditor yang di wakili oleh
kuratornya untuk melindungi seluruh asset debitor pailit terhadap kreditor-
kreditornya terutama dalam upaya memberikan jaminan dan perlindungan
hukum yang di perlukan langkah lebih lanjut oleh Pemerintah maupun
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk melakukan sinkronisasi dan
merevisi Undang-Undang yang berkaitan dengan peraturan hak-hak
pekerja/karyawan.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku

Adian Sutedi. (2009). Hukum Perburuhan. Jakarta : Sinar Grafika.

Ahmad Yani, (2002). Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Kepailitan. Jakarta : PT
RajaGrafindo Persada.

Ali Rido. (1998). Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan,
Perkumpulan Koperasi, Yayasan Wakap. Bandung : Alumni.
86

Bagus Irawan. (2007). Aspek-Aspek Hukum Kepailitan Perusahaan dan Asuransi


Analisis Yuridis tentang Kepailitan Perusahaan dan Asuransi Manulife dan
Prudential. Bandung : PT. Alumni.

Elysa Ras Ginting. (2008). Hukum Kepailitan Teori Kepailitan. Jakarta : Kencana
Prenadamedia Group.

Gunawan Widjaja. (2004). Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan.


Jakarta : PT. Raja Grafindo persada.

H.M.N. Purwosutjipto. (1999). Pengertian dan Pokok-Pokok Hukum Dagang


Indonesia. Jakarta : Djambatan.

Hadi Shubhan. (2008). Hukum Kepailitan. Jakarta : Kencana.

Imam Soepomo. (2003). Pengantar Hukum Perburuhan. Jakarta: Djambata.

Imran Nating. (2005). Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan
Pemberesan Harta Pailit. Jakarta: Rajagrafindo Persada.

Jimly Assiddiqie. (2006). Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca


Reformasi. Jakarta : Konstitusi Press.

Jono. (2013). Hukum Kepailitan. Jakarta : Sinar Grafika.

Koko Kosidin. (2002). “Perjanjian kerja, Perjanjian Perburuhan dan Peraturan


Perusahaan”. Bandung : Mandar Maju.

Lalu Husni. (2000). Pengantar Hukum Tenaga Kerja Indonesia. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.

_______, (2012). Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Jakarta : Rajawali


Pers.

Lawrence. M. Friedman. (2001). American Law an Introduction Terjemahan Wisma


Bakti. Jakarta: PT. Nusa.

Lili Rasjidi, (2010). Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum. Bandung : Madar
Maju.

M.Nur Rasaid. (2003). Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika Offset.

M.Yahya Harahap. (2007). Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan,


Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta : Sinar Grafika.
87

Man S. Sastrawidjaja. (2010). Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban


Pembayaran Utang. Bandung : P.T Alumni.

Moh. Taufik Makarao. (2004). Pokok-pokok Hukum Acara Perdata. Jakarta : PT.
Rineka Cipta.

Morris Ginsberg. (2003). Keadilan Dalam Masyarakat. Bantul: Pondok Edukasi.

Muhammad Sadi. (2015). Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : Kencana.

Mukti Arto. (2004). Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.

Mukti Fajar Nur Dewata, (2010). Yulianto Ahmad, Dualisme Penelitian Hukum
Normatif dan Empiris. Jakarta : Pustaka Pelajar.

Munir Fuady. (2010). Dinamika Teori Hukum. Bogor : Ghalia Indonesia.

_______, (2017). Hukum Pailit dalam Teori & Praktek. Bandung : PT. Citra Aditya
Bakti.

Rachmadi Usman. 2004. Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia. Jakarta : Gramedia


Pustaka Utama.

Salim HS. (2007). Perkembangan hukum jaminan di Indonesia. Jakarta : Raja


Grafindo Persada.

Sarwono. (2016). Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik. Jakarta: Sinar Grafika.

Soerjono Soekanto. 2014. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : Universitas


Indonesia (UI-Press)

Subekti. (1995). Pokok-Pokok Hukum Dagang. Jakarta : Intermasa.

Sudikno Mertokusumo. (2002). Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta :


Liberty.

Susanti Adi Nugroho. (2018). Hukum Kepailitan di Indonesia Dalam Teori dan
Praktik Serta Penerapan Hukumnya. Jakarta: Prenadamedia Grup.

Sutan Remy Sjahdeini. (2002). Hukum Kepailitan: Memahami


Failissementsverordening Juncto Undang-undang No. 4 Tahun 1998. Jakarta :
Pustaka Utama Grafiti.

Sutan Remy Sjahdeini. (2009). Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang No. 37


Tahun 2004 Tentang Kepailitan. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti.
88

Tri Budiyono. (2013). Problematika Posisi Buruh Pada Perusahaan Pailit. Salatiga :
Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana, Jilid 42, Nomor 3.

Wiwoho Soedjono. (2003). Hukum Perjanjian Kerja. Jakarta : Bina Aksara.

Zaeni Asyhadie, et.al., 2019. Hukum Ketenagakerjaan Dalam Teori & Praktik di
Indonesia. Jakarta : Prenadamedia Group.

Zainal Asikin. (2004). Dasar-Dasar Hukum Perburuhan. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.

Zainal Asikin. (2013) . Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran


Utang di Indonesia. Bandung : Pustaka Reka Cipta.

B. Perundang-Undangan
1. Undang-Undang Dasar Tahun 1945
2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
3. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang;
4. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang;
5. Undang-undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan;
6. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas;

C. Putusan-Putusan
1. Putusan Mahkamah Agung Nomor 186 K/Pdt.Sus-Pailit/2015;
2. Putusan Mahkamah Agung Nomor Nomor 557 K/Pdt.Sus-Pailit/2018;
3. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU/XI/2013;

D. Internet
Pebrianto Eko Wicaksono. (2014). United Coal di gugat pailit.
https://www.liputan6.com/bisnis/read/2118397/united-coal-indonesia-digugat-
pailit. diakses tanggal 13 Oktober 2014.

Kamus Besar Bahasa Indonesia. (2023). Kamus Versi Online/Daring.


https://kbbi.web.id/buruh. diakses dari: tanggal 19 Maret 2023.
89

E. Jurnal
Dimas Hanif Alfarizi, et.al., (2016). Tanggung Jawab Perseroan Terbatas Terhadap
Karyawan Sebagai Kreditor Preferen Dalam Kepailitan. Universitas
Diponegoro: Diponegoro Law Review Volume.2 Nomor 2.

Uti Ilmu Royen. (2009). Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja/Buruh Outsourching


(Studi Kasus di Kabupaten Ketapang) (Tesis Magister Ilmu Hukum Program
Pascasarjana Universitas Diponegoro).

Anda mungkin juga menyukai