DISERTASI
Oleh
KUSBIANTO
108101010 / S3 HK
Nama : Kusbianto
Nomor Pokok : 108101010
Program : Doktor (S3) Ilmu Hukum
Menyetujui :
Komisi Pembimbing :
(Prof. Dr. Tan Kamello, S.H., M.S.) (Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum)
Kopromotor Kopromotor
K e t u a, D e k a n,
(Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H.) (Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum)
Kusbianto 1
Muhammad Yamin 2
Tan Kamelo 3
Syafruddin Kalo 4
Badan Usaha Milik Negara Perkebunan yang sekarang bernama PT. Perkebunan Nusantara
disingkat PTPNasal-muasalnya dari perusahaan-perusahaan asing milik bangsa Belanda
yang diambilalih Pemerintah Repubilk Indonesia dengancara Nasionalisasi pada tahun 1958.
Landasan hukum Pemerintah Repubilk Indonesia melakukan nasionalisasi adalah Undang-
Undang Nomor 86 Tahun 1958 (LN. 1958-162) jo. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun
1959 tentang nasionalisasi perusahaan-perusahaan perkebunan milik bangsa Belanda.
Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa tanah yang menjadi sengketa antara PTPN
dengan penggarap dapat diklasifikasi ada tiga macam sengketa yaitu pertama sengeta hak
atas tanah bahwa penggarap menyatakan memiliki tanah di dalam tanah yang menjadi hak
guna usaha PTPN. Yang kedua: sengketa batas dan luas tanah, penggarap mengklaim hak
guna usaha PTPN terjadi selisih luasannya masuk ke tanah masyarakat. Yang ketiga
sengketa penafsiran hukum terhadap tanah hak guna usaha yang telah berakhir masa
waktunya, anggapan penggarap berhak untuk menguasai tanah. Dilain pihak PTPN yang
sedang mengajukan perpanjangan hak guna usahanya tetap melakukan upaya
mempertahankan HGU agar tidak digarap masyarakat.
Penyelesaian sengketa tanah perkebunan baik yang ditempuh dengan melalui proses
pengadilan (litigasi) maupun dengan melalui mediasi, musyawarah di luar pengadilan (non-
litigasi), mengalami hambatan dan gagal. Kendala dan kegagalan penyelesaian sengketa ada
beberapa sebab, yaitu : pertama; penyelesaian melalui pengadilan dirasakan kurang
memenuhi rasa keadilan, anggapan para penggarap Pengadilan berpihak kepada perkebunan.
1
Dosen Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa
2
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera
3
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera
4
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Bentuk penyelesaian yang sudah dilakukan secara litigasi dan non-litigasi belum dapat
diselesaikan secara tuntas, maka PTPN membentuk Tim. Sebagai dasar legalitas tim adalah
surat keputusan Direksi. Tim yang dibentuk Direksi PTPN bertugas untuk menyelesaikan
tanah garapan dengan cara penyelesaian memberikan suguh hati kepada penggarap
bentuknya ganti rugi tanaman, bangunan dan benda-benda milik penggarap yang ada di
tanah hak guna usaha. Prinsip dalam penyelesaian sengketa dengan suguh hati oleh PTPN
adalah penyelesaian yang relatif cepat, manusiawi dan adanya kepastian hukum. Dengan
diselesaikan sengketa tanah garapan maka menjamin terhadap status tanah yang menjadi hak
guna usaha PTPN.
Kusbianto 5
Muhammad Yamin 6
Tan Kamelo 7
Syafruddin Kalo 8
Plantation State Owned Enterprises which is now called PT. Perkebunan Nusantara
abbreviated PTPN origins of foreign companies belonging to the Dutch foreclosed Republic
Government of Indonesia by way of Nationalization in 1958. The legal basis for the
Government of Indonesia Republic nationalization was Law No. 86 of 1958 (LN. 1958-162)
jo. Government Regulation No. 19 Year 1959 on the nationalization of the Dutch-owned
plantations.
PTPN in the operations meet the demands and the dispute with tenants who are above
ground their permit.
In broad outline of this research will become clear land disputes in the estate and settling in
the form of PTPN.
The results of this study revealed that the land in dispute between PTPN with tenants can be
classified three kinds: first dispute over land rights disputes that tenants claimed to own
land in the land that became the right to cultivate PTPN. The second: the boundary disputes
and land area, farmers claim the right to cultivate the differences PTPN area into the land
of the community. The third interpretation of legal disputes over land rights to cultivate the
expired time, assuming tenants are entitled to control the land. On the other hand PTPN
being proposed an extension of their permit still make efforts to maintain the concession in
order not tilled community.
Efforts to tackle land dispute resolution were adopted, namely:
a. Hiking Justice (Litigation), Peradilan Umum and Peradilan Tata Usaha Negara (TUN)
b. Paths of Non-Judicial (Non-Litigation), the settlement can be done through mediation.
Plantation land dispute resolution either taken through the court process (litigation) or
through mediation, consultation outside the court (non litigation), encountered resistance
and failed. Constraints and failure to settle the dispute there are several reasons: first;
5
Lecturer the faculty of law, Dharmawangsa University
6
Professor the faculty of law, Universitas Sumatera
7
Professor the faculty of law, Universitas Sumatera
8
Professor the faculty of law, Universitas Sumatera
Dengan mengucap puji dan syukur kehadirat Allah SWT dan atas rahmat serta karunia-Nya,
kami dapat menyelesaikan disertasi yang berjudul: “Penyelesaian Sengketa Tanah
Perkebunan Pada Ereal Perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Perkebunan Di
Sumatera Utara”.
Disertasi ini ditulis guna memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar Doktor Ilmu Hukum
di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Sengketa tanah yang masih terjadi antara perusahaan perkebunan dengan penggarap di tanah
perkebunan masih terus berlangsung dan tak kunjung selesai. Penyelesaian sengketa tanah
antara penggarap dengan Perkebunan sudah dilakukan dengan bentuk penyelesaian di luar
pengadilan istilahnya non-litigasi melalui mediasi dan apabila tidak tercapai kata sepakat
jalan yang terakhir ditempuh melalui jalur Pengadilan.
Penguasaan tanah secara hukum perdata dan secara hukum agraria sudah dengan jelas dan
tegas aturan hukumnya tetapi pada kenyataannya sengketa tanah di perkebunan
penyelesaiannya belum berhasil seperti yang diharapkan. Keadaan ini memberikan inspirasi
dan motivasi kepada kami untuk melakukan penelitian ini.
Keberhasilan membuat disertasi ini tidak dapat disanggah berkat dukungan dan bantuan dari
banyak pihak. Tentunya patut disampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan kepada
semua pihak yang telah berpartisipasi memberikan bantuan, bimbingan dan arahan kepada
penulis sehingga telah selesainya disertasi ini.
Semoga Allah SWT. Melimpahkan rahmat dan hidayahnya serta menjadi amal kebaikan
serta mendapatkan pahala yang berlipat ganda. Amin.
Rasa hormat penulis menyampaikan terimakasih kepada yang amat terpelajar Prof. Dr.
Muhammad Yamin, S.H.,M.S., CN, selaku Promotor, dengan penuh kesabaran memberi
bimbingan, petunjuk terhadap materi disertasi ini. Selanjutnya penulis sampaikan
kepadayang amat terpelajar Prof. Dr. Tan Kamello, S.H., M.S, dan Prof. Dr. Syafruddin
Kalo, S.H., M.Hum, masing-masing selaku Ko-Promotor yang telah banyak memberikan
bimbingan dan arahan kepada penulis, sehingga penulisan disertasi ini dapat selesai.
Secara khusus penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr. Edi Ikhsan, S.H., MA sebagai
Komisi Penguji, dan Dr. Kurnia Warman, S.H., M. Hum, sebagai Penguji Luar Komisi yang
telah memberikan perhatian besar kepada penulis. Selaku penguji ke-duanya banyak
meberikan bobot disertasi ini sehingga menjadi lebih baik.
Dalam hal ini penulis dengan hormat menyampaikan terimakasih kepada Dekan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara, yang amat terpelajar Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H.,
M. Hum dan Ketua Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara, yang amat terpelajar Prof. Dr. Suhaedi, S.H., M.H yang telah memberikan motivasi
dan dukungan moril kepada penulis.
Akhirulkalam penulis menyampaikan permohonan maaf kepada semua pihak yang telah
memberikan andil didalam proses pembuatan disertasi penyelesaian studi, semoga Allah
SWT membalas amal baik Bpk/Ibu sekalian.
Medan,……………….2016
Penulis,
Kusbianto
Halaman
ABSTRAK………………………………………………………………………………. i
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………
A. LatarBelakang .......................................................................................... 1
B. RumusanMasalah ..................................................................................... 20
C. TujuanPenelitian ...................................................................................... 20
D. ManfaatPenelitian .................................................................................... 21
E. KerangkateoridanKerangkaKonsep ...................................................... 22
F. MetodePenelitian ...................................................................................... 51
G. Asumsi ....................................................................................................... 56
H. KeaslianPenelitian .................................................................................... 58
I. SistematikaPenulisan ............................................................................... 60
2. Erfpacht ............................................................................................... 77
3. JepangdanRevolusi ............................................................................. 96
4. PenghapusanHakKonversi ................................................................ 98
1. Sengketa Tanah Garapan Di PTPN III Kebun Sei Putih ............... 136
3. Sengketa Tanah Garapan di Areal PTPN III Kebun Sei Silau ...... 145
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
permasalahan dengan masyarakat yang melakukan penggarapan di areal hak guna usaha
(HGU) perkebunan. Masyarakat memiliki alasan dan merasa memiliki hak untuk menduduki
areal HGU Perkebunan serta melakukan penggarapan yang pada akhirnya menimbulkan
perkebunan dikarenakan masyarakat mempunyai hak terhadap tanah areal perkebunan oleh
karena orang tua para penggarap dahulu diberikan hak untuk mengerjakan tanah areal
perkebunan dan memiliki surat. Contoh surat yang dimiliki yaitu Kartu Registrasi
Pendaftaran Tanah (KRPT) dengan dasar UU Darurat No. 8 Tahun 1954. Selain itu tanah
yang dikuasai dan diusahai oleh penggarap berada didalam areal perkebunan tetapi terjadi
perbedaan luas areal. Menurut penggarap tidak didalam areal hak guna usaha perkebunan
masyarakat menurut perusahaan masyarakat berada didalam areal perkebunan, juga manurut
masyarakat hak guna usaha (HGU) perkebunan yang telah berakhir masyarakat berhak
mengusahai dan memiliki tanah diareal eks HGU PTPN. Dilain pihak PTPN masih
memproses perpanjangan HGU ke BPN. Dalam menyelesaikan sengketa tanah tersebut telah
dilakukan proses-proses penyelesaian dalam bentuk non litigasi dengan cara musyawarah
tanah garapan perkebunan baik yang ditempuh dengan melalui proses pengadilan (litigasi)
maupun dengan cara musyawarah di luar pengadilan (non-litigasi), masih belum berhasi
dengan tuntas dengan kata lain mengalami kegagalan, kegagalan penyelesaianada beberapa
pengadilan dirasakan kurang memenuhi rasa keadilan. Dengan sikap pandangan penggarap
yang demikian maka putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap tidak dapat
dan harta benda, serta menimbulkan rasa permusuhan di kedua belah pihak semakin tajam.
bisadipisahkan dari perjalanan sejarah bangsa ini. Wilayah Negara Indonesia yang semula
membawa pengaruh bentuk hukum pertanahan dan hubungan sosial kemasyarakatan yang
terus berinteraksi dan bagian dari kehidupan yang berkesinambungan. Begitu pula dengan
bentuk persekutuan hukum adat yang mengenal status hukum kolektif, hak ulayat. Sengketa
tanah antara masyarakat penggarap, rakyat penunggu dan masyarakat adat dengan
pemerintah dan pihak onderneming, yang sekarang menjadi pihak PT. Perkebunan
Nusantara (PTPN) sulit untuk diselesaikan, bahkan sebelum diselesaikan muncul lagi
sengketa baru 9.
Sumatera Utara hingga sekarang menjadi perusahaan perkebunan yang berada didalam
Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pada tanggal 16 Juli 1863kapal Josephine
membongkar sauh di kuala sungai Deli untuk bertemu dengan Sultan Mahmud Perkasa
Alam.Demi kepentingan Sultan yang menjalankan politik bebas dari Aceh dan Siak,
Nienhuys diberi hak pakai lahan selama 20 tahun tanpa perjanjian sewa di Tanjung Sepassai
seluas 400 bahu(satu bahu sama dengan 800 meter bujur sangkar). Tahun 1867 Nienhuys,
9
Syafruddin Kalo, Kapita Selekta Hukum Pertanahan Studi Tanah Perkebunan di Sumatera Timur, USU
Press, 2005, hal 2
pengelolaan lahan dengan bentuk sewadiantara sungai Deli dan Percut. Terkesan atas
Deli Maatschappij sebuah onderneming perkebunan tembakau milik bangsa Belanda yang
pertama didirikan di Sumatera Timur pada tahun 1869, dan mengalami sukses besar.
Ekspansi onderneming di Sumatera Timur berkembang tidak saja dalam usaha perkebunan
kelapa sawit dan serat di Pulau Raja, Asahan dan Labuhan Batu. Tanah-tanah perkebunan
perkebunan tersebut pada awal tahun 1900 mulai menjadi masalah.Perhatian bertumpu pada
masalah aspek hukum konsesi yang diatur para Sultan dan bagaimana pemberian tanah-
tanah konsesi yang luas itu sebagai hak intern penduduk pribumi. Masalahnya menjadi
berdampak kepada kawula para sultan yang kehilangan hak mereka atas tanahnya. Pihak
petani tersebut. Penyelesaian tidak berhasil karena mereka tidak dapat menyepakati syarat-
syarat yang diperlukan untuk melindungi hari depan kedua belah pihak, tanpa menyinggung
10
Karl J. Pelzer, Toean Keboen Dan Petani Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria, Sinar Harapan,
1977, hal 51-69
Waal (menteri jajahan) sebagai reaksi atas kebijakan pemerintah Hindia Belanda di Jawa. 11
Latar belakang dikeluarkannya Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) antara lain karena
kesewenangan pemerintah mengambil alih tanah rakyat. Politikus liberal yang saat itu
berkuasa di Belanda tidak setuju dengan Tanam Paksa di Jawa dan ingin membantu
penduduk Jawa sekaligus mendapat keuntungan ekonomi dari tanah jajahan dengan
Pertama, melindungi hak milik petani atas tanahnya dari penguasa dan pemodal
asing.
Kedua, memberi peluang kepada pemodal asing untuk menyewa tanah dari
penduduk Indonesia seperti dari Inggris, Belgia, AmerikaSerikat, Jepang, Cina, dan
lain-lain.
perkebunan.
semacam Hak Guna Usaha, yang memungkinkan seseorang mengusahai tanah terlantar yang
telah menjadi milik negara selama maksimum 75 tahun sesuai kewenangan yang diberikan
11
Harsono Budi, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi
dan Pelaksanaannya. Jilid 1 – Hukum Tanah Nasional. Djambatan. 1995. Jakarta.
Kedua, hak untuk perkebunan dan pertanian kecil bagi orang Eropa "miskin" atau
perkumpulan sosial di Hindia Belanda, maksimum 25 bahu dengan harga sewa satu
florint per bahu (tetapi pada tahun 1908 diperluas menjadi maksimum 500 bahu).
Ketiga, hak untuk rumah tetirah dan pekarangannya (estate) seluas maksimum 50
bahu.
Areal konsesi perusahaan perkebunan asing masa kolonial Belanda berkurang luas
arealnya, sebagai akibat dari usaha Pemerintah Balatentara Jepang untuk menambah hasil
bahan makanan, tanah-tanah perkebunan itu diberikan kepada petani yang tidak mempunyai
tanah masing-masing 0,6 hektar. Bidang tanah itu didaftarkan dan dilakukan pinjam tanah
yang ditandatangani ribuan buruh yang tidak mempunyai tanah, mereka meninggalkan
yang baru mereka peroleh dan mengembangkan kebun-kebun disekitar halaman rumah.
Yang berakibat tanah yang diberikan masa kolonial Jepang tersebut diakui hak miliknya
oleh petani penggarap yang pada dasarnya berada di wilayah perkebunan. Pada masa
perjuangan kemerdekaan Indonesia, Pemerintah pada masa itu dalam keadaan darurat krisis
persoalan persediaan bahan makanan di daerah-daerah, hingga banyak sekali rakyat yang
memakai tanah-tanah perkebunan yang menjadi hak negara atau pihak lain 13.
(KMB) pada tahun 1949. Pemerintah RIS memberikan pengakuan hak orang asing akan
12
Menurut KBBI, Bahu adalah satuan luas lahan, yang dipakai di beberapa tempat di Indonesia terutama
di Pulau Jawa
13
Tanah Perkebunan Pemakaian Oleh Rakyat, Penjelasan Undang-Undang Darurat No. 8 Tahun 1954
tentang Penyelesaian Soal Pemakaian Tanah Perkebunan Oleh Rakyat, Penjelasan dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia Nr 65, 1954
Berkaitan dengan hal tersebut Pemerintah Republik Indonesia berkeinginan agar di satu
merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang cukup penting. Di lain pihak petani
yang kehidupannya tergantung pada tanah juga harus mendapat perlindungan hukum, antara
lain dengan adanya ketentuan untuk mengakui keberadaan buruh yang sudah bekerja pada
perusahaan tersebut dan rakyat yang menduduki dan menggarap lahan-lahan perkebunan.
pelaksanaannya petani tidak puas dengan adanya koalisi kekuatan ekonomi pengusaha
perkebunan dengan kekuatan politik pemerintah daerah. Perlawanan petani semakin kuat
dengan adanya kebebasan berorganisasi, seperti Barisan Tani Indonesia (BTI), Rukun Tani
Indonesia (RTI), Sarekat Buruh Perkebunan Indonesia (Sarbupri), dan Persatuan Tani
politik sehingga perlawanan mereka semakin kuat seperti terbukti dengan terjadinya
Peristiwa Tanjung Morawa, pada tanggal 16 Maret 1953 yang menyebabkan jatuhnya
kabinet Wilopo dan dibentuknya Kementrian Urusan Agraria 15. Pemerintah mengeluarkan
Perkebunan Oleh Rakyat, bahwa pendudukan lahan tidak dinyatakan sebagai melanggar
14
Ibid, hal. 13. Sesuai persetujuan, Pemerintah Indonesia tidak akan menganggu gugat keberadaan
perusahaan asing khususnya milik Belanda yang telah dan sedang beroperasi di Indonesia, dan bila
pemerintah Indonesia mau mengambilnya maka harus memberikan ganti rugi.
15
Karl J. Pelzer, Sengketa Agraria, Pengusaha Perkebunan Melawan Petani, PustakaSinar Harapan,
Jakarta, 1991
16
Eddy Ruchiyat, Politik Pertanahan Sebelum dan Sesudah Berlakunya UUPA (UU No. 5 Tahun 1960),
Penerbit Alumni, Bandung, 1984, hal 13
segala perusahaan milik Belanda yang berada di wilayah Republik Indonesia, baik ia
Indonesia menata kembali bekas perusahaan perkebunan Belanda ini dengan baik, yang
mampu menjadi sumber keuangan negara agar Pemerintah Republik Indonesia mampu
Kebijakan di bidang tanah yang bersifat populis pada era Orde Lama adalah
Agraria yang lebih dikenal dengan nama singkatan resminya Undang-Undang Pokok
Agraria, disingkat UUPA 18. Undang-undang ini mendasarkan pada hukum adat yang telah
disempurnakan sehingga segala bentuk hak-hak tanah di zaman Belanda di konversi menjadi
hak-hak yang diatur oleh UUPA. UUPA menetapkan pembatasan penguasaan tanah agar
diletakkan dalam dimensi fungsional, yang berarti hak atas tanah mengacu pada kepentingan
umum. Pemerintah dalam hal ini mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961
Tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah Dan Pemberian Ganti Rugi.Mereka tidak boleh
17
Lembaran Negara Republik Indonesia No. 162, 1958. Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda
Nasionalisasi, Tambahan Lembaran Negara R.I. No. 1690, Memori penjelasan Undang-undang No.86 tahun
1858, tentang Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan Milik Belanda. 1959, No.31 Dewan Menteri memutuskan,
menetapkan Peraturan Pemerintah tentang penetuan perusahaan pertanian/perkebunan Belanda yang dikenakan
nasionalisasi.
18
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Penerbit Djambatan, 2008, hal 1
ketentuan peraturan tersebut 19. Implementasi program land reform untuk membatasi luas
pemilikan tanah ini dalam pelaksanaannya ternyata mengalami hambatan. Para tuan tanah
berusaha menghindari ketentuan-ketentuan UUPA dengan berbagai cara. Hal lain yang
menarik dari masalah tanah pada saat itu adalah digunakannya pelaksanaan land reform
kalangan masyarakat pedesaan. PKI menggunakan isu land reform untuk mempolarisasikan
penduduk desa menjadi dua kelas yang bertentangan, yaitu tuan tanah “setan desa” dan
petani. 20
ekonomi sebagai panglimanya. Hal ini menyebabkan adanya perubahan persepsi terhadap
fungsi tanah sebagai salah satu sumber daya alam yang sangat unik sifatnya. Tanah dilihat
sebagai sarana investasi dan alat akumulasi modal. Perubahan ini berlangsung sejalan
dengan perubahan kebijakan pertanahan yaitu dari kebijakan yang memihak kepentingan
rakyat ke kebijakan yang lebih memihak pada kepentingan kapitalis. UUPA tetap
dipertahankan meskipun tidak lagi menjadi induk seluruh peraturan yang berlaku di bidang
agraria 21. Sejumlah undang-undang lain yang justru bertentangan dengan UUPA
ditampilkan, misalnya UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan UU No.
5 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan yang memberikan kesempatan kepada
berbagai kalangan untuk memperoleh Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Pemungutan
19
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Djambatan,
1982, hal. 726
20
Kuntowijoyo, Radikalisasi Petani, Bentang Budaya, Yogyakarta , 1993, hal. 15.
21
Noer Fauzi, Tanah dan Pembangunan, INFID-Pustaka Sinar Harapan,,Jakarta, 1997, hal. 158.
terhadap hak-hak adat sangat jarang ditemukan atau hampir tidak pernah terjadi. Perampasan
hak-hak masyarakat yang justru banyak dilakukan dengan dalih untuk melayani kepentingan
pembangunan yang dijalankan oleh kaum pemodal baik dari dalam maupun luar negeri.
Kapitalisasi tanah dan sumber daya alam sesuatu yang sejatinya ingin dihapuskan oleh
Pada periode ini persengketaan tidak lagi melibatkan petani kecil atau petani
penggarap dengan tuan tanah melainkan antara pihak pemilik tanah (petani/rakyat) dengan
pihak pemilik modal besar dan negara. Negara bertindak sebagai fasilitator yang memberi
dukungan terhadap pemilik modal besar dan bahkan negara itu sendiri, dengan
dengan rakyat. 23
berdasarkan data di Pemerintah Propinsi Sumatera Utara sengketa tanah jumlahnya 2833
kasus di Sumatera Utara. 24 Sebagai perusahaan Badan Usaha Milik Negara disektor
perkebunan, kerugian yang diderita dari sengketa tanah di Sumatera Utara, PT. Perkebunan
Nusantara mengalami kerugian tidak sebatas pada materi saja tetapi sudah masuk kepada
kerugian immaterial, seperti semakin berkurangnya gairah dan semangat bekerja para
karyawan hal ini tentunya akan berdampak buruk kepada kinerja perusahan. Pimpinan dan
22
Myrna Safitri, Simposium Agraria I, Medan, 2006, hal 1.
23
Gunawan Wiradi, Reforma Agraria:Perjalanan yang Belum Berakhir, Insist,Yogyakarta, 2000, hal.
148.
24
Data Pemerintah Propinsi Sumatera Utara Tahun 2012, Kuliah Umum Plt. Gubernur Sumatera Utara 17
Septemer 2012 di Universitas Dharmawangsa
(BUMN) yang namanya PT. Perkebunan Nusantara (PTPN), antara Penggarap dengan
Pertamapersoalan hak atas tanah, bahwa pihak perkebunan mengambil tanah milik
masyarakat Penggarap.
perkebunan yang dilekati dengan sertifikat hak guna usaha (HGU) tidak sesuai luasnya
dengan fakta yang di usahai perkebunan dengan kata lain luas berdasarkan sertifikat HGU
tanah garapanterhadap HGU yang telah berakhir masa berlakunya. PT. Perkebunan
Nusantara III sebagai contoh, masyarakat penggarap memiliki surat keterangan izin
menggarap (SIM) dalam bentuk Surat Keterangan (SK) dari Kepala Desa, SK Camat, SK
Bupati, Kartu Reorganisasi Pemakaian Tanah (KRPT) dengan dasar legalitas UU Darurat
No. 8 Tahun 1954 tentang penyelesaian tanah perkebunan oleh rakyat. Surat tanah tersebut
ada kepunyaan orang tua para penggarap yang sudah meninggal, tanah garapan masyarakat
yang berada di areal HGU PTPN III. Para Penggarap merasa sudah berhak menguasai
mengusahai di areal HGU yang mereka anggap tidak berlaku lagi. Pihak PTPN III
menyatakan masih berhak karena HGU sedang dalam pros perpanjangan di BPN dan
sebagai memegang hak guna usaha yang lama masih berhak untuk menjaga dan memelihara
aset perkebunan. Hal ini sesuai dengan PP 40 tahun 1996 tentang Hak Milik, Hak Guna
Pertama, tanah gararapan dengan bukti hak garap yang diberikan kepada penggarap
Sumatera Timur.
Kedua, tanah garapan yang sudah pernah diganti rugi, pada masa Orde Baru tetapi
pada saat itu dilakukan proses ganti ruginya dengan cara pemaksaan sehingga
Keempat, tanah garapan tanpa alasan yang kuat, kecuali memanfaatkan kondisi
reformasi yang disalah tafsirkan oleh para penggarap dengan cara coba-coba dan
untung-untungan.
Kelima, tanah garapan yang berasal dari perjanjian pinjam pakai antara pihak
Keenam, tanah-tanah yang di klaim sebagai tanah hak ulayat masyarakat hukum
adat. 25
Momentum yang dipakai para penggarap menguasai atau menduduki areal perkebunan
Pertama, reformasi pada tahun 1998 dijadikan momentum masyarakat masuk ke areal
25
Perspektif PTPN III Dalam Dalam Menghadapi Konflik Hak Guna Usaha, 2001, hal 6-7
Baru tidak adil agar hak-hak petani penggarap dan hak masyarakat adat dikembalikan
Kedua, berakhir masa berlakunya HGU, masyarakat masuk keareal perkebunan dan
menggarap, menguasai lahan lalu menuntut untuk mendapatkan hak atas tanah yang
para penggarap kuasai dan usahai. Alasan para penggarap areal perkebunan dulunya
tanah yang diusahai orang tua leluhurnya mereka dipaksa untuk meninggalkan
(empat puluh persen) dari tanah perkebunan diserahkan kepada masyarakat sekitar
perkebunan, hal ini menambah maraknya aksi penggarapan tanah di areal hak guna
mengambil keuntungan dari kemelut yang terjadi di tengah masyarakat, dengan dalih
Keempat, janji Presiden SBY dalam rangka reforma agraria meredistribusikan tanah
sebanyak 8,15 juta hektar lahan, kepada masyarakat dari tahun 2007 hingga 2014, di
perkirakan 6 juta hektar untuk rakyat miskin 27. Rakyat terus menunggu janji SBY ini
dan memberanikan diri memasuki tanah-tanah yang dianggap ditinggal dan tidak
yang berlaku terdiri dari beberapa badan atau lembaga yang berwenang menyelesaikannya
yaitu :
26
Ibid hal 10
27
Bernhard Limbong, Reforma Agraria, Pustaka Margaretha, Jakarta, 2012
ketentuan Kepres 26/1988 jo. Perpres No. 10 Tahun 2006, penyelesaian melalui
Tahun 2003. Penyelesaian melalui Jalur Khusus, dengan cara melalui Tim Ad. Hoc.
BPN – Polri sesuai MoU BPN dengan Polri SKB No, 10/SKB/XII/2010-
B/31/XII/2010 tanggal 3 Desember 2010 tentang Sidik Sengketa bila ada indikasi
pidana 28.
yang bersifat lintas Kabupaten/Kota dalam satu Propinsi dilaksanakan oleh Pemerintah
Propinsi yang bersangkutan jika luas HGU berada di antara 2 atau labih Kabupaten/Kota.
Berdasarkan UUPA, Pasal 2 ayat (1) dan (2) , masalah pertanahan khususnya
beserta jajarannya. Relevansi BPN dalam menangani sengketa tanah merupakan fungsi
Pemerintah harus mengacu kepada ketentuan yang ada dan hasilnya dapat mencerminkan
28
Badan Pertanahan Nasional Sumatera Utara, PenangananMasalah Sengketa Dan Konflik Pertanahan,
Medan, 12-10-2012
berkepentingan.
Dalam ranah hukum dikatakan bahwa sengketa adalah masalah antara dua orang atau
lebih yang keduanya saling mempermasalahkan suatu obyek tertentu.Hal ini terjadi karena
kesalah pahaman atau perbedaan pendapat atau persepsi antara keduanya, kemudian
menimbulkan akibat hukum bagi keduanya. Sengketa tanah dapat berupa sengketa
obyeknya tidak hanya individu, kelompok, organisasi bahkan lembaga besar seperti Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) ataupun Negara. Sengketa tanah dan konflik pertanahan
memiliki perbedaan arti yang signifikan, Sengketa tanah 29 adalah perselisihan orang
perseorangan, badan hukum atau lembaga yang tidak berdampak luas secara sosio politis.
golongan, organisasi, badan hukum, atau lembaga yang mempunyai kecenderungan atau
sudah berdampak luas secara sosio politis. Istilah lain yang berkaitan dengan sengketa tanah
yaitu Perkara Pertanahan dan Kasus Pertanahan. Perkara Pertanahan adalah perselisihan
Nasional Republik Indonesia. Kasus Pertanahan adalah sengketa, konflik atau perkara
pertanahan yang disampaikan kepada Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia untuk
29
Pengertian menurut Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan
30
Badan Pertanahan Nasional Sumatera Utara, Penanganan Masalah Sengketa Dan Konflik Pertanahan,
Seminar Hukum Pertanahan, Mengurai dan Mengurangi Konflik Pertanahan, Medan, 2012
areal HGU PT. Perkebunan Nusantara, isu-isu yang dijadikan alasan kelompok masyarakat
menuntut, menggarap tanah perkebunan adalah proses ganti rugi yang belum tuntas, tanah
nenek moyang yang diambil paksa oleh perkebunan, adanya perbedaan luas hasil ukur
dengan HGU, tanah terlantar, dan lain-lain. 31 Keadaan yang demikian harus dicermati secara
hukum, apa-apa yang dijadikan alasan penggarap melakukan tuntutan dan menggarap tanah
perkebunan tersebut.
tanah yang mereka garappada areal HGU PTPN di Sumatera Utara yaitu :
Pertama, bahwa tanah-tanah yang dulunya dikuasai dan diusahai oleh masyarakat atau
milik masyarakat secara turun-temurun diambil alih untuk dijadikan perkebunan tanpa
Kedua, proses ganti rugi yang belum tuntas , dan nilai ganti ruginya dipandang terlalu
rendah oleh masyarakat, tetapi karena proses gantiruginya disertai dengan intimidasi,
Ketiga, perbedaan luas hasil ukur dengan luas tanah hak guna usaha (HGU) di
lapangan, terjadi selisih luasan dengan kenyataan di lapangan sehingga ada tanah-
Keempat, tanah perkebunan merupakan tanah ulayat/tanah adat atau warisan dari suatu
kesultanan atau keluarga masyarakat tertentu; Tanah perkebunan diakui sebagai tanah
ulayat/tanah adat, merupakan masyarakat adat setempat yang diambil alih oleh
pengusaha tanpa izin masyarakat/ketua adat mereka atau tanah tersebut merupakan
31
PT. Perkebunan Nusantara III (Persero), Pokok-Pokok Hukum Agraria, Bagian Hukum PTPN III, Urs
Hukum/Pertanahan, 2014
Kelima, tanah perkebunan yang tidak dikelola secara baik tanah terkesan
diterlantarkan atau dianggap sebagai lahan tidur, sehingga ditanami oleh masyarakat
dengan tanaman palawija dan ada yang menanam tanaman keras 32.
tempat pengaduan dan penuntutan antara penggarap dan perusahaan perkebunan namun tak
melalui proses pengadilan (litigasi) maupun dengan cara musyawarah di luar pengadilan
anggapan para penggarap pengadilan berpihak kepada perkebunan. Dengan sikap pandangan
penggarap yang demikian maka putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap
jatuhnya korban jiwa dan harta benda, menimbulkan rasa permusuhan di kedua belah pihak
semakin tajam. Dari sudut pandang menentukan penggarap yang benar-benar sebagai
penggarap murni yang mempunyai hak terhadap tanah yang digarapnya mengalami
kesulitan.
32
PT. Perkebunan Nusantara III (Persero), Bagian Hukum PTPN III Urusan Pertanahan, Penanganan
Masalah Pertanahan, Medan, 2013
diselesaikan melalui cara pandang kalah menang (win-lose solution), melainkan konflik
dapat diakhiri dengan menjadikan semua pihak yang terlibat (desputans) sebagai pemenang
(win-win solution) 33. Penyelesaian sengketa yang diharapkan tentunya akan menghasilkan
pertanahan yang dapat mempercepat penuntasan sengketa tanah di daerah Sumatera Utara.
Situasi dan kondisi terjadi di era pasca reformasi muncul kembali masalah sengketa
tanah yang dihadapi di bidang usaha perkebunan, masalah-masalah pasca reformasi tersebut
yaitu:
Pertama, penggarapan areal hampir terjadi disetiap unit kebun dengan modus yang
tidak jauh berbeda antara gerakan penggarap kelompok yang satu dengan kelompok di
perkebunan, masih lebih besar diserap ke Pemerintah Pusat. Hal ini menyulitkan
perusahaan perkebunan dalam upaya perbaikan citra karena ketika akan membangun
hubungan baik dan dialog dengan Aparatur Pejabat birokrasi Pemerintah Daerah ada
Sengketa tanah yang melibatkan masyarakat dengan pemerintah terus terjadi. Pada
tahun 2001 Kesultanan Deli dan Forum Peta Umat mengajukan surat kepada Mendagri dan
33
Abu Rohmad, Paradigma Resolusi Konflik Agraria, Walisongo Press, Semarang, 2008, hal xix
34
Perspektif PTP Nusantara III Dalam Menghadapi Konflik Hak Guna Usaha, 2001, hal 5
Timur sebagian besar diusahakan di atas lahan hak ulayat masyarakat Melayu. Sultan Deli
mengklaim tanah eks-konsesi Kesultanan Deli yang sekarang merupakan lahan perkebuan
tembakau, kelapa sawit dan tebu (BUMN PTPN) adalah tanah ulayat mereka. Pemerintah
Kabupaten Deli Serdang menerbitkan dua Surat Keputusan Bupati Deli Serdang, yakni SK
No. 112 Tahun 2000 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Masalah Hak Ulayat
Masyarkat Hukum Adat di Kabupaten Deli Serdang, dan SK Bupati Deli Serdang No 615
tahun 2001 tentang Adat di Kabupaten Deli Serdang. Namun demikian tanah yang diklaim
sebagai tanah ulayat tersebut banyak yang dikuasi oleh pemerintah (BUMN–PTPN II),
"Penjarahan dan pengrusakan tanaman tebu milik PTPN II saat ini masih terus
berlanjut. Jika tidak dihentikan, bukan hanya 820 karyawan yang akan terancam PHK
tetapi perusahaan juga akan mengalami kesulitan, luas areal tanah Hak Guna Usaha/HGU
milik PTPN II yang ditanami tebu sekitar 500 ribu hektare, termasuk areal infrastruktur dan
perumahan. HGU itu perizinannya tahun 2003 diperpanjang hingga 2028, sehingga tak ada
alasan kelompok lain untuk melakukan penyerobotan, pengrusakan disertai kekerasan dan
pembabatan tanaman tebu yang sudah dipelihara oleh para pekerja lebih dari enam bulan.
Namun tiba-tiba datang ratusan warga merusak, menganiaya dan mengusir karyawan
PTPN II, pengrusakan tetap terjadi dan bahkan terjadi korban kekerasan lebih dari 19
orang karyawan luka-luka akibat kena bacokan, panah dan gebukan kayu balok. Mereka
menyebutkan tanah tersebut bukan milik PTPN II tetapi tanah garapan milik kakek dan
neneknya. Kami berharap pihak aparat untuk melindungi karyawan yang masih was-was
untuk diserang kedua kalinya dan melakukan pengerusakan terhadap tanaman tebunya.” 35
penyelesaian hukum, tetapi tetap dibantu pertimbangan sejarah dan pendekatan sosial dan
sengketa tanah, maka pengusaha perkebunan tidak dapat melakukan pengosongan tanah
35
Ketua Umum Federasi Serkat Pekerja Perkebunan di Jakarta, Harian Kompas, Sabtu, 26 Mei 2012
36
Muhammad Yamin, Pemikiran Strategis Kebijakan Agraria Dalam Penyelesaian Sengketa Tanah Di Era
Penguatan Otonomi Darah Saat ini, dalam M. Solly Lubis, Paradigma Kebijakan Hukum Paca Reformasi,
Sofmedia, 2010, hlm 186
B. Rumusan Masalah
1. Apa sarana hukum yang mengaturhak guna usaha perusahaan perkebunan dan
masyarakat penggarap?
3. Mengapa terjadi kegagalan penyelesaian sengketa tanah garapan pada areal hak
Utara?
C. Tujuan Penelitian
terselesaikannya sengketa tanah di areal hak guna usaha perkebunan PTPN oleh
Sumatera Utara.
3. Untuk menjelaskan sengketa-sengketa tanah garapan yang terjadi pada areal hak
D. Manfaat Penelitian
1. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan dan data
kalangan akademisi, karena akan menjadi data empiris yang berhubungan dengan
dan perusahaan.
2. Secara praktis penelitian ini dapat dijadikan pelaku usaha perkebunan untuk
bahwa penelitian harus memiliki manfaat praktis dan manfaat teoritis, Bahkan
something new ). 37
1. Kerangka Teori
thesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem), yang menjadi bahan
upaya untuk mengembalikan hubungan para pihak yang bersengketa dalam keadaan seperti
37
Bahan materi kuliah M. Solly Lubis, TA 2011-2012 pada Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum Fakultas
Hukum USU
38
Sedangkan teori itu sendiri adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik, tetapi
merupakan suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman
empiris. Dengan kata lain, teori dalam ilmu pengetahuan merupakan suatu penjelasan rasional yang
berkesesuaian dengan objek yang dijelaskan, dan meskipun penjelasan nampaknya begitu meyakinkan, akan
tetapi harus didukung oleh fakta-fakta empiris agar dapat dinyatakan benar (valid atau sahih). M. Solly Lubis,
Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju1994), hal. 27 dan 80.
hubungan, baik hubungan sosial maupun hubungan hukum antara satu dengan lainnya 39.
tentang: “kategori atau penggolongan sengketa atau pertentangan yang timbul dalam
masyarakat, faktor penyebab terjadinya sengketa dan cara-cara atau strategi yang digunakan
untuk mengakhiri sengketa tersebut”. Bahwa salah satu fungsi hukum pada pokoknya adalah
menyediakan mesin dan tempat yang bisa dituju oleh orang untuk menyelesaikan sengketa
mereka dan merampungkan sengketa mereka. Fungsi ini tidak dimonopoli sistem hukum
tapi juga dimiliki oleh orang tua, guru, tokoh agama, para majikan dan lainnya. Berkaitan
dengan bagaimana hukum digunakan untuk memecahkan persoalan sengkteta tanah. Budaya
hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana
hukum digunakan, dihindari dan disalah-gunakan. Tanpa budaya hukum, sistim hukum tidak
akan berdaya jika diterapkan dalam kehidupan masyarakat 40. Teori penyelesaian sengketa
kepada struktur dan institusi social. Ralf Dahrendorf berpendapat bahwa masyarakat
1. Sengketa dan;
2. Konsensus
mengikat masyarakat bersama di hadapan tekanan itu. Sementara itu teori konsensus
39
Istilah teori penyelesaian sengketa berasal dari terjemahan bahasa Inggris, yaitu dispute settlement of
theory, Salim HS, Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis Dan Disertasi,
Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2013) hal 135.
40
Lauwrance M. Friedman, Sistem Hukum Prespektif Ilmu Sosial, Diterjemahkan dari buku The Legal
System: A Social Science Perspective oleh M. Khozim, Peneribit Nusa Media, Bandung, 2009, hal 20)
polarisasi (kelompok yang berlawanan) yang terus terjadi, ketidak percayaan dan
yang ingin dicapai teori ini adalah meningkatkan komunikasi dan saling pengertian
dan agar masyarakat lebih bisa saling menerima keragaman yang ada didalamnya.
posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang sengketa oleh pihak-
karena identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau
bersengketa.
kebutuhan dasar manusia, baik fisik, mental dan sosial yang tidak terpenuhi atau
41
Salim HS, Erlies Septiana, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis Dan Disertasi, PT Raja
Grafindo, Jakarta, 2013, hal 144.
Bagi masyarakat Jepang menghormati suatu nilai yang disebut “harmoni” merupakan
suatu ciri nasional, penyelesaian suatu sengketa itu bertujuan untuk mempertahankan,
memperbaiki atau menciptakan suatu hubungan khusus yang harmonis. Bentuk penyelesaian
suatu sengketa yang paling menonjol di Jepang adalah sarana di luar pengadilan, perbaiki
“bahwa Perdamaian yang besar selama tiga ratus tahun Tokugawa dapat
dipertahankan karena pertikaian di antara warga negara diselesaikan secara harmonis
melalui administrasi mereka sendiri yang otonom, dengan menghindarisebanyak mungkin
cara dengan prosedur Pengadilan”. 43
b. Teori Keadilan
negaranya dan sebagai dasar dari pada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap
manusia agar ia menjadi warga negara yang baik. Demikian pula peraturan hukum yang
sebenarnya hanya ada jika peraturan hukum itu mencerminkan keadilan bagi pergaulan
Gustaf Radbruch, mengajarkan adanya tiga ide dasar hukum, yang oleh sebagian
besar pakar teori hukum dan filsafat hukum, juga diidentikkan sebagai tujuan hukum, yaitu
bahwa harus menggunakan asas prioritas, dalam hal ini perioritas pertama adalah keadilan,
42
Takeyoshi Kawashima, Penyelesaian Pertikaian di Jepang Kontemporer, dalam AAG Peters dan
Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial Buku Teks Sosiologi Hukum Buku II, Pustaka
Sinar Harapan, Jakarta, 1988, h. 105-110.
43
Ibid.
44
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, Sinar Bakti, Jakarta 1988, hal
153
kemanfaat hukum tidak boleh bertentangan dengan keadilan, demikian juga kepastian
dapat melahirkan sistem yang dapat mencerminkan keadilan bagi semua individu. Dengan
manfaat yang besar bagi sebagian besar masyarakat. 47 Teori keadilan dipakai sebagai middle
Eugen Ehrlich berpendapat bahwa hukum positif akan mempunyai daya laku yang
efektif apabila berisikan atau selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living
law). Ajarannya yang sangat berpengaruh bahwa terdapat perbedaan antara hukum positif
litigasi maupun para pengacara professional di tengah-tengah lapangan hukum 49. Pernyataan
Holmes tentang hukum adalah putusan hakim dan bukan deduksi abstarak dari peraturan-
45
dalam Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence
Termasuk Interpretasi Undang=Undang (Legisprudence), 2009, Kencana Pranada Media Group, Jakarta, hal
288-289
46
Sunarjati Hartono, Kapita Selekta Perbandingan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,1989, hal 36
47
Lili Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2007, hal 61
48
Lili Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum , Mandar Maju, 2007, hal 66
49
The American Legal System, baca “ Bahan Bacaan Filsafat Hukum Buku ke 1” yang disusun oleh
Agus Brotosusilo, hal 658
50
http://xa.yimg.com/kq/groups/24002719/278585820/name/AMERICAN+AND+SCANDINAVIAN+RE
ALISM.pdf.
filosofis tentang hukum, pertama; kebutuhan masyarakat yang besar akan keamanan umum.
manusia mencari aturan yang mengatur manusia terhadap tindakan yang sewenang-wenang
dari penguasa maupun individu sehingga dapat mendirikan suatu masyarakat yang mantap.
keamanan umum dan membuat kompromi-kompromi baru secara terus menerus dalam
masyarakat karena terjadinya perubahan dan untuk itu diperlukan adanya penyesuaian-
situation in which two or more legal systems coexist in the same social field”, dan konsep
klasik dari Griffiths, yang mengacu pada adanya lebih dari tatanan hukum dalam suatu arena
sosial “ by legal pluralism ‘ I mean the presence in social field of more than one legal
order”. 52
Griffiths membedakan pula adanya dua macam pluralisme hukum yaitu weak legal
pluralism (pluralisme hukum yang lemah), dan strong legal pluralism(pluralisme hukum
yang kuat). Menurut Griffiths pluralisme hukum yang lemah adalah bentuk lain dari
sentralisme hukum, karena meskipun mengakui adanya pluralisme hukum, tetapi hukum
negara tetap dipandang sebagai superior, sedangkan hukum-hukum yang lain disatukan
dalam hirarki di bawah hukum negara. Pluralisme yang kuat menurut griffiths merupakan
produk dari para ilmuan sosial, adalah pengamatan ilmiah mengenai fakta adanya
51
Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, Penerbit Bharatara Niaga Media, Jakarta, 1989 hal 3
52
Merry, 1988, hal 870, dalam Sulistyowati Irianto, Perempuan Di antara Berbagai Pilihan Hukum
(Studi Mengenai Strategi Perempuan Batak Toba Untuk Mendapatkan Akses Kepada Harta Warisan Melalui
Proses Penyelesaian sengketa), Disertasi 2000, hal. 38.
hierarki yang menunjukkan sistem hukum yang satu lebih tinggi dari yang lain. 53 Griffiths
memasukkan pandangan beberapa ahli ke dalam pluralisme hukum yang kuat, antara lain
teori Living law dari Eugene Ehrlich, yaitu aturan-aturan hukum yang hidup dari tatanan
Kontribusi utama dari Ehrlich dengan sosiologi hukum teori deskriptif hukum yang
dikembangkan sebagai reaksi terhadap ideologi sentralis hukum pada zamannya (dalam
bentuk yang disebut hukum positif). Kunci untuk teori deskriptifnya adalah perbedaan
antara "aturan keputusan" dan "aturan perilaku". Dalam konsepsi hukum positif, menurut
Ehrlich, hukum terdiri dari "aturan keputusan", hukum didefinisikan dari titik Pandang dari
"aturan sesuai dengan yang (dia) harus memutuskan sengketa hukum yang
diajukannya ".
Konsepsi hukum positif ini berdiri di jalan yang ilmu teoretis nyata hukum, yang
harus independen dari keprihatinan praktis administrasi lembaga negara. Pluralisme adalah
suatu pandangan dalam hukum yang dimana didalam suatu peraturan hukum terdapat hukum
lain yang terkandung didalam suatu peraturan. Hukum pluralisme terdapat 2 kategori yaitu :
Hal ini biasa terjadi di pemerintahan centralist yaitu dimana dalam suatu hukum
pemerintahan pusat terdapat hukum lain (adat, budaya, kebiasaan , dan lain-lain)
Menurut Griffiths pluralisme hukum yang lemah itu adalah bentuk lain dari
53
Ibid.
pluralisme hukum yang lemah adalah konsep yang diajukan oleh Hooker : “The
term legal pluralism refers to the situation in which two or more laws interact”.
law sebagai sistem yang dominan (hukum negara), dengan servient law yang
Sementara itu konsep pluralisme hukum yang kuat, yang menurut Griffiths
merupakan produk dari para ilmuwan sosial, adalah pengamatan ilmiah mengenai
masyarakat. Semua sistem hukum yang ada dipandang sama kedudukannya dalam
masyarakat, tidak terdapat hierarkhi yang menunjukkan sistem hukum yang satu
“deep”, atau “new” legal pluralism,yang mengatakan bahwa semua hukum yang
hidup dalam arena sosial masyarakat itu, sama keberlakuannya, tidak ada jaminan
bahwa kedudukan hukum yang satu dipandang lebih tinggi daripada hukum yang
lain.
yang kuat antara lain adalah teori dari Sally Falk Moore mengenai pembentukan aturan
54
Hooker dalam Sulistyowati Irianto, PLURALISME HUKUM SEBAGAI SUATU KONSEP DAN
PENDEKATAN TEORETIS DALAM PERSPEKTIF GLOBAL, Academia.edu diakses tgl 5Maret 2015
“Legal pluralism refers to the normative heterogeneity attendant upon the fact that
social action always takes place in a context of multiple, overlapping ‘semi-autonomous
social field”.
Sementara itu pengertian hukum dari Moore yang juga dikutipnya adalah: “ Law is
acuan, pandangan legal pluralist permulaan itu kemudian mendapat kritik terutama dari
bukanlah hal yang baru, karena Eugene Ehrlich telah membicarakan hal yang sama sejak
lama, ketika ia berbicara mengenai konsep living law itu. Dalam salah satu kritiknya
terhadap pandangan pluralisme hukum, Tamanaha yang lebih suka menggunakan istilah
pandangan kaum legal pluralist cenderung menonjolkan adanya kontras antara hukum
negara dan hukum rakyat. Sebaliknya, menurut kaum legal pluralist, justru sebagian
kalangan sarjana hukum sendiri yang mengatakan bahwa karakteristik yang paling utama
Pada masa ini studi antropologi hukum, khususnya studi tentang sengketa, ditandai
oleh kajian yang mengemukakan kehadiran hukum Negara di samping hukum rakyat.
Dalam hal ini ditunjukkan adanya pilihan-pilihan hukum yang terbentang di antara hukum
Negara dan hukum rakyat (hukum adat atau hukum agama dan kebiasaan-kebiasaan lain).
55
The semi-autonomous social field is defined and its boundaries iderentified not by its organization (it
may be a corporate group, it may be not), but by a processual characteristic, the fact that it can generate rules
and coerce or induce compliance to them. Thus an arena in which a number of corporate groups deal with
each other may be a semi-autonomous social field (Moore, 1983: 57)
56
Isitlah folk law dalam bahasa Inggris sering juga dikenal dengan berbagai nama lain seperti: “internally-
generated regulation of semi-autonomous social fields”; “customary law”, “living law”, “positive morality”,
“informal law”; ‘non-state law”; indigenous law”, people’s law”; “autogenous regulation”; “private
government”; “private justice” (Gordon Woodman, Historical Development, bahan materi post Congress
Course “Folk Law Today andTomorrow”, Wellington University, 1993: 1-2)
melihat proses penyelesaian yang dilakukan oleh para otoritas adat (the chief, big man, the
dikotomi antara sistem hukum negara di satu sisi dan sistem hukum rakyat di sisi yang lain.
Franz von Benda-Beckmann adalah salah satu ahli yang dapat digolongkan ke dalam
tahap perkembangan ini. Ia mengatakan bahwa tidak cukup untuk sekedar menunjukkan
bahwa di lapangan sosial tertentu terdapat keanekaragaman hukum, namun yang lebih
lain, dan bagaimanakah keberadaan dari sistem-sistem hukum yang beragam itu secara
bersama-sama dalam suatu lapangan kajian tertentu. 58Pemikiran di atas sekaligus juga
Asas kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan
penyelenggaraan negara. 60
57
Kleinhans dan MacDonald, 1997:31 dalam Perkembangan Pemikiran Konsep Pluralisme Hukum
58
F. Benda-Beckmann, 1990:2 dalam Pluralisme Hukum
59
Dalam Brian Z Tamanaha Understanding Legal Pluralism: Past to Present, Local to Global
60
Prajudi Atmosudirdjo, 1984, Hukum Administrasi Negara, Penerbit Ghalia, Jakarta, Hal. 79-80
tertentu pada tanah dan/atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang
sesuai, mengolah dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut,
d. Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan
usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara
melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang
61
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi
Dan Pelaksanaannya, Jilid 1, Hukum Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta, 2008, hlm 18
f. Hak Guna Usaha (HGU) adalah salah satu jenis hak atas tanah yang diakui
Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Hak Pakai Atas
Tanah. Bahwa pengertian HGU dari yang terkandung di dalam isi pasal-pasal
dikuasai langsung oleh Negara dalam jangka waktu paling lama 35 tahun
Bagi Hasil, dalam Pasal 2, yaitu orang-orang tani yang tanah garapannya
h. Sengketa adalah masalah antara dua orang atau lebih yang keduanya saling
dengan tanah yang menjadi obyek sengketa bisa berupa pemilik, pemegang
obyek tanah meliputi tanah milik perseorangan, atau badan hukum, tanah
asset Negara atau Pemda, tanah Negara, tanah adat dan ulayat, tanah eks hak
berdampak luas secara sosio politis. Istilah lain dalam membedakan antara
Sengketa Tanah dan Konflik Pertanahan yaitu Perkara Pertanahan dan Kasus
62
Bernhard Limbong, 2012, Konflik Pertanahan, Pustaka Margaretha, hal 48-50
63
Pengertian menurut Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan
fungsi lingkungan hidup dan memperhatikan kondisi sosial budaya. Yang dimaksud dengan
dimaksud dengan asas kebersamaan adalah bahwa agar dalam setiap penyelenggaraan
perkebunan menerapkan kemitraan secara terbuka sehingga terjalin saling keterkaitan dan
saling ketergantungan secara sinergi antar pelaku usaha perkebunan (Lihat UU No. 18
Belum adanya mekanisme yang menyeluruh penyelesaian sengketa tanah hal ini
agraria. Apabila berpedoman dengan bukti alas hak perkebunan mempunyai legalitas yang
resmi dengan kata lain secara formal legalitasnya jelas terhadap tanah yang di usahai,
sedangkan masyarakat petani berada di areal secara nyata menguasai menggarap tanah tetapi
tidak mempunyai alas hak secara resmi berdasarkan hukum, artinya secara formal tanah
64
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Pengkajian Dan
Penanganan Kasus Pertanahan, Badan Pertanahan Nasional Sumatera Utara, Penanganan Masalah Sengketa
Dan Konflik Pertanahan, Seminar Hukum Pertanahan, Mengurai dan Mengurangi Konflik Pertanahan, Medan,
2012
65
UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, Pasal 2
yakni PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) Persero II, III dan IV.
baik 66. Dean G. Fruitt dan Jeffrey Z. Rubin mengemukakan pengertian sengketa berarti 67
kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang bersengketa tidak dicapaisecara simultan dan
serentak”
Yang dapat mempunyai HGU adalah Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum
yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. HGU terbit
karena berapa cara yaitu, karena penetapan pemerintah dan dapat juga karena ketentuan
Guna kepastian hukum peryaratan pemberian HGU harus didaftarkan, demikian juga
peralihan dan penghapusannya. Ditinjau dari aspek hukum perdata secara substantive fungsi
pendaftaran adalah memiliki momentum yang penting untuk melahirkan hak kebendaan.
Dalam aspek hukum perdata ajektif, HGU yang sudah didaftarkan memiliki bukti yang kuat,
terkecuali untuk HGU yang hapus karena jangka waktunya telah berakhir.
Dalam pengertian yang mutlak (absolute) pemegang HGU adalah pemegang hak dan
yang memberikan hak adalah Negara. Apabila jangka waktu hak telah berakhir dan tidak
66
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1990), hal. 801.
67
Salim HS, Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis Dan Disertasi, PT
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013, hal. 136.
oleh peraturan perundang-undangan kepada subjek hukum untuk melakukan sesuatu atau
UUPA tidak ada melarang kepada pemegang HGU untuk mengalihkan kepada orang
lain, tetapi di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, larangan mengalihkan
HGU kepada orang lain ditegaskan dengan pengecualian berdasarkan peraturan perundang-
undangan. Larangan ini berlaku ketika jangka waktu HGU belum berakhir. Apabila HGU
sudah berakhir dan tidak diperpanjang lagi, apakah pemegang HGU dibolehkan
UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tidak memberikan jalan
keluar yang tegas. Secara eksplisit sudah jelas bahwa hapusnya HGU membawa
konsekwensi yuridis yaitu tanah tersebut menjadi tanah Negara. Bagi pemegang hak bila
HGU tidak diperpanjang maka melahirkan 2 (dua) kewajiban, yaitu Membongkar bangunan-
bangunan dan benda-benda yang ada diatasnya. Dari kewajiban hukum tersebu bekas
pemegang HGU masih memiliki hak atas bangunan-bangunan dan benda-benda yang ada
diatas tanah bekas HGU-nya.Hal ini sesuai dengan asas pemisahan horizontal yang dianut
UUPA.
Terhadap kewajiban hukum yang kedua adalah bekas pemegang HGU menyerahkan
tanah HGU yang sudah berakhir kepada Negara denganketentuan diberikan batas waktu oleh
Menteri, batas waktu tersebut tidak ditentukan secara tegas sebagaimana yang terdapat pada
Pasal 18 Ayat (1), PP No. 40 Tahun 1996. Menteri yang dimaksud adalah Menteri yang
mengurusi bidang pertanahan, dalam hal ini Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Didalam UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai disebut bahwa salah satu yang dapat menjadi
berkedudukan di Indonesia 68. PTPN berstatus BUMN organ perseroannya terdiri dari Rapat
Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi dan Komisaris, saham PTPN seluruhnya dikuasai
oleh Negara, maka secara yuridis Menteri bertindak selaku RUP 69. Dalam menjalankan
perusahaan Direksi bertanggung jawab untuk kepentingan dan tujuan PTPN baik di dalam
maupun diluar Pengadilan. Sebagai pedoman dalam menjalankan tugas, Direksi tidak dapat
menyimpang dari hasil RUPS, tugas Direksi mendapat pengawasan dari Komisaris karena
BUMN Persero tunduk pada UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Oleh
karena itu penyelesaian sengketa tanah garapan di PTPN sangat terikat dengan mekanisme
a. Hak-hak asli Indonesia, yaitu hak-hak atas tanah menurut hukum adat;
b. Hak-hak Barat, yaitu hak-hak atas tanah menurut Hukum Barat, yaitu hukum yang
Indonesia serta;
c. Hak-hak atas tanah daerah yang di atasnya masih ada penguasaan dari kerajaan
swapraja lainnya.
68
Tan Kamelo, Peralihan Hak Atas Tanah Eks Hak Guna Usaha PTPN (Persero) Sebagai Badan Usaha
Milik Negara Kepada Pihak Lain, Seminar Pengalihan Hak Atas Tanah Eks Hak Guna Usaha Di Sumatera
Utara, Permasalahan Dan Solusinya, 2006, Fakultas Hukum USU
69
Lihat Pasal 14 UU No. 19 Tahun 2003, dalam hal ini menteri teknis yaitu Menteri Negara BUMN
dapat dimiliki oleh perseorangan atau badan hukum, termasuk mengatur isi dari hak yang
bersangkutan beserta hubungan hukum antara pemegang hak dengan tanah yang
dikuasainya. Hal ini menunjukkan bahwa hukum tanah yang tercakup dalam BW cenderung
hal yang bersifat administratif, yang berisi kebijakan Pemerintah Hindia Belanda tentang
pemberian hak atas tanah di Indonesia. Namun ketentuan-ketentuan yang mengatur hal
tersebut di atas didasarkan pada hukum tanah Pemerintahan Belanda, yaitu 71:
1. Agrarische Wet, yaitu suatu undang-undang yang dibuat Pemerintah Belanda yang
(RR), sejenis UUD bagi Hindia Belanda yang ditetapkan tahun 1854 yang
kemudian diubah menjadi Indische Staatregering (IS) pada tahun 1925, dimana
Wet. Peraturan ini merupakan suatu pernyataan yang menjadi dasar kewenangan
pemberian hak atas semua bidang tanah yang tidak dapat dibuktikan sebagai
eigendom pihak lain, adalah milik (domein) negara. Agrarische Besluit 1870 hanya
berlaku untuk Jawa dan Madura, sedangkan untuk daerah lain ditetapkan dalam
diciptakan menurut ketentuan swapraja, misalnya hak atas tanah yang berlaku di
70
Subekti, R. dan Tjiptosudibio, R, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Burgerlijk Wetboek, dengan
Tambahan Undang-undang Pokok Agraria dan Undang-undang Perkawinan.
71
Ibid.
72
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi
dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 1999.
Di masa pemerintahan Hindia Belanda, semua pemberian hak atas tanah yang
berkaitan dengan hak-hak barat mempunyai data tanah yang lengkap dengan peta
kadasternya yang sudah didaftarkan. Hal ini masih dapat dilihat di sejumlah wilayah di
Indonesia, misalnya di D.I.Yogyakarta, yang sampai saat ini peta tanahnya masih tersimpan
kesejahteraan rakyat hanya dapat terwujud lewat campur tangan Pemerintah. Pembukaan
dan pasal-pasal dalam batang tubuh UUD 1945 menunjukkan bahwa cara mewujudkan
kesejahteraan bagi bangsa Indonesia adalah dengan menjadikan peran negara melalui
merupakan hukum tanah warisan pemerintah Hindia Belanda. Pada masa ini, filosofi hukum
“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Filosofi ini masih berlaku hingga UUPA diundangkan, yaitu pada tanggal 24
September 1960.Sesudah berlakunya UUPA, hukum tanah nasional yang berlaku adalah
hukum tanah yang mengatur jenis-jenis hak atas tanah dalam aspek perdata dan dalam aspek
administrasi yang berisi politik pertanahan nasional yang semuanya itu bertujuan akhir pada
penciptaan unifikasi hukum pertanahan di Indonesia. UUPA sebagai hukum agraria nasional
pemerintah.
Secara filosofi, sengketa tanah terjadi bukan soal hukum semata. Secara esensial
yang terjadi adalah perbedaan konsep hak penguasaan atas tanah antara yang dianut pribumi
dengan pandangan hukum positip (Eropa). Dalam pandangan pribumi, hubungan manusia
dengan tanahnya ditentukan oleh intensitas de facto 74 penggunaan atau penggarapan tanah
tersebut.Makin intens pemanfaatannya, makin kukuh pula hak penguasaannya. Hal ini
diperkokoh dengan keyakinan religius mereka bahwa tanah merupakan karunia Tuhan yang
bisa dimiliki oleh siapa saja asal mau bekerja dan berjerih payah memanfaatkannya. Sedang
logika Eropa berbeda sebaliknya, kerja diatas tanah seberapapun luas dan beratnya tidak
akan menerbitkan hak atas tanah tersebut. Konsep pemilikan tanah Eropah
di tangan pemerintah. Setiap hak pemilikan dan penguasaan tanah oleh masyarakat, ipso
jure harus bermula dari pemerintah atas tanah alias domein, dalam hal ini domein
pemerintah Hindia Belanda sebagai penerus hak raja-raja (Jawa). Ipso facto dari kenyataan
tentunya lahan/tanah menjadi aset utama. Sementara itu, ketersediaan tanah terbatas dan
cenderung menurun karena lahan pertanian secara perlahan tetapi pasti tergerus sektor lain,
seperti pertanian dan perkebunan, permukiman dan industri atau infrastruktur lainnya.
73
Ibid.
74
De Facto menurut KBBI adalah pengakuan terhadap suatu pemerintahan yang secara nyata menjalankan
kekuasaan efektif pada suatu Negara atau wilayah.
75
Soetandyo Wignjosoebroto, dalam Abu Rohmad, Paradigma Resolusi Konflik Agraria, Walisongo
Press, Semarang, 2008, hal 70-71
kepemilikannya dengan segala cara, bahkan rela bertarung nyawa asalkan tanahnya tidak
diokupasi pihak lain, apalagi menyangkut tanah ulayat. Pemerintah terkesan lamban, dan
Perkebunan yang berasal dari kata ”kebun”, mengingatkan kita pada sosok seorang
petani yang tidak kenal lelah, dari pagi sampai sore bahkan hujan dan panaspun tidak
dengan manajemen yang lebih bagus disertai dengan peningkatan Sumber Daya Manusia
(SDM) pengelolaan perkebunan yang lebih modern, harusnya bisa menghasilkan sebuah
kompilasi dan harmonisasi antara pemerintah, pengusaha dan masyarakat. Dalam sebuah
bangsa, ujung dan akhir dari kegiatan ekonomi adalah meningkatnya kesejahteraan rakyat,
Pada era Reformasi, Para petani penggarap tidak puas dengan keputusan pemerintah
yang memberikan HGU kepada pihak perkebunan(PTPN) di lahan yang mereka garap. Para
petani menuntut agar tanah yang sudah turun-temurun mereka garap itu bisa menjadi hak
milik mereka. Mereka melancarkan aksi antara lain dengan pengrusakan tanaman-tanaman,
pengancaman kepada karyawan perkebunan, penjarahan, deres liar atau panen liar. Kasus
sengketa kelompok tani dengan PTPN masih terus berlanjut di Sumatera Utara.Masyarakat
penggarap di areal HGU PTPN-III (Pesero) Kebun Sei Putih merupakan satu diantara
sengketa tanah garapan di Sumatera Utara yang penyelesaiannya hingga kini belum
berakhir.Peristiwa sengketa tanah garapan dengan luas 314,19 hektar terjadi sejak
perkebunan masih milik NV. Rubber Cultuur Matschappij Amsterdam(RCMA), tahun 1954
76
http://beritanda.com/opini/opini/opini/5084-haruskah-sengketa-lahan-perkebunan-berakhir-dengan-
anarkis.html, diakses tanggal 24 April 2014
penggarapan masih berlanjut. Tahun 1973 terjadi ganti rugi tanaman terhadap 198
penggarap dari PNP-V. Tahun1974 PNP-V melakukan penanaman di areal yang sudah
diganti rugi tersebut dengan tanaman karet, sampai tahun 1998 dan tidak pernah ada lagi
menggarap areal perkebunan yang pada tahun 1974 sudah diselesaikan permasalahannya.
Alasankelompok penggarap menduduki lahan itu karena tanahnya diambil secara paksa
tanpa di ganti rugi. Proses penyelesaian sudah sampai ke jalur litigasi secara pidana dan
perdata dan pejalanan panjang perjuangan para pihak yang bersengketa itu, belum dapat
kepastian siapa yang berhak atas objek sengketa tersebut secara hukum. 77
penggarap, sampai saat ini belum ada menemukan titik terang untuk menyelesaikan
sengketa baik dari PTPN Persero, masyarakat dan Pemerintah. Dengan kata lain kegagalan
penyelesaian sengketa tanah pada areal HGU PTPN harus diselesaikan dengan model
penyelesaian sengketa yang didasari oleh norma-norma hukum yang adil bagi para pihak.
Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, yang mencantumkan prinsip dan
arah kebijakan pembaharuan agraria di Indonesia. TAP MPR ini kemudian ditindaklanjuti
percepatan reforma agraria berupa penyempurnaan UUPA No 5/1960 dan regulasi lainnya,
serta pembangunan sistem informasi dan manajemen pertanahan. Baru pada tahun 2006,
pelaksanaan reforma agraria dinyatakan secara tegas sebagai program pemerintah dengan
77
Kusbianto, Konflik Di Perkebunan, USU Press, 2010, hal. 86-87
Nasional.Dari 21 fungsi yang diemban BPN, secara jelas dicantumkan salah satunya adalah
demikian, Perpres ini merupakan upaya memperkuat aspek kelembagaan dari pelaksanaan
reforma agraria. Reforma Agraria secara legal formal disebut juga dengan Pembaruan
Reforma Agraria atau secara legal formal disebut juga dengan Pembaruan Agraria
penggunaan sumber-sumber agraria (khususnya tanah). Dalam pasal 2 TAP MPR RI Nomor
dan pemanfaatan sumberdaya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan
perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia".
Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Keputusan MPR RI
Nomor 5/MPR/2003 tentang Penugasan kepada MPR-RI untuk Menyampaikan Saran atas
Laporan Pelaksanaan Keputusan MPR-RI oleh Presiden, DPR, BPK dan MA pada Sidang
Tahunan MPR-RI Tahun 2003. Salah satu butir saran dimaksud kepada Presiden Republik
implementasinya di lapangan.
agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang akan berfungsi sebagai undang-
undang pokok.
agraria), yang dalam pengertian terbatas dikenal sebagai landreform, dimana salah satu
programnya yang banyak dikenal adalah dalam hal redistribusi (pembagian) tanah. 79
Pengertian reforma agraria sendiri menurut Tuma 80 adalah suatu upaya sistematik,
terencana, dan dilakukan secara relatif cepat, dalam jangka waktu tertentu dan terbatas,
untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial serta menjadi pembuka jalan bagi
pembentukan masyarakat ‘baru’ yang demokratis dan berkeadilan yang dimulai dengan
langkah menata ulang penguasaan, penggunaan,dan pemanfaatan tanah dan kekayaan alam
lainnya, kemudian disusul dengan sejumlah program pendukung lain untuk meningkatkan
Politik agraria nasional, memerlukan waktu belasan tahun untuk mewujudkan suatu
UU sebagai jelmaan politik agraria nasional yaitu 24 September 1960 yang dikenal UU No.
5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA). Indonesia melakukan
78
Keputusan MPR RI Nomor 5/MPR/2003, nomor 1 butir J, diakses tanggal 6-2-2015
79
Bonnie Setiawan,Hak atas Reforma Agraria, 1997, Hal. 3
80
Bibliografia Selectiva Sobre Reforma Agraria en America Latina 1964-1972, dalam Bachriadi, 2007,
Sejarah , konsep dan implementasi agraria-agrarian resource centre (academia), diakses tanggal 9-2-2015
Dengan keluarnya Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (disingkat UUPA) pada tanggal 24 September 1960, yang selanjutnya diikuti
Tahun 1960 tentang Luas Batas Maksimum dan Minimum Pemilikan Tanah, pada tanggal
24 Desember 1960. Perpu ini kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 1 tahun
1961 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.Undang-undang ini lebih dikenal dengan
Pemerintah (PP) No. 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian
Ganti Kerugian.
pertanahan ;
Bertitik tolak dari Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan
Nasional di Bidang Pertanahan, tegas disebut pada Pasal 2 (dua), bahwa: sebagian
5. Penetapan Subjek dan objek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan
Kewenangan Pemerintah Daerah dalam menyelesaikan persoalan tanah sudah cukup kuat
F. Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi 82 adalah sesuatu yang berkaitan dengan syarat adanya sesuatu. Untuk ini
sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian, maka bentuk penelitian ini adalah
preskriptif analisis. Bentuk penelitian preskriptif adalah suatu analisis data yang tidak keluar
dari ruang lingkup permasalahan, yang berdasarkan teori hukum yang bersifat umum
81
Muhammad Yamin Lubis, Pandangan Teoritis Menuntaskan Persoalan Tanah, Seminar Hukum
Pertanahaan, Mengurai dan Mengurangi Konflik Pertanahan, Medan, 2012, hal 4-5
82
spesifikasi berarti perincian, “built to specification” dibangun menurut perncanaan, yang terperinci dan
diartikan syarat perincian (of a contract). Jhon M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Bahasa Indonesia –
Inggris (Jakarta: Gramedia, 1985), hal. 544.
M. Solly Lubis menyatakan bahwa penelitian preskiptif analisis merupakan hal yang
melalui penelitian 84. Metode dalam penelitian ini metode penelitian hukum normatif dan
penelitian hukum sosiologis, penelitian hukum normatif penelitian yang dilakukan mengacu
kepada norma-norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan dan putusan
Sebagai data sekunder dalam penelitian ini adalah bahan dasar penelitian hukum
normatif dari sudut kekuatan mengikatnya dibedakan atas bahan hukum primer, sekunder
dan tersier.
Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat, yaitu norma atau
sengketa hukum di perusahaan perkebunan yang berhubungan dengan masalah tanah di areal
HGU perkebunan. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa hasil-hasil penelitian, karya tulis ilmiah
dalam bidang hukum dan penelitian-penelitian yang ada relevansinya dengan penelitian ini.
83
Bambang Sunggono I, Metode Penelitian Hukum, Cetakan Kedua, Jakarta Raja Grafindo Persada, 1998,
hal 38
84
M. Solly Lubis, Filsafat Hukum Dan Penelitian, Bandung, Mandar Maju, 1994, hal 77
terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yakni berupa kamus,
ensiklopedia, majalah, surat kabar dan informasi lainnya yang dipergunakan untuk
2. Sumber Data
Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini meliputi sumber data primer
dan data sekunder. Data primer diperoleh dari responden yang telah ditentukan yaitu pekerja
PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) di Sumatera Utara, yaitu di Kantor PTPN III, Penggarap
di areal perkebunan pada Unit-Unit Kebun PTPN III, selanjutnya di Kantor Pemerintah
berkaitan dengan sengketa tanah perkebunan PTPN III. Kemudian untuk memperoleh data
sekunder dalam penelitian ini melalu bahan-bahan kepustakaan dan peraturan perundang-
untuk mendapatkan data sekunder, dikumpulkan dan dipilih maka menjadi bahan
Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, terdiri dari:
85
Lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta,
Raja Grafindo Persada, 2003, hal 13. Lihat juga Bambang Sunggono,, selanjutnya disebut juga Bambang
Sunggono II, Metode PenelitianHukum Suatu Pengantar, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2002, hal 194- 195
Penyelesaian Sengketa
Guna Usaha
Bidang Pertanahan .
13) Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 34 Tahun 2007 tentang
14) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2011 tentang
b. Bahan hukum sekunder, terdiri dari hasil-hasil penelitian, putusan Pengadilan, karya
terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yakni berupa kamus,
ensiklopedia, majalah, surat kabar dan informasi lainnya yang dipergunakan untuk
dll. Dari deskripsi ini akan diperoleh pandangan, penjelasan. Fungsi kedua
dilakukan kepada informan yang dianggap mengetahui terhadap bidang kajian ini,
untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam dari orang yang dianggap
penting guna memperoleh data. Diantaranya Bagian Hukum Dan Agraria PTP III,
Penggarap di areal HGU perkebunan PTP III, Hakim yang sedang menangani
perkara sengketa tanah garapan di areal HGU PTPN, III dan Pemerintah Propinsi
Nasional (BPN) Propinsi Sumatera Utara, BPN Kabupaten/Kota yang ada masalah
86
Lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta,
Raja Grafindo Persada, 2003, hal 13. Lihat juga Bambang Sunggono,, selanjutnya disebut juga Bambang
Sunggono II, Metode PenelitianHukum Suatu Pengantar, Jakarta, Raja Grafido Persada, 2002, hal 194- 195
87
M’ Solly Lubis, Penelitian Hukum, Bahan Kuliah Program S3, FH USU, 2011
”bahwa proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari
berbagai sumber, yaitu dari wawancara, pengamatan yang sudah dituliskan dalam
catatan lapangan, dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar, foto dan sebagainya.
Setelah dibaca, dipelajari dan ditelaah, langkah berikutnya mengadakan reduksi data,
yang dilakukan dengan jalan melakukan abstraksi. Abstraksi merupakan usaha
membuat rangkuman yang inti, proses dan pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga
sehingga tetap berada di dalamnya. Langkah selanjutnya adalah menyusunnya dalam
satuan-satuan. Satuan-satuan itu kemudian dikategorisasikan pada langkah
berikutnya. Kategori-kategori itu dibuat sambilmelakukan koding. Tahap akhir dari
analisis data ini ialah mengadakan pemeriksaan keabsahan data. Setelah selesai tahap
ini, mulailahh tahap penafsiran data dalam mengolah hasil sementara menjadi teori
substantif dengan menggunakan beberapa metode tertentu”.
deduktif, yaitu metode penarikan kesimpulan dari bahan-bahan yang bersifat khusus
G. ASUMSI
Untuk membatasi dan mengarahkan pengkajian dalam penelitian ini maka perlu
1. Tanah yang diusahai PTPN merupakan tanah bekas konsesi perkebunan Belanda, oleh
perkebunan negara. Areal tanah perkebunan yang diambil alih pemerintah tersebut
sebagian sudah ada yang diusahai oleh masyarakat menggarap areal perkebunan
karena areal konsesi perusahaan perkebunan pada masa itu belum diusahai secara
88
Lexi J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya,
2004, hal. 247-248
tanah yang sudah diusahai dan dikuasai secara turun temurun. Para petani penggarap
kelompok tani, maka sengketa tanah ini menjadi sengketa antara kelompok tani
Kepolisian, Pemda, LSM, OKP dll. yang ikut melibatkan diri kedalam sengketa tanah
untuk menguasai lahan dan menuntut hak atas tanah yang penggarap kuasai dan
usahai. Para penggarap merasa memilik hak karena perkebunan mengambil tanahnya
yang sudah sejak Orang tua leluhurnya dulu mengusahai tanah yang berada di areal
menuntut agar dilakukan pengukuran batas-batas tanah yang menjadi hak guna usaha
perkebunan.
kondisi dan situasi reformasi tahun 1998 menyebabkan bertambah meningkat sengketa
tanah perkebunan, para penggarap menuntut dan menduduki tanah areal perkebunan.
dan adil. Tindakan main hakim sendiri (eigenrichting)antara penggarap dengan pihak
perkebunan sudah menjadi bagian usaha untuk mempertahankan hak atas tanah yang
mereka usahai.
komitmen untuk mengakui hasil keputusan antara kedua pihak untuk menyelesaikan
sengketa tanah yang terjadi. Selain itu rasa kurang menerima keputusan yang dirasa
merugikan salah satu pihak membuat sengketa tanah tetap pada posisi yang stagnan
dan berkepanjangan. Pada dasarnya sengketa tanah Perkebunan di areal HGU terjadi
H. Keaslian Penelitian
Penelitian untuk judul disertasi ini belum pernah dilakukan tetapi apabila ada
persamaan dengan milik orang lain, bukanlah suatu kesengajaan dan dapat diperiksa isi,
permasalahan dan risetnya tidak sama, karena disertasi ini dibuat sendiri. Dengan rasa
Permasalahan sengketa tanah sudah cukup banyak diteliti oleh kalangan akademisi
dan praktisi, didalam penelitian yang akan dilakukan ini dalam sengketa tanah yang fokus
pada sengketa tanah di areal HGU perkebunan. Sengketa tanah di areal perkebunan menjadi
daya tarik untuk di teliti oleh karena permasalahan tanah tidak pernah kunjung selesai,
terjadi penggarapan hampir di setiap areal HGU perkebunan, sehingga timbul konflik antara
Untuk menghindari adanya kesamaan atau duplikasi dalam penelitian ini, maka
penelitian ini mengambil tema mengenai penyelesaian sengketa tanah di areal HGU
perkebunan yang di usahai oleh BUMN Perkebunan. Lokasi penelitian adalah PT.
kami yakini tidak akan terjadi kesamaan dalam membuat disertasi ini. Namun demikian
beberapa penelitian disertasi yang berkaitan dengan tema penyelesaian sengketa dan dalam
permasalahan tanah perkebunan dari internet, Google dan Wikipedia isudah dilihat untuk
menghindari duplikasi dan dari Perpustakaan Univeritas Sumatera Utara (USU) antara lain :
(Tahun 2003)
(Tahun 2002)
3. Edi Ikhsan, judul : Antan Patah Lesungpun Hilang: Pergeseran Hak Tanah Komunal
Dan Pluralisme Hukum Dalam Perspektif Sosio-Legal (Studi Pada Etnis Melayu
1. Sholih Mu’adi, judul Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Perkebunan Melalui
Cara Non Litigasi Dalam Situasi Transisional. Ada tiga masalah yang diteliti yaitu :
atas tanah (khususnya tanah perkebunan) di masa transisional Orde Baru dan
masa reformasi
mengidentifikasi:
a. Relasi antara aktor pemerintah, swasta dan masyarakat pada level mikro
masyarakat tani.
b. Dampak positip, negatif dari aspek ekonomi dan sosial antara PT.
I. Sistematika Penulisan
dalam penulisan ini, yang terdiri dari 5 (lima) bab, dengan sistematika sebagai berikut:
permasalahan didalam bab ini. Pada bab ini dikemukakan kerangka teori sebagai
menguraikan tentang sarana hukum yang mengatur tentang tanah berkaitan dengan
perkebunan.
2. Bab Ketiga, mengenai tanah garapan di areal hak guna usaha (HGU) perusahaan
perkebunan PTPN dan tindakan yang dilakukan pihak perkebunan dan pihak
4. Bab Lima, sebagai bab penutup yang mengemukakan bebarap kesimpulan dan saran
A. KONSESI PERKEBUNAN
Timur sudah dibahas dalam penelitian milik Edy Ikhsan. Konsesi Perkebunan di
sewa jangka panjang atas tanah dan hutan belantara memicu perhatian yang lebih
dalam untuk melihat, menilai dan menyimpulkan tempat dari satu hak yang
dianggap paling tinggi dalam penguasaan tanah, yakni hak atas tanah komunal
89
Edy Ikhsan. Pergeseran Hak Tanah Komunal dan Pluralisme Hukum dalam Perspektif
Sosio-Legal.
90
Residen Pesisir Sumatera Timur dalam usulannya kepada Pemerintah Hindia Belanda
mengatakan bahwa kesepakatan yang dibuat atas dasar ini oleh raja dan pengusaha menjadi satu-
satunya sumber hukum yang dapat menentukan hubungan hukum para pelaku kontrak, karena baik
KUH Perdata Belanda maupun peraturan umum lainnya tidak berlaku. Dengan memperhatikan
kepentingan besar yang dimiliki oleh kedua belah pihak dalam kontrak seutuhnya, sangat wajar
bila pemerintah meminta penyusunan model selengkap mungkin sehingga mereka bisa
memanfaatkannya. Lihatlah Labberton, Op.cit. Hal.43.
memberi naungan (memproteksi) hak-hak sedia kala yang dimiliki oleh penduduk
setempat atau dengan cara apa para penyusun konsesi itu mengartikulasikan atau
perkebunan di wilayah ini. Dengan memakai bahan model kontrak konsesi yang
dalam kerangka yang lebih luas dari hanya sekedar mendiskusikan kerangka
perusahaan, individu, atau entitas legal lain. Konsesi antara lain diterapkan pada
diterapkan pada kemitraan pemerintah swasta (KPS) atau kontrak bagi hasil. 91
Konsesi dalam arti lain adalah hak menguasai dan mengusai untuk dimanfaatkan.
diberikan kepada pengusaha asing J.W. Neys dari Raja dan orang besar Limboto
(Residensi Menado) dengan melalui Besluit No. 17 tanggal 19 Mei 1860 untuk
91
Wikipedia.com diakses tanggal 6 Juni 2016
92
Edy Ikhsan. 2013, Desertasi Pergeseran Hak Tanah Komunal dan Pluralisme Hukum dalam
Perspektif Sosio-Legal, hal 121
ayat 3 UUD 1945. Berdasarkan bunyi Pasal 33 tersebut dapat dipahami bahwa
segala tanah air Indonesia berada di bawah kekuasaan negara, dan sebagai
Tanah memang menjadi hal penting dalam kehidupan manusia, untuk itu
penting diatur pemanfaatan tata guna tanah, dan negara sebagai penguasa tanah
Indonesia merdeka dan situasi politik sudah mulai berjalan normal, pada tanggal
Agraria (UUPA). UUPA sebagai aturan turunan dari Pasal 33 ayat (3), UUD 1945
mengandung asas (prinsip) bahwa semua hak atas tanah dikuasai oleh negara, dan
asas bahwa hak milik atas tanah “dapat dicabut untuk kepentingan umum”. prinsip
ini tertuang dalam pasal 2 dan pasal 18 UUPA. Berdasarkan pasal 2 UUPA ini
negara menjadi pengganti semua pihak yang mengaku sebagai penguasa tanah
yang sah. Negara dalam hal ini merupakan lembaga hukum sebagai organisasi
berwenang mengatasi dan menengahi sengketa hak penguasaan atas tanah yang
diperlakukan 3 (tiga) pandangan penguasaan tanah yakni teori Eropa, teori adat
dan teori hukum nasional. 95 Ketiga teori ini silih berganti diterapkan di Indonesia
orang Eropa. Sebagaimana diketahui, bahwa pada masa lalu wilayah Indonesia
pernah menjadi bahagian dari wilayah kekuasaan bangsa Eropa sehingga hukum
pemikiran bahwa raja adalah penguasa mutlak atas tanah negara diberlakukan
93
Syafruddin Kalo, Perbedaan Persepsi Mengenai Penguasaan Tanah dan Akibatnya
Terhadap Masyarakat Petani di Sumatera Timur pada Masa Kolonial yang Berlanjut pada Masa
Kemerdekaan, Orde Baru dan Reformasi, Program Studi Hukum Pidana Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, t.t. halaman 3.library.usu.ac.id/download/fh/pidana-syafruddin8.pdf
94
Ibid
95
Kalo. Opcit hal. 7 library.usu.ac.id/download/fh/pidana-syafruddin8.pdf
adalah penguasa segala hal di negaranya dengan semboyan “L’etat c’est Moi” 96
atau Negara adalah Saya, teori ini mencerminkan kekuasaan yang besar atas
tanah. Raja dianggap sebagai wakil negara dan pemilik tanah adalah negara. Teori
ini juga berlaku di Inggris dan Belanda. Indonesia sebagai negara jajahan Belanda
Indonesia adalah milik raja dan dengan demikian oleh karena raja takluk kepada
milik raja Belanda. Oleh karena itu pemerintah Kolonial menganggap semua
tidak dapat dibuktikan siapa pemiliknya adalah menjadi tanah negara. Atas dasar
mempunyai kekuasaan hak domein atas tanah maka dengan sendirinya hak
domeinitu juga diambil over oleh Belanda karena Belanda memegang kedaulatan
di Indonesia. Teori ini sesuai dengan Mahadi atas model-model akte konsesinya
yang dijabarkan oleh Edy Ikhsan diterapkan agar pemerintah Hindia Belanda
96
http://www.newworldencyclopedia.org/entry/Louis_XIV_of_France
97
http://mankydaily.tumblr.com/post/452408880/domein-verklaring
98
Kalo. Ibid
Belanda di dasarkan kepada Agrarische Wet (staatblad 1870 nomor 118) yang
terkait dengan Agrarische Wet (staatblad 1870 nomor 55). Pasal 1 Agrarische
verklaring ini sangat merugikan rakyat karena domein diperlakukan di atas tanah
rakyat dan memungkinkan tanah-tanah hak ulayat diberikan kepada orang asing
dengan hak sewa (erfacht). Dalam hal ini ada dua hal penting yang terkait dengan
b. Domein verklaring tidak lebih ditujukan terhadap tanah yang tunduk pada
hukum adat, mengingat dalam sistem hukum adat tidak dikenal dengan sistem
barat. 100
untuk memberikan hak atas tanah (erfphacht) kepada investor untuk mengusahai
tanah-tanah adat tersebut, demikian juga para investor merasa sah untuk
99
Ady Waskita. Domein Verklaring Dan Pemberian Hak Atas Tanah Yang Menyimpang
100
Heru Kuswanto. Hukum Agraria.hal 2 http://dosen.narotama.ac.id/wp-
content/uploads/2011/05/Modul-Hukum-Politik-Agraria-1-Perkembangan-Politik-Hukum-
Agraria-Di-Indonesia.pdf
hukum adat merasa bahwa tanah-tanah tersebut masih merupakan milik mereka
(masyarakat hukum adat) karena akibat dari pemberlakuan teori tersebut maka
tanah adat (ulayat) yang meskipun menurut kenyataannya masih ada dan ditaati
oleh masyarakat hukum adat, tidak diakui lagi keberadaannya, karena tanah
tersebut telah dikategorikan sebagai domein negara, yaitu tanah negara bebas (vrij
milik komunal atau persekutuan hukum (beschikkingsrecht). Dalam hal ini setiap
terlebih dahulu dan jika mereka mengerjakan tanah tersebut secara terus-menerus
maka tanah tersebut dapat menjadi hak milik secara individual. 102
Hukum adat memberikan hak terdahulu kepada orang yang dulu menaruh
101
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 1999, hal. 46.
102
Kalo. Opcit Hal. 9
pemilikan hak milik ini lenyap sama sekali bilamana ada lain orang
Hak ulayat adalah hak suatu masyarakat hukum adat untuk menguasai
uang pengakuan yang disebut atau bisa disamakan dengan recognitie. 103
hanya anggota masyarakat hukum adat (persekutuan) itu sendiri yang boleh
sebagai berikut:
wilayah persekutuan.
103
Tampil Anshari Siregar, Undang Undang Pokok Agraria dalam Bagan, Kelompok Studi
Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, Medan, 2011. Hal. 20.https://id.scribd.com/doc
/180086391/Hukum-Agraria
Adapun mengani luas wilayah tanah ulayat ini, Erman Rajagukguk sebagaimana
Semua tanah, hutan, jika perlu sampai ke puncak gunung, jika penduduk
mempunyai hak baik yang nyata maupun yang secara diam-diam diakui,
tanah itu bukan tanah negara. Menurut hukum adat, desa mempunyai hak
hak untuk menggarap atau mencari nafkah dari hutan dengan izin kepala
Lebih jelasnya tentang hak ulayat ini, Siregar menguraikan ciri-ciri hak ulayat
sebagai berikut:
tersebut hanya saja harus mendapat izin terlebih dahulu dari kepala
104
Kalo. Opcit hal 10
dikenal.
4) Masyarakat hukum tidak dapat menjual atau mengalihkan hak ulayat untuk
yang digarap dan dimiliki oleh para anggota-anggotanya seperti dalam hal
hak milik bumi putera (Inlands bezitrecht) terbagi kepada dua macam yaitu:
1) Communaal bezitrecht (hak milik komunal) bila hak itu ada pada
masyarakat hukum.
2) Ervelijk individueel bezitrecht (hak milik perorangan) bila hak milik itu
Maka hak-hak individual dan persekutuan terhadap tanah dan tetap diakui
keberadannya yang mana hak itu diwariskan secara turun temurun terhadap
Kutipan dari tulisan Muhammad Yamin Lubis, Hak Ulayat dan Tanah
Adat, Sebagai pernyataan yang dimuat dalam Undang Undang Pokok Agraria,
kedua rumusan pasal 3 dan pasal 5, masih benar dalam konteks tanah Adat.
pengaturan, baik sebagai pemangku dan pengayom seluruh hak atas tanah yang
masih eksis dimasyarakat baik yang ada haknya terdaftar ataupun yang belum. 105
tanah yang didasarkan kepada UUPA Nomor 5 Tahun 1960. Dalam hal ini Hak
penguasaan tanah yang berlaku secara yuridis di Indonesia tertuang dalam pasal 2
UUPA:
(1) Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar dan
hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa
(2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi
wewenang untuk :
(3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut pada
105
Muhammad Yamin Lubis. UUPA & Hak Rakyat. Harian Waspada, 24 September 2014,
hal B7
dan makmur.
Pemerintah. 106
tidak berlaku lagi, karena memang UUPA dimaksudkan sebagai pengganti dari
kekangan sistem feodal atas tanah dan pemerasan kaum modal asing...”
106
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, Pasal 2
lain menjadi landasan ideologis dan filosofis pembentukan UUPA. Selain itu,
salah satu arti penting UUPA lainnya, bahwa hukum agraria nasional adalah
berdasar hukum adat dan tidak lepas dari konteks landreform yang menjadi
lagi hak atas tanah menurut hukum Barat disamping hak atas tanah menurut
hukum adat.
hak pengusaan negara terhadap tanah, akan tetapi kendati negara diakui sebagai
penguasa atas tanah bukanlah berarti negara bisa bertindak sewenang-wenang atas
seluruh tanah yang ada di negara ini. Penguasaan negara ini dibatasi oleh adanya
hak individu dan hak persekutuan hukum adat terhadap tanah. Dalam hal ini Kalo
sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai seberapa negara
107
Liliz Nur Faizah, Hak Menguasai Negara Suatu Pendekatan Historis-Filosofis, (rangkuman
dari Bab II tentang Hak Menguasai Negara, dalam skripsi ”Perkembangan Konsep Kepentingan
Umum dalam Hukum Pengambilalihan Hak atas Tanah di Indonesia (1960-2006)” di Fakultas
Hukum UGM Yogyakarta pada tahun 2007).http://zeilla.files.wordpress.com/2008/05/
hmn_filosofis.pdf. hal. 4.
sedemikian itu kepada seseorang atau badan hukum dengan suatu hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai ataupun dengan
memberikan hak pengelolaan pada suatu badan penguasa. Dalam pada itu
kekuasaan negara atas tanah-tanah ini pun sedikit atau banyak dibatasi
terhadap tanah yang telah dihaki perseorangan, atau disebut dengan “tanah
yang dikuasai tidak langsung oleh negara” atau “tanah negara tidak
bebas”.
kepada lima macam hak yaitu, hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan,
dalam kepemilikannya atas tanah tidak membawa keadilan bagi pemiliknya. 108
Bahkan tidak jarang dengan hukum agrarian yang ada ini terdapat
Kedengarannya memang aneh, tapi orang tahu ada mafia tanah yang
hukum. Seperti adanya pihak ketiga yang menyengketakan tanah atas tanah
Negara atau tanah seseorang yang belum tedaftar. Yang dengan modus ini lalu
Di tengah kondisi demikian ini pula, sudah pasti pemilik tanah yang sah
akan selalu menganggap bahwa hukum agrarian tidak dapat memberikan keadilan
dan kepastia, maka jikalah demikian Negara berperan ikut serta bersama
baik, sudah pasti juga memang ketertiban hukum agrarian tersebut tidak ada
Why Obey The Law hukum itu dipatuhi karena dipercaya masyarakat untuk
108
Muhammad Yamin Lubis. UUPA & HAK RAKYAT. Harian Waspada, 2014 hal B7
109
Opcit
Hak erfpacht untuk perkebunan besar ini diberikan untuk 75 tahun dan
umumnya kini telah atau dalam waktu singkat akan berakhir (mulai 1870).
Menurut Peraturan Pemerintah No. 36 tahun 1956, LN.1956 No. 72 110 (untuk
konsesi) dan Undang-Undang No. 29 tahun 1956 LN No. 74 111 (untuk erfpacht),
maka hak-hak tersebut bila sudah habis waktunya atau dalam satu tahun akan
erfpacht yang luas-luas ini tidak dibatasi dengan nyata timbulah berbagai
serta membuka tanah-tanah yang umumnya masih belukar. Seringkali dalam hal
sedemikian mereka sama sekali tidak tahu menahu tentang adanya hak-hak
perkebunan barat atas tanah yang dibuka mereka ini. Mereka mengira bahwa
merekalah yang menjadi pemilik Indonesia (Indonesische bezitter) dari pada tanah
yang dikerjakan itu. Dalam melakukan sesuatu ini mereka sama sekali bertindak
secara apa yang dengan istilah yuridis terkenal sebagai “ter goeder trouw”
maka dalam hal dilakukan pembukaan semacam itu dari sebidang tanah belukar,
110
Peraturan Pemerintah No. 36 tahun 1956 dalam S. Gautama, 1973, MASALAH
AGRARIA (berikut peraturan2 dan tjontoh2) pada Lampiran Peraturan No. 18, Alumni, Bandung
111
Undang-undang No. 29 tahhun 1956 dalam S. Gautama, 1973,MASALAH AGRARIA
(berikut peraturan2 dan tjontoh2) pada Lampiran Peraturan No. 20, Alumni, Bandung
perkebunan besar itu. Yang belakangan ini mempunyai hak erfpacht sebagai
sesuatu hak benda (zakelijk recht) barat atas tanah yang diduduki oleh rakyat.
Oleh karena itu pengusaha barat dapat meminta pengosongan. Ia dapat mengusir
dikenal dalam hukum Eropa. Kita saksikan bahwa dengan demikian timbullah
suatu soal yang pelik. Rakyat menganggap dengan patut bahwa merekalah yang
merekalah yang berhak atas tanah-tanah yang “diserobot” oleh rakyat itu.
Timur, Timor, Sulawesi dan Manado, diadakan peraturan pemberian hak erfpacht
bangunan-bangunan menurut Bijblad No. 5271 juncto 7097, 10461, Bijbl. 4351,
112
Maassen en Hens, Agrarische regelingen I, hal. 13.
hanya diberikan kepada orang asing (yang bukan rakyat Swapradja). Sedangkan
untuk daerah Sulawesi dan Manado diberikan kepada siapa saja, dengan
ketentuan, bahwa tanah-tanah yang diberikan itu hanya tanah-tanah didalam kota
yang ditunjuk oleh Kepala Pemerintah Daerah sebagai pusat kediaman penduduk.
menurut ketetapan Pemerintah 8 Januari 1916 No. 47 (Bijbl. 8571) peraturan itu
tidak berlaku lagi. Untuk daerah Sulawesi dan Manado, masih terus berlaku
Sudah sejak 80 tahun yang lalu 113 oleh Raja-Raja di Sumatera Timur,
terutama Deli Serdang dan Langkat dengan persetujuan Hoofd van Gewestelijk
Bestuur, telah diberikan tanah hak konsesi kepada orang asing, untuk membuka
ternyata bahwa tanah di Sumatera Timur sangat baik untuk ditanami tembakau
Pemberian konsesi kepada orang asing oleh raja itu disertai surat-surat dan
bahwa daerah konsesi itu meliputi kampung penduduk yang harus dijamin juga
hal ini berarti bahwa nasib rakyat oleh raja diserahkan kepada onderneming.
113
Mochammad Tauchid, 1952, Masalah Agraria, Sebagai Masalah Penghidupan Dan
Kemakmuran Rakjat Indonesia, Tjakrawala, Djakarta, Hal 76
Baru kemudian sesudah Pemerintah turut campur dalam hal ini, maka peraturan
itu disamakan. Seperti biasa konsesi itu untuk jangka waktu maksimun adalah 75
tahun, cijns nya Rp. 1,- (minimum) tiap Ha/Tahun, dengan memberi kesempatan
menghasilkan hasil yang sangat baik, maka tanah konsesi itu semakin luas dan
menyusul tanaman lainnya (karet, kelapa sawit, the dsb).Akhirnya hampir seluruh
daerah Sumatera Timur jatuh ketangan modal asing dengan pemberian konsesi itu.
1. Tanah Konsesi:
114
Pemberian konsesi kepada orang asing oleh raja itu disertai surat-surat dan perjanjian
seperti yang diatur dalam peraturan konsesi tersebut di atas.Diantaranya bahwa daerah konsesi itu
meliputi kampung penduduk yang harus dijamin juga hal ini berarti bahwa nasib rakyat oleh raja
Peraturan antara satu daerah Swapradja dengan lainnya berbeda-beda.Baru kemudian sesudah
Pemerintah turut campur dalam hal ini, maka peraturan itu disamakan.Seperti biasa konsesi itu
untuk jangka waktu maksimun adalah 75 tahun lamanya dengan kesempatan memperpanjang lagi
jika perlu selama 50 tahun, cijns nya Rp. 1,- (minimum) tiap Ha/Tahun, dengan memberi
a. Tanaman Keras:
karet…………………………….. 60.000 Ha
kopi………………………… …… 500 Ha
kelapa…………………................. 15.000 Ha
83.0
47.000 Ha
c. sayuran dan tembakau….……………….. 2.000 Ha
d. ladang………………….…..……………. 100.000 Ha
122.000 Ha
Dengan angka-angka itu kelihatan bahwa tanah konsesi hampir 30% dari
luas seluruh Sumatera Timur, sedangkan tanah pertanian rakyat hanya ± 8% saja,
*)115 Angka—angka dari Laporan Kasimo dalam Parlemen R.I.S, dalam Mochammad
Tauchid, 1953, Masalah Agraria, Tjakrawala, Djakarta, Hal 77
Tanah konsesi seluas itu dimiliki oleh 257 pemegang konsesi bangsa
bangsa Jerman dan Jepang di Marihat sekarang dimiliki oleh Pemerintah Republik
Indonesia.
Tanah seluas itu, merupakan 30% dari luasnya daerah atau 60% dari
luasnya tanah erfpacht dan Konsesi di luar Jawa dan Madura (1.619.023 Ha),
tidak semua dipergunakan. Konsesi tembakau yang lebarnya 261.000 Ha, rata-rata
hanya ditanami pertahun 15 adalah 20.000 Ha, (yang paling lebar penanaman
tembakau pada tahun 1927 seluas 26.000 Ha). Tanah konsesi lainnya untuk
tanaman keras selebar 627.000 Ha, hanya 349.000 Ha saja yang ditanami lainnya
onderneming seluas itu dibagi menjadi 8 sampai 9 tahun bergiliran (persil) yang
selesai, tanah dipindahkan kepada rakyat untuk ditanami tanaman lainya yang
berumur pendek (jagung, ketela, padi huma, dan palawaija lainnya).Setelah itu
tanah dibiarkan antara 6 hingga 7 tahun menjadi hutan belukar, hingga datang
waktunya untuk ditanami lagi.Jadi selama 8 hingga 9 tahun tanah itu hanya
ditanami 11/ 2 tahun untuk tanaman tembakau (terhitung dari mulai mengerjakan
½
sampai selesai pemetikan), dan sampai 1 tahun sebagai tanah saluran yang
bentuk monopoli harus dijaga jangan sampai merosot harganya dan jangan terlalu
banyak tanaman.
lebihan, disamping rakyat yang sangat haus akan tanah. Milik tanah rakyat sangat
sawah, lainnnya berupa ladang. Milik tanah rata-rata di Sumatera Timur lebih
kecil dari rata-rata milik tanah di Jawa yang sudah kecil itu (lk. 0,8 Ha, terhitung
Penguasa tanah yang sekian luasnya dengan hanya ditanami sebagian kecil
sekali, berarti bahwa tanah juga luas itu hanya memberi makan kepada sedikit
orang. Perbandingan antara luas tanah setiap hektar dengan orang yang dapat
menerima pekerjaan dari situ hanya seperti 8:5 jadi rata-rata tiap-tiap Ha hanya
orang.
ditanami karet dan tanaman bahan export lainnya) hanya 192.000 Ha atau hanya
6% dari luas seluruh tanah, disamping tanah konsesi yang 888.000 luasnya itu,
atau merupakan 30% dari luasnya daerah. Tanah pertanian yang sekian itu
teridiri masing –masing dengan 5 orang. Keadaan yang sperti itu menimbulkan
akibat bahwa petani disana sangat miskin karena keterbatasan tanah dan
setiap tahunnya dari luar negeri (daerah) sebanyak 150.000 ton untuk daerah
tersebut.
Sengketa perkara tanah di Sumatera Timur timbul sejak lama, dari adanya
dan menjadi lebih tajam sejak agresi militer Belanda pertama tahun 1947 yang
Pemberian tanah dengan Hak Konsesi kepada orang asing, diatur dengan
Undang-Undang Konsesi tahun 1877 (Bijbl No. 3381), yang diubah dan ditambah
pada tahun 1878 Bijbl.3381, 1884 Bijbl.4380 dan 1892 Bijbl.4770, 5889, 7735,
konsesi oleh Raja kepada orang asing. Oleh Raja-raja diberikan izin kepada orang
asing untuk mengusahakan tanah dalam daerahnya, dengan hak konsesi. Lamanya
Batas waktu 75 tahun ini dapat juga diperpanjang dengan 50 tahun lagi
lamanya, kalau pada waktu habisnya kontrak masih terdapat tanaman keras (jati
dan karet) yang ditanam oleh Konsesionaris dan luasnya masih sedikitnya 25 Ha.
berhubungan dengan Persil lainnya dijumlah luasnya tidak lebih dari 3500 Ha.
di Nederland atau Hindia Belanda. Untuk daerah Sumatera Timur berlaku surat
kesempatan kepada orang asing lainnya (tidak hanya Belanda) untuk mendapatkan
bila pembesar Daerah keberatan atas pemberian izin konsesi kepada orang asing
juga, bahwa untuk menjadi beheerder dan opziener onderneming tersebut harus
mendapat surat izin dari Hoofd van Gewestelijk Bestuur, dan peraturan ini berlaku
juga terhadap orang-orang asing lainnya. Orang asing itu dapat diusir dari
besarnya minimum Rp. 1,-/Ha (satu rupiah) tiap-tiap Ha atau Rp. 0,71,-/bau
(kosong koma tujuh satu) untuk tiap-tiap bau per tahun. Dibayar mulai pada tahun
kedua dari dapatnya hak itu, 1/5 nya dari besarnya cijns, tahun ke-3 membayar
2/5, tahun ke-4 membayar 3/5, begitu seterunya, dan baru mulai tahun yang
sebaiknya, kalau memang ada alasan yang cukup, dapat dimintakan kurang dari
Konsesionaris dapat menarik tol atas jalan dan jembatan dalam daerah
persetujuan Residen. Tanah Konsesi dapat dijual dan dapat disewakan selama
Pemerintah Hindia Belanda dan Swapradja yang memberikan hak konsesi itu;
a. Tanah konsesi hanya untuk kepentingan pertanian dan hutan seperti yang
dimintakan. Diatas tanah itu tidak boleh ditanam apapun (sebagai juga
b. Tambang yang ada dalam daerah konsesi itu tidak termasuk menjadi
c. Kampung penduduk yang sudah ada dalam daerah konsesi harus tetap
Kalau penduduk disitu tidak dapat lagi mendapat tanah di luar daerah
Tanah yang sudah ditinggali rakyat dan dikerjakan, tidak boleh diambil
oleh onderneming, kecuali jika dengan izin Hoofd van Gewestelijk Bestuur
Menurut Kontrak Sambas, tanaman kultur milik rakyat yang ada dalam
daerah konsesi dapat diambil dengan memberikan kerugian yang layak. Jika
penduduk tidak dapat lagi mendapat tanah diluar daerah konsesi hingga luasnya
konsesi tidak boleh ditebang oleh Konsesionaris kalau tidak dengan persetujuan
penduduk. Jika Pohon-pohon itu dan daerah kampung penduduk, harus dapat
mendapat izin dari Kepala Daerah Setempat (Hoofd van Plaatselijk Bestuur).
luasnya kampung yang sudah ada. Tanah itu tidak boleh dipindahkan hak nya
buat kepentingan onderneming yang tidak dapat dielakkan seperti untuk saluran
air minum, untuk jalan dan sebagainya apat dikecualikan dari ketentuan diatas.
penduduk yang akan tinggal. Hal ini untuk memberi kemungkinan bagi
ondernemingnya.
yang belum diusahakan.Begitu juga untuk mengambil kayu bakar dan kayu
perkakas, asal hanya untuk keperluan sendiri.Untuk lebih dulu harus mendapat
persetujuan Konsesionaris.
mengambil tanah daerah konsesi itu, asal yang berupa kebun tanaman keras, atau
tanah itu.
persewaan tanah dari Raja atau rakyat Swapradja kepada orang asing untuk
untuk memberikan pengesahan atas persetujuan dan perjanjian sewa antara Raja
perjanjian karena sebab-sebab yang tidak mengizinkan, atas persewaan yang lebih
demikian, peminta izin dapat meminta banding kepada Hoofd van Gewestelijk
Bestuur.
Penyerahan hak atas tanah sewa kepada orang lain, berlaku peraturan-
perjanjian menimbulkan pemindahan hak tersebut, maka hal itu dapat dijalankan,
tetapi perjanjian baru dengan penyewa baru tersebut harus mendapat persetujuan
Kepala Daerah Setempat lagi.Tanah sewa itu boleh dipindahkan haknya kepada
Rakyat Swapradja.
Raja dapat memberikan hak konsesi untuk perkebunan dan pertanian kecil
dalam daerah itu diberi kuasa untuk memberi pengesahan serta persetujuan
pemberitahuan lebih dahulu kepada Kepala Swapradja jika pemegang hak konsesi
itu meninggal, maka dapat diberikan kepada pewaris atau orang yang dikuasakan.
memasang listrik, pipa air dsb) tentang pertambangan yang ada didalam daerah itu
dikenal masalah okupasi ilegal. Tentu harus diakui bahwa pada zaman Hindia
Belanda persoalan okupasi tidak sah daripada tanah-tanah, belum seluas seperti
dialami sekarang ini. Walaupun dalam proporsi yang lebih kecil, tetapi masalah
ini sudah dikenal pada waktu itu. Dalam hal terjadi sengketa antara rakyat dengan
diduduki rakyat.
Tahun 1870 lahir Agrarische Wet, bahwa tujuan utamanya adalah untuk
luas pada umumnya tidak dipagari oleh kawat duri atau lain-lain batas yang nyata.
Seperti diketahui maka perkebunan besar dinegeri kita umumnya dilakukan atas
tanah-tanah yang diberikan dengan hak erfpacht atau konsesi oleh Pemerintah
Hindia Belanda.
diberikan untuk 75 tahun dan umumnya kini telah atau dalam waktu singkat akan
LN.1956 No. 72 117 (untuk konsesi) dan Undang-undang No. 29 tahun 1956 LN
No. 74 118 (untuk erfpacht), maka hak-hak tersebut bila sudah habis waktunya atau
dalam satu tahun akan habis waktunya, sedang keadaan perusahaanya adalah
persetujuan K.M.B karena areal-areal erfpacht yang luas-luas ini tidak dibatasi
belukar. Seringkali dalam hal sedemikian mereka sama sekali tidak tahu menahu
116
Budi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanaannya, Jilid 1, Hukum Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta, Hal
38
117
Peraturan Pemerintah No. 36 tahun 1956 dalam lampiran buku S.Gautama, 1973
MASALAH AGRARIA (berikut peraturan2 dan tjontoh2) pada Lampiran Peraturan No. 18,
118
Ibid, pada Lampiran Peraturan No. 20
bezitter) daripada tanah yang dikerjakan itu. Dalam melakukan sesuatu ini mereka
sama sekali bertindak secara apa yang dengan istilah yuridis terkenal sebagai “ter
hukum agraria, maka dalam hal dilakukan pembukaan semacam itu dari sebidang
tanah belukar, tanah tersebut menjadi hak milik daripada petani Indonesia
perkebunan besar itu. Yang belakangan ini mempunyai hak erfpacht sebagai
sesuatu hak benda (zakelijk recht) barat atas tanah yang diduduki oleh rakyat.
Oleh karena itu sipengusaha barat dapat meminta pengosongan. Ia dapat mengusir
suatu soal yang pelik. Rakyat menganggap dengan patut bahwa merekalah yang
119
Dalam Edy Ikhsan, Pergeseran Hak Tanah Komunal Dan Pluralism Hukum dalam
Perpektif Sosio-Legal, Maassen en Hens, Agrarische regelingen I, h, 13.
merekalah yang berhak atas tanah-tanah yang “diserobot” oleh rakyat itu.
ini, merupakan pertentangan yang hebat antara petani rakyat dengan pengusaha
tinggi, kedudukan yang kuat dalam lapangan keuangan dan organisasi, serta
“poenale sanctie” merupakan surga bagi kaum modal. Sumber dolar dan emas,
disamping pertanian rakyat yang sangat lemah. Sangat kekurangan tanah, tingkat
tanah pertanian rakyat hidupnya tergantung dari impor bahan makanan dari luar.
Tingkat pengetahuan rakyat sangat rendah, tidak ada organisasi serta perlindungan
sama sekali dari Pemerintah dalam menghadapi kekuatan raksasa yang serba
lengkap dan modal peralatannya. Rakyat menjadi kuli yang hidup untuk kerajaan
onderneming supaya seterusnya akan menjadi kuli yang murah setia selama-
lamanya. Rakyat hidup dineraka disamping kaum modal yang hidup dalam surga.
Pemakaian tanah yang sangat mewah seluas 261.000 Ha, rata-rata hanya
dipergunakan 15 dari 20.000 Ha. Tanah konsesi tanaman keras 637.000 Ha hanya
dipergunakan 394.000 Ha saja. Sungguh satu keadaan yang sangat ganjil, jika
melihat tanah pertanian Rakyat yang hanya 192.000 Ha untuk bahan maknan
keras yang sudah ada serta lebih dari cukup itu, berarti 233.000 Ha tanah dapat
sampai 6 tahun yang masih mewah juga tidak akan merosotkan hasilnya dengan
tersebut akan dapat melepaskan tanah dari konsesi tembakau sedikitnya 150.000
Ha, jadi dengan tidak mengganggu keleluasaan kaum modal untuk mendapat
Sumatera Timur antara 350.000 hingga 400.000 Ha. Tanah luas tidak dikerjakan
membentang dimuka rakyat yang tidak memiliki tanah menderita meminta tanah
tersebut. Pada tahun 1937 telah dibuat suatu peraturan mengenai cara-cara dapat
erfpacht yang secara tidak sah telah diduduki rakyat Indonesia 120.
Dalam peraturan ini yang dibuat dalam suasana kolonial, sudah nampak
rakyat kecil. Penguasa kebun-kebun besar tidak dapat sesuka hatinya saja
120
Staatsblad No. 560, dalam S. Gautama, 1973, Masalah Agraria (berikut peraturan2 dan
tjontoh2), Alumni, Bandung, Hal 22
menuntut pengosongan ini dibatasi secara tertentu. Hanya dalam hal ditaati
ditentukan, bahwa pengosongan ini hanya dapat diminta apabila diajukan dalam
jangka waktu tertentu. Hanya dalam waktu setengah tahun setelah berlakunya
ordonansi tersebut atau dimulainya okupasi tidak sah itu, dapat diadakan tuntutan
pengosongan ini. Selanjutnya hanya dapat diminta pengosongan ini apabila tanah
yang dikenal dalam hukum adat atau peraturan-peraturan tentang pembukaan dan
pemakaian tanah. Lebih jauh disyaratkan pula bahwa pengusaha harus dapat
tanah olehnya, bahwa tanah itu termasuk persil erfpacht. Hal ini tergantung
suatu pagar atau suatu jalan perbatasan (grenspad). Jika hal-hal tersebut diatas
tidak ada, maka pengosongan hanya dapat dituntut dengan memberikan sejumlah
penggantian kerugian.
121
Juga para okupan ilegal atas tanah Pemerintah ternyata diberikan kesempatan pula untuk
mengesahkan kedudukan mereka dengan mengadakan perjanjian sewa-menyewa dengan
permerintah. Untuk perjanjian ini, lihat contoh No. 5,7. Dalam S. Gautama, Masalah Agraria
(berikut peraturan2 dan tjontoh2), Alumni, 1973, Bandung
ditinggalkan tentunya mempunyai “daya penarik” lebih kuat bagi. Rakyat yang
lapar pun terpaksa memakai tanah-tanah onderneming ini untuk ditanami dengan
bahan-bahan makanan. Seringkali hal ini telah dilakukan atas perintah penguasa
oleh rakyat ini terutama disebabkan karena bertambah sulitnya keadaan dengan
pemakaian tanah secara ilegal oleh rakyat ini. Berhubung dengan hasrat itu telah
(Staatsblad No. 111 : Ordonansi mengenai okupasi tanah). 122 Peraturan ini
dimaksudkan sebagai suatu ancaman terhadap pemakaian tanah secara tidak sah
dikemudian hari. Suatu sanksi hukuman diadakan terhadap pemakaian ilegal dari
tanah-tanah Negara yang bebas (vrij landsdomein), tanah swapraja yang bebas,
tanah erfpacht dan konsesi-konsesi pertanian setelah 10 Juni 1948. Tanggal itu
122
Ordonnantie onrechtmatige occupatie van gronden, Stbl. 1948 No. 111, Lampiran
Peraturan No. 7. Lihat pula Rondschrijven Secretaris van Staat voor Binnenlandse Zaken ttg. 4
Desember 1948 No. A.Z/30/10/37, Bb. 15242 tentang “Occupatie van erfpachtapercelen en
landbouwconcessle-terreinen door de bevolking”, Lampiran Peraturan No. 8.
daripada peraturan ini maka nyatalah bahwa ordonansi ini sangat luas dalam
redaksi kata-katanya.
Kita saksikan bahwa sama sekali tidak diadakan perbedaan lagi antara
okupasi ilegal dengan itikad baik (ter goede trouw) atau dengan itikad buruk
(terkwader trouw). Dalam peraturan yang kita kenal sebelum perang (yaitu dari
tahun 1937 tersebut tadi), maka sipemakai yang bertindak dengan itikad baik
dilindungi. Tidak demikian sekarang ini. Juga sipemakai “ter goeder trouw” dapat
ditarik dibawah peraturan yang diancam dengan hukuman ini. Dalam praktik kita
saksikan bahwa hanya untuk daerah Sumatera Timur telah dinyatakan berlaku
peraturan ini. Disana pulalah telah kita saksikan adanya berbagai kerusuhan
maksimum hukuman yang dapat dijatuhkan tidak terlalu berat yaitu setinggi-
tingginya 3 bulan atau Rp. 500,-,tetapi konsekwensinya dilihat dari sudut idiil
adalah besar. Apalagi jika diingat, bahwa menurut ketentuan selanjutnya barang-
Okupasi tidak sah masih berjalan terus dan meluas seolah-olah peraturan untuk
diadakan telah disinggung pula masalah okupasi ilegal oleh rakyat ini. Dalam
diakui pula oleh pihak Belanda bahwa kenyataan defakto sekitar pemakaian tanah
Dengan tegas dapat kita membaca dalam persetujuan tersebut bahwa selama
pendudukan Jepang dan kedudukan selama masa revolusi telah terjadi bahwa
akan pertanian atau perkarangan, telah diduduki rakyat selama masa pendudukan
Jepang dengan ijin pembesar-pembesar Jepang dan bahwa pada hal-hal yang
tertentu, jika tanah itu dicabut kembali daripada tangan rakyat yang
tanah itu pada kebijakan hal tidak mungkin terjadi. Tiap-tiap keadaan akan
lapangan hukum tanah sering kali kita temukan. Dalam berbagai peraturan agraria
konversi dari pada hak milik komunal dalam hak milikpribadi (erfelijk indidueel
bezitsrecht). 123 Juga kita kenal kemungkinan konversi dari pada tanah dengan hak
grant menjadi hak erfpacht menurut burgerlijk wetboek untuk wilayah Sumatera
Timur. 124 Pada pokoknya istilah ini berarti : peralihan, pengubahan (omeeting)
123
Stbl. 1895 No. 102, diubah kemudian.
124
Stbl. 1915 No. 474, Vestlging van op binzen zelfbestarerd gobled gelegen gronden van
takelijk rechten op den wet van het Buegeriljk Wetboek voor Indonesie.
diartikan suatu hak berdasarkan atas suatu “conversiebeschikking” yaitu suatu hak
terutama terdiri dari orang-orang bermodal Barat ini oleh penguasa sediakala
dilindungi secara tertentu dalam usaha mereka. Selain daripada jaminan untuk
dapat memakai tanah mereka pun dijamin agar memperoleh cukup tenaga buruh
tertentu, oleh swapraja disediakan tanah berikut buruh dan air. Pengusaha
pertanian besar ini sebagai prestasi lawan, membayar uang penggantian setiap
waktu yang semula ditetapkan untuk lamanya hak konversi ini ialah 50 Tahun.
pertanian hanya mempunyai suatu hak yang terkenal sebagai “landhuur” (sewa
Landverhuureglement, Staatsblad tahun 1906 No. 93, akan tetapi hak usaha ini
ternyata dalam praktik dirasakan tidak sesuai, para pengusaha menghendaki suatu
hak yang lebih kuat dan kokoh.Keberatan terhadap hak landhuur yang lama ini
terutama terletak dalam kenyataan bahwa hak ini hanya merupakan suatu hak
pribadi (personalijk recht), artinya bahwa hak semacam ini terlampau terikat
kepada para pihak pribadi yang mengadakan perjanjian sewa ini. Dengan kata lain
merupakan pihak pada perjanjian ini. Seperti diketahui disinilah terutama terletak
perbedaan antara apa yang dinamakan hak pribadi dan “hak kebendaan” (zekelijk
recht). Suatu akibat daripada sifat hak pribadi ini ialah bahwa berlainan daripada
atas hak benda diatas hak ini tak dapat diletakan dengan tidak adanya
kemungkinan ini maka kuranglah kesempatan untuk memperoleh kredit bagi dan
ini masih memperoleh pula pekerjaan yang gratis daripada rakyat penduduk tanah
dengan jaminan hypotheek ini dirasakan kurang memuaskan oleh para pengusaha.
diatas tanah bersangkutan. Kedudukan rakyat ini perlu diperkuat tetapi dilain
pihak dipandang perlu pula agar supaya sesuatu ini tidak mengurangi jaminan-
berubah menjadi “hak konversi”.Hak ini adalah suatu hak kebendaan. Dengan
demikian maka dapatlah diadakan hypotheek atas hak-hak konversi ini. Secara
memperoleh kredit dari pihak ketiga. Satu dan lain telah ditetapkan dalam suatu
sifat hak kebendaan ini hak tersebut dapat berlaku pula terhadap umum (pihak
ketiga), maka sesuai dengan sistem yang dikenal dalam hukum Eropa berkenaan
dengan hak kebendaan ini, titel daripada hak konversi harus diumumkan
Tetapi segala sesuatu ini hanya berlangsung dalam suasana “atasan” yaitu antara
pengusaha pertanian barat dan swapraja berserta para pejabatnya. Perbaikan sama
demikian nyatalah adanya sifat feodal dalam segenap stelsel berkenaan dengan
hak konversi ini. Satu sisa daripada pengertian bahwa sesungguhnya semua tanah
pada hakekatnya berada dalam kekuasaan Sultan sedangkan rakyat hanya dapat
pekerjaannya kepada “Raja” itu. Terkenal adalah sistem “apanage” dan para
tanah bersangkutan. Sejalan dengan pikiran inilah harus kita lihat pula adanya
kenyataan bahwa rakyat turut bekerja secara paksa dan tak dibayar bagi para
Menurut tujuan semula maka hak-hak konversi ini akan berlangsung untuk
50 tahun lamanya. Jadi jika kita mengadakan perhitungan jangka waktu, maka
mulai dari k.l tahun 1926 hingga k.l tahun 1975 barulah akan berakhir sistem hak
konversi ini. Setelah hak konversi ini berakhir baru diniatkan berlakunya
pengusaha.
teranglah sudah bahwa dalam suasana revolusi nasional segala sesuatu yang
berpegang kepada sistem feodal ini tak dapat dipertahankan. Maka sesuai pula
dengan aliran zaman kita saksikan bahwa dalam hal ini jauh-jauh dimuka sudah
hingga keadaan sesuatu sudah menjadi “normal” lagi. Orang tak dapat menunggu
mendesak. Memang perasaan rakyat sudah tidak lebih lama dapat menahan apa
Sesuai dengan panggilan zaman ketika itu, kita melihat bahwa sejak
hak konversi. Tetapi yang dihapuskan oleh peraturan ini ternyata hanya pasal-
pasal yang mengatur hak konversi itu. Apakah dengan demikian dikehendaki
bahwa untuk hari kemudian tidak lagi dapat dipergunakan lembaga konversi ?
125
Undang-undang No. 13 tahun 1948 dalam S. Gautama, 1973, MASALAH AGRARIA
(berikut peraturan2 dan tjontoh2) pada Lampiran peraturan No. 12, Alumni, Bandung
peraturan hukum obyektif, tidak dengan sendirinya akan musnah pula hak-hak
obyektif (dalam hal kita hak-hak konversi). Jika dikehendaki hal yang belakangan
keadaan yang menyakitkan dan tak sesuai lagi dengan faham-faham yang telah
kemudian telah dinyatakan lagi hal ini dengan tegas.Telah dibuat peraturan
tanggal …. April 1948, sudah harus dipandang telah dicabut hingga menjadi
dikemudian hari tidak dapat lagi orang mempergunakan lembaga konversi ini,
tetapi juga hak-hak konversi yang sudah ada dihapuskan. Pelaksanaan daripada
ini hapus maka tanah-tanah bersangkutan dengan sendirinya jatuh ketangan dan
menjadi milik pribadi daripada para gogol kuli kentjeng (kerndorpers). Inilah
telah diakui pula oleh pihak mereka yang terkena. Dalam persetujuan Koferensi
Meja Bundar secara tegas diterima baik penghapusan hak-hak konversi ini (pasal
1 ayat 3 sub c. persetujuan finec) Realita ini tidak dapat ditiadakan. Lonceng
perubahan yang berarti suatu patokan tertentu dalam perjalanan kita menuju
kearah suatu sistem hukum, agraria baru yang nasional, demokratis dan
modern. 127
produk hukum agraria, nasional. Produk hukum agraria tersebut dapat dikerjakan
dalam waktu yang sangat panjang pada periode ini baru selesai setelah terjadi
perubahan sistem politik atau periode sesudahnya. 128 Hukum agraria produk
feodalik. 129 Terutama adanya asas domein varklaring yang menyertainya, sangat
127
Untuk sewa menyewa tanah oleh rakyat ini lihat lebih jauh : De Grondhuurpolitiek op
Java en Madoera, Mededelingen Documentatiebureau voor Overzees recht, Djan. 1953 tahun 3
No. 1. Lihat dalam S. Gautama, 1973, Alumni Bandung
128
Winahyu Herwiningsih, Hak Menguasai ... Op,Cit Hlm. 139.
129
Moh. Mahfud MD, politik hukum diindonesia, Pustaka LP3ES indonesia,1998, Hlm.118.
karena itu timbul tuntutan segara diadakan perbaharuan hukum agraria. 130
serta menciptakan suatu landasan ideal dan Undang-undang Dasar, namun untuk
Oleh karena belum ada waktu yang cukup untuk mengatur kedudukan
tanah sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh pasal 33 ayat (3) Undang-Undang
Dasar 1945 maka untuk menyelamatkan aset negara, agar dalam pelaksanaan
Negara tidak semakin sulit perlu pengawasan tentang pemindahan hak-hak Barat
baik berupa serah pakai atau dengan cara lainnya yang melebihi jangka waktu 1
hak pakai buat lebih dari setahun perbuatan pemindahan hak mengenai tanah dan
barang-barang tetap lainnya yang takluk hukum Eropah hanya dapat dilakukan
b. Penguasaan Tanah-Tanah
Sesuai dengan domain yang dianut oleh hukum agraria pada zaman
kolonial, yang mengatakan bahwa semua tanah yang diatasnya tidak ada
130
Op,Cit Hlm.139
Penguasaan Tanah Negara ini yaitu PP Nomor 8 Tahun 1953. Di dalam Peraturan
pemerintah ini dijelaskan bahwa penguasaan atas tanah negara diserahkan kpada
Menteri Dalam Negeri kecuali jika penguasaan ini oleh Undang-undang atau
Sebagai akibat dari pemakaian tanah-tanah oleh rakyat yang bukan haknya
(tanah negara atau tanah hak orang lain), yang pada masa penjajahan Jepang di
kehidupan yang adil dan merata sesuai dengan sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh
Indonesia harus segera dihapuskan. Ketentuan yang bertentangan itu antara lain
pengakuan tentang tanah-tanah partikulir. 131 Oleh karena itu maka dengan
Yang dimaksud dengan tanah partikulir dalam Undang-Undang ini ialah tanah
hak-hak pertuanan (Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1958). Yang dimaksud dengan hak
kepala umum.
131
Tanah egendom yang memiliki hak-hak pemiliknya yang bersifat kenegaraan, yang dulu
disebut herlijk rechten dalam Hukum Belanda.
132
Yaitu istilah pengganti dari tanah partikelir oleh UU No 1 Tahun 1958.
menjadi tanah negara. Kepada pemilik tanahdiberikan ganti rugi berupa uang atau
1945 yang menyatakan bahwa “segala badan negara dan peraturan yang ada masih
belum dapat membuat produk hukum-hukum baru yang sesuai dengan jiwa
kemerdekaan. 134
membentuk sebuah komisi yang dikenal dengan panitia tanah konversi. Pada
komisi ini lahir Undang-Undang Nomor 13 tahun 1948 yang menghapus hak
pemakaian tanah-tanah dan barang tetap lainya. Yang mempunyai titel menurut
hukum Eropa dan ditindak lanjuti dengan Surat Keputusan Menteri Kehakiman
133
Lihat UUD 1945
134
Winahyu Herwiningsih, Hak Menguasai ... Op,Cit Hlm. 140. dalam Moehammad Tauchid,
1952, Masalah Agraria sebagai masalah Penghidupan Dana Kemakmuran Rakyat Indonesia,
Penerbit Tjakrawala, Djakarta, hlm. 276
barang-barang tetap lainya yang tunduk pada hukum Eropa, yang pada intinya
serah pakai tanah dan barang tetaplainnya dapat diberikan setelah mendapat izin
dari Menteri Kehakiman serta penundaan pada hukum yang bertentangan dengan
penyelesiaan masalah tanah yang pelik ini. Menteri Dalam Negeri Republik
kedaulatan), akan diambil tindakan. Mereka yang melakukannya sebelum itu tak
akan diganggu.
1954 tentang penjelasan soal pemakaian tanah perkebunan oleh rakyat sebagai
wilayah lain di Indonesia. 136Isi dari pada Undang-Undang Darurat Tahun 1954
tersebut pada pokoknya pun mengadakan perbedaan antara pemakaian tidak sah
135
Ibid.hlm.141.
136
Ibid. hlm. 276
Juni 1954 diselesaikan secara khas Indonesia, yaitu: berunding, Perundingan ini
ditetapkan dalam suatu keputusan bersama dari Lima Menteri Agraria, Pertanian,
Perekonomian, Dalam Negeri dan Kehakiman. Jika tidak tercapai kata sepakat
para Menteri akan mengambil pula putusan mengikat atas usul Gubernur c.q
Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam keputusan ini akan ditetapkan berapa
luasnya bagian tanah perkebunan yang haknya harus dilepas atau perlu dicabut
dari pihak ondernemer. Setelah itu tanah bersangkutan diberikan kepada rakyat.
Yang menarik perhatian pula ialah ketentuan pidananya yang dapat disusul
untuk itu. Oleh karena ternyata pelaksanaan suatu ini dalam praktik terlambat
terus pengosongan atas keputusan dalam tingkat pertama (pasal 15 UUDar. 1956
Apabila RUU tentang penetepan UU Darurat 1954 No. 8 ini akhirnya akan
137
Ibid. Lampiran No. 10a dan Penjelasan dalam T.L.N 1956 No. 1060, Lampiran No.10b.
hlm.276
138
Menurut KBBI Okupasi merupakanpendudukan tanah kosong, okupasi ilegal adalah
pendudukan tanah secara ilegal oleh masyarakat untuk memakai ataupun menggarap tanah tanpa
izin pemegang hak kuasanya.
teringat pada peristiwa Tanjung Morawa, dengan korban manusianya, tentu akan
Hasil
139
Tentang masalah Okupasi Ilegal ini lihat lebih jauh: De noodwet Inzake occupatie van
ondernemingsgronden door de bevolking, Mededelingen Documentatiebureu voor Overzees recht,
Ag. 1954, tahun 4 No. 8, h. 57.
140
Ibid.hlm. 144-145
AM.Tambunan.
diajukan kepada DPR-GR yang diketuai pada waktu itu oleh Haji
141
Lebih jelas, Ibid.hlm. 145-150. Atau Boedi Harsono, Hukum agraria,,Op.Cit.Hlm.125-
130.
karena pada tahun tersebut lahir Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 yang
nasional khususnya bagi kaum tani. Tidak heran jika sempat juga dikeluarkan
hari lahir UUPA sebagai hari Tani. UUPA bermaksud untuk mengatasi dualisme
agraria di Indonesia, yaitu hukum barat warisan Belanda Agrarisch Wet 1870 dan
hukum adat. Dengan demikian, UUPA 1960 merupakan hukum nasional yang
142
Boedi Harsono, Hukum agraria,,Op.Cit.Hlm. 131-132
perlindungan bagi golongan ekonomi lemah (buruh tani dan petani miskin).
Namun demikian, UUPA 1960 yang memberi legitimasi secara formal terhadap
sejauh ini tidak bisa disimpulkan bahwa UUPA 1960 telah dijalankan. 143
Agrarich Wet,
S.1873-38)
pemilikan tanah bagi warga negara Indonesia, terutama kaum tani, juga untuk
menghapus sistem tuan tanah dan pemilikan tanah tanpa batas. Dalam hal ini,
pemilikan tanah tanpa batas tidak diperkenankan lagi sehingga diatur luas
maksimum tanah yang dapat dimiliki. Kelebihan tanah dari batas maksimum itu
diambil oleh pemerintah dengan ganti kerugian untuk kemudian dibagikan kepada
143
www.Legalitas.com
144
Ibid.Hlm.134.
komunis di mana tanah diambil negara tanpa suatu ganti rugi.Jatuhnya Soekarno
terus, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan agar supaya
Namun, sekali lagi, tujuan mulia ini hanya sebatas pintu gerbang. Dalam
luasnya bagi pengusaha pemilik modal. Hal ini sesuai dengan arah politik
pemerintah Orde Baru saat itu yang ingin mendongkrak pertumbuhan ekonomi.
Rekayasa dan intimidasi menjadi bagian dari praktek-praktek pelepasan hak atas
tanah dari rakyat petani kecil. Pada era ini aroma kapitalisme lebih kuat
pandangan Noer Fauzi politik agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang
sepanjang 32 tahun (Noer Fauzi, 2007). Kondisi ini tidak memberi ruang yang
h. Masa Reformasi
Kini, ketika angin reformasi berhembus ketika Orde Baru tumbang, kaum
petani kembali ambil suara. Mereka menuntut kembali tanah-tanah mereka yang
Presiden SBY tanah tersebut berasal dari hutan konversi dan tanah lain yang
mengalokasikan tanah objek reforma agraria seluas 9,25 juta hektar (8,15 juta ha
berasal dari hutan konversi, dan 1,1 juta ha berasal dari tanah di bawah
kewenangan langsung BPN) 145. Namun program yang telah dicanangkan sejak
belum ditandatangai oleh Presiden RI. Belum lagi permasalahan isi materi tentang
145
Joyo Winoto, 2006 dalam Noer Fauzi, 2007
SBY tersebut masih pada retorika politik yang belum menunjukkan tanda-tanda
neoliberalisme di negara kita sudah sangat kuat. Sistem yang kapitalistik ini sudah
semakin meresap ke dalam sistem kita. Reforma agraria yang bernafas populis
a. Ketentuan Umum
16 ayat (1) huruf b UUPA. Secara khusus diatur dalam Pasal 28 sampai
Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai
Atas Tanah, secara khusus diatur dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 18.
Menurut Pasal 28 ayat (1) UUPA, yang dimaksud dengan Hak Guna
Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh
negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam Pasal 29, guna
diberikan hak guna usaha sesuai dengan penjelasan dari UUPA, bahwa hak
guna usaha ini khusus untuk mengusahakan tanah yang bukan miliknya
Kepala Badan Pertanahan Nasional (Pasal 28 ayat (2) UUPA jo. Pasal 5
Yang dapat mempunyai (subjek hukum) Hak Guna Usaha menurut Pasal
Bagi pemegang Hak Guna Usaha yang tidak memenuhi syarat sebagai
subjek Hak Guna Usaha, maka dalam waktu 1 tahun wajib melepaskan atau
mengalihkan tanahnya kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Kalau hal ini
tidak dilakukan, maka Hak Guna Usahanya dihapus karena hukum dan tanahnya
Asal Tanah Hak Guna Usaha adalah tanah Negara. Asal tanah Hak Guna
Usaha berupa tanah hak, maka tanah hak tersebut harus dilakukan pelepasan atau
penyerahan hak oleh pemegang hak dengan pemberian ganti rugi oleh calon
dari kawasan hutan, maka tanah tersebut harus dikeluarkan statusnya sebagai
Hak Guna Usaha terjadi karena konversi. Hak Guna Usaha ini terjadi dari
proses permohonan dan pemberian hak atas tanah Negara yang berasal dari
Konversi Hak Barat, harus terlebih dahulu memohon dari pihak bekas pemegang
hak yang bersangkutan ataupun pihak yang memenuhi syarat, menurut ketentuan
mengenai tata cara pemberian hak atas tanah jo Peraturan Menteri Dalam Negeri
No. 6 Tahun 1972 tentang Pelimpahan wewenang pemberian hak atas tanah. 146
ini terjadi melalui permohonan pemberian Hak Guna Usaha oleh pemohon kepada
Buku Tanah dan diterbitkan sertifikat sebagai tanah bukti haknya. Pendaftaran
SKPH tersebut menandai lahirnya HGU (Pasal 31 UUPA jo. Pasal 6 dan Pasal 7
146
Dalam Boedi Harsono Hukum Agraria Indonesia Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum
Tanah. 1982. Djambatan. Hal. 138
menerbitkan SKPH atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 200 hektar. Jika luas
tanah Hak Guna Usaha lebih dari 200 hektar, maka wewenang menerbitkan
adalah Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 1 Tahun 2011 tentang Perlimpahan
Tertentu. Dalam Pasal 7-nya dinyatakan bahwa Kepala Kantor Wilayah Badan
Usaha atas Tanah yang luasnya tidak lebih dari 1.000.000 m2 (satu juta meter
persegi), maka yang berwenang memberi Hak Guna Usaha adalah Kepala Badan
Hak Guna Usaha memiliki jangka waktu untuk pertama kalinya paling
lama 35 tahun dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 25 tahun (Pasal
waktu Hak Guna Usaha adalah untuk pertama kalinya paling lama 35 tahun, dapat
diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 35 tahun, dapat diperbaharui paling
pemasukan yang ditentukan untuk itu pada saat pertama kali mengajukan
permohonan Hak Guna Usaha. Dalam hal uang pemasukan telah dibayar
atau pembaharuan Hak Guna Usaha dan perincian uang pemasukan dicantumkan
instansi teknis;
Guna Usaha;
berhak menguasai dan menggunakan tanah yang diberikan dengan Hak Guna
dan/atau peternakan. Penguasaan dan penggunaan sumber air dan sumber daya
alam lainnya diatas tanah Hak Guna Usaha oleh pemegang Hak Guna Usaha
hanya dapat dilakukan untuk mendukung usaha Hak Guna Usaha dengan
a) Adanya perjanjian utang piutang yang dibuat dengan akta notaris atau
Hak Tanggungan atas Hak Guna Usaha hapus dengan hapusnya Hak Guna
Guna Usaha dangan Hak Tanggungan diatur dalam Undang-Undang No. 4 Tahun
1996 jo. Pasal 44 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 jo. Pasal 114 sampai
Hak Guna Usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain (Pasal 28
ayat (3) UUPA jo. Pasal 16 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996). Hak Guna
Usaha dapat beralih dengan cara pewarisan yang harus dibuktikan dengan adanya
surat wasiat atau surat keterangan sebagai ahli waris yang dibuat oleh pejabat
yang berwenang, surat keterangan kematian pemegang Hak Guna Usaha yang
dibuat oleh pejabat yang berwenang, bukti identitas para ahli waris, dan Sertifikat
Hak Guna Usaha yang bersangkutan. Prosedur peralihan Hak Guna Usaha karena
Pasal 42 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 jo. Pasal 111 dan 112 Permen
Hak Guna Usaha juga dapat dialihkan kepada pihak lain yang memenuhi
syarat sebagai pemegang Hak Guna Usaha. Bentuk dialihkan tersebut dapat
berupa jual beli, tukar menukar, hibah, penyertaan dalam modal perusahaan yang
harus dibuktikan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) khusus 147
yang ditunjukan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional, sedangkan lelang harus
dibuktikan dengan Berita Acara Lelang yang dibuat oleh pejabat dari Kantor
Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah
melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT tertentu khusus dalam
terutama untuk pembuatan akta peralihan hak-hak atas tanah yang berstatus Hak
perubahan nama dalam sertifikat dari pemegang Hak Guna Usaha yang lama
147
Dalam A.P Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia.1990. Bandung. Mandar Maju
Hal. 141
148
A.P Perlindungan (selanjutnya disebuat A.P Perlindungan-II). Pendaftaran Tanah di
Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1999, h.178.
hibah, dan penyertaan dalam modal perusahaan diatur dalam Pasal 16 Peraturan
Pemerintah No. 40 Tahun 1996 jo. Pasal 37 sampai dengan Pasal 40 Peraturan
Pemerintah No. 24 Tahun 1997 jo. Pasal 97 sampai dengan Pasal 106 Permen
Prosedur pemindahan Hak Guna Usaha karena lelang diatur dalam Pasal
No. 24 Tahun 1997 jo Pasal 107 sampai dengan Pasal 110 Permen Agraria/Kepala
dipenuhi
e. Ditelantarkan
f. Tanahnya musnah
hapusnya Hak Guna Usaha dan berakibat tanahnya kembali menjadi tanah negara
adalah:
atau perpanjangannya
waktunya berakhir
5) Tanahnya ditelantarkan
6) Tanahnya musnah
Lebih lanjut mengenai hapusnya Hak Guna Usaha sebagai akibat tanahnya
1. Tanah Hak Milik, HGU, HGB atau Hak Pakai dapat dinyatakan sebagai
oleh pemegang haknya sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan haknya
2. Tanah HGU tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan
hapusnya Hak Guna Usaha terhadap bekas pemegang Hak Guna Usaha, yaitu:
1) Apabila Hak Guna Usaha hapus dan tidak diperpanjang atau diperbaharui,
benda yang ada di atasnya dan menyerahkan tanah dan tanaman yang ada
di atas tanah bekas Hak Guna Usaha tersebut kepada Negara dalam batas
kepada bekas pemegang hak diberikan ganti rugi yang bentuk dan
Jika bekas pemegang Hak Guna Usaha lalai dalam memenuhi kewajiban
tersebut, maka bangunan dan benda-benda yang ada di atas tanah bekas Hak Guna
Usaha itu dibongkar oleh Pemerintah atas biaya bekas pemegang Hak Guna
Usaha.
dan terakhir dileburnya tiga perusahaan perseroan yaitu: PTP III, PTP IV dan
tahun 1996.
1. Sebelum Nasionalisasi
Perseroan PTPN III dan kebun-kebunnya asal-usulnya adalah dari
Bangun;
Ginting;
149
Warens & Achyar Law Firm Jakarta, 2001, Laporan Pemeriksaan Hukum Rencana
Privatisasi Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Perkebunan Nusantara III, kepada Direksi PT.
Perkebunan Nusantara III (Persero), Sei Sikambing, Medan, Jakarta 9 Agustus 2001, Bagian
Hukum Kantor Direksi PTPN III (Persero), 2014
Berdasarkan Peraturan Pemerintah N0. 144 Tahun 1961 tanggal 26 April 1961
berkedudukan di Medan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 145 Tahun 1961 tanggal 26 April 1961
didirikan Perkebunan Negara Kesatuan Sumatera Utara III (PPN Sumut III),
berkedudukan di Medan.
PPN Sumut III merupakan peleburan dari Perusahaan Perkebunan Negara Baru
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 146 Tahun 1961 tanggal 26 April
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 147 Tahun 1061 tanggal 26 April
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 148 tahun 1961 tanggal 26 April
Perkebunan Baru;
Sesuai Peraturan Pemerintah No. 150 Tahun 1961 tanggal 26 April 1961
Sumut VIII), berkedudukan di Medan. PPN Sumut VIII merupakan peleburan dari
menjadi PTP V. Setelah restrukturisasi dan merger antara PTP III, PTP IV dan
PTP V, kemudian menjadi PTPN III Kebun Sei Silau, sejak tanggal 14 Februari
(LN. 1958-162) jo. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1959 tentang Penentuan
PTPN III adalah hak guna Usaha (HGU) dari tanah-tanah hak guna usaha asal
Kebijaksanaan Dalam Rangsa Pemberian Hak Baru atas Tanah Asal Konversi
Hak-Hak Barat, antara lain disebutkan tanah hak guna usaha yang jangka
sebagaimana yang dimaksud dalam UUPA No. 5 Tahun 1960, pada saat
berakhirnya hak yang bersangkutan menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh
Negara. Hak guna usaha asal konversi hak Barat yang dimiliki oleh Perusahaan
milik Negara diberi pembaharuan hak atas tanh yang bersangkutan. 151 Peraturan
Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 1979 tentang Permohonan dan Pemberian
Hak Baru atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat telah diperbaharui dalam
bentu sertifikat yang dikeluarkan oleh Kantor Sub Direktorat Agararia Kabupaten
tempat masing-masing Kebun di Sumatera Utara kepada PTPN III. HGU masing-
masing kebun terbit mulai tahun 1980 ke tahun 1984 yang akan berakhir tahun
150
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 No. 162, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1958 No. 1493-1793, Perpustakaan Hukum, Pusat Dokumentasi
Hukum Badan Pembinaan Hukum Nasional, No. 4800, 1981
151
Boedi Harsono, 1982, Hukum Agraria Indonesia Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum
Tanah, Djambatan, Jakrta. Hal. 155-159
152
Kantor Direksi PTPN III, Bagian Hukum Dan Agraria, dalam laporan Warens & Achyar
Law Firm, 2001, Jakarta. Hal. 110-136
Kebun Sei Putih PTPN III (Eks PTP V) areal tanahnya adalah bekas tanah
nasionalisasi tahun 1958. Total luas HGU adalah 3.377,83 Ha, yang terdiri dari :
a. Sertifikat HGU Nomor : 170/Sei Putih tahun 2009, seluas 474, 54 Ha.
Sertifikat HGU Nomor: 1/Sungai Putih tahun 1984 tanggal 16-7-1984, untuk
Karena HGU akan berakhir masa berlakunya, maka pada tanggal 26 Januari
2004, PTPN III mengajukan perpanjangan HGU Kebun Sungai Putih ke BPN
Masalah areal Kebun Sei Putih adalah penggarapan dan klaim tuntutan
oleh Kelompok Tani Sukses Mandiri yang diwakili oleh Ilham Taufik dan
Alinafiah Siregar Dkk. di areal Afdeling II dan Afdeling IV, Desa Sigen. Areal
yang diklaim/dituntut luasnya 345,56 Ha. dengan dasar tuntutan memiliki surat
Tahun 1954.
Pada masa Perkebunan RCMA ada areal konsesi yang belum ditanami
tanaman palawija dan ada tanaman keras. Hutan belantara dibuka pada tahun 1942
masyarakat terus bertambah mengolah tanah sehingga lahan tidak sekedar untuk
pertanian tetapi juga dibangun rumah-rumah tempat tinggal untuk menetap dan
tradisional. Lokasi yang asalnya dari hutan dijadikan lahan pertanian dan
2. Pondok Jati Komp. XI dan Pondok Lebong, Afd. II, luasnya sekitar 178
Ha.
sekitar 80 Ha.
100 Ha dan ada yang membuat rumah untuk hunian.Pada tahun 1946 – 1949
Sungai putih di kuasai Belanda kembali maka terjadilah sengketa mengenai tanah-
dan semua Organisasi Buruh dan Tani yang ada di Sungai Putih untuk
pengganti berupa tanah hutan yang dihunjuk oleh Perkebunan Sungai Putih untuk
dijadikan ladang/sawah sejak tahun 1956. 153 Masyarakat petani didaerah tersebut
areal HGU Kebun Sei Putih adalah orang tuanya pada tahun 1956 sebagai
dan berpedoman kepada Keputusan Panitia Land Reform Sumatera Utara No.
dilakukan ganti rugi tanaman masyarakat dan mantan karyawan serta karyawan
153
Penjelasan Kastur, Penghulu Galang Barat, dalam suratnya yang ditujukan kepada Assisten
Wedana Kecamatan Galang, No. 2/G.B/1967, Perihal: Tanah Perladangan, tanggal 8 April 1967
para orang tua yang sekarang melakukan penggarapan masa reformasi 1998. Sejak
tahun 1973 sampai tahu 1998 pihak Perkebunan sudah 2 (dua) kali melakukan
tanaman ulang (TU) tanaman karet di areal garapan yang sudah selesai diganti
rugi tersebut.
menggarap areal kebun di afd. II seluas 218,45 Ha dan di afd. IV seluas 40,74 Ha.
Jadi luas seluruh garapan mencapai 259,19 Ha. Alasan lain yang digunakan
surat Alinafiah Siregar yang ditujukan kepada Bupati Kepala Daerah Tingkat II
Deli Serdang tanggal 26 Maret 2000, mengatakan bahwa masyarakat Desa Galang
Barat dan Desa Sungai Putih mempunyai tanah garapan yang terletak di Afdeling
I s/d IV Kebun Sei Putih ex. PTP V (PTPN III) seluas 371 Ha diperoleh
bedasarkan KRPT (UU Drt No. 8/1954) yang dikeluarkan Assisten Wedana pada
tanggal 27 Desember 1955. Tanah dimaksud digarap sejak tahun 1943 s/d 1971
ditanami tanaman muda dan padi. Tahun 1973 tanah tersebut diambil alih pihak
PTP V (PTPN III) secara kekerasan. Sengketa antara mayarakat Desa Galang
Barat dan Desa Sungai Putih dengan pihak PTP V (PTPN III) masalah garapan ini
Gubernur Sumatera Utara agar tanah seluas 371 Ha yang bersengketa dengan
154
Surat Pernyataan Pengakuan Penyerahan Kembali Tanah Occupasi Ujung Jawi dalam areal
Konsesi PNP V Kebun Sungai Putih, tanggal 13 Januari 1973 sebagai bukti surat yang diajukan
PTPN III dalam perkara No. 577/PID.B/2007/PN.LP tanggal 21 September 2007, Putusan
Pengadilan Negeri Lubuk Pakam.
Surat Gubernur Sumatera Utara, T. Rizal Nurdin tgl 26 Juni 2001 N0.
593/8960, Perihal Perpanjangan HGU PTPN III dan IV kepada Kakanwil BPN
banyaknya tuntutan masyarakat atas lahan di lokasi HGU PTPN III dan PTPN IV,
dan akan berakhirnya HGU PTPN III dan PTPN IV di beberapa Kebun yaitu pada
tahun 2000/2005, maka diminta kepada BPN Propinsi Sumatera Utara agar
2000 sampai dengan 2005, yang masih ada tuntutan dan permohonan masyarakat
1) Tahun 1954 sampai dengan 1973; Garapan berawal pada tahun 1954 diatas
areal Konsesi Kebun Sei Putih. Terhadap areal garapan tersebut pada tanggal
berjumlah 198 orang. Sejak ganti rugi tersebut areal dapat dikuasai dan
ditanami oleh Kebun Sei Putih PTP V dan tidak ada gangguan dari masyarakat
2) Tahun 1998; Dengan Era Reformasi dan pemerintahan Presiden Gus Dur
155
Ilham Taufik, Kuasa 197 KKWarga Desa Sei Putih, Kelompok Tani Sukses Mandiri, Surat
kepada Kepala BPN Pusat di Jakarta, mohon Pengenbalian Tanah seluas 345,56 haDi Desa Sei
Putih Yang dikuasai PTPN III Kebun Sei Putih
melakukan penggarapan di areal Afd. II dan Afd. IV Kebun Sei Putih. Alasan
intimidasi ketika pemberian ganti rugi tahun 1973. 156 Kebun Sei Putih
dan tidak meksimal langkah hukum Kepolisian dalam penanganan perkara ini.
digarap tidak dapat ditanami sebagaimana mestinya oleh Kebun Sei Putih
PTPN III.
Secara fisik areal yang digarap oleh Kelompok Ilham Taufik Cs. Seluas
259,19 Ha. Terpencar pada dua tempat, yaitu di areal Afd II seluas 77,77
4) Kelompok Ilham Taufik menggarap dan menguasai tanah Kebun Sei Putih
seluas 259,19 Ha. tersebut sejak tahun 1998 sampai dengan tahun 2006.
tanah garapan Ilham Taufik Cs.pada tanggal 21 Juli sampai dengan 24 Juli
156
Keterangan saksi Ilham Taufik di Pengadilan Negeri Lubuk Pakam dalam perkara No.
557/PID.B/2007/PN.LP.
Lubuk Pakam sebagai Terdakwa adalah Manajer Kebun Sei Putih dan Perwira
6) Tindakan PTPN III untuk langkah penyelesaian tanah garapan di Kebun Sei
Putih, tidak saja melakukan pengaduan pidana tetapi juga mengajukan gugatan
perdata ke Pengadilan Negeri Lubuk Pakam, menggugat Ilham Taufik Cs. Dan
LP. Tanggal 9 Februari 2007 perkaranya diputus dengan amar putusan dalam
sebagian gugatan penggugat rekonvesi” (i.c. Ilham Taufik Cs. Dan Alinafiaf
mengadili sendiri dan menyatakan gugatan dalam konvensi gugatan PTPN III
gugatan Ilham Taufik Cs. Dan Alinafiaf Siregar dinyatakan tidak dapat
diterima (N.O.). Terhadap putusan Pengadilan Tinggi ini, pihak Ilham Taufik
Mahkamah Agung menolak kasasi dari pemohon kasasi Ilham Taufik Cs.
Pasca keputusan Mahkamah Agung tersebut diatas, PTPN III Kebun Sei
Putih telah menguasai kembali areal objek perkara pada tahun 2006
instansi terkait dalam masalah garapan di Kebun Sei Putih atas pengaduan
Alinafiah Siregar Dkk. Tentang Tanah garapan di areal HGU Kebun Sei Putih
menyelesaikan areal garapan di Kebun Sei Putih yang di garap kelompok tani
Alinafiaf, Dkk dan kelompok tani Sukses Mandiri, IlhamTaufik, Dkk. Sikap
PTPN,saat ini menunggu proses hukum yang sedang upaya hukum kasasi di
MA atas gugatan IlhamTaufik, Dkk yang ke-2 atas areal garapan 345,56 Ha.
tersebut. Pertemuan ini yang hadir dari PTPN-III, BPN Prop. SU, BPN Kab.
8) Analisa Hukum
Para penggarap mengklaim, bahwa tanah yang mereka tanami adalah tanah
peninggalan orang tua mereka yang dibuka antara sejak tahun 1942 sampai
dengan tahun 1956. Dasar menguasai tanah para penggarap adalah orang tua
Pihak PTPN III (dulu PTPN V) mengklaim bahwa tanah yang di occupasi
para penggarap adalah milik PTPN III, berpedoman pada Keputusan Panitia
Land Reform Sumatera Utara No. 157/LR/I/1968, tanggal 2 Maret 1968, ganti
rugi telah diterima para penggarapketika itu pada tanggal 13 Januari 1973.
Pada Tahun 1998 Penggarap menduduki areal HGU pada saat itu HGU PTPN
III Kebun Sei Putih masih berlaku (belum berakhir masa waktunya), Tuntutan
penggarap 345,56 Ha. yang berada di areal HGU harus dikeluarkan menjadi
milik penggarap.
Sengketa yang telah terjadi di Kebun Sei Putih PTPN III ini menurut PP No.
Untuk Kepentingan Umum yang telah direvisi dengan Penetapan Presiden No.
2006. Akan tetapi apabila dikaji bunyi Penetapan Presiden No. 65 Tahun
1) Keberadaan PTPN III Kebun Sei Silau berawal dari adanya perkebunan
Belanda yang berdiri pada tahun 1927 di Sei Silau, bernama Naamlootze
2) Mulai tahun 1960 hingga tahun 1996, Perusahaan Perkebunan Negara (PPN)
Cbang Sumatera Utara mengalami beberapa kali pergantian nama, Dari nama
Setelah restrukturisasi dan merger antara PTP III, PTP IV dan PTP V,
kemudian menjadi PTPN III Kebun Sei Silau, yaitu sejak tanggal 14 Februari
3) Pada waktu PTPN III Kebun Sei Silau masih bernama PTP V, di dalam SK
bahwa areal PTP V Kebun Sei Silau seluas 6.450 Ha, tetapi didaftarkan untuk
157
Mohammad Hasan Wargakusumah, Status Hukum Berakhirnya tanah HGU Di PTPN Dan
Pemanfaatannya, Seminar FH USU tentang Peralihan Hak Atas Tanah Eks HGU di Sumatera
Utara, Permasalahan Hukum Dan Solusinya, Medan, 23 Desember 2006, hal 6-7
4) Dengan surat no. 3.09/X/08/2004 tanggal 23 Januari 2004, PTPN III Kebun
Sei Silau mengajukan perpanjangan HGU No. 1/Desa Sei Silau tanggal 20
Tetapi disisi lain PTPN III Kebun Sei Silau berusaha untuk mendapatkan areal
yang lebih luas lagi dari luas areal yang tercantum pada sertifikat HGU yang
sengketa dengan masyarakat hingga saat ini masih dalam proses penyelesaian.
1) Keberadaan masyarakat Sei Silau berawal dari adanya kuli kontrak yang
mendekati habis, dan juga kebutuhan ekonomi karena jumlah mereka semakin
jalan dan lorong lorong serta perladangan dan persawahan sebagai areal
Pada waktu itu Perkebunan Sei Silau masih bernama PNP V; melihat
sudah tidak ingin lagi pulang ke tempat asalnya Wonogiri Jawa Tengah, serta
Propinsi Sumatera Utara d/p Kepala Inspeksi Agraria Tk. I Propinsi Sumatera
Utara. Yang berisi permohonan serah lepas areal garapan masyarakat kepada
peta perkebunan.
4) Surat PNP V No. 05.7/X/238/1971 tanggal 5 Juni 1971 tersebut pada no.II.3
5) Selanjutnya oleh Bupati Asahan disalin dan kemudian salinan surat tersebut
Perkebunan.
(tiga) kecamatan pada tanggal 25 Agustus 2008 yakni kecamatan Buntu Pane,
Kecamatan Tinggi Raja dan Kecamatan Setia Janji; maka Desa Sei Silau
Silau
HGU PTPN III yang akan berakhir masa berlaku HGU-nya tahun 2000-2005,
3) Pada era reformasi yaitu tahun 2002, masyarakat yang terhimpun dalam 2
(dua) kelompok tani, yakni : (1) Kelompok Tani Damai Jaya berusaha
menguasai kembali garapan mereka semula di Titi Gambang Sei Silau Timur.
Areal yang berhasil mereka kuasai, kemudian mereka usahai dengan tanaman
Kelapa Sawit, Kakao dan Pisang hingga sekarang. Sedang wilayah Sei Silau
Barat kelompok Tani Karya Tani tetap menguasai dan mengusahai tanah
4) Pada tahun 2004, yaitu satu tahun sebelum masa berlaku HGU PTPN III
Kebun Sei Silau berakhir, PTPN III dengan suratnya No. 309/X/08/2004
Di sisi lain, PTPN III Kebun Sei Silau bekerjasama dengan Kanwil BPN
Sumatera Utara berusaha untuk menambah luasan areal Kebun Sei Silau
5) Tindakan PTPN III Kebun Sei Silau dalam mempertahankan haknya, pada
tahun 2005 dan 2008 mengadukan 13 (tiga belas) orang pengurus Kelompok
Tani dan anggotanya dengan tuduhan menguasai areal perkebunan tanpa izin.
158
Kronologi sengketa tanah Masyarakat Sei silau dengan PTPN III Kebun Sei Silau,2010,
Disampaikan oleh: Masyarakat Sei Silau dengan pendampingan “YPMP” Pada surat No.593/8960;
tanggal 26 Juni 2001
Kebun Sei Silau No. 309/X/08/2004 tanggal 23 Januari 2004, atas sertifikat
HGU No. 1/Desa Sei Silau/1984 tanggal 20 Februari 1984, masa berlaku
Pada tanggal 5 Maret 2007 hingga 5 Mei 2007 Kanwil BPN Propinsi
Sumatera Utara dengan pihak PTPN III Kebun Sei Silau melaksanakan
pengukuran keliling bidang areal PTPN III Kebun Sei Silau. 160
159
Kronologi sengketa tanah Masyarakat Sei silau dengan PTPN III Kebun Sei Silau,2010,
Disampaikan oleh: Masyarakat Sei Silau dengan pendampingan “YPMP” Pada Putusan No.
812/Pid.B/2008/PN-KIS
160
Kronologi sengketa tanah Masyarakat Sei silau dengan PTPN III Kebun Sei Silau,2010,
Disampaikan oleh: Masyarakat Sei Silau dengan pendampingan “YPMP” Pada HGU PTPN III
Kebun Sei Silau No. 309/X/08/2004 tanggal 23 Januari 2004, atas sertifikat HGU No. 1/Desa Sei
Silau/1984 tanggal 20 Februari 1984
Jumlah 936.468,7 Ha
Juni 2007.
Pengadilan Negeri Kisaran Saksi Ahli (pelaksana pengukuran areal PTPN III
pengukuran dengan luas 6.575,99 Ha. Setelah diproses oleh Kanwil BPN
No. 540-299 tanggal 27 Desember 2007. Untuk fasilitas umum dan areal
hak.
mengadakan pertemuan antara Staf Kanwil BPN dengan Staf PTPN III..
ternyata hak yang didaftarkan hanya seluas 5.360 ha. Dengan demikian
bidang tanah yang dilekati Hak HGU No. 1/Desa Sei Silau atas Kebun Sei
10) Sehubungan dengan adanya unjuk rasa masyarakat dan mahasiswa Asahan di
Pemkab Asahan, maka Bupati Asahan dengan Surat No. 590/4101 tanggal 23
Juni 2008, meminta Penjelasan keberadaan HGU PTPN III Kebun Sei Silau,
11) Melalui Kuasa Hukum dari Kantor Hukum, Widodo Rato, Komis & Rekan di
masyarakat dengan PTPN III Kebun Sei Silau kepada Komisi Nasional Hak
12) Kakanwil BPN Propinsi Sumatera Utara, dengan surat No. 540-5293, tanggal
Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah, menyampaikan usulan ulang HGU PTPN
13) Sehingga dalam usulan ulang, areal PTPN III Kebun Sei Silau bertambah
luasan sebesar 1.103,78 Ha, dari luas sertifikat HGU yang dimohonkan
perpanjangan, yakni HGU No. 1/Desa Sai Silau tanggal 20 Februari 1984,
161
Dalam Kronologi sengketa tanah Masyarakat Sei silau dengan PTPN III Kebun Sei
Silau,2010, Disampaikan oleh: Masyarakat Sei Silau dengan pendampingan “YPMP”
162
Dalam Kronologi sengketa tanah Masyarakat Sei silau dengan PTPN III Kebun Sei
Silau,2010, Disampaikan oleh: Masyarakat Sei Silau dengan pendampingan “YPMP” Pada surat
No. 1.850/K/PMT/VIII/2008 tanggal 8 Agustus 2008
Mei 2007 perihal : Rekomendasi dari HGU PTPN III Kebun Sei Silau, yang
diperpanjang. 163
Desa Sei Silau, melalui suratnya No.521/8122 tanggal 3 Desember 2008, yang
ditujukan kepada Direktur Utama PTPN III. Dalam surat dinyatakan bahwa
Ha dan perbaikan irigasi sepanjang 3.800 M di Desa Sei Silau dalam rangka
16) Oleh karena Pihak PTPN III keberatan terhadap pelaksanaan program
Ketahanan Pangan Nasional dari Pemkab Asahan sesuai surat Sekda Pemkab
163
Dalam Kronologi sengketa tanah Masyarakat Sei silau dengan PTPN III Kebun Sei
Silau,2010, Disampaikan oleh: Masyarakat Sei Silau dengan pendampingan “YPMP” Pada
suratnya No. 170/589 tanggal 28 Mei 2007
164
Dalam Kronologi sengketa tanah Masyarakat Sei silau dengan PTPN III Kebun Sei
Silau,2010, Disampaikan oleh: Masyarakat Sei Silau dengan pendampingan “YPMP”
APBN dilakukan di areal di luar HGU PTPN III Kebun Sei Silau, karena
menurut sertifikat HGU No. 1/Desa Sei Silau tanggal 20 Februari 1984,
luas areal perkebunan PTPN III adalah seluas 5.360 Ha dan selebih dari
luas areal tersebut, merupakan areal yang berstatus tanah Negara yang
Silau sesuai luas yang tercantum pada sertifikat No.1/Desa Sei Silau
rekomendasi untuk perluasan areal PTPN III Kebun Sei Silau. 165
165
Dalam Kronologi sengketa tanah Masyarakat Sei silau dengan PTPN III Kebun Sei
Silau,2010, Disampaikan oleh: Masyarakat Sei Silau dengan pendampingan “YPMP” Pada
sertifikat No.1/Desa Sei Silau tanggal 20 Februari 1984, seluas 5.360 Ha
garapan’
permasalahan tersebut.
a) Masyarakat mulai menggarap sejak tahun 1941 dan tahun 1950 dan telah
166
Surat Keputusan No. 3.11/SKPTS/02/2008 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian areal
garapan Kebun Sei Sialau, tanggal 14 April 2008, Kantor Direksi, Bagian Hukum dan Agraria
PTPN III
RCMA, yang dimulai dengan membuka hutan dan rawa-rawa pada tahun
1941 hingga tahun 1950, yang diteruskan oleh keturunan mereka hingga
tanaman lainnya.
c) PTP V (sekarang PTPN III) Kebun Sei Silau mendaftarkan HGU hanya
atas bidang tanah seluas 5.360 Ha. Seperti yang termuat pada sertifikat
d) Pengukuran bidang tanah areal PTPN III Kebun Sei Silau oleh Kanwil
perkebunan sesuai yang terdapat pada sertifikat HGU. No. 1/Desa Sei
Gubernur KDH Sumatera Utara selaku Ketua I PLR d/p. Kepala Inspeksi
f) Bupati Asahan bermohon agar perpanjangan HGU PTPN III Kebun Sei
sertifikat No.1/Desa Sei Silau tanggal 20 Februari 1984 seluas 5.360 Ha.
agar perpanjangan HGU PTPN III Kebun Sei Silau tetep di pending. 167
18) Manager PTPN III Kebun Sei Silau mengirimkan surat kepada Camat Setia
Bahwa PTPN III Kebun Sei Silau memohon kepada Camat Setia Janji untuk
2009. 168
19) Disamping surat kepada Camat Setia Janji tersebut diatas, Manager PTPN III
Kebun Sei Silau juga mengirimkan surat kepada Kapolsek Prapat Janji dengan
167
Dalam Kronologi sengketa tanah Masyarakat Sei silau dengan PTPN III Kebun Sei
Silau,2010, Disampaikan oleh: Masyarakat Sei Silau dengan pendampingan “YPMP”
168
Dalam Kronologi sengketa tanah Masyarakat Sei silau dengan PTPN III Kebun Sei
Silau,2010, Disampaikan oleh: Masyarakat Sei Silau dengan pendampingan “YPMP”
20) Mulai tanggal 25 Nopember 2009 hingga saat ini. Pihak PTPN III Kebun Sei
menyerahkan, maka :
- Akan dipenjarakan
- Dimutasi/diberhentikan (PHK)
21) Manager PTPN III Kebun Sei Silau dengan Surat No. : KSSil/X/03/2010
tanggal 7 Januari 2010, perihal : Areal HGU PTPN III Kebun Sei Silau kepada
Sehubungan dengan hal tersebut, PTPN III Kebun Sei Silau akan melaksankan
22) Dengan surat No. 140/004, tanggal 8 Januari 2010, Camat Setia Janji
memberikan jawaban kepada Manager PTPN III Kebun Sei Silau. Dalam surat
managemen PTPN III Kebun Sei Silau tidak sesuai dengan kesepakatan
tanggal 11 Januari 2010 PTPN III Kebun Sei Silau tetep melaksanakan
Polisi dari Polres Asahan dan TNI/AD dari Kodim 0208/ASH dan Satpam se
Distrik Asahan.
Dengan alat berat PTPN III Kebun Sei Silau merusak tanaman masyarakat.
Oleh karena ketakutan, masyarakat hanya bisa melihat sambil menangis dan
24) Sehubungan dengan tindakan PTPN III Kebun Sei Silau tersebut, maka
masyarakat Sei Silau yang diwakili pengurus tani Karya Tani bersama Kabag
Tata Pemerintahan Pemkab Asahan Camat Setia Janji, Kepala Desa Sei Silau
kepada : Kepala BPN RI; Menteri Negara BUMN; Komisi VI DPR RI dan
Menteri Sekretaris Negara RI, pada tanggal 11 Januari 2010 hingga 14 Januari
2010.
25) Bagi karyawan yang tidak mau menyerahkan lahan garapannya yaitu 9
(sembilan) orang karyawan; dengan Surat Keputusan Direksi PTPN III No.
mereka ini adalah karyawan yang 3-5 tahun lagi akan pensiun. 169
26) Dari 9 (sembilan) orang karyawan yang dimutasikan, 2 (dua) orang tidak
bersedia. Dan kasusnya sedang ditangani oleh Dinas Tenaga Kerja Pemerintah
Mereka mulai membuka hutan sejak tahun 1941 dan merupakan rentang waktu
Januari 1981, yaitu 40 tahun dan hingga kini telah mencapai kurun waktu 69
tahun.
telah dimohonkan kepada Gubernur KDH Prov. Sumatera Utara selaku Ketua
PLR Tk. I d/p. Kepala Inspeksi Agraria Prov. Sumatera Utara dengan Surat
169
Kronologi sengketa tanah Masyarakat Sei silau dengan PTPN III Kebun Sei Silau,2010,
Disampaikan oleh: Masyarakat Sei Silau dengan pendampingan “YPMP” Pada Surat Keputusan
Direksi PTPN III No. 3.08/SKPTS/R/33/201 tanggal 24 Februari 2010
agar tanah garapan dapat dibagikan kepada penggarapnya. Surat tersebut dilampiri
Peta Kebun Sei Silau yang dikeluarkan oleh Kanwil Agraria Direktorat
1/Desa Sei Silau tanggal 20 Februari 1984 dengan masa berlaku hingga 31
PTPN III Kebun Sei Silau menginginkan luas areal dikembalikan pada
dilapangan yaitu :
Agustus 2009.
5.639,5213 Ha.
170
Kronologi sengketa tanah Masyarakat Sei silau dengan PTPN III Kebun Sei Silau,2010,
Disampaikan oleh: Masyarakat Sei Silau dengan pendampingan “YPMP”
- Luas areal tanaman dan lain-lain yang dikelola Kebun Sei Silau =
6.720,90 Ha.
maka pada saat ini PTPN III Sei Silau telah menguasai dan
yang tertera pada sertifikat HGU No. 1/Desa Sei Silau tanggal 20
171
Ibid
sejak tanggal 14 Pebruari 1996 sampai dengan saat ini merger dan
(sekarang PTPN III) telah diberikan Hak Guna Usaha (HGU) atas
dalam wilayah Kecamatan Buntu Pane, antara lain Desa Sei Silau
Desember 2005.
2007;
PTPN III Kebun Sei Silau yang tercatat dalam Laporan Polisi No.
l. Bahwa selain itu, PTPN III Kebun Sei Silau telah pula menyusun
waktu HGU-nya.
merupankan bidang tanah HGU PTPN III Kebun Sei Silau, karena
seluruh HGU PTPN III Kebun Sei Silau hanya atas bidang tanah
yang ada tanamannya yang berada pada areal daratan kering seluas
Berapa sebenarnya luas bidang tanah HGU PTPN III Kebun Sei Silau
yang sah menurut hukum, ini digunakan sebagai landasan ketetapan wilayah HGU
rumah penduduk maupun fasilitas publik yang termasuk ke dalam Peta Bidang
tanah HGU PTPN III Kebun Sei Silau. Peta Bidang Tanah, Nomor: 20/07/2007,
tanggal 27 Juni 2007, merupakan surat tanda bukti hak yang sah atau tidak perlu
diberikan kepada PTPN III Kebun Sei Silau dapat diberikan atas bidang tanah
yang luasnya lebih atau diluar dari bidang tanah 5.360 Ha. Bagaimana eksistensi
dan keabsahan Peta Bidang Tanah, Nomor: 20/07/2007, tanggal 27 Juni 2007.
luasnya 224 Ha. Posisinya diluar HGU Kebun Sei Silau PTPN III digarap
masyarakat sejak tahun 1941. Tanah Garapan berada di Desa Sei Silau, sudah
berhasil menjadi sawah dan mendapat bantuan dari pemerintah Kabupaten Asahan
jangan diambil PTPN III areal yang digarap kelompok tani. Kalu menghaki yang
6000-an Ha silahkan ambil perjuangkan, tetapi yang sudah digarap rakyat tani
172
Wawancara dengan Yayasan Pembangunan Masyarakat Pancasila, pendamping
masyarakat kelompok tani Desa Sei Silau tanggal 25 Nopember 2015.
Kelompok Tani Damai Jaya dan Kelompok Tani Karya Tani, serta
dengan Dokumen I;
II;
Juni 2001, perihal: Perpanjangan HGU PTPN III dan IV, yang
Silau Barat, Sei Silau Timur, Silau Tua, Prapat Janji, Urung
Silau;
Gambang- Desa Sei Silau Timur yang pada tahun 1989 baru
tanaman Kelapa Sawit pada tahun 1991, tetapi pada tahun 2002
masyarakat;
6. Bidang tanah HGU PTPN III Kebun Sei Silau telah berakhir
batas bidang tanah HGU PTPN III Kebun Sei Silau (sesuai
Pokok-pokok Agraria;
Pengelolaan.
a. Luas Bidang Tanah HGU PTPN III Kebun Sei Silau Yang Sah
Kebun Sei Silau, maka terlebih dahulu harus dipahami mengenai tahapan
atau badan hukum tertentu (vide Pasal 31 UU No. 5 Tahun 1960 juncto
sebagai berikut:
Pasal 7
ayat (1) wajib didaftar dalam buku tanah pada Kantor Pertanahan.
(2) Hak Guna Usaha terjadi sejak didaftarkan oleh Kantor Pertanahan
(3) Sebagai tanda bukti hak kepada pemegang Hak Guna Usaha
Guna Usaha belum terjadi dan status tanahnya masih tetap tanah
Silau, tanggal 20 Pebruari 1984, maka tidak dapat disangkal bahwa PTPN
diberikan kepada PTPN III Kebun Sei Silau adalah seluas ± 6.450 Ha,
tetapi ternyata PTPN III Kebun Sei Silau hanya mendaftarkan HGU-nya
Pasal 7 PP No. 40 Tahun 1996, maka penentuan luas bidang tanah HGU
yang dipunyai oleh PTPN III Kebun Sei Silau bukan didasarkan pada
1/Desa Sei Silau, tanggal 20 Pebruari 1984. Oleh karena Sertifikat HGU
Nomor: 1/Desa Sei Silau, tanggal 20 Pebruari 1984 merupakan surat tanda
bukti hak yang memiliki kekuatan pembuktian yang kuat, maka dengan
demikian bidang tanah HGU PTPN III Kebun Sei Silau yang sah menurut
kepada PTPN III Kebun Sei Silau melalui Surat Keputusan Menteri Dalam
statusnya tetap tanah Negara dan bukan berstatus sebagai HGU PTPN III
yang merupakan HGU PTPN III Kebun Sei Silau, maka harus didasarkan
pada data fisik yang dimuat dalam Peta Lampiran yang terdapat pada
Silau dinyatakan bahwa bidang tanah HGU PTPN III Kebun Si Silau
adalah seluas 5.360 Ha yang mana diatas bidang tanah seluas 5.360 Ha
sama sekali tidak terdapat tanah garapan. Dengan demikian, maka saat
HGU PTPN III Kebun Sei Silau seluas 5.360 Ha tersebut sama sekali tidak
tanda bukti hak yang memiliki kekuatan pembuktian yang kuat mengenai
kebenaran data fisik dan data yuridis yang diterangkan di dalamnya, dan
ternyata terdapat fakta bahwa tanah garapan yang menjadi sengketa ini
telah dikuasai dan diusahai oleh masyarakat sejak dahulu (jauh hari
sebelum tanggal 20 Pebruari 1984) yang berlanjut hingga saat ini, maka
dengan areal Titi Gambang – Desa Sei Silau Timur bukan merupakan
bidang tanah HGU PTPN III Kebun Sei Silau karena sejak dahulu sampai
Nomor: 1/Desa Sei Silau, tanggal 20 Pebruari 1984) bidang tanah tersebut
telah dikuasai dan diusahai masyarakat penggarap. PTPN III Kebun Sei
Silau baru menanami bidang tanah yang setempat dikenal dengan areal
Titi Gambang ini pada tahun 1991 (tujuh tahun setelah diterbitkannya
dilaksanakan oleh petugas ukur dari Kanwil BPN Propinsi Sumatera Utara
adalah atas bidang tanah seluas 6.575,99 Ha. Tetapi setelah luas bidang
tanah HGU yang diklaim/didalilkan PTPN III Kebun Sei Silau tersebut
927,14 Ha),ternyata PTPN III Kebun Sei Silau telah menguasai dan
oleh PTPN III Kebun Sei Silau tersebut dikurangkan dengan bidang HGU
PTPN III yang sah menurut hukum (seluas 5.360 Ha), maka dalam
permasalahan ini justru PTPN III Kebun Sei Silau yang tanpa alas hak
288,85 Ha.
Merupakan Surat Tanda Bukti HGU PTPN III Kebun Sei Silau
surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang
kuat.
Tahun 1997, maka surat tanda bukti hak adalah sertifikat yang diterbitkan
yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya.
Kebun Sei Silau yang sah menurut hukum adalah Sertifikat HGU Nomor:
1/Desa Sei Silau, bukan Peta Bidang Tanah, Nomor: 20/07/2007, tanggal
27 Juni 2007.
Sei Silau Tidak Dapat Diberikan Atas Bidang Tanah Yang Melebihi
jangka waktu berlakunya suatu hak atas tanah tanpa mengubah syarat-
penambahan jangka waktu berlakunya hak atas bidang tanah yang telah
21 Tahun 1994.
jangka waktu HGU atas luas dan batas bidang tanah yang telah ada
berikut:
secara lengkap.
(2) Jika tanah yang dapat diberikan perpanjangan Hak Guna Usaha
perpanjangan HGU PTPN III Kebun Sei Silau hanya dapat diberikan
atas bidang tanah yang sama dengan yang tercantum dalam Sertifikat
HGU Nomor: 1/Desa Sei Silau, tanggal 20 Pebruari 1984, yakni: atas
1 (satu) bidang tanah atau lebih pada lembaran kertas dengan skala
bahwa peta bidang tanah merupakan salah satu jenis kegiatan yang
yang berbunyi:
pendaftaran tanah, maka berikut ini dikutip ketentuan Pasal 26 ayat (1)
Tanah B.
luas bidang tanah HGU PTPN III Kebun Sei Silau lebih dari 1.000 Ha.
ayat (2) dan ayat (3) PMNA/Ka. BPN Nomor 3 Tahun 1997, yang
perpanjangan HGU PTPN III Kebun Sei Silau hanya dapat dilakukan
dan tidak dapat dilakukan atas bidang tanah di luar yang tercantum
tanah seluas 5.360 Ha menjadi tanah HGU-nya, maka berarti PTPN III
kesepakatan;
Keharusan untuk terlebih dulu mempunyai izin lokasi tersebut, juga diatur
dalam Pasal 2 ayat (1) PMNA/Ka. BPN Nomor 2 Tahun 1999, yang berbunyi:
untuk mempunyai izin lokasi tersebut karena dianggap sudah dipunyai perusahaan
yang bersangkutan, terdapat dalam Pasal 2 ayat (2) huruf e, yang berbunyi :
“tanah yang akan diperoleh diperlukan untuk perluasan usaha yang sudah
berjalan dan untuk itu telah diperoleh izin perluasan usaha sesuai ketentuan yang
berlaku, sedangkan letak tanah tersebut berbatasan dengan lokasi usaha yang
bersangkutan.”
maupun tanah-tanah lainnya di luar bidang tanah seluas 5.360 Ha, maka PTPN III
Kebun Sei Silau harus terlebih dahulu mempunyai izin lokasi atau izin perluasan
berlaku.
bidang tanah HGU PTPN III Kebun Sei Silau yang telah menimbulkan
PTPN III Kebun Sei Silau terjadi atau lahir sejak didaftar pada Kantor
Januari 1981.
yang kuat dan sempurna mengenai data yuridis dan data fisik atas
bidang tanah HGU PTPN III Kebun Sei Silau. Sesuai dengan data fisik
yang tercantum dalam Sertifikat PTPN III Kebun Sei Silau adalah 5.360
Ha, dan dengan demikian bidang tanah HGU PTPN III Kebun Sei Silau
yang sah menurut hukum adalah seluas 5.360 Ha, bukan seluas 6.450
lahirnya HGU PTPN III Kebun Sei Silau atas suatu bidang tanah atau
3. Data fisik lainnya mengenai bidang tanah HGU PTPN III Kebun Sei
tanggal 20 Pebruari 1984 tercantum bahwa bidang tanah HGU PTPN III
dalam bidang tanah seluas 5.360 Ha tersebut, dan data fisik yang
dikuasai dan diusahai oleh PTPN III Kebun Sei Silau, tetapi secara
penduduk ke dalam bidang tanah HGU PTPN III Kebun Sei Silau
sampai dengan 5 Mei 2007 yang dituangkan dalam Peta Bidang Tanah,
pengukuran ini terungkap fakta bahwa: ternyata PTPN III Kebun Sei
dengan demikian dalam permasalahan ini justru PTPN III Kebun Sei
diluar dari bidang tanah HGU-nya yang sah menurut hokum (bidang
tanah HGU PTPN III Kebun Sei Silau yang sah menurut hukum adalah
merupakan tanda bukti hak, sehingga tidak bisa menjadi dasar untuk
meneguhkan HGU PTPN III Kebun Sei Silau atas bidang tanah seluas
6.575,99 Ha.
BPN Propinsi Sumatera Utara, karena luas bidang tanah yang diukur
lebih dari 1.000 Ha). Oleh karena Peta Bidang Tanah, Nomor:
HGU tidak dapat diberikan atas bidang tanah yang tidak tercantum
dimohonkan oleh PTPN III Kebun Sei Silau, hanya dapt diberikan atas
9. Jika PTPN III Kebun Sei Silau ingin menambah luas bidang tanah
10. PTPN III Kebun Sei Silau tidak berhak untuk melakukan pembebasan
bidang tanah seluas 5.360 Ha, sebelum mempunyai izin lokasi atau izin
perluasan usaha.
g. Mediasi Antara Kelompok Penggarap Tani Sei Silau dengan PTPN III
Nopember 2014, tempat Kantor Bupati Asahan di Kisaran, yang hadir dalam acara
ini adalah :
1. PTPN III diwakilkan dari Kantor Direksi dan Kebun Sei Siau
2. Kelompok Tani Sei Silau (Damai Jaya Titi Gambang Sei Silau Timur,
5. Koramil/Danramil
1. Kelompok Tani harus menjaga asset PTPN III agar jangan ada
ke dalam HGU
Akibat dari tuntutan para penggarap pada sebagian areal HGU maka
PTPNIII Kebun Sei Silau, dari seluruh luasan areal HGU yang telah
Manajer Kebun Sei Silau mengalami korban pengeroyokan oleh Radi Cs.
Peristiwa tgl 3 Februari 2015 di Afd. 4 pada waktu itu Manajer Kebun Sei
garapan.
Penyelesaian perpanjangan HGU PTPN III Kebun Sei Silau yang diproses
BPN berdasarkan sertifikat No. 1/Desa Sei Silau tanggal 20 Februari 1984
penggarap dari selisih luas surat bukti HGU No. 1 tahun 1984dengan SK Hak
Surat Edaran Menteri Agraria Dan Tata Ruang Kepala BPN No. 11/SE/VIII/2015
Tentang Percepatan Proses Pemberian Atau Perpanjangan Hak Atas Tanah Jo. SE
Menteri Agraria Dan Tata Ruang Kepala BPN No. 31/SE/I/2015 Perihal:
tahap yaitu :
Kebun Sei Silau Seluas 750 Ha. berdasarkan Surat Keputusan Direksi Nomor :
III berusaha agar areal tanah garapan diselesaikan dengan prioritas cara
Hal ini akan menjadi berkepastian hukum bagi PTPN III Kebun Sei Silau untuk
menjalankan usaha dan dapat bertindak tegas untuk menjaga dan mengamankan
arealnya. Terhadap tanah yang menjadi sengketa harus dapat diselesaikan dengan
adil agar penggarap dapat menerima hasil dari areal yang dipersengketakan dan
apa yang menjadi keinginan PTPN-III Kebun Sei Silau dapat terlaksana dalam
Kebun Rambutan tanah areal hak guna usahanya adalah tanah Negara
18/1988. 173
4.442,20 Ha.
tanah yang dapat diberikan Hak seluas 4.373,78 Ha (terdapat areal yang
2) Koperasi PTP V
3) Jalan Umum
173
Setifikat HGU tanggal 14 Mei 1996 sesuai SK HGU 51/BPN/95, tanggal 4 Agustus 1995
di Kantor Direksi PTPN III, Bagian Hukum Dan Agraria
(RCMA) yang diuraikan dalam Peta situasi No. 18/1998 seluas 4.442,20 Ha
2) Bahwa pada awalnya tanah seluas ±82 Ha tersebut digarap oleh karyawan
Kebun Rambutan, sekitar tahun 1966, oleh karena pertumbuhan karet dengan
disebut HIATEN atau areal kosong diantara tanaman karet yang sudah
(tidak hanya karyawan), namun juga penduduk sekitar kebun, dimana selain
yang mana salah satu butir keputusannya adalah penggarap tersebut harus
6) Bahwa pada tanggal 3 Juni 1966 Pemerintah dalam hal ini diwakili oleh
areal ±82 Ha Afd III PPN Karet V Rambutan dengan memberikan batas akhir
Agustus 1995 dimana Pimpinan Penggarap atas nama Sdr Ponimin Panjaitan
dan Sdr Kasan mengirimkan surat kepada Bapak wakil Presiden RI yang pada
intinya memohon bantuan hukum atas pengambilan tanah milik rakyat Desa
Panguripan;
a) Areal seluas ±82 Ha di Afd III Kebun Rambutan pada saat itu tahun
1966 adalah milik PPN Karet V dan bukan milik Ponimin Panjaitan
CS
tersebut
dan areal dimaksud telah memiliki alas hak HGU dan ditanami dengan
10) Bahwa Berita Acara Hasil Penelitian dan Pemeriksaan Lapangan atas tuntutan
Sdr. Ponimin Panjaitan dan Kasan tanah seluas ±82 Ha di Desa Panguripan
pada tanggal 6 November 1995, yang mana pada saat itu turut juga dihadiri
11) Bahwa hasil penelitian dan peninjauan lapangan sebagaimana point 10 diatas
Utara.
d) Dari penjelasan PT. Perkebunan V dan sesuai dengan data yang ada,
Tanaman Budidaya Sawit tahun 1973 dan tahun 1995 berasal dari
tahun 1947 sampai dengan 1972 dan sebahagian lagi dari tahun 1967
f) Dari data yang ada saudara Ponimin P. Dan saudara Kasan bukan
Serdang kepada Kepala Kantor Wilayah BPN Sumatera Utara dengan nomor:
Agustus 1996 perihal kasus pengambil alihan hak atas tanah secara melawan
hak oleh PT. Perkebunan V Rambutan Sei Karang (PTP. Nusantara III)
III) mengambil hak atas tanah tersebut secara melawan hak tidak
terbukti kebenarannya.
14) Bahwa hingga rentang waktu tahun 2003 pimpinan penggarap beralih ke
Karsam (ayah Suwarno) dan Sujarno hingga pada tahun 2007 sampai sekarang
menyewakan areal HGU PTPN-III kepada orang lain baik untuk usaha
Negeri Tebing Tinggi Deli telah melakukan peletakan sita jaminan No.
26/Pdt/2008/PN-TTD.
3) Bahwa pada tanggal 30 Juni 2008 Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Deli
baik segala tanaman dan bangunan yang ada diatasnya sekaligus menyatakan
sita jaminan yang telah dilaksanakan pada tanggal 26 Maret 2008 sah dan
berharga.
4) Bahwa atas Putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Deli tersebut pada
tanggal 21 Juli 2008 diatas pihak Tergugat (Suwarno cs) mengajukan banding
diterima.
tanpa upaya hukum selanjutnya dari pihak Tergugat (Suwarno Cs) sehingga
10) Bahwa tindak lanjut dari hal tersebut Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Deli
12) Bahwa atas permohonan eksekusi tersebut Pengadilan Negeri Tebing Tinggi
13) Bahwa upaya pendekatan yang telah dilakukan PT Perkebunan Nusantara III
adalah terhadap 23 orang pengusaha Batu bata, 10 unit rumah permanen dan
Nusantara III telah melakukan proses pendekatan dengan cara pemberian tali
asih (biaya bongkar rumah dan biaya pindah) agar kiranya masyarakat yang
satgas Mafia Hukum Jakarta (Pasal 372 Subs 263 KUHP), dan Ybs telah
15) Rapat pertemuan dengan Direktur Konflik BPN Pusat- Jakarta, di Kanwil
BPN Prop. SU. Tanggal 12- 03- 2012. Hadir dari Komisi A DPRD Prop. SU,
Pertemuan menjelaskan tentang hasil yang dibua toleh Direktor Konflik BPN
I. Menimbang
HGU.
inkracht.
BUMN.
Pemerintahan Pemkab Sergei. Dari PTPN III dihadiri dari Majer Kebun
Mediasi dan Pemkab Sergei tegas kasusnya sudah selesai. Kesimpulan dari
1) Bahwa tanah perkebunan Rambutan yang dimohon Hak Guna Usaha oleh
4.442,20 Ha (empat ribu empat ratus empat puluh dua koma dua kosong
Koperasi PT. Perkebunan V, jalan umum dan lintasan jalan rel kereta api,
yang dikeluarkan dari areal perkebunan tersebut sehingga luas tanah yang
dapat dikabulkan untuk dapat diberikan Hak Guna Usaha adalah seluas
4.373,78 Ha (empat ribu tiga ratus tujuh puluh tiga koma tujuh delapan
seluas 4.373,78 Ha (empat ribu tiga ratus tujuh puluh tiga koma tujuh
dipersengketakan.
tiga ratus tujuh puluh tiga koma tujuh delapan hektar)/ didalamnya tersapat
Kebun Rambutan
No. 540.1-56/1/1995.
2) Bahwa objek tanah tersebut adalah pada awalnya berstatus tanah Negara
bekas konsesi NV. RCMA dan dikuasai oleh Negara berdasarkan UU No.
Tahun 1958 tersebut diatas adalah diatur didalam PP No. 2 Tahun 1959
wilayah RI.
Indonesia.
debirokratisasi.
dalam peta situasi No. 18/1998 yang menyatakan bahwa tanah seluas
terhadap areal Paya Bagas tersebut oleh karena dari rentang waktu 1947
sampai dengan tahun 1994 ditanam tanaman budidaya karet dan tahun
1973 sampai dengan tahun 1995 dikonversi menjadi tanaman sawit dan
Hak Guna Usaha atas nama PT. Perkebunan V (Persero) atas Tanah
Bedagei) dan sertifikat HGU No. 1 Tahun 1996 dan berakhir ditahun 2025
2) Dasar Tuntutan pada awalnya tanah seluas ±82 Ha digarap oleh karyawan
kebun Rambutan pada tahun 1966 pada daerah HIATEN atau daerah
3) Penyelesaian:
1) Areal seluas ±82 Ha di afd III Kebun Rambutan pada saat itu adalah
lain dan saat ini telah memiliki alas hak yaitu HGU No. 1/Desa Paya
Bagas.
pemeriksaan lapangan oleh BPN Deli serdang, PTPN III, Camat Tebing
Rambutan.
ada.
4) Dari data yang ada Sdr. Ponimin dan sdr. Kasan bukan mewakili
surat Kepala Kantor BPN deli Serdang Kepada BPN Sumatera Utara
kepada Karsam (ayah suwarno) dan Sujarno hingga 2007, dan sekarang dipimpin
oleh Sdr. Suwarno menguasai dan mengusahai areal seluas ±82 Ha dengan
Bahwa pada tahun 2007 PTPN III melalui Gugatan Perdata Kepada
Melawan Hukum
Pengadilan Tinggi Medan dengan prodeo. Terhadap upaya hukum banding secara
menyatakan:
Pengadilan Tebing Tinggi Deli melakukan eksekusi atas peletakan sita jaminan
perlawanan atas peletakan sita jaminan areal Paya Bagas sebagaimana didasarkan
perlawanan yang dilakukan oleh Suwarno Cs, Pengadilan Tebing Tinggi Deli
seluruhnya.
berkekuatan hukum tetap. Pada tahun 2009, PTPN III melakukan Permohonan
Tebing Tinggi Deli. Tanggal 6 April 2010 Pukul 13.10 Pengadilan Tebing Tinggi
Deli telah membacakan Surat Penetapan eksekusi Pengadilan Tebing Tinggi Deli
No. 08/EKS/2009/PDT.G/PN.TTD.
Tinggi Deli memutus dengan amar putusan : Gugatan Tidak Dapat Diterima.
Selanjutnya tidak ada upaya hukum dilakukan oleh Suwarno dengan demikian
putusan Pengadilan Tebing Tinggi Deli telah berkekuatan hukum tetap (Inkracht
van Gewijsde).
dengan pendekatan kepada para penggarap dengan memberikan tali asih berupa
uang pindah dapat diterima penggarap setelah proses eksekusi Pengadilan Tebing
semula, hubungan baik sosial maupun hubungan hukum satu sama lainnya. 174
produk resmi dari pejabat yang berwenang pada saat itu. Pengaturan Dasar Pokok-
undang ini tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dari ketentuan
sesuai Kepres No. 55 Tahun 1980 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Penyelenggaraan Landreform.
dari areal perkebunan PT. Perkebunan IX tanah seluas 9.058 Hektare terletak di
tersebar dalam 32 Kebun dan telah digarap, diduduki rakyat. Tanah tersebut
dinyatakan kembali menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dan
174
Teori penyelesaian sengketa dispute settlement of theory dalam Salim Said HS, Penerapan
Teori Hukum Pada Penelitian Tesis Dan Desertasi, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2013, hal 135
Gubernur Kepala Daerah Up. Kepala Direktorat Agraria Sumatera Utara untuk : 1.
Agraria. 175
Perkebunan
Gubernur /Ketua Panitia Landreform Propinsi Sumatera Utara dalam surat No.
garapan rakyat dalam areal perkebunan. 176 Pada pokoknya memberitahukan agar
175
Salinan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. Sk.44/DJA/1981, Ditetapkan di
Jakarta, pada tanggal, 16 April 1981 ,A.n. Menteri Dalam Negeri, Direktur Jenderal Agraria, ttd.
Daryono.
176
Surat Guberur/Ketua Panitia Landreform Sumatera Utara No. 961/LR/I/69 tanggal 26
September 1969, Perihal: Pedoman Pengosongan tanah garapan rakyat dalam areal Perkebunan,
ditujukan kepada : 1. Bupati/Ketua Panitia Landreform Kabupaten Langkat di Binjai, 2. Bupati
/Ketua Panitia Landreform Kabupaten Deli Serdang di Medan, 3. Bupati/Ketua Paniatia
Landreform Kabupaten Simalingun di P. Siantara, 4. Bupati/Ketua Panitia Landreform Kabupaten
Asahan di Kisaran, 5. Bupati/Ketua Panitia Landreform Kabupaten Labuhan Batu di Rantau
Prapat, dalam lampiran surat Ilham Taufik, Kelompok Tani Sukses Mandiri, Kuasa 197 KK Warga
Desa Sei Putih, Berkas surat tanggal 25 Januari 2005, mohon pengembalian tanah seluas 345,56 ha
di Desa Sei Putih, yang dikuasai PTPN III Kebun Sei Putih, Kecamatan Galang, Kabupaten Deli
Serdang, Propinsi Sumatera Utara, ditujukan kepada Kepala BPN Pusat di Jakarta
tanah garapan itu perlu dikosongkan dari garapan rakyat untuk dapat
Mei 1963;
Sumatera Utara dan segala fasilitas yang ditentukan sudah diterima, maka
didalam areal PNP-V Kebun Sei Putih (Ujung Jawi). Rapat dihadiri oleh:
ganti rugi tanaman 50% dari hasil cheking team tahun 1970.
kerugian tanaman 100% dari hasil chekking team tahun 1970, didahului
Tanah dan bangunan milik Negara yang tidak dimanfaatkan untuk kepentingan
177
Surat Musda Kecamatan Galang, No. 2100/3/M. Tanggal 26 Desember 1972, Ichwal :
Hasil rapat dinas anggal 26-12-1972, ditujukan kepada Direksi PNP-V Seikarangdalam lampiran
surat Ilham Taufik, Kelompok Tani Sukses Mandiri, Kuasa 197 KK Warga Desa Sei Putih, Berkas
surat tanggal 25 Januari 2005, mohon pengembalian tanah seluas 345,56 ha di Desa Sei Putih,
yang dikuasai PTPN III Kebun Sei Putih, Kecamatan Galang, Kabupaten Deli Serdang, Propinsi
Sumatera Utara, ditujukan kepada Kepala BPN Pusat di Jakarta
,
Yang dimaksud dengan “penggarap” adalah petani, yang secara sah mengerjakan
atau mengusahakan sendiri secara aktif tanah yang bukan miliknya, dengan
Berpedoman kepada PP No. 224 Tahun 1961, Pasal 8 ayat 4 tersebut penggarapan
di areal HGU PTPN III, penggarap berpeluang untuk mendapatkan tanah yang
di Kebun Sei Silau PTPN III, dapat di identifikasi melalui ketentuan tanah
Terlantar dan PP No. 38 Tahun 1998, sepanjang tanah garapan berada di dalam
areal HGU. Sengketa tanah garapan di Kebun Sei Silau PTPN III tanah tidak
berada di dalam areal HGU. Hanya saja tanah sengketa berada didalam SK Hak
dengan demikian tidak dapat dikualifikasi sebagai tanah terlantar, PTPN III dalam
hal ini berusaha untuk memasukkan areal yang selama ini masuk dalam SK Hak
Tanah Kebun Sei Silau dimohonkan menjadi HGU pada saat pengurusan
perpanjangan HGU Kebun Sei Silau yang berakhir masa berlakunya tahun 2004.
kepada Negara sebagai yang dimaksud dalam Diktum Keempat huruf A UUPA
Diktum Keempat UUPA No. 5 Tahun 1960 huruf A; Hak-hak dan wewenang atas
bumi air dari Swapraja atau bekas swapraja yang masih ada pada waktu itu mulai
Konversi Hak-Hak Barat Menjadi Hak guna Bangunan Dan Hak Guna Usaha
Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat
Mengenai Permohonan Dan Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-
Hak Barat
penggarap. PTPN akan kehilangan sebagian tanahnya dari HGU karena alasan
Objek Pertiban tanah terlantar meliputi tanah yang sudah diberikan hak oleh
Negara berupa Hak Milik, HGU, HGB, Hak pakai dan Hak Pengelolaan, atau
dimanfaatkan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian hak atas
dasar penguasaannya.
PP No. 38 Tahun 1998, kriteria tanah tanah yang di golongkan sebagai tanah
terlantar yaitu :
1. Tanah Hak Milik, HGU, HGB atau Hak Pakai dapat dinyatakan sebagai
oleh pemegang haknya sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan haknya
2. Tanah HGU tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan
UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan Pasal 1 butir 13; Ganti rugi Hak
Atas Tanah adalah penggantian atas pelepasan atau penyerahan hak atas tanah
berikut bangunan, tanaman, dan/atau benda lainya yang terdapat di atas tanah
tersebut.
hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan/atau benda lain yang terdapat di atas
tanah tersebut karena tanah tersebut digunakan secara tidak langsung untuk
tegangan tinggi, tanah yang diambil harus dilepas dengan ganti rugi. PT.PLN
Terhadap tanah yang tidak digunakan bangunan tetapi menjadi lintasan kabel
listrik bertegangan tinggi, diberikan kompensasi, ketentuan ini sesuai Pasal 30 dan
Suguh hati proses penyelesaian sengketa di PTPN III tidak memberikan ganti rugi
kebutuhan tanah dan optimalisasi lahan, maka PT. Perkebunan Nusantara III
Sugu Hati;
Bahwa untuk proses percepatan pemberian Sugu Hati kepada para penggarap
penyelesaian terhadap pelaksanaan sugu hati yang timbul di areal Kebun/ Unit PT.
Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Sugu Hati Bagi
di PTPN III tidak untuk kepentingan umum. Alasan PTPN III pemberian suguh
hati merupakan kompensasi terhadap ganti rugi tanaman dan bangunan diatas
tanah areal hak guna usaha, tidak ganti rugi terhadap tanah.
penguasaan tanah dan pengusahaannya (right dan use of right-nya) sehingga right
and use of right akan mendudukkan kembali letak hak atas tanah secara tepat. 178
Hak Menguasai Negara (HMN) sebagai salah satu hak atas tanah yang berdimensi
publik. Subjeknya adalah Negara maka negaratetap harus diletakkan diatas dan
mengayomi semua kegiatan atas tanah baik yang dilakukan pemerintah, atau
pemerintah bersama rakyat dan rakyat dengan rakyat. Hak menguasai Negara
dengan rakyat yang tidak mempunyai uang. Kewenangan Negara memang tetap
harus kuat dalam membuat aturan dan menjalankan aturan serta mengawasi semua
perbuatan hukum di atas tanah. HMN yang benar untuk dimaknai mengayomi
dan tindakan dari para pejabat penyelenggara negara dalam hal ini eksekutif,
legislatif dan yudikatif. Tidak menentukan sikap dan tindakan sendiri-sendiri bila
178
Muhammad Yamin Lubis, UUPA & Hak Rakyat, harian Waspada, 24 September 2014, hal
B7
masalah nasional, masalah bangsa dan Negara, karena masalah tanah terjadi di
Pusat sangat dominan ikut berperan. Eksistensi bentuk badan usaha PTPN berada
didalam kewenangan Kementerian BUMN, maka untuk pelepasan asset dalam hal
kekuasaan pemberian izin dan hak membuat peraturan. Negara memiliki tugas dan
kewajiban terhadap tanah. Tugas dan kewajiban terhadap tanah tersebut adalah
sebagai berikut :
1. Mengamankan milik privat dan badan usaha jangan dialihkan kepihak lain;
hak atas tanah, karena bagi setiap hak atas tanah ditentukan syarat-syarat
dalam UUPA, Pasal 21 ayat (1),(2) dan (4) dan Peraturan Pemerintah No.
38 Tahun 1963. Dalam rangka Hak Bangsa dan Hak Menguasai dari
Negara, tidak ada tanah yang merupakan “res nullius”, yang setiap orang
tanpa ada landasan haknya yang diberikan oleh Negara atau tanpa ijin
2. Untuk peralihan hak atas tanah menjadi kewajiban Negara harus sesuai
yang tidak atau belum maupun yang sudah dihaki dengan hak-hak
misalnya tanah Hak Milik, tanah Hak Guna Usaha dan lain-lainnya. Dalam
Selajutnya pada Pasal 11, menegaskan tidak ada perbedaan, dalam arti
lemah 179. Diadakan pengawasan terhadap pemindahan hak milik atas tanah
179
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia . 2008, Penerbit Djambatan, Jakarta, hlm 274-
275
Negara Indonesia tunggal, atau badan hukum yang disebut di atas (Pasal
dilindungi hukum, bukan saja terhadap gangguan dari sesama warga, tetapi
Perkebunan.
Hak Menguasai dari Negara tidak dapat dipindahkan kepada pihak lain,
dari Pasal 2, bahwa wewenang dalam bidang agraria dapat menjadi sumber
keuntungan saja. Hal ini tentunya harus diselaraskan dengan terbatasnya tanah
kemungkinan berhasilnya, harga yang sudah tinggi dan keterbatasan modal untuk
permasalahan tanah garapan dan yang menjadi dilematis adalah tidak jelas siapa
yang berhak untuk menguasai dengan kata lain menjadi area abu-abu sepanjang
belum ada penyelesaian sengketa antara perusahaan PTPN III dengan para
maka yang dilakukan PTPN III untuk memastikan lahannya benar-benar terjaga
180
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia . 2008, Penerbit Djambatan, Jakarta,
hlm 274-275
diselesaikan. Penegakan hukum harus dilakukan pada saat yang sama, penerapan
sanksi tegas bagi yang melanggar hukum perlu dijalankan secara benar dan adil.
tanah di PTPN, sehingga tanah-tanah yang di garap oleh masyarakat dapat diambil
sikap kembali menjadi hak guna usaha perkebunan atau dikeluarkan sehingga
Tanah perkebunan PTPN III yang di garap masyarakat arealnya sangat luas dan
Diselesaikan 0 Ha 2.672,9000 Ha
PTPN III
181
Lihat data permasalahan tanah garapan di PTPN III tahun 2013, sumber Kantor Direksi,
Bagian Hukum Dan Agraria
modal usahanya berasal dari negara, tanahnya merupakan tanah negara. Sehingga
yang terjadi di beberapa daerah di perkebunan PTPN III, dimana luas tanah yang
masyarakat masuk keareal kebun mengarap di areal hak guna usaha perkebunan.
Sesungguhnya areal yang tidak diusahai perkebunan itu merupakan lahan sebagai
tampungan air dan ada yang merupakan lahan perengan berupa tebing sehinggai
secara kultur teknis tidak ditanami. Kondisi areal ini sudah digarap masyarakat
PTPN akan kehilangan sebagian tanahnya dari HGU karena alasan diterlantarkan
182
Wawancara dengan karyawan PTPN III, dalam pandangan sengketa tanah garapan diareal
HGU dan usaha penyelesaianya, 2015
183
Data permasalahan tanah garapan di PTPN III tahun 2013, Kantor Direksi PTPN III,
Bagian Hukum Dan Agraria
diberikan hak oleh Negara, yaitu berupa Hak Milik, HGU, HGB, Hak pakai dan
Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak
dipergunakan atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan
1. Tanah Hak Milik, HGU, HGB atau Hak Pakai, dapat dinyatakan sebagai
oleh pemegang haknya sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan haknya
2. Tanah HGU tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan
Tabel dibawah ini menunjukkan beberapa areal perkebunan PTPN III yang
BERMASALAH
Hukum
Hukum
Hukum
tanaman keras
Utara KEJATISU
Jumlah 3.759,58
sengketa dengan cara Non-litigasi dalam praktek semakin diminati dan bahkan
yang terlibat dalam proses mediasi dan peran masing-masing, proses mediasi,
kepentingan yang berbeda dengan pihak lainnya. Ini berarti dalam setiap sengketa
Pihak-pihak inilah yang menjadi para pihak dalam suatu proses mediasi.
Para pihak yang terlibat dalam proses mediasi adalah para pihak yang
terlibat dalam suatu sengketa bersama dengan pihak ketiga yang netral (mediator).
Para pihak dalam suatu sengketa adalah orang-orang atau badan hukum lainnya
yang oleh hukum dinyatakan sebagai subyek hukum yang merupakan penyandang
hak dan kewajiban menurut hukum. Para pihak yang terlibat dalam proses
mediasi, sebagaimana lazimnya para pihak yang terlibat dalam suatu sengketa
berhadapan dalam suatu sengketa, pada umumnya sering disebut sebagai Pihak
Dalam praktek jumlah pihak yang terlibat dalam mediasi sangat penting,
karena apabila jumlah pihak yang terlibat dalam suatu sengketa semakin
disetujui bersama akan semakin sulit. Oleh karena itu, kualitas dan gaya mediasi
juga sangat dipengaruhi oleh jumlah peserta dari masing-masing pihak yang
walaupun tidak selalu yang paling mudah, adalah antara dua individu.
berbeda-beda tergantung pada apakah mereka yang terlibat dalam perundingan itu
bertindak atas nama mereka sendiri ataukah bertindak sebagai wakil, misalnya
Kelompok Tani bertindak untuk dan atas nama anggotanya. Secara umum mereka
kurang bebas karena peran mereka hanyalah sebagai wakil dari masing-masing
perunding yang bertindak sebagai wakil para pihak tergantung pada seberapa
Ada keuntungan dan kerugian untuk kedua peran tersebut. Peran langsung,
merupakan posisi terbuka tanpa adanya kesempatan untuk mundur. Peran sebagai
kembali untuk arah baru, dan menawarkan kemungkinan untuk memecahkan jalan
buntu dengan mengalihkan negosiasi ke arena baru yang lebih tinggi. Sebaliknya,
tindakan fatal yang dapat merugikan pihak pemberi kuasa terbuka lebar, sehingga
memberikan presentasi suatu outline singkat tentang masalah yang terjadi kepada
mediator secara bergantian. Tujuan dari presentasi ini adalah untuk memberikan
kesempatan kepada para pihak untuk didengar sejak dini, dan juga memberi
Salah satu pihak yang terlibat dalam mediasi adalah pihak ketiga yang
netral yaitu Mediator. Biasanya mediator adalah orang yang ahli dalam bidang
pendekatan yang difokuskan adalah pada hak. Mediator adalah pihak ketiga yang
bersifat netral dan tidak memihak yang berfungsi membantu para pihak dalam
Sebagai “penengah” atau pihak ketiga yang netral dalam proses mediasi,
membingkai persoalan yang ada agar menjadi masalah yang perlu dihadapi secara
pelbagai opsi pilihan penyelesaian sengketa yang dapat diterima oleh kedua belah
sengketa dapat diselesaikan, juga para pihak yang terlibat benar-benar merasa
puas karena kepentingan mereka terlindungi serta hubungan baik di antara mereka
tetap berlanjut. Peran utama yang mesti dijalankan oleh seorang mediator adalah
mencapai titik temu yang dapat dijadikan sebagai dasar pemecahan masalah.
menguraikan tentang peran (role) atau fungsi (functions) mediator yaitu dengan
kepentingan umum.
Mediator akan sering bertemu dengan para pihak secara pribadi dalam
pertemuan yang disebut caucus yaitu pertemuan mediator dengan salah satu pihak
tanpa dihadiri oleh pihak lainnya, di mana mediator akan lebih leluasa
memperoleh informasi dari pihak yang tidak bersedia saling membagi informasi.
Dengan pertemuan terpisah (caucus) ini, mediator sebagai wadah informasi antara
kepadanya, atau dalam hal mediator memang diminta oleh pihak pemberi
informasi baru bagi para pihak, juga dapat membantu para pihak dalam
menganalisa sengketa guna menemukan cara-cara yang dapat diterima oleh kedua
masing pihak, dan mengajarkan para pihak bagaimana terlibat dalam negosiasi
sebagai penyelenggara dan pemimpin diskusi saja, tetapi juga berperan membantu
Howard Raiffa. 184 melihat peran mediator sebagai sebuah garis rentang,
yakni dari sisi peran yang terlemah hingga sisi peran yang terkuat. Sisi peran
berikut:
1. Penyelenggara pertemuan.
5. Pendorong pihak atau peserta perundingan yang kurang atau segan untuk
mengungkapkan pandangannya.
pihak.
masalah tersebut.
1. mendesak para juru runding agar setuju atau berkeinginan untuk berbicara.
perundingan.
prosedur kerja, keterbatasan politis, dan kendala usaha dari para pihak.
dan merumuskan usulan pihak yang satu kepada pihak yang lainnya
pengertian secara jelas kepada salah satu pihak bahwa sasarannya tidak
pihak tentang proses perundingan adalah untuk mencegah sikap salah satu atau
para pihak yang sangat kompetitif. Proses perundingan yang sangat kompetitif
perundingan. Hal ini dapat dilakukan oleh mediator dengan menyarankan kepada
para pihak untuk mengkaji kepentingan para pihak secara bersama-sama dan
masalah selain tentang proses perundingan itu sendiri. Setelah secara aktif
terlalu aktif dalam hal substansi mengandung resiko, yaitu bahwa hasil akhir atau
kesepakatan dapat dipandang oleh para pihak atau oleh salah satu pihak bukan
para pihak atau salah satu pihak tidak sepenuh hati menerima hasil akhir atau
1. Membangun kepercayaan.
2. Menganalisis konflik.
3. Mengumpulkan Informasi.
Negotiated Agreement)
sengketa dilakukan melalui proses litigasi yang cenderung memakan waktu lama,
besar. Hal ini menyebabkan banyak penasihat hukum yang enggan menganjurkan
yaitu:
188 Opcit
tepat.
kliennya menempuh mediasi, tetapi juga selama proses mediasi berlangsung. Pada
Lembaga mediasi sebagai suatu proses yang tumbuh dan berkembang dari
dan karena kebutuhan praktek penyelesaian sengketa baik antar negara, kelompok,
maupun antar individu, merupakan faktor utama yang menjadikan mediasi bersifat
fleksibel dan mempunyai proses atau mekanisme atau tahapan yang berbeda-beda
satu sama lain yang selalu disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi para pihak
yang bersengketa. Oleh karena itu, dalam penggunaan mekanisme atau tahapan
proses mediasi, belum terdapat keseragaman dan pedoman yang baku di antara
menjadi mediator.
2. memahami masalah-masalah.
4. mencapai kesepakatan.
5. melaksanakan kesepakatan.
4. pengumpulan informasi.
8. kesepakatan.
9. penutupan.
189 Ibid
190 Opcit
191 https://tommirrosandy.wordpress.com/2011/03/16/mediasi/
Dari uraian tentang mediasi tersebut di atas, dapat dimengerti bahwa pada
dasarnya mediasi adalah negosiasi yang melibatkan pihak ketiga yang memiliki
keahlian mengenai prosedur mediasi yang efektif dan dapat membantu dalam
efektif dalam proses tawar menawar. Dengan perkataan lain, Mediasi dan
negosiasi bukan merupakan dua proses yang terpisah, namun lebih tepat
dikemukakan bahwa mediasi adalah negosiasi yang difasilitasi oleh pihak ketiga
dengan perkataan bila tidak ada negosiasi maka tidak ada mediasi.
dari pertemuan pertama dengan para pihak sampai diraihnya hasil akhir memiliki
tujuan dalam batasan mensukseskan proses negosiasi di antara para pihak. Sebagai
para pihak diminta memilih opsi yang disukai untuk penyelesaian sengketa.
Beberapa pilihan yang tersedia disisihkan dari awal karena tidak layak atau tidak
memungkinkan. Opsi yang hanya menguntungkan satu pihak saja juga harus
disisihkan. Mediator bersama para pihak yang bersengketa harus mencari opsi
yang dapat diterima kedua belah pihak. Tahapan ini biasanya disebut tahap
kesepakatan akhir yang dapat memuaskan bagi para pihak yang bersengketa,
yaitu:
regulasi, kejadian yang sudah-sudah, pendapat ahli, dan lain-lain. Mungkin para
pihak juga perlu membuat trade-off, konsesi dan kompromi. Pada tahapan ini,
proses komunikasi banyak terjadi antara para pihak yang bersengketa. Namun
antara para pihak bersengketa, agar mencapai titik temu yang dapat dijadikan
sebagai pangkal tolak pemecahan masalah. Setiap intervensi dari mediator mulai
bertemu dengan para pihak secara pribadi. Dalam pertemuan ini yang disebut
caucus, mediator biasanya dapat memperolah informasi dari pihak yang tidak
bersedia saling membagi informasi. Sebagai wadah informasi antara para pihak,
Mediator juga memberikan informasi baru bagi para pihak atau sebaliknya
membantu para pihak dalam menemukan cara-cara yang dapat diterima oleh
penilaian yang netral dari posisi masing-masing pihak. Mereka juga dapat
perundingan (negosiasi) saja, tetapi juga berperan membantu para pihak untuk
bersama. Dalam hal ini seorang mediator juga harus memiliki kemampuan
proses negosiasi.
informasi satu sama lain, dan untuk menempuh negosiasi atau perundingan yang
para juru runding bahwa posisinya akan lemah jika pihak lain tidak mengambil
sikap yang sama, yakni bersifat kooperatif juga. Padahal upaya memperbaiki
komunikasi di antara para pihak dan upaya memperbaiki sikap para pihak satu
horizontal.
Asahan dilaksanakan 27 Nopember 2014, yang datang dalam acara mediasi ini
adalah :
2) Kelompok Tani Sei Silau (Damai Jaya Titi Gambang Sei Silau Timur,
1) Kelompok Tani harus menjaga asset PTPN III agar jangan ada
2) PTPN III harus cepat segera proses ke BPN pengajuan haknya (HGU),
4) Mediator akan melihat lokasi yang menjadi tuntutan kelompok Tani dan
Dadap.
3) Kepala Desa
1998 sudah menuntut PTPN III, alasannya adalah bahwa orang tua Waijan
Cs. Membuka hutan dari areal konsesi perkebunan Belanda pada tahun
digarap tersebut berada di dalam hak guna usaha (HGU) PTPN III Kebun
sampai saat ini proses perpanjangan yang dimohonkan PTPN III Kebun
Sei Dadap belum terbit. Masyarakat dalam mediasi ini berharap BPN
kesimpulannya.
1) Kelompok tani mohon data luasan Kebun Sei Dadap dari BPN dan
HGU.
Luas seluruh areal HGU Kebun Bandar Betsy adalah 6038 Ha yang
didirikan pada Tahun 1918 dengan komodity tanaman perkebunan NenasSisal dan
Pisang Sisal. Nenas Sisal ditanam diareal datar sementara pisang sisal ditanam di
kontrak (veda) yang didatangkan dari Pulau Jawa sebagai buruh kasar. Penduduk
setempat banyak yang diperkejakan sebagai tenaga yang tidak terikat kontrak
api(muntik) sebagai transportasi pembawa daun nenas sisal dan batang pisang
sisal dari kebun ke pabrik pengolahan sisal di Kebun Laras.Pada tahun 1957
Negara Indonesia dengan nama Antan Sumut-I Kebun Bandar Betsy. Seiring
perjalanan waktu nama perkebunan berubah menjadi PPN Karet IV, PNP-IV,
Perkebunan menjadi Antan Sumut-I Kebun Bandar Betsy (1950-1957), PPN Karet
nama Afdeling yang terdiri dari Afdeling : 8, 9, 31, 32 , 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39,
40, dan 41 dengan luas seluruh areal perkebunan sebesar 6.038 Ha.
Tanggal 16 Agustus 1989 telah diterbitkan Sertifikat HGU No. 1 sejak saat
itu mulai dengan nama perkebunan sebagai PTP. IV Gunung Pamela Kebun
Bandar Betsy (Agutus 1989- Juni 1997), Merger PTP. III, PTP. IV, dan PTP.V
(Juli 1997-Juli 1998), sampai dengan sekarang PTPN. III (Persero) Medan Kebun
yang terdiri dari Afdeling : I, II, III, IV, V, VI, VII, dan VIII dengan luas seluruh
Pada masa ini areal perkebunan yang digarap oleh maysarakat relatif tidak
ada, namun penduduk setempat yang bekerja sebagai penebang pohon kayu hutan
oleh pihak perkebunan diberi izin untuk tinggal sementara dibekas penumbangan
tanaman pisang sisal lagi yang areal tanamannya dilahan perengan dan pandau
(areal yang ditelantarkan), namun di areal datar tanaman nenas sisal masih tetap
Pada masa ini Negara Republik Indonesia yang baru dilanda krisis
(pakaian yang ada terbuat dari goni dan karung tepung gandum), banyak orang
mati kelaparan karena tidak ada makanan Negara dalam keadaan darurat.
“Berdikari banting stir disegala bidang”. Dan untuk menanggulangi krisis pangan
diusahai oleh pemiliknya untuk diusahai oleh rakyat guna memperoleh pangan.
terkendali, areal bekas tumbangan hutan di Afd. 8, 9, 31, 35, 36, 37, 39, 40, dan
pendataan dan registarsi tanah-tanah garapan didaftarkan dan di buat kartu yang
maupun karyawan Kebun Bandar Betsy itu semakin tambah meluas, ditambah
tahun 1965 Organisasi PKI turut campur didalamnya dengan menggalang petani
penggarap maupun karyawan untuk masuk ke Ormas PKI yaitu BTI dan Sarbupri
dan menjanjikan akan memperjuangkan areal garapan agar menjadi hak milik
masing-masing penggarap.
didominasi oleh kelompok BTI dan Sarbupri yang dengan gigih menuntut
pelepasan areal garapan dari Perkebunan untuk dijadikan hak milik penggarap.
semakin marak dan atas tuntutan masyarakat penggarap, maka Badan Pekerja
Surat Keputusan No. 2/II/LR/65/PP tgl 31 Maret 1965, yang isinya pada
Bandar Betsy PPN Karet IV yang berluas 417 Ha. Dengan dasar pertimbangan
untuk memikirkan kepentingan kedua belah pihak, maka perlu diambil keputusan
tanah ± 111 Ha. Dengan dasar lembah sebagai batas dikembalikan kepada
1965 dan No. 2/II/LR/65/PP tgl 31 Maret 1965 tidak dapat terlaksana akibat
Bandar Betsy Letda Sujono oleh penggarap PKI pada tgl 14 Mei 1965 di areal
dengan menerbitkan Surat Landreform Pusat No. 27/PLP/1966 tgl. 3 April 1966
berdasarkan pasal (1) ayat (d) PP. No. 224 Tahun 1961, dan mengajukan
yang bersangkutan.
27/PLP/1966 tgl 3 April 1966, maka Surat Keputusan Landreform dari Tkt. II
2/II/LR/65/PP tgl 31 Maret 1965 tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. Seiring
dengan terbitnya surat tanggapan dari Panitia Landreform Tingkat Pusat tersebut
didalam isi Surat Keputusan Landreform No. 4/II/LR/65/BP tgl.2 Maret 1965 dan
No. 2/II/LR/54/PP tgl.31 Maret 1965. Setelah berakhir masa G30S/PKI (Tahun
Bandar Betsy No. 1 Tahun 1986, seluruh permasalahan areal garapan di Kebun
Perkebunan serta pemberian ganti rugi terhadap para penggarap yang antara lain
adalah sbb:
1. Areal Afd. I (dahulunya disebut Afd. 31, Afd. 8, Afd. 9) dikeluarkan dari
2. Areal Afd. IV (dahulunya disebut Afd. 39 dan Afd. 40) dikeluarkan dari
April 1968.
1968.
5. Areal Afd, V (sekarang Afd. 35) dikeluarkan dari HGU Perkebunan seluas
tersebut diatas, dan Kebijakan-kebijakan lain yang telah ditempuh oleh Pihak
penggarap luar yang tidak mau menetap di areal penampungan) sebagai solusi
4/II/10/LR/65/BP tgl 2 Maret 1965 dan No: 2/II/10/LR/65/PP tgl 31 Maret 1965
diselesaikan dengan baik, sehingga pemerintah sudah dapat dengan tegas sesuai
hukum dan peraturan agraria menetapkan HGU perkebunan Bandar Betsy dengan
menerbitkan Sertifikat HGU No: 1 tgl 16 Agustus 1989 sebagai dasar hukum yang
sah dan legal bagi perkebunan Bandar Betsy atas areal yang boleh diusahainya,
Betsy s/d sekarang PTPN III Kebun Bandar Betsy (Agus 1989-2009).
areal HGU kebun Bandar Betsy sebagai hak milik mereka.Kelompok Tani Peduli
menguasai dan menduduki areal Afd 1 HGU kebun Bandar Betsy seluas =74 Ha.
dan mengklaim areal Afd 1 seluas = 300 Ha sebagai milik KTPK. Areal yang
diduduki kelompok KTPK seluas =74 Ha dapat diambil alih kembali oleh pihak
kebun Bandar Betsy pada tanggal 24 Mei 2002. Kelompok Tani Bandar Masilam
(Ketabamas) diketahui oleh Suparno sejak tahun 2000 menguasai dan menduduki
areal Afd III dan Afd IV HGU kebun bandar Betsy seluas = 215 Ha dan
mengklaim areal Afd IV seluas = 978 Ha sebagai milik Ketabamas. Areal yang
sudah diduduki kelompok Ketabamas seluas = 215 Ha diambil alih oleh pihak
(Sukimin) sejak tahun 2000 menguasai dan menduduki areal Afd VI HGU Kebun
Bandar Betsy seluas = 129 Ha sudah selesai dikuasai kembali oleh Kebun Bandar
Betsy dengan ganti rugi (suguh hati). Juga Kelompok Kesatuan Organisasi
tahun 2000 menguasai dan menduduki areal Afd. VI dan VIII seluas = 329 Ha
diambil alih oleh pihak Kebun Bandar Betsy seluas = 148,95 Ha pada tanggal 31
Juli 2003 dan tanggal 1 Agustus 2003, sehingga areal yang belum dapat diambil
Perkebunan bernama Antan Sumut-I Kebun Bandar Betsy (1950-1957) yang ada
saat itu kurang mendapat perhatian masyarakat dimana hanya sebagian kecil
status pinjam pakai, pada tahun 1968 mulai beberapa orang masyarakat yang
menanami lahan tersebut dengan kelapa sawit selain padi dan palawija. Dan pada
tahun 1999 areal tersebut sudah seluruhnya ditanami tanaman kelapa sawit
Melihat dari sejarah dan surat surat yang telah diterbitkan terkait
permasalahan tanah Garapan di Areal HGU Perkebunan Bandar Betsy maka dapat
ditelaah bahwa proses penyelesaian sengketa dengan sistem Non Litigasi (suguh
hati) bisa di terima penggarap. Namun tetap saja proses tersebut dapat dikatakan
gagal oleh beberapa kendala yang merupakan kunci dari semua permasalahan
yang ada, mulai dari ketidak pastian perhitungan luas areal garapan masyarakat
yang mana dari luas 329 Ha pihak penggarap mengklaim dengan nilai yang cukup
besar yaitu 943 Ha. Penyelesaian sengketa yang terus larut dan kurangnya
Garapan menjadi semakin rumit dan memakan biaya besar dengan hasil yang
tidak seberapa serta ketidak sesuaian dari para pengisi Tim Tim pencari fakta
penyelesaian sengketa garapan dimana ke netralan dan tujuan nya masih dapat
2009).
cara non-ligasi dengan mediasi dari Tim Tanah Propinsi Sumatera Utara dan
menyelesaikan tugasnya.
nasional dan sengketa tanah terjadi pada PTPN yang lain maka perlu
kepercayaan pada Tim Peneliti Penggarap, serta tidak adanya laporan Tim
kemudian hari.
Dengan Kendala tersebut dapat pahami bahwa PTPN III belum bersedia
seluas 943 Ha, dengan alasaan dalam pertimbangan Pihak KOREKER telah
dari pihak Penggarap sesuai musyawarah dan kesepakatan kedua belah pihak,
namun PTPN III masih menunggu hasil penelitian Tim Penertiban Kabupaten
Bandar Betsy, yang dibentuk oleh Gubernur Sumatera Utara. Kamudian dari pada
kepercayaan salah satu Pihak bersengketa dan berat sebelah serta masih diragukan
Nusantara III melakukan penyelesaian sengketa tanah dengan bentuk suguh hati.
Suguh hati merupakan kompensasi terhadap nilai ganti rugi yang diberikan
PTPN-III kepada kelompok tani penggarap berdasarkan nilai yang ditetapkan oleh
lembaga penilai.
yang dilakukan oleh PTPN III sebagai ikhtiar untuk melakukan suguh hati adalah
sebagai berikut :
penggarap dan perusahaan PTPN III, oleh Tim Mediasi di anjurkan untuk
garapannya.
4) Tindak lanjut dari rekomendasi Pemda maka Direksi PTPN III membentuk
timbulnya permasalahan.
permasalahan tersebut.
tindaklanjut.
Bentuk suguh hati menurut PTPN III adalah ganti rugi yang manusiawi,
ganti rugi yang bersifat harmoni, menghargai harkat dan martabat manusia.
Internalisasi terhadap pandangan ganti rugi ini bagi PTPN III, sudah jauh-jauh
Nusantara III melakukan penyelesaian sengketa tanah dengan bentuk suguh hati.
pada areal garapan di PTPN-III yang dilaksanakan melalui jalur litigasi dan non-
dipandang lebih efektif dan manusiawi serta memperbaiki hubungan sosial dengan
masyarakat.
Hati Terhadap Areal Garapan Kebun/ Unit PT. Perkebunan Nusantara III
(Persero).
Kebun/ Unit PT. Perkebunan Nusantara III, perlu menetapkan Keputusan Direksi
PT. Perkebunan Nusantara III (Persero) tentang pelaksanaan suguh hati terhadap
Pertauran yang menjadi acuan PTPN III sebagai landasan yuridis untuk
Kuasanya;
penyelesaian Garapan;
III Nomor 36 tanggal 11 Maret 1996 yang dibuat Notaris Harun Kamil,
SH berkedudukan di Jakarta;
Nusantara III Nomor 06 tanggal 12 Agustus 2008 yang dibuat oleh Notaris
Saham Nomor 08 tanggal 21 Maret 2012 yang dibuat oleh Notaris Syafnil
Nusantara III yang dibuat oleh Notaris Nanda Fauz Iwan, SH MKn
23. Akta Pernyataan Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara Selaku
24. Perjanjian Kerja Bersama antara Direksi PT. Perkebunan Nusantara III
1. Ketentuan Umum
b. Direksi adalah organ PTPN III yang bertanggung jawab atas pengelolaan
perusahaan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan yang terdiri dari
d. Tim Suguh Hati PTPN III adalah Karyawan PTPN III yang dipandang
cakap dan mampu untuk melaksanakan tugas sebagai tim yang dibentuk
PTPN III;
g. Areal adalah berkaitan dengan area yaitu bagian permukaan bumi yang
pemegang hak atas tanaman dan/atau benda lain yang terdapat diatas tanah
2. Ruang Lingkup
Ruang Lingkup Sugu Hati adalah kompensasi terhadap nilai ganti rugi
memuat:
d. letak tanah;
e. luas tanah;
f. jenis tanaman;
Direksi PTPN III yang beranggotakan karyawan PTPN III dan apabila diperlukan
keanggotaan Tim Sugu Hati dapat melibatkan instansi dari luar PTPN III.
lain yang berada di atas areal PTPN III yang akan diberikan sugu Hati;
sugu hati;
dari penilai.
tanah yang haknya akan dilepas atau diserahkan kepada Direktur atau
g. Membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah termasuk
tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang ada diatas tanah.
para pemilik atau perwakilannya yang sah atau pemegang hak atas tanah,
a. Dalam menentukan harga tanah pada saat proses sugu hati sebagaimana
7. Ketentuan Peralihan
Proses pelaksanaan Suguh hati yang sudah dan/ atau sedangg berlangsung
8. Penutup
dengan ketentuan segala sesuatunya akan diubah dan diatur kembali sebagaimana
Non-Litigasi (Ha)
Luas Areal
Litigasi
No. Nama Kebun yang
Penyerahan
(Ha)
Suguh hati
Bermasalah
Sukarela
1. - 2.229,56 - -
194
Keputusan Direksi PT. Perkebunan Nusantara III (Persero) No. 3.11/SKPTS/01/2015
Tanggal 31 Maret 2015 Tentang Pelaksanaan Suguh hati Terhadap Areal Garapan/Unit PT.
Perkebunan Nusantara III (Persero).
4. Kebun Rambutan 82 82 - -
apabila jalan musyawarah yang ditempuh dengan jalur non-litigasi sudah tidak
menemui kata sepakat, maka pihak penggarap atau pihak perkebunan mengajukan
1. Tidak percaya kepada Pengadilan dan tidak dapat menerima hasil putusan
Pengadilan
diputus oleh pengadilan dan telah berkekuatan hukum tetap secara hukum harus
dilaksanakan
sengketa tanah garapan melalui gugatan perdata mendapat kesulitan atau bahkan
tidak dapat dilaksanakan karena tanah yang menjadi objek sengketa gugatan telah
berdasarkan data, kelihatan upaya litigasi sangat tidak strategis untuk dijadikan
fundamen penyelesaian, tetapi jalur hukum adalah merupakan payung dari segala
strategi yang akan digunakan. Hal ini mengingat persoalan penggarapan sudah
telah merebak pada aspek sosial-politik, kebijakan pemerintah, value dan krisis
195
Badan Pertanahan Nasional RI Kantor Wilayah Propinsi Sumatera Utara, 2007, Teknis
Penanganan Masalah Pertanahan, disampaikan pada Seminar Nasional Hukum Pertanahan yang
dilaksanakan oleh Lembaga Citra Bangsa, Medan, hal 4
can. Point out to them how the nominal winner is often a real loser-in fees,
seorang yang menang berperkara pada hakekatnya adalah kalah perkara. Karena
Tinggi Deli, perkara ini di ajukan ke Pengadilan tahun 2008 dan baru memperoleh
keputusan yang telah berkekuatan hukum tetap tahun 2011. Proses Pengadilan ini
196
Bagian Hukum dan Agraria PTPN III, 2013,Putusan Pengadilan dalam perkara perdata di
Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Deli No. 26/Pdt.G/2007/PN.TTD. tanggal 30 Juni 2008 antara
PTPN III lawan Kelompok Penggarap Kampung Panguripan, Desa Paya Bagas (Rukiman. Dkk)
atas areal garapan seluas 82 Ha Kebun Rambutan di Afd-I dan III. Perkara sudah berkekuatan
hukum tetap dan dilaksanakan eksekusi.
197
Mc. Graw-Hill Publishing Comp. New York, 1989, h. 3. Dalam M. Yahya Harahap, 1997,
Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan Dan Penyelesaian Sengketa, Citra Aditya Bakti,
Bandung, hal 384
keputusan dari Mahkamah Agung. Proses gugatan oleh PTPN III di Pengadilan
penyerobotan areal yang dilakukan oleh penggarap di areal HGU PTPN III
Negeri Tebing Tinggi Deli telah melakukan peletakan sita jaminan No.:
26/Pdt/2008/PN-TTD.
3. Bahwa pada tanggal 30 Juni 2008 Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Deli
4. Bahwa atas Putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Deli tersebut pada
6. Bahwa pada tanggal 6 Agustus 2008 pihak Suwarno Dkk juga melakukan
2009 menyatakan Pelawan adalah Pelawan yang tidak beritikad baik dan
9. Bahwa PTPN III melalui Surat No.: 3.11/SK/12/2009 tanggal 30 Juni 2009
Tinggi Deli.
10. Bahwa tindak lanjut dari hal tersebut Pengadilan Negeri Tebing Tinggi
Pengadilan tersebut;
Bidang Sengketa Pertanahan BPN RI. Secara tegas PTPN III menolak
telah memiliki serifikat hak guna usaha No. 1 tanggal 14 Mei 1996
eksekusi.
bongkar rumah dan biaya pindah) agar kiranya masyarakat yang berada
tahun 2001 (pasca reformasi). Antara PTPN III Kebun Rambutan dan
dapat menerima ganti rugi dalam bentuk suguh hati dari PTPN III.
memberikan ganti rugi dalam bentuk suguh hati sebagian penggarap dapat
menerima, akan tetapi suguh hati yang di berikan kepada penggarap tidak tuntas
karena tidak semua penggarap bersedia menerim suguh hati, dari jumlah
penggarap dan luasan areal sengketa masih belum dapat diselesaikan seluruh
hal yaitu :
bahwa luas tanah garapan diareal Kebun jumlahnya 3985,17 Ha. Masih
Dari data ini menunjukkan masih besar jumlah permasalahan areal garapan
198
Data Kantor Direksi, Bagian Hukum Dan Agraria PTPN III (Persero) Tahun 2013-2014
sepanjang untuk kebutuhan hidup pada masa itu.Tuntutan agar tanah menjadi
Tahun 2006, No. 66/Pdt.G/2006/PN.LP oleh Kelompok Tani “Karya Tani” Sei
Putih Barat.
antara luasan di surat tanah HGU dengan penguasan dilapangan areal perkebunan
lebih luas sehingga perkebunan mengusahai areal tanah perkebunan melebihi dari
terhadap luasan areal, agar tanah sengketa yang dituntut dan digarap dikeluarkan
Hak Guna Usaha perkebunan yang sudah habis masa berlakunya dan
berhak lagi mengusahai dan areal yang menjadi garapan harus diserahkan kepada
para penggarap dengan kata lain penggarap berhak untuk memiliki tanah yang
mereka garap.
kakek mereka bekerja sebagai buruh kebun membuka hutan areal konsesi
oleh perkebunan.
garapan di areal perkebunan PTPN III yaitu dengan mengeluarkan penggarap dari
areal kebun. Alasan PTPN III areal perkebunan secara sah diusahai dengan dasar
hak guna usaha (HGU), pada masa awalnya merupakan tanah-tanah perusahaan
Apabila lahan diserahkan kepada para penggarap maka akan menjadi trend
kepada penggarap. Areal sengketa yang dituntut sudah diselesaikan dengan ganti
Tuntutan para penggarap pada sebagian areal HGU maka akibatnya proses
perpanjangan HGU yang dimohonkan PTPN III dari seluruh luasan areal HGU
yang telah berakhir masanya menjadi tertunda. Hal ini mengakibatkan kerugian
dan tidak nyaman serta tidak amannya menjalan usaha perkebunan dari pihak
PTPN III karena dilokasi objek tanah yang disengketakan terjadi perbuatan-
sengketa berlarut-larut tidak dapat selesai dan HGU tidak diterbitkan BPN karena
perbedaan.
areal HGU atau memberikan ganti rugi tanah dan tanaman serta bangunan yang
ada.
desa tidak dikelola dengan baik sehingga penyelesaian sengketa sulit diselesaian
untuk menetukan tempat dan posisi objek sengketa karena adanya perbedaan
sehingga rakyat penggarap dibela melebihi dari apa yang sebenarnya sudah di
inginkan kelompok penggarap. Hal ini bisa menjadi dead lock musyawarah atau
adalah :
penggarap ada yang hanya berupa foto copy yang tidak dapat
diteliti kebenarannya.
masyarakat.
perusahaan negara.
perusahaan.
BUMN.
garapan.
dengan cara :
musyawarah
adalah :
Negara
aset perkebunan.
penyelesaian, yaitu :
pelaksanaan dan pengawasannya. Dalam hal ini setiap perusahaan PTPN perlu
untuk dikonsolidasikan.
secara parsial, yakni hanya terbatas pada areal yang bersengketa antara lain
tuntutan/klaim, masalah hak ulayat dan masalah tuntutan lainya mengenai tanah
langkah yang dilakukan hampir sama dengan alternatif I, akan tetapi hanya saja
penyalahgunaan kekuasaan.
dengan pemberian Suguh Hati belum dapat menjadi solusi penyelesaian secara
tuntas, oleh karena pembentukan Tim sebagai cara menyelesaikan persoalan tanah
faktual ada masyarakat petani miskin yang perlu mendapatkan tanah dan
arealperkebunan.
konsesi, hak erfpacht yang diperoleh dari penguasa pada masa itu, masa
Republik Indonesia.
penguasaan tanahnya.
pembangunan. Sebagai contoh tentang terbitnya satu surat hak guna usaha
di PTPN III.
Untuk menentukan berapa luas bidang tanah HGU PTPN III Kebun Sei
Silau, maka terlebih dahulu harus dipahami mengenai tahapan atau fase
orang atau badan hukum tertentu (vide Pasal 31 UU No. 5 Tahun 1960
Kedua: Fase pendaftaran atas bidang tanah yang telah diberikan HGU-
1996).
Pasal 7
dapat dilihat dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) PP Nomor 40 Tahun 1996,
Guna Usaha belum terjadi dan status tanahnya masih tetap tanah
Silau, tanggal 20 Pebruari 1984 seluas 5.360 Ha, maka tidak dapat
disangkal bahwa PTPN III Kebun Sei Silau telah mendaftarkan bidang
diberikan kepada PTPN III Kebun Sei Silau adalah seluas ± 6.450 Ha,
Pasal 7 PP No. 40 Tahun 1996, maka penentuan luas bidang tanah HGU
yang dipunyai oleh PTPN III Kebun Sei Silau bukan didasarkan pada
1/Desa Sei Silau, tanggal 20 Pebruari 1984. Oleh karena Sertifikat HGU
Nomor: 1/Desa Sei Silau, tanggal 20 Pebruari 1984 merupakan surat tanda
bukti hak yang memiliki kekuatan pembuktian yang kuat, maka dengan
demikian bidang tanah HGU PTPN III Kebun Sei Silau yang sah menurut
kata sepakat maka PTPN memberikan ganti rugi kepada penggarap dalam
bentuk suguh hati. Suguh hati suatu bentuk pemberian berupa uang kepada
suguh hati.
negosiasi gagal, dengan kata lain tidak tercapai kata sepakat pihak
diajukan ke Pengadilan bagi yang merasa tidak puas atas penyelesaian non
litigasi, karena kesepakatan yang gagal tersebut. Contoh dalam hal ini
adalah penerbitan surat kuasa khusus dari PTPN III No. 3.00/SK/04/2007
Ketiga; Gugatan yang diajukan secara perdata oleh PTPN III Perkara No.
e. Jalur Khusus, dengan cara melalui Tim Ad Hoc BPN – Polri sesuai
pidana.
Suguh Hati dilegitimasi oleh PTPN III melalui Surat Keputusan Direksi
Presiden No. 71 Tahun 2012 tentang Suguh hati dan peraturan lainnya
yaitu UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara dan
jumlah penggarap yang tidak sesuai dengan data yang tertera dalam
diselesaikan.
B. Saran
dapat menjadi usaha pertanian dan perkebunan sesuai dengan tata ruang
mendata luas tanah garapan dan luas HGU PTPN, meneliti surat-surat
peruntukannya.
kepastian hukum.
mempunyai kekuatan hukum yang pasti, serta memaksa bagi para pihak.
7. BPN harus meninjau istilah “clear and cleant” terhadap syarat proses
perpanjangan HGU, karena sangat tidak efektif, dari fakta sengketa tanah
HGU akan ditunda sampai menunggu areal yang menjadi sengketa dapat
diselesaikan.
A. BUKU-BUKU
Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan
Semarang.
Abdul Ghofur Anshori & Sobirian Malian, 2008, Kumpulan Pidato Guru Besar
Kencana, Jakarta
Andrews Neil, 2010, The Three Paths of Justice, Sciencet Business, New York
Call M. Craig, 2010, Resolving Land Use and Impact Fee Dispute : Utah’s
Jakarta
Carl Joachim Friedrich, 2010, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Penerbit Nusa
Media, Bandung.
Donald Black, 1976, The Behavior Of Law, Academic Press, New York, London
Natherlands
Edy Ikhsan, 2005, Konflik Tanah Ulayat dan Pluralisme Hukum : Hilangnya
Jakarta
Eddy Pranyoto WS, 2006, Antinomi Norma Hukum Pembatalan Pemberian Hak
Atas Tanah Oleh Peradilan Tata Usaha Negara Dan Badan Pertanahan
Boston
Gillespie John, 2001, Exploring The Limits of The Judicialization of Urban Land
New York
California
Hart H.L.H, 2009, Law Liberty And Morality, Hukum, Kebebasan Dan Moralitas,
Genta Publishing
Henrysson Elin and Sandra F. Joireman, 2009, On The Edge of The Law :
ERA, Spain
Janier Mathilde, 2015, Towards a Theory of Close Analysis for Dispute Mediation
Karl J. Pelzer, 1977, Toean Keboen Dan Petani Politik Kolonnial dan Perjuangan
Krakover Shaul, 1999, Urban Settlement Program and Land Dispute : The State
---------------, 1995, Law & Society Readings on the Social Study of Law, W.W.
Lili Rasjidi, Ira Thania Rasjidi, 2007, Dasar-Dasar Filsafat Hukum dan Teori
Lili Rasjidi, Liza Sonia Rasjidi, 2005, Monograf : Filsafat Ilmu, Metode
Jakarta
Lubis M. Solly, 1994, Filsafat Hukum Dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung.
Jakarta
Media Dordrcht
Sengketa Tanah Masyarakat Sei Silau dengan PTPN III Kebun Sei Silau,
Kisaran
Law Review,
Muhammad Yamin, Abd. Rahim Lubis, 2011, Pencabutan Hak, Pembebasan, Dan
Munir Fuady, 2013, Teori-Teori Besar Dalam Hukum (Grand Theory), Kencana
Nasution Bahder Johan, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Penerbit Mandar
Maju, Bandung.
Oellers Karin & Fahm, 2012, Law Making Through Advisory Opinions ?,
Maju, Bandung
Parsons, Talcott, 1951 The Social System: The Major Exposition of the Author &
Purdy M. Jill, 2000, The Role of Third Parties in County Dispute Resolution,
SPAEF,
Kementerian Pelajaran.
Roscoe Pound, 1989, Pengantar Filsafat Hukum, Penerbit Bhatara Niaga Media,
Jakarta.
Rostow, W.W. 1962 The Process of Economic Growth. New York: W.W.
Yogyakarta.
Ronny Kountur, 2003, Metode Penelitian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis, CV
Indonesia, Jakarta
Aditama, Bandung.
Readings on the Socisal Study of Law, W.W. Norton & Company, New
York London.
Syahrizal Abbas, 2009, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan
Tang Wenfang, 2009, Rule of Low and Dispute Resolution in China : Evidance
Teguh Prasetyo, Abdul Halim Barkatullah, 2009, Ilmu Hukum & Filsafat Hukum,
Unruh D. Jon, 2001, Postwar Land Dispute Resolution : Land Tenure And The
Unruh Jon, 2010, Land Right And PeaceBuilding : Challenges And Responses For
(IPRA)
Dordrecht
B. LAPORAN PENELITIAN/MAKALAH/DISERTASI
Medan.
Utara, Medan.
Tan Kamello, 2006, Peralihan Hak Atas Tanah Eks Hak Guna Usaha PTPN
Seminar Pengalihan Hak Atas Tanah Eks Hak Guna Usaha Di Sumatera
Milik Negara.
---------- Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Tahun 1954 No. 492-
---------- Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Tahun 1956 No. 105-
---------- Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Tahun 1958 No. 1493-
D. MAJALAH
E. JURNAL
Global
F. INTERNET
http://beritanda.com/opini/opini/opini/5084-haruskah-sengketa-lahan-perkebunan-
berakhir-dengan-anarkis.html
html.
http://www.newworldencyclopedia.org/entry/Louis_XIV_of_France
http://mankydaily.tumblr.com/post/452408880/domein-verklaring
http://xa.yimg.com/kq/groups/24002719/278585820/name/AMERICAN+AND+S
CANDINAVIAN+REALISM.pdf.
library.usu.ac.id/download/fh/pidana-syafruddin8.pdf
G. KAMUS
Bryan A. Garner, 2009, Black’s Law Dictionary, Nith Edition, West Publishing
Co.
Baru, Jakarta