Anda di halaman 1dari 333

PENYELESAIAN SENGKETA TANAH PERKEBUNAN PADA

AREAL PERUSAHAAN BADAN USAHA MILIK NEGARA


(BUMN) PERKEBUNAN DI SUMATERA UTARA

DISERTASI

Untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Bidang Ilmu Hukum


Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Dibawah Pimpinan Rektor Universitas Sumatera Utara
Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum
Untuk Dipertahankan di Hadapan Sidang Terbuka Senat
Universitas Sumatera Utara

Oleh

KUSBIANTO
108101010 / S3 HK

PROGRAM STUDI DOKTOR (S3) ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016

Universitas Sumatera Utara


LEMBAR PENGESAHAN
(Promosi Doktor)

Judul Disertasi : PENYELESAIAN SENGKETA TANAH PERKEBUNAN


PADA AREAL PERUSAHAAN BADAN USAHA MILIK
NEGARA (BUMN) PERKEBUNAN DI SUMATERA
UTARA

Nama : Kusbianto
Nomor Pokok : 108101010
Program : Doktor (S3) Ilmu Hukum

Menyetujui :
Komisi Pembimbing :

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., M.S., CN)


Promotor

(Prof. Dr. Tan Kamello, S.H., M.S.) (Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum)
Kopromotor Kopromotor

K e t u a, D e k a n,

(Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H.) (Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum)

Universitas Sumatera Utara


KOMISI PENGUJI :

Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum


Penguji

Dr. Edy Ikhsan, S.H., M.A.


Penguji

Dr. Kurnia Warman, S.H., M.Hum


Penguji

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK

PENYELESAIAN SENGKETA TANAH PERKEBUNAN PADA AREAL


PERUSAHAAN BADAN USAHA MILIK NEGARA (BUMN) PERKEBUNAN DI
SUMATERA UTARA

Kusbianto 1
Muhammad Yamin 2
Tan Kamelo 3
Syafruddin Kalo 4

Badan Usaha Milik Negara Perkebunan yang sekarang bernama PT. Perkebunan Nusantara
disingkat PTPNasal-muasalnya dari perusahaan-perusahaan asing milik bangsa Belanda
yang diambilalih Pemerintah Repubilk Indonesia dengancara Nasionalisasi pada tahun 1958.
Landasan hukum Pemerintah Repubilk Indonesia melakukan nasionalisasi adalah Undang-
Undang Nomor 86 Tahun 1958 (LN. 1958-162) jo. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun
1959 tentang nasionalisasi perusahaan-perusahaan perkebunan milik bangsa Belanda.

PTPN dalam menjalankan usahanya menghadapi tuntutan dan bersengketa dengan


penggarap yang berada di atas tanah hak guna usahanya.

Secara garis besarnya penelitian ini akan menjelas s

engketa-sengketa tanah di perkebunan dan bentuk penyelesaian yang dilakukan di PTPN.

Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa tanah yang menjadi sengketa antara PTPN
dengan penggarap dapat diklasifikasi ada tiga macam sengketa yaitu pertama sengeta hak
atas tanah bahwa penggarap menyatakan memiliki tanah di dalam tanah yang menjadi hak
guna usaha PTPN. Yang kedua: sengketa batas dan luas tanah, penggarap mengklaim hak
guna usaha PTPN terjadi selisih luasannya masuk ke tanah masyarakat. Yang ketiga
sengketa penafsiran hukum terhadap tanah hak guna usaha yang telah berakhir masa
waktunya, anggapan penggarap berhak untuk menguasai tanah. Dilain pihak PTPN yang
sedang mengajukan perpanjangan hak guna usahanya tetap melakukan upaya
mempertahankan HGU agar tidak digarap masyarakat.

Upaya penanganan penyelesaian sengketa tanah yang ditempuh yaitu:


a. JalurPeradilan (Litigasi), PeradilanUmumdanPeradilan Tata Usaha Negara (TUN)
b. Jalur Non-Peradilan (Non-Litigasi), penyelesaian dapatdilakukan melalui Mediasi.

Penyelesaian sengketa tanah perkebunan baik yang ditempuh dengan melalui proses
pengadilan (litigasi) maupun dengan melalui mediasi, musyawarah di luar pengadilan (non-
litigasi), mengalami hambatan dan gagal. Kendala dan kegagalan penyelesaian sengketa ada
beberapa sebab, yaitu : pertama; penyelesaian melalui pengadilan dirasakan kurang
memenuhi rasa keadilan, anggapan para penggarap Pengadilan berpihak kepada perkebunan.

1
Dosen Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa
2
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera
3
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera
4
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Universitas Sumatera Utara


kedua; penyelesaian sengketa dengan non-litigasi dilakukan mediasi dinilai lambat oleh
pihak-pihak yang bersengketa.Tim Mediasi Pemerintah Daerah yang menangani tidak cepat
dan tanggap atas tuntutan penggarap dan dalam mengambil sikap tidak tegas terhadap tanah
sengketa.

Bentuk penyelesaian yang sudah dilakukan secara litigasi dan non-litigasi belum dapat
diselesaikan secara tuntas, maka PTPN membentuk Tim. Sebagai dasar legalitas tim adalah
surat keputusan Direksi. Tim yang dibentuk Direksi PTPN bertugas untuk menyelesaikan
tanah garapan dengan cara penyelesaian memberikan suguh hati kepada penggarap
bentuknya ganti rugi tanaman, bangunan dan benda-benda milik penggarap yang ada di
tanah hak guna usaha. Prinsip dalam penyelesaian sengketa dengan suguh hati oleh PTPN
adalah penyelesaian yang relatif cepat, manusiawi dan adanya kepastian hukum. Dengan
diselesaikan sengketa tanah garapan maka menjamin terhadap status tanah yang menjadi hak
guna usaha PTPN.

Keywords –Sengketa tanah, hak guna usaha, perkebunan Negara.

Universitas Sumatera Utara


ABSTRACT

PLANTATION LAND DISPUTE SETTLEMENT IN AREA COMPANY BADAN USAHA


MILIK NEGARA (BUMN) PLANTATIONS IN NORTH SUMATRA

Kusbianto 5
Muhammad Yamin 6
Tan Kamelo 7
Syafruddin Kalo 8

Plantation State Owned Enterprises which is now called PT. Perkebunan Nusantara
abbreviated PTPN origins of foreign companies belonging to the Dutch foreclosed Republic
Government of Indonesia by way of Nationalization in 1958. The legal basis for the
Government of Indonesia Republic nationalization was Law No. 86 of 1958 (LN. 1958-162)
jo. Government Regulation No. 19 Year 1959 on the nationalization of the Dutch-owned
plantations.
PTPN in the operations meet the demands and the dispute with tenants who are above
ground their permit.
In broad outline of this research will become clear land disputes in the estate and settling in
the form of PTPN.
The results of this study revealed that the land in dispute between PTPN with tenants can be
classified three kinds: first dispute over land rights disputes that tenants claimed to own
land in the land that became the right to cultivate PTPN. The second: the boundary disputes
and land area, farmers claim the right to cultivate the differences PTPN area into the land
of the community. The third interpretation of legal disputes over land rights to cultivate the
expired time, assuming tenants are entitled to control the land. On the other hand PTPN
being proposed an extension of their permit still make efforts to maintain the concession in
order not tilled community.
Efforts to tackle land dispute resolution were adopted, namely:
a. Hiking Justice (Litigation), Peradilan Umum and Peradilan Tata Usaha Negara (TUN)
b. Paths of Non-Judicial (Non-Litigation), the settlement can be done through mediation.

Plantation land dispute resolution either taken through the court process (litigation) or
through mediation, consultation outside the court (non litigation), encountered resistance
and failed. Constraints and failure to settle the dispute there are several reasons: first;
5
Lecturer the faculty of law, Dharmawangsa University
6
Professor the faculty of law, Universitas Sumatera
7
Professor the faculty of law, Universitas Sumatera
8
Professor the faculty of law, Universitas Sumatera

Universitas Sumatera Utara


judicial remedies is lacking sense of fairness, assuming the tenants Court sided with the
estate. second; settlement of disputes with non-litigation mediation rated performed later by
the parties to the dispute. Team Mediation local governments who handle is not quick and
responsive to the demands of tenants and in taking firm attitude towards the disputed land.
Forms of settlement that has been done in litigation and non-litigation can not be solved
completely, then PTPN form a team. As the basic legality of the team is the Board's decision
letter. The team formed PTPN the Board of Directorscommissioned to complete a claim by
way of settlement giving the tiller shape suguhhati compensation plants, buildings and
objects belonging to tenants who are on the ground right to cultivate. The principle in
resolving disputes with suguhhati heart by PTPN is relatively quick settlement, humane and
legal certainty. With arable land dispute resolved, the guarantee of the status of the land on
which the right to cultivate PTPN.

Keywords: Disputes over land, the right to cultivate, plantation country.

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Dengan mengucap puji dan syukur kehadirat Allah SWT dan atas rahmat serta karunia-Nya,
kami dapat menyelesaikan disertasi yang berjudul: “Penyelesaian Sengketa Tanah
Perkebunan Pada Ereal Perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Perkebunan Di
Sumatera Utara”.

Disertasi ini ditulis guna memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar Doktor Ilmu Hukum
di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Sengketa tanah yang masih terjadi antara perusahaan perkebunan dengan penggarap di tanah
perkebunan masih terus berlangsung dan tak kunjung selesai. Penyelesaian sengketa tanah
antara penggarap dengan Perkebunan sudah dilakukan dengan bentuk penyelesaian di luar
pengadilan istilahnya non-litigasi melalui mediasi dan apabila tidak tercapai kata sepakat
jalan yang terakhir ditempuh melalui jalur Pengadilan.

Penguasaan tanah secara hukum perdata dan secara hukum agraria sudah dengan jelas dan
tegas aturan hukumnya tetapi pada kenyataannya sengketa tanah di perkebunan
penyelesaiannya belum berhasil seperti yang diharapkan. Keadaan ini memberikan inspirasi
dan motivasi kepada kami untuk melakukan penelitian ini.

Keberhasilan membuat disertasi ini tidak dapat disanggah berkat dukungan dan bantuan dari
banyak pihak. Tentunya patut disampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan kepada
semua pihak yang telah berpartisipasi memberikan bantuan, bimbingan dan arahan kepada
penulis sehingga telah selesainya disertasi ini.

Semoga Allah SWT. Melimpahkan rahmat dan hidayahnya serta menjadi amal kebaikan
serta mendapatkan pahala yang berlipat ganda. Amin.

Ucapan terimakasih kami sampaikan pertama-tama kepada Rektor Universitas Sumatera


Utara, yang amat terpelajar Prof. Dr. Runtung, S.H., M. Hum dan sebagai Komisi Penguji

Universitas Sumatera Utara


yang banyak memberikan bimbingan dan arahan dalam kondisi yang begitu tingginya
intensitas kegiatan sebagai rektor.

Rasa hormat penulis menyampaikan terimakasih kepada yang amat terpelajar Prof. Dr.
Muhammad Yamin, S.H.,M.S., CN, selaku Promotor, dengan penuh kesabaran memberi
bimbingan, petunjuk terhadap materi disertasi ini. Selanjutnya penulis sampaikan
kepadayang amat terpelajar Prof. Dr. Tan Kamello, S.H., M.S, dan Prof. Dr. Syafruddin
Kalo, S.H., M.Hum, masing-masing selaku Ko-Promotor yang telah banyak memberikan
bimbingan dan arahan kepada penulis, sehingga penulisan disertasi ini dapat selesai.

Secara khusus penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr. Edi Ikhsan, S.H., MA sebagai
Komisi Penguji, dan Dr. Kurnia Warman, S.H., M. Hum, sebagai Penguji Luar Komisi yang
telah memberikan perhatian besar kepada penulis. Selaku penguji ke-duanya banyak
meberikan bobot disertasi ini sehingga menjadi lebih baik.

Dalam hal ini penulis dengan hormat menyampaikan terimakasih kepada Dekan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara, yang amat terpelajar Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H.,
M. Hum dan Ketua Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara, yang amat terpelajar Prof. Dr. Suhaedi, S.H., M.H yang telah memberikan motivasi
dan dukungan moril kepada penulis.

Selanjutnya dengan rasa hormat kami mengucapkan terimakasih kepada:


1. Ketua Yayasan Pendidikan Dharmawangsa Medan, H. Muzakkir, S.E. yang telah
memberikan dorongan semangat dan bantuan secara moril dan materil, sehingga dapat
memenuhi janji penulis untuk menyelesaikan studi doktor ilmu hukum.
2. Prof. Dr. Lahmuddin Lubis, M.Ed, Wakil Rektor I Universitas Dharmawangsa 2008-2012
dan Prof. Dr. Suwardi Lubis, Dekan Fakultas Sospol Universitas Dharmawangsa, yang
telah banyak memberikan dukungan moril dan semangat membantu penulis selama
menjalani studi dan menyelesaikan disertasi.
3. Direksi PTPN III (Persero) dan mantan Direktur SDM dan Umum PTPN-III (Persero)
Bapak Harianto, S.H. yang telah memberi dukungan moril dan materil serta bantuan
memberikan ijin penelitian, bersedia di wawancarai dalam penelitian penulisan disertasi

Universitas Sumatera Utara


penulis. Serta seluruh Staf dan karyawan PTPN III (Persero) terutama Bagian Hukum
Dan Agraria yang banyak membantu penulis mendapatkan data berkaitan penelitian dan
penulisan disertasi.
4. Lembaga Pemerintah, Organisasi non-pemerintah yang telah membantu penulis dalam
penelitian disertasi ini, tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah memberi andil
dalam penulis memperoleh data penelitian disertasi ini.
5. Rekan-rekan Pimpinan, Staf dan Karyawan Universitas Dharmawangsa, yang banyak
memberikan dukungan penulis menjalani studi, khususnya kepada Asnawi,
S.E.,MM,kepadaTaufik Nur Bachtiar, Tomi, S.Sos, yang membantu penulisan dalam
pengetikan disetasi telah mencurahkan waktu dan tenaga sehingga penulisan disertasi ini
dapat selesai.
6. Rekan di LBH Dharmawangsa, saudara Johan, S.H, Rahmat, S.H,dan Ketua Yayasan
LBH Tri Sila saudara Hasan Lumbanraja, S.H.,MH yang telah memberikan dan
membantu bahan hukum dalam penulisan disertasi.
7. Teman-teman satu angkatan Tahun 2010 Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Sumatera, yang telah banyak memberikan bantuan moril seperjuangan dalam
suka dan duka, semangat menyelesaikan studi dan penulisan disertasi.
8. Ucapan terimakasih untuk istri yang tercinta Herawaty, SPd. Yang telah memberikan
dorongan pada waktu penulis akan mengambil studi program doktor dan menguatkan
semangat sehingga pada akhirnya dapat menjadi berhasil disertasi ini selesai.

Akhirulkalam penulis menyampaikan permohonan maaf kepada semua pihak yang telah
memberikan andil didalam proses pembuatan disertasi penyelesaian studi, semoga Allah
SWT membalas amal baik Bpk/Ibu sekalian.
Medan,……………….2016
Penulis,

Kusbianto

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK………………………………………………………………………………. i

KATA PENGANTAR……………………………………………………………………

DAFTAR ISI ................................................................................................................. …. ix

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 1

A. LatarBelakang .......................................................................................... 1

B. RumusanMasalah ..................................................................................... 20

C. TujuanPenelitian ...................................................................................... 20

D. ManfaatPenelitian .................................................................................... 21

E. KerangkateoridanKerangkaKonsep ...................................................... 22

F. MetodePenelitian ...................................................................................... 51

G. Asumsi ....................................................................................................... 56

H. KeaslianPenelitian .................................................................................... 58

I. SistematikaPenulisan ............................................................................... 60

BAB II PENGATURAN TANAH PERUSAHAAN PERKEBUNAN DAN

MASYARAKAT PENGGARAP DI AREAL PERKEBUNAN ................. 62

A. Konsesi Perkebunan ................................................................................. 62

1. KonsesiPerkebunan di Sumatera Timur .......................................... 62

2. Erfpacht ............................................................................................... 77

3. TanahGarapan di Areal Perkebunan ............................................... 79

4. HakPenggarap di Areal Perkebunan................................................ 84

Universitas Sumatera Utara


5. KonsesiUntuk Perkebunan danPertanian Kecil

Di Sumatera Timur ............................................................................ 88

B. PengaturanPengosongan Tanah Peerkebunan Yang

Diduduki Rakyat ...................................................................................... 90

1. MasalahOkupasidanPengosongan Tanah Perkebunan .................. 90

2. MasalahOkupasi Tanah Perkebunan ZamanPendudukan

3. JepangdanRevolusi ............................................................................. 96

4. PenghapusanHakKonversi ................................................................ 98

5. TindakanTerhadapOkupasi Tanah Perkebunan

Setelah Indonesia Merdeka ............................................................... 104

6. HakGuna Usaha (HGU) ..................................................................... 117

BAB III BENTUK-BENTUK PENYELESAIAN SENGKETA TANAH GARAPAN

DI AREAL HAK GUNA USAHA PERKEBUNAN.................................... 128

A. Keberadaan PT. Perkebunan Nusantara III ......................................... 128

1. SebelumNasionalisasi ......................................................................... 128

2. Nasionalisasi Perusahaan Pertanian/Perkebunan Milik Belanda . 130

3. Status Hukum Tanah Perkebunan Di PTPN III ............................. 134

B. Sengketa Tanah Garapan di Areal HGU PTPN III .............................. 136

1. Sengketa Tanah Garapan Di PTPN III Kebun Sei Putih ............... 136

2. Tindakan Yang Dilakukan Dalam Penyelesaian Sengketa

Penggarapan di Kebun Sei Putih ...................................................... 140

3. Sengketa Tanah Garapan di Areal PTPN III Kebun Sei Silau ...... 145

4. PermasalahanHukumHakGuna Usaha PT. Perkebunan

Universitas Sumatera Utara


Nusantara III Kebun Sei Silau .......................................................... 164

5. Identifikasi Permasalahan Kebun Sei Silau ..................................... 167

6. Fakta-Fakta Hukum Sei Silau ........................................................... 169

7. Peraturan Perundang-undangan Yang Terkait Dengan

Permasalahan Kebun Sei Silau ......................................................... 173

8. Penerapan Hukum Terhadap Sengketa Tanah Garapan

Di Areal Kebun Sei Silau ................................................................... 174

9. Sengketa Tanah Garapan Di Areal PTPN III Kebun Rambutan.. 196

C. Kebijakan Hukum Penyelesaian Garapan Tanah Perkebunan .......... 217

D. Pedoman Pengosongan Tanah Garapan Rakyat

Dalam Areal Perkebunan ........................................................................ 218

BAB IV KEGAGALAN PENYELESAIAN SENGKETA TANAH DI AREAL

HAK GUNA USAHA PERUSAHAAN PERKEBUNAN .......................... 226

A. Kewenangan Negara Atas Tanah ........................................................... 226

B. Lahan Sengketa di Areal Perkebunan PTPN III .................................. 230

C. Penyelesaian Sengketa Dengan Cara Non-Litigasi ............................... 236

D. Penyelesaian Sengketa Dengan Cara Litigasi ........................................ 279

1. Tidak Percaya Kepada Pengadilan Dan Tidak Dapat Menerima

Hasil Putusan Pengadilan .................................................................. 280

2. Biaya Mahal dan Prosesnya Terlalu Lama ...................................... 281

E. Kegagalan Penyelesaian Sengketa Tanah Garapan di Areal

Perkebunan PTPN III .............................................................................. 286

F. Pandangandan Sikap Dari Masyarakat dan Lembaga Negara

Universitas Sumatera Utara


Dalam Penyelesaian Sengketa Tanah Garapan di Perkebunan ......... 288

1. Sikap/Pandangan Masyarakat Penggarap ....................................... 288

2. Sikap/Pandangan Pekerja Perusahaan Perkebunan ...................... 290

3. Sikap/Pandangan Pemerintah Dan DPRD....................................... 290

G. Hambatan-Hambatan Penyelesaian Sengketa....................................... 291

1. Hambatan Penyelesaian Sengketa Tanah Garapan

Dari Penggarap .................................................................................. 292

2. Hambatan Penyelesaian Dari Pihak PTPN III ................................ 293

3. Hambatan Dari Pemerintah Dari Penyelesaian Tanah Garapan .. 294

H. Solusi Penyelesaian Sengketa Tanah Garapan di Perkebunan

BUMN ....................................................................................................... 295

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 300

A. Kesimpulan ............................................................................................... 300

B. Saran .......................................................................................................... 309

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 312

Universitas Sumatera Utara


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perusahaan Perkebunan dalam mengelola usaha perkebunan menghadapi

permasalahan dengan masyarakat yang melakukan penggarapan di areal hak guna usaha

(HGU) perkebunan. Masyarakat memiliki alasan dan merasa memiliki hak untuk menduduki

areal HGU Perkebunan serta melakukan penggarapan yang pada akhirnya menimbulkan

sengketa berkepanjangan. Sebagaimana dasar alasan masyarakat menggarap tanah

perkebunan dikarenakan masyarakat mempunyai hak terhadap tanah areal perkebunan oleh

karena orang tua para penggarap dahulu diberikan hak untuk mengerjakan tanah areal

perkebunan dan memiliki surat. Contoh surat yang dimiliki yaitu Kartu Registrasi

Pendaftaran Tanah (KRPT) dengan dasar UU Darurat No. 8 Tahun 1954. Selain itu tanah

yang dikuasai dan diusahai oleh penggarap berada didalam areal perkebunan tetapi terjadi

perbedaan luas areal. Menurut penggarap tidak didalam areal hak guna usaha perkebunan

masyarakat menurut perusahaan masyarakat berada didalam areal perkebunan, juga manurut

masyarakat hak guna usaha (HGU) perkebunan yang telah berakhir masyarakat berhak

mengusahai dan memiliki tanah diareal eks HGU PTPN. Dilain pihak PTPN masih

memproses perpanjangan HGU ke BPN. Dalam menyelesaikan sengketa tanah tersebut telah

dilakukan proses-proses penyelesaian dalam bentuk non litigasi dengan cara musyawarah

maupun dalam bentuk litigasi mengajukan tuntutan ke Pengadilan. Penyelesaian sengketa

tanah garapan perkebunan baik yang ditempuh dengan melalui proses pengadilan (litigasi)

maupun dengan cara musyawarah di luar pengadilan (non-litigasi), masih belum berhasi

dengan tuntas dengan kata lain mengalami kegagalan, kegagalan penyelesaianada beberapa

Universitas Sumatera Utara


sebab, yaitu anggapan para penggarap pengadilan berpihak kepada perkebunan, keputusan

pengadilan dirasakan kurang memenuhi rasa keadilan. Dengan sikap pandangan penggarap

yang demikian maka putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap tidak dapat

dilaksanakan. Penyelesaian sengketa dengan cara pendekatan non-litigasi penyelesaiannya

dengan cara pendekatan keamanan (security approach)yangberdampak jatuhnya korban jiwa

dan harta benda, serta menimbulkan rasa permusuhan di kedua belah pihak semakin tajam.

Sengketa tanah di perusahaan Badan Usaha Milik Negara Perkebunan, tidak

bisadipisahkan dari perjalanan sejarah bangsa ini. Wilayah Negara Indonesia yang semula

berbentuk kerajaan-kerajaan sampai menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia,

membawa pengaruh bentuk hukum pertanahan dan hubungan sosial kemasyarakatan yang

terus berinteraksi dan bagian dari kehidupan yang berkesinambungan. Begitu pula dengan

bentuk persekutuan hukum adat yang mengenal status hukum kolektif, hak ulayat. Sengketa

tanah antara masyarakat penggarap, rakyat penunggu dan masyarakat adat dengan

pemerintah dan pihak onderneming, yang sekarang menjadi pihak PT. Perkebunan

Nusantara (PTPN) sulit untuk diselesaikan, bahkan sebelum diselesaikan muncul lagi

sengketa baru 9.

Kilas balik sebagai benang merah berdirinya perusahaan perkebunan di tanah

Sumatera Utara hingga sekarang menjadi perusahaan perkebunan yang berada didalam

Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pada tanggal 16 Juli 1863kapal Josephine

membongkar sauh di kuala sungai Deli untuk bertemu dengan Sultan Mahmud Perkasa

Alam.Demi kepentingan Sultan yang menjalankan politik bebas dari Aceh dan Siak,

Nienhuys diberi hak pakai lahan selama 20 tahun tanpa perjanjian sewa di Tanjung Sepassai

seluas 400 bahu(satu bahu sama dengan 800 meter bujur sangkar). Tahun 1867 Nienhuys,

9
Syafruddin Kalo, Kapita Selekta Hukum Pertanahan Studi Tanah Perkebunan di Sumatera Timur, USU
Press, 2005, hal 2

Universitas Sumatera Utara


Janssen dan Clemen mendirikan perkongsian perusahaan dagang Belanda, Nederlansche

Handel Mashapaij (NHM) memperoleh konsesi selama 99 tahun memberikan ijin

pengelolaan lahan dengan bentuk sewadiantara sungai Deli dan Percut. Terkesan atas

keberhasilan NHM sebagai perusahaan dagang Belanda, makaJanssen, Clemen dan

Nienhuys mendirikan sebuah perseroan terbatas (NV= Naamloze Vennooschap) di Deliyaitu

Deli Maatschappij sebuah onderneming perkebunan tembakau milik bangsa Belanda yang

pertama didirikan di Sumatera Timur pada tahun 1869, dan mengalami sukses besar.

Ekspansi onderneming di Sumatera Timur berkembang tidak saja dalam usaha perkebunan

tembakau, tetapi diikuti dengan berdirinya perusahaan-perusahaan perkebunan karet, teh,

kelapa sawit dan serat di Pulau Raja, Asahan dan Labuhan Batu. Tanah-tanah perkebunan

yang berkaitan dengan perjanjian sewa antara sultan dengan onderneming-onderneming

perkebunan tersebut pada awal tahun 1900 mulai menjadi masalah.Perhatian bertumpu pada

masalah aspek hukum konsesi yang diatur para Sultan dan bagaimana pemberian tanah-

tanah konsesi yang luas itu sebagai hak intern penduduk pribumi. Masalahnya menjadi

berkepanjangan sehingga pada tahun 1940 terjadi ketegangan antara pengusaha-pengusaha

perkebunan, Sultan-Sultan dan Pemerintah Hindia Belanda. Persoalanya mengenai urusan

tanah-tanah yang diduduki perusahaan-perusahaan onderneming atas perjanjian sewa

berdampak kepada kawula para sultan yang kehilangan hak mereka atas tanahnya. Pihak

perkebunan, Sultan dan pemerintah Hindia Belanda berusaha sekali menyelesaikan

kekisruhan permasalahan hak-hak pertanahan antara Perkebunan Belanda dengan para

petani tersebut. Penyelesaian tidak berhasil karena mereka tidak dapat menyepakati syarat-

syarat yang diperlukan untuk melindungi hari depan kedua belah pihak, tanpa menyinggung

kepentingan kewenangan Sultan. 10 Undang-Undang Agraria 1870dalam bahasa

10
Karl J. Pelzer, Toean Keboen Dan Petani Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria, Sinar Harapan,
1977, hal 51-69

Universitas Sumatera Utara


BelandaAgrarische Wet 1870 diberlakukan pada tahun 1870olehEngelbertus de

Waal (menteri jajahan) sebagai reaksi atas kebijakan pemerintah Hindia Belanda di Jawa. 11

Latar belakang dikeluarkannya Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) antara lain karena

kesewenangan pemerintah mengambil alih tanah rakyat. Politikus liberal yang saat itu

berkuasa di Belanda tidak setuju dengan Tanam Paksa di Jawa dan ingin membantu

penduduk Jawa sekaligus mendapat keuntungan ekonomi dari tanah jajahan dengan

mengizinkan berdirinya sejumlah perusahaan swasta.

Tujuan dikeluarkannya UU Agraria 1870 adalah untuk :

Pertama, melindungi hak milik petani atas tanahnya dari penguasa dan pemodal

asing.

Kedua, memberi peluang kepada pemodal asing untuk menyewa tanah dari

penduduk Indonesia seperti dari Inggris, Belgia, AmerikaSerikat, Jepang, Cina, dan

lain-lain.

Ketiga, membuka kesempatan kerja kepada penduduk untuk menjadi buruh

perkebunan.

Isu terpenting dalam UU Agraria 1870 adalah pemberian hak erfpacht,

semacam Hak Guna Usaha, yang memungkinkan seseorang mengusahai tanah terlantar yang

telah menjadi milik negara selama maksimum 75 tahun sesuai kewenangan yang diberikan

hak eigendom (kepemilikan), selain dapat mewariskannya dan menjadikan agunan.

Ada tiga jenis hak erfpacht:

11
Harsono Budi, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi
dan Pelaksanaannya. Jilid 1 – Hukum Tanah Nasional. Djambatan. 1995. Jakarta.

Universitas Sumatera Utara


Pertama, hak untuk perkebunan dan pertanian besar, maksimum 500 bahu 12 dengan

harga sewa maksimum lima florint per bahu;

Kedua, hak untuk perkebunan dan pertanian kecil bagi orang Eropa "miskin" atau

perkumpulan sosial di Hindia Belanda, maksimum 25 bahu dengan harga sewa satu

florint per bahu (tetapi pada tahun 1908 diperluas menjadi maksimum 500 bahu).

Ketiga, hak untuk rumah tetirah dan pekarangannya (estate) seluas maksimum 50

bahu.

Areal konsesi perusahaan perkebunan asing masa kolonial Belanda berkurang luas

arealnya, sebagai akibat dari usaha Pemerintah Balatentara Jepang untuk menambah hasil

bahan makanan, tanah-tanah perkebunan itu diberikan kepada petani yang tidak mempunyai

tanah masing-masing 0,6 hektar. Bidang tanah itu didaftarkan dan dilakukan pinjam tanah

yang ditandatangani ribuan buruh yang tidak mempunyai tanah, mereka meninggalkan

bangsal-bangsal perkebunan dan mendirikan rumah-rumah sederhana dibidang-bidang tanah

yang baru mereka peroleh dan mengembangkan kebun-kebun disekitar halaman rumah.

Yang berakibat tanah yang diberikan masa kolonial Jepang tersebut diakui hak miliknya

oleh petani penggarap yang pada dasarnya berada di wilayah perkebunan. Pada masa

perjuangan kemerdekaan Indonesia, Pemerintah pada masa itu dalam keadaan darurat krisis

persoalan persediaan bahan makanan di daerah-daerah, hingga banyak sekali rakyat yang

memakai tanah-tanah perkebunan yang menjadi hak negara atau pihak lain 13.

Persoalan muncul ketika ditandatanganinya persetujuan Konfrensi Meja Bundar

(KMB) pada tahun 1949. Pemerintah RIS memberikan pengakuan hak orang asing akan

12
Menurut KBBI, Bahu adalah satuan luas lahan, yang dipakai di beberapa tempat di Indonesia terutama
di Pulau Jawa
13
Tanah Perkebunan Pemakaian Oleh Rakyat, Penjelasan Undang-Undang Darurat No. 8 Tahun 1954
tentang Penyelesaian Soal Pemakaian Tanah Perkebunan Oleh Rakyat, Penjelasan dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia Nr 65, 1954

Universitas Sumatera Utara


tanah, yaitu hak konsesi dan hak erfpacht serta hak untuk mengusahakan selanjutnya. 14

Berkaitan dengan hal tersebut Pemerintah Republik Indonesia berkeinginan agar di satu

pihak kepentingan pengusaha perkebunan mendapat perlindungan karena sektor ini

merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang cukup penting. Di lain pihak petani

yang kehidupannya tergantung pada tanah juga harus mendapat perlindungan hukum, antara

lain dengan adanya ketentuan untuk mengakui keberadaan buruh yang sudah bekerja pada

perusahaan tersebut dan rakyat yang menduduki dan menggarap lahan-lahan perkebunan.

Meskipun aturan hukum menempatkan kepentingan semua pihak, tetapi dalam

pelaksanaannya petani tidak puas dengan adanya koalisi kekuatan ekonomi pengusaha

perkebunan dengan kekuatan politik pemerintah daerah. Perlawanan petani semakin kuat

dengan adanya kebebasan berorganisasi, seperti Barisan Tani Indonesia (BTI), Rukun Tani

Indonesia (RTI), Sarekat Buruh Perkebunan Indonesia (Sarbupri), dan Persatuan Tani

Nasional Indonesia (Petani). Organisasi-organisasi tersebut juga berafiliasi dengan partai

politik sehingga perlawanan mereka semakin kuat seperti terbukti dengan terjadinya

Peristiwa Tanjung Morawa, pada tanggal 16 Maret 1953 yang menyebabkan jatuhnya

kabinet Wilopo dan dibentuknya Kementrian Urusan Agraria 15. Pemerintah mengeluarkan

Undang-undang Darurat No 8 tahun 1954 tentang Penyelesaian Soal Pemakaian Tanah

Perkebunan Oleh Rakyat, bahwa pendudukan lahan tidak dinyatakan sebagai melanggar

hukum dan penyelesaiannya diupayakan pemerintah melalui pemberian hak dan

perundingan antara pihak yang bersengketa. 16

14
Ibid, hal. 13. Sesuai persetujuan, Pemerintah Indonesia tidak akan menganggu gugat keberadaan
perusahaan asing khususnya milik Belanda yang telah dan sedang beroperasi di Indonesia, dan bila
pemerintah Indonesia mau mengambilnya maka harus memberikan ganti rugi.
15
Karl J. Pelzer, Sengketa Agraria, Pengusaha Perkebunan Melawan Petani, PustakaSinar Harapan,
Jakarta, 1991
16
Eddy Ruchiyat, Politik Pertanahan Sebelum dan Sesudah Berlakunya UUPA (UU No. 5 Tahun 1960),
Penerbit Alumni, Bandung, 1984, hal 13

Universitas Sumatera Utara


Pemerintah Repubilk Indonesia dengan cara Nasionalisasi pada tahun 1958,

berdasarkan Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 (LN. 1958-162), mengambil alih

perkebunan-perkebunan asing Belanda. Yang dinasionalisasikan adalah pada dasarnya

segala perusahaan milik Belanda yang berada di wilayah Republik Indonesia, baik ia

merupakan pusatnya maupun cabangnya. Selanjutnya akan ditetapkan dengan peraturan

Pemerintah perusahaan mana diantara perusahaan yang dikenakan nasionalisasi. 17

Setelah pengambilalihan perusahaan perkebunan Belanda, Pemerintah Republik

Indonesia menata kembali bekas perusahaan perkebunan Belanda ini dengan baik, yang

dikelola langsung oleh Negara, tujuannya agar perusahaan-perusahaan perkebunan ini

mampu menjadi sumber keuangan negara agar Pemerintah Republik Indonesia mampu

mengendalikan roda pemerintahan.

Kebijakan di bidang tanah yang bersifat populis pada era Orde Lama adalah

dikeluarkannya Undang-Undang No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok

Agraria yang lebih dikenal dengan nama singkatan resminya Undang-Undang Pokok

Agraria, disingkat UUPA 18. Undang-undang ini mendasarkan pada hukum adat yang telah

disempurnakan sehingga segala bentuk hak-hak tanah di zaman Belanda di konversi menjadi

hak-hak yang diatur oleh UUPA. UUPA menetapkan pembatasan penguasaan tanah agar

tidak merugikan kepentingan umum, melindungi hak-hak tanah perseorangan yang

diletakkan dalam dimensi fungsional, yang berarti hak atas tanah mengacu pada kepentingan

umum. Pemerintah dalam hal ini mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961

Tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah Dan Pemberian Ganti Rugi.Mereka tidak boleh

17
Lembaran Negara Republik Indonesia No. 162, 1958. Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda
Nasionalisasi, Tambahan Lembaran Negara R.I. No. 1690, Memori penjelasan Undang-undang No.86 tahun
1858, tentang Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan Milik Belanda. 1959, No.31 Dewan Menteri memutuskan,
menetapkan Peraturan Pemerintah tentang penetuan perusahaan pertanian/perkebunan Belanda yang dikenakan
nasionalisasi.
18
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Penerbit Djambatan, 2008, hal 1

Universitas Sumatera Utara


diusir secara sewenang-wenang dan Pemerintah melaksanaan land reform menurut

ketentuan peraturan tersebut 19. Implementasi program land reform untuk membatasi luas

pemilikan tanah ini dalam pelaksanaannya ternyata mengalami hambatan. Para tuan tanah

berusaha menghindari ketentuan-ketentuan UUPA dengan berbagai cara. Hal lain yang

menarik dari masalah tanah pada saat itu adalah digunakannya pelaksanaan land reform

sebagai strategi Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk menanamkan pengaruhnya di

kalangan masyarakat pedesaan. PKI menggunakan isu land reform untuk mempolarisasikan

penduduk desa menjadi dua kelas yang bertentangan, yaitu tuan tanah “setan desa” dan

petani. 20

Kebijakan pertanahan kembali mengalami perubahan ketika terjadi pergantian

pemerintahan. Pemerintah Orde Baru cenderung melakukan kebijakan pembangunan dengan

ekonomi sebagai panglimanya. Hal ini menyebabkan adanya perubahan persepsi terhadap

fungsi tanah sebagai salah satu sumber daya alam yang sangat unik sifatnya. Tanah dilihat

sebagai sarana investasi dan alat akumulasi modal. Perubahan ini berlangsung sejalan

dengan perubahan kebijakan pertanahan yaitu dari kebijakan yang memihak kepentingan

rakyat ke kebijakan yang lebih memihak pada kepentingan kapitalis. UUPA tetap

dipertahankan meskipun tidak lagi menjadi induk seluruh peraturan yang berlaku di bidang

agraria 21. Sejumlah undang-undang lain yang justru bertentangan dengan UUPA

ditampilkan, misalnya UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan UU No.

5 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan yang memberikan kesempatan kepada

berbagai kalangan untuk memperoleh Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Pemungutan

Hasil Hutan (HPHH). Berlakunya undang-undang ini menyebabkan hak-hak masyarakat,

19
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Djambatan,
1982, hal. 726
20
Kuntowijoyo, Radikalisasi Petani, Bentang Budaya, Yogyakarta , 1993, hal. 15.
21
Noer Fauzi, Tanah dan Pembangunan, INFID-Pustaka Sinar Harapan,,Jakarta, 1997, hal. 158.

Universitas Sumatera Utara


misalnya hak-hak adat atas tanah atau hak ulayat menjadi terpinggirkan, hak-hak mereka

tergusur oleh kepentingan para pemilik modal.Pada praktiknya pengakuan pemerintah

terhadap hak-hak adat sangat jarang ditemukan atau hampir tidak pernah terjadi. Perampasan

hak-hak masyarakat yang justru banyak dilakukan dengan dalih untuk melayani kepentingan

pembangunan yang dijalankan oleh kaum pemodal baik dari dalam maupun luar negeri.

Kapitalisasi tanah dan sumber daya alam sesuatu yang sejatinya ingin dihapuskan oleh

UUPA, menjadi beban rusaknya tatanan system tenurial masyarakat. 22

Pada periode ini persengketaan tidak lagi melibatkan petani kecil atau petani

penggarap dengan tuan tanah melainkan antara pihak pemilik tanah (petani/rakyat) dengan

pihak pemilik modal besar dan negara. Negara bertindak sebagai fasilitator yang memberi

dukungan terhadap pemilik modal besar dan bahkan negara itu sendiri, dengan

mengatasnamakan pembangunan, merupakan pihak yang secara langsung bersengketa

dengan rakyat. 23

Situasi dan kondisi di era reformasi telah menambah banyak permasalahan,

berdasarkan data di Pemerintah Propinsi Sumatera Utara sengketa tanah jumlahnya 2833

kasus di Sumatera Utara. 24 Sebagai perusahaan Badan Usaha Milik Negara disektor

perkebunan, kerugian yang diderita dari sengketa tanah di Sumatera Utara, PT. Perkebunan

Nusantara mengalami kerugian tidak sebatas pada materi saja tetapi sudah masuk kepada

kerugian immaterial, seperti semakin berkurangnya gairah dan semangat bekerja para

karyawan hal ini tentunya akan berdampak buruk kepada kinerja perusahan. Pimpinan dan

karyawan kebun tersita waktunya untuk urusan penyelesaian sengketa-sengketa

penggarapan tanah perkebunan.

22
Myrna Safitri, Simposium Agraria I, Medan, 2006, hal 1.
23
Gunawan Wiradi, Reforma Agraria:Perjalanan yang Belum Berakhir, Insist,Yogyakarta, 2000, hal.
148.
24
Data Pemerintah Propinsi Sumatera Utara Tahun 2012, Kuliah Umum Plt. Gubernur Sumatera Utara 17
Septemer 2012 di Universitas Dharmawangsa

Universitas Sumatera Utara


Sengketa tanah perkebunan pada areal Perkebunan Badan Usaha Milik Negara

(BUMN) yang namanya PT. Perkebunan Nusantara (PTPN), antara Penggarap dengan

PTPN, yang disengketakan ada tiga persoalan, yaitu :

Pertamapersoalan hak atas tanah, bahwa pihak perkebunan mengambil tanah milik

masyarakat penggarap. Penggarap menganggap perkebunan mengambil hak tanah

masyarakat Penggarap.

Kedua persoalan batas ukuran tanah, masyarakat penggarap menuduh areal

perkebunan yang dilekati dengan sertifikat hak guna usaha (HGU) tidak sesuai luasnya

dengan fakta yang di usahai perkebunan dengan kata lain luas berdasarkan sertifikat HGU

dengan klaim pihak perkebunan yang dipersengketakan tidak sesuai.

Ketiga, persoalan penafsiran hukum. Perbedaan penafsiran hukum terhadap Sengketa

tanah garapanterhadap HGU yang telah berakhir masa berlakunya. PT. Perkebunan

Nusantara III sebagai contoh, masyarakat penggarap memiliki surat keterangan izin

menggarap (SIM) dalam bentuk Surat Keterangan (SK) dari Kepala Desa, SK Camat, SK

Bupati, Kartu Reorganisasi Pemakaian Tanah (KRPT) dengan dasar legalitas UU Darurat

No. 8 Tahun 1954 tentang penyelesaian tanah perkebunan oleh rakyat. Surat tanah tersebut

ada kepunyaan orang tua para penggarap yang sudah meninggal, tanah garapan masyarakat

yang berada di areal HGU PTPN III. Para Penggarap merasa sudah berhak menguasai

mengusahai di areal HGU yang mereka anggap tidak berlaku lagi. Pihak PTPN III

menyatakan masih berhak karena HGU sedang dalam pros perpanjangan di BPN dan

sebagai memegang hak guna usaha yang lama masih berhak untuk menjaga dan memelihara

aset perkebunan. Hal ini sesuai dengan PP 40 tahun 1996 tentang Hak Milik, Hak Guna

Usaha dan Hak Guna Bangunan.

Universitas Sumatera Utara


Tanah-tanah garapan di areal perkebunan yang di-klaim sebagai milik para

penggarap dapat diklasifikasi sebagai berikut :

Pertama, tanah gararapan dengan bukti hak garap yang diberikan kepada penggarap

berupa Kartu Tanda Pendaftaran Pemakaian Tanah Perkebunan (KTPPT),

dikeluarkan oleh Kantor Reorganisasi Pemakaian Tanah (KRPT) berdasarkan UU

Darurat No. 8 Tahun1954 tentang Kartu Reorganisasi Pemakaian Tanah (KRPT)

Sumatera Timur.

Kedua, tanah garapan yang sudah pernah diganti rugi, pada masa Orde Baru tetapi

pada saat itu dilakukan proses ganti ruginya dengan cara pemaksaan sehingga

terpaksa menerima ganti rugi.

Ketiga, tanah garapan yang diperoleh dari Panitia Landreform.

Keempat, tanah garapan tanpa alasan yang kuat, kecuali memanfaatkan kondisi

reformasi yang disalah tafsirkan oleh para penggarap dengan cara coba-coba dan

untung-untungan.

Kelima, tanah garapan yang berasal dari perjanjian pinjam pakai antara pihak

Perkebunan dengan masyarakat, karyawan kebun, pensiunan karyawan kebun

maupun dengan Pemerintah Daerah dan Instansi-instansi lain.

Keenam, tanah-tanah yang di klaim sebagai tanah hak ulayat masyarakat hukum

adat. 25

Momentum yang dipakai para penggarap menguasai atau menduduki areal perkebunan

adalah antara lain sebagai berikut :

Pertama, reformasi pada tahun 1998 dijadikan momentum masyarakat masuk ke areal

perkebunan menduduki, menyerobot tanah yang dikuasai dan diusahai perkebunan

25
Perspektif PTPN III Dalam Dalam Menghadapi Konflik Hak Guna Usaha, 2001, hal 6-7

Universitas Sumatera Utara


serta melakukan tuntutan dengan alasan penyelesaian tanah garapan pada masa Orde

Baru tidak adil agar hak-hak petani penggarap dan hak masyarakat adat dikembalikan

kepada rakyat (petani).

Kedua, berakhir masa berlakunya HGU, masyarakat masuk keareal perkebunan dan

menggarap, menguasai lahan lalu menuntut untuk mendapatkan hak atas tanah yang

para penggarap kuasai dan usahai. Alasan para penggarap areal perkebunan dulunya

tanah yang diusahai orang tua leluhurnya mereka dipaksa untuk meninggalkan

tanahnya dengan ganti rugi tanaman dengan cara dipaksa, intimidasi. 26

Ketiga, pernyataan Presiden RI Abdul Rahman Wahid yang menyatakan bahwa 40 %

(empat puluh persen) dari tanah perkebunan diserahkan kepada masyarakat sekitar

perkebunan, hal ini menambah maraknya aksi penggarapan tanah di areal hak guna

usaha perkebunan. Dibentuknya kelompok-kelompok tani oleh orang yang ingin

mengambil keuntungan dari kemelut yang terjadi di tengah masyarakat, dengan dalih

akan memperjuangkan areal yang dituntut menjadi milik penggarap

Keempat, janji Presiden SBY dalam rangka reforma agraria meredistribusikan tanah

sebanyak 8,15 juta hektar lahan, kepada masyarakat dari tahun 2007 hingga 2014, di

perkirakan 6 juta hektar untuk rakyat miskin 27. Rakyat terus menunggu janji SBY ini

dan memberanikan diri memasuki tanah-tanah yang dianggap ditinggal dan tidak

ditanami oleh perkebunan.

Upaya penanganan sengketa pertanahan yang ditetapakan berdasarkan peraturan

yang berlaku terdiri dari beberapa badan atau lembaga yang berwenang menyelesaikannya

yaitu :

26
Ibid hal 10
27
Bernhard Limbong, Reforma Agraria, Pustaka Margaretha, Jakarta, 2012

Universitas Sumatera Utara


Pertama, pengadilan (Litigasi), yaitu Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha

Negara (TUN) sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman.

Kedua, di luar Pengadilan (Non-Litigasi), penyelesaian dapat dilakukan melalui -

Mediasi, Arbitrase sebagaimana ketentuan didalam Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2009 tentang Arbitrase. Kewenangan instansi pertanahan sebagaimana

ketentuan Kepres 26/1988 jo. Perpres No. 10 Tahun 2006, penyelesaian melalui

alternative despute resolution. Kewenangan Pemerintah Daerah sesuai Kepres 34

Tahun 2003. Penyelesaian melalui Jalur Khusus, dengan cara melalui Tim Ad. Hoc.

BPN – Polri sesuai MoU BPN dengan Polri SKB No, 10/SKB/XII/2010-

B/31/XII/2010 tanggal 3 Desember 2010 tentang Sidik Sengketa bila ada indikasi

pidana 28.

Instansi yang mempunyai kewenangan dalam penyelesaian sengketa di bidang

pertanahan diantaranya adalah Pemerintah Daerah yaitu berdasarkan Keputusan Presiden

Nomor 34 Tahun 2003 Tentang Kebijakan Nasional dibidang Pertanahan, bahwa

penyelesaian sengketa tanah garapan dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dan

yang bersifat lintas Kabupaten/Kota dalam satu Propinsi dilaksanakan oleh Pemerintah

Propinsi yang bersangkutan jika luas HGU berada di antara 2 atau labih Kabupaten/Kota.

Berdasarkan UUPA, Pasal 2 ayat (1) dan (2) , masalah pertanahan khususnya

masalah pengelolaan pertanahan menjadi kewewenangan Badan Pertanahan Nasional (BPN)

beserta jajarannya. Relevansi BPN dalam menangani sengketa tanah merupakan fungsi

Pemerintah harus mengacu kepada ketentuan yang ada dan hasilnya dapat mencerminkan

28
Badan Pertanahan Nasional Sumatera Utara, PenangananMasalah Sengketa Dan Konflik Pertanahan,
Medan, 12-10-2012

Universitas Sumatera Utara


keadilan sekaligus memberikan kepastian hukum serta bermanfaat bagi yang

berkepentingan.

Dalam ranah hukum dikatakan bahwa sengketa adalah masalah antara dua orang atau

lebih yang keduanya saling mempermasalahkan suatu obyek tertentu.Hal ini terjadi karena

kesalah pahaman atau perbedaan pendapat atau persepsi antara keduanya, kemudian

menimbulkan akibat hukum bagi keduanya. Sengketa tanah dapat berupa sengketa

administrative, sengketa perdata, sengketa pidana terkait dengan pemilikan, transaksi,

pendaftaran, penjaminan, pemanfaatan, penguasaan dan kepemilikannya. Sengketa tanah

obyeknya tidak hanya individu, kelompok, organisasi bahkan lembaga besar seperti Badan

Usaha Milik Negara (BUMN) ataupun Negara. Sengketa tanah dan konflik pertanahan

memiliki perbedaan arti yang signifikan, Sengketa tanah 29 adalah perselisihan orang

perseorangan, badan hukum atau lembaga yang tidak berdampak luas secara sosio politis.

Konflik Pertanahan adalah perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, kelompok,

golongan, organisasi, badan hukum, atau lembaga yang mempunyai kecenderungan atau

sudah berdampak luas secara sosio politis. Istilah lain yang berkaitan dengan sengketa tanah

yaitu Perkara Pertanahan dan Kasus Pertanahan. Perkara Pertanahan adalah perselisihan

pertanahan yang penyelesaiannya dilaksanakan oleh lembaga peradilan atau putusan

lembaga peradilan yang masih dimintakan penanganan perselisihannya di Badan Pertanahan

Nasional Republik Indonesia. Kasus Pertanahan adalah sengketa, konflik atau perkara

pertanahan yang disampaikan kepada Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia untuk

mendapatkan penanganan penyelesaiansesuai ketentuan peraturan perundang-undangan

dan/atau kebijak pertanahan nasional. 30

29
Pengertian menurut Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan
30
Badan Pertanahan Nasional Sumatera Utara, Penanganan Masalah Sengketa Dan Konflik Pertanahan,
Seminar Hukum Pertanahan, Mengurai dan Mengurangi Konflik Pertanahan, Medan, 2012

Universitas Sumatera Utara


Dalam peristiwa hukum konkrit terhadap sengketa tanah dan isu-isuyang terjadi di

areal HGU PT. Perkebunan Nusantara, isu-isu yang dijadikan alasan kelompok masyarakat

menuntut, menggarap tanah perkebunan adalah proses ganti rugi yang belum tuntas, tanah

nenek moyang yang diambil paksa oleh perkebunan, adanya perbedaan luas hasil ukur

dengan HGU, tanah terlantar, dan lain-lain. 31 Keadaan yang demikian harus dicermati secara

hukum, apa-apa yang dijadikan alasan penggarap melakukan tuntutan dan menggarap tanah

perkebunan tersebut.

Bila memperhatikan tentang alasan-alasan penggarap menuntut dan mempertahankan

tanah yang mereka garappada areal HGU PTPN di Sumatera Utara yaitu :

Pertama, bahwa tanah-tanah yang dulunya dikuasai dan diusahai oleh masyarakat atau

milik masyarakat secara turun-temurun diambil alih untuk dijadikan perkebunan tanpa

diselesaikan secara tuntas.

Kedua, proses ganti rugi yang belum tuntas , dan nilai ganti ruginya dipandang terlalu

rendah oleh masyarakat, tetapi karena proses gantiruginya disertai dengan intimidasi,

maka masyarakat terpaksa melepaskan tanahnya.

Ketiga, perbedaan luas hasil ukur dengan luas tanah hak guna usaha (HGU) di

lapangan, terjadi selisih luasan dengan kenyataan di lapangan sehingga ada tanah-

tanah masyarakat yang masuk areal perkebunan.

Keempat, tanah perkebunan merupakan tanah ulayat/tanah adat atau warisan dari suatu

kesultanan atau keluarga masyarakat tertentu; Tanah perkebunan diakui sebagai tanah

ulayat/tanah adat, merupakan masyarakat adat setempat yang diambil alih oleh

pengusaha tanpa izin masyarakat/ketua adat mereka atau tanah tersebut merupakan

31
PT. Perkebunan Nusantara III (Persero), Pokok-Pokok Hukum Agraria, Bagian Hukum PTPN III, Urs
Hukum/Pertanahan, 2014

Universitas Sumatera Utara


warisan dari keturunan Sultan/Raja, sehingga ahli waris merasa memiliki hak atas

tanah perkebunan tersebut.

Kelima, tanah perkebunan yang tidak dikelola secara baik tanah terkesan

diterlantarkan atau dianggap sebagai lahan tidur, sehingga ditanami oleh masyarakat

dengan tanaman palawija dan ada yang menanam tanaman keras 32.

Hampir semua instansi yang mempunyai wewenang menanganinya sudah menjadi

tempat pengaduan dan penuntutan antara penggarap dan perusahaan perkebunan namun tak

kunjung selesai dengan tuntas.

Gagalnya penyelesaian sengketa tanah perkebunan baik yang ditempuh dengan

melalui proses pengadilan (litigasi) maupun dengan cara musyawarah di luar pengadilan

(non-litigasi), ada beberapa sebab, yaitu :

Pertama; penyelesaian melalui pengadilan dirasakan kurang memenuhi rasa keadilan,

anggapan para penggarap pengadilan berpihak kepada perkebunan. Dengan sikap pandangan

penggarap yang demikian maka putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap

tidak dapat dilaksanakan.

Kedua; penyelesaian sengketa dengan cara pendekatan non-litigasi model atau

bentuk penyelesaiannya dengan cara pendekatan keamanan (security approach) berdampak

jatuhnya korban jiwa dan harta benda, menimbulkan rasa permusuhan di kedua belah pihak

semakin tajam. Dari sudut pandang menentukan penggarap yang benar-benar sebagai

penggarap murni yang mempunyai hak terhadap tanah yang digarapnya mengalami

kesulitan.

Diperlukan paradigma penyelesaian sengketa tanah perkebunan dengancara memakai

paradigma pendekatan penyelesaian sengketa alternatif (alternative despute resolution).

32
PT. Perkebunan Nusantara III (Persero), Bagian Hukum PTPN III Urusan Pertanahan, Penanganan
Masalah Pertanahan, Medan, 2013

Universitas Sumatera Utara


Resolusi konflik semacam ini didasarkan atas suatu falsafah bahwa konflik tidak harus

diselesaikan melalui cara pandang kalah menang (win-lose solution), melainkan konflik

dapat diakhiri dengan menjadikan semua pihak yang terlibat (desputans) sebagai pemenang

(win-win solution) 33. Penyelesaian sengketa yang diharapkan tentunya akan menghasilkan

kebijakan baru dalam pertanahan yaitu suatu bentuk-bentuk penyelesaian sengketa

pertanahan yang dapat mempercepat penuntasan sengketa tanah di daerah Sumatera Utara.

Situasi dan kondisi terjadi di era pasca reformasi muncul kembali masalah sengketa

tanah yang dihadapi di bidang usaha perkebunan, masalah-masalah pasca reformasi tersebut

yaitu:

Pertama, penggarapan areal hampir terjadi disetiap unit kebun dengan modus yang

tidak jauh berbeda antara gerakan penggarap kelompok yang satu dengan kelompok di

daerah yang lain.

Kedua, Otonomi Daerah berdasarkan Undang-Undang No. 22 dan 25 Tahun 1999,

diganti menjadi UU No. 32 dan UU No 33 Tahun 2004. Mengenai sektor perkebunan

pemerintah daerah tidak banyak mendapatkan porsi keuntungan dari usaha

perkebunan, masih lebih besar diserap ke Pemerintah Pusat. Hal ini menyulitkan

perusahaan perkebunan dalam upaya perbaikan citra karena ketika akan membangun

hubungan baik dan dialog dengan Aparatur Pejabat birokrasi Pemerintah Daerah ada

“ruang yangtertutup” karena perkebunan yang berada di wilayah pemerintah daerah

setempat tidak banyak menyentuh jalianan atmosfir perkebunan, manfaatnya kurang

dirasakan di lingkungan pemerintah daerah setempat. 34

Sengketa tanah yang melibatkan masyarakat dengan pemerintah terus terjadi. Pada

tahun 2001 Kesultanan Deli dan Forum Peta Umat mengajukan surat kepada Mendagri dan

33
Abu Rohmad, Paradigma Resolusi Konflik Agraria, Walisongo Press, Semarang, 2008, hal xix
34
Perspektif PTP Nusantara III Dalam Menghadapi Konflik Hak Guna Usaha, 2001, hal 5

Universitas Sumatera Utara


DPR RI yang intinya mengklaim tanah-tanah perkebunan yang terbentang luas di Sumatera

Timur sebagian besar diusahakan di atas lahan hak ulayat masyarakat Melayu. Sultan Deli

mengklaim tanah eks-konsesi Kesultanan Deli yang sekarang merupakan lahan perkebuan

tembakau, kelapa sawit dan tebu (BUMN PTPN) adalah tanah ulayat mereka. Pemerintah

Kabupaten Deli Serdang menerbitkan dua Surat Keputusan Bupati Deli Serdang, yakni SK

No. 112 Tahun 2000 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Masalah Hak Ulayat

Masyarkat Hukum Adat di Kabupaten Deli Serdang, dan SK Bupati Deli Serdang No 615

tahun 2001 tentang Adat di Kabupaten Deli Serdang. Namun demikian tanah yang diklaim

sebagai tanah ulayat tersebut banyak yang dikuasi oleh pemerintah (BUMN–PTPN II),

sehingga seringkali menimbulkan masalah antara masyarakat dengan pemerintah.

"Penjarahan dan pengrusakan tanaman tebu milik PTPN II saat ini masih terus
berlanjut. Jika tidak dihentikan, bukan hanya 820 karyawan yang akan terancam PHK
tetapi perusahaan juga akan mengalami kesulitan, luas areal tanah Hak Guna Usaha/HGU
milik PTPN II yang ditanami tebu sekitar 500 ribu hektare, termasuk areal infrastruktur dan
perumahan. HGU itu perizinannya tahun 2003 diperpanjang hingga 2028, sehingga tak ada
alasan kelompok lain untuk melakukan penyerobotan, pengrusakan disertai kekerasan dan
pembabatan tanaman tebu yang sudah dipelihara oleh para pekerja lebih dari enam bulan.
Namun tiba-tiba datang ratusan warga merusak, menganiaya dan mengusir karyawan
PTPN II, pengrusakan tetap terjadi dan bahkan terjadi korban kekerasan lebih dari 19
orang karyawan luka-luka akibat kena bacokan, panah dan gebukan kayu balok. Mereka
menyebutkan tanah tersebut bukan milik PTPN II tetapi tanah garapan milik kakek dan
neneknya. Kami berharap pihak aparat untuk melindungi karyawan yang masih was-was
untuk diserang kedua kalinya dan melakukan pengerusakan terhadap tanaman tebunya.” 35

Selesaikan sengketa tanah dengan komrehensif, dengan mengedepankan

penyelesaian hukum, tetapi tetap dibantu pertimbangan sejarah dan pendekatan sosial dan

budaya. 36 Dengan adanya ketentuan-ketentuan peraturan tentang cara-cara penyelesaian

sengketa tanah, maka pengusaha perkebunan tidak dapat melakukan pengosongan tanah

35
Ketua Umum Federasi Serkat Pekerja Perkebunan di Jakarta, Harian Kompas, Sabtu, 26 Mei 2012
36
Muhammad Yamin, Pemikiran Strategis Kebijakan Agraria Dalam Penyelesaian Sengketa Tanah Di Era
Penguatan Otonomi Darah Saat ini, dalam M. Solly Lubis, Paradigma Kebijakan Hukum Paca Reformasi,
Sofmedia, 2010, hlm 186

Universitas Sumatera Utara


dilakukan dengan sewenang-wenang. Demikian pula para penggarap tidak dibenarkan secara

memaksakan diri menduduki areal perkebunan.

B. Rumusan Masalah

1. Apa sarana hukum yang mengaturhak guna usaha perusahaan perkebunan dan

masyarakat penggarap?

2. Bagaimana bentuk penyelesaian sengketa tanah terhadap tuntutan masyarakat

penggarap areal hak guna usaha ( HGU ) perkebunan?

3. Mengapa terjadi kegagalan penyelesaian sengketa tanah garapan pada areal hak

guna usaha (HGU)PerusahaanPerkebunan Milik Negara (BUMN) di Sumatera

Utara?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk menggali secara mendalam dan menganalisis faktor penyebab tidak

terselesaikannya sengketa tanah di areal hak guna usaha perkebunan PTPN oleh

pihak-pihak yang berwenang.

2. Untuk mencari model penyelesaian sengketa tanah antara perusahaan perkebunan

dengan penggarap padaareal hak guna usaha (HGU) perkebunan PTPN di

Sumatera Utara.

3. Untuk menjelaskan sengketa-sengketa tanah garapan yang terjadi pada areal hak

guna usaha(HGU) perkebunan di Sumatera Utara.

D. Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan dan data

kalangan akademisi, karena akan menjadi data empiris yang berhubungan dengan

Universitas Sumatera Utara


penggarapan areal perkebunan dan pertanggung jawaban hukum bagi penggarap

dan perusahaan.

2. Secara praktis penelitian ini dapat dijadikan pelaku usaha perkebunan untuk

menambah pengetahuan dan dapat dipakai untuk penyelesaian atau mengatasi

penggarapan areal hak guna usaha perkebunan. M. Solly Lubis mengatakan

bahwa penelitian harus memiliki manfaat praktis dan manfaat teoritis, Bahkan

khusus dalam penelitian disertasi harus menemukan sesuatu yang baru (

something new ). 37

E. Kerangka Teori dan Kerangka Konsep

1. Kerangka Teori

Kerangka teori merupakan “kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori,

thesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem), yang menjadi bahan

perbandingan, pegangan teoritis yang mungkin disetujui atau tidak disetujui. 38

Teori yang dipakai untuk menganalisis masalah adalah:

a. Teori Penyelesaian Sengketa

Teori Penyelesaian Sengketa secara filosofis, penyelesaian sengketa merupakan

upaya untuk mengembalikan hubungan para pihak yang bersengketa dalam keadaan seperti

37
Bahan materi kuliah M. Solly Lubis, TA 2011-2012 pada Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum Fakultas
Hukum USU
38
Sedangkan teori itu sendiri adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik, tetapi
merupakan suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman
empiris. Dengan kata lain, teori dalam ilmu pengetahuan merupakan suatu penjelasan rasional yang
berkesesuaian dengan objek yang dijelaskan, dan meskipun penjelasan nampaknya begitu meyakinkan, akan
tetapi harus didukung oleh fakta-fakta empiris agar dapat dinyatakan benar (valid atau sahih). M. Solly Lubis,
Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju1994), hal. 27 dan 80.

Universitas Sumatera Utara


semula. Dengan pengembalian hubungan tersebut, maka mereka dapat mengadakan

hubungan, baik hubungan sosial maupun hubungan hukum antara satu dengan lainnya 39.

Teori penyelesaian sengketa merupakan teori yang mengkaji dan menganalisis

tentang: “kategori atau penggolongan sengketa atau pertentangan yang timbul dalam

masyarakat, faktor penyebab terjadinya sengketa dan cara-cara atau strategi yang digunakan

untuk mengakhiri sengketa tersebut”. Bahwa salah satu fungsi hukum pada pokoknya adalah

menyediakan mesin dan tempat yang bisa dituju oleh orang untuk menyelesaikan sengketa

mereka dan merampungkan sengketa mereka. Fungsi ini tidak dimonopoli sistem hukum

tapi juga dimiliki oleh orang tua, guru, tokoh agama, para majikan dan lainnya. Berkaitan

dengan bagaimana hukum digunakan untuk memecahkan persoalan sengkteta tanah. Budaya

hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana

hukum digunakan, dihindari dan disalah-gunakan. Tanpa budaya hukum, sistim hukum tidak

akan berdaya jika diterapkan dalam kehidupan masyarakat 40. Teori penyelesaian sengketa

dipakai sebagaigrandtheory dalam penulisan disertasi ini.

Ralf Dahrendorf mengembangkan teori penyelesaian sengketa yang berorientasi

kepada struktur dan institusi social. Ralf Dahrendorf berpendapat bahwa masyarakat

mempunyai dua wajah, yaitu:

1. Sengketa dan;

2. Konsensus

Teori sengketa menganalisis sengketa kepentingan dan penggunaan kekerasan yang

mengikat masyarakat bersama di hadapan tekanan itu. Sementara itu teori konsensus

menguji nilai integrasi dalam masyarakat.

39
Istilah teori penyelesaian sengketa berasal dari terjemahan bahasa Inggris, yaitu dispute settlement of
theory, Salim HS, Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis Dan Disertasi,
Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2013) hal 135.
40
Lauwrance M. Friedman, Sistem Hukum Prespektif Ilmu Sosial, Diterjemahkan dari buku The Legal
System: A Social Science Perspective oleh M. Khozim, Peneribit Nusa Media, Bandung, 2009, hal 20)

Universitas Sumatera Utara


Simon Fisher, dkk. mengemukakan enam teori yang mengkaji dan menganalisis penyebab

terjadinya sengketa 41, yaitu:

1) Teori hubungan masyarakat berpendapat penyebab terjadinya sengketa adalah oleh

polarisasi (kelompok yang berlawanan) yang terus terjadi, ketidak percayaan dan

permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. Sasaran

yang ingin dicapai teori ini adalah meningkatkan komunikasi dan saling pengertian

antara kelompok-kelompok yang mengalami sengketa dan mengusahakan toleransi

dan agar masyarakat lebih bisa saling menerima keragaman yang ada didalamnya.

2) Teori negosiasi prinsip menganggap bahwa penyebab terjadinya sengketa karena

posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang sengketa oleh pihak-

pihak yang bersengketa.

3) Teori identitas berasumsi (beranggapan), bahwa terjadinya sengketa disebabkan

karena identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau

penderitaan masa lalu yang tidak diselesaikan.

4) Teori kesalahpahaman antar budaya berasumsi bahwa sengketa terjadi disebabkan

ketidakcocokan dalam cara-cara berkomunikasui diantara berbagai budaya yang

bersengketa.

5) Teori transformasi sengketa berasumsi bahwa sengketa terjadi disebabkan oleh

masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang sebagai masalah-masalah

sosial, budaya dan ekonomi.

6) Teori kebutuhan manusia berasumsi bahwa penyebab terjadinya sengketa adalah

kebutuhan dasar manusia, baik fisik, mental dan sosial yang tidak terpenuhi atau

41
Salim HS, Erlies Septiana, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis Dan Disertasi, PT Raja
Grafindo, Jakarta, 2013, hal 144.

Universitas Sumatera Utara


dihalangi. Masalah keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi dan otonomi yang

menjadi pokok pembicaraan.

Bagi masyarakat Jepang menghormati suatu nilai yang disebut “harmoni” merupakan

suatu ciri nasional, penyelesaian suatu sengketa itu bertujuan untuk mempertahankan,

memperbaiki atau menciptakan suatu hubungan khusus yang harmonis. Bentuk penyelesaian

suatu sengketa yang paling menonjol di Jepang adalah sarana di luar pengadilan, perbaiki

hubungan dan konsiliasi melalui suatu lembaga yang disebut Chotei. 42

Takeyoshi Kawashima mengatakan :

“bahwa Perdamaian yang besar selama tiga ratus tahun Tokugawa dapat
dipertahankan karena pertikaian di antara warga negara diselesaikan secara harmonis
melalui administrasi mereka sendiri yang otonom, dengan menghindarisebanyak mungkin
cara dengan prosedur Pengadilan”. 43

b. Teori Keadilan

Keadilan merupakan syarat bagi terciptanya kebahagian hidup untuk warga

negaranya dan sebagai dasar dari pada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap

manusia agar ia menjadi warga negara yang baik. Demikian pula peraturan hukum yang

sebenarnya hanya ada jika peraturan hukum itu mencerminkan keadilan bagi pergaulan

hidup antar warganegaranya. 44

Gustaf Radbruch, mengajarkan adanya tiga ide dasar hukum, yang oleh sebagian

besar pakar teori hukum dan filsafat hukum, juga diidentikkan sebagai tujuan hukum, yaitu

keadilan (justice), kepastian hukum (certainty)dan kemanfaatan (expediency).Ketiga ide

dasar hukum itu merupakan tujuan hukum secara bersama-sama.Radbruch mengajarkan

bahwa harus menggunakan asas prioritas, dalam hal ini perioritas pertama adalah keadilan,

42
Takeyoshi Kawashima, Penyelesaian Pertikaian di Jepang Kontemporer, dalam AAG Peters dan
Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial Buku Teks Sosiologi Hukum Buku II, Pustaka
Sinar Harapan, Jakarta, 1988, h. 105-110.
43
Ibid.
44
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, Sinar Bakti, Jakarta 1988, hal
153

Universitas Sumatera Utara


kedua adalah kepastian hukum dan terakhir barulah kemanfaatan. Kepastian hukum dan

kemanfaat hukum tidak boleh bertentangan dengan keadilan, demikian juga kepastian

hukum tidak boleh bertentangan dengan kemanfaatan. 45 Holland berpendapat dalam

bukunya, “Jurisprudence” tujuan hukum adalah menciptakan dan melindungi. 46

JeremyBentham selanjutnya berpendapat bahwa pembentuk undang-undang hendaknya

dapat melahirkan sistem yang dapat mencerminkan keadilan bagi semua individu. Dengan

berpegang pada prinsip tersebut di atas perundang-undangan hendaknya dapat memberikan

manfaat yang besar bagi sebagian besar masyarakat. 47 Teori keadilan dipakai sebagai middle

theory dalam penulisan disertasi ini.

Eugen Ehrlich berpendapat bahwa hukum positif akan mempunyai daya laku yang

efektif apabila berisikan atau selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living

law). Ajarannya yang sangat berpengaruh bahwa terdapat perbedaan antara hukum positif

dengan hukum yang hidup di tengah masyarakat. 48

Holmes, O. W, memandang hukum sebagai “prediksi” yang dilakukan oleh badan

litigasi maupun para pengacara professional di tengah-tengah lapangan hukum 49. Pernyataan

Holmes tentang hukum adalah putusan hakim dan bukan deduksi abstarak dari peraturan-

peraturan umum, memfokuskan perhatiannya pada faktor-faktor empiris yang menimbulkan

suatu sistem hukum 50.

45
dalam Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence
Termasuk Interpretasi Undang=Undang (Legisprudence), 2009, Kencana Pranada Media Group, Jakarta, hal
288-289
46
Sunarjati Hartono, Kapita Selekta Perbandingan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,1989, hal 36
47
Lili Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2007, hal 61
48
Lili Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum , Mandar Maju, 2007, hal 66
49
The American Legal System, baca “ Bahan Bacaan Filsafat Hukum Buku ke 1” yang disusun oleh
Agus Brotosusilo, hal 658
50
http://xa.yimg.com/kq/groups/24002719/278585820/name/AMERICAN+AND+SCANDINAVIAN+RE
ALISM.pdf.

Universitas Sumatera Utara


Roscoe Pound menyebutkan ada dua kebutuhan pentingnya pemikiran secara

filosofis tentang hukum, pertama; kebutuhan masyarakat yang besar akan keamanan umum.

Kebutuhan akan perdamaian dan ketertiban guna mewujudkan keamanan mendorong

manusia mencari aturan yang mengatur manusia terhadap tindakan yang sewenang-wenang

dari penguasa maupun individu sehingga dapat mendirikan suatu masyarakat yang mantap.

Kedua; Adanya kebutuhan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan dibidang

keamanan umum dan membuat kompromi-kompromi baru secara terus menerus dalam

masyarakat karena terjadinya perubahan dan untuk itu diperlukan adanya penyesuaian-

penyesuaian agar tercapai suatu hukum yang sempurna. 51

c. Teori Pluralisme Hukum

Menurut Sally Engle Merry, Pluralisme Hukum adalah is generally defined as a

situation in which two or more legal systems coexist in the same social field”, dan konsep

klasik dari Griffiths, yang mengacu pada adanya lebih dari tatanan hukum dalam suatu arena

sosial “ by legal pluralism ‘ I mean the presence in social field of more than one legal

order”. 52

Griffiths membedakan pula adanya dua macam pluralisme hukum yaitu weak legal

pluralism (pluralisme hukum yang lemah), dan strong legal pluralism(pluralisme hukum

yang kuat). Menurut Griffiths pluralisme hukum yang lemah adalah bentuk lain dari

sentralisme hukum, karena meskipun mengakui adanya pluralisme hukum, tetapi hukum

negara tetap dipandang sebagai superior, sedangkan hukum-hukum yang lain disatukan

dalam hirarki di bawah hukum negara. Pluralisme yang kuat menurut griffiths merupakan

produk dari para ilmuan sosial, adalah pengamatan ilmiah mengenai fakta adanya

51
Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, Penerbit Bharatara Niaga Media, Jakarta, 1989 hal 3
52
Merry, 1988, hal 870, dalam Sulistyowati Irianto, Perempuan Di antara Berbagai Pilihan Hukum
(Studi Mengenai Strategi Perempuan Batak Toba Untuk Mendapatkan Akses Kepada Harta Warisan Melalui
Proses Penyelesaian sengketa), Disertasi 2000, hal. 38.

Universitas Sumatera Utara


kemajemukan tatanan hukum yang terdapat di semua (kelompok) masyarakat, tidak terdapat

hierarki yang menunjukkan sistem hukum yang satu lebih tinggi dari yang lain. 53 Griffiths

memasukkan pandangan beberapa ahli ke dalam pluralisme hukum yang kuat, antara lain

teori Living law dari Eugene Ehrlich, yaitu aturan-aturan hukum yang hidup dari tatanan

normatif, yang dikontraskan dengan hukum negara.

Kontribusi utama dari Ehrlich dengan sosiologi hukum teori deskriptif hukum yang

dikembangkan sebagai reaksi terhadap ideologi sentralis hukum pada zamannya (dalam

bentuk yang disebut hukum positif). Kunci untuk teori deskriptifnya adalah perbedaan

antara "aturan keputusan" dan "aturan perilaku". Dalam konsepsi hukum positif, menurut

Ehrlich, hukum terdiri dari "aturan keputusan", hukum didefinisikan dari titik Pandang dari

seorang pejabat negara sebagai

"aturan sesuai dengan yang (dia) harus memutuskan sengketa hukum yang
diajukannya ".

Konsepsi hukum positif ini berdiri di jalan yang ilmu teoretis nyata hukum, yang

harus independen dari keprihatinan praktis administrasi lembaga negara. Pluralisme adalah

suatu pandangan dalam hukum yang dimana didalam suatu peraturan hukum terdapat hukum

lain yang terkandung didalam suatu peraturan. Hukum pluralisme terdapat 2 kategori yaitu :

1) Pluralisme hukum yang lemah

Hal ini biasa terjadi di pemerintahan centralist yaitu dimana dalam suatu hukum

pemerintahan pusat terdapat hukum lain (adat, budaya, kebiasaan , dan lain-lain)

yang lebih lemah dibanding hukum yang lain (pusat).

Menurut Griffiths pluralisme hukum yang lemah itu adalah bentuk lain dari

sentralisme hukum karena meskipun mengakui adanya pluralisme hukum, tetapi

tetap berpegang pada souveregnity hukum Negara, hukum-hukum yang lain

53
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


disatukan dalam hierarki di bawah hukum negara. Contoh dari pandangan

pluralisme hukum yang lemah adalah konsep yang diajukan oleh Hooker : “The

term legal pluralism refers to the situation in which two or more laws interact”.

Meskipun mengakui adanya keanekaragaman sistem hukum, tetapi ia masih

menekankan adanya pertentangan antara apa yang disebut sebagai municipal

law sebagai sistem yang dominan (hukum negara), dengan servient law yang

menurutnya inferior seperti kebiasaan dan hukum agama. 54

2) Pluralisme hukum yang kuat

Sementara itu konsep pluralisme hukum yang kuat, yang menurut Griffiths

merupakan produk dari para ilmuwan sosial, adalah pengamatan ilmiah mengenai

fakta adanya kemajemukan tatanan hukum yang terdapat di semua (kelompok)

masyarakat. Semua sistem hukum yang ada dipandang sama kedudukannya dalam

masyarakat, tidak terdapat hierarkhi yang menunjukkan sistem hukum yang satu

lebih tinggi dari yang lain. Anne Griffiths menyebutnya “strong”,

“deep”, atau “new” legal pluralism,yang mengatakan bahwa semua hukum yang

hidup dalam arena sosial masyarakat itu, sama keberlakuannya, tidak ada jaminan

bahwa kedudukan hukum yang satu dipandang lebih tinggi daripada hukum yang

lain.

John Griffiths memasukkan pandangan beberapa ahli ke dalam pluralisme hukum

yang kuat antara lain adalah teori dari Sally Falk Moore mengenai pembentukan aturan

dengan disertai kekuatan pemaksa di dalam kelompok-kelompok sosial yang diberi

54
Hooker dalam Sulistyowati Irianto, PLURALISME HUKUM SEBAGAI SUATU KONSEP DAN
PENDEKATAN TEORETIS DALAM PERSPEKTIF GLOBAL, Academia.edu diakses tgl 5Maret 2015

Universitas Sumatera Utara


label the semi-autonomous social field. Dalam hal ini Griffiths mengadopsi pengertian

pluralisme hukum dari Moore:

“Legal pluralism refers to the normative heterogeneity attendant upon the fact that
social action always takes place in a context of multiple, overlapping ‘semi-autonomous
social field”.

Sementara itu pengertian hukum dari Moore yang juga dikutipnya adalah: “ Law is

the self-regulation of a ‘semi-autonomous social field”. 55 Meskipun masih sering menjadi

acuan, pandangan legal pluralist permulaan itu kemudian mendapat kritik terutama dari

sarjana hukum konvensional. Menurut Tamanaha sebenarnya konsep pluralisme hukum

bukanlah hal yang baru, karena Eugene Ehrlich telah membicarakan hal yang sama sejak

lama, ketika ia berbicara mengenai konsep living law itu. Dalam salah satu kritiknya

terhadap pandangan pluralisme hukum, Tamanaha yang lebih suka menggunakan istilah

“rule system pluralism” untuk menggantikan istilah “legal pluralism”,mengatakan bahwa

pandangan kaum legal pluralist cenderung menonjolkan adanya kontras antara hukum

negara dan hukum rakyat. Sebaliknya, menurut kaum legal pluralist, justru sebagian

kalangan sarjana hukum sendiri yang mengatakan bahwa karakteristik yang paling utama

dari folk law 56 adalah ia tidak diturunkan dari negara.

Pada masa ini studi antropologi hukum, khususnya studi tentang sengketa, ditandai

oleh kajian yang mengemukakan kehadiran hukum Negara di samping hukum rakyat.

Dalam hal ini ditunjukkan adanya pilihan-pilihan hukum yang terbentang di antara hukum

Negara dan hukum rakyat (hukum adat atau hukum agama dan kebiasaan-kebiasaan lain).

55
The semi-autonomous social field is defined and its boundaries iderentified not by its organization (it
may be a corporate group, it may be not), but by a processual characteristic, the fact that it can generate rules
and coerce or induce compliance to them. Thus an arena in which a number of corporate groups deal with
each other may be a semi-autonomous social field (Moore, 1983: 57)
56
Isitlah folk law dalam bahasa Inggris sering juga dikenal dengan berbagai nama lain seperti: “internally-
generated regulation of semi-autonomous social fields”; “customary law”, “living law”, “positive morality”,
“informal law”; ‘non-state law”; indigenous law”, people’s law”; “autogenous regulation”; “private
government”; “private justice” (Gordon Woodman, Historical Development, bahan materi post Congress
Course “Folk Law Today andTomorrow”, Wellington University, 1993: 1-2)

Universitas Sumatera Utara


Pada masa-masa sebelumnya studi sengketa dalam literature antropologi hukum kebanyakan

melihat proses penyelesaian yang dilakukan oleh para otoritas adat (the chief, big man, the

head man), di luar pengadilan Negara.

Kemudian berkembang konsep pluralisme hukum yang tidak lagi menonjolkan

dikotomi antara sistem hukum negara di satu sisi dan sistem hukum rakyat di sisi yang lain.

Pada tahap ini konsep pluralisme hukum lebih menekankan pada

“a variety of interacting, competing normative orders –each mutually influencing the


emergence and operation of each other’s rules, processes and institutions”. 57

Franz von Benda-Beckmann adalah salah satu ahli yang dapat digolongkan ke dalam

tahap perkembangan ini. Ia mengatakan bahwa tidak cukup untuk sekedar menunjukkan

bahwa di lapangan sosial tertentu terdapat keanekaragaman hukum, namun yang lebih

penting adalah apakah yang terkandung dalam keanekaragaman hukum tersebut,

bagaimanakah sistem-sistem hukum tersebut saling berinteraksi (mempengaruhi) satu sama

lain, dan bagaimanakah keberadaan dari sistem-sistem hukum yang beragam itu secara

bersama-sama dalam suatu lapangan kajian tertentu. 58Pemikiran di atas sekaligus juga

menunjukkan segi-segi metodologis, yaitu cara bagaimana melakukan kajian terhadap

keberagaman system hukum dalam suatu lapangan kajian tertentu. 59 Kepastian

Hukumdiperlukan dalam penyelesaian sengketa tanah di dalam masyarakat majemuk dan

tidak terlepas dari Pluralisme Hukum yang berlaku.

Asas kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan

landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan

penyelenggaraan negara. 60

57
Kleinhans dan MacDonald, 1997:31 dalam Perkembangan Pemikiran Konsep Pluralisme Hukum
58
F. Benda-Beckmann, 1990:2 dalam Pluralisme Hukum
59
Dalam Brian Z Tamanaha Understanding Legal Pluralism: Past to Present, Local to Global
60
Prajudi Atmosudirdjo, 1984, Hukum Administrasi Negara, Penerbit Ghalia, Jakarta, Hal. 79-80

Universitas Sumatera Utara


2. Kerangka Konsep
a. Tanah menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1960tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria, Pasal 4 ayat (1)dan (2) adalahpermukaan bumi

sekedar yang diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan

dengan penggunaan tanah itu, dalam batas-batas menurut undang-undang

(yaitu: UUPA) dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. 61

b. Pengertian Perkebunan adalah segala kegiatan yang mengusahakan tanaman

tertentu pada tanah dan/atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang

sesuai, mengolah dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut,

dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta

manajemen untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan

dan masyarakat. (Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan,

Pasal 1 angka 1).

c. Pengertian Perusahaan Perkebunan adalah pelaku usaha perkebunan

warganegara Indonesia atau badan hukum yang didirikan menurut hukum

Indonesia dan berkedudukan di Indonesia yang mengelola usaha perkebuan

dengan skala tertentu (Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 tantang

Perkebunan, Pasal 1 angka 6).

d. Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan

usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara

melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang

dipisahkan. (Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik

Negara, Pasal 1 angka 1).

61
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi
Dan Pelaksanaannya, Jilid 1, Hukum Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta, 2008, hlm 18

Universitas Sumatera Utara


e. Perusahaan Perseroan yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang

berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang

seluruh atau paling sedikit 51 % (limapuluh satu persen) sahamnya dimiliki

oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan

(UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN, Pasal 1 angka 2).

f. Hak Guna Usaha (HGU) adalah salah satu jenis hak atas tanah yang diakui

secara yuridis formal, oleh Pasal 16 dan Pasal 28 s/d 34 Undang-Undang

Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 60 serta Peraturan Pemerintah Nomor 40

Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Hak Pakai Atas

Tanah. Bahwa pengertian HGU dari yang terkandung di dalam isi pasal-pasal

tersebut diatas dapat disimpulkan hak untuk mengusahakan tanah yang

dikuasai langsung oleh Negara dalam jangka waktu paling lama 35 tahun

dan dapat diperpanjang 25 tahunyang digunakan untukperusahaan pertanian,

perkebunan, perikanan dan peternakan.

g. Penggarap menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 1960 Tentang Perjanjian

Bagi Hasil, dalam Pasal 2, yaitu orang-orang tani yang tanah garapannya

kepunyaan sendiri maupun yang diperolehnya secara menyewa dan luas

tanahnya tidak akan lebih dari 3 (tiga) hektar.

h. Sengketa adalah masalah antara dua orang atau lebih yang keduanya saling

mempermasalahkan suatu obyek tertentu. Hal ini terjadi karena kesalah

pahaman atau perbedaan pendapat atau persepsi antara keduanya, kemudian

menimbulkan akibat hukum bagi keduanya. Sengketa tanah dapat berupa

sengketa administrative, sengketa perdata, sengketa pidana terkait dengan

pemilikan, transaksi, pendaftaran, penjaminan, pemanfaatan, penguasaan dan

Universitas Sumatera Utara


sengketa hak ulayat. Sengketa tanah obyeknya tidak hanya individu,

kelompok, organisasi bahkan lembaga besar seperti Badan Usaha Milik

Negara (BUMN) ataupun Negara. Status hukum antara subyek sengketa

dengan tanah yang menjadi obyek sengketa bisa berupa pemilik, pemegang

hak guna usaha, penyewa, pengelola, penggarap dan sebagainya. Sedangkan

obyek tanah meliputi tanah milik perseorangan, atau badan hukum, tanah

asset Negara atau Pemda, tanah Negara, tanah adat dan ulayat, tanah eks hak

barat, tanah perkebunan dan jenis kepemilikan lainnya 62.

i. SengketaTanah 63 adalah perselisihan orang perseorangan, badan hukum atau

lembaga yang tidak berdampak luas secara sosio politis. Perselisihan

mengenai tanahyang disebut denganKonflik Pertanahan adalah perselisihan

pertanahan antara orang perseorangan, kelompok, golongan, organisasi,

badan hukum, atau lembaga yang mempunyai kecenderungan atau sudah

berdampak luas secara sosio politis. Istilah lain dalam membedakan antara

Sengketa Tanah dan Konflik Pertanahan yaitu Perkara Pertanahan dan Kasus

Pertanahan. Perkara Pertanahan adalah perselisihan pertanahan yang

penyelesaiannya dilaksanakan oleh lembaga peradilan atau putusan lembaga

peradilan yang masih dimintakan penanganan perselisihannya di Badan

Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Sedangkan Kasus Pertanahan

adalah sengketa ,konflik atau perkara pertanahan yang disampaikan kepada

Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia untuk mendapatkan

62
Bernhard Limbong, 2012, Konflik Pertanahan, Pustaka Margaretha, hal 48-50
63
Pengertian menurut Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan

Universitas Sumatera Utara


penanganan penyelesaiansesuai ketentuan peraturan perundang-undangan

dan/atau kebijak pertanahan nasional 64.

Perkebunan diselenggarakan berdasarkan atas asas manfaat dan berkelanjutan,

keterpaduan, kebersamaan, keterbukaan serta berkeadilan. 65Yang dimaksud dengan asas

manfaat dan berkelanjutan adalah bahwa penyelenggaraan perkebunan harus dapat

meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat dengan mengupayakan kelestarian

fungsi lingkungan hidup dan memperhatikan kondisi sosial budaya. Yang dimaksud dengan

asas keterpaduan adalah bahwa penyelenggaraan perkebunan harus dilakukan dengan

memadukan subsistem produksi pengolahan, dan pemasaran hasil perkebunan. Yang

dimaksud dengan asas kebersamaan adalah bahwa agar dalam setiap penyelenggaraan

perkebunan menerapkan kemitraan secara terbuka sehingga terjalin saling keterkaitan dan

saling ketergantungan secara sinergi antar pelaku usaha perkebunan (Lihat UU No. 18

Tahun 2004 tentang Perkebunan).

Belum adanya mekanisme yang menyeluruh penyelesaian sengketa tanah hal ini

merupakan permasalahan yang menyebabkan belum berhasilnya menyelesaikan konflik

agraria. Apabila berpedoman dengan bukti alas hak perkebunan mempunyai legalitas yang

resmi dengan kata lain secara formal legalitasnya jelas terhadap tanah yang di usahai,

sedangkan masyarakat petani berada di areal secara nyata menguasai menggarap tanah tetapi

tidak mempunyai alas hak secara resmi berdasarkan hukum, artinya secara formal tanah

masyarakat lemah bukti hukumnya.

BUMN Perkebunan memiliki doktrin Tri Darma Perkebunan yang berisikan

penciptaan lapangan kerja, peningkatan penerimaan Negara, dan pelestarian lingkungan

64
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Pengkajian Dan
Penanganan Kasus Pertanahan, Badan Pertanahan Nasional Sumatera Utara, Penanganan Masalah Sengketa
Dan Konflik Pertanahan, Seminar Hukum Pertanahan, Mengurai dan Mengurangi Konflik Pertanahan, Medan,
2012
65
UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, Pasal 2

Universitas Sumatera Utara


hidup. Saat ini di Propinsi Sumatera Utara terdapat tiga perusahaan perkebunan BUMN

yakni PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) Persero II, III dan IV.

Penyelesaian adalah proses, perbuatan, cara menyelesaikan. Menyelesaikan diartikan

menyudahkan, menjadikan berakhir, membereskan atau memutuskan, mengatur,

memperdamaikan (perselisihan atau pertengkaran), atau mengatur sesuatu sehingga menjadi

baik 66. Dean G. Fruitt dan Jeffrey Z. Rubin mengemukakan pengertian sengketa berarti 67

“Persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest), atau suatu

kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang bersengketa tidak dicapaisecara simultan dan

serentak”

Yang dapat mempunyai HGU adalah Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum

yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. HGU terbit

karena berapa cara yaitu, karena penetapan pemerintah dan dapat juga karena ketentuan

konversi, namun tidak dimungkinkan karena perjanjian.

Guna kepastian hukum peryaratan pemberian HGU harus didaftarkan, demikian juga

peralihan dan penghapusannya. Ditinjau dari aspek hukum perdata secara substantive fungsi

pendaftaran adalah memiliki momentum yang penting untuk melahirkan hak kebendaan.

Dalam aspek hukum perdata ajektif, HGU yang sudah didaftarkan memiliki bukti yang kuat,

terkecuali untuk HGU yang hapus karena jangka waktunya telah berakhir.

Dalam pengertian yang mutlak (absolute) pemegang HGU adalah pemegang hak dan

yang memberikan hak adalah Negara. Apabila jangka waktu hak telah berakhir dan tidak

diperpanjang maka hak dikembalikan kepada Negara.

66
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1990), hal. 801.
67
Salim HS, Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis Dan Disertasi, PT
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013, hal. 136.

Universitas Sumatera Utara


Hak dalam perspektif hukum positif diartikan sebagai kewenangan yang diberikan

oleh peraturan perundang-undangan kepada subjek hukum untuk melakukan sesuatu atau

tidak melakukan sesuatu.

UUPA tidak ada melarang kepada pemegang HGU untuk mengalihkan kepada orang

lain, tetapi di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, larangan mengalihkan

HGU kepada orang lain ditegaskan dengan pengecualian berdasarkan peraturan perundang-

undangan. Larangan ini berlaku ketika jangka waktu HGU belum berakhir. Apabila HGU

sudah berakhir dan tidak diperpanjang lagi, apakah pemegang HGU dibolehkan

mengalihkan kepada pihak lain.

UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tidak memberikan jalan

keluar yang tegas. Secara eksplisit sudah jelas bahwa hapusnya HGU membawa

konsekwensi yuridis yaitu tanah tersebut menjadi tanah Negara. Bagi pemegang hak bila

HGU tidak diperpanjang maka melahirkan 2 (dua) kewajiban, yaitu Membongkar bangunan-

bangunan dan benda-benda yang ada diatasnya. Dari kewajiban hukum tersebu bekas

pemegang HGU masih memiliki hak atas bangunan-bangunan dan benda-benda yang ada

diatas tanah bekas HGU-nya.Hal ini sesuai dengan asas pemisahan horizontal yang dianut

UUPA.

Terhadap kewajiban hukum yang kedua adalah bekas pemegang HGU menyerahkan

tanah HGU yang sudah berakhir kepada Negara denganketentuan diberikan batas waktu oleh

Menteri, batas waktu tersebut tidak ditentukan secara tegas sebagaimana yang terdapat pada

Pasal 18 Ayat (1), PP No. 40 Tahun 1996. Menteri yang dimaksud adalah Menteri yang

mengurusi bidang pertanahan, dalam hal ini Kepala Badan Pertanahan Nasional.

Didalam UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna

Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai disebut bahwa salah satu yang dapat menjadi

Universitas Sumatera Utara


pemegang HGU adalah Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan

berkedudukan di Indonesia 68. PTPN berstatus BUMN organ perseroannya terdiri dari Rapat

Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi dan Komisaris, saham PTPN seluruhnya dikuasai

oleh Negara, maka secara yuridis Menteri bertindak selaku RUP 69. Dalam menjalankan

perusahaan Direksi bertanggung jawab untuk kepentingan dan tujuan PTPN baik di dalam

maupun diluar Pengadilan. Sebagai pedoman dalam menjalankan tugas, Direksi tidak dapat

menyimpang dari hasil RUPS, tugas Direksi mendapat pengawasan dari Komisaris karena

BUMN Persero tunduk pada UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Oleh

karena itu penyelesaian sengketa tanah garapan di PTPN sangat terikat dengan mekanisme

badan hukum tersebut.

Pada masa penjajahan Hindia Belanda, hak-hak atas tanah di Indonesia

dikelompokkan kedalam 3 jenis hak, yaitu:

a. Hak-hak asli Indonesia, yaitu hak-hak atas tanah menurut hukum adat;

b. Hak-hak Barat, yaitu hak-hak atas tanah menurut Hukum Barat, yaitu hukum yang

dibawa oleh Pemerintah Hindia Belanda ke Indonesia bersamaan dengan Hukum

Eropa. Dalam hal ini, Pemerintah Hindia Belanda memberlakukan asas

konkordansi dengan menerapkan aturan yang berlaku di Negeri Belanda di

Indonesia serta;

c. Hak-hak atas tanah daerah yang di atasnya masih ada penguasaan dari kerajaan

setempat, misalnya Yogyakarta, Surakarta, Sumatera Timur dan daerah-daerah

swapraja lainnya.

68
Tan Kamelo, Peralihan Hak Atas Tanah Eks Hak Guna Usaha PTPN (Persero) Sebagai Badan Usaha
Milik Negara Kepada Pihak Lain, Seminar Pengalihan Hak Atas Tanah Eks Hak Guna Usaha Di Sumatera
Utara, Permasalahan Dan Solusinya, 2006, Fakultas Hukum USU
69
Lihat Pasal 14 UU No. 19 Tahun 2003, dalam hal ini menteri teknis yaitu Menteri Negara BUMN

Universitas Sumatera Utara


Buku II Burgerlijk Wetboek (BW) 70 mengatur tentang jenis-jenis hak atas tanah yang

dapat dimiliki oleh perseorangan atau badan hukum, termasuk mengatur isi dari hak yang

bersangkutan beserta hubungan hukum antara pemegang hak dengan tanah yang

dikuasainya. Hal ini menunjukkan bahwa hukum tanah yang tercakup dalam BW cenderung

bersifat keperdataan.Selain itu, BW juga memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur hal-

hal yang bersifat administratif, yang berisi kebijakan Pemerintah Hindia Belanda tentang

pemberian hak atas tanah di Indonesia. Namun ketentuan-ketentuan yang mengatur hal

tersebut di atas didasarkan pada hukum tanah Pemerintahan Belanda, yaitu 71:

1. Agrarische Wet, yaitu suatu undang-undang yang dibuat Pemerintah Belanda yang

diundangkan tahun 1870 dan merupakan tambahan Pasal 62 Regering Reglement

(RR), sejenis UUD bagi Hindia Belanda yang ditetapkan tahun 1854 yang

kemudian diubah menjadi Indische Staatregering (IS) pada tahun 1925, dimana

Pasal 62 RR menjadi Pasal 51 IS 72.

2. Agrarische Besluit, yaitu keputusan Raja Belanda untuk melaksanakan Agrarische

Wet. Peraturan ini merupakan suatu pernyataan yang menjadi dasar kewenangan

pemberian hak atas semua bidang tanah yang tidak dapat dibuktikan sebagai

eigendom pihak lain, adalah milik (domein) negara. Agrarische Besluit 1870 hanya

berlaku untuk Jawa dan Madura, sedangkan untuk daerah lain ditetapkan dalam

besluit yang dikeluarkan di kemudian hari.

3. Ketentuan-ketentuan yang diadakan oleh penguasaan lokal (swapraja) yang

diciptakan menurut ketentuan swapraja, misalnya hak atas tanah yang berlaku di

70
Subekti, R. dan Tjiptosudibio, R, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Burgerlijk Wetboek, dengan
Tambahan Undang-undang Pokok Agraria dan Undang-undang Perkawinan.
71
Ibid.
72
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi
dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 1999.

Universitas Sumatera Utara


D.I. Yogyakarta dan Grant Sultan, Gront Controleur Grand Deli Maatscheppij

serta hak konsesi di Sumatera Timur.

Di masa pemerintahan Hindia Belanda, semua pemberian hak atas tanah yang

berkaitan dengan hak-hak barat mempunyai data tanah yang lengkap dengan peta

kadasternya yang sudah didaftarkan. Hal ini masih dapat dilihat di sejumlah wilayah di

Indonesia, misalnya di D.I.Yogyakarta, yang sampai saat ini peta tanahnya masih tersimpan

dan terpelihara dengan baik.

Di awal pembentukan negara Indonesia, telah ada kesadaran kebangsaan bahwa

kesejahteraan rakyat hanya dapat terwujud lewat campur tangan Pemerintah. Pembukaan

dan pasal-pasal dalam batang tubuh UUD 1945 menunjukkan bahwa cara mewujudkan

kesejahteraan bagi bangsa Indonesia adalah dengan menjadikan peran negara melalui

penyelenggaranya sebagai pemberi arahan, pembuat kebijakan dan aturan berdasarkan

Pancasila sebagai ideologi dan falsafah negara.

Sebelum UUPA diberlakukan, hukum tanah yang berlaku di Indonesia masih

merupakan hukum tanah warisan pemerintah Hindia Belanda. Pada masa ini, filosofi hukum

tanah yang dianut adalah:

“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Filosofi ini masih berlaku hingga UUPA diundangkan, yaitu pada tanggal 24

September 1960.Sesudah berlakunya UUPA, hukum tanah nasional yang berlaku adalah

hukum tanah yang mengatur jenis-jenis hak atas tanah dalam aspek perdata dan dalam aspek

administrasi yang berisi politik pertanahan nasional yang semuanya itu bertujuan akhir pada

penciptaan unifikasi hukum pertanahan di Indonesia. UUPA sebagai hukum agraria nasional

Universitas Sumatera Utara


disaneer dari hukum adat 73.Sebagai hukum tanah nasional, UUPA merupakan peraturan

dasardari peraturan pelaksanaannya, baik yang berupa undang-undang maupun peraturan

pemerintah.

Secara filosofi, sengketa tanah terjadi bukan soal hukum semata. Secara esensial

yang terjadi adalah perbedaan konsep hak penguasaan atas tanah antara yang dianut pribumi

dengan pandangan hukum positip (Eropa). Dalam pandangan pribumi, hubungan manusia

dengan tanahnya ditentukan oleh intensitas de facto 74 penggunaan atau penggarapan tanah

tersebut.Makin intens pemanfaatannya, makin kukuh pula hak penguasaannya. Hal ini

diperkokoh dengan keyakinan religius mereka bahwa tanah merupakan karunia Tuhan yang

bisa dimiliki oleh siapa saja asal mau bekerja dan berjerih payah memanfaatkannya. Sedang

logika Eropa berbeda sebaliknya, kerja diatas tanah seberapapun luas dan beratnya tidak

akan menerbitkan hak atas tanah tersebut. Konsep pemilikan tanah Eropah

mempersonifikasikan kepemilikan tanah-tanah sebagai pemilikan yang pada awalnya berada

di tangan pemerintah. Setiap hak pemilikan dan penguasaan tanah oleh masyarakat, ipso

jure harus bermula dari pemerintah atas tanah alias domein, dalam hal ini domein

pemerintah Hindia Belanda sebagai penerus hak raja-raja (Jawa). Ipso facto dari kenyataan

penguasaan, penempatan, pemukiman, pendudukan ataupun pengusahaan atas tanah tidak

otomatis menjadi haknya seberapapun berat dan lamanya. 75

Mengingat hampir sebagian penduduk kita bermata pencaharian sebagai petani

tentunya lahan/tanah menjadi aset utama. Sementara itu, ketersediaan tanah terbatas dan

cenderung menurun karena lahan pertanian secara perlahan tetapi pasti tergerus sektor lain,

seperti pertanian dan perkebunan, permukiman dan industri atau infrastruktur lainnya.

73
Ibid.
74
De Facto menurut KBBI adalah pengakuan terhadap suatu pemerintahan yang secara nyata menjalankan
kekuasaan efektif pada suatu Negara atau wilayah.
75
Soetandyo Wignjosoebroto, dalam Abu Rohmad, Paradigma Resolusi Konflik Agraria, Walisongo
Press, Semarang, 2008, hal 70-71

Universitas Sumatera Utara


Akhirnya ketika terjadi sengketa tanah semua pihak bersikukuh mempertahankan hak

kepemilikannya dengan segala cara, bahkan rela bertarung nyawa asalkan tanahnya tidak

diokupasi pihak lain, apalagi menyangkut tanah ulayat. Pemerintah terkesan lamban, dan

negara (pemerintah) seharusnya sudah memiliki mekanisme untuk menyelesaikan konflik

sedini mungkin bahkan sedapatnya mencegah konflik. 76

Perkebunan yang berasal dari kata ”kebun”, mengingatkan kita pada sosok seorang

petani yang tidak kenal lelah, dari pagi sampai sore bahkan hujan dan panaspun tidak

dirasakan demi menggarap lahannya. Seiring dengan perkembangan zaman, seharusnya

dengan manajemen yang lebih bagus disertai dengan peningkatan Sumber Daya Manusia

(SDM) pengelolaan perkebunan yang lebih modern, harusnya bisa menghasilkan sebuah

kompilasi dan harmonisasi antara pemerintah, pengusaha dan masyarakat. Dalam sebuah

bangsa, ujung dan akhir dari kegiatan ekonomi adalah meningkatnya kesejahteraan rakyat,

sehingga dibutuhkan sebuah komitmen dan konsisten.

Pada era Reformasi, Para petani penggarap tidak puas dengan keputusan pemerintah

yang memberikan HGU kepada pihak perkebunan(PTPN) di lahan yang mereka garap. Para

petani menuntut agar tanah yang sudah turun-temurun mereka garap itu bisa menjadi hak

milik mereka. Mereka melancarkan aksi antara lain dengan pengrusakan tanaman-tanaman,

pengancaman kepada karyawan perkebunan, penjarahan, deres liar atau panen liar. Kasus

sengketa kelompok tani dengan PTPN masih terus berlanjut di Sumatera Utara.Masyarakat

penggarap di areal HGU PTPN-III (Pesero) Kebun Sei Putih merupakan satu diantara

sengketa tanah garapan di Sumatera Utara yang penyelesaiannya hingga kini belum

berakhir.Peristiwa sengketa tanah garapan dengan luas 314,19 hektar terjadi sejak

perkebunan masih milik NV. Rubber Cultuur Matschappij Amsterdam(RCMA), tahun 1954

76
http://beritanda.com/opini/opini/opini/5084-haruskah-sengketa-lahan-perkebunan-berakhir-dengan-
anarkis.html, diakses tanggal 24 April 2014

Universitas Sumatera Utara


sampai terjadi nasionalisasi oleh pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1958,

penggarapan masih berlanjut. Tahun 1973 terjadi ganti rugi tanaman terhadap 198

penggarap dari PNP-V. Tahun1974 PNP-V melakukan penanaman di areal yang sudah

diganti rugi tersebut dengan tanaman karet, sampai tahun 1998 dan tidak pernah ada lagi

permasalahan garapan di areal tersebut.Reformasi 1998 menjadi momentum rakyat kembali

menggarap areal perkebunan yang pada tahun 1974 sudah diselesaikan permasalahannya.

Alasankelompok penggarap menduduki lahan itu karena tanahnya diambil secara paksa

tanpa di ganti rugi. Proses penyelesaian sudah sampai ke jalur litigasi secara pidana dan

perdata dan pejalanan panjang perjuangan para pihak yang bersengketa itu, belum dapat

kepastian siapa yang berhak atas objek sengketa tersebut secara hukum. 77

Penyelesaian sengketa Tanah antara BUMN (PTPN Persero) dengan masyarakat

penggarap, sampai saat ini belum ada menemukan titik terang untuk menyelesaikan

sengketa baik dari PTPN Persero, masyarakat dan Pemerintah. Dengan kata lain kegagalan

penyelesaian sengketa tanah pada areal HGU PTPN harus diselesaikan dengan model

penyelesaian sengketa yang didasari oleh norma-norma hukum yang adil bagi para pihak.

Pada tahun 2001, MPR menetapkan TAP MPR Nomor IX/MPR/2001tentang

Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, yang mencantumkan prinsip dan

arah kebijakan pembaharuan agraria di Indonesia. TAP MPR ini kemudian ditindaklanjuti

dengan diterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan

Nasional di Bidang Pertanahan, yang secara jelas mencantumkan langkah-langkah

percepatan reforma agraria berupa penyempurnaan UUPA No 5/1960 dan regulasi lainnya,

serta pembangunan sistem informasi dan manajemen pertanahan. Baru pada tahun 2006,

pelaksanaan reforma agraria dinyatakan secara tegas sebagai program pemerintah dengan

77
Kusbianto, Konflik Di Perkebunan, USU Press, 2010, hal. 86-87

Universitas Sumatera Utara


menetapkannya sebagai salah satu fungsi Badan Pertanahan nasional (BPN) melalui

Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan

Nasional.Dari 21 fungsi yang diemban BPN, secara jelas dicantumkan salah satunya adalah

reformasi agraria.Selain itu, BPN bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Dengan

demikian, Perpres ini merupakan upaya memperkuat aspek kelembagaan dari pelaksanaan

reforma agraria. Reforma Agraria secara legal formal disebut juga dengan Pembaruan

Agraria adalah proses restrukturisasi (penataan ulang susunan) kepemilikan, penguasaan,

dan penggunaan sumber-sumber agrarian (khususnya tanah).

Reforma Agraria atau secara legal formal disebut juga dengan Pembaruan Agraria

adalah proses restrukturisasi (penataan ulang susunan) kepemilikan, penguasaan, dan

penggunaan sumber-sumber agraria (khususnya tanah). Dalam pasal 2 TAP MPR RI Nomor

IX/MPR/2001 dijelaskan bahwa "Pembaruan agraria mencakup suatu proses yang

berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan

dan pemanfaatan sumberdaya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan

perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia".

Reforma Agraria merupakan implementasi dari mandat Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (TAP MPR RI), Nomor IX/MPR/2001

Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Keputusan MPR RI

Nomor 5/MPR/2003 tentang Penugasan kepada MPR-RI untuk Menyampaikan Saran atas

Laporan Pelaksanaan Keputusan MPR-RI oleh Presiden, DPR, BPK dan MA pada Sidang

Tahunan MPR-RI Tahun 2003. Salah satu butir saran dimaksud kepada Presiden Republik

Indonesia, terkait dengan perlunya Penataan Struktur Penguasaan, Pemilikan, Pemanfaatan

dan Penggunaan Tanah.

Universitas Sumatera Utara


Reformasi Agraria, 78MPR menyarankan kepada Presiden untuk :

1. Menyelesaikan berbagai konflik dan permasalahan di bidang agraria secara

proporsional dan adil, mulai dan permasalahan hukumnya sampai dengan

implementasinya di lapangan.

2. Bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat membahas undang-undang pembaruan

agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang akan berfungsi sebagai undang-

undang pokok.

3. Mempermudah dan mempermurah proses sertifikasi tanah untuk rakyat kecil,

khususnya para petani.

Istilah pembaruan agraria merupakan terjemahan dari agraria reform (reforma

agraria), yang dalam pengertian terbatas dikenal sebagai landreform, dimana salah satu

programnya yang banyak dikenal adalah dalam hal redistribusi (pembagian) tanah. 79

Pengertian reforma agraria sendiri menurut Tuma 80 adalah suatu upaya sistematik,

terencana, dan dilakukan secara relatif cepat, dalam jangka waktu tertentu dan terbatas,

untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial serta menjadi pembuka jalan bagi

pembentukan masyarakat ‘baru’ yang demokratis dan berkeadilan yang dimulai dengan

langkah menata ulang penguasaan, penggunaan,dan pemanfaatan tanah dan kekayaan alam

lainnya, kemudian disusul dengan sejumlah program pendukung lain untuk meningkatkan

produktivitas petani khususnya dan perekonomian rakyat pada umumnya.

Politik agraria nasional, memerlukan waktu belasan tahun untuk mewujudkan suatu

UU sebagai jelmaan politik agraria nasional yaitu 24 September 1960 yang dikenal UU No.

5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA). Indonesia melakukan

78
Keputusan MPR RI Nomor 5/MPR/2003, nomor 1 butir J, diakses tanggal 6-2-2015
79
Bonnie Setiawan,Hak atas Reforma Agraria, 1997, Hal. 3
80
Bibliografia Selectiva Sobre Reforma Agraria en America Latina 1964-1972, dalam Bachriadi, 2007,
Sejarah , konsep dan implementasi agraria-agrarian resource centre (academia), diakses tanggal 9-2-2015

Universitas Sumatera Utara


pembaruan dibidang keagrariaan sebagai perwujudan dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

Dengan keluarnya Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria (disingkat UUPA) pada tanggal 24 September 1960, yang selanjutnya diikuti

dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No. 1

Tahun 1960 tentang Luas Batas Maksimum dan Minimum Pemilikan Tanah, pada tanggal

24 Desember 1960. Perpu ini kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 1 tahun

1961 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.Undang-undang ini lebih dikenal dengan

Undang-Undang Landreform.Untuk peraturan pelaksanaannya dikeluarkan Peraturan

Pemerintah (PP) No. 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian

Ganti Kerugian.

Pergantian rezim pemerintahan tidak membawa banyak perubahan pada wilayah

pelaksanaan landreform Indonesia. Pemerintah dimasa reformasi ini berupaya untuk

menggiatkan kembali landreform dengan mengeluarkan KepresNo.48 tahun 1999 tentang

Tim Pengkajian Kebijaksanaan dan Peraturan Perundang-Undangan Dalam Rangka

Pelaksanaan landreform. Tim Landreform ini mempunyai tugas yaitu :

a) melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan dibidang

pertanahan ;

b) melakukan pengkajian dan penelahan terhadap pelaksanaan kebijakan dan

peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan landreform;

c) menyusun dan merumuskan kebijaksanaan dan rancangan peraturan perundang-

undangan yang diperlukan untuk terlaksananya landreform. Namun belum kita

lihat adanya hasil dari pembentukan tim tersebut.

Bertitik tolak dari Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan

Nasional di Bidang Pertanahan, tegas disebut pada Pasal 2 (dua), bahwa: sebagian

Universitas Sumatera Utara


kewenangan Pemerintah dibidang pertanahan dilaksanakan oleh Pemerintah

Kabupaten/Kota. Kewenangan yang dimaksud antara lain :

1. Pemberian izin lokasi

2. Penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan

3. Penyelesaian sengketa tanah garapan

4. Penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan

5. Penetapan Subjek dan objek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan

maksimum dan tanah absentee

6. Penetapan dan penyelesaian tanah ulayat

7. Pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong

8. Pemberian ijin membuka tanah

9. Perencanaan penggunaan tanah wilayah kabupaten/kota

Kewenangan Pemerintah Daerah dalam menyelesaikan persoalan tanah sudah cukup kuat

seharusnya tidak adaalasan lagi tidak dapat diselesaikan. 81

F. Metode Penelitian

1. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi 82 adalah sesuatu yang berkaitan dengan syarat adanya sesuatu. Untuk ini

sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian, maka bentuk penelitian ini adalah

preskriptif analisis. Bentuk penelitian preskriptif adalah suatu analisis data yang tidak keluar

dari ruang lingkup permasalahan, yang berdasarkan teori hukum yang bersifat umum

81
Muhammad Yamin Lubis, Pandangan Teoritis Menuntaskan Persoalan Tanah, Seminar Hukum
Pertanahaan, Mengurai dan Mengurangi Konflik Pertanahan, Medan, 2012, hal 4-5
82
spesifikasi berarti perincian, “built to specification” dibangun menurut perncanaan, yang terperinci dan
diartikan syarat perincian (of a contract). Jhon M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Bahasa Indonesia –
Inggris (Jakarta: Gramedia, 1985), hal. 544.

Universitas Sumatera Utara


diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data lain 83. Maksudnya untuk

menggambarkan permasalahan penyelesaian sengketa tanah di areal HGU BUMN

Perkebunan. Penelitian ini juga tujuannya untuk mendapatkan masukan-masukan yang

signifikan untuk mengatasi masalah-masalah penggarapan tanah diareal HGU perkebunan.

M. Solly Lubis menyatakan bahwa penelitian preskiptif analisis merupakan hal yang

sifatnya problematik yang memerlukan pemecahan masalah secara perskriptif, sehingga

untuk sementara didahului dengan hipotesa yang kemudian diverifikasi kebenarannya

melalui penelitian 84. Metode dalam penelitian ini metode penelitian hukum normatif dan

penelitian hukum sosiologis, penelitian hukum normatif penelitian yang dilakukan mengacu

kepada norma-norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan dan putusan

pengadilan serta data yang diperoleh, dikumpulkan berdasarkan fakta lapangan.

Penelitian dengan metode penelitian hukum normatif, penelitian bahan kepustakaan

merupakan penelitian yang utama. Penelitian lapangan berfungsi sebagai pendukung

terhadap penelitian kepustakaan.

Sebagai data sekunder dalam penelitian ini adalah bahan dasar penelitian hukum

normatif dari sudut kekuatan mengikatnya dibedakan atas bahan hukum primer, sekunder

dan tersier.

Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat, yaitu norma atau

kaidah dasar dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penyelesaian

sengketa hukum di perusahaan perkebunan yang berhubungan dengan masalah tanah di areal

HGU perkebunan. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa hasil-hasil penelitian, karya tulis ilmiah

dalam bidang hukum dan penelitian-penelitian yang ada relevansinya dengan penelitian ini.
83
Bambang Sunggono I, Metode Penelitian Hukum, Cetakan Kedua, Jakarta Raja Grafindo Persada, 1998,
hal 38
84
M. Solly Lubis, Filsafat Hukum Dan Penelitian, Bandung, Mandar Maju, 1994, hal 77

Universitas Sumatera Utara


Selanjutnya bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk atau penjelasan

terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yakni berupa kamus,

ensiklopedia, majalah, surat kabar dan informasi lainnya yang dipergunakan untuk

melengkapi dan menunjang data penelitian ini. 85

2. Sumber Data
Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini meliputi sumber data primer

dan data sekunder. Data primer diperoleh dari responden yang telah ditentukan yaitu pekerja

PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) di Sumatera Utara, yaitu di Kantor PTPN III, Penggarap

di areal perkebunan pada Unit-Unit Kebun PTPN III, selanjutnya di Kantor Pemerintah

Propinsi Sumatera Utara, Kabupaten/Kota, Badan Pertanahan, DPR, Pengadilan, yang

berkaitan dengan sengketa tanah perkebunan PTPN III. Kemudian untuk memperoleh data

sekunder dalam penelitian ini melalu bahan-bahan kepustakaan dan peraturan perundang-

undangan serta putusan-putusan pengadilan.

3. Alat Pengumpul Data

Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah:

a. Studi Dokumen, berdasarkan data yang diperoleh melalui penelusuran kepustakaan

untuk mendapatkan data sekunder, dikumpulkan dan dipilih maka menjadi bahan

hukum primer dan bahan hukm sekunder.

Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, terdiri dari:

1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945

2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104

85
Lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta,
Raja Grafindo Persada, 2003, hal 13. Lihat juga Bambang Sunggono,, selanjutnya disebut juga Bambang
Sunggono II, Metode PenelitianHukum Suatu Pengantar, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2002, hal 194- 195

Universitas Sumatera Utara


3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas

4) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

5) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara

6) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan

7) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa

8) Peraturan Pemerintah Republiik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak

Guna Usaha

9) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor

59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3696.

10) Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988 tentang Kewenangan Instansi

Pertanahan Penanganan Sengketa Pertanahan.

11) Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 Tentang Kebijakan Nasional Di

Bidang Pertanahan .

12) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan PertanahanNasional Nomor 5

Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Tanah Hak Ulayat

Masyarakat Hukum Adat

13) Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 34 Tahun 2007 tentang

Petunjuk Teknis Penanganan Dan Penyelesaian Masalah Pertanahan.

14) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2011 tentang

Penyelsaian Masalah Pertanahan.

b. Bahan hukum sekunder, terdiri dari hasil-hasil penelitian, putusan Pengadilan, karya

tulis ilmiah yang berkaitan dengan penelitian ini.

Universitas Sumatera Utara


c. Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk atau penjelasan

terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yakni berupa kamus,

ensiklopedia, majalah, surat kabar dan informasi lainnya yang dipergunakan untuk

melengkapi dan menunjang data penelitian ini 86.

d. Kuesioner kepada responden. Fungsi utama dari kuesioner; secara deskriptif,

informasi yang diperoleh dapat memberikan deskripsi dari karakteristik individu

dan/atau kelompok; seperti jenis kelamin, umur, pendidikan, pekerjaan, pendapatan,

dll. Dari deskripsi ini akan diperoleh pandangan, penjelasan. Fungsi kedua

pengukuran variabel-variabel individu dan/atau kelompok terutama tentang sikap 87.

Selain kuesioner pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara.

Wawancara digunakan untuk melengkapi dan memperkuat bahan hukum primer

dilakukan kepada informan yang dianggap mengetahui terhadap bidang kajian ini,

untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam dari orang yang dianggap

penting guna memperoleh data. Diantaranya Bagian Hukum Dan Agraria PTP III,

Penggarap di areal HGU perkebunan PTP III, Hakim yang sedang menangani

perkara sengketa tanah garapan di areal HGU PTPN, III dan Pemerintah Propinsi

Sumatera Utara yang menangani permasalahan pertanahan, Badan Pertanahan

Nasional (BPN) Propinsi Sumatera Utara, BPN Kabupaten/Kota yang ada masalah

tanah garapan areal HGU perkebunan PTPN III.

86
Lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta,
Raja Grafindo Persada, 2003, hal 13. Lihat juga Bambang Sunggono,, selanjutnya disebut juga Bambang
Sunggono II, Metode PenelitianHukum Suatu Pengantar, Jakarta, Raja Grafido Persada, 2002, hal 194- 195
87
M’ Solly Lubis, Penelitian Hukum, Bahan Kuliah Program S3, FH USU, 2011

Universitas Sumatera Utara


4. Analisis Data

Analisa data dilakukan dengan metode kualitatif. Paradigma dalammetode

kualitatif menghendaki adanya pembahasan secara holistic, sistemik, dan

mengungkapkan makna dibalik fakta empiris.

Lexi J. Moleong mengatakan 88 :

”bahwa proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari
berbagai sumber, yaitu dari wawancara, pengamatan yang sudah dituliskan dalam
catatan lapangan, dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar, foto dan sebagainya.
Setelah dibaca, dipelajari dan ditelaah, langkah berikutnya mengadakan reduksi data,
yang dilakukan dengan jalan melakukan abstraksi. Abstraksi merupakan usaha
membuat rangkuman yang inti, proses dan pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga
sehingga tetap berada di dalamnya. Langkah selanjutnya adalah menyusunnya dalam
satuan-satuan. Satuan-satuan itu kemudian dikategorisasikan pada langkah
berikutnya. Kategori-kategori itu dibuat sambilmelakukan koding. Tahap akhir dari
analisis data ini ialah mengadakan pemeriksaan keabsahan data. Setelah selesai tahap
ini, mulailahh tahap penafsiran data dalam mengolah hasil sementara menjadi teori
substantif dengan menggunakan beberapa metode tertentu”.

Proses berikutnya melakukan penarikan kesimpulan dengan metode induktif-

deduktif, yaitu metode penarikan kesimpulan dari bahan-bahan yang bersifat khusus

kepada yang umum.

G. ASUMSI

Untuk membatasi dan mengarahkan pengkajian dalam penelitian ini maka perlu

dibuat asumsi sebagai berikut:

1. Tanah yang diusahai PTPN merupakan tanah bekas konsesi perkebunan Belanda, oleh

Pemerintah Repulik Indonesia pada tahun 1958 dinasionalisasi menjadi perusahaan

perkebunan negara. Areal tanah perkebunan yang diambil alih pemerintah tersebut

sebagian sudah ada yang diusahai oleh masyarakat menggarap areal perkebunan

karena areal konsesi perusahaan perkebunan pada masa itu belum diusahai secara

88
Lexi J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya,
2004, hal. 247-248

Universitas Sumatera Utara


optimal. Tindakan perkebunan negara mengambil areal yang digarap masyarakat,

menimbulkan sengketa karena masyarakat keberatan tidak bersedia menyerahkan

tanah yang sudah diusahai dan dikuasai secara turun temurun. Para petani penggarap

yang permasalahan tanahnya sama menghadapi perusahaan perkebunan untuk

mempertahankan hak atas tanah garapannya, mereka menjadi bersatu membentuk

kelompok tani, maka sengketa tanah ini menjadi sengketa antara kelompok tani

dengan perusahaan perkebunan. Dalam mempertahankan dan memperjuangkan hak

tanah garapannya, kelompok tani mencari dukungan dan meminta perlindungan

hukum ke lembaga-lembaga pemerintah, Organisasi-Organisasi non-pemerintah dan

membuat pengaduan ke lembaga-lembaga hukum. Banyaknya pihak seperti

Kepolisian, Pemda, LSM, OKP dll. yang ikut melibatkan diri kedalam sengketa tanah

di perkebunan maka penyelesaian sengketa tanah di areal HGU perkebunan menjadi

rumit dan mengalami kegagalan.

2. Berakhir masa berlakunya HGU masyarakat masuk keareal perkebunan menggarap

untuk menguasai lahan dan menuntut hak atas tanah yang penggarap kuasai dan

usahai. Para penggarap merasa memilik hak karena perkebunan mengambil tanahnya

yang sudah sejak Orang tua leluhurnya dulu mengusahai tanah yang berada di areal

HGU perkebunan. Masyarakat yang menggarap memiliki bukti surat-surat yang

pernah dikeluarkan oleh pemerintah berkaitandengan tanah garapannya. Masyarakat

menuntut agar dilakukan pengukuran batas-batas tanah yang menjadi hak guna usaha

perkebunan.

3. Penyelesaian sengketa tanah di areal HGU perkebunan mengalami kesulitan, ditambah

kondisi dan situasi reformasi tahun 1998 menyebabkan bertambah meningkat sengketa

tanah perkebunan, para penggarap menuntut dan menduduki tanah areal perkebunan.

Universitas Sumatera Utara


Hukum bagi penggarap dan perkebunan mereka menilai belum berfungsi dengan benar

dan adil. Tindakan main hakim sendiri (eigenrichting)antara penggarap dengan pihak

perkebunan sudah menjadi bagian usaha untuk mempertahankan hak atas tanah yang

mereka usahai.

4. Kegagalan penyelesaian sengketa tanah salah satunya disebabkan oleh kurangnya

komitmen untuk mengakui hasil keputusan antara kedua pihak untuk menyelesaikan

sengketa tanah yang terjadi. Selain itu rasa kurang menerima keputusan yang dirasa

merugikan salah satu pihak membuat sengketa tanah tetap pada posisi yang stagnan

dan berkepanjangan. Pada dasarnya sengketa tanah Perkebunan di areal HGU terjadi

mengenai sengketa hak, sengketa batas wilayah, sengketa penafsiran hukum.

H. Keaslian Penelitian

Penelitian untuk judul disertasi ini belum pernah dilakukan tetapi apabila ada

persamaan dengan milik orang lain, bukanlah suatu kesengajaan dan dapat diperiksa isi,

permasalahan dan risetnya tidak sama, karena disertasi ini dibuat sendiri. Dengan rasa

tanggungjawab proposal penelitian ini masih asli.

Permasalahan sengketa tanah sudah cukup banyak diteliti oleh kalangan akademisi

dan praktisi, didalam penelitian yang akan dilakukan ini dalam sengketa tanah yang fokus

pada sengketa tanah di areal HGU perkebunan. Sengketa tanah di areal perkebunan menjadi

daya tarik untuk di teliti oleh karena permasalahan tanah tidak pernah kunjung selesai,

terjadi penggarapan hampir di setiap areal HGU perkebunan, sehingga timbul konflik antara

perusahaan perkebunan dengan kelompok masyarakat penggarap.

Untuk menghindari adanya kesamaan atau duplikasi dalam penelitian ini, maka

penelitian ini mengambil tema mengenai penyelesaian sengketa tanah di areal HGU

perkebunan yang di usahai oleh BUMN Perkebunan. Lokasi penelitian adalah PT.

Universitas Sumatera Utara


Perkebunan Nusantara II, III dan IV di Sumatera Utara. Dengan memilih tema ini dapat

kami yakini tidak akan terjadi kesamaan dalam membuat disertasi ini. Namun demikian

beberapa penelitian disertasi yang berkaitan dengan tema penyelesaian sengketa dan dalam

permasalahan tanah perkebunan dari internet, Google dan Wikipedia isudah dilihat untuk

menghindari duplikasi dan dari Perpustakaan Univeritas Sumatera Utara (USU) antara lain :

1. Syafruddin Kalo, judul : Masyarakat Dan Perkebunan: Studi Mengenai Sengketa

Pertanahan Antara Masyarakat Versus PTPN-II Dan PTPN-III Di Sumatera Utara,

(Tahun 2003)

2. Runtung, judul : Keberhasilan Dan Kegagalan Penyelesaian Sengketa Alternatif:

Studi Mengenai Masyarakat Perkotaan Batak Karo Di Kabanjahe Dan Berastagi,

(Tahun 2002)

3. Edi Ikhsan, judul : Antan Patah Lesungpun Hilang: Pergeseran Hak Tanah Komunal

Dan Pluralisme Hukum Dalam Perspektif Sosio-Legal (Studi Pada Etnis Melayu

Deli Di Sumatera Utara), Tahun 2013

Beberapa penelitian disertasi dari buku adalah sebagai berikut :

1. Sholih Mu’adi, judul Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Perkebunan Melalui

Cara Non Litigasi Dalam Situasi Transisional. Ada tiga masalah yang diteliti yaitu :

a. Bagaimana terjadinya ketidakpastian hukum yang menimbulkan sengketa hak

atas tanah (khususnya tanah perkebunan) pada masa transisional pra

kemerdekaan dan pasca kemerdekaan,

b. Bagaimana terjadinya ketidakpastian hukum yang menimbulkan sengketa hak

atas tanah (khususnya tanah perkebunan) di masa transisional Orde Baru dan

masa reformasi

Universitas Sumatera Utara


c. Bagaimana penyelesaian sengketa hak tas tanah perkebunan dalam masa

transisional pada objek penelitian.

2. Musdalifah, judul: Konflik Agraria dalam Relasi antara Perusahaan Perkebunan

dengan Masyarakat di Kabupaten Bulukumba. Penelitian ini tujuannya mengkaji dan

mengidentifikasi:

a. Relasi antara aktor pemerintah, swasta dan masyarakat pada level mikro

dan makro dalam terjadinya konflik antara PT. Lonsum dengan

masyarakat tani.

b. Dampak positip, negatif dari aspek ekonomi dan sosial antara PT.

Lonsum dengan masyarakat tani

c. Dialektika pertimbangan moral dan rasional petani seta pengaruh faktoe

eksternal dalam mengubah konflik laten menjadi konflik manifest antara

PT. Lonsum dengan masyarakat tani

d. Bentuk-bentuk resolusi konflik dalam proses akomodasi antara PT.

Lonsum dengan masyarakat tani.

I. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan merupakan gambaran mengenai halyang akan penulis bahas

dalam penulisan ini, yang terdiri dari 5 (lima) bab, dengan sistematika sebagai berikut:

1. Bab Pertama, merupakan bab pendahuluan, isinya mengenai latar belakang,

permasalahan, sehingga perlunya melakukan penelitian yang fokusnya dari beberapa

permasalahan didalam bab ini. Pada bab ini dikemukakan kerangka teori sebagai

pisau analisa dan kerangka konsepsional (definisi operasional) yang membantu

menjelasakan beberapa istilah yang terdapat didalam penelitian. Selanjutnya

dikemukakan tentang tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian,

Universitas Sumatera Utara


asumsi, jadwal penelitian dan yang terakhir sistematika penulisan. Bab Kedua,

menguraikan tentang sarana hukum yang mengatur tentang tanah berkaitan dengan

keberadaan perusahaan perkebunan dan masyarakat melakukan penggarapan di areal

perkebunan.

2. Bab Ketiga, mengenai tanah garapan di areal hak guna usaha (HGU) perusahaan

perkebunan PTPN dan tindakan yang dilakukan pihak perkebunan dan pihak

penggarap dalam sengketa tanah garapan.

3. Bab Empat, menguraikan tentang bentuk penyelesaian sengketa tanah garapan di

areal hak guna usaha perkebunan PTPN.

4. Bab Lima, sebagai bab penutup yang mengemukakan bebarap kesimpulan dan saran

dari penelitian ini.

Universitas Sumatera Utara


BAB II

PENGATURAN TANAH PERUSAHAAN PERKEBUNAN


DAN MASYARAKAT PENGGARAP DI AREAL
PERKEBUNAN

A. KONSESI PERKEBUNAN

1. Konsesi Perkebunan di Sumatera Timur

Konsesi perkebunan dan hak tanah komunal orang Melayu di Sumatera

Timur sudah dibahas dalam penelitian milik Edy Ikhsan. Konsesi Perkebunan di

Sumatera Timur diawali dengan diperkenalkannya onderneming tembakau dengan

eksperimentasi diatas klaim kekuasaan. Ketidak jelasan kewenangan kuasa atas

tanah, maka terjadi perlawanan dibawah pimpinan kampong (Datuk/Penghulu). 89

Hal itu jelas menggambarkan bahwa memperkenalkan onderneming membuat

ketidakjelasan hak pemegang kekuasaan atas tanah di Sumatera Timur yang

berakibat perlawanan demi perlawanan atas ketidakjelasan tersebut terjadi.

Diperkenalkannya konsesi standard 90 model Barat sebagai sebuah bentuk

sewa jangka panjang atas tanah dan hutan belantara memicu perhatian yang lebih

dalam untuk melihat, menilai dan menyimpulkan tempat dari satu hak yang

dianggap paling tinggi dalam penguasaan tanah, yakni hak atas tanah komunal
89
Edy Ikhsan. Pergeseran Hak Tanah Komunal dan Pluralisme Hukum dalam Perspektif
Sosio-Legal.
90
Residen Pesisir Sumatera Timur dalam usulannya kepada Pemerintah Hindia Belanda
mengatakan bahwa kesepakatan yang dibuat atas dasar ini oleh raja dan pengusaha menjadi satu-
satunya sumber hukum yang dapat menentukan hubungan hukum para pelaku kontrak, karena baik
KUH Perdata Belanda maupun peraturan umum lainnya tidak berlaku. Dengan memperhatikan
kepentingan besar yang dimiliki oleh kedua belah pihak dalam kontrak seutuhnya, sangat wajar
bila pemerintah meminta penyusunan model selengkap mungkin sehingga mereka bisa
memanfaatkannya. Lihatlah Labberton, Op.cit. Hal.43.

Universitas Sumatera Utara


(beschikkingrecht). Pertanyaan pokoknya adalah apakah konsesi-konsesi tersebut

memberi naungan (memproteksi) hak-hak sedia kala yang dimiliki oleh penduduk

setempat atau dengan cara apa para penyusun konsesi itu mengartikulasikan atau

mengkonseptualisasikan hak-hak tanah komunal itu dalam bingkai kapitalisasi

perkebunan di wilayah ini. Dengan memakai bahan model kontrak konsesi yang

diseragamkan sejak tahun 1877, elaborasi di bawah ini mencoba melihatnya

dalam kerangka yang lebih luas dari hanya sekedar mendiskusikan kerangka

normatif yang membingkai elemen-elemen penting isi konsesi terkait hak-hak

komunal atas tanah yang disebutkan di atas.

Konsesi adalah pemberian hak, izin, atau tanah oleh pemerintah,

perusahaan, individu, atau entitas legal lain. Konsesi antara lain diterapkan pada

pembukaan perkebunan, penebangan hutan dan tambang. Model konsesi umum

diterapkan pada kemitraan pemerintah swasta (KPS) atau kontrak bagi hasil. 91

Konsesi dalam arti lain adalah hak menguasai dan mengusai untuk dimanfaatkan.

Konsesi Perkebunan pertama kali dikeluarkan pada Tahun 1863 yang

diberikan kepada pengusaha asing J.W. Neys dari Raja dan orang besar Limboto

(Residensi Menado) dengan melalui Besluit No. 17 tanggal 19 Mei 1860 untuk

jangka waktu 15 Tahun untuk penanaman coklat. 92

Akte-akte tersebut memberikan perubahan dan alasan-alasan Hindia

Belanda mengubah peraturan dari waktu ke waktu. Diperkenalkannya

ondermening hingga akte konsesi 1892 menceritakan bagaimana Usaha Belanda

waktu itu (Hindia Belanda) mengambil tanah-tanah masyarakat yang masih

91
Wikipedia.com diakses tanggal 6 Juni 2016
92
Edy Ikhsan. 2013, Desertasi Pergeseran Hak Tanah Komunal dan Pluralisme Hukum dalam
Perspektif Sosio-Legal, hal 121

Universitas Sumatera Utara


menganut hukum adat untuk dikuasai. Dan berdampak pada sengketa tanah

didalam perjalanannya onderneming mengusahai lahan perkebunannya.

Konstitusi Negara Republik Indonesia menyatakan bahwa: “Bumi dan air

dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” demikian bunyi Pasal 33

ayat 3 UUD 1945. Berdasarkan bunyi Pasal 33 tersebut dapat dipahami bahwa

segala tanah air Indonesia berada di bawah kekuasaan negara, dan sebagai

konskwensinya negara berkewajiban untuk mempergunakan tanah air tersebut

bagi kemakmuran rakyatnya.

Tanah memang menjadi hal penting dalam kehidupan manusia, untuk itu

penting diatur pemanfaatan tata guna tanah, dan negara sebagai penguasa tanah

bertanggung jawab untuk membuat peraturan tentang pertanahan tersebut. Setelah

Indonesia merdeka dan situasi politik sudah mulai berjalan normal, pada tanggal

24 September 1960 disusunlah UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria yang kemudian dikenal dengan Undang Undang Pokok

Agraria (UUPA). UUPA sebagai aturan turunan dari Pasal 33 ayat (3), UUD 1945

mengandung asas (prinsip) bahwa semua hak atas tanah dikuasai oleh negara, dan

asas bahwa hak milik atas tanah “dapat dicabut untuk kepentingan umum”. prinsip

ini tertuang dalam pasal 2 dan pasal 18 UUPA. Berdasarkan pasal 2 UUPA ini

negara menjadi pengganti semua pihak yang mengaku sebagai penguasa tanah

yang sah. Negara dalam hal ini merupakan lembaga hukum sebagai organisasi

seluruh rakyat Indonesia. Pemerintah sebagai lembaga pelaksana UU negara

Universitas Sumatera Utara


dalam proses ini bertindak sebagai pihak yang melaksanakan dan menerapkan

ketentuan yang terdapat dalam pasal 2 UUPA tersebut. 93

Menurut Syafruddin Kalo, “pemerintah menjadi pihak yang wajib dan

berwenang mengatasi dan menengahi sengketa hak penguasaan atas tanah yang

muncul sekaligus menjadi fasilitator bagi pihak-pihak yang terlibat dalam

sengketa”. 94 Kewenangan keagrariaan ada pada pemerintah pusat namun, pada

pelaksanaannya dapat dilimpahkan pada pemerintah daerah ataupun kepada

persekutuan masyarakat hukum adat.

Dalam sejarah hukum pertanahan di Indonesia sejak zaman kesultanan,

zaman kolonial, sampai zaman kemerdekaan, dalam prakteknya menurut Kalo

diperlakukan 3 (tiga) pandangan penguasaan tanah yakni teori Eropa, teori adat

dan teori hukum nasional. 95 Ketiga teori ini silih berganti diterapkan di Indonesia

sesuai dengan zamannya masing-masing.

Teori Eropa merupakan penguasaan atas tanah berdasarkan pemikiran

orang Eropa. Sebagaimana diketahui, bahwa pada masa lalu wilayah Indonesia

pernah menjadi bahagian dari wilayah kekuasaan bangsa Eropa sehingga hukum

pertanahan yang diterapkan oleh penguasa Eropa tersebut dipengaruhi oleh

pemikiran orang Eropa.

Seiring dengan berkuasanya bangsa-bangsa eropa di Indonesia, maka

pemikiran bahwa raja adalah penguasa mutlak atas tanah negara diberlakukan

93
Syafruddin Kalo, Perbedaan Persepsi Mengenai Penguasaan Tanah dan Akibatnya
Terhadap Masyarakat Petani di Sumatera Timur pada Masa Kolonial yang Berlanjut pada Masa
Kemerdekaan, Orde Baru dan Reformasi, Program Studi Hukum Pidana Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, t.t. halaman 3.library.usu.ac.id/download/fh/pidana-syafruddin8.pdf
94
Ibid
95
Kalo. Opcit hal. 7 library.usu.ac.id/download/fh/pidana-syafruddin8.pdf

Universitas Sumatera Utara


juga di Indonesia oleh penguasa bangsa eropa tersebut. dalam hal ini Kalo

mencatat sebagai berikut:

Di Eropa sebelum masa Revolusi Perancis berlaku doktrin bahwa raja

adalah penguasa segala hal di negaranya dengan semboyan “L’etat c’est Moi” 96

atau Negara adalah Saya, teori ini mencerminkan kekuasaan yang besar atas

tanah. Raja dianggap sebagai wakil negara dan pemilik tanah adalah negara. Teori

ini juga berlaku di Inggris dan Belanda. Indonesia sebagai negara jajahan Belanda

memberlakukan teori ini di Indonesia, yang berarti bahwa semua tanah di

Indonesia adalah milik raja dan dengan demikian oleh karena raja takluk kepada

pemerintahan kolonial, maka semua tanah di negara jajahan dikonversi menjadi

milik raja Belanda. Oleh karena itu pemerintah Kolonial menganggap semua

tanah yang ada di Indonesia adalah milik penguasa kolonial. Dengan

memberlakukan azas domein verklaring, 97 dengan arti bahwa semua tanah-tanah

tidak dapat dibuktikan siapa pemiliknya adalah menjadi tanah negara. Atas dasar

teori ini maka pemerintah kolonial dapat menyewakan tanah-tanah kepada

perusahaan onderneming dengan skala besar. 98

Kebijakan pemberlakuan teori domein verklaring didasari atas alasan-

alasan karena pemerintah Belanda menganggap raja-raja di Indonesia yang

mempunyai kekuasaan hak domein atas tanah maka dengan sendirinya hak

domeinitu juga diambil over oleh Belanda karena Belanda memegang kedaulatan

di Indonesia. Teori ini sesuai dengan Mahadi atas model-model akte konsesinya

yang dijabarkan oleh Edy Ikhsan diterapkan agar pemerintah Hindia Belanda

96
http://www.newworldencyclopedia.org/entry/Louis_XIV_of_France
97
http://mankydaily.tumblr.com/post/452408880/domein-verklaring
98
Kalo. Ibid

Universitas Sumatera Utara


dapat memiliki tanah-tanah rakyat indonesia yang pada waktu hampir seluruhnya

masih menerapkan sistem hukum adat.

Dasar hukum pemberlakuan domein verklaring oleh pemerintah Hindia

Belanda di dasarkan kepada Agrarische Wet (staatblad 1870 nomor 118) yang

terkait dengan Agrarische Wet (staatblad 1870 nomor 55). Pasal 1 Agrarische

Besluit menetukan bahwa terhadap tanah-tanah yang tidak dapat dibuktikan

kepemilikannya akan menjadi milik negara. 99

Kebijakan pemerintah Belanda dalam memperlakukan teori domein

verklaring ini sangat merugikan rakyat karena domein diperlakukan di atas tanah

rakyat dan memungkinkan tanah-tanah hak ulayat diberikan kepada orang asing

dengan hak sewa (erfacht). Dalam hal ini ada dua hal penting yang terkait dengan

domein verklaring, yaitu:

a. Hubungan antara negara dengan tanah dipersamakan dengan hubungan antara

tanah dengan perseorangan yang bersifat privaattreefhtelijk.

b. Domein verklaring tidak lebih ditujukan terhadap tanah yang tunduk pada

hukum adat, mengingat dalam sistem hukum adat tidak dikenal dengan sistem

pembuktian kepemilikan secara tertulis seperti yang dikenal dalam hukum

barat. 100

Berdasarkan teori domein verklaring, ini maka tanah-tanah adat dianggap

sebagai milik negara. Akibatnya pemerintah menganggap negara berwenang

untuk memberikan hak atas tanah (erfphacht) kepada investor untuk mengusahai

tanah-tanah adat tersebut, demikian juga para investor merasa sah untuk

99
Ady Waskita. Domein Verklaring Dan Pemberian Hak Atas Tanah Yang Menyimpang
100
Heru Kuswanto. Hukum Agraria.hal 2 http://dosen.narotama.ac.id/wp-
content/uploads/2011/05/Modul-Hukum-Politik-Agraria-1-Perkembangan-Politik-Hukum-
Agraria-Di-Indonesia.pdf

Universitas Sumatera Utara


menguasai dan mengusahai tanah-tanah tersebut. Di sisi lain anggota masyarakat

hukum adat merasa bahwa tanah-tanah tersebut masih merupakan milik mereka

karena memang anggota-anggota masayarakat tersebut tidak pernah melepaskan

haknya atas tanah-tanah adatnya itu.

Pemberlakuan teori domein ini jelas sangat merugikan rakyat pribumi

(masyarakat hukum adat) karena akibat dari pemberlakuan teori tersebut maka

tanah adat (ulayat) yang meskipun menurut kenyataannya masih ada dan ditaati

oleh masyarakat hukum adat, tidak diakui lagi keberadaannya, karena tanah

tersebut telah dikategorikan sebagai domein negara, yaitu tanah negara bebas (vrij

lands domein). 101

Teori pemilikan tanah berdasarkan hukum adat adalah tanah merupakan

milik komunal atau persekutuan hukum (beschikkingsrecht). Dalam hal ini setiap

anggota persekutuan dapat mengerjakan tanah dengan jalan membuka tanah

terlebih dahulu dan jika mereka mengerjakan tanah tersebut secara terus-menerus

maka tanah tersebut dapat menjadi hak milik secara individual. 102

Tentang pemilikan tanah adat ini, sebagaimana dikutip oleh Kalo

menjelaskan sebagai berikut:

Hukum adat memberikan hak terdahulu kepada orang yang dulu menaruh

tanda pelarangannya atau mula-mula membuka tanah; bilamana ia tidak

mengerjakan pekerjaan-pekerjaan penebangan dan pembakaran menurut

musimnya, maka orang lain bisa mendesaknya supaya memilih:

101
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 1999, hal. 46.
102
Kalo. Opcit Hal. 9

Universitas Sumatera Utara


mengerjakan terus atau menyerahkan tanahnya kepadanya. Jadi tuntutan

pemilikan hak milik ini lenyap sama sekali bilamana ada lain orang

sesama anggota yang menginginkannya dan mendesak dia memilih satu

antara kedua pilihan itu.

Hak ulayat adalah hak suatu masyarakat hukum adat untuk menguasai

tanah yang masih merupakan hutan belukar di dalam wilayahnya untuk

kepentingan masayarakat hukum itu sendiri dengan para anggotanya atau

untuk kepentingan orang luar masyarakat hukum itu dengan membayar

uang pengakuan yang disebut atau bisa disamakan dengan recognitie. 103

Sebagai tanah ulayat persekutuan hukum adat, maka pada prinsipnya

hanya anggota masyarakat hukum adat (persekutuan) itu sendiri yang boleh

menggarap tanah ulayat tersebut. dalam hal ini Wignjodiopero menjelaskan

sebagai berikut:

Beschikkingsrechts atapun hak ulayat ini berlaku ke luar dan ke dalam.

Berlaku ke luar karena bukan warga persekutuan pada prinsipnya tidak

diperbolehkan turut mengenyam/menggarap tanah yang merupakan

wilayah kekuasaan persekutuan yang bersangkutan; hanya dengan seizin

persekutuan serta setelah membayar pancang (uang pemasukan) dan

kemudian memberikan ganti rugi, orang luar bukan warga persekutuan

dapat memperoleh kesempatan untuk turut serta menggunakan tanah

wilayah persekutuan.

103
Tampil Anshari Siregar, Undang Undang Pokok Agraria dalam Bagan, Kelompok Studi
Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, Medan, 2011. Hal. 20.https://id.scribd.com/doc
/180086391/Hukum-Agraria

Universitas Sumatera Utara


Berlaku ke dalam karena persekutuan sebagai suatu keseluruhan yang

berarti semua warga persekutuan bersama-sama sebagai suatu kesatuan,

melakukan hak ulayat dimaksud dengan memetik hasil daripada tanah

beserta segala tumbuh-tumbuhan dan binatang liar yang hidup atasnya.

Adapun mengani luas wilayah tanah ulayat ini, Erman Rajagukguk sebagaimana

dikutip oleh Kalo mengatakan sebagai berikut:

Semua tanah, hutan, jika perlu sampai ke puncak gunung, jika penduduk

mempunyai hak baik yang nyata maupun yang secara diam-diam diakui,

tanah itu bukan tanah negara. Menurut hukum adat, desa mempunyai hak

untuk menguasai tanah di luar perbatasan desa, penduduk desa mempunyai

hak untuk menggarap atau mencari nafkah dari hutan dengan izin kepala

desa. Menurut penafsiran Trenite, tanah tersebut milik negara, namun

menurut pandangan Van Vollenhoven, Logeman dan Ter Haar tanah

tersebut tidak di bawah kekuasaan negara. 104

Lebih jelasnya tentang hak ulayat ini, Siregar menguraikan ciri-ciri hak ulayat

sebagai berikut:

1) Masyarakat hukum dan para anggota-anggotanya berhak untuk dapat

mempergunakan tanah hutan belukar di dalam lingkungan wilayahnya

dengan bebas, yaitu bebas untuk membuka tanah, memungut hasil,

berburu, mengambil ikan menggembala ternak dan lain sebagainya.

2) Bukan anggota masyarakat hukum dapat pula mempergunakan hak-hak

tersebut hanya saja harus mendapat izin terlebih dahulu dari kepala

104
Kalo. Opcit hal 10

Universitas Sumatera Utara


masyarakat hukum dan membayar uang pengakuan atau recognite (diakui

setelah memenuhi kewajibannya).

3) Masyarakat hukum beratnggungjawab atas kejahatan-kejahatan yang

terjadi dalam lingkungan wilayahnya apabila pelakunya tidak dapat

dikenal.

4) Masyarakat hukum tidak dapat menjual atau mengalihkan hak ulayat untuk

selama-lamanya kepada siapa saja.

5) Masyarakat hukum mempunyai hak campur tangan terhadap tanah-tanah

yang digarap dan dimiliki oleh para anggota-anggotanya seperti dalam hal

jual beli tanah dan sebagainya.[24]

Van Vollenhoven sebagaimana dikutip oleh Siregar mengatakan bahwa

hak milik bumi putera (Inlands bezitrecht) terbagi kepada dua macam yaitu:

1) Communaal bezitrecht (hak milik komunal) bila hak itu ada pada

masyarakat hukum.

2) Ervelijk individueel bezitrecht (hak milik perorangan) bila hak milik itu

ada pada anggota masyarakat hukum secara perorangan.

Maka hak-hak individual dan persekutuan terhadap tanah dan tetap diakui

keberadannya yang mana hak itu diwariskan secara turun temurun terhadap

anggota keturunan masyarakat persekutuan yang mengikatkan dirinya terhadap

persekutuan adat tersebut.

Kutipan dari tulisan Muhammad Yamin Lubis, Hak Ulayat dan Tanah

Adat, Sebagai pernyataan yang dimuat dalam Undang Undang Pokok Agraria,

kedua rumusan pasal 3 dan pasal 5, masih benar dalam konteks tanah Adat.

Universitas Sumatera Utara


Sebab disinilah penghormatan Negara atas tanah atau hak-hak rakyat yang masih

belum tersentuh pendaftaran tanah. Artinya Negara harus diatas segala

pengaturan, baik sebagai pemangku dan pengayom seluruh hak atas tanah yang

masih eksis dimasyarakat baik yang ada haknya terdaftar ataupun yang belum. 105

Teori hukum nasional yang dimaksudkan disini adalah hak penguasaan

tanah yang didasarkan kepada UUPA Nomor 5 Tahun 1960. Dalam hal ini Hak

penguasaan tanah yang berlaku secara yuridis di Indonesia tertuang dalam pasal 2

UUPA:

(1) Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar dan

hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa

termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu, pada tingkatan

tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi seluruh rakyat

(2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi

wewenang untuk :

a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,

persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;

b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara

orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.

(3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut pada

ayat 2 pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran

rakyat, dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam

105
Muhammad Yamin Lubis. UUPA & Hak Rakyat. Harian Waspada, 24 September 2014,
hal B7

Universitas Sumatera Utara


masyarakat dan Negara Hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil

dan makmur.

(4) Hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat

dikuasakan kepada Daerah-daerah Swastantra dan masyarakat-

masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan

dengan kepentingan nasional, menuntut ketentuan-ketentuan Peraturan

Pemerintah. 106

Dengan berlakunya UUPA maka peraturan-peraturan pertanahan yang

merupakan produk pemerintahan Hindia Belanda seperti Agrarische Wet,

Agrarische Besluit, dan Buku II BW yang menangtur tentang pertanahan menjadi

tidak berlaku lagi, karena memang UUPA dimaksudkan sebagai pengganti dari

ketentuan-ketentuan pertanahan produk pemerintah Hindia Belanda yang terkesan

imprealistik, kapitalistik dan feodalistik. Tentang kelahiran UUPA dalam

semangat anti imprealistik, kapitalistik dan feodalistik ini Boedi Harsono

sebagaimana dikutip Liliz Nur Faizah mencatat sebagai berikut:

UUPA sendiri lahir dalam konteks “...perjuangan perombakan hukum agraria

nasional berjalan erat dengan sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk

melepaskan diri dari cengkraman, pengaruh, dan sisa-sisa penjajahan;

khususnya perjuangan rakyat tani untuk membebaskan diri dari kekangan-

kekangan sistem feodal atas tanah dan pemerasan kaum modal asing...”

Semangat menentang strategi kapitalisme dan kolonialisme yang telah

menyebabkan terjadinya “penghisapan manusia atas manusia” (exploitation

106
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, Pasal 2

Universitas Sumatera Utara


de l’homme par l’homme) di satu sisi; dan sekaligus menentang strategi

sosialisme yang dianggap “meniadakan hak-hak individual atas tanah” di sisi

lain menjadi landasan ideologis dan filosofis pembentukan UUPA. Selain itu,

salah satu arti penting UUPA lainnya, bahwa hukum agraria nasional adalah

berdasar hukum adat dan tidak lepas dari konteks landreform yang menjadi

agenda pokok pembentukan struktur agraria saat itu. 107

UUPA dimaksudkan untuk mengadakan Hukum Agraria Nasional yang

berdasarkan hukum adat tentang tanah, dengan kelahiran UUPA maka

tercapailah suatu keseragaman menganai hukum tanah, sehingga tidak ada

lagi hak atas tanah menurut hukum Barat disamping hak atas tanah menurut

hukum adat.

Hal penting tentang penguasaan tanah dalam UUPA adalah ditegaskannya

hak pengusaan negara terhadap tanah, akan tetapi kendati negara diakui sebagai

penguasa atas tanah bukanlah berarti negara bisa bertindak sewenang-wenang atas

seluruh tanah yang ada di negara ini. Penguasaan negara ini dibatasi oleh adanya

hak individu dan hak persekutuan hukum adat terhadap tanah. Dalam hal ini Kalo

menjelaskan sebagai berikut:

1. Kekuasaan negara terhadap tanah yang sudah dipunyai orang dengan

sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai seberapa negara

memberikan kekuasaan kepada seorang yang mempunyainya untuk

menggunakan haknya. Sedangkan kekuasaan negara atas tanah yang tidak

107
Liliz Nur Faizah, Hak Menguasai Negara Suatu Pendekatan Historis-Filosofis, (rangkuman
dari Bab II tentang Hak Menguasai Negara, dalam skripsi ”Perkembangan Konsep Kepentingan
Umum dalam Hukum Pengambilalihan Hak atas Tanah di Indonesia (1960-2006)” di Fakultas
Hukum UGM Yogyakarta pada tahun 2007).http://zeilla.files.wordpress.com/2008/05/
hmn_filosofis.pdf. hal. 4.

Universitas Sumatera Utara


dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lain adalah sangat

luas dan penuh. Misalnya negara dapat memberikan tanah yang

sedemikian itu kepada seseorang atau badan hukum dengan suatu hak

menurut peruntukkannya dan keperluannya, misalnya Hak Milik dan Hak

Guna Usaha, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai ataupun dengan

memberikan hak pengelolaan pada suatu badan penguasa. Dalam pada itu

kekuasaan negara atas tanah-tanah ini pun sedikit atau banyak dibatasi

pula oleh hak ulayat dari kesatuan-kesatuan masyarakat hukum sepanjang

kenyataan hak ulayat itu masih ada.

2. Berdasarkan ulasan Kalo tersebut diatas, maka penguasaan negara atas

tanah dibedakan kepada dua penguasaan yaitu penguasaan langsung dan

penguasaan tidak langsung. Penguasaan langsung adalah penguasaan

negara terhadap tanah yang belum dihaki perseorangan. Adapun hak

menguasai negara secara tidak langsung adalah hak menguasai negara

terhadap tanah yang telah dihaki perseorangan, atau disebut dengan “tanah

yang dikuasai tidak langsung oleh negara” atau “tanah negara tidak

bebas”.

Dengan lahirnya UUPA maka hak-hak atas tanah di Indonesia dibatasi

kepada lima macam hak yaitu, hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan,

hak pakai, dan hak sewa.

Menurut ulasan Muhammad Yamin perjalanan panjang hukum agraria

Indonesia memang diakui matang dalam mengatur persoalan agraria.

Universitas Sumatera Utara


Kenyataannya masih ada sebagian kecil yang merasakan ayoman hukum agraria

dalam kepemilikannya atas tanah tidak membawa keadilan bagi pemiliknya. 108

Bahkan tidak jarang dengan hukum agrarian yang ada ini terdapat

masyarakat yang tersingkirkan dari pengusaha dan pengusahaannya terhadap

tanah, sebaliknya dengan kelicikan berkolusi, tanah dapat dimiliki.

Kedengarannya memang aneh, tapi orang tahu ada mafia tanah yang

memanfaatkan ruang kosong dalam hukum atau sengaja menukangi kehendak

hukum. Seperti adanya pihak ketiga yang menyengketakan tanah atas tanah

Negara atau tanah seseorang yang belum tedaftar. Yang dengan modus ini lalu

begitu muncul putusan pengadilan memenangkan seseorang dengan putusan itu

pula dijadikan alas hak untuk mengurus haknya.

Di tengah kondisi demikian ini pula, sudah pasti pemilik tanah yang sah

akan selalu menganggap bahwa hukum agrarian tidak dapat memberikan keadilan

dan kepastia, maka jikalah demikian Negara berperan ikut serta bersama

pengusaha meemanfaatkan kelemahan aturan. Sekalipun Negara terus berkoar-

koar berupaya menciptakan tujuan undang-undang ini terwujud katanya dengan

baik, sudah pasti juga memang ketertiban hukum agrarian tersebut tidak ada

karena masyarakat melihat hukum itu tidak mampu mengubah kenyataan

ketidaktertiban persoalan agraria. Bukankah kata Tom R.Tyler dalam bukunya

Why Obey The Law hukum itu dipatuhi karena dipercaya masyarakat untuk

menertibkan dan memberikan rasa nyaman yang dibutuhkan masyarakat. 109

108
Muhammad Yamin Lubis. UUPA & HAK RAKYAT. Harian Waspada, 2014 hal B7
109
Opcit

Universitas Sumatera Utara


2. Erfpacht

Hak erfpacht untuk perkebunan besar ini diberikan untuk 75 tahun dan

umumnya kini telah atau dalam waktu singkat akan berakhir (mulai 1870).

Menurut Peraturan Pemerintah No. 36 tahun 1956, LN.1956 No. 72 110 (untuk

konsesi) dan Undang-Undang No. 29 tahun 1956 LN No. 74 111 (untuk erfpacht),

maka hak-hak tersebut bila sudah habis waktunya atau dalam satu tahun akan

habis waktunya, sedang keadaan perusahaanya adalah sedemikian rupa sehingga

menurut pertimbangan Menteri Pertanian tidak mungkin diusahakan kembali

secara layak, tidak akan diperpanjang atau diperbaharui. Peraturan-peraturan ini

diadakan dalam rangka pembatalan persetujuan K.M.B. Karena areal-areal

erfpacht yang luas-luas ini tidak dibatasi dengan nyata timbulah berbagai

kesulitan berhubung dengan kedatangan rakyat jelata diatas tanah-tanah

perkebunan tersebut.Rakyat ini datang menetap diatas tanah-tanah erfpacht itu

serta membuka tanah-tanah yang umumnya masih belukar. Seringkali dalam hal

sedemikian mereka sama sekali tidak tahu menahu tentang adanya hak-hak

perkebunan barat atas tanah yang dibuka mereka ini. Mereka mengira bahwa

merekalah yang menjadi pemilik Indonesia (Indonesische bezitter) dari pada tanah

yang dikerjakan itu. Dalam melakukan sesuatu ini mereka sama sekali bertindak

secara apa yang dengan istilah yuridis terkenal sebagai “ter goeder trouw”

(dengan itikad baik). Menurut ketentuan-ketentuan dilapangan hukum agraria,

maka dalam hal dilakukan pembukaan semacam itu dari sebidang tanah belukar,

tanah tersebut menjadi hak milik daripada petani Indonesia bersangkutan.

110
Peraturan Pemerintah No. 36 tahun 1956 dalam S. Gautama, 1973, MASALAH
AGRARIA (berikut peraturan2 dan tjontoh2) pada Lampiran Peraturan No. 18, Alumni, Bandung
111
Undang-undang No. 29 tahhun 1956 dalam S. Gautama, 1973,MASALAH AGRARIA
(berikut peraturan2 dan tjontoh2) pada Lampiran Peraturan No. 20, Alumni, Bandung

Universitas Sumatera Utara


Pembukaan semacam ini merupakan salah satu cara untuk memperoleh hak milik

Indonesia (Indonesische bezitsrecht) diatas tanah. 112

Tetapi apa yang sesungguhnya telah terjadi? Pihak erfpachter pengusaha

perkebunan bersangkutan yang tanahnya diduduki oleh rakyat ini, sesungguhnya

memperoleh pula hak-hak terhadap orang-orang Indonesia bersangkutan.Hak

apakah yang mereka miliki?

Rakyat telah menduduki tanah-tanah erfpacht daripada perkebunan-

perkebunan besar itu. Yang belakangan ini mempunyai hak erfpacht sebagai

sesuatu hak benda (zakelijk recht) barat atas tanah yang diduduki oleh rakyat.

Oleh karena itu pengusaha barat dapat meminta pengosongan. Ia dapat mengusir

orang-orang Indonesia bersangkutan dan menuntut penggantian kerugian.

Segala sesuatu ini dimungkinkan baginya oleh dasar-dasar hukum yang

dikenal dalam hukum Eropa. Kita saksikan bahwa dengan demikian timbullah

suatu soal yang pelik. Rakyat menganggap dengan patut bahwa merekalah yang

menjadi pemilik tanah-tanah yang mereka buka. Pihak onderneming menganggap

merekalah yang berhak atas tanah-tanah yang “diserobot” oleh rakyat itu.

Buat daerah-daerah Swapradja Sumatera Timur, Kalimantan Selatan dan

Timur, Timor, Sulawesi dan Manado, diadakan peraturan pemberian hak erfpacht

oleh Raja dengan persetujuan Kepala Pemerintahan Daerah untuk mendirikan

bangunan-bangunan menurut Bijblad No. 5271 juncto 7097, 10461, Bijbl. 4351,

7149, 7637, 8279.

112
Maassen en Hens, Agrarische regelingen I, hal. 13.

Universitas Sumatera Utara


Untuk Sumatera Timur, Kalimantan Selatan dan Timur, Timor hak itu

hanya diberikan kepada orang asing (yang bukan rakyat Swapradja). Sedangkan

untuk daerah Sulawesi dan Manado diberikan kepada siapa saja, dengan

ketentuan, bahwa tanah-tanah yang diberikan itu hanya tanah-tanah didalam kota

(afdeeling dan onderafdeeling, Kabupaten dan distrik), atau tempat-tempat lainnya

yang ditunjuk oleh Kepala Pemerintah Daerah sebagai pusat kediaman penduduk.

Untuk kelima daerah tersebut diatas, sesudah adanya peraturan opstal

menurut ketetapan Pemerintah 8 Januari 1916 No. 47 (Bijbl. 8571) peraturan itu

tidak berlaku lagi. Untuk daerah Sulawesi dan Manado, masih terus berlaku

mengenai masyarakat Swapradja itu sendiri.

3. Tanah Garapan Di Areal Perkebunan

Sudah sejak 80 tahun yang lalu 113 oleh Raja-Raja di Sumatera Timur,

terutama Deli Serdang dan Langkat dengan persetujuan Hoofd van Gewestelijk

Bestuur, telah diberikan tanah hak konsesi kepada orang asing, untuk membuka

perkebunan tanaman bahan-bahan export.Yang pertama ialah konsesi untuk

tanaman tembakau, setelah seorang pionir perkebunan tembakau menyelidiki dan

ternyata bahwa tanah di Sumatera Timur sangat baik untuk ditanami tembakau

(terkenal dengan tembakau Deli), yang tidak terdapat didaerah lainnya.

Pemberian konsesi kepada orang asing oleh raja itu disertai surat-surat dan

perjanjian seperti yang diatur dalam peraturan konsesi tersebut di atas.Diantaranya

bahwa daerah konsesi itu meliputi kampung penduduk yang harus dijamin juga

hal ini berarti bahwa nasib rakyat oleh raja diserahkan kepada onderneming.

113
Mochammad Tauchid, 1952, Masalah Agraria, Sebagai Masalah Penghidupan Dan
Kemakmuran Rakjat Indonesia, Tjakrawala, Djakarta, Hal 76

Universitas Sumatera Utara


Peraturan antara satu daerah Swapradja dengan lainnya berbeda-beda.

Baru kemudian sesudah Pemerintah turut campur dalam hal ini, maka peraturan

itu disamakan. Seperti biasa konsesi itu untuk jangka waktu maksimun adalah 75

tahun lamanya dengan kesempatan memperpanjang lagi jika perlu selama 50

tahun, cijns nya Rp. 1,- (minimum) tiap Ha/Tahun, dengan memberi kesempatan

pengurangan jika memiliki alasan yang cukup. 114

Dengan kemajuan tanaman tembakau didaerah itu, yang ternyata

menghasilkan hasil yang sangat baik, maka tanah konsesi itu semakin luas dan

menyusul tanaman lainnya (karet, kelapa sawit, the dsb).Akhirnya hampir seluruh

daerah Sumatera Timur jatuh ketangan modal asing dengan pemberian konsesi itu.

Luas tanah Sumatera Timur………………………………. 3.031.000 Ha

1. Tanah Konsesi:

a. Konsesi Tembakau……………………………….. 261.000 Ha

b. Perkebunan tanaman keras yang sudah ditanami.... 394.000 Ha

c. Yang belum ditanam…………………….. ………... 233.000 Ha

114
Pemberian konsesi kepada orang asing oleh raja itu disertai surat-surat dan perjanjian

seperti yang diatur dalam peraturan konsesi tersebut di atas.Diantaranya bahwa daerah konsesi itu

meliputi kampung penduduk yang harus dijamin juga hal ini berarti bahwa nasib rakyat oleh raja

diserahkan kepada onderneming.

Peraturan antara satu daerah Swapradja dengan lainnya berbeda-beda.Baru kemudian sesudah

Pemerintah turut campur dalam hal ini, maka peraturan itu disamakan.Seperti biasa konsesi itu

untuk jangka waktu maksimun adalah 75 tahun lamanya dengan kesempatan memperpanjang lagi

jika perlu selama 50 tahun, cijns nya Rp. 1,- (minimum) tiap Ha/Tahun, dengan memberi

kesempatan pengurangan jika memiliki alasan yang cukup.

Universitas Sumatera Utara


888.000 Ha

2. Tanaman pertanian Rakyat:

a. Tanaman Keras:

karet…………………………….. 60.000 Ha

kopi………………………… …… 500 Ha

kelapa…………………................. 15.000 Ha

aren………………………… ……. 500 Ha

pohon buah-buahan………………... 7.000 Ha

83.0

b. tanaman padi (sawah irigasi)......................... 19.000 Ha

sawah tidak beririgasi…….…...................... 21.000 Ha

padi huma………………………................... 7.000 Ha

47.000 Ha
c. sayuran dan tembakau….……………….. 2.000 Ha

d. ladang………………….…..……………. 100.000 Ha

e. tanah yang telah dikerjakan……………... 20.000 Ha

122.000 Ha

3. Hutan cadangan…………...................................... 252.000 Ha

4. Hutan Rimba Liar………………………………. 1.372.000 Ha

Jumlah Keseluruhan ……………………... 3.031.000 Ha *) 115

Dengan angka-angka itu kelihatan bahwa tanah konsesi hampir 30% dari

luas seluruh Sumatera Timur, sedangkan tanah pertanian rakyat hanya ± 8% saja,

*)115 Angka—angka dari Laporan Kasimo dalam Parlemen R.I.S, dalam Mochammad
Tauchid, 1953, Masalah Agraria, Tjakrawala, Djakarta, Hal 77

Universitas Sumatera Utara


diantaranya hanya ± 6% saja pertanian untuk bahan makanan. Tanah konsesi

selalu terletak ditempat yang baik (subur).

Tanah konsesi seluas itu dimiliki oleh 257 pemegang konsesi bangsa

Belanda, 197 oleh bangsa asing lainnya (Amerika, Belgia, Inggris).Kepemilikan

bangsa Jerman dan Jepang di Marihat sekarang dimiliki oleh Pemerintah Republik

Indonesia.

Tanah seluas itu, merupakan 30% dari luasnya daerah atau 60% dari

luasnya tanah erfpacht dan Konsesi di luar Jawa dan Madura (1.619.023 Ha),

tidak semua dipergunakan. Konsesi tembakau yang lebarnya 261.000 Ha, rata-rata

hanya ditanami pertahun 15 adalah 20.000 Ha, (yang paling lebar penanaman

tembakau pada tahun 1927 seluas 26.000 Ha). Tanah konsesi lainnya untuk

tanaman keras selebar 627.000 Ha, hanya 349.000 Ha saja yang ditanami lainnya

dijadikan tanah cadangan sudah berpuluh-puluh tahun lamanya.

Mereka menguasai tanah seluas itu, karena untuk penanaman tembakau

dijalankan sistem rotasi (bergantian) yang lamanya 8 sampai 9 tahun.Daerah

onderneming seluas itu dibagi menjadi 8 sampai 9 tahun bergiliran (persil) yang

diganti ditanami setiap 8 sampai 9 tahun perputaran.Setelah pemetikan tembakau

selesai, tanah dipindahkan kepada rakyat untuk ditanami tanaman lainya yang

berumur pendek (jagung, ketela, padi huma, dan palawaija lainnya).Setelah itu

tanah dibiarkan antara 6 hingga 7 tahun menjadi hutan belukar, hingga datang

waktunya untuk ditanami lagi.Jadi selama 8 hingga 9 tahun tanah itu hanya

ditanami 11/ 2 tahun untuk tanaman tembakau (terhitung dari mulai mengerjakan
½
sampai selesai pemetikan), dan sampai 1 tahun sebagai tanah saluran yang

ditanami oleh rakyat.Ketidak luasnya tanaman tembakau, dikarenakan untuk

Universitas Sumatera Utara


menjaga harga tembakau Deli jangan sampai merosot.Tembakau Deli sebagai

bentuk monopoli harus dijaga jangan sampai merosot harganya dan jangan terlalu

banyak tanaman.

Pemakaian tanah semacam itu sungguh satu kemewahan yang berlebih-

lebihan, disamping rakyat yang sangat haus akan tanah. Milik tanah rakyat sangat

kecil, rata-rata hanya 0,64 Ha tiap-tiap keluarga. Diantaranya hanya 0,15 Ha

sawah, lainnnya berupa ladang. Milik tanah rata-rata di Sumatera Timur lebih

kecil dari rata-rata milik tanah di Jawa yang sudah kecil itu (lk. 0,8 Ha, terhitung

0,30 Ha sawah dan lainnya tanah kering).

Penguasa tanah yang sekian luasnya dengan hanya ditanami sebagian kecil

sekali, berarti bahwa tanah juga luas itu hanya memberi makan kepada sedikit

orang. Perbandingan antara luas tanah setiap hektar dengan orang yang dapat

menerima pekerjaan dari situ hanya seperti 8:5 jadi rata-rata tiap-tiap Ha hanya

dapat memberi pekerjaan (memberi penghidupan) kepada 5/8 orang.Sedangkan

jika diusahakan semua setiap Ha sedikitnya dapat memberi penghidupan kepada 6

orang.

Tanah pertanian rakyat yang menghasilkan bahan makanan (kecuali yang

ditanami karet dan tanaman bahan export lainnya) hanya 192.000 Ha atau hanya

6% dari luas seluruh tanah, disamping tanah konsesi yang 888.000 luasnya itu,

atau merupakan 30% dari luasnya daerah. Tanah pertanian yang sekian itu

digunakan penduduk ± 1.500.000 orang banyaknya atau 300.000 keluarga yang

teridiri masing –masing dengan 5 orang. Keadaan yang sperti itu menimbulkan

akibat bahwa petani disana sangat miskin karena keterbatasan tanah dan

penghasilan.Kedua bahwa produksi bahan makanan jauh kekurangan untuk

Universitas Sumatera Utara


mencukupi keperluan makanan penduduk, hingga terpaksa mendatangkan beras

setiap tahunnya dari luar negeri (daerah) sebanyak 150.000 ton untuk daerah

tersebut.

Sengketa perkara tanah di Sumatera Timur timbul sejak lama, dari adanya

konsesi, antara penduduk dengan pihak onderneming.Pertikaian ini terus berlanjut

dan menjadi lebih tajam sejak agresi militer Belanda pertama tahun 1947 yang

melahirkan “Negara Sumatera Timur”.

4. Hak Penggarap di Areal Perkebunan

Pemberian tanah dengan Hak Konsesi kepada orang asing, diatur dengan

Undang-Undang Konsesi tahun 1877 (Bijbl No. 3381), yang diubah dan ditambah

pada tahun 1878 Bijbl.3381, 1884 Bijbl.4380 dan 1892 Bijbl.4770, 5889, 7735,

dan 9155).Pemberian hak konsesi ini maksudnya untuk memberikan kesempatan

seluas-luasnya kepada kaum modal untuk menanamkan modalnya dilapangan

pertanian dengan mendapatkan tanah seluas-luanya.

Menurut Pasal 1 dari Keputusan Pemerintah (Gouvernements Besluit) 3

Nopember 1892 No. 2 (Bijbl. 4770) Kepala Pemerintahan daerah Swapradja

dikuasakan atas nama Pemerintah Hindia Belanda mengesahkan pemberian hak

konsesi oleh Raja kepada orang asing. Oleh Raja-raja diberikan izin kepada orang

asing untuk mengusahakan tanah dalam daerahnya, dengan hak konsesi. Lamanya

75 tahun, luasnya 3500 Ha. (4932 Bau=15,4 Paal persegi).

Batas waktu 75 tahun ini dapat juga diperpanjang dengan 50 tahun lagi

lamanya, kalau pada waktu habisnya kontrak masih terdapat tanaman keras (jati

dan karet) yang ditanam oleh Konsesionaris dan luasnya masih sedikitnya 25 Ha.

Universitas Sumatera Utara


Maksimum luas 3500 Ha itu kalau perlu dapat ditambah lagi, jika Persil itu

berhubungan dengan Persil lainnya dijumlah luasnya tidak lebih dari 3500 Ha.

Yang mendapat hak untuk mendapat konsesi ialah orang Belanda

(Nederlandsch Onderdaan) atau persekutuan dagang lainnya yang berkedudukan

di Nederland atau Hindia Belanda. Untuk daerah Sumatera Timur berlaku surat

Pemerintah (Regeeringsmissive) 16 Juni 1894, Bijbl. 4954, yang memberikan juga

kesempatan kepada orang asing lainnya (tidak hanya Belanda) untuk mendapatkan

hak konsesi disana.

Orang asing timur (Vreemde Oosterlingen) dapat menerima hak konsesi

bila pembesar Daerah keberatan atas pemberian izin konsesi kepada orang asing

timur, karena pertimbangan-pertimbangan politik atau sebab-sebab lainnya,

Pemerintah Pusat yang memutuskan. Selanjutnya dalam peraturan itu disebutkan

juga, bahwa untuk menjadi beheerder dan opziener onderneming tersebut harus

mendapat surat izin dari Hoofd van Gewestelijk Bestuur, dan peraturan ini berlaku

juga terhadap orang-orang asing lainnya. Orang asing itu dapat diusir dari

onderneming karena pelanggaran atas peraturan itu.

Cijns (pachtschat) sebagai sewa yang harus dibayar tiap-tiap tahun

besarnya minimum Rp. 1,-/Ha (satu rupiah) tiap-tiap Ha atau Rp. 0,71,-/bau

(kosong koma tujuh satu) untuk tiap-tiap bau per tahun. Dibayar mulai pada tahun

kedua dari dapatnya hak itu, 1/5 nya dari besarnya cijns, tahun ke-3 membayar

2/5, tahun ke-4 membayar 3/5, begitu seterunya, dan baru mulai tahun yang

ketujuh membayar penuh cijns-nya. Untuk Sambas, pembayaran dengan jumlah

dan cara diatas dimulai pada tahun yang pertama.

Universitas Sumatera Utara


Untuk tanah yang baik, cijns dapat juga lebih dari Rp. 1,-/Ha. Tetapi

sebaiknya, kalau memang ada alasan yang cukup, dapat dimintakan kurang dari

minimum Rp, 1,- tersebut. Untuk mendapatkan kurangan yang tidak

diperhitungkan cijns-nya tiap-tiap Ha tetapi dihitung jumlah seluruh luasnya tanah

dan berapa cijns semua.

Konsesionaris dapat menarik tol atas jalan dan jembatan dalam daerah

konsesi yang dibuat oleh Konsesionaris yang besarnya ditentukan dengan

persetujuan Residen. Tanah Konsesi dapat dijual dan dapat disewakan selama

waktu hak konsesi.Peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan lainnya dalam

pemberian hak konsesi itu.

Pemberian konsesi tidak boleh bertentangan dengan kontrak politik antara

Pemerintah Hindia Belanda dan Swapradja yang memberikan hak konsesi itu;

a. Tanah konsesi hanya untuk kepentingan pertanian dan hutan seperti yang

dimintakan. Diatas tanah itu tidak boleh ditanam apapun (sebagai juga

perjanjian yang terdapat dalam pemberian hak erfpacht);

b. Tambang yang ada dalam daerah konsesi itu tidak termasuk menjadi

haknya konsesionaris. Konsesionaris harus mengizinkan pegawai

Pertambangan untuk masuk mengadakan penyelidikan tambang dalam

daerah Konsesi itu;

c. Kampung penduduk yang sudah ada dalam daerah konsesi harus tetap

diakui, selama orang-orang penduduk kampung itu menghendakinya.

Kalau penduduk disitu tidak dapat lagi mendapat tanah di luar daerah

Konsesi untuk keperluan pertaniannya, Konsesionaris harus menjadikan

Universitas Sumatera Utara


tanah untuk persediaan penduduk. Jumlah penduduk kampung itu

ditentukan tiap-tiap 5 tahun sekali.

Tanah yang sudah ditinggali rakyat dan dikerjakan, tidak boleh diambil

oleh onderneming, kecuali jika dengan izin Hoofd van Gewestelijk Bestuur

sekalipun penduduk disitu tidak keberatan akan pengambilan tanah itu.

Menurut Kontrak Sambas, tanaman kultur milik rakyat yang ada dalam

daerah konsesi dapat diambil dengan memberikan kerugian yang layak. Jika

penduduk tidak dapat lagi mendapat tanah diluar daerah konsesi hingga luasnya

semua 21 bau untuk tiap-tiap keluarga, Konsesionaris harus menyediakan tanah

luasnya hingga memenuhi 21 bau itu.

Pohon buah-buahan dan pohon-pohon untuk sarang lebah dalam daerah

konsesi tidak boleh ditebang oleh Konsesionaris kalau tidak dengan persetujuan

penduduk. Jika Pohon-pohon itu dan daerah kampung penduduk, harus dapat

mendapat izin dari Kepala Daerah Setempat (Hoofd van Plaatselijk Bestuur).

Disekeliling kampung penduduk harus disediakan tanah lebarnya 200

meter, untuk persediaan perluasan kampung, hingga luasnya sedikitnya 3 kali

luasnya kampung yang sudah ada. Tanah itu tidak boleh dipindahkan hak nya

kecuali dengan persetujuan penduduk dan Hoofd van Plaatselijk Bestuur.Tetapi

buat kepentingan onderneming yang tidak dapat dielakkan seperti untuk saluran

air minum, untuk jalan dan sebagainya apat dikecualikan dari ketentuan diatas.

Kampung baru tidak dapat didirikan lagi di daerah Konsesi, kecuali

dengan izin Kepala Daerah, dengan mengingat kepentingan onderneming dan

penduduk yang akan tinggal. Hal ini untuk memberi kemungkinan bagi

Universitas Sumatera Utara


onderneming untuk mengadakan perkampungan buruh yang bekerja di

ondernemingnya.

Penduduk berhak memetik buah-buahan dan hasil hutan didaerah konsesi

yang belum diusahakan.Begitu juga untuk mengambil kayu bakar dan kayu

perkakas, asal hanya untuk keperluan sendiri.Untuk lebih dulu harus mendapat

persetujuan Konsesionaris.

Jika Pemerintah menghendaki tempat untuk keperluan pemerintahan, dapat

mengambil tanah daerah konsesi itu, asal yang berupa kebun tanaman keras, atau

bangunan-bangunan dan perumahan onderneming lainnya.Pengembalian tanah ini

dengan memberi pengganti kerugian dan pengurangan cijns karena pengambilan

tanah itu.

Konsesionaris tidak boleh mengganggu tanah kuburan, dan disampaing itu

harus menjadikan tanah untuk perluasan kuburan, dengan tidak mendapat

pengurangan cijns dari tanah persediaan kuburan itu.

5. Konsesi Untuk Perkebunan Dan Pertanian Kecil Di Sumatera Timur

Menurut Bijblad 7824, buat daerah Sumatera Timur diadakan peraturan

persewaan tanah dari Raja atau rakyat Swapradja kepada orang asing untuk

keperluan perkebunan dan pertanian kecil.

Kepala Daerah Setempat dikuasakan oleh Pemerintah Hindia Belanda

untuk memberikan pengesahan atas persetujuan dan perjanjian sewa antara Raja

dengan orang asing.Kepala Daerah hanya dapat menolak persetujuan dan

perjanjian karena sebab-sebab yang tidak mengizinkan, atas persewaan yang lebih

dari 10 tahun lamanya dan pertimbangan-pertimbangan politik dan ekonomi serta

Universitas Sumatera Utara


sebab-sebab lainnya yang tidak mengizinkan.Jika terjadi penolakan yang

demikian, peminta izin dapat meminta banding kepada Hoofd van Gewestelijk

Bestuur.

Penyerahan hak atas tanah sewa kepada orang lain, berlaku peraturan-

peraturan sesuai dengan Undang-undang Hukum Perdata kecuali jika dalam

perjanjian menimbulkan pemindahan hak tersebut, maka hal itu dapat dijalankan,

tetapi perjanjian baru dengan penyewa baru tersebut harus mendapat persetujuan

Kepala Daerah Setempat lagi.Tanah sewa itu boleh dipindahkan haknya kepada

Rakyat Swapradja.

Raja dapat memberikan hak konsesi untuk perkebunan dan pertanian kecil

(Kelin tuin-, landbouw) kepada orang asing.Kepala Pemerintah (Afdeelingshoofd)

dalam daerah itu diberi kuasa untuk memberi pengesahan serta persetujuan

apabila syarat-syarat sudah terpenuhi.Baik syarat yang mengenai keamanan

maupun dari sudut politik.Penolakan atas permintaan ini dapat dimintakan

banding kepada Kepala Pemerintah Daerah dalam waktu 2 bulan.

Luas tanah yang diberikan 1930 Ha jangka waktu masksimum 50

tahun.Besarnya cijns dapat diperdamaikan mengingat luas, letak, dan baik

buruknya keadaan tanah yang disewa, dibayar menurut peraturan konsesi.Tanah

itu harus diusahakan sendiri.

Hak konsesi ini dapat dipindahkan kepada orang lain, dengan

pemberitahuan lebih dahulu kepada Kepala Swapradja jika pemegang hak konsesi

itu meninggal, maka dapat diberikan kepada pewaris atau orang yang dikuasakan.

Universitas Sumatera Utara


Peraturan lainnya berlaku seperti terhadap peraturan konsesi lainnya (tidak

boleh menanam opium, diperbolehkan membuat jalan umum, diperkenankan

memasang listrik, pipa air dsb) tentang pertambangan yang ada didalam daerah itu

berlaku Undang-undang pertambangan (Ind. Mijnwet dan Mijn Ordonnantie).

B. PENGATURAN PENGOSONGAN TANAH PERKEBUNAN YANG


DIDUDUKI RAKYAT

1. Masalah OkupasiDan Pengosongan Tanah Perkebunan

Bahwa sesungguhnya tatkala orang masih berada “dizaman normal” sudah

dikenal masalah okupasi ilegal. Tentu harus diakui bahwa pada zaman Hindia

Belanda persoalan okupasi tidak sah daripada tanah-tanah, belum seluas seperti

dialami sekarang ini. Walaupun dalam proporsi yang lebih kecil, tetapi masalah

ini sudah dikenal pada waktu itu. Dalam hal terjadi sengketa antara rakyat dengan

perkebunan yang saling mempertahankan hak tanahnya masing-masing maka hal

sedemikian teranglah bahwa pembuat undang-undang tidak dapat tinggal diam.

Yang belakangan ini harus mengadakan peraturan-peraturan untuk mengatasi

kesulitan-kesulitan melakukan pengosongan tanah persil-persil perkebunan yang

diduduki rakyat.

Pada saat giatnya dilaksanakan cultuur-stelsel (sistem tanam paksa) pada

tahun 1830, sangatlah terbatas kemungkinannya para pengusaha besar swasta

untuk berusaha di bidang perkebunan besar.

Tahun 1870 lahir Agrarische Wet, bahwa tujuan utamanya adalah untuk

membuka kemungkinan dan memberikan jaminan hukum kepada para pengusaha

swasta agar dapat berkembang di Hindia Belanda.Pertama-tama diberikan

Universitas Sumatera Utara


kemungkinan memperoleh dari Pemerintah Belanda, tanah yang masih berupa

hutan, untuk dibuka dijadikan perkebunan. 116

Kesulitan-kesulitan timbul karena tanah-tanah untuk perkebunan yang luas-

luas pada umumnya tidak dipagari oleh kawat duri atau lain-lain batas yang nyata.

Seperti diketahui maka perkebunan besar dinegeri kita umumnya dilakukan atas

tanah-tanah yang diberikan dengan hak erfpacht atau konsesi oleh Pemerintah

Hindia Belanda.

Mengingat kembali tentang hak erfpacht pada perkebunan besar ini,

diberikan untuk 75 tahun dan umumnya kini telah atau dalam waktu singkat akan

berakhir (mulai 1870). Menurut Peraturan Pemerintah No. 36 tahun 1956,

LN.1956 No. 72 117 (untuk konsesi) dan Undang-undang No. 29 tahun 1956 LN

No. 74 118 (untuk erfpacht), maka hak-hak tersebut bila sudah habis waktunya atau

dalam satu tahun akan habis waktunya, sedang keadaan perusahaanya adalah

sedemikian rupa sehingga menurut pertimbangan Menteri Pertanian tidak

mungkin diusahakan kembali secara layak, tidak akan diperpanjang atau

diperbaharui. Peraturan-peraturan ini diadakan dalam rangka pembatalan

persetujuan K.M.B karena areal-areal erfpacht yang luas-luas ini tidak dibatasi

dengan nyata timbullah berbagai kesulitan berhubung dengan kedatangan rakyat

jelata diatas tanah-tanah perkebunan tersebut.Rakyat ini datang menetap diatas

tanah-tanah erfpacht itu serta membuka tanah-tanah yang umumnya masih

belukar. Seringkali dalam hal sedemikian mereka sama sekali tidak tahu menahu

116
Budi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanaannya, Jilid 1, Hukum Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta, Hal
38
117
Peraturan Pemerintah No. 36 tahun 1956 dalam lampiran buku S.Gautama, 1973
MASALAH AGRARIA (berikut peraturan2 dan tjontoh2) pada Lampiran Peraturan No. 18,
118
Ibid, pada Lampiran Peraturan No. 20

Universitas Sumatera Utara


tentang adanya hak-hak perkebunan barat atas tanah yang dibuka mereka ini.

Mereka mengira bahwa merekalah yang menjadi pemilik Indonesia (Indonesische

bezitter) daripada tanah yang dikerjakan itu. Dalam melakukan sesuatu ini mereka

sama sekali bertindak secara apa yang dengan istilah yuridis terkenal sebagai “ter

goeder trouw” (dengan itikad baik). Menurut ketentuan-ketentuan dilapangan

hukum agraria, maka dalam hal dilakukan pembukaan semacam itu dari sebidang

tanah belukar, tanah tersebut menjadi hak milik daripada petani Indonesia

bersangkutan. Pembukaan semacam ini merupakan salah satu cara untuk

memperoleh hak milik Indonesia (Indonesische bezitsrecht) diatas tanah. 119

Tetapi apa yang sesungguhnya telah terjadi? Pihak erfpachter pengusaha

perkebunan bersangkutan yang tanahnya diduduki oleh rakyat ini, sesungguhnya

memperoleh pula hak-hak terhadap orang-orang Indonesia bersangkutan.Hak

apakah yang mereka miliki?

Rakyat telah menduduki tanah-tanah erfpacht daripada perkebunan-

perkebunan besar itu. Yang belakangan ini mempunyai hak erfpacht sebagai

sesuatu hak benda (zakelijk recht) barat atas tanah yang diduduki oleh rakyat.

Oleh karena itu sipengusaha barat dapat meminta pengosongan. Ia dapat mengusir

orang-orang Indonesia bersangkutan dan menuntut penggantian kerugian.

Segala sesuatu ini dimungkinkan baginya oleh dasar-dasar hukum yang

dikenal dalam hukum Eropa.Kita saksikan bahwa dengan demikian timbullah

suatu soal yang pelik. Rakyat menganggap dengan patut bahwa merekalah yang

119
Dalam Edy Ikhsan, Pergeseran Hak Tanah Komunal Dan Pluralism Hukum dalam
Perpektif Sosio-Legal, Maassen en Hens, Agrarische regelingen I, h, 13.

Universitas Sumatera Utara


menjadi pemilik tanah-tanah yang mereka buka. Pihak onderneming menganggap

merekalah yang berhak atas tanah-tanah yang “diserobot” oleh rakyat itu.

Keadaan yang timpang dalam penguasaan dan penggunaan tanah pertanian

ini, merupakan pertentangan yang hebat antara petani rakyat dengan pengusaha

perkebunan. Disamping perkebunan yang luas dengan tingkat produksi yang

tinggi, kedudukan yang kuat dalam lapangan keuangan dan organisasi, serta

perlindungan yang kuat dari Pemerintah Kolonial diantaranya dengan adanya

“poenale sanctie” merupakan surga bagi kaum modal. Sumber dolar dan emas,

disamping pertanian rakyat yang sangat lemah. Sangat kekurangan tanah, tingkat

produksi rendah.Produksi bahan makanan sangat kurang disebabkan sempitnya

tanah pertanian rakyat hidupnya tergantung dari impor bahan makanan dari luar.

Tingkat pengetahuan rakyat sangat rendah, tidak ada organisasi serta perlindungan

sama sekali dari Pemerintah dalam menghadapi kekuatan raksasa yang serba

lengkap dan modal peralatannya. Rakyat menjadi kuli yang hidup untuk kerajaan

yang diberikan kepada pihak onderneming. Dengan begitu dimaksudkan oleh

onderneming supaya seterusnya akan menjadi kuli yang murah setia selama-

lamanya. Rakyat hidup dineraka disamping kaum modal yang hidup dalam surga.

Pemakaian tanah yang sangat mewah seluas 261.000 Ha, rata-rata hanya

dipergunakan 15 dari 20.000 Ha. Tanah konsesi tanaman keras 637.000 Ha hanya

dipergunakan 394.000 Ha saja. Sungguh satu keadaan yang sangat ganjil, jika

melihat tanah pertanian Rakyat yang hanya 192.000 Ha untuk bahan maknan

300.000 keluarga yang harus mendapat makanan.

Universitas Sumatera Utara


Andaikan tidak mengganggu kedaulatan kaum modal dalam mendapat

keuntungan yang sebesar-besarnya, tidak mengganggu dan mengurangi tanaman

keras yang sudah ada serta lebih dari cukup itu, berarti 233.000 Ha tanah dapat

diberikan kepada Rakyat untuk menjadi tanah pertaniannya. Dengan mengubah

sistem rotasi yang sekarang dijalankan 8 hingga 9 tahun dipendekan menjadi 5

sampai 6 tahun yang masih mewah juga tidak akan merosotkan hasilnya dengan

penggunaan dan syarat-syarat teknis tertentu, dengan menanam rabuk hijau

tersebut akan dapat melepaskan tanah dari konsesi tembakau sedikitnya 150.000

Ha, jadi dengan tidak mengganggu keleluasaan kaum modal untuk mendapat

keuntungan seharusnya masih dapat melepaskan tanah untuk keperluan rakyat di

Sumatera Timur antara 350.000 hingga 400.000 Ha. Tanah luas tidak dikerjakan

membentang dimuka rakyat yang tidak memiliki tanah menderita meminta tanah

untuk keperluan hidup.

Dalam hal sedemikian teranglah bahwa pembuat undang-undang tidak

dapat tinggal diam, yang belakangan ini harus mengadakan peraturan-peraturan

untuk mengatasi kesulitan-kesulitan guna pengosongan atas persil erfpacht

tersebut. Pada tahun 1937 telah dibuat suatu peraturan mengenai cara-cara dapat

dilakukan permintaan pengosongan terhadap tanah-tanah diatas persil-persil

erfpacht yang secara tidak sah telah diduduki rakyat Indonesia 120.

Dalam peraturan ini yang dibuat dalam suasana kolonial, sudah nampak

dengan jelas hasrat daripada penguasa untuk memberikan perlindungan kepada

rakyat kecil. Penguasa kebun-kebun besar tidak dapat sesuka hatinya saja

120
Staatsblad No. 560, dalam S. Gautama, 1973, Masalah Agraria (berikut peraturan2 dan
tjontoh2), Alumni, Bandung, Hal 22

Universitas Sumatera Utara


mengadakan pengosongan-pengosongan terhadap mereka. Kemungkinan untuk

menuntut pengosongan ini dibatasi secara tertentu. Hanya dalam hal ditaati

beberapa syarat, barulah dapat diminta pengosongan tersebut. Demikian

ditentukan, bahwa pengosongan ini hanya dapat diminta apabila diajukan dalam

jangka waktu tertentu. Hanya dalam waktu setengah tahun setelah berlakunya

ordonansi tersebut atau dimulainya okupasi tidak sah itu, dapat diadakan tuntutan

pengosongan ini. Selanjutnya hanya dapat diminta pengosongan ini apabila tanah

bersangkutan telah dibuka atau dipakai bertentangan dengan ketentuan-ketentuan

yang dikenal dalam hukum adat atau peraturan-peraturan tentang pembukaan dan

pemakaian tanah. Lebih jauh disyaratkan pula bahwa pengusaha harus dapat

membuktikan, bahwa pihak okupan telah mengetahui sejak permulaan pemakaian

tanah olehnya, bahwa tanah itu termasuk persil erfpacht. Hal ini tergantung

daripada faktor-faktor konkrit dalam kenyataan sehari-hari. Berhubungan erat

dengan ini adalah ketentuan bahwa batas-batas daripada erfpachtsperceel haruslah

nyata (duidelijk zichtbaar) pada permulaan okupasi sengketa. Misalnya terdapat

suatu pagar atau suatu jalan perbatasan (grenspad). Jika hal-hal tersebut diatas

tidak ada, maka pengosongan hanya dapat dituntut dengan memberikan sejumlah

penggantian kerugian.

Dengan adanya ketentuan-ketentuan semacam ini jelaslah sudah bahwa

tidak secara serampangan dapat dilakukan penuntutan pengosongan oleh

pengusaha perkebunan yang tanahnya telah diserobot. 121

121
Juga para okupan ilegal atas tanah Pemerintah ternyata diberikan kesempatan pula untuk
mengesahkan kedudukan mereka dengan mengadakan perjanjian sewa-menyewa dengan
permerintah. Untuk perjanjian ini, lihat contoh No. 5,7. Dalam S. Gautama, Masalah Agraria
(berikut peraturan2 dan tjontoh2), Alumni, 1973, Bandung

Universitas Sumatera Utara


2. Masalah Okupasi Tanah Perkebunan Zaman Pendudukan Jepang Dan Revolusi
Selama pendudukan Jepang dapat kita saksikan bahwa masalah pemakaian

tanah secara ilegal ini telah berlipat ganda. Banyak onderneming-onderneming

telah ditinggalkan oleh pemilik-pemiliknya sebelum perang. Usaha perkebunan

umumnya terhenti, tanah-tanah daripada onderneming-onderneming yang telah

ditinggalkan tentunya mempunyai “daya penarik” lebih kuat bagi. Rakyat yang

lapar pun terpaksa memakai tanah-tanah onderneming ini untuk ditanami dengan

bahan-bahan makanan. Seringkali hal ini telah dilakukan atas perintah penguasa

Jepang atau seijin mereka.

Zaman Revolusi semakin bertambah pemakaian tanah oleh rakyat untuk

tanaman-tanaman makanan ini. Bertambahnya pemakaian tanah-tanah perkebunan

oleh rakyat ini terutama disebabkan karena bertambah sulitnya keadaan dengan

adanya blok kade pihak Belanda.

Tatkala pemerintah Federal mulai merentangkan sayapnya, nyatalah bagi

pengusaha bahwa perlu diambil tindakan-tindakan untuk mencegah merajalelanya

pemakaian tanah secara ilegal oleh rakyat ini. Berhubung dengan hasrat itu telah

diadakan suatu peraturan khusus oleh pemerintah Federal ditahun 1948

(Staatsblad No. 111 : Ordonansi mengenai okupasi tanah). 122 Peraturan ini

dimaksudkan sebagai suatu ancaman terhadap pemakaian tanah secara tidak sah

dikemudian hari. Suatu sanksi hukuman diadakan terhadap pemakaian ilegal dari

tanah-tanah Negara yang bebas (vrij landsdomein), tanah swapraja yang bebas,

tanah erfpacht dan konsesi-konsesi pertanian setelah 10 Juni 1948. Tanggal itu

122
Ordonnantie onrechtmatige occupatie van gronden, Stbl. 1948 No. 111, Lampiran
Peraturan No. 7. Lihat pula Rondschrijven Secretaris van Staat voor Binnenlandse Zaken ttg. 4
Desember 1948 No. A.Z/30/10/37, Bb. 15242 tentang “Occupatie van erfpachtapercelen en
landbouwconcessle-terreinen door de bevolking”, Lampiran Peraturan No. 8.

Universitas Sumatera Utara


ialah hari mulai berlakunya ordonansi tersebut. Apabila kita memperhatikan isi

daripada peraturan ini maka nyatalah bahwa ordonansi ini sangat luas dalam

redaksi kata-katanya.

Kita saksikan bahwa sama sekali tidak diadakan perbedaan lagi antara

okupasi ilegal dengan itikad baik (ter goede trouw) atau dengan itikad buruk

(terkwader trouw). Dalam peraturan yang kita kenal sebelum perang (yaitu dari

tahun 1937 tersebut tadi), maka sipemakai yang bertindak dengan itikad baik

dilindungi. Tidak demikian sekarang ini. Juga sipemakai “ter goeder trouw” dapat

ditarik dibawah peraturan yang diancam dengan hukuman ini. Dalam praktik kita

saksikan bahwa hanya untuk daerah Sumatera Timur telah dinyatakan berlaku

peraturan ini. Disana pulalah telah kita saksikan adanya berbagai kerusuhan

berkenan dengan okupasi tanah-tanah perkebunan oleh rakyat ini. Benar

maksimum hukuman yang dapat dijatuhkan tidak terlalu berat yaitu setinggi-

tingginya 3 bulan atau Rp. 500,-,tetapi konsekwensinya dilihat dari sudut idiil

adalah besar. Apalagi jika diingat, bahwa menurut ketentuan selanjutnya barang-

barang bergerak yang berada diatas tanah sengketa dapat disita.

Bagaimana hasil daripada peraturan ini dalam praktik? Tidak banyak

Okupasi tidak sah masih berjalan terus dan meluas seolah-olah peraturan untuk

dihiraukan sama sekali.

Pada waktu perundingan-perundingan sekitar pengakuan kedaulatan

diadakan telah disinggung pula masalah okupasi ilegal oleh rakyat ini. Dalam

“Persetujuan keuangan dan perekonomian” dari Konfrensi Meja Bundar telah

diakui pula oleh pihak Belanda bahwa kenyataan defakto sekitar pemakaian tanah

Universitas Sumatera Utara


perkebunan-perkebunan oleh rakyat Indonesia tidak dapat diganggu gugat lagi.

Dengan tegas dapat kita membaca dalam persetujuan tersebut bahwa selama

pendudukan Jepang dan kedudukan selama masa revolusi telah terjadi bahwa

tanah-tanah onderneming yang sudah dibongkar tanamannya untuk dipergunakan

akan pertanian atau perkarangan, telah diduduki rakyat selama masa pendudukan

Jepang dengan ijin pembesar-pembesar Jepang dan bahwa pada hal-hal yang

tertentu, jika tanah itu dicabut kembali daripada tangan rakyat yang

berkepentingan dengan begitu saja lalu dikembalikan kepada onderneming yang

bersangkutan akan timbul kegelisahan yang amat sangat sehingga pengembalian

tanah itu pada kebijakan hal tidak mungkin terjadi. Tiap-tiap keadaan akan

dipertimbangkan tersendiri dan akan diusahakanlah penjelasan yang dapat

diterima oleh segala pihak.

3. Penghapusan Hak Konversi


Apakah yang diartikan dengan hak konversie ?, istilah konversi di

lapangan hukum tanah sering kali kita temukan. Dalam berbagai peraturan agraria

di gunakan istilah ini.Demikianlah kita kenal apakah yang dinamakanorang

konversi dari pada hak milik komunal dalam hak milikpribadi (erfelijk indidueel

bezitsrecht). 123 Juga kita kenal kemungkinan konversi dari pada tanah dengan hak

grant menjadi hak erfpacht menurut burgerlijk wetboek untuk wilayah Sumatera

Timur. 124 Pada pokoknya istilah ini berarti : peralihan, pengubahan (omeeting)

dari pada sesuatu hak tertentu kepada suatu hak lain.

123
Stbl. 1895 No. 102, diubah kemudian.
124
Stbl. 1915 No. 474, Vestlging van op binzen zelfbestarerd gobled gelegen gronden van
takelijk rechten op den wet van het Buegeriljk Wetboek voor Indonesie.

Universitas Sumatera Utara


Dengan hak konversie menurut Vorstenlandse Grondhuurreglement

diartikan suatu hak berdasarkan atas suatu “conversiebeschikking” yaitu suatu hak

daripada seorang “landbouwondernemer” atas nikmat daripada tanah, buruh dan

air yang diperlukan untuk ondernemingnya. Pengusaha pertanian besar yang

terutama terdiri dari orang-orang bermodal Barat ini oleh penguasa sediakala

dilindungi secara tertentu dalam usaha mereka. Selain daripada jaminan untuk

dapat memakai tanah mereka pun dijamin agar memperoleh cukup tenaga buruh

dan air bagi usaha pertaniannya.

Antara swapraja dan pengusaha pertanian terdapat suatu hubungan

tertentu, oleh swapraja disediakan tanah berikut buruh dan air. Pengusaha

pertanian besar ini sebagai prestasi lawan, membayar uang penggantian setiap

tahun kepada swapraja (pasal 11 ayat 4 Vorsteandse Grondhuurrglement).Jangka

waktu yang semula ditetapkan untuk lamanya hak konversi ini ialah 50 Tahun.

Kemungkinan untuk memperoleh hak konversi ini terbuka bagi para

pengusaha setelah diadakan reorganisasi yang terkenal dalam hukum tanah

Vorstenlanden ini. Sebelum diadakan reorganisasi ini, maka para pengusaha

pertanian hanya mempunyai suatu hak yang terkenal sebagai “landhuur” (sewa

tanah).Hak ini didasarkan atas suatu peraturan tertentu, yaitu

Landverhuureglement, Staatsblad tahun 1906 No. 93, akan tetapi hak usaha ini

ternyata dalam praktik dirasakan tidak sesuai, para pengusaha menghendaki suatu

hak yang lebih kuat dan kokoh.Keberatan terhadap hak landhuur yang lama ini

terutama terletak dalam kenyataan bahwa hak ini hanya merupakan suatu hak

pribadi (personalijk recht), artinya bahwa hak semacam ini terlampau terikat

kepada para pihak pribadi yang mengadakan perjanjian sewa ini. Dengan kata lain

Universitas Sumatera Utara


perkataan hak sewa ini tidak dapat berlaku terhadap pihak-pihak ketiga yang tak

merupakan pihak pada perjanjian ini. Seperti diketahui disinilah terutama terletak

perbedaan antara apa yang dinamakan hak pribadi dan “hak kebendaan” (zekelijk

recht). Suatu akibat daripada sifat hak pribadi ini ialah bahwa berlainan daripada

atas hak benda diatas hak ini tak dapat diletakan dengan tidak adanya

kemungkinan ini maka kuranglah kesempatan untuk memperoleh kredit bagi dan

pengusaha-pengusaha pertanian ini. Benar para pengusaha dengan hak landhuur

ini masih memperoleh pula pekerjaan yang gratis daripada rakyat penduduk tanah

yang disewakan itu. Tetapi tidak mungkinnya untuk memperoleh pinjaman

dengan jaminan hypotheek ini dirasakan kurang memuaskan oleh para pengusaha.

Reorganisasi agraria yang telah dilakukan dalam wilayah Vorstenlanden

ini bermaksud untuk mengadakan perubahan dalam keadaan rakyat penduduk

diatas tanah bersangkutan. Kedudukan rakyat ini perlu diperkuat tetapi dilain

pihak dipandang perlu pula agar supaya sesuatu ini tidak mengurangi jaminan-

jaminan untuk para pengusaha perkebunan besar.

Dengan demikian dibukalah kesempatan untuk melakukan konversi ini.

Apabila perbuatan konversi dilakukan, maka hak landhuur bagi pengusaha

berubah menjadi “hak konversi”.Hak ini adalah suatu hak kebendaan. Dengan

demikian maka dapatlah diadakan hypotheek atas hak-hak konversi ini. Secara

demikian diperbesar kemungkinan bagi para pengusaha pertanian untuk

memperoleh kredit dari pihak ketiga. Satu dan lain telah ditetapkan dalam suatu

peraturan tertentu yakni : “Verklaring van het recht van den

landbourvondernemer in de gewesten Soerakarta en Djokjakarta tot zakelijk

recht”. Staatsblad 1918/21 jo 22: “ Penjelasan daripada hak pengusaha pertanian

Universitas Sumatera Utara


diwilayah Surakarta dan Yogyakarta menjadi hak benda.” Oleh karena dengan

sifat hak kebendaan ini hak tersebut dapat berlaku pula terhadap umum (pihak

ketiga), maka sesuai dengan sistem yang dikenal dalam hukum Eropa berkenaan

dengan hak kebendaan ini, titel daripada hak konversi harus diumumkan

(openbaar gemaakt), hak-hak dicatat dalam daftar-daftar tertentu.

Demikianlah pokok utama daripada reorganisasi yang telah dilakukan.

Tetapi segala sesuatu ini hanya berlangsung dalam suasana “atasan” yaitu antara

pengusaha pertanian barat dan swapraja berserta para pejabatnya. Perbaikan sama

sekali tidak sampai kepada rakyat penduduk tanah-tanah bersangkutan. Dengan

demikian nyatalah adanya sifat feodal dalam segenap stelsel berkenaan dengan

hak konversi ini. Satu sisa daripada pengertian bahwa sesungguhnya semua tanah

pada hakekatnya berada dalam kekuasaan Sultan sedangkan rakyat hanya dapat

dipandang seolah-olah suatu “pachter” yang memberikan separoh daripada hasil

pekerjaannya kepada “Raja” itu. Terkenal adalah sistem “apanage” dan para

bekel-bekel yang menarik keuntungan daripada hasil pekerjaan rakyat penduduk

tanah bersangkutan. Sejalan dengan pikiran inilah harus kita lihat pula adanya

kenyataan bahwa rakyat turut bekerja secara paksa dan tak dibayar bagi para

pengusaha barat yang menyewa tanah dari pemangku-pemangku jabatan ini.

Menurut tujuan semula maka hak-hak konversi ini akan berlangsung untuk

50 tahun lamanya. Jadi jika kita mengadakan perhitungan jangka waktu, maka

mulai dari k.l tahun 1926 hingga k.l tahun 1975 barulah akan berakhir sistem hak

konversi ini. Setelah hak konversi ini berakhir baru diniatkan berlakunya

hubungan perjanjian sewa tanah secara biasa (gondhuurovereenkomst dari pasal

Universitas Sumatera Utara


5b VorstenlandenGrondhuurglement) berdasarkan pemufakatan antara rakyat dan

pengusaha.

Demikianlah rencana semula sekitar hak konversi ini. Akan tetapi,

teranglah sudah bahwa dalam suasana revolusi nasional segala sesuatu yang

berpegang kepada sistem feodal ini tak dapat dipertahankan. Maka sesuai pula

dengan aliran zaman kita saksikan bahwa dalam hal ini jauh-jauh dimuka sudah

dirasa perlu untuk mengadakan perubahan-perubahan. Orang tak dapat menunggu

hingga keadaan sesuatu sudah menjadi “normal” lagi. Orang tak dapat menunggu

hingga revolusi “selesai” untuk mengambil langkah-langkah perbaikan yang

mendesak. Memang perasaan rakyat sudah tidak lebih lama dapat menahan apa

yang dipandang sebagai eksploitasi ini.

Sesuai dengan panggilan zaman ketika itu, kita melihat bahwa sejak

Republik Indonesia masih berada ditengah-tengah pergolakan untuk pertahankan

kehidupan dalam perjuangan kemerdekaan ini, sudah dipandang perlu untuk

mengadakan perubahan berkenaan dengan hak-hak konversi.

Berbagai perubahan sebagai akibat desakan pihak rakyat petani telah

diadakan. Akhirnya, dengan Undang-undang No. 13 tahun 1948 125 telah

dihadapkan pasal-pasal dalam VorstelandseGrondhuureglement yang mengatur

hak konversi. Tetapi yang dihapuskan oleh peraturan ini ternyata hanya pasal-

pasal yang mengatur hak konversi itu. Apakah dengan demikian dikehendaki

bahwa untuk hari kemudian tidak lagi dapat dipergunakan lembaga konversi ?

125
Undang-undang No. 13 tahun 1948 dalam S. Gautama, 1973, MASALAH AGRARIA
(berikut peraturan2 dan tjontoh2) pada Lampiran peraturan No. 12, Alumni, Bandung

Universitas Sumatera Utara


atau apakah peraturan ini menghendaki lebih dari pada itu yakni bahwa hak-hak

konversi yang sudah ada turut di hapus ?

Secara yuridis memang harus diakui, bahwa dengan dihapuskannya suatu

peraturan hukum obyektif, tidak dengan sendirinya akan musnah pula hak-hak

obyektif (dalam hal kita hak-hak konversi). Jika dikehendaki hal yang belakangan

ini, maka haruslah dinyatakan dengan tegas pula.

Tentunya kita semua dapat meraba bahwa bukanlah maksud pembuat

undang nasional untuk mempertahankan hak-hak konversi yang sudah ada

keadaan yang menyakitkan dan tak sesuai lagi dengan faham-faham yang telah

berubah perlu ditiadakan pula.

Maka untuk menghilangkan segala keraguan tentang sikap penguasa,

kemudian telah dinyatakan lagi hal ini dengan tegas.Telah dibuat peraturan

“Penambahan dan Pelaksanaan UU 1948 No. 13 tentang perubahan

VorstelandseGrondhuureglement” dengan Undang-undang No. 5 tahun 1950. 126

Dalam peraturan penambahan ini dengan tegas ditentukan, bahwa mulai

tanggal …. April 1948, sudah harus dipandang telah dicabut hingga menjadi

hukum segala hak-hak konversi serta hypotheek diatasnya.Juga bukan saja

dikemudian hari tidak dapat lagi orang mempergunakan lembaga konversi ini,

tetapi juga hak-hak konversi yang sudah ada dihapuskan. Pelaksanaan daripada

penghapusan ini diserahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri di Yogyakarta dan

Surakarta. Mereka ini akan memerintahkan supaya dilakukan penghapusan ini

kepada masing-masing panitera mereka.


126
Undang-undang No. 5 tahun 1950 dalam S. Gautama, 1973, MASALAH AGRARIA
(berikut lampiran2 an tjontoh2) pada Lampiran peraturan No. 13, Alumni, Bandung

Universitas Sumatera Utara


Apakah yang terjadi setelah hak-hak konversi ini hapus? Setelah hak-hak

ini hapus maka tanah-tanah bersangkutan dengan sendirinya jatuh ketangan dan

menjadi milik pribadi daripada para gogol kuli kentjeng (kerndorpers). Inilah

suatu hal yang dipandang sesuai dengan sendi keadilan sosial.

Kita kemudian akan melihat, bahwa penghapusan hak-hak konversi ini

telah diakui pula oleh pihak mereka yang terkena. Dalam persetujuan Koferensi

Meja Bundar secara tegas diterima baik penghapusan hak-hak konversi ini (pasal

1 ayat 3 sub c. persetujuan finec) Realita ini tidak dapat ditiadakan. Lonceng

aliran masa tak mungkin diputar balikan. Dengan demikian terwujudlah

perubahan yang berarti suatu patokan tertentu dalam perjalanan kita menuju

kearah suatu sistem hukum, agraria baru yang nasional, demokratis dan

modern. 127

4. Tindakan Terhadap Okupasi Tanah Perkebunan Setelah Indonesia Merdeka

Di Indonesia, banyak produk hukum legislasi yang dikeluarkan termasuk

produk hukum agraria, nasional. Produk hukum agraria tersebut dapat dikerjakan

dalam waktu yang sangat panjang pada periode ini baru selesai setelah terjadi

perubahan sistem politik atau periode sesudahnya. 128 Hukum agraria produk

hukum pada jaman kolonial memilik karakter ekploitatif, dualisik dan

feodalik. 129 Terutama adanya asas domein varklaring yang menyertainya, sangat

127
Untuk sewa menyewa tanah oleh rakyat ini lihat lebih jauh : De Grondhuurpolitiek op
Java en Madoera, Mededelingen Documentatiebureau voor Overzees recht, Djan. 1953 tahun 3
No. 1. Lihat dalam S. Gautama, 1973, Alumni Bandung
128
Winahyu Herwiningsih, Hak Menguasai ... Op,Cit Hlm. 139.
129
Moh. Mahfud MD, politik hukum diindonesia, Pustaka LP3ES indonesia,1998, Hlm.118.

Universitas Sumatera Utara


bertentangan dengan kesadaran hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat, oleh

karena itu timbul tuntutan segara diadakan perbaharuan hukum agraria. 130

Meskipun bangsa Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaannya

serta menciptakan suatu landasan ideal dan Undang-undang Dasar, namun untuk

melakukan perombakan hukum kolonial secara total tidak mungkin dapat

dilaksanakan dalam waktu yang singkat.

Beberapa ketentuan agraria baru sebagai awal dari perombakan agraria

Kolonial antara lain:

a. Pengawasan terhadap Penindakan Hak-Hak Atas Tanah.

Oleh karena belum ada waktu yang cukup untuk mengatur kedudukan

tanah sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh pasal 33 ayat (3) Undang-Undang

Dasar 1945 maka untuk menyelamatkan aset negara, agar dalam pelaksanaan

peraturan perundang-undangan yang kelak dibuat yang mengutamakan hak warga

Negara tidak semakin sulit perlu pengawasan tentang pemindahan hak-hak Barat

baik berupa serah pakai atau dengan cara lainnya yang melebihi jangka waktu 1

tahun. Undang-Undang Darurat No.1 Tahun 1952, menentukan tentang

pemindahan hak tanah-tanah dan benda tetap lainnya, menyebutkan penyerahan

hak pakai buat lebih dari setahun perbuatan pemindahan hak mengenai tanah dan

barang-barang tetap lainnya yang takluk hukum Eropah hanya dapat dilakukan

dengan izin dari Menteri Agraria.

b. Penguasaan Tanah-Tanah

Sesuai dengan domain yang dianut oleh hukum agraria pada zaman

kolonial, yang mengatakan bahwa semua tanah yang diatasnya tidak ada

130
Op,Cit Hlm.139

Universitas Sumatera Utara


eigendom seseorang atau milik menurut hukum adat adalah milik negara yang

bebas (vrijland'sdomein). Pada zaman penjajahan Jepang untuk memperlancar

usaha-usahamaka fungsi vrijlandsdomein ini mulai menyimpang. Kepada instansi

atau departemen diberi keleluasaan untuk mempergunakan hak tanah sebagaimana

yang dikehendakinya bahkan banyak yang dipindahtangankan atau diterlantarkan.

Untuk menertibkan keadaan ini pemerintah mengeluarkan suatu peraturan tentang

Penguasaan Tanah Negara ini yaitu PP Nomor 8 Tahun 1953. Di dalam Peraturan

pemerintah ini dijelaskan bahwa penguasaan atas tanah negara diserahkan kpada

Menteri Dalam Negeri kecuali jika penguasaan ini oleh Undang-undang atau

peraturan lain telah diserahkan kepada suatu kementerian.

c. Pemakaian Tanah Perkebunan Oleh Rakyat

Sebagai akibat dari pemakaian tanah-tanah oleh rakyat yang bukan haknya

(tanah negara atau tanah hak orang lain), yang pada masa penjajahan Jepang di

perkenankan untuk mengatasi krisis bahan makanan, di khawatirkan keadaan ini

semakin menimbulkan masalah, banyak tanah-tanah perkebunan menjadi sasaran

penggarapan rakyat, hingga keadaan perkebunan semakin memprihatinkan. Untuk

mencegah semakin meluasnya penggarapan yang dilakukan oleh rakyat terhadap

tanah-tanah perkebunan dimaksud, maka dengan Undang-Undang Darurat Nomor

8 Tahun 1954., ditetapkan bahwa kepada Gubernur ditugaskan untuk mengadakan

perundingan antara pemilik perkebunan dan rakyat penggarap mengenai

penyelesaian pemakaian tanah itu. Di dalam penyelesaian pemakaian ini harus

diperhatikan kepentingan rakyat, kepentingan penduduk di tempat letaknya

perkebunan dan kedudukan dalam perekonomian negara.

Universitas Sumatera Utara


d. Penghapusan Tanah-Tanah Partikulir

Sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia yang tercantum dalam landasan

ideal Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang menginginkan adanya

kehidupan yang adil dan merata sesuai dengan sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh

Rakyat Indonesia, maka ketentuan-ketentuan pertanahan yang berlaku pada zaman

Hindia Belanda yang nyata-nyata bertentangan dengan rechts-idea bangsa

Indonesia harus segera dihapuskan. Ketentuan yang bertentangan itu antara lain

pengakuan tentang tanah-tanah partikulir. 131 Oleh karena itu maka dengan

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1958, tanah-tanah partikulir ini dihapuskan.

Yang dimaksud dengan tanah partikulir dalam Undang-Undang ini ialah tanah

eigendom di atas mana pemiliknya sebelum Undang-Undang berlaku mempunyai

hak-hak pertuanan (Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1958). Yang dimaksud dengan hak

pertuanan 132 ialah :

1) hak untuk mengangkat atau mengesahkan pemilikan serta

memberhentikan kepala-kepala kampung atau desa dan kepala-

kepala umum.

2) hak untuk menuntut kerja paksa atau memungut uang pengganti

kerja paksa dari penduduk.

3) hak mengadakan pungutan-pungutan baik yang berupa biaya atau

hasil tanah dari penduduk.

4) hak untuk mendirikan pasar-pasar, memungut biaya pemakaian

jalan dan penyeberangan.

131
Tanah egendom yang memiliki hak-hak pemiliknya yang bersifat kenegaraan, yang dulu
disebut herlijk rechten dalam Hukum Belanda.
132
Yaitu istilah pengganti dari tanah partikelir oleh UU No 1 Tahun 1958.

Universitas Sumatera Utara


5) hak-hak yang menurut peraturan lain dan/atau adat setempat

sederajat dengan hak pertuanan.

Dengan dihapuskannya tanah-tanah partikulir ini, maka tanah tersebut

menjadi tanah negara. Kepada pemilik tanahdiberikan ganti rugi berupa uang atau

bantuan lainnya.Berdasakan pada ketentuan dalam Pasal II aturan perlihan UUD

1945 yang menyatakan bahwa “segala badan negara dan peraturan yang ada masih

langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut undnag-undang

dasar ini”. 133 Maka peraturan perundang-undangan yang ditinggalkan oleh

pemerintah kolonial belanda masih tetap dapat diberlakukan selama pemerintah

belum dapat membuat produk hukum-hukum baru yang sesuai dengan jiwa

kemerdekaan. 134

Untuk memenuhi tuntutan tersebut pada tanggal 6 Maret 1948.Presiden

membentuk sebuah komisi yang dikenal dengan panitia tanah konversi. Pada

komisi ini lahir Undang-Undang Nomor 13 tahun 1948 yang menghapus hak

konversi, sementara sambil menunggu aturan lebih lanjut maka pemerintah

mengeluarkan Undang-Undang Darurat Nomor 6 tahun 1951. Tentang perubahan

peraturan persewaan tanah rakyat, kemudian undang-undang ini dikukuhkan

menjadi Undang-Undang No 6 tahun 1952. Kemudian dibentuk Undang-Undang

Nomor 1 tahun 1952 tertanggal 2 Januari 1952 yang kemudian dikukuhkan

menjadi Undang-Undang Nomor 24 tahun 1954 tentang pemindahan dan

pemakaian tanah-tanah dan barang tetap lainya. Yang mempunyai titel menurut

hukum Eropa dan ditindak lanjuti dengan Surat Keputusan Menteri Kehakiman

133
Lihat UUD 1945
134
Winahyu Herwiningsih, Hak Menguasai ... Op,Cit Hlm. 140. dalam Moehammad Tauchid,
1952, Masalah Agraria sebagai masalah Penghidupan Dana Kemakmuran Rakyat Indonesia,
Penerbit Tjakrawala, Djakarta, hlm. 276

Universitas Sumatera Utara


Nomor JS.5/1/19 tanggal 7 januari 1952 serta Tambahan Lembaran Negara

Nomor 262. 135

Akhirnya di pertengahan tahun 1954 Pemerinh Indonesia dapat

megeluarkan peraturantentang hukum agraria yaitu UU No 24 tahun 1954 tentang

Penetapan Undang-Undang Darurat tentang pemindahan hak tanah-tanah dan

barang-barang tetap lainya yang tunduk pada hukum Eropa, yang pada intinya

serah pakai tanah dan barang tetaplainnya dapat diberikan setelah mendapat izin

dari Menteri Kehakiman serta penundaan pada hukum yang bertentangan dengan

UU No. 24 tahun 1954 tersebut.

Pemerintah Nasional kita telah mengadakan tindakan-tindakan kearah

penyelesiaan masalah tanah yang pelik ini. Menteri Dalam Negeri Republik

Indonesia di Yogyakarta, ditahun 1950 telah membuat suatu instruksi yang

ternyata telah digunakan sebagai pedoman untuk seluruh Indonesia. Hanya

terhadap okupan-okupan ilegal sesudah 27 Desember 1949 (pemulihan

kedaulatan), akan diambil tindakan. Mereka yang melakukannya sebelum itu tak

akan diganggu.

Kemudian dibuat Rencana Undang-undang yang dibicarakan dalam DPR,

disampaikan suatu “RUU tentang menetapkan undang-undang darurat No. 8 tahun

1954 tentang penjelasan soal pemakaian tanah perkebunan oleh rakyat sebagai

undang-undang” UU ini diapakai di wilayah Yogyakarta dan belum dimiliki oleh

wilayah lain di Indonesia. 136Isi dari pada Undang-Undang Darurat Tahun 1954

tersebut pada pokoknya pun mengadakan perbedaan antara pemakaian tidak sah

sebelum dan sesudah mulai berlakunya Undang-undang Darurat tersebut pada

135
Ibid.hlm.141.
136
Ibid. hlm. 276

Universitas Sumatera Utara


tanggal 12 Juni 1954.Terhadap yang disebut terakhir ini hanya dilihat jalan

mengatasi kesulitan dengan memberikan ancaman hukuman.Tuntutan pidana

disertai dengan pengosongan dapat dilakukan. Mengenai pemakaian sebelum 12

Juni 1954 diselesaikan secara khas Indonesia, yaitu: berunding, Perundingan ini

ditetapkan dalam suatu keputusan bersama dari Lima Menteri Agraria, Pertanian,

Perekonomian, Dalam Negeri dan Kehakiman. Jika tidak tercapai kata sepakat

para Menteri akan mengambil pula putusan mengikat atas usul Gubernur c.q

Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam keputusan ini akan ditetapkan berapa

luasnya bagian tanah perkebunan yang haknya harus dilepas atau perlu dicabut

dari pihak ondernemer. Setelah itu tanah bersangkutan diberikan kepada rakyat.

Yang menarik perhatian pula ialah ketentuan pidananya yang dapat disusul

dengan pelaksanaan pengosongan tanpa diperlukan suatu “actie” tersendiri guna

untuk itu. Oleh karena ternyata pelaksanaan suatu ini dalam praktik terlambat

karena ditunggu dahulu sampai keputusan pidana dapat memperoleh kekuatan

pasti, dirasakan perlu akan suatu ketentuan yang memungkinkan dilaksanakan

terus pengosongan atas keputusan dalam tingkat pertama (pasal 15 UUDar. 1956

No. 1). 137

Apabila RUU tentang penetepan UU Darurat 1954 No. 8 ini akhirnya akan

diterima oleh Parlemen,dalam praktik pelaksanaanya masih akan banyak terdapat

kesulitan-kesulitan. Masalah okupasi ilegal 138selamanya terbukti merupakan suatu

masalah yang sukar untuk diselesaikan.Persolaan ini ternyata penuh dengan

137
Ibid. Lampiran No. 10a dan Penjelasan dalam T.L.N 1956 No. 1060, Lampiran No.10b.
hlm.276
138
Menurut KBBI Okupasi merupakanpendudukan tanah kosong, okupasi ilegal adalah
pendudukan tanah secara ilegal oleh masyarakat untuk memakai ataupun menggarap tanah tanpa
izin pemegang hak kuasanya.

Universitas Sumatera Utara


kekeruhan-kekeruhan dan ketegangan-ketegangan yang berliku-liku. Siapa yang

teringat pada peristiwa Tanjung Morawa, dengan korban manusianya, tentu akan

sepaham dengan apa yang dikatakan disini. 139

Undang-undang yang berhasil dibuat oleh pemerinah setelah merdeka

sebelum lahirnya undang-undang pokok agraria (UUPA) antara lain: 140

1) UU no 13 tahun 1948 yang disempurnakan oleh UU No. 5

Tahun 1950 tentang Penghapusan Hak Konversi.

2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958 tetang Tanah Partikelir.

3) Undang-Undang No.6 Tahun 1952 tentang Perubahan

Persewaan Tanah Rakyat

4) Undang-Undang No.24 Tahun 1954 tentang Penambahan

Peraturan Dalam Pengawasan Pemindahan Hak Atas Tanah

5) Undang-Undang No 78 Tahun 1957 tentang Penarikan

Besarnya canon dan cijns

6) Undang-Undang Darurat No. 1 Tahun 1956 tentang Larangan

Dan Penyesuaina Pemakaian Tanah Tanpa Izin

7) Undang-Undang No. 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi

Hasil

e. Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)

139
Tentang masalah Okupasi Ilegal ini lihat lebih jauh: De noodwet Inzake occupatie van
ondernemingsgronden door de bevolking, Mededelingen Documentatiebureu voor Overzees recht,
Ag. 1954, tahun 4 No. 8, h. 57.
140
Ibid.hlm. 144-145

Universitas Sumatera Utara


Sejak awal kemerdekaan telah dibentuk komisi atau panitia yan diberi

tugas menyusun dasar-dasar hukum agraria yang baru, panitia tersebut

diantaranya adalah: 141

1) Panitia Agraria Jogja, dengan penetapan Presiden No. 16 tahun

1948, panitia ini menghasilkan 12 butir saran yang disampaikan

kepada DPR bulan Juli 1948;

2) Panitia Agraria Jakarta, 19 maret 1951 dengan putusan presiden

no. 36 tahun 1951, panitia jogja dibubarkan dan digantikan oleh

panitia Jakarta yang dikuasai oleh Sarimi Reksodihardjo, wakil

ketua Sadjarwo, Sarimin digantikan oleh Singgih Praptodihardjo

sehubungan diangkatnya menjadi Gubernur Nusa Tenggara.

Panitia Jakarta menghasilkan 5 kesimpulan;

3) Panitia Shuwardjodengan Keputusan Presiden No 1 tanggal 9

Maret 1956 panitia ini diberi tugas untuk

mempersiapkan rancangan Undang-undang Pokok Agraria.

4) Rancangan Shuwardjo, diajukan kepada DPR tanggal 24 April

1958 disebut rancangan Shuwardjo karena pada sat itu Menteri

Agraria yang mewakili pemerintah mengajukan rancangan

undang-undang kepada DPR adalah Shuwardjo, setelah dibahas,

DPR membentuk panitia Ad Hoc yang diketuai oleh

AM.Tambunan.

Dalam pembahasan dan persetujuan RUU Agraria ini, yang

diajukan kepada DPR-GR yang diketuai pada waktu itu oleh Haji

141
Lebih jelas, Ibid.hlm. 145-150. Atau Boedi Harsono, Hukum agraria,,Op.Cit.Hlm.125-
130.

Universitas Sumatera Utara


Zainun Arifin dalam sidang pleno 12 september 1960. Dalam

pembahasan ini DPR-GR hanya melakukan 3 kali sidang yaitu

pada tanggal 12,13,14 September 1960 pagi, seluruhnya hanya

diperlukan 6 jam saja pembicaraan, untuk persiapan pembicaraan

diperlukan seluruhnya lebih dari 45 jam, diantaranya lebih dari 20

jam untuk pertemuan informal diluar forum resmi sidang.

Pengesahan, pengundangan dan berlakunya pada hari Sabtu

tanggal 24 September 1960. Rancangan undang-undang yang telah

disetujui oleh DPR-GR tersebut disahkan Presiden Soekarno

menjadi Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan

Dasar Pokok-Pokok Agraria. 142

f. Masa diberlakukanya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)

Tahun 1960 merupakan tahun keemasan bagi hukum agraria nasional,

karena pada tahun tersebut lahir Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 yang

disebut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Lahirnya UUPA yang memakan

waktu 12 tahun penggodokan memiliki arti penting bagi masalah pertanahan

nasional khususnya bagi kaum tani. Tidak heran jika sempat juga dikeluarkan

keputusan Presiden yang menyatakan bahwa tanggal 24 September merupakan

hari lahir UUPA sebagai hari Tani. UUPA bermaksud untuk mengatasi dualisme

hukum yang masih berlaku berkaitan dengan pengaturan sumber-sumber

agraria di Indonesia, yaitu hukum barat warisan Belanda Agrarisch Wet 1870 dan

hukum adat. Dengan demikian, UUPA 1960 merupakan hukum nasional yang

baru yang disesuaikan dengan keadaan-keadaan baru di lapangan agraria dan

142
Boedi Harsono, Hukum agraria,,Op.Cit.Hlm. 131-132

Universitas Sumatera Utara


ditujukan pada pencapaian tatanan agraria yang adil. Terutama pentingnya

perlindungan bagi golongan ekonomi lemah (buruh tani dan petani miskin).

Namun demikian, UUPA 1960 yang memberi legitimasi secara formal terhadap

pelaksanaan Reforma Agraria dan terlebih pelaksanaan Land Reform di Indonesia,

sejauh ini tidak bisa disimpulkan bahwa UUPA 1960 telah dijalankan. 143

Peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan yang dicabut karena

lahirnya Undang-undang pokok agrarian nasinal yang baru, antara lain:

1) Seluruh pasal 51 IS dan juga termasuk ayat-ayat yang merupakan

Agrarich Wet,

2) Semua pernyataan domein dari pemerintah Hindia Belanda

3) Peraturan mengenai Hak Agrarische Eigendom (S.1872-117 dan

S.1873-38)

4) Pasal-pasal buku ke II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

sepanjang mengenai agraria. 144

g. Masa Demokrasi Terpimpin dan Masa Orde baru

Program landreform memiliki tujuan untuk memperkuat dan memperluas

pemilikan tanah bagi warga negara Indonesia, terutama kaum tani, juga untuk

menghapus sistem tuan tanah dan pemilikan tanah tanpa batas. Dalam hal ini,

pemilikan tanah tanpa batas tidak diperkenankan lagi sehingga diatur luas

maksimum tanah yang dapat dimiliki. Kelebihan tanah dari batas maksimum itu

diambil oleh pemerintah dengan ganti kerugian untuk kemudian dibagikan kepada

rakyat yang membutuhkan dalam program redistribusi tanah.Sejak awal

143
www.Legalitas.com
144
Ibid.Hlm.134.

Universitas Sumatera Utara


pelaksanaannya tahun 1961, program landreform sering dianggap sebagai gagasan

PKI, konsepsi komunis, lebih-lebih setelah terjadinya Gerakan 30 September

PKI.Dengan dibubarkannya partai komunis itu, dianggap perlu juga untuk

membubarkan program landreform dan tanah-tanah yang telah diredistribusi

kepada rakyat harus dikembalikan kepada pemiliknya semula. Padahal, konsep

landreform yang memberi penggantian kerugian berbeda dengan konsepsi

komunis di mana tanah diambil negara tanpa suatu ganti rugi.Jatuhnya Soekarno

sebagai Pemimpin Besar Revolusi ternyata tidak menyurutkan pelaksanaan

landreform. Di bawah payung Orde Baru, landreform tetap dijalankan bahkan

Presiden Soeharto sendiri menyatakan, Pelaksanaan landreform harus berjalan

terus, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan agar supaya

diselesaikan pelaksanannya secepatnya”.

Namun, sekali lagi, tujuan mulia ini hanya sebatas pintu gerbang. Dalam

praktek, pemerintahan Orde Baru mengupayakan pengelolaan lahan seluas-

luasnya bagi pengusaha pemilik modal. Hal ini sesuai dengan arah politik

pemerintah Orde Baru saat itu yang ingin mendongkrak pertumbuhan ekonomi.

Rekayasa dan intimidasi menjadi bagian dari praktek-praktek pelepasan hak atas

tanah dari rakyat petani kecil. Pada era ini aroma kapitalisme lebih kuat

mencengkeram sehingga berpengaruh pada kebijakan negara soal agraria. Dalam

pandangan Noer Fauzi politik agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang

kapitalistik dijalankan Orde Baru secara sentralistik, otoritarian dan sektoral

sepanjang 32 tahun (Noer Fauzi, 2007). Kondisi ini tidak memberi ruang yang

leluasa bagi program agraria yang berpihak pada rakyat.Justru sebaliknya

Universitas Sumatera Utara


ekspansi kapitalisme perkebunan semakin kuat dan banyak menyerobot tanah

rakyat sehingga memicu maraknya konflik agraria dibelakang hari.

h. Masa Reformasi

Kini, ketika angin reformasi berhembus ketika Orde Baru tumbang, kaum

petani kembali ambil suara. Mereka menuntut kembali tanah-tanah mereka yang

dulu diambil dalam gerakan reclaiming.Tidak jarang reclaiming tersebut

dibarengi dengan ketegangan fisik dan upaya-upaya destruktif.

Momentum tersebut semakin menggelinding dengan dikeluarkannya TAP

MPR RI No.IX/MPR-RI/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan

Sumber Daya Alam.Selanjutnya pidato politik Presiden RI pada 31 Januari 2007

tentang reformasi agraria menyebutkan bahwa program reforma agraria dilakukan

secara bertahap dengan mengalokasikan tanah bagi rakyat miskin. Menurut

Presiden SBY tanah tersebut berasal dari hutan konversi dan tanah lain yang

menurut hukum pertanahan boleh diperuntukkan bagi kepentingan rakyat (Pidato

Politik Presiden 2007).

Selanjutnya BPN-RI mengusung sebuah program yang disebut dengan

Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN) yang didengungkan akan

mengalokasikan tanah objek reforma agraria seluas 9,25 juta hektar (8,15 juta ha

berasal dari hutan konversi, dan 1,1 juta ha berasal dari tanah di bawah

kewenangan langsung BPN) 145. Namun program yang telah dicanangkan sejak

2006 tersebut hingga akhir 2008 ini belum juga terealisasi.

Peraturan Pemerintah yang diharapkan menjadi payung hukumnya juga

belum ditandatangai oleh Presiden RI. Belum lagi permasalahan isi materi tentang

145
Joyo Winoto, 2006 dalam Noer Fauzi, 2007

Universitas Sumatera Utara


alokasi yang adil bagi petani miskin. Reforma agraria yang disampaikan oleh

SBY tersebut masih pada retorika politik yang belum menunjukkan tanda-tanda

realisasi. Kekhawatiran para penggiat reforma agraria adalah bahwa kekuatan

neoliberalisme di negara kita sudah sangat kuat. Sistem yang kapitalistik ini sudah

semakin meresap ke dalam sistem kita. Reforma agraria yang bernafas populis

dan berpihak kepada rakyat dianggap tidak mencerminkan negara yang

menjunjung tinggi liberalisasi ekonomi.

5. Hak Guna Usaha (HGU)

a. Ketentuan Umum

Ketentuan mengenai Hak Guna Usaha (HGU) disebutkan dalam Pasal

16 ayat (1) huruf b UUPA. Secara khusus diatur dalam Pasal 28 sampai

dengan Pasal 34 UUPA.Menurut Pasal 50 ayat (2) UUPA, ketentuan lebih

lanjut mengenai Hak Guna Usaha diatur dengan peraturan perundangan.

Peraturan yang dimaksudkan disini adalah Peraturan Pemerintah (PP) No. 40

Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai

Atas Tanah, secara khusus diatur dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 18.

b. Pengertian Hak Guna Usaha

Menurut Pasal 28 ayat (1) UUPA, yang dimaksud dengan Hak Guna

Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh

negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam Pasal 29, guna

perusahaan pertanian, perikanan, atau peternakan. Bidang usaha yang dapat

diberikan hak guna usaha sesuai dengan penjelasan dari UUPA, bahwa hak

guna usaha ini khusus untuk mengusahakan tanah yang bukan miliknya

Universitas Sumatera Utara


sendiri guna perusahaan “pertanian, perikanan dan peternakan” yang berasal

dari tanah yang langsung dikuasai oleh negara.

c. Luas Hak Guna Usaha

Luas tanah Hak Guna Usaha adalah untuk perseorangan luas

minimalnya 5 hektar dan luas maksimalnya 25 hektar. Adapun untuk badan

hukum luas minimalnya 5 hektar dan luas maksimalnya ditetapkan oleh

Kepala Badan Pertanahan Nasional (Pasal 28 ayat (2) UUPA jo. Pasal 5

Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996).

d. Subjek Hak Guna Usaha

Yang dapat mempunyai (subjek hukum) Hak Guna Usaha menurut Pasal

30 UUPA jo. Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 adalah:

a. Warga Negara Indonesia.

b. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan

berkedudukan di Indonesia (badan hukum Indonesia).

Bagi pemegang Hak Guna Usaha yang tidak memenuhi syarat sebagai

subjek Hak Guna Usaha, maka dalam waktu 1 tahun wajib melepaskan atau

mengalihkan tanahnya kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Kalau hal ini

tidak dilakukan, maka Hak Guna Usahanya dihapus karena hukum dan tanahnya

menjadi tanah negara.

e. Asal Tanah Hak Guna Usaha

Asal Tanah Hak Guna Usaha adalah tanah Negara. Asal tanah Hak Guna

Usaha berupa tanah hak, maka tanah hak tersebut harus dilakukan pelepasan atau

penyerahan hak oleh pemegang hak dengan pemberian ganti rugi oleh calon

pemegang Hak Guna Usaha dan selanjutnya mengajukan permohonan pemberian

Universitas Sumatera Utara


Hak Guna Usaha kepada Badan Pertanahan Nasional. Kalau tanah nya berasal

dari kawasan hutan, maka tanah tersebut harus dikeluarkan statusnya sebagai

kawasan hutan (Pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996).

f. Terjadinya Hak Guna Usaha

Hak Guna Usaha terjadi karena konversi. Hak Guna Usaha ini terjadi dari

proses permohonan dan pemberian hak atas tanah Negara yang berasal dari

Konversi Hak Barat, harus terlebih dahulu memohon dari pihak bekas pemegang

hak yang bersangkutan ataupun pihak yang memenuhi syarat, menurut ketentuan

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 1973 tentang Ketentuan-ketentuan

mengenai tata cara pemberian hak atas tanah jo Peraturan Menteri Dalam Negeri

No. 6 Tahun 1972 tentang Pelimpahan wewenang pemberian hak atas tanah. 146

Hak Guna Usaha terjadi dengan penetapan pemerintah.Hak Guna Usaha

ini terjadi melalui permohonan pemberian Hak Guna Usaha oleh pemohon kepada

Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Apabila semua

persyaratan yang ditentukan dalam permohonan tersebut dipenuhi, maka Kepala

Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia atau pejabat dari Badan

Pertanahan Nasional Republik Indonesia yang diberikan perlimpahan kewenangan

menerbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak (SKPH).SKPH ini wajib

didaftarkan ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam

Buku Tanah dan diterbitkan sertifikat sebagai tanah bukti haknya. Pendaftaran

SKPH tersebut menandai lahirnya HGU (Pasal 31 UUPA jo. Pasal 6 dan Pasal 7

Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996).

146
Dalam Boedi Harsono Hukum Agraria Indonesia Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum
Tanah. 1982. Djambatan. Hal. 138

Universitas Sumatera Utara


Pasal 8 Permen Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1999 menetapkan

bahwa Kepala Kantor wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi berwenang

menerbitkan SKPH atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 200 hektar. Jika luas

tanah Hak Guna Usaha lebih dari 200 hektar, maka wewenang menerbitkan

SKPH-nya berdasarkan Pasal 14 Permen Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1999

adalah Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 1 Tahun 2011 tentang Perlimpahan

Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah dan Kegiatan Pendaftaran Tanah

Tertentu. Dalam Pasal 7-nya dinyatakan bahwa Kepala Kantor Wilayah Badan

Pertanahan Nasional Propinsi memberi keputusan mengenai pemberian Hak Guna

Usaha atas Tanah yang luasnya tidak lebih dari 1.000.000 m2 (satu juta meter

persegi), maka yang berwenang memberi Hak Guna Usaha adalah Kepala Badan

Pertanahan Nasional Republik Indonesia.Prosedur terjadinya HGU diatur dalam

Pasal 17 sampai dengan 31 Permen Agraria/Kepala BPN No. 9 Tahun 1999.

g. Jangka Waktu Hak Guna Usaha

Hak Guna Usaha memiliki jangka waktu untuk pertama kalinya paling

lama 35 tahun dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 25 tahun (Pasal

29 UUPA). Pasal 8 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 mengatur jangka

waktu Hak Guna Usaha adalah untuk pertama kalinya paling lama 35 tahun, dapat

diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 35 tahun, dapat diperbaharui paling

lama 35 tahun. Permohonan perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan Hak

Guna Usaha diajukan selambat-lambatnya dua tahun sebelum berakhirnya jangka

waktu Hak Guna Usaha tersebut.Perpanjangan atau pembaharuan Hak Guna

Usaha dicatat dalam Buku Tanah pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota

Universitas Sumatera Utara


setempat. Persyaratan yang harus dipenuhi oleh pemegang hak untuk

perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan Hak Guna Usaha adalah:

a. Tanahnya masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan

sifat, dan tujuan pemberian hak tersebut;

b. Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh

pemegang hak; dan

c. Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak.

Untuk kepentingan penanaman modal, permintaan perpanjangan atau

pembaharuan HGU dapat dilaksanakan sekaligus dengan membayar uang

pemasukan yang ditentukan untuk itu pada saat pertama kali mengajukan

permohonan Hak Guna Usaha. Dalam hal uang pemasukan telah dibayar

sekaligus, untuk perpanjangan atau pembaharuan Hak Guna Usaha hanya

dikenakan biaya administrasi. Persetujuan untuk dapat memberikan perpanjangan

atau pembaharuan Hak Guna Usaha dan perincian uang pemasukan dicantumkan

dalam keputusan pemberian Hak Guna Usaha yang bersangkutan (Pasal 11

Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996).

h. Kewajiban Pemegang Hak Guna Usaha

Berdasarkan Pasal 12 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996,

pemegang Hak Guna Usaha memiliki 8 kewajiban. Kewajiban tersebut yaitu:

1) Membayar uang pemasukan kepada negara;

2) Melaksanakan usaha pertanian, perkebunan, perikanan, dan/atau

peternakan sesuai peruntukan dan persyaratan sebagaimana

ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya;

Universitas Sumatera Utara


3) Mengusahakan sendiri tanah Hak Guna Usaha dengan baik sesuai

dengan kelayakan usaha berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh

instansi teknis;

4) Membangun dan memelihara prasarana lingkungan dan fasilitas

tanah yang ada dalam lingkungan areal Hak Guna Usaha;

5) Memelihara kesuburan tanah, mencegah kerusakan sumber daya

alam dan menjaga kelestarian kemampuan lingkungan hidup sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

6) Menyampaikan laporan tertulis setiap akhir tahun mengenai Hak

Guna Usaha;

7) Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Guna

Usaha kepada negara sesudah Hak Guna Usaha tersebut hapus;

8) Menyerahkan Sertifikat Hak Guna Usaha yang telah hapus kepada

Kepala Kantor Pertanahan.

i. Hak Pemegang Hak Guna Usaha

Berdasarkan Pasal 14 PP No. 40 Tahun 1996, pemegang Hak Guna Usaha

berhak menguasai dan menggunakan tanah yang diberikan dengan Hak Guna

Usaha untuk melaksanakan usaha dibidang pertanian, perkebunan, perikanan,

dan/atau peternakan. Penguasaan dan penggunaan sumber air dan sumber daya

alam lainnya diatas tanah Hak Guna Usaha oleh pemegang Hak Guna Usaha

hanya dapat dilakukan untuk mendukung usaha Hak Guna Usaha dengan

mengingat ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan

kepentingan masyarakat sekitarnya.

j. Pembebanan Hak Guna Usaha Dengan Hak Tanggungan

Universitas Sumatera Utara


Hak Guna Usaha dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak

Tanggungan (Pasal 33 UUPA jo. Pasal 15 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun

1996). Prosedur Hak Tanggungan atas Hak Guna Usaha adalah:

a) Adanya perjanjian utang piutang yang dibuat dengan akta notaris atau

akta di bawah tangan sebagai perjanjian pokoknya.

b) Adanya penyerahan Hak Guna Usaha sebagai jaminan utang yang

dibukukan dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang dibuat oleh

Pejabat Akta Tanah sebagai perjanjian ikutan.

c) Adanya pendaftaran Akta Pemberian Hak Tanggungan kepada Kantor

Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam Buku

Tanah dan diterbitkan Sertifikat Hak Tanggungan.

Hak Tanggungan atas Hak Guna Usaha hapus dengan hapusnya Hak Guna

Usaha, namun tidak menghapuskan utang piutangnya. Prosedur pembebanan Hak

Guna Usaha dangan Hak Tanggungan diatur dalam Undang-Undang No. 4 Tahun

1996 jo. Pasal 44 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 jo. Pasal 114 sampai

dengan Pasal 119 Permen Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997.

k. Peralihan Hak Guna Usaha

Hak Guna Usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain (Pasal 28

ayat (3) UUPA jo. Pasal 16 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996). Hak Guna

Usaha dapat beralih dengan cara pewarisan yang harus dibuktikan dengan adanya

surat wasiat atau surat keterangan sebagai ahli waris yang dibuat oleh pejabat

yang berwenang, surat keterangan kematian pemegang Hak Guna Usaha yang

dibuat oleh pejabat yang berwenang, bukti identitas para ahli waris, dan Sertifikat

Hak Guna Usaha yang bersangkutan. Prosedur peralihan Hak Guna Usaha karena

Universitas Sumatera Utara


pewarisan diatur dalam Pasal 16 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 jo.

Pasal 42 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 jo. Pasal 111 dan 112 Permen

Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997.

Hak Guna Usaha juga dapat dialihkan kepada pihak lain yang memenuhi

syarat sebagai pemegang Hak Guna Usaha. Bentuk dialihkan tersebut dapat

berupa jual beli, tukar menukar, hibah, penyertaan dalam modal perusahaan yang

harus dibuktikan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) khusus 147

yang ditunjukan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional, sedangkan lelang harus

dibuktikan dengan Berita Acara Lelang yang dibuat oleh pejabat dari Kantor

Lelang. PPAT Khusus menurut Pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah No. 37

Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah

pejabat Badan Pertanahan Nasional yang ditunjuk karena jabatannya untuk

melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT tertentu khusus dalam

rangka pelaksaan program atau tugas pemerintah tertentu. A.P Perlindungan

menyatakan PPAT khusus yaitu pejabat di lingkungan Badan Pertanahan Nasional

terutama untuk pembuatan akta peralihan hak-hak atas tanah yang berstatus Hak

Guna Usaha. 148

Peralihan Hak Guna Usaha wajib didaftarkan kepada Kantor Pertanahan

Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah dan dilakukan

perubahan nama dalam sertifikat dari pemegang Hak Guna Usaha yang lama

kepada pemegang Hak Guna Usaha yang baru.

147
Dalam A.P Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia.1990. Bandung. Mandar Maju
Hal. 141
148
A.P Perlindungan (selanjutnya disebuat A.P Perlindungan-II). Pendaftaran Tanah di
Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1999, h.178.

Universitas Sumatera Utara


Prosedur pemindahan Hak Guna Usaha karena jual beli, tukar menukar,

hibah, dan penyertaan dalam modal perusahaan diatur dalam Pasal 16 Peraturan

Pemerintah No. 40 Tahun 1996 jo. Pasal 37 sampai dengan Pasal 40 Peraturan

Pemerintah No. 24 Tahun 1997 jo. Pasal 97 sampai dengan Pasal 106 Permen

Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997.

Prosedur pemindahan Hak Guna Usaha karena lelang diatur dalam Pasal

16 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 jo Pasal 41 Peraturan Pemerintah

No. 24 Tahun 1997 jo Pasal 107 sampai dengan Pasal 110 Permen Agraria/Kepala

BPN No. 3 Tahun 1997.

l. Hapusnya Hak Guna Usaha

Berdasarkan Pasal 34 UUPA, Hak Guna Usaha hapus karena:

a. Jangka waktunya berakhir

b. Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak

dipenuhi

c. Dilepaskan oleh pemegang hak nya sebelum jangka waktunya berakhir

d. Dicabut untuk kepentingan umum

e. Ditelantarkan

f. Tanahnya musnah

g. Ketentuan dalam Pasal 30 ayat (2).

Menurut Pasal 17 PP No. 40 Tahun 1996, faktor-faktor penyebab

hapusnya Hak Guna Usaha dan berakibat tanahnya kembali menjadi tanah negara

adalah:

1) Berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam keputusan pemberian

atau perpanjangannya

Universitas Sumatera Utara


2) Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang sebelum jangka waktunya

berakhir karena tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak

atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam

keputusan pemberian hak, dan adanya putusan pengadilan yang telah

mempunyai kekuatan hukum tetap

3) Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka

waktunya berakhir

4) Hak Guna Usahanya dicabut

5) Tanahnya ditelantarkan

6) Tanahnya musnah

7) Pemegang Hak Guna Usaha tidak memenuhi syarat sebagai pemegang

Hak Guna Usaha.

Lebih lanjut mengenai hapusnya Hak Guna Usaha sebagai akibat tanahnya

diterlantarkan diatur denganKetentuan PP No. 38 Tahun 1998, kriteria

tanah tanah yang di golongkan sebagai tanah terlantar yaitu :

1. Tanah Hak Milik, HGU, HGB atau Hak Pakai dapat dinyatakan sebagai

tanah terlantar apabila tanah tersebut dengan sengaja tidak dipergunakan

oleh pemegang haknya sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan haknya

atau tidak dipelihara dengan baik.

2. Tanah HGU tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan

tujuan haknya sebagaimana dimaksud Pasal 3 apabila tanah itu tidak

diusahakan sesuai dengan kriteria pengusahaan tanah pertanian yang baik

sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jika hanya

Universitas Sumatera Utara


sebagian dari bagian tanah HGU sebagaimana dimaksud memenuhi

kriteria terlantar, maka hanya sebagian tanah tersebut dinyatakan terlantar.

Pasal 18 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 mengatur konsekuensi

hapusnya Hak Guna Usaha terhadap bekas pemegang Hak Guna Usaha, yaitu:

1) Apabila Hak Guna Usaha hapus dan tidak diperpanjang atau diperbaharui,

bekas pemegang hak wajib membongkar bangunan-bangunan dan benda-

benda yang ada di atasnya dan menyerahkan tanah dan tanaman yang ada

di atas tanah bekas Hak Guna Usaha tersebut kepada Negara dalam batas

waktu yang ditetapkan oleh Menteri Negara Agraria/Kepala BPN.

2) Apabila bangunan, tanaman, dan benda-benda tersebut di atas di perlukan

untuk melangsungkan atau memulihkan pengusahaan tanahnya, maka

kepada bekas pemegang hak diberikan ganti rugi yang bentuk dan

jumlahnya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.

3) Pembongkaran bangunan dan benda-benda diatas tanah Hak Guna Usaha

dilaksankan atas biaya bekas pemegang Hak Guna Usaha.

Jika bekas pemegang Hak Guna Usaha lalai dalam memenuhi kewajiban

tersebut, maka bangunan dan benda-benda yang ada di atas tanah bekas Hak Guna

Usaha itu dibongkar oleh Pemerintah atas biaya bekas pemegang Hak Guna

Usaha.

Universitas Sumatera Utara


BAB III

BENTUK-BENTUK PENYELESAIAN SENGKETA


TANAH GARAPAN DI AREAL HAK GUNA USAHA
PERKEBUNAN

A. Keberadaan PT. Perkebunan Nusantara III

Perusahaan PT. Perkebunan Nusantara III terdiri dari beberapa perusahaan

yang bercikal bakal dari perkebunan-perkebunan yang berada di wilayah

Sumatera Utara dan sekitarnya milik perusahaan Belanda yang dinasionalisasi

oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 1958, kemudian menjadi Perusahaan

Perkebunan Negara Kesatuan Sumatera Utara, Perusahaan Perkebunan Karet

Negara, Perusahaan Perkebunan Negara Aneka Tanaman, Perusahaan Perseroan

dan terakhir dileburnya tiga perusahaan perseroan yaitu: PTP III, PTP IV dan

PTP V menjadi Perseroan PT.Perkebunan Nusantara disingkat PTPNIII pada

tahun 1996.

1. Sebelum Nasionalisasi
Perseroan PTPN III dan kebun-kebunnya asal-usulnya adalah dari

perusahaan-perusahaan Perkebunan Belanda, yaitu:

a. N.V. Handelsvereniging,Amsterdam, berkedudukan di Kerajaan Belanda,

Kantor Administrasi di Jakarta, untuk kebun Bandar Betsy dan kebun

Bangun;

b. N.V. Verenigde Deli Mijen, berkedudukan di Kerajaan Belanda, kantor

Administrasi di Medan, untuk Kebun Rantau Prapat dan Kebun Sarang

Ginting;

Universitas Sumatera Utara


c. N. V. Verenigde Deli Mijen, berkedudukan di kerajaan Belanda, kantor

Administrasi di Medan, untuk : a. Kebun Rambutan berasal dari

perkebun Sungai Simujur, b. Silau Dunia berasal dari perkebunan Bandar

Negeri, c. Gunung Monako berasal dari perkebunan Bandar Bedjamboe;

d. N.V. Cultuur Mij. De Oostkust, berkedudukan di Kerajaan Belanda,

kantor Administrasi di Tebing Tinggi untuk kebun Gunung Pamela,

Gunung Para dan Gunung Monako;

e. N.V. Rotterdam Tapanoeli Cultuur Mij, berkedudukan di Kerajaan

Belanda, kantor Administrasi di Batang Toru (untuk kebun Hapesong);

f. N.V. Cultuur Kwaole, berkedudukan di kerajaan Belanda, kantor

Administrasi di Membang Moda (untuk kebun Labuhan Haji);

g. N.V. Rubber Cultur MijAmsterdam, berkedudukan di Kerajaan Belanda,

kantor Administrasi di Medan, untuk kebun Sei Silau, kebun Bandar

Selamat, Membang Muda, kebun Rambutan, kebun Sungai Dadap, kebun

Sungai Mangkei dan kebun Sei Putih;

h. N.V. Cultuur Mij Tanah Raja, berkedudukan di Indonesia, kantor direksi

di Perbaungan, untuk kebun Tanah Raja;

i. N.V. Cultur Mij. Serbadjadi, berkedudukan di Kerajaan Belanda, kantor

Administrasi diMedan, untuk kebun Ambalutu berasal dari perkebunan

Ambalutu dan Sungai Kepas;

j. N.V. Silau Soematera Rubber Mij, berkedudukan di Kerajaan Belanda,

kantor Administrasi di Medan untuk kebun Silau Dunia;

Universitas Sumatera Utara


k. N.V. Holland Soematra Rubber Cultuur Mij. Berkedudukan di Kerajaan

Belanda, kantor Administrasi FA. H. G. Th. Crone di Medan, untuk

kebun Rambutan berasal dari perkebunan Sungai Bamban;

l. N. V, Cultuur Mij Merbau Zuid, berkedudukan di Kerajaan Belanda,

kantor Administrasi N. V. Sinembah Mij di Tanjung Morawa untuk

kebun Rambutan berasal dari perkebunan Priok;

m. N.V. Hessa Rubber Mij. Berkedudukan di Kerajaan Belanda, kantor

Administrasi N.V. Senembah Mij. Di Tanjung Morawa, untuk kebun

Sungai Dadap, berasal dari perkebunan Hessa;

n. N.V. Cultuur Mij. Priok, berkedudukan di Kerajaan Belanda, kantor

AdministrasiN.V. Senembah Mij di Tanjung Morawa, untuk kebun

Rambutan, berasal dari perkebunan Priok.

2. Nasionalisasi Perusahaan Pertanian/Perkebunan Milik Belanda

Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1958 tanggal 16 April 1958

menempatkan perusahaan-perusahaan perkebunan/pertanian milik Belanda

dibawah penguasaan Republik Indonesia dan berdasarkan Peraturan Pemerintah

No. 19 Tahun 1959 ditentukan perusahaan pertanian/perkebunan milik Belanda

yang dikenakan nasionaolisasi. Selanjutnya Perusahaan Perkebunan Belanda

tersebut diletakkan di bawah Badan Nasional PerusahaanBelanda dan setiap

perkebunan yang dinasionalisasi tersebut didirikan Perusahaan Perkebunan

Negara Baru 149

149
Warens & Achyar Law Firm Jakarta, 2001, Laporan Pemeriksaan Hukum Rencana
Privatisasi Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Perkebunan Nusantara III, kepada Direksi PT.
Perkebunan Nusantara III (Persero), Sei Sikambing, Medan, Jakarta 9 Agustus 2001, Bagian
Hukum Kantor Direksi PTPN III (Persero), 2014

Universitas Sumatera Utara


Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 143 Tahun 1961 tanggal 26 April 1961

didirikan Perusahaan Perkebunan Negara Kesatuan Sumatera Utara I disingkat

PPN Sumut I, berkedudukan di Medan.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah N0. 144 Tahun 1961 tanggal 26 April 1961

didirikan Perkebunan Negara Kesatuan Sumatera Utara II (PPN Sumut II),

berkedudukan di Medan.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 145 Tahun 1961 tanggal 26 April 1961

didirikan Perkebunan Negara Kesatuan Sumatera Utara III (PPN Sumut III),

berkedudukan di Medan.

PPN Sumut III merupakan peleburan dari Perusahaan Perkebunan Negara Baru

Pusat Perkebunan Negara:

a. Perkebunan Teh Bah Butong

b. Perkebunan Teh Bah Birung Ulu

c. Perkebunan Kelapa Sawit Dolok Sinumbah

d. Perkebunan Kelapa Sawit Tonduhan

e. Perkebunan Kelapa Sawit/Teh Pagar Jawa

f. Perkebunan Kelapa Sawit/Serat Bah Jambi

g. Perkebunan Kelapa Sawit/Karet/Serat Dolok Ilir

h. Perkebunan Serat Kelapa Sawit/Karet Laras

i. Perkebunan Teh Sidamanik

j. Perkebunan Teh Tjoklat Balimbingan

k. Perkebunan Karet/Serat Bandar Betsy

l. Perkebunan Karet Bangun

Universitas Sumatera Utara


m. Perkebunan Karet/Kelapa Sawit Marihat

n. Perkebunan Teh/Karet Mardjanji

o. Perkebunan Teh Kasinder

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 146 Tahun 1961 tanggal 26 April

1961 didirikan Perusahaan Perkebunan Negara Kesatuan Sumatera Utara IV (PPN

Sumut IV) dan berkedudukan di Medan. PPN Sumut IV merupakan peleburan

dari Perusahaan PerkebunanNegara Baru :

a. Perkebunan Karet Rambutan

b. Perkebunan Karet Sungai Putih

c. Perkebunan Karet Sungai Mangkai

d. Perkebunan Karet Bandar Selamat

e. Perkebunan Karet/Kelapa Sawit Sungai Dadap

f. Perkebunan Karet Sungai Silau

g. Perkebunan Karet Hessa

h. Perkebunan Karet Membang Muda

i. Perkebunan Karet Labuhan Hadji

j. Perkebunan Karet Hanna

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 147 Tahun 1061 tanggal 26 April

1961 didirikan Perusahaan Perkebunan Negara Kesatuan Sumatera Utara V (PPN

Sumut V) dan berkedudukan di Medan. PPN Sumut V merupakan peleburan dari

Perusahaan Perkebunan Negara Baru;

a. Perkebunan Karet Limau Mungkur

b. Perkebunan Karet Tandjong Garbus

Universitas Sumatera Utara


c. Perkebunan Karet Melati

d. Perkebunan Kelapa Sawit/Karet Adolina Ulu/Ilir

e. Perkebunan Sawit/Karet Tanah Radja

f. Perkebunan Karet Sungai Bamban

g. Perkebunan Karet Priok

h. Perkebunan Karet Sungai Simudjur

i. Perkebunan Karet Sarang Ginting

j. Perkebunan Karet Bandar Negeri

k. Perkebunan Karet Serbadjadi

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 148 tahun 1961 tanggal 26 April

1961 didirikan Perusahaan Perkebunan Negara Kesatuan Sumatera Utara VI (PPN

Sumut VI) dan berkedudukan di Medan. PPN Sumut VI merupakan peleburan

dari Perusahaan Perkebunan Baru (PPN Baru);

a. Perkebunan Kelapa Sawit/Tjoklat Pabatu

b. Perkebunan Kelapa Sawit Tindjowan

c. Perkebunan Kelapa Sawit Hengeloo

d. Perkebunan Kelapa Sawit Gunung Bayu

e. Pekebunan Kelapa Sawit Mayang

f. Perkebunan Kelapa Sawit Tandjong Itam Ulu/Ilir

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.149 Tahun 1961 tanggal 26 April

1961 didirikan Perusahaan PerkebunanNegara Kesatuan Sumatera Utara VII,

berkedudukan di Medan. PPN Sumut VIImerupakan peleburan dari Perusahaan

Perkebunan Baru;

Universitas Sumatera Utara


a. Perkebunan Karet Gunung Para

b. Perkebunan Karet Gunung Pamela

c. Perkebunan Karet Gunung Monaco

d. Perkebunan Karet Dolok Ulu

e. Perkebunan Karet Naga Radja

f. Perkebunan Karet Bandar Bedjambu

g. Perkebunan Karet Silau Dunia

Sesuai Peraturan Pemerintah No. 150 Tahun 1961 tanggal 26 April 1961

didirikan Perusahaan Perkebunan Negara Kesatuan Sumatera Utara VIII (PPN

Sumut VIII), berkedudukan di Medan. PPN Sumut VIII merupakan peleburan dari

Perusahaan Perkebunan Negara Baru:

Dari nama PPN V berganti menjadi PNP V; kemudian berganti lagi

menjadi PTP V. Setelah restrukturisasi dan merger antara PTP III, PTP IV dan

PTP V, kemudian menjadi PTPN III Kebun Sei Silau, sejak tanggal 14 Februari

1996 hingga sekarang.

3. Status Hukum Tanah Perkebunan Di PTPN III

Tanah-tanah yang menjadi hak guna usaha di PTPN-III secara historis

adalah bekas konsesi dari perusahaan-perusahaan perkebunan Belanda yang

dinasionalisasi tahun 1958 diatur dalam Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958

(LN. 1958-162) jo. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1959 tentang Penentuan

Universitas Sumatera Utara


Perusahaan Pertanian/Perkebunan Milik Belanda Yang Dikenakan Nasionalisasi

(Penjelasan TLN No. 1746. 150

Tanah-tanah areal untuk lahan perkebunan milik perseroan perkebunan

PTPN III adalah hak guna Usaha (HGU) dari tanah-tanah hak guna usaha asal

konversi hak-hak Barat Milik perkebunan Bangsa Belanda.

Menurut Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1979 tentang Pokok-Pokok

Kebijaksanaan Dalam Rangsa Pemberian Hak Baru atas Tanah Asal Konversi

Hak-Hak Barat, antara lain disebutkan tanah hak guna usaha yang jangka

waktunya akan berakhir, selambat-lambatnya pada tanggal 24 September 1980

sebagaimana yang dimaksud dalam UUPA No. 5 Tahun 1960, pada saat

berakhirnya hak yang bersangkutan menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh

Negara. Hak guna usaha asal konversi hak Barat yang dimiliki oleh Perusahaan

milik Negara diberi pembaharuan hak atas tanh yang bersangkutan. 151 Peraturan

Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 1979 tentang Permohonan dan Pemberian

Hak Baru atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat telah diperbaharui dalam

bentu sertifikat yang dikeluarkan oleh Kantor Sub Direktorat Agararia Kabupaten

tempat masing-masing Kebun di Sumatera Utara kepada PTPN III. HGU masing-

masing kebun terbit mulai tahun 1980 ke tahun 1984 yang akan berakhir tahun

2001 dan tahun 2005. 152

150
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 No. 162, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1958 No. 1493-1793, Perpustakaan Hukum, Pusat Dokumentasi
Hukum Badan Pembinaan Hukum Nasional, No. 4800, 1981
151
Boedi Harsono, 1982, Hukum Agraria Indonesia Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum
Tanah, Djambatan, Jakrta. Hal. 155-159
152
Kantor Direksi PTPN III, Bagian Hukum Dan Agraria, dalam laporan Warens & Achyar
Law Firm, 2001, Jakarta. Hal. 110-136

Universitas Sumatera Utara


B. Sengketa Tanah Garapan Di Areal HGU PTPN III

1. Sengketa Tanah Garapan Di PTPN III Kebun Sei Putih

a. Riwayat Kebun Sei Putih

Kebun Sei Putih PTPN III (Eks PTP V) areal tanahnya adalah bekas tanah

konsesi dari Perusahaan Belanda Rubber Cultuur Mastchappij Amsterdam

(RCMA) dan beralih menjadi Perusahaan Perkebunan Negara (PPN) akibat

nasionalisasi tahun 1958. Total luas HGU adalah 3.377,83 Ha, yang terdiri dari :

a. Sertifikat HGU Nomor : 170/Sei Putih tahun 2009, seluas 474, 54 Ha.

b. Sertifikat HGU Nomor : 1/Sungai Putih tahun 1984, seluas 2.913,2924 Ha

Sertifikat tersebut atas dasar surat Keputusan Menteri Dalam Negeri

tanggal 2-1-1981 No: SK I/HGU/DA/81, ditindaklanjuti dengan Penerbitan

Sertifikat HGU Nomor: 1/Sungai Putih tahun 1984 tanggal 16-7-1984, untuk

jangka waktu 25 tahun dan berakhir tanggal 31-12-2005.

Karena HGU akan berakhir masa berlakunya, maka pada tanggal 26 Januari

2004, PTPN III mengajukan perpanjangan HGU Kebun Sungai Putih ke BPN

Pusat melalui BPN Sumatera Utara sebagaimana surat Permohonan Perpanjangan

dan Penerbitan Sertifikat HGU PT Perkebunan Nusantara III Nomor:

3.09/26/2004 tanggal 26 Januari 2004.

b. Tuntutan Penggarap Kelompok Tani Sukses Mandiri

Masalah areal Kebun Sei Putih adalah penggarapan dan klaim tuntutan

oleh Kelompok Tani Sukses Mandiri yang diwakili oleh Ilham Taufik dan

Alinafiah Siregar Dkk. di areal Afdeling II dan Afdeling IV, Desa Sigen. Areal

yang diklaim/dituntut luasnya 345,56 Ha. dengan dasar tuntutan memiliki surat

Universitas Sumatera Utara


Kartu Registrasi Pendaftaran Tanah (KRPT) Undang-Undang Darurat Nomor 8

Tahun 1954.

Pada masa Perkebunan RCMA ada areal konsesi yang belum ditanami

(wensarea) berupa hutan sehingga kebijakan Perusahaan ketika itu memberikan

peluang kepada masyarakat sekitar kebun menggarap menanami berbagai macam

tanaman palawija dan ada tanaman keras. Hutan belantara dibuka pada tahun 1942

oleh masyarakat. Pada masa penjajahan Jepang tahun 1943 masyarakat

diharuskan menanam tanaman pangan (palawija) maka bertambah banyaklah

masyarakat yang membuka hutan, lokasi areal garapan masyarakat berdekatan

dengan perkebunan RCMA Sungai Putih. Setelah Jepang meninggalkan Indonesia

masyarakat terus bertambah mengolah tanah sehingga lahan tidak sekedar untuk

pertanian tetapi juga dibangun rumah-rumah tempat tinggal untuk menetap dan

membangun tempat pengolahan getah karet yang dijadikan sheet secara

tradisional. Lokasi yang asalnya dari hutan dijadikan lahan pertanian dan

perkampungan oleh rakyat dengan sebutan namanya adalah sebagai berikut :

1. Pondok C – IV Afd. III luasnya sekitar 7 Ha.

2. Pondok Jati Komp. XI dan Pondok Lebong, Afd. II, luasnya sekitar 178

Ha.

3. Pondok Arnit (Meja Bundar) dan Pondok Kotangan, Afd. I, luasnya

sekitar 80 Ha.

4. Pondok Kongsi, Afd. IV, luasnya sekitar 80 Ha.

Di Galang Barat/Sungai Putih ada tanah perladangan/sawah seluas sekitar

100 Ha dan ada yang membuat rumah untuk hunian.Pada tahun 1946 – 1949

Universitas Sumatera Utara


setelah kekuasaan Jepang tidak berkuasa lagi dan pada waktu itu Perkebunan

Sungai putih di kuasai Belanda kembali maka terjadilah sengketa mengenai tanah-

tanah perladangan dan persawahan antara masyarakat dengan perkebunan. Pihak

Pengurus Perkebunan mengundang Kepenghuluan Galang Barat/Sungai Putih,

dan semua Organisasi Buruh dan Tani yang ada di Sungai Putih untuk

merumuskan persoalan tanah perladangan yang diusahai penduduk Galang

Barat/Sungai putih tersebut. Keputusan musyawarah dapat disepakati antara

Pimpinan-Pimpinan Partai Buruh/Tani yaitu masyarakat disediakan tanah

pengganti berupa tanah hutan yang dihunjuk oleh Perkebunan Sungai Putih untuk

dijadikan ladang/sawah sejak tahun 1956. 153 Masyarakat petani didaerah tersebut

diberikan surat berupa Kartu Tanda Pendaftaran Pemakaian Tanah Perkebunan

(KTPPT) Undang-Undang Darurat No. 8 Tahun 1954.

Para penggarap Kelompok Ilham Taufik Cs. yang sekarang menduduki

areal HGU Kebun Sei Putih adalah orang tuanya pada tahun 1956 sebagai

penggarap sebagaimana keterangan saksi-saksi di Pengadilan Negeri Lubuk

Pakam dalam perkara No. 577/PID.B/2007/PN.LP.

Sekitar tahun 1970 PT. Perkebunan V akan memperluas tanaman di

Afdeling II dan IV dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

dan berpedoman kepada Keputusan Panitia Land Reform Sumatera Utara No.

157/LR/I/1968, tanggal 2 Maret 1968 maka dibentuk Panitia ganti rugi,

dilaksanakan oleh Muspika Kecamatan Galang. Tanggal 13 Januari 1973

dilakukan ganti rugi tanaman masyarakat dan mantan karyawan serta karyawan

153
Penjelasan Kastur, Penghulu Galang Barat, dalam suratnya yang ditujukan kepada Assisten
Wedana Kecamatan Galang, No. 2/G.B/1967, Perihal: Tanah Perladangan, tanggal 8 April 1967

Universitas Sumatera Utara


yang menggarap tersebut. 154 Ganti rugi diterima oleh para penggarap, kebanyakan

para orang tua yang sekarang melakukan penggarapan masa reformasi 1998. Sejak

tahun 1973 sampai tahu 1998 pihak Perkebunan sudah 2 (dua) kali melakukan

tanaman ulang (TU) tanaman karet di areal garapan yang sudah selesai diganti

rugi tersebut.

Kelompok Tani Sukses Mandiri pimpinan Ilham Taufik dan Kelompok

Alinafiah Siregar menggunakan momentum Reformasi 1998 sebagai alasan

menggarap areal kebun di afd. II seluas 218,45 Ha dan di afd. IV seluas 40,74 Ha.

Jadi luas seluruh garapan mencapai 259,19 Ha. Alasan lain yang digunakan

menggarap adalah Surat Pendaftaran Pendudukan Tanah Kartu Reorganisasi

Pendaftaran Tanah (KRPT) Undang-Undang Darurat No. 8 Tahun 1954. Dalam

surat Alinafiah Siregar yang ditujukan kepada Bupati Kepala Daerah Tingkat II

Deli Serdang tanggal 26 Maret 2000, mengatakan bahwa masyarakat Desa Galang

Barat dan Desa Sungai Putih mempunyai tanah garapan yang terletak di Afdeling

I s/d IV Kebun Sei Putih ex. PTP V (PTPN III) seluas 371 Ha diperoleh

bedasarkan KRPT (UU Drt No. 8/1954) yang dikeluarkan Assisten Wedana pada

tanggal 27 Desember 1955. Tanah dimaksud digarap sejak tahun 1943 s/d 1971

ditanami tanaman muda dan padi. Tahun 1973 tanah tersebut diambil alih pihak

PTP V (PTPN III) secara kekerasan. Sengketa antara mayarakat Desa Galang

Barat dan Desa Sungai Putih dengan pihak PTP V (PTPN III) masalah garapan ini

berkepanjangan baik secara Perdata dan Pidana. Tuntutan penggarap kepada

Gubernur Sumatera Utara agar tanah seluas 371 Ha yang bersengketa dengan

154
Surat Pernyataan Pengakuan Penyerahan Kembali Tanah Occupasi Ujung Jawi dalam areal
Konsesi PNP V Kebun Sungai Putih, tanggal 13 Januari 1973 sebagai bukti surat yang diajukan
PTPN III dalam perkara No. 577/PID.B/2007/PN.LP tanggal 21 September 2007, Putusan
Pengadilan Negeri Lubuk Pakam.

Universitas Sumatera Utara


PTPN III (PTP V) tidak dimasukkan lagi dalam perpanjangan HGU berikutnya,

dan untuk didistribusikan kepada penggarap yang berhak sesuai ketentuan

peraturan yang berlaku. 155

Surat Gubernur Sumatera Utara, T. Rizal Nurdin tgl 26 Juni 2001 N0.

593/8960, Perihal Perpanjangan HGU PTPN III dan IV kepada Kakanwil BPN

Prop.Sum. Utara pada pokoknya isi surat menyatakan bahwa : “Sehubungan

banyaknya tuntutan masyarakat atas lahan di lokasi HGU PTPN III dan PTPN IV,

dan akan berakhirnya HGU PTPN III dan PTPN IV di beberapa Kebun yaitu pada

tahun 2000/2005, maka diminta kepada BPN Propinsi Sumatera Utara agar

menunda sementara proses perpanjangan HGU-nya yang akan berakhir tahun

2000 sampai dengan 2005, yang masih ada tuntutan dan permohonan masyarakat

sampai ada penyelesaian masalah tersebut.

2. Tindakan Yang Dilakukan Dalam Penyelesaian Sengketa

Penggarapan di Kebun Sei Putih

1) Tahun 1954 sampai dengan 1973; Garapan berawal pada tahun 1954 diatas

areal Konsesi Kebun Sei Putih. Terhadap areal garapan tersebut pada tanggal

13 Januari 1973, PNP V telah memberikan ganti rugi kepada masyarakat

berjumlah 198 orang. Sejak ganti rugi tersebut areal dapat dikuasai dan

ditanami oleh Kebun Sei Putih PTP V dan tidak ada gangguan dari masyarakat

samapai tahun 1998.

2) Tahun 1998; Dengan Era Reformasi dan pemerintahan Presiden Gus Dur

menyatakan perkebunan yang mengambil tanah rakyat agar dikembalikan

155
Ilham Taufik, Kuasa 197 KKWarga Desa Sei Putih, Kelompok Tani Sukses Mandiri, Surat
kepada Kepala BPN Pusat di Jakarta, mohon Pengenbalian Tanah seluas 345,56 haDi Desa Sei
Putih Yang dikuasai PTPN III Kebun Sei Putih

Universitas Sumatera Utara


kepada rakyat penggarap semula. Pernyataan Presiden ini menjadi motivasi

Kelompok Tani Sukses Mandiri (Ilham Taufik Cs) dan Alinafiah Cs

melakukan penggarapan di areal Afd. II dan Afd. IV Kebun Sei Putih. Alasan

lainya para penggarap bahwa Perkebunan melakukan upaya paksa dan

intimidasi ketika pemberian ganti rugi tahun 1973. 156 Kebun Sei Putih

membuat pengaduan tanggal 9 Maret 2001 ke Polres Deli Serdang, Nomor

STH/X/32/2001. Proses pengaduan kurang mendapat tanggapan yang serius

dan tidak meksimal langkah hukum Kepolisian dalam penanganan perkara ini.

3) Kelompok Ilham Taufik Cs. Dengan cara paksa menebangi tanaman

Perkebunan, kemudian menanami tanaman palawaija. Praktis areal yang

digarap tidak dapat ditanami sebagaimana mestinya oleh Kebun Sei Putih

PTPN III.

Secara fisik areal yang digarap oleh Kelompok Ilham Taufik Cs. Seluas

259,19 Ha. Terpencar pada dua tempat, yaitu di areal Afd II seluas 77,77

Ha dan di Afd. IV seluas 181,42 Ha.

4) Kelompok Ilham Taufik menggarap dan menguasai tanah Kebun Sei Putih

seluas 259,19 Ha. tersebut sejak tahun 1998 sampai dengan tahun 2006.

Tindakan Kebun Sei Putih membuat pengaduan ke Polres Deli Serdang

tanggal 6 Maret 2006 sesuai surat Laporan Pengaduan Nomor:

KSPTH/3.09.04/2006. Kemudian Kebun Sei Putih melakukan pembersihan

tanah garapan Ilham Taufik Cs.pada tanggal 21 Juli sampai dengan 24 Juli

2006 dengan alasan karena melakukan penanaman (replanting) terhadap

156
Keterangan saksi Ilham Taufik di Pengadilan Negeri Lubuk Pakam dalam perkara No.
557/PID.B/2007/PN.LP.

Universitas Sumatera Utara


tanaman karet yang sudah tua. Sekitar 300 orang karyawan melakukan

pembersihan garapan Ilham Taufik Cs. di areal Kebun Sei Putih.

5) Akibat tidakan pembersihan ini, Ilham Taufik mengadukan Manajer Kebun

Sei Putih ke Polres Deli Serdang. Perkara disidangkan di Pengadilan Negeri

Lubuk Pakam sebagai Terdakwa adalah Manajer Kebun Sei Putih dan Perwira

Pengamanan Kebun (Papam) Kebun Sei Putih. Keduanya didakwa melakukan

pengrusakan tanaman penggarap. Hakim memutuskan menyatakan Terdakwa-

terdakwa “lepas” dari segala tuntutan hukum (onslag van rechtvervolging)

6) Tindakan PTPN III untuk langkah penyelesaian tanah garapan di Kebun Sei

Putih, tidak saja melakukan pengaduan pidana tetapi juga mengajukan gugatan

perdata terhadap Kelompok Ilham Taufik Cs.PTPN III mengajukan gugatan

perdata ke Pengadilan Negeri Lubuk Pakam, menggugat Ilham Taufik Cs. Dan

Alinafiah Siragar, terdaftar dengan registrasi perkara No. 66/Pdt.G/2006/PN-

LP. Tanggal 9 Februari 2007 perkaranya diputus dengan amar putusan dalam

konvensi “Menolak gugatan Penggugat dan dalam rekonvensi mengabulkan

sebagian gugatan penggugat rekonvesi” (i.c. Ilham Taufik Cs. Dan Alinafiaf

Siregar). PTPN III mengajukan banding terhadap putusan perkara tersebut,

Pengadilan Tinggi Sumatera Utara dalam keputusannya dalam perkara ini

yaitu Putusan No. 130/PDT/2007/PT-MDN tanggal 09 Juli 2007 telah

mengadili sendiri dan menyatakan gugatan dalam konvensi gugatan PTPN III

dinyatakan tidak dapat diterima (N.O.) demikian juga dalam rekonvensi

gugatan Ilham Taufik Cs. Dan Alinafiaf Siregar dinyatakan tidak dapat

diterima (N.O.). Terhadap putusan Pengadilan Tinggi ini, pihak Ilham Taufik

Cs. (Tergugat dalam konvensi/Penggugat dalam rekonvensi) mengajukan

Universitas Sumatera Utara


kasasi ke Mahkamah Agung. Berdasarkan Putusan Nomor: 949 K/PDT/2008

Mahkamah Agung menolak kasasi dari pemohon kasasi Ilham Taufik Cs.

Terhadap putusan Mahkamah Agung RI Nomor 949 K/PDT/2008 jo. Nomor

30/PDT/PT-MDN jo. Nomor 66/Pdt.G/2006/PN-LP telah mempunyai

kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).

Pasca keputusan Mahkamah Agung tersebut diatas, PTPN III Kebun Sei

Putih telah menguasai kembali areal objek perkara pada tahun 2006

dilakukan tanam ulang/replanting. Masyarakat masih tetap menuntut agar

areal garapan dapat dimiliki penggarap.

7) DPRD Propinsi SumateraUtara, Komisi A tanggal 24-01-2013 memanggil

instansi terkait dalam masalah garapan di Kebun Sei Putih atas pengaduan

Alinafiah Siregar Dkk. Tentang Tanah garapan di areal HGU Kebun Sei Putih

PTPN III dengan Komisi A. Kelompok Penggarap Alinafiah Siregar Dkk.

Mengadu ke Komisi A minta Agar tanah garapan dapat diselesaikan segera.

PTPN-III dari bagian Hukum dan Agraria, pada pokoknya akan

menyelesaikan areal garapan di Kebun Sei Putih yang di garap kelompok tani

Alinafiaf, Dkk dan kelompok tani Sukses Mandiri, IlhamTaufik, Dkk. Sikap

PTPN,saat ini menunggu proses hukum yang sedang upaya hukum kasasi di

MA atas gugatan IlhamTaufik, Dkk yang ke-2 atas areal garapan 345,56 Ha.

tersebut. Pertemuan ini yang hadir dari PTPN-III, BPN Prop. SU, BPN Kab.

DS, PTPN III dan Alinafiah Siregar,Dkk. Hasil rapat pembahasan

penyelesaian sengketa tanah garapan KebunSei. Putih, yaitu: DPRD Propinsi

Sumatera Utara menganjurkan agar menghormati proses hukum yaitu

menunggu putusan kasasi MA dan akan memanggil kembali Kelompok Tani

Universitas Sumatera Utara


IlhamTaufik, Dkk (Kelompok Tani Sukses Mandiri) sebagai pihak

penggugat/Pemohon Kasasi dan pihak-pihak yang terkait.

8) Analisa Hukum

Tentang status tanah

Para penggarap mengklaim, bahwa tanah yang mereka tanami adalah tanah

peninggalan orang tua mereka yang dibuka antara sejak tahun 1942 sampai

dengan tahun 1956. Dasar menguasai tanah para penggarap adalah orang tua

saksi mempunyai Kartu Registrasi Pemilikan Tanah (KRPT).

Pihak PTPN III (dulu PTPN V) mengklaim bahwa tanah yang di occupasi

para penggarap adalah milik PTPN III, berpedoman pada Keputusan Panitia

Land Reform Sumatera Utara No. 157/LR/I/1968, tanggal 2 Maret 1968, ganti

rugi telah diterima para penggarapketika itu pada tanggal 13 Januari 1973.

Selanjutnya bukti sertifikat HGU No. 1/DA/1981 untuk jangka waktu 25

tahun yang berakhir tanggal 31-12-2005.

Pada Tahun 1998 Penggarap menduduki areal HGU pada saat itu HGU PTPN

III Kebun Sei Putih masih berlaku (belum berakhir masa waktunya), Tuntutan

penggarap 345,56 Ha. yang berada di areal HGU harus dikeluarkan menjadi

milik penggarap.

Sengketa yang telah terjadi di Kebun Sei Putih PTPN III ini menurut PP No.

40 Tahun 1996 Pasal 4 ayat (4), penyelesaiannya adalah bahwa Pemilik

bangunan dan tanaman diberi ganti kerugian yang dibebankan kepada

pemegang HGU. Ketentuan lebih lanjut mengenai ganti rugi ditetapkan

dengan Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah

Untuk Kepentingan Umum yang telah direvisi dengan Penetapan Presiden No.

Universitas Sumatera Utara


36 Tahun 2005, kemudian direvisi lagi oleh Penetapan Presiden No. 65 Tahun

2006. Akan tetapi apabila dikaji bunyi Penetapan Presiden No. 65 Tahun

2006, maka kegiatan pembangunan pengusahaan pertanian tidak termasuk

dalam kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum yang dimaksud di

dalam Penetapan Presiden tersebut. 157

3. Sengketa Tanah Garapan Di Areal PTPN III Kebun Sei Silau

a. Riwayat Kebun Sei Silau

1) Keberadaan PTPN III Kebun Sei Silau berawal dari adanya perkebunan

Belanda yang berdiri pada tahun 1927 di Sei Silau, bernama Naamlootze

Vennotschap Rubber Cultuur Mij Amsterdam, disingkat NV. RCMA.

2) Mulai tahun 1960 hingga tahun 1996, Perusahaan Perkebunan Negara (PPN)

Cbang Sumatera Utara mengalami beberapa kali pergantian nama, Dari nama

PPN V berganti menjadi PNP V; kemudian berganti lagi menjadi PTP V.

Setelah restrukturisasi dan merger antara PTP III, PTP IV dan PTP V,

kemudian menjadi PTPN III Kebun Sei Silau, yaitu sejak tanggal 14 Februari

1996 hingga sekarang.

3) Pada waktu PTPN III Kebun Sei Silau masih bernama PTP V, di dalam SK

Menteri Dalam Negeri No. 6/HGU/DA/81 tanggal 5 Januari 1981, disebutkan

bahwa areal PTP V Kebun Sei Silau seluas 6.450 Ha, tetapi didaftarkan untuk

mendapatkan sertifikat HGU, yang kemudian terbit dengan nomor:1/Desa Sei

Silau tanggal 20 Februari 1984 dengan masa berlaku hingga 31 Desember

157
Mohammad Hasan Wargakusumah, Status Hukum Berakhirnya tanah HGU Di PTPN Dan
Pemanfaatannya, Seminar FH USU tentang Peralihan Hak Atas Tanah Eks HGU di Sumatera
Utara, Permasalahan Hukum Dan Solusinya, Medan, 23 Desember 2006, hal 6-7

Universitas Sumatera Utara


2005; di dalamnya disebutkan bahwa luas areal PTP V Kebun Sei Silau 5.360

Ha. (Copy Sertifikat HGU)

4) Dengan surat no. 3.09/X/08/2004 tanggal 23 Januari 2004, PTPN III Kebun

Sei Silau mengajukan perpanjangan HGU No. 1/Desa Sei Silau tanggal 20

Februari 1984 tersebut seluas 5.360 Ha.

Tetapi disisi lain PTPN III Kebun Sei Silau berusaha untuk mendapatkan areal

yang lebih luas lagi dari luas areal yang tercantum pada sertifikat HGU yang

dimohonkan perpanjangan masa berlakunya, yaitu dengan

mengacu/mendasarkan pada SK Menteri Dalam Negeri No. 6/HGU/DA/81

tanggal 5 Januari 1981 seluas 6.450 Ha. Yang kemudian menimbulkan

sengketa dengan masyarakat hingga saat ini masih dalam proses penyelesaian.

b. Keberadaan Masyarakat Sei Silau

1) Keberadaan masyarakat Sei Silau berawal dari adanya kuli kontrak yang

didatangkan oleh Perkebunan Belanda NV. RCMA di Sei Silau.

2) Setelah 10 tahun bekerja, masyarakat ini dihadapkan dengan kebutuhan

mendasar yaitu: Tempat tinggal, karena masa kontrak yang semakin

mendekati habis, dan juga kebutuhan ekonomi karena jumlah mereka semakin

bertambah dari keturunan mereka yang juga menuntut kebutuhan sehari-hari

yang semakin besar. Desakan kebutuhan hidup, mendorong mereka mulai

tahun 1941/1942 hingga tahun 1950 untuk merambah hutan/rawa-rawa yang

berada di sekitar perkebunan NV.RCMA, yang tidak pernah dikelola oleh

pihak perkebunan. Hutan/rawa-rawa yang telah berhasil mereka rambah dan

babat, mereka jadikan tapak mendirikan rumah tempat tinggal, dan

Universitas Sumatera Utara


perladangan serta persawahan untuk bercocok tanam sebagai mata

pencaharian utama dan tambahan.

3) Seiring dengan perjalanan waktu, karena kegigihan masyarakat dalam

berusaha maka terbentuklah sebuah perkampungan kompak dilengkapi dengan

jalan dan lorong lorong serta perladangan dan persawahan sebagai areal

pertanian yang baik.

Pada waktu itu Perkebunan Sei Silau masih bernama PNP V; melihat

kenyataan pesatnya perkembangan kehidupan masyarakat dan merekapun

sudah tidak ingin lagi pulang ke tempat asalnya Wonogiri Jawa Tengah, serta

sebagai imbalan jasa berkerja di perkebunan sejak mereka sebagai kuli

kontrak, PNP V Perkebunan Sungai Silau, mengajukan permohonan kepada

Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Utara sebagai Ketua I PLR

Propinsi Sumatera Utara d/p Kepala Inspeksi Agraria Tk. I Propinsi Sumatera

Utara. Yang berisi permohonan serah lepas areal garapan masyarakat kepada

Pemerintah untuk diberikan kepada penggarapnya dengan lampiran ikhtisar

peta perkebunan.

4) Surat PNP V No. 05.7/X/238/1971 tanggal 5 Juni 1971 tersebut pada no.II.3

diatas mendapatkan tanggapan dari Gubernur Kepala Daerah TK. I Provinsi

Sumatera Utara/Kepala Direktorat Agraria Propinsi Sumatera Utara dengan

Surat No. DA.11/245-78/72 tanggal 11 Agustus 1972, perihal Pendudukan

Rakyat diatas tanah Perkebunan; yang dikirimkan kepada “Direksi PNP” di

Sumatera Utara yang tembusannya juga dikirimkan kepada Bupati Asahan.

5) Selanjutnya oleh Bupati Asahan disalin dan kemudian salinan surat tersebut

dikirmkan kepada Asisten Wedana dan Kepala Kampung untuk menjadi

Universitas Sumatera Utara


pedoman utama dalam penyelesaian persoalan pendudukan rakyat diatas tanah

Perkebunan.

6) Untuk percepatan pertumbuhan ekonomi, dengan meningkatkan produksi

tanaman padi, Pemerintah Kabupaten Asahan dengan APBD Propinsi

Sumatera Utara tahun 1977, dengan memberikan bantuan dengan membangun

Bendungan dan Irigasi tehnis untuk mengairi persawahan, sehingga dapat

ditanami padi sepanjang tahun.

7) Sebelum terjadi pemekaran Kecamatan, Desa Sei Silau berada di Kecamatan

Buntu Pane; tetapi setelah Kecamatan Buntu Pane dimekarkan menjadi 3

(tiga) kecamatan pada tanggal 25 Agustus 2008 yakni kecamatan Buntu Pane,

Kecamatan Tinggi Raja dan Kecamatan Setia Janji; maka Desa Sei Silau

menjadi salah satu desa dari Kecamatan Buntu Pane juga.

c. Penyelesaian Sengketa Tanah Di PTPN III Kebun Sei

Silau

1) Pada masa perkebunan bernama PNP V Kebun Sungai Silau, pihak

perkebunan peduli kepada masyarakat, tetepi setelah berganti nama menjadi

PTP V Kebun Sei Silau, kebijakan pimpinan perkebunan justru sebaliknya.

Ketenangan masyarakat terusik bahkan menjadi keresahan karena pada tahun

1989, perkebunan mengambil alih tanah garapan masyarakat yang kemudian

pada tahun 1991 oleh perkebunan ditanami dengan Kelapa Sawit.

2) Gubernur Propinsi Sumatera Utara menyampaikan surat kepada Kakanwil

BPN yakni surat No.593/8960; tanggal 26 Juni 2001, perihal Perpanjangan

HGU PTPN III yang akan berakhir masa berlaku HGU-nya tahun 2000-2005,

yang menyebutkan antara lain : karena masih banyaknya tuntutan masyarakat

Universitas Sumatera Utara


atas lahan di lokasi HGU PTPN III, agar menunda sementara proses

perpanjangan izin HGU sampai ada penyelesaian masalah tersebut. 158

3) Pada era reformasi yaitu tahun 2002, masyarakat yang terhimpun dalam 2

(dua) kelompok tani, yakni : (1) Kelompok Tani Damai Jaya berusaha

menguasai kembali garapan mereka semula di Titi Gambang Sei Silau Timur.

Areal yang berhasil mereka kuasai, kemudian mereka usahai dengan tanaman

Kelapa Sawit, Kakao dan Pisang hingga sekarang. Sedang wilayah Sei Silau

Barat kelompok Tani Karya Tani tetap menguasai dan mengusahai tanah

garapannya sejak tahun 1941 hingga sekarang.

4) Pada tahun 2004, yaitu satu tahun sebelum masa berlaku HGU PTPN III

Kebun Sei Silau berakhir, PTPN III dengan suratnya No. 309/X/08/2004

tanggal 23 Januari 2004, mengajukan perpanjangan permohonan HGU No.

1/Desa Sei SIlau/1984 tanggal 24 Februari 1984, masa berlaku hingga 31

Desember 2005, dengan luas areal 5.360 Ha.

Di sisi lain, PTPN III Kebun Sei Silau bekerjasama dengan Kanwil BPN

Sumatera Utara berusaha untuk menambah luasan areal Kebun Sei Silau

dengan mendasarkan SK Menteri Dalam Negeri No. 6/HGU/DA/81 tanggal 5

Januari 1981, dengan luas areal sebesar 6.450 Ha.

5) Tindakan PTPN III Kebun Sei Silau dalam mempertahankan haknya, pada

tahun 2005 dan 2008 mengadukan 13 (tiga belas) orang pengurus Kelompok

Tani dan anggotanya dengan tuduhan menguasai areal perkebunan tanpa izin.

Pengaduan tersebut tercatat pada laporan polisi ;

158
Kronologi sengketa tanah Masyarakat Sei silau dengan PTPN III Kebun Sei Silau,2010,
Disampaikan oleh: Masyarakat Sei Silau dengan pendampingan “YPMP” Pada surat No.593/8960;
tanggal 26 Juni 2001

Universitas Sumatera Utara


6) 5 (lima) Orang dengan laporan No. Pol.: LP/115/XII/2005/KPSK, tanggal 16

Nopember 2005, serta

7) 8 (delapan) Orang lagi dengan laporan No. Pol.: LP/514/X/2008/ASH, tanggal

10 Mei 2008, dengan tuduhan melanggar pasal 21 yuncto pasal 4 Undang-

Undang No.18 tahun 2004 tentang Perkebunan. Ke 13 (tiga belas) warga

masyarakat tersebut oleh Pengadilan Negeri Kisaran pada tanggal 25 Agustus

2009 di vonis hukuman 18 (delapan belas) bulan masa percobaan. (Putusan

No. 812/Pid.B/2008/PN-KIS) 159.

8) Sebagai tindak lanjut terhadap permohonan perpanjangan HGU PTPN III

Kebun Sei Silau No. 309/X/08/2004 tanggal 23 Januari 2004, atas sertifikat

HGU No. 1/Desa Sei Silau/1984 tanggal 20 Februari 1984, masa berlaku

hingga 31 Desember 2005, dengan luasan areal 5.360 Ha.

Pada tanggal 5 Maret 2007 hingga 5 Mei 2007 Kanwil BPN Propinsi

Sumatera Utara dengan pihak PTPN III Kebun Sei Silau melaksanakan

pengukuran keliling bidang areal PTPN III Kebun Sei Silau. 160

Hasil pengukuran tersebut tercatat sebagai berikut:

Luas areal 6.575,99 Ha; termasuk didalamnya :

-4 (empat) perkampungan masyarakat, seluas 112.21,00 Ha

- Fasilitas umum, seluas 21.537,4 Ha

- Garapan masyarakat, seluas 753.141,3 Ha

159
Kronologi sengketa tanah Masyarakat Sei silau dengan PTPN III Kebun Sei Silau,2010,
Disampaikan oleh: Masyarakat Sei Silau dengan pendampingan “YPMP” Pada Putusan No.
812/Pid.B/2008/PN-KIS
160
Kronologi sengketa tanah Masyarakat Sei silau dengan PTPN III Kebun Sei Silau,2010,
Disampaikan oleh: Masyarakat Sei Silau dengan pendampingan “YPMP” Pada HGU PTPN III
Kebun Sei Silau No. 309/X/08/2004 tanggal 23 Januari 2004, atas sertifikat HGU No. 1/Desa Sei
Silau/1984 tanggal 20 Februari 1984

Universitas Sumatera Utara


- Tuntutan masyarakat, seluas 63,74 Ha

- Areal lain yang diluar HGU, seluas 3,84 Ha

Jumlah 936.468,7 Ha

Hasil pengukuran ini dituangkan peta bidang No. 20/07/2007 tanggal 27

Juni 2007.

Dalam persidangan ke 13 warga masyarakat dan pengurus kelompok tani di

Pengadilan Negeri Kisaran Saksi Ahli (pelaksana pengukuran areal PTPN III

Kebun Sei Silau) Tarbarita Simorangkir, S.ST menjelaskan dari hasil

pengukuran dengan luas 6.575,99 Ha. Setelah diproses oleh Kanwil BPN

Propinsi Sumatera Utara menyetujui permohonan perpanjangan HGU seluas

5,639,5213 Ha yang kemudian diusulkan ke BPN RI di Jakarta dengan surat

No. 540-299 tanggal 27 Desember 2007. Untuk fasilitas umum dan areal

garapan serta tuntutan ditangguhkan, menunggu penyelesaian dari pemegang

hak.

9) Pada tanggal 2 Juni 2008 Kakanwil BPN Propinsi Sumatera Utara

mengadakan pertemuan antara Staf Kanwil BPN dengan Staf PTPN III..

a) Meskipun dalam SK Mendagri No. 6/HGU/DA/81 tanggal 5 Januari 1981

tercantum luas bidang tanah 6.450 Ha, tetapi berdasarkan sertifikat

ternyata hak yang didaftarkan hanya seluas 5.360 ha. Dengan demikian

bidang tanah yang dilekati Hak HGU No. 1/Desa Sei Silau atas Kebun Sei

Silau adalah 5.360 Ha.

Universitas Sumatera Utara


b) Sehubungan dengan perpanjangan atas HGU dimaksud, sampai saat ini

masih dalam proses. 161

10) Sehubungan dengan adanya unjuk rasa masyarakat dan mahasiswa Asahan di

Pemkab Asahan, maka Bupati Asahan dengan Surat No. 590/4101 tanggal 23

Juni 2008, meminta Penjelasan keberadaan HGU PTPN III Kebun Sei Silau,

kepada Kakanwil BPN Propinsi Sumatera Utara.

11) Melalui Kuasa Hukum dari Kantor Hukum, Widodo Rato, Komis & Rekan di

Kisaran mengadukan untuk memohon bantuan atas sengketa tanah antara

masyarakat dengan PTPN III Kebun Sei Silau kepada Komisi Nasional Hak

Asasi Manusia (KOMNAS HAM) di Jakarta. Terhadap pengaduan masyarakat

KOMNAS HAM menindak-lanjuti dengan surat No. 1.850/K/PMT/VIII/2008

tanggal 8 Agustus 2008, yang ditujukan kepada Kepala Badan Pertanahan

Nasional (BPN) di Jakarta. 162

12) Kakanwil BPN Propinsi Sumatera Utara, dengan surat No. 540-5293, tanggal

3 Nopember 2008, yang ditujukan kepada Kepala BPN RI cq Deputi Bidang

Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah, menyampaikan usulan ulang HGU PTPN

III Kebun Sei Silau seluas 6.463,78 Ha.

13) Sehingga dalam usulan ulang, areal PTPN III Kebun Sei Silau bertambah

luasan sebesar 1.103,78 Ha, dari luas sertifikat HGU yang dimohonkan

perpanjangan, yakni HGU No. 1/Desa Sai Silau tanggal 20 Februari 1984,

yakni seluas 5.360 Ha.

161
Dalam Kronologi sengketa tanah Masyarakat Sei silau dengan PTPN III Kebun Sei
Silau,2010, Disampaikan oleh: Masyarakat Sei Silau dengan pendampingan “YPMP”
162
Dalam Kronologi sengketa tanah Masyarakat Sei silau dengan PTPN III Kebun Sei
Silau,2010, Disampaikan oleh: Masyarakat Sei Silau dengan pendampingan “YPMP” Pada surat
No. 1.850/K/PMT/VIII/2008 tanggal 8 Agustus 2008

Universitas Sumatera Utara


14) Menanggapi pelaksanaan pengukuran areal PTPN III Kebun Sei Silau pada

tanggal 5 Maret s.d 5 Mei 2007, Camat Buntu Pane merekomendasikan

tentang tanah garapan masyarakat dengan suratnya No. 170/589 tanggal 28

Mei 2007 perihal : Rekomendasi dari HGU PTPN III Kebun Sei Silau, yang

ditujukan kepada Bupati Asahan, yang memohon agar Bupati dapat

merekomendasikan tanah garapan masyarakat. Karena dalam pelaksanaan

pengukuran, garapan masyarakat dimasukan dalam areal HGU yang akan

diperpanjang. 163

15) Sekretaris Daerah Pemerintah Kabupaten Asahan (Sekda Pemkab Asahan)

menyampaikan bahwa Pemkab Asahan akan mencetak areal perswahan di

Desa Sei Silau, melalui suratnya No.521/8122 tanggal 3 Desember 2008, yang

ditujukan kepada Direktur Utama PTPN III. Dalam surat dinyatakan bahwa

Pemerintah Kabupaten Asahan akan mencetak areal persawahan seluas 224,02

Ha dan perbaikan irigasi sepanjang 3.800 M di Desa Sei Silau dalam rangka

pelaksanaan program Ketahanan Pangan Nasional karena irigasi untuk menuju

areal persawahan melalui areal perkebunan. 164

16) Oleh karena Pihak PTPN III keberatan terhadap pelaksanaan program

Ketahanan Pangan Nasional dari Pemkab Asahan sesuai surat Sekda Pemkab

Asahan No.521/8122 tanggal 3 Desember 2008, maka Bupati Asahan

mengadakan pertemuan dengan DPRD Kabupaten Asahan, BPN Kabupaten

Asahan, Pengurus HKTI Kabupaten Asahan, Polres Asahan, Kodim 0208/AS,

163
Dalam Kronologi sengketa tanah Masyarakat Sei silau dengan PTPN III Kebun Sei
Silau,2010, Disampaikan oleh: Masyarakat Sei Silau dengan pendampingan “YPMP” Pada
suratnya No. 170/589 tanggal 28 Mei 2007
164
Dalam Kronologi sengketa tanah Masyarakat Sei silau dengan PTPN III Kebun Sei
Silau,2010, Disampaikan oleh: Masyarakat Sei Silau dengan pendampingan “YPMP”

Universitas Sumatera Utara


PTPN III dan Pemkab Asahan pada tanggal 24 Desember 2008. Hasil

pertemuan tersebut antara lain adalah :

a) Percetakan persawahan yang akan dilaksanakan dengan sumber dana

APBN dilakukan di areal di luar HGU PTPN III Kebun Sei Silau, karena

menurut sertifikat HGU No. 1/Desa Sei Silau tanggal 20 Februari 1984,

luas areal perkebunan PTPN III adalah seluas 5.360 Ha dan selebih dari

luas areal tersebut, merupakan areal yang berstatus tanah Negara yang

peruntukannya diatur oleh pemerintah. 2). Meminta kepada Kepala Badan

Pertahanan Nasional, bahwa perpanjangan HGU PTPN III Kebun Sei

Silau sesuai luas yang tercantum pada sertifikat No.1/Desa Sei Silau

tanggal 20 Februari 1984, seluas 5.360 Ha.

Pemerintah Kabupaten Asahan sebelumnya tidak pernah menerbitkan

rekomendasi untuk perluasan areal PTPN III Kebun Sei Silau. 165

Hasil Keputusan pertemuan ini, disampaikan melalui Surat No. 593/8733

tanggal 31 Desember 2008, kepada :

i) Kepala Badan Pertahanan Nasional di Jakarta

ii) Kakanwil BPN Propinsi Sumatera Utara di Medan

b) Pada Tanggal 14 April 2008 Direksi PTPN III mengeluarkan surat

Keputusan No. 3.11/SKPTS/02/2008, tentang : Pembentukan dan

165
Dalam Kronologi sengketa tanah Masyarakat Sei silau dengan PTPN III Kebun Sei
Silau,2010, Disampaikan oleh: Masyarakat Sei Silau dengan pendampingan “YPMP” Pada
sertifikat No.1/Desa Sei Silau tanggal 20 Februari 1984, seluas 5.360 Ha

Universitas Sumatera Utara


Penetapan Personil Tim Penyelesaian Permasalahan areal garapan Kebun

Sei Silau seluas ± 750 Ha. 166Tugas Tim Meliputi :

a. Menyiapkan kronologis permasalahan areal garapan tersebut

dari awal timbulnya permasalahan sampai dengan sekarang.

b. Melakukan kunjungan ke lapangan melihat kondisi areal

garapan’

c. Menginventarisir seluruh jumlah penggarap, tanaman yang ada

di areal, jumlah bangunan dan jumlah areal yang digarap.

d. Melakukan koordinasi langsung kepada Pemkab, Pemko,

Polres, Kejaksaan dan Pengadilan Negeri untuk penyelesaian

permasalahan tersebut.

e. Menyapaikan rekomendasi akhir secara tertulis kepada Direksi

tentang penyelesaian permasalahan tanah tersebut.

f. Menyiapkan rencana tindaklanjut dan upaya pengambilalihan

areal garapan dari masyarakat penggarap.

17) Bupati Asahan menyampaikan Surat No. – tanggal 10 Februari 2009

Kepada : Ka Badan Pertahanan Nasional (BPN) RI. Dan Kakanwil BPN

Prov.Sumatera Utara masalah tanah garapan masyarakat disekitar HGU

PTPN III Kebun Sei Silau.Dalam surat tersebut berisikan :

a) Masyarakat mulai menggarap sejak tahun 1941 dan tahun 1950 dan telah

tinggal menetap jauh sebelum SK Mendagri No. 6/HGU/DA/81, tanggal 5

Januari 1981 terbit.

166
Surat Keputusan No. 3.11/SKPTS/02/2008 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian areal
garapan Kebun Sei Sialau, tanggal 14 April 2008, Kantor Direksi, Bagian Hukum dan Agraria
PTPN III

Universitas Sumatera Utara


b) Masyarakat menguasai lokasi garapan sejak perkebunan Belanda NV.

RCMA, yang dimulai dengan membuka hutan dan rawa-rawa pada tahun

1941 hingga tahun 1950, yang diteruskan oleh keturunan mereka hingga

sekarang dengan tanaman Kelapa Sawit, Kakao, dan beberapa jenis

tanaman lainnya.

c) PTP V (sekarang PTPN III) Kebun Sei Silau mendaftarkan HGU hanya

atas bidang tanah seluas 5.360 Ha. Seperti yang termuat pada sertifikat

HGU No. 1/Desa Sei Silau tanggal 20 Februari 1984.

d) Pengukuran bidang tanah areal PTPN III Kebun Sei Silau oleh Kanwil

BPN Sumatera Utara seluas 6.575,99 Ha termasuk didalamnya 4 (empat)

perkampungan masyarakat, fasilitas umum dan garapan masyarakat. Hak

keperdataan yang melekat tidak berdasarkan SK Mendagri No.

6/HGU/DA/81 tanggal 5 Januari 1981 tetapi pada sertifikat HGU No.

1/Desa Sei Silau tanggal 20 Februari 1984.

e) Hasil pengukuran seluas 6.575,99 Ha setelah dikurangi luas areal

perkebunan sesuai yang terdapat pada sertifikat HGU. No. 1/Desa Sei

Silau tanggal 20 Februari 1984 adalah tanah negara yang diusahai

masyarakat seluas 1.125,99 Ha. Oleh PNP V pernah dimohonkan kepada

Gubernur KDH Sumatera Utara selaku Ketua I PLR d/p. Kepala Inspeksi

Agraria, agar tanah garapan masyarakat dapat dibagikan kepada

penggarapnya, yaitu surat nomor:05.7/X/238/1971 tanggal 5 Juni 1971

yang dilampiri peta ikhtisar Perkebunan PNP V Kebun Sei Silau.

Selanjutnya oleh Bupati Asahan dilengkapi dengan surat beberapa ex

Kepala Desa berupa Surat Pernyataan untuk dikirimkan kepada Deputi II

Universitas Sumatera Utara


BPN RI dalam rangka memenuhi hasil pertemuan Bupati Asahan dengan

Deputi II BPN RI di Jakarta sebagai bukti bahwa masyarakat telah

menguasai/mengusahai tanah garapannya jauh sebelum SK Mendagri No.

6/HGU/DA/81 tanggal 5 Januari 1981.

f) Bupati Asahan bermohon agar perpanjangan HGU PTPN III Kebun Sei

Silau diberikan sesuai dengan hak keperdataan yang melekat pada

sertifikat No.1/Desa Sei Silau tanggal 20 Februari 1984 seluas 5.360 Ha.

g) Apabila permasalahan dapat selesaikan dengan arif dan bijaksana, Bupati

Asahan memohon agar dimasukan kedalam program pembaharuan Agraria

Nasional tahun 2009, tetapi apabila belum dapat diselesaikan dimohonkan

agar perpanjangan HGU PTPN III Kebun Sei Silau tetep di pending. 167

18) Manager PTPN III Kebun Sei Silau mengirimkan surat kepada Camat Setia

Janji No. KSSil/X/149/2009 tanggal 06 Nopember 2009; perihal : Areal PTPN

III Kebun Sei Silau.

Bahwa PTPN III Kebun Sei Silau memohon kepada Camat Setia Janji untuk

menjadi mediator pertemuan Sosialisasi rencana pembersihan lahan garapan

masyarakat yang akan dilanjutkan dengan penanaman mulai 17 Nopember

2009. 168

19) Disamping surat kepada Camat Setia Janji tersebut diatas, Manager PTPN III

Kebun Sei Silau juga mengirimkan surat kepada Kapolsek Prapat Janji dengan

Surat No. KSSil/X/153/2009, tanggal 12 Nopember 2009, perihal Bantuan

167
Dalam Kronologi sengketa tanah Masyarakat Sei silau dengan PTPN III Kebun Sei
Silau,2010, Disampaikan oleh: Masyarakat Sei Silau dengan pendampingan “YPMP”
168
Dalam Kronologi sengketa tanah Masyarakat Sei silau dengan PTPN III Kebun Sei
Silau,2010, Disampaikan oleh: Masyarakat Sei Silau dengan pendampingan “YPMP”

Universitas Sumatera Utara


tenaga pengamanan rencana pembersihan lahan garapan masyarakat yang

akan dilaksanakan pada tanggal 17 Nopember 2009.

20) Mulai tanggal 25 Nopember 2009 hingga saat ini. Pihak PTPN III Kebun Sei

Silau memanggil Karyawan yang memiliki tanah garapan, dan kepada

karyawan diberikan surat yang berisikan penyerahan dengan sukarela tanah

garapan mereka dengan intimidasi diantaranya apabila tidak bersedia

menyerahkan, maka :

- Akan dipenjarakan

- Mengganti kerugian kepada perkebunan

- Dimutasi/diberhentikan (PHK)

21) Manager PTPN III Kebun Sei Silau dengan Surat No. : KSSil/X/03/2010

tanggal 7 Januari 2010, perihal : Areal HGU PTPN III Kebun Sei Silau kepada

Camat Setia Janji, menyampaikan bahwa pada Pertemuan Sosialisasi tanggal

17 Nopember 2009, karyawan yang memiliki tanah garapan telah

mengembalikan/menyerahkan kepada PTPN III Kebun Sei Silau lahan

garapan mereka tersebut, dengan sukarela.

Sehubungan dengan hal tersebut, PTPN III Kebun Sei Silau akan melaksankan

pembersihan mulai tanggal 11 Januari 2010 terhadap lahan garapan

masyarakat karyawan yang sudah diserahkan/dikembalikan kepada PTPN III.

22) Dengan surat No. 140/004, tanggal 8 Januari 2010, Camat Setia Janji

memberikan jawaban kepada Manager PTPN III Kebun Sei Silau. Dalam surat

tersebut Camat menganggap bahwa pembersihan yang akan dilaksanakan oleh

managemen PTPN III Kebun Sei Silau tidak sesuai dengan kesepakatan

melainkan hanya kebijakan sepihak.

Universitas Sumatera Utara


23) Walaupun Camat Setia Janji telah menyatakan keberatan tentang pelaksanaan

pembersihan lahan garapan masyarakat karyawan tersebut, namun pada

tanggal 11 Januari 2010 PTPN III Kebun Sei Silau tetep melaksanakan

pembersihan.Dalam pelaksanaanya PTPN III Kebun Sei Silau menghadirkan

Polisi dari Polres Asahan dan TNI/AD dari Kodim 0208/ASH dan Satpam se

Distrik Asahan.

Dengan alat berat PTPN III Kebun Sei Silau merusak tanaman masyarakat.

Oleh karena ketakutan, masyarakat hanya bisa melihat sambil menangis dan

menjerit histeris. Warga masyarakat yang berusaha mengambil gambar (foto)

peristiwa tersebut ditangkap polisi dan dibawa ke Kantor Afdeling dan

dipaksa menghapus semua foto yang telah difotonya.

24) Sehubungan dengan tindakan PTPN III Kebun Sei Silau tersebut, maka

masyarakat Sei Silau yang diwakili pengurus tani Karya Tani bersama Kabag

Tata Pemerintahan Pemkab Asahan Camat Setia Janji, Kepala Desa Sei Silau

Barat dan yang mewakili Komisi A DPRD Kabupaten Asahan berangkat ke

Jakarta untuk menyampaikan masalah yang menimpa masyarakat Sei Silau

dan memohon perlindungan serta surat tindak lanjut penyelesaian masalah

kepada : Kepala BPN RI; Menteri Negara BUMN; Komisi VI DPR RI dan

Menteri Sekretaris Negara RI, pada tanggal 11 Januari 2010 hingga 14 Januari

2010.

25) Bagi karyawan yang tidak mau menyerahkan lahan garapannya yaitu 9

(sembilan) orang karyawan; dengan Surat Keputusan Direksi PTPN III No.

3.08/SKPTS/R/33/201 tanggal 24 Februari 2010, dimutasikan ke beberapa

Universitas Sumatera Utara


tempat Kebun PTPN III yang jauh dari PTPN III Kebun Sei Silau. Dan

mereka ini adalah karyawan yang 3-5 tahun lagi akan pensiun. 169

26) Dari 9 (sembilan) orang karyawan yang dimutasikan, 2 (dua) orang tidak

bersedia. Dan kasusnya sedang ditangani oleh Dinas Tenaga Kerja Pemerintah

Asahan. Selanjutnya 39 (tiga puluh sembilan) orang lagi karyawan diminta

agar menyerahkan/mengembalikan tanah garapan mereka kepada PTPN III

dengan intimidasi seperti 9 (sembilan) karyawan sebelumnya, mulai awal

bulan April 2010 hingga sekarang.

d. Dasar Alasan Masyarakat Menguasai Tanah

Garapanya Dan Tindakan Perkebunan Untuk

Mengambil Kembali Areal Kebun

Masyarakat Sei Silau menguasai/mengusahai tanah garapannya secara

terus menerus hingga menjadi penduduk menetap dalam perkampungan kompak,

dimulai ketika perkebunan NV.RCMA masih berupa hutan dan rawa-rawa.

Mereka mulai membuka hutan sejak tahun 1941 dan merupakan rentang waktu

yang cukup jauh (lama) sebelum SK Mendagri No. 6/HGU/DA/81 tanggal 5

Januari 1981, yaitu 40 tahun dan hingga kini telah mencapai kurun waktu 69

tahun.

Ketika perkebunan bernama PNP V yaitu pada tahun 1971.Oleh PNP V

telah dimohonkan kepada Gubernur KDH Prov. Sumatera Utara selaku Ketua

PLR Tk. I d/p. Kepala Inspeksi Agraria Prov. Sumatera Utara dengan Surat

Nomor : 05.7/X/238/1971 tanggal 5 Juni 1971, perihal: Permohonan Wensareal

169
Kronologi sengketa tanah Masyarakat Sei silau dengan PTPN III Kebun Sei Silau,2010,
Disampaikan oleh: Masyarakat Sei Silau dengan pendampingan “YPMP” Pada Surat Keputusan
Direksi PTPN III No. 3.08/SKPTS/R/33/201 tanggal 24 Februari 2010

Universitas Sumatera Utara


PNP V Perkebunan Sungai Silau, pihak PNP V serah lepas kepada Pemerintah

agar tanah garapan dapat dibagikan kepada penggarapnya. Surat tersebut dilampiri

dengan ikhtisar PNP V Perekebunan Sei Silau.

Peta Kebun Sei Silau yang dikeluarkan oleh Kanwil Agraria Direktorat

Pendaftaran Tanah di Medan yang juga diketahui oleh Kepala Seksi

Pendaftaran Tanah Kabupaten Asahan, waktu itu oleh Mustafa Kamal.Sebelum

di tebitkan Sertifikat HGU PTP V, terlebih dahulu dilakukan pengukuran areal

sehingga diketahui luas areal yaitu 5.360 Ha. Kemudian dilakukan

pemeriksaan lapangan oleh Panitia B, barulah diterbitkan Sertifikat HGU No.

1/Desa Sei Silau tanggal 20 Februari 1984 dengan masa berlaku hingga 31

Desember 2005 yang dikeluarkan oleh Kepala Agraria Kabupaten Asahan H.

Hasanudin Nasution BA,dengan luas 5.360 Ha.

PTPN III Kebun Sei Silau menginginkan luas areal dikembalikan pada

SK Mendagri No. 6/HGU/DA/81 tanggal 5 Januari 1981.

Dalam pencapai keinginannya, PTPN III melakukan beberapa tindakan

dilapangan yaitu :

1. Melaporkan kepada Polisi 13 pengurus kelompok tani dan

anggota, sebagai tersangka/tertuduh mengusahai areal

perkebunan tanpa izin. Melanggar pasal 21 Juncto psal 41

Undang-undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. Ke 13

(tiga belas) orang warga masyarakat tersebut oleh Pengadilan

Negeri Kisaran di vonis 18 bulan percobaan pada tanggal 25

Agustus 2009.

Universitas Sumatera Utara


2. Intimidasi kepada karyawan yang memiliki tanah garapan

mulai 25 Desember 2009 hingga sekarang dan pembersihan

garapan karyawan yang telah menyerahkan tanah garapannya.

3. Mutasi kepada karyawan yang tidak mau menyerahkan tanah

garapannya ke perkebunan. 170

4. Melaksanakan pengukuran bidang tanah (areal perkebunan

secara sepihak) yaitu oleh petugas pengukur dari Kanwil BPN

Prov. Sumatera Utara dengan Penunjuk Batas dari PTPN III

pada 5 Maret hingga 5 Mei 2007 dengan peta hasil pengukuran

No. 20/7/2007 tanggal 27 Juni 2007.

5. Terjadi permohonan perpanjangan HGU hingga 3 (tiga) kali

dengan ukuran yang berbeda-beda.

a. Permohonan dari PTPN III No. 3.09/X/08/2004 tanggal 23

Januari 2004 dengan luas areal 5.360 Ha. Sesuai dengan

HGU yang dimohonkan perpanjangan yaitu No. 1/Desa Sei

Silau tanggal 20 Februari 1981, hingga 31 Desember 2005.

b. Surat Persetujuan Kanwil BPN No. 540-299 tanggal 27

Desember 2007 kepada BPN RI dengan luas areal

5.639,5213 Ha.

c. Permohonan ulang Kakanwil BPN Prov. Sumatera Utara

No. : 540-5239 tanggal 3 Nopember 2008 ke BPN-RI

dengan luas areal 6.463,78 Ha.

170
Kronologi sengketa tanah Masyarakat Sei silau dengan PTPN III Kebun Sei Silau,2010,
Disampaikan oleh: Masyarakat Sei Silau dengan pendampingan “YPMP”

Universitas Sumatera Utara


Pada Memorandum Kepala Bagian Tanaman yang

ditunjukan kepada Kepala Bagian Umum No. III-

I/III.II/MO/36/2001 tanggal 26 Desember 2001 menyebutkan:

- Luas areal tanaman dan lain-lain yang dikelola Kebun Sei Silau =

6.720,90 Ha.

- Luas HGU No. 6/HGU/DA/81, seluas = 5.360 Ha.

- Luas 5.360 Ha adalah luas tanaman saja.

Bila diperhatikan dari angka-angka luasan areal tersebut,

maka pada saat ini PTPN III Sei Silau telah menguasai dan

mengusahai lahan perkebunan lebih luas dibandingkan dengan

yang tertera pada sertifikat HGU No. 1/Desa Sei Silau tanggal 20

Februari 1984, yaitu : 5.360 Ha.Sehingga kelebihan luas areal

lahan yang ada adalah (6.720,96 Ha – 5.360 Ha = 1.130,90 Ha). 171

Dalam surat No. 590/4101, tanggal 23 Juni 2008 Bupati

Asahan menegaskan pada point ke 4 bahwa :

“Permintaan kepada BPN-RI di Jakarta, agar perpanjangan


HGU PTPN III Kebun Sei Silau tetep diberikan seluas 5.360 Ha
karena sebelumnya tidak pernah diterbitkan Rekomendasi atau izin
lokasi diluar luasan areal yang terdapat pada sertifikat HGU No.
1/Desa Sei Silau tanggal 20 Februari 1984.

Bila permohonan perpanjangan HGU PTPN III bertambah


luas seperti yang dimohonkan yaitu 6.463,78 Ha maka ± 800
(delapan ratus) Kepala Keluarga (KK) akan meratap karena
kehilangan mata pencaharian dan jerih payah selama 69 tahun
mulai dari membuka lahan hutan hingga sekarang, sia-sia belaka.

171
Ibid

Universitas Sumatera Utara


Bila yang akan mendapatkan kemenangan dalam sengketa
ini adalah mereka yang memeiliki wewenang, kekuasaan dan
modal, maka ekonomi kerakyatan dan ketahanan pangan nasional
hanya merupakan isapan jempol bagi rakyat kecil. Karena Program
Pemkab Asahan akan mencetak persawahan 224,02 Ha dan
perbaikan irigasi sepanjang 3.800 M serta perladangan kami akan
masuk ke dalam areal HGU PTPN III yang baru.

1. Memohon kepada Yth. :


a. Bapak Bupati Kepala daerah Tingkat II Asahan
b. Kepala Kantor BPN Kabupaten Asahan
c. Gubernur Kepala daerah Tingkat I Sumatera Utara
d. Kepala Kantor Wilayah BPN Propinsi Suamatera Utara
e. Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI di Jakarta

Agar perpanjangan HGU yang dimohonkan merupakan


perpanjangan jangka waktu,sehingga tidak menambah luas areal,
tetapi seperti luas areal yang tersebut dalam sertifikat HGU yang
dimohonkan perpanjangan yaitu No. 1/Desa Sei Silau tanggal 20
Februari 1984 seluas 5.360 Ha. Suapaya tanah perladangan dan
persawahan kami tetap dapat kami usahai sebagai tumpuan
mencukupi kebutuhan hidup kami selama ini.”
4. Permasalahan Hukum Hak Guna UsahaPT. Perkebunan
Nusantara III Kebun Sei Silau

a. Bahwa Perseroan Terbatas Perkebunan (PTP) V, yang terhitung

sejak tanggal 14 Pebruari 1996 sampai dengan saat ini merger dan

berubah menjadi PTPN III, mempunyai unit usaha perkebunan di

Kecamatan Buntu Pane, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara, yang

dikenal dengan nama Kebun Sei Silau;

b. Bahwa sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri,

Nomor: SK6/HGU/DA/81, tanggal 5 Januari 1981, PTP V

(sekarang PTPN III) telah diberikan Hak Guna Usaha (HGU) atas

bidang tanah seluas ± 6.450 Ha yang terletak pada beberapa Desa

dalam wilayah Kecamatan Buntu Pane, antara lain Desa Sei Silau

Barat dan Desa Sei Silau Timur;

Universitas Sumatera Utara


c. Bahwa tetapi PTP V (sekarang PTPN III) mendaftarkan HGU

hanya atas bidang tanah seluas 5.360 Ha sebagaimana disebutkan

dalam Sertifikat HGU Nomor: 1/Desa Sei Silau, tanggal 20

Pebruari 1984, yang jangka waktunya berakhir pada tanggal 31

Desember 2005.

d. Bahwa dalam rangka pengurusan perpanjangan HGU yang telah

berakhir jangka waktunya tersebut, maka pada tanggal 5 Maret

sampai 5 Mei 2007, petugas ukur pada Kantor Wilayah Badan

Pertanahan Nasional (Kanwil BPN) PropinsiSumatera Utara telah

melakukan pengukuran keliling atas bidang tanah dengan batas-

batas yang ditunjukan oleh PTPN III Kebun Sei Silau.

e. Bahwa hasil pengukuran keliling atas bidang tanah yang dilakukan

tersebut dituangkan Kanwil BPN Propinsi Sumatera Utara ke

dalam Peta Bidang Tanah, Nomor : 20/07/2007, tanggal 27 Juni

2007;

f. Bahwa berdasarkan Peta Bidang Tanah Nomor : 20/07/2007

tersebut,dinyatakan bahwa bidang tanah HGU PTPN III Kebun Sei

Silau adalah seluas 6.575,99 Ha;

g. Bahwa dari bidang tanah seluas 6.575,99 Ha yang dinyatakan

sebagai HGU PTPN III Kebun Sei Silau tersebut, terdapat :

1. Tanah garapan masyarakat seluas 793,5 Ha, termasuk tanah

garapan anggota Kelompok Tani Damai Jaya dan anggota

Kelompok Tani Karya Tani.

Universitas Sumatera Utara


2. Perkampungan kompak seluas 117,41 Ha yang terdiri dari

Kampung Sukadamai, Kampung Purwodadi, Kampung

Sidodadi, Kampung Sidorame, dan Kampung Lama.

3. Fasilitas publik seluas 20,88 Ha, antara lain : Kantor

Kepolisian Prapat Janji, Kantor Camat Buntu Pane, badan jalan

Pemerintah, bangunan mesjid dan bangunan sekolah.

4. Bangunan rumah penduduk seluas 5,35 Ha.

h. Bahwa tanah garapan masyarakat sebagaimana dimaksud di atas,

seluruhnya berada pada areal yang berkontur cekung (berlembah);

i. Bahwa tanah-tanah yang digarap masyarakat tersebut diperoleh

secara turun menurun, dan sebagian sudah ada Surat Keterangan

Tanah yang diterbitkan oleh Kepala Desa.

j. Bahwa saat ini, 8 orang pengurus dan anggota Kelompok Tani

Damai Jaya telah ditetapkan dan diperiksa sebagai Tersangka oleh

Kepolisian Resor Asahan karena dituduh menggunakan tanah

perkebunan tanpa izin melanggar Pasal 21 juncto Pasal 41 Undang-

Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, atas Laporan

PTPN III Kebun Sei Silau yang tercatat dalam Laporan Polisi No.

Pol. : LP/1157/XI/2005/KSPK, tanggal 16 Nopember 2005.

k. Bahwa 5 orang pengurus dan anggota Kelompok Tani Karya Tani

saat ini telah pula ditetapkan sebagai Tersangka oleh Kepolisian

Resor Asahan karena dituduh menggunakan tanah perkebunan

tanpa izin melanggar Pasal 21 juncto Pasal 41 Undang-Undang,

Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, atas Laporan PTPN III

Universitas Sumatera Utara


Kebun Sei Silau yang tercatat dalam Laporan Polisi No. Pol. :

LP/524/X/2008/ASH, tanggal 10 Mei 2008.

l. Bahwa selain itu, PTPN III Kebun Sei Silau telah pula menyusun

rencana untuk melakukan ganti rugi kepada masyarakat penggarap,

sehingga tanah-tanah yang telah digarap masyarakat akan

dimasukkan ke dalam bidang tanah yang akan diperpanjang jangka

waktu HGU-nya.

m. Bahwa menurut PTPN III Kebun Sei Silau, tanah-tanah yang

digarap masyarakat merupakan bidang tanah HGU-nya yang sah

menurut hukum, sedangkan masyarakat yang diwakili kedua

Kelompok Tani dimaksud menyatakan bahwa tanah-tanah yang

digarap oleh mereka maupun oleh masyarakat lainnya bukan

merupankan bidang tanah HGU PTPN III Kebun Sei Silau, karena

pada saat didaftarkan pada Kantor Pertanahan Kabupaten Asahan

sebagaimana termuat dalam Sertifikat HGU, Nomor: 1/Desa Sei

Silau, tanggal 20 Pebruari 1984 berikut dengan Peta Lampirannya,

seluruh HGU PTPN III Kebun Sei Silau hanya atas bidang tanah

yang ada tanamannya yang berada pada areal daratan kering seluas

5.360 Ha, tanpa ada tanah garapan masyarakat.

5. Identifikasi Permasalahan Hukum Kebun Sei Silau

Berapa sebenarnya luas bidang tanah HGU PTPN III Kebun Sei Silau

yang sah menurut hukum, ini digunakan sebagai landasan ketetapan wilayah HGU

yang sebenarnya. Apakah tanah garapan masyarakat, perkampungan kompak,

rumah penduduk maupun fasilitas publik yang termasuk ke dalam Peta Bidang

Universitas Sumatera Utara


Tanah, Nomor : 20/07/2007, tanggal 27 Juni 2007, merupakan bagian bidang

tanah HGU PTPN III Kebun Sei Silau. Peta Bidang Tanah, Nomor: 20/07/2007,

tanggal 27 Juni 2007, merupakan surat tanda bukti hak yang sah atau tidak perlu

dilakukan pemeriksaan lebih dalam. Apakah perpanjangan HGU yang akan

diberikan kepada PTPN III Kebun Sei Silau dapat diberikan atas bidang tanah

yang luasnya lebih atau diluar dari bidang tanah 5.360 Ha. Bagaimana eksistensi

dan keabsahan Peta Bidang Tanah, Nomor: 20/07/2007, tanggal 27 Juni 2007.

Apakah PTPN III secara hukum berhak untuk melakukan pembebasan

dan/atau menerima perlepasan atas tanah-tanah garapan masyarakat untuk

menambah luas bidang tanah HGU-nya untuk kemudian dimasukan ke dalam

bidang tanah yang dimohonkan perpanjangan jangka waktu haknya?

Wawancara dengan pendamping masyarakat penggarap dari Yayasan

Pembangunan Masyarakat Pancasila (YPMP) bahwa kondisi tanah garapan

luasnya 224 Ha. Posisinya diluar HGU Kebun Sei Silau PTPN III digarap

masyarakat sejak tahun 1941. Tanah Garapan berada di Desa Sei Silau, sudah

berhasil menjadi sawah dan mendapat bantuan dari pemerintah Kabupaten Asahan

dam pencetakan sawah, sebagai desa percontohan. Sikap masyarakat penggarap

jangan diambil PTPN III areal yang digarap kelompok tani. Kalu menghaki yang

6000-an Ha silahkan ambil perjuangkan, tetapi yang sudah digarap rakyat tani

jangan diganggu PTPN III. 172

172
Wawancara dengan Yayasan Pembangunan Masyarakat Pancasila, pendamping
masyarakat kelompok tani Desa Sei Silau tanggal 25 Nopember 2015.

Universitas Sumatera Utara


6. Fakta-Fakta Hukum Kebun Sei Silau

a. Penentuan mengenai fakta-fakta hukum yang ditemukan dalam

permasalahan ini diperoleh dari keterangan-keterangan maupun

fotocopy dokumen yang diberikan pengurus dan/atau anggota

Kelompok Tani Damai Jaya dan Kelompok Tani Karya Tani, serta

peninjauan ke lokasi bidang tanah yang dipersengketakan.

b. Walaupun dokumen yang diberikan tersebut hanya berupa

fotocopy, tetapi asumsi yang ditetapkan terhadapnya (fotocopy

dokumen tersebut) adalah identik dengan aslinya, yaitu:

1. Surat Perusahaan Negara Perkebunan V, Nomor:

05.7/X/238/1971, tanggal 5 Juni 1971, perihal: Permohonan

Wensareal PNP V Perkebunan Sungai Silau, yang ditujukan

kepada Gubernur Kepala Daerah selaku Ketua PLR Tk. I

Propinsi Sumatera Utara d/p Kepala Inspeksi Agraria Tk. I

Propinsi Sumatera Utara, berikut dengan lampirannya berupa

Peta Ichtisar Perkebuna Sungai Silau, selanjutnya disebut

dengan Dokumen I;

2. Surat Kepala Direktorat Agraria Propinsi Suamatera Utara atas

nama Gubernur Sumatera Utara, Nomor: DA-II/245-78/72,

tanggal 11 Agustus 1972, perihal: Pendudukan Rakyat di Atas

Tanah Perkebunan yang ditujukan kepada Direksi-direksi

Perusahaan Negara Perkebunan (PNP) yang ada di Sumatera

Utara, termasuk Direksi PNP V, dan tembusannya disampaikan

Universitas Sumatera Utara


kepada Bupati Asahan, selanjutnya disebut dengan Dokumen

II;

3. Sertifikat (Tanda Bukti Hak) Hak Guna Usaha Nomor: 1/Desa

Sei Silau, tanggal 20 Pebruari 1984, berikut dengan potongan

Peta Lampirannya, selanjutnya disebut dengan Dokumen III;

4. Surat Gubernur Sumatera Utara, Nomor: 593/8960, tanggal 26

Juni 2001, perihal: Perpanjangan HGU PTPN III dan IV, yang

ditujukan kepada Kakanwil BPN Propinsi Sumatera Utara,

selanjutnya disebut dengan Dokumen IV;

5. Surat Kakanwil BPN Propinsi Sumatera Utara, Nomor:

540.2159, tanggal 29 Desember 2005, perihal: Surat

Keterangan yang ditujukan kepada Direksi PTPN III,

selanjutnya disebut dengan Dokumen V;

6. Berita Acara Penyelesaian Pekerjaan Pengukuran

Pengembalian Batas HGU Nomor: 1/Sei Silau di Desa Sei

Silau Barat, Sei Silau Timur, Silau Tua, Prapat Janji, Urung

Pane, Tinggi Raja, Silau Raja Kecamatan Buntu Pane, Meranti

Kabupaten Asahan Propinsi Sumatera Utara, tanggal 5 Mei

2007, yang dibuat oleh Tarbarita Simorangkir S, Si.T. dan

Adrew Ginting, keduanya selaku petugas ukur dari Kanwil

BPN Propinsi Sumatera Utara, serta oleh Manager PTPN III

Kebun Sei Silau berikut dengan jajaran stafnya, selanjutnya

disebut dengan Dokumen VI;

Universitas Sumatera Utara


7. Peta Bidang Tanah, Nomor: 20/07/2007, tanggal 27 Juni 2007

yang ditandatangani oleh Kepala Bidang Survey, Pengukuran

dan Pemetaan Kanwil BPN Sumatera Utara, selanjutnya

disebut Dokumen VII;

8. Penjelasan tertulis PTPN III mengenai Permasalahan Areal

Kebun Sei Silau, yang disampaikan pada pertemuan di Komisi

A DPRD Propinsi Sumatera Utara, tanggal 13 Mei 2008,

selanjutnya disebut Dokumen VIII;

9. Surat-surat Keterangan Tanah, antara lain atas nama Iskandar,

Tukijo, Sukimin, Sutarmin, Paimin, Tugimin, Gito, dan

Wartiman, selanjutnya disebut Dokumen IX;

c. Berdasarkan keterangan dan fotokopi dokumen yang diberikan,

serta peninjauan ke lokasi bidang tanah yang dipersengketakan,

maka ditemukan fakta-fakta hukum, berikut ini:

1. Bahwa bidang-bidang tanah garapan yang menjadi objek

sengketa, seluruhnya berada pada areal yang berkontur

cekung/lembah (sesuai dengan Dokumen I beserta peta yang

menjadi lampirannya, Dokumen III berikut dengan Peta

Lampirannya, dan Dokumen VII);

2. Bahwa sebelum diterbitkannya Surat Keputusan Menteri

Dalam Negeri, Nomor: SK.6/HGU/DA/81, tanggal 5 Januari

1981, bidang-bidang tanah yang menjadi objek sengketa

tersebut telah dikuasai dan diusahai masyarakat (sesuai dengan

Dokumen I, Dokumen II, dan Dokumen III);

Universitas Sumatera Utara


3. Bahwa pada saat PTPN III mendaftarkan HGU atas bidang

tanah seluas 5.360 Ha ke Kantor Pertanahan Kabupaten Asahan

sehingga diterbitkannya Sertifikat HGU Nomor: 1/Desa Sei

Silau, tanggal 20 Februari 1984, bidang-bidang tanah garapan

yang menjadi objek sengketa sama sekali tidak dikuasai dan

ditanami dengan tanaman perkebunan oleh PTPN III Kebun Sei

Silau;

4. Bahwa hingga saat ini, bidang-bidang tanah garapan yang

menjadi objek sengketa sama sekali tidak pernah dikusai dan

diusahai oleh PTPN III Kebun Sei Silau, kecuali terhadap

bidang tanah yang terletak setempat dikenal dengan areal Titi

Gambang- Desa Sei Silau Timur yang pada tahun 1989 baru

dikuasai oleh PTPN III Kebun Sei Silau menanamnya dengan

tanaman Kelapa Sawit pada tahun 1991, tetapi pada tahun 2002

bidang tanah diareal Titi Gambang ini kembali diusahai oleh

pengurus dan anggota Kelompok Tani Damai Jaya;

5. Bahwa di atas bidang-bidang tanah garapan yang menjadi

objek sengketa telah terdapat tanaman Kakao, Kelapa Sawit,

Karet dan jenis tanaman lainnya yang ditanam oleh

masyarakat;

6. Bidang tanah HGU PTPN III Kebun Sei Silau telah berakhir

jangka waktunya, dan sedang dalam proses perpanjangan hak

(sesuai dengan Dokumen III, Dokumen V, dan Dokumen VIII);

Universitas Sumatera Utara


7. Bahwa Gubernur Sumatera Utara telah meminta kepada Kanwil

BPN Sumatera Utara agar perpanjangan jangka waktu HGU

PTPN III Kebun Sei Silau ditunda untuk smentara waktu

sampai adanya penyelesaian atas permasalahan dengan

masyarakat (sesuai dengan Dokumen IV);

8. Bahwa pengukuran yang dilakukan mulai tanggal 5 Maret

sampai dengan 5 Mei 2007 oleh petugas ukur Kanwil BPN

Propinsi Sumatera Utara merupakan pengukuran pengembalian

batas bidang tanah HGU PTPN III Kebun Sei Silau (sesuai

dengan dokumen VI dan Dokumen VII).

7. Peraturan Perundang-Undangan Yang Terkait Dengan Permasalahan


Kebun Sei Silau

a. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-pokok Agraria;

b. PP Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna

Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah;

c. PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;

d. Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN (Keputusan

MNA/Ka. BPN), Nomor 21 Tahun 1994 tentang Tata Cara

Perolehan Tanah Dalam Rangka Penanaman Modal;

e. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN (PMNA/Ka. BPN),

Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;

f. PMNA/Ka. BPN, Nomor 2 Tahun 1999 tentang Izin Lokasi;

Universitas Sumatera Utara


g. PMNA/ Ka. BPN, Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara

Pemberian dan Pembatalan Hak atas Tanah Negara dan Hak

Pengelolaan.

8. Penerapan Hukum Terhadap Sengketa Tanah Garapan Di Areal Kebun


Sei Silau

a. Luas Bidang Tanah HGU PTPN III Kebun Sei Silau Yang Sah

Menurut Hukum Adalah 5.360 Ha, Sesuai Dengan Sertifikat HGU

Nomor 1/Desa Sei Silau, Tanggal 20 Pebruari 1984

Untuk menentukan berapa luas bidang tanah HGU PTPN III

Kebun Sei Silau, maka terlebih dahulu harus dipahami mengenai tahapan

atau fase yang menjadi dasar terjadinya HGU, yaitu:

1. Fase penerbitan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat

yang ditunjuk, yang menjadi dasar diberikannya HGU kepada orang

atau badan hukum tertentu (vide Pasal 31 UU No. 5 Tahun 1960 juncto

Pasal 6 PP No. 40 Tahun 1996); dan

2. Fase pendaftaran atas bidang tanah yang telah diberikan HGU-nya ke

Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, yang wajib dilakukan oleh orang

atau badan hukum yang menerima keputusan pemberian HGU (vide

Pasal 32 UU No. 5 Tahun 1960 juncto Pasal 7 PP No. 40 Tahun 1996).

Pendapat tersebut didasarkan pada norma hukum yang terkandung

dalam Pasal 6 dan Pasal 7 PP Nomor 40 Tahun 1996, yang berbunyi

sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara


Pasal 6

(1) Hak Guna Usaha diberikan dengan keputusan pemberian oleh

Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

(2) Ketentuan mengenai tata cara dan syarat permohonan pemberian

Hak Guna Usaha diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.

Pasal 7

(1) Pemberian Hak Guna Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6

ayat (1) wajib didaftar dalam buku tanah pada Kantor Pertanahan.

(2) Hak Guna Usaha terjadi sejak didaftarkan oleh Kantor Pertanahan

dalam buku tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

(3) Sebagai tanda bukti hak kepada pemegang Hak Guna Usaha

diberikan sertifikat hak atas tanah.

Penegasan mengenai terjadinya atau lahirnya HGU atas bidang tanah

dapat dilihat dalam Penjelasan Pasal 7 ayat 2 (dua) PP Nomor 40 Tahun

1996, yang berbunyi sebagai berikut:

Sebelum didaftarkan sesuai ketentuan yang berlaku, Hak

Guna Usaha belum terjadi dan status tanahnya masih tetap tanah

Negara. Istilah “terjadi” tersebut telah ada sejak Undang-undang

Pokok Agraria. Dalam pemahaman masa-masa sesudah itu, istilah

“terjadi” tadi memiliki arti yang sama dengan “lahirnya” hak.

Dengan telah diterbitkannya Sertifikat HGU Nomor: 1/Desa Sei

Silau, tanggal 20 Pebruari 1984, maka tidak dapat disangkal bahwa PTPN

Universitas Sumatera Utara


III Kebun Sei Silau telah mendaftarkan bidang tanah HGU yang diberikan

tersebut kepada Kantor Pertanahan Kabupaten Asahan. Walaupun

berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor:

SK.6/HGU/DA/81, tanggal 5 Januari 1981, bidang tanah HGU yang

diberikan kepada PTPN III Kebun Sei Silau adalah seluas ± 6.450 Ha,

tetapi ternyata PTPN III Kebun Sei Silau hanya mendaftarkan HGU-nya

atas bidang tanah seluas 5.360 Ha.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 32 UU No. 5 tahun 1960 juncto

Pasal 7 PP No. 40 Tahun 1996, maka penentuan luas bidang tanah HGU

yang dipunyai oleh PTPN III Kebun Sei Silau bukan didasarkan pada

Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor: Sk.6/HGU/DA/81,

tanggal 5 Januari 1981,tetapi didasarkan pada Sertifikat HGU Nomor:

1/Desa Sei Silau, tanggal 20 Pebruari 1984. Oleh karena Sertifikat HGU

Nomor: 1/Desa Sei Silau, tanggal 20 Pebruari 1984 merupakan surat tanda

bukti hak yang memiliki kekuatan pembuktian yang kuat, maka dengan

demikian bidang tanah HGU PTPN III Kebun Sei Silau yang sah menurut

hukum adalah seluas 5.360 Ha.

Sedangkan sisa bidang tanah seluas 1.090 Ha yang telah diberikan

kepada PTPN III Kebun Sei Silau melalui Surat Keputusan Menteri Dalam

Negeri, Nomor: SK.6/HGU/DA/81, tanggal 5 Januari 1981, yang tidak

didaftarkan pada Kantor Pertanahan Nasional Kabupaten Asahan,

statusnya tetap tanah Negara dan bukan berstatus sebagai HGU PTPN III

Kebun Sei Silau.

Universitas Sumatera Utara


b. Tanah Garapan Masyarakat, Perkampungan Kompak, Rumah Penduduk

Maupun Fasilitas Publik Yang Masuk Ke Dalam Peta Bidang Tanah,

Nomor: 20/07/2007, Tanggal 27 Juni 2007

Untuk mengetahui kepastian mengenai bidang tanah mana saja

yang merupakan HGU PTPN III Kebun Sei Silau, maka harus didasarkan

pada data fisik yang dimuat dalam Peta Lampiran yang terdapat pada

Sertifikat HGU Nomor: 1/Desa Sei Silau tersebut.

Berdasarkan Peta Lampiran Sertifikat HGU Nomor: 1/Desa Sei

Silau dinyatakan bahwa bidang tanah HGU PTPN III Kebun Si Silau

adalah seluas 5.360 Ha yang mana diatas bidang tanah seluas 5.360 Ha

tersebut seluruhnya telah ditumbuhi dengan tanaman Peta Lampiran ini

juga menyatakan bahwa didalam bidang tanah seluas 5.360 Ha tersebut

sama sekali tidak terdapat tanah garapan. Dengan demikian, maka saat

didaftarkan pada tanggal 20 Pebruari 1984, di dalam areal bidang tanah

HGU PTPN III Kebun Sei Silau seluas 5.360 Ha tersebut sama sekali tidak

terdapat tanah-tanah garapan masyarakat, perkampungan kompak,

perumahan penduduk maupun fasilitas publik.

Oleh karena Sertifikat HGU Nomor: 1/Desa Sei Silau merupakan

tanda bukti hak yang memiliki kekuatan pembuktian yang kuat mengenai

kebenaran data fisik dan data yuridis yang diterangkan di dalamnya, dan

ternyata terdapat fakta bahwa tanah garapan yang menjadi sengketa ini

telah dikuasai dan diusahai oleh masyarakat sejak dahulu (jauh hari

sebelum tanggal 20 Pebruari 1984) yang berlanjut hingga saat ini, maka

Universitas Sumatera Utara


dengan demikian bidang tanah garapan masyarakat tersebut bukan

merupakan tanah HGU PTPN III Kebun Sei Silau.

Demikian pula dengan bidang tanah garapan yang setempat dikenal

dengan areal Titi Gambang – Desa Sei Silau Timur bukan merupakan

bidang tanah HGU PTPN III Kebun Sei Silau karena sejak dahulu sampai

dengan tahun 1989 (lima tahun setelah diterbitkannya Sertifikat HGU

Nomor: 1/Desa Sei Silau, tanggal 20 Pebruari 1984) bidang tanah tersebut

telah dikuasai dan diusahai masyarakat penggarap. PTPN III Kebun Sei

Silau baru menanami bidang tanah yang setempat dikenal dengan areal

Titi Gambang ini pada tahun 1991 (tujuh tahun setelah diterbitkannya

Sertifikat HGU Nomor: 1/Desa Sei Silau, tanggal 20 Pebruari 1984).

Pendapat ini juga ditopang dengan hasil pengukuran yang

dilaksanakan oleh petugas ukur dari Kanwil BPN Propinsi Sumatera Utara

mulai tanggal 5 Maret sampai dengan 5 Mei 2007, yang dituangkan ke

dalam Peta Bidang Tanah, Nomor: 20/07/2007, tanggal 27 Juni 2007.

Berdasarkan hasil pengukuran tersebut, PTPN III Kebun Sei Silau

telah mengklaim/mendalilkan bahwa HGU yang dipegang/dipunyainya

adalah atas bidang tanah seluas 6.575,99 Ha. Tetapi setelah luas bidang

tanah HGU yang diklaim/didalilkan PTPN III Kebun Sei Silau tersebut

dikurangi dengan jumlah luas tanah garapan, rumah penduduk,

perkampungan kompak maupun fasilitas publik (yang seluruhnya seluas

927,14 Ha),ternyata PTPN III Kebun Sei Silau telah menguasai dan

mengusahai bidang tanah seluas 5.645,85 Ha.

Universitas Sumatera Utara


Jika bidang tanah seluas 5.648,85 Ha yang dikuasai dan diusahai

oleh PTPN III Kebun Sei Silau tersebut dikurangkan dengan bidang HGU

PTPN III yang sah menurut hukum (seluas 5.360 Ha), maka dalam

permasalahan ini justru PTPN III Kebun Sei Silau yang tanpa alas hak

telah melakukan penguasaan dan pengusahaan atas bidang tanah seluas

288,85 Ha.

c. Peta Bidang Tanah, Nomor: 20/07/2007 Tanggal 27 Juni 2007, Bukan

Merupakan Surat Tanda Bukti HGU PTPN III Kebun Sei Silau

Berdasarkan ketentuan Pasal 19 ayat (2) huruf b UU Nomor 5

Tahun 1960, maka kegiatan pendaftaran tanah juga meliputi pemberian

surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang

kuat.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 31 dan Pasal 32 PP Nomor 24

Tahun 1997, maka surat tanda bukti hak adalah sertifikat yang diterbitkan

untuk kepentingan pemegang hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian

yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya.

Dengan demikian maka surat tanda bukti yang harus digunakan

untuk membuktikan kebenaran mengenai bidang tanah HGU PTPN III

Kebun Sei Silau yang sah menurut hukum adalah Sertifikat HGU Nomor:

1/Desa Sei Silau, bukan Peta Bidang Tanah, Nomor: 20/07/2007, tanggal

27 Juni 2007.

Universitas Sumatera Utara


d. Perpanjangan HGU Yang Akan Diberikan Kepada PTPN III Kebun

Sei Silau Tidak Dapat Diberikan Atas Bidang Tanah Yang Melebihi

Atau Di Luar Bidang Tanah Seluas 5.360 Ha

Pengertian mengenai perpanjangan hak dapat ditemui dalam PP

Nomor 40 Tahun 1996,Keputusan MNA/Ka. BPN Nomor 21 Tahun 1996,

dan PMNA/Ka. BPN Nomor 9 Tahun 1999.

Menurut ketentuan Pasal 1 angka 6 PP Nomor 40 Tahun 1996,

perpanjangan hak adalah penambahan jangka waktu berlakunya sesuatu

hak tanpa mengubah syarat- syarat dalam pemberian hak tersebut.

Sedangkan menurut ketentuan Pasal 1 angka 7 Keputusan

MNA/Ka. BPN Nomor 21 Tahun 1994, perpanjangan hak adalah

penetapan pemerintah untuk menambah waktu berlakunya suatu hak atas

tanah dengan jangka waktu tertentu.

Pasal 1 angka 9 PMNA/Ka. BPN Nomor 9 Tahun 1999,

memberikan pengertian bahwa perpanjangan hak adalah penambahan

jangka waktu berlakunya suatu hak atas tanah tanpa mengubah syarat-

syarat dalam pemberian hak tersebut, yang permohonannya dapat diajukan

sebelum jangka waktu berlakunya hak yang bersangkutan berakhir.

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, maka dapat ditarik

kesimpulan bahwa perpanjangan hak pada esensinya merupakan

penambahan jangka waktu berlakunya hak atas bidang tanah yang telah

ada sebelumnya, yang diajukan oleh pemegang hak.

Universitas Sumatera Utara


Adapun jenis-jenis hak yang dapat diperpanjang jangka waktunya

adalah HGU, hak guna bangunan dan hak pakai.

Pengaturan mengenai tata cara perpanjangan HGU dapat ditemui

dalam Pasal 16 sampai dengan Pasal 19 Keputusan MNA/Ka. BPN Nomor

21 Tahun 1994.

Berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (3) Keputusan MNA/Ka.

BPN Nomor 21 Tahun 1994, permohonan perpanjangan HGU harus

dilampiri dengan fotokopi sertifikat HGU yang akan diperpanjang dengan

disertai Surat Keterangan Pendaftaran Tanah yang terbaru.

Norma hukum yang mengharuskan diikutsertakannya fotokopi

sertifikat HGU dalam permohonan perpanjanagn HGU, menunjukan

bahwa perpanjangan HGU bertujuan hanya memberikan penambahan

jangka waktu HGU atas luas dan batas bidang tanah yang telah ada

sebelumnya sebagaimana termuat dalam Sertifikat HGU.

Pemahaman hukum tersebut juga didukung oleh ketentuan Pasal 18

Keputusan MNA/Ka. BPN Nomor 21 Tahun 1994, yang berbunyi sebagai

berikut:

(1) Untuk pemberian perpanjangan Hak Guna Usaha tidak diperlukan

pemeriksaan tanah oleh Panitia Pemeriksaan Tanah B, melainkan

cukup dilengkapi dengan laporan konstatasi yang ditandatangani

oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional setempat

Universitas Sumatera Utara


dalam waktu 5 (lima) hari kerja setelah diterimanya permohonan

secara lengkap.

(2) Jika tanah yang dapat diberikan perpanjangan Hak Guna Usaha

berbeda luas atau batasannya daripada yang tercantum dalam

sertifikat, maka dilakukan pengukuran ulang dan pemeriksaan

tanah oleh Panitia Pemeriksaan Tanah B yang harus diselesaikan

dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya

permohonan secara lengkap.

Berdasarkan kaidah-kaidah hukum yang diuraikan diatas, maka

perpanjangan HGU PTPN III Kebun Sei Silau hanya dapat diberikan

atas bidang tanah yang sama dengan yang tercantum dalam Sertifikat

HGU Nomor: 1/Desa Sei Silau, tanggal 20 Pebruari 1984, yakni: atas

bidang tanah seluas 5.360 Ha.

e. Peta Bidang Tanah, Nomor: 20/07/2007, Tanggal 27 Juni 2007,

Mengandung Cacat Yuridis Sehingga Tidak Memiliki Keabsahan

Untuk Dijadikan Dasar Dalam Proses Perpanjangan HGU

PTPN_IIIKebun Sei Silau Dan/Atau Untuk Dijadikan Dasar

Mendaftarkan Perpanjangan HGU Ke Dalam Buku Tanah Kantor

Pertanahan Kabupaten Asahan

Pengertian peta bidang tanah dapat ditemui dalam

PMNA/Ka.BPN Nomor 3 Tahun 1997. Berdasarkan ketentuan Pasal 1

angka 6 PMNA/Ka.BPN ini, peta bidang tanah adalah hasil pemetaan

1 (satu) bidang tanah atau lebih pada lembaran kertas dengan skala

Universitas Sumatera Utara


tertentu yang batas –batasnya telah ditetapkan oleh pejabat yang

berwenang dan digunakan untuk pengumuman data fisik.

Frase “digunakan untuk pengumuman data fisik” yang

terkandung dalam pengertian peta bidang tanah tersebut, menunjukkan

bahwa peta bidang tanah merupakan salah satu jenis kegiatan yang

dilaksanakan dalam rangka pendaftaran tanah. Pemahaman ini sejalan

dengan ketentuan Pasal 35 PMNA/Ka. BPN Nomor 3 Tahun 1997,

yang berbunyi:

(1) Untuk keperluan pengumuman sabagaimana dimaksud dalam

pasal 26 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997

dibuat peta bidang atau bidang-bidang tanah sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 31 dan ditandatangani oleh Kepala

Kantor Pertanahan atau pejabat yang ditunjuk.

(2) Apabila terdapat sanggahan pada saat pengumuman dan

berdasarkan penelitian panitia yang berwenang terdapat

kekeliruan mengenai hasil ukuran bidang tanah yang

tergambar maka dilakukan perubahan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 33.

Untuk menegasakan pendapat bahwa peta bidang tanah

merupakan salah satu jenis kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka

pendaftaran tanah, maka berikut ini dikutip ketentuan Pasal 26 ayat (1)

PP Nomor 24 Tahun 1997, yang menyatakan:

Universitas Sumatera Utara


“Daftar isian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2)

beserta peta bidang atau bidang-bidang tanah yang bersangkutan

sebagai hasil pengukuran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat

(1) diumumkan selama 30 (tiga puluh) hari dalam pendaftaran tanah

secara sistematik atau 60 (enam puluh) hari dalam pendaftaran tanah

secara sporadik untuk memberi kesempatan kepada pihak yang

berkepentingan untuk mengajukan keberatan.”

Berdasarkan pada ketentuan-ketentuan hukum tersebut, maka

Peta Bidang Tanah, Nomor: 20/07/2007, tanggal 27 Juni 2007

mengandung cacat hukum, karena :

1. Pembuatan Peta Bidang Tanah dimaksud seharusnya dilakukan

dalam rangka pendaftaran tanah yang dilaksanakan setelah

diterbitkannya surat keputusan tentang perpanjangan HGU,

sedangkan pada saat dibuatnya Peta Bidang Tanah dimaksud

belum ada surat keputusan Kepala BPN yang memberikan

perpanjangan HGU PTPN III Kebun Sei Silau. Sesuai dengan

ketentuan Pasal 18 ayat (2) Keputusan MNA/Ka. BPN Nomor 21

Tahun 1994, jika masih dalam proses permohonan perpanjangan

HGU dan ternyata terdapat perbedaan luas maupun batas antara

bidang tanah yang dimohonkan perpanjangannya, dengan Sertifikat

HGU Nomor: 1/Desa Sei Silau, tanggal 20 Juni 2007, maka

semestinya yang dilakukan adalah pengukuran ulang dan

Universitas Sumatera Utara


pemeriksaan tanah yang dilaksanakan oleh Panitia Pemeriksa

Tanah B.

2. Peta Bidang Tanah dimaksud seharusnya ditandatangani oleh

Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Asahan atau pejabat yang

ditunjuk sesuai dengan ketentuan Pasal 35 ayat (1) PMNA/Ka.

BPN Nomor 3 Tahun 1997, sedangkan Peta Bidang Tanah

dimaksud ditandatangani oleh Kepala Bidang Survei, Pengukuran

dan Pemetaan Kanwil BPN Propinsi Sumatera Utara. Dalam

perspektif Hukum Administrasi Negara, “pejabat yang ditunjuk”

dalam ketentuan Pasal 35 ayat (1) PMNA/Ka. BPN Nomor 3

Tahun 1997 tersebut diartikan sebagai pejabat bawahan Kepala

Kantor Pertanahan yang mendapat pelimpahan wewenang darinya.

Pendekatan Hukum Administrasi Negara ini juga sesuai dengan

ketentuan Hukum Pertanahan yang memberikan wewenang

pendaftaran tanah kepada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.

Selain cacat hukum yang disebutkan di atas, pengukuran

pengembalian batas yang dilakukan atas bidang tanah yang kemudian

pemetaannya dituangkan ke dalam Peta Bidang Tanah, Nomor

20/07/2007, tanggal 27 Juni 2007, juga bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan karena pengukurannya tidak dilakukan oleh BPN

Pusat, tetapi oleh Kanwil BPN Propinsi Sumatera Utara, sedangkan

luas bidang tanah HGU PTPN III Kebun Sei Silau lebih dari 1.000 Ha.

Universitas Sumatera Utara


Pendapat tersebut didasarkan pada ketentuan Pasal 77 ayat (1),

ayat (2) dan ayat (3) PMNA/Ka. BPN Nomor 3 Tahun 1997, yang

berbunyi sebagai berikut :

(1) Pengukuran bidang tanah secara sparodik pada dasarnya

merupakan tanggung jawab Kepala Kantor Pertanahan.

(2) Untuk keperluan optimalisasi tenaga dan peralatan pengukuran,

serta dengan mempertimbangkan kemampuan teknologi petugas-

petugas pengukuran, maka :

a. Pengukuran suatu bidang tanah yang luasnya 10 Ha sampai

dengan 1.000 Ha dilaksanakan oleh Kantor Wilayah;

b. Pengukuran suatu bidang tanah yang luasanya lebih dari 1.000

Ha dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional, dan hasilnya

disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan.

(3) Pengukuran sebagaimana dimaksud ayat (2) diajukan kepada

Kepala Kantor Pertanahan.

Oleh karena eksistensi Peta Bidang Tanah, Nomor: 20/07/2007,

tanggal 27 Juni 2007 dilandaskan pada kesalahan/kekeliruan

prosedural, serta pengukuran dan penandatangannanya dilakukan oleh

pejabat yang tidak berwenang, maka Peta Bidang Tanah dimaksud

tidak memiliki keabsahan hukum sehingga sama sekali tidak

mempunyai kekuatan mengikat bagi siapapun.

f. PTPN III Kebun Sei Silau Tidak Berhak Untuk Melakukan

Pembebasan Dan/Atau Menerima Pelepasan Atas Tanah-Tanah

Universitas Sumatera Utara


Garapan Masyarakat Untuk Menambah Luas Bidang Tanah HGU Dan

Kemudian Memasukannya Ke Dalam Bidang Tanah Yang

Dimohonkan Perpanjangan Haknya, Sebelum Ada Izin Lokasi Atau

Izin Perluasan Usaha

Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa permohonan

perpanjangan HGU PTPN III Kebun Sei Silau hanya dapat dilakukan

atas bidang tanah seluas 5.360 Ha sebagaimana yang tercantum dalam

Sertifikat HGU Nomor: 1/Desa Sei Silau, tanggal 20 Pebruari 1984,

dan tidak dapat dilakukan atas bidang tanah di luar yang tercantum

dalam Sertifikat HGU dimaksud.

Jika PTPN III Kebun Sei Silau menginginkan tanah garapan

masyarakat maupun tanah yang lainnya yang berada di luar bidang

tanah seluas 5.360 Ha menjadi tanah HGU-nya, maka berarti PTPN III

Kebun Sei Silau ingin memperoleh tanah tersebut guna keperluan

usaha penanaman modalnya.

Menurut ketentuan Pasal 1 angka 4 PMNA/Ka. BPN Nomor 2

Tahun 1999, penanaman modal adalah usaha menanaman modal yang

menggunakan maupun tidak menggunakan fasilitas sebagaimana

dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang

Penanaman Modal Asing sebagaimana telah diubah dengan Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 1970 dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun

1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri sebagaimana telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970.

Universitas Sumatera Utara


Berdasarkan ketentuan Pasal 2 PMNA/Ka. BPN Nomor 21

Tahun 1994, dinyatakan:

(1) Perolehan tanah oleh perusahaan hanya boleh dilaksanakan di areal

yang telah ditetapkan di dalam izin lokasi;

(2) Perolehan tanah dilaksanakan secara langsung antara perusahaan

dengan pemilik atau pemegang hak atas tanah atas dasar

kesepakatan;

(3) Pemerintah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan

perolehan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).

Keharusan untuk terlebih dulu mempunyai izin lokasi tersebut, juga diatur

dalam Pasal 2 ayat (1) PMNA/Ka. BPN Nomor 2 Tahun 1999, yang berbunyi:

“setiap perusahaan yang memperoleh persetujuan penanaman modal wajib


mempunyai izin lokasi untuk memperoleh tanah yang diperlukan untuk
melaksanakan rencana penanaman modal yang bersangkutan, kecuali dalam hal
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).”

Salah satu keadaan yang dapat dijadikan pengecualian terhadap kewajiban

untuk mempunyai izin lokasi tersebut karena dianggap sudah dipunyai perusahaan

yang bersangkutan, terdapat dalam Pasal 2 ayat (2) huruf e, yang berbunyi :

“tanah yang akan diperoleh diperlukan untuk perluasan usaha yang sudah
berjalan dan untuk itu telah diperoleh izin perluasan usaha sesuai ketentuan yang
berlaku, sedangkan letak tanah tersebut berbatasan dengan lokasi usaha yang
bersangkutan.”

Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, jika PTPN III Kebun Sei Silau

ingin melakukan pembebasan dan/atau menerima pelepasan tanah garapan

maupun tanah-tanah lainnya di luar bidang tanah seluas 5.360 Ha, maka PTPN III

Kebun Sei Silau harus terlebih dahulu mempunyai izin lokasi atau izin perluasan

Universitas Sumatera Utara


usaha dari Pemerintah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang

berlaku.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan diatas, maka terkait dengan

bidang tanah HGU PTPN III Kebun Sei Silau yang telah menimbulkan

permasalahan hukum dengan masyarakat, terutama Kelompok Tani Damai Jaya

dan Kelompok Tani Karya Tani, dapat ditetapkan sebagai berikut :

1. Sesuai dengan peraturan perundang-undangan, bidang tanah HGU

PTPN III Kebun Sei Silau terjadi atau lahir sejak didaftar pada Kantor

Pertanahan Kabupaten Asahan, bukan sejak diterbitkannya Surat

Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor: SK.6/HGU/DA/81, tanggal 5

Januari 1981.

2. Sertifikat HGU Nomor: 1/Desa Sei Silau, tanggal 20 Pebruari 1984,

merupakan bukti otentik sehingga mempunyai kekuatan pembuktian

yang kuat dan sempurna mengenai data yuridis dan data fisik atas

bidang tanah HGU PTPN III Kebun Sei Silau. Sesuai dengan data fisik

yang tercantum dalam Sertifikat PTPN III Kebun Sei Silau adalah 5.360

Ha, dan dengan demikian bidang tanah HGU PTPN III Kebun Sei Silau

yang sah menurut hukum adalah seluas 5.360 Ha, bukan seluas 6.450

Ha sebagaimana dinyatakan dalam Surat Keputusan Menteri Dalam

Negeri Nomor: SK.6/HGU/DA/81, tanggal 5 Januari 1981, karena Surat

Keputusan Menteri Dalam Negeri ini belum menyebabkan terjadi atau

lahirnya HGU PTPN III Kebun Sei Silau atas suatu bidang tanah atau

bukan seluas 6.575,99 Ha sebagimana dinyatakan dalam Peta Bidang

Universitas Sumatera Utara


Tanah , Nomor: 20/07/2007, tanggal 27 Juni 2007 karena Peta Bidang

Tanah bukan merupakan tanda bukti hak.

3. Data fisik lainnya mengenai bidang tanah HGU PTPN III Kebun Sei

Silau terdapat juga dalam Peta Lampiran Sertifikat HGU Nomor:

1/Desa Sei Silau, tanggal 20 Pebruari 1984.

4. Dalam Peta Lampiran Sertifikat HGU Nomor: 1/Desa Sei Silau ,

tanggal 20 Pebruari 1984 tercantum bahwa bidang tanah HGU PTPN III

Kebun Sei Silau adalah seluas 5.360 Ha yang seluruhnnya telah

ditumbuhi dengan tanaman, sedangkan tanah garapan, perkampungan

kompak, fasilitas publik maupun rumah penduduk tidak termasuk ke

dalam bidang tanah seluas 5.360 Ha tersebut, dan data fisik yang

tercantum dalam Peta Lampiran Sertifikat tersebut ternyata didukung

dengan kenyataan bahwa pada saat didaftar ke Kantor Pertanahan

Kabupaten Asahan tanggal 20 Pebruari 1984 bidang-bidang tanah

dimaksud (tanah garapan dan lain-lain tersebut) sama sekali tidak

dikuasai dan diusahai oleh PTPN III Kebun Sei Silau, tetapi secara

faktual justru dikuasai dan diusahai oleh masyarakat.

5. Kebenaran otentik mengenai tidak termasuknya tanah garapan

masyarakat, perkampungan kompak, fasilitas publik maupun rumah

penduduk ke dalam bidang tanah HGU PTPN III Kebun Sei Silau

sebagaimana tercantum dalam Sertifikat HGU Nomor: 1/Desa Sei

Silau, tanggal 20 Pebruari 1984 tersebut, juga didukung dengan hasil

pengukuran pengembalian batas yang dilakukan mulai tanggal 5 Maret

sampai dengan 5 Mei 2007 yang dituangkan dalam Peta Bidang Tanah,

Universitas Sumatera Utara


Nomor: 20/07/2007, tanggal 27 Juni 2007, yang mana berdasarkan hasil

pengukuran ini terungkap fakta bahwa: ternyata PTPN III Kebun Sei

Silau telah menguasai dan mengusahai bidang tanah seluas 5.648,85 Ha

diluar dari bidang-bidang tanah garapan masyarakat, perkampungan

kompak, fasilitas publik maupun perumahan penduduk, sehingga

dengan demikian dalam permasalahan ini justru PTPN III Kebun Sei

Silau telah menguasai dan mengusahai bidang tanah seluas 288,85 Ha

diluar dari bidang tanah HGU-nya yang sah menurut hokum (bidang

tanah HGU PTPN III Kebun Sei Silau yang sah menurut hukum adalah

seluas 5.360 Ha).

6. Peta Bidang Tanah, Nomor: 20/07/2007, tanggal 27 Juni 2007, bukan

merupakan tanda bukti hak, sehingga tidak bisa menjadi dasar untuk

meneguhkan HGU PTPN III Kebun Sei Silau atas bidang tanah seluas

6.575,99 Ha.

7. Lahirnya Peta Bidang Tanah, Nomor: 20/07/2007, tanggal 27 Juni 2007

didasarkan pada kekeliruan /kesalahan prosedural, karena peta bidang

tanah semestinya diterbitkan untuk keperluan pengumuman dalam

pelaksanaan pendaftaran tanah, bukan dalam rangka permohonan

perpanjangan HGU (jika dalam permohonan perpanjangan HGU

ternyata terdapat perbedaan luas atau batas dengan sertifikat, maka

semestinya yang dilakukan adalah pengukuran ulang dan pemeriksaan

tanah oleh Panitia Pemeriksaan Tanah B, bukan oleh Kanwil BPN

Propinsi Sumatera Utara). Selain itu, Peta Bidang Tanah,

Nomor:20/07/2007, tanggal 27 Juni 2007 juga ditandatangani oleh

Universitas Sumatera Utara


pejabat yang tidak berwenang (semestinya ditandatangani oleh Kepala

Kantor Pertanahan Kabupaten Asahan atau pejabat bawahan yang

ditunjuknya, bukan oleh Kepala Bidang Survei, Pengukuran dan

Pemetaan Kanwil BPN Propinsi Sumatera Utara), dan pengukurannya

tersebut juga dilaksanakan oleh institusi yang tidak

berwenang(semestinya dilakukan oleh BPN Pusat, bukan oleh Kanwil

BPN Propinsi Sumatera Utara, karena luas bidang tanah yang diukur

lebih dari 1.000 Ha). Oleh karena Peta Bidang Tanah, Nomor:

20/07/2007, tanggal 27 Juni 2007 tersebut lahir dari adanya

pelanggaran-pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan,

maka Peta Bidang Tanah dimaksud sama sekali tidak memiliki

kekuatan hukum mengikat terhadap siapapun.

8. Menurut Hukum Pertanahan, perpanjangan HGU pada prinsipnya

merupakan penambahan jangka waktu berlaku HGU atas bidang tanah

tertentu yang data fisiknya tercantum dalam Sertifikat HGU, bukan

merupakan penambahan luas bidang tanah, sehingga perpanjangan

HGU tidak dapat diberikan atas bidang tanah yang tidak tercantum

dalam sertifikat HGU. Oleh karena itu perpanjangan HGU yang

dimohonkan oleh PTPN III Kebun Sei Silau, hanya dapt diberikan atas

bidang tanah seluas 5.360 Ha sebagaimana tercantum dalam Sertifikat

HGU Nomor: 1/Desa Sei Silau, tanggal 20 Pebruari 1984.

9. Jika PTPN III Kebun Sei Silau ingin menambah luas bidang tanah

untuk usaha perkebunannya, maka tindakan yang harus ditempuhnya

Universitas Sumatera Utara


harus melalui prosedur/mekanisme permohonan pemberian HGU baru,

bukan mekanisme perpanjangan HGU.

10. PTPN III Kebun Sei Silau tidak berhak untuk melakukan pembebasan

dan/atau menerima pelepasan tanah-tanah garapan masyarakat di luar

bidang tanah seluas 5.360 Ha, sebelum mempunyai izin lokasi atau izin

perluasan usaha.

g. Mediasi Antara Kelompok Penggarap Tani Sei Silau dengan PTPN III

Kebun Sei Silau.

Mediasi oleh Kepala Tata Pemerintahan Kabupaten Asahan, pada 27

Nopember 2014, tempat Kantor Bupati Asahan di Kisaran, yang hadir dalam acara

ini adalah :

1. PTPN III diwakilkan dari Kantor Direksi dan Kebun Sei Siau

2. Kelompok Tani Sei Silau (Damai Jaya Titi Gambang Sei Silau Timur,

Karya Tani, Sei Silau Barat) didampingi oleh Pengacara/Kuasa Hukum

3. Camat Kecamatan Buntu Pane,

4. Dinas Kehutanan dan Perkebunan

5. Koramil/Danramil

6. BPN Asahan (tidak hadir).

Hasil mediasi adalah sebagai berikut :

1. Kelompok Tani harus menjaga asset PTPN III agar jangan ada

penyerobotan, menunggu proses selanjutnya.

Universitas Sumatera Utara


2. PTPN III harus cepat segera proses ke BPN pengajuan hak guna

usahanya (HGU), jangan sampai kepunyaan masyarakat dimasukkan

ke dalam HGU

3. Mediator akan melihat lokasi yang menjadi tuntutan kelompok Tani

dan dikuasai masyarakat penggarapan di Kebun Sei Silau.

4. Akan segera mengadakan mediasi lanjutan.

Akibat dari tuntutan para penggarap pada sebagian areal HGU maka

Badan Pertanahan menunda proses perpanjangan HGU yang dimohonkan

PTPNIII Kebun Sei Silau, dari seluruh luasan areal HGU yang telah

berakhir masanya. Hal ini mengakibatkan PTPN terganggu dan tidak

nyaman serta tidak aman menjalani usaha perkebunan karena dilokasi

objek tanah yang disengketakan terjadi perbuatan-perbuatan yang sudah

mengarah pada pelanggaran hukum. Terjadi konflik horizontal antara

kelompok penggarap dengan para karyawan Kebun. Misalnya Peristiwa

Manajer Kebun Sei Silau mengalami korban pengeroyokan oleh Radi Cs.

Peristiwa tgl 3 Februari 2015 di Afd. 4 pada waktu itu Manajer Kebun Sei

Silau John Tarigan sedang memfoto-foto areal Kebun karena ada

bangunan gubuk rumah dijadikan tempat warung berjualan dan kumpulan

orang-orang dikenal dengan nama kedai Opung jualan tuak. Tiba-tiba

datang si opung menegur JohnTarigan (Manejer Kebun), keberatan merasa

tidak terima manejer memfoto-foto areal kebun dan warung si opung.

Kemudian datang anak muda pakai sepeda motor (anak opung),

selanjutnya datang lagi si Radi. Terjadi kekerasan dilakukan Radi terhadap

John Tarigan, Manajer Kebun Sei Silau.

Universitas Sumatera Utara


Akibat peristiwa itu Manajer mengadu ke Polsek Sei Silai dan ke Polres

Asahan, demikian sebaliknya Radi dan kawannya mengadukan Majer

kebun Sei Silau ke Polres Asahan. Peristiwa ini diberitakan beberapa

media/Koran,beritanyaManejer kebun memukul petani dan diadukan

kePolsek Sei Silau. Persoalan kekerasan ini ada hubungannya dengan

penggarapan areal HGU kelompok Sukimin yang sedang menuntut tanah

garapan.

Penyelesaian perpanjangan HGU PTPN III Kebun Sei Silau yang diproses

BPN berdasarkan sertifikat No. 1/Desa Sei Silau tanggal 20 Februari 1984

disegerakan perpanjangannya, kemudian untuk areal garapan yang dituntut

penggarap dari selisih luas surat bukti HGU No. 1 tahun 1984dengan SK Hak

Menteri Dalam Negeri No. SK.6/HGU/DA/81 tahun 1981tersebut ditunda dahulu,

dengan syarat diselesaiakan berdasarkan bukti-bukti yang dimiliki para pihak

yaitu Penggarap dan PTPN-III. Sebagai pertimbangan hukum untuk menyikapi

penyelesaian dapat dipedomani Kepres No. 34 Tahun 2003 Tentang Kebijakan

Nasional Dibidang Pertanahan, Pasal 2 menyatakan bahwa wewenang

penyelesaian sengketa tanah garapan dilaksanakan oleh Pemerintah

Kabupaten/Kota. Selanjutnya dalam perpanjangan HGU dapat dipakai pedoman

Surat Edaran Menteri Agraria Dan Tata Ruang Kepala BPN No. 11/SE/VIII/2015

Tentang Percepatan Proses Pemberian Atau Perpanjangan Hak Atas Tanah Jo. SE

Menteri Agraria Dan Tata Ruang Kepala BPN No. 31/SE/I/2015 Perihal:

Percepatan Proses Penyelesaian Permohonan Hak Atas Tanah

Pemerintah/BUMN/BUMD asset tanah; bahwa terhadap tanah yang masihada

Universitas Sumatera Utara


permasalahan baik obyek/fisik maupun data yuridisnya dapat diproses melalui dua

tahap yaitu :

1. Areal yang tidak bermasalah diproses permohonannya,

2. Areal yang masih ada masalah agar diselesaikan para pihak.

PTPN III telah membentuk TIM Penyelesaian Permasalahan Areal Garapan

Kebun Sei Silau Seluas 750 Ha. berdasarkan Surat Keputusan Direksi Nomor :

3.11/SKPTS/02/2008 tanggal 14 April 2008.Dengan di bentuknya Tim ini PTPN

III berusaha agar areal tanah garapan diselesaikan dengan prioritas cara

musyawarah memberikan ganti rugi dalam bentuk suguh hati.

Hal ini akan menjadi berkepastian hukum bagi PTPN III Kebun Sei Silau untuk

menjalankan usaha dan dapat bertindak tegas untuk menjaga dan mengamankan

arealnya. Terhadap tanah yang menjadi sengketa harus dapat diselesaikan dengan

adil agar penggarap dapat menerima hasil dari areal yang dipersengketakan dan

apa yang menjadi keinginan PTPN-III Kebun Sei Silau dapat terlaksana dalam

menjalankan usaha perkebunan.

9. Sengketa Tanah Garapan Di Areal PTPN IIIKebun


Rambutan
a. Sejarah singkat Kebun Rambutan

Kebun Rambutan tanah areal hak guna usahanya adalah tanah Negara

bekas konsesi Nv. Rubber Cultuur Matschappij Amsterdam (RCMA). Merupakan

Universitas Sumatera Utara


Perusahaan Belanda seluas 4.442,20 Ha yang tertuang dalam peta situasi No.

18/1988. 173

a. UU No. 86 Tahun 1958 Nasionalisasi Perusahaan Belanda jo PP No. 19

tahun 1959 dan pengelolaannya diserahkan kepada PPN Karet V.

b. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1968 diserahkan kepada

PN. Perkebunan V (PT. Perkebunan V sekarang PTPN III)

c. Tanggal 29 April 1993 PTP V mengajukan permohonan HGU seluas

4.442,20 Ha.

d. Berdasarkan Constatering Rapport Kanwil BPN Sumatera Utara luas

tanah yang dapat diberikan Hak seluas 4.373,78 Ha (terdapat areal yang

dikeluarkan dari permohonan HGU seluas 68,42). Angka tersebut berasal

dari areal 4.442,20 Ha-4.373,78 Ha = 68,42 Ha dikeluarkan dari

permohonan HGU dipergunakan untuk:

1) Kepentingan Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Tebing Tinggi.

2) Koperasi PTP V

3) Jalan Umum

4) Lintasan Kereta Api.

e. Telah diterbitkan Sertipikat oleh BPN sesuai SK HGU 51/HGU/BPN/95,

tanggal 4 Agustus 1995 dengan sertifikat tanggal 14 Mei 1996 yang

berakhirnya Hak sampai dengan Desember 2025, seluas 4.373,78 Ha.

173
Setifikat HGU tanggal 14 Mei 1996 sesuai SK HGU 51/BPN/95, tanggal 4 Agustus 1995
di Kantor Direksi PTPN III, Bagian Hukum Dan Agraria

Universitas Sumatera Utara


b. Kronologi Sengketa Kebun Rambutan

1) Bahwa areal yang dipersengketakan seluas ±82 Ha tersebut adalah merupakan

tanah Negara bekas konsesi NV Rubber Cultuur Matschappij Amsterdam

(RCMA) yang diuraikan dalam Peta situasi No. 18/1998 seluas 4.442,20 Ha

terletak di Kecamatan Tebing Tinggi Kabupaten Deli Serdang (sekarang

Serdang Bedagei) Propinsi Sumatera Utara.

2) Bahwa pada awalnya tanah seluas ±82 Ha tersebut digarap oleh karyawan

Kebun Rambutan, sekitar tahun 1966, oleh karena pertumbuhan karet dengan

tahun tanam 1947 pertumbuhannya kurang baik, terutama di areal yang

disebut HIATEN atau areal kosong diantara tanaman karet yang sudah

tumbang, dengan menanam palawija.

3) Bahwa seiring dengan jalannya waktu jumlah penggarap mulai bertambah

(tidak hanya karyawan), namun juga penduduk sekitar kebun, dimana selain

mereka menanam dengan tanaman palawija mereka juga mendirikan rumah-

rumah gubuk diareal tersebut.

4) Bahwa pada Tanggal 16 Mei 1966 pemerintah mengeluarkan keputusan

Pemerintah/Landreform melalui pengumuman No. 463/KB/TT/B/66 mengenai

pengosongan areal ±82 Ha kebun Rambutan.

5) Bahwa pada tanggal 30 Mei 1966 keputusan pengosongan areal ±82 Ha

tersebut diperkuat lagi melalui rapat yang berlangsung di stadion Rambutan

yang mana salah satu butir keputusannya adalah penggarap tersebut harus

mutlak melaksanakan pengosongan.

6) Bahwa pada tanggal 3 Juni 1966 Pemerintah dalam hal ini diwakili oleh

Asisten Wedana/Ketua Panitia Land reform Kecamatan Tebing Tinggi

Universitas Sumatera Utara


mengirim surat kepada seluruh penggarap untuk melakukan pengosongan

areal ±82 Ha tersebut dengan memberikan ganti rugi kepada masyarakat

dengan batas akhir adalah tanggal 20 Juni 1966.

7) Bahwa pada tanggal 23 September 1966 Tritunggal Kecamatan Tebing Tinggi

(Assisten Wedana, dan Sek Kepolisian, dan SUBSEHAN) mengeluarkan

Pengumuman Terakhir untuk segera melakukan pengosongan tanah diatas

areal ±82 Ha Afd III PPN Karet V Rambutan dengan memberikan batas akhir

pengosongan selambat-lambatnya tanggal 30 September 1966.

8) Bahwa permasalahan utama muncul di Tahun 1995 tepatnya pada tanggal 23

Agustus 1995 dimana Pimpinan Penggarap atas nama Sdr Ponimin Panjaitan

dan Sdr Kasan mengirimkan surat kepada Bapak wakil Presiden RI yang pada

intinya memohon bantuan hukum atas pengambilan tanah milik rakyat Desa

Panguripan;

9) Bahwa PT Perkebunan V (saat ini PTPN III) memberikan penjelasan melalui

suratnya tertanggal 8 September 1995 kepada Asisten wakil Presiden RI

Khusus Pengawasan yang pada inti penjelasannya adalah:

a) Areal seluas ±82 Ha di Afd III Kebun Rambutan pada saat itu tahun

1966 adalah milik PPN Karet V dan bukan milik Ponimin Panjaitan

CS

b) Areal tersebut digarap dan didirikan gubuk-gubuk oleh para Penggarap

c) Karena areal tersebut akan ditanami dengan tanaman komoditi, maka

Pemerintah meminta kepada penggarap untuk mengosongkan areal

tersebut

Universitas Sumatera Utara


d) Penyelesaian pada tahun 1966 telah terlaksana tanpa adanya tuntutan

dan areal dimaksud telah memiliki alas hak HGU dan ditanami dengan

tanaman Kelapa Sawit

10) Bahwa Berita Acara Hasil Penelitian dan Pemeriksaan Lapangan atas tuntutan

Sdr. Ponimin Panjaitan dan Kasan tanah seluas ±82 Ha di Desa Panguripan

Kecamatan Tebing Tinggi Kabupaten Deli Serdang Propinsi Sumatera Utara

pada tanggal 6 November 1995, yang mana pada saat itu turut juga dihadiri

dan ditandatangani oleh: Kepala Seksi Pengaturan Penguasaan Tanah Pada

Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, Kepala Seksi Hak-Hak Tanah

Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 4 orang Staf dari Kantor

Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, mewakili Direksi PT. Perkebunan V,

mewakili Camat Tebing Tinggi, dan Kepala Desa Paya Bagas.

11) Bahwa hasil penelitian dan peninjauan lapangan sebagaimana point 10 diatas

adalah sebagai berikut :

a) Tanah yang dipermasalahkan terletak di areal HGU PT. Perkebunan V

Kebun Rambutan/ Sei Bamban, Desa Paya Bagas Kecamatan Tebing

Tinggi, Kabupaten Deli Serdang, Propinsi Sumatera Utara.

b) Kampung Panguripan sebagaimana dimaksud dalam tuntutan

masyarakat secara administrasi Pemerintah Desa tidak pernah ada,

istilah tersebut hanya dikenal di lingkungan setempat. Lokasi tersebut

sebenarnya berada di sebhagian Dusun IV dan V Desa Paya Bagas

Kecamatan Tebing Tinggi Kabupaten Deli Serdang, Propinsi Sumatera

Utara.

Universitas Sumatera Utara


c) Pada saat dilakukan peninjauan lapangan penggunaan tanah tersebut

sebahagian dengan Tanaman Budidaya Sawit (tahun 1995), sedangkan

lagi dengan Tanaman Budidaya Sawit (ditanam tahun 1973).

d) Dari penjelasan PT. Perkebunan V dan sesuai dengan data yang ada,

Tanaman Budidaya Sawit tahun 1973 dan tahun 1995 berasal dari

konversi Tanaman Budidaya Karet yang penanamannya ditanam sejak

tahun 1947 sampai dengan 1972 dan sebahagian lagi dari tahun 1967

sampai dengan 1994.

e) Atas permasalahan ini pihak PT. Perkebunan V telah menyampaikan

jawaban yang ditujukan kepada Bapak asisten WAPRES RI khusus

bidang pengawasan melalui suratnya tanggal 8 September 1995 No. :

05.7a/X/492/1995. Disampang itu saudara Ponimin P. Dan saudara

Kasan juga telah menyampaikan tuntutannya kepada:

- Ibu Megawati soekarno Putri sesuai dengan suratnya tanggal 5

April 1994 selaku anggota DPR/MPR RI.

- Kepada saudara Syarifuddin SH Pembela Umum LBH yang telah

ditanggapi oleh Direksi PT. Perkebunan V melalui suratnya

tanggal 11 Agustus 1994 No. 05.7a/X/435/1994.

f) Dari data yang ada saudara Ponimin P. Dan saudara Kasan bukan

mewakili dari masyarakat, tetapi bertindak atas nama diri sendiri.

12) Bahwa substansi dari kesimpulan sebagaimana point 10 tersebut diatas

dituangkan dan diperkuat di dalam surat Kantor Pertanahan Kabupaten Deli

Serdang kepada Kepala Kantor Wilayah BPN Sumatera Utara dengan nomor:

410.7516/a/1995 tanggal 13 November 1995.

Universitas Sumatera Utara


13) Bahwa berdasarkan surat Bupati Kepala Daerah Tkt II Deli Serdang kepada

asisten Wakil Presiden Urusan Pengawasan No. 591/51/RHS tanggal 12

Agustus 1996 perihal kasus pengambil alihan hak atas tanah secara melawan

hak oleh PT. Perkebunan V Rambutan Sei Karang (PTP. Nusantara III)

Tebing Tinggi Sumatera Utara yang dalam kesimpulannya menyatakan:

a) Lahan seluas 82 Ha pada saat ini ditanami tanaman kelapa sawit.

b) Tindakan PT Perkebunan V Rambutan Sei Karang (sekarang PTPN-

III) mengambil hak atas tanah tersebut secara melawan hak tidak

terbukti kebenarannya.

c) Masalah antara pihak penggarap dengan PT Perkebunan V Rambutan

Sei Karang (sekarang PTPN-III) telah diselesaikan pada tahun 1966

oleh Tritunggal Kecamatan Tebing Tinggi.

14) Bahwa hingga rentang waktu tahun 2003 pimpinan penggarap beralih ke

Karsam (ayah Suwarno) dan Sujarno hingga pada tahun 2007 sampai sekarang

pimpinan penggarap beralih kepada Suwarno dan kelompoknya yang

menguasai dan mengusahai areal HGU ±82 Ha dengan menjual dan

menyewakan areal HGU PTPN-III kepada orang lain baik untuk usaha

percetakan batubara maupun untuk areal tempat tinggal.

c. Tindakan PTPN III Pada Kebun Rambutan

1) Bahwa melalui Surat Kuasa Khusus No. 3.00/SK/04/2007 Direktur Utama

PTPN-III memberikan kuasa kepada Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara

sebagai Penggugat sekaligus sebagai Jaksa Pengacara Negara terhadap

penyerobotan areal yang dilakukan oleh penggarap di areal tersebut.

Universitas Sumatera Utara


2) Bahwa dalam perkembangannya pada tanggal 26 Maret 2008 Pengadilan

Negeri Tebing Tinggi Deli telah melakukan peletakan sita jaminan No.

26/Pdt/2008/PN-TTD.

3) Bahwa pada tanggal 30 Juni 2008 Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Deli

melalui Putusan No. 26/Pdt.G/2007/PN-TTD memutuskan perkara ini secara

kontradiktoir yaitu mengabulkan gugatan penggugat (PTPN-III) untuk

sebagian dan menyatakan Tergugat-Tergugat (Suwarno cs) untuk

meninggalkan dan mengosongkan areal perkebunan yang digarap/dikuasai

baik segala tanaman dan bangunan yang ada diatasnya sekaligus menyatakan

sita jaminan yang telah dilaksanakan pada tanggal 26 Maret 2008 sah dan

berharga.

4) Bahwa atas Putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Deli tersebut pada

tanggal 21 Juli 2008 diatas pihak Tergugat (Suwarno cs) mengajukan banding

dengan biaya Negara (prodeo).

5) Bahwa Pengadilan Tinggi Medan pada tanggal 14 Juli 2009 mengeluarkan

Penetapan Penolakan Banding Prodeo No. 1/Pen-Pdt/Prodeo/2009/PT-Mdn

dengan amar putusan menyatakan permohonan ijin Tergugat (Suwarno cs)

untuk perkara dalam tingkat banding dengan Cuma-Cuma (prodeo) tidak

diterima.

6) Bahwa pada tanggal 6 Agustus 2008 pihak Suwarno juga melakukan

perlawanan atas peletakan sita jaminan.

7) Bahwa atas perlawanan tersebut Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Deli

mengeluarkan Putusan No. 23/Pdt/PLW/2008/PN-TTD tanggal 16 Juli 2009

Universitas Sumatera Utara


menyatakan Pelawan adalah Pelawan yang tidak beritikad baik dan menolak

perlawanan Pelawan untuk seluruhnya.

8) Bahwa dengan ditolaknya banding prodeo serta gugatan perlawanan maka

kemudian kedua Penetapan tersebut telah diberitahukan kepada para pihak

tanpa upaya hukum selanjutnya dari pihak Tergugat (Suwarno Cs) sehingga

dengan demikian putusan tersebut telah dinyatakan Berkekuatan Hukum Tetap

(incracht van gewijsde).

9) Bahwa PTPN-III melalui Surat Kuasa Khusus No. 3.11/SK/12/2009 tanggal

30 Juni 2009 telah mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan

Negeri Tebing Tinggi Deli.

10) Bahwa tindak lanjut dari hal tersebut Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Deli

mengeluarkan Surat Panggilan/Aanmaning I dan II terhadap Masyarakat

Penggarap untuk melaksanakan secara sukarela Putusan Pengadilan tersebut;

11) Bahwa PT Perkebunan Nusantara III telah memberikan himbauan kepada

seluruh masyarakt yang berada diarel untuk meninggalkan areal HGU PT

Perkebunan Nusantara III secara sukarela sebagaimana Surat No.

KRBTN/X/06/2010 tanggal 04 Februari 2010 dan surat No.

KRBTN/X/12/2010 tanggal 15 Februari 2010.

12) Bahwa atas permohonan eksekusi tersebut Pengadilan Negeri Tebing Tinggi

Deli mengirimkan surat antara lain:

- Nomor: W2.U.10/316/Pdt.04.10/II/2010 tanggal 09 Februari 2010

Perihal : Mohon bantuan petugas keamanan untuk pelaksanaan

eksekusi dalam perkara perdata Nomor: 08/Eks/2009/Pdt.G/PN-

Universitas Sumatera Utara


TTD kepada Komandan Polisi Sektor Tebing Tinggi yang akan

dilaksanakan pada hari Selasa tanggal 23 Februari 2010.

- Nomor: W2.U.10/317/Pdt.04.10/II/2010 tanggal 09 Februari 2010

Perihal : Mohon bantuan petugas keamanan untuk pelaksanaan

eksekusi dalam perkara perdata Nomor: 08/Eks/2009/Pdt.G/PN-

TTD kepada Kepala Kepolisian Resort Kota Tebing Tinggi yang

akan dilaksanakan pada hari Selasa tanggal 23 Februari 2010.

- Nomor: W2.U.10/318/Pdt.04.10/II/2010 tanggal 09 Februari 2010

Perihal: Mohon bantuan petugas kemanan untuk pelaksanaan

eksekusi dalam perkara perdata Nomor: 08/Eks/2009/Pdt.G/PN-

TTD kepada Kepala Kepolisian Resort Serdang Bedagai yang akan

dilaksanakan pada hari Selasa tanggal 23 Februari 2010.

- Nomor: W2.U.10/319/Pdt.04.10/II/2010 tanggal 09 Februari 2010

Perihal: Mohon bantuan petugas keamanan untuk pelaksanaan

eksekusi dalam perkara perdata Nomor: 08/Eks/2009/Pdt.G/PN-

TTD kepada Komandan Sub Datasemen 1/I-I yang akan

dilaksanakan pada hari Selasa tanggal 23 Februari 2010.

13) Bahwa upaya pendekatan yang telah dilakukan PT Perkebunan Nusantara III

adalah terhadap 23 orang pengusaha Batu bata, 10 unit rumah permanen dan

27 unit rumah semi permanen yang berada diatas garapan PT Perkebunan

Nusantara III telah melakukan proses pendekatan dengan cara pemberian tali

asih (biaya bongkar rumah dan biaya pindah) agar kiranya masyarakat yang

berada diatas areal dapat secara sukarela meninggalkan areal.

Universitas Sumatera Utara


14) Dapat kami sampaikan bahwa Direktorat Reserse Kriminal POLDA SU telah

melakukan penangkapan terhadap Sdr Suwarno karena telah melakukan tindak

Pidana “Penipuan dan Pemalsuan Dokumen Negara” dengan mengaku sebagai

satgas Mafia Hukum Jakarta (Pasal 372 Subs 263 KUHP), dan Ybs telah

ditahan selama 1 Tahun di Lembaga Permasyarakatan Tanjung Gusta Medan,

sesuai dengan Putusan Pengadilan Negeri Medan.

15) Rapat pertemuan dengan Direktur Konflik BPN Pusat- Jakarta, di Kanwil

BPN Prop. SU. Tanggal 12- 03- 2012. Hadir dari Komisi A DPRD Prop. SU,

Bagian Hukum Kementerian BUMN, BPN Prop.SU, PTPNIII, Suwarno, Dkk.

Pertemuan menjelaskan tentang hasil yang dibua toleh Direktor Konflik BPN

Pusat yaitu sbb:

I. Menimbang

a. Bahwa gelar 28 Oktober 2011 dengan hasil pengukuran super

invoice/ fotocitra udara, lokasi tanah yang dimohonkan oleh

Suwarno, Dkk berada di dalam areal sertifikat HGU No. 1 an.

Desa Paya Bagas, Kebun Rambutan PTPN III, dimohonkan

untuk dikeluarkan 82 Ha.

b. Hasil gelar tersebut telah diberikan tanggapan oleh pemohon

yang intinya areal 82 Ha. tetap harus dikeluarkan dari areal

HGU.

c. BPN setelah mendengar, memperhatikan lahirnya HGU No.1

Paya Bagas untuk mempertimbangkan permohonan Suwarno

Dkk, juga mempertimbangkan putusan Pengadilan yang sudah

inkracht.

Universitas Sumatera Utara


II. Rekomendasi:

a. Perlu dibentuk Tim oleh Bupati Sergei dengan melibatkan

unsur BPN untuk memproses permohonan masyarakat yang

disampaikan Suwarno, Dkk.

b. Mengingat keinginan masyarakat yang menuntut agar tetap

dikeluarkan dari areaL HGU maka hendaknya permohonan

tertulis diajukan agar dilepaskan oleh Pemerintah/Kementerian

BUMN.

c. Pihak Kementerian BUMN, PTPN III tidak sependapat

dengan rekomendasi point a dan b.

Pertemuan di Pemkab Serdang Bedagai mengenai Kasus-kasus

konflik pertanahan. Tanggal 24- 05- 2012 Sekda Kabupaten Sergei

mengundang Perkebunan di wilayah Sergei, dihadiri juga dari Sekretaris

Tim Mediasi Prop. SU untuk kasus-kasus tanah dan Kepala Bagian

Pemerintahan Pemkab Sergei. Dari PTPN III dihadiri dari Majer Kebun

Pamela, Bagian Hukum dan didampingi oleh Konsultan Hukum. Untuk

PTPN-III dibahas kasus garapan Dama Urat di kebun Pamela dan

mengenai garapan tanah rendahan Lembah Harapan yang di bending

Kebun sehingga tanaman penggarap terendam karena menjadi kolam.

Dalam pertemuan ini dari PTPN meminta khususnya terhadap garapan di

kebun Rambutan sudah di selesaikan secara jalur hukum. Agar Tim

Mediasi dan Pemkab Sergei tegas kasusnya sudah selesai. Kesimpulan dari

pertemuan adalah agar sengketa areal garapan, tuntutan masyarakat

Universitas Sumatera Utara


penggarap diselesaiakan melalui kerjasama Tim tanah Prop. SU dengan

Bagian Pemerintahan Kabupaten Sergei.

d. Landasan Yuridis Hak Atas Tanah Kebun Rambutan

1) Bahwa tanah perkebunan Rambutan yang dimohon Hak Guna Usaha oleh

PT. Perkebunan V (Persero) menurut Surat Keterangan Pendaftaran Tanah

dari Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang tanggal 19 April

1993 Nomor 600-434/04/1993 dan Konstatering Repport tanggal 12 dan

13 Januari 1994 April 1994 Nomor 17/PPT/B/1994 berstatus Tanah

Negara bekas konsesi NV. RUBBER CULTUUR MAATSCHAPPIJ

AMSTERDAM, diuraikan dalam Peta Situasi Nomor 18/1988 seluas

4.442,20 Ha (empat ribu empat ratus empat puluh dua koma dua kosong

hektar)/ didalamnya terdapat ± 82 Ha areal yang dipersengketakan,

terletak di Kecamatan Tebing Tinggi Deli, Kabupaten Deli Serdang

(sekarang Serdang Bedagei) Propinsi Sumatera Utara.

2) Bahwa tanah perkebunan dimaksud semula dikuasai oleh Negara

berdasarkan Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi

Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda juncto Peraturan Pemerintah

Nomor 19 Tahun 1959 dan pengelolaannya diserahkan kepada PPN Karet

V selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1968

diserahkan kepada PN. Perkebunan V (sekarang PT. Perkebunan

Nusantara III (Persero).

3) Bahwa berdasarkan Konstatering Repport Perkebunan rambutan tanggal

12 dan 13 Januari 1994 Nomor 17/PPT/B/1994, tanah tersebut telah

dikuasai/dipergunakan oleh PN Perkebunan V (sekarang PTPN III) untuk

Universitas Sumatera Utara


perkebunan kelapa sawit dan karet dan sebagian areal tersebut seluas 68,42

Ha (enam puluh delapan koma empat dua hektar) dipergunakan untuk

kepentingan Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Tebing Tinggi,

Koperasi PT. Perkebunan V, jalan umum dan lintasan jalan rel kereta api,

yang dikeluarkan dari areal perkebunan tersebut sehingga luas tanah yang

dapat dikabulkan untuk dapat diberikan Hak Guna Usaha adalah seluas

4.373,78 Ha (empat ribu tiga ratus tujuh puluh tiga koma tujuh delapan

hektar)/ didalamnya terdapat ± 82 Ha areal yang dipersengketakan sesuai

dengan Peta Gambar Situasi Khusus tanggal 25 November 1994 Nomor

46/04/IV/1994 (Revisi Peta Situasi Nomor 18/1988).

4) Bahwa kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi

Sumatera Utara dalam suratnya tanggal 11 Januari 1995 Nomor 540.1-

56/I/95 menyampaikan pertimbangan tidak keberatan untuk dikabulkannya

permohonan Hak Guna Usaha PT. Perkebunan V (Persero) atas tanah

seluas 4.373,78 Ha (empat ribu tiga ratus tujuh puluh tiga koma tujuh

delapan hektar)/ didalamnya tersapat ± 82 Ha areal yang

dipersengketakan.

5) Bahwa PT. Perkebunan V (Persero) adalah Badan Usaha Milik Negara

(BUMN) yang telah memenuhi persyaratan sebagai penerima Hak Guna

Usaha atas tanah perkebunan Rambutan seluas 4.373,78 Ha (empat ribu

tiga ratus tujuh puluh tiga koma tujuh delapan hektar)/ didalamnya tersapat

± 82 Ha areal yang dipersengketakan terletak di Kecamatan Tebing Tinggi

Deli, Kabupaten Deli Serdang, Propinsi Sumatera Utara.

Universitas Sumatera Utara


6) Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut diatas maka Pada Tanggal 4 Agustus

1995 Kemudian diberikan lah Keputusan Menteri Agraria /Kepala Badan

Pertanahan Nasional No. 51/HGU/BPN/95 Tentang Pemberian Hak Guna

Usaha atas nama PT. Perkebunan V (Persero), atas Tanah Perkebunan

Rambutan di Kabupaten Deli Serdang (sekarang Serdang Bedage).

e. Analisis Lahirnya Sertifikat HGU No. 1 Tahun 1996

Kebun Rambutan

1) Bahwa lahirnya Keputusan Menteri Agraria/ Kepala Badan Pertanahan

Nasinaol No. 51/HGU/BPN/95 Tentang Pemberian Hak Guna Usaha atas

nama PT. Perkebunan V (Persero), atas Tanah Perkebunan Rambutan di

Kabupaten Deli Serdang (sekarang Serdang Bedagei) dan Sertifikat HGU

No. 1 Tahun 1996 adalah berdasarkan permohonan HGU dari PT.

Perkebunan V tanggal 29 April 1993 Nomor 05.7a/X/239/1993 atas tanah

perkebunan Rambutan seluas 4.442,20 Ha yang disampaikan dengan surat

pengantar Kantor Wilayah BPN Sumatera Utara tanggal 11 Januari 1995

No. 540.1-56/1/1995.

2) Bahwa objek tanah tersebut adalah pada awalnya berstatus tanah Negara

bekas konsesi NV. RCMA dan dikuasai oleh Negara berdasarkan UU No.

86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik

Belanda dimana didalam Pasal 1 UU tersebut dinyatakan bahwa

“Perusahaan-Perusahaan milik Belanda yang berada di wilayah RI yang

ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dikenakan Nasionalisasi dan

dinyatakan menjadi milik penuh dan bebas Negara RI.

Universitas Sumatera Utara


3) Bahwa tindak lanjut atau petunjuk pelaksanaan dari Pasal 1 UU No. 86

Tahun 1958 tersebut diatas adalah diatur didalam PP No. 2 Tahun 1959

tentang Pokok-Pokok pelaksanaan UU No. 86 Tahun 1958 tanggal 23

Februari 1959 dimana di dalam Pasal 2 ayat 2 Jo Pasal 3 dinyatakan

bahwa perusahaan yang dinasionalisasi memiliki seluruh saham dan modal

perseroan dari perusahaan/badan hukum Belanda yang berkedudukan di

wilayah RI.

4) Bahwa didalam Pasal 1 PP No. 19 Tahun 1959 menyatakan bahwa

perusahaan perkebunan milik Belanda termasuk anak perusahaan dan

perusahaan tambahannya yang ada diwilayah RI dikenakan nasionalisasi

yang kemudian dibentuk badan hukum yang bertempat berkedudukan di

Indonesia.

5) Bahwa berdasarkan ketentuan nasionalisasi diatas maka tanah bekas

konsesi dari perusahaan Belanda (NV RCMA) diserahkan pengelolaannya

beserta seluruh hak-hak yang ada diatasnya kepada PN Perkebunan V

berdasarkan PP No. 14 Tahun 1968.

6) Bahwa seluruh hak-hak atas tanah bekas konsesi perusahaan Belanda NV

RCMA menurut PP No. 14 Tahun 1968 dijadikan sebagai modal yang

tertanam dalam perkebunan Negara (PN Perkebunan V) dengan tujuan

untuk menghindarkan dan mencegah adanya duplikasi, kegiatan cakup

mencakup tanpa mengurangi makna dan hakikat otonomi, decontrolle dan

debirokratisasi.

7) Bahwa seluruh aset tanah Negara bekas konsesi NV RCMA diuraikan

dalam peta situasi No. 18/1998 yang menyatakan bahwa tanah seluas

Universitas Sumatera Utara


4.442,20 ha terletak di Kecamatan Tebing Tinggi Kabupaten Deli Serdang

Propinsi Sumatera Utara.

8) Bahwa benar jika dinyatakan bahwa terjadi kekosongan kepemilikan hak

terhadap areal Paya Bagas tersebut oleh karena dari rentang waktu 1947

sampai dengan tahun 1994 ditanam tanaman budidaya karet dan tahun

1973 sampai dengan tahun 1995 dikonversi menjadi tanaman sawit dan

keseluruhan hal tersebut berada diatas areal bekas konsesi perusahaan

Belanda NV RCMA yang kemudian menjadi PN. Perkebunan V.

9) Bahwa hurufh tersebut diatas didukung oleh surat BPN Nomor.

410.751/a/1995 tanggal 13 November 1995.

10) Bahwa alas hak sebagaimana yang ditetapkan UU Pertanahan adalah

sebagaimana ditetapkan di dalam Keputusan Menteri Agraria /Kepala

Badan Pertanahan Nasional No. 51 /HGU/BPN/95 Tentang Pemberian

Hak Guna Usaha atas nama PT. Perkebunan V (Persero) atas Tanah

Perkebunan Rambutan di Kabupaten Deli Serdang (sekarang Serdang

Bedagei) dan sertifikat HGU No. 1 Tahun 1996 dan berakhir ditahun 2025

f. Permasalahan Areal Garapan Paya Bagas Kebun

Rambutan PT. Perkebunan Nusantara III (Persero).

1) Klaim/Tuntutan dilakukan oleh Ponimin Panjaitan dan Kasan Tahun 1994,

Karsan dan Sujarno Tahun 2003, dan Suwarno Cs Tahun 2007

2) Dasar Tuntutan pada awalnya tanah seluas ±82 Ha digarap oleh karyawan

kebun Rambutan pada tahun 1966 pada daerah HIATEN atau daerah

kosong. Seiring berjalannya waktu jumlah penggarap semakin bertambah.

3) Penyelesaian:

Universitas Sumatera Utara


a) Bahwa pada tanggal 16 Mei 1966 pemerintah mengeluarkan keputusan

landreform melalui pengumuman No. 463/KBT/TT/B/66 mengenai

pengosongan areal seluas ±82 Ha, dan diperkuat dalam keputusan

rapat pengosongan areal pada tanggal 30 Mei 1966.

b) Tanggal 3 Juni 1966 Pemerintah yang diwakili oleh Asisten Wedana

Tebing Tinggi mengirimkan surat No. 626/3/LR kepada masyarakat

untuk pengosongan areal ±82 Ha dengan memberikan ganti rugi dan

batas waktu 20 Juni 1966.

c) Tanggal 23 September 1966 TRITUNGGAL Kec. Tebing Tinggi

(Asisten Wedana, Dan Sek Kepolisian dan SUBSEHAN)

mengeluarkan pengumuman terakhir untuk segera melakukan

pengosongan areal ±82 Ha Afd III Kebun Rambutan selambat-

lambatnya 30 september 1966.

Munculnya Permasalahan Tahun 1995

a. Pada tanggal 23 Agustus 1995 Sdr. Ponimin Panjaitan dan Kasan

mengirimkan surat kepada Wakil Presiden RI yang berintikan Mohon

Bantuan Hukum atas pengambilan tanah milik rakyat Desa Panguripan.

b. PTPN III memberikan penjelasan melalui surat tanggal 8 Desember 1995

Kepada Asisten Wakil Presiden RI khusus pengawasan yang berintikan:

1) Areal seluas ±82 Ha di afd III Kebun Rambutan pada saat itu adalah

milik PPN Karet V.

2) Areal dimaksud digarap dan didirikan gubuk-gubuk.

3) Karena areal dimaksud akan ditanami komoditi perkebunan, maka

pemerintah meminta penggarap untuk mengosongkan areal.

Universitas Sumatera Utara


4) Penyelesaian pada tahun 1966 telah terlaksana tanpa adanya tuntutan

lain dan saat ini telah memiliki alas hak yaitu HGU No. 1/Desa Paya

Bagas.

c. Upaya Penyelesaian dilakukan tanggal 6 Nopember 1995 telah dilakukan

pemeriksaan lapangan oleh BPN Deli serdang, PTPN III, Camat Tebing

Tinggi dan Kepala Desa Paya Bagas dengan hasil:

1) Tanah yang dipermasalahkan masuk dalam HGU PTPN III Kebun

Rambutan.

2) Desa Panguripan, secara administratif Pemerintah desa tidak pernah

ada.

3) Penggunaan tanah dilapangan sebagian Tanaman Kelapa Sawit tahun

1995, dan Tanaman Kelapa Sawit 1973.

4) Dari data yang ada Sdr. Ponimin dan sdr. Kasan bukan mewakili

masyarakat, akan tetapi bertindak atas diri sendiri.

5) Substansi dari kesimpulan peninjauan lapangan dituangkan dalam

surat Kepala Kantor BPN deli Serdang Kepada BPN Sumatera Utara

No. 419.7516/a/1995 tanggal 13 November 1995.

Dasar tuntutan Hingga rentang waktu 2003 pimpinan penggarap beralih

kepada Karsam (ayah suwarno) dan Sujarno hingga 2007, dan sekarang dipimpin

oleh Sdr. Suwarno menguasai dan mengusahai areal seluas ±82 Ha dengan

menjual dan menyewakan areal kepada orang lain.

Universitas Sumatera Utara


g. Proses Hukum Yang Telah Dilakukan Dalam

Permasalahan Areal Garapan Kebun Rambutan

Bahwa pada tahun 2007 PTPN III melalui Gugatan Perdata Kepada

Penggarap Rukiman Cs di Pengadilan Tebing Tinggi Deli dengan Register

Perkara Nomor: 26/Pdt.G/2007/PN.TTD yang menghasilkan Putusan :

1. Mengabulkan Gugatan Penggugat untuk sebahagian

2. Menyatakan Tergugat-Tergugat (Rukiman Cs) telah melakukan Perbuatan

Melawan Hukum

3. Menghukum Tergugat-Tergugat (Rukiman Cs) untuk meninggalkan dan

mengosongkan areal perkebunan yang mereka garap/kuasai baik segala

tanaman dan bangunan yang di atasnya.

Pada tahun 2009 Rukiman Cs melakukan upaya hukum banding ke

Pengadilan Tinggi Medan dengan prodeo. Terhadap upaya hukum banding secara

prodeo ini Pengadilan Tinggi Medan mengeluarkan penetapan sebagaimana

didasarkan pada penetapan Nomor: 01/PDT/PRODEO/2009/PT.MDN, yang

menyatakan:

- Permohonan izin Tergugat-Tergugat (Rukiman Cs) untuk

berperkara dalam tingkat banding dengan Cuma-Cuma (prodeo)

tidak dapat diterima.

Dengan tidak diterimanya upaya banding prodeo Rukiman Cs maka

Pengadilan Tebing Tinggi Deli melakukan eksekusi atas peletakan sita jaminan

sebelumnya akan tetapi terdapat perlawanan. Suwarno Cs melakukan Gugatan

perlawanan atas peletakan sita jaminan areal Paya Bagas sebagaimana didasarkan

Universitas Sumatera Utara


pada Register Perlawanan Nomor: 23/Pdt/PLW/2009/PN.TTD. Atas Gugatan

perlawanan yang dilakukan oleh Suwarno Cs, Pengadilan Tebing Tinggi Deli

mengeluarkan putusan dengan amar putusan : Menyatakan Pelawan adalah

Pelawan yang tidak baik oleh karenanya Menolak Perlawanan-Perlawanan untuk

seluruhnya.

Dengan ditolaknya Banding prodeo Rukiman Cs dan gugatan perlawanan

Suwarno Cs Maka terhadap perkara Nomor 26/PDT.G/2007/PN.TTD telah

berkekuatan hukum tetap. Pada tahun 2009, PTPN III melakukan Permohonan

eksekusi (pelaksanaan putusan No. 26/PDT.G/2007/PN.TTD) pada Pengadilan

Tebing Tinggi Deli. Tanggal 6 April 2010 Pukul 13.10 Pengadilan Tebing Tinggi

Deli telah membacakan Surat Penetapan eksekusi Pengadilan Tebing Tinggi Deli

No. 08/EKS/2009/PDT.G/PN.TTD.

Tanggal 12 Februari 2010 Suwarno Cs melakukan Gugatan Perdata

sebagaimana didasarkan atas Register No.8/PDT.G/2010/PN.TTD dan Terhadap

perkara No. 8/PDT.G/2010/PN.TTD tanggal 18 agustus 2010 Pengadilan Tebing

Tinggi Deli memutus dengan amar putusan : Gugatan Tidak Dapat Diterima.

Selanjutnya tidak ada upaya hukum dilakukan oleh Suwarno dengan demikian

putusan Pengadilan Tebing Tinggi Deli telah berkekuatan hukum tetap (Inkracht

van Gewijsde).

Tindakan PTPN III dalam penyelesaian tanah garapan di Kebun Rambutan

dengan pendekatan kepada para penggarap dengan memberikan tali asih berupa

uang pindah dapat diterima penggarap setelah proses eksekusi Pengadilan Tebing

Tinggi Deli. Secara filosofi penyelesaian sengketa merupakan upaya untuk

Universitas Sumatera Utara


mengembalikan hubungan para pihak yang bersengketa dalam keadaan seperti

semula, hubungan baik sosial maupun hubungan hukum satu sama lainnya. 174

C. Kebijakan Hukum Penyelesaian Garapan Tanah Perkebunan

Kebijaksanaan yang diatur dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri

Nomor Agr.12/5/14 tanggal 28 Juni 1951, jo. Keputusan Gubernur Propinsi

Sumatera Utara Nomor 35/K/Agr. Medan tanggal 28 September 1951 merupakan

produk resmi dari pejabat yang berwenang pada saat itu. Pengaturan Dasar Pokok-

Pokok Agraria (LN 1960-104), mempedomani ketentuan Pasal 58 UUPA yang

menyatakan bahwa sebelum peraturan-peraturan pelaksana undang-undang ini

terbentuk, maka peraturan-peraturan yang ada pada mulai berlakunya undang-

undang ini tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dari ketentuan

undang-undang ini dan diberi tafsir yang sesuai dengan ini.

Instansi yang berwenang mengawasi dan membina pelaksanaan

(redistribusi) tanah, setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960

tentang Pengaturan Dasar Pokok-Pokok Agraria adalah Panitia Landreform

sesuai Kepres No. 55 Tahun 1980 tentang Organisasi dan Tata Kerja

Penyelenggaraan Landreform.

Keputusan Menteri Dalam Negeri No. SK.44/DJA/1981, mengeluarkan

dari areal perkebunan PT. Perkebunan IX tanah seluas 9.058 Hektare terletak di

Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Langkat, Propinsi Sumatera Utara

tersebar dalam 32 Kebun dan telah digarap, diduduki rakyat. Tanah tersebut

dinyatakan kembali menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dan

174
Teori penyelesaian sengketa dispute settlement of theory dalam Salim Said HS, Penerapan
Teori Hukum Pada Penelitian Tesis Dan Desertasi, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2013, hal 135

Universitas Sumatera Utara


ditegaskan menjadi obyek Lendreform yang akan didistribusikan sesuai pasal 1

huruf d Peraturan Pemerintah No. 224 tahun 1961. Mengintruksika kepada

Gubernur Kepala Daerah Up. Kepala Direktorat Agraria Sumatera Utara untuk : 1.

Mempersiapkan rencana dan melaksanakan pemberian hak milik serta

penyelesaian sertipikatnya kepada para petani penggarap tersebut. 2. Melaporkan

hasil pelaksanaannya kepada Menteri Dalam Negeri cq. Direktur Jenderal

Agraria. 175

D. Pedoman Pengosongan Tanah Garapan Rakyat Dalam Areal

Perkebunan

Gubernur /Ketua Panitia Landreform Propinsi Sumatera Utara dalam surat No.

961/RL/I/69, tanggal 26 September 1969, Perihal Pedoman Pengosongan tanah

garapan rakyat dalam areal perkebunan. 176 Pada pokoknya memberitahukan agar

terdapat keseragaman dalam tata cara mengambil langkah-langkah/tindakan-

tindakan yang berhubungan dengan pengosongan tanah garapan rakyat yang

dilindungi oleh sesuatu undang-undang maupun peraturan di dalam areal

perkebunan, maka hendaklah mempedomani hal-hal sebagai berikut :

a. Bahwa pengosongan dilakukan terlebih dahulu dengan dimusyawarahkan

dengan sebaik-baiknya dengan pihak rakyat penggarap yang bersangkutan

175
Salinan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. Sk.44/DJA/1981, Ditetapkan di
Jakarta, pada tanggal, 16 April 1981 ,A.n. Menteri Dalam Negeri, Direktur Jenderal Agraria, ttd.
Daryono.
176
Surat Guberur/Ketua Panitia Landreform Sumatera Utara No. 961/LR/I/69 tanggal 26
September 1969, Perihal: Pedoman Pengosongan tanah garapan rakyat dalam areal Perkebunan,
ditujukan kepada : 1. Bupati/Ketua Panitia Landreform Kabupaten Langkat di Binjai, 2. Bupati
/Ketua Panitia Landreform Kabupaten Deli Serdang di Medan, 3. Bupati/Ketua Paniatia
Landreform Kabupaten Simalingun di P. Siantara, 4. Bupati/Ketua Panitia Landreform Kabupaten
Asahan di Kisaran, 5. Bupati/Ketua Panitia Landreform Kabupaten Labuhan Batu di Rantau
Prapat, dalam lampiran surat Ilham Taufik, Kelompok Tani Sukses Mandiri, Kuasa 197 KK Warga
Desa Sei Putih, Berkas surat tanggal 25 Januari 2005, mohon pengembalian tanah seluas 345,56 ha
di Desa Sei Putih, yang dikuasai PTPN III Kebun Sei Putih, Kecamatan Galang, Kabupaten Deli
Serdang, Propinsi Sumatera Utara, ditujukan kepada Kepala BPN Pusat di Jakarta

Universitas Sumatera Utara


dengan memberikan penjelasan dan penerangan mengenai urgensinya

tanah garapan itu perlu dikosongkan dari garapan rakyat untuk dapat

dipergunakan pihak Perkebunan.

b. Kepada pihak penggarap diberitahukan semua fasilitas ganti rugi dan

penampungan sesuai dengan ketentuan peraturan-peraturan yang ada yang

akan diterima mereka sebagai akibat dari pengosongan tanah garapannya.

c. Sesudah diberikan penerangan yang meluas kepada pihak penggarap,

maka persoalan pengosongan tanah garapan dimaksud dibicarakan dalam

rapat Panitia Landreform Kabupaten untuk mendapat pertimbangan

penyelesaian dengan memperhatikan kepentingan rakyat disatu pihak dan

memperhatikan kepentingan perkebunan dilain pihak selanjutnya

keputusan Panitia Landreform Kabupaten, dilajutkan kepada Panitia

Landreform Propinsi Sumatera Utara sebagai instansi yang berwenang

dalam melanjutkan tugas-tugas BPPST dahulu sebagaimana yang

ditetapkan dengan Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria tanggal 14

Mei 1963;

Setelah ada keputusan/persetujuan dari Panitia Landreform Propinsi

Sumatera Utara dan segala fasilitas yang ditentukan sudah diterima, maka

barulah pelaksanaan dilapangan dilaksanakan.

Penyelesaian tanah garapan didalam areal PNP-V Perkebunan Sei Putih

(Ujung Jawi), Musda Kecamatan Galang telah melakukan rapat dinas

tanggal 26-12-1972, jam 10.00 wib, bertempat di kantor Asisten Wedana

Kecamatan Galang mengenai penyelesaian tanah garapan kaum tani

didalam areal PNP-V Kebun Sei Putih (Ujung Jawi). Rapat dihadiri oleh:

Universitas Sumatera Utara


1) Musda Kecamatan Galang (Asisten Wedana Kecamatan Galang,

Dan Puterpra 2/0201 Galang, Dansek Polri 20215).

2) Mewakili PNP-V Sei Karang, E. Harahap.

3) Mewakili PNP-V Perkebunan Sei Putih, A.M. Hasibuan

4) Saudara Kastur mewakili para penggarap yang bersangkutan.

Hasilnya telah diperoleh kesatuan pendapat sebagai berikut:

a. Petani-Petani yang tidak dilindungi UUDarurat No. 8/1954 dibayarkan

ganti rugi tanaman 50% dari hasil cheking team tahun 1970.

b. Petani-Petani yang dilindungi UU Darurat No. 8/1954 dibayarkan ganti

kerugian tanaman 100% dari hasil chekking team tahun 1970, didahului

dengan screning Musda Kecamatan Galang guna mendapatkan penentuan

letak garapan yang sebenarnya.

Pada tanggal 28-12-1972 diadakan pertemuan kembali Musada Kecamatan

Galang dengan para penggarap yang dilindungi UU Darurat No. 8/1954

berjumpah 22 Orang untuk melaksanakan ganti kerugian tanaman sebagaimana

point 2 diatas. 177Undang-Undag No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan

Negara, Pasal 49 ayat (3) menyatakan;

Tanah dan bangunan milik Negara yang tidak dimanfaatkan untuk kepentingan

penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi instansi yang bersangkutan, wajib

177
Surat Musda Kecamatan Galang, No. 2100/3/M. Tanggal 26 Desember 1972, Ichwal :
Hasil rapat dinas anggal 26-12-1972, ditujukan kepada Direksi PNP-V Seikarangdalam lampiran
surat Ilham Taufik, Kelompok Tani Sukses Mandiri, Kuasa 197 KK Warga Desa Sei Putih, Berkas
surat tanggal 25 Januari 2005, mohon pengembalian tanah seluas 345,56 ha di Desa Sei Putih,
yang dikuasai PTPN III Kebun Sei Putih, Kecamatan Galang, Kabupaten Deli Serdang, Propinsi
Sumatera Utara, ditujukan kepada Kepala BPN Pusat di Jakarta
,

Universitas Sumatera Utara


diserahkan pemenfaatannya kepada Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota

untuk kepentingan penyelenggaraan tugas pemerintahan negara/daerah.

Pasal 42; Menteri Keuangan mengatur pengelolaan barang milik negara

PP 224 TAHUN 1961 Tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah Dan Pemberian

Ganti Kerugi, Pasal 8 ayat (4);

Yang dimaksud dengan “penggarap” adalah petani, yang secara sah mengerjakan

atau mengusahakan sendiri secara aktif tanah yang bukan miliknya, dengan

memikul seluruh atau sebagian dari resiko produksinya.

Berpedoman kepada PP No. 224 Tahun 1961, Pasal 8 ayat 4 tersebut penggarapan

di areal HGU PTPN III, penggarap berpeluang untuk mendapatkan tanah yang

digarap, diusahai sudah bertahun-tahun. Distribusi dapat dilakukan dengan

ketentuan harus benar-benar selektif, penggarap benar-benar petani yang

membutuhkan tanah dan berdomisili di daerah tanah garapannya. Dalam segeketa

di Kebun Sei Silau PTPN III, dapat di identifikasi melalui ketentuan tanah

terlantar dalam PP 10 Tahun 2011 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah

Terlantar dan PP No. 38 Tahun 1998, sepanjang tanah garapan berada di dalam

areal HGU. Sengketa tanah garapan di Kebun Sei Silau PTPN III tanah tidak

berada di dalam areal HGU. Hanya saja tanah sengketa berada didalam SK Hak

dengan demikian tidak dapat dikualifikasi sebagai tanah terlantar, PTPN III dalam

hal ini berusaha untuk memasukkan areal yang selama ini masuk dalam SK Hak

Tanah Kebun Sei Silau dimohonkan menjadi HGU pada saat pengurusan

perpanjangan HGU Kebun Sei Silau yang berakhir masa berlakunya tahun 2004.

Surat Keterangan Hak tidak sama dengan Sertifikat Hak Milik

Universitas Sumatera Utara


Pasal 1 huruf c, Tanah-tanah Swapraja dan bekas swapraja yang telah beralih

kepada Negara sebagai yang dimaksud dalam Diktum Keempat huruf A UUPA

No. 5 Tahun 1960.

Diktum Keempat UUPA No. 5 Tahun 1960 huruf A; Hak-hak dan wewenang atas

bumi air dari Swapraja atau bekas swapraja yang masih ada pada waktu itu mulai

berlakunya UU ini hapus dan beralih kepada Negara.

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 1970 Tentang Penyelesaian

Konversi Hak-Hak Barat Menjadi Hak guna Bangunan Dan Hak Guna Usaha

yang terlampir dalam Hukum Agraria Boedi Harsono hal 132.

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1979 Tentang Pokok-Pokok Kebijaksanaan

Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 1979 Tentang Ketentuan-Ketentuan

Mengenai Permohonan Dan Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-

Hak Barat

PP No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar,

PP ini memberi harapan kepada masyarakat penggarap mendapatkan tanah yang

telah diusahai bertahun-tahun dan upaya meningkatkan kesejahteraan para petani

penggarap. PTPN akan kehilangan sebagian tanahnya dari HGU karena alasan

diterlantarkan digarap petani. Selama ini digarap karena merupakan daerah

rendahan yang dijadikan tampungan air oleh PTPN.

Objek Pertiban tanah terlantar meliputi tanah yang sudah diberikan hak oleh

Negara berupa Hak Milik, HGU, HGB, Hak pakai dan Hak Pengelolaan, atau

Universitas Sumatera Utara


dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan atau tidak

dimanfaatkan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian hak atas

dasar penguasaannya.

PP No. 38 Tahun 1998, kriteria tanah tanah yang di golongkan sebagai tanah

terlantar yaitu :

1. Tanah Hak Milik, HGU, HGB atau Hak Pakai dapat dinyatakan sebagai

tanah terlantar apabila tanah tersebut dengan sengaja tidak dipergunakan

oleh pemegang haknya sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan haknya

atau tidak dipelihara dengan baik.

2. Tanah HGU tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan

tujuan haknya sebagaimana dimaksud Pasal 3 apabila tanah itu tidak

diusahakan sesuai dengan kriteria pengusahaan tanah pertanian yang baik

sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jika hanya

sebagian dari bagian tanah HGU sebagaimana dimaksud memenuhi

kriteria terlantar, maka hanya sebagian tanah tersebut dinyatakan terlantar.

UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan Pasal 1 butir 13; Ganti rugi Hak

Atas Tanah adalah penggantian atas pelepasan atau penyerahan hak atas tanah

berikut bangunan, tanaman, dan/atau benda lainya yang terdapat di atas tanah

tersebut.

Pasal 1 butir14; Kompensasi adalah pemberian sejumlah uang kepada pemegang

hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan/atau benda lain yang terdapat di atas

tanah tersebut karena tanah tersebut digunakan secara tidak langsung untuk

pembangunan ketenagalistrikan tanpa dilakukan pelepasan.

Universitas Sumatera Utara


Penggunaan tanah oleh PT. PLN untuk pembangunan menara kabel listrik

tegangan tinggi, tanah yang diambil harus dilepas dengan ganti rugi. PT.PLN

berkewajiban memberikan ganti rugi atas tanah untuk kepentingan umum.

Terhadap tanah yang tidak digunakan bangunan tetapi menjadi lintasan kabel

listrik bertegangan tinggi, diberikan kompensasi, ketentuan ini sesuai Pasal 30 dan

31 UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.

Pasal 31 kewajiban memberi ganti rugi atau kompensasi.

Suguh hati proses penyelesaian sengketa di PTPN III tidak memberikan ganti rugi

tanah sebagaimana ketentuan dalam Keputusan Direksi No. 3.11/SKPTS/2014

Bahwa untuk menyelesaikan masalah penggarapan di areal kebun guna memenuhi

kebutuhan tanah dan optimalisasi lahan, maka PT. Perkebunan Nusantara III

(Persero) perlu melakukan kegiatan penyelesaian sengketa tanah dengan pola

Sugu Hati;

Bahwa untuk proses penyelesaian melalui jalur non-litigasi dalam bentuk

pemberian Sugu Hati dipandang cukup efektif dalam penyelesaian permasalahan

areal garapan PT. Perkebunan Nusantara III;

Bahwa untuk proses percepatan pemberian Sugu Hati kepada para penggarap

dibentuk Tim yang akan merumuskan alternatif langkah-langkah dan pola

penyelesaian serta pemberian sugu hati;

Bahwa dalam rangka menciptakan kepastian hukum diuraikan langkah

penyelesaian terhadap pelaksanaan sugu hati yang timbul di areal Kebun/ Unit PT.

Perkebunan Nusantara III;

Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud di atas, ditetapkan

Keputusan Direksi PT. Perkebunan Nusantara III (Persero) tentang

Universitas Sumatera Utara


PELAKSANAAN SUGUH HATI TERHADAP AREAL GARAPAN KEBUN/

UNIT PT. PERKEBUNAN NUSANTARA III (PERSERO).

Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Sugu Hati Bagi

Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Didalam Keputusan Direksi PTPN III,

PP tentang suguh hati dijadikan pertimbangan walaupun pelaksanaan suguh hati

di PTPN III tidak untuk kepentingan umum. Alasan PTPN III pemberian suguh

hati merupakan kompensasi terhadap ganti rugi tanaman dan bangunan diatas

tanah areal hak guna usaha, tidak ganti rugi terhadap tanah.

Universitas Sumatera Utara


BAB IV

KEGAGALAN PENYELESAIAN SENGKETA TANAH


DIAREAL HAK GUNA USAHA PERUSAHAAN
PERKEBUNAN

A. Kewenangan Negara Atas Tanah

Yang perlu diperhatikan dalam lapangan agraria adalah masalah

penguasaan tanah dan pengusahaannya (right dan use of right-nya) sehingga right

and use of right akan mendudukkan kembali letak hak atas tanah secara tepat. 178

Hak Menguasai Negara (HMN) sebagai salah satu hak atas tanah yang berdimensi

publik. Subjeknya adalah Negara maka negaratetap harus diletakkan diatas dan

mengayomi semua kegiatan atas tanah baik yang dilakukan pemerintah, atau

pemerintah bersama rakyat dan rakyat dengan rakyat. Hak menguasai Negara

akan menimbulkan persoalan agraria jika pemerintah menjalankan secara

sewenang- wenang, menciptakan jurang kepemilikan antara pemilik modal

dengan rakyat yang tidak mempunyai uang. Kewenangan Negara memang tetap

harus kuat dalam membuat aturan dan menjalankan aturan serta mengawasi semua

perbuatan hukum di atas tanah. HMN yang benar untuk dimaknai mengayomi

tanah-tanah milik bangsanya maka akan menciptakan keharmonisan dalam

penguasaan dan pengusahaan tanah,demikian menurut Mohammad Yamin Lubis.

Di Indonesia masalah-masalah tanah harus diselesaikan dengan menyatukan sikap

dan tindakan dari para pejabat penyelenggara negara dalam hal ini eksekutif,

legislatif dan yudikatif. Tidak menentukan sikap dan tindakan sendiri-sendiri bila

178
Muhammad Yamin Lubis, UUPA & Hak Rakyat, harian Waspada, 24 September 2014, hal
B7

Universitas Sumatera Utara


ingin menyelesaikan sengketa tanah yang terjadi di masyarakat perkebunan.

Masalah tanah bukan merupakan masalah daerah, namun seharusnya menjadi

masalah nasional, masalah bangsa dan Negara, karena masalah tanah terjadi di

seluruh Indonesia. Penyelesaian sengketa tanah antara Perkebunan PTPN dengan

masyarakat penggarap harus dipahami bahwa keterlibatan Instansi Pemerintah

Pusat sangat dominan ikut berperan. Eksistensi bentuk badan usaha PTPN berada

didalam kewenangan Kementerian BUMN, maka untuk pelepasan asset dalam hal

ini tanah, harus persetujuan Menteri BUMN, sedangkan untuk pemberian

perpanjangan hak guna usaha untuk dijadikan areal perkebunan berada di

Kementerian Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional. Selanjutnya masih ada

beberapa Kementrian terkait berhubungan dengan penyelesaian sengketa tanah

garapan tersebut. Kenyataannya sampai saat ini penyelesaian sengketa tanah

garapan di perkebunan belum ada menemukan titik terangnya sehingga belum

dapat diselesaikan dengan tuntas, disinilah pokok permasalahan untuk mengurai

carut-marut tanah garapan di perkebunan PTPN.

Dalam praktik kenegaraan khususnya dibidang agraria, selain memiliki

kekuasaan pemberian izin dan hak membuat peraturan. Negara memiliki tugas dan

kewajiban terhadap tanah. Tugas dan kewajiban terhadap tanah tersebut adalah

sebagai berikut :

1. Mengamankan milik privat dan badan usaha jangan dialihkan kepihak lain;

Dalam Hukum Tanah Nasional, tidak ada kebebasan dalam pemindahan

hak atas tanah, karena bagi setiap hak atas tanah ditentukan syarat-syarat

yang harus dipenuhi Subyeknya. Misalnya untuk hak milik subyeknya

harus berstatus Warga Negara Indonesia tunggal dan badan-badan hukum

Universitas Sumatera Utara


yang ditunjuk oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan yang diatur di

dalam UUPA, Pasal 21 ayat (1),(2) dan (4) dan Peraturan Pemerintah No.

38 Tahun 1963. Dalam rangka Hak Bangsa dan Hak Menguasai dari

Negara, tidak ada tanah yang merupakan “res nullius”, yang setiap orang

dengan leluasa dapat menguasai dan menggunakannya. Menguasai tanah

tanpa ada landasan haknya yang diberikan oleh Negara atau tanpa ijin

pihak yang mempunyainya tidak dibenarkan, bahkan diancam dengan

sanksi pidana (Undang-Undang Nomor 51 Prp 1960 dan Undang-Undang

No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan).

2. Untuk peralihan hak atas tanah menjadi kewajiban Negara harus sesuai

dengan ketentuan aturan secara benar. Hak Menguasai dari Negara

meliputi semua tanah dalam wilayah Republik Indonesia, baik tanah-tanah

yang tidak atau belum maupun yang sudah dihaki dengan hak-hak

perorangan. Tanah-tanah yang yang sudah dipunyai dengan hak-hak atas

tanah primer, disebut tanah-tanah hak, dengan sebutan nama haknya,

misalnya tanah Hak Milik, tanah Hak Guna Usaha dan lain-lainnya. Dalam

UUPA sebutan/istilah tanah-tanah Negara.

UUPA Pasal 10 menyatakan; Tidak mewajibkan pemilik tanah untuk

melepaskan tanahnya kepada orang yang sekarang menggarap, pasal ini

hanya mewajibkan pada waktunya dikerjakan sendiri oleh yang empunya.

Selajutnya pada Pasal 11, menegaskan tidak ada perbedaan, dalam arti

diberikan jaminan bagi perlindungan bagi golongan yang ekonomi

lemah 179. Diadakan pengawasan terhadap pemindahan hak milik atas tanah

179
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia . 2008, Penerbit Djambatan, Jakarta, hlm 274-
275

Universitas Sumatera Utara


dan larangan terhadap pemindahan kepada orang yang bukan Warga

Negara Indonesia tunggal, atau badan hukum yang disebut di atas (Pasal

26). Penguasaan dan penggunaan tanah yang dilandasi hak tersebut

dilindungi hukum, bukan saja terhadap gangguan dari sesama warga, tetapi

juga terhadap gangguan dari Penguasa sekalipun, jika gangguan tersebut

tanpa ada dasar hukumnya. Untuk menanggulangi gangguan tersebut

disediakan sarananya melalui gugatan perdata pada Peradilan Umum atau

melalui tindakan administratif dan pidana melalui Undang-Undang Nomor

51/Prp/1960, serta Undang-Undang No. 39 Tahun 2014 tentang

Perkebunan.

Hak Menguasai dari Negara tidak dapat dipindahkan kepada pihak lain,

tetapi pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah dan

masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang hal itu diperlukan dan tidak

bertentangan dengan kepentingan Nasional sebagai tugas pembantuan bukan

otonomi. Tugas pembantuan dalam pelaksaan yang dilimpahkan kepada

Pemerintah Daerah yaitu wewenang mengatur dan menyelenggarakan perutukan,

penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah. Wewenang mengatur misalnya

berkaitan dengan perencanaan pembangunan daerah.

Wewenang penyelenggaraan misalnya berupa tindakan pematangan tanah,

untuk disiapkan guna pembangunan perumahan rakyat, industri dan lain

sebagainya. Untuk ini sebaiknya Pemerintah daerah dapat menyelenggarakan

suatu perusahaan tanah, yang fungsinya disamping mematangkan tanah yang

tersedia ditindaklanjuti dengan penyediaan tanah bagi pihak-pihak yang

memerlukan. Dengan demikian tanah-tanah yang tersedia dapat digunakan sesuai

Universitas Sumatera Utara


dengan rencana pembangunan yang sudah ditetapkan. Sesuai dengan penjelasan

dari Pasal 2, bahwa wewenang dalam bidang agraria dapat menjadi sumber

keuangan bagi Pemerintah Daerah. Yang harus menjadi perhatian dalam

penegasannya adalah tujuan penyelenggaraan perusahaan tanah oleh Pemda titik

beratnya adalah untuk memenuhi kebutuhan publik, bukan untuk mencara

keuntungan saja. Hal ini tentunya harus diselaraskan dengan terbatasnya tanah

yang tersedia. Selanjutnya faktor lainnya seperti estimasi perhitungan

kemungkinan berhasilnya, harga yang sudah tinggi dan keterbatasan modal untuk

pembelian tanah serta biaya operasionalnya. 180

B. Lahan Sengketa Di Areal Perkebun PTPN III

Di areal perkebunan PTPN III hampir di setiap unit kebunnya ada

permasalahan tanah garapan dan yang menjadi dilematis adalah tidak jelas siapa

yang berhak untuk menguasai dengan kata lain menjadi area abu-abu sepanjang

belum ada penyelesaian sengketa antara perusahaan PTPN III dengan para

penggarap. PTPN III berkewajiban menjagakarena jangan sampai dikuasai oleh

masyarakatdan menggarap areal kebun. Perusahaan meminta publik dan penegak

hukum melihat persoalan ini di lapangan. Konsekwensi dari mengusahai lahan

PTPN III melakukan antisipasi penggarapan sebabada upaya memperluas garapan,

maka yang dilakukan PTPN III untuk memastikan lahannya benar-benar terjaga

dengan baik bebas dari garapan masyarakat.

Dihadapkan pada persoalan ini pihak yang bersengketa berharap

Pemerintah dapat memberikan jawaban yang memadai. Seandainya pemerintah

180
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia . 2008, Penerbit Djambatan, Jakarta,
hlm 274-275

Universitas Sumatera Utara


tanggap saat masalah hak guna usahaperkebunan menjadi alasan penggarap

menuntut tanah garapan di areal perkebunan mungkin akan memudahkan

penyelesaian sengketa karena akan membuat status tanah mudah untuk

diselesaikan. Penegakan hukum harus dilakukan pada saat yang sama, penerapan

sanksi tegas bagi yang melanggar hukum perlu dijalankan secara benar dan adil.

Pemerintah harus secepatnya bertindak dalam penyelesaiam sengketa

tanah di PTPN, sehingga tanah-tanah yang di garap oleh masyarakat dapat diambil

sikap kembali menjadi hak guna usaha perkebunan atau dikeluarkan sehingga

tidak menjadi sengketa yang berkepanjangan dengan masyarakat penggarap.

Tanah perkebunan PTPN III yang di garap masyarakat arealnya sangat luas dan

hampir di setiap unit kebun. 181

Luas Areal Yang Dipersengketakan

Sebelum Upaya Setelah Upaya


HGU PTPN-III
Penyelesaian Penyelesaian

Luas HGU 156.051,0789 Ha 156.051,0789 Ha

Luas Areal Sengketa 3.546,9900 Ha 874,0900 Ha

Dikembalikan Ke Negara 2.796,5100 Ha 2.796,5100 Ha

Diselesaikan 0 Ha 2.672,9000 Ha

Luas Area Yang dikuasai 149.707,5789 Ha 152.380,4789 Ha

PTPN III

Sumber : PTPN-III Bagian Hukum dan Agraria, 2013

181
Lihat data permasalahan tanah garapan di PTPN III tahun 2013, sumber Kantor Direksi,
Bagian Hukum Dan Agraria

Universitas Sumatera Utara


Faktor penyebab belum berhasil menyelesaikan sengketa tanah di

perkebunan PTPN yaitu:

Pertama, Cara pandang yang keliru bahwa perkebunan dilihat sebagai

perusahaan dalam arti sebagai badan usaha dengan tujuan mendapatkan

keuntungan saja. Seharusnya PTPN dipandang sebagai suatu perusahaan yang

modal usahanya berasal dari negara, tanahnya merupakan tanah negara. Sehingga

secara internal maupun eksternal PTPN harus dipelihara keberadaannya agar

mampu memberikan kesejahteraan kepada masyarakat. 182 Permasalahan tanah

yang terjadi di beberapa daerah di perkebunan PTPN III, dimana luas tanah yang

bersengketa mencapai 3759,58 hektar. 183

Kedua, Istilah tanah terlantar dan tidak diusahai, masyarakat memandang

perkebunan tidak mengusahai lahan secara optimal, lahannya diterlantarkan lalu

masyarakat masuk keareal kebun mengarap di areal hak guna usaha perkebunan.

Sesungguhnya areal yang tidak diusahai perkebunan itu merupakan lahan sebagai

tampungan air dan ada yang merupakan lahan perengan berupa tebing sehinggai

secara kultur teknis tidak ditanami. Kondisi areal ini sudah digarap masyarakat

dengan masa waktu bertahun-tahun.

Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan

Pendayagunaan Tanah Terlantar, memberi harapan kepada masyarakat penggarap

mendapatkan tanah yang telah diusahai bertahun-tahun dan upaya meningkatkan

kesejahteraan para petani penggarap. Andaikata benar tanah diterlantarkan maka

PTPN akan kehilangan sebagian tanahnya dari HGU karena alasan diterlantarkan
182
Wawancara dengan karyawan PTPN III, dalam pandangan sengketa tanah garapan diareal
HGU dan usaha penyelesaianya, 2015
183
Data permasalahan tanah garapan di PTPN III tahun 2013, Kantor Direksi PTPN III,
Bagian Hukum Dan Agraria

Universitas Sumatera Utara


yang digarap petani. Objek Penertiban tanah terlantar meliputi tanah yang sudah

diberikan hak oleh Negara, yaitu berupa Hak Milik, HGU, HGB, Hak pakai dan

Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak

dipergunakan atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan

pemberian hak atas dasar penguasaannya.

PP No. 38 Tahun 1998, mengatur kriteria tanah tanah yang di golongkan

sebagai tanah terlantar yaitu :

1. Tanah Hak Milik, HGU, HGB atau Hak Pakai, dapat dinyatakan sebagai

tanah terlantar apabila tanah tersebut dengan sengaja tidak dipergunakan

oleh pemegang haknya sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan haknya

atau tidak dipelihara dengan baik.

2. Tanah HGU tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan

haknya sebagaimana dimaksud Pasal 3 apabila tanah itu tidak diusahakan

sesuai dengan kriteria pengusahaan tanah pertanian yang baik sesuai

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jika hanya sebagian

dari bagian tanah HGU sebagaimana dimaksud memenuhi kriteria terlantar,

maka hanya sebagian tanah tersebut dinyatakan terlantar.

Tabel dibawah ini menunjukkan beberapa areal perkebunan PTPN III yang

tanahnya masih bermasalah, digarap oleh masyarakat, secara keseluruhan

jumlahnya mencapai 3.759,58 hektar.

TABEL PERMASALAHAN TANAH TANAH GARAPAN DI PTPN III

AREAL YANG Penyebab Konflik Upaya Penyelesaian

BERMASALAH

Universitas Sumatera Utara


No. Unit Kebun Ha

1 Gunug 611,54 Ditanami Palawija oleh Suguh hati,


masyarakat
Pamela Pengembalian

Sukarela dan Jalur

Hukum

2 Gunug 137,20 Ditanami tanaman keras oleh Pendekatan Utk


masyarakat
Monako Suguh hati

3 Silau Dunia 647,83 Ditanami tanaman keras oleh Pendekatan Utk


masyarakat
Suguh hati dan jalur

Hukum

4 Gunung 9,14 Areal saat ini telah berdiri Pendekatan Utk


perumahan permanen/semi
Para Suguh hati
permanen

5 Sei Putih 345,56 Ditanami ubi kayu oleh Pendekatan Utk


masyaakat
Suguh hati, Proses

Hukum

6 Pulau 2,00 Areal rendahan sebagai Jalur Hukum dalam


resapan air digarap
Mandi Proses Peradilan
masyarakat

7 Sarang 76,21 Ditanami Palawija oleh Jalur Hukum dalam


masyarakat
Giting Proses Peradilan

8 Rambutan 82 Ditanami tanaman keras dan Pendekatan UtkSuguh


bangunan oleh masyarakat
hati

9 Bangun 697,88 Ditanami tanaman keras dan Proses Tindak Lanjut


bangunan oleh masyarakat
Izin Pelepasan Asset

Universitas Sumatera Utara


10 Bandar 280,40 KTBR & KOREKER : Jalur Hukum Dalam
Ditanami ubi kayu/palawija
Betsy Proses Peradilan
12,00 Panadu/Petengan : Ditanami

tanaman keras

11 Ambalutu 40,86 Ditanami Kakao dan Kelapa Pendekatan Utk


Sawit oleh masyarakat
Suguh hati

12 Huta 2,93 Ditanami tanaman keras oleh Pendekatan Utk


masyarakat
Padang Suguh hati

13 Sei Silau 1130,90 Ditanami tanaman keras dan Pendekatan Utk


palawija oleh masyarakat
Suguh hati

14 Merbau 158,22 Diduduki/dikuasai oleh Pendekatan Utk


masyarakat
Selatan Suguh hati

15 Rantau 49,57 Ditanami tanaman keras oleh Pendekatan Utk


masyarakat
Prapat Suguh hati

16 Aek 49,57 Rumah Dinas dan Penyelesaian di


penyerobotan tanh HGU
Nabara serahkan ke DATUN

Utara KEJATISU

17 Batang 278,93 Areal Bermasalah dengan Pendekatan dalam


penduduk dan masyarakat
Toru musyawarah

Jumlah 3.759,58

Sumber: PTPN III Bagian Hukum & Agraria 2013

Penyelesaian sengketa tanah garapan perkebunan di PTPN III ditempuh

dengan melalui proses pengadilan (litigation) maupun dengan cara musyawarah di

luar pengadilan (non-litigation).

Universitas Sumatera Utara


C. Penyelesaian Sengketa Dengan Cara Non- Litigasi

Penggunaan lembaga mediasi sebagai suatu alternatif penyelesaian

sengketa dengan cara Non-litigasi dalam praktek semakin diminati dan bahkan

menjadi sumber inspirasi bagi pembuat kebijakan untuk mengadopsinya dalam

sistem peradilan yang dikenal dengan court connected mediation.

Guna pemahaman yang komprehensip dan mendukung bagi pembahasan dan

pengkajian tentang penggunaan lembaga mediasi dimaksud, diperlukan

pemaparan kaidah-kaidah hukum yang meliputinya antara lain perihal pihak-pihak

yang terlibat dalam proses mediasi dan peran masing-masing, proses mediasi,

negosiasi dalam mediasi, jenis-jenis klausul mediasi dan kekuatan mengikatnya

serta kelemahan-kelemahan yang terkandung di dalamnya.

Terjadinya sengketa terbuka kemungkinan dalam setiap hubungan hukum,

terutama disebabkan keadaan di mana pihak yang satu dihadapkan pada

kepentingan yang berbeda dengan pihak lainnya. Ini berarti dalam setiap sengketa

terdapat adanya pihak-pihak yang sebelumnya sudah terlibat dalam suatu

hubungan hukum tertentu, kemudian menjadi pihak-pihak yang terlibat dalam

sengketa yang terjadi dan saling berhadapan karena perbedaan kepentingan.

Pihak-pihak inilah yang menjadi para pihak dalam suatu proses mediasi.

Para pihak yang terlibat dalam proses mediasi adalah para pihak yang

terlibat dalam suatu sengketa bersama dengan pihak ketiga yang netral (mediator).

Para pihak dalam suatu sengketa adalah orang-orang atau badan hukum lainnya

yang oleh hukum dinyatakan sebagai subyek hukum yang merupakan penyandang

hak dan kewajiban menurut hukum. Para pihak yang terlibat dalam proses

mediasi, sebagaimana lazimnya para pihak yang terlibat dalam suatu sengketa

Universitas Sumatera Utara


yang diajukan ke pengadilan, dapat saja terdiri dari dua pihak atau lebih,

tergantung pada kompleksitas sengketa yang dihadapinya. Pihak-pihak yang

berhadapan dalam suatu sengketa, pada umumnya sering disebut sebagai Pihak

kesatu, Pihak kedua dan Pihak ketiga lainnya.

Dalam praktek jumlah pihak yang terlibat dalam mediasi sangat penting,

karena apabila jumlah pihak yang terlibat dalam suatu sengketa semakin

bertambah, maka upaya untuk mencapai kesimpulan/kesepakatan yang dapat

disetujui bersama akan semakin sulit. Oleh karena itu, kualitas dan gaya mediasi

juga sangat dipengaruhi oleh jumlah peserta dari masing-masing pihak yang

terlibat. Situasi perundingan yang paling sederhana dalam proses mediasi,

walaupun tidak selalu yang paling mudah, adalah antara dua individu.

Suatu perundingan dalam proses mediasi akan mempunyai kualitas yang

berbeda-beda tergantung pada apakah mereka yang terlibat dalam perundingan itu

bertindak atas nama mereka sendiri ataukah bertindak sebagai wakil, misalnya

Manager personalia berunding atas nama perusahaaannya dan Pengurus

Kelompok Tani bertindak untuk dan atas nama anggotanya. Secara umum mereka

kurang bebas karena peran mereka hanyalah sebagai wakil dari masing-masing

pihak yang memberikan wewenang untuk bertindak. Kebebasan seorang

perunding yang bertindak sebagai wakil para pihak tergantung pada seberapa

besar dan seberapa luas kewenangan yang diberikan/didelegasikan kepadanya

oleh pihak yang bersengketa (principal).

Ada keuntungan dan kerugian untuk kedua peran tersebut. Peran langsung,

di mana pihak yang bersengketa menghadiri langsung perundingan, akan

memungkinkan pencapaian keputusan yang lebih cepat dan pasti, karena si

Universitas Sumatera Utara


perunding adalah pemegang penuh hak dan kewenangan, tetapi peran langsung ini

merupakan posisi terbuka tanpa adanya kesempatan untuk mundur. Peran sebagai

wakil/kuasa, jika wewenang terlalu dibatasi, mungkin mengurangi kredibilitas si

perunding, tetapi memberikan kesempatan untuk mendapatkan waktu mengacu

kembali untuk arah baru, dan menawarkan kemungkinan untuk memecahkan jalan

buntu dengan mengalihkan negosiasi ke arena baru yang lebih tinggi. Sebaliknya,

jika wewenang tidak dibatasi, kemungkinan si perunding untuk melakukan

tindakan fatal yang dapat merugikan pihak pemberi kuasa terbuka lebar, sehingga

hasil perundingan tidak memberi kepuasan bagi para pihak.

Setiap pihak yang terlibat dalam mediasi berperan penting dalam

memberikan presentasi suatu outline singkat tentang masalah yang terjadi kepada

mediator secara bergantian. Tujuan dari presentasi ini adalah untuk memberikan

kesempatan kepada para pihak untuk didengar sejak dini, dan juga memberi

kesempatan setiap pihak mendengarkan permasalahan dari pihak lainnya secara

langsung, sehingga mendorong terciptanya pemahaman para pihak atas

kepentingan pihak lainnya.

Salah satu pihak yang terlibat dalam mediasi adalah pihak ketiga yang

netral yaitu Mediator. Biasanya mediator adalah orang yang ahli dalam bidang

yang didiskusikan/disengketakan atau ahli dalam bidang hukum karena

pendekatan yang difokuskan adalah pada hak. Mediator adalah pihak ketiga yang

bersifat netral dan tidak memihak yang berfungsi membantu para pihak dalam

mencari kemungkinan penyelesaian sengketa.

Sebagai “penengah” atau pihak ketiga yang netral dalam proses mediasi,

mediator adalah untuk “membantu” para pihak dalam menyelesaikan sengketa

Universitas Sumatera Utara


yang dihadapinya. Seorang mediator akan membantu para pihak untuk

membingkai persoalan yang ada agar menjadi masalah yang perlu dihadapi secara

bersama. Secara umum mediator tidak membuat keputusan, mediator hanya

membantu dan memfasilitasi para pihak yang bersengketa untuk merumuskan

pelbagai opsi pilihan penyelesaian sengketa yang dapat diterima oleh kedua belah

pihak, sehingga untuk mencapai hasil yang maksimal, seorang mediator, di

samping memiliki kemampuan sebagai seorang mediator, juga harus dapat

menguasai tehnik-tehnik mediasi secara baik.

Dalam proses mediasi, mediator berusaha untuk menyelesaikan akar

permasalahannya walaupun tidak secara keseluruhan, sehingga di samping

sengketa dapat diselesaikan, juga para pihak yang terlibat benar-benar merasa

puas karena kepentingan mereka terlindungi serta hubungan baik di antara mereka

tetap berlanjut. Peran utama yang mesti dijalankan oleh seorang mediator adalah

“membantu” mempertemukan kepentingan-kepentingan yang saling berbeda di

antara para pihak bersengketa dalam suatu perundingan (negosiasi), agar

mencapai titik temu yang dapat dijadikan sebagai dasar pemecahan masalah.

Guna memahami istilah “membantu” di sini, akan dijelaskan dengan

menguraikan tentang peran (role) atau fungsi (functions) mediator yaitu dengan

mendeskripsikan kerja, tugas dan kedudukan dari mediator di dalam proses

negosiasi. Seorang mediator membantu para pihak memahami pandangan masing-

masing dan membantu mencari persoalan-persoalan yang dianggap penting bagi

para pihak. Mediator mempermudah pertukaran informasi, mendorong diskusi

mengenai perbedaan-perbedaan kepentingan, persepsi, penafsiran terhadap situasi

Universitas Sumatera Utara


dan persoalan-persoalan dan menitik beratkan pembahasan mengenai tujuan dan

kepentingan umum.

Mediator akan sering bertemu dengan para pihak secara pribadi dalam

pertemuan yang disebut caucus yaitu pertemuan mediator dengan salah satu pihak

tanpa dihadiri oleh pihak lainnya, di mana mediator akan lebih leluasa

memperoleh informasi dari pihak yang tidak bersedia saling membagi informasi.

Dengan pertemuan terpisah (caucus) ini, mediator sebagai wadah informasi antara

para pihak, akan mempunyai lebih banyak informasi mengenai persoalan-

persoalan yang terjadi dibandingkan para pihak.

Oleh karena itu, seorang mediator juga harus memiliki kemampuan

mengumpulkan sebanyak mungkin informasi yang nantinya akan dipergunakan

sebagai bahan untuk menyusun dan mengusulkan pelbagai penyelesaian masalah

yang disengketakan, sehingga mediator diharapkan akan mampu menentukan

apakah terdapat dasar-dasar bagi terwujudnya suatu perjanjian/kesepakatan.

Namun mediator berkewajiban untuk merahasiakan informasi yang diberikan

kepadanya, atau dalam hal mediator memang diminta oleh pihak pemberi

informasi untuk merahasiakan informasi itu. Mediator di samping memberikan

informasi baru bagi para pihak, juga dapat membantu para pihak dalam

menganalisa sengketa guna menemukan cara-cara yang dapat diterima oleh kedua

belah pihak dalam menyelesaikan perkara.

Mediator dapat menawarkan penilaian yang netral dari posisi masing-

masing pihak, dan mengajarkan para pihak bagaimana terlibat dalam negosiasi

pemecahan masalah secara efektif, menilai alternatif-alternatif dan menemukan

pemecahan yang kreatif terhadap sengketa mereka. Dengan demikian seorang

Universitas Sumatera Utara


mediator tidak hanya berperan sebagai penengah belaka yang hanya bertindak

sebagai penyelenggara dan pemimpin diskusi saja, tetapi juga berperan membantu

para pihak untuk mendesain peyelesaian sengketanya, sehingga dapat

menghasilkan kesepakatan bersama. Pada akhirnya mediator juga membantu para

pihak dalam merumuskan kesepakatan bersama sebagai solusi penyelesaian

masalah yang juga akan ditindaklanjuti secara bersama pula.

Howard Raiffa. 184 melihat peran mediator sebagai sebuah garis rentang,

yakni dari sisi peran yang terlemah hingga sisi peran yang terkuat. Sisi peran

terlemah adalah apabila mediator hanya melaksanakan peran-peran sebagai

berikut:

1. Penyelenggara pertemuan.

2. Pemimpin diskusi yang netral.

3. Pemelihara atau penjaga aturan-aturan perundingan agar perdebatan

dalam proses perundingan berlangsung secara beradab.

4. Pengendali emosi para pihak.

5. Pendorong pihak atau peserta perundingan yang kurang atau segan untuk

mengungkapkan pandangannya.

Sisi peran yang kuat diperlihatkan oleh mediator, apabila mediator

bertindak atau mengerjakan hal-hal sebagai berikut dalam proses perundingan:

1. Mempersiapkan dan membuat notulen perundingan.

2. Merumuskan atau mengartikulasikan titik temu atau kesepakatan para

pihak.

184 Howard Raiffa. Einfuhrung in die Entscheidungstheorie: Das amerikanische


Original ubersetzte armin Mucha. Walter de Gruyter Gmbh & Co Kg. Jerman 1973

Universitas Sumatera Utara


3. Membantu para pihak agar menyadari bahwa sengketa bukan sebuah

pertarungan untuk dimenangkan tetapi untuk diselesaikan.

4. Menyusun dan mengusulkan alternatif-alternatif pemecahan masalah.

5. Membantu para pihak untuk menganalisis alternatif-alternatif pemecahan

masalah tersebut.

Sedangkan Kimberlee K. Kovach 185 menyebutkan peran mediator

mencakup hal-hal sebagai berikut:

1. Mengarahkan komunikasi di antara para pihak.

2. Memfasilitasi atau memimpin proses perundingan.

3. Mengevaluasi kemajuan proses perundingan.

4. Membantu para pihak untuk mempelajari dan memahami pokok masalah

dan berlangsungnya proses perundingan secara baik.

5. Mengajukan usul atau gagasan tentang proses dan penyelesaian sengketa.

6. Mendorong para pihak ke arah penyelesaian.

7. Mendorong kemampuan diri dan pemberdayaan para pihak untuk

melaksanakan proses perundingan.

8. Mengendalikan jalannya proses perundingan.

Sedangkan Leonard L. Riskin dan James E. Westbrook menyebutkan

peran mediator sebagai berikut 186:

1. mendesak para juru runding agar setuju atau berkeinginan untuk berbicara.

2. membantu para peserta perundingan untuk memahami proses mediasi.

3. membawa pesan para pihak.

4. membantu para juru runding untuk menyepakati agenda perundingan.

185 http://www.kimkovach.com/pg1.cfm diakses tanggal 4 Februari 2016


186 Dalam Nazarkhan Yasin. Mengenal klaim konstruksi & penyelesaian sengketa
konstruksi. Gramedia Hal. 138

Universitas Sumatera Utara


5. menyusun agenda.

6. menyediakan suasana yang menyenangkan bagi berlangsungnya proses

perundingan.

7. memelihara ketertiban perundingan.

8. membantu para juru runding untuk memahami masalah.

9. melarutkan harapan-harapan yang tidak realistis.

10. membantu juru runding untuk melaksanakan perundingan.

11. membantu juru runding agar menerima sebuah penyelesaian tertentu.

Fuller dalam Riskin and Westbrook menyebutkan tujuh fungsi mediator

yaitu sebagai : catalyst, educator, translator, resource person, bearer of bad

news, agent of reality, dan scapegoat 187.

1. Sebagai “katalisator”, mengandung pengertian bahwa kehadiran mediator

dalam proses perundingan mampu mendorong lahirnya suasana yang

konstruktif bagi diskusi.

2. Sebagai “pendidik” berarti seseorang harus berusaha memahami aspirasi,

prosedur kerja, keterbatasan politis, dan kendala usaha dari para pihak.

Oleh sebab itu, ia harus berusaha melibatkan diri dalam dinamika

perbedaan di antara para pihak.

3. Sebagai “penerjemah”, berarti mediator harus berusaha menyampaikan

dan merumuskan usulan pihak yang satu kepada pihak yang lainnya

melalui bahasa atau ungkapan yang baik dengan tanpa mengurangi

sasaran yang dicapai oleh pengusul.

187 Ibid hal. 138

Universitas Sumatera Utara


4. Sebagai “nara sumber” berarti seorang mediator harus mendayagunakan

sumber-sumber informasi yang tersedia.

5. Sebagai “penyandang berita jelek”, berarti seorang mediator harus

menyadari bahwa para pihak dalam proses perundingan dapat bersikap

emosional. Untuk itu mediator harus mengadakan pertemuan terpisah

dengan pihak-pihak terkait untuk menampung berbagai usulan.

6. Sebagai “agen realitas”, berarti mediator harus berusaha memberi

pengertian secara jelas kepada salah satu pihak bahwa sasarannya tidak

mungkin/tidak masuk akal tercapai melalui perundingan.

7. Sebagai “kambing hitam”, berarti seorang mediator harus siap disalahkan,

misalnya dalam membuat kesepakatan hasil perundingan.

Fungsi mediator untuk “mendidik” atau memberi wawasan kepada para

pihak tentang proses perundingan adalah untuk mencegah sikap salah satu atau

para pihak yang sangat kompetitif. Proses perundingan yang sangat kompetitif

mengandung resiko, bahwa proses perundingan berakhir pada jalan buntu.

Kehadiran mediator sebagai “pendidik” sangat diperlukan dalam proses

perundingan. Hal ini dapat dilakukan oleh mediator dengan menyarankan kepada

para pihak untuk mengkaji kepentingan para pihak secara bersama-sama dan

mengemukakan beberapa pemecahan masalah untuk mengatasi perbedaan

kepentingan yang timbul.

Mediator dapat juga mengemukakan saran tentang substansi pemecahan

masalah selain tentang proses perundingan itu sendiri. Setelah secara aktif

mendengarkan pernyataan para pihak, mediator barangkali dapat memahami

kepentingan para pihak, dan kemudian mengemukakan usulan-usulan pemecahan

Universitas Sumatera Utara


masalah yang belum diidentifikasi oleh para pihak itu sendiri. Biasanya, seorang

mediator tidak cepat-cepat mengemukakan usulan-usulan tentang substansi,

karena bagaimanapun seorang mediator harus menyadari bahwa peran yang

terlalu aktif dalam hal substansi mengandung resiko, yaitu bahwa hasil akhir atau

kesepakatan dapat dipandang oleh para pihak atau oleh salah satu pihak bukan

sebagai hasil pemikiran mereka sendiri, tetapi pemikiran si mediator, sehingga

para pihak atau salah satu pihak tidak sepenuh hati menerima hasil akhir atau

kesepakatan yang dicapai.

Untuk membantu proses penyelesaian sengketa, seorang mediator dapat

menggunakan beberapa tehnik, sebagai berikut :

1. Membangun kepercayaan.

2. Menganalisis konflik.

3. Mengumpulkan Informasi.

4. Berbicara dengan jelas.

5. Mendengarkan dengan penuh perhatian.

6. Meringkas/merumuskan ulang pembicaraan para pihak.

7. Menyususn aturan perundingan.

8. Mengorganisir pertemuan perundingan.

9. Mengatasi emosi para pihak.

10. Memanfaatkan “Caucus/Bilik Kecil” .

11. Mengungkapkan kepentingan yang masih tersembnyi.

12. Membujuk para pihak/Salah satu pihak “BATNA” (Best Alternative To a

Negotiated Agreement)

13. Menyusun kesepakatan, dan lain-lain.

Universitas Sumatera Utara


Dilihat dari sisi pihak yang bersengketa, pihak yang terlibat dalam suatu

sengketa cenderung menghubungi penasihat hukum adalah untuk menggugat atau

bertarung di pengadilan, bukan untuk suatu penyelesaian di luar pengadilan.

Sementara bila dilihat dari sisi penasihat hukum kecenderungannya memandang

penyelesaian sengketa melalui mediasi adalah tidak menguntungkan secara

materil, karena waktu penyelesaian yang relatif singkat akan mengakibatkan

berkurangnya jumlah fee yang diperoleh, dibandingkan apabila penyelesaian

sengketa dilakukan melalui proses litigasi yang cenderung memakan waktu lama,

sehingga memungkinkan penasihat hukum mendapatkan sejumlah fee yang lebih

besar. Hal ini menyebabkan banyak penasihat hukum yang enggan menganjurkan

kliennya untuk menempuh mediasi. Mereka beranggapan bahwa dengan

menganjurkan mediasi, merupakan indikasi kekurangyakinan penasihat hukum

terhadap kasus tersebut.

Menurut Leonard L. Riskin dan James E. Westbrook 188, ada beberapa

hambatan untuk melibatkan penasihat hukum dalam proses alternatif (mediasi).

yaitu:

1. Banyak penasihat hukum yang belum terbiasa dengan proses alternatif.

Mereka kebanyakan hanya sedikit memahami metode-metode alternatif,

karena mereka kekurangan pendidikan atau tidak mempunyai minat

terhadap metode tersebut.

2. Ketakutan terhadap ketidaktahuan dan kekuatiran bahwa mereka mungkin

hanya mendapatkan sedikit uang atau kehilangan kontrol, jika mereka

terlibat dalam proses alternatif.

188 Opcit

Universitas Sumatera Utara


3. Karena kebanyakan penasihat hukum memandang peranan utama mereka

adalah sebagai advokat. Problem dasar yang berpengaruh di sini adalah

perspektif adversarial (berlawanan). Hal ini sering menjauhkan fungsi

penasihat hukum dalam penetapan pendekatan pemecahan masalah yang

tepat.

Peranan penasihat hukum tidak terbatas hanya pada menyarankan agar

kliennya menempuh mediasi, tetapi juga selama proses mediasi berlangsung. Pada

saat mediasi berlangsung, penasihat hukum dapat memberikan nasihat hukum

mengenai aspek-aspek hukum yang berhubungan dengan masalah-masalah yang

dinegosiasikan. Pada akhirnya, peranan utama penasihat hukum akan terlihat

dalam menyusun rumusan dan/atau dalam pelaksanaan hasil kesepakatan akhir.

Lembaga mediasi sebagai suatu proses yang tumbuh dan berkembang dari

dan karena kebutuhan praktek penyelesaian sengketa baik antar negara, kelompok,

maupun antar individu, merupakan faktor utama yang menjadikan mediasi bersifat

fleksibel dan mempunyai proses atau mekanisme atau tahapan yang berbeda-beda

satu sama lain yang selalu disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi para pihak

yang bersengketa. Oleh karena itu, dalam penggunaan mekanisme atau tahapan

proses mediasi, belum terdapat keseragaman dan pedoman yang baku di antara

para praktisi mediasi. Pada umumnya, dalam praktek penggunaan mediasi,

mekanisme atau tahapan proses mediasi dibuat berdasarkan pengalaman mereka

menjadi mediator.

Untuk menggambarkan perbedaan tersebut, di bawah ini dikemukakan

beberapa pendapat sarjana mengenai tahapan-tahapan atau mekanisme proses

Universitas Sumatera Utara


mediasi, seperti Leonard L.Riskin dan James E.Westbrook 189 membagi

mekanisme mediasi ke dalam lima tahapan, yaitu :

1. sepakat untuk menempuh proses mediasi.

2. memahami masalah-masalah.

3. membangkitkan pilihan-pilihan pemecahan masalah.

4. mencapai kesepakatan.

5. melaksanakan kesepakatan.

Sedangkan Kimberlee K. Kovach 190, membagi mekanisme mediasi dalam

sembilan tahap, yaitu :

1. penataan atau pengaturan awal.

2. pengantar atau pembukaan oleh mediator.

3. pernyataan pembukaan oleh para pihak.

4. pengumpulan informasi.

5. identifikasi masalah, penyusunan agenda, dan kaukus.

6. mengemukakan pilihan pemecahan masalah.

7. melakukan tawar menawar.

8. kesepakatan.

9. penutupan.

Sedangkan Christopher W. Moore 191 mengemukakan dua belas tahapan dalam

mekanisme mediasi, yaitu :

1. menjalin hubungan dengan para pihak yang berengketa.

2. memilih strategi untuk membimbing proses mediasi.

3. mengumpulkan dan menganalisa informasi latar belakang sengketa.

189 Ibid
190 Opcit
191 https://tommirrosandy.wordpress.com/2011/03/16/mediasi/

Universitas Sumatera Utara


4. menyusun rencana mediasi.

5. membangun kepercayaan dan kerja sama di antara para pihak.

6. memulai siding-sidang mediasi.

7. merumuskan masalah-masalah dan menyusun agenda.

8. mengungkapkan kepentingan tersembunyi para pihak.

9. membangkitkan pilihan-pilihan penyelesaian sengketa.

10. menganalisa pilihan-pilihan penyelesaian sengketa.

11. proses tawar menawar akhir.

12. mencapai penyelesaian formal.

Dari uraian tentang mediasi tersebut di atas, dapat dimengerti bahwa pada

dasarnya mediasi adalah negosiasi yang melibatkan pihak ketiga yang memiliki

keahlian mengenai prosedur mediasi yang efektif dan dapat membantu dalam

situasi sengketa untuk mengkoordinasikan aktifitas para pihak sehingga lebih

efektif dalam proses tawar menawar. Dengan perkataan lain, Mediasi dan

negosiasi bukan merupakan dua proses yang terpisah, namun lebih tepat

dikemukakan bahwa mediasi adalah negosiasi yang difasilitasi oleh pihak ketiga

yang netral. Sehingga antara negosiasi dengan mediasi sering digambarkan

dengan perkataan bila tidak ada negosiasi maka tidak ada mediasi.

Sebagaimana dikemukakan di atas, setiap intervensi dari mediator mulai

dari pertemuan pertama dengan para pihak sampai diraihnya hasil akhir memiliki

tujuan dalam batasan mensukseskan proses negosiasi di antara para pihak. Sebagai

contoh, mediator menentukan tempat perundingan dan menyiapkan lingkungan

sekelilingnya di mana negosiasi akan berlangsung. Sehingga dalam mediasi

tanggung jawab utama mediator adalah untuk menyusun dan mengatur

Universitas Sumatera Utara


perundingan (negosiasi) dan untuk merancang strategi guna mendapatkan

kemajuan menuju kesepakatan akhir.

Tahapan Negosiasi yang merupakan tahapan yang banyak memakan waktu

dalam proses Mediasi merupakan tahapan yang paling menentukan dalam

menghasilkan pergerakan menuju pencapaian kesepakatan. Dalam proses

negosiasi ini berdasarkan kesimpulan dari tahapan pencarian opsi penyelesaian,

para pihak diminta memilih opsi yang disukai untuk penyelesaian sengketa.

Beberapa pilihan yang tersedia disisihkan dari awal karena tidak layak atau tidak

memungkinkan. Opsi yang hanya menguntungkan satu pihak saja juga harus

disisihkan. Mediator bersama para pihak yang bersengketa harus mencari opsi

yang dapat diterima kedua belah pihak. Tahapan ini biasanya disebut tahap

negosiasi dalam proses mediasi.

Agar suatu negosiasi dalam mediasi dapat menghasilkan suatu

kesepakatan akhir yang dapat memuaskan bagi para pihak yang bersengketa,

diperlukan adanya syarat-syarat dalam penyelenggaraan negosiasi yang baik,

yaitu:

1. Pihak-pihak bersedia bernegosiasi secara sukarela berdasarkan kesadaran

yang penuh (willingness to negotiate );

2. Pihak-pihak siap melakukan negosiasi (preparedness);

3. Mempunyai wewenang mengambil keputusan (authoritative);

4. Memiliki kekuatan yang relative seimbang sehingga dapat menciptakan

saling ketergantungan (relative equal bargaining power);

5. Mempunyai kemauan menyelesaikan masalah (willingness to settle);

Universitas Sumatera Utara


6. Terdapat BATNA (Best Alternative To a Negotiated Agreement) yang

tidak terlalu baik.

7. Masing-masing pihak memiliki kepentingan mendesak (sence of urgency).

8. Tidak mempunyai kendala psikologis yang besar.

Bila kepentingan para pihak bertentangan dan tidak dapat ditemukan

kesepakatan yang dapat menyesuaikan kepentingan mereka, mediator dapat

membantu dengan merefrensikan perbedaan tersebut terhadap hukum dan

regulasi, kejadian yang sudah-sudah, pendapat ahli, dan lain-lain. Mungkin para

pihak juga perlu membuat trade-off, konsesi dan kompromi. Pada tahapan ini,

proses komunikasi banyak terjadi antara para pihak yang bersengketa. Namun

demikian, mediator juga harus melakukan tugas-tugas penting sebagai berikut;

• Mengarahkan interaksi para pihak.

• Menyampaikan esensi pernyataan atau proposal satu pihak dalam kalimat

yang lebih bisa diterima pihak lainnya.

• Memulai dan menjaga suasana saling bekerjasama.

• Mengarahkan konsesi yang saling menguntungkan para pihak.

• Konsolidasi pencapaian dan menjaga momentum.

• Membantu menyelesaian jalan buntu yang ada.

• Bila perlu, melakukan intervensi untuk menghindari pemaksaan dan

menyeimbangkan komunikasi di antara para pihak.

Peran utama yang mesti dijalankan oleh seorang mediator adalah

membantu mempertemukan kepentingan-kepentingan yang saling berbeda di

antara para pihak bersengketa, agar mencapai titik temu yang dapat dijadikan

sebagai pangkal tolak pemecahan masalah. Setiap intervensi dari mediator mulai

Universitas Sumatera Utara


dari pertemuan pertama dengan para pihak sampai diraihnya hasil akhir memiliki

tujuan dalam batasan mensukseskan proses negosiasi di antara para pihak.

Seorang mediator membantu para pihak memahami pandangan masing-

masing dan membantu mencari (locate) persoalan-persoalan yang dianggap

penting bagi mereka. Mediator mempermudah pertukaran informasi, mendorong

perundingan (negosiasi) mempertemukan perbedaan-perbedaan kepentingan,

persepsi, penafsiran terhadap situasi dan persoalan-persoalan dan menitik beratkan

pembahasan mengenai tujuan dan kepentingan bersama. Mediator akan sering

bertemu dengan para pihak secara pribadi. Dalam pertemuan ini yang disebut

caucus, mediator biasanya dapat memperolah informasi dari pihak yang tidak

bersedia saling membagi informasi. Sebagai wadah informasi antara para pihak,

mediator akan mempunyai lebih banyak informasi mengenai sengketa dan

persoalan-persoalan dibandingkan para pihak, dan akan mampu menentukan

apakah terdapat dasar-dasar bagi terwujudnya suatu perjanjian/kesepakatan.

Mediator juga memberikan informasi baru bagi para pihak atau sebaliknya

membantu para pihak dalam menemukan cara-cara yang dapat diterima oleh

kedua belah pihak untuk menyelesaikan perkara. Mereka dapat menawarkan

penilaian yang netral dari posisi masing-masing pihak. Mereka juga dapat

mengajarkan para pihak bagaimana terlibat dalam negosiasi pemecahan masalah

secara efektif, menilai alternatif-alternatif dan menemukan pemecahan yang

kreatif terhadap sengketa mereka.

Dengan demikian seorang mediator tidak hanya berperan sebagai

penengah belaka yang hanya bertindak sebagai penyelenggara dan pemimpin

perundingan (negosiasi) saja, tetapi juga berperan membantu para pihak untuk

Universitas Sumatera Utara


mendesain peyelesaian sengketanya, sehingga dapat menghasilkan kesepakatan

bersama. Dalam hal ini seorang mediator juga harus memiliki kemampuan

mengumpulkan sebanyak mungkin informasi yang nantinya akan dipergunakan

sebagai bahan untuk menyusun dan mengusulkan pelbagai penyelesaian masalah

yang disengketakan. 192

Sedangkan Donald G. Gifford 193 mengidentifikasi fungsi-fungsi mediator

dalam sebuah proses negosiasi atau perundingan sebagai berikut:

1. memperbaiki komunikasi di antara para pihak.

2. memperbaiki sikap para pihak terhadap satu sama lainnya.

3. memberikan wawasan kepada para pihak atau kuasa hukumnya tentang

proses negosiasi.

4. menanamkan sikap realistis kepada pihak yang merasa situasi atau

kedudukannya tidak menguntungkan.

5. mengajukan usulan-usulan yang belum diidentifikasi oleh para pihak.

Menurut Gifford, keinginan para pihak untuk berkomunikasi, berbagi

informasi satu sama lain, dan untuk menempuh negosiasi atau perundingan yang

kooperatif atau bersifat “pemecahan masalah” seringkali dihambat oleh perasaan

para juru runding bahwa posisinya akan lemah jika pihak lain tidak mengambil

sikap yang sama, yakni bersifat kooperatif juga. Padahal upaya memperbaiki

komunikasi di antara para pihak dan upaya memperbaiki sikap para pihak satu

sama lainnya, adalah merupakan dua hal yang saling terkait.

Langkah-langkah penyelesaian masalah sengketa tanah garapan di areal

perkebunan dengan melakukan mediasi adalah sebagai berikut :

192 Ibid dalam Nazarkhan Yasin


193 Opcit

Universitas Sumatera Utara


1) Pemerintah Daerah Propinsi atau Kabupaten membentuk Tim Mediasi

Penanganan Sengketa Tanah.

2) Pemerintah Daerah mengundang rapat pertemuan para pihak dari

penggarap dan perusahaan serta instansi terkait dalam hubungannya

dengan dengan sengketa.

3) Memberikan kesempatan kepada PTPNdan Penggarap masing=masing

untuk memberikan penjelasan yang terkait dengan sengketa.

4) Untuk sementara waktu guna menjaga kondusifitas terhadap masyarakat

penggarap dan karyawan perkebunan, dianjurkan menghentikan kegiatan

di lapangan yang disengketakan guna menghindari terjadinya konflik

horizontal.

1. Mediasi Kelompok Penggarap Tani Sei Silau Dengan Kebun Sei

Silau PTPN III.

Mediasi di Kantor Bupati Asahan, Asisten-I Tata Pemerintahan Kabupaten

Asahan dilaksanakan 27 Nopember 2014, yang datang dalam acara mediasi ini

adalah :

1) PTPN III dari Kantor Direksi dan Kebun Sei Silau

2) Kelompok Tani Sei Silau (Damai Jaya Titi Gambang Sei Silau Timur,

KaryaTani,Sei Silau Barat) didampingi oleh Pengacara/Kuasa Hukumnya

3) Camat Kecamatan Buntu Pane,

4) Dinas Kehutanan dan Perkebunan

5) Komandan KoramilKecamatan Buntu Pane

6) BPN Kabupaten Asahan (diundang tidak hadir).

Universitas Sumatera Utara


Hasil mediasi adalah sebagai berikut:

1) Kelompok Tani harus menjaga asset PTPN III agar jangan ada

penyerobotan, menunggu proses selanjutnya.

2) PTPN III harus cepat segera proses ke BPN pengajuan haknya (HGU),

jangan sampai kepunyaan masyarakat dimasukkan ke dalam HGU

3) Pemerintah daerahKabupaten Asahan akan segera mengadakan mediasi

lanjutan dalam masalah tanah kebun Sei Silau (KKSIL)

4) Mediator akan melihat lokasi yang menjadi tuntutan kelompok Tani dan

dikuasai masyarakat penggarapan di Kebun Sei Silau.

2. Mediasi Kelompok Tani Lansia Dengan PTPN-III Kebun Sei

Dadap.

Mediasi diperantarai oleh Asisten-I Tata Pemerintahan Kabupaten Asahan,

pada tanggal 27 Nopember 2014,yang datang dalam acara ini adalah :

1) PTPN III dari Kandir dan Kebun Sei Dadap

2) Kelompok Tani Lansia (Waijan Cs.)

3) Kepala Desa

4) Kadis Kehutanan dan Perkebuan

5) BPN Kabupaten Asahan diundang tidak hadir

Mediator memberikan kesempatan kepada pihak yang diundang

memberikan penjelasan dan pendapatnya yaitu:

1. Kelompok Penggarap tani Lansia (Waijan, Cs.) menjelaskan sejak tahun

1998 sudah menuntut PTPN III, alasannya adalah bahwa orang tua Waijan

Cs. Membuka hutan dari areal konsesi perkebunan Belanda pada tahun

Universitas Sumatera Utara


1950, 1960, 1971 saat ini anak-anak dan cucunya menuntut tanah yang

digarap tersebut berada di dalam hak guna usaha (HGU) PTPN III Kebun

Sei Dadap. Masyarakat yang menuntut tidak menguasai tanah tetapi

mereka tinggal di desa sekitar perkebunan (mantan buruh perkebunan).

Berdasarkan peta yang penggarap miliki hamparan kebun seluas 3600 Ha

yang dikuasai melebihi luasan dari HGU.HGU berakhir tahun 2005,

sampai saat ini proses perpanjangan yang dimohonkan PTPN III Kebun

Sei Dadap belum terbit. Masyarakat dalam mediasi ini berharap BPN

dapat mengukur ulang, bersama-sama disaksikan kelompok tani dan PTPN

III untuk mendapat kepastian adanya selisih kelebihan luasan dan

lokasinya dimana saja.

2. PTPN III memberikan penjelasan bahwa BPN Kanwil Prop. SU ada

mengeluarkan surat dalam proses pengukuran untuk perpanjangan yang

dimohonkan PTPN, isinya menerangkan bahwa yang dituntut kelompok

tani objeknya berada didalam areal HGU.

3. Dinas Kehutanan dan Perkebunan memberi masukan agar dapat diketahui

dimana objek yang dipermasalahkan karena ada perubahan pemerintahan

diwilayah Kabupaten Asahan. Pertemuan mediasi masalah penggarapan di

Kebun ini sudah 4 kali dilakukan, ini disampaikan agar ada

kesimpulannya.

Pertemuan diakhiri dengan beberapa usulan sebagai berikut :

1) Kelompok tani mohon data luasan Kebun Sei Dadap dari BPN dan

dilakukan pengukuran ulang terhadap areal sengketa.

Universitas Sumatera Utara


2) Kelompok Tani berharap Pemkab Asahan mengajukan areal dan luasan

yang di klaim masyarakat ke Meneg. BUMN supaya dikeluarkan dari

HGU.

3) PTPN mengusulkan agar Kelompok Tani mengajukan proses hukum

terhadap klaimnya ke Pengadilan.

3. Penyelesaian Tanah Garapan Di Areal HGU Kebun Bandar Betsy.

Luas seluruh areal HGU Kebun Bandar Betsy adalah 6038 Ha yang

berasal dari eksHak Erpacht Perusahaan N.V. Handelsvereniging Amsterdam

disingkat HVA berkedudukan di Kerajaan Belanda, kantor Administrasi di Jakarta

yang bernama Perkebunan Parnabolon-I dan Perkebunan Parnabolon-II, yang

didirikan pada Tahun 1918 dengan komodity tanaman perkebunan NenasSisal dan

Pisang Sisal. Nenas Sisal ditanam diareal datar sementara pisang sisal ditanam di

areal perengan atau areal rendahan yang berair.

Tenaga Kerja di Perkebunan Parnabolon-I dan II adalah tenaga kerja

kontrak (veda) yang didatangkan dari Pulau Jawa sebagai buruh kasar. Penduduk

setempat banyak yang diperkejakan sebagai tenaga yang tidak terikat kontrak

sebagai penebang kayu hutan, untuk digunakan sebagai bantalan kereta

api(muntik) sebagai transportasi pembawa daun nenas sisal dan batang pisang

sisal dari kebun ke pabrik pengolahan sisal di Kebun Laras.Pada tahun 1957

Perkebunan Parnabolon I dan II dinasionalisasikan menjadi Perusahaan Milik

Negara Indonesia dengan nama Antan Sumut-I Kebun Bandar Betsy. Seiring

perjalanan waktu nama perkebunan berubah menjadi PPN Karet IV, PNP-IV,

PTP-IV dan sekarang menjadi PTP. Nusantara III (Persero).

Universitas Sumatera Utara


Sejak Perkebunan Parnabolon I dan II (1918-1949), sampai dengan nama

Perkebunan menjadi Antan Sumut-I Kebun Bandar Betsy (1950-1957), PPN Karet

IV Kebun Bandar Betsy (1958-1975), dan PTP. IV Gunung Pamela Kebun

Bandar Betsy (1976-Juli 1989), Perusahaan mempunyai unit-unit kerja dengan

nama Afdeling yang terdiri dari Afdeling : 8, 9, 31, 32 , 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39,

40, dan 41 dengan luas seluruh areal perkebunan sebesar 6.038 Ha.

Tanggal 16 Agustus 1989 telah diterbitkan Sertifikat HGU No. 1 sejak saat

itu mulai dengan nama perkebunan sebagai PTP. IV Gunung Pamela Kebun

Bandar Betsy (Agutus 1989- Juni 1997), Merger PTP. III, PTP. IV, dan PTP.V

(Juli 1997-Juli 1998), sampai dengan sekarang PTPN. III (Persero) Medan Kebun

Bandar Betsy (1999-sekarang), Perusahaan mempunyai unit-unit kerja Afdeling

yang terdiri dari Afdeling : I, II, III, IV, V, VI, VII, dan VIII dengan luas seluruh

areal perkebunan 5.348,90 Ha.

Kronologi Areal Garapan di Kebun Bandar Betsy

Masa perkebunan bernama Parnabolon I dan II (1918-1949)

Pada masa ini areal perkebunan yang digarap oleh maysarakat relatif tidak

ada, namun penduduk setempat yang bekerja sebagai penebang pohon kayu hutan

oleh pihak perkebunan diberi izin untuk tinggal sementara dibekas penumbangan

hutan tersebut dengan membangun gubuk-gubuk sebelum areal tersebut diusahai

oleh pihak perkebunan.

Letak areal perkebunan yang menjadi tempat tinggal sementara tersebut

seluruhnya terletak di bekas areal penumbangan hutan antara lain terletak di

Afdeling : 8, 9, 31, 35, 36, 37, 39, 40, dan 41.

Universitas Sumatera Utara


Masa perkebunan bernama Antan Sumut-I Kebun Bandar Betsy (1950-1957)

Perkebunan Antan (Aneka Tanaman) Sumut-I Kebun Bandar Betsy mulai

merubah pola dan komodity tanaman perkebunannya dengan tidak mengusahai

tanaman pisang sisal lagi yang areal tanamannya dilahan perengan dan pandau

(areal yang ditelantarkan), namun di areal datar tanaman nenas sisal masih tetap

dikelola ditambah tanaman karet.

Pada masa ini Negara Republik Indonesia yang baru dilanda krisis

sandang dan pangan.Rakyat Indonesia banyak yang tidak mempunyai pakaian

(pakaian yang ada terbuat dari goni dan karung tepung gandum), banyak orang

mati kelaparan karena tidak ada makanan Negara dalam keadaan darurat.

Untuk membangun Negara dan membantu rakyat yang kesusahan pangan,

Pemerintah mengeluarkan kebijakan yang oleh Presiden Soekarno disebut

“Berdikari banting stir disegala bidang”. Dan untuk menanggulangi krisis pangan

yang sudah banyak menelan korban Pemerintah mengizinkan rakyat untuk

menggarap tanah-tanah Perusahaan Negara dan tanah-tanah Kerajaan yang belum

diusahai oleh pemiliknya untuk diusahai oleh rakyat guna memperoleh pangan.

Penggarapan areal perkebunan Bandar Betsy semakin merajalela dan tidak

terkendali, areal bekas tumbangan hutan di Afd. 8, 9, 31, 35, 36, 37, 39, 40, dan

41 Kebun Bandar Betsy yang belum diusahai Perkebunan sebagian besar

dirambah dan digarap oleh masyarakat termasuk karyawan Perkebunan Bandar

Betsy sendiri untuk diusahai secara perorangan.

Untuk mengendalikan aksi penggarapan tersebut yang semakin hari

semakin menimbulkan persoalan dan mulai terjadi konflik antara Pihak

Universitas Sumatera Utara


Perkebunan dengan masyarakat penggarap, Pemerintah Republik Indonesia

menerbitkan Undang-undang Darurat No. 8 tanggal 8 Juni 1954 yang isinya

mengatur Penyelesaian soal pemakaian tanah Perkebunan oleh Rakyat.Dilakukan

pendataan dan registarsi tanah-tanah garapan didaftarkan dan di buat kartu yang

dikenal dengan Kartu Registrasi Pendaftaran Tanah (KRPT). Setelah di keluarkan

Undang-undang Darurat tersebut. Maka masyarakat yang melakukan penggarapan

dianggap tidak sah atau liar.

Masa perkebunan bernama PPN Karet IV Kebun Bandar Betsy (1958-1975)

Areal Perkebunan yang digarap secara perorangan oleh masyarakat

maupun karyawan Kebun Bandar Betsy itu semakin tambah meluas, ditambah

tahun 1965 Organisasi PKI turut campur didalamnya dengan menggalang petani

penggarap maupun karyawan untuk masuk ke Ormas PKI yaitu BTI dan Sarbupri

dan menjanjikan akan memperjuangkan areal garapan agar menjadi hak milik

masing-masing penggarap.

Pola penggarapan areal Perkebunan Bandar Betsy berubah, semula

penggarap dilakukan secara perorangan menjadi secara berkelompok yang banyak

didominasi oleh kelompok BTI dan Sarbupri yang dengan gigih menuntut

pelepasan areal garapan dari Perkebunan untuk dijadikan hak milik penggarap.

Sehubungan permasalahan areal garapan di Kebun Bandar Betsy sudah

semakin marak dan atas tuntutan masyarakat penggarap, maka Badan Pekerja

Landreform Daerah Tingkat II Kabupaten Simalungun menerbitkan Surat

Keputusan sebagai berikut

Universitas Sumatera Utara


Surat Keputusan No : 4/II/LR/65/BP tanggal 2 Maret 1965 yang isinya

pada amar memutuskan pertama dan kedua berbunyi:

Tanah-tanah garapan di afdeling 8, 31, 39, 40, 41 Perkebunan Bandar Betsy

PPN Karet IV luas seluruhnya ±2107 Ha dikeluarkan dari areal perkebunan

dan menyatakan tanah-tanah garapan tersebut kembali menjadi tanah yang

dikuasai langsung oleh Negara dan peruntukannya diatur oleh Pemerintah.

Surat Keputusan No. 2/II/LR/65/PP tgl 31 Maret 1965, yang isinya pada

amar memutuskan, menetapkan point 1 berbunyi: Tanah Afdeling 37 Perkebunan

Bandar Betsy PPN Karet IV yang berluas 417 Ha. Dengan dasar pertimbangan

untuk memikirkan kepentingan kedua belah pihak, maka perlu diambil keputusan

tanah ± 111 Ha. Dengan dasar lembah sebagai batas dikembalikan kepada

perkebunan karena tanah tersebut tidak dapat dipersawahi dan bergunung-gunung,

dan tanah seluas ± 306 Ha diserahkan kepada para penggarapnya menurut

pertimbangan luas tanah garapan masing-masing. Kedua Surat Keputusan

Landreform Tkt. II Kabupaten Simalungun tersebut diterbitkan tanpa terlebih

dahulu bermusyawarah dengan Pihak PPN Karet IV Kebun Bandar Betsy.

Realisasi Surat Keputusan Landreform No. 4/II/LR/65/BP tgl 2 Maret

1965 dan No. 2/II/LR/65/PP tgl 31 Maret 1965 tidak dapat terlaksana akibat

pecahnya Peristiwa G30S/PKI yang diawali dengan terbunuhnya Papam Kebun

Bandar Betsy Letda Sujono oleh penggarap PKI pada tgl 14 Mei 1965 di areal

Blok 325 Afd.35 Kebun Bandar Betsy PPN Karet IV.

Tanggapan Panitia Landreform Tingkat Pusat (Jakarta) atas terbitnya Surat

Keputusan Panitia Landreform Tingkat II Kabupaten Simalungun No.

Universitas Sumatera Utara


4/II/LR/65/BP tgl.2 Maret 1965 dan 2/II/LR/65/PP tgl.31 Maret 1965 adalah

dengan menerbitkan Surat Landreform Pusat No. 27/PLP/1966 tgl. 3 April 1966

yang isinya menyebutkan antara lain

Untuk menentukan pengeluaran Tanah-tanah Perkebunan Negara menjadi

objek Landreform Tkt. II Kabupaten Simalungun perlu adanya penegasan

berdasarkan pasal (1) ayat (d) PP. No. 224 Tahun 1961, dan mengajukan

usul ke Panitia Landreform Pusat setelah didapat kesepakatan dari masing-

masing pihak terkait disertai pertimbangan dari Kepala Inspeksi Agraria

yang bersangkutan.

Dengan terbitnya Surat Panitia Landreform Tingkat Pusat (Jakarta) No.

27/PLP/1966 tgl 3 April 1966, maka Surat Keputusan Landreform dari Tkt. II

Kabupaten Simalungun No. 4/II/LR/65/BP tgl. 2 Maret 1965 dan No.

2/II/LR/65/PP tgl 31 Maret 1965 tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. Seiring

dengan terbitnya surat tanggapan dari Panitia Landreform Tingkat Pusat tersebut

di atas, Direktur PPN Karet IV (S.Pelawi) membuat surat sanggahan kepada

Menteri Agraria RI No. IV.IC/X/RHS.67/66 tgl.16 April 1966 atas Surat

Keputusan Panitia Landreform Tkt. II Kabupaten Simalungun dan menyatakan

didalam suratnya tidak dapat menerima/menyetujui keputusan yang termaktub

didalam isi Surat Keputusan Landreform No. 4/II/LR/65/BP tgl.2 Maret 1965 dan

No. 2/II/LR/54/PP tgl.31 Maret 1965. Setelah berakhir masa G30S/PKI (Tahun

1966), bermunculan kembali kelompok-kelompok penggarap di areal Perkebunan

Bandar Betsy termasuk di areal ex garapan PKI (BTI & Sarbupri).

Universitas Sumatera Utara


Masa perkebunan bernama PPN Karet IV Gunung Pamela Kebun Bandar

Betsy (1976-Juli 1989)

Sejak tahun 1966 sampai dengan terbitnya Sertifikat HGU Perkebunan

Bandar Betsy No. 1 Tahun 1986, seluruh permasalahan areal garapan di Kebun

Bandar Betsy telah dapat diselesaikan dengan baik melalui perundingan-

perundingan dan musyawarah yang memutuskan pengeluaran areal HGU

Perkebunan serta pemberian ganti rugi terhadap para penggarap yang antara lain

adalah sbb:

1. Areal Afd. I (dahulunya disebut Afd. 31, Afd. 8, Afd. 9) dikeluarkan dari

HGU Perkebunan seluas = 117 Ha (diareal Afd. 9) untuk dijadikan areal

penampungan penggarap (sekarang bernama Kampung Baru, Kecamatan

Bandar Huluan) yang merupakan solusi penyelesaian masalah areal

garapan di Afd. 31, Afd. 8, dan Afd. 9 sekaligus menindak-lanjuti

Keputusan Musyawarah tgl. 9 april 1968.

2. Areal Afd. IV (dahulunya disebut Afd. 39 dan Afd. 40) dikeluarkan dari

HGU Perkebunan seluas =220 Ha. Dijadikan areal penampungan

penggarap dan ladang (sekarang bernama Kampung Gunung Serawan,

Kecamatan Bandar Masilam) sebagai solusi penyelesaian masalah areal

garapan di Afd. 40 dan menindak-lanjuti Keputusan Musyawarah tgl. 24

April 1968.

3. Areal Afd. II (dahulunya disebut Afd. 32) dikeluarkan dari HGU

Perkebunan seluas =70 Ha dijadikan areal penampungan penggarap

(sekarang bernama Kampung Peladang dan Kampung Suka Jadi,

Kecamatan Bandar Huluan) sebagai solusi penyelesaian masalah garapan

Universitas Sumatera Utara


di Afd. 39 dan menindak-lanjuti Keputusan Musyawarah tgl. 24 April

1968.

4. Areal Afd. VI (dahulunya disebut Afd. 37) dikeluarkan dari HGU

Perkebunan seluas = 168,2860 Ha dijadikan areal penampungan

penggarap ladang (sekarang bernama Kampung 41 atau Kampung Bandar

Rejo, Kecamatan Bandar Huluan) sebagai solusi penyelesaian masalah

areal garapan di Afd. 36, Afd. 37, Afd. 41 dan menindak-lanjuti

Keputusan Musyawarah tgl. 22 Juli 1968.

5. Areal Afd, V (sekarang Afd. 35) dikeluarkan dari HGU Perkebunan seluas

= 25 Ha. Dijadikan areal penampungan penggarap dari Afd. 35 (sekarang

bernama Kampung Tempel, Kecamatan Bandar Huluan)

Dengan dikeluarkannya sebagian areal HGU Perkebunan Bandar Betsy

tersebut diatas, dan Kebijakan-kebijakan lain yang telah ditempuh oleh Pihak

Perkebunan bersama Pihak Penggarap (seperti pemberian ganti rugi bagi

penggarap luar yang tidak mau menetap di areal penampungan) sebagai solusi

penyelesaian masalah untuk menindak lanjuti Surat Keputusan Landreform No:

4/II/10/LR/65/BP tgl 2 Maret 1965 dan No: 2/II/10/LR/65/PP tgl 31 Maret 1965

yang menjadi dasar tuntutan masyarakat penggarap tersebut, maka seluruh

masalah areal garapan diperkebunan Bandar Betsy telah diakomodir dan

diselesaikan dengan baik, sehingga pemerintah sudah dapat dengan tegas sesuai

hukum dan peraturan agraria menetapkan HGU perkebunan Bandar Betsy dengan

menerbitkan Sertifikat HGU No: 1 tgl 16 Agustus 1989 sebagai dasar hukum yang

sah dan legal bagi perkebunan Bandar Betsy atas areal yang boleh diusahainya,

yaitu seluas = 5348,90 Ha.

Universitas Sumatera Utara


Masa perkebunan bernama PPN karet IV Gunung Pamela kebun Bandar

Betsy s/d sekarang PTPN III Kebun Bandar Betsy (Agus 1989-2009).

Dengan bergulirnya “Era Reformasi”, permasalahan tanah garapan kebun

Bandar Betsy kembali mencuat pada tahun 1998 hingga sekarang.Bermunculan

kelompok-kelompok penggarap baru yang menguasai dan mengklaim sebagian

areal HGU kebun Bandar Betsy sebagai hak milik mereka.Kelompok Tani Peduli

Keadilan (KTPK) diketahui oleh Martuahman Manihuruk sejak Tahun 2000

menguasai dan menduduki areal Afd 1 HGU kebun Bandar Betsy seluas =74 Ha.

dan mengklaim areal Afd 1 seluas = 300 Ha sebagai milik KTPK. Areal yang

diduduki kelompok KTPK seluas =74 Ha dapat diambil alih kembali oleh pihak

kebun Bandar Betsy pada tanggal 24 Mei 2002. Kelompok Tani Bandar Masilam

(Ketabamas) diketahui oleh Suparno sejak tahun 2000 menguasai dan menduduki

areal Afd III dan Afd IV HGU kebun bandar Betsy seluas = 215 Ha dan

mengklaim areal Afd IV seluas = 978 Ha sebagai milik Ketabamas. Areal yang

sudah diduduki kelompok Ketabamas seluas = 215 Ha diambil alih oleh pihak

kebun Bandar Betsy pada tanggal 23, 24 dan 25 Mei 2002.

Muncul Kelompok Tani Bandar Rejo (KTBR) diketuai oleh Kemin

(Sukimin) sejak tahun 2000 menguasai dan menduduki areal Afd VI HGU Kebun

Bandar Betsy seluas = 129 Ha sudah selesai dikuasai kembali oleh Kebun Bandar

Betsy dengan ganti rugi (suguh hati). Juga Kelompok Kesatuan Organisasi

Reformasi Keadilan Rakyat (KOREKER) diketuai oleh Dj. Nainggolan sejak

tahun 2000 menguasai dan menduduki areal Afd. VI dan VIII seluas = 329 Ha

mengklaim areal tersebut seluas =943 Ha sebagai milik KOREKER.

Universitas Sumatera Utara


Dari areal yang diduduki kelompok KOREKER seluas =329 Ha dapat

diambil alih oleh pihak Kebun Bandar Betsy seluas = 148,95 Ha pada tanggal 31

Juli 2003 dan tanggal 1 Agustus 2003, sehingga areal yang belum dapat diambil

alih oleh Pihak Kebun Bandar Betsy seluas = 180,05 Ha.

Dan yang terakhir adalah Areal perengan/pandau yang diterlantarkan sejak

Perkebunan bernama Antan Sumut-I Kebun Bandar Betsy (1950-1957) yang ada

saat itu kurang mendapat perhatian masyarakat dimana hanya sebagian kecil

masyarakat memanfaatkannya untuk persawahan menanam padi/palawija dengan

status pinjam pakai, pada tahun 1968 mulai beberapa orang masyarakat yang

menanami lahan tersebut dengan kelapa sawit selain padi dan palawija. Dan pada

tahun 1999 areal tersebut sudah seluruhnya ditanami tanaman kelapa sawit

seluruhnya tanpa menghiraukan peraturan pinjampakai.

Melihat dari sejarah dan surat surat yang telah diterbitkan terkait

permasalahan tanah Garapan di Areal HGU Perkebunan Bandar Betsy maka dapat

ditelaah bahwa proses penyelesaian sengketa dengan sistem Non Litigasi (suguh

hati) bisa di terima penggarap. Namun tetap saja proses tersebut dapat dikatakan

gagal oleh beberapa kendala yang merupakan kunci dari semua permasalahan

yang ada, mulai dari ketidak pastian perhitungan luas areal garapan masyarakat

yang mana dari luas 329 Ha pihak penggarap mengklaim dengan nilai yang cukup

besar yaitu 943 Ha. Penyelesaian sengketa yang terus larut dan kurangnya

komitment antara kedua belah pihak juga menyebabkan permasalahan sengketa

Garapan menjadi semakin rumit dan memakan biaya besar dengan hasil yang

tidak seberapa serta ketidak sesuaian dari para pengisi Tim Tim pencari fakta

penyelesaian sengketa garapan dimana ke netralan dan tujuan nya masih dapat

Universitas Sumatera Utara


dipertanyakan. Banyaknya makelar tanah yang ikut memboncengi Tim

Penyelesaian Sengketa Tanah Garapan ikut menjadi kekhawatiran tersendiri

bahkan bisa menjadi ladang bisnis yang mengakibatkan masyarakat terkadang

kurang setuju dan terkesan dipermainkan dalam kondisi yang

pragmatik.Masyarakat pun akhirnya membentuk Ormas Ormas sebagai Tameng

menahan gempuran pihak Perkebunan untuk memperjuangkan tanah (era 1989-

2009).

Proses penyelesaian sengketa tanah garapan Kebun Bandar Betsy, melalui

cara non-ligasi dengan mediasi dari Tim Tanah Propinsi Sumatera Utara dan

Pemerintah Kabupaten Simalungun masih belum mendapatkan hasil, Kendala-

kendala tersebut antara lain :

1. Penundaan yang berkepanjangan dan tidak ada kepastian waktu. Menurut

Surat dari KOREKER kepada Direktur Utama PTPN 3 No. 216/BB-

II/III/2012 yang antara lain isinya adalah menjelaskan proses penyelesaian

sengketa dan hasil kesepakataanya pada 11 Januari 2012, dan KOREKER

bersedia menyerahkan tanah seluas 943 Ha kepada PTPN 3 dari 705 KK

serta KOREKER mendapatkan Kompesasi yang bermartabat. Disini pihak

KOREKER menginginkan kompensasi yang telah ditentukan. Namun

kesepakatan tersebut ditunda dengan adanya Surat Direktur Utama PTPN

III tgl 1 Oktober 2012 No. III.11/X/1184/2012 yang menyatakan bahwa

menunggu Tim Penertiban permasalahan Tanah Kabupaten Simalungun

menyelesaikan tugasnya.

2. Tidak adanya peraturan yang jelas dalam pelaksanaannya. Surat Gubernur

Sumatera Utara kepada Menteri Negara No. 593/4965 yang mengatakan

Universitas Sumatera Utara


bahwa Penyelesaian sengketa tanah perkebunan hingga saat ini belum

diatur dalam suatu petunjuk pelaksanaan (juklak) sebagai kebijakan

nasional dan sengketa tanah terjadi pada PTPN yang lain maka perlu

dibicarakan terlebih dahulu pada Rakor Ekuin dengan mengikut sertakan

antar Departemen, Badan dan Instansi terkait lainnya.

3. Netral, Bersih, Transparan dan komitment bersama yang kurang terwujud.

Pembentukan Tim Peneliti Penggarap yang kurang Independence dengan

memasukan unsur salah satu yang bersengketa kedalam Tim bentukan

Gubernur Sumatera Utara, mengakibatkan ketidak seimbangnya

kepercayaan pada Tim Peneliti Penggarap, serta tidak adanya laporan Tim

kepada pihak kedua yaitu masyarakat penggarap akan menyebabkan hasil

keputusan kurang diterima. Dikhawatirkan akan menjadi masalah baru di

kemudian hari.

Dengan Kendala tersebut dapat pahami bahwa PTPN III belum bersedia

melepaskan tanah Garapan Masyarakat yang bernama Kelompok KOREKER

seluas 943 Ha, dengan alasaan dalam pertimbangan Pihak KOREKER telah

menetapkan nilai kompensasi yang bermartabat untuk diberikan kepada 705 KK

dari pihak Penggarap sesuai musyawarah dan kesepakatan kedua belah pihak,

namun PTPN III masih menunggu hasil penelitian Tim Penertiban Kabupaten

Simalungun mengakibatkan penundaan proses penyelesaian sengketa Kebun

Bandar Betsy, yang dibentuk oleh Gubernur Sumatera Utara. Kamudian dari pada

itu Tim bentukan Gubernur Sumatera Utara kurang sesuai/Independence atas

kepercayaan salah satu Pihak bersengketa dan berat sebelah serta masih diragukan

ke-netralannya. Dan akan menyebabkan Resiko terulangnya masalah yang sama

Universitas Sumatera Utara


yang lebih sistematis dikemudian hari seperti tahun tahun sebelumnya yang

berubah dari masyarakat penggarap perorangan menjadi berkelompok dan

membentuk organisasi masa.

4. Suguh Hati Sebagai Bentuk Penyelesaian Terhadap Areal Garapan

Oleh PT. Perkebunan Nusantara III

Untuk menyelesaikan masalah penggarapan di areal Kebun guna

memenuhi kebutuhan tanah dan optimalisasi lahan maka PT. Perkebunan

Nusantara III melakukan penyelesaian sengketa tanah dengan bentuk suguh hati.

Suguh hati merupakan kompensasi terhadap nilai ganti rugi yang diberikan

PTPN-III kepada kelompok tani penggarap berdasarkan nilai yang ditetapkan oleh

lembaga penilai.

Langkah-langkah penyelesaian masalah tanah garapan di areal perkebunan

yang dilakukan oleh PTPN III sebagai ikhtiar untuk melakukan suguh hati adalah

sebagai berikut :

1) Untuk tidak terjadi konflik horizontal yang terjadi di lapangan,

permasalahan sengketa yang ditangani Pemerintah Daerah tempat

perkebunan berada oleh Pemda memprosesnya dengan membentuk Tim

Mediasi Penanganan Sengketa Tanah.

2) Pemerintah Daerah mengundang rapat pertemuan para pihak dari

penggarap dan perusahaan PTPN III, oleh Tim Mediasi di anjurkan untuk

di berikan ganti rugi kepada penggarap.

3) Untuk sementara waktu guna menjaga kondusifitas terhadap masyarakat

penggarap dan karyawan perkebunan, Manajemen Kebun Perusahaan

Universitas Sumatera Utara


PTPN III dianjurkan menghentikan kegiatan di lapangan yang

disengketakan. Kepada para penggarap tidak boleh memperluas areal

garapannya.

4) Tindak lanjut dari rekomendasi Pemda maka Direksi PTPN III membentuk

Tim Penyelesaian Permasalahan Areal Garapan Kebun, tugas Tim adalah:

a) Menyiapkan kronologis permasalahan areal garapan dari awal

timbulnya permasalahan.

b) Melakukan kunjungan ke lapangan melihat kondisi areal garapan.

c) Menginventarisasi seluruh jumlah garapan, tanaman yang ada di

areal, jumlah bangunan dan luas areal yang digarap.

d) Melakukan koordinasi langsung kepada Pemkab, Pemko, Polres,

Kejaksaan dan Pengadilan Negeri untuk penyelesaian

permasalahan tersebut.

e) Menyampaikan rekomendasi akhir secara tertulis kepada Direksi

tentang penyelesaian permasalahan tersebut.Menyiapkan rencana

tindaklanjut.

Bentuk suguh hati menurut PTPN III adalah ganti rugi yang manusiawi,

ganti rugi yang bersifat harmoni, menghargai harkat dan martabat manusia.

Internalisasi terhadap pandangan ganti rugi ini bagi PTPN III, sudah jauh-jauh

hari dipersiapkan untuk menjadi Perusahaan perkebunan yang bersikap manusiawi

dan peduli terhadap masyarakat di lingkungan perkebunan.

Untuk menyelesaikan masalah penggarapan di areal Kebun guna

memenuhi kebutuhan tanah dan optimalisasi lahan maka PT. Perkebunan

Nusantara III melakukan penyelesaian sengketa tanah dengan bentuk suguh hati.

Universitas Sumatera Utara


Sebagai legitimasi pelaksanaan suguh hati Direksi mengeluarkan surat keputusan

tentang suguh hati. Pertimbangan Direksi bahwa proses penyelesaian sengketa

pada areal garapan di PTPN-III yang dilaksanakan melalui jalur litigasi dan non-

litigasi diselesaikan dengan memberikan suguh hati kepada para penggarap,

dipandang lebih efektif dan manusiawi serta memperbaiki hubungan sosial dengan

masyarakat.

Keputusan Direksi PT. Perkebunan Nusantara III (Persero) Nomor :

3.11/SKPTS/01/2015 Tanggal 31 Maret 2015 Tentang Pelaksanaan Suguh

Hati Terhadap Areal Garapan Kebun/ Unit PT. Perkebunan Nusantara III

(Persero).

Langkah penyelesaian terhadap pelaksanaan sugu hati yang timbul di areal

Kebun/ Unit PT. Perkebunan Nusantara III, perlu menetapkan Keputusan Direksi

PT. Perkebunan Nusantara III (Persero) tentang pelaksanaan suguh hati terhadap

areal garapan kebun/ Unit PT. Perkebunan Nusantara III (Persero).

Pertauran yang menjadi acuan PTPN III sebagai landasan yuridis untuk

proses penyelesaian dengan suguh hati adalah :

1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok – pokok Agraria;

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang

Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum;

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003 tanggal 19

Juni 2003 tentang Badan Usaha Millik Negara;

4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tanggal 16

Agustus 2007 tentang Perseroan Terbatas;

Universitas Sumatera Utara


5. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Arbitrase

6. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960

tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Ijin Yang Berhak Atau

Kuasanya;

7. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tentang

Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah;

8. Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Suguh

Hati Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

9. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 08 Tahun 1996 tanggal

14 Pebruari 1996 tentang peleburan Perusahaan Perseroan (Persero);

10. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1998 tanggal

17 Januari 1998 tentang Perusahaan Perseroan (Persero);

11. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2001 tanggal

05 Juni 2001 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 12

Tahun 1998 Tentang Perusahaan Perseroan (Persero);

12. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2001 tanggal

13 September 2001 tentang Pengalihan Kedudukan, Tugas dan Wewenang

Menteri Keuangan Pada Perusahaan;

13. Surat Edaran Direksi no 3.11/SE/04/2014 tanggal 07 April 2014 tentang

Penegasan Pengamanan Areal, Verifikasi serta Langkah-langkah

penyelesaian Garapan;

14. Perseroan (Persero), Perusahaan Umum (Perum) dan Perusahaan Jawatan

(Perjan) Kepada Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara;

Universitas Sumatera Utara


15. Akta Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Perkebunan Nusantara

III Nomor 36 tanggal 11 Maret 1996 yang dibuat Notaris Harun Kamil,

SH berkedudukan di Jakarta;

16. Akta Perubahan Anggaran Dasar Perseroan (Persero) PT. Perkebunan

Nusantara III Nomor 03 tanggal 12 September 2002 yang dibuat oleh

Notaris Sri Rahayu Hadiprasetyo, SH berkedudukan di Tangerang;

17. Akta Perubahan Anggaran Dasar Perseroan (Persero) PT. Perkebunan

Nusantara III Nomor 06 tanggal 12 Agustus 2008 yang dibuat oleh Notaris

Syafnil Gani, SH M.Hum berkedudukan di Medan;

18. Akta Pernyataan Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham Perseroan

(Persero) PT. Perkebunan Nusantara III Nomor 08 tanggal

24September2009 tentang Perubahan Anggaran Dasar Perusahaan

Perseroan (Persero) PT. Perkebunan Nusantara III yang dibuat oleh

Notaris Syafnil Gani, SH M.Hum berkedudukan di Medan;

19. Akta Pernyataan Keputusan Pemegang Saham Perussahaan Perseroan

(Persero) PT. Perkebunan Nusantara III Di Luar Rapat Umum Pemegang

Saham Nomor 08 tanggal 21 Maret 2012 yang dibuat oleh Notaris Syafnil

Gani, SH M.Hum berkedudukan di Medan;

20. Surat Keputusan Direksi PT. Perkebunan Nusantara III Nomor

3.12/SKPTS/ 07/2012 tanggal 22 Mei 2012 tentang Penerbitan

Baru/Revisi/Amandemen, Sasaran & Tugas dan Proses Bisnis serta

Instruksi Kerja/Dokumen PendukungPT. Perkebunan Nusantara III;

21. Akta Pernyataan Keputusan Pemegang Saham Perseroan (Persero) PT.

Perkebunan Nusantara III Nomor 07 tanggal 15 Oktober 2012 tentang

Universitas Sumatera Utara


Peningkatan Modal Dasar, Penambahan Modal Disetor dan Perubahan

Anggaran Dasar Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Perkebunan

Nusantara III yang dibuat oleh Notaris Nanda Fauz Iwan, SH MKn

berkedudukan di Jakarta Selatan;

22. Akta Pernyataan Keputusan Pemegang Saham Perusahaan Perseroan

(Persero) PT. Perkebunan Nusantara III Nomor 04 tanggal 08Mei 2013

tentang Pemberhentian dan Pengalihan Tugas Anggota Direksi Perusahaan

Perseroan (Persero) PT. Perkebunan Nusantara III yang dibuat oleh

Notaris Nanda Fauz Iwan, SH MKn berkedudukan di Jakarta Selatan;

23. Akta Pernyataan Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara Selaku

Rapat Pemegang Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Perkebunan

Nusantara III Nomor 02 tanggal 02 Desember 2013 yang dibuat oleh

Notaris Nanda Fauz Iwan, SH MKn berkedudukan di Jakarta Selatan;

24. Perjanjian Kerja Bersama antara Direksi PT. Perkebunan Nusantara III

(Persero) dengan Serikat Pekerja Perkebunan PT. Perkebunan Nusantara

III Periode 2014 – 2015 tanggal 12 Pebruari 2014;

1. Ketentuan Umum

Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :

a. PTPN III adalah PT. Perkebunan Nusantara III (Persero);

b. Direksi adalah organ PTPN III yang bertanggung jawab atas pengelolaan

perusahaan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan yang terdiri dari

seorang Direktur Utama sebagai pimpinan dengan beberapa Direktur

sebagai anggota, dalam batasan yang ditentukan oleh Undang-undang

Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan/atau Anggaran

Universitas Sumatera Utara


Dasar PTPN III;

c. Penyelesaian Pelaksanaan Suguh Hati di Kebun/ Unit adalah kegiatan

untuk mendapatkan kembali tanah milik PTPN III yang dilakukan

pemberian kompensasi nilai ganti rugi oleh Tim Penyelesaian Pelaksanaan

Suguh Hati terhadap Kebun/ Unit PTPN III;

d. Tim Suguh Hati PTPN III adalah Karyawan PTPN III yang dipandang

cakap dan mampu untuk melaksanakan tugas sebagai tim yang dibentuk

berdasarkan Surat Keputusan Direksi untuk melaksanakan Suguh Hati

PTPN III;

e. Penilai Tanah, yang selanjutnya disebut Penilai, adalah orang perseorangan

yang melakukan penilaian secara Independen dan profesional yang telah

mendapatkan izin praktek penilaian dari Menteri Keuangan dan/atau telah

mendapat lisensi dari Lembaga Pertanahan untuk menghitung nilai/harga

objek Sugu Hati.

f. Penggarap adalah orang yang mengerjakan, mengolah tanah di areal yang

dipergunakan khusus untuk pertanian oleh usaha perkebunan PTPN III.

g. Areal adalah berkaitan dengan area yaitu bagian permukaan bumi yang

dipergunakan untuk keperluan khusus untuk pertanian.

h. Sugu Hati adalah Kompensasi/penggantian yang layak atas tanaman

penggarap, berdasarkan perhitungan dari Penilai (KJPP)

i. Kompensasi adalah pemberian sejumlah uang oleh PTPN III kepada

pemegang hak atas tanaman dan/atau benda lain yang terdapat diatas tanah

2. Ruang Lingkup

Ruang Lingkup Sugu Hati adalah kompensasi terhadap nilai ganti rugi

Universitas Sumatera Utara


yang diberikan oleh PTPN III kepada masyarakat/ Kelompok Tani penggarap

berdasarkan nilai yang ditetapkan oleh Lembaga Penilai.

3. Perencanaan Pelaksanaan Sugu Hati

a. Kebun/Unit PTPN III membuat Perencanaan Sugu Hati menurut ketentuan

peraturan perundang-undangan setelah melakukan pendataan/survey;

b. Perencanaan Sugu Hati sebagaimana dimaksud, disusun dalam bentuk

dokumen perencanaan Pelaksanaan Sugu Hati, yang paling sedikit

memuat:

c. Surat pernyataan dari penggarap untuk menerima sugu hati;

d. letak tanah;

e. luas tanah;

f. jenis tanaman;

4. Tim Sugu Hati

Tim Sugu Hati sebagaimana dimaksud, dibentuk berdasarkan Keputusan

Direksi PTPN III yang beranggotakan karyawan PTPN III dan apabila diperlukan

keanggotaan Tim Sugu Hati dapat melibatkan instansi dari luar PTPN III.

5. Tugas dan Tanggung Jawab

Tim Sugu Hati dan/atau Kompensasi sebagaimana dimaksud dalam pasal

4, mempunyai tugas dan tanggung jawab sebagai berikut :

a. Memanggil dan memberikan penjelasan atau penyuluhan kepada

masyarakat/ Kelompok Tani yang akan diberikan sugu Hati tersebut;

b. Mengadakan inventarisasi atas tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda

lain yang berada di atas areal PTPN III yang akan diberikan sugu Hati;

Universitas Sumatera Utara


c. Mengadakan penelitian mengenai status hukum tanah yang akan diberikan

sugu hati;

d. Meminta dan menerima hasil penilaian harga tanah dan/atau bangunan

dan/atau tanaman dan/atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah

dari penilai.

e. Mengadakan musyawarah dengan para pemilik / pemegang hak atas tanah

dalam rangka menetapkan bentuk dan/atau besarnya ganti rugi.

f. Mengusulkan penetapan bentuk dan/atau besarnya ganti rugi hak atas

tanah yang haknya akan dilepas atau diserahkan kepada Direktur atau

Pejabat satu tingkat dibawah Direktur atau General Manager/Kepala Unit

dalam bentuk daftar nominatif untuk mendapatkan persetujuan.

g. Membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah termasuk

menerima dan memeriksa seluruh dokumen terkait kepemilikan hak atas

tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang ada diatas tanah.

h. Mendampingi pelaksanaan pembayaran atau penyerahan ganti rugi kepada

para pemilik atau perwakilannya yang sah atau pemegang hak atas tanah,

bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang ada di atas tanah.

i. Mengadministrasikan, mendokumentasikan setiap tahapan proses Sugu

Hati dan melaporkan hasil pelaksanaan tugas tim serta menyerahkan

semua berkas Sugu Hati kepada Direktur.

6. Penilaian Ganti Rugi

a. Dalam menentukan harga tanah pada saat proses sugu hati sebagaimana

dimaksud, Tim Penyelesaian Sugu Hati berpedoman kepada hasil

penilaian atau taksiran harga yang dibuat oleh penilai.

Universitas Sumatera Utara


b. Penetapan nilai harga kompensasi tanaman yang dibuat oleh penilai

berlaku selama 6 bulan dan setiap 2 tahun sekali dilakukan revisi.

c. Biaya-biaya yang timbul akibat pelaksanaana pemberian sugu hati ini

dibebankan kepadaPT. Perkebunan Nusantara III.

7. Ketentuan Peralihan

Proses pelaksanaan Suguh hati yang sudah dan/ atau sedangg berlangsung

sebelum ditetapkannya keputusan ini, tetap mengacu/berpedoman pada ketentuan

yang berlaku pada saat ini.

8. Penutup

Surat Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan sampai Tim

penyelesaian Sengketa lahan/tanah di Kebun/Unit selesai melaksanakan tugasnya

dengan ketentuan segala sesuatunya akan diubah dan diatur kembali sebagaimana

mestinya apabila dikemudian hari terjadi kekeliruan di dalam penetapannnya. 194

Upaya Penyelesaian Permasalahan Areal GarapanDi PTPN III

Non-Litigasi (Ha)
Luas Areal
Litigasi
No. Nama Kebun yang
Penyerahan
(Ha)
Suguh hati
Bermasalah
Sukarela

1. - 2.229,56 - -

194
Keputusan Direksi PT. Perkebunan Nusantara III (Persero) No. 3.11/SKPTS/01/2015
Tanggal 31 Maret 2015 Tentang Pelaksanaan Suguh hati Terhadap Areal Garapan/Unit PT.
Perkebunan Nusantara III (Persero).

Universitas Sumatera Utara


2. Sei Putih 345,56 - - -

3. Sarang Gitting 76,58 10 - -

4. Kebun Rambutan 82 82 - -

5. Merbau Selatan 399,10 - 99,88 -

6. Sei Silau 1472,35 - 82,30 43,11

7. Gunung Pamela 611,54 - 43,91 9,90

8. Bandar Betsy 943 - 73,26 40,11

9. Hapesong 25,80 - 25,80 -

10. Hutapadang 2,93 - 2,65 -

11. Ambalutu 17,17 - - 0,10

12. Gunung Para 9,14 - - 4,43

Jumlah 2.229,56 327,80 97,54

Total 3.985,17 2.654,90

Sumber : PTPN-III Bagian Hukum dan Agraria, 2013 - 2014

D. Penyelesaian Sengketa Dengan Cara Litigasi

Litigasi sebagai langkah terakhir upaya penyelesaian tanah garapan,

apabila jalan musyawarah yang ditempuh dengan jalur non-litigasi sudah tidak

menemui kata sepakat, maka pihak penggarap atau pihak perkebunan mengajukan

Universitas Sumatera Utara


ke Pengadilan. Masalah penyelesaian secara litigasi berkaitan dengan pelaksanaan

Putusan Pengadilan ada 2 (dua) masalah yaitu :

1. Tidak percaya kepada Pengadilan dan tidak dapat menerima hasil putusan

Pengadilan

Pihak penggarap sebagai yang kalah tidak dapat menerima kekalahan

perkaranya lalu meminta kepada Pemerintah Cq. BPN untuk memberikan

keputusan yang sesuai dengan yang dikehendaki.Penyelesaian sengkata yang telah

diputus oleh pengadilan dan telah berkekuatan hukum tetap secara hukum harus

dilaksanakan (dieksekusi). Dalam hukum dikenal asas umum bahwa Keputusan

Pengadilan harus dianggap benar.Putusan Pengadilan yang tidak dapat

dilaksanakan

Putusan Pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht) dalam

sengketa tanah garapan melalui gugatan perdata mendapat kesulitan atau bahkan

tidak dapat dilaksanakan karena tanah yang menjadi objek sengketa gugatan telah

berubah kepemilikannya. 195Dalam banyak kasus/sengketa yang terjadi

berdasarkan data, kelihatan upaya litigasi sangat tidak strategis untuk dijadikan

fundamen penyelesaian, tetapi jalur hukum adalah merupakan payung dari segala

strategi yang akan digunakan. Hal ini mengingat persoalan penggarapan sudah

sedemikian kompleksnya, tidak saja menyangkut aspek hukum semata, tetapi

telah merebak pada aspek sosial-politik, kebijakan pemerintah, value dan krisis

kepercayaan yang memerlukan trasparansi dan pendekatan humanisme yang

195
Badan Pertanahan Nasional RI Kantor Wilayah Propinsi Sumatera Utara, 2007, Teknis
Penanganan Masalah Pertanahan, disampaikan pada Seminar Nasional Hukum Pertanahan yang
dilaksanakan oleh Lembaga Citra Bangsa, Medan, hal 4

Universitas Sumatera Utara


cukup memadai. Oleh karena itu sikap ekstra hati-hati sangat diperlukan didalam

setiap langkah yang akan diambil. 196

2. Biaya mahal dan prosesnya terlalu lama

Semua pihak menganggap biaya perkara mahal, apalagi jika dikaitkan

dengan lamanya penyelesaian. Semakin lama penyelesaian sengketa di

Pengadilan semakin tinggi biaya yang harus dikeluarkan.

Ungkapan yang dikemukakan Abraham Lincoln pada tahun 1850 :

“Discourege litigation.Persuade your neigburs to compromise whenever you

can. Point out to them how the nominal winner is often a real loser-in fees,

expense and waste of time”.

Maksudnya kira-kira begini. Hindari berperkara. Bujuk dan ajak

tetanggamu BERKOMPROMI sedapat mungkin. Tunjukkan kepada mereka,

seorang yang menang berperkara pada hakekatnya adalah kalah perkara. Karena

untuk memperoleh kemenangan, dia harus mengeluarkan biaya yang mahal

dibarengi dengan pemborosan waktu yang sia-sia. 197

Dalam Perkara Gugatan Kebun Rambutan PTPN III di Pengadilan Tebing

Tinggi Deli, perkara ini di ajukan ke Pengadilan tahun 2008 dan baru memperoleh

keputusan yang telah berkekuatan hukum tetap tahun 2011. Proses Pengadilan ini

tidak sampai ke tingkat Mahkamah Agung. Dapat diperkirakan seandainya tidak

196
Bagian Hukum dan Agraria PTPN III, 2013,Putusan Pengadilan dalam perkara perdata di
Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Deli No. 26/Pdt.G/2007/PN.TTD. tanggal 30 Juni 2008 antara
PTPN III lawan Kelompok Penggarap Kampung Panguripan, Desa Paya Bagas (Rukiman. Dkk)
atas areal garapan seluas 82 Ha Kebun Rambutan di Afd-I dan III. Perkara sudah berkekuatan
hukum tetap dan dilaksanakan eksekusi.
197
Mc. Graw-Hill Publishing Comp. New York, 1989, h. 3. Dalam M. Yahya Harahap, 1997,
Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan Dan Penyelesaian Sengketa, Citra Aditya Bakti,
Bandung, hal 384

Universitas Sumatera Utara


selesai perkaranya di Pengadilan Tinggi Medan, berapa lama lagi menunggu

keputusan dari Mahkamah Agung. Proses gugatan oleh PTPN III di Pengadilan

adalah sebagai berikut :

1. Bahwa melalui Surat Kuasa Khusus No. 3.00/SK/04/2007 Direktur Utama

PTPN III memberikan kuasa kepada Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara

sebagi Penggugat sekaligus sebagai Jaksa Pengacara Negara terhadap

penyerobotan areal yang dilakukan oleh penggarap di areal HGU PTPN III

Kebun Rambutan, Paya Bagas.

2. Bahwa dalam proses persidangan pada tanggal 26 Maret 2008 Pengadilan

Negeri Tebing Tinggi Deli telah melakukan peletakan sita jaminan No.:

26/Pdt/2008/PN-TTD.

3. Bahwa pada tanggal 30 Juni 2008 Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Deli

melalui Putusan No.: 26/Pdt.G/2007/PN-TTD memutus perkara ini yaitu

mengabulkan gugatan penggugat (PTPN III) menyatakan Tergugat-

Tergugat (Rukiman Dkk ) untuk meninggalkan dan mengosongkan areal

perkebunan yang digarap/dikuasai baik segala tanaman dan bangunan yang

ada diatasnya sekaligus menyatakan sita jaminan yang telah dilaksanakan

pada tanggal 26 Maret 2008 sah dan berharga.

4. Bahwa atas Putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Deli tersebut pada

tanggal 21 Juli 2008pihak Tergugat (Rukiman. Dkk ) mengajukan banding

dengan biaya Negara (prodeo).

5. Bahwa Pengadilan Tinggi Medan pada tanggal 14 Juli 2009 mengeluarkan

Penetapan Penolakan Bading Prodeo No.: 1/Pen-Pdt/Prodeo/2009/PT-Mdn

dengan amar putusan menyatakan permohonan Tergugat-Tergugat

Universitas Sumatera Utara


(Rukiman Dkk ) untuk perkara dalam tingkat banding dengan Cuma-Cuma

(prodeo) tidak diterima.

6. Bahwa pada tanggal 6 Agustus 2008 pihak Suwarno Dkk juga melakukan

perlawanan atas peletakan sita jaminan.

7. Bahwa atas perlawanan tersebut Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Deli

mengeluarkan Putusan No. 23/Pdt/PLW/2008/PN-TTD tanggal 16 Juli

2009 menyatakan Pelawan adalah Pelawan yang tidak beritikad baik dan

menolak perlawanan Pelawan untuk seluruhnya.

8. Bahwa dengan ditolaknya banding prodeo serta gugatan perlawanan maka

kemudian kedua penetapan tersebut telah diberitahukan kepada para pihak

tanpa upaya hukum selanjutnya dari pihak Tergugat (Suwarno Cs)

sehingga dengan demikian putusan tersebut telah dinyatakan berkekuatan

hukum tetap (incracht van gewijsde).

9. Bahwa PTPN III melalui Surat No.: 3.11/SK/12/2009 tanggal 30 Juni 2009

telah mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Negeri Tebing

Tinggi Deli.

10. Bahwa tindak lanjut dari hal tersebut Pengadilan Negeri Tebing Tinggi

Deli mengeluarkan Surat Panggilan/Aanmaning I dan II terhadap

Masyarakat Penggarap untuk melaksanakansecara sukarela Putusan

Pengadilan tersebut;

11. Bahwa PT Perkebunan Nusantara III telah memberikan himbauan kepada

seluruh masyarakat yang berada diareal untuk meninggalkan areal HGU

PT Perkebunan Nusantara II secara sukarela sebagaimana Surat No.

Universitas Sumatera Utara


KRBTN/X/06/2010 tanggal 4 Pebruari 2010 dan surat No.:

KRBTN/X/2010 tanggal 15 Pebruari 2010.

12. Bahwa atas permohonan eksekusi tersebut Pengadilan Negeri Tebing

Tinggi Deli mengirimkan surat antara lain:

a. Nomor: W2.U.10/316/Pdt.04.10/II/2010 tanggal 9 Pebruari 2010

Perihal: Mohon bantuan petugas keamanan untuk pelaksanaan eksekusi

dalam perkara perdata Nomor: 08/Eks/2009/Pdt.G/PN-TTD kepada

Komandan Polisi Sektor Tebing Tinggi yang akan dilaksanakan pada

hari Selasa tanggal 23 Pebruari 2010.

b. Nomor: W2.U.10/317/Pdt.04.10/II/2010 tanggal 9 Pebruari 2010

Perihal: Mohon bantuan petugas keamanan untuk pelaksanaan eksekusi

dalam perkara perdata Nomor: 08/Eks/2009/Pdt.G/PN-TTD kepada

Kepala Kepolisian Resort Kota Tebing Tinggi yang akan dilaksanakan

pada hari Selasa tanggal 23 Pebruari 2010.

c. Nomor: W2.U.10/318/Pdt.04.10/II/2010 tanggal 9 Pebruari 2010

Perihal: Mohon bantuan petugas keamanan untuk pelaksanaan eksekusi

dalam perkara perdata Nomor: 08/Eks/2009/Pdt.G/PN-TTD kepada

Kepala Kepolisian Resort Serdang Bedagai yang akan dilaksanakan

pada hari Selasa tanggal 23 Pebruari 2010.

d. Nomor: W2.U.10/319/Pdt.04.10/II/2010 tanggal 9 Pebruari 2010

Perihal: Mohon bantuan petugas keamanan untuk pelaksanaan eksekusi

dalam perkara perdata Nomor: 08/Eks/2009/Pdt.G/PN-TTD kepada

Komandan Sub Detasemen 1/I-I yang akan dilaksanakan pada hari

Selasa tanggal 23 Pebruari 2010.

Universitas Sumatera Utara


e. Eksekusi telah dilakukan pada hari Selasa, 06 April 2010 sesuai berita

acara eksekusi pengosongan (onstruming) nomor :

08/Eks/2009/Pdt.G/PN-TTD, perkara Nomor 26/Pdt.G/2007/PN-TTD.

f. Selanjutnya PTPN III Kebun Rambutan melakukan pembersihan areal

tanggal 14 Maret 2011 kemudian dilakukan penanaman kelapa sawit di

areal yang telah dikuasai kembali tersebut.

g. Masyarakat penggarap dipimpin Suwarno masih berusaha

mempermasalahkan ke Badan Pertanahan Nasional RI di Jakarta.

Tanggal 28 Oktober 2011 diadakan rapat pertemuan di Deputi V

Bidang Sengketa Pertanahan BPN RI. Secara tegas PTPN III menolak

adanya rencana pengukuran kembali areal Paya Bagas, karena areal

telah memiliki serifikat hak guna usaha No. 1 tanggal 14 Mei 1996

seluas 4.373,78 Ha berakhir tanggal 31 Desember 2025. Diperkuat

dengan areal yang menjadi sengketa sudah di putus Pengadilan dan

telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) serta sudah di

eksekusi.

h. Bahwa dengan pertimbangan rasa kemanusiaan upaya pendekatan yang

telah dilakukan PT Perkebunan Nusantara III adalah terhadap 23 orang

pengusaha Batubata, 10 unit rumah permanen dan 27 unit rumah semi

permanen yang berada diatas garapan PT Perkebunan Nusantara II telah

dilakukan proses pendekatan dengan cara pemberian suguh hati (biaya

bongkar rumah dan biaya pindah) agar kiranya masyarakat yang berada

diatas areal dapat secara sukarela meninggalkan areal. Setelah selesai

Universitas Sumatera Utara


pemberian suguh hati, maka sudah dapat dikuasai kembali seluruh areal

garapan yang menjadi sengketa seluas 82 Ha tersebut.

Dari sengketa ini betapa lamanya waktu yang ditempuh untuk

penyelesaian tanah garapan di areal perkebunan bila diikuti prosesnya

sejak para penggarap melakukan penguasan menduduki areal pada

tahun 2001 (pasca reformasi). Antara PTPN III Kebun Rambutan dan

Penggarap kelompok tani Paya Bagas Kebun Rambutan saling

menuntut dan mengadu ke berbagai instasi lembaga negara. Pada

akhirnya tahun 2011 baru dapat selesai dengan menggabungkan antara

proses litigasi dan non-litigasi, yaitu setelah adanya putusan Pengadilan

yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), Penggarap

dapat menerima ganti rugi dalam bentuk suguh hati dari PTPN III.

E. Kegagalan Penyelesaian Sengketa Tanah Garapan Di Areal

Perkebunan PTPN III

Penyelesaian sengketa tanah garapan diselesaikan oleh PTPN III dengan

memberikan ganti rugi dalam bentuk suguh hati sebagian penggarap dapat

menerima, akan tetapi suguh hati yang di berikan kepada penggarap tidak tuntas

karena tidak semua penggarap bersedia menerim suguh hati, dari jumlah

penggarap dan luasan areal sengketa masih belum dapat diselesaikan seluruh

sengkta tanah garapan. Gagalnya penyelesaian areal garapan disebabkan beberapa

hal yaitu :

1. Faktor sikap dan pandangan karyawan terhadap tanah sebagai aset.

Universitas Sumatera Utara


Perusahaan perkebunan PTPN para karyawanya masih berpandangan

tanah sebagai aset perusahaan, tidak dipandang sebagai aset negara.

Apabila paradigma karyawan perkebunan memiliki pandang bahwa PTPN

sebagai sebuah perusahaan negara, seharusnya aset perusahaan adalah aset

negara, karena tanah yang dijadikan lahan perkebunan merupakan tanah

yang diserahkan kepada perusahaan untuk dijadikan modal perusahaan.

Karyawan perkebunan PTPN harus memiliki kepedulian terhadap

perusahaan dan masyarakat di lingkungan perkebunan dalam bentuk

program-program pemberdayaan masyarakat. Dalam penyelesaian tanah

garapan seharusnya dapat dipergunakan dari anggaran progaram CSR

(Corporat Social Responsibility), dan Program Kemitraan Bina

Lingkungan (PKBL). Biaya untuk menyelesaikan garapan tidak perlu lagi

di anggarkan secara khusus, dari program CSR dan PKBL, Petani

penggarap diberdayakan secara ekonomi dan diberikan penyadaran

hukum. Sehingga masyarakat disekitar lingkungan perkebunan merasakan

manfaatnya keberadaan perkebunan. Bagi Perusahaan Perkebunan dapat

dijadikan penyangga (bufer zone) masyarakat di sekitar perkebunan dari

segi keamanan dan lingkungan sosial.

2. Faktor Kepentingan Orang, Kelompok Yang Mendampingi Penggarap.

PTPNIII dipandang sebagai sebuah perusahaan perseroan yang sehat,

sehingga kelompok tani penggarap dalam perjuangannya untuk

mendapatkan tanah garapanya ada yang ditunggangi oleh orang atau

kelompok tertentu mengambil keuntungan dengan janji-janji akan

memperjuangkan tanah garapan dapat berhasil.

Universitas Sumatera Utara


Akibat dari cara pandang kalangan internal bahwa PTPN sebagai sebuah

perusahaan perseroan ansich, dan kalangan eksternal secara sadar

memanfaatkan kepentingan pribadi atau kelompok diatas kepentingan

perjuangan petani penggarap, maka sengketa tanah garapan yang dalam

ikhtiarnya dapat selesai dengan tuntas pada kenyataannya banyak

mengalami kegagalan. Berdasarkan data tahun 2013-2014 di PTPN III

bahwa luas tanah garapan diareal Kebun jumlahnya 3985,17 Ha. Masih

dalam sengketa di proses litigasi luasnya berjumlah 2229,56 Ha.

Diselesaikan dengan proses non-litigasi luasnya berjumlah 425,34 Ha. 198

Dari data ini menunjukkan masih besar jumlah permasalahan areal garapan

di Kebun PTPN III yang belum dapat diselesaikan.

F. Pandangan Dan Sikap Dari Masyarakat Dan Lembaga Negara Dalam

Penyelesaian Sengketa Tanah Garapan Di Perkebunan

Pandangan, sikap dari masyarakat dan Lembaga Negara dalam

penyelesaian sengketa tanah garapan ini juga berkaitan dengan kegagalan

penyelesaian sengketa tanah di Perkebunan PTPN III.

1. Sikap/Pandangan Masyarakat Penggarap

Masyarakat menggarap di areal HGU perkebunan, tanah-tanah yang

digarap dituntut masyarakat diakui sebagai miliknya. Masyarakat cenderung

berusaha agar areal yang dikuasai Perkebunan dikembalikan kepada penggarap.

Penggarap dalam aksi-aksi tuntutannya mengemukakan tanah secara fakta

histories adanya hubungan tanah dengan asal-usul keturunan keluarga leluhurnya

198
Data Kantor Direksi, Bagian Hukum Dan Agraria PTPN III (Persero) Tahun 2013-2014

Universitas Sumatera Utara


yang telah menggarap sejak masa perkebunan Belanda dan menjadi buruh

diperusahan perkebunan Belanda tersebut, kemudian mendapat ijin menggarap

sepanjang untuk kebutuhan hidup pada masa itu.Tuntutan agar tanah menjadi

milik penggarap, di kemukakan penggarap dalam gugatan rekonvensi di

Pengadilan Negeri Lubuk Pakam terhadap PTPN-IIIKebun Sei.Putih, Gugatan

Tahun 2006, No. 66/Pdt.G/2006/PN.LP oleh Kelompok Tani “Karya Tani” Sei

Putih Barat.

Penggarap menganggap perkebunan menyerobot tanah rakyat karena

antara luasan di surat tanah HGU dengan penguasan dilapangan areal perkebunan

lebih luas sehingga perkebunan mengusahai areal tanah perkebunan melebihi dari

hak guna usahanya.Masyarakat penggarap minta dilakukan pengukuran ulang

terhadap luasan areal, agar tanah sengketa yang dituntut dan digarap dikeluarkan

dari areal HGU.

Hak Guna Usaha perkebunan yang sudah habis masa berlakunya dan

proses perpanjangannya belum keluar, anggapan penggarap perkebunan tidak

berhak lagi mengusahai dan areal yang menjadi garapan harus diserahkan kepada

para penggarap dengan kata lain penggarap berhak untuk memiliki tanah yang

mereka garap.

Penggarap mempertahankan tanah karena sudah sejak orang tua atau

kakek mereka bekerja sebagai buruh kebun membuka hutan areal konsesi

perkebunan Belanda, kemudia di zaman Jepang diberi izin menanami tanah

perkebunan dianggap legal. Alasan tanah rendahan yang tidak ditanami

Universitas Sumatera Utara


perkebunan digarap masyarakat dananggapan masyarakat tanahnya diterlantarkan

oleh perkebunan.

2. Sikap /Pandangan Pekerja Perusahaan Perkebunan


Perkebunan PTPN IIIpara pekerjanyabersikap harus diselesaikan terhadap

garapan di areal perkebunan PTPN III yaitu dengan mengeluarkan penggarap dari

areal kebun. Alasan PTPN III areal perkebunan secara sah diusahai dengan dasar

hak guna usaha (HGU), pada masa awalnya merupakan tanah-tanah perusahaan

perkebunan Belanda yang di nasionalisasi pemerintah Republik Indonesia.

Apabila lahan diserahkan kepada para penggarap maka akan menjadi trend

penggarap yang lainnya di Kebun-Kebun akan menuntut tanah garapan diserahkan

kepada penggarap. Areal sengketa yang dituntut sudah diselesaikan dengan ganti

rugi, penggarap yang sekarang melakukan tuntutan tidak berhak menuntut

kembali karena sudah selesai permasalahannya,

Tuntutan para penggarap pada sebagian areal HGU maka akibatnya proses

perpanjangan HGU yang dimohonkan PTPN III dari seluruh luasan areal HGU

yang telah berakhir masanya menjadi tertunda. Hal ini mengakibatkan kerugian

dan tidak nyaman serta tidak amannya menjalan usaha perkebunan dari pihak

PTPN III karena dilokasi objek tanah yang disengketakan terjadi perbuatan-

perbuatan yang sudah mengarah pada pelanggaran hukum.Terjadi konflik

horizontal antara kelompok penggarap dengan para karyawan Kebun.Penyelesaian

sengketa berlarut-larut tidak dapat selesai dan HGU tidak diterbitkan BPN karena

adanya sengketa itu.

Universitas Sumatera Utara


3. Sikap /Pandangan Pemerintah Dan DPRD

Sikap dan pandangan aparatur negara Pemerintah Daerah dan DPRD

terhadap kebijakan pertanahan dalam penyelesaian sengketa tanah masih terjadi

perbedaan.

Pemerintah di daerah pada umumnya menyikapi penggarapan tanah-tanah

perkebunan mengajak berunding dan bermusyawarah agar perkebunan

memberikan hak mayarakat secara manusiawi.Areal garapan dikeluarkan dari

areal HGU atau memberikan ganti rugi tanah dan tanaman serta bangunan yang

ada.

Kalaupun alasan-alasan yang dianjurkan tersebut kurang didukung oleh

bukti-bukti, dianjurkan agar dapat diberikan ganti rugi.Pemerintah lemah dalam

inventarisasi dokumen dan arsip mengenai perkembangan dan perubahan

pemerintahan padahal perkembangan wilayah mempunyai dampak yang

signifikan terhadap sengketa antara masyarakat penggarap dengan perkebunan.

Data dokumen perkembangan, pemekaran, perubahan mengenai pemerintahan

desa tidak dikelola dengan baik sehingga penyelesaian sengketa sulit diselesaian

untuk menetukan tempat dan posisi objek sengketa karena adanya perbedaan

lokasi tanah yang menjadi sengketa.

Dewan Perwakilan Rakyat mengusahakan penyelesaian memakai cara

politis untuk menghidari konflik horizontal.Meminta kepada Perkebunan agar

memberikan areal garapan kepada penggarap. Putusan Pengadilan tidak harus

mutlak menjadi pegangan untuk mengeluarkan penggarap dari areal garapannya,

sebaliknya diminta perkebunan memberikan ganti rugi. Kepentingan politik

terhadap keberadaan penggarap sebagai steak holderpartai politiknyasangat kental

Universitas Sumatera Utara


mewarnai tujuan dalam tindakan anggota DPRD menyelesaiakan tanah garapan,

sehingga rakyat penggarap dibela melebihi dari apa yang sebenarnya sudah di

inginkan kelompok penggarap. Hal ini bisa menjadi dead lock musyawarah atau

perundingan penyelesaian tanah garapan.

Sikap yang sudah disepakati dalam proses tindak lanjutnya banyak

mengalami hambatan karena dihadapkan dengan mekanisme dan prosedur pada

internal instansi masing-masing. Kondisi yang demikian membuat bosan dan

ketidak sabaran dari penggarap maupun perusahaan. Dampaknya penyelesaian

permasalahan menjadi mentah kembali, dan penyelesaian menjadi gagal.

G. Hambatan-Hambatan Penyelesaian Sengketa

1. Hambatan Penyelesaian Sengketa Tanah Garapan Dari Penggarap

Penyelesaian sengketa garapan di areal perkebunan menemui hambatan

yang datangnya dari pihak penggarap. Hambatan-hambatan tersebutan

adalah :

a. Tuntutan masyarakat penggarap pada umumnya tidak didukung

dengan alas hak atau bukti-bukti kepemilikan yang otentik

b. Alat bukti kepemilikan yang dijadikan dasar tuntutan para

penggarap ada yang hanya berupa foto copy yang tidak dapat

diteliti kebenarannya.

c. Ada kecenderungan tuntutan masyarakat yang dikuasakan

penyelesaiannya kepada orang atau lembaga tertentu

d. Perbedaan penafsiran dan kurangnya pemahaman terhadap

peraturan perundang-undangan pertanahan, di kalangan

masyarakat.

Universitas Sumatera Utara


e. Sulit mencapai kesepakatan karena dalam satu areal garapan ada

beberapa kelompok penggarap dan masing-masing kelompok

bertahan pada pendiriannya dan cenderung memaksakan kehendak

dan bahkan menggunakan kekuatan massa.

2. Hambatan penyelesaian dari pihak perusahaan PTPN-III

Hambatan penyelesaian dari pihak perusahaan PTPN-III adalah sebagai berikut:

a. Prosedur untuk mengambil keputusan terlalu panjang dari

pejabat yang mempunyai legitimasi untuk memutuskan

permasalahan tanah sebagai aset perusahaan. Kendala ini

karena kedudukan dan status hukum perkebunan sebagai

perusahaan negara.

b. Pejabat dari perusahaan yang hadir dalam perundingan

sering sekali perusahan mengirim orang yang bukan

sebagai pengambil keputusan (desetion maker) sehingga

harus ditunda untuk mendapatkan keputusan dari

perusahaan.

c. Sikap mempertahankan areal garapan untuk tidak melepas

aset tanah sengketa dari hak guna usaha membuat tidak

dapatnya mencapai kesepakatan dalam proses negosiasi

atau mediasi. Sikap tegas Pemerintah sebagai penengah

dalam menangani penyelesaian sengketa menambah

rumitnya dan panjangnya penanganan penyelesaian

sengketa tanah garapan.

Universitas Sumatera Utara


3. Hambatan dari pemerintah dalam penyelesaian tanah garapan

Hambatan dari pemerintah dalam penyelesaian tanah garapan adalah sebagai


berikut :

a. Data dan informasi pertanahan tidak terdokumentasi dengan baik

oleh instansi Pemerintah yang berkaitan dengan tanah perkebunan,

masing-masing instansi berbeda data dan informasinya.

b. Kurang koordinas antara pihak-pihak yang terkait dalam

menyelesaikan sengketa-sengketa pertanahan khususnya sengketa

tanah garapan di perkebunan.

a. Belum ada petunjuk pelaksana (juklak) dari Pemerintah Pusat

untuk penyelesaian sengketa tanah di perkebunan yang

keputusannya berada di kaitkan dengan beberapa Kementerian

untuk pelepasan aset (tanah), sehingga pemerintah propinsi dan tim

tanah yang dibentuk pemerintah daerah tidak dapat mengambil

keputusan untuk melakukan pelepasan aset karena harus ada

persetujuan dari kementrian terkait di perusahaan PTPN sebagai

BUMN.

b. Pemerintah belum bersikap tegas dalam mengambil kebijakan

penyelesaian sengketa tanah garapan areal perkebunan dalam hal

menyerahkan areal untuk didistribusikan terhadap penggarap yang

berhak atau memperpanjang HGU. Kondisi ini menambah

rumitnya dan panjangnya penanganan penyelesaian sengketa tanah

garapan.

Universitas Sumatera Utara


H. Solusi Penyelesaian Sengketa Tanah Garapan Di Perkebunan BUMN

Secara umum penanganan permasalahan tanah dapat dilakukan

dengan cara :

a. Penyelesaian secara langsung oleh para pihak dengan cara

musyawarah

b. Penyelsaian dengan TIM Khusus, penyelesaian secara koordinasi,

terpadu dan konsisten.

c. Penyelesaian sengketa di Pengadilan

Beberapa acuan yang dijadikan dasar yuridis untuk mengantisipasi

dan meminimalisasi sengketa dan pengamanan serta mempertahankan aset

adalah :

a. Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik

Negara

b. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

c. Undang-undang No. 51 PRP Tahun 1951 tentang Larangan

Pemakaian Tanah-Tanah Tanpa Izin Yang berhak Atau Kuasanya

d. Undang-Undang No. 28 Tahun 1956 Tentang Pengawasan

terhadap Pemindahan Hak Atas Tanah Pekebunan, dinyatakan

bahwa, setiap perbuatan yang berwujud pemindahan hak maupun

serah pakai tanah perkebunan kepada pihak ketiga harus mendapat

izin dari pejabat yang berwenang

e. Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. Namun

setelah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 55/PUU-VIII/2010

Universitas Sumatera Utara


tanggal 22 September, membatalkan ketentuan Pasal 21 dan Pasal

47. Pasal-pasal ini sebenarnya dapat dijadikan dasar pengamanan

aset perkebunan.

f. PP No. 40 Tahun 1996 tentang HGU,HGB Dan Hak Pakai Atas

Tanah, Pasal 12 menyatakan, bahwa : “Pemegang hak guna usaha

berkewajiban untuk melaksanakan usaha pertanian, perkebunan,

perikanan dan atau peternakan sesuai peruntukan dan persyaratan

sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya” dan

kemudian dipertegas oleh BPN kepada PTPN III selaku pemegang

hak, dalam salah satu klausul surat Keputusan

pemberian/penetapan HGU, menyatakan bahwa, setiap perubahan

peruntukan penggunaan tanah dan setiap perbuatan hukum yang

bermaksud untuk memindahkan HGU atas tanah perkebunan, baik

keseluruhan maupun sebahagian diperlukan izin terlebih dahulu

dari Kepala Badan Pertanahan Nasional

g. Instruksi Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 5/1999;

Apabila terjadi pelanggaran diatas areal HGU, di instruksikan

untuk melakukan inventarisasi dan koordinasi dengan instansi

terkait guna mengambil langkah-langkah konkrit dengan sebaik-

baiknya tanpa merugikan pemegang hak lama.

Ada 2 (dua) rekomendasi yang dapat dijadikan alternatif pendekatan

penyelesaian, yaitu :

Alternatif Pertama : Total Land Consolidation

Universitas Sumatera Utara


Dalam alternatif ini penyelesaian permasalahan lahan dilakukan secara

menyeluruh dengan implikasinya meliputi perencanaan, pengorganisasian,

pelaksanaan dan pengawasannya. Dalam hal ini setiap perusahaan PTPN perlu

melakukan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Sensus terhadap masing-masing kebun yang dimiliki , termasuk plasma

dengan menginventarisir luas lahan lahan yang dikuasai perusahaan,

jumlah penduduk dan kondisi sosial masyarakat dimasing-masing wilayah

kebun yang bersangkutan.

2. Mengevaluasi data hasil inventarisasi per kebun dibahas bersama antar

Manejer Kebun dengan pihak masyarakat sekitar kebun.

3. Melakukan pendekatan yang berbasis unit kebun sehingga diharapkan

dapat memperoleh penyelesaian strategis yang betul-betul berasal dari

bawah, mengingat kondisi masyarakat setiap kebun berbeda satu dengan

lainnya bahkan mungkin ada yang tidak mau berunding.

4. Hasil butir 1 sampai dengan 2 tersebut diatas dilaporkan oleh masing-

masing majer kebun kepada Direksi Perusahaan PTPN yang bersangkutan,

kemudian dari setiap PTPN disampaikan kepada para pemegang saham

untuk dikonsolidasikan.

Alternatif Kedua : Partial Land Consolidation

Dalam Alternatif II ini penyelesaian sengketa tanah garapan dilakukan

secara parsial, yakni hanya terbatas pada areal yang bersengketa antara lain

tuntutan/klaim, masalah hak ulayat dan masalah tuntutan lainya mengenai tanah

garapan. Sebagaimana pada Alternatif I, maka implikasi dalam penyelesaian areal

garapan alternatif II ini meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan

Universitas Sumatera Utara


pengawasan atas konsep penyesaian areal dimaksud. Demikian pula langkah-

langkah yang dilakukan hampir sama dengan alternatif I, akan tetapi hanya saja

dilakukan terhadap kebun yang bermasalah.

1. Melakukan pembicaraan secara langsung pihak bersengketa secara

kekeluargaan dapat melibatkan instansi terkait menjadi mediator.

2. Melihat lokasi yang dipersengketakan dengan cara mengukur batas-batas

tanah, kemudian disesuaikan dengan surat ukurnya dan meneliti dokumen

kepemilikan tanah secara seksama antara para pihak dan mediator.

3. Melakukan kesepakatan antara para pihak dengan menyampaikan

kehendak masing-masing secara bebas untuk menentukan besarnya uang

ganti rugi tanah, tanaman dan bangunan, guna menghindari timbulnya

penyalahgunaan kekuasaan.

4. Musyawarah harus dilakukan secara adil dan tidak memihak serta

menghindarkan tekanan-tekanan, dalam hal ini posisi mediator harus

bersikap pasif dan tidak menunjukkan keberpihakan kepada salah satu

pihak yang bersengketa.

Pembentukan Tim Penyelesaian Tanah Garapan oleh Direksi PTPN III

dengan pemberian Suguh Hati belum dapat menjadi solusi penyelesaian secara

tuntas, oleh karena pembentukan Tim sebagai cara menyelesaikan persoalan tanah

garapan dari dimensi kasus-perkasus bukan masalahstruktural. Penggarapan areal

perkebunan merupakan rangkaian dari permasalahan sengketa tanah secara

struktural yang harus diselesaikan oleh Pemerintah secara komrehensiif. Secara

faktual ada masyarakat petani miskin yang perlu mendapatkan tanah dan

mendapatkan perlindungan hukum sebagai petani.Tentunya untuk menjamin

Universitas Sumatera Utara


terwujudnya hukum dan keadilan mengakselerasi tercapainya amanat UUD 1945

maka Pemerintah harus bersikap tegas dalam persoalan tanah garapan di

arealperkebunan.

Universitas Sumatera Utara


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan

1. Hukum yang mengatur hak guna usaha perkebunan dan keberadaan

masyarakat penggarap terhadap tanah-tanah yang menjadi sengketa di

tanah perkebunan, tidak dapat dipisahkan dari sejarah adanya hubungan

para pengusaha perkebunan dengan penguasa Kerajaan atau Kesultanan

pada masa lalu yang sekarang menjadi wilayah kekuasaan Negara

Republik Indonesia. Pengusaha perkebunan mendapat hak untuk

mempergunakan tanah dijadikan lahan perkebunan berdasarkan hak

konsesi, hak erfpacht yang diperoleh dari penguasa pada masa itu, masa

Kerajaan, Kesultanan dan Pemerintahan Kolonial Belanda. Sejarah tata

pemerintahan mempunyai pengaruh yang kuat terhadap bentuk penguasan

tanah di perkebunan dalam aspek hukum, mulai dari kerajaan atau

kesultanan, penjajahan Belanda, Jepang sampai masa kemerdekaan

Republik Indonesia.

Sebelum berlakunya UUPA No. 5 Tahun 1960 situasi peraturan

pertanahan di Sumatera Utara sangat beragam pelaksanaannya. Di daerah

yang dahulu merupakan daerah Swapraja di Sumatera Timur berlaku

berbagai macam hak atas tanah.

Tanah dengan Hak Konsesi untuk perkebunan besar. Tanah dengan

hak eigendom yang terletak dalam batas-batas Gemeente (Kotapraja)

Medan yang didaftarkan pada register Kadaster Medan.

Universitas Sumatera Utara


Tanah-tanah masyarakat yang bersengketa menggarap di tanah

perkebunan dengan beragam surat tanah yang dijadikan dasar bukti

kepemilikan, seperti misalnya Surat Keterangan Ganti Rugi (SKGR) tanah

yang di ketahui dan disahkan dari Kepala Desa, Kartu Registrasi

Pendaftaran Tanah (KRPT) berdasarkan Undang-Undang Darurat No. 8

Tahun 1954, Surat Keterangan Pendaftaran Tanah Lendreform (SK

Paland) berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961 tentang

Pelaksanaan Pembagian Tanah Dan Pemberian Ganti Rugi.

Sengketa tanah perkebunan di Sumatera Utara yang

berkepanjangan antara masyarakat penggarap dengan perusahaan

perkebunan tidaklah berkisah soal hubungan orang dengan tanah semata-

mata, tetapi sejak kedatangan Bangsa Belanda ke Indonesia hak-hak atas

tanah di Sumatera Utara telah bertali-temali dengan sistem hukum, sistem

kekuasaan, sistem ekonomi, kolonialisme dan imperialisme yang

menimbulkan konflik kepentingan. Tanah konsesi yang sudah dibuka dan

yang belum pernah dikerjakan pada masa kekuasaan Belanda, oleh

penguasa militer Jepang di izinkan untuk dikerjakan rakyat menjadi tanah

pertanian dan mendirikan gubuk-gubuk rumahnya. Setelah penyerahan

kedaulatan kepada Pemerintah Republik Indonesia, perusahaan-

perusahaan perkebunan Belanda dinasionalisasi melalui UU No. 86 tahun

1958 dan Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 1959, masih timbul sengketa

perebutan tanah yang tidak selesai-selesainya, dalam situasi yang demikian

maka pemerintah melakukan pendaftaran tanah berdasarkan aturan yang

dikenal dengan UU Darurat No. 8 Tahun 1954 surat pendaftaran tanah

Universitas Sumatera Utara


menjadi bukti sebagai surat tanah. Penggarap yang sudah terdaftar dengan

surat Kartu Registrasi Pendaftaran Tanah (KRPT) dilindungi atas

penguasaan tanahnya.

Berlakunya UUPA dan ketentuan peraturan pelaksananya ternyata

belum dapat mengakhiri sengketa tanah. Sengketa-sengketa tanah

perkebunan sangat dipengaruhi cara dan tindakan pemerintahan pada masa

melahirkan peraturan dibidang pertanahan dalam penyelenggaraan

pembangunan. Sebagai contoh tentang terbitnya satu surat hak guna usaha

di PTPN III.

Untuk menentukan berapa luas bidang tanah HGU PTPN III Kebun Sei

Silau, maka terlebih dahulu harus dipahami mengenai tahapan atau fase

yang menjadi dasar terjadinya HGU, yaitu:

Pertama: Fase penerbitan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau

pejabat yang ditunjuk, yang menjadi dasar diberikannya HGU kepada

orang atau badan hukum tertentu (vide Pasal 31 UU No. 5 Tahun 1960

juncto Pasal 6 PP No. 40 Tahun 1996); dan

Kedua: Fase pendaftaran atas bidang tanah yang telah diberikan HGU-

nya ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, yang wajib dilakukan oleh

orang atau badan hukum yang menerima keputusan pemberian HGU

(vide Pasal 32 UU No. 5 Tahun 1960 juncto Pasal 7 PP No. 40 Tahun

1996).

Pada norma hukum yang terkandung dalam Pasal 6 dan Pasal 7 PP

Nomor 40 Tahun 1996, yang berbunyi sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara


Pasal 6

(3) Hak Guna Usaha diberikan dengan keputusan pemberian oleh


Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(4) Ketentuan mengenai tata cara dan syarat permohonan pemberian
Hak Guna Usaha diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.

Pasal 7

(4) Pemberian Hak Guna Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6


ayat (1) wajib didaftar dalam buku tanah pada Kantor Pertanahan.
(5) Hak Guna Usaha terjadi sejak didaftarkan oleh Kantor Pertanahan
dalam buku tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
(6) Sebagai tanda bukti hak kepada pemegang Hak Guna Usaha
diberikan sertifikat hak atas tanah.

Penegasan mengenai terjadinya atau lahirnya HGU atas bidang tanah

dapat dilihat dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) PP Nomor 40 Tahun 1996,

yang berbunyi sebagai berikut:

Sebelum didaftarkan sesuai ketentuan yang berlaku, Hak

Guna Usaha belum terjadi dan status tanahnya masih tetap tanah

Negara. Istilah “terjadi” tersebut telah ada sejak Undang-undang

Pokok Agraria. Dalam pemahaman masa-masa sesudah itu, istilah

“terjadi” tadi memiliki arti yang sama dengan “lahirnya” hak.

Dengan telah diterbitkannya Sertifikat HGU Nomor: 1/Desa Sei

Silau, tanggal 20 Pebruari 1984 seluas 5.360 Ha, maka tidak dapat

disangkal bahwa PTPN III Kebun Sei Silau telah mendaftarkan bidang

tanah HGU yang diberikan tersebut kepada Kantor Pertanahan Kabupaten

Asahan. Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor:

SK.6/HGU/DA/81, tanggal 5 Januari 1981, bidang tanah HGU yang

diberikan kepada PTPN III Kebun Sei Silau adalah seluas ± 6.450 Ha,

Universitas Sumatera Utara


tetapi PTPN III Kebun Sei Silau hanya mendaftarkan HGU-nya atas

bidang tanah seluas 5.360 Ha.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 32 UU No. 5 tahun 1960 juncto

Pasal 7 PP No. 40 Tahun 1996, maka penentuan luas bidang tanah HGU

yang dipunyai oleh PTPN III Kebun Sei Silau bukan didasarkan pada

Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor: Sk.6/HGU/DA/81,

tanggal 5 Januari 1981, tetapi didasarkan pada Sertifikat HGU Nomor:

1/Desa Sei Silau, tanggal 20 Pebruari 1984. Oleh karena Sertifikat HGU

Nomor: 1/Desa Sei Silau, tanggal 20 Pebruari 1984 merupakan surat tanda

bukti hak yang memiliki kekuatan pembuktian yang kuat, maka dengan

demikian bidang tanah HGU PTPN III Kebun Sei Silau yang sah menurut

hukum adalah seluas 5.360 Ha.

2. Bentuk penyelesaian sengketa tanah di PTPN dan masyarakat penggarap

diselesaikan dengan menggunakan cara penyelesaian sebagai berikut :

Pertama; Non-litigasi melalui mediasi, negosiasi. Hasilnya bila tercapai

kata sepakat maka PTPN memberikan ganti rugi kepada penggarap dalam

bentuk suguh hati. Suguh hati suatu bentuk pemberian berupa uang kepada

penggarap terhadap tanaman, bangunan, tanah sepanjang dapat dibuktikan

sebagai ganti kerugian. Penyelesaian dengan bentuk suguh hati di areal

tanah perkebunan PTPN III dilaksanakan melalui penetapan Keputusan

Direksi PT. Perkebunan Nusantara III (Persero) Nomor:

3.11/SKPTS/01/2015 tanggal 31 Maret 2015 tentang Pelaksanaan Suguh

Hati Terhadap Areal Garapan Kebun, sebagai dasar legalitas pemberian

suguh hati.

Universitas Sumatera Utara


Kedua; Litigasi sebagai langkah paling akhir apabila mediasi atau

negosiasi gagal, dengan kata lain tidak tercapai kata sepakat pihak

perkebunan dengan penggarap. Gugatan yang di jadikan dasar tuntutan

pihaknya antara lain persoalan tuntutan Hak, Batas Wilayah untuk

dilakukan pengukuran ulang, dan adanya perbedaan penafsiran Hukum

yang bekaitan dengan tanah menjadi objek sengketa. Gugatan Perdata

diajukan ke Pengadilan bagi yang merasa tidak puas atas penyelesaian non

litigasi, karena kesepakatan yang gagal tersebut. Contoh dalam hal ini

adalah penerbitan surat kuasa khusus dari PTPN III No. 3.00/SK/04/2007

kepada Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara sebagai penggugat sekaligus

Jaksa Pengacara Negara terhadap penyerobotan areal yang dilakukan oleh

penggarap di areal HGU PTPN III Kebun Rambutan, Paya Bagas.

Ketiga; Gugatan yang diajukan secara perdata oleh PTPN III Perkara No.

26/Pdt.G/2007/PN-TTD kemudian putusan Pengadilan gugatannya

dikabulkan, menyatakan tergugat-tergugat melakukan perbuatan melawan

hukum, menghuku tergugat-tergugat untuk meninggalkan dan

mengosongkan tanah perkebunan yang mereka garap. Setelah putusan

Pengadilan berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), pihak

perkebunan melakukan pengosongan areal garapan melalui Pengadilan

melakukan eksekusi dengan Surat Penetapan No. 8/EKS/2009/PDT.G/PN-

TTD. PTPN III memberikan suguh hati terhadap para penggarap

diselesaikan dengan pertimbangan kemanusiaan dan menjaga hubungan

baik dengan masyarakat.

Universitas Sumatera Utara


Upaya penanganan sengketa pertanahan yang ditetapakan berdasarkan

peraturan , diberikan wewenang kepada beberapa badan atau lembaga yang

berwenang menyelesaikannya yaitu :

c. Jalur Peradilan (Litigasi), Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha

Negara (TUN) sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 48

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

d. Jalur Non-Peradilan (Non-Litigasi), penyelesaian dapat dilakukan

melalui - Mediasi, Arbitrase sebagaimana ketentuan didalam Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Arbitrase.

- Kewenangan instani pertanahan sebagaimana ketentuan Kepres

26/1988 jo. Perpres 10/2006.

- Kewenangan Pemerintah Daerah sesuai Kepres 34 Tahun 2003

Sebagai instansi yang mempunyai kewenangan dalam penyelesaian

sengketa di bidang pertanahan diantaranya adalah Pemerintah Daerah

yaitu tentang Kebijaksanaan Penyelesaian sengketa tanah bahwa

penyelesaian sengketa tanah garapan dilaksanakan oleh Pemerintah

Kabupaten/Kota dan yang bersifat lintas Kabupaten/Kota dalam satu

Propinsi dilaksanakan oleh Pemerintah Propinsi yang bersangkutan.

e. Jalur Khusus, dengan cara melalui Tim Ad Hoc BPN – Polri sesuai

MoU BPN dengan Polri SKB No, 10/SKB/XII/2010-B/31/XII/2010

tanggal 3 Desember 2010 tentang Sidik Sengketa bila ada indikasi

pidana.

Universitas Sumatera Utara


3. Hasil penelitian ditemukan bahwa sengketa tanah di PTPN III yang

bekaitan dengan tanah garapan, bahwa reformasi 1998 dijadikan

momentum tuntutan dan pendudukan terhadap tanah perkebunan kembali

muncul. Faktor-faktor yang menjadi sengketa kembali muncul adalah

menurut para petani penggarap, perkebunan mengambil tanah yang

diusahai masyarakat petani dengan cara kekerasan melakukan intimidasi

dan memaksa untuk menerima ganti rugi. Penyelesaian sengketa walaupun

sudah merupakan keputusan Pengadilan dan memiliki kekuatan hukum

tetap masyarakat tidak bersedia melepaskan tanah garapannya

menyerahkan kepada perkebunan. Masyarakat tidak percaya terhadap

putusan Pengadilan karena anggapan masyarakat Pengadilan berpihak

kepada perkebunan. Dengan pertimbangan untuk perluasan dan

optimalisasi usaha pada akhirnya bentuk-bentuk penyelesaian sengketa

tanah semua akan berujung pada proses pemberian “Suguh Hati”

memberikan ganti rugi. Pertimbangan PTPN-III adalah rasa kemanusiaan,

menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dan melancarkan proses

eksekusi Keputuaan Pengadilan, terhadap tanah garapan agar tidak

menimbulkan perlawanan. Pemberian suguh hati secara tidak langsung

berdampak memberikan rasa aman dan nyaman terhadap PTPN, serta

penghargaan dari segi kemanusiaan terhadap masyarakat penggarap yang

dapat menerima hasil keputusan penyelesaian sengketa. Secara hukum

adanya kepastian hukum terhadap penyelesaian tanah garapan.

Suguh Hati dilegitimasi oleh PTPN III melalui Surat Keputusan Direksi

No. 3.11/SKPTS/2014 dengan berpedoman dan berlandaskan peraturan

Universitas Sumatera Utara


antara lain UU No. 30 Tahun 2009 tentang Arbitrase dan Peraturan

Presiden No. 71 Tahun 2012 tentang Suguh hati dan peraturan lainnya

yang berkaitan dengan kapasiatas dan eksistensi PTPN-III sebagai BUMN

yaitu UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara dan

badan hukum Perseroan Terbatas sesuai dengan UU No. 40 Tahun 2007

tentang Perseroan Terbatas.

4. Kegagalan Penyelesaian sengketa tanah garapan di areal perkebunan hak

guna usaha PTPN oleh karena :

a. Penyelesaiannya oleh Tim Mediasi yang dibentuk oleh Pemerintah

Kabupaten dan Propinsi. Peran mediator hanya sebatas

penyelenggara pertemuan, memimpin dan waktunya terlalu lama,

sehingga terhadap hasil kesepakatan yang sudah diterima para

pihak tidak selesai. Hasil yang telah disepakati tidak ditindak

lanjuti oleh instasi yang berwenang atau oleh pihak yang

bersengketa, tidak dapat memberikan data sebagaimana yang

diperlukan untuk merealisasikan kesepakatan pada Tim Mediasi.

b. Belum diatur petunjuk pelaksana penyelesaian tanah garapan untuk

dijadikan pedoman apabila pemerintah daerah akan menyelesaikan

tanah garapan di areal tanah perkebunan berkaitan dengan

wewenang pemerintah daerah dan pemerintah pusat berkenaan

dengan hak atas tanah, aset perusahaan sebagai badan hukum

perusahaan BUMN. Kepres 34 Tahun 2003 tentang Kewenangan

Pemerintah Daerah untuk menyelesaikan sengketa tanah sebagai

Universitas Sumatera Utara


sarana hukum yang dapat dipakai untuk penyelesaian,

kenyataannya tidak ada keberanian aparatur pemerintah daerah

untuk bertidak tegas sesuai Kepres tersebut.

c. Penyelesaian sengketa dengan bentuk“suguh hati” memakai dasar

Keputusan Direksi PT. Perkebunan Nusantara III (Persero) Nomor:

3.11/SKPTS/01/2015 tanggal 31 Maret 2015 tentang Pelaksanaan

Suguh Hati bisa di terima penggarap, namun masih ada kesulitan

karena, ketidak pastian perhitungan luas areal garapan masyarakat,

jumlah penggarap yang tidak sesuai dengan data yang tertera dalam

surat-surat tuntutan tanah garapannya, akibatnya gagal

diselesaikan.

d. Banyaknya Kelompok penggarap dalam satu hamparan areal

garapan dan ada indikasi makelar tanah yang ikut memboncengi

para penggarap yang berjuang untuk mendapatkan tanah garapan.

Kondisi yang sedemikian itu membuatTim Penyelesaian Sengketa

Tanah Garapan Pemerintah Daerah menjadi timbul kesan

kekhawatiran tersendiri karena bisa menjadi ladang bisnis yang

mengakibatkan masyarakat menjadi terkesan dipermainkan dalam

kondisi yang pragmatik.

B. Saran

1. Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Di

Bidang Pertanahan dan TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang

Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, perlu ditindak

Universitas Sumatera Utara


lanjuti untuk penyelesaian sengketa tanah di Perkebunan PTPN. Misalnya;

Pemerintah Propinsi Sumatera Utara dan Pemerintah Kabupaten/Kota

dengan Instansi Pemerintah yang terkait membuat ketetapan tanah yang

dapat menjadi usaha pertanian dan perkebunan sesuai dengan tata ruang

wilayah. Tindakan yang harus harus dikerjakan melakukan identifikasi,

penggarap yang benar-benar sebagai penggarap dan membutuhkan tanah,

mendata luas tanah garapan dan luas HGU PTPN, meneliti surat-surat

tanahnya sehingga kalau dilakukan pelepasan asset perkebunan tepat

sasaran. Pendistribusian tanahnya oleh Negara benar benar sesuai dengan

peruntukannya.

2. Keputusan MPR-RI No. 5/MPR/2003, yang salah satu kandungan isinya

terkait dengan perlunya Penataan Struktur Pengawasan, Pemilikan,

Pemanfaatan, Penggunaan Tanah dan Reformasi Agraria, segera di

implementasikan yaitu :Menyelesikan berbagai konflik dan permasalahan

di bidang argraria secara proposional dan adil, mulai dari permasalahan

hukumnya sampai dengan implementasinya di lapangan agar mendapat

kepastian hukum.

3. Perlu ditindak lanjuti kesepakatan penyelesaian sengketa dengan “Suguh

Hati” hasilnya di kuatkan di Pengadilan Negeri setempat dalam bentuk

“Penetapan Pengadilan” agar dapat dijadikan akta yang mengikat dan

mempunyai kekuatan hukum yang pasti, serta memaksa bagi para pihak.

Hal ini dapat menyelesaikan sengketa tanah yang berkepanjangan.

Universitas Sumatera Utara


4. Pemerintah bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat segera membahas

rancangan undang-undang pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber

daya alam yang akan berfungsi sebagai undang-undang pokok.

5. Mempermudah dan mempermurah proses sertifikasi tanah untuk rakyat

kecil khususnya para petani.

6. Badan Pertanahan Nasional sebagai lembaga yang diberi hak dan

wewenang untuk menyelenggarakan pengelolaan sistem pertanahan harus

lebih berperan aktif untuk menyelesaikan sengketa pertanahan di Sumatera

Utara dengan menerbitkan perpanjangan hak guna usaha perkebunan

PTPN terhadap areal perkebunan yang masih diusahai. Terhadap tanah

garapan yang masih sengketa, objek sengketa tanahnya agar disikapi

dengan tegas, untuk dijadikan HGU PTPN atau untuk didistribusikan

kepada masyarakat penggarap.

7. BPN harus meninjau istilah “clear and cleant” terhadap syarat proses

perpanjangan HGU, karena sangat tidak efektif, dari fakta sengketa tanah

di perkebunan. Persyaratan tersebut menjadi alasan untuk

mempermasalahkan HGU yang akan berakhir atau sudah berakhir masa

waktunya dengan melakukan tuntutan. Akibatnya proses perpanjangan

HGU akan ditunda sampai menunggu areal yang menjadi sengketa dapat

diselesaikan.

8. Pemerintah dan DPR agar membahas rancangan undang-undang

pertanahan yang sudah diusulkan oleh Pemerintah dan diseminarkan oleh

Perguruan Tinggi, secepatnya dapat disahkan menjadi undang-undang.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU-BUKU

Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan

(Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang

(Legisprudence), Kencana, Jakarta.

Abu Rohmad, 2008, Paradigma Resolusi Konflik Agraria, Walisongo Press,

Semarang.

Abdul Ghofur Anshori & Sobirian Malian, 2008, Kumpulan Pidato Guru Besar

Ilmu Hukum dan Filsafat, Penerbit Kreasi Total Media, Yogyakarta

Alan Watson, Legal Transplants An Aproacht to Comparative Law, Second

Edition, The University of Georgegia Press, Athens And London

Aminuddin Ilmar, 2012, Hak Menguasai Negara Dalam Privatisasi BUMN,

Kencana, Jakarta

Andrews Neil, 2010, The Three Paths of Justice, Sciencet Business, New York

Bahar, Syafroedin, 2006, “Upaya Perlindungan terhadap Eksistensi Hak-hak

Tradisional Masyarakat Adat dalam Perspektif Hak Asasi Manusia”,

dalam Suwarto (dkk), mengangkat Keberadan Hak-hak Tradisonal :

Masyarakat Adat Rumpun Melayu Se-Sumatera, Pekanbaru : Unri Press.

Basyar A. Hakim, 1999, Perkebunan Besar Kelapa Sawait, Blunder Ketiga

Kebijakan Sektor Kehutanan, E-law (Environmental Law Allience

Wordlwide) dan CePAS (Center for Environment and Natural Recources

Policy Analysis).,Pustaka Pelajar Offset, Jakarta.

Benson L Bruce, 1991, To Arbitrate or To Litigate : That is The Question,

European Journal and Economics, Florida

Universitas Sumatera Utara


Boedi Harsono, 1982, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan Peraturan

Hukum Tanah, Penerbit Jambatan, Jakarta.

-------------------, 2008, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-

Undang Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanaannya, Jilid 1 Hukum Tanah

Nasional, Penerbit Jambatan, Cetakan keduabelas,(edisi revisi), Jakarta

Call M. Craig, 2010, Resolving Land Use and Impact Fee Dispute : Utah’s

Innovative Ombudsman Program, American Bar Association, America

Charles Himawan, 2003, Hukum Sebagai Panglima, Penerbit Buku Kompas,

Jakarta

Chartier Gary, 2011, Enforcing The Law And Being A State,

Clark Bryan, 2012, Lawyers and Mediation, University of Straticlyde Law

School Glasgow United Kingdom, Berlin

Clive M. Schmitthoff, and David A.G. Sarre,Mercantile Law, 1984, Fourteenth

Edition, London, Steven And Sons

Carl Joachim Friedrich, 2010, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Penerbit Nusa

Media, Bandung.

Cumming J. Douglas, 2001, Settlement Disputes : Evidence from a Legal Practice

Perspective, European Journal of Lo and Economic

Direktorat Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil, 2003,Atlas Nasional

Persebaran Komunitas Adat Terpencil. Jakarta: Ditjen Pemberdayaan

Sosial Depsos RI.

Dias R W M, 1985, Jurisprudence, Fifth Edition, Butterworts London

Donald Black, 1976, The Behavior Of Law, Academic Press, New York, London

Universitas Sumatera Utara


Draper Michael, 199, Part I of The Trusts of Land Appointment of Trustees Act

1996 Reformation or Revolution ?, Kluwer Academic Publisher,

Natherlands

Edy Ikhsan, 2005, Konflik Tanah Ulayat dan Pluralisme Hukum : Hilangnya

Ruang Hidup Orang Melayu Deli, Yayasan Pustaka Obor Indonesia,

Jakarta

Eddy Pranyoto WS, 2006, Antinomi Norma Hukum Pembatalan Pemberian Hak

Atas Tanah Oleh Peradilan Tata Usaha Negara Dan Badan Pertanahan

Nasional, Sutomo CV, Bandung

Eddy Ruchiyat, 2006, Politik Pertanahan Nasional Sampai Orde Reformasi,

Cetakan ke-3, Alumni, Bandung

Ehman R, 1997, Constitutional Countractarianism, Klawer Academic Publishers,

Boston

Elza Syarif, 2012, Menuntaskan Sengketa Tanah Melalui Pengadilan Khusus

Pertanahan, Gramedia, Jakarta.

Faizah, Liliz Nur, Hak Menguasai Negara Suatu Pendekatan Historis-

Filosofis, (rangkuman dari Bab II tentang Hak Menguasai Negara, dalam

skripsi ”Perkembangan Konsep Kepentingan Umum dalam Hukum

Pengambilalihan Hak atas Tanah di Indonesia (1960-2006)” di Fakultas

Hukum UGM Yogyakarta pada tahun 2007).

Gautama Sudargo, 1991,Essays In Indonesian Law, Citra Aditya Bati, Bandung

----------------------, 1973, Masalah Agraria, Penerbit Alumni Bandung

Universitas Sumatera Utara


George Whitecross Paton, 1951, A Text Book Of Jurisprudence, Second Edition,

Oxford At The Clarendon Press

Gillespie John, 2001, Exploring The Limits of The Judicialization of Urban Land

Disputes in Vietnam, Law Society Review,

Grajzl Peter, 2015, Inside Post-Socialist Courts : The Determinants of

Adjudicatory Out Comes in Slovenian Commercial, Sciencet Business,

New York

Gustav Radbruch, 1980 “Five Minutes of Legal Philosophy” Philosophy Of

Law”, Second Edition, Wadsworth Publishing Company, Belmont,

California

Hambali Thalib, 2009, Sanksi Pemidanaan Dalam Konflik Pertanahan: Kebijakan

Alternatif Penyelesaian Konflik Pertanahan Di Luar Kodifikasi Hukum

Pertanahan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta

Hans Kelsen, 1957,WHAT IS JUSTICE ?, Justice, Law, And Politics In The

Mirror Of Science, Collected Essays by Hans Kelsen, University Of

California Press, Berkeley And Los Angeles

Hart H.L.H, 2009, Law Liberty And Morality, Hukum, Kebebasan Dan Moralitas,

Genta Publishing

Harahap M. Yahya, 1997, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan Dan

Penyelesaian Sengketa, Citra Aditya Bakti, Bandung

Henrysson Elin and Sandra F. Joireman, 2009, On The Edge of The Law :

Womens Property Right and Dispute in Kisii, Kenya, Wiley on behalf of

the Law and Society Association,

Hirsch Gunter, 2011, The German Insurance Ombudsman, Springer Verlag

Universitas Sumatera Utara


Howard Davies, David Holdcroft, 1991, Jurisprudence : Texts and Comentary,

Butterworths, London, Dublin, Edinburgh

Humphreys Gordon, 2015, Mediation at OHIM : an Alterantive to Litigation ?,

ERA, Spain

Janier Mathilde, 2015, Towards a Theory of Close Analysis for Dispute Mediation

Discours, School of Computing University of Dundee

Karl J. Pelzer, 1977, Toean Keboen Dan Petani Politik Kolonnial dan Perjuangan

Agraria di Sumatera Timur 1863-1947, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta.

Krakover Shaul, 1999, Urban Settlement Program and Land Dispute : The State

of Israel Versus The Negev Bedouin,

Kusbianto, 2010, Konflik Di Perkebunan, USU Press

Kuswanto,Heru. Hukum Agraria. 2011

Lawrence M. Friedman, 2009, SISTEM HUKUM: Perspektif Ilmu Sosial, Penerbit

Nusa Media, Bandung.

--------------, 1990, The Republic of Choice, Harvard University Press, Cambridge,

Massachusetts, London, England

---------------, 1995, Law & Society Readings on the Social Study of Law, W.W.

Norton & Company, New York, London

Lexy J. Moleong, 2010, Metodologi Penelitian Kualitatif, Diterbitkan oleh PT.

Remaja Rosdakarya, Bandung.

Lili Rasjidi, Ira Thania Rasjidi, 2007, Dasar-Dasar Filsafat Hukum dan Teori

Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Lili Rasjidi, Liza Sonia Rasjidi, 2005, Monograf : Filsafat Ilmu, Metode

Penelitian, Dan Karya Tulis Ilmiah,

Universitas Sumatera Utara


Limbong Bernhard, 2012, Konflik Pertanahan, Penerbit Margaretha Pustaka,

Jakarta

Lubis M. Solly, 1994, Filsafat Hukum Dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung.

____________,2011, Penelitian Hukum, Fakultas Hukum USU.

____________,2011, Serba-Serbi Politik dan Hukum Edisi Kedua, PT. Sofmedia,

Jakarta

Macagno Fabrizio and Alessandro Capone, 2015, Interpretative Disputes,

Explicatures, and Argumentative Reasoning, Springer Sciencet Business

Media Dordrcht

Mahadi, 1991, Falsafah Hukum Suatu Pengantar, Penerbit Alumni Bandung.

Mariam Darus Badrulzaman, 1997, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional,

Penerbit Alumni, Bandung.

Masyarakat Sei Silau dengan Pendampingan “YPMP” Kisaran, 2010, Kronologi

Sengketa Tanah Masyarakat Sei Silau dengan PTPN III Kebun Sei Silau,

Kisaran

Melling Tom, 1994, Dispute Resolution Within Legislative Institutions, Stanford

Law Review,

Mochammad Tauchid, 1952, Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan

Dan Kemakmuran Rakjat Indonesia, Penerbit Tjakrawala, Djakarta.

Mousourakis George, 2010, Fundamentals of Roman Private Law, Springer

Verlag Berlin Heidelberg

Muhammad Yamin, Abd. Rahim Lubis, 2011, Pencabutan Hak, Pembebasan, Dan

Pengadaan Tanah, Mandar Maju, Bandung.

Muhammad Yamin Lubis. UUPA & Hak Rakyat. Harian Waspada.

Universitas Sumatera Utara


_________________, 2012, Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar Maju, Bandung.

_________________, 2013, Kepemilikan Properti Di Indonesia Termasuk

Kepemilikan Rumah Oleh Orang Asing.Mandar Maju, Bandung

Mulyana, Agung, 2006, “Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat dalam Rangka

Pembinaan Persatuan dan Kesatuan Bangsa”, makalah disampaikan

pada Musyawarah lembaga adat Rumpun Melayu se-Sumatera tanggal

14-17 April 200, di Riau.

Munir Fuady, 2013, Teori-Teori Besar Dalam Hukum (Grand Theory), Kencana

Prenada Media Group, Jakarta

Nasution Bahder Johan, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Penerbit Mandar

Maju, Bandung.

Nasution Bismar, et.al., 2004, Perilaku Hukum Dan Moral Di Indonesia

Kumpulan Tulisan Memperingati 70 Tahun Prof. Muhammad Abduh.

SH., USU Press, Medan.

Oellers Karin & Fahm, 2012, Law Making Through Advisory Opinions ?,

Springer –verlag Berlin Hiedelberg

Parlindungan A.P., 2009, Pendaftaran Tanah Di Indonesia, Cetakan Keempat

Mandar Maju, Bandung

------------------------, 1994, Pendaftaran Tanah Di Indonesia, Cetakan II, Mandar

Maju, Bandung

Parsons, Talcott, 1951 The Social System: The Major Exposition of the Author &

Conceptual Schema or the Analysis of Dynamics of the Social System.

Canada: Collier Macmillan, Ltd.

Universitas Sumatera Utara


Parsudi Suparlan (Penyunting), 1993,Pembangunan yang Terpadu dan

Berkesinambungan: Keterpaduan Pemanfaatan Sumber-Sumber dan

Potensi Masyarakat Untuk Peningkatan Dan Pengembangan

Pembangunan Masyarakat Pedesaan Yang Berkesinambungan. Jakarta:

Terbitan Balitbangsos Depsos RI.

Purdy M. Jill, 2000, The Role of Third Parties in County Dispute Resolution,

SPAEF,

Radcliffe-Brown, 1980, Struktur dan Fungsi Dalam Masyarakat

Primitif.Malaysia Kuala Lumpur: Dewan Bahasa Dan Pustaka

Kementerian Pelajaran.

Rajagukguk Erman, 2011, Butir-Butir Hukum Ekonomi, Lembaga Studi Hukum

Dan Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.

Roscoe Pound, 1989, Pengantar Filsafat Hukum, Penerbit Bhatara Niaga Media,

Jakarta.

Rostow, W.W. 1962 The Process of Economic Growth. New York: W.W.

Norton and Company Inc.

Romli Atmasasmita, 2012, Teori Hukum Integratif, Genta Publishing,

Yogyakarta.

Ronny Kountur, 2003, Metode Penelitian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis, CV

Teruna Grafica, Jakarta.

Satjipto Rahardjo, 2008, Biarkan Hukum Mengalir, Catatan Kritis tentang

Pergulatan Manusia Dan Hukum,Penerbit Biku Kompas, Jakarta.

Universitas Sumatera Utara


Siahaan Lintong O., 2005, Prospek PTUN Sebagai Pranata Penyelesaian

Sengketa Administrasi Di Indonesia, Perum Percetakan Negara Republik

Indonesia, Jakarta

Simpson, A. W. B, 1986, History Of Land Law, second edition printed in Great

Britaind at The University printing House, Oxford.

Simarmata ,Rikarda, 2006, Pengakuan Hukum Terhadap Masyarakat Adat Di

Indonesia. Regional Initiative on Indigenous Peoples Rights and

Development (RIPP) UNDP Redional Center in Bangkok.

Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, 1995, PENELITIAN HUKUM NORMATIF

Suatu tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Sri Rahayu Oktoberina, Niken Savitri, 2008, Butir-Butir Pemikiran dalam

Hukum-Memperingati 70 Tahun Prof. Dr, B. Arief Sidharta, Refika

Aditama, Bandung.

Subekti, R. Tjitrosudibio, R, 2006, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT.

Pradnya Paramita, Jakarta.

Sullivan Edward and Alexia Solomou, 2011, Alternative Dispute Resolution in

Land Use Disputes, American Bar Association, America

Sunaryati Hartono, C. F. G, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum

Nasional, Penerbit Alumni, Bandung.

Suwardi (dkk), 2006, Pemetaan Adat Masyarakat Melayu Riau Kabupten/Kota

se-Provinsi Riau, Pekanbaru : Unri Press.

Suwarto (dkk), 2006, Mengangkat Keberadaan Hak-hak Tradisional Masyarakat

Adat Rumpun Melayu Se-Sumatera, Pekanbaru : Unri Press.

Universitas Sumatera Utara


Stewart Macaulay, Lauwrence M. Friedman, John Stookey, LAW & SOSIETY

Readings on the Socisal Study of Law, W.W. Norton & Company, New

York London.

Syafruddin Kalo, 2005, Kapita Selekta Hukum Pertanahan Studi Tanah

Perkebunan di Sumatera Timur, USU Press

Syahrizal Abbas, 2009, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan

Hukum Nasional, Kencana Prenada Media Group, Jakarta

Takdir Rahmadi, 2010, Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan

Mufakat, Rajagarfindo Persada,Jakarta.

Tang Wenfang, 2009, Rule of Low and Dispute Resolution in China : Evidance

from Survey data, Chinese

Teguh Prasetyo, Abdul Halim Barkatullah, 2009, Ilmu Hukum & Filsafat Hukum,

Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Tong Yanqi, 2009, Dispute Resolutions Strategies in a Hybrid System, Chinese

University Press, Chinese

Torell J. David, 1994, Alternative Dispute Resolution in Public Land

Management, Society For Range Management,

Unruh D. Jon, 2001, Postwar Land Dispute Resolution : Land Tenure And The

Peace Process in Mozambique, Professor Worl Peace Academy,

Unruh Jon, 2010, Land Right And PeaceBuilding : Challenges And Responses For

The International Community, International Peace Research Association

(IPRA)

Urip Santoso, 2012, Hukum Agraria; Kajian Komprehensip, Kencana Prenada

Media Group, Jakarta

Universitas Sumatera Utara


Van Vollenhoven. C, 1987, Penemuan Hukum Adat, Djambatan,Jakarta

Widjaja , A.W. (Ed.) 1986 Manusia Indonesia: Individu, Keluarga dan

Masyarakat. Jakarta: Penerbit Akademika Pressindo C.V.

Xu Youping, 2014, Dancing with Shackles : Judge’s Engagement in Court

Conculiation of Chinese Civel Cases, Springer Sciencet Business Media

Dordrecht

B. LAPORAN PENELITIAN/MAKALAH/DISERTASI

Lubis Muhammad Yamin, Pandangan Teoritis Menuntaskan Persoalan Tanah,

Seminar Hukum Pertanahan “Mengurai dan Mengurangi Konflik

Pertanahan“, Medan, 16 Oktober 2012

Runtung, 2002, Keberhasilan Dan Kegagalan Penyelesaian Sengketa Alternatif :

Studi Mengenai Masyarakat Perkotaan Batak Karo Di Kabanjahe Dan

Brastagi, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara,

Medan.

Syafruddin Kalo, 2003, Masyarakat Dan Perkebunan: Studi Mengenai Sengketa

Pertanahan Antara Masyarakat Versus PTPN-II Dan PTPN-III Di

Sumatera Utara, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Sumatera

Utara, Medan.

Tan Kamello, 2006, Peralihan Hak Atas Tanah Eks Hak Guna Usaha PTPN

(Persero) Sebagai Badan Usaha Milik Negara Kepada Pihak Lain,

Seminar Pengalihan Hak Atas Tanah Eks Hak Guna Usaha Di Sumatera

Utara: Permasalahan Dan Solusinya, Departemen Hukum Keperdataan

Fakultas Hukum USU.

Universitas Sumatera Utara


C. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

---------- Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Badan Usaha Milik Negara,

2006, Koperasi Pegawai ”Prabunara” Kementerian Negara Badan Usaha

Milik Negara.

---------- Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Pertanahan Dan PPAT,

Tahun : 2011 – 2013, Citra Mandiri, Jakarta

---------- Lembaran Negara Republik Indonesia, Tahun 1959 No.31, Nasionalisasi

Perusahaan Pertanian/Perkebunan milik Belanda, Sekretariat Negara

Republik Indonesia, Jakarta

----------Putusan Pengadilan Negeri Kelas 1-B, Lubuk Pakam No.

576/PID.B/2007/PN.LP Tanggal 10 September 2007. Pengadilan Negeri

Lubuk Pakam, Lubuk Pakam

---------- Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Tahun 1954 No. 492-

608, Perpustakaan Hukum Pusat Dokumentasi Hukum Badan Pembinaan

Hukum Nasional, Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta

---------- Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Tahun 1956 No. 105-

1136, Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta

---------- Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Tahun 1958 No. 1493-

1725, Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta

---------- Tiga Undang-Undang Sumber Daya Alam, 2005, Fokusmedia, Bandung

---------- Warens & Achyar LAW FIRM,2001, Jakarta

D. MAJALAH

Media Nusatiga, Edisi XXIX, 2001

Universitas Sumatera Utara


Media Nusantara, Edisi XXVI, 2010

Media Nusantara, Edisi XXX, 2011

E. JURNAL

Brian Z Tamanaha, Understanding Legal Pluralism: Past to Present, Local to

Global

Jurnal Hukum Equality Volume 16 Nomor1 Februari 2011. Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Sherman A. Jackson, PLURALISME HUKUM DAN BANGSA NEGARA: Abad


Pertengahan ROMANTIC atau Modernitas PRAGMATIK?

F. INTERNET

http://beritanda.com/opini/opini/opini/5084-haruskah-sengketa-lahan-perkebunan-

berakhir-dengan-anarkis.html

http://docs.google.com/kumpulanjudul Disertasi2_skripsi, Thesis dan disertasi.

html.

http://www.newworldencyclopedia.org/entry/Louis_XIV_of_France

http://mankydaily.tumblr.com/post/452408880/domein-verklaring

http://xa.yimg.com/kq/groups/24002719/278585820/name/AMERICAN+AND+S

CANDINAVIAN+REALISM.pdf.

library.usu.ac.id/download/fh/pidana-syafruddin8.pdf

G. KAMUS

Andi Hamzah, 1986, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta

Bryan A. Garner, 2009, Black’s Law Dictionary, Nith Edition, West Publishing

Co.

Universitas Sumatera Utara


Simorangkir J.C.T.,Rudy T. Erwin, Prasetyo J.T., 1987, Kamus Hukum, Aksara

Baru, Jakarta

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai