Anda di halaman 1dari 76

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA

PENIPUAN
(Studi Kasus Putusan No. 337/PID.B/2013/PN. Mtr)

SKRIPSI

Diajukan sebagai bagian dari syarat – syarat Untuk Mencapai


Kebulatan Study Program Strata Satu ( S1 ) Pada Fakultas Hukum
Universitas Islam Al – Azhar Mataram

OLEH

Nama : Abdul Halid


Nim : 013.04.0015
Program Studi : Ilmu Hukum

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR
MATARAM
2017
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA
PENIPUAN
(Studi Kasus Putusan No. 337/PID.B/2013/PN. Mtr)

Yang Dipersiapkan Oleh

Nama : Abdul Halid


Nim : 013.04.0015
Program Studi : Ilmu Hukum

Telah di selesaikan di depan Tim Penyelesaian Pembimbingan Skripsi


Pada tanggal 21 Agustus 2017

Skripsi ini Telah Diterima Sebagai Bagian Dari Syarat-syarat


Untuk Mencapai Studi Program Strata Satu (S-1) Pada
Fakultas Hukum Universitas Islam Al-Azhar

Mataram, 21 Agustus 2017


Universitas Islam Al-Azhar
Fakultas Hukum
Dekan

Abdul Tayib,SH.,MH
NIDN. 0831126016

i
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA
PENIPUAN
(Studi Kasus Putusan No. 337/PID.B/2013/PN. Mtr)

Yang Dipersiapkan Oleh

Nama : Abdul Halid


Nim : 013.04.0015
Program Studi : Ilmu Hukum

Mataram, 21 Agustus
2017
Pembimbing Utama, Pembimbing
Pendamping,

Dr.H. Hirsauddin,SH.,MH. Zihnul Musfi,SH

ii
PENYELESAIAN PEMBIMBINGAN OLEH:

1.Dr.H. Hirsanuddin.SH.,MH. (
)

2.Zihnul Musfi.SH (
)

3. (
)

iii
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Abdul Halid

NIM : 013.04.0015

Program Studi : Ilmu Hukum

Judul Skripsi : Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Penipuan

(Studi Kasus Putusan No. 337/Pid.B/2013/PN.Mtr)

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi yang saya tulis ini tidak

Terdapat karya yang pernah di ajukan untuk memperoleh gelar Keserjaan di

Suatu perguruan tinggi lain, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak ter-

dapat karya atau pendapat serupa yang pernah ditulis orang lain.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya unsur penipuan atau plagiat

dalam karya tulis/skripsi yang saya tulis ini, maka saya bersedia untuk menerima

sanksi yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sadar dan tanpa ada

tekanan dari siapapun.

Mataram, ..........................................2017

Pembuat Pernyataan,

Abdul Halid
NIM. 013.04.0015

iv
ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan hukum pidana


terhadap pelaku tindak pidana penipuan dan untuk mengetahui
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku
tindak pidana penipuan.

Penelitian ini dilakukan di Kota Mataram dengan memilih instansi


yang terkait dengan perkara ini, yakni penelitian ini dilaksanakan di
Pengadilan Negeri Mataram Metode pengumpulan data yang digunakan
adalah Metode Kepustakaan dan Metode Wawancara, kemudian data
yang diperoleh dianalisis secara deskriptif kualitatif sehingga
mengungkapkan hasil yang diharapkan dan kesimpulan atas
permasalahan.

Hasil penelitian menunjukan bahwa: 1) Penerapan hukum pidana


oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Mataram dalam Putusan Nomor
337/Pid.B/2013/PN.Mtr yang menyatakan bahwa terdakwa terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penipuan yang
diatur dalam Pasal 378 KUHP sudah tepat, hal itu sesuai dan telah
didasarkan pada fakta-fakta di persidangan, alat bukti yang sah berupa
keterangan saksi, barang bukti, surat berupa surat pernyataan, dan
keterangan terdakwa. 2) Majelis Hakim Pengadilan Negeri Mataram dalam
pertimbangannya masih terdapat beberapa kekurangan-kekurangan.
Hakim tidak jeli dalam pertimbangan-pertimbangannya, terutama
pertimbangan yang memberatkan terdakwa. Seharusnya status terdakwa
sebagai anggota Polri memberatkan terdakwa. Dari segi sanksi pidana
yang dijatuhkan kepada terdakwa sangat ringan yaitu sanksi pidananya
hanya 3 (tiga) bulan 20 (duapuluh) hari, kemudian dikurangkan dengan
masa penahanannya.
v

KATA PENGANTAR

Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatu,

Puji syukur kehadirat Allah SWT Yang Maha Agung dan Maha

Kuasa dan atas segala kuasanya dan atas segala limpahan Rahmat,

Taufik, serta Hidayah-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan

penyusunan skripsi yang berjudul “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP

TINDAK PIDANA PENIPUAN (Studi Putusan Nomor

337/Pid.B/2013/PN.Mks)”. Shalawat serta salam semoga senantiasa

tercurahkan kepada baginda Nabi Besar Muhammad SAW yang selalu

memberikan cahaya dan menjadi suri tauladan bagi seluruh umatnya di

muka bumi.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan

karena keterbatasan Penulis dalam mengeksplorasi lautan ilmu

pengetahuan yang begitu cemerlang menuju proses pencerahan. Olehnya

itu Penulis selalu menyediakan ruang untuk saran dan kritikan dari semua

pihak demi kesempurnaan skripsi ini.

Selama penyusunan skripsi ini, tidak terlepas dari berbagai

rintangan, namun berkat dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak,

baik moril maupun meteril akhirnya Penulis dapat mengatasi dan

melaluinya. Oleh karena itu melalui kesempatan ini, Penulis mengucapkan

Dengan segala kerendahan hati, Penulis mengucapkan terima kasih dan

penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:


vi
1. Bapak Ahmad Firdaus Sukmono, SE. SH.,MH., Rektor Universitas Islam Al-

Azhar Mataram, atas kesempatan yang diberikan untuk dapat menempuh

Jenjang S 1 di Fakultas Hukum Universitas Islan Al-Azhar.

2. Bapak Abdul Tayib, SH.,MH., Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Al-

Azhar, dengan kebijakannya dapat memperlancar proses penyelesaian

skrepsi ini.

3. Bapak Arya Sosman, SH.,MH., Selaku Wakil Dekan Satu Fakultas Hukum

Universitas Islam Al-Azhar.

4. Bapak Dr. H. Hirsanuddin, SH.,MH., selaku Pembimbing Utama Yang

membantu memberikan masukan dan bimbingan sehingga skripsi ini dapat

terselesaikan.

5. Bapak Zihnul Musfi, SH., selaku Pembimbing Pendamping yang membantu

memberikan masukan dan bimbingan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

6. Bapak Ketua Pengadilan Negeri Kelas I A Mataram yang memberikan data

dalam penulisan skripsi ini sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

7. Isteri yang memberikan dorongan dan motivasi dalam penyusunan skripsi ini.

8. Teman-teman yang membantu hingga penulisan skripsi ini dapat

terselesaikan.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini banuak kekurangannya, maka diharapkan

saran dan kritik yang konstruktif, sehingga skripsi sempurna sebagaimana di

harapkan, akhirnya semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak.

Mataram, 21 Agustus 2017


Penulis,

Abdul Halid

vi
DAFTAR ISI

Halaman Judul ................................................................................. i


Halaman Pengesahan..................................................................... ii
Halaman Persetujuan Pembimbing……………………………….. iii
Halaman Penyelesaian Pembimbingan……………….................... iv
Surat Pernyataan Keaslian............................................................. v
Kata Pengantar................................................................................. vi
Abstrak.............................................................................................. vii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah...................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ................................................................................ 4
C. Tujuan Penelitian .................................................................................... 4
D. Kegunaan Penelitian ............................................................................. 5
BAB II TINJAUN PUSTAKA
A. Tindak Pidana
1. Pengertian Tindak Pidana ............................................................ 6
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana ......................................................... 9
3. Jenis-Jenis tindak Pidana ............................................................. 12

B. Tindak Pidana Penipuan


1. Pengertian Tindak Pidana Penipuan ......................................... 15
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Penipuan ..................................... 17

C. Polisi Republik Indonesia (Polri)


1. Pengertian dan Tugas Anggota Polri ........................................ 24
2. Anggota Polri sebagai Pelaku Tindak Pidana …...... 25

D. Pidana dan Pemidanaan


1. Pengertian Pidana dan Pemidanaan......................................... 28
2. Teori dan Tujuan Pemidanaan .................................................... 30
3. Jenis-Jenis Pidana .......................................................................... 35

E. Pertimbangan Hakim
1. Pertimbangan Yuridis ..................................................................... 37
2. Pertimbangan Sosiologis .............................................................. 41
BAB III METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian .................................................................................... 43


B. Jenis dan Sumber Data ....................................................................... 43
C. Teknik Pengumpulan Data .................................................................. 44
D. Analisis Data ............................................................................................ 45

viii
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Penerapan Hukum Pidana terhadap Tindak Pidana


Penipuan dalam Putusan Nomor 337/Pid.B/2013/PN.Mtr 46
1. Posisi Kasus ……………………………………….…. 46
2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) …………... 48
3. Tuntutan Penuntut Umum …………………………… 49
4. Amar Putusan ………………………………………… 50
5. Analisis Penulis ………………………..……………... 50

B. Pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan Putusan


terhadap Pelaku Tindak Pidana Penipuan
dalam Putusan Nomor 337/Pid.B/2013/PN.Mtr............................ 56
1. Pertimbangan Yuridis ………………………………... 57
2. Pertimbangan Sosiologis ………………………..…… 63
3. Analisis Penulis …………………………….………… 65

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ……………………………………………….. 69
B. Saran ………………………………………………………. 70
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 71
LAMPIRAN

ix
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebuah peraturan hukum ada karena adanya sebuah masyarakat

(ubi-ius ubi-societas). Hukum menghendaki kerukunan dan perdamaian

dalam pergaulan hidup bersama. Hukum itu mengisi kehidupan yang jujur

dan damai dalam seluruh lapisan masyarakat. Dalam penegakan hukum,

haruslah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, berdasarkan Pancasila

dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Hukum harus

ditegakkan demi terciptanya tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia

sebagaimana yang diamanatkan pada Alinea keempat Pembukaan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, yaitu melindungi

segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,

memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan

ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,

perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Keberadaan norma hukum memang dapat diibaratkan sebagai

pondasi utama yang sekaligus juga menjadi tiang penyangga dari negara.

Hukum bagaikan rumah terakhir bagi peminta keadilan. Ketika hukum

menjadi hal yang amat penting maka diperlukan adanya aparat penegak

hukum yang cakap, bersih, dan mempunyai integritas. Upaya penegakan

1
hukum dalam menjamin keadilan dalam masyarakat menjadi tugas berat

yang harus diemban oleh aparat penegak hukum

Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang tentunya tidak

terlepas dari pengaruh perkembangan zaman yang sudah mendunia.

Dimana perkembangan yang terjadi sudah mulai merambah banyak aspek

kehidupan. Perkembangan zaman sekarang ini tidak hanya membawa

pengaruh besar pada negara, melainkan juga berdampak pada mobilitas

kehidupan masyarakat, perilaku, maupun pergeseran budaya dalam

masyarakat. Terlebih lagi setelah masa reformasi kondisi ekonomi bangsa

ini yang semakin terpuruk, tidak hanya mengalami krisis ekonomi saja

namun juga krisis moral yang berdampak pada terjadinya kejahatan-

kejahatan.

Kejahatan-kejahatan semakin hari semakin merajalela terjadi

dikalangan masyarakat, hal ini tidaklah bisa dipungkiri keberadaannya.

Tentu saja kejahatan-kejahatan yang sering terjadi dimasyarakat sangat

mengganggu keamanan, sehingga sangatlah diperlukan adanya tindakan

untuk menindak pelaku kejahatan tersebut, suatu misal kejahatan yang

sering terjadi dan tidak asing lagi dimasyarakat yaitu penipuan.

Tindak pidana penipuan di Indonesia saat ini marak terjadi dan

sering didengar. Himpitan ekonomi dengan gaya hidup yang semakin

tinggi menjadi faktor utama terjadinya tindak pidana. Yang

memprihatinkan adalah tindak pidana penipuan di negara Indonesia bukan

hanya dilakukan oleh masyarakat biasa pada umumnya tetapi juga

2
polisi yang sejatinya adalah penegak hukum, pengayom dan pelindung

masyarakat, justru melakukan tindak pidana. Sungguh miris rasanya,

seorang penegak hukum menjadi pelanggar hukum. Belum lagi kasus

yang baru-baru ini terjadi, bahkan lebih parah, seorang ketua Mahkamah

Konstitusi tertangkap tangan terlibat kasus suap. Hal ini mencerminkan

bahwa betapa hancurnya, bobroknya moral penegak hukum di Indonesia.

Jadi apa yang terjadi di Indonesia benar-benar jauh dari harapan bahwa

seorang penegak hukum yang seharusnya menjadi teladan untuk

masyarakat luas menjadi hilang wibawa karena tersandung kasus hukum.

Menjadi wajar ketika masyarakat tidak percaya lagi kepada aparat

penegak hukum. Hal ini dapat menjadi gambaran bagi kita mengenai

kondisi penegakan hukum di negara Indonesia sekarang ini.

Ada hal yang menarik dari uraian di atas, bahwa penipuan yang

terjadi sekarang ini bukan hanya dilakukan oleh masyarakat biasa pada

umumnya, tetapi juga polisi yang sejatinya adalah aparat penegak hukum.

Hal ini bukan lagi menjadi rahasia bahkan dapat dikatakan hal yang biasa.

Padahal lembaga Kepolisian pada dasarnya adalah lembaga pertama dan

utama dalam hal penegakan hukum. Seharusnya merekalah yang menjadi

contoh, panutan, sekaligus pelindung bagi masyarakat, bukan sebaliknya.

Polisi dimata masyarakat awam sangat disegani bahkan ditakuti

kehadirannya. Patut disayangkan memang apabila lembaga Kepolisian

disusupi oleh oknum yang tidak bertanggung jawab yang hanya

memikirkan kepentingan pribadinya dengan melakukan praktek tindak

3
pidana yang mengakibatkan tercederainya nama institusi Kepolisian

itu sendiri. Bukan hanya sampai disitu, bahkan polisi akan kehilangan

respek dan kehilangan kepercayaan dari mayarakat.

Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk mengangkat

judul “Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Penipuan (Studi

Putusan Nomor 337/Pid. B/2013/PN. Mtr)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka Penulis dapat

mengemukakan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah Penerapan Hukum Pidana terhadap Tindak Pidana

Penipuan dalam Putusan Nomor 337/Pid. B/2013/PN. Mtr?

2. Bagaimanakah Pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan Sanksi

Pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana Penipuan dalam Putusan

Nomor 337/Pid. B/2013/PN. Mtr?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan

penelitian yaitu:

1. Untuk mengetahui Penerapan Hukum Pidana terhadap Tindak

Pidana Penipuan dalam Putusan Nomor 337/Pid.B/2013/PN.Mtr


2. Untuk mengetahui Pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan Sanksi

Pidana terhadap pelaku Tindak Pidana Penipuan dalam Putusan

Nomor 337/Pid. B/2013/PN. Mtr.

D. Kegunaan penelitian

Adapun yang menjadi kegunaan penelitian ini yaitu sebagai berikut:

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

kontribusi bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya hukum

pidana dan juga yang memiliki minat melakukan penelitian tentang

tindak pidana penganiayaan berat.

2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat

terhadap pembangunan dibidang hukum dan kesadaran hukum

masyarakat pada umumnya.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Pembentuk Undang-Undang dalam berbagai perundang-

undangan menggunakan perkataan “tindak pidana” sebagai

terjemahan dari “strafbaar feit”tanpa memberikan sesuatu penjelasan

mengenai apa yang sebenarnya dimaksud dengan perkataan “tindak

pidana”tersebut. Secara harfiah perkataan “tindak pidana”dapat

diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat

dihukum”.Akan tetapi, diketahui bahwa yang dapat dihukum

sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan,

perbuatan, ataupun tindakan.1 Moeljatno menerjemahkan istilah

“strafbaar feit” dengan perbuatan pidana.Menurut pendapat beliau

istilah “perbuatan pidana” adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu

suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang

berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar larangan

tersebut.2 Menurut Wirjono Prodjodikoro bahwa dalam perundang-

undangan formal Indonesia, istilah “perisitiwa pidana” pernah

digunakan secara resmi dalam UUDS 1950, yakni dalam Pasal 14

(1).Secara substansif, pengertian dari istilah “peristiwa pidana” lebih

menunjuk kepada suatu kejadian yang dapat ditimbulkan oleh

perbuatan manusia maupun oleh gejala alam.3

1P.A.F.Lamintang, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT Citra


Aditya Bakti, Bandung, hal 181.
2Mahrus Ali, 2011, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta Timur, hal. 97
3Wirjono Prodjodikoro, 2003, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung,

hal.33.
Teguh Prasetyo merumuskan bahwa :4

“Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang


dan diancam dengan pidana.Pengertian perbuatan di sini selain
perbuatan yang bersifat aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya
dilarang oleh hukum) dan perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat
sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum).”

Menurut Pompe, perkataan “tindak pidana”secara teoretis dapat

dirumuskansebagai berikut :

“Suatu pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum yang


dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh
seorang pelaku yang penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut
adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya
kepentingan umum.”5

Jonkers merumuskan bahwa :6

“Tindak pidana sebagaiperisitiwa pidana yang diartikannya sebagai


suatu perbuatanyang melawan hukum (wederrechttelijk) yang
berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan
oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.”

Menurut E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi sebagaimana dikutip dari

oleh Amir Ilyas bahwa tindak pidana mempunyai 5 (lima) unsur-unsur,

yaitu :

1. Subjek;

2. Kesalahan;

3. Bersifat melawan hukum dari suatu tindakan

4. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh Undang-Undang

dan terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana;

5. Waktu, tempat, dan keadaan (unsur objektif lainnya).

Tindak pidana juga dapat diartikan sebagai suatu dasar yang

pokok dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan

perbuatan pidana atas dasar pertanggungjawaban seseorang atas

4Teguh Prasetyo,2011, Hukum Pidana Edisi Revisi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.49.
5
P.A.F. Lamintang 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung,
hal.182.
6
Adami Chazawi, 2001, Pelajaran Hukum Pidana 1, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.75.
perbuatan yang telah dilakukannya. Akan tetapi, sebelum itu mengenai

dilarang dan diancamnya suatu perbuatan mengenai perbuatannya

sendiri berdasarkan asas legalitas (Principle of Legality)yang

menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam

dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-

undangan (Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali)

2. Jenis-Jenis Tindak Pidana

Membagi kelompok benda atau manusia dalam jenis-jenis

tertentu atau mengklasifikasikan dapat sangat beraneka ragam sesuai

dengan kehendak yang mengklasifikasikan, menurut dasar apa yang

diinginkan, demikian pula halnya dengan jenis-jenis tindak

pidana.KUHP telah mengklasifikasikan tindak pidana ke dalam 2 (dua)

kelompok besar, yaitu dalam buku kedua dan ketiga masing-masing

menjadi kelompok kejahatan dan pelanggaran.7

a. Menurut sistem KUHP, dibedakan antara kejahatan yang dimuat

dalam buku II dan pelanggaran yang dimuat dalam buku III Alasan

pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran adalah jenis

pelanggaran lebih ringan dibandingkan kejahatan. Hal ini dapat

diketahui dari ancaman pidana pada pelanggaran tidak ada yang

diancam dengan pidana penjara, tetapi berupa pidana kurungan dan

denda, sedangkan kejahatan dengan ancaman pidana penjara.

b. Menurut cara merumuskannya, dibedakan antara tindak pidana

formil dan tindak pidana materil. Tindak pidana formil adalah tindak

pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga memberikan arti

bahwa larangan yang dirumuskan adalah melakukan suatu

perbuatan tertentu. Perumusan tindak pidana formil tidak

memerlukan dan/atau tidak memerlukan timbulnya suatu

7
Amir Ilyas, 2012, Asas-Asas Hukum Pidana, Rangkang Education, Makassar, hal. 28.
akibattertentu dari perbuatan sebagai syarat penyelesaian tindak

pidana, melainkan hanya pada perbuatannya. Tindak pidana materil

adalah menimbulkan akibat yang dilarang. Oleh karena itu, siapa

yang menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang

dipertanggungjawabkan dan dipidana.

c. Berdasarkan bentuk kesalahan, dibedakan antara tindak pidana

sengaja (dolus) dan tindak pidana tidak dengan sengaja (culpa).

Tindak pidana sengaja adalah tindak pidana yang dalam

rumusannya dilakukan dengan kesengajaan atau mengandung

unsurkesengajaan, sedangkan tindak pidana tidak sengaja adalah

tindak pidana yang dalam rumusannya mengandung culpa.

d. Berdasarkan macam perbuatannya, dapat dibedakan antara tindak

pidana aktif dan dapat juga disebut tindak pidana komisi dan tindak

pidana pasifdisebut juga tindak pidana omisi. Tindak pidana aktif

adalah tindak pidana yang perbuatannya berupa perbuatan aktif.

Perbuatan aktif adalah perbuatan yang untuk mewujudkannya

diisyaratkan adanya gerakan dari anggota tubuh orang yang

berbuat. Bagian terbesar tindak pidana yang dirumuskan dalam

KUHP adalah tindak pidana aktif. Tindak pidana pasif ada 2 (dua),

yaitu tindak pidana pasif murni dan tindak pidana pasif yang tidak

murni.Tindak pidana pasif murni adalah tindak pidana yang

dirumuskan secara formil atau tindak pidana yang pada dasarnya

semata-mata unsur perbuatannya adalah berupa perbuatan pasif.

Sementara itu, tindak pidana pasif yang tidak murni berupa tindak

pidana yang pada dasarnya berupa tindak pidana positif, tetapi

dapat dilakukan dengan cara tidak berbuat aktif atau tindak pidana

yang mengandung suatu akibat terlarang, tetapi dilakukan dengan


tidak berbuat atau mengabaikan sehingga akibat itu benarbenar

timbul.

e. Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya,dapat dibedakan

antara tindak pidana terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam

waktu lama atau berlangsung lama atau berlangsung terus menerus.

Tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk

terwujudnya atau terjadinya dalam waktu seketika atau waktu

singkat saja disebut juga dengan aflopende delicten. Sebaliknya,

ada tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga

terjadinya tindak pidana itu berlangsung lama, yakni setelah

perbuatan dilakukan, tindak pidana itu masih berlangsung terus

menerus yang disebut dengan voordurende delicten. Tindak pidana

ini juga dapat disebut sebagai tindak pidana yang menciptakan

suatu keadaan yang terlarang.

f. Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana

umum dan tindak pidana khusus. Tindak pidana umum adalah

semua tindak pidana yang dimuat dalam KUHP sebagai kodifikasi

hukum pidana materil (Buku II dan Buku III). Sementara itu, tindak

pidana khusus adalah semua tindak pidana yang terdapat di luar

kodifikasi KUHP.

g. Dilihat dari segi subjeknya, dapat dibedakan antara tindak pidana

communia (tindak pidana yang dapat dilakukan oleh semua orang)

dan tindak pidana propria (tindak pidana yang hanya dapat

dilakukan oleh orang yang berkualitas tertentu). Pada umumnya

tindak pidana itu dibentuk dan dirumuskan untuk berlaku pada

semua orang. Akan tetapi, ada perbuatan yang tidak patut yang

khusus hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas tertentu


saja, misalnya, pegawai negeri (pada kejahatan jabatan) dan

nakhoda (pada kejahatan pelayaran).

h. Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan, maka

dibedakan antara tindak pidana biasa dan tindak pidana aduan.

Tindak pidana biasa yang dimaksudkan ini adalah tindak pidana

yang untuk dilakukannya penuntutan terhadap pembuatnya dantidak

diisyaratkan adanya pengaduan dari yang berhak. Sementara itu,

tindak aduan adalah tindak pidana yang dapat dilakukan penuntutan

pidana apabila terlebih dahulu adanya pengaduan oleh yang berhak

mengajukan pengaduan.

i. Berdasarkan berat-ringannya pidana yang diancamkan, dapat

dibedakan antara tindak pidana bentuk pokok, tindak pidana

diperberat dan tindak pidana yang diperingan. Dilihat dari berat

ringannya, ada tindak pidana tertentu yang dibentuk menjadi :

1. Dalam bentuk pokok disebut juga bentuk sederhana atau dapat

juga disebut dengan bentuk standar.

2. Dalam bentuk yang diperberat.

3. Dalam bentuk ringan.

Tindak pidana dalam bentuk pokok dirumuskan secara

lengkap, artinya semua unsurnya dicantumkan dalam rumusan.

Sementara itu, pada bentuk yang diperberat dan/atau

diperingantidak mengulang kembali unsur-unsur bentuk pokok,

melainkan sekedar menyebut kualifikasi bentuk pokoknya atau pasal

bentuk pokoknya, kemudian disebutkan atau ditambahkan unsur

yang bersifat memberatkan atau meringankan secara tegas dalam

rumusan. Adanya faktor pemberat atau faktor peringan menjadikan

ancaman pidana terhadap bentuk tindak pidana yang diperberat


atau yang diperingan itu menjadi lebih berat atau lebih ringan dari

pada bentuk pokoknya

3. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Setiap tindak pidana yang terdapat dalam KUHP pada

umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang terdiri dari

unsur subjektif 8 dan unsur objektif.9 Unsur-unsur subjektif dari suatu

tindak pidana adalah : 10

a. Kesengajaan (dolus)atau ketidaksengajaan (culpa);

b. Maksud atau Voornemen pada suatu percobaan atau poging

seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP;

c. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat dalam

kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan,

dan lain-lain;

d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachteraad yang

terdapat dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;

e. Perasaan takut yang antara lain terdapat dalam rumusan tindak

pidana menurut Pasal 308 KUHP.

Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana adalah sebagai berikut :

a. Sifat melawan hukum atau wederrechttelijkheid;

b. Kualitas dari pelaku, misalnya keadaan sebagai seorang pegawai

negeri;

c. Kausalitas, yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai

penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.

8Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri pelaku atau yang berhubungan dengan
pelaku dan termasuk ke dalamnya segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya.
9Unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu didalam

keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari pelaku harus dilakukan.


10P.A.F. Lamintang, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal

193-194.
Selain itu, unsur-unsur tindak pidana dapat dilihat menurut beberapa

teoretis. Teoretis artinya berdasarkan pendapat para ahli hukum yang

tercermin pada bunyi rumusannya.11

Unsur-Unsur Tindak Pidana Menurut Beberapa Teori.

Batasan tindak pidana oleh teoretis, yakni : Moeljatno, R.Tresna,

Vos yang merupakan penganut aliran monistis dan Jonkers, Schravendijk

yang merupakan penganut aliran dualistis. Menurut Moeljatno, unsur tindak

pidana adalah :

a. Perbuatan itu harus merupakan perbuatan manusia;

b. Perbuatan itu harus dilarang dan diancam dengan hukuman oleh


Undang-Undang;

c. Perbuatan itu bertentangan dengan hukum;

d. Harus dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggung


jawabkan;

e. Perbuatan itu harus dapat dipersalahkan kepada pembuat.


Hanya perbuatan manusia yang boleh dilarang oleh aturan hukum.

Berdasarkan kata majemuk perbuatan pidana, maka pokok pengertian ada

pada perbuatan itu, tapi tidak dipisahkan dengan orangnya. Ancaman

(diancam) dengan pidana menggambarkan bahwa tidak harus perbuatan

itu dalam kenyataannya benar-benar dipidana. Dari rumusan R. Tresna,

tindak pidana terdiri dari unsur-unsur, yakni:12

a. Perbuatan atau rangkaian perbuatan (manusia);

b. Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;

c. Diadakan tindakan penghukuman.

11
Adami Chazawi, 2001, Pelajaran Hukum Pidana 1, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 79.
12
Adami Chazawi, 2001, Pelajaran Hukum Pidana 1, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.80.
Dari unsur yang ketiga, kalimat diadakan tindakan penghukuman

yang menunjukkan bahwa seolah-olah setiap perbuatan yang dilarang

selalu diikuti dengan penghukuman (pemidanaan). Berbeda dengan

pendapat Moeljatno karena kalimat diancam pidana berarti perbuatan itu

tidak selalu dijatuhi pidana.

Dapat dilihat bahwa pada unsur-unsur dari tiga batasan penganut

paham dualistis tersebut tidak ada perbedaan, yaitu bahwa tindak pidana

itu adalah perbuatan manusia yang dilarang, dimuat dalam undangundang,

dan diancam dipidana bagi yang melakukannya. Dari unsur-unsur yang

ada jelas terlihat bahwa unsur-unsur tersebut tidak menyangkut diri

pembuat atau dipidananya pembuat, semata-mata mengenai

perbuatannya.

Dibandingkan dengan pendapat penganut paham monistis memang

tampak berbeda dengan paham dualistis. Dari batasan yang dibuat

Jonkers dapat dirinci unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut:13

a. Perbuatan (yang);

b. Melawan hukum (yang berhubungan dengan);

c. Kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang dapat);

d. Dipertanggung jawabkan.

Sementara itu, Schravendijk dalam batasan yang dibuatnya dapat

dirinci unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut :14

a. Kelakuan (orang yang);

b. Bertentangan dengan keinsyafan hukum;

c. Diancam dengan hukuman; d. Dilakukan oleh orang (yang dapat);

e. Dipersalahkan atau kesalahan

13
Ibid,hal.81.
14
Ibid.
4. Cara Merumuskan Tindak Pidana

Buku II dan Buku IIIKUHPberisi tentang rumusan tindak pidana

tertentu. Terkait cara pembentuk undang-undang dalam merumuskan

tindak pidana pada kenyataannya memang tidak seragam. Dalam hal ini

akan dilihat dari 3 (tiga) dasar pembedaan cara dalam merumuskan tindak

pidana dalamKUHP.15

a. Cara Pencantuman Unsur-unsur dan Kualifikasi Tindak Pidana.

Dapat dilihat bahwa setidak-tidaknya ada 3 (tiga) cara

perumusan, yaitu:

a. Dengan mencantumkan semua unsur pokok, kualifikasi, dan ancaman

pidana. Cara yang pertama ini merupakan cara yang paling

sempurna, terutama dalam hal merumuskan tindak pidana dalam

bentuk pokok atau standar dengan mencantumkan unsur-unsur

objektif maupun unsur-unsur subjektif, misalnya Pasal 378 KUHP

(Penipuan). Unsur pokok atau unsur esensial adalah unsur yang

membentuk pengertian yuridis dari tindak pidana tertentu. Unsur-

unsur ini dapat dirinci secara jelas dan untuk menyatakan seseorang

bersalah melakukan tindak pidana tersebut dan menjatuhkan pidana,

semua unsur itu harus dibuktikan dalam persidangan.

b. Dengan mencantumkan semua unsur pokok tanpa kualifikasi dan

mencantumkan ancaman pidana. Cara ini merupakan cara yang

paling banyak digunakan dalam merumuskan tindak pidana dalam

KUHP Pidana. Tindak pidana yang menyebutkan unsur-unsur pokok

tanpa

15
Ibid, hal. 115-121.
menyebutkan kualifikasi dalam praktik kadang-kadang terhadap suatu

rumusan tindak pidana diberi kualifikasi tertentu.

c. Hanya mencantumkan kualifikasinya tanpa unsur-unsur dan

mencantumkan ancaman pidana. Tindak pidana yang dirumuskan

dengan cara ini merupakan yang paling sedikit. Terdapat pada pasal-

pasal tertentu, seperti Pasal 351 (1) KUHP pidana tentang

Penganiayaan.

b. Dari Sudut Titik Beratnya Larangan.

Dari sudut titik beratnya larangan, dapat dibedakan antara

merumuskan dengan cara formil dan dengan cara materil.

1) Dengan Cara Formil

Disebut dengan cara formil karena dalam rumusan

dicantumkan secara tegas perihal larangan melakukan perbuatan

tertentu. Jadi, yang menjadi pokok larangan dalam rumusan ini adalah

melakukan perbuatan tertentu. Dalam hubungannya dengan selesai

tindak pidana, jika perbuatan yang menjadi larangan itu selesai

dilakukan, tindak pidana itu selesai pula tanpa bergantung pada akibat

yang timbul dari perbuatan.

2) Dengan Cara Materil

Perumusan dengan cara materil ialah yang menjadi pokok

larangan tindak pidana yang dirumuskan adalah menimbulkan akibat

tertentu disebut dengan akibat yang dilarang atau akibat konstitutif.

Titik berat larangannya adalah menimbulkan akibat, sedangkan wujud

perbuatan apa yang menimbulkan akibat itu tidak menjadi persoalan.

Dalam hubungannya dengan selesainya tindak pidana, maka untuk

selesainya tindak pidana bukan bergantung pada selesainya wujud

perbuatan, tetapi bergantung pada wujud perbuatan itu akibat yang


dilarang telah timbul atau belum. Jika wujud perbuatan itu telah selesai,

namun akibat belum timbul tindak pidana itu belum selesai, maka yang

terjadi adalah percobaan.

c. Dari Sudut Pembedaan Tindak Pidana Antara Bentuk Pokok,

Bentuk yang lebih Berat, dan yang Lebih Ringan.

1) Perumusan dalam Bentuk Pokok

Jika dilihat dari sudut sistem pengelompokan atau pembedaan

tindak pidana antara bentuk standar (bentuk pokok) dengan bentuk

yang diperberat dan bentuk yang lebih ringan. Cara merumuskan

dapat dibedakan antara merumuskan tindak pidana dalam bentuk

pokok dan dalam bentuk yang diperberat dan atau yang lebih ringan.

Bentuk pokok pembentuk Undang-Undang selalu merumuskan

secara sempurna dengan mencantumkan semua unsurunsur secara

lengkap.

2) Perumusan dalam Bentuk yang Diperingan dan yang

Diperberat

Rumusan dalam bentuk yang lebih berat dan atau lebih

ringan dari tindak pidana yang bersangkutan, unsur-unsur bentuk

pokoknya tidak diulang kembali atau dirumuskan kembali, melainkan

menyebut saja pasal dalam bentuk pokok (Pasal 364, 373, 379) atau

kualifikasi bentuk pokok (Pasal 339, 363, 365) dan menyebutkan

unsur-unsur yang menyebabkan diperingan atau diperberatnya

tindak pidana itu.


B. Tinjauan Umum Terhadap Tindak Pidana Penipuan.

1. Pengertian Penipuan

Berdasarkan teori dalam hukum pidana mengenai penipuan,

terdapat 2 (dua) sudut pandang yang harus diperhatikan, yakni menurut

pengertian Kamus Besar Bahasa Indonesia dan menurut pengertian

yuridis, penjelasannya adalah sebagai berikut :

a. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia

Disebutkan bahwa tipu berarti kecoh, daya cara, perbuatan, atau

perkataan yang tidak jujur (bohong, palsu, dan sebagainya) dengan

maksud untuk menyesatkan, mengakali, atau mencari untung. Penipuan

berarti proses, perbuatan, cara menipu, perkara menipu (mengecoh).

Dengan demikian, berarti yang terlibat dalam penipuan adalah 2 (dua)

pihak, yaitu orang yang menipu disebut dengan penipu dan orang yang

tertipu. Jadi, penipuan dapat diartikan sebagai suatu perbuatan atau

membuat, perkataan seseorang yang tidak jujur atau bohong dengan

maksud untuk menyesatkan atau mengakali orang lain untuk

kepentingan dirinya atau kelompok.

b. Menurut Pengertian Yuridis

Pengertian tindak pidana penipuan adalah dengan melihat dari

segi hukum sampai saat inibelum ada, kecuali yang dirumuskan dalam

KUHP. Rumusan penipuan dalam KUHP bukanlah suatu defenisi

melainkan hanyalah untuk menetapkan unsur-unsur suatu perbuatan

sehingga dapat dikatakan sebagai penipuan dan pelakunya dapat

dipidana. Penipuan menurut Pasal 378 KUHP yang dirumuskan sebagai

berikut : “Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri

atau orang lain atau orang lain secara melawan hukum, dengan

memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat,

ataupun rangkaian kebohongan, membujuk orang lain untuk


menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang

atau menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana

penjara paling lama empat Tahun.” Pidana bagi tindak pidana penipuan

adalah pidana penjara maksimum empat tahun tanpa alternatif

denda.Jadi, delik penipuan dipandang lebih berat daripada delik

penggelapan karena pada delik penggelapan ada alternatif denda.

Oleh karena itu, penuntut umum yang menyusun dakwaan primair

dan subsidair kedua pasal ini harus mencantumkan tindak pidana

penipuan pada dakwaan primair, sedangkan dakwaan subsidair adalah

penggelapan. Menurut Cleiren bahwa tindak pidana penipuan adalah

tindak pidana dengan adanya akibat (gevolgsdelicten) dan tindak pidana

berbuat (gedragsdelicten) atau delik komisi.16

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Penipuan

Dalam KUHP tentang Penipuan terdapat dalam BAB XXV Buku

II. Pada bab tersebut, termuat berbagai bentuk penipuan yang

dirumuskan dalam 20 pasal, masing-masing pasal mempunyai nama

khusus. Keseluruhan pasal pada BAB XXV ini dikenal dengan sebutan

bedrog atau perbuatan orang. Bentuk pokok dari bedrog atau perbuatan

orang adalah Pasal 378 KUHP tentang Penipuan. Berdasarkan rumusan

tersebut, maka tindak pidana penipuan memiliki unsur-unsur pokok,

yaitu:

a. Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau

orang lain secara melawan hukum

Dengan maksud harus diartikan sebagai tujuan terdekat dari

pelaku, yakni pelaku hendak mendapatkan keuntungan. Keuntungan ini

adalah tujuan utama pelaku dengan jalan melawan hukum, pelaku masih

16
Andi hamzah, 2010, Delik-Delik Tertentu (Speciale Delicten) di dalam KUHP, Sinar Grafika,
Jakarta, hal. 112.
membutuhkan tindakan lain, maka maksud belum dapat terpenuhi.

Dengan demikian, maksud tersebut harus ditujukan untuk

menguntungkan dan melawan hukum sehingga pelaku harus

mengetahui bahwa keuntungan yang menjadi tujuannya harus bersifat

melawan hukum.

b. Dengan menggunakan salah satu atau lebih alat penggerak

penipuan (nama palsu, martabat palsu atau keadaan palsu,

tipu muslihat dan rangkaian kebohongan).

Sifat dari penipuan sebagai tindak pidana ditentukan oleh

caracara pelaku menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang.

Alat-alat penggerak yang digunakan untuk menggerakkan orang lain

adalah sebagai berikut:

1) Nama Palsu

Nama palsu dalam hal ini adalah nama yang berlainan

dengan nama yang sebenarnya, meskipun perbedaan tersebut

sangat kecil. Apabila penipu menggunakan nama orang lain yang

sama dengan nama dan dengan dia sendiri, maka penipu dapat

dipersalahkan melakukan tipu muslihat atau susunan belit dusta.

2) Tipu Muslihat

Tipu muslihat adalah perbuatan-perbuatan yang dilakukan

sedemikian rupasehingga perbuatan tersebut menimbulkan

kepercayaan atau keyakinan atas kebenaran dari sesuatu kepada

orang lain. Tipu muslihat ini bukanlah ucapan melainkan perbuatan

atau tindakan.

3) Martabatatau Keadaan Palsu

Pemakaian martabat atau keadaan palsu adalah bilamana

seseorang memberikan pernyataan bahwa dia berada dalam suatu


keadaan tertentu dan keadaan itu memberikan hak-hak kepada

orang yang ada dalam keadaan tersebut.

4) Rangkaian Kebohongan

Beberapa kata bohong dianggap tidak cukup sebagai alat

penggerak. Hal ini dipertegas oleh Hoge Raad dalam Arrest 8 Maret

1926, bahwa : 17

“Terdapat suatu rangkaian kebohongan jika antara berbagai

kebohongan itu terdapat suatu hubungan yang sedemikian rupa dan

kebohongan yang satu melengkapi kebohongan yang lain sehingga

mereka secara timbal balik menimbulkan suatu gambaran palsu

seolah-olah merupakan suatu kebenaran.”

Rangkaian kebohongan itu harus diucapkan secara tersusun

sehingga merupakan suatu cerita yang dapat diterima secara logis

dan benar. Dengan demikian, kata yang satu memperkuat atau

membenarkan kata orang lain.

5) Menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu

barang, atau memberi utang, atau menghapus utang.

Dalam perbuatan menggunakan orang lain untuk

menyerahkan barang diisyaratkan adanya hubungan kausal antara

alat penggerak dan penyerahan barang. Hal ini dipertegas oleh

Hoge Raad dalam Arrest 25 Agustus 1923, bahwa :18

“Harus terdapat suatu hubungan sebab manusia antara

upaya yang digunakan dengan penyerahan yang dimaksud dari itu.

Penyerahan suatu barang yang terjadi sebagai akibat penggunaan

alat-alat penggerak dipandang belum cukup terbukti tanpa

menguraikan pengaruh yang ditimbulkan karena dipergunakannya

17
Bastian Bastari, 2011, Analisis Yuridis Terhadap Delik Penipuan, Makassar, hal. 40.
18
Ibid.
alat-alat tersebut menciptakan suatu situasi yang tepat untuk

menyesatkan seseorang yang normalsehingga orang tersebut

terpedaya karenanya, alat-alat penggerak itu harus menimbulkan

dorongan dalam jiwa seseorang sehingga orang tersebut

menyerahkan sesuatu barang.”

C. Tinjauan Umum Terhadap Putusan Hakim

1. Pengertian Putusan Hakim

Eksistensi putusan hakim atau lazim disebut dengan istilah

“putusan pengadilan” sangat diperlukan untuk menyelesaikan

perkara pidana. Dengan adanya “putusan hakim”diharapkan para

pihak dalam perkara pidana khususnya bagi terdakwa dapat

memperoleh kepastian hukum tentang statusnya dan sekaligus

dapat memersiapkan langkah berikutnya, yaitu menerima putusan,

melakukan upaya hukum banding atau kasasi, melakukan grasi, dan

sebagainya. Pengertian “Putusan Pengadilan” menurut Leden

Marpaung adalah:19

“Putusan adalah hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang


telah dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang
dapat berbentuk tertulis maupun lisan.”

Bab I angka 11 KUHAP menyebutkan “Putusan Pengadilan”

adalah:

“Pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan

terbuka yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari

segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur

dalam undang-undang ini.”

19
Lilik Mulyadi, 2007, Hukum Acara Pidana; Normatif, Teoretis, Praktik, dan Permasalahannya,PT
Alumni, Bandung, hal. 202.
Pengertian “Putusan Pengadilan” menurut Lilik Mulyadi

ditinjau dari visi teoretik dan praktik adalah :20

“Putusan yang diucapkan oleh hakim karena jabatannya

dalam persidangan perkara pidana yang terbuka untuk umum

setelah melakukan proses dan prosedural hukum acara pidana pada

umumnya berisikan amar pemidanaan atau bebas atau pelepasan

dari segala tuntutan hukum dibuat dalam bentuk tertulis dengan

tujuan penyelesaian perkaranya.”

2. Bentuk-Bentuk Putusan Hakim

a. Putusan Bebas (Vrijspraak)

Secara teoretik, putusan bebas dalam rumpun hukum Eropa

Kontinental lazim disebut dengan istilah putusan “Vrijspraak”,

sedangkan dalam rumpun Anglo-Saxon disebut putusan “Acquittal”.

Pada dasarnya, esensi putusan bebas terjadi karena terdakwa

dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah

melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan Jaksa atau

Penuntut Umum dalam surat dakwaan. Putusan bebas dijatuhkan

oleh Majelis Hakim oleh karena dari hasil pemeriksaan di sidang

pengadilan, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan

kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut

hukum.

Akan tetapi, menurut penjelasan pasal demi pasal atas Pasal

191 (1) KUHAP menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan

perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti sah dan

meyakinkan adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim

atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut

ketentuan hukum acara pidana. Secara yuridis dapat disebutkan

20
Ibid, hal. 203.
bahwa putusan bebas apabila Majelis Hakim setelah memeriksa

pokok perkara dan bermusyawarah beranggapan bahwa :21

1. Ketiadaan alat bukti seperti ditentukan asas minimum

pembuktian menurut Undang-Undang secara

negatif(negatieve wettelijke bewijs theorie) sebagaimana

dianut dalam KUHAP. Jadi, pada prinsipnya Majelis Hakim

dalam persidangan tidak cukup membuktikan tentang

kesalahan terdakwa serta hakim tidak yakin terhadap

kesalahan tersebut.

2. Majelis Hakim berpandangan terhadap asas minimum

pembuktian yang ditetapkan oleh Undang-Undang telah

terpenuhi, tetapi Majelis Hakim tidak yakin akan kesalahan

terdakwa.

b. Putusan Pelepasan dari Segala Tuntutan Hukum (Onslagvan

alle Rechtsvervolging)

Ketentuan Pasal 191 (2) KUHAP mengatur secara eksplisit

tentangputusan pelepasan dari segala tuntutan hukum (Onslag van

alle Rechtsvervolging). Pada pasal tersebut di atas, putusan

pelepasan dari segala tuntutan hukum dirumuskan dengan

redaksional bahwa :

“Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang

didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak

merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari

segala tuntutan hukum.”

Dengan demikian bahwa titik tolak ketentuan Pasal 1 91 (2)

KUHAP ditarik suatu konklusi dasar bahwa pada putusan

pelepasan, tindak pidana yang didakwakan oleh Jaksa atau

21
Ibid, hal. 218.
Penuntut Umum memang terbukti secara sah dan meyakinkan

menurut hukum, tetapi terdakwa tidak dapat dipidana karena

perbuatan yang dilakukan terdakwa bukan merupakan “perbuatan

pidana".

c. Putusan Pemidanaan ( Veroordeling )

Putusan pemidanaan atau “Veroordeling” padadasarnya

diatur dalam Pasal 193 (1) KUHAP dengan redaksional bahwa :

“Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan

tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan

menjatuhkan pidana.” 35 Apabila hakim menjatuhkan putusan

pemidanaan, hakim telah yakin berdasarkan alat-alat bukti yang sah

serta fakta-fakta di persidangan bahwa terdakwa melakukan

perbuatan sebagaimana dalam surat dakwaan. Hakim tidak

melanggar ketentuan Pasal 183 KUHAP.

Selain itu, jika dalam menjatuhkan putusan pemidanaan,

terdakwa tidak dilakukan penahanan, maka dapat diperintahkan

Majelis Hakim supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila tindak

pidana yang dilakukan itu diancam dengan pidana penjara lima

Tahun atau lebih, atau apabila tindak pidana itu termasuk yang

diatur dalam ketentuan Pasal 21 (4) huruf b KUHAP dan terdapat

cukup alasan untuk itu. Dalam aspek terdakwa dilakukan suatu

penahanan, pengadilan dapat menetapkan terdakwa tersebut tetap

berada dalam tahanan atau membebaskannya, apabila terdapat

cukup alasan untuk itu (Pasal 193 Ayat 2 KUHAP).

3. Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan

a. Pertimbangan Yuridis

Dalam menjatuhkan putusan terhadap suatu perkara, terlebih

putusan bebas (vrijspraak), hakim harus benar-benar


menghayati arti amanah dan tanggung jawab yang diberikan

kepadanya sesuai dengan fungsi dan kewenangannya masing-

masing.

Lilik Mulyadi mengemukakan bahwa :22

“Hakikat pada pertimbangan yuridis hakim merupakan


pembuktian unsur-unsur dari suatu tindak pidana yang
dapat menunjukkan perbuatan terdakwa tersebut
memenuhi dan sesuai dengan tindak pidana yang
didakwakan oleh penuntut umum sehingga
pertimbangan tersebut relevan terhadap amar atau
diktum putusan hakim.”

Pertimbangan hakim atau Ratio Decidendi adalah

pendapat atau alasan yang digunakan oleh hakim sebagai

pertimbangan hukum yang menjadi dasar sebelum memutus

perkara. Dalam praktik peradilan pada putusan hakim sebelum

pertimbangan yuridis ini dibuktikan, maka hakim terlebih dahulu

akan menarik fakta-fakta dalam persidangan yang timbul dan

merupakan konklusi komulatif dari keterangan saksi, keterangan

terdakwa, dan barang bukti.

Lilik Mulyadi mengemukakan bahwa pertimbangan

hakim dapat dibagi menjadi 2 (dua) kategori, yakni:

“Pertimbangan yuridis adalah pertimbangan hakim yang

didasarkan pada fakta-fakta yuridis yang terungkap dalam

persidangan dan oleh Undang-Undang ditetapkan sebagai hal

yang harus dimuat di dalam putusan.Pertimbangan nonyuridis

dapat dilihat dari latar belakang terdakwa, akibat perbuatan

terdakwa, kondisi diri terdakwa, dan agama terdakwa.”

Fakta-fakta persidangan yang dihadirkan berorientasi

dari lokasi kejadian (locus delicti), waktu kejadian (tempus

22
Lilik Mulyadi, 2007, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana; Teori, Praktik, Teknik
Penyusunan,dan Permasalahannya, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 193.
delicti), dan modus operandi tentang bagaimana tindak pidana

itu dilakukan. Selain itu, harus diperhatikan akibat langsung atau

tidak langsung dari perbuatan terdakwa, barang bukti yang

digunakan, dan terdakwa dapat mempertanggungjawabkan

perbuatannya atau tidak.

Setelah fakta-fakta dalam persidangan telah diungkapkan,

barulah putusan hakim mempertimbangkan unsur-unsur tindak

pidana yang didakwakan oleh penuntut umum yang sebelumnya

telah dipertimbangkan korelasi antara fakta-fakta, tindak pidana

yang didakwakan, dan unsur-unsur kesalahan terdakwa. Setelah

itu, majelis mempertimbangkan dan meneliti apakah terdakwa

telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan

dan terbukti secara sah meyakinkan menurut hukum.

Pertimbangan yuridis dari tindak pidana yang didakwakan

harus menguasai aspek teoretik, pandangan doktrin,

yurisprudensi, dan posisi kasus yang ditangani kemudian secara

limitatif ditetapkan pendiriannya. Menurut Lilik Mulyadi setelah

diuraikan mengenai unsur-unsur tindak pidana yang

didakwakan, ada tiga bentuk tanggapan dan pertimbangan

hakim, antara lain : 23

1. Ada majelis hakim yang menanggapi dan

mempertimbangkan secara detail, terperinci, dan

substansial terhadap tuntutan pidana dari penuntut umum

dan pledoi dari terdakwa atau penasihat hukum.

2. Ada majelis hakim yang menanggapi dan

mempertimbangkan secara selintas terhadap tuntutan

23
Lilik Mulyadi, 2007, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana; Teori, Praktik,Teknik
Penyusunan,dan Permasalahannya, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 196.
pidana dari penuntut umum dan pledoi terdakwa atau

penasihat hukum.

3. Ada majelis hakim yang sama sekali tidak menanggapi

dan mempertimbangkan terhadap tuntutan pidana dari

penuntut umum dan pledoi dari terdakwa atau penasihat

hukum.

Dalam putusan hakim, harus juga memuat hal-hal apa

saja yang dapat meringankan atau memberatkan terdakwa

selama persidangan berlangsung. Hal-hal yang memberatkan

adalah terdakwa tidak jujur, terdakwa tidak mendukung program

pemerintah, terdakwa sudah pernah dipidana sebelumnya, dan

lain sebagainya.Hal-hal yang bersifat meringankan adalah

terdakwa belum pernah dipidana, terdakwa bersikap baik selama

persidangan, terdakwa mengakui kesalahannya, terdakwa masih

muda, dan lain sebagainya.

b. Pertimbangan Sosiologis

Kehendak rakyat Indonesia dalam penegakan hukum ini

tertuang dalam Pasal 27 (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang

rumusannya : “Segala warga negara bersamaan kedudukannya

di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum

dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.

Sebagai upaya pemenuhan yang menjadi kehendak

rakyat ini, maka dikeluarkan berbagai peraturan perundang-

undangan yang salah satunya adalah Undang-Undang Nomor

48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dengan tujuan

agar penegakan hukum di negara ini dapat terpenuhi. Salah satu

pasal dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang

berkaitan dengan masalah ini adalah : Hakim sebagai penegak


hukum menurut Pasal 5 (1) UndangUndang No. 48 Tahun 2009

bahwa “Hakim wajib menggali, 39 mengikuti, dan memahami

nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam

masyarakat”. Dalam penjelasan Undang-Undang No. 48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan bahwa

ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan

hukum dan rasa keadilan masyarakat.

Jadi, hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-

nilai hukum yang hidup di kalangan rakyat sehingga dia harus

turun langsung ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal,

merasakan, dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa

keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian,

hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum

dan rasa keadilan masyarakat.

Berkaitan dengan hal tersebut, dikalangan praktisi hukum

terdapat kecenderungan untuk senantiasa melihat pranata

peradilan hanya sekedar sebagai pranata hukum belaka yang

penuh dengan muatan normatif dan diikuti dengan sejumlah

asasasas peradilan yang sifatnya sangat ideal dan normatif

Dengan penggunaan kajian moral dan kajian ilmu hukum

(normatif), pengadilan cenderung dibebani tanggung jawab yang

teramat berat dan nyaris tidak terwujudkan.

Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan secara

sosiologis oleh hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap

suatu perkara adalah :

1. Memperhatikan sumber hukum tertulis dan nilai-nilai

yang hidup dalam masyarakat.


2. Memperhatikan sifat baik dan buruk dari terdakwa serta

nilai-nilai yang meringankan dan hal-hal yang

memberatkan terdakwa.

3. Memperhatikan ada atau tidaknya perdamaian,

kesalahan, peranan korban.

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum

tersebut berlaku atau diterapkan.

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya cipta dan

rasa yang didasarkan pada karsa manusia dalam

pergaulan hidup.

Penjatuhan putusan apapun bentuknya akan berpengaruh

besar bagi pelaku, masyarakat, dan hukum itu sendiri.Oleh

karena itu, semakin besar dan banyak pertimbangan hakim,

maka akan semakin mendekati keputusan yang rasional dan

dapat diterima oleh semua pihak. Selain itu, harus juga

diperhatikan sistem pembuktian yang dipakai di Indonesia, yakni

hakim harus berusaha untuk menetapkan hukuman yang

dirasakan oleh masyarakat dan oleh terdakwa sebagai suatu

hukuman yang setimpal dan adil.

Untuk mencapai usaha ini, maka hakim harus

memerhatikan halhal sebagai berikut :

a. Sifat tindak pidana (apakah itu suatu tindak pidana

yang berat atau ringan).

b. Ancaman hukuman tehadap tindak pidana itu.

c. Keadaan dan suasana waktu melakukan tindak pidana

tersebut (yang memberatkan atau meringankan).

d. Pribadi terdakwa yang menunjukkan apakah dia

seorang penjahat yang telah berulang-ulang dihukum


atau seorang penjahat untuk satu kali ini saja; atau

apakah dia seorang yang masih muda ataupun seorang

yang telah berusia tinggi.

e. Sebab-sebab untuk melakukan tindak pidana.

f. Sikap terdakwa dalam pemeriksaan perkara (apakah

dia menyesal tentang kesalahannya atau dengan keras

menyangkal, meskipun telah ada bukti yang cukup akan

kesalahannya).

g. Kepentingan umum.

c. Pertimbangan Subjektif

Perbuatan seseorang yang berakibat tidak dikehendaki

oleh Undang-Undang.Sifat unsur ini mengutamakan adanya

pelaku (seseorang atau beberapa orang).Dilihat dari unsur-

unsur pidana ini, maka suatu perbuatan yang dilakukan oleh

seseorang harus memenuhi persyaratan agar dapat

dinyatakan sebagai peristiwa pidana. Syarat-syarat yang

harus dipenuhi adalah sebagai berikut :

1. Harus ada perbuatan, memang benar ada suatu kegiatan

yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang.

Kegiatan ini terlihat sebagai suatu perbuatan tertentu yang

dapat dipahami oleh orang lain sebagai sesuatu yang

merupakan peristiwa.

2. Perbuatan tersebut harus sesuai dengan apa yang

dirumuskan dalam ketentuan hukum. Artinya, perbuatan

sebagai suatu peristiwa hukum yang memenuhi isi ketentuan

hukum yang berlaku pada saat itu. Pelakunya benar-benar

telah berbuat seperti yang terjadi dan pelau wajib

mempertanggungjawabkan akibat yang ditimbulkan dari


perbuatan itu. Berkenaan dengan syarat ini, hendaknya dapat

dibedakan bahwa ada perbuatan yang tidak dapat

dipersalahkan dan pelaku pun tidak perlu

mempertanggungjawabkan. Perbuatan yang tidak

dipersalahkan itu dapat disebabkan karena dilakukan oleh

seseorang atau beberapa orang dalam melaksanakan tugas,

membela diri dari ancaman orang lain yang mengganggu

keselamatan dan dalam keadaan darurat.

3. Harus terjadi gk/mdadanya kesalahan yang dapat

dipertanggungjawabkan. Perbuatan yang dilakukan oleh

seseorang atau beberapa orang tersebut dapat dibuktikan

sebagai suatu perbuatan yang disalahkan oleh ketentuan

hukum.

4. Harus melawan hukum, artinya suatu perbuatan yang

berlawanan dengan hukum dimaksudkan kalau tindakannya

nyata atau jelas bertentangan dengan aturan hukum.

5. Harus tersedia ancaman hukumnya, kalau ada

ketentuanketentuan yang mengatur tentang larangan atau

keharusan dalam suatu perbuatan tertentu dan ketentuan itu

memuat sanksi ancaman hukumannya.

Ancaman hukuman tersebut dinyatakan secara tegas

berupa maksimal hukumannya yang harus dilaksanakan oleh

pelaku. Apabila dalam suatu ketentuan tidak dimuat ancaman

hukuman terhadap suatu perbuatan tertentu dalam tindak

pidana, maka pelaku tidak perlu melaksanakan hukuman

tertentu.
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Untuk mendapatkan data dan informasi yang diperlukan

dalam pembahasan dan penulisan skripsi ini, maka Penulis

melakukan penelitian di Kota Mataram Pengumpulan data dan

informasi akan dilaksanakan ditempat yang dianggap mempunyai

data yang sesuai dengan objek yang diteliti, yaitu di Pengadilan

Negeri Mataram.

B. Jenis dan Sumber Data

Sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian ini, maka jenis

dan sumber data yang diperlukan adalah:

1. Jenis Data

a. Data Primer

Data primer yaitu data yang diperoleh dari penelitian

lapangan dengan melakukan wawancara terhadap responden yang

dianggap mengetahui masalah yang dibahas, yaitu hakim.

b. Data Sekunder

Data sekunder yaitu data yang diperoleh melalui pengkajian

literatur-literatur yang berkaitan dengan masalah yang dibahas.

Adapun sumber-sumbernya yaitu buku-buku, majalah, serta

dokumen atau arsip yang berkaitan dengan masalah yang dibahas

42
2. Sumber Data

a. Sumber Penelitian Lapangan (Field Research), yaitu sumber

data lapangan sebagai salah satu pertimbangan hukum dari

para penegak hukum yang menangani kasus ini.

b. Sumber Penelitian Kepustakaan (Library research), yaitu

sumber data yang diperoleh dari hasil penelaahan beberapa

literatur dan sumber bacaan lainnya yang dapat mendukung

penulisan ini.

C. Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang digunakan Penulis dalam pengumpulan data

adalah sebagai berikut:

1. Untuk jenis data primer, Penulis melakukan pengumpulan data

dengan metode interview atau wawancara terhadap hakim guna

memperoleh data dan informasi yang akurat yang berkaitan dengan

pembahasan ini.

2. Untuk data sekunder, Penulis melakukan penelitian kepustakaan

untuk mencari data tambahan guna menunjang keberhasilan

penulisan ini. Dalam hal ini data yang diperoleh dari penelitian

kepustakaan antara lain bersumber dari:

a. Buku-buku, majalah, tulisan ilmiah, dan yang berhubungan

dengan objek penelitian.

43
b. Peraturan perundang-undangan dan konvensi-konvensi

internasional yang berhubungan dengan objek penelitian.

D. Analisis Data
Data yang diperoleh baik secara primer maupun sekunder

dianalisis secara kualitatif, lalu dilakukan deskriptif data untuk

menjawab permasalahan dalam penelitian ini.

44
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Penerapan Hukum Pidana terhadap Tindak Pidana Penipuan


dalam Putusan Nomor 337/Pid.B/2013/PN.Mtr

Sebagaimana diketahui, dalam memutus suatu perkara hakim

harus memegang teguh surat dakwaan yang dirumuskan oleh Jaksa

Penuntut Umum (JPU) dan berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di

persidangan. Oleh karena itu, sebelum Penulis menguraikan bagaimana

penerapan hukum pidana terhadap tindak pidana penipuan dalam Putusan

Nomor 337/Pid.B/2013/PN.Mtr, maka terlebih dahulu mengetahui posisi

kasus, dakwaan JPU, tuntutan Penuntut Umum, dan Amar Putusan, yaitu

sebagai berikut:

1. Posisi Kasus

Tindak pidana penipuan ini terjadi pada hari Rabu, tanggal 5

Oktober 2013, bertempat di jalan Panjitilar, No. 82, Kota Mataram atau

setidak-tidaknya pada tempat tertentu yang masih termasuk dalam daerah

hukum Pengadilan Negeri Mataram.

Tindak pidana penipuan ini berawal ketika terdakwa AKHMAD

RIDAWAN mendatangi saksi H. ABDUL HAKIM yang merupakan

pengusaha rental mobil pada waktu dan tempat sebagaimana tersebut di

atas dengan maksud hendak merental mobil Honda New CR-V sambil

memperkenalkan diri sebagai Anggota Polri, sehingga untuk

45
membuktikan kebenaran identitas terdakwa tersebut. Selanjutnya saksi H.

ABDUL HAKIM kemudian meminta kepada terdakwa untuk diperlihatkan

kartu tanda anggotanya namun pada saat tersebut, terdakwa tidak

memperlihatkannya dengan alasan KTAnya tidak ada dan oleh terdakwa

untuk meyakinkan saksi H. ABDUL HAKIM , terdakwa kemudian kemudian

memperlihatkan SIM C dan mengatakan mobil tersebut akan dipakai

pimpinan terdakwa yaitu AKBP MUSA untuk keperluan wasrik tiap Polsek

yang ada di Mataram.. Padahal pada kenyataannya saksi AKBP MUSA

tidak pernah meminta hal tersebut dan kenyataannya mobil tersebut

hanya akan dipakai oleh terdakwa. Selanjutnya karena tidak terlalu

percaya kepada terdakwa, saksi H. ABDUL HAKIM kemudian meminta

kepada terdakwa untuk membuat surat pernyataan sebagaimana maksud

terdakwa merental mobil tersebut sehingga atas hal-hal tersebut di atas,

saksi H. ABDUL HAKIM kemudian yakin dan percaya dengan terdakwa

dan selanjutnya menyepakati mobil akan dirental selama 4 (empat) hari

dengan biaya rental perharinya sebesar Rp. 1.000.000’- (satu juta rupiah)

sehingga total keseluruhan yang akan dibayar oleh terdakwa sebesar Rp.

4.000.000,- (empat juta rupiah) akan tetapi terdakwa dengan alasan tidak

membawa uang sebesar tersebut terdakwa kemudian meminta kepada

saksi H. ABDUL HAKIM agar terdakwa terlebih dahulu membayar fee

sebesar Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah) dan hal tersebut kemudian

disetujui oleh saksi H. ABDUL HAKIM dengan ketentuan

46
pembayaran akan dilaksanakan pada saat itu juga sebelum Maghrib.

Selanjutnya setelah tercapai adanya kesepakatan tersebut, terdakwa

kemudian membawa mobil tersebut, akan tetapi hingga saat pembayaran

yang telah ditentukan, terdakwa tidak juga kunjung datang membawa

mobil dan melakukan pembayaran terhadap mobil tersebut.

2. Dakwan Jaksa Penuntut Umum

Bahwa ia terdakwa RP pada hari Rabu, tanggal 5 Oktober 2013,


bertempat di jalan Panjitilar, No. 82, Kota Mataram atau setidak-tidaknya
pada tempat tertentu yang masih termasuk dalam daerah hukum
Pengadilan Negeri Mataram yang berwenang mengadili. Terdakwa
dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan
melawan hak, baik dengan memakai nama palsu atau martabat palsu,
dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan menggerakkan
orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya atau supaya
memberi utang atau menghapus piutang, yang terdakwa lakukan dengan
cara sebagai berikut:

- Bahwa pada awalnya terdakwa mendatangi saksi H. ABDUL


HAKIM yang merupakan pengusaha rental mobil pada waktu dan
tempat sebagaimana tersebut di atas dengan maksud hendak
merental mobil Honda New CR-V sambil memperkenalkan diri
sebagai Anggota Polri, sehingga untuk membuktikan kebenaran
identitas terdakwa tersebut. Selanjutnya saksi H. ABDUL HAKIM
kemudian meminta kepada terdakwa untuk diperlihatkan kartu
tanda anggotanya namun pada saat tersebut, terdakwa tidak
memperlihatkannya dengan alasan KTA nya tidak ada dan oleh
terdakwa untuk meyakinkan saksi H. ABDUL HAKIM , terdakwa
kemudian kemudian memperlihatkan SIM C dan mengatakan mobil
tersebut akan dipakai pimpinan terdakwa yaitu AKBP MUSA untuk
keperluan wasrik tiap Polsek yang ada di Mataram.. Padahal pada
kenyataannya saksi AKBP MUSA tidak pernah meminta hal
tersebut dan kenyataannya mobil tersebut hanya akan dipakai oleh
terdakwa.
- Bahwa karena tidak terlalu percaya kepada terdakwa, saksi H.
ABDUL HAKIM kemudian meminta kepada terdakwa untuk
membuat surat pernyataan sebagaimana maksud terdakwa
merental mobil tersebut sehingga atas hal-hal tersebut di atas,
saksi H. ABDUL HAKIM kemudian yakin dan percaya dengan
terdakwa dan selanjutnya menyepakati mobil akan dirental

47
selama 4 (empat) hari dengan biaya rental perharinya sebesar Rp.
1.000.000’- (satu juta rupiah) sehingga total keseluruhan yang akan
dibayar oleh terdakwa sebesar Rp. 4000.000,- (empat juta rupiah)
akan tetapi terdakwa dengan alasan tidak membawa uang sebesar
tersebut terdakwa kemudian meminta kepada saksi H. ABDUL
HAKIM agar terdakwa terlebih dahulu membayar fee sebesar Rp.
100.000,- (seratus ribu rupiah) dan hal tersebut kemudian disetujui
oleh saksi H. ABDUL HAKIM dengan ketentuan pembayaran akan
dilaksanakan pada saat itu juga sebelum Maghrib.
- Bahwa setelah tercapai adanya kesepakatan tersebut, terdakwa
kemudian membawa mobil tersebut, akan tetapi hingga saat
pembayaran yang telah ditentukan, terdakwa tidak juga kunjung
datang membawa mobil dan melakukan pembayaran terhadap
mobil tersebut.

Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana pada


Pasal 378 KUHP.

3. Tuntutan Penuntut Umum

MENUNTUT

Agar Majelis Hakim Pengadilan Negeri Mataram yang mengadili


perkara ini memutuskan:

a. Menyatakan terdakwa AR telah terbukti secara sah dan


meyakinkan melakukan tindak pidana “penipuan” sebagaimana
surat dakwaan kami;
b. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa AR dengan pidana penjara
selama 6 (enam) bulan dikurangi selama terdakwa ditahan;
c. Menetapkan barang bukti berupa:
1 (satu) unit mobil Honda CR-V DR 777 MZ dikembalikan kepada
ahli waris Alm. H. ABDUL HAKIM sedangkan barang bukti berupa 1
(satu) unit sepeda motor Suzuki SPIN dikembalikan kepada
terdakwa dan barang bukti berupa 1 (satu) lembar surat pernyataan
atas nama AKBP MUSA tetap terlampir dalam perkara; dan
d. Menetapkan supaya Terdakwa dibebani biaya perkara sebesar Rp.
2.000,- (dua ribu rupiah).

48
4. Amar Putusan

MENGADILI

a. Menyatakan terdakwa AR terbukti secara sah dan meyakinkan


melakukan tindak pidana “penipuan”;
b. Menjatuhkan pidana oleh karena itu dengan pidana penjara selama
3 (tiga) bulan 20 (dua puluh) hari;
c. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa
dikurangkan seluruhnya daripada yang dijatuhkan;
d. Menyatakan barang bukti berupa 1 (satu) unit mobil Honda New
CR-V DR 777 MZ dikembalikan kepada ahli waris Alm. H. ABDUL
HAKIM sedangkan barang bukti berupa 1 (satu) unit sepeda motor
Suzuki SPIN dikembalikan kepada terdakwa dan barang bukti
berupa 1 (satu) lembar surat pernyataan atas nama AKBP MUSA
tetap terlampir dalam berkas perkara; dan
e. Membebani Terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp.
2.000,- (dua ribu rupiah).

5. Analisis Penulis

Dalam surat dakwaan di atas, diketahui bahwa dakwaan JPU

berbentuk dakwaan tunggal. Dalam surat dakwaan tunggal terhadap

terdakwa hanya didakwakan melakukan satu tindak pidana saja yang

mana Penuntut Umum merasa yakin bahwa terdakwa telah melakukan

tindak pidana yang didakwakan tersebut. Misalnya Penuntut Umum

merasa yakin apabila terdakwa telah melakukan tindak pidana “penipuan”

sebagaimana diatur dalam Pasal 378 KUHP, maka terdakwa hanya

didakwa dengan Pasal 378 KUHP.

Dalam perkara di atas, terdakwa AR didakwa Pasal 378 KUHP

yaitu tindak pidana penipuan. Oleh karena dakwaan JPU berbentuk

dakwaan tunggal maka hakim hanya akan mempertimbangkan dan

membuktikan satu pasal saja, yaitu Pasal 378 KUHP. Selanjutnya dalam

49
proses persidangan dan sampai pada pengambilan keputusan, akhirnya

hakim menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan

melakukan tindak pidana penipuan sebagaimana diatur dalam Pasal 378

KUHP.

Untuk membuktikan tepat atau tidaknya penerapan pasal yang

dilakukan oleh Mejelis Hakim bahwa terdakwa terbukti secara sah dan

meyakinkan melakukan tindak pidana penipuan sebagaimana diatur

dalam Pasal 378 KUHP, maka semua unsur-unsur tentang tindak pidana

tersebut harus terpenuhi seluruhnya.

Adapun unsur-unsur dari Pasal 378 KUHP, yaitu sebagai berikut:

1. Unsur barangsiapa;

2. Unsur dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain

secara melawan hukum; dan

3. Unsur menggerakkan orang lain untuk menyerahkan suatu barang

kepadanya atau untuk memberi utang ataupun menghapus piutang,

dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu

muslihat, ataupun dengan rangkaian perkataan bohong.

Berikut akan Penulis uraikan unsur-unsur Pasal 378 KUHP

dihubungkan dengan fakta yang terungkap di persidangan:

1. Unsur barangsiapa

- Berdasarkan ketentuan perundang-undangan bahwa yang

dimaksud dengan “barangsiapa” adalah setiap orang atau siapa

50
saja yang tunduk dan dapat dipertanggungjawabkan sebagai

subyek hukum pidana serta mampu bertanggungjawab, artinya

dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum dan

salah satu subyek yang dianggap sebagai subyek hukum

menurut peraturan hukum yang berlaku.

- Bahwa dari fakta-fakta yang terungkap di persidangan

berdasarkan keterangan para saksi dan terdakwa serta adanya

barang bukti dalam perkara ini, dimana diperoleh fakta-fakta

hukum.

- Bahwa orang yang diajukan dalam persidangan ini adalah

bernama RP, dan identitas terdakwa yang tercantum dalam

surat dakwaan perkara ini dibenarkan oleh terdakwa dan

ternyata terdakwa dalam keadaan sehat jasmani dan rohani

sehingga dapat dimintai pertanggungjawaban atas segala

perbuatan yang dilakukannya.

Berdasarkan uraian di atas, maka unsur barangsiapa telah

terpenuhi dan terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum.

2. Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara

melawan hukum

- Bahwa menurut Van Bemmelen dan Van Hattum termasuk

dalam pengertian menguntungkan ialah setiap perbaikan

keadaan yang dicapai orang atau yang secara pantas dapat

diharapkan akan dicapai orang. Perbaikan tersebut hampir

51
selalu bersifat harta kekayaan, setidak-tidaknya mempunyai

akibat-akibat yang bersifat keharta kekayaan sedangkan yang

dimaksud dengan melawan hukum menurut Van Hattum dan

Van Bemmelen adalah bertentangan dengan kepatutan dalam

pergaulan bermasyarakat dan bilamana suatu keuntungan itu

dapat bersifat melawan hukum apabila pada keuntungan

tersebut masih terdapat cacat tentang bagaimana caranya

keuntungan itu sendiri sifatnya bertentangan dengan kepatutan

didalam pergaulan bermasyarakat tanpa orang perlu

memperhatikan tentang bagaimana caranya keuntungan itu

dapat diperoleh.

- Merujuk pada beberapa pengertian tersebut di atas,

dihubungkan dengan fakta hukum yang terungkap dalam

persidangan berdasarkan alat bukti berupa keterangan para

saksi maka diperoleh fakta-fakta hukum sebagai cerminan dari

doktrin tersebut di atas.

- Unsur dengan maksud menguntungkan diri sendiri yaitu

terdakwa merental mobil korban dengan mengatasnamakan

pimpinan terdakwa yang tidak benar adanya.

- Unsur dengan cara melawan hukum yaitu terdakwa melakukan

rangkaian kebohongan (penipuan) untuk meyakinkan korban

agar menyerahkan barangnya (mobil) yaitu membuat surat

pernyataan yang tidak benar adanya.

52
Berdasarkan uraian di atas, maka unsur dengan maksud

menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum

telah terpenuhi dan terbukti secara sah dan meyakinkan menurut

hukum.

3. Menggerakkan orang lain untuk menyerahkan suatu barang

kepadanya atau untuk memberi utang ataupun menghapus piutang,

dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu

muslihat, ataupun dengan rangkaian perkataan bohong.

- Bahwa unsur ini terdiri dari beberapa sub unsur yang bersifat

alternatif, artinya jika terbukti salah satunya, maka yang lainnya

tidak perlu dibuktikan lagi karena dengan sendirinya secara

menyeluruh unsur ini telah terbukti.

- Bahwa yang dimaksud dengan menyerahkan sesuatu benda

menurut Van Bemmelen – Van Hattum adalah suatu tindakan

memisahkan suatu benda dengan cara bagaimanapun dan

dalam keadaan yang bagaimanapun dari orang yang mengusai

benda tersebut untuk diserahkan kepada siapa pun.

- Unsur menggerakkan orang lain dengan memakai rangkaian

perkataan bohong yaitu “terdakwa mengatakan bahwa mobil

tersebut akan dipakai oleh pimpinan terdakwa yaitu AKBP

MUSA untuk keperluan wasrik yang ada di Mataram, Gowa,

dan Maros padahal dalam kenyataannya saksi AKBP MUSA

tidak pernah meminta hal tersebut dan kenyataannya mobil

53
tersebut hanya akan dipakai oleh terdakwa. Bahwa karena

tidak terlalu percaya dengan terdakwa saksi H. ABDUL HAKIM

kemudian meminta kepada terdakwa untuk membuat surat

pernyataan sebagaimana maksud terdakwa merental mobil”.

- Unsur menyerahkan suatu barang yaitu “kemudian saksi H.

ABDUL HAKIM yakin dan percaya dan kemudian meyerahkan

mobil tersebut kepada terdakwa”.

Berdasarkan uraian di atas, maka unsur menggerakkan

orang lain untuk menyerahkan suatu barang kepadanya atau untuk

memberi utang ataupun menghapus piutang, dengan memakai

nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun

dengan rangkaian perkataan bohong telah terpenuhi dan terbukti

secara sah dan meyakinkan menurut hukum.

Oleh karena unsur tindak pidana yang didakwakan kepada

terdakwa telah terbukti seluruhnya, maka keputusan majelis hakim yang

menyatakan terdakwa melanggar Pasal 378 KUHP menurut Penulis sudah

tepat atau dengan kata lain pasal yang didakwakan oleh JPU dan

selanjutnya diterapkan oleh Majelis Hakim sudah tepat.

Selanjutnya untuk menjatuhkan pidana kepada seseorang haruslah

didasarkan pada ketentuan Pasal 184 KUHAP, yang menjelaskan bahwa

hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila

dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh

54
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa

terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Adapun alat bukti yang sah berdasarkan Pasal 184 KUHAP adalah

sebagai berikut:

a. Keterangan saksi;
b. Keterangan ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan terdakwa.

Merujuk pada Berita Acara Pemeriksaan (BAP) maka alat bukti

yang sah berdasarkan Pasal 184 KUHAP telah terpenuhi yaitu dengan

adanya keterangan saksi (Brigpol Muchtar, Yusrin, Rasyid, H. Abdul

Hakim , dan AKBP Musa), surat (surat pernyataan), petunjuk (mobil) dan

keterangan terdakwa AR telah terpenuhi. Sehingga sangat tepat dan

beralasan kuat menjatuhkan pidana kepada terdakwa.

B. Pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan Putusan terhadap


Pelaku Tindak Pidana Penipuan dalam Putusan Nomor
337/Pid.B/2013/PN.Mtr.
Pengambilan keputusan sangatlah diperlukan oleh hakim untuk

menetapkan status seorang terdakwa dalam persidangan. Pengambilan

keputusan itu tentunya memerlukan pertimbangan-pertimbangan, baik itu

pertimbangan yuridis maupun pertimbangan sosiologis. Pertimbangan

hakim dalam menjatuhkan putusan setelah proses pemeriksaan dan

persidangan selesai maka hakim harus mengambil keputusan yang tepat.

Untuk itu sebelum menjatuhkan sanksi pidana, hakim harus menelaah

terlebih dahulu tentang kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya

55
dengan melihat bukti-bukti yang ada (fakta persidangan) dan disertai

keyakinannya setelah itu mempertimbangkan dan memberikan penilaian

atas peristiwa yang terjadi serta menghubungkan dengan hukum yang

berlaku. Selanjutnya memberikan suatu kesimpulan apakah terdakwa

terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya atau tidak.

Adapun hal-hal yang menjadi pertimbangan Majelis Hakim dalam

memutus Perkara Nomor 337/Pid.B/2013/PN.Mtr, Penulis membagi

kedalam 2 (dua) bagian, yaitu pertimbangan yuridis dan pertimbangan

sosiologis.

1. Pertimbangan Yuridis

Pertimbangan yuridis adalah pertimbangan hakim yang

memandang hukum sebagai suatu sistem yang utuh yang mencakupi

fakta-fakta hukum yang terungkap dipersidangan, asas-asas hukum,

norma-norma hukum, dan aturan-aturan hukum.

Berikut fakta-fakta hukum yang terungkap dipersidangan

berdasarkan keterangan para saksi yang menjadi pertimbangan Majelis

Hakim dalam menjatuhkan Putusan Nomor 337/Pid.B/2013/.PN.Mtr yaitu:

1. Bahwa benar pada hari Rabu tanggal 05 Oktober 2013 sekitar


jam 12.00 wita, bertempat di jalan Pajitilar No. 82 Kota Mataram
telah terjadi tindak pidana penipuan yang dilakukan oleh
AHMAD RIDWAN (AR).
2. Bahwa benar tersangka melakukan penipuan terhadap H. Abdul
Hakim dengan cara mengaku sebagai anggota kepolisian dan
ajudan AKBP Musa dengan alasan merental mobil untuk
keperluan kantor berupa wasrik ke polsek-polsek Se-Kota
Mataram seperti yang disebutkan dalam surat pernyataan yang
dibuat tersangka, dan menjaminkan SIM C,

56
sepeda motor Suzuki Spin No. Pol DR 5708 AH, guna untuk
meyakinkan korban. Hal tersebut diketahui oleh Yusrin dan
Rasyid karena pada saat kejadian berada ditempat kejadian,
serta BRIGPOL Muchtar setelah disampaikan kejadian tersebut
tidak membenarkan alasan tersangka karena bermasalah di
kantor. Kemudian saksi korban AKBP Musa tidak pernah
memerintahkan tersangka untuk merental mobil guna
kepentingan dinas kepolisian. Melainkan tersangka merental
mobil guna kepentingan pribadi.
3. Bahwa benar tersangka melakukan penipuan yang
mengatasnamakan AKBP Musa dengan menambahkan materai
6.000 berstempel Polsekta Ampenan namun tanpa tanda
tangan untuk merentalkan 1 (satu) unit mobil CRV DR 777 MZ,
sampai adanya perikatan berupa surat perjanjian rental, namun
korban H. Abdul Hakim tidak mengetahui jika surat pernyataan
yang dibuat benar adanya karena korban tidak pernah bertemu
dengan AKBP Musa. Setelah korban mengetahui dari BRIGPOL
Muchtar bahwa Ahmad Ridwan adalah polisi yang bermasalah
dan sampai sore tidak kembali maka mobil tersebut dijemput
sekitar jam 19.30 wita di Jl.Arif Rahman Hakim Mataram.
Kemudian mobil sudah digunakan lebih dari 6 (enam) jam
sehingga kerugian korban senilai Rp 1.000.000,- (satu juta
rupiah). Sedangkan AKBP Musa keberatan dengan
mengatasnamakan diri saksi di surat pernyataan, karena
merusak nama baik dan sempat membuat saksi jengkel.
Kemudian tersangka mengakui bahwa jika tidak ada surat
pernyataan yang dibuat mengatasnamakan AKBP Musa maka
korban tidak akan merentalkan mobil kepada tersangka.
4. Bahwa telah diperhadapkan 5 (lima) orang saksi dan terdakwa
yang telah didengar keterangannya dibawah sumpah yang
saling menunjukkan kesesuaian yang didukung pula dengan
barang bukti yang ada, sehingga melahirkan kesimpulan bahwa
terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
atas tindak pidana penipuan.
5. Bahwa tersangka AR dalam perkara ini sudah dilakukan
penahanan.
6. Bahwa karena terdakwa telah terbukti bersalah maka terdakwa
akan dijatuhi pidana yang setimpal dengan perbuatannya.
Berdasarkan fakta-fakta hukum yang telah disebutkan di atas,

kemudian Majelis Hakim mempertimbangkan apakah terdakwa dapat

dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana atau tidak yang didakwakan

57
kepadanya, maka keseluruhan dari unsur-unsur pasal yang didakwakan

kepada terdakwa haruslah dapat dibuktikan dan terpenuhi seluruhnya.

Adapun unsur-unsur Pasal 378 yang didakwakan JPU dalam

perkara ini yaitu sebagai berikut:

1. Unsur barangsiapa

- Berdasarkan ketentuan perundang-undangan bahwa yang

dimaksud dengan “barangsiapa” adalah setiap orang atau siapa

saja yang tunduk dan dapat dipertanggungjawabkan sebagai

subyek hukum pidana serta mampu bertanggungjawab, artinya

dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum dan

salah satu subyek yang dianggap sebagai subyek hukum

menurut peraturan hukum yang berlaku.

- Bahwa dari fakta-fakta yang terungkap di persidangan

berdasarkan keterangan para saksi dan terdakwa serta adanya

barang bukti dalam perkara ini, dimana diperoleh fakta-fakta

hukum.

- Bahwa orang yang diajukan dalam persidangan ini adalah

bernama Ahmad Ridawan (AR), dan identitas terdakwa yang

tercantum dalam surat dakwaan perkara ini dibenarkan oleh

terdakwa dan ternyata terdakwa dalam keadaan sehat jasmani

dan rohani sehingga dapat dimintai pertanggungjawaban atas

segala perbuatan yang dilakukannya.

58
Berdasarkan uraian di atas, maka unsur barangsiapa telah

terpenuhi dan terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum.

2. Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara

melawan hukum

- Bahwa menurut Prof. Van Bemmelen dan Prof Hattum termasuk

dalam pengertian menguntungkan ialah setiap perbaikan

keadaan yang dicapai orang atau yang secara pantas dapat

diharapkan akan dicapai orang. Perbaikan tersebut hampir

selalu bersifat harta kekayaan, setidak-tidaknya mempunyai

akibat-akibat yang bersifat keharta kekayaan sedangkan yang

dimaksud dengan melawan hukum menurut Prof. Van Hattum

dan Prof. Van Bemmelen adalah bertentangan dengan

kepatutan dalam pergaulan bermasyarakat dan bilamana suatu

keuntungan itu dapat bersifat melawan hukum apabila pada

keuntungan tersebut masih terdapat cacat tentang bagaimana

caranya keuntungan itu sendiri sifatnya bertentangan dengan

kepatutan didalam pergaulan bermasyarakat tanpa orang perlu

memperhatikan tentang bagaimana caranya keuntungan itu

dapat diperoleh.

- Merujuk pada beberapa pengertian tersebut di atas,

dihubungkan dengan fakta hukum yang terungkap dalam

persidangan berdasarkan alat bukti berupa keterangan para

59
saksi maka diperoleh fakta-fakta hukum sebagai cerminan dari

doktrin tersebut di atas.

- Unsur dengan maksud menguntungkan diri sendiri yaitu

terdakwa merental mobil korban dengan mengatasnamakan

pimpinan terdakwa yang tidak benar adanya.

- Unsur dengan cara melawan hukum yaitu terdakwa melakukan

rangkaian kebohongan (penipuan) untuk meyakinkan korban

agar menyerahkan barangnya (mobil) yaitu membuat surat

pernyataan yang tidak benar adanya.

Berdasarkan uraian di atas, maka unsur dengan maksud

menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum

telah terpenuhi dan terbukti secara sah dan meyakinkan menurut

hukum.

3. Menggerakkan orang lain untuk menyerahkan suatu barang

kepadanya atau untuk memberi utang ataupun menghapus piutang,

dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu

muslihat, ataupun dengan rangkaian perkataan bohong.

- Bahwa unsur ini terdiri dari beberapa sub unsur yang bersifat

alternatif, artinya jika terbukti salah satunya, maka yang lainnya

tidak perlu dibuktikan lagi karena dengan sendirinya secara

menyeluruh unsur ini telah terbukti.

- Bahwa yang dimaksud dengan menyerahkan sesuatu benda

menurut Van Bemmelen – Van Hattum adalah suatu tindakan

60
memisahkan suatu benda dengan cara bagaimanapun dan

dalam keadaan yang bagaimanapun dari orang yang mengusai

benda tersebut untuk diserahkan kepada siapa pun.

- Unsur menggerakkan orang lain dengan memakai rangkaian

perkataan bohong yaitu “terdakwa mengatakan bahwa mobil

tersebut akan dipakai oleh pimpinan terdakwa yaitu AKBP

MUSA untuk keperluan wasrik yang ada di Mataram, padahal

dalam kenyataannya saksi AKBP MUSA tidak pernah meminta

hal tersebut dan kenyataannya mobil tersebut hanya akan

dipakai oleh terdakwa. Bahwa karena tidak terlalu percaya

dengan terdakwa saksi H. ABDUL HAKIM kemudian meminta

kepada terdakwa untuk membuat surat pernyataan

sebagaimana maksud terdakwa merental mobil”.

- Unsur menyerahkan suatu barang yaitu “kemudian saksi H.

ABDUL HAKIM yakin dan percaya dan kemudian meyerahkan

mobil tersebut kepada terdakwa”.

Berdasarkan uraian di atas, maka unsur menggerakkan

orang lain untuk menyerahkan suatu barang kepadanya atau untuk

memberi utang ataupun menghapus piutang, dengan memakai

nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun

dengan rangkaian perkataan bohong telah terpenuhi dan terbukti

secara sah dan meyakinkan menurut hukum.

61
Oleh karena unsur-unsur Pasal 378 KUHP di atas telah terpenuhi

seluruhnya maka terdakwa dapat dinyatakan terbukti melakukan tindak

pidana seperti yang didakwakan kepadanya. Setelah semua unsur-unsur

tindak pidana berhasil dibuktikan, maka selanjutnya Majelis Hakim

mempertimbangkan alasan-alasan pengecualian, pengurangan atau

penambahan pidana.

Dalam perkara ini, Majelis Hakim menilai bahwa terdakwa AR

adalah orang yang memiliki kemampuan untuk mempertanggungjawabkan

perbuatannya, serta tidak ditemukan alasan pengecualian penuntutan,

alasan pemaaf maupun alasan pembenar pada dirinya, sehingga

terdakwa tetap dinyatakan bersalah dan bertanggungjawab atas

perbuatannya.

Membahas tentang alasan pengurangan pidana, Pasal 22 ayat (4)

KUHAP menyatakan “masa penangkapan dan atau masa penahanan

dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan”. Itu artinya bahwa

seorang terpidana yang telah menjalani masa penangkapan dan atau

penahanan berhak mendapat pengurangan masa pidana dari yang

dijatuhkan Majelis Hakim kepadanya.

2. Pertimbangan Sosiologis

Seperti yang disebutkan pada pembahasan sebelumnya bahwa

pertimbangan sosiologis adalah pertimbangan hakim yang menggunakan

pendekatan-pendekatan terhadap latar belakang, kondisi sosial ekonomi

62
dan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dalam menjatuhkan

putusannya. Pasal 5 ayat (1) Rancangan KUHP Nasional Tahun 1999-

2000, menentukan bahwa dalam pemidanaan, hakim mempertimbangkan:

1. Kesalahan terdakwa;
2. Motif dan tujuan melakukan tindak pidana;
3. Cara melakukan tindak pidana;
4. Sikap batin membuat tindak pidana;
5. Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pelaku;
6. Sikap dan tindakan pembuat setelah melakukan tindak pidana;
7. Pengaruh tindak pidana terhadap masa depan pelaku;
8. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana, terhadap
korban atau keluarga.

Kemudian didalam Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 48

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman juga disebutkan bahwa hakim

dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti,dan memahami nilai-nilai

hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Artinya, dalam

memutus suatu perkara hakim tidak boleh hanya mempertimbangkan

aspek yuridisnya saja, tetapi hakim juga harus mempertimbangkan aspek

sosiologisnya.

Hal-hal yang menjadi pertimbangan Majelis Hakim yang tertera

dalam Putusan Nomor 337/Pid.B/2013/PN.Mtr adalah:

a. Hal-hal yang memberatkan


- Perbuatan terdakwa telah menimbulkan kerugian bagi orang
lain
b. Hal-hal yang meringankan
- Terdakwa di depan persidangan bersikap sopan;
- Terdakwa belum pernah dihukum;
- Terdakwa mempunyai tanggungan keluarga.

Setelah mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, Majelis Hakim

kemudian menjatuhkan sanksi pidana kepada terdakwa RP dengan

63
pidana penjara selama 3 (tiga) bulan dan 20 (dua puluh) hari dikurangkan

seluruhnya dari lamanya pidana penjara yang dijatuhkan.

3. Analisis Penulis

Dalam membuat putusan serta menjatuhkan sanksi pidana,

tentunya hakim mempunyai pertimbangan-pertimbangan. Karena yang

ingin dicapai adalah terciptanya putusan yang mendekati rasa keadilan

bagi semua pihak, baik itu bagi terdakwa, korban ataupun penilaian-

penilaian masyarakat. Dengan demikian masyarakat mempunyai respek

yang positif terhadap lembaga peradilan.

Ada hal yang menarik dalam perkara ini, yaitu yang melakukan

tindak pidana dalam hal ini tindak pidana penipuan adalah seorang

anggota Polri yang sejatinya memberi rasa aman dan nyaman bagi

masyarakat. Pasal 52 KUHP menyatakan bahwa “seorang pejabat karena

melakukan perbuatan pidana yang melanggar suatu kewajiban khusus

dari jabatannya, atau pada waktu melakukan perbuatan pidana memakai

kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena

jabatannya, pidananya dapat ditambah sepertiga” dari putusan yang telah

dijatuhkan kepada si-pelaku. Seorang pejabat yang dimaksudkan dalam

ketentuan tersebut adalah seorang pegawai pemerintahan yang berstatus

sebagai pegawai negeri sipil.

Beberapa unsur yang dapat dijadikan dasar untuk memperberat

pemidanaan (ditambah sepertiga) bagi seorang pegawai negeri sipil, yaitu:

64
a. Melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya.

b. Memakai kekuasaan jabatannya.

c. Menggunakan kesempatan karena jabatannya.

d. Menggunakan sarana yang diberikan karena jabatannya.

Alasan pemberatan pidana karena jabatan tersebut dalam sebuah

praktik sangatlah sulit dalam penerapannya. Misalnya kasus seorang

polisi yang seharusnya bertugas menjaga ketertiban dan ketenteraman

umum justru melakukam pencurian. Barulah anggota polisi tersebut

melanggar kewajibannya yang istimewa karena jabatannya ketika ia

memang ditugaskan khusus untuk menjaga uang disuatu bank negara,

lalu ia sendiri mencuri uang ini. Dari sinilah Pasal 52 KUHP ini sangat sulit

dalam penerapannya disuatu masyarakat yang tentunya memiliki unsur-

unsur tersendiri. Oleh karena itu seorang yang menangani masalah ini

harus jeli dan pintar mengambil suatu keputusan.

Berkaitan dengan Pasal 52 tersebut, Penulis kemudian melakukan

wawancara dengan salah satu hakim yang menangani perkara ini, beliau

menyatakan bahwa:

Dalam perkara ini, hakim tidak menerapkan Pasal 52 KUHP


sebagai pemberatan dengan alasan bahwa tindak pidana yang
dilakukan oleh terdakwa tidak ada hubungannya dengan kewajiban
khusus dari jabatannya. Pasal 52 KUHP bisa diterapkan misalnya
pada kasus Gayus Tambunan, karena Gayus adalah pegawai
perpajakan yang kemudian melakukan penggelapan pajak. Jadi
harus ada hubungan antara tindak pidana yang terjadi dengan
kewajiban khusus dari jabatan yang diemban.
Berdasarkan pernyataan hakim diatas, dapat ditarik kesimpulan

bahwa Pasal 52 KUHP tidak serta merta diterapkan pada Pegawai Negeri

65
Sipil (PNS) yang melakukan tindak pidana, jadi harus dilihat terlebih

dahulu, apakah tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa yang

berstatus PNS berkaitan dengan kewajiban khusus dari jabatannya atau

tidak. Jika ditemukan ada keterkaitan maka diterapkan Pasal 52 KUHP.

Sama halnya dengan kasus yang Penulis angkat, apakah tindak pidana

yang dilakukan terdakwa RP berkaitan dengan kewajiban khusus dari

jabatannya atau tidak. Setelah terdakwa diperiksa, tidak ditemukan

keterkaitan dengan kewajiban khusus dari jabatan terdakwa.

Namun apapun alasannya menurut Penulis, seseorang yang

berstatus PNS tetap harus dikenakan pemberatan. Meskipun bukanlah

pemberatan seperti yang dimaksud dalam Pasal 52 KUHP. Apa

alasannya, seorang pejabat dalam dunia pemerintahan dianggap mampu

dan bisa serta dijadikan simbol kebesaran dan kebanggan disuatu

masyarakat. Apalagi pelaku tindak pidananya adalah seorang anggota

polisi yang sejatinya adalah memberikan rasa aman, nyaman, pengayom,

serta pelindung bagi masyarakat.

Dari sini Penulis berkesimpulan bahwa hakim tidak jeli dalam

melakukan pertimbangan-pertimbangan, terutama pertimbangan yang

memberatkan terdakwa. Hakim hanya menyatakan bahwa perbuatan

terdakwa merugikan orang lain. Menurut Penulis itu sudah pasti setiap

tindak pidana pasti ada yang dirugikan. Ini artinya hakim tidak

melaksanakan amanat Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang mewajibkan hakim menggali,

66
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup

dalam masyarakat. Apa konsekuensinya jika terjadi yang seperti ini,

masyarakat akan berandai-andai bahwa polisi saja melakukan kejahatan

apalagi hanya masyarakat biasa yang sama sekali tidak mengerti hukum

dan derajat pengetahuannya lebih rendah, toh hukuman yang dijatuhkan

biasa-biasa saja. Nah, anggapan-anggapan yang seperti ini yang harus

dihindari. Bagaimana solusinya, yaitu hakim harus mempunyai integritas

yang tinggi, tegas dan harus jeli dalam memberikan sanksi kepada pelaku

tindak pidana, sehingga hakim juga tidak kehilangan wibawa di mata

masyarakat, terlebih lembaga peradilan kita yang harus dijaga agar

masyarakat tetap percaya bahwa pengadilan adalah tempat mencari

keadilan.

Selanjutnya dari segi sanksi pidana yang dijatuhkan menurut

Penulis itu sangat ringan. Dimana sanksi pidananya yang hanya 3 (tiga)

bulan 20 (duapuluh) hari, itupun nantinya dikurangkan dengan masa

penahanannya. Apalagi semestinya palaku adalah panutan, pelindung dan

pengayom bagi masyarakat. Hal tersebut sama halnya dengan

mengkhianati kepercayaan negara, institusinya, masyarakat, dan

sumpahnya sendiri. Jadi sanksi yang dijatuhkan Majelis Hakim sangatah

ringan. Sedangkan salah satu tujuan dilakukannya pemidanaan adalah

memberikan efek jerah sehingga tidak melakukan kembali perbuatannya.

67
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, dan pembahasan yang telah diuraikan

di atas, maka Penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Penerapan hukum pidana oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri

Mataram dalam Putusan Nomor 337/Pid.B/2013/PN.Mtr yang

menyatakan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan

bersalah melakukan tindak pidana penipuan yang diatur dalam

Pasal 378 KUHP sudah tepat, hal itu sesuai dan telah didasarkan

pada fakta-fakta di persidangan, alat bukti yang sah berupa

keterangan saksi, barang bukti, surat berupa surat pernyataan, dan

keterangan terdakwa.

2. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Mataram dalam

pertimbangannya masih terdapat beberapa kekurangan-

kekurangan. Hakim tidak jeli dalam pertimbangan-

pertimbangannya, terutama pertimbangan yang memberatkan

terdakwa. Seharusnya status terdakwa sebagai anggota Polri

memberatkan terdakwa. Dari segi sanksi pidana yang dijatuhkan

kepada terdakwa sangat ringan yaitu sanksi pidananya hanya 3

(tiga) bulan 20 (duapuluh) hari, itupun nantinya dikurangkan dengan

masa penahanannya.

68
B. Saran

Penulis menyarankan beberapa hal sebagai berikut:

1. Hakim harus lebih hati-hati, tegas dan jelih dalam

mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan atau yang

meringankan terdakwa. Hal tersebut untuk memberikan efek jerah

dan memberikan pelajaran dan peringatan bagi masyarakat agar

tidak melakukan tindak pidana. Disamping itu, juga menghindari

penilain-penilaian negatif dari masyarakat terhadap sanksi yang

dijatuhkan dan untuk menjaga wibawa hakim sendiri.

2. Penuntut umum harus tegas dalam membuat surat tuntutan,

terutama sanksi pidananya, tidak hanya penuntut umum, hakim

juga harus tegas dalam mengambil keputusan. Karena

bagaimanapun juga sanksi sangat berpengaruh dalam menurunnya

atau meningkatnya angka kriminalitas yang terjadi dimasyarakat.

Artinya bahwa hakim harus mampu memberikan efek jera melalui

sanksi pidana yang akan dijatuhkan. Tujuannya, bagi terdakwa

untuk tidak melakukan kembali tindak pidana dan bagi masyarakat

agar takut melakukan tindak pidana.

69
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Adami Chazawi. 2010. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I Stelsel Pidana


Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya
Hukum Pidana. PT RajaGrafindo Persada: Jakarta.
Amir Ilyas, Yuyun Widaningsih. 2010. Hukum Korporasi Rumah Sakit.
Rangkang Education: Yogyakarta.
Amir Ilyas. 2012. Asas-Asas Hukum Pidana. Mahakarya Rangkang:
Yogyakarta.
Ananda S. 2009. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kartika: Surabaya.
Andi Hamzah. 2004. Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika:
Jakarta.

Antonius Sudirman. 2009. Eksistensi Hukum & Hukum Pidana dalam


Dinamika Sosial - Suatu Kajian Teori dan Praktek di Indonesia. BP
Undip: Semarang.

Bastian Bastari, 2011, Analisis Yuridis Terhadap Delik Penipuan,


Makassar
Erdianto Effendi. 2011. Hukum Pidana Indonesia – Suatu Pengantar. PT
Rafika Aditama: Bandung.
Ilhami Basri. 2003. Hukum Pidana dan Regulasi Implementasi Indonesia.
Alqaprint: Bandung.

Leden Marpaung. 2005. Asas - Teori - Praktik Hukum Pidana. Sinar


Grafika: Jakarta.

Lilik Mulyadi, 2007, Hukum Acara Pidana; Normatif, Teoretis, Praktik, dan
Permasalahannya, PT Alumni, Bandung

________, 2007, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana; Teori,


Praktik, Teknik Penyusunan,dan Permasalahannya, Citra Aditya
Bakti, Bandung
Moeljatno. 2009. Asas-Asas Hukum Pidana. PT Rineka Cipta: Jakarta.
M. Taufik Makarao. 2005. Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia. Kreasi
Wacana: Yogyakarta.
P.A.F Lamintang. 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana. PT Citra Aditya
Bakti: Bandung
Pedoman Penyusunan Skripsi dan Pelaksanaan Ujian Sarjana FH-UH.
Putusan Nomor 337/Pid.B/2013/PN.Mtr.

R. Soesilo. 1996. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta


Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politea:
Bogor.
R. Sugandhi. 1980. Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan
Penjelasannya. Usaha Nasional: Surabaya.

70
Teguh Prasetyo. 2011. Hukum Pidana – Edisi Revisi. PT RajaGrafindo
Persada: Jakarta.
Wirjono Prodjodikoro, 2003, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia,
Refika Aditama, Bandung.
Peraturan Perundang-Undangan:

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang


Hukum Pidana (KUHP).

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang


Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara


Republik Indonesia.
Undang-Undang Nomor 48 Tahon 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol. : 7


Tahun 2006 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPidana) Nasional
1999-2000.

71

Anda mungkin juga menyukai