Anda di halaman 1dari 71

FUNGSIONALISASI HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK

PIDANA PENGGELAPAN PREMI ASURANSI


(Studi Putusan No.100/Pid.B/2017/PN.Tgl)

(Skripsi)

AHMAD RIZQI
1342011017

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2018
ABSTRAK
FUNGSIONALISASI HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK
PIDANA PENGGELAPAN PREMI ASURANSI
(Studi Putusan No100/Pid.B/2017/PN.Tegal)

Oleh
AHMAD RIZQI

Kompleksnya masalah dalam tindak pidana asuransi, mulai dari penggunaan


modus operandi yang halus, pembuktian yang rumit, sampai masalah minimnya
pengetahuan masyarakat dan aparat penegak hukum tentang usaha asuransi,
menjadikan penanganan yang khusus. Permasalahan dari penelitian ini yaitu:
Bagaimanakah penerapan fungsionalisasi hukum pidana terhadap tindak pidana
penggelapan premi asuransi dan faktor apa yang menghambat penerapan
fungsionalisasi hukum pidana terhadap tindak pidana penggelapan premi asuransi.

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, dan yuridis empiris.


Narasumber terdiri dari Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Bandar
Lampung, Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Tinggi Lampung , Hakim di
Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan Dosen Hukum Pidana pada Fakultas
Hukum Universitas Lampung. Pengumulan data dilakukan secara kualitatif dan
penarikan simpulan dilakukan dengan metode induktif.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan bahwa:(1)Penerapan fungsionalisasi


hukum pidana terhadap tindak pidana penggelapan premi asuransi dalam putusan
perkara (No.100/Pid.B/2017/PN.Tgl) majelis hakim yang menyatakan bahwa
terdakwa memenuhi seluruh unsur-unsur dari dakwaan jaksa penuntut umum yaitu
Pasal 374 KUHP. Berdasarkan uraian tersebut penulis berpendapat aparat penegak
hukum dalam penerapan fungsionalisasi hukum pidana terhadap tindak pidana
penggelapan premi asuransi belum dioperasikan secara optimal, yang
sebagaimana ketentuan tindak pidana dibidang usaha asuransi tersebut telah diatur
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. (2) Faktor
penghambat dalam penerapan fungsionalisasi hukum pidana yang dialami aparat
penegak hukum dalam penanganan tindak pidana penggelapan premi asuransi
yaitu, karena kurangnya profesionalisme dan kemampuan aparat penegak hukum
dalam memahami tindak pidana dibidang asuransi sehingga mempengaruhi
ketentuan pidana yang telah diatur dalam perundang undangan yang berlaku.
AHMAD RIZQI

Saran dalam penelitian serta pembahasan ini, diharapkan aparat penegak hukum
khususnya hakim lebih memahami perundang-undangan dibidang asuransi serta
aparat penegak hukum diharapkan dapat meningkatkan profesionalisme dalam
menangani perkara dibidang asuransi. Serta diharapkan pihak asuransi hendaknya
timbul kesadaran untuk melakukan kerjasama dengan instansi terkait dalam
memperkenalkan produk-produk asuransi tersebut kepada para calon tertanggung
guna mencegah terulangnya tindak pidana dibidang asuransi.

Kata Kunci: Fungsionalisasi, Hukum Pidana, Penggelapan.


FUNGSIONALISASI HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK
PIDANA PENGGELAPAN PREMI ASURANSI
(Studi Putusan No.100/Pid.B/2017/PN.Tgl)

Oleh
AHMAD RIZQI

Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar
SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana


Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2018
RIWAYAT HIDUP

Nama lengkap penulis adalah Ahmad Rizqi. Penulis

dilahirkan di Provinsi Lampung, Kota Bandar Lampung pada

tanggal 22 Maret 1995, merupakan anak bungsu dari empat

bersaudara dari pasangan Ayahanda Hi. Jalaluddin Syarif dan

Ibunda Hj. Zahrah. Riwayat pendidikan penulis diawali dari pendidikan Taman

Kanak-kanak Dwikarsa lulus pada tahun 2001, kemudian dilanjutkan pada

Sekolah Dasar SD N 1 Langkapura lulus pada tahun 2007, Sekolah Menengah

Pertama di SMP N 14 Bandar Lampung lulus pada tahun 2010, Sekolah

Menengah Atas di SMA N 1 Bandar Lampung lulus pada tahun 2013, kemudian

pada tahun 2013 penulis diterima sebagai Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas

Lampung dan pada tahun 2017 penulis mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN)

selama 40 hari di Desa Sumberejo, Kecamatan Kota Gajah, Kabupaten Lampung

Tengah.
Bismillahirrahmanirrahim

Segala puji bagi Allah Subhanahu Wa Ta‟ala, yang telah memberikan kesempatan

sehingga dapat menyelesaikan sebuah karya ilmiah ini dan kepada junjungan kita

Nabi Muhammad Shallallahu „alaihi Wasallam yang selalu kita harapkan

Syafaatnya di hari akhir kelak. Kupersembahkan karya ini sebagai ungkapan kasih

kepada:

Kedua orang tuaku tercinta, Hi. Jalaluddin Syarif, dan Hj. Zahrah yang telah

mendo‟akan, membesarkan, mendidik, mendukung, memberi dorongan dan selalu

menanti keberhasilanku.

Serta untuk abangku Syarif Hidayat, Beny Saputra, kakakku Mery Utami, yang

senantiasa memberikan dukungan dan memotivasi hingga sekarang ini.

Para dosen yang telah mendidikku.

Almamater tercinta.
MOTTO

“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan

manusia dari segunmpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah.

Yang mengajar dengan Qalam. Dialah yang mengajar manusia segala yang belum

diketahui”

(Q.S Al-‘Alaq 1-5)

“Hiduplah seperti pohon kayu yang lebat buahnya; hidup di tepi jalan dan

dilempari orang dengan batu, tetapi dibalas dengan buah.”

(Abu Bakar Sibli)

“Manusia tidak merancang untuk gagal, mereka gagal untuk merancang”

(William J. Siegel)

“Lakukanlah yang terbaik, lalu berdoa. Allah Subhanahu Wa Ta‟ala yang akan

menentukan”

(Ahmad Rizqi)
SANWACANA

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu

Wata‟ala atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat

menyelesaikan Skripsi ini, dengan judul “FUNGSIONALISASI HUKUM

PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENGGELAPAN PREMI

ASURANSI (Studi Putusan No.4/Pid.B/2017/PN.Tgl). Skripsi ini sebagai syarat

untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas

Lampung.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan,

bantuan dan saran dari berbagai pihak, dan segala sesuatu dalam skripsi ini masih

terdapat banyak kekurangan dan jauh dari sempurna mengingat keterbatasan

penulis. Untuk itu pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis

menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Maroni, S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Lampung beserta staf yang telah memberikan bantuan dan

kemudahan kepada Penulis selama mengikuti pendidikan.

2. Bapak Eko Raharjo, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung.


3. Bapak Dr. Heni Siswanto S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing I, yang

telah meluangkan waktu, pikiran, serta memberi dorongan semangat dan

pengarahan kepada penulis dalam upaya penyusunan skripsi ini.

4. Ibu Rini Fathonah S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing II, yang telah

meluangkan waktu, pikiran, serta memberi dorongan semangat dan

pengarahan kepada penulis dalam upaya penyusunan skripsi ini.

5. Ibu Dr. Nikmah Rosidah, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembahas I dan juga

penguji utama yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam

penulisan skripsi ini.

6. Bapak Damanhuri Warganegara, S.H., M.H., selaku Dosen Pembahas II yang

telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penulisan sripsi ini.

7. Ibu Kasmawati, S.H., M.Hum., dosen Pembimbing Akademik yang telah

memberikan bimbingan dan pengarahan selama penulis menjadi mahasiswa.

8. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H., dan Ibu Erna Dewi, S.H., M.H., yang telah

menjadi narasumber serta membantu dalam proses penelitian dan penyediaan

data untuk penyusunan skripsi ini.

9. Bapak dan Ibu dosen pada Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah

membimbing dan memberikan ilmunya yang semoga bermanfaat bagi

penulis.

10. Yang tercinta Ayahanda Hi. Jalaluddin Syarif dan Ibunda Hj. Zahrah, yang

telah bersusah payah mengasuh, mendidik dan membesarkan dengan penuh

kasih sayang dan kesederhanaan serta tidak bosan-bosannya mendoakan

keberhasilan penulis.
11. Abangku Syarif Hidayat, Beny Saputra, Daing, dan Kakakku Mery Utami,

Nurliana, Berti Y, yang telah memberikan dukungan serta doa untuk

kelancaran dalam penulisan skripsi ini.

12. Sahabat-sahabat terbaikku, Majid, Muhammad Luki Samad, Yan Andrean,

Kevin Abelio Gregorious, Amanda Julva, Abdillah Salim, Dhaniko, Sabila,

Sagita, Khafi, Fadli, Andreza PK, Alfazri. Terimakasih atas dukungan serta

saran yang telah diberikan.

13. Sahabat-sahabatku di Fakultas Hukum Universitas Lampung yang selalu

memberi semangat dalam menyelesaikan skripsi ini, Abed, Bembi, Agil

Priangga, Della Nungki Suraas, Feby, Intan, Devolta, Devanda, Angga

Kurniawan, Melissa Rahmaini, Amir, Bangkit Csr, Yudha. Terimakasih

pengalaman yang baru, kebersamaan yang amat berarti bersama kalian.

14. Sahabat-sahabatku Pada Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Sumberejo,

Kecamatan Kota Gajah, Kabupaten Lampung Tengah, Janten Squad: Putri

Mutia, Grecia Inggrid Gultom, Febrina Risha Asmara, Irani Maya Safira,

Pungki Prananda, dan Robin Afia. Terima kasih banyak berkat KKN selama

40 hari bersama kalian saya mendapatkan pengalaman serta keluarga baru.

15. Semua teman-teman Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tidak dapat

penulis sebutkan satu-persatu karena keterbatasan media namun tidak

sedikitpun mengurangi rasa hormat dari penulis kepada teman-teman semua

terimakasih atas pertemanan yang terjalin selama ini.

16. Almamaterku tercinta, Fakultas Hukum Universitas Lampung.


Semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi mahasiswa, akademisi,

maupun masyarakat bangsa, dan negara serta pihak-pihak lain yang membutuhkan

terutama bagi penulis. Akhir kata penulis ucapkan terimakasih semoga Allah

Subhanahu Wata‟ala memberikan perlindungan dan kebaikan bagi kita semua

serta semoga tali silahturahim diantara kita tetap erat dan kita dipertemukan

kembali dalam keridhoan-Nya. Aamiin Allahuma Ya Rabbil‟alamin.

Bandar Lampung, 28 November 2018


Penulis,

Ahmad Rizqi
DAFTAR ISI
Halaman

ABSTRAK
PERSETUJUAN
PENGESAHAN
RIWAYAT HIDUP
MOTTO
PERSEMBAHAN
SANWANCANA
DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah...................................................................... 1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ...................................................... 5
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ........................................................ 6
D. Kerangka Teori dan Konseptual ......................................................... 7
E. Sistematika Penulisan ......................................................................... 13

II. TINJAUAN PUSTAKA


A. Fungsionalisasi Hukum Pidana ........................................................... 15
B. Tinjauan Umum Tindak Pidana .......................................................... 19
1. Pengertian Tindak Pidana ............................................................. 19
2. Unsur-unsur Tindak Pidana .......................................................... 22
3. Jenis-jenis Tindak Pidana.............................................................. 24
C. Penggelapan ........................................................................................ 26
1. Pengertian Tindak Pidana Penggelapan ........................................ 26
2. Unsur-unsur Tindak Pidana Penggelapan ..................................... 28
3. Jenis-jenis Tindak Pidana Penggelapan ........................................ 33

D. Asuransi .............................................................................................. 37
1. Pengertian Asuransi ...................................................................... 37
2. Premi Asuransi .............................................................................. 39
3. Pengertian Asuransi Jiwa .............................................................. 41
4. Polis Asuransi Jiwa ....................................................................... 42
III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah............................................................................ 44
B. Sumber dan Jenis Data ....................................................................... 45
C. Penentuan Narasumber ....................................................................... 46
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data .................................... 47
E. Analisis Data ...................................................................................... 48

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


A. Fungsionalisasi Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana
Penggelapan Premi Asuransi (StudiPutusan
No.100/Pid.B/2017/PN.Tgl) ................................................................. 49

B. Faktor Penghambat dalam Penerapan Fungsionalisasi Hukum Pidana


Terhadap Tindak Pidana Penggelapan Premi Asuransi (Studi Putusan
No.100/Pid.B/2017/PN.Tgl) ................................................................. 60

V. PENUTUP
A. Simpulan............................................................................................... 75
B. Saran ..................................................................................................... 77

DAFTAR PUSTAKA
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Menurut teori pengalihan risiko (risk transfer theory),seseorang yang menyadari

bahwa ada ancaman bahaya terhadap harta kekayaan miliknya atau terhadap

jiwanya, jika bahaya tersebut menimpa harta kekayaan atau jiwanya dia akan

menderita kerugian atau korban jiwa atau cacat raganya. Secara ekonomi,

kerugian material atau korban jiwa atau cacat raga akan mempengaruhi

perjalanan hidup seseorang atau ahli warisnya. Sehingga ia sebagai pihak yang

terancam bahaya akan merasa berat memikul beban risiko yang sewaktu waktu

dapat terjadi.1

Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang semakin meningkat dan diikuti oleh

majunya pemikiran masyarakat dalam usaha perniagaan membuat banyaknya

usaha asuransi akhir-akhir ini semakin berkembang. Hal ini dapat dipahami

mengingat meningkatnya laju pembangunan di Indonesia pada berbagai sektor

kehidupan dan dapat mengakibatkan peningkatan risiko yang dihadapi. Lembaga

asuransi atau pertanggungan dalam kondisi tersebut mempunyai fungsi sebagai

1
Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, Citra Aditya Bakti,Bandung, 2001, hlm. 12.
2

lembaga yang akan mengalihkan risiko yang mungkin timbul atau dihadapi dari

satu pihak (tertanggung) atau pihak lain (penanggung).2

Para pengguna jasa asuransi, selain menerima prestasi dari penyedia jasa

asuransi berupa rasa aman akan terhindar dari risiko. Mereka juga harus memberi

suatu kontrak prestasi kepada pihak perusahaan asuransi berupa pembayaran

premi dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Apabila premi tidak dibayar

atau jatuh tempo, asurasni dapat dibatalkan atau setidak-tidaknya asuransi tidak

berjalan. Maka, premi harus dibayar terlebih dahulu oleh tertanggung, karena

tertanggung pihak yang berkepentingan dan merupakan suatu kewajibannya

untuk membayar premi tersebut.3

Perusahaan asuransi menjalin kerjasama dengan agen asuransi dalam hal

melayani kebutuhan asuransi kepada masyarakat, salah satu kegiatannya dalam

hal keperantaraan pembayaran premi asuransi. Premi asuransi dapat dibayarkan

oleh tertanggung kepada perusahaan asuransi atau melalui badan perantara yang

ditunjuk oleh perusahaan yakni agen asuransi.4

Pelaksanaan pembayaran premi yang dilakukan melalui agen asuransi tidak

selalu berjalan dengan benar, sering dijumapi kasus-kasus mengenai uang

pembayaran premi melalui agen asuransi yang tidak disetor ke perusahaan

asuransi yang bersangkutan. Akibatnya tertanggung dianggap berstatus polis

lapse yaitu polis dianggap tidak lancar atau tidak efektif karena tidak melakukan

pembayaran premi. Hal ini mengakibatkan dilakukannya “pemutihan” polis

2
Rizqia Gita Astiriani, Pelaksanaan Penyidikan Terhadap Pengajuan Klaim Asuransi, Jurnal
Ilmiah Subyek Hukum Ekonomi, Surabaya, 2013, hlm. 1.
3
Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm.
103.
4
Abdulkadir Muhammad, Op. Cit., hlm. 37.
3

asuransi tertanggung dengan kondisi yang baru. Artinya premi yang tidak disetor

agen tersebut dianggap bahwa tertanggung tidak melakukan pembayaran premi.5

Kebutuhan terhadap asuransi yang sangat tinggi dalam masyarakat banyak

dijumpai perbuatan curang (melawan hukum) dalam perjanjian asuransi.

Perbuatan-perbuatan tersebut telah memenuh delik perbuatan pidana. Adapun

yang menjadi cakupan tindak pidana di bidang asuransi yaitu meliputi tindak

pidana penggelapan premi asuransi, yaitu meliputi tindak pidana asuransi gelap,

tindak pidana penggelapan kekayaan perusahaan asuransi, tindak pidana

pemalsuan dokumen asuransi, tindak pidana penggelapan premi asuransi dan

tindak pidana penipuan di bidang asuransi.

Mengingat tindak pidana penggelapan di bidang asuransi ini semakin sering

terjadi, maka pemerintah akhirnya membuat undang-undang tentang

perasuransian, yang khusus mengatur segala macam aturan yang berkaitan

dengan asuransi, salah satunya mengatur tentang ancaman pidana bagi pelaku

penggelapan premi asuransi.

Tindak pidana penggelapan pada awalnya diatur secara umum di dalam Pasal

372 sampai dengan Pasal 377 KUHP, akan tetapi semakin berkembangnya

kehidupan, tindak pidana penggelapan ini sudah dilakukan dibidang-bidang yang

tidak umum lagi. Tindak-tindak pidana tersebut merupakan beberapa tindakan

tertentu yang terdapat dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana),

hanya saja objeknya bersifat khusus, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan

usaha perasuransian, karena itu lahirlah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992

5
Ibid.,hlm.104.
4

tentang usaha perasurnsian yang kemudian diperbaharui agar dapat

menyesuaikan dengan perkembangan zaman ialah,Undang-Undang No. 40

Tahun 2014 tentang usaha perasuransian. Hal-hal tersebut berkaitan dengan

usaha perasuransian seperti premi asuransi, kekayaan perusahaan asuransi dan

dokumen perusahaan asuransi yang merupakan suatu hal khusus yang

ditambahkan pada tindak pidana umum seperti penggelapan, penipuan ataupun

pemalsuan yang terdapat dalam KUHP. Hal ini berarti undang-undang asuransi

selain memuat Hukum Pidana Administratif juga merupakan sebagai Hukum

Pidana Khusus.6

Korban dalam tindak pidana dibidang asuransi tidak segara terungkap sehingga

menimbulkan kompleksitas tersendiri dalam melakukan pembuktiannya. Hal

yang lebih memperihatinkan tidak sedikit korban yang timbul atas satu (1) jenis

tindak pidana dibidang asuransi, sehingga korban merasakan hukum pidana

belum dapat memenuhi rasa keadilan.

Pernyataan yang dikemukakan diatas dapat dilihat berdasarkan pada Putusan

Pengadilan Negeri Tegal No.100/Pid.B/2017/PN.Tgl atas nama terdakwa Endang

Subekti Binti Watar didakwa melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dan

diancam pidana dalam melanggar Pasal 374 jo pasal 55 Ayat (1) jo pasal 64Ayat

(1) KUHP.

Berdasakan uraian-uraian di atas, maka penulis mengkajipermasalahan ini dan

menuangkan dalam bentuk skripsi dengan judul“Fungsionalisasi Hukum Pidana

6
Chairul Huda & Lukman Hakim, Tindak Pidana dalam Bisnis Asuransi, Jakarta, Lembaga
Pemberdayaan Hukum Indonesia, 2006, hlm. 52.
5

Terhadap Tindak Pidana Penggelapan Premi Asuransi (Studi Putusan

No.100/Pid.B/2017/PN-Tgl)”.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, maka sebagai rumusan masalah adalah :

1. Bagaimanakah fungsionalisasi hukum pidana terhadap tindak pidana

penggelapan premi asuransi di Indonesia?

2. Apakah faktor yang menghambat penerapan fungsionalisasi hukum pidana

terhadap tindak pidana penggelapan premi asuransi dalam peradilan di

Indonesia?

2. Ruang Lingkup

Adapun ruang lingkup penelitian ini adalah merupakan kajian dalam Hukum

Pidana yang membahas mengenai Fungsionalisasi Hukum Pidana Terhadap

Tindak Pidana Penggelapan Premi Asuransi. Ruang lingkup wilayah penelitian

yaitu, Pengadilan Negeri Tanjung Karang. Penelitian dilaksanakan pada tahun

2018.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Berdasarkan permasalahan di dalam penelitian ini, maka yang menjadi tujuan dan

kegunaan dari penelitian ini adalah:

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui fungsionalisasi hukum pidana dalam menghadapi tindak

pidana terhadap penggelapan premi asuransi.

b. Untuk mengetahui faktor-faktor hambatan yang ditemukan dalam penanganan

tindak pidana penggelapan premi asuransi di kota Tegal serta untuk


6

merekomendasikan upaya-upaya yang dapat dilakukan sebagai solusi untuk

mengfungsikan hukum pidana dalam mengatasi berbagai hambatan pada

penanganan tindak pidana asuransi, khususnya tindak pidana penggelapan

premi asuransi.

2. Kegunaan Penelitian

a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian ilmu

pengetahuan hukum khususnya di dalam Hukum Pidana, dalam rangka memberi

sumbangan pikiran terhadap penanganan tindak pidana dibidang asuransi di

Indonesia.

b. Keguanaan Praktis

Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk :

1. Bagi aparat penegak hukum sebagai sumbangan pemikiran untuk penanganan

tindak pidana dibidang asuransi dalam mengfungsikan hukum pidana.

2. Aparat penegak hukum mengetahui apa hambatan-hambatan dalam

penanganan tindak pidana dibidang asuransi sehingga ditemukan solusinya.

D. Kerangka Teori dan Konseptual

1. Kerangka Teori

Setiap penelitian akan ada kerangka teori yang menjadi acuan dan bertujuan untuk

mengidentifikasi terhadap dimensi sosial yang relevan oleh peneliti. Kerangka

teori adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau
7

kerangka acuanyang pada dasarnya bertujuan untuk menegaskan identifikasi

terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.7

a. Teori Penegakan Hukum Pidana

Teori penegakan hukum adalah suatu proses yang dapat menjamin kepastian

hukum, ketertiban dan perlindungan hukum dengan sengaja keselarasan,

keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh nilai-

nilai actual di dalam masyarakat beradab. Sebagai suatu proses kegiatan yang

meliputi berbagai pihak termasuk masyarakat dalam kerangka pencapaian tujuan,

adalah merupakan keharusan untuk melihat penegakan hukum pidana sebagai

sistem peradilan pidana.8 Penegakan hukum pidana sebagai pelaksanaan politik

hukum pidana harus melalui beberapa tahap kebijakan yaitu :

1. Tahap Formulasi (Tahap Kebijakan Legislatif)

Tahap formulasi merupakan tahap penegakan hukum pidana In Abstracto oleh

badan pembuat undang-undang. Dalam tahap ini pembuat undang-undang

melakukan kegiatan memilih nilai-nilai yang sesuai dengan keadaan dan situasi

masa kini dan yang akan datang, kemudian merumuskannya dalam bentuk

peraturan perundang-undangan pidana untuk mencapai hasil perundang-undangan

yang lebih baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.

2. Tahap Aplikasi (Tahap Kebijakan Yudikatif)

Tahap aplikasi yaitu tahap penegakan hukum pidana (tahap penerapan hukum

pidana). Oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari Kepolisian sampai


7
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta,1986, hlm. 103.
8
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1996, hlm. 75.
8

Pengadilan. Dalam tahap ini aparat penegak hukum bertugas menegakkan serta

menerapkan peraturan perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh

pembuat undang-undang. Dalam melaksanakan tugas ini, aparat penegak hukum

berpegang teguh pada nilai-nilai keadilan dan daya guna.

3. Tahap Eksekusi (Tahap Kebijakan Eksekutif/Administratif)

Tahap eksekusi merupakan tahap penegakan (pelaksanaan) hukum secara konkret

oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Dalam tahap ini aparat-aparat pelaksana

pidana bertugas menegakkan peraturan perundang-undangan pidana yang telah

dibuat oleh pembuat undang-undang melalui penerapan pidana yang telah

ditetapkan dalam putusan pengadilan. Dalam melaksanakan pemidanaan yang

telah ditetapkan dalam putusan pengadilan, aparat-aparat pelakasan pidana dalam

melaksanakan tugasnya berpedoman kepada peraturan perundang-undangan

pidana yang dibuat oleh pembuat undang-undang dan nilai-nilai keadilan suatu

daya guna.9

Pengertian penegakan hukum adalah proses dilakukannya supaya untuk tegaknya

atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku

dalam lalu lintas atau hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan

bernegara. Dalam memastikantegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur

penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.10

b. Faktor Penghambat Dalam Penegakan Hukum Pidana

9
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum dan Pengembangan Hukum
Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 30.
10
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Binacipta, Bandung, 1996, hlm. 32.
9

Pengertian Penegakan Hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-

keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan hukum adalah pikiran-

pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-

peraturan hukum. Proses penegakan hukum menjangkau pula sampai kepada

pembuatan hukum perumusan pikiran pembuat hukum yang dituangkan dalam

peraturan hukum akan turut menemukan bagaimana penegakan hukum itu

dijalankan. Dalam kenyataan, proses penegakan hukum memuncak pada

pelaksanaannya oleh para pejabat penegak hukum.11

Menurut Soerjono Soekanto, bahwa masalah penegakan hukum sebenarnya

terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut

mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatif terletak pada isi

faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut antara lain:

a. Faktor hukumnya sendiri, yang didalamnya dibatasi undang-undang saja.

undang-undang merupakan peraturan tertulis yang berlaku secara umum dan

dibuat oleh penguasa pusat maupun daerah yang sah. Mengenai berlakunya

undang-undang terdapat beberapa asas yang tujuannya adalah agar undang-

undang tersebut mempunyai dampak yang positif, artinya supaya undang-undang

tersebut mencapai tujuannya, sehingga efektif. Asas-asas tersebut adalah:12

1. Undang-undang tidak berlaku surut; artinya undang-undang hanya boleh

diterapkan terhadap peristiwa yang disebut dalam undang-undang tersebut,

serta terjadi setelah undang-undang tersebut dinyatakan berlaku.

11
Sajtipto Rahardjo, Penegakan Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, hlm. 24.
12
Ibid., hlm. 12.
10

2. Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai

kedudukan yang lebih tinggi pula.

3. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang

bersifat umum; artinya terhadap peristiwa hukum wajib diberlakukan undang-

undang yang menyebutkan peristiwa itu.

4. Undang-undang yang telah berlaku belakangan membatalkan undang-undang

yang berlaku terdahulu, artinya undang-undang lain yang lebih dahulu

berlaku yang mengatur mengenai suatu hal tertentu, tidak berlaku lagi apa

bila ada undang-undang baru yang berlaku belakangan yang mengatur hal

yang sama pula, akan tetapi makna dan tujuan berlainan dengan undang-

undang lama tersebut.

5. Undang-undang tidak dapat diganggu gugat.

6. Undang-undang merupakan suatu sarana untuk mencapai kesejahtraan

spiritual dan material bagi masyarakat maupun pribadi melalui pelestarian

ataupun pembaharuan.13

Masalah lain yang dijumapi dalam undang-undang adalah adanya berbagai

undang-undang yang belum memiliki peraturan pelaksanaan, padahal didalam

suatu perundang-undangan harus memiliki peraturan pelaksanaan agar selalu

terdapat keserasian antara ketertiban, ketentraman dan kebebasan.14

b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang

menerapkan hukum.

13
Soerjono Soekanto, Op. Cit., hlm. 8.
14
Ibid., hlm 14.
11

Penegakan hukum benar-benar menempati kedudukan yang penting dan

menentukan. Penegak hukum merupakan titik sentral, hal ini disebabkan karena

perundang-undangan, disusun oleh penegak hukum, penerapannya dilaksanakan

oleh penegak hukum dan penegak hukum dianggap sebagai panutan hukum bagi

masyarakat luas. Oleh karena itu, baik moral dari penegak hukum, maka baik

pulalah penegakan hukum yang diinginkan sebaliknya buruk moral penegak

hukum, maka buruk pulalah penegakan hukum yang dicita-citakan.15

c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan

hukum kan berlangsung dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut, antara lain

mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik,

peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan seterusnya.16

d. Faktor masyarakat yang mencakup kesadaran hukum dan kepatuhan hukum.

Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai

kedamaian didalam masyarakat. Oleh karena itu dipandang dari sudut tertentu

maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut. Masyarakat

Indonesia pada khususnya, mempunyai pendapat-pendapat tertentu mengenai

hukum.17

e. Faktor kebudayaan.

Faktor kebudayaan mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan

masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya

15
Soerjono Soekanto, Op. Cit., hlm. 69.
16
Soerjono Soekanto, Op. Cit., hlm. 37.
17
Ibid., hlm. 45.
12

bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya kalau mereka berhubungan dengan

orang lain. Dengan demikian, kebudayaan adalah suatu garis pokok tentang

perikelakuan yang menetapkan peraturan mengenai apa yang harus dilakukan, dan

apa yang dilarang.18

2. Konseptual

Konseptual adalah suatu rangkaian yang menggambarkan hubungan antara

konsep-konsep khusus, yang merupakan kumpulan dalam arti-arti yang berkaitan

dengan istilah yang akan diteliti. Konseptual yang digunakan dalam penulisan

skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Fungsoionalisasi Hukum Pidana dapat diartikan sebagai upaya untuk

membuat hukum pidana itu dapat berfungsi, beroperasi atau bekerja dan

terwujud secara konkret. Istilah fungsionalisasi hukum pidana dapat

diidentikkan dengan istilah operasionalisasi atau konkretisasi hukum pidana

yang pada hakekatnya sama dengan pengertian penegakan hukum pidana.19

2. Tindak Pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum

larangan mana disertai ancamana (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi

barang siapa yang melanggar larangan tersebut.20

3. Penggelapan dalam Hukum Pidana adalah penyalahgunaan hak atau

penyalahgunaan kepercayaan oleh seorang yang mana kepercayaan tersebut

diperolehnya tanpa ada unsur melawan hukum.21

18
Loc Cit., hlm. 11.
19
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Semarang, 1992 hlm.
157.
20
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm. 54.
13

4. Premi Asuransi adalah sejumlah uang yang ditetapkan oleh Perusahaan

Asuransi dan disetujui oleh pemegang polis untuk dibayarkan berdasarkan

perjanjian asuransi, atau sejumlah uang yang ditetapkan berdasarkan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang mendasari program asuransi

wajib untuk memperoleh manfaat.22

E. Sistematika Penulisan

Agar mempermudah memahami terhadap isi skripsi ini secara keseluruhan, maka

diperlukan penjelasan mengenai sistematika penulisan yang bertujuan untuk

mendapat suatu gambaran jelas tentang pembahasan skripsi yang dapat dilihat dari

hubungan antara satu bagian dengan satu bagian lainnya secara keseluruhan.

Sistematikanya terdiri sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Pada bagian ini memuat latar beakang, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan

dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual, serta sistematika

penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Pada bagian ini berisikan tentang pengertian-pengertian, dari istilah sebagai latar

belakang pembuktian masalah dan dasar hukum dalam membahas hasil penelitian

yang terdiri anara lain penegakan hukum pidana, penerapan sanksi pidana, dan

tindak pidana penggelapan premi asuransi.

21
Tongat, Hukum Pidana Materiil, UMM Pres, Malang, 2006, hlm. 57.
22
Mashudi dan Moch. Chidir Ali, Hukum Asuransi, Penerbit CV. Mandar Maju, Bandung, 1995,
hlm. 27.
14

III. METODE PENELITIAN

Pada bagian ini menjelaskan langkah-langkah yang digunakan dalam pendekatan

masalah, sumber dan jenis data, cara pengumpulan data dan serta analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bagian ini berisi tentang pembahasan berdasarkan hasil penelitian terhadap

permasalahan yang ada dalam penulisan skripsi ini dengan studi kepustakaan dan

studi lapangan.

V. PENUTUP

Pada bagian ini berisikan kesimpulan yang merupakan hasil akhir dari penelitian

dan pembahasan serta berisikan saran-saran penulis yang diberikan berdasarkan

penelitian dan pembahasan yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian

skripsi ini.
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Fungsionalisasi Hukum Pidana

1. Pengertian Fungsionalisasi Hukum Pidana

Fungsionalsasi hukum pidana akan identik dengan operasional atau konkretisasi

hukum pidana, yang hakikatnya sama dengan penegakan hukum. Fungsionalisasi

ini terdapat tiga tahap formulasi sebagai suatu tahap perumusan hukum pidana

oleh pihak pembuat perundang-undangan, tahap kebijakan aplikatif sebagai

penerapan hukum pidana oleh hukum, tahap kebijakan administratif yaitu tahap

pelaksaan oleh aparat eksekusi hukum.23

Berdasarkan penjelasan diatas bahwa hakikatnya fungsionalisasi hukum pidana

merupakan suatu rangkaian dari penegakan hukum pidana. Sudarto memberi arti

pada penegakan hukum adalah perhatian dan penggarapan perbuatan-perbuatan

yang melawan hukum yang sungguh-sungguh terjadi (Onrecht in Actu) maupun

perbuatan melawan hukum yang mungkin akan terjadi (Onrecht in Potenti).24

Menurut sudarto penegakan hukum dibedakan menjadi 3 (tiga), yaitu:

23
Loc. Cit., hlm. 9.
24
Sudarto,Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1985, hlm.54.
16

a. Masalah Prevensi (pencegahan)

Prevensi yaitu bersifat mencegah (supaya jangan terjadi). 25 Prevensi diartikan

secara luas maka banyak badan atau pihak yang terlibat di dalamnya, ialah

pembentuk undang-undang, polisi, kejaksaan, pengadilan, serta orang biasa.

b. Masalah Tindakan Represif

Tindakan represif adalah segala tindakan yang dilakukan oleh aparatur penegak

hukum sesudah terjadi kejahatan atau tindak pidana.26 Telah dikemukakan diatas,

bahwa tindakan represif sebenarnya juga dapat dipandang sebagai prevensi dalam

pengertian yang luas.

c. Masalah Tindakan Kuratif

Sudarto menyatakan tindakan kuratif pada hakekatnya juga merupakan usaha

preventif dalam arti seluas-luasnya, ialah dalam usaha penanggulangan kejahatan.

Maka untuk mengadakan pembedaan sebenarnya tindakan kuratif merupakan segi

lain dari tindakan represif, dan lebih dititik-beratkan kepada tindakan terhadap

orang yang melakukan kejahatan.27

Penegakan hukum pidana adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai

yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah atau pandangan-pandangan menilai yang

mantap dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk

menciptakan (SocialEngineering), memelihara dan mempertahankan (Social

Control) kedamaian pergaulan hidup.28

25
W.J.S. Poerwadarminta,Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1987, hlm. 768.
26
http://wikipedia.com, diakses pada tanggal 13 April 2018 pukul 17.25
27
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana,Alumni, Bandung, 1997, hlm. 105.
28
Soerjono Soekanto,Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT.Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 1983,hlm. 13.
17

Penegakan hukum pidana apabila dapat dilihat sebagai bagian dari mekanisme

penegakan hukum (pidana), maka “pemidanaan” yang biasa juga diartikan

“pemberian pidana” tidak lain merupakan suatu proses kebijakan yang sengaja

direncanakan. Artinya pemberian pidana itu untuk benar-benar dapat terwujud

direncanakan melalui beberapa tahap, yaitu:

1. Tahap penetapan pidana oleh pembuat undang-undang;

2. Tahap pemberian pidana oleh badan yang berwenang; dan

3. Tahap pelaksanaan pidana oleh instansi pelaksana yang berwenang.

Menurut Barda Nawawi Arief, pada hakikatnya kebijakan hukum pidana (Penal

Policy), baik dalam penegakan In Abstraction dan In Concereto, merupakan

bagian dari keseluruhan kebijakan sistem penegakan hukum nasional dan

merupakan bagian dari upaya penunjang kebijakan pembangunan nasional. Yang

berarti bahwa penegakan hukum pidana in abstraction (pembuatan/perubahan

Undang-undang) dalam penegakan hukum pidana in concreto seharusnya

bertujuan menunjang tercapainya tujuan, visi dan misi pembangunan nasional dan

menunjang terwujudnya sistem penegakan hukum nasional.29

Sistem penegakan hukum pidana adalah sistem kekuasaan atau kewenangan

menegakan hukum pidana diwujudkan/diimplementasikan dalam 4 (empat) sub

sistem dalam proses peradilan pidana, yaitu :

1. Kekuasaan penyidikan (oleh badan/lembaga penyidik);

2. Kekuasaan penuntutan (oleh badan/lembaga penuntut umum);

3. Kekuasaan mengadili dan menjatuhkan putusan/pidana (oleh badan/lembaga

pengadilan);

29
Loc. Cit., hlm. 8.
18

4. Kekuasaan pelaksanaan putusan/pidana (oleh badan/aparat

pelaksana/eksekusi).30

Penerapan dalam memfungsikan hukum pidana secara efektif tidak akan terlepas

kaitannya dengan kebijakan hukum pidana atau peraturan yang berlaku.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Marc Ancel,31 kebijakan kriminal (Criminal

Policy) adalah suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi

kejahatan. Secara garis besar kebijakan kriminal ini dapat ditempuh melalui 2

(dua) cara, yaitu upaya pidana (Penal) yang merupakan upaya penanggulangan

kejahatan yang lebih menitikberatkan pada upaya-upaya yang

sifatnyaRepressive(penindasan/pemberantasan/penumpasan) dengan

menggunakan sarana penal dan upaya non penal yang merupakan upaya

penanggulangan kejahatan yang lebih menitikberatkan pada upaya-upaya yang

bersifat pencegahan/penangkal/pengendalian (Preventive) sebelum kejahatan

tersebut terjadi.

Dengan demikian,dapat dikatakan bahwa suatu politik kriminal dengan

menggunakan kebjakan hukum pidana harus merupakan suatu usaha atau langkah-

langkah yang dibuat dengan sengaja dan sadar dalam memilih dan menetapkan

hukum pidana sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan harus benar-benar

telah memperhitungkan semua faktor yang mendukung berfungsinya atau

bekerjanya hukum pidana itu dalam kenyataannya. Maka diperlukan pula

30
Barda Nawawi Arief, BungaRampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan
Konsep KUHP Baru) cet. Ke-1. Jakarta, Kencana, 2008 hlm. 41.
31
Barda Nawawi Arief,BungaRampai Kebijakan Hukum Pidana, Prenada Media Group, Jakarta,
2010, hlm. 63.
19

pendekatan yang fungsional dan merupakan pendekatan yang berhubungan

(Inheren) pada setiap kebijakan yang rasional.

Fungsionalisasi hukum pidana dapat berjalan dengan efektif apabila dilakukan

sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada, dan dilakukan secara

kesatuan oleh lembaga-lembaga dan aparat-aparat penegak hukum terkait.

Fugnsionalisasi hukum pidana yang baik dilakukan secara satu kesatuan atau

integral sesuai dengan 4 (empat) sub-sistem di atas. Dimana keempat taha atau

sub-sistem tersebut sering disebut dengan sistem peradilan pidana terpadu. 32

B. Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Menurut Moeljatno, pada dasarnya tindak pidana merupakan suatu pengertian

dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis seperti

halnya untuk memberikan definisi atau pengertian terhadap istilah hukum, maka

bukanlah hal yang mudah untuk memberikan definisi atau pengertian terhadap

istilah tindak pidana. Pembahasan hukum pidana dimaksudkan untuk memahami

pengertian tindak pidana sebagai sanksi atas delik, sedangkan pemidanaan

berkaitan dengan dasar-dasar pembenaran pengenaan pidana serta teori-teori

tentang tujuan pemidanaan. Perlu disampaikan bahwa, pidana adalah merupakan

suatu istilah yuridis yang mempunyai arti khusus sebagai terjemahan dari bahasa

Belanda “Straf” yang dapat diartikan sebagai hukuman.33

32
Syaiful Bakhri,Perkembangan Stelsel Pidana di Indonesia, Total Media, Yogyakarta 2009, hlm.
155.
33
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm. 37.
20

Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah

“perbuatan jahat” atau “kejahatan” (Crime atau Verbrechen atau Misdaad) yang

diartikan secara kriminologis dan psikologis. Mengenai isi dari pengertian tindak

pidana tidak ada kesatuan pendapat di antara para sarjana. Sebagai gambaran

umum pengertian kejahatan atau tindak pidana yang dikemukakan oleh Djoko

Prakoso bahwa secara yuridis pengertian kejahatan atau tindak pidana adalah

“perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan pelanggarannya dikenakan

sanksi”.

Selanjutnya Djoko Prakoso menyatakan bahwa secara kriminologis kejahatan atau

tindak pidana adalah “perbuatan yang melanggar norma-norma yang berlaku

dalam masyarakat dan mendapatkan reaksi negatif dari masyarakat, dan secara

psikologis kejahatan atau tindak pidana adalah “perbuatan manusia-manusia yang

abnormal yang bersifat melanggar hukum, yang disebabkan oleh faktor-faktor

kejiwaan dari si pelaku perbuatan tersebut.34

Pembentuk undang-undang telah menggunakan perkataan “Strafbaarfeit” untuk

mengganti istilah tindak pidana di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP) tanpa memberikan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan

perkataan Strafbaarfeit, sehingga muncul di dalam doktrin berbagai pendapat

tentang apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan Strafbaarfeit tersebut, seperti

yang dikemukakan oleh Hamel dan Pompe.

Hamel mengemukakan bahwa: “Strafbaarfeit” adalah kelakuan orang (Menselijke

Gedraging) yang dirumuskan dalam Wet, yang bersifat melawan hukum, yang
34
Djoko Prakoso dan Agus Imunarso, Hak Asasi Tersangka dan Peranan Psikologi dalam
Konteks KUHAP, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm. 137.
21

patut dipidana (Strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan”.35 Sedangkan

menurut Pompe: “Strafbaarfeitdapat dirumusakan sebagai suatu pelanggaran

norma yang sengaja atau tidak sengaja dilakukan oleh si pelaku”.36

Moeljatno menyatakan bahwa istilah hukuman yang berasal dari kata “Straf” ini

dan istilah “dihukum” yang berasal dari perkataan “Wordt Gestraft”, adalah

merupakan istilah konvensional. Moeljatno tidak setuju dengan istilah-istilah itu

dan menggunakan istilah-istilah yang inkonvensional, yaitu “pidana” untuk

menggantikan kata “Wordt Gestraft”. Jika “Straf” diartikan “hukuman” maka

Strafrecht seharusnya diartikan dengan hukuman-hukuman. Selanjutnya dikatakan

Moeljatno bahwa “dihukum” berarti “diterapi hukuman” baik hukum pidana

maupun hukum perdata. Hukuman adalah hasil atau akibat dari penerapan hukum

tadi yang maknanya lebih luas daripada pidana, sebab mencakup juga keputusan

hakim dalam lapangan hukum perdata.37

Menurut Sudarto yang dimaksud dengan pidana adalah penderitaan yang sengaja

dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-

syarat tertentu. Sedangkan menurut Roeslan Saleh mengatakan bahwa pidana

adalah reaksi atas delik, dan ini berujud suatu nestapa yang dengan sengaja

ditimpahkan negara kepada pembuat delik itu.38

35
Moeljatno, Op. Cit., 1987, hlm. 38.
36
P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1984, hlm.
173-174.
37
Muladi & Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Hukum Pidana, Alumni, Bandung,
2005, hlm. 1.
38
Sudarto, Hukum Pidana 1A – 1B, Fakultas Hukum Universitas Jendral Soedirman, Purwokerto,
1991, hlm. 3.
22

Sir Rupert Cross (dalam buku Muladi) menyatakan bahwa pidana berarti

pengenaan penderitaan oleh negara kepada seseorang yang telah dipidana karena

suatu kejahatan.39

Dengan menyebut cara yang lain Hart menyatakan bahwa pidana harus:

a. Mengandung penderitaan atau konsekuensi-konsekuensi lain yang tidak


menyenangkan;
b. Dikenakan kepada seseorang yang benar-benar atau disangka benar
melakukan tindak pidana;
c. Dikenakan berhubung suatu tindak pidana yang melanggar ketentuan hukum;
d. Dilakukan dengan sengaja oleh selain pelaku tindak pidana;
e. Dijatuhkan dan dilaksanakan oleh penguasa sesuai dengan ketentuan suatu
sistem hukum yang dilanggar oleh tindak pidana tersebut.40

Sejalan dengan perumusan sebagaimana dikemukakan tersebut di atas Alf Ross


menyatakan bahwa pidana adalah reaksi sosial, yaitu:

a. Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau


nestapa atau akibat-akibat yang lain yang tak menyenangkan;
b. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai
kekuasaan (oleh yang berwenang);
c. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana
menurut undang-undang.41

2. Unsur-unsur Tindak Pidana

Unsur-unsur tindak pidana adalah sebagai berikut :

a. Unsur Subjektif

Unsur subjektif adalah unsur-usnur yang melekat pada diri si pelaku atau yang

berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala

sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsur subjektif dari suatu tindak

pidana adalah:

1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (Dolus atauCulpa);


39
Muladi, Loc. Cit,. 1985, hlm. 64.
40
Ibid., hlm. 23.
41
Muladi & Barda Nawawi Arief, Op. Cit.,1992, hlm. 4.
23

2. Maksud atau Voormen pada suatu percobaan atau Pogging seperti yang
dimaksud dalam Pasal 53 Ayat 1 KUHP;
3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di
dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan
lain-lain;
4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang terdapat
di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;
5. Perasaan takut yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana
menurut Pasal 308 KUHP.42

b. Unsur Objektif

Unsur objektif adalah unsur-unsur yang berkaitan dengan keadaan-keadaan, yaitu

di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan si pelaku itu harus dilakukan.

Unsur objektif dari suatu tindak pidana adalah:

1. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelicjkheid;


2. Kualitas dari si pelaku, misalnya keadaan sebagai seorang pegawai negeri di
dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai
pengurus dari komisaris dari suatu Perseroan Terbatas di dalam kejahatan
menurut Pasal 398 KUHP.
3. Kualitas yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai penyebab dengan
sesuatu kenyataan sebagai akibat.43

Menurut Prof. Moeljatno unsur tindak pidana yaitu sebagai berikut, yakni:
a. Perbuatan;
b. Yang dilarang (oleh aturan hukum); dan
c. Ancaman pidana (yang melanggar larangan).44

Menurut R. Tresna tindak pidana terdiri dari unsur-unsur yaitu sebagai berikut:
a. Perbuatan/rangkaian perbuatan;
b. Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; dan
c. Diadakan tindakan penghukuman.

3. Jenis-jenis Tindak Pidana

Menurut Moeljatno, jenis-jenis tindak pidana dibedakan atas dasar-dasar tertentu,

anatara lain sebagai berikut:

42
P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Cipta Aditya Bakti, Jakarta, 1997,
hlm.193.
43
Ibid., hlm. 194.
44
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana (Stelsel Tindak Pidana), Teori-Teori Pemidanaan
&Batas Berlakunya Hukum Pidana), Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 79.
24

1. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dibedakan antara

lain kejahatan yang dimuat dalam Buku II dan Pelanggaran yang dimuat

dalam Buku III. Pembagian tindak pidana menjadi “kejahatan” dan

“pelanggaran” itu bukan hanya merupakan dasar bagi pembagian KUHP kita

menjadi Buku ke II dan Buku III melainkan juga merupakan dasar bagi

seluruh sistem hukum pidana di dalam perundang-undangan secara

keseluruhan.

2. Cara merumuskannya, dibedakan dalam tindak pidana formil (Formeel

Delicten) dan tindak pidana materiil (Materiil Delicten). Tindak pidana formil

adalah tindak pidana yang dirumuskan bahwa larangan yang dirumuskan itu

adalah melakukan perbuatan tertentu. Misalnya Pasal 351 KUHP yaitu

tentang penganiayaan. Tindak pidana materiil inti larangannya adalah

menimbulkan akibat yang dilarang, karena itu siapa yang menimbulkan

akibat yang dilarang, karena itu siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang

itulah yang dipertanggung jawabkan dan dipidana.

3. Dilihat dari bentuk kesalahan, tindak pidana dibedakan menjadi tindak pidana

sengaja (Dolus Delicten) dan tindak pidana tidak sengaja (Dulpose Delicten).

Contoh tindak pidana kesengajaan (Dolus) yang diatur didalam KUHP antara

lain sebagai berikut: Pasal 310 KUHP (penghinaan) yaitu sengaja menyerang

kehormatan atau nama baik seorang, Pasal 322 KUHP (membuka rahasia)

yaitu dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena

jabatan atau pencariannya. Pada delik kelalaian (Culpa) orang juga dapat
25

dipidana jika ada kesalahan, misalnya Pasal 360 Ayat 2 KUHP yang

menyebabkan orang lain luka-luka.

4. Berdasarkan macam perbuatannya, tindak pidana aktif (positif), perbuatan

aktif juga disebut perbuatan materiil adalah perbuatan untuk mewujudkannya

diisyaratkan dengan adanya gerakan tubuh orang yang berbuat, misalnya

Pencurian (Pasal 362 KUHP) dan penipuan (Pasal 378 KUHP). 45

Tindak pidana dibedakan menjadi dua, yaitu:

a. Tindak pidana murni adalah tindak pidana yang dirumuskan secara formil

atau tindak pidana yang pada dasarnya unsur perbuataannya berupa perbuatan

pasif, misalnya diatur dalam Pasal 224, Pasal 304, dan Pasal 552 KUHP.

b. Tindak pidana tidak murni adalah tindak pidana yang pada dasarnya berupa

tindak pidana positif, tetapi dapat dilakukan secara tidak aktif atau tindak

pidana yang mengandung unsur terlarang tetapi dilakukan dengan tidak

berbuat, misalnya diatur dalam Pasal 338 KUHP, contohnya ibu tidak

menyusui bayinya sehingga bayi tersebut meninggal.

Klasifikasi tindak pidana menurut sistem KUHP dibagi menjadi dua bagian,

kejahatan (minsdrijven) yang diatur dalam Buku II KUHP dan pelanggaran diatur

dalam Buku III KUHP. Pembagian kejahatan dan pelanggaran didasarkan atas

perbedaan prinsipil, yaitu:

a. Kejahatan adalah Rechtsdelict, artinya perbuatan-perbuatan yang

bertentangan dengan keadilan. Pertentangan ini terlepas perbatan itu diancam

45
Ibid. hlm. 47.
26

pidana dalam suatu perundang-undangan atau tidak. Jadi, perbuatan ini benar-

benar dirasakan masyarakat sebagai bertentangan dengan keadilan.

b. Pelanggaran adalah Wetsdelict, artinya perbuatan-perbuatan yang didasari

oleh masyarakat-masyarakat sebagai suatu tindak pidana karena undang-

undang menyebutkan sebagai delik.46

C. Tindak Pidana Penggelapan

1. Pengertian Tindak Pidana Penggelapan

Penggelapan diatur dalam buku II KUHP dalam bab XXIV. Penggelapan

merupakan suatu tindakan tidak jujur dengan menyembunyikan barang/harta

orang lain oleh satu orang atau lebih tanpa sepengetahuan pemilik barang dengan

tujuan untuk mengalih-milik (pencurian), menguasai atau digunakan untuk tujuan

lain.47

Penggelapan diatur dalam Bab XXIV (Buku II) KUHP, mulai dari Pasal 372

sampai dengan 377. Pengertian Yuridis penggelapan itu sendiri diatur dalam Pasal

372 KUHP. Tindak pidana penggelapan dikategorikan sebagai berikut:

a. Dalam Pasal 372 KUHP tentang penggelapan biasa,

b. Dalam Pasal 373 KUHP tentang penggelapan ringan,

c. Dalam Pasal 374 KUHP dan Pasal 375 KUHP tentang penggelapan dengan

pemberatan,

d. Dalam Pasal 376 KUHP tentang penggelapan dalam keluarga.48

46
Tri Andrisman, Hukum Pidana, Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2007, hlm. 86.
47
Amir Ilyas, Asas-asas Hukum Pidana (Memahami Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban
Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan), Mahakarya Rangkang, Yogyakarta, 2009, hlm. 34.
48
Lamintang dan Theo Lamintang, Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan, Sinar Grafika, Bandung,
2013, hlm. 111.
27

Tindak pidana penggelapan merupakan perbuatan yang melawan hukum dan

pelakunya dapat diancam dengan hukuman pidana. Tindak pidana penggelapan

dalam Pasal 372 KUHP:

“Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang

seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam

kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan

pidana penjara paling lama 4(empat) tahun atau pidana denda paling banyak

Rp900(Sembilan ratu rupiah)”.

R. Soesilo menyatakan, bahwa penggelapan adalah kejahatan yang hampir sama

dengan pencurian dalam Pasal 362. Yang berbeda adalah pada pencurian barang

yang dimiliki itu belum berada ditangan pencuri dan masih harus “diambilnya”.

Sedangkan penggelapan waktu dimilikinya barang itu sudah ada di tangan si

pembuat tidak dengan jalan kejahatan.49

Selanjutnya, Tongat menyatakan perihal pengertian tentang penggelapan ini


bahwa:

“Apabila suatu benda berada dalam kekuasaan orang bukan karena tindak pidana,
tetapi karena suatu perbuatan yang sah, misalnya karena penyimpanan, perjanjian
penitipan barang, dan sebagainya. Kemudian orang yang diberi kepercayaan untuk
menyimpan dan sebagainya itu menguasai barang tersebut untuk diri sendiri
secara melawan hukum, maka orang tersebut berarti melakukan penggelapan”.50

M. Sudrajat memberikan pengertian tindak pidana penggelapan, yaitu:

“Penggelapan adalah digelapkannya suatu barang yang harus dibawah kekuasaan


si pelaku, dengan cara lain dari pada dengan melakukan kejahatan. Jadi, barang itu
oleh yang punya dipercayakan kepada si pelaku. Pada pokoknya pelaku tidak

49
http://herybastyani.blogspot.co.id/2013/06/analisis-kasus-penggelapan.html diakses pada tanggal
13 April 2018 pukul 17.25
50
Ibid., hlm. 60.
28

memenuhi kepercayaan yang dilimpahkan atau dapat dianggap dilimpahkan


kepadanya oleh yang berhak atas suatu barang”.51

Adami Chazawi menyatakan penjelasannya mengenai tindak pidana penggelapan

berdasarkan Pasal 372 KUHP, yaitu:

“Perkataan Verduistering yang kedalam bahasa Indonesia diterjemahkan secara


harfiah yang berarti penggelapan, bagi masyarakat Belanda diberikan secara arti
luas (Figurlijk), bukan diartikan seperti arti kata yang sebenarnya sebagai sesuatu
menjadi tidak terang atau gelap. Lebih mendekati pengertian bahwa petindak
menyalahgunakan haknya sebagai yang yang menguasai suatu benda “memiliki”,
hak mana tidak boleh melampaui dari haknya sebagai seorang yang diberi
kepercayaan untuk menguasai benda tersebut bukan karena kejahatan”.52

Beberapa pengertian dan penjelasan mengenai arti kata penggelapan dapat kita

lihat pula C.S.T. Kansil dan Christine S.T Kansil mendefinisikan penggelapan

secara lengkap, yaitu:

“Penggelapan yaitu barangsiapa secara tidak sah memiliki barang yang seluruhnya
atau sebagian adalah milik orang lain dan yang ada padanya bukan karena
kejahatan, ia pun telah bersalah melakukan tindak pidana, misalnya Pasal 372
KUHP yang dikualifikasikan sebagai verduistering atau penggelapan”.53

Penggelapan adalah suatu perbuatan menyimpang yang menyalahgunakan

kepercayaan orang lain yang diberikan padanya dan awal barang itu berada

ditangannya bukan karena dari hasil kejahatan.

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Penggelapan

Tindak pidana penggelapan dalam bentuk pokok diatur dalam Pasal 372 KUHP

mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:

a. Unsur Subjektif

1. Barang Siapa

51
M. Sudrajat Bassar, Tindak-Tindak Pidana Tertentu dalam KUHP, Remaja Karya, Bandung,
1986, hlm. 74.
52
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Harta Benda, Op. Cit., hlm. 70.
53
C.S.T. Kansil dan Christine S.T Kansil, Kamus Istilah Aneka Hukum, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 2000, hlm. 252.
29

Kata barang siapa ini menunjakkan kepada orang, yang apabila orang tersebut

memenuhi unsur tindak pidana yang terdapat di dalam tindak pidana tersebut,

maka ia disebut sebagai pelaku dari tindak pidana yang bersangkutan.

2. Dengan Sengaja

Dengan sengaja (Opzettelijk). Unsur ini merupakan unsur yang melekat pada

subjek tindak pidana, maupun yang melekat pada pribadi pelakunya. Karena

merupakan unsur dari tindak pidana penggelapan, dengan sendirinya unsur

tersebut harus ditawarkan oleh jaksa didalam surat dakwaandan karena unsur

tersebut didakwakan terhadap terdakwa, dengan sendirinya juga harus dibuktikan

dalam sidang pengadilan yang memeriksa perkara terdakwa. 54Agar seseorang

dapat dinyatakan sebagai terdakwa karena telah memenuhi unsur kesengajaan

seperti disyaratkan dalam rumusan Pasal 372 KUHP, maka disidang pengadilan

yang memeriksa perkara terdakwa harus dapat membuktikan bahwa pelaku

memang benar-benar:55

a. Menghendaki atau bermaksud untuk menguasai suatu benda secara melawan

hukum, suatu perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya atau

bertentangan dengan hak orang lain,

b. Mengetahui bahwa yang ia kuasai adalah sebuah benda,

c. Mengetahui bahwa sebagian atau seluruh benda yang ingin dikuasainya

adalah milik orang lain,

d. Mengetahui bahwa benda tersebut ada padanya bukan karena kejahatan.

54
P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan (cetakan ke-2),
Sinar Grafika, Bandung,2013, hlm. 113.
55
Ibid., hlm. 114.
30

Kesengajaan yang ditunjukkan pada semua unsur yang ada dibelakangnya itu

harus dibuktikan dalam persidangan. Oleh karenanya hubungan antara orang yang

menguasai dengan barang yang dikuasai harus sedemikian langsungnya, sehingga

untuk melakukan sesuatu terhadap barang tersebut orang tidak memerlukan

tindakan lain.56

Jika kehendak dan pengetahuan-pengetahuan terdakwa seperti yang dimaksud

diatas dibuktikan, maka orang tersebut dapat dikatakan bahwa terdakwa

memenuhi unsur dengan sengaja yang terdapat dalam rumusan Pasal 372 KUHP.

Akan tetapi bila tidak dapat dibuktikan salah satu dari kehendak dan pengetahuan-

pengetahuan terdakwa tersebut, maka hakim akan memberikan putusan bebas.

3. Melawan Hukum (Wederrechtelijk)

Suatu benda milik orang lain berada dalam kekuasaan seseorang dapat oleh sebab

perbuatan melawan hukum (suatu kejahatan) maupun oleh sebab perbuatan yang

sesuai dengan hukum. Adami Chazawi menjelaskan bahwa sebagai syarat dari

penggelapan adalah barang yang berada dalam kekuasaan petindak haruslah oleh

sebab perbuatan yang sesuai dengan hukum seperti karena penitipan, pinjaman,

perjanjian sewa, penggadaian dan sebagainya.57

Pada dasarnya melawan hukum adalah sifat tercela atau sifat terlarangnya dari

suatu perbuatan tertentu. Didalam doktrin dikenal ada dua macam melawan

hukum, yaitumelawan hukum formil dan melawan hukum materil. Melawan

hukum formil adalah bertentangan dengan hukum tertulis sedangkan melawan

56
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Harta Benda, Op. Cit., hlm. 83.
57
Ibid., hlm. 80.
31

hukum materil yaitu perbuatan itu bertentangan dengan asas-asas hukum didalam

masyarakat, baik tertulis maupun tidak tertulis.

b. Unsur Objektif

1. Mengaku Sebagai Milik Sendiri (zich wederrechtelijk toeeigenen)

Adami Chazawi menyatakan bahwa:

“Perbuatan memiliki adalah berupa perbuatan menguasai suatu benda seolah-


olah ia pemilik benda itu. Dengan pengertian ini dapat diterangkan demikian,
bahwa pelaku dengan melakukan perbuatan memilikiatas suatu benda yang
berada dalam kekuasaannya adalah ia melakukan perbuatan sebagaimana
pemilik melakukan perbuatan terhadap benda itu. Oleh karena sebagai unsur
tindak pidana penggelapan, unsur ini mempunyai kedudukan yang berbeda
dengan unsur yang sama dalam tindak pidana pencurian sekalipun dengan
pengertian yang sama”.58

Tongat berpendapat mengenai unsur mengaku sebagai milik sendiri (menguasai),


yaitu:
“Dalam tindak pidana “pencurian” unsur “menguasai” ini merupakan unsur
subjektif tetapi dalam tindak pidana penggelapan unsur tersebut merupakan unsur
objektif. Dalam hal tindak pidana pencurian, menguasai merupakan tujuan dari
tindak pidana pencurian. Dalam hal ini unsur tersebut tidak perlu terlaksana pada
saat perbuatan yang dilarang (yaitu mengambil barang itu) selesai.. Sementara
dalam tindak pidana penggelapan, perbuatan menguasai tersebut merupakan
perbuatan yang dilarang. Karena perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang
dilarang, maka tidak ada penggelapan apabila perbuatan menguasai tersebut
belum selesai”.59

Kesimpulan dalam tindakpidana penggelapan unsur perbuatan menguasai harus

sudahterlaksanaatauselesaimisalnyadenganmenjualbendatersebut, digunakan

untuk diri sendiri dan lain-lain. Apabila penguasaantersebut tidak bertentangan

58
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Harta Benda, Op. Cit., hlm. 72.
59
Tongat, Op. Cit., hlm. 59.
32

dengan sifat dari hak dengan hakmana benda itu dapat berada dibawah

kekuasaannya, makaini tidak memenuhi unsur dalam Pasal 372 KUHP.60

2. Suatu Benda (Eening Goed)

Meskipun dalam Pasal 372 KUHP tentang tindak pidana penggelapan tidak

mengatur tentang sifat benda tersebut apakah sifanya dapat dipindah-pindahkan

ataupun yang sering disebut benda bergerak tidak menutup kemungkinan pula

penggelapan dapat dilakukan pada benda-benda tidak berwujud.61

Adami Chazawi menyatakan unsur ini bahwa:

“Pengertian barang yang berada dalam kekuasaannya sebagai adanya suatu


hubungan dan sangat erat dengan barang itu, yang menjadi indikator adalah,
apabila iahendak melakukan perbuatan terhadap benda itu, dia dapat
melakukannya secara langsung tanpa harus melakukan perbuatan lain terlebih
dahulu, hanya terdapat benda-benda yang berwujud dan bergerak saja, dan tidak
mungkin terjadi terhadap benda-benda tidak berwujud dan tetap”.62

3. Sebagian atau Seluruhnya Kepunyaan Orang Lain

Seorang dapat dikatakan menggelapkan apabila baik sebagian atau seluruhnya itu

milik orang lain. Misalnya seseorang tidak boleh menguasai sesuatu untuk dirinya

sendiri apabila ia memiliki usaha bersama dengan orang lain.63

4. Berada dalam Kekuasaannya Bukan Karena Kejahatan

Dalam tindak pidana penggelapan, perbuatan menguasai bukan karena kejahatan

bukan meruapakan ciri pokok. Unsur ini merupakan pembeda dengan tindak

pidana pencurian. Kata berada padanya menurut Hoge Raad adalah menunjukkan

keharusan adanya suatu hubungan langsung yang sifatnya nyata atau antara

60
P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Op. Cit., hlm. 118.
61
Ibid., hlm. 127.
62
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Harta Benda, Op. Cit., hlm. 77.
63
P.A.F. Lamintang, Op. Cit., hlm. 128.
33

pelaku dengan suatu benda, yakni agar perbuatannya menguasai secara melawan

hukum atas benda tersebut dipandang sebagai tindak pidana penggelapan, bukan

pencurian.64

Dalam pencurian, menguasai merupakan tujuan dari pelakunya sehingga unsur

menguasai tidak perlu terlaksana pada saat perbuatan yang dilarang. Dalam hal

ini, maksud pelakulah yang harus dibuktikan. Sedangkan dalam penggelapan,

menguasai bukan merupakan tujuan pelaku sehingga perbuatan menguasai dalam

penggelapan harus ada pada pelaku.

Apabila suatu barang berada dalam kekuasaan orang bukan karena kejahatan

tetapi karena perbuatan yang sah, kemudian orang yang diberi kepercayaan untuk

menyimpan dan sebagainya itu menguasai barang tersebut untuk kepentingan diri

sendiri secara melawan hukum, maka orang tersebut berarti melakukan

penggelapan. Dapat dikatakan bahwa tindak pidana penggelapan ada unsur

kesengajaan untuk menguasai suatu benda yang sebagian atau seluruhnya adalah

milik orang lain akan tetapi tidak ditempuh dengan cara kejahatan, melainkan atas

dasar kepercayaan seperti karena dipinjamkan, dititipkan, disewakan,

dipercayakan, dijaminkan, dan sebagainya.

3. Jenis-Jenis Tindak Pidana Penggelapan

Tindak pidana penggelapan terdapat didalam Buku II KUHP dimana penggelapan

diatur dalam Pasal 372, Pasal 373, Pasal 374, dan Pasal 375. Pasal 376 mengenai

penggelapan antarkeluarga, yang berlaku sama dengan Pasal 367 KUHPidana

(delik pencurian). Pasal 377 KUHPidana mengenai pidanatambahan berupa

64
Ibid, hlm. 129.
34

pengumuman putusan hakim dan pencabutanhak dapat dikenakan bagi

penggelapan Pasal 372, Pasal 373,Pasal374danPasal375KUHP.65

Dengan melihat bagaimana cara perbuatan tersebut dilakukan, maka tindak pidana

penggelapan dibagi menjadi beberapa bentuk yaitu:

a. Tindak Pidana Penggelapan dalam bentuk pokok atau biasa disebut

penggelapan biasa adalah penggelapan yang diatur dalam Pasal 372 KUHP yang

berbunyi:

“Barangsiapa dengan sengaja memiliki dan melawan hukum memiliki sesuatu


yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada
dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan,
dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak
sembilan ratus rupiah”.

Adami Chazawi berpendapat terhadap unsur memilik yang terkadang dalam


penggelapan biasa bahwa:
“Perbuatan memiliki itu adalah perbuatan terhadap suatu benda oleh orang-orang
yang seolah-olah pemiliknya perbuatan mana bertentangan dengan sifat dari hak
yang ada padanya atas benda tersebut, perlu diperhatikan bahwa hal tersebut tidak
dapat berlaku umum, dalam beberapa kasus tertentu mungkin tidak dapat
diterapkan satu dan lain hal karena alasan-alasan tertentu, misalnya keadilan”.66

b. Tindak Pidana Penggelapan Ringan (Lichte Verduistering)

Ketentuan tentang pengelapan ringan diatur dalam Pasal 373 KUHP, yaitu:

“Perbuatan yang dirumuskan dalam Pasal 372, apabila yang digelapkan bukan
ternak dan harganya tidak lebih dari dua puluh lima rupiah, diancam sebagai
penggelapan ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana
denda paling banyak dua ratus lima puluh rupiah”.

Berdasarkan rumusan pasal diatas Tongat menjelaskan mengenai unsur-unsur

penggelapan ringan sebagai berikut:

“Bahwa unsur-unsur tindak pidana penggelapan ringan sama dengan unsur-unsur


tindak pidana penggelapan dalam bentuknya yang pokok, hanya didalam tindak
pidana penggelapan ringan haruslah dipenuhi unsur, bahwa yang digelapkan itu
65
Andi Hamzah, Delik-Delik Tertentu (Speciale Delicten) di dalam KUHP, Sinar Grafika, Jakarta,
2010, hlm. 106.
66
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Harta Benda, Op. Cit., hlm. 73.
35

bukanlah ternak dan harga dari barang yang digelapkan tidak lebih dari dua puluh
lima rupiah”.67

c. Tindak Pidana Penggelapan dengan Pembaratan (Gequaliviceerde

Verduistering)

Kejahatan ini diancam dengan hukuman yang lebih berat. Bentuk-bentuk

penggelapan yang diperberat diatur dalam Pasal 374 KUHP. Faktor yang

menyebabkan lebih berat dari bentuk pokoknya, didasarkan pada lebih besarnya

kepercayaan yang diberikan kepada orang yang menguasai benda yang

digelapkan.68

Tindak pidana penggelapan dengan unsur-unsur yang memberatkan diatur dalam

Pasal 374 KUHP, yaitu:

“Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang


disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencarian atau karena
mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun”.
Unsur-unsur yang memberatkan yang dimaksud dalam pasal diatas karena tindak
pidana penggelapan telah dilakukan atas benda yang berada pada pelaku
diantaranya:

1. Karena hubungan kerja pribadinya,


2. Karena pekerjaannya atau jabatannya,
3. Karena mendapat imbalan uang.69

d. Tindak Pidana Penggelapan Berat

Tindak pidana penggelapan berat diatur dalam Pasal 375 KUHP, berikut rumusan

Pasal 375 KUHP:

“Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang karena terpaksa diberi barang
untuk disimpan, atau yang dilakukan oleh wali pengampu, pengurus atau
pelaksana surat wasiat, pengurus lembaga sosial atau yayasan, terhadap barang

67
Tongat, Op. Cit., hlm. 63.
68
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Harta Benda, Op. Cit., hlm. 85.
69
Ibid., hlm. 86.
36

sesuatu yang dikuasainya selalu demikian, diancam dengan pidana penjara paling
lama enam tahun”.

Unsur-unsur yang memberatkan dalam rumusan Pasal 375 KUHP diatas adalah:

1. Oleh orang yang kepadanya terpaksa barang itu diberikan untuk disimpan,

2. Terhadap barang yang ada pada mereka karena jabatan mereka sebagai wali,

pengampu, pengurus yang menjalankan wasiat, pengurus lembaga sosial, atau

yayasan.70

Penggelapan yang diatur dalam Pasal 375 KUHP ini adalah penggelapan yang

dilakukan oleh orang-orang tertentu yang karena kewajibannya sebagai akibat dari

hubungan orang itu dengan barang-barang yang harus diurusnya.

e. Penggelapan dalam Lingkungan Keluarga

Penggelapan dalam lingkungan keluarga diatur dalam Pasal 376 KUHP yang

menyatakan bahwa:

“Ketentuan dalam Pasal 367 berlaku bagi kejahatan-kejahatan yang dirumuskan

dalam bab ini (XXIV)”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 376 KUHP, dalam kejahatan terhadap benda,

pencurian, pengancaman, pemerasan, penggelapan, penipuan apabila dilakukan

dalam kalangan keluarga maka dapat menjadi:

1. Tidak dapat dilakuakan penuntutan baik terhadap petindaknya maupun

terhadap pelaku pembantunya.

2. Tindak pidana aduan, tanpa adanya pengaduan baik terhadap petindaknya

maupun pelaku pembantunya maka tidak dapat dilakukan penuntutan.71

D. Asuransi
70
http://repository.unhas.ac.id/123456789/23648, diakses pada tanggal 13 April 2018 pukul 17.25
71
Ibid., hlm. 94.
37

1. Pengertian Asuransi

Istilah asuransi berasal dari bahasa Belanda “Verzekering atau Assurantie”. Oleh

R. Sukardono diterjemahkan dengan pertanggungan mempunyai persamaan

pengertian, istilah pertanggungan ini umum dipakai dalam literatur hukum dan

kurikulum perguruan tinggi hukum di Indonesia, sedangkan istilah asuransi

banyak dipakai dalam praktik dunia usaha.

Perasuransian adalah istilah hukum (Legal Term) yang dipakai dalam perundang-

undangan dan perusahaan perasuransian. Istilah perasuransian berasal dari kata

“asuransi” diberi imbuhan per-an, maka muncullah istilah hukum “perasuransian”

yang berarti segala usaha yang berkenaan dengan asuransi. Usaha yang berkenaan

dengan asuransi ada 2 (dua) jenis, yaitu:

a. Asuransi dibidang kegiatan asuransi disebut usaha asuransi (insurance


business). Perusahaan yang menjalankan usaha asuransi disebut Perusahaan
Asuransi (Insurance Company).
b. Usaha dibidang kegiatan penunjang usaha asuransi disebut usaha penunjang
usaha asuransi. Perusahaan yang menjalankan usaha penunjang disebut
Perusahaan Penunjang Asuransi.72

Dari pengertian di atas, di dalam bukunya Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika,
Emmy Pangaribuan berpendapat sebagai berikut:

“Pertanggungan adalah suatu perjanjian dimana penanggung dengan menikmati


suatu premi mengikatkan dirinya terhadap tertanggung untuk membebaskan diri
dari kerugian karena kehilangan, kerugian atau ketiadaan keuntungan yang
diharapkan yang akan dapat diderita olehnya karena suatu kejadian yang belum
pasti”.73

Asuransi adalah upaya yang dapat dimanfaatkan untuk mengatas kemungkinan

timbul kerugian akibat terjadi peristiwa yang tidak pasti dan tidak diinginkan.

Melalui perjanjian asuransi kemungkinan peristiwa yang menimbulkan kerugian


72
Abdulkadir Muhammad, Ibid., hlm. 5.
73
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Hukum Asuransi Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1992,
hlm. 22.
38

yang mengancam kepentingan tertanggung itu dialihkan kepada Perusahaan

Asuransi selaku penanggung dan sebagai imbalannya tertanggung bersedia untuk

membayar sejumlah premi yang telah disepakati. Dalam hal ini, tertanggung yang

berkepentingan akan merasa aman dari ancaman kerugian, sebab jika kerugian itu

betul-betul terjadi penanggunglah yang akan menggantinya.74

Menurut pasal diatas, pertanggungan adalah suatu perjanjian dimana ppenanggung

dengan menikmati suatu premi, mengikat dirinya terhadap tertanggung untuk

membebaskannya dari kerugian. Karena kerugian, kehilangan, atau tidak adanya

keuntungan yang diharapkan yang akan dapat diderita akhirnya karena suatu

kejadian yang tidak pasti.Tetapi, apabila ditinjau lebih lanjut secara redaksionil

pasal 246 KUHD tersebut secara keseluruhan dan dalam pengertian umum hukum

asuransi tidak tepat, melainkan hanya tepat untuk jenis asuransi kerugian saja,

tidak untuk asuransi jiwa atau asuransi sejumlah uang.

Menurut ketentuan dari Pasal 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang

Usaha Perasuransian:

Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan

pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan

asuransi sebagai imbalan untuk:

a. Memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena

kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung

jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau

pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau

74
Abdulkadir Muhammad, Op. Cit., hlm. 162.
39

b. Memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung

atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat

yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan

data”.75

Rumusan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang usaha

perasuransian ternyata lebih luas diabandingkan dengan rumusan yang terdapat

pada Pasal 246 KUHD, karena tidak hanya melingkupi asuransi kerugian, akan

tetapi juga asuransi jiwa. Hal ini dapat diketahui dari kata-kata bagian dari

perumusannya, yaitu : “untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan

atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan”. Dengan

demikian, objek dari asuransi tidak hanya meliputi harta kekayaan, tetapi

melipputi juga jiwa/raga manusia.

2. Premi Asuransi

Masalah premi asuransi menurut Pasal 246 KUHD yang berbunyi :

“Asuransi atau Pertanggungan adalah Perjanjian dengan mana penanggung


mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi untuk memberikan
penggantian kepadanya karena kerugian, kerugian kerusakan atau kehilangan
keuntungan yang diharapkan yang mungkin dideritanya dari suatu peristiwa tidak
pasti”.

Berdasarkan rumusan diatas, dapat diketahuin bahwa premi adalah salah satu

unsur penting dalam asuransi karena merupakan kewajiban utama yang wajib

dipenuhi oleh tertanggung kepada penanggung. Dalam hubungan hukum asuransi,

penanggung menerima pengalihan risiko dari tertanggung serta tertanggung

membayar sejumlah premi sebagian imbalannya. Apabila premi tidak dibayar,

75
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Usaha Perasuransian.
40

maka asuransi dapat dibatalkan atau setidak-tidaknya asuransi tidak berjalan.

Premi harus dibayar lebih dulu oleh tertanggung karena tertanggung pihak yang

berkepentingan. Sebagai perjanjian timbal balik, asuransi bersifat konsensual,

yang berarti sejak terjadi kesepakatan timbulah kewajiban dan hak kedua belah

pihak.

Akan tetapi, asuransi akan berjalan jika kewajiban tertanggung membayar premi

telah dipenuhi.Premi asuransi merupakan syarat mutlak untuk menentukan

perjanjian sauransi dilaksanakan atau tidak. Kriteria premi asuransi adalah :

1. Dalam bentuk sejumlah uang


2. Dibayar lebih dulu oleh tertanggung
3. Sebagai imbalan pengalihan risiko
4. Dihitung berdasarkan persentase terhadap nilai risiko yang dialihkan.

Penetapan tingkat premi asuransi harus didasarkan pada perhitungan analisis

risiko yang sehat. Besarnya jumlah premi yang harus dibayar oleh tertanggung

ditentukan berdasarkan penilaian risiko yang dipukul oleh penanggung. Dalam

praktiknya penetapan besarnya jumlah premi itu diperjanjikan oleh tertanggung

dan penanggung secara layak dan dicantumkan dalam polis asuransi. Besarnya

jumlah premi dihitung sedemikian rupa, sehinggapenerimaan premi dari beberapa

tertanggung, penanggung berkemampuan membayar klaim ganti kerugian kepada

tertanggung yang berkenaan peristiwa yang menimbulkan kerugian.

Premi asuransi dapat dibayarkan langsung oleh tertanggung kepada perusahaan

asuransi atau melalui perusahaan pialang asuransi untuk kepentingan tertanggung.

Dalam hal premi asuransi dibayarkan melalui perusahaan pialang asuransi,

perusahaan ini wajib menyerahkan premi tersebut kepada perusahaan asuransi

sebelum berakhir tenggang waktu pembayaran premi yang ditetapkan dalam polis
41

asuransi yang bersangkutan. Dalam hal penyerahan premi oleh perusahaan pialang

asuransi dilakukan setelah berakhirnya tenggang waktu tersebut. Perusahaan

pialang asuransi yang wajib bertanggung jawab atas pembayaran klaim yang

timbul dari kerugian yang terjadi dalam jangka waktu antara habisnya tenggang

waktu sampai diserahkannya premi kepada perusahaan asuransi.

3. Pengertian Asuransi Jiwa

Menurut Abbas Salim, asuransi jiwa adalah asuransi yang bertujuan menanggung

orang terhadap kerugian financial yang tak terduga yang disebabkan karena

meninggalnya terlalu cepat atau hidupnya terlalu lama.76

Dalam asuransi jiwa risiko yang diahadapi adalah sebagai berikut :

1. Risiko kematian

2. Hidup seseorang terlalu lama.

Jaminan untuk keturunan misalnya, seorang bapak meninggal dunia sebelum

waktunya atau dengan tiba-tiba, maka si anak tidak akan terlantar dalam

hidupnya.

4. Polis Asuransi Jiwa

1. Bentuk dan isi polis

Sesuai dengan ketentuan pasal 255 KUHD, asuransi jiwa harus diadakan secara

tertulis dengan bentuk akta yang disebut polis. Ketentuan Pasal 304 KUHD, polis

asuransi yaitu:

a. Hari diadakan asurasni

76
Abbas salim,Dasar-Dasar Asuransi, Rajawali, Jakarta, 1989, hlm.25.
42

Dalam polisharus dicantumkan hari dan tanggal diadakan asuransi. Hal ini penting

untuk mengetahui kapan asuransi itu mulai berjalan dan dapat diketahui pula sejak

hari dan tanggal itu risiko menjadi beban penanggung.

b. Nama tertanggung

Dalam polis harus dicantumkan nama tertanggung sebagai pihak yang wajib

membayar premi dan berhak menerima polis. Apabila jangka waktu berlakunya

asuransi berakhir, tertanggung berhak menertima sejumlah uang santunan atau

pengembalian dari penanggung.

c. Nama orang yang jiwanya diasuransikan

Objek asuransi jiwa adalah jiwa dan badan manusia sebagai suatu kesatuan jiwa

seorang merupakan objek asuransi yang tidak berwujud, yang hanya dapat dikenal

melalui wujud badannya. Namanya harus dicantumkan dalam polis, dalam hal ini

tertanggung dan orang yang jiwanya yang diasuransikan itu berlainan.

d. Saat mulai dan berakhirnya evenemen

Saat mulai dan berakhirnya evenemen merupakan jangka waktu berlaku asuransi,

artinya dalam jangka waktu itu risiko menjadi beban penanggung, misalnya, mulai

taggal 1 januari 1990 sampai dengan tanggal 1 Januari 2000. Apabila jangka

waktu itu terjadi evenemen, maka penanggung berkewajiban membayar santunan

kepada tertanggung atau orang yang ditunjuk sebagai penikmat.

e. Jumlah asuransi

Jumlah asuransi adalah sejumlah uang tertentu yang diperjanjikan pada saat

diadakan asuransi sebagai jumlah santunan yang wajib dibayar oleh penanggung

kepada penikmat dalam hal terjadi evenemen, atau pengembalian kepada


43

tertanggung sendiri dalam hal berakhirnya jangka waktu asuransi tanpa terjadi

evenemen.

f. Premi asuransi

Premi asuransi adalah sejumlah uang yang wajib dibayar oleh tertanggung kepada

penanggung setiap jangka waktu tertentu, biasanya setiap bulan selama asuransi

berlangsung. Besarnya jumlah premi asuransi bergantung pada jumlah asuransi

yang disetujui oleh tertanggung pada saat diadakan asuransi.77

77
Sri Rejeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, Sinar Grafika, Jakarta, 1995,
hlm. 122.
III.METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan dua

pendekatan, yaitu:78

1. Pendeketan Yuridis Normatif

Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang dilakukan oleh penulis

dalam bentuk mencari kebenaran dengan melihat dan memperhatikan asas-asas

yang ada dalam berbagai peraturan Perundang-undangan terutama berhubungan

dengan permasalahan yang diteliti yaitu dalam hal penerapan fungsi Hukum

Pidana terhadap suatu kasus penggelapan premi asuransiyang bersinggungan

dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014tentang Usaha Perasuransian.

Pendekatan secara yuridis normatif dilakukan agar mendapat gambaran dan

pemahaman yang jelas dan benar terhadap permasalahan yang akan dibahas.

2. Pendekatan Yuridis Empiris

Pendekatan yuridis empiris adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara

menggali informasi dan melakukan penelitian lapangan guna mengetahui secara

lebih jauh mengenai permasalahan-permasalahan yang diteliti. Peneliti melakukan

wawacanra dengan aparat penegak hukum terkait untuk mendapat gambaran

78
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta,1986,hlm.12.
45

tentang bagaimana pertimbangan hukum penyidik, penuntut umum dan Hakim

dalam penerapan Hukum Pidana yang menjadi pilihan dibandingkan dengan

undang-undang tentang perasuransian.

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber dan penelitian ini berasal dari data lapangn dan data kepustakaan. Jenis

data yang diperlukan dalam melakukan penelitian ini adalah data primer dan data

sekunder.

1. Data Primer

Menurut Soerjono Soekanto, data primer adalah data yang diperoleh secara

langsung dan responden79. Sedangkan data primer yang digunakan dalam ini

adalah data yang didapat oleh penulis berdasarkan wawancara dengan aparat

penegak hukum terkait untuk mendapat gambaran tentang bagaimana

pertimbangan hukum serta apa saja faktor penghambat penyidik, penuntut umum

dan hakim dalam menerapkan tindak pidana penggelapan premi asurasni yang

telah diatur dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Usaha

Perasuransian.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan pustaka, terdiri dari :

a. Bahan hukum primer yaitu, bahan yang didapat oleh penulis dari infornasi-

informasi yang diperoleh dari jurnal-jurnal hukum, karya tulis ilmiah, putusan

pengadilan dan berbagai sumber internet yang berkaitan dengan persoalan di

atas.

79
Loc. Cit.,hlm. 43.
46

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan-

penjelasan mengenai bahan-bahan hukum primer seperti literatur-literatur

ilmu hukum, makalah dan tulisan hukum lainnya yang berkaitan dengan

permasalahan yang akan diteliti.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang mendukung bahan hukum

primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan

pengertian atas bahan hukum lainnya. Bahan hukum yang dipergunakan oleh

penulis adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum.

C. Penentuan Narasumber

Penelitian ini membutuhkan narasumber sebagai sumber informasi untuk

memberikan penjelasan terkait dengan permasalahan yang dibahas. Narasumber

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang = 1 orang

2. Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung = 1 orang

3. Jaksa pada Kejaksaan Tinggi Lampung = 1 orang

4. Dosen Bagian Pidana Fakultas Hukum Unila = 1 orang +

Jumlah = 4 orang

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini diartikan dengan :

a. Studi Kepustakaan (library research)

Untuk memperoleh sumber-sumber data sekunder digunakan studi kepustakaan,

yang dilakukan dengan cara membaca, mempelajari, mencatat atau mengutip dari
47

literatur-literatur, peraturan perundangan-undangan, dan dokumen-dokumen yang

berkaitan dengan putusan tersebut.

b. Studi Lapangan (field research)

Untuk memperoleh data primer, studi lapangan dilakukan dengan cara wawancara

untuk mengumpulkan dan mendapatkan gambaran yang jelas tentang

permasalahan yang penulis kaji.

2. Metode Pengolahan Data

Berdasarkan data yang telah terkumpul baik dari studi kepustakaan maupun dari

lapangan, maka data diproses pengolahan data dengan langkah-langkah sebagai

berikut :

a. Seleksi Data

Seleksi data dilakukan agar mengetahui apakah data yang diperlukan telah

mencakup atau belum dan adat tersebut berhubungan atau tidak berhubungan

dengan pokok permasalahan yang akan dibahas.

b. Klarifikasi Data

Mengelompokan data yang telah diseleksi dengan mempertimbangkan jenis dan

hubungannya agar mengetahui tempat masing-masing data.

c. Sistematisasi Data

Menyusun dan menempatkan data pada pokok bahasan atau permasalahan dengan

susunan kalimat yang sistematis sesuai dengan tujuan penelitian.


48

E. Analisis Data

Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif, yaitu menguraikan data

dalam bentuk kalimat yang disusun secara sistematik kemudian diinterpretasikan

dengan bentuk kalimat yang disusun secara sistematik, kemudian diinterpretasikan

dengan melandaskan pada peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan

permasalahan yang diteliti sehingga akan mendapatkan gambaran yang jelas dan

terang dalam pokok bahasan sehingga akhirnya akan menuju pada suatu

kesimpulan. Kesimpulan tersebut ditarik dengaan metode induktif, yaitu suatu

cara penarikan kesimpulan dari hal yang khusus ke hal yang umum.
V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan uraian-uraian penulisan skripsi ini dapat diambil beberapa

kesimpulan sebagai berikut:

1. Tindak pidana dibidang asuransi diatur dalam Undang-Undang Nomor 40

Tahun 2014 tentang Usaha Perasuransian, namun tetap berpedoman pada KUHP

seperti:

Tindak pidana penggelapan kekayaan perusahaan asuransi terdiri dari unsur-

unsur; mengalihkan, menjaminkan atau mengagunkan tanpa hak; kekayaaan

perusahaan asuransi, atau perusahaan asuransi kerugian atau perusahaan

reasuransi. Diatur dalam Undang-Undang Usaha Perasuransian Nomor 40 Tahun

2014 dan pada undang-undang ini terdapat klasifikasi yang lebih jelas tentang

bagaimana kekayaan perusahaan asuransi tersebut digelapkan, walaupun demikian

salah satu unsur tindak pidana ini yaitu unsur mengalihkan, menjaminkan atau

mengagunkan tanpa hak tetap mengacu pada ketentuan dalam Pasal 374 KUHP.

Tindak pidana penggelapan asuransi dengan unsur-unsur; dengan sengaja dan

melawan hukum; memiliki premi asuransi yang seluruh atau sebagian kepunyaan

orang lain yang ada padanya bukan karena kejahatan. Walaupun tindak pidana ini

diatur dalam Undang-Undang Usaha Perasuransian Nomor 40 Tahun 2014 Pasal


76

76 namun tindak pidana ini tidak dapat dilepaskan dari rumusan tindak pidana

yang secara umum diatur dalam Pasal 374 KUHP.

Tindak pidana penipuan persetujuan asuransi, pada tindak pidana ini diatur dalam

Pasal 381 KUHP, dengan unsur-unsur; dengan jalan tipu muslihat; menyesatkan

penanggung asuransi mengenai keadaan-keadaan yang berhubungan dengan

pertanggungan; sehingga menyetujui perjanjian yang tentu tidak akan disetujuinya

tidak dengan syarat-syarat yang demikian; Undang-undang Nomor 40 Tahun 2014

tentang Usaha Perasuransian tidak ada mengatur tentang tindak pidana penipuan

persetujuan asuransi.Pidana kumulatif (penjara dan denda) dapat diberikan

berdasarkan Pasal 76 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Usaha

Perasuransian dan pidana alternatif diberikan berdasarkan Pasal 374 KUHP.

2. Faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam penanganan tindak pidana

dibidang asuransi adalah:

Kurangnya profesionalisme dan kemampuan aparat penegak hukum dalam

memahami tentang tindak pidana di bidang asuransi sehingga mempengaruhi

kinerja aparat dalam menangani tindak pidana di bidang asuransi.Karena kurang

sempurnanya undang-undang asuransi maka Penuntut Umum mengalami sedikit

hambatan dalam membuat dakwaan dan tuntutan.Hakim dalam memutus perkara

tindak pidana dibidang asuransi mengalami kesulitan karena kekurangpahaman

hakim terhadap undang-undang yang jarang di perkarakan. Masyarakat masih

kurang paham terhadap asuransi itu sendiri sehingga masyarakat tidak menyadari

tindak pidana yang timbul dari asuransi tersebut.


77

Upaya-upaya yang dapat dilakukan sebagai solusi dalam mengfungsikan hukum

pidana pada penanganan tindak pidana penggelapan premi asuransi adalah dengan

meningkatkan integritas sumberdaya manusia berupa kesungguhan aparat penegak

hukum melalui peningkatan pemahaman mereka terhadap Undang-Undang

Nomor 40 Tahun 2014 tentang Usaha Perasuransian.

B. Saran

1. Aparat penegak hukum khususnya hakim untuk lebih ekstra dalam

memahami suatu perundang-undangan yang jarang diperkarakan seperti tindak

pidana dibidang asuransi yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 40

Tahun 2014 tentang Usaha Asuransi, ketidaktersediaan undang-undang yang

kurang lengkap pada perpustakaan pengadilan hendaknya tidak dijadikan kendala

untuk memahami undang-undang itu sendiri karena pada kenyataannya undang-

undang dapat diperoleh dengan mudah. Agar mutu dan kwalitas keputusan hakim

menjadi baik, adakalanya pandangan hakim yang keliru bukan berarti hakim

adalah praktisi hukum dan oleh karenanya tidak perlu membaca, mengkaji,

menganalisa, melakukan sintesa.

2. Aparat penegak hukum diharapkan dapat meningkatkan keprofesionalisme

dalam penangan tindak pidana dibidang asuransi. Serta diharapkan pihak

perusahaan asuransi yang timbul kesadaran sendiri untuk melakukan kerjasama

dengan instansi terkait dalam memperkenalkan produk kepada para calon

tertanggung guna mencegah terulangnya tindak pidana dibidang asuransi.


DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Andrisman, Tri. 2009.HukumPidana, Asas-Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum


Pidana Indonesia. Bandar Lampung: Universitas Lampung.

Arief, Barda Nawawi. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung:
Citra Aditya Bakti.

−−−−−−−−−−−−−−1998.Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan


Pengembangan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti.

−−−−−−−−−−−−−−2003. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung:


Citra Aditya Bakti.

Atmasasmita, Romli.1996. Sistem Peradilan Pidana. Bandung: Bina cipta.

−−−−−−−−−− 2003.Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis. Jakarta: Prenada


Media

Bahri, Syaiful. 2009. Perkembangan Stelsel Pidana di Indonesia. Yogyakarta:


Total Media.

Chazawi, Adami. 2002. HukumPidana (StelselTindakPidana) Teori-Teori


Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana. Jakarta: Raja Grafindo
Persada

Chazawi,Adami. 2006.KejahatanTerhadapHarta Benda. Jakarta: Bayu Media.

Effendi,Erdianto.2011.HukumPidana Indonesia. Bandung: PT.RefikaAditama.

Hamzah, Andi. 2011.Delik-DelikTertentu (SpecialeDelicten)di Dalam KUHP.


Bandung: SinarGrafika.

Huda, Chairul dan Lukman. 2006. Tindak Pidana dalam Bisnis Asuransi. Jakarta:
Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia.
Ilyas, Amir. 2009. Asas-asasHukumPidana (Memahami Tindak Pidana dan
Pertanggungjawaban Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan). Yogyakarta:
Mahakarya Rangkang.

Kansil, C.S.T danKansil, S.T Christine. 2000. KamusIstilah Aneka Hukum.


Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Murtika, I KetutdanPrakoso, Djoko.1992. HukumAsuransi Indonesia. Jakarta:


RinekaCipta.

Lamintang P.A.F. 1997. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Cipta


Aditya Bakti.

Muladi dan Arief, Barda Nawawi. 1992. Bunga Rampa Hukum Pidana.
Semarang: Alumni.

Muhammad, Abdulkadir. 2001. Hukum Asuransi Indonesia. Bandung: Citra


Aditya Bakti.

Moeljatno. 1987. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara

Mashudi dan Ali, Moch Chidir. 1995. Hukum Asuransi. Bandung: Mandar Maju

Prakoso, Djoko dan Imunarso, Agus.1987. Hak Asasi Tersangka dan Peranan
Psikologi dalam Konteks KUHAP. Jakarta: BinaAksara.

Prasetya, Rudi. 1989. Perkembangan Korporasi dalam Proses Modernisasi.


Semarang: UNDIP.

Rahardjo, Satjipto. 2009. Penegakan Hukum. Yogyakarta: Genta Publishing.

Salim, Abbas. 1989.Dasar-DasarAsuransi. Jakarta: Rajawali Pers.

Soekanto, Soerjono. 1983.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,


Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

−−−−−−−−−−−−−−. 1986. Pengantar Penelitian Hukum Pidana. Jakarta: Rineka


Cipta.

Sudarto.1985.Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: Alumni.

−−−−−.1997.Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni.

Theo, Lamintang dan Lamintang, P.A.F. 2013. Kejahatan Terhadap Harta


Kekayaan. Bandung: Sinar Grafika.
Umam, Khotibul.2011.Memahami & Memilih Produk Asuransi. Yogyakarta:
Pustaka Yustisia.

Zainal, danHamzah, Andi. 2001. Bentuk-Bentuk Perwujudan Delik. Jakarta: Bina


Ilmu Jaya.

Peraturan Perundang-Undangan :

Republik Indonesia.Undang-Undang Tentang Perasuransian.Undang-Undang


Nomor 2 Tahun 1992.

Republik Indononeia Undang-Undang Tentang Perasuransian Undang-Undang


Nomor 40 Tahun 2014 (Bab XVI Tentang Ketentuan Pidana)

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Bab XXIV Penggelapan)

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Bagian Ke-3 Wewenang Penuntut


Umum)

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Pasal 246 Tentang Ketentuan Hukum


Asuransi)

Makalah dan Jurnal:

Ernest Runtukahu, S.H., M.H. “Tindak Pidana Penggelapan Premi Asuransi”.


2012.

Lusiana Marianingsih, S.H., M.Hum. “Fungsionalisasi Hukum Pidana Dalam


Menanggulangi Tindak Pidana Keimigrasian Di Wilayah DKI Jakarta”.
1998.

Rizqia Gita Astiriani, S.H., M.H. “Pelaksanaan Penyidikan Terhadap Pengajuan


Klaim Asuransi”. 2013.

Internet :

https://media.neliti.com/media/publications/45391-ID-penjelasan-hukum-
restatement-tentang-bukti-permulaan-yang-cukup.pdf

https://imamrusly.wordpress.com/2012/04/11/kejahatan-terhadap-harta-kekayaan-
pencurian-dan-penggelapan/

http://library.um.ac.id/free-contents/index.php/buku/detail/pengantar-ilmu-
hukum-dan-tata-hukum-indonesia-c-s-t-kansil-21386.html
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/50576/3/Chapter%2520II.pdf+&c
d=10&hl=id&ct=clnk&gl=id

http://wikipedia.com,

http://herybastyani.blogspot.co.id/2013/06/analisis-kasus-penggelapan.html

http://repository.unhas.ac.id/123456789/23648

Anda mungkin juga menyukai