Anda di halaman 1dari 29

PROPOSAL PENULISAN HUKUM

PROGRAM SARJANA (S1)

TELAAH KONSEPTUAL OFFICIUM NOBILE PROFESI HAKIM

(Analisis Pertanggungjawaban Hakim Pelaku Pelanggaran Kode Etik


Berpotensi Pidana)

Diajukan Oleh:

Alfiyatun Nikmah

11000119130295

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2022
USULAN PENELITIAN PENULISAN HUKUM PROGRAM SARJANA

A. JUDUL PENULISAN HUKUM:


Telaah Konseptual Officium nobile Profesi Hakim (Analisis
Pertanggungjawaban Hakim Pelaku Pelanggaran Kode Etik Berpotensi
Pidana)
B. PELAKSANAAN PENELITIAN

1. Nama Mahasiswa : Alfiyatun Nikmah


2. Nomor Induk Mahasiswa : 11000119130295
3. Jumlah SKS : 138
4. IP Kumulatif : 3.86
5. Nilai MK-MPPH :A
C. DOSEN PEMBIMBING PENULISAN HUKUM

PEMBIMBING I : Sukinta,S.H., M.Hum.


PEMBIMBING II : Lapon Tukan Leonard, S.H., M.A.
D. RUANG LINGKUP/BIDANG MINAT :
Hukum Acara
E. LATAR BELAKANG PENELITIAN

Indonesia sebagai negara hukum yang meletakan pilar utama dalam proses
penegakan hukum dan keadilannya pada pengadilan. Persyaratan mutlak
(conditio sine qua non) sebuah negara dikatakan sebagai negara yang
berdasarkan hukum salah satunya adalah memiliki pengadilan yang mandiri,
netral, kompeten, transparan, akuntabel dan berwibawa, yang mampu
menegakan wibawa hukum, pengayoman hukum, kepastian dan keadilan
hukum. Prasyarat tinggginya martabat suatu negara jugalah ditentukan oleh
tegaknya keadilan dalam suatu negara. Hakim sebagai representasi keadilan
atau figure sentral dalam proses peradilan di suatu negara tentunya menjadi
dasar tegak atau tidaknya martabat dan integritas suatu bangsa. Oleh karena

1
itu, guna tegaknya konsep dasar keadilan sebagai sebuah konsekuensi negara
hukum, seorang hakim haruslah tunduk pada peraturan perundang-undangan
yang berlaku dan kode etik yang ada. Kepatuhan hakim akan perraturan
perundang-undangan dan kode etik yang ada merupakan salah satu upaya
yang dilakukan hakim guna menjaga sikap luhur dan integritasnya dalam
menjalankan profesi maupun berhubungan dengan masyarakat diluar
kepentingan dinasnya. Iskandar Kamil dengan mengutip pendapat Purwoto S.
Gandasubrata menyatakan, etik (etika) merupakan falsafah moral untuk
mendapat petunjuk tentang perilaku yang baik, berupa nilai-nilai luhur dan
aturan-aturan pergaulan yang baik, dalam hidup bermasyarakat dan
kehidupan.1 Etika sebagai apa yang seharusnya dilakukan oleh masyarakat
atau pihak pengemban profesi dalam menjalankan profesinya. Kode etik
(etika) profesi tentunya perlu dituangkan dalam aturan yang bersifat normatif,
tertulis, dan memiliki kekuatan hukum serta menjadi bagian dari hukum
positif.2

Menurut pemahaman yuridis yang sempit, sebagaimana tertuang dalam


Keputusan bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi
Yudisial Republik Indonesia Nomor:
047/KMA/SKB/IV/2009-02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH), hakim yang berbudi pekerti luhur dapat
menunjukan bahwa profesi hakim adalah suatu kemuliaan (officium nobile)
yang mendasarkan pelaksanaan profesinya kepada kode etik dan perundang-
undangan.3 Selain itu, terdapat peraturan lain yang mengatur tentang kode etik
hakim seperti Peraturan Bersama tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan

1
Wildan Suyuthi Mustofa, Kode Etik Hakim, (Jakarta: Kencana, 2013), halaman. 5
2
Kelik Pramudya dan Ananto Widiatmoko, Pedoman Etika Profesi Aparat Hukum Hakim, Jaksa, Polisi,
Notaris, dan Advokat, (Jakarta: PT Suka Buku, 2010), hlm. 10.
3
Komisi Yudisial, Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor
047/KMA/SKB/IV/2009 02/SKB/P.KY/IV/2009 Tenang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim,
(Jakarta: Booklet SKB Kode Etik, 2014), hlm. 5

2
Pedoman Perilaku Hakim, Peraturan Bersama tentang Tata Cara Pemeriksaan
Bersama, dan Peraturan Bersama tentang Tata Cara Pembentukan, Tata Kerja,
dan Tata Cara Pengambilan Keputusan Majelis Kehormatan yang disusun
tahun 2012.4

Selain dilandaskan pada kode etik profesi hakim, hakim dalam menjalankan
tugas dan profesinya jugalah harus tunduk dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku antara lain: (1) Pasal 33 Undang-Undang No. 48
Tahun 2009 Tentang Kekuasaan kehaiman; (2) Pasal 13 ayat (1) Undang-
Undang No. 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama; dan (3) Pasal 13B Undang-
Undang No. 49 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
No. 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum.

Hakim sebagai kongkritisasi hukum dan keadilan yang penggambarannya


bersifat abstrak yang menggambarkan Hakim sebagai wakil Tuhan sekaligus
profesi terhormat (officium nobile).5 Hal ini seharusnya menjadikan hakim
sebagai contoh masyarakat yang senantiasa menempatkan etika dan moral
dalam kedudukan tertinggi. Namun, sepanjang triwulan pertama tahun 2022
Komisi Yudisial telah menerima 385 laporan masyarakat terkait dugaan
pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim. 6Pelanggaran kode etik
hakim saat ini bahkan sudah banyak yang berpotensi maupun bersentuhan
dengan pidana.

Salah satu kasus pelanggaran kode etik hakim yang berpotensi pidana
adalah kasus Hakim Patrialis Akbar seorang Hakim Mahkamah Konstitusi
4
Nur Kautsar Hasan; Nasrun Hipan; Hardianto Djanggih, “Efektivitas Pengawasan Komisi Yudisial
dalam Mengawasi Kode Etik Profesi Hakim”, Jurnal Kertha Patrika, (2018), halaman. 145
5
Ratna Sayyida dan Suwari Akhmaddhian, “Sanksi Hukum Terhadap Hakim Adhoc Pelanggar Kode
Etik Profesi Hakim”, Journal of Multidisiplinary Studies,(Desember,2020), halaman. 69
6
Komisi Yudisial, KY Terima 385 Laporan Masyarakat Dugaan Pelanggaran KEPPH di Triwulan Pertama
Tahun 2022, https://www.komisiyudisial.go.id/frontend/pers_release_detail/242/ky-terima-laporan-
masyarakat-dugaan-pelanggaran-kepph-di-triwulan-pertama-tahun#. Diakses pada 13 Juni 2022.

3
MK Negara Republik Indonesia yang ditangkap dan diadili atas kasus dugaan
penerimaan suap perkara uji materiil Undang-undang Nomor 41 Tahun 2014
tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Pada 25 hingga 26 Januari 2017,
Patrialis Akbar ditankap bersama rekannya Kamaludin (KM) sebagai
perantara dan dua pihak swasta yaitu Basuki Hariman beserta sekretarisnya
NG Fenny. Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta
menjatuhkan vonis 8 tahun penjara dan denda 300 juta yang jikalau tidak
dibayar akan diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan. Patrialis Akbar
juga dijatuhi pidana pengganti sesuai dengan jumlah uang suap yang
diterimnya senilai 10.000 dollar Amerika dan Rp. 4.043.195 yang jikalau
tidak mampu membayar uang pengganti maka akan diganti dengan pidana
penjara selama 6 bulan7. Tetapi, dalam Putusan PK Nomor 156
PK/Pid.Sus/2019, hukuman Patrialis Akbar dipangkas oleh Mahkamah Agung
menjad pidana penjara selama 7 tahun dan pidana denda sebesar Rp.
300.000.000,- dengan ketentuan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar
maka akan diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan, serta penjatuhan
pidana tambahan guna membayar uang pengganti sejumlah Rp. 4.043.195 dan
US$ 10,000.8Pelanggaran kode etik profesi yang dilakukan oleh hakim
tersebut jugalah telah mencenderai konsep hakim sebagai profesi terhormat
(officium nobile).

Berdasarkan latar belakang yang sudah tertulis diatas, maka menjadi


menarik bagi peneliti untuk mengangkat penelitian dengan judul “TELAAH
KONSEPTUAL OFFICIUM NOBILE PROFESI HAKIM (Analisis
Pertanggungjawaban Hakim Pelaku Pelanggaran Kode Etik Berpotensi
Pidana)”

7
Arie Dwi Satrio, Kronologi OTT Patrialis Akbar, Berawal dari Lapangan Golf,
https://nasional.okezone.com/read/2017/01/26/337/1602167/kronologi-ott-patrialis-akbar-berawal-
dari-lapangan-golf. Diakses pada 29 September 2022.
8
Putusan Mahkamah Agung Nomor 156 PK/Pid.Sus/2019, halaman 53-54.

4
F. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, rumusan masalah yang
akan diteliti oleh peneliti adalah:
1. Bagaimana konsep officium nobile profesi hakim dalam kode etik profesi?
2. Bagaimana pertanggungjawaban hakim sebagai pelaku pelanggaran kode
etik berpotensi pidana dihubungkan dengan konsep officium nobile?
G. TUJUAN PENELITIAN

Adapun tujuan penelitian yang hendak peneliti capai dalam penelitian


berjudul TELAAH KONSEPTUAL OFFICIUM NOBILE PROFESI HAKIM
(Analisis Pertanggungjawaban Hakim Pelaku Pelanggaran Kode Etik
Berpotensi Pidana) adalah memperoleh pengetahuan empiris kaitannya:

1. Untuk mengetahui konsep officium nobile profesi hakim dalam kode etik
profesi.
2. Untuk mengetahui pertanggungjawaban hakim sebagai pelaku
pelanggaran kode etik berpotensi pidana dihubungkan dengan konsep
officium nobile.
H. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan berguna sebagai sumber ilmu
pengetahuan dan referensi yang relevan bagi penulis khususnya dan
masyarakat pada umumnya sehingga mampu berkontribusi dalam
menambah wawasan dalam bidang hukum acara.
2. Manfaat Praktis
Besar harapan peneliti jikalau penelitian ini nantinya dapat memberikan
manfaat praktis sebagai berikut:
a. Diharapkan hasil yang didapatkan dari penelitian ini dapat berfungsi
sebagai pedoman, literatur dan sumbangan pemikiran maupun saran

5
baru bagi pemerintah guna pembentukan regulasi mengenai
pelanggaran prinsip officium nobile profesi hakim. Hal ini
dikarenakan, regulasi yang ada pada saat ini belum cukup kuat guna
meminimalisir pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh aparat
penegak hukum sendiri sehingga masih banyaknya pelanggaran-
pelanggaran yang dilakukan oleh hakim selaku aparat penegak hukum.
b. Memberikan gambaran kepada masyarakat terakit prinsip officium
nobile profesi hakim serta pertanggungjawaban hakim pelaku
pelanggaran kode etik berpotensi pidana. Harapannya, dengan adanya
penelitian ini, masyarakat menjadi paham mengenai konsekuensi apa
yang akan ditanggung oleh hakim pelaku pelanggaran serta bagaimana
upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah guna mengatasi dan
mensikapi hal demikian.
I. PENELAAHAN/STUDI PUSTAKA/KERANGKA PEMIKIRAN
1. Tinjauan Pustaka
1) Konsepsi Officium nobile
Hakim sebagai aparat penegak hukum yang memegang peranan
penting dalam terlaksanya sistem peradilan yang adil bagi setiap
pihak. Hakim merupakan representasi nyata Tuhan melalui
pelaksanaan berbagai peraturan perundang-undangan. Oleh karenanya,
hakim adalah profesi yang mulia (officium nobile). Selayaknya sebagai
officium nobile, sudah seharusnya hakim merupakan pelayanan pada
manusia dan kemanusiaan yang menomorsatukan kepentingan
masyarakat itu sendiri. Officium nobile sendiri berarti kewajiban yang
mulai atau terpandang dalam melaksanakan profesi atau pekerjaan.
Kata ini juga memiliki kemiripan dengan no blesse oblige yaitu
kewajiban perilaku yang terhormat (honorable), murah hati
(generous), dan bertanggung jawab (responsible) yang dimiliki oleh
mereka yang inigin dimuliakan). Hal ini dapat disimpulkan jikalau

6
profesi seorang hakim bukan hanya harus jujur dan memiliki moral
serta integritas yang tinggi, tetapi mereka haruslah memperoleh
kepercayaan masyarakat yang tinggi.
Theo Huijbers menjelaskan beberapa kriteria yang harus dimiliki
oleh para profesional sebagai berikut:9
1. Sikap kemanusiaan, agar tidak menanggapi hukum hanya melalui
hal formal tetapi selalu mendahulukan hukum secara material
dengan mengutamakan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
2. Sikap keadilan guna menentukan apa saja yang layak bagi
masyarakat agar terjamin rasa keadilannya;
3. Sikap kepatuhan dalam mempertimbangkan apa yang sungguh-
sungguh adil dalam suatu perkara;
4. Sikap jujur yang dimaksudkan supaya profesi tersebut tidak
terjerumus kedalam mafia peradilan.
Kriteria ini jugalah sangat perlu diterapkan dalam profesi hakim
yang memerlukan tanggung jawab tinggi dengan menaati kode etik
profesi dan hukum positif yang ada.Kriteria profesional ini haruslah
dimiliki oleh hakim juga kaitannya dengan terjaganya interdependensi
seorang hakim. Hal ini dikarenakan, integritas seorang hakim
merupakan fondasi utama bagi tegaknya suatu keadilan.
2) Profesi Hakim sebagai Penegak Hukum
Profesi hakim yang memiliki kedudukan khusus dalam upaya
perlindungan kepentingan hukum bagi para pihak yang berperkara
guna mendapatkan keadilan yang dalam pelaksanaan profesinya bukan
hanya ditekankan pada peraturan hukum yang berlaku tetapi juga pada
kode etik, moral, hati nurani maupun agama.

9
Theo Huijbers, Filsafat Hukum, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), halaman 145, lihat juga
Notohamidjoyo, Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1975), halaman 52-55).

7
Hakim selalu dituntut untuk memelihara integritas dan
independensinya dalam menjalankan fungsinya di lembaga peradilan.
Selain itu, hakim juga dituntut untuk taat terhadap peraturan hukum
dan kode etik profesi yang berlaku. Bertenz dalam bukunya yang
berjudul etika mengemukakan jikalau terdapat dua pengertian etika
yaitu sebagai praktis dan sebagai refleksi. Sebagai praktis, etika berati
nilai-nilai dan norma-norma moral yang baik yang dipraktikkan atau
justru tidak dipraktikan, walaupun seharusnya dipraktikkan. Etika
sebagai praktis sama artinya dengan moral atau moralitas tentang apa
yang harus dan tidak harus dilakukan, apa yang pantas dan tidak
pantas dilakukan dan sebagainya. Sedangkan etika sebagai refleksi
adalah etika sebagai pemikiran moral.10 Oleh karena itu, etika
merupakan sistem nilai dan norma moral yang menjadi dasar
bertingkah laku setiap individu salah satunya hakim dalam
menjalankan profesinya.
Hakim merupakan aparat penegak hukum dan pejabat peradilan
yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk mengadili atau
memutuskan suatu perkara. Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor
48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman mendefiniskan hakim
adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan
yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan perdailan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang
berada dalam lingkunga peradilan tersebut.11 Tugas hakim dalam
melaksanakan dan menggali keadilan guna tercapainya peradilan yang
dikehendaki oleh undang-undang membuat hakim harus menjunjung
tinggi etika profesi. Profesi hakim memilki etika yang menciptakan

10
K. Bertenz, Etika, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007), halaman. 22.
11
Pasal 5 Undang-undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

8
disiplin tata nilai dan moral hakim dalam menjalankan profesinya
maupun dalam melaksanakan hubungan dengan masyarakat diluar
tugas kedinasan.
Hakim memiliki tugas untuk menegakkan hukum dan keadilan
atas dasar kebenaran dan kejujuran yang bertanggung jawab kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena beratnya tugas hakim, sudah
semestinya hakim haruslah memiliki sikap dan sifat yang dapat
menjamin terlaksananya semua kewajiban tersebut. Peraturan
perundang-undangan yang berlaku telah mengatur syarat yang harus
dipenuhi hakim dalam menjalankan tanggung jawabnya sebagai
penegak keadilan dan hukum di Indonesia antara lain:
a. Pasal 33 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
kehakiman yang menjelaskan jikalau hakim harus memiliki
integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, dan negawaran
yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan.
b. Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 Tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 7 tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama yaitu hakim wajib bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa; setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, berwibawa, jujur, adil,
dan berkelakuan tidak tercela.
c. Pasal 13B Undang-Undang No. 49 Tahun 2009 Tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 Tentang
Peradilan Umum yaitu hakim wajib memiliki inetgritas dan
kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, bertakwa,
berakhlak mulia, serta berpengalaman di bidang hukum, wajib
menaati kode etik dan pedoman perilaku.

9
Oleh karenanya berdasarkan beberapa uraian dan pasal-pasal yang
telah dikemukakan diatas, profesi hakim sebagai penegak hukum
kapanpun dan dimanapun selain diikat oleh aturan hukum juga diikat
oleh aturan etik. Aturan etik adalah aturan mengenai moral atau yang
berkaitan dengan sikap moral. Berbeda dengan hukum yang
merupakan aspek eksternal yang umumnya berkaitan dengan adil atau
tidak adil, moral merupakan aspek internal yang umumnya berkaitan
dengan benar atau salah, apa yang pantas dan tidak pantas, dan
sebagainya.

3) Kode Etik
A. Etika, Moral, dan Hukum
1) Pengertian
Hukum sebagai sebuah aturan maupun perintah yang
tumbuh dan berkembang disuatu negara, yang mana jikalau
dilanggar dapat mengakibatkan sanksi bagi para pelanggarnya.
Satjipto Rahardjo dalam pandangannya mengemukakan jikalau
norma hukum adalah norma yang mengajak masyarakat untuk
mencapai cita-cita serta keadaan tertentu, tetapi tanpa
mengabaikan dunia kenyataa.12 Hal ini diartikan, norma hukum
selalu berusaha membawa kita kepada hal apa yang harus kita
lakukan, bukan hal apa yang pasti akan kita lakukan.Paul
Scholten yang dikutip oleh Salim dan Erlies Septiana Nubani
dalam bukunya yang berjudul Pengantar Ilmu Hukum
Intruduction to Legal Science menyajikan pengertian hukum
sebagai suatu keseluruhan aturan-aturan dan kewenangan-
kewenangan yang tersusun secara logikal (suatu bangunan
logikal), walaupun terus menerus berubah dan tidak pernah

12
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya, 2014), halaman 27.

10
tertutup pada suatu masyarakat dalam suatu waktu
tertentu.13Hukum disini dimaknai sebagai sebuah parameter
yang nantinya akan mengarahkan masyarakat kearah yang
masyarakat itu sendiri inginkan yaitu ketertiban.
Secara etimologis, kata etika berasal dari bahasa Yunani,
yaitu ethos sebagai bentuk tunggal yang bermakna watak
kesusilaan atau adat. Kemudian, dalam bentuk jamaknya
terbentuklah kata ta etha yang berarti adat kebiasaan yang
membentuk istilah etika.14 Adapun, moral itu sendiri secara
kebahasaan berasal dari Bahasa Latin yang merupakan bentuk
jamak dari perkataan mos yang berarti adat kebiasaan. Istilah
moral biasanya digunakan guna menentukan batas-batas suatu
perbuatan, kelakuan, sifat, dan peranggai dinyatakan salah,
benar, baik, buruk, layak, atau tidak layak, patut maupun tidak
patut. Moral jugalah dipahami sebagai (1) prinsip hidup yang
berkenaan dengan benar dan salah, baik dan buruk,(2)
kemampuan untuk memahami perbedaan benar dan salah(3)
ajaran atau gambaran tentang tingkah laku yang baik.15
Istilah hukum, moral, dan etika yang telah dijabarakan
diatas dikaitkan dengan etika profesi hukum yang khusunya
terkait dengan objek penelitian skripsi ini yang memiliki
hubungan yang sangat erat berkenaan dengan perilaku hakim
sebagai salah satu aparat penegak hukum yang dalam
keberjalanan profesinya selalu didasarkan pada etika dan
moral. Seorang hakim sebagai pengemban amanat untuk
13
Salim; Erlies Septiana Nurbani, Pengantar Ilmu Hukum Introduction to Legal Science, (Depok:
Rajawali Pers, 2019), halaman. 12.
14
Wiryanto, Etik Hakim Konstitusi Rekonstruksi dan Evolusi Sistem Pengawasan, (Depok: RajaGrafindo
Persada, 2019), halaman. 79.
15
Abdul Wahid; Moh. Muhibbin, Etika Profesi Hukum Rekontruksi Citra Peradilan di Indonesia,
(Malang: Bayumedia Publishing, 2009), halaman. 33.

11
menegakan keadilan seyogyanya harus selalu memegang teguh
etika dan moral.
2) Etika sebagai Nilai Moral
Profesi hukum sebagai profesi yang menuntut
pengembanan atas nilai moral dalam pelaksanaannya. Nilai
moral sebagai nilai dasar yang menjembatani dan mengarahkan
profesi hukum tersebut pada perbuatan luhur. Oleh karenanya,
setiap profesi hukum dituntut memiliki nilai moral yang kuat.
Menurut Franz Magnis-Susesno yang dikutip Abdul Kadir
Muhammad dan dikutip ulang Wiryanto, mengemukakan lima
kriteria nilai moral yang kuat yang mendasarkan kepribadian
profesional hukum yaitu:
a. Kejujuran adalah dasar utama. Tanpa kejujuran suatu
profesi hukum akan dianggap mengingkari profesinya,
sebab dia akan menjadi munafik, licik, dan penuh tipu diri.
Dalam kejujuran terdapat dua sikap yaitu Pertama, sikap
terbuka yang merupakaan sikap kerelaan dalam melakukan
pelayanan baik itu secara berbayar maupun secara sukarela.
Kedua, sikap wajar sebagai sikap apa adanya, tidak
berlebihan, dan tidak tamak.
b. Autentik yang berarti menunjukan kepribadian diri secara
apa adanya atau sebenarnya. Autentik pribadi profesional
hukum yang meliputi a) tidak menyalahgunakan
wewenang, b) tidak melakukan perbuatan yang
merendahkan martabat; c) mendahulukan kepentingan klien
; d) berani berinisiatif secara bijaksana; e) tidak
mengisolasi diri dari pergaulan sosial. 16

16
Ibid, halaman. 83.

12
c. Bertanggung jawab dimaksudkan dalam menjalankan
tugasnya seorang profesional haruslah bertanggung jawab,
yang berarti a)kesediaan melakukan dengan sebaik
mungkin tugas apa saja yang termasuk lingkup
profesinya;b) bertindak secara profesional apapun perkara
yang sedang ditangani;c)Kesediaan memberikan laporan
pertanggungjawaban atas pelaksanaan kewajibannya.
d. Kemandirian moral yang berarti tidak mudah terpengaruh
oleh moral lain di sekitarnya. Artinya, pendapatnya
tidaklah dapat dibeli oleh pendapat mayoritas dan tidak
terpengaruh ooleh pertimbangan untung rugi (pamrih),
menyesuaikan diri dengan nilai kesusilaan dan agama.
e. Keberanian moral adalah kesetiaan terhadap suatu hati
nurani yang menyatakan kesediaan untuk menanggung
resiko konflik.

Etika, moral, dan hukum sesungguhnya memiliki


keterikatan yang tidak terpisahkan satu dan yang lainnya. Etika
yang lebih bermuara kepada teori sedangkan moral yang
bermuara kepada praktik. Etika yang dekat dengan das sollen
dan moral itu sendiri yang dekat dengan das sein. Etika
menyelidiki, memikirkan, dan mempertimbangkan tentang hal
yang baik dan yang buruk, sementara moral menyatakan
ukuran baik tentang tindakan manusia dalam suatu kesatuan
sosial tertentu. Pada pokoknya moral tetaplah buah dari sebuah
etika, sebagai muara yang terbentuk dari etika. Adapun etika
dan hukum jugalah keterpaduan yang selalu berjalan
beriringan. Etika sebagai das sollen yang artinya segala sesuatu

13
yang seharusnya dilakukan. Hal inilah yang tidak lain
merupakan penggarisan dari hukum itu sendiri. 17

3) Sanksi Etika dan Hukum


Sanksi sebagai buah dari apa yang seharusnya didapatkan
oleh para pihak yang telah melakukan pelanggaran terhadap
norma dan nilai yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat. Sanksi muncul sebagai akibat dari adanya
tindakan intervensi yang dilakukan oleh masyarakat terhadap
normativitas hukum. Masyarakat cenderung akan membaca
dan memahami tentang apa yang diinginkan oleh sebuah
peraturan, tetapi dalam praktiknya cenderung apa yang
diharapkan oleh peraturan itu tidak terlaksana dengan baik. Hal
inilah yang dinamakan intervensi hukum yang berdampak pada
pelanggaran hukum yang bermuara pada sanksi. Satjipto
Rahardjo dalam bukunya membedah hukum progresif
mengemukakan jikalau hukum itu bukan hanya tentang urusan
(a business of rules) tetapi juga perilaku (matter of behaviour).
Menurutnya, orang membaca peraturan dan berpendapat bahwa
orang harus bertindak begini atau begitu, tetapi yang terjadi
kenyataannya berbeda atau tidak sama persis seperti dengan
yang dimengerti oleh banyak orang, artinya masyarakat disini
telah melakukan intervensi.18
Sanksi hukum sebagai sanksi yang dikenakan dengan
kekuasaan yang bersifat memaksa atas pelaku sebagai imbalan
atau sebuah ganjaran atas perbuatan atau tindakan yang
dilakukan oleh pelaku yang mana tindakannya cenderung tidak

17
Muhamad Erwin, Filsafat Hukum Refleksi Kritis Terhadap Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012),
halaman 82.
18
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: Kompas, 2006), halaman 4.

14
dikehendaki atau tidak diterima dalam kehidupan suatu
organisasi kekuasaan atau sesuatu yang dinilai melanggar
norma hukum yang berlaku.19 Sanksi juga memiliki kemiripan
arti dengan straf yang berarti hukuman. Mulyatno sebagaimana
dikutip ulang oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief dalam
bukunya Teori-Teori dan Kebijakan Pidana menyatakan jikalau
hukuman adalah hasil atau akibat dari penerapan hukum tadi
yang maknanya lebih luas daripada pidana, sebab mencangkup
juga keputusan hakim dalam lapangan hukum perdata.20
Sedangkan, untuk sanksi etika sendiri cenderung lebih
konkret sebab umumnya langsung terbentuk dalam persepsi
masyarakat yang bersangkutan. Umumnya, sanksi etika akan
mengarah pada sifat posistif dan negatif. Sanksi positif dapat
timbul dalam bentuk pujian, sanjungan, timbulnya perasaan
bahagia, puas, rasa hormat dan bahkan mengarah pada perilaku
ketundukukan kepada yang bersangkutan. Sedangkan sanksi
negatif dapat timbul dalam bentuk hinaan, cacian, celaan,
penggunjingan, kebenciaan, kekecewaan bahkan hingga
pengasingan dalam masyarakat yang diberikan baik melalui
teguran maupun peringatan.
B. Profesi Hukum
1) Pengertian
Profesi merupakan bidang pekerjaan yang dilandasi oleh
pendidikan keahlian, ketrampilan, dan kejuruan tertentu.
Liliana Tedjosaputro dalam bukunya mengemukakan terdapat
lima kriteria agar suatu pekerjaan dapat dikategorikan sebagia

19
Jimmly Asshiddiqie, Peradilan Etik dan Etika Konstitusi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), halaman. 83.
20
Muladi; Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: PT Alumni, 2005),
halaman 1.

15
sebuah profesi yaitu (1)pengetahuan; (2)penerapan keahlian;
(3) tanggung jawab sosial (competence of application); (4) self
control; dan (5) pengakuan oleh masyarakat (sosil sanction).21
Profesi hukum pada hakeknya jugalah temasuk bagian dari
profesi itu sendiri, hal ini dikarenakan menjadi seorang profesi
hukum haruslah memiliki ketrampilan yang mumpuni dalam
bidang hukum. Selain melandaskan pengetahuan dan keahlian
semata dalam menjalankan suatu profesi, seseorang juga harus
melandaskan pada nilai-nilai moral yang ada. Nilai moral pada
dasarnya merupakan dasar bagi terlaksananya profesi luhur
(officium nobile). Suatu profesi dapat dikatakan luhur jikalau
minimal didalamnya terdapat dua tuntutan utama yaitu (1)
mengutamakan kepentingan orang yang dibantu; (2) mengabdi
pada tuntutan luhur profesinya.
Magnis Susesno sebagaimana dikutip oleh Wiryanto
dalam bukunya menyebutkan terdapat lima kriteria moral
profesi hukum yaitu:
a. Kejujuran adalah dasar utama. Tanpa kejujuran suatu
profesi hukum akan dianggap mengingkari profesinya,
sebab dia akan menjadi munafik, licik, dan penuh tipu diri.
Dalam kejujuran terdapat dua sikap yaitu sikap terbuka
yang merupakaan sikap kerelaan dalam melakukan
pelayanan baik itu secara berbayar maupun secraa sukarela.
Kedua, sikap wajar sebagai sikap apa adanya, tidak
berlebihan, dan tidak tamak.
b. Autentik yang berarti menunjukan kepribadian diri secara
apa adanya atau sebenarnya. Autentik pribadi profesional
hukum yang meliputi a) tidak menyalahgunakan
21
Liliana Tedjosaputro, Etika Profesi dan Profesi Hukum, (Semarang: Aneka Ilmu, 2003), halaman. 7.

16
wewenang, b) tidak melakukan perbuatan yang
merendahkan martabat; c) mendahulukan kepentingan klien
; d) berani berinisiatif secara bijaksana; e) tidak
mengisolasi diri dari pergaulan sosial. 22
c. Bertanggung jawab dimaksudkan dalam menjalankan
tugasnya seorang profesional haruslah bertanggung jawab,
yang berarti a) kesediaan melakukan dengan sebaik
mungkin tugas apa saja yang termasuk lingkup profesinya;
b) bertindak secara profesional apapun perkara yang sedang
ditangani; c) Kesediaan memberikan laporan
pertanggungjawaban atas pelaksanaan kewajibannya.
d. Kemandirian moral yang berarti tidak mudah terpengaruh
oleh moral lain di sekitarnya. Artinya, pendapatnya
tidaklah dapat dibeli oleh pendapat mayoritas dan tidak
terpengaruh ooleh pertimbangan untung rugi (pamrih),
menyesuaikan diri dengan nilai kesusilaan dan agama.
e. Keberanian moral adalah kesetiaan terhadap suatu hati
nurani yang menyatakan kesediaan untuk menanggung
resiko konflik.
C. Kode Etik Profesi Hakim
Etika merupakan aspek yang mengatur tentang hal apa saja
yang seharusnya dan tidak seharusnya dilakukan oleh masyarakat,
begitupula seorang hakim. Hakim sebagai profesi hukum
dimanapun dan kapapun diikat oleh aturan etik atau kode etik
profesi baik dalam menjalankan tugas kedinasaan maupun dalam
kaitannya berhadapan dengan masyarakat. Kode etik hakim (code
of ethics atau code of conduct) adalah aturan memelihara,
menegakkan, dan mempertahankan disiplin profesi hakim.
22
Ibid, halaman. 83.

17
4) Pidana
Pidana merupakan penderitaan yang dibebankan kepada para
pelaku pelanggaran hukum terhadap peraturan perundang-undangan
yang memiliki konsekuensi pidana. Pidana ialah penderitaan yang
sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan ynag
memenuhi syarat-syarat tertentu itu. 23
Satocid Kartanegara yang
kemudian dikutip oleh Muhamad Iqbal, Suhendar, dan Ali Imron
dalam tulisannya yang berjudul Hukum Pidana mendefinisikan hukum
pidana sebagai sejumlah peraturan yang merupakan bagian dari hukum
positif yang mengandung larangan-larangan dan apa yang boleh dan
hal tersebut haruslah ditentukan oleh Negara dan Kekuasaan lainnya
yang memiliki kewenangan guna menentukan berkaitan dengan
peraturan pidana, dan apabila hal tersebut baik secara sengaja atau
karena kealpaan dilanggar maka disiniliah muncul hak negara utuk
melakukan tuntutan untuk menjatuhkan pidana dan melaksanakan
pidana.
Kemudian, pidana itu sendiri mengandung unsur-unsur atau ciri-
ciri sebagai berikut:
a. Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan
penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat laing yang tidak
menyenangkan;
b. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang
mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang);
c. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan
tindak pidana menurut undang-undang.24

23
Sudarto, Hukum Pidana 1 Edisi Revisi, (Semarang: Yayasan Sudarto, 2018), halaman. 11.
24
Muladi; Barda Nawawi Arief, Op.cit., halaman 4.

18
Pada pokoknya dapatlah disimpulkan jikalau pidana sebagai
sebuah penderitaan yang dibebankan kepada orang yang melakukan
perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu itu.
2. Daftar Pustaka Sementara
a) Buku-Buku

Asshiddiqie, Jimmly. 2014. Peradilan Etik dan Etika Konstitusi.


Jakarta: Sinar Grafika.

Bertenz, K. 2007. Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Erwin, Muhamad. 2012. Filsafat Hukum Refleksi Kritis Terhadap


Hukum. Jakarta: Rajawali Pers.

Huijbers, Theo. 1990. Filsafat Hukum. Yogyakarta: Kanisius.

Hasan, Iqbal. 2002. Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Jakarta:


Ghalia Indonesia.

Muladi, and Barda Nawawi Arief. 2005. Teori-Teori dan Kebijakan


Pidana. Bandung: PT Alumni.

Mustofa, Wildan Suyuthi. 2013. Kode Etik Hakim. Jakarta: Kencana.

Pramudya, Kelik, and Ananto Widiatmoko. 2010. Pedoman Etika


Profesi Aparat Hukum Hakim, Jaksa, Polisi, Notaris, dan
Advokat. Jakarta: PT Suka Buku.

Rahardjo, Satjipto. 2014. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya.

—. 2006. Membedah Hukum Progresif. Jakarta: Kompas.

Salim, and Erlies Septiana Nurbani. 2019. Pengantar Ilmu Hukum


Introduction to Legal Science. Depok: Rajawali Pers.

19
Sudarto. 2018. Hukum Pidana 1 Edisi Revisi. Semarang: Yayasan
Sudarto.

Tedjosaputro, Liliana. 2003. Etika Profesi dan Profesi Hukum.


Semarang: Aneka Ilmu.

Wahid, Abdul, and Moh Muhibbin. 2009. Etika Profesi Hukum


Rekontruksi Citra Peradilan di Indonesia. Malang:
Banyumedia Publishing.

Wiryanto. 2019. Etik Hakim Konstitusi Rekonstruksi dan Evolusi


Sistem Pengawasan. Depok: RajaGrafindo Persada.

b) Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman
Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Undang-Undang No. 49 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum.
Keputusan bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan
Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor:
047/KMA/SKB/IV/2009-02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik
dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH)
c) Putusan Pengadilan
Putusan Mahkamah Agung Nomor 156 PK/Pid.Sus/2019 atas nama
terdakwa Patrialis Akbar
d) Makalah, Artikel, dan/atau Jurnal

Hasan, Nur Kautsar, Nasrun Hipan, and Hardianto Djanggih. 2018.


"Efektivitas Pengawasan Komisi Yudisial dalam Mengawasi
Kode Etik Profesi Hakim." Jurnal Kertha Patrika.

20
Sayyida, Ratna, and Suwari Akhmaddhian. 2020. "Sanksi Hukum
Terhadap Hakim Adhoc Pelanggar Kode Etik Profesi Hakim."
Journal of Multidisiplinary Studies.

e) Skripsi/Tesis/Disertasi

Ningrum, Tyas Santika. 2012. "Penyelesaian Kredit Bermasalah dalam


Perjanjian Kredit Ekspor Bank Jateng di Semarang."
Universitas Diponegoro. Skripsi Sarjana Hukum. Semarang.

f) Website

Komisi Yudisial. 2022. Judicial Commission The Republic Of


Indonesia Guardian of Judge Honor. April 1. Accessed Juni
2022, 13.
https://www.komisiyudisial.go.id/frontend/pers_release_detail/
242/ky-terima-laporan-masyarakat-dugaan-pelanggaran-kepph-
di-triwulan-pertama-tahun#.

Satrio, Arie Dwi. 2017. okenews. Januari 26. Accessed September 29,
2022.
https://nasional.okezone.com/read/2017/01/26/337/1602167/kr
onologi-ott-patrialis-akbar-berawal-dari-lapangan-golf.

Tim Deepublish. n.d. "Deepublish." Deepublish. Accessed Juni 5,


2022. https://penerbitbukudeepublish.com/teknik-
pengumpulan-data/.

J. METODE
1. Metode Pendekatan
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode pendekatan yuridis
empiris yang bersifat deskriptif guna melihat hukum dalam

21
keberlakuannya di masyarakat. Penelitian ini dilakukan terhadap
keberlakuan kode etik profesi hakim yaitu Keputusan Bersama Ketua
Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor
047/KMA/SKB/IV/2009 02/SKB/P.KY/IV/2009 Tentang Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim, dan konsep hakim sebgaia officium nobile
dengan melihat keadaan nyata di lapangan khusunya terhadap para hakim
pelaku pelanggaran kode etik yang berpotensi pidana. yaitu berupa telaah
konsep officium nobile profesi hakim guna menganalisis
pertanggungjawaban hakim pelaku pelanggaran kode etik yang berpotensi
pidana.
2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian pada penelitian ini adalah deskriptif analisis.
Metode deskriptif adalah prosedur pemecahan masalah yang diseldiiki
dengan menggambarkan fakta-fakta yang terlihat atau apa adanya. Tujuan
dari penelitian ini yaitu untuk menggambarkan secara tepat dan cermat
sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu, atau
untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau menentukan ada tidaknya
hubungan antar gejala dalam suatu masyarakat.25 Oleh karenanya, melalui
penelitian ini peneliti akan melakukan deskripsi analisis terhadap data-
data hasil penelitian selengkap dan sedetail mungkin melalui analisis
kualitatif terhadap konsep Officium nobile profesi hakim guna
menganalisis pertanggungjawaban hakim pelaku pelanggaran kode etik
berpotensi pidana.
3. Metode Penentuan Sampel
Metode penentuan sampel yang akan peneliti gunakan dalam
penelitian ini adalah purposive sampling. Purposive sampling adalah

25
Tyas Santika Ningrum, Penyelesaian Kredit Bermasalah dalam perjanjian Kredit Ekspor Bank Jateng
di Semarang, (Skripsi Sarjana Hukum, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 2012), halaman. 64.

22
teknik penentuan sampel yang dilakukan dengan pertimbangan tertentu
yang umumnya disesuaikan dengan tujuan penelitian.
Pemilihan metode purposive sampling ini peneliti lakukan
dikarenakan penelitian ini dianggap homogen karena sampel yang diambil
adalah sejumlah hakim yang melakukan pelanggaran terhadap kode etik
profesi yang berpotensi pidana.
4. Metode Pengumpulan Data
Adapun metode pengumpulan data yang akan digunakan oleh peneliti
guna mendapatkan data terkait penelitian yang dilakukan yaitu:
a) Wawancara
Wawancara adalah pengumpulan data primer yang bersumber
langsung dari responden penelitian di lapangan (lokasi). Informasi
yang dibutuhkan peneliti antara lain tentang:26
1) Pengetahuan, pengalaman, perasaan, perlakukan, tindakan,
pendapat responden mengenai gejala yang ada atau peristiwa
hukum yang terjadi;
2) Subyek pelaku dan objek perbuatan dalam peristiwa hukum yang
terjadi;
3) Proses terjadi dan berakhirnya peristiwa hukum;
4) Solusi yang dilakukan oleh pihak-pihak, baik tanpa konflik
maupun dalam hal terjadi konflik; dan
5) Akibat yang timbul dari peristiwa hukum yang terjadi.
Wawancara dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui
pendapat dari narasumber terkait pertanggungjawaban hakim pelaku
pelanggaran kode etik yang berpotensi pidana untuk kemudian

26
Tim Deepublish, Teknik Pengumpulan Data, Pengertian, dan Jenis,
https://penerbitbukudeepublish.com/teknik-pengumpulan-data/. Diakes pada 5 Juni 2022.

23
dihubungkan dengan profesi hakim sebagai officium nobile bersama
narasumber terkait.
b) Studi Kepustakaan
Pengumpulan data sekunder peneliti lakukan melalui studi
kepustakaan yang bersumber dari buku-buku, jurnal penelitian, artikel
internet, dan literatur lain yang berkaitan dengan penelitian.

Adapun jenis data yang digunakan dalam penelitian hukum empiris ini
adalah:

a) Data Primer
Menurut Hasan, data primer ialah data yang diperoleh atau
dikumpulkan langsung di lapangan oleh orang yang melakukan
penelitian atau yang bersangkutan yang memerlukannya. Data primer
diperoleh dari sumber informan baik individu atau kelompok seperti
hasil wawancara yang nantinya akan dilakukan oleh peneliti.27
b) Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh
orang yang melakukan penelitian dari sumber-sumber yang telah ada.28
Data sekunder ini peneliti dapatkan melalui bahan-bahan hukum
sebagai berikut:
1) Bahan hukum primer yang berasal dari institusi yang berwenang
dalam wujud peraturan perundang-undangan yaitu:
a) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman
b) Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama

27
Iqbal Hasan, Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), halaman. 82.
28
Ibid, halaman.58.

24
c) Undang-Undang No. 49 Tahun 2009 Tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 Tentang
Peradilan Umum.
d) Keputusan bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan
Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor:
047/KMA/SKB/IV/2009-02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode
Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH)
2) Bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer yang peneliti dapatkan dari
buku, jurnal, skripsi, serta beberapa artikel ilmiah. Bahan
hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a) Buku-buku kepustakaan;
b) Jurnal;
c) Skripsi
d) Artikel internet
3) Bahan hukum tersier, yang memberikan penjelasan terhadap
bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum tersier yang
peneliti gunakan dalam kamus hukum serta kamus bahasa
indonesia.
5. Metode Analisis Data
Adapun metode analisis data yang digunakan peneliti dalam penelitian
ini adalah analisis kualitatif dengan jalan menganalisa data-data hasil
penelitian dalam bentuk penjelasaan berdasarkan teori-teori hukum,
konsep hukum, pandangan-pandangan pakar, dan pernyataan wawancara.
Analisis data kualitatif dilakukan jikalau data empiris yang telah diperoleh
merupakan data kualitatif berupa kalimat bukan kata angka serta tidak
dapat disusun dalam kategori-kategori/struktur klasifikasi.
Teknik analisis data yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah;
a) Reduksi Data

25
Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan,
menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan
mengorganisasi data sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhirnya
dapat ditarik.

b) Triangulasi

Selain menggunakan reduksi data, peneliti juga menggunakan


teknik Triangulasi guna mengetahui keabsahan data. Triangulasi adalah
teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang
lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai
pembanding terhadap data itu. Data yang diperoleh dapat dipengaruhi
oleh berbagai macam faktor seperti kredibilitas narasumber, waktu
pengungkapan, maupun kondisi dilapangan saat proses pengambilan
data dilakukan. Oleh kareenanya, penting bagi peneliti untuk melakukan
triangulasi guna memaksimalkan keabsahan data penelitian yang
diperoleh. Adapun dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan
triangulasi teknik guna membandingan data yang diperoleh dari hasil
wawancara dan studi kepustakaan yang akan peneliti lakukan.

c) Penarikan Kesimpulan

Kegiatan yang dilakukan dalam analisis data selanjutnya adalah


penarikan kesimpulan dan verifikasi. Pada tahap pengumpulan data,
peneliti mulai melakukan pencarian terhadap sumber data yang ada dan
kemudian melakukan penarikan kesimpulan-kesimpulan dari kumpulan-
kumpulan data yang telah peneliti dapatkan sebelumnya.

K. JADWAL WAKTU PELAKSANAAN PENELITIAN

WAKTU
KEGIATAN
OKT NOV DES JAN FEB

26
Penyusunan
Proposal
Pengumpulan
Data
Pengolahan
dan Analisis
Data
Penyusunan
Laporan
Penelitian
Penyajian
Laporan
Penelitian

Semarang,
Pelaksana Penelitian

27
Alfiyatun Nikmah
NIM. 11000119130295

Mengetahui:
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Sukinta, S.H.,M.Hum Lapon Tukan Leonard,S.H., M.A


NIP. 196005281988031001 NIP. 1958111301987031001

28

Anda mungkin juga menyukai