Anda di halaman 1dari 19

BERLAKUNYA HUKUM PIDANA

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memenuhi Tugas


Mata Kuliah Hukum Pidana

Dosen Pengampu: Muhamad Romdoni, S.H., M.H

Di Susun Oleh:
Suci Febriyani 1111230129
Wahyu Anggara 1111230524
Raihanah Asshifah A. S. 1111230525

Program Studi Hukum - Fakultas Hukum


Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
2024
BAB 6
Locus Delicti, Tempus Delicti,
dan Ekstradisi

1.1 Locus Delicti


Locus delicti, mempunyai arti tempat atau lokasi, yaitu
berlakunya hukum pidana berdasarkan lokasi perbuatan
pidana (Albiandro, 2022). Locus delicti bertujuan untuk
menentukan hukum pidana atau pengadilan negara mana yang
berwenang untuk mengadili suatu perkara.
Terdapat empat teori mengeni locus delicti, yaitu:
1. De leer van de lichamelijke daad
Yang dimaksud dengan De leer van de lichamelijke daad
adalah tempat yang dianggap sebagai tempat kejahatan
adalah lokasi pelaku kejahatan sungguh melakukan dan
menyelesaikan tindak kejahatannya menjadi komplet
karena telah memenuhi semua elemen tindak pidana.
(Ishaq, 2020)

Menurut Mahrus Ali, R. Soesilo, Eddy O.S. Hiariej, dan A.


Zainal Abidin Farid, de leer van de lichamelijke daad
adalah terot perbuatan materil.

2. De leer van het instrument


De leer van het instrument adalah tempat di mana alat
yang digunakan untuk melakukan kejahatan yang
menimbulkan akibat merugikan.
3. De leer van het gevolg
De leer van het gevolg, berpendapat tempat kejahatan
terjadi adalah tempat di mana kejahatan tersebut
menimbulkan akibat.
4. De leer van de meervoudge plaats
De leer van de meervoudge plaats menganggap bahwa
tempat kejahatan adalah beberapa lokasi di mana
kejahatan dapat terjadi.

1.2 Tempus Delicti


Waktu terjadinya suatu tindak pidana untuk menentukan
apakh hukum pidana berlaku atau dikenal dengan istilah
tempus delicti. Tujuan mengetahui berlakunya hukum pidana
menurut waktu adalah untuk (1) menentukan berlakunya
hukum pidana berdasarkan Pasal 1 KUHP, (2) menentukan
kapan terjadinya tindak pidana, dan (3) menentukan
berlakunya daluwarsa, yaitu untuk menentukan kapan tindak
pidan itu harus dianggap telah terjadi,

Pasal KUHP yang disebut sebagai asa legalitas, mengatur


bagaimana hukum pidana berlaku menurut waktu. Pasal 1
KUHP berbunyi sebagai berikut:
1. Tiada pelanggaran yang dapt dihukum kecuali
berdasarkan ketentuan pidana yang ada dalam UU
sebelumnya mengenai pelanggaran tersebut.
2. Tersangka dikenakan ketentuan yang menguntungkan
jika UU diubah setelah kejahatan tersebut dilakukan.
Menurut Moeljatno “Pasal 1 ayat 1 KUHP“ terdapat tiga
pengertian, yaitu:
1. Tidak Ada Perbuatan yang Dilarang dan Diancam
Dengan Pidana Kalau Hal itu Terlebih Dahulu Belum
Dinyatakan dalam Suatu Aturan Undang-Undang.
Sebelum tindak pidana dilakukan, UU yang
mengatur hukum pidana harus dibuat. Asas legalitas ini
terkait erat dengan undang-undang dan merupakan
peraturan konstitusional di banyak negara karena
tujuan diberlakukannya ini adalah untuk menciptakan
kepastian hukum dan melakukan upaya preventif
terhadap kekuatan penguasa. Dalam KUHP setiap
negara, itu digunakan sebagai produk hukum. Basis ini
mencakup prinsip-prinsip dasar yang berfungsi sebagai
dasar negara hukum.
2. Untuk Menentukan Adanya Perbuatan Pidana Tidak
Boleh Digunakan Analogi atau Kias
Penggunaan analogi dilarang karena mereka
berkonsentrasi pada penegakan hukum dengan
memaksakan makna suatu tindakan dalam parameter
hukum, bahkan ketika perilaku tersebut tidak secara
tegas dikontrol dalam undang-undang. Mengingat
bahwa hakim mematuhi peraturan hukum pidana,
interpretasi tidak lagi dibaca sesuai dengan maknanya
saai ini ketika suatu undng-undang ditetapkan. Istilah
“analogi” dalam hukum pidana mengacu pada
penafsiran suatu ketentuan dengan memperluas
maknanya untuk mengakomodasi keadaan yang tidak
secara tegas tercakup dalam ketentuan tersebut.

3. Aturan-Aturan Hukum Pidana Tidak Berlaku Surut (Non


Retroaktif)
Hukuman hanya berlaku untuk masa depan dan
tidak dapat dicabut. Kecuali undang-undang
menetapkan bahwa pelanggaran tersebut merupakan
pelanggaran baru, seseorang tidak boleh dihukum hanya
karena pelanggaran yang telah terjadi sebelumnya.
Asas ini mendapat pengeculian yang disebutkan
dalam “Pasal 1 ayar 2 KUHP” yang berbunyi: “jikalau
undang-undang diubah, setelah perbuatan itu dilakukan,
maka kepada tersangka dikenakan ketentuan
menguntungkan baginya.”
Oleh sebab itu, jelas bahwa penerapan pasal 1
ayat 2 KUHP didasarkan pada asumsi bhwa hukum
dapat diterapkan secara retrospektif. Penerapan Pasal 1
Ayat 2 KUHP dalam kasus-kasus berikut: (1) UU diubah,
(2) perubahan terjadi setelah pelaku melakukan
kejahatan yang m ana mereka sedang menghadapi
penuntutan tetapi belum menerima hukuman, dan (3)
UU yang baru lebih menguntungkan tersangka dari pada
yang lama. (Ishaq, 2020)

Moeljatno menyatakan bahwa UU Hukum Pidana tidak


menjelaskan secara khusus tentang bagaimana menetapkan
waktu yang dikenal sebagai "tempus delicti" dan tidak
menetapkan ketentuan khusus yang mengaturnya, meskipun
fakta bahwa “tempus delicti” diperlukan untuk:

1. Pasal 1 ayat 1 KUHP menyatakan bahwa "tidak ada


perbuatan yang dapat dihukum selain atas kekuatan
peraturan pidana dalam undang-undang yang diadakan
pada waktu sebelumnya", sehingga aturan yang paling
ringan berlaku untuk terdakwa jika UU diubah setelah
kejadian itu.
2. menentukan tanggal kadaluarsa, atau tenggat waktu,
untuk mengetahui kapan yang dianggap sebagai waktu
permulaan kejahatan.
3. Memahami Pasal 45 KUHP, yang menetapkan bahwa
hakim dapat menjalankan tiga jenis hukuman terhadap
tersangka yang belum genap berumur 16 tahun. Yaitu:
a. Mengembalikan ke orangtuanya
b. Menyerahkan kepada pemerintah dengan tidak
menjatuhkan hukuman
c. Menjatuhkan hukuman yang diancamkan terhadap
kejahatan yang dilakukan oleh terdakwa.
4. Apakah ada situasi tertentu yang dapat membuat pidana
menjadi lebih berat saat melakukan perbuatan pidana
tersebut? Misalnya, perbuatan pidana akan dihukum
jika dilakukan dalam keadaan darurat, apakah itu
darurat sipil, darurat militer, atau darurat perang.
1.3 Ekstradisi

1.3.1 Pengertian
Perjanjian ekstradisi adalah keinginan suatu negara untuk
bekerja sama dengan negara lain untuk memerangi kejahatan
transnasional. Secara umum, Requested State tidak
bertanggung jawab untuk menyerahkan seseorang yang telah
kabur untuk bersembunyi ke negara lain. Akibatnya, perjanjian
ekstradisi menetapkan bahwa pelaku tindak pidana harus
diserahkan kepada Requested State. Namun, dalam praktik
hubungan antar Negara, penyerahan pelaku tindak pidana dari
Requested State dapat dilaksanakan berdasarkan hubungan
timbal balik atau resprositas.

Ekstradisi di Indonesia diatus dalam “UU Nomor 1 Tahun 1979“


mengenai ekstradisi (UU Ekstradisi). Pengertian ekstradisi
disebutkan dalam Pasal 1 UU ekstradisi yaitu: “Penyerahan
oleh suatu negara yang meminta penyerahan seseorang yang
disangka atau dipidana karena melakukan suatu kejahatan di
luar wilayah negara yang menyerahkan dan di dalam
yurisdikasi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut,
karena berwenang untuk mengadili dan memidananya“
(Damayanti, 2023)

Ekstradisi dan deportasi sering disamakan, meskipun secara


teoritis keduanya mirip. Namun, Salah satu perbedaan utama
antara ekstradisi dan deportasi adalah tujuan mereka:
ekstradisi dilakukan karena seorang warga negara asing
melakukan tindak pidana di luar negara tempatnya saat ini
berada, sedangkan deportasi dilakukan karena seorang warga
negara asing melakukan tindak pidana di wilayah negara
tempatnya saat ini berada. (Bakhtiar, Kadriah, 2022)

Terdapat 11 kejahatan yang pelakunya dapat diekstradisikan


disebutkan dalam UU Ekstradisi, yaitu:
1. Pembunuhan.
2. Pembunuhan berencana.
3. Penganiyaan yang berkahibat luka-luka berat atau
matinya orang, penganiyaan yang direncanakan dan
penganiyaan berat.
4. Perkosaan, perbuatan cabul dengan kekerasan
5. Melarikan wanita dengan kekerasan, ancaman
kekerasan atau tiou musliht, dengan sengaja melarikn
seseorang yang belum cukup umur.
6. Penipuan.
7. Penyelundupan.
8. Pembajakan laut.
9. Pembajakan udara, kejahatan penerbangan dan
kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan.
10. Tindak pidana korupsi.
11. Tindak pindana narkotika dan obat-obat berbahaya
lainnya.

1.3.2 Prinsip Ekstradisi


Banyak negara menganut prinsip locus delicti, atau asas teritori,
di mana negara mempunyai wewenang untuk mengadili
kejahatan yang terjadi di wilayahnya, dan berhak untuk
meminta penyerahan orang yang melarikan diri. Negara juga
memiliki alat bukti, saksi dan benda bukti lainnya.
Seseorang yang melakukan tindak pidana yang dapat
diekstradisikan adalah jika tindak pidana tersebut bersifat
ganda atau "double criminality". Dengan kata lain, jika
seseorang melakukan kejahatan di suatu negara dan tunduk
pada penuntutan di negara lain. Langkah pertama untuk
meminta penyerahan diri kepada Requesting State selesai
setelah prinsip “double criminality” terpenuhi. Setelah semua
persyaratan terpenuhi, Requesting State dapat mengajukan
permintaan penyerahan diri; jika disetujui, individu yang
diminta akan dikirim. Kemudian menjadi tugas Requesting
State untuk mengadili atau memenjarakan orang tersebut.
(Adiwijaya, 2019)

Selain itu, ada beberapa prinsip yang mendasari permintaan


ekstradisi, termasuk asas kekhususan yang dapat digunakan
untuk perbuatan yang secara tegas menjadi dasar permintaan
ekstradisi, asas tidak menyerahkan pelaku kejahatan politik,
asas tidak menyerahkan warga negara, asas ne (non) bis in
idem, yang berarti bahwa negara yang diminta berhak menolak
ekstradisi jika orang yang dimaksud telah diadili dan menerima
keputusan akhir, dan asas daluwarsa, yang berarti bahwa
negara yang diminta berhak menolak ekstradisi

1.3.3 Unsur-Unsur Ekstradisi


Dari apa yang sudah dikemukakan di atas, unsur-unsur
ekstradisi meliputi unsur subjek, unsur objek, unsur proses
ekstradisi, dan unsur tujuan. (Waryenti, 2022)
1. Unsur subjek, meliputi:
a. Requested state (negara yang diminta), yaitu negara
di mana pelaku bersembunyi.
b. Requesting state (negara peminta), yaitu Negara
yang dapat mengadili pelaku karena locus delicti
(tempat kejahatan terjadi) dan karena pelaku adalah
warga negara Requesting State.
2. Unsur objek ekstradisi adalah pelaku kejahatan itu
sendiri. Pelaku dianggap sebagai objek perjanjian, tetapi
dengan mempertimbangkan hak dan kewajiban mereka
sebagai manusia.
3. Unsur proses ekstradisi, yaitu mencakup tindakan yang
harus diambil untuk mengembalikan pelaku ke Negara
Peminta.
a. Terdapat permintaan dari requesting state kepada
requested state
b. Harus ada perjanjian internasional mengenai
ekstradisi antara kedua negara
c. Asas resprositas (timbal balik) dapat diterapkan jika
kedua negara belum mencapai perjanjian ekstradisi
d. Negara Diminta menangani permintaan Negara
Peminta sesuai dengan aturan perundang-undangan
negara tersebut.
e. Ekstradisi dilakukan jika Negara Diminta bersedia
menyerahkan pelaku kejahatan tersebut.
4. Unsur tujuan, Tujuan permintaan ekstradisi yang
diajukan oleh Negara Pemohon kepada Negara Diminta
adalah untuk mengadili atau menghukum pelaku
kejahatan yang melarikan diri. Jika pelaku kejahatan
tidak diekstradisi, dia tidak bertanggung jawab atas
perbuatan yang dilakukannya, sehingga tujuan
pemberantasan kejahatan tidak dapat dicapai.
1.3.3 Perjanjian Ekstradisi
Selama masa kolonial Belanda di Indonesia, perjanjian
ekstradisi sebenarnya dikenal sebagai perjanjian yang dibuat
oleh pemerintah Belanda dengan berbagai negara di seluruh
dunia. Namun, ada klausul yang menyatakan bahwa itu juga
berlaku untuk Hindia Belanda, yang merupakan wilayah
kolonial Belanda.

Indonesia pertama kali menandatangani perjanjian ekstradisi


dengan Malaysia pada 7 Juni 1974, yang diratifikasi dengan “UU
No.9 tahun 1974, UU No.10 tahun 1976”, dan “UU No.2 tahun
1978. Setelah berlakunya UU No.1 tahun 1979”, Indonesia
menandatangani perjanjian ekstradisi dengan Australia, yang
diratifikasi dengan UU No.8 tahun 1994, dan UU No.1 tahun
2001, yang menghasilkan hasil yang luar biasa. Akibatnya,
Indonesia telah menandatangani perjanjian ekstradisi dengan
tujuh negara hingga tahun 2007. Semua perjanjian ini dibuat
secara bilateral.
(Dewi, 2023)

Perjanjian internasional sangat penting dalam pelaksanan


permintaa ekstradisi, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 27
Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian Internasional 1969.
Hal ini dikarenakan penyerahan tersangka tindak pidana pada
dasarnya harus didasarkan pada perjanjian anatara negara
yang meminta ekstradisi dan Requested State.
(Sipalsuta, 2017)
1.3.4 Perjanjian Ekstradisi Indonesia
Untuk menjamin bahwa "tidak ada seorangpun yang bisa
terhindar dari pertanggung jawaban pidana", diperlukan kerja
sama internasional di bidang penegakan hukum pidana. Hukum
internasional, baik hard law maupun soft law, baru-baru ini
menunjukkan komitmen masyarakat internasional untuk
memerangi kejahatan lintas batas melalui kerja sama
internasional.

Saat ini, masalah ekstradisi menjadi semakin penting di


Indonesia, terutama dalam kondisi politik dan sosial setelah
pemerintahan Orde Baru. Indonesia secara aktif mencari
individu yang melakukan pelanggaran korupsi dan kemudian
kabur ke negara lain. Diupayakan untuk membawa kembali
koruptor Indonesia melalui kerjasama internasional dengan
negara-negara yang telah menjadi tempat pelarian dan "sorga"
mereka. Salah satunya adalah mempromosikan perjanjian
ekstradisi.
1. Indonesia dengan Singapura
Pada tanggal 27 April, RUU tentang Pengesahan
Perjanjian Ekstradisi Buronan antara Pemerintah RI dan
Pemerintah Republik Singapura secara resmi disahkan
di Rapat Paripurna DPR RI. Setelah disahkan, para
pelaku kriminal dan buronan tidak bisa tinggal di
Singapura (Nabila, 2022).

UU Ekstradisi antara Indonesia dan Singapura disahkan


pada Rapat Paripurna di bawah pimpinan langsung
Ketua DPR RI Puan Maharani. setelah perundingan
tingkat pertama dengan Komisi III DPR RI dan Kemenlu.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham)
Yasonna H. Laoly menyatakan bahwa, Selain fakta
bahwa banyak warga negara Indonesia yang bepergian
ke sana karena letak Singapura yang berbatasan dengan
Indonesia, Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dan
Singapura juga disebabkan oleh kebijakan Indonesia
yang memasukkan Singapura sebagai salah satu negara
yang tidak membutuhkan visa, membuat Singapura
sering menjadi tempat transit atau tujuan akhir bagi
mereka yang ingin berkunjung ke luar negeri.

2. Indonesia dengan China


Perjanjian ekstradisi dibuat antara pemerintah
Indonesia dan Republik Rakyat China pada 1 Juli 2009.
Perjanjian ditandatangani oleh Menlu RI Hasan
Wirajuda dan Menlu China Yang Jiechi di Gedung
Diaoyutai State Guest House diBeijing. Dua kondisi
harus dipenuhi. Pertama, jika permintaan ekstradisi
bertujuan untuk menjalankan proses peradilan, orang
yang dicari harus dihukum menurut hukum kedua belah
pihak dengan ancaman penjara lebih dari satu tahun,
atau ancaman pidana yang lebih berat. Kedua, jika
permintaan ekstradisi bertujuan untuk menerapkan
hukuman yang telah dijatuhkan, orang yang dicari harus
tetap menjalani hukuman selama sekurang-kurangnya
enam bulan selama proses ekstradisi masih
berlangsung.

3. Indonesia dengan India


Perjanjian Ekstradisi Antara RI dan Republik India
menjadi UU dengan konsensus dewan. Perkembangan
IPTEK memiliki dampak positif dan negatif. Selain itu,
teknologi komunikasi, informasi, dan transportasi
memiliki efek negatif yang bersifat transaksional.
Misalnya, memberikan banyak kesempatan kepada para
pelaku untuk menghindari keadilan, baik dalam hal
tingkat penyidikan, penuntuan, dan eksekusi pidana di
negara tempat kejahatan dilakukan. (RFQ, 2014)

Negara harus berhubungan dan bekerja sama satu sama


lain melalui perjanjian bilateral dan multilateral untuk
menghindari hal ini. Karena kejahatan yang meningkat
dan modus yang semakin canggih, pemerintah
Indonesia dan India telah sepakat untuk bekerja sama
dalam ekstradisi. Pada 25 Januari 2011, di New Delhi,
perjanjian kerja sama ditandatangani antara kedua
negara.

Ada banyak dasar untuk perjanjian ekstradisi tersebut.


Pertama, orang-orang yang ditemukan berada di
wilayah negara peminta diekstradisi. Ada upaya
penuntutan dan pelaksanaan hukuman baik sebelum
maupun sesudah perjanjian antara Indonesia dengan
India. Kedua, tindak pidana yang dapat diekstradisi
harus dipidana menurut hukum kedua negara dan
memiliki ancaman pidana minimal satu tahun. Ketiga,
jika pidana tersebut dianggap sebagai kejahatan politik
di suatu negara, permintaan ekstradisi dapat ditolak.
Keempat, hak untuk menuntut dan melaksanakan
putusan pidana telah berakhir. Pelaku tindak pidana
tidak dikirim ke Requesting State. Kelima, negara dapat
menolak permintaan ekstradisi jika kejahatan dilakukan
secara keseluruhan atau sebagian di wilayah yang
diminta atau tidak dianggap termasuk dalam yurisdiksi
negara tersebut. Keenam, adalah hak kedua belah pihak
negara untuk menolak permintaan ekstradisi warga
negaranya. Ketujuh, orang yang diekstradisi tidak boleh
dihadapkan ke pengadilan atau dijatuhi hukuman
pidana di negara peminta sebelum keputusan ekstradisi
dibuat.

4. Indonesia dengan Malaysia


Pada tanggal 7 Januari 1974, Indonesia dan Malaysia
menandatangani perjanjian ekstradisi dengan tujuan
untuk memperdalam persahabatan mereka dan bekerja
sama untuk mengefektifkan administrasi peradilan.
Kolaborasi yang efektif dalam administrasi peradilan
antara Malaysia dan Indonesia.

Perjanjian antara kedua negara berisi kerja sama antara


Interpol Indonesia dan Malaysia. Tiga (3) perjanjian
penting yang mendasari kerja sama Indonesia dan
Malaysia dalam memerangi dan menuntut kejahatan
transnasional, yaitu:
a. UU No. 9 tahun 1974, yang meratifikasi perjanjian
ekstradisi antara pemerintah Malaysia dan
Indonesia, menetapkan pakta ekstradisi antara
kedua negara. No. 9 tahun 1974, yang berkaitan
dengan perjanjian ekstradisi yang diratifikasi oleh
pemerintah Republik Indonesia dan Malaysia.
b. Mutual Legal Assistance in Criminal Matters
(Bantuan Timbal Balik dalam masalah pidana)
c. Nota Kesepahaman tentang Pemberantasan
Peredaran Gelap Narkotika, Obat-obatan,
Psikotropika, Prekursor, Bahan Berbahaya, dan
Penguatan Kerja Sama Kepolisian antara Polis Diraja
Malaysia dengan Kepolisian Republik Indonesia.
5. Indonesia dengan Thailand
Dalam rangka mengkaji perjanjian ekstradisi, Thailand
menjadi tuan rumah ASEAN Senior Law Officials
Meeting (ASLOM), di mana Indonesia diwakili oleh
Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen
AHU). Pertemuan Kelompok Kerja ASLOM ke-4 tentang
Perjanjian Ekstradisi ASEAN (ASLOM WG Meeting on
AET), yang diselenggarakan di Bali pada tanggal 13-15
Maret 2023, dilanjutkan pada pertemuan ini.

Draft perjanjian yang telah mendapatkan koreksi dan


usulan dari negara-negara anggota akan dibacakan
kembali untuk disepakati bersama oleh negara-negara
anggota ASEAN di tingkat working group, hingga
menjadi sebuah clean text draft yang nantinya secara
hirarkis akan diadopsi oleh forum para pemimpin
ASEAN, yaitu ASLOM Forum, ASEAN LAW MINISTRY
MINISTRY MEETING (ALAWMM), hingga Konferensi
Tingkat Tinggi (KTT). (Humas, 2023)
Setelah menerima revisi dan saran dari negara-negara
anggota, rancangan perjanjian tersebut akan dibaca
ulang dan disetujui oleh anggota kelompok kerja ASEAN.
Hal ini akan menghasilkan versi dokumen yang lebih
jelas, yang kemudian akan diadopsi secara resmi oleh
forum para pemimpin ASEAN, yaitu Forum ASLOM,
ASEAN LAW MINISTERS MEETING (ALAWMM), dan
KTT.
Referensi
Adiwijaya, I. M. (2019). Ekstradisi sebagai Sarana Pemberantasan
Kejahatan Internasional Ditinjau dari Undang-Undang No. 1
Tahun 1979. Lex Et Societatis Vol. VII, 128.
Albiandro, A. (2022). Analiisi Hukum dalam Menentukan Locus
Delicti dalam Perkara Tindak Pidana Pemalsuan Akta Otentik.
JOM Fakultas Hukum Universitas Riau Volume IX.
Bakhtiar, M., & Kadriah, A. (2022). Disharmonisasi Pelaksanaan
Antara Ekstradisi dan Deportasi dalam Hal Penegakan
Hukum di Indonesia. Jurnal Ilmiah Kajian Keimigrasian, 5.
Damayanti, R. (2023, Januari 31). Sepintas Mengenal Hukum
Ekstradisi (Bagian Pertama). Diambil kembali dari
setkab.co.id: https://setkab.go.id/sepintas-mengenal-hukum-
ekstradisi-bagian-pertama/
Dewi, R. K. (2023, Desember 23). Maksud dan Sejarah Perjanjian
Ekstradisi. Diambil kembali dari kompas:
https://www.kompas.com/skola/read/2023/12/23/170000
869/maksud-dan-sejarah-perjanjian-ekstradisi
Humas. (2023, Juni 22). Ditjen AHU Wakili Indonesia Membahas
Perjanjian Ekstradisi dalam Pertemuan Negara ASEAN di
Thailand. Diambil kembali dari portal.ahu:
https://portal.ahu.go.id/id/detail/75-berita-lainnya/3554-
ditjen-ahu-wakili-indonesia-membahas-perjanjian-
ekstradisi-dalam-pertemuan-negara-asean-di-thailand
Ishaq. (2020). Hukum Pidana. Depok: RajaGrafindo Persada.
Nabila. (2022, Desember 15). Ekstradisi RI dan Singapura Sah Jadi
UU, Buronan Tidak Bisa Sembunyi di Singapura Lagi. Diambil
kembali dari kemenkumham:
https://www.kemenkumham.go.id/berita-utama/ekstradisi-
ri-dan-singapura-sah-jadi-uu-buronan-tidak-bisa-sembunyi-
di-singapura-lagi
RFQ. (2014, Juni 24). RUU Ekstradisi Antara RI dengan India Disetujui
Jadi UU. Diambil kembali dari hukumonline:
https://www.hukumonline.com/berita/a/ruu-ekstradisi-
antara-ri-dengan-india-disetujui-jadi-uu-lt53a944b89ddc4/
RI dan Cina Teken Perjanjian Ekstradisi. (2009, Juli 2). Diambil
kembali dari detiknews: https://news.detik.com/berita/d-
1157593/ri-china-teken-perjanjian-ekstradisi
Sipalsuta, O. A. (2017). Perjanjian Ekstradisi Antar Negara Dalam
Kaitannya Dengan Penanggulangan Kejahatan. Lex Privatum,
147.
Waryenti, D. (2012). Ekstradisi dan Beberapa Permasalahannya. Fiat
Justitia Jurnal Ilmu Hukum Volume 5.

Anda mungkin juga menyukai