Nim:10400121157
Kelas :IHK-E
RESUME
HUKUM PIDANA
BAB I
Istilah Hukum pidana merupakan terjemahan dari istilah bahasa Belanda straftrecht, straft artinya
pidana dan recht artinya Hukum.Menurut Wirjono Prodjodikoro bahwa istilah hukum pidana itu
digunakan sejak pendudukan Jepang di Indonesia untuk pengertian straftrecht dari bahasa Belanda.
Hukum pidana sebagai disiplin ilmu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari ilmu hukum. Menurut
Sudarto bahwa ilmu hukum merupakan ilmu kemasyarakatan yang normatif dan tak lepas dari
mempelajari tingkah laku manusia dalam masyarakat.
Hukum pidana diposisikan sebagai hukum publik mengatur tingkah laku masyarakat sosial sudut
pandang perbuatan dan penjatuhan sanksi. Kendati demikian, dikalangan para pakar hukum
mengakui tidak adanya keseragaman yang baku mengenai pengertian pidana.
Simons, dalam bukunya Leerboek Nederlands Straftrecht , 1937 memberikan definisi hukum pidana
sebagai berikut :
“Hukum pidana adalah keseluruhan larangan dan perintah yang diadakan oleh Negara dan yang
diancam dengan suatu nestapa (pidana) barangsiapa yang tidak menaatinya, keseluruhan aturan-
aturan yang menentukan syarat-syarat bagi akibat hukum itu dan keseluruhan aturan-aturan untuk
mengadakan ( menjatuhi) dan menjalankan hukum pidana tersebut”.
Sebagai pakar hukum pidana terkemuka di Indonesia, Moeljatno di dalam bukunya Asas-Asas
Hukum Pidana , memberikan batasan dan pengertian hukum pidana ialah merupakan bagian
daripada keseluruhan hukum yang berlaku disuatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan
aturan-aturan untuk :
Secara umum, hukum pidana dapat ditemukan dalam beberapa sumber hukum, yakni :
1) . KUHP ( Wetboek van Straftrecht) sebagai sumber utama hukum pidana Indonesia,
terdiri atas:
a. Terdiri dari tiga bagian buku dalam KUHP, yaitu buku I tentang ketentuan
buku II tentang kejahatan, dan buku III tentang pelanggaran.
b. Memorie van Toelichting (M.v.T) atau memori penjelasan KUHP.
2) . UU diluar KUHP yang berupa pidana khusus.
3) Berupa yurisprudensi yang memberikan makna atau kaidah hukum tentang istilah
dalam hukum pidana.
4) Di daerah-daerah perbuatan-perbuatan tertentu yang dilarang dan tercela menurut
pandangan Masyarakat yang tidak diatur dalam KUHP.
C. Pembagian Hukum Pidana
Karena adanya perbedaan rumusan mengenai pengertian hukum pidana, maka pembagian hukum
pidana dapat meliputi sebagai berikut:
a. Hukum pidana Umum ialah hukum ynag berlaku bagi semua orang yang berada di wilayah
Indonesia terkecuali bangsa asing yang menurut hukum Internasional mempunyai hak
eksteritorialitas.
b. Hukum pidana khusus ialah hukum pidana yang dibuat untuk subjek hukum khusus atau
untuk perbuatan-perbuatan pidana tertentu
a. Hukum pidana Objektif ialah hukum pidana yang berlaku atau yang juga disebut sebagai
hukum positif atau ius poenale.
b. Hukum pidana subjektif atau ius puniendi.
4.Hukum pidana yang dikodifikasikan dan hukum pidana yang tidak dikodifikasikan.
a. Hukum pidana yang dikodifikasikan, yaitu hukum pidana yang disistematisasikan dan
dibukukan dalam satu kodifikasi / kitab.
b. Hukum pidana yang tidak dikodifikasikan yaitu hukum pidana yang diluar KUHP.
Menurut Sudarto , hukum pidana itu merupakan sebagian dari keseluruhan lapangan hukum, maka
fungsi hukum pidana juga sama dengan fungsi pada umumnya, ialah mengatur hidup
kemasyarakatan atau menyelenggarakan tata dalam masyarakat.
BAB II
A. Asas Legalitas
Asas legalitas sebagai sebuah asas hukum dan dipandang sebagai dasar atau petunjuk bagi hukum
yang berlaku, maka setidaknya asas hukum mempunyai dua landasan menurut Nieuwenhuis
sebagaimana yang dikutip oleh Sudikno Mertokusumo , pertama : asas hukum itu berakar dalam
kenyataan Masyarakat, dan kedua pada nilai-nilai yang dipilih sebagai pedoman oleh kehidupan
bersama. Penyatuan faktor riil dan dan idiil hukum ini merupakan fungsi asas hukum.
Moeljatno menulis bahwa asas legalitas itu mengandung tiga pengertian. Pertama :tidak ada
perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan
dalam suatu aturan UU. Kedua : Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan
analogi. Ketiga : aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.
B. Asas Teritorial
Asas teritorial diatur dalam pasal 2 KUHP , yang menyatakan aturan pidana (Wettelijke
strafbepalingen) dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan
perbuatan pidana di wilayah Indonesia, baik sebagai warga negara maupun orang asing.
a. Daratan dengan batas-batas yang diakui negara-negara asing, yakni :bekas Hindia-Belanda
dulu ( penjelasan UUD 1945) ditambah ;Timor-Timor.
b. Laut, perbatasan mestinya ditentukan dalam hukum antarnegara. Tetapi sekarang belum
ada ketentuan pasti yang pasti. Indonesia pada tanggal 13 Desember 1957 mengumumkan
batas laut teritorial. (Ditetapkan dengan UU No. 4 tahun 1960/Perpu ). Prinsip ini dikenal
dengan wawasan Nusantara.
c. Udara diatas daratan dan lautan.
C. Asas Perlindungan (Nasional Pasif)
Asas ini menentukan bahwa hukum pidana suatu negara ( juga Indonesia) berlaku terhadap
perbuatan-perbuatan yang dilakukan di luar Negeri, jika karena itu kepentingan tertentu terutama
kepentingan negara dilanggar di luar wilayah kekuasaan negara itu. Asas ini tercantum di dalam
pasal 4 ayat 1 , 2 dan 4 KUHP.
Asas ini mengatakan bahwa peraturan hukum pidana Indonesia berlaku bagi setiap warga Negara
Indonesia yang melakukan tindak pidana baik di dalam Negeri, maupun di luar Negeri.
E. Asas Universal
Asas ini sering disebut juga asas penyelenggaraan hukum dunia. Berlakunya asas ini tidak saja untuk
melindungi kepentingan nasional Indonesia tetapi juga untuk melindungi kepentingan hukum
Indonesia.
BAB III
Penting dikemukakan, di berbagai literatur hukum pidana beberapa ahli hampir senada dalam
menguraikan tujuan pidana yang dilingkupi oleh tiga teori utama: teori absolut, teori relatif maupun
teori gabungan. Sering kali pakar hukum pidana secara bergantian menggunakan istilah yang
berbeda, yaitu tujuan pidana, tujuan pemidanaan, dan tujuan hukum pidana.
Terdapat dua pandangan yang berbeda tentang tujuan dari keberadaan hukum pidana. Menurut
pandangan yang pertama, tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi masyarakat dari
kejahatan. Pandangan kedua, untuk melindungi individu-individu dari kemungkinan kesewenangan
penguasa. Mengingat, bahwa tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi dan menyelamatkan
individu atas adanya kejahatan dalam masyarakat, sehingga tujuan tersebut harus dijaga agar tidak
adanya kejahatan yang lolos karena kekeliruan atau tidak cermatnya sistem administrasi peradilan
pidana.
Eddy O.S. Hieariej sendiri mengakui jika tujuan pidana dan tujuan hukum pidana adalah dua hal yang
berbeda. Kendatipun demikian, tujuan pidana tidak terlepas dari aliran-aliran dalam hukum pidana.
Jika aliran-aliran dalam hukum pidana yang mendasari tujuan hukum pidana terdiri dari aliran klasik,
aliran modern dan aliran neo-klasik, maka tujuan pidana secara garis besar juga terbagi menjadi tiga,
yakni teori Absolut, teori relatif dan teori gabungan.
B. TEORI ABSOLUT
Teori absolut lahir pada aliran klasik dalam hukum pidana. Menurut teori absolut, pembalasan
adalah legitimasi pemidanaan. Vos dalam Leerboek-nya berkomentar bahwa teori absolut muncul
pada akhir abad ke-18, mencari dasar hukum pemidanaan terhadap kejahatan: kejahatan itu sendiri
dilihat sebagai dasar dipidananya pelaku. Penganut teori absolut ini Imannuel Kant, Hegel, Herbart,
dan Julius Stahl.129 Selain nama tadi, ada van Bemmelen dan van Hattum. Pendapat Kant, pidana
adalah etik praktisnya suatu ketidakadilan,
Oleh karenanya kejahatan harus dipidana. Menurut Herbart menyatakan pidana harus dipenuhi
pada pelaku agar ia merasa beratnya nestapa seperti ia mengakibatkan orang lain menderita.
Sementara Stahl bahwa pidana adalah keadilan Tuhan. Penguasa sebagai wakil Tuhan di dunia harus
memberlakukan keadilan Tuhan di dunia.
C. TEORI RELATIF
Pendapat Hulsman yang mengatakan hakikat pidana bukanlah pemberian nestapa merupakan
pendapat yang tidak searah dengan teori absolut. Hakekat pidana bagi Hulsman sebagaimana yang
dikutip oleh Sudarto, ialah “tot de orde reopen” (menyerukan untuk tertib). Senada dengan
pendapat ini adalah pendirian van Binsbergen bahwa secara hakiki dari pidana adalah “een
terechtwijzing door de overheid terzake van een starbaar feit” (suatu pernyataan salah oleh
penguasa sehubungan dengan suatu tindak piRELATI Teori relatif (teori tujuan) melalui hukum
pidana hendak mencapai tertib sosial dengan tujuan pencegahan terhadap kejahatan. Orientasinya
adalah bagaimana mencegah kejahatan (prevensi) Teori relatif membedakan prevensi umum dan
prevensi khusus.
Prevensi umum menghendaki agar orang-orang pada umumnya tidak melakukan delik, dilakukan
dengan menakuti melalui jalan pelaksanaan pidana yang dipertontonkan. Keberatan terhadap
prevensi umum ini ialah digunakannya penderitaan orang lain untuk maksud prevensi umum
tercapai. Oleh von Feuerbach prevensi umum ini lebih dikenal dengan istilah psychologischezwang
atau paksaan psikologis. Artinya, adanya pidana yang dijatuhkan terhadap seseorang yang
melakukan kejahatan akan memberikan rasa takut kepada orang lain untuk tidak berbuat jahat. Oleh
karena itu, menurut von Feuerbach sanksi pidana yang diancamkan terhadap perbuatan yang
dilarang harus tertulis dalam undang-undang sehingga mengurungkan niat orang berbuat jahat.136
Pada kesimpulannya, prevensi umum pencegahan kejahatan ditujukan pada masyarakat, sementara
prevensi khusus ditujukan pada si pelaku.
E. TEORI GABUNGAN
Vos secara tegas menyatakan bahwa selain teori absolut dan teori relatif juga terdapat keompok
ketiga yang disebut teori gabungan. Di sini terdapat suatu kombinasi antara pembalasan dan
ketertiban masyarakat. Selain itu ada nama Zevenbergen, seseorang ahli hukum pidana Jerman yang
menitikberatkan pada pembalasan, namun bertujuan melindungi tertib hukum, karena respek
terhadap hukum dan penguasa. Pada hakikatnya, menurut Zevenbergen pidana adalah suatu
ultimum remedium. Penganut teori gabungan yang menitikberatkan perlindungan masyarakat
daripada pembalasan adalah Simons. Menurutnya, prevensi umum terletak pada pidana yang
diancamkan, sementara prevensi khusus menakutkan dan memperbaiki. 138
Van Bemmelan pun menganut teori gabungan dengan mengatakan pidana bertujuan membalas
kesalahan dan mengamankan masyarakat. Tindakan bermaksud mengamankan dan memelihara
tujuan. Jadi pidana dan tindakan, keduanya bertujuan mempersiapkan untuk mengembalikan
terpidana ke dalam kehidupan masyarakat. Grotius mengembangkan teori gabungan yang
menitikberatkan keadilan mutlak yang diwujudkan dalam pembalasan, tetapi berguna bagi
masyarakat. Dasar tiap-tiap pidana ialah penderitaan yang beratnya sesuai dengan beratnya
perbuatan yang dilakukan oleh terpidana. Tetapi sampai batas mana beratnya pidana dan beratnya
perbuatan yang dilakukan oleh terpidana dapat diukur, ditentukan oleh apa yang berguna bagi
masyarakat.
BAB IV
Prinsip keberlakuan hukum pidana yang hanya mempersoalkan penyimpangan perilaku sosial yang
patut mendapat reaksi atau koreksi dari sudut pandang hukum pidana.
3.Asas kepatutan
Jika terdapat keragu-raguan maka harus dipilih ketentuan atau penjelasan yang paling
menguntungkan terdakwa. Exceptio frimat vim legis in casibus non exceptis
Jika penyimpangan terhadap aturan umum dilakukan, maka penyimpangan tersebut harus diartikan
secara sempit.
Prinsip titulus est lex judul perundang-undangan yang menentukan, sedangkan prinsip rubrica est lex
berarti rubrik atau bagian perundang-undanganlah yang menentukan.
7. Asas materiel
Asas ini menyangkut dengan aturan-aturan tidak tertulis. Asas ini mengandung makna pada saat
melakukan interpretasi terhadap suatu peraturan perundang-undangan, hakim harus
memperhatikan asas tersebut sepanjang asas itu memang diakui dalam dunia hukum sebagaimana
dibuktikan dalam doktrin atau yurisprudensi.
Asas legalitas menegaskan jika penafsir (termasuk hakim) hanya sebagai corong undang-undang.
Atas alasan itu, beberapa pakar hukum pidana memberikan pandangan yang berbeda, lebih khusus
lagi terhadap penafsiran analogi.
Secara garis besar, analogi dalam hukum pidana dapat dibedakan menjadi dua, yaitu argumentum
peranalogiam dan argumentum a contrario. Perihal argumentum peranalogiam yaitu suatu
peraturan khusus dalam undang-undang dijadikan umum yang tidak tertulis dalam undang-undang,
kemudian digali asas yang terdapat di dalamnya dan disimpulkan dari ketentuan umum itu suatu
peristiwa yang khusus. Adapun argumentum a contrario adalah penafsiran yang didasarkan pada
pengertian sebaliknya dari peristiwa konkret yang dihadapi dengan peristiwa yang diatur dalam
undang-undang.
Dalam banyak literatur metode penemuan hukum dikenal dua metode utama. Pertama ialah
metode interpretasi dan metode konstruksi. Akan tetapi, di kalangan para pakar hukum ada yang
menyatukan antara metode interpretasi dan metode konstruksi.
Menurut Sudikno Mertokusumo sebagaimana yang dirujuk oleh Siti Malikhatun Badriyah, penemuan
hukum adalah proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang
diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa konkret. Lebih konkret lagi dapat
dikatakan bahwa penemuan hukum adalah konkretisasi, kristalisasi atau individualisasi peraturan
hukum atau das sollen, yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkret atau Das sein.
• 1) . KUHP ( Wetboek van Straftrecht) sebagai sumber utama hukum pidana Indonesia,
terdiri atas:
•
• A. Terdiri dari tiga bagian buku dalam KUHP, yaitu buku I tentang ketentuan buku II
tentang kejahatan, dan buku III tentang pelanggaran.
BAB II
A. Asas Legalitas
• Asas legalitas sebagai sebuah asas hukum dan dipandang sebagai dasar atau petunjuk
bagi hukum yang berlaku, maka setidaknya asas hukum mempunyai dua landasan
menurut Nieuwenhuis sebagaimana yang dikutip oleh Sudikno Mertokusumo , pertama :
asas hukum itu berakar dalam kenyataan Masyarakat, dan kedua pada nilai-nilai yang
dipilih sebagai pedoman oleh kehidupan bersama. Penyatuan faktor riil dan dan idiil
hukum ini merupakan fungsi asas hukum.
• Moeljatno menulis bahwa asas legalitas itu mengandung tiga pengertian.
Pertama :tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu
terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan UU. Kedua : Untuk menentukan
adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi. Ketiga : aturan-aturan hukum
pidana tidak berlaku surut.
B. Asas Teritorial
• Asas teritorial diatur dalam pasal 2 KUHP , yang menyatakan aturan pidana (Wettelijke
strafbepalingen) dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang
melakukan perbuatan pidana di wilayah Indonesia, baik sebagai warga negara maupun
orang asing.
• A. Daratan dengan batas-batas yang diakui negara-negara asing, yakni :bekas Hindia-
Belanda dulu ( penjelasan UUD 1945) ditambah ;Timor-Timor.
• B. Laut, perbatasan mestinya ditentukan dalam hukum antarnegara. Tetapi sekarang
belum ada ketentuan pasti yang pasti. Indonesia pada tanggal 13 Desember 1957
mengumumkan batas laut teritorial. (Ditetapkan dengan UU No. 4 tahun 1960/Perpu ).
Prinsip ini dikenal dengan wawasan Nusantara.
• C. Udara diatas daratan dan lautan.
Asas Perlindungan (Nasional Pasif)
• Asas ini menentukan bahwa hukum pidana suatu negara ( juga Indonesia) berlaku
terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukan di luar Negeri, jika karena itu
kepentingan tertentu terutama kepentingan negara dilanggar di luar wilayah kekuasaan
negara itu. Asas ini tercantum di dalam pasal 4 ayat 1 , 2 dan 4 KUHP.
• D. Asas Personal (Nasional Aktif)
• Asas ini mengatakan bahwa peraturan hukum pidana Indonesia berlaku bagi setiap
warga Negara Indonesia yang melakukan tindak pidana baik di dalam Negeri, maupun di
luar Negeri.
• E. Asas Universal
• Asas ini sering disebut juga asas penyelenggaraan hukum dunia. Berlakunya asas ini tidak
saja untuk melindungi kepentingan nasional Indonesia tetapi juga untuk melindungi
kepentingan hukum Indonesia
• BAB III
• Teori Tujuan Hukum Pidana
• A.RUANG LINGKUP TUJUAN HUKUM PIDANA
•
• Penting dikemukakan, di berbagai literatur hukum pidana beberapa ahli hampir senada
dalam menguraikan tujuan pidana yang dilingkupi oleh tiga teori utama: teori absolut,
teori relatif maupun teori gabungan. Sering kali pakar hukum pidana secara bergantian
menggunakan istilah yang berbeda, yaitu tujuan pidana, tujuan pemidanaan, dan tujuan
hukum pidana.
• Terdapat dua pandangan yang berbeda tentang tujuan dari keberadaan hukum pidana.
Menurut pandangan yang pertama, tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi
masyarakat dari kejahatan. Pandangan kedua, untuk melindungi individu-individu dari
kemungkinan kesewenangan penguasa.
• Mengingat, bahwa tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi dan menyelamatkan
individu atas adanya kejahatan dalam masyarakat, sehingga tujuan tersebut harus dijaga
agar tidak adanya kejahatan yang lolos karena kekeliruan atau tidak cermatnya sistem
administrasi peradilan pidana.
• Eddy O.S. Hieariej sendiri mengakui jika tujuan pidana dan tujuan hukum pidana adalah
dua hal yang berbeda. Kendatipun demikian, tujuan pidana tidak terlepas dari aliran-
aliran dalam hukum pidana. Jika aliran-aliran dalam hukum pidana yang mendasari
tujuan hukum pidana terdiri dari aliran klasik, aliran modern dan aliran neo-klasik, maka
tujuan pidana secara garis besar juga terbagi menjadi tiga, yakni teori Absolut, teori
relatif dan teori gabungan
• B. TEORI ABSOLUT
• Teori absolut lahir pada aliran klasik dalam hukum pidana. Menurut teori absolut,
pembalasan adalah legitimasi pemidanaan. Vos dalam Leerboek-nya berkomentar
bahwa teori absolut muncul pada akhir abad ke-18, mencari dasar hukum pemidanaan
terhadap kejahatan: kejahatan itu sendiri dilihat sebagai dasar dipidananya pelaku.
Penganut teori absolut ini Imannuel Kant, Hegel, Herbart, dan Julius Stahl.129 Selain
nama tadi, ada van Bemmelen dan van Hattum. Pendapat Kant, pidana adalah etik
praktisnya suatu ketidakadilan,
• Oleh karenanya kejahatan harus dipidana. Menurut Herbart menyatakan pidana harus
dipenuhi pada pelaku agar ia merasa beratnya nestapa seperti ia mengakibatkan orang
lain menderita. Sementara Stahl bahwa pidana adalah keadilan Tuhan. Penguasa sebagai
wakil Tuhan di dunia harus memberlakukan keadilan Tuhan di dunia.
• C. TEORI RELATIF
• Pendapat Hulsman yang mengatakan hakikat pidana bukanlah pemberian nestapa
merupakan pendapat yang tidak searah dengan teori absolut. Hakekat pidana bagi
Hulsman sebagaimana yang dikutip oleh Sudarto, ialah “tot de orde reopen”
(menyerukan untuk tertib). Senada dengan pendapat ini adalah pendirian van
Binsbergen bahwa secara hakiki dari pidana adalah “een terechtwijzing door de overheid
terzake van een starbaar feit” (suatu pernyataan salah oleh penguasa sehubungan
dengan suatu tindak pidana).
• Teori relatif (teori tujuan) melalui hukum pidana hendak mencapai tertib sosial dengan
tujuan pencegahan terhadap kejahatan. Orientasinya adalah bagaimana mencegah
kejahatan (prevensi) Teori relatif membedakan prevensi umum dan prevensi khusus.
• Prevensi umum menghendaki agar orang-orang pada umumnya tidak melakukan delik,
dilakukan dengan menakuti melalui jalan pelaksanaan pidana yang dipertontonkan.
Keberatan terhadap prevensi umum ini ialah digunakannya penderitaan orang lain untuk
maksud prevensi umum tercapai.
• Oleh von Feuerbach prevensi umum ini lebih dikenal dengan istilah
psychologischezwang atau paksaan psikologis. Artinya, adanya pidana yang dijatuhkan
terhadap seseorang yang melakukan kejahatan akan memberikan rasa takut kepada
orang lain untuk tidak berbuat jahat. Oleh karena itu, menurut von Feuerbach sanksi
pidana yang diancamkan terhadap perbuatan yang dilarang harus tertulis dalam undang-
undang sehingga mengurungkan niat orang berbuat jahat.136 Pada kesimpulannya,
prevensi umum pencegahan kejahatan ditujukan pada masyarakat, sementara prevensi
khusus ditujukan pada si pelaku.
• D. TEORI GABUNGAN
• Vos secara tegas menyatakan bahwa selain teori absolut dan teori relatif juga terdapat
keompok ketiga yang disebut teori gabungan. Di sini terdapat suatu kombinasi antara
pembalasan dan ketertiban masyarakat. Selain itu ada nama Zevenbergen, seseorang
ahli hukum pidana Jerman yang menitikberatkan pada pembalasan, namun bertujuan
melindungi tertib hukum, karena respek terhadap hukum dan penguasa. Pada
hakikatnya, menurut Zevenbergen pidana adalah suatu ultimum remedium. Penganut
teori gabungan yang menitikberatkan perlindungan masyarakat daripada pembalasan
adalah Simons. Menurutnya, prevensi umum terletak pada pidana yang diancamkan,
sementara prevensi khusus menakutkan dan memperbaiki. 138
• Van Bemmelan pun menganut teori gabungan dengan mengatakan pidana bertujuan
membalas kesalahan dan mengamankan masyarakat. Tindakan bermaksud
mengamankan dan memelihara tujuan. Jadi pidana dan tindakan, keduanya bertujuan
mempersiapkan untuk mengembalikan terpidana ke dalam kehidupan masyarakat.
• Grotius mengembangkan teori gabungan yang menitikberatkan keadilan mutlak yang
diwujudkan dalam pembalasan, tetapi berguna bagi masyarakat. Dasar tiap-tiap pidana
ialah penderitaan yang beratnya sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh
terpidana. Tetapi sampai batas mana beratnya pidana dan beratnya perbuatan yang
dilakukan oleh terpidana dapat diukur, ditentukan oleh apa yang berguna bagi
masyarakat.
• BAB IV
• PENAFSIRAN HUKUM PIDANA
• A.URGENSI PENAFSIRAN HUKUM PIDANA
• Pada dasarnya, apa yang dilakukan oleh hakim di persidangan adalah mengkonstatasi
peristiwa konkret, yang sekaligus berarti merumuskan peristiwa konkret, mengkualifikasi
peristiwa konkret yang berarti juga menetapkan peristiwa hukumnya dari peristiwa
konkret, dan mengkonstitusi atau memberi hukumannya. Biasanya hal ini dilakukan
dengan legal problem identification, legal problem solving, dan decision making.
• Pendapat klasik Montesquieu mengatakan hakim hanya sebagai corong undang-undang
sudah tidak relevan lagi di era kini. Bahkan di dalam hukum Indonesia, hakim
sebagaimana sesuai dengan asas curia novit bahwa hakim tidak boleh menolak perkara
yang diajukan ke pengadilan, karena hukumnya tidak ada atau kurang jelas. Dalam hal
ini, hakim diberikan tugas untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum
yang hidup di masyarakat. Hakim harus menggali makna dari setiap peristiwa hukum.
Menggali makna untuk melakukan argumentasi hukum yang bisa dilakukan dengan tiga
perbuatan hukum yaitu; penemuan hukum, pembentukan hukum, dan penciptaan
hukum.
• Van Hattum telah menyangkal kebenaran pendapat Montesquieu, dengan mengatakan
bahwa di dalam hukum pidana pendapat yang mengatakan hakim hanya sebagai corong
undang-undang telah ditinggalkan. Begitu pula, van Hamel dengan tegas menyatakan
ketidaksepakatannya dengan Montesquieu, bahwa pendapat seperti itu telah
ketinggalan zaman dan mungkin hanya tepat dikemukakan pada akhir abad ke-18 atau
abad ke-19
• Sebagaimana Eddy O.S. Hiariej mengatakan di dalam hukum pidana ada baberapa asas-
asas umum dalam penafsiran, yaitu:
• Asas proporsionalitas dan asas subsidaritas.
• Asas proporsionalitas adalah keseimbangan antara tujuan dari suatu undang-undang.
Sementara asas subsidaritas jika suatu persoalan sulit memunculkan beberapa alternatif
pemecahan, maka harus dipilih pemecahan yang paling sedikit menimbulkan kerugian.
• 2. Prinsip relevansi dalam hukum pidana
• Prinsip keberlakuan hukum pidana yang hanya mempersoalkan penyimpangan perilaku
sosial yang patut mendapat reaksi atau koreksi dari sudut pandang hukum pidana.
• 3.Asas kepatuta
• Kepatutanlah yang harus menguji logika yuridis.
• 4.Asas in dubio pro reo
• Jika terdapat keragu-raguan maka harus dipilih ketentuan atau penjelasan yang paling
menguntungkan terdakwa. Exceptio frimat vim legis in casibus non exceptis
• 5.Asas exceptio frimat vim legis in casibus non exceptis
• Jika penyimpangan terhadap aturan umum dilakukan, maka penyimpangan tersebut
harus diartikan secara sempit.
• 6. Prinsip titulus est lex dan rubrica est lex
• Prinsip titulus est lex judul perundang-undangan yang menentukan, sedangkan prinsip
rubrica est lex berarti rubrik atau bagian perundang-undanganlah yang menentukan.
• 7. Asas materiel
• Asas ini menyangkut dengan aturan-aturan tidak tertulis. Asas ini mengandung makna
pada saat melakukan interpretasi terhadap suatu peraturan perundang-undangan,
hakim harus memperhatikan asas tersebut sepanjang asas itu memang diakui dalam
dunia hukum sebagaimana dibuktikan dalam doktrin atau yurisprudensi.
• B. PENAFSIRAN ANALOGI DALAM HUKUM PIDANA
• Asas legalitas membatasi secara perinci dan cermat perbuatan apa yang dapat dipidana.
Meskipun asas legalitas mengandung melarang penafsiran analogi, akan tetapi dalam
ilmu hukum pidana dikenal beberapa metode penafsiran, yaitu: penafsiran gramatikal,
penafsiran logika, penafsiran sistematik, penafsiran sejarah, penafsiran teleologik,
penafsiran ekstensif, dan penafsiran analogi.
• Asas legalitas menegaskan jika penafsir (termasuk hakim) hanya sebagai corong undang-
undang. Atas alasan itu, beberapa pakar hukum pidana memberikan pandangan yang
berbeda, lebih khusus lagi terhadap penafsiran analogi
• Secara garis besar, analogi dalam hukum pidana dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
argumentum peranalogiam dan argumentum a contrario. Perihal argumentum
peranalogiam yaitu suatu peraturan khusus dalam undang-undang dijadikan umum yang
tidak tertulis dalam undang-undang, kemudian digali asas yang terdapat di dalamnya
dan disimpulkan dari ketentuan umum itu suatu peristiwa yang khusus. Adapun
argumentum a contrario adalah penafsiran yang didasarkan pada pengertian sebaliknya
dari peristiwa konkret yang dihadapi dengan peristiwa yang diatur dalam undang-
undang.
• C. METODE PENAFSIRAN HUKUM PIDANA.
•
• Dalam banyak literatur metode penemuan hukum dikenal dua metode utama. Pertama
ialah metode interpretasi dan metode konstruksi. Akan tetapi, di kalangan para pakar
hukum ada yang menyatukan antara metode interpretasi dan metode konstruksi
• Menurut Sudikno Mertokusumo sebagaimana yang dirujuk oleh Siti Malikhatun
Badriyah, penemuan hukum adalah proses pembentukan hukum oleh hakim atau
petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap
peristiwa-peristiwa konkret. Lebih konkret lagi dapat dikatakan bahwa penemuan
hukum adalah konkretisasi, kristalisasi atau individualisasi peraturan hukum atau das
sollen, yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkret atau Das sein
• Interpretasi gramatikal (menurut bahasa)
• Interpretasi historis
• Interprestasi sistematis
• Interpretasi sosiologis dan teleologis
• Interprestasi komparatif
• Interpretasi futuristik
• Nterprestasi Resriktif
• Interpretasi ekstensif
• Interprestasi autentik atau secara resmi
BAB V
PEMBAHASAN TINDAK PIDANA
1. Tindak pidana
Tindak pidana pada hakikatnya merupakan “prtbuatan yang diangkat” atau “ perbuatan
yang ditunjuk/ditetapkan sebagai perbuatan yang dapat dipidana oleh pembuat undang-
undang. Definisi tindak pidana yang demikian dirumuskan oleh Hoefnagels ketika ia
menyatakan kebijakan criminal merupakan dalam menetapkan perilaku manusia sebagai
suatu kejahatan atau tindak pidana.
2. Perbuatan pidana
Dapat dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan
hukum dilarang dan diancam pidana , asal saja bahwa larangannya ditunjukan kepada
perbuatan, ( yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang),
sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang ysng enimbulkannya kejadian itu.
3. Peristiwa pidana
Teguh prasetyo didalam bukunya mengkaji jika istilah “ peristiwa pidana “ pertama kali
dikemukakan oleh wirjono prodjodikoro, dalam perundang-undangan fiormal Indonesia.
Istilah “ peristiwa pidana “ pernah digunakan secara resmi dalam UUD sementara 1950,
yaitu dalam pasal 14 ayat 1 . secara substansif pengertian peristiwa pidana lebih
menunjuk kepada suatau kejadian yang dapat ditimbulkan baik oleh perbuatan manusia
maupun oleh gejala alam.
4. Delik
Menurut oemar seno adji disamping memakai istilah delik juga memakai istilah tindak
pidana.
5. Perbuatan criminal
• 1. Tindak pidana
• Tindak pidana pada hakikatnya merupakan “prtbuatan yang diangkat” atau “ perbuatan
yang ditunjuk/ditetapkan sebagai perbuatan yang dapat dipidana oleh pembuat undang-
undang. Definisi tindak pidana yang demikian dirumuskan oleh Hoefnagels ketika ia
menyatakan kebijakan criminal merupakan dalam menetapkan perilaku manusia sebagai
suatu kejahatan atau tindak pidana.
2.perbuatan pidana
• Dapat dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan
hukum dilarang dan diancam pidana , asal saja bahwa larangannya ditunjukan kepada
perbuatan, ( yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang),
sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang ysng enimbulkannya kejadian itu.
3. Peristiwa pidana
• Teguh prasetyo didalam bukunya mengkaji jika istilah “ peristiwa pidana “ pertama kali
dikemukakan oleh wirjono prodjodikoro, dalam perundang-undangan fiormal Indonesia.
Istilah “ peristiwa pidana “ pernah digunakan secara resmi dalam UUD sementara 1950,
yaitu dalam pasal 14 ayat 1 . secara substansif pengertian peristiwa pidana lebih
menunjuk kepada suatau kejadian yang dapat ditimbulkan baik oleh perbuatan manusia
maupun oleh gejala alam.
4.delik
Menurut oemar seno adji disamping memakai istilah delik juga memakai istilah tindak
pidana.
5. Perbuatan criminal
B. Unsur-unsur tindak pidana
Adapun unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu ,yaitu
1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus and culpa )
2. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud
didalam pasal 53 ayat 1 KUHP
3. Macam-macam maksud seperti yang terdpat dalam kejahatan pencurian, penipuan,
pemerasan, pemalsuan dll
4. Merencanakan terlebih dahulu seperti yang terdapat dalam kejahatan pembunuhan
5. Perasaan takut seperti yang terdapat dalam rumusan tindak pidana pasal 308 KUHP
Adapun unsur objektif dari suatu tindak pidana
1. Sifat melanggar hukum
2. Kualitas dari pelaku misalnya dalam kejahatan jabatan menurut pasa 415 KUHP
3. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan
sesuatu kenyataan sbg.
C. Jenis- jenis tindak pidana
1. Jenis tindak pidana ( delik ) di dalam KUHP
BAB VI
PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA
A. Kajian pidana tentang kemampuan bertanggung jawab
Mengenai mampu bertanggung jawab, pada waktu kitab undang-undang disusun
telah ditetapkan, bahwa unsur ini harus ada untuk dapat dipidananya seorang pelaku.
Jika terjadi sesuatu pengecualian, bahwa seorang pelaku harus dianggap tidak mampu
bertanggung jawab; jadi perbuatan itu tak dapat dipertanggung jawabkan padanya, ia
akan dilepaskan dari seluruh tuntutan hukum.
BAB VII
Masalah kesengajaan (dolus)
A. Kesengajaan menurut hukum pidana
Diberbagai literatur hukum pidana, para ahli memberikan komentar terhadap tidak
adanya pendefinisian mengenai arti kesengajaan pada KUHP, salah satunya menurut
Van Bemmelen mengatakan pembuatan UU tahun 1881 tidak memberikan defenisi
kesengajaan dalam kitab UU. Dalam M. V. T dengan tegas dikatakan, bahwa
pemerintah menerima satu-satunya uraian pengertian yang tepat yaitu apa yang
ditulis dalam kitab UU tahun 1809 :” sengaja ialah kemauan untuk melakukan atau
tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh UU. “
Dari tanggapan para ahli hukum dapat ditarik kesimpulan arti kesengajaan dapat
dilihat dari dua sumber, pertama: ada M.v.T (Memorie van Toelichting) . Kedua : arti
kesengajaan dapat ditemukan dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, baik dalam sudut
doktrin dan teori.
B. Teori Kesengajaan
Pembicaraan willens en wetens yang berhubungan dengan keadaan batin pelaku ,
dimana pelaku berbuat dengan sengaja karena dikehendaki dan diketahui, maka
dalam pengetahuan hukum pidana dapat diuraikan dua teori, yaitu: teori kehendak
( wilstheorie) yang diajarkan oleh Von Hippel dan teori pengetahuan
( voorstelingstheorie) yang diajarkan oleh Frank.
C. Pembagian Kesengajaan
Ilmu hukum pidana melakukan pembagian kesengajaan (dolus/opzet) kedalam dua
istilah pembagian, yakni corak kesengajaan dan jenis kesengajaan.
• Corak kesengajaan
1.Kesengajaan sebagai maksud (Opzet als Oogmerk)
Vos dan Jonkers menyampaikan sengaja sebagai maksud atau opzet als Oogmerk adalah
corak kesengajaan yang dikehendaki akibat perbuatannya oleh si pelaku.
2.Kesengajaan sebagai kepastian ( Opzet bij Zekerheidsbewustzijn)
Kesengajaan sebagai kepastian (Opzet bij Zekerheidsbewustzijn) yaitu sadar atau insaf
akan keharusan atau sadar akan kepastian.
3.Kesengajaan sebagai kemungkinan (Opzet met Waarschijnlijkeidsbewustzijn)
Menurut Eddy O.S.Hieariej, adakalanya suatu kesengajaan menimbulkan akibat yang
tidak pasti terjadi namun merupakan suatu kemungkinan. Dalam hal demikian demikian
terjadilah kesengajaan dengan kesadaran akan besarnya kemungkinan.
D. Unsur-unsur Delik yang Diliputi Unsur Kesengajaan (Dolus)
Moeljatno pernah menjelaskan perihal pertanggungjawaban pidana hanya dapat
dimintakan kepada mereka yang miliki kesalahan yang diliputi oleh kesengajaan atau
karena kealpaan. Kendati demikian, moeljatno juga mengusulkan di dalam KUHP itu
dicantumkan pengaturan mengenai pertanggungjawaban pidana. Pada bagian inilah,
maksud dari Moeljatno menempatkan untuk menguraikan “dengan kesengajaan “
dan “karena kealpaan “ itu bisa dirumuskan.
Kesimpulan dari pernyataan Moeljatno tersebut tentang “kesengajaan “ ada dua hal,
pertama : Jika ada unsur delik memuat unsur kesengajaan menjadi irrelevant dan tanpa
arti. Jikalau pun memuat unsur kesengajaan hanya diperlukan untuk menentukan sifat
melawan hukum perbuatan saja. Kedua: tidak diperlukan adanya penyebutan unsur
kesengajaan dalam perumusan delik.BAB VII
Masalah kesengajaan (dolus)
A. Kesengajaan menurut hukum pidana
Diberbagai literatur hukum pidana, para ahli memberikan komentar terhadap tidak
adanya pendefinisian mengenai arti kesengajaan pada KUHP, salah satunya
menurut Van Bemmelen mengatakan pembuatan UU tahun 1881 tidak memberikan
defenisi kesengajaan dalam kitab UU. Dalam M. V. T dengan tegas dikatakan, bahwa
pemerintah menerima satu-satunya uraian pengertian yang tepat yaitu apa yang
ditulis dalam kitab UU tahun 1809 :” sengaja ialah kemauan untuk melakukan atau
tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh UU. “
Dari tanggapan para ahli hukum dapat ditarik kesimpulan arti kesengajaan dapat
dilihat dari dua sumber, pertama: ada M.v.T (Memorie van Toelichting) . Kedua : arti
kesengajaan dapat ditemukan dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, baik dalam sudut
doktrin dan teori.
B. Teori Kesengajaan
Pembicaraan willens en wetens yang berhubungan dengan keadaan batin pelaku ,
dimana pelaku berbuat dengan sengaja karena dikehendaki dan diketahui, maka
dalam pengetahuan hukum pidana dapat diuraikan dua teori, yaitu: teori kehendak (
wilstheorie) yang diajarkan oleh Von Hippel dan teori pengetahuan
( voorstelingstheorie) yang diajarkan oleh Frank.
C. Pembagian Kesengajaan
Ilmu hukum pidana melakukan pembagian kesengajaan (dolus/opzet) kedalam dua
istilah pembagian, yakni corak kesengajaan dan jenis kesengajaan.
• Corak kesengajaan
1.Kesengajaan sebagai maksud (Opzet als Oogmerk)
Vos dan Jonkers menyampaikan sengaja sebagai maksud atau opzet als Oogmerk adalah
corak kesengajaan yang dikehendaki akibat perbuatannya oleh si pelaku.
2.Kesengajaan sebagai kepastian ( Opzet bi Zekerheidsbewustzijn) Kesengajaan sebagai
kepastian (Opzet bij Zekerheidsbewustzijn) yaitu sadar atau insaf akan keharusan atau
sadar akan kepastian.
3.Kesengajaan sebagai kemungkinan (Opzet met Waarschijnlijkeidsbewustzijn)
Menurut Eddy O.S.Hieariej, adakalanya suatu kesengajaan menimbulkan akibat yang
tidak pasti terjadi namun merupakan suatu kemungkinan. Dalam hal demikian demikian
terjadilah kesengajaan dengan kesadaran akan besarnya kemungkinan.
D. Unsur-unsur Delik yang Diliputi Unsur Kesengajaan (Dolus)
Moeljatno pernah menjelaskan perihal pertanggungjawaban pidana hanya dapat
dimintakan kepada mereka yang miliki kesalahan yang diliputi oleh kesengajaan atau
karena kealpaan. Kendati demikian, moeljatno juga mengusulkan di dalam KUHP itu
dicantumkan pengaturan mengenai pertanggungjawaban pidana. Pada bagian inilah,
maksud dari Moeljatno menempatkan untuk menguraikan “dengan kesengajaan “ dan
“karena kealpaan “ itu bisa dirumuskan.
Kesimpulan dari pernyataan Moeljatno tersebut tentang “kesengajaan “ ada dua hal,
pertama : Jika ada unsur delik memuat unsur kesengajaan menjadi irrelevant dan tanpa
arti. Jikalau pun memuat unsur kesengajaan hanya diperlukan untuk menentukan sifat
melawan hukum perbuatan saja. Kedua: tidak diperlukan adanya penyebutan unsur
kesengajaan dalam perumusan delik.
BAB VIII
A. Pengertian kealpaan
Culva merupakan kebalikan murni dari dolus yang dituntut adalah kurang berpikir cemat,
kurang pengetauan atau bertundak kurang terarah dibandungkan dengan orang lain
pada umumnya. Dolus berbuat salah gunakan kemampuannya secara keliru , sementara
culpa berbuat salah karena kelalaian tidak menggunakan kemampuannya yang dimiliki,
padahal dengan kemampuannya tersebut ia seharusnya gunakan.
B. Kriteria adanya kealpaan
Kriteria adanya kealpaan mengarah pada perbuatan yang tidak menduga-duga dan tidak
berhati-hati. Moeljatno menjelaskan uraian kelalaian (culpa) menurut van hamel
terhadap perbuatan yang tidak menduga-duga dan tidak berhati-hati sbg:
a. Tidak mengadakan penduga-duga (menduga-duga) yang perlu menurut hukum.
b. Tidak mengadakan perhati-hati (berhati-hati) sebagaimana diharuskan oleh hukum
Kriteria atau parameter untuk menentukan adanya kealpaan, kita dapat melihat
pendapat sudarto,ketika ia menjawab perihal menetapkan adanya kealpaan pada
seseorang sehingga ia dapat dinyatakan bersalah atau dicela.
1. Kealpaan orang ditentukan secara normative
2. Kealpaan orang ditentukan pada (ukuran ) orang pada umumnya
3. Kealpaan orang harus dilihat dari setiap peristiwanya
4. Kealpaan orang ditentukan oleh “ada kewajiban untuk berbuat lain”
C. Unsur-unsur delik yang diliputi oleh unsur culpa
Pembentukan undang-undang didalam KUHP telah mempergunakan perkataan
schuld untuk menunjukkan unsur culpa didalam suatu rumusan delik. Akan tetapi
untuk maksud yang sama, pembentuk undang-undang juga telah mempergunakan
perkataan-perkataan lain, misalnya “mempunyai alasan yang cukup kuat untuk
menduga” dan perkataan “secara pantas harus menduga “ bahwa suatu keadaan itu
memang ada, yakni misalnya yang dapat kita jumpai dalam rumusan delik menurut
pasal 115,119, dan 480 KUHP.
BAB lX
BAB X
BAB XI
AJARAN MENGENAI WAKTU DAN TEMPAT TERJADINYA TINDAK PIDANA
A. Pengantar Mengenai Waktu Dan Tempat Terjadinya Delik
Di dalam terjadinya suatu tindak pidana maka untuk menentukan waktu atau
(tempus delicti) dan tempat (locus delicti) terjadi tindak pidana adalah hal yang
penting KUHP tidak mengatur secara khusus mengenai tempus delikdan dolus
delicti, kecuali mengatur kekuatan berlakunya ketentuan hukum pidana.
Tempus delicti dan locus delicti tidak hanya berhubungan dengan perbuatan materiil
dari tindak pidana, tetapi juga menjadi aspek penting dari proses pembuktian dalam
hukum acara pidana. Memastikan tempus delicti dan locus delicti bukan semata-
mata demi kepentingan mencari kejelasan sebuah delik, melainkan juga penguraian
delik dalam arti waktu dan tempat terjadinya delik dan semua itu diuraikan dalam
Proses penuntutan.
Hukum pidana adalah hukum yang terikat pada ruang dan waktu. Sekalipun
pembuat undang-undang tidak memasukkan ruang dan waktu sebagai unsur dalam
rumus delik, tampak jelas ukum pidana Kapan dan di mana locus delicti pidana
dilakukan harus diketahui. Bila mana Jaksa atau penuntut umum lupa menyebutkan
kedua hal tersebut Di dalam surat dakwaan, maka dakwaan tersebut akan dianggap
batal demi hukum.
B.Ajaran Mengenai Tempus Delicti
Adalah masuk akal apabila pembuat undang-undang pidana tidak saja mensyaratkan
bahwa unsur-unsur delik harus dirumuskan tetapi juga harus ditetapkan waktu
(tempus) dan tempat (colusi) delik.
Menurut van Bemmelen di di dalam bukunya hukum pidana, penting sekali bahwa
tempat dan waktu delik dilakukan sedapat mungkin pastikan. Waktu dilakukan untuk
menentukan terlebih dahulu kepastian ini. Asas legalitas mengisyaratkan dari segi
waktu terjadinya tindak pidana menimbulkan konsekuensi tidak ada perbuatan yang
dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan
dalam suatu aturan undang-undang dari segi waktu itu berarti rumusan delik
terlebih dahulu menyebutkan kualifikasi perbuatan tertentu yang diliputi delik untuk
menentukan terhadap kelakuan atau perbuatan mana yang dinyatakan delik.
C. AJARAN MENGENAI COLUS DELICTI
Dengan demikian berkenaan dengan tempat terjadinya tindak pidana locus delicti)
dapat disimpulkan beberapa catatan penting.
Yang pertama, kewenangan relatif mengadili berdasarkan colos delicti dapat
disimpulkan beberapa catatan penting. sebagaimana yang dimaksud pasal 84 KUHP.
Kedua, ruang lingkup berlakunya aturan pidana sebagaimana maksud pasal 2 sampai
dengan pasal 9 KUHP.
Ketiga, tindak pidana ditentukan oleh locys delicti yang dilakukan di muka umum
atau dengan kata lain tempat umum yang dapat dilihat serta disaksikan oleh
khalayak ramai misalnya seperti yang dimaksud di dalam pasal 160 dan 281 KUHP.
Pada umumnya, mengenai locus delicti atau tempat terjadinya tindak pidana dikenal
tiga macam teori, yaitu: teori perbuatan materiel (de leer van de lichamelijke daad)
teori yang mendasarkan di mana perbuatan terjadi yang dilakukan oleh seseorang,
teori yang mendasarkan di mana alat yang dipakai untuk melakukan perbuatan, teori
akibat (de leer van het gevlog) teori yang mendasarkan atas di mana akibat yang
langsung menimbulkan kejadian dan di mana akibat itu ditentukan atau telah selesai
oleh delik. Namun dari ketiga teori itu dapat digabungkan menjadi bersifat
kompromi, yang dinamakan "theorie van de meervoudige plaats en tijds".483
Teori perbuatan materiel (de leer van de lichamelijke daad) menyatakan tempat
tindak pidana ditentukan oleh perbuatan jasmaniah yang dilakukan oleh si pembuat
dalam mewujudkan tindak pidana. 484 Teori tentang tempat di mana kelakuannya
terjadi.485
Lazimnya, terhadap delik formil teori perbuatan materiel dapat mudah digunakan
karena menitikberatkan pada tempat terjadinya tindak pidana ditentukan pada
tempat perbuatan delik formil itu diwujudkan pelaku. Akan tetapi, untuk delik
materiel akan sulit diterapkan, karena delik materiel bergantung pada akibatnya dari
perbuatan yang harus selesai, dan bisa jadi akibatnya berada pada tempat terpisah
dengan perbuatan yang dilakukan.
Kapan hamil menjelaskan bahwa yang menentukan locus delicti ialah :
1. Tempat di mana seorang pelaku itu telah melakukan sendiri perbuatannya ( de
plaats van de lichamelijke daad)
2. Tempat di mana alat yang telah digunakan oleh seorang pelaku itu bekerja (de
plssts van de uitweking van bet instrument)
3. Tempat di mana akibat langsung dari suatu tindak kan itu telah timbul ( de plaats
van bet onmuddelijk gevolg)
4. Tempat di mana suatu akibat konstitutif itu telah timbul ( de plaats van bet
consitutif gevolg)
BAB XII
BAB XIII
PIDANA DAN PEMIDANAAN
Tujuan pemidanaan dihubungkan dengan sistem pemidanaan, menurut hulsman
bahwa sistem pemidanaan adalah aturan perundang-undangan yang berhubungan
dengan sanksi pidana dan pemidanaan. Apabila pengertian pemidanaan diartikan
sebagai suatu pemberian atau penjatuhan pidana maka pengertian sistem
pemidanaan dapat dilihat dari dua sudut :
1. Dalam arti luas , sistem pemidanaan dilihat dari sudut fungsional, yaitu dari sudut
bekerjanya/ prosesnya.
2. Dalam arti sempit, sistem pemidanaan dilihat dari sudut normatif / substantif
yaitu hanya dilihat dari norma-norma hukum pidana substantif.
A. Pidana pokok
Merujuk pada pasal 10 KUHP huruf a , ditentukan pidana pokok terdiri dari lima jenis
pidana pokok, yaitu pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan,pidana denda dan
pidana tutupan .
Prinsip umum dalam penjatuhan pidana pokok berdasarkan KUHP adalah hakim
dilarang menjatuhkan lebih dari satu pidana pokok. Oleh karena itu, ancaman pidana
dalam KUHP pada umunya bersifat alternatif antara pidana penjara dan pidana
denda.
B. Pidana penjara
Pidana penjara adalah salah satu bentuk pidana perampasan kemerdekaan ( pidana
badan ) . Pidana penajara dapat dijatuhkan seumur hidup atau hanya sementara
waktu saja. Untuk yang disebut yang terakhir , jangka waktunya minimal sehari dan
selam-lamanya limat belas tahun.
Pidana penjara terdiri dari
a. Pidana penjara seumur hidup
b. Pidana penjara selama waktu tertentu, yang lamanya;(1) paling pendek 1 hari
paling lama 15 tahun dan (2) boleh dikenakan untuk 20 tahun.
Keputusan untuk pembebasan bersyarat itu diberikan oleh menteri kehakiman
( pasal 16 KUHP )
1. Pidana kurungan
Pidana kurungan lebih ringan daripada pidana penjara apabila dilihat dari peraturan,
karena ancaman maksimum pidana kurungan jauh lebih pendek bila dibandingkan
dengan maksimum ancaman pidana penjara.
2. Pidana denda
Hukuman denda selain diancamkan pada pelaku pelanggaran juga diancamkan
terhadap kejahatan yang adakalanya sebagai alternatif atau kumulatif. Jumlah yang
dikenakan pada hukuman denda ditentukan minimum dua puluh lima, sedangkan
jumlah maksimum tidak ad ketentuan.
3. Pidana tutupan
Pidana tutupan dalam konteks hukum pidana Indonesia adalah berdasarkan undang-
undang nomor 20 tahun 1946 tentang hukuman tutupan.
D. Pidana Tambahan
Pidana tambahan diatur dalam pasal 10 KUHP huruf b yang terdiri dari jenis , yaitu
pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan
pengumuman putusan hakim.
Remmelink memberikan beberapa catatan mengenai pidana tambahan SBG:
1. Pidana tambahan bersifat fakultatif , hakim bebas menggunakan atau tidak pilihan
itu.
2. Pidana tambahan menetapkan minimal khusus dan dapat diberlakukan ketentuan
minimal dan maksimal.
3. Pidana tambahan tidak berlaku bagi mereka yang belum cukup umur pada waktu
putusan dibacakan belum mencapai usia 18 tahun,
4. Didalam ketentuan lain diluar KUHP ditemukan pula ketentuan mengenai pidana
tambahan misalnya pada undang-undang delik ekonomi.
a. Pencabutan hak-hak tertentu
Pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu tidak berarti hak-hak
terpidana dapat dicabut.
b. Perampasan barang-barang tertentu
c. Pengumuman putusan hakim
E. Pidana bersyarat
Dalam pasal 14a KUHP dinyatakan bahwa pidana bersyarat hanya dapat dijatuhkan
bilama memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Dalam putusan yang menjatuhkan pidana penjara, asal lamanya tidak lebih dari
satu tahun.
2. Pidana bersyarat dapat dijatuhkan sehunungnya dengan pidana kurungan, dengan
ketentuan tidak termasuk pidana kurungan pengganti denda.
3. Dalam hal menyangkut pidana , maka pidana bersyarat dapat dijatuhkan dengan
batasan bahwa hakim harus yakin bahwa pembayaran denda betul akan dirasakan
berat si terdakwa
E. Pelepasan bersyarat
Pidana bersyarat dan pelepasan bersyarat itu adalah perwujudan dari unsur
perikemanusiaan yang dimaksudkan kedalam stelsel hukum pidana modern, dan
sebagai hasrat untuk memberikan kesempatan kepada yang telah melakukan tindak
pidana untuk mengadakan koreksi terhadap dirinya sendiri.BAB XIII
PIDANA DAN PEMIDANAAN
Tujuan pemidanaan dihubungkan dengan sistem pemidanaan, menurut hulsman
bahwa sistem pemidanaan adalah aturan perundang-undangan yang berhubungan
dengan sanksi pidana dan pemidanaan. Apabila pengertian pemidanaan diartikan
sebagai suatu pemberian atau penjatuhan pidana maka pengertian sistem
pemidanaan dapat dilihat dari dua sudut :
1. Dalam arti luas , sistem pemidanaan dilihat dari sudut fungsional, yaitu dari sudut
bekerjanya/ prosesnya.
2. Dalam arti sempit, sistem pemidanaan dilihat dari sudut normatif / substantif
yaitu hanya dilihat dari norma-norma hukum pidana substantif.
A. Pidana pokok
Merujuk pada pasal 10 KUHP huruf a , ditentukan pidana pokok terdiri dari lima jenis
pidana pokok, yaitu pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan,pidana denda dan
pidana tutupan .
Prinsip umum dalam penjatuhan pidana pokok berdasarkan KUHP adalah hakim
dilarang menjatuhkan lebih dari satu pidana pokok. Oleh karena itu, ancaman pidana
dalam KUHP pada umunya bersifat alternatif antara pidana penjara dan pidana
denda.
B. Pidana penjara
Pidana penjara adalah salah satu bentuk pidana perampasan kemerdekaan ( pidana
badan ) . Pidana penajara dapat dijatuhkan seumur hidup atau hanya sementara
waktu saja. Untuk yang disebut yang terakhir , jangka waktunya minimal sehari dan
selam-lamanya limat belas tahun.
Pidana penjara terdiri dari
a. Pidana penjara seumur hidup
b. Pidana penjara selama waktu tertentu, yang lamanya;(1) paling pendek 1 hari
paling lama 15 tahun dan (2) boleh dikenakan untuk 20 tahun.
Keputusan untuk pembebasan bersyarat itu diberikan oleh menteri kehakiman
( pasal 16 KUHP )
1. Pidana kurungan
Pidana kurungan lebih ringan daripada pidana penjara apabila dilihat dari peraturan,
karena ancaman maksimum pidana kurungan jauh lebih pendek bila dibandingkan
dengan maksimum ancaman pidana penjara.
2. Pidana denda
Hukuman denda selain diancamkan pada pelaku pelanggaran juga diancamkan
terhadap kejahatan yang adakalanya sebagai alternatif atau kumulatif. Jumlah yang
dikenakan pada hukuman denda ditentukan minimum dua puluh lima, sedangkan
jumlah maksimum tidak ad ketentuan.
3. Pidana tutupan
Pidana tutupan dalam konteks hukum pidana Indonesia adalah berdasarkan undang-
undang nomor 20 tahun 1946 tentang hukuman tutupan.
C. Pidana Tambahan
Pidana tambahan diatur dalam pasal 10 KUHP huruf b yang terdiri dari jenis , yaitu
pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan
pengumuman putusan hakim.
Remmelink memberikan beberapa catatan mengenai pidana tambahan SBG:
1. Pidana tambahan bersifat fakultatif , hakim bebas menggunakan atau tidak pilihan
itu.
2. Pidana tambahan menetapkan minimal khusus dan dapat diberlakukan ketentuan
minimal dan maksimal.
3. Pidana tambahan tidak berlaku bagi mereka yang belum cukup umur pada waktu
putusan dibacakan belum mencapai usia 18 tahun,
4. Didalam ketentuan lain diluar KUHP ditemukan pula ketentuan mengenai pidana
tambahan misalnya pada undang-undang delik ekonomi.
a. Pencabutan hak-hak tertentu
Pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu tidak berarti hak-hak
terpidana dapat dicabut.
b. Perampasan barang-barang tertentu
c. Pengumuman putusan hakim
E. Pidana bersyarat
Dalam pasal 14a KUHP dinyatakan bahwa pidana bersyarat hanya dapat dijatuhkan
bilama memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Dalam putusan yang menjatuhkan pidana penjara, asal lamanya tidak lebih dari
satu tahun.
2. Pidana bersyarat dapat dijatuhkan sehunungnya dengan pidana kurungan, dengan
ketentuan tidak termasuk pidana kurungan pengganti denda.
3. Dalam hal menyangkut pidana , maka pidana bersyarat dapat dijatuhkan dengan
batasan bahwa hakim harus yakin bahwa pembayaran denda betul akan dirasakan
berat si terdakwa
E. Pelepasan bersyarat
Pidana bersyarat dan pelepasan bersyarat itu adalah perwujudan dari unsur
perikemanusiaan yang dimaksudkan kedalam stelsel hukum pidana modern, dan
sebagai hasrat untuk memberikan kesempatan kepada yang telah melakukan tindak
pidana untuk mengadakan koreksi terhadap dirinya sendiri.