Anda di halaman 1dari 32

Nama :sriwahyuni

Nim:10400121157

Kelas :IHK-E

RESUME

HUKUM PIDANA

BAB I

Pengertian dan Dasar Hukum Pidana

A. Pengertian Hukum Pidana

Istilah Hukum pidana merupakan terjemahan dari istilah bahasa Belanda straftrecht, straft artinya
pidana dan recht artinya Hukum.Menurut Wirjono Prodjodikoro bahwa istilah hukum pidana itu
digunakan sejak pendudukan Jepang di Indonesia untuk pengertian straftrecht dari bahasa Belanda.

Hukum pidana sebagai disiplin ilmu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari ilmu hukum. Menurut
Sudarto bahwa ilmu hukum merupakan ilmu kemasyarakatan yang normatif dan tak lepas dari
mempelajari tingkah laku manusia dalam masyarakat.

Hukum pidana diposisikan sebagai hukum publik mengatur tingkah laku masyarakat sosial sudut
pandang perbuatan dan penjatuhan sanksi. Kendati demikian, dikalangan para pakar hukum
mengakui tidak adanya keseragaman yang baku mengenai pengertian pidana.

Simons, dalam bukunya Leerboek Nederlands Straftrecht , 1937 memberikan definisi hukum pidana
sebagai berikut :

“Hukum pidana adalah keseluruhan larangan dan perintah yang diadakan oleh Negara dan yang
diancam dengan suatu nestapa (pidana) barangsiapa yang tidak menaatinya, keseluruhan aturan-
aturan yang menentukan syarat-syarat bagi akibat hukum itu dan keseluruhan aturan-aturan untuk
mengadakan ( menjatuhi) dan menjalankan hukum pidana tersebut”.

Sebagai pakar hukum pidana terkemuka di Indonesia, Moeljatno di dalam bukunya Asas-Asas
Hukum Pidana , memberikan batasan dan pengertian hukum pidana ialah merupakan bagian
daripada keseluruhan hukum yang berlaku disuatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan
aturan-aturan untuk :

a. Menentukan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang disertai


ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa yang melanggar aturan
tersebut.
b. Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-
larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada
orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
B. Sumber Hukum Pidana

Secara umum, hukum pidana dapat ditemukan dalam beberapa sumber hukum, yakni :

1) . KUHP ( Wetboek van Straftrecht) sebagai sumber utama hukum pidana Indonesia,
terdiri atas:
a. Terdiri dari tiga bagian buku dalam KUHP, yaitu buku I tentang ketentuan
buku II tentang kejahatan, dan buku III tentang pelanggaran.
b. Memorie van Toelichting (M.v.T) atau memori penjelasan KUHP.
2) . UU diluar KUHP yang berupa pidana khusus.
3) Berupa yurisprudensi yang memberikan makna atau kaidah hukum tentang istilah
dalam hukum pidana.
4) Di daerah-daerah perbuatan-perbuatan tertentu yang dilarang dan tercela menurut
pandangan Masyarakat yang tidak diatur dalam KUHP.
C. Pembagian Hukum Pidana

Karena adanya perbedaan rumusan mengenai pengertian hukum pidana, maka pembagian hukum
pidana dapat meliputi sebagai berikut:

1.Hukum pidana materiel dan hukum pidana formil

a. Hukum pidana materiel memuat aturan-aturan yang menetapkan dan merumuskan


perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana. Aturan-aturan yang yang memuat syarat untuk
dapat menjatuhkan pidana dan ketentuan pidana.
b. Hukum pidana formi (KUHAP)mengatur bagaimana Negara dengan perantaraan alat-alat
perlengkapannya melaksanakan haknya untuk mengenakan pidana.

2.Hukum pidana Umum dan hukum pidana khusus

a. Hukum pidana Umum ialah hukum ynag berlaku bagi semua orang yang berada di wilayah
Indonesia terkecuali bangsa asing yang menurut hukum Internasional mempunyai hak
eksteritorialitas.
b. Hukum pidana khusus ialah hukum pidana yang dibuat untuk subjek hukum khusus atau
untuk perbuatan-perbuatan pidana tertentu

3.Hukum Pidana Objektif dan Hukum pidana Subjektif

a. Hukum pidana Objektif ialah hukum pidana yang berlaku atau yang juga disebut sebagai
hukum positif atau ius poenale.
b. Hukum pidana subjektif atau ius puniendi.

4.Hukum pidana yang dikodifikasikan dan hukum pidana yang tidak dikodifikasikan.

a. Hukum pidana yang dikodifikasikan, yaitu hukum pidana yang disistematisasikan dan
dibukukan dalam satu kodifikasi / kitab.
b. Hukum pidana yang tidak dikodifikasikan yaitu hukum pidana yang diluar KUHP.

5.Hukum pidana tertulis dan hukum pidana tidak tertulis

6.Hukum pidana Internasional dan hukum pidana Nasional


D. Fungsi Hukum Pidana

Menurut Sudarto , hukum pidana itu merupakan sebagian dari keseluruhan lapangan hukum, maka
fungsi hukum pidana juga sama dengan fungsi pada umumnya, ialah mengatur hidup
kemasyarakatan atau menyelenggarakan tata dalam masyarakat.

BAB II

Asas-Asas Berlakunya Hukum Pidana Menurut Waktu dan Tempat

A. Asas Legalitas

Asas legalitas sebagai sebuah asas hukum dan dipandang sebagai dasar atau petunjuk bagi hukum
yang berlaku, maka setidaknya asas hukum mempunyai dua landasan menurut Nieuwenhuis
sebagaimana yang dikutip oleh Sudikno Mertokusumo , pertama : asas hukum itu berakar dalam
kenyataan Masyarakat, dan kedua pada nilai-nilai yang dipilih sebagai pedoman oleh kehidupan
bersama. Penyatuan faktor riil dan dan idiil hukum ini merupakan fungsi asas hukum.

Moeljatno menulis bahwa asas legalitas itu mengandung tiga pengertian. Pertama :tidak ada
perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan
dalam suatu aturan UU. Kedua : Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan
analogi. Ketiga : aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.

B. Asas Teritorial

Asas teritorial diatur dalam pasal 2 KUHP , yang menyatakan aturan pidana (Wettelijke
strafbepalingen) dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan
perbuatan pidana di wilayah Indonesia, baik sebagai warga negara maupun orang asing.

Asas teritorial menentukan batas wilayah kedalam ruang lingkup :

a. Daratan dengan batas-batas yang diakui negara-negara asing, yakni :bekas Hindia-Belanda
dulu ( penjelasan UUD 1945) ditambah ;Timor-Timor.
b. Laut, perbatasan mestinya ditentukan dalam hukum antarnegara. Tetapi sekarang belum
ada ketentuan pasti yang pasti. Indonesia pada tanggal 13 Desember 1957 mengumumkan
batas laut teritorial. (Ditetapkan dengan UU No. 4 tahun 1960/Perpu ). Prinsip ini dikenal
dengan wawasan Nusantara.
c. Udara diatas daratan dan lautan.
C. Asas Perlindungan (Nasional Pasif)

Asas ini menentukan bahwa hukum pidana suatu negara ( juga Indonesia) berlaku terhadap
perbuatan-perbuatan yang dilakukan di luar Negeri, jika karena itu kepentingan tertentu terutama
kepentingan negara dilanggar di luar wilayah kekuasaan negara itu. Asas ini tercantum di dalam
pasal 4 ayat 1 , 2 dan 4 KUHP.

D. Asas Personal (Nasional Aktif)

Asas ini mengatakan bahwa peraturan hukum pidana Indonesia berlaku bagi setiap warga Negara
Indonesia yang melakukan tindak pidana baik di dalam Negeri, maupun di luar Negeri.

E. Asas Universal

Asas ini sering disebut juga asas penyelenggaraan hukum dunia. Berlakunya asas ini tidak saja untuk
melindungi kepentingan nasional Indonesia tetapi juga untuk melindungi kepentingan hukum
Indonesia.

BAB III

Teori Tujuan Hukum Pidana

A.RUANG LINGKUP TUJUAN HUKUM PIDANA

Penting dikemukakan, di berbagai literatur hukum pidana beberapa ahli hampir senada dalam
menguraikan tujuan pidana yang dilingkupi oleh tiga teori utama: teori absolut, teori relatif maupun
teori gabungan. Sering kali pakar hukum pidana secara bergantian menggunakan istilah yang
berbeda, yaitu tujuan pidana, tujuan pemidanaan, dan tujuan hukum pidana.

Terdapat dua pandangan yang berbeda tentang tujuan dari keberadaan hukum pidana. Menurut
pandangan yang pertama, tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi masyarakat dari
kejahatan. Pandangan kedua, untuk melindungi individu-individu dari kemungkinan kesewenangan
penguasa. Mengingat, bahwa tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi dan menyelamatkan
individu atas adanya kejahatan dalam masyarakat, sehingga tujuan tersebut harus dijaga agar tidak
adanya kejahatan yang lolos karena kekeliruan atau tidak cermatnya sistem administrasi peradilan
pidana.

Eddy O.S. Hieariej sendiri mengakui jika tujuan pidana dan tujuan hukum pidana adalah dua hal yang
berbeda. Kendatipun demikian, tujuan pidana tidak terlepas dari aliran-aliran dalam hukum pidana.
Jika aliran-aliran dalam hukum pidana yang mendasari tujuan hukum pidana terdiri dari aliran klasik,
aliran modern dan aliran neo-klasik, maka tujuan pidana secara garis besar juga terbagi menjadi tiga,
yakni teori Absolut, teori relatif dan teori gabungan.

B. TEORI ABSOLUT

Teori absolut lahir pada aliran klasik dalam hukum pidana. Menurut teori absolut, pembalasan
adalah legitimasi pemidanaan. Vos dalam Leerboek-nya berkomentar bahwa teori absolut muncul
pada akhir abad ke-18, mencari dasar hukum pemidanaan terhadap kejahatan: kejahatan itu sendiri
dilihat sebagai dasar dipidananya pelaku. Penganut teori absolut ini Imannuel Kant, Hegel, Herbart,
dan Julius Stahl.129 Selain nama tadi, ada van Bemmelen dan van Hattum. Pendapat Kant, pidana
adalah etik praktisnya suatu ketidakadilan,

Oleh karenanya kejahatan harus dipidana. Menurut Herbart menyatakan pidana harus dipenuhi
pada pelaku agar ia merasa beratnya nestapa seperti ia mengakibatkan orang lain menderita.
Sementara Stahl bahwa pidana adalah keadilan Tuhan. Penguasa sebagai wakil Tuhan di dunia harus
memberlakukan keadilan Tuhan di dunia.

C. TEORI RELATIF

Pendapat Hulsman yang mengatakan hakikat pidana bukanlah pemberian nestapa merupakan
pendapat yang tidak searah dengan teori absolut. Hakekat pidana bagi Hulsman sebagaimana yang
dikutip oleh Sudarto, ialah “tot de orde reopen” (menyerukan untuk tertib). Senada dengan
pendapat ini adalah pendirian van Binsbergen bahwa secara hakiki dari pidana adalah “een
terechtwijzing door de overheid terzake van een starbaar feit” (suatu pernyataan salah oleh
penguasa sehubungan dengan suatu tindak piRELATI Teori relatif (teori tujuan) melalui hukum
pidana hendak mencapai tertib sosial dengan tujuan pencegahan terhadap kejahatan. Orientasinya
adalah bagaimana mencegah kejahatan (prevensi) Teori relatif membedakan prevensi umum dan
prevensi khusus.

Prevensi umum menghendaki agar orang-orang pada umumnya tidak melakukan delik, dilakukan
dengan menakuti melalui jalan pelaksanaan pidana yang dipertontonkan. Keberatan terhadap
prevensi umum ini ialah digunakannya penderitaan orang lain untuk maksud prevensi umum
tercapai. Oleh von Feuerbach prevensi umum ini lebih dikenal dengan istilah psychologischezwang
atau paksaan psikologis. Artinya, adanya pidana yang dijatuhkan terhadap seseorang yang
melakukan kejahatan akan memberikan rasa takut kepada orang lain untuk tidak berbuat jahat. Oleh
karena itu, menurut von Feuerbach sanksi pidana yang diancamkan terhadap perbuatan yang
dilarang harus tertulis dalam undang-undang sehingga mengurungkan niat orang berbuat jahat.136
Pada kesimpulannya, prevensi umum pencegahan kejahatan ditujukan pada masyarakat, sementara
prevensi khusus ditujukan pada si pelaku.

E. TEORI GABUNGAN

Vos secara tegas menyatakan bahwa selain teori absolut dan teori relatif juga terdapat keompok
ketiga yang disebut teori gabungan. Di sini terdapat suatu kombinasi antara pembalasan dan
ketertiban masyarakat. Selain itu ada nama Zevenbergen, seseorang ahli hukum pidana Jerman yang
menitikberatkan pada pembalasan, namun bertujuan melindungi tertib hukum, karena respek
terhadap hukum dan penguasa. Pada hakikatnya, menurut Zevenbergen pidana adalah suatu
ultimum remedium. Penganut teori gabungan yang menitikberatkan perlindungan masyarakat
daripada pembalasan adalah Simons. Menurutnya, prevensi umum terletak pada pidana yang
diancamkan, sementara prevensi khusus menakutkan dan memperbaiki. 138

Van Bemmelan pun menganut teori gabungan dengan mengatakan pidana bertujuan membalas
kesalahan dan mengamankan masyarakat. Tindakan bermaksud mengamankan dan memelihara
tujuan. Jadi pidana dan tindakan, keduanya bertujuan mempersiapkan untuk mengembalikan
terpidana ke dalam kehidupan masyarakat. Grotius mengembangkan teori gabungan yang
menitikberatkan keadilan mutlak yang diwujudkan dalam pembalasan, tetapi berguna bagi
masyarakat. Dasar tiap-tiap pidana ialah penderitaan yang beratnya sesuai dengan beratnya
perbuatan yang dilakukan oleh terpidana. Tetapi sampai batas mana beratnya pidana dan beratnya
perbuatan yang dilakukan oleh terpidana dapat diukur, ditentukan oleh apa yang berguna bagi
masyarakat.

BAB IV

PENAFSIRAN HUKUM PIDANA

A.URGENSI PENAFSIRAN HUKUM PIDANA


Pada dasarnya, apa yang dilakukan oleh hakim di persidangan adalah mengkonstatasi peristiwa
konkret, yang sekaligus berarti merumuskan peristiwa konkret, mengkualifikasi peristiwa konkret
yang berarti juga menetapkan peristiwa hukumnya dari peristiwa konkret, dan mengkonstitusi atau
memberi hukumannya. Biasanya hal ini dilakukan dengan legal problem identification, legal problem
solving, dan decision making. Pendapat klasik Montesquieu mengatakan hakim hanya sebagai
corong undang-undang sudah tidak relevan lagi di era kini. Bahkan di dalam hukum Indonesia, hakim
sebagaimana sesuai dengan asas curia novit bahwa hakim tidak boleh menolak perkara yang
diajukan ke pengadilan, karena hukumnya tidak ada atau kurang jelas. Dalam hal ini, hakim diberikan
tugas untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat. Hakim
harus menggali makna dari setiap peristiwa hukum. Menggali makna untuk melakukan argumentasi
hukum yang bisa dilakukan dengan tiga perbuatan hukum yaitu; penemuan hukum, pembentukan
hukum, dan penciptaan hukum. Van Hattum telah menyangkal kebenaran pendapat Montesquieu,
dengan mengatakan bahwa di dalam hukum pidana pendapat yang mengatakan hakim hanya
sebagai corong undang-undang telah ditinggalkan. Begitu pula, van Hamel dengan tegas menyatakan
ketidaksepakatannya dengan Montesquieu, bahwa pendapat seperti itu telah ketinggalan zaman
dan mungkin hanya tepat dikemukakan pada akhir abad ke-18 atau abad ke-19.Sebagaimana Eddy
O.S. Hiariej mengatakan di dalam hukum pidana ada baberapa asas-asas umum dalam penafsiran,
yaitu: Asas proporsionalitas dan asas subsidaritas. Asas proporsionalitas adalah keseimbangan
antara tujuan dari suatu undang-undang. Sementara asas subsidaritas jika suatu persoalan sulit
memunculkan beberapa alternatif pemecahan, maka harus dipilih pemecahan yang paling sedikit
menimbulkan kerugian.

2. Prinsip relevansi dalam hukum pidana

Prinsip keberlakuan hukum pidana yang hanya mempersoalkan penyimpangan perilaku sosial yang
patut mendapat reaksi atau koreksi dari sudut pandang hukum pidana.

3.Asas kepatutan

Kepatutanlah yang harus menguji logika yuridis.

4.Asas in dubio pro reo

Jika terdapat keragu-raguan maka harus dipilih ketentuan atau penjelasan yang paling
menguntungkan terdakwa. Exceptio frimat vim legis in casibus non exceptis

5.Asas exceptio frimat vim legis in casibus non exceptis

Jika penyimpangan terhadap aturan umum dilakukan, maka penyimpangan tersebut harus diartikan
secara sempit.

6. Prinsip titulus est lex dan rubrica est lex

Prinsip titulus est lex judul perundang-undangan yang menentukan, sedangkan prinsip rubrica est lex
berarti rubrik atau bagian perundang-undanganlah yang menentukan.

7. Asas materiel

Asas ini menyangkut dengan aturan-aturan tidak tertulis. Asas ini mengandung makna pada saat
melakukan interpretasi terhadap suatu peraturan perundang-undangan, hakim harus
memperhatikan asas tersebut sepanjang asas itu memang diakui dalam dunia hukum sebagaimana
dibuktikan dalam doktrin atau yurisprudensi.

B. PENAFSIRAN ANALOGI DALAM HUKUM PIDANA


Asas legalitas membatasi secara perinci dan cermat perbuatan apa yang dapat dipidana. Meskipun
asas legalitas mengandung melarang penafsiran analogi, akan tetapi dalam ilmu hukum pidana
dikenal beberapa metode penafsiran, yaitu: penafsiran gramatikal, penafsiran logika, penafsiran
sistematik, penafsiran sejarah, penafsiran teleologik, penafsiran ekstensif, dan penafsiran analogi.

Asas legalitas menegaskan jika penafsir (termasuk hakim) hanya sebagai corong undang-undang.
Atas alasan itu, beberapa pakar hukum pidana memberikan pandangan yang berbeda, lebih khusus
lagi terhadap penafsiran analogi.

Secara garis besar, analogi dalam hukum pidana dapat dibedakan menjadi dua, yaitu argumentum
peranalogiam dan argumentum a contrario. Perihal argumentum peranalogiam yaitu suatu
peraturan khusus dalam undang-undang dijadikan umum yang tidak tertulis dalam undang-undang,
kemudian digali asas yang terdapat di dalamnya dan disimpulkan dari ketentuan umum itu suatu
peristiwa yang khusus. Adapun argumentum a contrario adalah penafsiran yang didasarkan pada
pengertian sebaliknya dari peristiwa konkret yang dihadapi dengan peristiwa yang diatur dalam
undang-undang.

C. METODE PENAFSIRAN HUKUM PIDANA.

Dalam banyak literatur metode penemuan hukum dikenal dua metode utama. Pertama ialah
metode interpretasi dan metode konstruksi. Akan tetapi, di kalangan para pakar hukum ada yang
menyatukan antara metode interpretasi dan metode konstruksi.

Menurut Sudikno Mertokusumo sebagaimana yang dirujuk oleh Siti Malikhatun Badriyah, penemuan
hukum adalah proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang
diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa konkret. Lebih konkret lagi dapat
dikatakan bahwa penemuan hukum adalah konkretisasi, kristalisasi atau individualisasi peraturan
hukum atau das sollen, yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkret atau Das sein.

• Interpretasi gramatikal (menurut bahasa)


• Interpretasi historis
• Interprestasi sistematis
• Interpretasi sosiologis dan teleologis
• Interprestasi komparatif
• Interpretasi futuristik
• Nterprestasi Resriktif
• Interpretasi ekstensif
• Interprestasi autentik atau secara resmi
• Interprestasi interdisipliner
• Interpretasi multidisiplinerBAB I

• Pengertian dan Dasar Hukum Pidana

A. Pengertian Hukum Pidana


• Istilah Hukum pidana merupakan terjemahan dari istilah bahasa Belanda straftrecht,
straft artinya pidana dan recht artinya Hukum.Menurut Wirjono Prodjodikoro bahwa
istilah hukum pidana itu digunakan sejak pendudukan Jepang di Indonesia untuk
pengertian straftrecht dari bahasa Belanda.
• Hukum pidana sebagai disiplin ilmu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari ilmu
hukum. Menurut Sudarto bahwa ilmu hukum merupakan ilmu kemasyarakatan yang
normatif dan tak lepas dari mempelajari tingkah laku manusia dalam masyarakat.
• Hukum pidana diposisikan sebagai hukum publik mengatur tingkah laku masyarakat
sosial sudut pandang perbuatan dan penjatuhan sanksi. Kendati demikian, dikalangan
para pakar hukum mengakui tidak adanya keseragaman yang baku mengenai pengertian
pidana.
• Simons, dalam bukunya Leerboek Nederlands Straftrecht , 1937 memberikan definisi
hukum pidana sebagai berikut :
• “Hukum pidana adalah keseluruhan larangan dan perintah yang diadakan oleh Negara
dan yang diancam dengan suatu nestapa (pidana) barangsiapa yang tidak menaatinya,
keseluruhan aturan-aturan yang menentukan syarat-syarat bagi akibat hukum itu dan
keseluruhan aturan-aturan untuk mengadakan ( menjatuhi) dan menjalankan hukum
pidana tersebut”.
• Sebagai pakar hukum pidana terkemuka di Indonesia, Moeljatno di dalam bukunya
Asas-Asas Hukum Pidana , memberikan batasan dan pengertian hukum pidana ialah
merupakan bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku disuatu Negara, yang
mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :
A. Menentukan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang
disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa yang
melanggar aturan tersebut.
B. Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar
larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah
diancamkan.
C. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
B. Sumber Hukum Pidana
Secara umum, hukum pidana dapat ditemukan dalam beberapa sumber hukum,
yakni :

• 1) . KUHP ( Wetboek van Straftrecht) sebagai sumber utama hukum pidana Indonesia,
terdiri atas:

• A. Terdiri dari tiga bagian buku dalam KUHP, yaitu buku I tentang ketentuan buku II
tentang kejahatan, dan buku III tentang pelanggaran.

B. Memorie van Toelichting (M.v.T) atau memori penjelasan KUHP.


2) . UU diluar KUHP yang berupa pidana khusus.
3) Berupa yurisprudensi yang memberikan makna atau kaidah hukum tentang
istilah dalam hukum pidana.
4) Di daerah-daerah perbuatan-perbuatan tertentu yang dilarang dan tercela
menurut pandangan Masyarakat yang tidak diatur dalam KUHP.
C. Pembagian Hukum Pidana
Karena adanya perbedaan rumusan mengenai pengertian hukum pidana, maka
pembagian hukum pidana dapat meliputi sebagai berikut:
1.Hukum pidana materiel dan hukum pidana formil
A. Hukum pidana materiel memuat aturan-aturan yang menetapkan dan
merumuskan perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana. Aturan-aturan yang yang
memuat syarat untuk dapat menjatuhkan pidana dan ketentuan pidana.
B. Hukum pidana formi (KUHAP)mengatur bagaimana Negara dengan
perantaraan alat-alat perlengkapannya melaksanakan haknya untuk mengenakan
pidana. 2.Hukum pidana Umum dan hukum pidana khusus
A. Hukum pidana Umum ialah hukum ynag berlaku bagi semua orang yang berada
di wilayah Indonesia terkecuali bangsa asing yang menurut hukum Internasional
mempunyai hak eksteritorialitas.
B. Hukum pidana khusus ialah hukum pidana yang dibuat untuk subjek hukum
khusus atau untuk perbuatan-perbuatan pidana tertentu
3.Hukum Pidana Objektif dan Hukum pidana Subjektif
A. Hukum pidana Objektif ialah hukum pidana yang berlaku atau yang juga disebut
sebagai hukum positif atau ius poenale.
B. Hukum pidana subjektif atau ius puniendi.
4.Hukum pidana yang dikodifikasikan dan hukum pidana yang tidak dikodifikasikan.
A. Hukum pidana yang dikodifikasikan, yaitu hukum pidana yang disistematisasikan
dan dibukukan dalam satu kodifikasi / kitab.
B. Hukum pidana yang tidak dikodifikasikan yaitu hukum pidana yang diluar KUHP.
5.Hukum pidana tertulis dan hukum pidana tidak tertulis
6.Hukum pidana Internasional dan hukum pidana Nasiona
D.fungsi hukum pidana
• Menurut Sudarto , hukum pidana itu merupakan sebagian dari keseluruhan lapangan
hukum, maka fungsi hukum pidana juga sama dengan fungsi pada umumnya, ialah
mengatur hidup kemasyarakatan atau menyelenggarakan tata dalam masyarakat.

BAB II

• Asas-Asas Berlakunya Hukum Pidana Menurut Waktu dan Tempat

A. Asas Legalitas

• Asas legalitas sebagai sebuah asas hukum dan dipandang sebagai dasar atau petunjuk
bagi hukum yang berlaku, maka setidaknya asas hukum mempunyai dua landasan
menurut Nieuwenhuis sebagaimana yang dikutip oleh Sudikno Mertokusumo , pertama :
asas hukum itu berakar dalam kenyataan Masyarakat, dan kedua pada nilai-nilai yang
dipilih sebagai pedoman oleh kehidupan bersama. Penyatuan faktor riil dan dan idiil
hukum ini merupakan fungsi asas hukum.
• Moeljatno menulis bahwa asas legalitas itu mengandung tiga pengertian.
Pertama :tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu
terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan UU. Kedua : Untuk menentukan
adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi. Ketiga : aturan-aturan hukum
pidana tidak berlaku surut.

B. Asas Teritorial
• Asas teritorial diatur dalam pasal 2 KUHP , yang menyatakan aturan pidana (Wettelijke
strafbepalingen) dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang
melakukan perbuatan pidana di wilayah Indonesia, baik sebagai warga negara maupun
orang asing.

• Asas teritorial menentukan batas wilayah kedalam ruang lingkup :

• A. Daratan dengan batas-batas yang diakui negara-negara asing, yakni :bekas Hindia-
Belanda dulu ( penjelasan UUD 1945) ditambah ;Timor-Timor.
• B. Laut, perbatasan mestinya ditentukan dalam hukum antarnegara. Tetapi sekarang
belum ada ketentuan pasti yang pasti. Indonesia pada tanggal 13 Desember 1957
mengumumkan batas laut teritorial. (Ditetapkan dengan UU No. 4 tahun 1960/Perpu ).
Prinsip ini dikenal dengan wawasan Nusantara.
• C. Udara diatas daratan dan lautan.
Asas Perlindungan (Nasional Pasif)
• Asas ini menentukan bahwa hukum pidana suatu negara ( juga Indonesia) berlaku
terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukan di luar Negeri, jika karena itu
kepentingan tertentu terutama kepentingan negara dilanggar di luar wilayah kekuasaan
negara itu. Asas ini tercantum di dalam pasal 4 ayat 1 , 2 dan 4 KUHP.
• D. Asas Personal (Nasional Aktif)
• Asas ini mengatakan bahwa peraturan hukum pidana Indonesia berlaku bagi setiap
warga Negara Indonesia yang melakukan tindak pidana baik di dalam Negeri, maupun di
luar Negeri.
• E. Asas Universal
• Asas ini sering disebut juga asas penyelenggaraan hukum dunia. Berlakunya asas ini tidak
saja untuk melindungi kepentingan nasional Indonesia tetapi juga untuk melindungi
kepentingan hukum Indonesia

• BAB III
• Teori Tujuan Hukum Pidana
• A.RUANG LINGKUP TUJUAN HUKUM PIDANA

• Penting dikemukakan, di berbagai literatur hukum pidana beberapa ahli hampir senada
dalam menguraikan tujuan pidana yang dilingkupi oleh tiga teori utama: teori absolut,
teori relatif maupun teori gabungan. Sering kali pakar hukum pidana secara bergantian
menggunakan istilah yang berbeda, yaitu tujuan pidana, tujuan pemidanaan, dan tujuan
hukum pidana.
• Terdapat dua pandangan yang berbeda tentang tujuan dari keberadaan hukum pidana.
Menurut pandangan yang pertama, tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi
masyarakat dari kejahatan. Pandangan kedua, untuk melindungi individu-individu dari
kemungkinan kesewenangan penguasa.
• Mengingat, bahwa tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi dan menyelamatkan
individu atas adanya kejahatan dalam masyarakat, sehingga tujuan tersebut harus dijaga
agar tidak adanya kejahatan yang lolos karena kekeliruan atau tidak cermatnya sistem
administrasi peradilan pidana.
• Eddy O.S. Hieariej sendiri mengakui jika tujuan pidana dan tujuan hukum pidana adalah
dua hal yang berbeda. Kendatipun demikian, tujuan pidana tidak terlepas dari aliran-
aliran dalam hukum pidana. Jika aliran-aliran dalam hukum pidana yang mendasari
tujuan hukum pidana terdiri dari aliran klasik, aliran modern dan aliran neo-klasik, maka
tujuan pidana secara garis besar juga terbagi menjadi tiga, yakni teori Absolut, teori
relatif dan teori gabungan
• B. TEORI ABSOLUT
• Teori absolut lahir pada aliran klasik dalam hukum pidana. Menurut teori absolut,
pembalasan adalah legitimasi pemidanaan. Vos dalam Leerboek-nya berkomentar
bahwa teori absolut muncul pada akhir abad ke-18, mencari dasar hukum pemidanaan
terhadap kejahatan: kejahatan itu sendiri dilihat sebagai dasar dipidananya pelaku.
Penganut teori absolut ini Imannuel Kant, Hegel, Herbart, dan Julius Stahl.129 Selain
nama tadi, ada van Bemmelen dan van Hattum. Pendapat Kant, pidana adalah etik
praktisnya suatu ketidakadilan,
• Oleh karenanya kejahatan harus dipidana. Menurut Herbart menyatakan pidana harus
dipenuhi pada pelaku agar ia merasa beratnya nestapa seperti ia mengakibatkan orang
lain menderita. Sementara Stahl bahwa pidana adalah keadilan Tuhan. Penguasa sebagai
wakil Tuhan di dunia harus memberlakukan keadilan Tuhan di dunia.
• C. TEORI RELATIF
• Pendapat Hulsman yang mengatakan hakikat pidana bukanlah pemberian nestapa
merupakan pendapat yang tidak searah dengan teori absolut. Hakekat pidana bagi
Hulsman sebagaimana yang dikutip oleh Sudarto, ialah “tot de orde reopen”
(menyerukan untuk tertib). Senada dengan pendapat ini adalah pendirian van
Binsbergen bahwa secara hakiki dari pidana adalah “een terechtwijzing door de overheid
terzake van een starbaar feit” (suatu pernyataan salah oleh penguasa sehubungan
dengan suatu tindak pidana).
• Teori relatif (teori tujuan) melalui hukum pidana hendak mencapai tertib sosial dengan
tujuan pencegahan terhadap kejahatan. Orientasinya adalah bagaimana mencegah
kejahatan (prevensi) Teori relatif membedakan prevensi umum dan prevensi khusus.
• Prevensi umum menghendaki agar orang-orang pada umumnya tidak melakukan delik,
dilakukan dengan menakuti melalui jalan pelaksanaan pidana yang dipertontonkan.
Keberatan terhadap prevensi umum ini ialah digunakannya penderitaan orang lain untuk
maksud prevensi umum tercapai.
• Oleh von Feuerbach prevensi umum ini lebih dikenal dengan istilah
psychologischezwang atau paksaan psikologis. Artinya, adanya pidana yang dijatuhkan
terhadap seseorang yang melakukan kejahatan akan memberikan rasa takut kepada
orang lain untuk tidak berbuat jahat. Oleh karena itu, menurut von Feuerbach sanksi
pidana yang diancamkan terhadap perbuatan yang dilarang harus tertulis dalam undang-
undang sehingga mengurungkan niat orang berbuat jahat.136 Pada kesimpulannya,
prevensi umum pencegahan kejahatan ditujukan pada masyarakat, sementara prevensi
khusus ditujukan pada si pelaku.
• D. TEORI GABUNGAN
• Vos secara tegas menyatakan bahwa selain teori absolut dan teori relatif juga terdapat
keompok ketiga yang disebut teori gabungan. Di sini terdapat suatu kombinasi antara
pembalasan dan ketertiban masyarakat. Selain itu ada nama Zevenbergen, seseorang
ahli hukum pidana Jerman yang menitikberatkan pada pembalasan, namun bertujuan
melindungi tertib hukum, karena respek terhadap hukum dan penguasa. Pada
hakikatnya, menurut Zevenbergen pidana adalah suatu ultimum remedium. Penganut
teori gabungan yang menitikberatkan perlindungan masyarakat daripada pembalasan
adalah Simons. Menurutnya, prevensi umum terletak pada pidana yang diancamkan,
sementara prevensi khusus menakutkan dan memperbaiki. 138
• Van Bemmelan pun menganut teori gabungan dengan mengatakan pidana bertujuan
membalas kesalahan dan mengamankan masyarakat. Tindakan bermaksud
mengamankan dan memelihara tujuan. Jadi pidana dan tindakan, keduanya bertujuan
mempersiapkan untuk mengembalikan terpidana ke dalam kehidupan masyarakat.
• Grotius mengembangkan teori gabungan yang menitikberatkan keadilan mutlak yang
diwujudkan dalam pembalasan, tetapi berguna bagi masyarakat. Dasar tiap-tiap pidana
ialah penderitaan yang beratnya sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh
terpidana. Tetapi sampai batas mana beratnya pidana dan beratnya perbuatan yang
dilakukan oleh terpidana dapat diukur, ditentukan oleh apa yang berguna bagi
masyarakat.
• BAB IV
• PENAFSIRAN HUKUM PIDANA
• A.URGENSI PENAFSIRAN HUKUM PIDANA
• Pada dasarnya, apa yang dilakukan oleh hakim di persidangan adalah mengkonstatasi
peristiwa konkret, yang sekaligus berarti merumuskan peristiwa konkret, mengkualifikasi
peristiwa konkret yang berarti juga menetapkan peristiwa hukumnya dari peristiwa
konkret, dan mengkonstitusi atau memberi hukumannya. Biasanya hal ini dilakukan
dengan legal problem identification, legal problem solving, dan decision making.
• Pendapat klasik Montesquieu mengatakan hakim hanya sebagai corong undang-undang
sudah tidak relevan lagi di era kini. Bahkan di dalam hukum Indonesia, hakim
sebagaimana sesuai dengan asas curia novit bahwa hakim tidak boleh menolak perkara
yang diajukan ke pengadilan, karena hukumnya tidak ada atau kurang jelas. Dalam hal
ini, hakim diberikan tugas untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum
yang hidup di masyarakat. Hakim harus menggali makna dari setiap peristiwa hukum.
Menggali makna untuk melakukan argumentasi hukum yang bisa dilakukan dengan tiga
perbuatan hukum yaitu; penemuan hukum, pembentukan hukum, dan penciptaan
hukum.
• Van Hattum telah menyangkal kebenaran pendapat Montesquieu, dengan mengatakan
bahwa di dalam hukum pidana pendapat yang mengatakan hakim hanya sebagai corong
undang-undang telah ditinggalkan. Begitu pula, van Hamel dengan tegas menyatakan
ketidaksepakatannya dengan Montesquieu, bahwa pendapat seperti itu telah
ketinggalan zaman dan mungkin hanya tepat dikemukakan pada akhir abad ke-18 atau
abad ke-19
• Sebagaimana Eddy O.S. Hiariej mengatakan di dalam hukum pidana ada baberapa asas-
asas umum dalam penafsiran, yaitu:
• Asas proporsionalitas dan asas subsidaritas.
• Asas proporsionalitas adalah keseimbangan antara tujuan dari suatu undang-undang.
Sementara asas subsidaritas jika suatu persoalan sulit memunculkan beberapa alternatif
pemecahan, maka harus dipilih pemecahan yang paling sedikit menimbulkan kerugian.
• 2. Prinsip relevansi dalam hukum pidana
• Prinsip keberlakuan hukum pidana yang hanya mempersoalkan penyimpangan perilaku
sosial yang patut mendapat reaksi atau koreksi dari sudut pandang hukum pidana.
• 3.Asas kepatuta
• Kepatutanlah yang harus menguji logika yuridis.
• 4.Asas in dubio pro reo
• Jika terdapat keragu-raguan maka harus dipilih ketentuan atau penjelasan yang paling
menguntungkan terdakwa. Exceptio frimat vim legis in casibus non exceptis
• 5.Asas exceptio frimat vim legis in casibus non exceptis
• Jika penyimpangan terhadap aturan umum dilakukan, maka penyimpangan tersebut
harus diartikan secara sempit.
• 6. Prinsip titulus est lex dan rubrica est lex
• Prinsip titulus est lex judul perundang-undangan yang menentukan, sedangkan prinsip
rubrica est lex berarti rubrik atau bagian perundang-undanganlah yang menentukan.
• 7. Asas materiel
• Asas ini menyangkut dengan aturan-aturan tidak tertulis. Asas ini mengandung makna
pada saat melakukan interpretasi terhadap suatu peraturan perundang-undangan,
hakim harus memperhatikan asas tersebut sepanjang asas itu memang diakui dalam
dunia hukum sebagaimana dibuktikan dalam doktrin atau yurisprudensi.
• B. PENAFSIRAN ANALOGI DALAM HUKUM PIDANA
• Asas legalitas membatasi secara perinci dan cermat perbuatan apa yang dapat dipidana.
Meskipun asas legalitas mengandung melarang penafsiran analogi, akan tetapi dalam
ilmu hukum pidana dikenal beberapa metode penafsiran, yaitu: penafsiran gramatikal,
penafsiran logika, penafsiran sistematik, penafsiran sejarah, penafsiran teleologik,
penafsiran ekstensif, dan penafsiran analogi.
• Asas legalitas menegaskan jika penafsir (termasuk hakim) hanya sebagai corong undang-
undang. Atas alasan itu, beberapa pakar hukum pidana memberikan pandangan yang
berbeda, lebih khusus lagi terhadap penafsiran analogi
• Secara garis besar, analogi dalam hukum pidana dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
argumentum peranalogiam dan argumentum a contrario. Perihal argumentum
peranalogiam yaitu suatu peraturan khusus dalam undang-undang dijadikan umum yang
tidak tertulis dalam undang-undang, kemudian digali asas yang terdapat di dalamnya
dan disimpulkan dari ketentuan umum itu suatu peristiwa yang khusus. Adapun
argumentum a contrario adalah penafsiran yang didasarkan pada pengertian sebaliknya
dari peristiwa konkret yang dihadapi dengan peristiwa yang diatur dalam undang-
undang.
• C. METODE PENAFSIRAN HUKUM PIDANA.

• Dalam banyak literatur metode penemuan hukum dikenal dua metode utama. Pertama
ialah metode interpretasi dan metode konstruksi. Akan tetapi, di kalangan para pakar
hukum ada yang menyatukan antara metode interpretasi dan metode konstruksi
• Menurut Sudikno Mertokusumo sebagaimana yang dirujuk oleh Siti Malikhatun
Badriyah, penemuan hukum adalah proses pembentukan hukum oleh hakim atau
petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap
peristiwa-peristiwa konkret. Lebih konkret lagi dapat dikatakan bahwa penemuan
hukum adalah konkretisasi, kristalisasi atau individualisasi peraturan hukum atau das
sollen, yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkret atau Das sein
• Interpretasi gramatikal (menurut bahasa)
• Interpretasi historis
• Interprestasi sistematis
• Interpretasi sosiologis dan teleologis
• Interprestasi komparatif
• Interpretasi futuristik
• Nterprestasi Resriktif
• Interpretasi ekstensif
• Interprestasi autentik atau secara resmi
BAB V
PEMBAHASAN TINDAK PIDANA

1. Tindak pidana
Tindak pidana pada hakikatnya merupakan “prtbuatan yang diangkat” atau “ perbuatan
yang ditunjuk/ditetapkan sebagai perbuatan yang dapat dipidana oleh pembuat undang-
undang. Definisi tindak pidana yang demikian dirumuskan oleh Hoefnagels ketika ia
menyatakan kebijakan criminal merupakan dalam menetapkan perilaku manusia sebagai
suatu kejahatan atau tindak pidana.

2. Perbuatan pidana
Dapat dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan
hukum dilarang dan diancam pidana , asal saja bahwa larangannya ditunjukan kepada
perbuatan, ( yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang),
sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang ysng enimbulkannya kejadian itu.

3. Peristiwa pidana
Teguh prasetyo didalam bukunya mengkaji jika istilah “ peristiwa pidana “ pertama kali
dikemukakan oleh wirjono prodjodikoro, dalam perundang-undangan fiormal Indonesia.
Istilah “ peristiwa pidana “ pernah digunakan secara resmi dalam UUD sementara 1950,
yaitu dalam pasal 14 ayat 1 . secara substansif pengertian peristiwa pidana lebih
menunjuk kepada suatau kejadian yang dapat ditimbulkan baik oleh perbuatan manusia
maupun oleh gejala alam.
4. Delik
Menurut oemar seno adji disamping memakai istilah delik juga memakai istilah tindak
pidana.
5. Perbuatan criminal

B. unsur-unsur tindak pidana


Adapun unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu ,yaitu
1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus and culpa )
2. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud
didalam pasal 53 ayat 1 KUHP
3. Macam-macam maksud seperti yang terdpat dalam kejahatan pencurian, penipuan,
pemerasan, pemalsuan dll
4. Merencanakan terlebih dahulu seperti yang terdapat dalam kejahatan pembunuhan
5. Perasaan takut seperti yang terdapat dalam rumusan tindak pidana pasal 308 KUHP

Adapun unsur objektif dari suatu tindak pidana


1. Sifat melanggar hukum
2. Kualitas dari pelaku misalnya dalam kejahatan jabatan menurut pasa 415 KUHP
3. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan
sesuatu kenyataan sbg.
C. jenis- jenis tindak pidana
1. jenis tindak pidana ( delik ) di dalam KUHP
Kejhatan buku II KUHP dan pelanggaran buku III KUHP
2.jenis tindak pidana diluar KUHP atau menurut pembentukan undang-undang
• Delik sengaja dan delik kelalaian
• Delik formil dan delik materiel
• Delik komisi dan delik omisi
• Delik yang berdiri sendiri dan delik yang diteruskan
• Delik selesai dan delik berlanjut
• Delik tunggal dan delik gabungsan
• Delik sederhana dan delik berkualifikasi
• Delik politik dan delil umum
• Delik propria
• Delik yang ditentukan menurut penggolongan kepentingan hukum yang dilindungi.BAB V

PEMBAHASAN TINDAK PIDANA

• 1. Tindak pidana
• Tindak pidana pada hakikatnya merupakan “prtbuatan yang diangkat” atau “ perbuatan
yang ditunjuk/ditetapkan sebagai perbuatan yang dapat dipidana oleh pembuat undang-
undang. Definisi tindak pidana yang demikian dirumuskan oleh Hoefnagels ketika ia
menyatakan kebijakan criminal merupakan dalam menetapkan perilaku manusia sebagai
suatu kejahatan atau tindak pidana.

2.perbuatan pidana

• Dapat dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan
hukum dilarang dan diancam pidana , asal saja bahwa larangannya ditunjukan kepada
perbuatan, ( yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang),
sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang ysng enimbulkannya kejadian itu.
3. Peristiwa pidana
• Teguh prasetyo didalam bukunya mengkaji jika istilah “ peristiwa pidana “ pertama kali
dikemukakan oleh wirjono prodjodikoro, dalam perundang-undangan fiormal Indonesia.
Istilah “ peristiwa pidana “ pernah digunakan secara resmi dalam UUD sementara 1950,
yaitu dalam pasal 14 ayat 1 . secara substansif pengertian peristiwa pidana lebih
menunjuk kepada suatau kejadian yang dapat ditimbulkan baik oleh perbuatan manusia
maupun oleh gejala alam.
4.delik
Menurut oemar seno adji disamping memakai istilah delik juga memakai istilah tindak
pidana.
5. Perbuatan criminal
B. Unsur-unsur tindak pidana
Adapun unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu ,yaitu
1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus and culpa )
2. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud
didalam pasal 53 ayat 1 KUHP
3. Macam-macam maksud seperti yang terdpat dalam kejahatan pencurian, penipuan,
pemerasan, pemalsuan dll
4. Merencanakan terlebih dahulu seperti yang terdapat dalam kejahatan pembunuhan
5. Perasaan takut seperti yang terdapat dalam rumusan tindak pidana pasal 308 KUHP
Adapun unsur objektif dari suatu tindak pidana
1. Sifat melanggar hukum
2. Kualitas dari pelaku misalnya dalam kejahatan jabatan menurut pasa 415 KUHP
3. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan
sesuatu kenyataan sbg.
C. Jenis- jenis tindak pidana
1. Jenis tindak pidana ( delik ) di dalam KUHP

Kejhatan buku II KUHP dan pelanggaran buku III KUHP

2.jenis tindak pidana diluar KUHP atau menurut pembentukan undang-undang


• Delik sengaja dan delik kelalaian
• Delik formil dan delik materiel
• Delik komisi dan delik omisi
• Delik yang berdiri sendiri dan delik yang diteruskan
• Delik selesai dan delik berlanjut
• Delik tunggal dan delik gabungsan
• Delik sederhana dan delik berkualifikasi
• Delik politik dan delil umum
• Delik propria
• Delik yang ditentukan menurut penggolongan kepentingan hukum yang dilindungi.

BAB VI
PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA
A. Kajian pidana tentang kemampuan bertanggung jawab
Mengenai mampu bertanggung jawab, pada waktu kitab undang-undang disusun
telah ditetapkan, bahwa unsur ini harus ada untuk dapat dipidananya seorang pelaku.
Jika terjadi sesuatu pengecualian, bahwa seorang pelaku harus dianggap tidak mampu
bertanggung jawab; jadi perbuatan itu tak dapat dipertanggung jawabkan padanya, ia
akan dilepaskan dari seluruh tuntutan hukum.

B. Pengertian pertanggungjawaban pidana

Pada umumnya , berbicara mengenai pertanggungjawaban pidana biasanya selalu


dihubungkan dengan doktrin hukum pidanaa mengenai aliran monisme dan aliran
dualisme. Singkatnya, aliran monism menjadikan satu antara pidna denga
pertanggungjawaban pidana, sebalikya aliran dualissme memisahkan anatara tindak
pidana dengan pertanggungjawaban pidana.
• Dalam ajaran minisme konsep pertanggungjawaban pidana,kesalahan,kemampuan
bertanggung jawab, dan alasan pemaaf menjadikan kesatuan atau tidak terpisahkan
denganmonsep tindak pidana. Dan sesunggguhnya berpandangan bahwa antara tndak
pidana dengan pertanngung jawaban pidana/kesalahn tidak dapat dipisahkan.
Pembuktian unsur objektif (tindak pidanaa ) dan unsur subjektif (kesahan ) tidak
dipisahkan.
• Ajaran ataau aliran dualism merupakan ajaran yang memsahkan antara tindakpidana
(perbuatan) dengan pertanggung jawaban pidaana (kesalahan). Pada dasarnya aliran ini
perbuatan yang telah penuhi unsur rumusan delik, harus pula dilihat apakah ada apa
tidak keselahan pada si pembuat. Sebab, pertanggungjawaban pidana memosisikan
kesalahn sebagai kriteria penting untuk memastikan apakah perbuatannya diliputi oleh
delik apa tidak.

C. Faktor meentukan kemamouan bertanggung jawab


Adapun factor menentukan kemampuan bertanggung jawab sebagai hal yang
menghapuskan pidana dapat ditempuh tiga metode
1. Metode biologis ; dengan cara menguraikan sakit jiwa itu.
2. Metode psikologis; dengan cara menunjukkan hubungan antara keadaan jiwa yang
abnormal dengan perbuatannya.
3.Metode gabungan antara biologis dan psikologi ; dengan cara disamping menyatakan
tentang ‘keadaan jiwa’ dan oleh sebab itu keadaan jiwa itu lalu dinilai dengan
perbuataanya untuk dapat menyatakan idk mampu bertanggung jawab.
D. Keraguan-keraguan tentang kemampuan bertanggung jawab
Jonkers memberi ulasan sebagai berikut karena, apabila aada keraguan mengenai itu ,
kemampuan untuk dapat dipertanggungjawbkan tidsk pasti, karena merupakan salah
satu dasar dari pengertian kesalah yang luas yang terdiri dari (1) kesengajaan atau
kelalaian;
(2) sifat melawan hukm
(3) kemampuan untuk dapat dipertanggungjawabkan.
E. Kesalahan dalam pengertian hukum pidana
Didalam undang-undang hukum pidana tidak juga terdapat definisi dari aapa yang
disebut “ kesalahan” hanya dalam memori penjelasan dari rencana kitab undang-undang
hukum negeri belanda, yang kemudian dikatakan, bahwa kesalahan itu adalah sungguh-
sungguh sebaliknya daripada kesengajaan disatu pihak, dan dilain pihak adalah
sebaliknya sari suatu kebutulan.
F. Unsur-unsur kesalahan
Untuk menentukan adanya kesalah sesorang harus memenuhi beberapa unsur,
anaataaraa lain;
1. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada sipembuat
2. Hubungan batin antara sipembuat dan oerbuataanya yang berupa kesengajaaan
(dolus) atau kealpaan (culpa) ini disebut bentuk kesalahan
3. Tidak adanya alasan penghapusan kesalahan atau tidk ada alsan pemaaf.
G. Asas tiada pidana tanpa kesalahan
Asas tiada tindak pidana tanpa kesalahan perumusannya tidak terdapat di dalam kuhp
yang sekarang berlaku walaupun pada tahun 1930 asas ini pernah diusulkan oleh dan
which one untuk dimasukkan ke dalam kuhp Belanda usul ini kemudian ditolak oleh
pompa dengan alasan bahwa batas-batas kesalahan itu sangat gelap dan kabur tindak
pidana hanya menyangkut persoalan perbuatan sedangkan masalah apakah orang yang
melakukannya kemudian dipertanggungjawabkan adalah persoalan lain dalam banyak
kejadian tindak pidana dapat terjadi sekalipun dilihat dari batin terdakwa sama sekali
tidak patut di celakakan terhadapnya dengan kata lain walaupun telah melakukan tindak
pidana tetapi pembuatnya tidak diliputi kesalahan dan karenanya tidak dapat
dipertanggungjawabkan ada adapun tiada tindak pidana tanpa kesalahan dalam hukum
lazimnya dipakai dalam arti tiada pidana tanpa kesalahan subjektif atau kesalahan tanpa
dapat dicela akan tetapi dalam hukum pidana orang tidak dapat berbicara tentang
kesalahan tanpa adanya perbuatan yang tidak patut karena itu asas kesalahan diartikan
sebagai tiada pidana tanpa perbuatan tidak patut yang objektif yang dapat dicelakaan
kepada pelaku.

BAB VII
Masalah kesengajaan (dolus)
A. Kesengajaan menurut hukum pidana
Diberbagai literatur hukum pidana, para ahli memberikan komentar terhadap tidak
adanya pendefinisian mengenai arti kesengajaan pada KUHP, salah satunya menurut
Van Bemmelen mengatakan pembuatan UU tahun 1881 tidak memberikan defenisi
kesengajaan dalam kitab UU. Dalam M. V. T dengan tegas dikatakan, bahwa
pemerintah menerima satu-satunya uraian pengertian yang tepat yaitu apa yang
ditulis dalam kitab UU tahun 1809 :” sengaja ialah kemauan untuk melakukan atau
tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh UU. “
Dari tanggapan para ahli hukum dapat ditarik kesimpulan arti kesengajaan dapat
dilihat dari dua sumber, pertama: ada M.v.T (Memorie van Toelichting) . Kedua : arti
kesengajaan dapat ditemukan dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, baik dalam sudut
doktrin dan teori.
B. Teori Kesengajaan
Pembicaraan willens en wetens yang berhubungan dengan keadaan batin pelaku ,
dimana pelaku berbuat dengan sengaja karena dikehendaki dan diketahui, maka
dalam pengetahuan hukum pidana dapat diuraikan dua teori, yaitu: teori kehendak
( wilstheorie) yang diajarkan oleh Von Hippel dan teori pengetahuan
( voorstelingstheorie) yang diajarkan oleh Frank.
C. Pembagian Kesengajaan
Ilmu hukum pidana melakukan pembagian kesengajaan (dolus/opzet) kedalam dua
istilah pembagian, yakni corak kesengajaan dan jenis kesengajaan.
• Corak kesengajaan
1.Kesengajaan sebagai maksud (Opzet als Oogmerk)
Vos dan Jonkers menyampaikan sengaja sebagai maksud atau opzet als Oogmerk adalah
corak kesengajaan yang dikehendaki akibat perbuatannya oleh si pelaku.
2.Kesengajaan sebagai kepastian ( Opzet bij Zekerheidsbewustzijn)
Kesengajaan sebagai kepastian (Opzet bij Zekerheidsbewustzijn) yaitu sadar atau insaf
akan keharusan atau sadar akan kepastian.
3.Kesengajaan sebagai kemungkinan (Opzet met Waarschijnlijkeidsbewustzijn)
Menurut Eddy O.S.Hieariej, adakalanya suatu kesengajaan menimbulkan akibat yang
tidak pasti terjadi namun merupakan suatu kemungkinan. Dalam hal demikian demikian
terjadilah kesengajaan dengan kesadaran akan besarnya kemungkinan.
D. Unsur-unsur Delik yang Diliputi Unsur Kesengajaan (Dolus)
Moeljatno pernah menjelaskan perihal pertanggungjawaban pidana hanya dapat
dimintakan kepada mereka yang miliki kesalahan yang diliputi oleh kesengajaan atau
karena kealpaan. Kendati demikian, moeljatno juga mengusulkan di dalam KUHP itu
dicantumkan pengaturan mengenai pertanggungjawaban pidana. Pada bagian inilah,
maksud dari Moeljatno menempatkan untuk menguraikan “dengan kesengajaan “
dan “karena kealpaan “ itu bisa dirumuskan.
Kesimpulan dari pernyataan Moeljatno tersebut tentang “kesengajaan “ ada dua hal,
pertama : Jika ada unsur delik memuat unsur kesengajaan menjadi irrelevant dan tanpa
arti. Jikalau pun memuat unsur kesengajaan hanya diperlukan untuk menentukan sifat
melawan hukum perbuatan saja. Kedua: tidak diperlukan adanya penyebutan unsur
kesengajaan dalam perumusan delik.BAB VII
Masalah kesengajaan (dolus)
A. Kesengajaan menurut hukum pidana
Diberbagai literatur hukum pidana, para ahli memberikan komentar terhadap tidak
adanya pendefinisian mengenai arti kesengajaan pada KUHP, salah satunya
menurut Van Bemmelen mengatakan pembuatan UU tahun 1881 tidak memberikan
defenisi kesengajaan dalam kitab UU. Dalam M. V. T dengan tegas dikatakan, bahwa
pemerintah menerima satu-satunya uraian pengertian yang tepat yaitu apa yang
ditulis dalam kitab UU tahun 1809 :” sengaja ialah kemauan untuk melakukan atau
tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh UU. “
Dari tanggapan para ahli hukum dapat ditarik kesimpulan arti kesengajaan dapat
dilihat dari dua sumber, pertama: ada M.v.T (Memorie van Toelichting) . Kedua : arti
kesengajaan dapat ditemukan dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, baik dalam sudut
doktrin dan teori.
B. Teori Kesengajaan
Pembicaraan willens en wetens yang berhubungan dengan keadaan batin pelaku ,
dimana pelaku berbuat dengan sengaja karena dikehendaki dan diketahui, maka
dalam pengetahuan hukum pidana dapat diuraikan dua teori, yaitu: teori kehendak (
wilstheorie) yang diajarkan oleh Von Hippel dan teori pengetahuan
( voorstelingstheorie) yang diajarkan oleh Frank.
C. Pembagian Kesengajaan
Ilmu hukum pidana melakukan pembagian kesengajaan (dolus/opzet) kedalam dua
istilah pembagian, yakni corak kesengajaan dan jenis kesengajaan.
• Corak kesengajaan
1.Kesengajaan sebagai maksud (Opzet als Oogmerk)
Vos dan Jonkers menyampaikan sengaja sebagai maksud atau opzet als Oogmerk adalah
corak kesengajaan yang dikehendaki akibat perbuatannya oleh si pelaku.
2.Kesengajaan sebagai kepastian ( Opzet bi Zekerheidsbewustzijn) Kesengajaan sebagai
kepastian (Opzet bij Zekerheidsbewustzijn) yaitu sadar atau insaf akan keharusan atau
sadar akan kepastian.
3.Kesengajaan sebagai kemungkinan (Opzet met Waarschijnlijkeidsbewustzijn)
Menurut Eddy O.S.Hieariej, adakalanya suatu kesengajaan menimbulkan akibat yang
tidak pasti terjadi namun merupakan suatu kemungkinan. Dalam hal demikian demikian
terjadilah kesengajaan dengan kesadaran akan besarnya kemungkinan.
D. Unsur-unsur Delik yang Diliputi Unsur Kesengajaan (Dolus)
Moeljatno pernah menjelaskan perihal pertanggungjawaban pidana hanya dapat
dimintakan kepada mereka yang miliki kesalahan yang diliputi oleh kesengajaan atau
karena kealpaan. Kendati demikian, moeljatno juga mengusulkan di dalam KUHP itu
dicantumkan pengaturan mengenai pertanggungjawaban pidana. Pada bagian inilah,
maksud dari Moeljatno menempatkan untuk menguraikan “dengan kesengajaan “ dan
“karena kealpaan “ itu bisa dirumuskan.
Kesimpulan dari pernyataan Moeljatno tersebut tentang “kesengajaan “ ada dua hal,
pertama : Jika ada unsur delik memuat unsur kesengajaan menjadi irrelevant dan tanpa
arti. Jikalau pun memuat unsur kesengajaan hanya diperlukan untuk menentukan sifat
melawan hukum perbuatan saja. Kedua: tidak diperlukan adanya penyebutan unsur
kesengajaan dalam perumusan delik.

BAB VIII

MASALAH KEALPAAN (CUPLA)

A. Pengertian kealpaan
Culva merupakan kebalikan murni dari dolus yang dituntut adalah kurang berpikir cemat,
kurang pengetauan atau bertundak kurang terarah dibandungkan dengan orang lain
pada umumnya. Dolus berbuat salah gunakan kemampuannya secara keliru , sementara
culpa berbuat salah karena kelalaian tidak menggunakan kemampuannya yang dimiliki,
padahal dengan kemampuannya tersebut ia seharusnya gunakan.
B. Kriteria adanya kealpaan
Kriteria adanya kealpaan mengarah pada perbuatan yang tidak menduga-duga dan tidak
berhati-hati. Moeljatno menjelaskan uraian kelalaian (culpa) menurut van hamel
terhadap perbuatan yang tidak menduga-duga dan tidak berhati-hati sbg:
a. Tidak mengadakan penduga-duga (menduga-duga) yang perlu menurut hukum.
b. Tidak mengadakan perhati-hati (berhati-hati) sebagaimana diharuskan oleh hukum
Kriteria atau parameter untuk menentukan adanya kealpaan, kita dapat melihat
pendapat sudarto,ketika ia menjawab perihal menetapkan adanya kealpaan pada
seseorang sehingga ia dapat dinyatakan bersalah atau dicela.
1. Kealpaan orang ditentukan secara normative
2. Kealpaan orang ditentukan pada (ukuran ) orang pada umumnya
3. Kealpaan orang harus dilihat dari setiap peristiwanya
4. Kealpaan orang ditentukan oleh “ada kewajiban untuk berbuat lain”
C. Unsur-unsur delik yang diliputi oleh unsur culpa
Pembentukan undang-undang didalam KUHP telah mempergunakan perkataan
schuld untuk menunjukkan unsur culpa didalam suatu rumusan delik. Akan tetapi
untuk maksud yang sama, pembentuk undang-undang juga telah mempergunakan
perkataan-perkataan lain, misalnya “mempunyai alasan yang cukup kuat untuk
menduga” dan perkataan “secara pantas harus menduga “ bahwa suatu keadaan itu
memang ada, yakni misalnya yang dapat kita jumpai dalam rumusan delik menurut
pasal 115,119, dan 480 KUHP.

BAB lX

Ajaran Melawan Hukum

A. ARTI DARI MELAWAN HUKUM


Elemen melawan hukum mempunyai istilah asing “onrechmatigheid” atau
“wederrechtlijkheid”, dari kedua istilah ini yang mengkhususkan uraian tentang
hukum pidana lebih sering mempergunakan istilah wederrechtlijkheid. Mengenai
arti istilah wederrechtelijk, dalam kepustakaan mempunyai beberapa makna antara
lain melawan hukum (tegen het recht), tanpa hal sendiri (zonder eigen recht),
bertentangan dengan hukum pada umumnya (in strijd met het recht in het
algemeen), bertentangan dengan hal pribadi seseorang (in strijd met een anders
objectieve recht), dan lain sebagainya.
Dalam banyak rumusan delik pada KUHP, kita sering menjumpai perkataan
“wederrechtlijkheid “ untuk menunjukkan “sifat tidak sah suatu tindakan” dan “sifat
tidak sah suatu maksud”. Penggunaan perlatan wederrechtlijkheid oleh pembentuk
Undang-undang untuk menunjukkan “sifat tidak sah suatu tindakan” itu dalam
rumusan delik menurut pasal 167 (1), 168, 179, 180,189,190,198,253-257, 333(1),
334(1), 335(1), angka 1,372,429(1), 431,433 angka 1,448,453-455, 472, daun 522
KUHP. Adapun penggunaan wederrechtlijkheid untuk menunjukkan “sifat tidak sah
suatu maksud” antara lain dalam pasa 328,399,362,368(1), 369(1),
378,382,389,390,466 dan 467 KUHP.
Van Hamel telah membuat dia kelompok mengenai perkataan wederrechtlijkheid itu
sebagai in strijd met her recht atau bertentangan dengan hukum dan met krenking
van fens anders atau dengan melanggar hak orang lain. Kelompok kedua, adalah
peham negatif yang telah mengartikan wederrechtlijkheid itu sebagai nieh steunend
op het recht atau tidak berdasarkan hukum ataupun sebagai zonder bevoegdheid
atau tanpa hal.
Schaffmeister dan Van Hamel, berpandangan sama jika sifat melawan hukum
merupakan pengertian dan prasyarat umum bagi ketercelaan perbuatan, sehingga
mereka merekomendasikan tidak perlu memuat sifat melawan hukum untuk
dimasukkan kedalam rumusan memuat delik.
Hazewinkel-suringa menyatakan bahwa unsur melawan hukum hanya merupakan
unsur mutlak suatu delik jika undang -undang menyebutkan dengan tegas sebagai
unsur delik bersangkutan. Sebaliknya, jika tidak disebutkan sebagai unsur delik,
melawan hukum hanya suatu tanda suatu delik.
Ketika pidato Dies Natalis UGM pada tahun 1955 dalam ceramahnya Moeljatno
menentang pendapat Pompe, yang menyatakan, bahwa sifat melwan hukum
perbuatan, maupun kesalahan bukanlah syarat-syarat yang mutlak adanya strafbaar
feit (tindak pidana). Menurut Pompe, bahwa jikalau unsur-unsur tersebut didalam
uraian delik telah ada, maka telah ada strafbaar feit. Strafbaar heid orang yang
melakukan strafbaar feit ada, apabila ada dasar penghapusan strafbaarheidnya. Jika
sifat melawan hukum atau kesalahan idak ada, maka berarti bahwa ada dasar
penghapusan hal dapat di pidananya.
B.PERBEDAAN MELAWAN HUKUM DALAM HUKUM PIDANA DAN PERDATA
Terminologi wederrechtelijk lebih sering digunakan dalam bidang hukum pidana,
sedangkan ontechtmatige daad dalam bidang hukum perdata. Arti melawan hukum
dibidang perdata, seperti termuat dalam pasal 1401 BW (pasal 1365 KUH perdata).
Perkembangan dalam bidang hukum perdata ini sangat besar pengaruhnya bagi
hukum pidana. Pasal 1365 KUH perdata berbunyi: “tiap perbuatan melanggar
hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang
karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.
Ada anggapan pengertian melawan hukum dalam bidang pidana tidaklah berbeda
dengan bidang perdata, tetapi para ahli tetap membuat perbedaan antara
keduanya. Perbedaan tersebut dapat dilihat dibawah ini.
1.M.S Groenhuijsen, didalam bukunya mengatakan penentuan norma dalam hukum
pidana harus lebih teliti daripada hukum perdata. Selanjutnya dikatakan pula
diharapkan dari pembuat undang-undang pidana adanya terperinci tentang
perbuatan melawan hukum.
2. Rutten, mengatakan ada perbedaan ciri antara melawan hukum kedua bidang itu.
Perbedaan yang hakiki melawan hukum dalam hukum pidana untuk melindungi
kepentingan umum, sebaliknya perbuatan melawan hukum perdata melindungi
kepentingan individu.
3. Komariah Emong Sapar djaja, ia mengakui walaupun perbedaan pengertian
melawan hukum kedua bidang hukum ini tidak lagi mempunyai batasan garis yang
jelas, tetapi melawan hukum dalam bidang hukum pidana lebih semput daripada
bidang hukum perdata, pendapat ini serupa dengan Rutten.
4. Heijder, mengemukakan jika arti sifat melawan hukum dalam bidang hukum
pidana mempunyai arti yang sama dengan bidang perdata, dan pengertiannya yang
relatif dari bidang hukum perdata juga diterima oleh bidang hukum pidana, ajaran
relativitas atau ajaran kepentingan hukum yang dilindungi dapat mempunyai
peranan dalam hukum pidana material.
5. Munir Fuady, menyatakan yang membedakan antara melawan hukum pidana
dengan perbuatan melawan hukum perdata adalah bahwa sesuai dengan sifatnya
sebagai hukum publik, maka dengan perbuatan pidana, ada kepentingan umum yang
dilanggar (disamping mungkin juga kepentingan individu), sedangkan dengan
perbuatan melawan hukum perdata, maka yang dilanggar hanya kepentingan
pribadi saja.
C. AJARAN SIFAT MELAWAN HUKUM FORMIL
Sejumlah ahli pidana seperti Zevenbergen, Simons, Van Hamel tidak saja menuntut
dimasukkannya kemampuan bertanggung jawab tetapi juga sifat melawan hukum
sebagai unsur konstitutif tindak pidana. Ini dilakukan merujuk pada ilmu hukum
jerman yang mengajarkan bahwa: melakukan tindak pidana berarti melakukan suatu
tindakan yang memenuhi rumusan delik yang bersifat melawan hukum dan dapat
diperhitungkan pada pelaku.
Ini berarti bahwa terpenuhinya semua unsur delik tidaklah seketika membuktikan
adanya tindak pidana. Disamping itu, adanya unsur melawan hukum juga harus
dibuktikan. Pandangan ini pun bukan merupakan hukum belanda.Unsur melawan
hukum, sebagaimana telah kita lihat, hanya merupakan unsur delik sepanjang
disebutkan dengan tegas dalam peraturan perundang-undangan. Jadi, ia harus
disebutkan secara eksplisit dalam satu rumusan ketentuan pidana.
Menurut pendapat yang formil perbuatan bersifat melawan hukum bilamana telah
di penuhi semua unsur yang disebut dalam rumusan delik. Jika telah di penuhi
semua unsur yang disebutkan, maka tidak perlu diselidiki lagi apakah perbuatan
menurut masyarakat benar-benar telah dirasakan tidak patut. Jika pun, akan ada
alasan pembenarnya, yaitu alasan-alasan yang menghapuskan sifat melawan
hukumnya, Undang-undang pulalah yang harus menyebutkan tentang ini dengan
tegas.
Golongan yang menganut paham formil berpendapat unsur “melawan hukum” itu,
meskipun betul merupakan unsur perbuatan pidana, tetapi tidak merupakan suatu
unsur yang berdiri sendiri. Simons sebagai penganut paham formil berpendirian,
suatu tindak pidana hanyalah dapat dianggap tidak berlawanan dengan hukum dan
dapat dilepaskan dari hukuman apabila di dalam undang-undang tersedia dasar-
dasarnya yang dapat melepaskan yang berbuat itu dari sanksi atas perbuatan itu.
Selain Simons , ada Hazewinkel-suringa juga berpendapat formil ketika ia
menyatakan keberatannya terhadap pandangan material, walaupun pandangan ini
tidak sejauh Simons. Adapun yang dikatakannya ialah “dikhawatirkan akan timbul
ketidaksamaan hukum yang sangat besar, oleh karena hakim yang satu akan
menerima sesuatu sebagai jalan yang benar yang oleh hakim lain bahkan ditolak.
D. AJARAN SIFAT MELAWAN HUKUM MATERIAL
menurut ajaran melawan hukum materiel, yang disebut melawan hukum tidaklah
hanya sekedar bertentangan dengan hukum tertulis, tetapi juga bertentangan
dengan hukum tidak tertulis. Disamping memenuhi syarat/kriteria formil, yaitu
memenuhi semua unsur yang disebut dalam rumusan delik, perbuatan melawan
hukum tersebut harus benar-benar dirasakan masyarakat sebagai perbuatan tidak
patut untuk dilakukan. Oleh karena bertentangan dengan atau menghambat
terwujudnya tata dalam pergaulan masyarakat yang dicita-citakan oleh masyarakat
bersangkutan.
Moeljatno lebih dahulu pernah menyampaikan hal ini, ketika ia menanggapi ajaran
formil sejatinya disaat yang sama ia sedang menegakkan eksistensi hukum
Indonesia. Dikatakan olehnya: “kiranya tidaklah mungkin selain daripada mengikuti
ajaran yang materiel. Sebab, bagi orang Indonesia belum pernah ada saat bahwa
hukum dan undang-undang dipandang sama. Pikiran bahwa hukum adalah undang-
undang belum pernah kita alami. Bahkan sebaliknya, hampir semua hukum
Indonesia asli adalah hukum yang tidak tertulis.
Penjelasan pasal 2 ayat (1) UU No. 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU
No. 20/2001 sepanjang frasa yang berbunyi, “yang dimaksud dengan secara
melawan hukum......... (dst) “. Tidak mempunyai kekuatan mengikat.
Alasan yang dikemukakan MK sebagai berikut.
1.pasal 28D ayat (1) (maksudnya UUD 45,pen.) mengakui dan melindungi hak
konstitusional warga negara untuk memperoleh jaminan dan perlindungan hukum
yang pasti, dengan mana dalam bidang hukum pidana diterjemahkan sebagai asas
legalitas yang dimuat dalam pasal 1 ayat (1) KUHP, bahwa asas tersebut merupakan
satu tuntutan akan kepastian hukum dimana orang hanya dapat dituntut dan diadili
atas dasar suatu peraturan perundang-undangan yang tertulis (lex scripta) yang
telah lebih dahulu ada.
2. Hal demikian menuntut bahwa suatu tindak pidana memiliki unsur melawan
hukum, yang harus secara tertulis lebih dahulu telah berlaku, yang merumuskan
perbuatan apa atau akibat apa dari perbuatan manusia secara jelas dan ketat yang
dilarang sehingga karenanya dapat dituntut dan dipidana,sesuai dengan prinsip
nulum crimen sine lege stricta.
3. Konsep melawan hukum yang secara formil tertulis (formil wederrechtelijk), yang
mewajibkan pembuat undang-undang untuk merumuskan se cermat dan seperinci
mungkin merupakan syarat untuk menjamin kepastian hukum (lex certa) atau yang
dikenal juga dengan istilah bestimmheitsgebot.
E. UNSUR MELAWAN HUKUM DALAM RUMUSAN DELIK
Mengenai hal ini, akan muncul beberapa konsekuensi dengan ada atau tidaknya
melawan hukum dijadikan unsur di dalam rumusan delik. Penulis dengan merujuk
pada ulasan beberapa ahli, terdapat catatan yang dapat disarikan dalam buku
Lamintang, sebagai berikut
1. Pompe berpendapat, bahwa apabila unsur melawan hukum (wederrechtelijk) itu
dinyatakan secara tegas unsur dari suatu rumusan delik, maka tentang adanya
melawan hukum (wederrechtelijk) itu harus dibuktikan dalam setiap peradilan, oleh
karena wajarlah kiranya apabila apa yang telah dituduhkan itu harus pula dapat
dibuktikan.
2. Van Hattum berpendapat, apabila unsur melawan hukum (wederrechtelijk) itu
secara tegas dinyatakan dalam rumusan delik, maka itu berarti bahwa di dalam surat
tuduhan unsur tersebut juga harus dicantumkan oleh Jaksa dan didepan pengadilan
harus dibuktikan dengan mempergunakan alat-alat pembuktian yang dapat
dibenarkan menurut undang-undang.
3. Lamintang berpendapat, dalam hal unsur melawan hukum (wederrechtelijk) itu
dinyatakan secara tegas di dalam rumusan delik, maka apabila terdapat keragu-
raguan mengenai apakah sesuatu perbuatan itu bersifat melawan hukum
(wederrechtelijk) atau tidak, semua ahli berpendapat untuk mengatakan bahwa
melawan hukum (wederrechtelijk) itu harus dianggap sebagai tidak terbukti, dengan
akibat bahwa hakim harus membebaskan tertuduh dari penghukuman.
4. Simons , tanpa memandang ada atau tidaknya unsur melawan hukum
(wederrechtelijk) di dalam rumusan dekik, jika terdapat keragu-raguan mengenai
apakah sesuatu perbuatan itu bersifat melawan hukum (wederrechtelijk) atau tidak,
hakim harus tetap menjatuhkan hukuman, oleh karena sifatnya melawan hukum
(wederrechtelijk) dari perbuatan tertuduh sebenarnya timbul dari keadaan
melanggar suatu ketentuan pidana.
5. Van Hamel, Zevenbergen, Van Bemmelen, Onyon Langmeijer, dan Van Hattum
berpendapat, tanpa memandang ada atau tidaknya unsur melawan hukum di dalam
rumusan delik; bahwa apabila terdapat keragu-raguan mengenai apakah sesuatu
perbuatan dari seorang tertuduh itu bersifat melawan hukum (wederrechtelijk) atau
tidak, maka hakim harus menyatakan tertuduh sebagai orang yang tidak bersalah.

BAB X

A. PENGERTIAN PENGHAPUS PIDANA


Di dalam disertasi yang ditulis oleh M. Hamdan, diakui olehnya tidak adanya
keseragaman penyebutan atau penamaan istilah alasan penghapus pidana. Ia
memilih istilah “alasan penghapus pidana”. Utrecht menyebutkan dengan istilah
“alasan-alasan yang mengecualikan dijatuhkannya hukuman”. Roeslan Saleh dan
Sudarto gunakan istilah “alasan yang menghapuskan pidana”. Van Bemmelen “dasar
penghapusan pidana. Remmelink “dasar-dasar yang meniadakan pidana”. Hal serupa
AZ Abidin Farid “dasar peniadaan pidana”. Penulis lebih memilih menggunakan
istilah “alasan yang menghapus pidana”.
Apabila dilihat dari sudut pandang pembentuk undang-undang, maka alasan
peniadaan pidana atau alasan yang menghapuskan pidana ialah upaya dai dalam
hukum pidana yang memungkinkan untuk menerima situasi dan keadaan si pembuat
yang pada dirinya diliputi oleh delik, namun sifat melawan hukum perbuatan dan
kesalahan si pembuat tidak dikenai pidana sebagai perwujudan dari doktrin alasan
pembenar dan alasan pemaaf.
Dalam hukum pidana ada beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar bagi hakim
untuk tidak dapat menjatuhkan hukuman/pidana kepada (para) pelaku atau
terdakwa yang diajukan ke pengadilan, karena telah melakukan suatu tindak pidana.
Alasan-alasan tersebut dinamakan sebagai alasan penghapus pidana. Alasan
penghapus pidana adalah peraturan yang terutama ditujukan kepada hakim.
Peraturan ini menetapkan berbagai keadaan pelaku, yang telah memenuhi
perumusan delik sebagaimana yang telah diatur di dalam undang-undung yang
seharusnya dipidana, akan tetapi tidak dipidana. Hakim sebagai penentu untuk
menilai keadaan khusus dalam diri pelaku.
peristiwa tertentu, untuk menciptakan dasar penghapusan pidana dan bukan dasar
penghapusan tuntutan.
Dalam teori hukum pidana biasanya alasan-alasan yang menghapuskan pidan aini
dibeda-bedakan menjadi :
1) Alasan pembenar; yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan
hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi
perbuatan yang patut dan benar.
2) Alasan pemaaf; yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa.
3) Alasan penghapus penuntutan; di sini soalnya bukan ada alasan pembenar
maupun alasan pemaaf, jika tidak ada pikirkan mengenai sifatnya perbuatan
maupun sifatnya orang yang melakukan perbuatan, tetapi pemerintah menganggap
bahwa atas dasar kemanfaatannya kepada masyarakat, sebaiknya tidak diadakan
penuntutan.
Pertama, alasan penghapus pidana dilihat dari segi unsur-unsurnya. Lazimnya, dalam
hukum pidana, unsur-unsur tindak pidana merupakan syarat untuk menentukan
sampai di mana perbuatan seseorang dapat dikenakan pidana. Akan tetapi,
pembentuk undang-undang memperhitungkan pada posisi pelaku yang berada di
bawah situasi dan kondisi tertentu, hendaknya si pelaku tidak dimintai
pertanggungjawaban, sebagai pengecualian tidak pidana, terhadap sifat melawan
hukum perbuatan yang dihapus. Selain itu, dalam hal peniadaan pidana juga
terhadap kesalahan si pembuat/pelaku dihapus, merupakan unsur subjektif jika
dilihat dari diri pelaku.
Kedua, alasan penghapus pidana dilihat dari segi unsur-unsurnya.
Kedua, alasan penghapus pidana dilihat dari segi sumbernya, dapat dilihat dalam
peraturan perundang-undangan yaitu bersumber dari KUHP diatur dalam ketentuan
umum pasal 44, 48 sampai 51 KUHP, dan diatur dalam ketentuan khusus Pasal 110
(4), 166, 186 (1), 221 (2), 310 (3), dan 314 KUHP. Selain itu pula alasan penghapus
pidana bersumber dari yurisprudensi.

BAB XI
AJARAN MENGENAI WAKTU DAN TEMPAT TERJADINYA TINDAK PIDANA
A. Pengantar Mengenai Waktu Dan Tempat Terjadinya Delik
Di dalam terjadinya suatu tindak pidana maka untuk menentukan waktu atau
(tempus delicti) dan tempat (locus delicti) terjadi tindak pidana adalah hal yang
penting KUHP tidak mengatur secara khusus mengenai tempus delikdan dolus
delicti, kecuali mengatur kekuatan berlakunya ketentuan hukum pidana.
Tempus delicti dan locus delicti tidak hanya berhubungan dengan perbuatan materiil
dari tindak pidana, tetapi juga menjadi aspek penting dari proses pembuktian dalam
hukum acara pidana. Memastikan tempus delicti dan locus delicti bukan semata-
mata demi kepentingan mencari kejelasan sebuah delik, melainkan juga penguraian
delik dalam arti waktu dan tempat terjadinya delik dan semua itu diuraikan dalam
Proses penuntutan.
Hukum pidana adalah hukum yang terikat pada ruang dan waktu. Sekalipun
pembuat undang-undang tidak memasukkan ruang dan waktu sebagai unsur dalam
rumus delik, tampak jelas ukum pidana Kapan dan di mana locus delicti pidana
dilakukan harus diketahui. Bila mana Jaksa atau penuntut umum lupa menyebutkan
kedua hal tersebut Di dalam surat dakwaan, maka dakwaan tersebut akan dianggap
batal demi hukum.
B.Ajaran Mengenai Tempus Delicti
Adalah masuk akal apabila pembuat undang-undang pidana tidak saja mensyaratkan
bahwa unsur-unsur delik harus dirumuskan tetapi juga harus ditetapkan waktu
(tempus) dan tempat (colusi) delik.
Menurut van Bemmelen di di dalam bukunya hukum pidana, penting sekali bahwa
tempat dan waktu delik dilakukan sedapat mungkin pastikan. Waktu dilakukan untuk
menentukan terlebih dahulu kepastian ini. Asas legalitas mengisyaratkan dari segi
waktu terjadinya tindak pidana menimbulkan konsekuensi tidak ada perbuatan yang
dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan
dalam suatu aturan undang-undang dari segi waktu itu berarti rumusan delik
terlebih dahulu menyebutkan kualifikasi perbuatan tertentu yang diliputi delik untuk
menentukan terhadap kelakuan atau perbuatan mana yang dinyatakan delik.
C. AJARAN MENGENAI COLUS DELICTI
Dengan demikian berkenaan dengan tempat terjadinya tindak pidana locus delicti)
dapat disimpulkan beberapa catatan penting.
Yang pertama, kewenangan relatif mengadili berdasarkan colos delicti dapat
disimpulkan beberapa catatan penting. sebagaimana yang dimaksud pasal 84 KUHP.
Kedua, ruang lingkup berlakunya aturan pidana sebagaimana maksud pasal 2 sampai
dengan pasal 9 KUHP.
Ketiga, tindak pidana ditentukan oleh locys delicti yang dilakukan di muka umum
atau dengan kata lain tempat umum yang dapat dilihat serta disaksikan oleh
khalayak ramai misalnya seperti yang dimaksud di dalam pasal 160 dan 281 KUHP.
Pada umumnya, mengenai locus delicti atau tempat terjadinya tindak pidana dikenal
tiga macam teori, yaitu: teori perbuatan materiel (de leer van de lichamelijke daad)
teori yang mendasarkan di mana perbuatan terjadi yang dilakukan oleh seseorang,
teori yang mendasarkan di mana alat yang dipakai untuk melakukan perbuatan, teori
akibat (de leer van het gevlog) teori yang mendasarkan atas di mana akibat yang
langsung menimbulkan kejadian dan di mana akibat itu ditentukan atau telah selesai
oleh delik. Namun dari ketiga teori itu dapat digabungkan menjadi bersifat
kompromi, yang dinamakan "theorie van de meervoudige plaats en tijds".483
Teori perbuatan materiel (de leer van de lichamelijke daad) menyatakan tempat
tindak pidana ditentukan oleh perbuatan jasmaniah yang dilakukan oleh si pembuat
dalam mewujudkan tindak pidana. 484 Teori tentang tempat di mana kelakuannya
terjadi.485
Lazimnya, terhadap delik formil teori perbuatan materiel dapat mudah digunakan
karena menitikberatkan pada tempat terjadinya tindak pidana ditentukan pada
tempat perbuatan delik formil itu diwujudkan pelaku. Akan tetapi, untuk delik
materiel akan sulit diterapkan, karena delik materiel bergantung pada akibatnya dari
perbuatan yang harus selesai, dan bisa jadi akibatnya berada pada tempat terpisah
dengan perbuatan yang dilakukan.
Kapan hamil menjelaskan bahwa yang menentukan locus delicti ialah :
1. Tempat di mana seorang pelaku itu telah melakukan sendiri perbuatannya ( de
plaats van de lichamelijke daad)
2. Tempat di mana alat yang telah digunakan oleh seorang pelaku itu bekerja (de
plssts van de uitweking van bet instrument)
3. Tempat di mana akibat langsung dari suatu tindak kan itu telah timbul ( de plaats
van bet onmuddelijk gevolg)
4. Tempat di mana suatu akibat konstitutif itu telah timbul ( de plaats van bet
consitutif gevolg)

BAB XII

TEORI TENTANG HUBUNGAN KAUSALITAS


Secara umum , kausalitas dimengerti sebagai sesuatu yang miliki hubungan sebab
akibat. Kausalitas Menurut John Stuart Mill, dalam bukunya bahwa sebab (causa )
adalah yang melahirkan suatu keadaan baru.
A. Teori condition sine qua non
Menurut remmelink, ajaran kausalitas yang dibela oleh von buri sebagai
pemahaman terbaik untuk kepentingan hukum pidana pada era itu. Suatu tindakan
tidak dapat dipikirkan terlepas dari tindakan dapat dikatakan menimbulkan akibat
tertentu, sepanjang akibat tersebut tidak dapat dipikirkan terlepas dari tidakan
pertama tersebut. Karena itu, suatu tindakan harus merupakan condition sine qua
non (syarat mutlak) bagi keberadaan akibat tertentu. Semua syarat (sebab) harus
dipandang setara.
B. Teori individualis
Penulis menyimpulkan beberapa hal penting dari teori individualisasi yang
dikemukakan oleh break Meyer , pertama yang menjadi sebab adalah faktor dari
kejadian ialah yang paling berpengaruh dalam menentukan terjadinya delik,
kedua rangkaian semua faktor dari kejadian tertentu coraknya tidak sama ,
ketiga kecenderungan antara beberapa faktor yang menjadi sebab saling
bersaing , keempat teori ini bertujuan mencari faktor yang dominan yang paling
dan paling menentukan dalam mewujudkan kejadian atau akibat dari delik ,
kelima secara spesifik teori ini akan mencari dan menilai diantara rangkaian
faktor yang berkaitan dengan akibat dari kejadian.
C. Teori generalisasi
Sebagai reaksi dari teori condition teori generalisasi dan teori individualisasi dari
yang mencari batasan antara syarat dan musabab tegasnya hanya mencari satu saja
dari sekian banyak sebab yaitu perbuatan manakah yang menimbulkan akibat yang
dilarang teori generalisasi melihat sebab in abstraktor menurut perhitungan yang
layaklah yang akan menimbulkan akibat teori mengerelasisasi berusaha membuat
pemisahan antara syarat yang satu dengan syarat yang lain untuk kemudian pada
masing-masing syarat tersebut diberikan penilaian sesuai dengan pengertiannya
yang umum atau layak untuk dipandang sebagai penyebab dari suatu kelakuan yang
terjadi teori ini melihat syarat-syarat sebelum terjadinya kelakuan dengan menilai
apakah diantara serentak syarat itu ada perbuatan manusia yang pada umumnya
dapat menimbulkan akibat semacam itu.
Dalam konteks ini untuk menentukan apakah suatu perbuatan itu pada umumnya
layak untuk menimbulkan akibat semacam itu atau tidak terdapat atau tidak
terdapat dua teori yaitu:
1. Teori subjektif dari von kries
Teori generalisasi disebut juga sebagai teori adekuat sebagaimana yang
dicetuskan oleh von Kristen teori ini mendalilkan bahwa yang harus dianggap
menjadi sebagai sebab adalah apa yang oleh si pelaku dapat diketahui bahwa
pada umumnya perbuatan yang dilakukan dapat menimbulkan akibat teori ini
sering disebut juga sebagai dengan penentu subjektif.
2. Teori objektif dari rumelin
Apabila teori subjektif von kries ( teori adequat) menitiberatkan pada penentuan
subjektif dari keadaan yang diketahui oleh si pelaku sebaliknya teori objektif dari
rumelin adalah penentuan objektif yang ditentukan oleh keadaan yang diketahui
oleh umum.
D. Teori Relevansi
Menurut teori relevansi adanya suatu kelakuan atau tindakan Musa bab akibat yang
dilarang bertitik tolak dari pembentuk undang-undang artinya kelakuan atau
tindakan sebagai musabab untuk menimbulkan akibat yang dilarang sudah
dibayangkan oleh pembentuk undang-undang teori ini sama sekali tidak
mengadakan perbedaan antara syarat dan musabab sebagaimana diajarkan dalam
teori generalisasi dan teori individualisasi demikian pula teori ini tidak menyematkan
antara syarat dan musabab seperti dalam ajaran condition sine qua non.BAB XII
TEORI TENTANG HUBUNGAN KAUSALITAS
Secara umum , kausalitas dimengerti sebagai sesuatu yang miliki hubungan sebab
akibat. Kausalitas Menurut John Stuart Mill, dalam bukunya bahwa sebab (causa )
adalah yang melahirkan suatu keadaan baru.
A. Teori condition sine qua non
Menurut remmelink, ajaran kausalitas yang dibela oleh von buri sebagai
pemahaman terbaik untuk kepentingan hukum pidana pada era itu. Suatu tindakan
tidak dapat dipikirkan terlepas dari tindakan dapat dikatakan menimbulkan akibat
tertentu, sepanjang akibat tersebut tidak dapat dipikirkan terlepas dari tidakan
pertama tersebut. Karena itu, suatu tindakan harus merupakan condition sine qua
non (syarat mutlak) bagi keberadaan akibat tertentu. Semua syarat (sebab) harus
dipandang setara.
B. Teori individualis
Penulis menyimpulkan beberapa hal penting dari teori individualisasi yang
dikemukakan oleh break Meyer , pertama yang menjadi sebab adalah faktor dari
kejadian ialah yang paling berpengaruh dalam menentukan terjadinya delik, kedua
rangkaian semua faktor dari kejadian tertentu coraknya tidak sama , ketiga
kecenderungan antara beberapa faktor yang menjadi sebab saling bersaing ,
keempat teori ini bertujuan mencari faktor yang dominan yang paling dan paling
menentukan dalam mewujudkan kejadian atau akibat dari delik , kelima secara
spesifik teori ini akan mencari dan menilai diantara rangkaian faktor yang berkaitan
dengan akibat dari kejadian.
C. Teori generalisasi
Sebagai reaksi dari teori condition teori generalisasi dan teori individualisasi dari
yang mencari batasan antara syarat dan musabab tegasnya hanya mencari satu saja
dari sekian banyak sebab yaitu perbuatan manakah yang menimbulkan akibat yang
dilarang teori generalisasi melihat sebab in abstraktor menurut perhitungan yang
layaklah yang akan menimbulkan akibat teori mengerelasisasi berusaha membuat
pemisahan antara syarat yang satu dengan syarat yang lain untuk kemudian pada
masing-masing syarat tersebut diberikan penilaian sesuai dengan pengertiannya
yang umum atau layak untuk dipandang sebagai penyebab dari suatu kelakuan yang
terjadi teori ini melihat syarat-syarat sebelum terjadinya kelakuan dengan menilai
apakah diantara serentak syarat itu ada perbuatan manusia yang pada umumnya
dapat menimbulkan akibat semacam itu.
Dalam konteks ini untuk menentukan apakah suatu perbuatan itu pada umumnya
layak untuk menimbulkan akibat semacam itu atau tidak terdapat atau tidak
terdapat dua teori yaitu:
1. Teori subjektif dari von kries
Teori generalisasi disebut juga sebagai teori adekuat sebagaimana yang
dicetuskan oleh von Kristen teori ini mendalilkan bahwa yang harus dianggap
menjadi sebagai sebab adalah apa yang oleh si pelaku dapat diketahui bahwa
pada umumnya perbuatan yang dilakukan dapat menimbulkan akibat teori ini
sering disebut juga sebagai dengan penentu subjektif.
2. Teori objektif dari rumelin
Apabila teori subjektif von kries ( teori adequat) menitiberatkan pada penentuan
subjektif dari keadaan yang diketahui oleh si pelaku sebaliknya teori objektif dari
rumelin adalah penentuan objektif yang ditentukan oleh keadaan yang diketahui
oleh umum.
D. Teori Relevansi
Menurut teori relevansi adanya suatu kelakuan atau tindakan Musa bab akibat yang
dilarang bertitik tolak dari pembentuk undang-undang artinya kelakuan atau
tindakan sebagai musabab untuk menimbulkan akibat yang dilarang sudah
dibayangkan oleh pembentuk undang-undang teori ini sama sekali tidak
mengadakan perbedaan antara syarat dan musabab sebagaimana diajarkan dalam
teori generalisasi dan teori individualisasi demikian pula teori ini tidak menyematkan
antara syarat dan musabab seperti dalam ajaran condition sine qua non.

BAB XIII
PIDANA DAN PEMIDANAAN
Tujuan pemidanaan dihubungkan dengan sistem pemidanaan, menurut hulsman
bahwa sistem pemidanaan adalah aturan perundang-undangan yang berhubungan
dengan sanksi pidana dan pemidanaan. Apabila pengertian pemidanaan diartikan
sebagai suatu pemberian atau penjatuhan pidana maka pengertian sistem
pemidanaan dapat dilihat dari dua sudut :
1. Dalam arti luas , sistem pemidanaan dilihat dari sudut fungsional, yaitu dari sudut
bekerjanya/ prosesnya.
2. Dalam arti sempit, sistem pemidanaan dilihat dari sudut normatif / substantif
yaitu hanya dilihat dari norma-norma hukum pidana substantif.
A. Pidana pokok
Merujuk pada pasal 10 KUHP huruf a , ditentukan pidana pokok terdiri dari lima jenis
pidana pokok, yaitu pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan,pidana denda dan
pidana tutupan .
Prinsip umum dalam penjatuhan pidana pokok berdasarkan KUHP adalah hakim
dilarang menjatuhkan lebih dari satu pidana pokok. Oleh karena itu, ancaman pidana
dalam KUHP pada umunya bersifat alternatif antara pidana penjara dan pidana
denda.
B. Pidana penjara
Pidana penjara adalah salah satu bentuk pidana perampasan kemerdekaan ( pidana
badan ) . Pidana penajara dapat dijatuhkan seumur hidup atau hanya sementara
waktu saja. Untuk yang disebut yang terakhir , jangka waktunya minimal sehari dan
selam-lamanya limat belas tahun.
Pidana penjara terdiri dari
a. Pidana penjara seumur hidup
b. Pidana penjara selama waktu tertentu, yang lamanya;(1) paling pendek 1 hari
paling lama 15 tahun dan (2) boleh dikenakan untuk 20 tahun.
Keputusan untuk pembebasan bersyarat itu diberikan oleh menteri kehakiman
( pasal 16 KUHP )
1. Pidana kurungan
Pidana kurungan lebih ringan daripada pidana penjara apabila dilihat dari peraturan,
karena ancaman maksimum pidana kurungan jauh lebih pendek bila dibandingkan
dengan maksimum ancaman pidana penjara.
2. Pidana denda
Hukuman denda selain diancamkan pada pelaku pelanggaran juga diancamkan
terhadap kejahatan yang adakalanya sebagai alternatif atau kumulatif. Jumlah yang
dikenakan pada hukuman denda ditentukan minimum dua puluh lima, sedangkan
jumlah maksimum tidak ad ketentuan.
3. Pidana tutupan
Pidana tutupan dalam konteks hukum pidana Indonesia adalah berdasarkan undang-
undang nomor 20 tahun 1946 tentang hukuman tutupan.
D. Pidana Tambahan
Pidana tambahan diatur dalam pasal 10 KUHP huruf b yang terdiri dari jenis , yaitu
pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan
pengumuman putusan hakim.
Remmelink memberikan beberapa catatan mengenai pidana tambahan SBG:
1. Pidana tambahan bersifat fakultatif , hakim bebas menggunakan atau tidak pilihan
itu.
2. Pidana tambahan menetapkan minimal khusus dan dapat diberlakukan ketentuan
minimal dan maksimal.
3. Pidana tambahan tidak berlaku bagi mereka yang belum cukup umur pada waktu
putusan dibacakan belum mencapai usia 18 tahun,
4. Didalam ketentuan lain diluar KUHP ditemukan pula ketentuan mengenai pidana
tambahan misalnya pada undang-undang delik ekonomi.
a. Pencabutan hak-hak tertentu
Pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu tidak berarti hak-hak
terpidana dapat dicabut.
b. Perampasan barang-barang tertentu
c. Pengumuman putusan hakim

E. Pidana bersyarat
Dalam pasal 14a KUHP dinyatakan bahwa pidana bersyarat hanya dapat dijatuhkan
bilama memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Dalam putusan yang menjatuhkan pidana penjara, asal lamanya tidak lebih dari
satu tahun.
2. Pidana bersyarat dapat dijatuhkan sehunungnya dengan pidana kurungan, dengan
ketentuan tidak termasuk pidana kurungan pengganti denda.
3. Dalam hal menyangkut pidana , maka pidana bersyarat dapat dijatuhkan dengan
batasan bahwa hakim harus yakin bahwa pembayaran denda betul akan dirasakan
berat si terdakwa
E. Pelepasan bersyarat
Pidana bersyarat dan pelepasan bersyarat itu adalah perwujudan dari unsur
perikemanusiaan yang dimaksudkan kedalam stelsel hukum pidana modern, dan
sebagai hasrat untuk memberikan kesempatan kepada yang telah melakukan tindak
pidana untuk mengadakan koreksi terhadap dirinya sendiri.BAB XIII
PIDANA DAN PEMIDANAAN
Tujuan pemidanaan dihubungkan dengan sistem pemidanaan, menurut hulsman
bahwa sistem pemidanaan adalah aturan perundang-undangan yang berhubungan
dengan sanksi pidana dan pemidanaan. Apabila pengertian pemidanaan diartikan
sebagai suatu pemberian atau penjatuhan pidana maka pengertian sistem
pemidanaan dapat dilihat dari dua sudut :
1. Dalam arti luas , sistem pemidanaan dilihat dari sudut fungsional, yaitu dari sudut
bekerjanya/ prosesnya.
2. Dalam arti sempit, sistem pemidanaan dilihat dari sudut normatif / substantif
yaitu hanya dilihat dari norma-norma hukum pidana substantif.
A. Pidana pokok
Merujuk pada pasal 10 KUHP huruf a , ditentukan pidana pokok terdiri dari lima jenis
pidana pokok, yaitu pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan,pidana denda dan
pidana tutupan .
Prinsip umum dalam penjatuhan pidana pokok berdasarkan KUHP adalah hakim
dilarang menjatuhkan lebih dari satu pidana pokok. Oleh karena itu, ancaman pidana
dalam KUHP pada umunya bersifat alternatif antara pidana penjara dan pidana
denda.
B. Pidana penjara
Pidana penjara adalah salah satu bentuk pidana perampasan kemerdekaan ( pidana
badan ) . Pidana penajara dapat dijatuhkan seumur hidup atau hanya sementara
waktu saja. Untuk yang disebut yang terakhir , jangka waktunya minimal sehari dan
selam-lamanya limat belas tahun.
Pidana penjara terdiri dari
a. Pidana penjara seumur hidup
b. Pidana penjara selama waktu tertentu, yang lamanya;(1) paling pendek 1 hari
paling lama 15 tahun dan (2) boleh dikenakan untuk 20 tahun.
Keputusan untuk pembebasan bersyarat itu diberikan oleh menteri kehakiman
( pasal 16 KUHP )
1. Pidana kurungan
Pidana kurungan lebih ringan daripada pidana penjara apabila dilihat dari peraturan,
karena ancaman maksimum pidana kurungan jauh lebih pendek bila dibandingkan
dengan maksimum ancaman pidana penjara.
2. Pidana denda
Hukuman denda selain diancamkan pada pelaku pelanggaran juga diancamkan
terhadap kejahatan yang adakalanya sebagai alternatif atau kumulatif. Jumlah yang
dikenakan pada hukuman denda ditentukan minimum dua puluh lima, sedangkan
jumlah maksimum tidak ad ketentuan.
3. Pidana tutupan
Pidana tutupan dalam konteks hukum pidana Indonesia adalah berdasarkan undang-
undang nomor 20 tahun 1946 tentang hukuman tutupan.
C. Pidana Tambahan
Pidana tambahan diatur dalam pasal 10 KUHP huruf b yang terdiri dari jenis , yaitu
pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan
pengumuman putusan hakim.
Remmelink memberikan beberapa catatan mengenai pidana tambahan SBG:
1. Pidana tambahan bersifat fakultatif , hakim bebas menggunakan atau tidak pilihan
itu.
2. Pidana tambahan menetapkan minimal khusus dan dapat diberlakukan ketentuan
minimal dan maksimal.
3. Pidana tambahan tidak berlaku bagi mereka yang belum cukup umur pada waktu
putusan dibacakan belum mencapai usia 18 tahun,
4. Didalam ketentuan lain diluar KUHP ditemukan pula ketentuan mengenai pidana
tambahan misalnya pada undang-undang delik ekonomi.
a. Pencabutan hak-hak tertentu
Pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu tidak berarti hak-hak
terpidana dapat dicabut.
b. Perampasan barang-barang tertentu
c. Pengumuman putusan hakim

E. Pidana bersyarat
Dalam pasal 14a KUHP dinyatakan bahwa pidana bersyarat hanya dapat dijatuhkan
bilama memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Dalam putusan yang menjatuhkan pidana penjara, asal lamanya tidak lebih dari
satu tahun.
2. Pidana bersyarat dapat dijatuhkan sehunungnya dengan pidana kurungan, dengan
ketentuan tidak termasuk pidana kurungan pengganti denda.
3. Dalam hal menyangkut pidana , maka pidana bersyarat dapat dijatuhkan dengan
batasan bahwa hakim harus yakin bahwa pembayaran denda betul akan dirasakan
berat si terdakwa
E. Pelepasan bersyarat
Pidana bersyarat dan pelepasan bersyarat itu adalah perwujudan dari unsur
perikemanusiaan yang dimaksudkan kedalam stelsel hukum pidana modern, dan
sebagai hasrat untuk memberikan kesempatan kepada yang telah melakukan tindak
pidana untuk mengadakan koreksi terhadap dirinya sendiri.

Anda mungkin juga menyukai