BAB I
PENDAHULUAN
Nyatalah bahwa hukum pidana (Materiel) sebagai substansi yang dijalankan dengan kata-
kata”karena adanya dugaan terjadi pelanggaran undang-undang pidana. Moeljatno, seorang ahli
sarjana hukum pidana Indonesia bahwa hukum pidana Formil adalah hukumpidana sebagian
daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan
aturan-aturan untuk:
1. Mentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilarang atau di lakukan dengan tidak di
sertai larangan atau sanksi bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.
2. Menetukan kapan dan dalam hal-hal apa pada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu
dapat dikenakan atau dijatuhkan pidana.
3. Menetukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana dapat dilaksanakan apabila ada orang yang
disangka telah melanggar larangan tersebut.
BAB II
SEJARAH SINGKAT
HUKUM PIDANA DI INDONESIA
A. Zaman VOC
Di daerah Cirebon berlaku papakeum cirebon yang mendapat pengaruh VOC. Pada tahun 1848
dibentuk lagi Intermaire strafbepalingen. Barulah pada tahun 1866 berlakulah dua KUHP di
Indonesia:
1. Het Wetboek van Strafrecht voor Europeanen (stbl.1866 Nomor 55) yang berlaku bagi
golongan eropa mulai 1 januari 1867. kemudian dengan Ordonasi tanggal 6 mei 1872 berlaku KUHP
untuk golongan Bumiputra dan timur asing.
2. Het Wetboek van Strafrecht voor Inlands en daarmede gelijkgestelde ( Stbl.1872 Nomor 85),
mulai berlaku 1 januari 1873.
D. Zaman Kermedekaan
Ditentukandi dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 terse3but bahwa hukum pidana
yang berlaku sekarang (mulai 1946) pada tanggal 8 Maret 1942 dengan perbagai perubahan dan
penambahan yang diseuakan dengan keadaan Negara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dengan
nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie diubah menjadi Wetboek van Stafrecht yang
dapat disebut kitab Undang-undanhg Hukum Pidana (KUHP).
BAB III
TEORI-TEORI TENTANG HUKUM PIDANA
A. Pengertian
Istilah Hukuman Pidana dalam bahasa Belanda sering disebut yaitu Straf. Hukuman adalah
istilah umumuntuk segala macam sanksi baik perdata, adminstratif, disiplin dan pidana. Sedangkan
dalam arti sempit pidana diartikan sebagai Hukum pidana.
B. Tujuan Pidana
Dalam Rancangan KUHP Nasional, telah diatur tentang tujuan penjatuhan pidana, yaitu:
1. Mencegah dilakukannya tindak pidana menegakan norma hukum demi pengayoman masyrakat.
2. Mengadakan koerksi terhadap terpidana dan dengan demikian menjadikannya orang yang baik dan
berguna.
3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan
mendatangkan rasa damai dalam masyrakat.
4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana (Pasal 5).
Dalam literatur bahasa inggris tujuan pidana bisa disebutkan sebagai berikut:
a) Reformation berarti memperbaiki atau merehabitasi penjahat menjadi orang baik dan berguna bagi
masyrakat.
b) Restraint maksudnya mengasingkan pelanggaran dari masyarakat, dengan tersingkirnya
pelanggaran hukum dari masyrakat berarti masyrakat itu akan menjadi lebih aman.
c) Restribution adalah pembalasan terhadap pelanggaran karena telah melakukan kejahatan.
d) Deterrence, adalah menjera atau mencegah sehingga baik terdakwa sebagai individual maupun
orang lain yang potensial menjadi penjahat akan jera atau takut untuk melakukan kejahatan, melihat
pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa.
BAB IV
RUANG LINGKUP KEKUATAN
BERLAKUNYA HUKUM PIDANA
A. ASAS LEGALITAS
Asas ini tercantum didalam pasal 1 ayat 1 KUHP dirumuskan didalam bahasa latin: ”Nullum
Delictum nulla poena sine legipoenali” yang artinya. Tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa
ketentua pidana yang mendahuluinya.
Ada kesimpulan dari rumus tersebut:
1) Jika sesuatu perbuatan yang dilarang atau pengabaian sesuatu yang diharuskan dan diancam
dengan pidana, maka perbuatan atau pengabdian tersebut harusdtercantum didalam undang-
undang.
2) Ketentuan tersebut tidak boleh berlaku surut, dengan satu kekecualian yang tercantum didalam
pasal 1ayat 2 KUHP.
B. Penerapan Anologi
Utrecht menarik garis pemisah antara imterprestasi eksetensi dan penerapan analogi
sebagai berikut:
restasi : Menjalankan undang-undangan setelah undang-undang tersebut dijelaskan.
i : Menjelaskan suatu perkara dengan tidak menjalankan undang-undanag.
restasi : Menjalankan kaidah yang oleh undang-undang tidak dinyatakan dengan tegas.
i : Menjalankan kaidah tersebut untuk menyelsaikan suatu perkara yang tidak disingung oleh kaidah,tetapi
yang mengandung kesamaan dengan perkara yang disinggung oleh kaidah, tetapi yang mengandung
kesamaan dengan perkara yang disinggung kaidah tersebut.
C. Hukum Transitoir (Peralihan)
Yang menjadi masalah dalam hal ini.adalahketentuan perundang-undangan yang mana
apakah ketentuan hukum pidana saja ataukah ketentuan hukum yang lain, masih dipermasalahkan
oleh para pakar sarjana hukum pidana.Menurut Memorie van Toelichting (Memori
penjelasan) WvSN (yang dapat dipakai oleh KUHP), perubahan perundang-undangan berarti semua
ketentuan hukum material yang secara hukum pidana “Mempengaruhi penilaian perbuatan”.
IV. Asas Universalitas
Jenis kejahatan yang diancam pidana menurut asas ini sangat berbahaya bukan saja dilihat dari
kepentingan Indonesia tapi kepentingan dunia secara universal kejahatan ini dipandang perlu
dicegah dan diberantas. Demikianlah, sehingga orang jerman menamakan asas
ini welrechtsprinhzip (asas hukum dunia) disini kekuasaan kehakiman menjadi mutlak
karena yuridiksi pengadilan tidak tergantung lagi pada tempat terjadinya delik atau nasionalitas
atau domisili terdakwa.
BAB V
INTERPRESTASI
UNDANG-UNDANG PIDANA
A. Pentingnya Interprestasi
Pentingnya interprestasi undang-undang pidana sehingga rumusan delik yang abstrak dapat
diterjemahkan ke dalam keadaan yang konkrit penafsiran yang paling sesuai dengan ini adalah
penafsiran sosiologis atau sesuai dengan kehidupan masyarakat setempat.
Bab VI
Perbuatan dan Rumusan Delik
A. Pengertian Delik
Hukum pidana belanda memakai istilah Strafbaar feit, kadang-kadang Delictum. Tetapi di
dalam Negara Anglo-Sexson memakai istilah Offense yang artinya perbuatan pidana atau pristiwa
pidana di Indonesia meakai juga istilah “Delik”
B. Rumusan Delik
Simons merumuskan yang lengkap merupakan :
a. Diancam dengan pidana oleh hukum,
b. Bertentangan dengan hukum,
c. Dilakukan oleh orang yang bersalah,
d. Orang itu bertanggung jawab atas perbuatanya.
Didalam rumusan ini terdapat bagian inti “sengaja’’, karena ada delik menghilangkan nyawa orang
lain yang dilakukan dengan kealpaan (Culpa), yaitu pasal 359 dan 361 KUHP.
E. Pembagian Delik
Delik itu dapat dibedekan atas pelbagai pembagaian tertentu, seperti berikut ini:
1. Delik kejahatan dan Delik pelanggaran (Misdrijven en overtredingen).
2. Delik Materiel dan delik Formel (Materiele en fomeledelichten).
3. Delik Komisi dan Delik Omisi (Commissiedelicten en Omissiedelicten).
4. Delik yang berdiri sendiri dan Delik yang diteruskan (Zelfstandige en voorgezette delicten).
5. Delik Selesai dan Delik Berlanjut (Aflopende en voortdurende delicten).
6. Delik Tunggal dan delik berangkai (Enkelvoudige en gestelde delicten).
7. Delik Bersahaja dan Delik Berkualifikasi (Eenvoudige en gequalificeerde delicten).
8. Delik Sengaja dan Delik Kelalaian atau Culpa (Doleuse en culpose delicten).
9. Delik Politik dan Delik Komun atau Umum (Politieke en commune delicten).
10. Delik-delik dapat dibagi juga atas kepentingan hukum yang dilindungi, seperti delik terhadap
keamanan Negara, delik terhadap orang, delik kesusilan, delik terhadap harta benda dan lain-lain.
11. Untuk Indonesia,menurut Kitab Undang-undang hukum acara pidana pasal 284, dikenal pula delik
umum dan delik khusus, seperti delik ekonomi, korupsi, subversi, dll.
BAB VII
KESALAHAN DALAM ARTI LUAS
DAN MELAWAN HUKUM
A. Sengaja
“Sengaja” (opzet) berarti De (Bewuste)richting van den wil op een bepaald misdrijven, ( Kehendak
yang disadari yang ditunjukan untuk melakukan kejahatan tertentu). Kemudian perlu dikemukakan
tentang adanya teori-teori tentang sengaja itu. Pertama-tama ialah yang disebut teori kehendak.
Menurut teori ini,maka “ kehendak” merupakan hakikat sengaja itu. Bantahan dari teori kehendak
adalah teori Membayangkan teori dikemukakan oleh frank dlm tulisan Uber den Aufbau des
Schulbegriffs, ia mengatakan secara Piskologis, tidak mungkin suatu akibat dapat dikehendaki.
D. Melawan Hukum
Melawan hukum Formil diartikan bertentangan dengan Undang-undang apabila suatu perbutan
telah mencocoki rumusan delik, maka biasanya dikatakan telah melawan hukum secara Formil.
E. Subsosialitas (subsocialiteit)
Subsosialitas adalah tingkah laku akan penting bagi hukum pidana jika perbuatan itu
mengakibatkan bahaya bagi masyarakat, walaupun bahaya itu kecil sekali jika tidak ada bahaya
demikian, maka unsure subsosialitas tidak ada.
F. Taatbestandmassikeit dan Wesenchau
Didalam hukum pidana jerman yang diikiuti Zevenbergen di Negeri belanda, diterima adanya delik
dengan syarat Taat bestandmassikeit, yang berarti bahwa semua rumusan delik tidak perlu semua
bagian inti ada. Unsar-unsur seperti melawan hukum dan patutnya sesuatu perbuatan pidana
walaupun semua itu dimasukkan sebagai unsur delik. Sebaliknya, di Jerman ajaran ini diganti
oleh Wesenchau pada tahun 1930. ajaran Wesenchau mirip sekali dengan ajaran melawan hukum
yang materiel. Ini adalah bahwa ajaran sekali pun seuatu perbuatan telah selesai dengan rumusan
delik didalam Undang-undang pidana belumlah otomatis merupakan suatu delik. Perbuatan pada
dasarnya “Pada hakikatnya” merupakan delik sesuai dengan rumusan delik yang dipandang sebagai
delik.
BAB VIII
DASAR PENIADAAN PIDANA
A. Pengertian
Dua hal yang perlu dijelaskan disini ialah pertama pengertian pebuatan (fiet) dan putusan
yang telah tetap.
Van Hamel menunjukan tiga pengertian perbuatan (Fiet):
1) Perbuatan (fiet) terjadi kejahatan (delik). Pengertian ini sangat luas, misalnya dalam suatu kejadian
beberapa orang dianiaya, dan apabila dalam suatu penganiayaan dilakukan pula pencurian, maka
tidak mungkin dilakukan pula penuntutan salah satu dari perbuatan-perbuatan itu kemudian dari
yang lain.
2) Perbuatan (fiet) perbuatan yang didakwakan. Ini terlalu sempit. Vos tidak dapat menerima
pengertian perbuatan (fiet) dalam arti yang kedua ini.
3) Perbuatan (fiet) perbuatan materil, jadi perbuatan itu terlepas dari akibat. Dengan pengertian ini
maka ketidak pantasan yang ada pada kedua pengertian terdahulu dapat dihindari.
C. Dapat Dipertanggungjawabkan
D. Daya Paksa
Daya paksa (Overmacht) tercantum di dalma pasal 48 KUHP. Undang-undang hanya menyebut
tentang tidak dipidana seseorang yang melakukan pebuatan karena dorongan keadan yang
memaksa.
E. Pembelaan Terpaksa
Pembelaan terpaksa ada pada setiap hukum pidana dan sama usianya dengan hukum pidana itu
sendiri. Istilah yang dipakai oleh Belanda ialah noodweer tidak terdapat dalam rumusan undang-
undang tersebut:
1. Pembelaan itu bersifat terpaksa.
2. Yang dibela ialah diri sendiri, orang lain, kehormatan kesusilan, atau harta benda sendiri atau orang
lain.
3. Ada serangan sekejap atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu.
4. Serangan itu melawan hukum.
BAB IX
TEORI-TEORI TENTANG
SEBAB AKIBAT
A. Pengertian
Setiap peristiwa sosial menimbulkan satu atau beberapa peristiwa sosial yang lain, demikian
seterusnya yang satu mempengaruhi yang lain sehingga merupakan satu lingkaran sebab akibat. Hal
inni disbut hubungan kasual yang artinya adalah sebab akibat atau kausalitas.
B. Teori-teori Kausalitas
Demikian keanekaragaman hubungan sebab akibat tersebut kadangkala menimbulkan berbagai
permasalahanya yang tidak pasti, oleh karena tidaklah mudah untuk menentukan mana yang
menjadi akibat, terutama apabila banyak ditemukan faktor berangkaiyang menimbulkan akibat.
Teori yang mengenealisasi dapat dibagi menjadi 3, yaitu:
1. Teori adaquaat dari Von Kries
Adaequaat artinya adalah sebanding, seimbamg, sepadan. jadi dikaitkan dengan delik, maka
perbuatan harus sepadan, seimbang atau sebanding dengan akibat yang sebelumnya dapat
diramalkan dengan pasti oleh pembuat.
2. Teori obyektif
Teori Rumeling mengajarkan bahwa yang menjadi sebab atau akibat adalah faktor obyektif yang
diramalkan dari rangkaian faktor2 yang berkaitan dengan terwujudnya delik setelah delik itu
terjadi.
3. Teori adequaat dari Traeger
Menrutnya adalah pada umumnya dapat disadari sebagai suatu yang mungkin sekali terjadi. Teori
tersebut diberi komentar oleh van Bemmelen bahwa yang disebut dengan ini adalah disadari sebagai
sesuatu yang sangat mungkin dapat terjadi.
Bab X
DASAR PENIADAAN PENUNTUTAN DAN
PELAKSANANAAN PIDANA
Bab XI
HUKUM PENETENSIER
Dalam undang-undang di luar KUHP khususnya Undang-undang Nomor 7 (drt) tahun 1995
tentang Tindak Pidana Ekonomi disebut “tindakan tatatertib” yaitu :
a. Penutupan sebagian atau seluruh perusahaan si tersangka dimana tindak pidana ekonomi itu
disangka telah dilakukan
b. Penempatan si tersangka dibawah pengampunan;
c. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tersangka atau pencabutan seluruh atau sebagian
keuntungan yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada si tersangka berhubungan
dengan perusahaan itu;
d. Supaya tersangka tidak melakukan perbuatan-perbuatan tertentu;
e. Supaya si tersangka berusaha supaya barang-barang tersebut dalam pemerintah itu yang dapat
disita dikumpulkan dan disimpan di tempat yang ditunjuk dalam pemerintah itu.
Jenis-jenis Pidana
Pidana Pokok
1. Pidana Mati
2. Pidana Penjara
3. Pidana Kurungan
4. Pidana Tutupan (KUHP terjemahan BPHN, berdasarkan UU No. 20 tahun 1946)
b. Pidana Tambahan
Pencabutan hak-hak tertentu
Perampasan barang-barang tertentu
Pengumuman putusan hakim
1. Pidana Mati
Delik yang diancam dengan pidana mati di dalam KUHP sudah menjadi 9 buah, yaitu :
1. Pasal 104 KUHP
2. Pasal 111 ayat (2) KUHP
3. Pasal 124 ayat (1) KUHP
4. Pasal 124 bis KUHP
5. Pasal 140 ayat (30) KUHP
6. Pasal 340 KUHP
7. Pasal 365 ayat (4) KUHP
8. Pasal 444 k ayat (2) dan pasal 479 o ayat (2) KUHP.
2. Pidana Penjara
Pidana penjara adalah bentuk pidana yang berupa kehilangan kemerdekaan. Tetapi juga berupa
pengasingan, misalnya di Rusia pengasingan Siberia dan juga berupa pembuangan ke sebrang
lautan, misalnya dahulu pembuangan penjahat-penjahat Inggris ke Australia.
3. Pidana Kurungan
Menurut Vos, pidana kurungan pada dasarnya mempunyai 2 tujuan. Pertama ialah sebagai custodia
honesta untuk delik yang tidak menyangkut kejahatan kesusilaan yaitu delik-delik culpa dan
beberapa delik dolus, seperti perkelahian satu lawan satu dan pailit sederhana.
Yang kedua sebagai custodia simpleks, suatu perampasan kemerdekaan untuk delik pelanggaran
4. Pidana Denda
Pada zaman modern ini pidana denda dijatuhkan terhadap delik-delik ringan, berupa pelanggaran
atau kejahatan ringan oleh karena itu pula, pidana denda merupakan satu-satunya pidan ayang
dapat dipikul oleh orang lain selain terpidana.
5. Pidana Tutupan
Pidana tutupan disediakan bagi para politis yang melakukan kejahatan yang disebabkan oleh
ideologi yang dianutnya tetapi dalam praktek peradilan dewasa ini tidak pernah ketentuan tersebut
diterapkan.
Pidana Tambahan
Pidana tambahan disebut dalam pasal 10 KUHP pada bagian b, yang terdiri dari :
1. Pencabutan hak-hak tertentu
2. Perampasan barang-barang tertentu
3. Pengumuman putusan hakim
akan (Maatregel)
Sering dikatakan berbeda dengan piidana, maka tindakan bertujuan melindungi masyarakat,
sedangkan pidana bertitik berat pada pengenaan sanksi pada pelaku suatu perbuatan. Tetapi secara
teori, sukar dibedakan dengan cara demikian, karena pidana pun sering disebut bertujuan untuk
mengamankan masyarakat dan mamperbaiki terpidana.
d. Pidana Bersyarat
Pidan abersyarat yang tercatum pada pasal 14 a sampai dengan 14 f KUHP diwarisi dari Belanda
tetapi dengan perkembangan zaman telah terdapat perbedaan atara keduanya. Dalam pidana
bersyarat dikenal syarat umum ialah terpidana bersyarat tidak akan melaksanakan delik apapun
dalam waktu yang ditentukan sedangkan syart khusus akan ditentukan oleh hakim dan ada juga yang
disebut syarat khusus.
pasan Bersyarat
Pada pelepasan bersyarat terpidana harus telah menjalani pidananya paling kurang 2/3 nya.
Pelepasan bersyarat ini tidak inferatif atau otomatis. Dikatakan “dapat” dierikan pelepasan
bersyarat yang dikeluarkan oleh mentri kehakiman.
Walaupun bertumpu pada sistem Belanda, hukum pidana Indonesia modern dapat dipisahkan
dalam dua kategori, yaitu hukum pidana acara dan hukum pidana materiil. Hukum pidana acara
dapat disebut dalam Bahasa Inggris sebagai “procedural law” dan hukum pidana materiil sebagai
“substantive law”. Kedua kategori tersebut dapat kita temui dalam Kitab masing-masing yaitu,
KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) dan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana) berturut-turut.
“’The new draft laws’, atau RUU KUHP baru itu telah disesuaikan dengan pandangan hidup
bangsa Indonesia termasuk nilai-nilai agama, nilai adat dan lagi pula disesuaikan dengan
Pancasila.”
Namun RUU KUHP baru memunculkan beberapa hal yang sangat menarik terkait dengan
perubahan-perubahan yang dapat terjadi pada sistem hukum pidana dan patut didiskusikan,
kenyataannya adalah sampai sekarang RUU tersebut belum dilaksanakan. Menurut keterangan dari
beberapa sumber, RUU tersebut telah diajukan kepada DPR Jakarta selama kurang lebih dua puluh
tahun dan belum dapat disepakati apalagi disahkan.
Maka dari itu, untuk sementara KUHAP dan KUHP merupakan undang-undang yang berlaku dan
digunakan oleh lembaga lembaga penegak hukum untuk melaksanakan urusan sehari-hari dalam
menerapkan hukum pidana di Indonesia.
KUHAP (dibedakan dari KUHP), menentukan prosedur-prosedur yang harus dianut oleh berbagai
lembaga yang terlibat dalam sistem peradilan misalnya hakim, jaksa, polisi dan lain-lainnya,
sedangkan KUHP menentukan pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan yang berlaku dan
dapat diselidiki ataupun dituntut oleh lembaga-lembaga tersebut.
Sebagai contoh hendaklah kita membaca Pasal 340 dari KUHP tentang kejahatan terhadap nyawa
orang, sebagai berikut:
Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan nyawa
orang, karena bersalah melakukan pembunuhan berencana, dipidana dengan pidana mati atau
penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.
Dari Pasal tersebut dapat kita lihat bahwa isi KUHP adalah persyaratan dan ancaman (sanksi)
substantif yang dapat diterapkan oleh penegak hukum. Sebaliknya KUHAP menentukan hal-hal yang
terkait dengan prosedur; sebagai contoh Pasal 110 tentang peranan polisi dan jaksa:
“Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan
berkas perkara kepada penuntut umum”.
Dari hasil wawancara yang dilakukan dengan Bapak Dedy Koesnomo dari Kejaksaan Tinggi, Propinsi
Nusa Tenggara Barat[1] dapat kita lihat bahwa dalam kenyataan, sebuah hasil penyidikan dalam
bentuk berkas dari pihak kepolisian didahului dengan sebuah Surat Pemberitahuan Dimulainya
Penyidikan atau SPDP. Itulah langkah pertama dari kepolisian untuk menjalankan sebuah perkara
pidana. Berita Acara Pemeriksaan (BAP) adalah berkas lengkap yang mengandung semua fakta dan
bukti terkait dengan kasusnya. BAP tersebut akan menyusul SPDP biasanya dalam waktu kurang
lebih tiga minggu. Setelah diterima oleh pihak kejaksaan, (untuk tindak pidana ringan biasanya pada
tingkat kejaksaan negeri) barulah kejaksaan dapat meneliti berkasnya dan menyatakan jika BAPnya
lengkap dan patut dilimpahkan kepada pengadilan, atau dikembalikan kepada kepolisian disertai
petunjuk-petunjuk supaya dapat diperbaiki dan diserahkan lagi.
Jika sebuah BAP telah diteliti oleh jaksa dan dinyatakan cukup bukti untuk melimpahkan
perkaranya kepada pengadilan maka pertanggungjawaban untuk kasus tersebut beralih dari pihak
kejaksaan kepada pihak kehakiman dan pengadilan.
Ketika sebuah perkara sudah sampai di pengadilan negeri proses persidangannya adalah
sebagai berikut: Penentuan hari sidang dilakukan oleh hakim yang ditunjuk oleh ketua pengadilan
untuk menyidangkan perkara. Kejaksaan bertanggungjawab untuk meyakinkan terdakwa berada di
pengadilan pada saat persidangan akan dimulai. Maka kejaksaan wajib mengurus semua hal terkait
dengan mengangkut terdakwa dari Lembaga Permasyarakatan (penjara) ke pengadilan, dan
sebaliknya pada saat persidangan selesai. Di Pengadilan Negeri diadakan beberapa ruang tahanan
khususnya untuk menahan tahanan sebelum dan sesudah perkaranya disidang.
Surat dakwaan yang menyatakan tuntutan-tuntutan dari kejaksaan terhadap terdakwa dibaca oleh
jaksa. Pada saat itu terdakwa didudukkan di bagian tengah ruang persidangan berhadapan dengan
hakim. Kedua belah pihak, yaitu Penuntut Umum (jaksa) dan Penasehat Hukum (pengacara
pembela) duduk berhadapan di sisi kanan dan kiri. Setelah dakwaan dibaca, barulah mulai tahap
pemeriksaan saksi. Terdakwa berpindah dari posisinya di tengah ruangan dan duduk di sebelah
penasehat hukumnya, jika memang dia mempunyai penasehat hukum. Jika tidak ada, dialah yang
menduduki kursi penasehat hukum itu.
Penuntut Umum akan ditanyai oleh hakim, apakah ada saksi dan berapa saksi yang akan dipanggil
dalam sidang hari itu. Jika, misalnya ada tiga saksi yang akan dipanggil, mereka bertiga dipanggil
oleh jaksa dan duduk di bangku atau kursi berhadapan dengan hakim; kursi yang sama tadi diduduki
oleh terdakwa. Kemudian hakim akan menyampaikan beberapa pertanyaan kepada saksi masing
masing. Yaitu adalah; nama, tempat kelahiran, umur, bangsa, agama, pekerjaan dan apakah mereka
ada hubungan dengan si terdakwa. Kemudian si saksi sambil berdiri, bersumpah sekalian dengan
kata pengantar sesuai dengan agamanya, kemudian kata-kata berikut:
“Demi Tuhan saya bersumpah sebagai saksi saya akan menerangkan dalam perkara ini yang
benar dan tidak lain daripada yang sebenarnya.”
Sambil saksi bersumpah salah satu Panitera Pengganti akan mengangkat sebuah Al Qur’an atau
Kitab Suci lainnya sesuai dengan agama mereka, di atas kepalanya. Menarik juga bahwa orang Hindu
diberikan dupa yang dipegang sambil bersumpah.
Salah satu perbedaan terkait dengan hal ini adalah, semua saksi bersumpah pada saat bersamaan,
sedangkan di Australia setiap saksi akan bersumpah justru sebelum dia akan memberikan
keterangan.
Setelah saksinya bersumpah, maka saksi pertama duduk di bangku di depan hakim, sedangkan yang
lain disuruh untuk keluar dari ruang persidangan. Itulah saatnya pemeriksaan saksi dimulai oleh
Ketua Hakim. Ini juga merupakan salah satu perbedaan besar di antara sistem persidangan di
Australian dan RI. Di Australia peranan hakim dapat disebut pasif. Padahal hakim di persidangan di
Australia agak jarang akan bertanya langsung kepada saksi. Sebaliknya di RI peranan hakim adalah
sangat aktif. Dialah yang mulai dengan pertanyaannya terhadap saksi. Bolehlah dia berlanjut dengan
proses interogasinya sehingga dia puas dan pertanyaanya habis-habisan. [2] Setelah hakim selesai
dengan pertanyaannya dia memberikan kesempatan kepada jaksa untuk memeriksa saksi, disusul
oleh penasehat hukum.
Pada akhir pemberian keterangan dari saksi masing masing, si terdakwa akan diberikan kesempatan
untuk menanggapi keterangan tersebut. Dalam perkara yang ditonton oleh penulis, Hakim akan
menyimpulkan keterangan yang telah diberikan dengan mengatakan misalnya:
“Kita semua telah mendengar saksi mengatakan bahwa pada tanggal 23 November kemarin dia
membeli narkotika dari anda dalam bentuk dua ‘pocket’ ganja di rumah anda dan anda menerima
uang sebanyak Rp40,000. Bagaimana anda menganggap keterangan itu? Benar atau tidak benar,
setuju atau tidak setuju?”
Proses ini berlanjut sehingga semua saksi dari kejaksaan telah memberikan keterangannya.
Kemudian penasehat hukum juga diberi kesempatan untuk memanggil saksi yang mendukung atau
membela terdakwa, dengan proses yang sama sebagaimana digambarkan di atas. Setelah semua
saksi memberikan keterangan, tahap pemeriksaan saksi selesai dan perkara akan ditunda supaya
jaksa dapat mempersiapkan tuntutannya. Tuntutan adalah sebuah rekomendasi dari jaksa mengenai
sanksi yang dimintai dari hakim. “Setelah itu giliran terdakwa atau penasehat hukumnya
membacakan pembelaanya yang dapat dijawab oleh penuntut umum, dengan ketentuan bahwa
terdakwa atau penasehat hukumnya mendapat giliran terakhir.”
Jika acara tersebut sudah selesai, ketua majelis menyatakan bahwa pemeriksaan dinyatakan ditutup.
Setelah itu para hakim harus mengambil keputusan. Keputusannya dapat dijatuhkan pada hari itu
juga atau hari lain, setelah dilakukan musyawarah terakhir diantara para hakim. Jika dalam
musyawarah tersebut para hakim tidak dapat mencapai kesepakatan, keputusan dapat diambil
dengan cara suara terbanyak. Oleh sebab itu selalu diharuskan jumlah hakim yang ganjil, yaitu tiga,
lima ataupun tujuh hakim. Keputusan para hakim ada tiga alternatif:
Berdasarkan teori pembuktian undang undang secara negatif, keputusan para hakim dalam suatu
perkara harus didasarkan keyakinan hakim sendiri serta dua dari lima alat bukti. Pasal 183 KUHAP
berbunyi sebagai berikut:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan sekurang-
kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-
benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
a. keterangan saksi
b. keterangan ahli
c. surat
d. petunjuk
e. keterangan terdakwa
Setelah memutuskan hal bersalah tidaknya, hakim harus menentukan soal sanksinya, berdasarkan
tuntutan dari jaksa dan anggapannya sendiri terhadap terdakwa. Tergantung pendapatnya, hakim
dapat menjatuhkan pidana yang lebih ringan ataupun lebih berat daripada tuntutan jaksa.
“Hakim harus menilai semua fakta-fakta. Misalnya dalam perkara pencurian, perbuatannya
mungkin terbukti, tetapi hakim berpendapat bahwa terdakwa tidak melakukannya untuk berfoya-
foya, melainkan untuk anaknya yang sakit. Kalau begitu, dapat dia ringankan tuntutan dari
Jaksa, misalnya dari sepuluh bulan, menjadi delapan bulan. Lagi pula hakim dapat melebihi
tuntutan dari jaksa...semuanya tergantung perbedaan persepsi.”
Demikianlah prosesnya hukum acara pidana secara garis besar sehingga terdakwa dibuktikan
bersalah atau tidak bersalah. Jika memang ia terbukti bersalah, apalagi dijatuhkan hukuman
penjara maka ia akan dibawa ke Lembaga Permasyarakatan untuk menjalani hukumannya.
Apabila dalam waktu 7 hari tidak ada pemberitahuan dari kejaksaan, maka berkas dinyatakan P-21
dan siap dilakukan penuntutan. Akan tetapi jika berkas dirasa kurang lengkap, maka berkas
dikembalikan dengan dilengkapi saran tentang kekurangan. Penyidik diberikan waktu selama 14
hari untuk melengkapi berkas, jika melewati batas waktu itu,penyidikan dapat dihentikan.
SYARAT-SYARAT DAKWAAN
1. Syarat Formil
Identitas terdakwa (143 ayat (2) KUHAP), nama lengkap, tepat lahir, umur/ tanggal lahir, jenis
kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka.
Tanggal dibuat
Tandatangan PU
2. Syarat Materiil
Dirumuskan secara cermat, jelas dan lengkap tentang tindak pidana yang didakwakan terhadap
terdakwa (143 (2) huruf b)
Disebutkan locus dan tempus delictie
SIFAT SEMPURNA SURAT DAKWAAN
Dapat Dibatalkan
Jika syarat formil tidak dipenuhi
4. Kumulatif
141 KUHAP:
Beberapa tindak pidana dilakukan satu orang sama
Beberapa tindak pidana yang bersangkut paut
Beberapa tindak pidana yang tidak bersangkutan
Bentuk dakwaan Kumulatif
B. SPLITSING
Selain penggabungan perkara, PU juga memiliki hak untuk melakukan penuntutan dengan jalan
pemisahan perkara (142 KUHAP). Splitsing dilakukan dengan membuat berkas perkara baru dimana
para tersangka saling menjadi saksi. Hal ini dilakukan untuk menguatkan dakwaan PU.
Dalam perkembangannya, penuntutan dapat dihentikan oleh JPU dengan beberapa pertimbangan.
Pertimbangan yang dimaksud adalah sesuai dengan bunyi pasal 140 ayat (2) KUHAP, yaitu:
karena tidak cukup bukti
peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana
perkara ditutup demi hukum
EKSEPSI
Eksepsi adalah keberatan terdakwa atau penasihat hukumnya atas dakwaan PU.
Dasar alasan eksepsi:
1. PN tidak berwenang mengadili
KEWENANGAN MENGADILI
A. KOMPETENSI ABSOLUT
Kewenangan mutlak yang dimiliki oleh pengadilan dalam mengadili perkara berhubungan dengan
jenis perkara. PN, PA, PTUN dan PM
B. KOMPETENSI RELATIF
Kewenangan relatf yang dimiliki oleh lembaga pengadilan sederajat dalam hal daerah hukum.
1. Dakwaan tidak dapat diterima Ne bis in idem Daluwarsa
2. Meminta surat dakwaan dibatalkan
3. Surat dakwaan diubah tanpa pemberitahuan
C. Dakwaan atau salinan surat dakwaan harus diterima oleh terdakwa/ penasihat hukumnya paling
lambat 7 hari sebelum sidang. Surat dakwaan dapat diubah dengan ketentuan (144 KUHAP):
a. 7 hari sebelum siding
b. perubahan hanya satu kali
c. salinan perubahan harus diberikan kepada terdakwa/ penasihat hukumnya.
SIDANG LANJUTAN
Jawaban atas keberatan terdakwa oleh PU
Putusan sela atas eksepsi
Putusan sela berisi tentang:
a. eksepsi diterima, maka persidangan dihentikan
b. eksepsi ditolak, maka persidangan dilanjutkan.
Terhadap putusan sela dapat dilakukan upaya hukum yang disebut dengan VERZET atau
perlawanan. Perlawanan diajukan setelah putusan pemidanaan.
2. Keterangan ahli
Keterangan ahli adalah apa yang seseorang ahli nyatakan dalam sidang pengadilan (186 KUHAP)
Keterangan ahli dapat berupa keterangan lisan dan dapat juga berupa surat (visum et repertum yang
dijelaskan oleh seorang ahli)
3. Surat
Prof. Pitlo, Surat adalah pembawa tanda tangan bacaan yang berarti, yang menerjemahkan suatu isi
pikiran.
4. Petunjuk
Petunjuk adalah perbuatan, kejadian, atau keadaan yang karena persesuaiannya baik antara yang
satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi
suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. (188)
5. Keterangan terdakwa
Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan
sendiri atau ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri (189)
Jika terdakwa tidak mau menjawab atau menolak untuk menjawab pertanyaan, hakim ketua sidang
menganjurkan untuk menjawab Sebelum berlakunya pasal ini, alat bukti yang ada dalam Nederland
Sv pasal 339 adalah:
KEKUATAN PEMBUKTIAN
Urutan dalam pasal 184 KUHAP bukan merupakan urutan kekuatan pembuktian.
Kekuatan pembuktian terletak dalam pasal 183 KUHAP dengan asas Unus testis nullus testis
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan
keyakinan hakim.
a. Saksi ahli perlu ada standarisasi seperti apa ahli itu. Contoh kasus Tjandra Sugiono, Mas Wigantoro
ahli dalam bidang telematika ditolak sebagai ahli karena tidak bisa menunjukkan sertifikat ahlinya,
sedangkan Prof. Loebby Loqman dapat sebagai ahli tanpa pengesahan.
b. Alat bukti surat perlu diubah menjadi dokumen (UU pembuktian Malaysia: luas termasuk kaset dan
video)
c. Petunjuk: Belanda mengenal eigen waarneming van de rechter sedangkan Amerika mengenal
judicial notice yang artinya pengamatan hakim. Prinsipnya sama ditambah dengan pengakuan
barang bukti.
Berbeda dengan surat dakwaan, surat tuntutan adalah sebuah nota atau surat yang disusun
berdasarkan fakta yang diperoleh dari pemeriksaan persidangan, sehingga dasar tuntutan pidana
sesungguhnya merupakan kesimpulan yang diambil oleh penuntut umum terhadap fakta-fakta yang
terungkap di persidangan.
Pembelaan (pledooi)
Pledooi adalah pembelaan yang bersifat lisan atau tertulis baik dari terdakwa maupun dari penasihat
hukumnya berkenaan dengan tuntutan PU Pledooi bisa dijawab oleh PU disebut dengan REPLIK
dan bisa dijawab untuk satu kali lagi oleh terdakwa atau penasihat hukumnya disebut DUPLIK
TEORI PEMBUKTIAN
Putusan Pengadilan :
Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka,
yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta
menurut cara yang diatur dalam UU ini. (pasal 1 butir 11 KUHAP)
JENIS-JENIS PUTUSAN
1. Putusan bebas (Vrijspraak) pasal 191 (1) KUHAP
Tidak terbukti adanya kesalahan
Tidak adanya 2 alat bukti
Tidak adanya keyakinan hakim
Tidak terpenuhinya unsur tindak pidana
2. Putusan Lepas dari segala tuntutan hukum (onslaag van alle) pasal 191 (2) KUHAP.
Terbukti tetapi bukan tindak pidana
Adanya alasan pemaaf, pembenar atau keadaan darurat
Putusan Pemidanaan
Putusan pemidanaan dijatuhkan oleh hakim jika ia telah memperoleh keyakinan, bahwa terdakwa
melakukan perbuatan yang didakwakan dan ia menganggap bahwa perbuatan dan terdakwa dapat
dipidana
Memberitahukan kepada terdakwa bahwa memiliki hak untuk menerima, pikir-pikir atau banding.
2. UPAYA HUKUM
1. Biasa
Verzet (upaya hukum terhadap putusan eksepsi)
Banding (upaya hukum terhadap putusan pemidanaan)
Upaya banding dapat diajukan oleh terdakwa/penasihat hukumnya atau oleh PU karena tidak puas
dengan putusan PN. Tidak ada pengaturan yang jelas mengenai alasan pengajuan banding.
Pengecualian banding:
a. Putusan bebas
b. Lepas dari segala tuntutan hukum berkenaan dengan kurang tepatnya penerapan hokum
c. Putusan dalam acara cepat
Kasasi
Menurut perundang-undangan Belanda ada tiga alasan pengajuan kasasi:
a. Terdapat kelalaian dalam hukum acara (vormverzuim)
b. Peraturan hukum tidak dilaksanakan atau ada kesalahan
c. Tidak melaksanakan cara melakukan peradilan sesuai undang-undang
2. Luar Biasa
HAWASMAT
Pengawasan dan pengamatan putusan pengadilan dilakukan oleh hakim pengawas dan pengamat.
[1] Wawancara dengan Dedy Koesnomo SH, MH, Kepala Bagian Tata Usaha Kejaksaan Tinggi NTB
pada tanggal 5 Februari 2009.
[2]Di salah satu kasus korupsi dimana terdakwa adalah mantan Gubernur NTB proses interogasi ini
dari pihak hakim (tiga hakim – Ketua Majelis didampingi oleh dua Anggota Hakim) berlanjut selama
lebih dari tiga jam untuk satu saksi. Barulah setelah itu pihak jaksa ataupun penasehat hukum
diberikan kesempatan untuk memeriksa saksinya.
- July 16, 2012