Anda di halaman 1dari 9

Nama : Siti Chodijah

NIM : 043615738
Mata Kuliah : HKUM4203 Hukum Pidana

1. Sebutkan dasar hukum masing-masing dan berikan pula suatu kesimpulan Saudara
disertai dengan masing-masing contoh dari Asas Nasional Aktif dan Asas Nasional
Pasif!
Jawab :

Asas hukum pidana dapat dikategorikan berdasarkan dua kelompok besar. Pertama, asas
hukum pidana menurut waktu. Asas yang masuk penggolongan ini adalah asas legalitas.
Kedua, asas hukum pidana berdasarkan tempat dan waktu. Adapun asas-asas hukum pidana
yang masuk dalam penggolongan ini, antara lain asas teritorial, asas perlindungan, asas
universal, dan asas personalitas. Berikut ini saya jelaskan asas nasional aktif dan asas
nasional pasif.

Asas Perlindungan atau Asas Nasional Pasif


Menurut asas hukum pidana yang satu ini, berlakunya perundang-undangan pidana
didasarkan pada kepentingan hukum suatu negara yang dilanggar oleh seseorang di luar
negeri dengan tidak dipersoalkan kewarganegaraannya, apakah pelaku adalah warga negara
atau orang asing. Jika disederhanakan, pada intinya asas perlindungan menitikberatkan pada
perlindungan unsur nasional terhadap siapapun dan di manapun.

Kehadiran asas ini diterangkan dalam ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2023 yang menerangkan bahwa ketentuan pidana dalam undang-undang berlaku bagi setiap
orang di luar wilayah NKRI yang melakukan tindak pidana terhadap kepentingan NKRI yang
berhubungan dengan:
● keamanan negara atau proses kehidupan ketatanegaraan
● martabat Presiden, Wakil Presiden, dan/ atau Pejabat Indonesia di luar negeri
● mata uang, segel, cap negara, meterai, atau Surat berharga yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Indonesia, atau kartu kredit yang dikeluarkan oleh perbankan Indonesia
● perekonomian, perdagangan, dan perbankan Indonesia
● keselamatan atau keamanan pelayaran dan penerbangan
● keselamatan atau keamanan bangunan, peralatan, dan aset nasional atau negara
Indonesia
● keselamatan atau keamanan sistem komunikasi elektronik

Asas ini juga tercantum dalam Pasal 4 ayat (1), (2), dan (4) KUHP. Kemudian asas ini
diperluas dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 tentang kejahatan penerbangan juga
oleh Pasal 3 Undang-Undang Nomor 7 (drt) Tahun 1995 tentang Tindak Pidana Ekonomi.
Disini yang dilindungi bukanlah kepentingan individual orang Indonesia, tetapi kepentingan
nasional atau kepentingan umum yang lebih luas. Jika orang Indonesia menjadi korban delik
di wilayah negara lain, yang dilakukan oleh orang asing, maka hukum pidana Indonesia tidak
berlaku. Diberi kepercayaan kepada setiap negara untuk menegakkan hukum di wilayahnya
sendiri.

● Pasal 4 ke-1 mengenai orang Indonesia yang diluar wilayah Indonesia melakukan
salah satu kegiatan yang tersbut dalam Pasal-Pasal 104, 106, 107 dan 108, 110, 111
bis pada ke-1, 127 dan 131.
● Pasal 4 ke-2 mengenai orang Indonesia yang berada di luar wilayah Indonesia
melakukan kejahatan tentang mata uang, uang kertas negara, atau uang kertas bank
tentang materai atau merk yang dikeluarkan atau digunakan oleh Pemerintah Republik
Indonesia.
● Pasal 4 ke-3 mengenai orang Indonesia yang melakukan pemalsuan tentang surat-
surat utang, atau sertifikat-sertifikat utang yang ditanggung oleh Pemerintah Republik
Indonesia, daerah atau sebagian daerah atau dengan sengaja mempergunakan surat
palsu atau yang dipalsukan seperti seakan-akan surat itu asli dan tidak dipalsukan.
Adalah logis jika kepentingan negara menuntut agar orang Indonesia diluar negeri
yang melakukan kejahatan terhadap negara Indonesia hukum pidana Indonesia
berlaku baginya. Mungkin perbuatan semacam itu yang ditujukan terhadap Indonesia,
tidak diancam dengan pidana di negara asing tersebut.

Mengenai yang tercantum pada Pasal 4 ke-2, pada kalimat yang pertama yang berbunyi
“melakukan kejahatan tentang mata uang, uang kertas negara atau uang kertas bank”, tidak
termasuk asas nasional pasif, melainkan asas universalitas, yang akan diuraikan dibelakang.
Yang termasuk asas perlindungan ialah kejahatan terhadap materai atau merk yang
dikeluarkan atau yang dipergunakan oleh Pemerintah Republik Indonesia. INi logis juga
kalau Pemerintah Indonesia mengancam pidana orang Indonesia diluar negeri yang
melakukan kejahatan, misalnya memalsukan materai atau merk Indonesia yang mungkin
tidak dilindungi oleh hukum pidana negara asing tersebut.

Ketentuan yang tercantum didalam Pasal 8 juga termasuk asas perlindungan. Pasal itu
berbunyi “Peraturan hukum pidana dalam perundang-undangan Republik Indonesia berlaku
bagi nahkoda dan orang yang berlayar dengan alat pelayar Indonesia diluar Indonesia, juga
pada waktu mereka tidak berada diatas alat pelayar, melakukan salah satu perbuatan yang
dapat dipidana, yang tersebut dalam Bab XXIX Buku Kedua dan Bab IX Buku Ketiga,
demikian juga tersbut dalam undang-undang umum tentang surat-surat laut dan pas-pas kapal
di Indonesia serta yang tersebut dalam Undang-Undang Kapal 1935. Pasal 8 ini memperluas
berlakunya Pasal 3. Dasar pemikiran sehingga ketentuan ini diciptakan, ialah untuk
melindungi kepentingan hukum negara Indonesia di bidang perkapalan.

Asas Nasional Aktif


Secara sederhana, asas nasional aktif adalah asas yang menitikberatkan subjek hukum sebagai
warga negara tanpa mempermasalahkan lokasi keberadaannya. Jika diartikan, dengan asas
personalitas atau nasional aktif, peraturan perundang-undangan pidana berlaku bagi semua
perbuatan pidana yang dilakukan warga negara di mana pun warga tersebut berada, sekalipun
di luar negeri.

Penuntutan terhadap Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dilakukan walaupun tersangka


menjadi warga negara Indonesia, setelah tindak pidana tersebut dilakukan sepanjang
perbuatan tersebut merupakan tindak pidana di negara tempat tindak pidana dilakukan.
Warga negara Indonesia di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud tidak dapat dijatuhi pidana mati jika tindak
pidana tersebut menurut hukum negara tempat tindak pidana tersebut dilakukan tidak
diancam dengan pidana mati.

Asas ini bagaikan ransel melekat pada punggung warga negara Indonesia kemanapun ia
pergi. Asas ini tercantum dalam Pasal 5 KUHP. Pasal itu berbunyi “ketentuan pidana dalam
perundang-undangan Republik Indonesia berlaku bagi warga negara Indonesia yang
melakukan di luar wilayah Indonesia”
1. Salah satu kejahatan yang tersebut dalam Bab 1 dan Buku 11 dan dalam Pasal-pasal
160, 161, 240, 279, 450, dan 451 KUHP.
2. Suatu kejahatan yang dipandang sebagai kejahatan menurut undang-undang, di mana
perbuatan itu dilakukan.
Penuntutan terhadap suatu perbuatan yang di maksudkan pada sub 2 boleh juga dijalankan,
jikalau terdakwa baru menjadi warga negara indonesia setelah melakukan perbuatan itu.”

Pasal 5 ayat (1) ke-1 menentukan sejumlah pasal yang jika dilakukan oleh orang Indonesia di
luar negeri maka berlakulah hukum pidana Indonesia kejahatan-kejahatan itu tercantum di
dalam Bab I dan II Buku kedua KUHP (kejahatan terhadap keamanan dan kejahatan terhadap
mertabat presiden dan wakil presiden dan pasal 160, 240, 279, 450, dan 451). Tidak menjadi
soal apakah kejahatan-kejahatan tersebut diancam pidana oleh negara tempat perbuatan itu di
lakukan. Dipandang perlu kejahatan yang membahayakan kepentingan negara Indonesia
dipidana. sedangkan hal itu tidak tercantum di dalam hukum pidana di luar negeri.

Ketentuan di dalam pasal 5 ayat (1) ke-2 bermaksud agar orang Indonesia yang melakukan
kejahatan di luar negeri lalu kembali ke Indonesia sebelum diadili di luar negeri, jangan
sampai lolos dari pemidanaan. Indonesia tidak akan menyarakan warganya untuk diadili di
luar negeri. Ketentuan ini berlaku bagi semua kejahatan menurut KUHP Indonesia.
Ketentuan ini tidak berlaku untuk delik pelanggaran.

Asas personalitas ini diperluas dengan pasal 7 yang di samping mengandung asas nasionalitas
aktif (asas personalitas) juga atas nasionalitas pasif (asas perlindungan). pasal itu berbunyi :
“Aturan hukum pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang
pegawai negeri yang diluar Indonesia melakukan salah satu perbuatan pidana tersebut dalam
Bab XXVIII Buku Kedua”

Pengertian pegawai negeri (ambtenaar) dijelaskan secara otentik oleh Pasal 92 KUHP. Dapat
disimpulkan dari pasalitu bahwa pegawai negeri termasuk juga (maksudnya di samping
“pegawai negeri” menurut Undang Undang Kepegawaian). Juga orang-orang yang dipilih
berdasarkan aturan umum, bukan karena pemilihan menjadi anggota badan pembentuk
undang-undang, badan pemerintahan atau dewan perwakilan rakyat yang dibentuk oleh
pemerintah atau atas nama pemerintah, anggota dewan subak, kepala rakyat Indonesia asli
(kepala adat), kepala Timur Asing, yang menjalankan kekuasaan yang sah. Termasuk pula
hakim dalam pengertian yang luas dan anggota Angkatan Perang.

Khusus untuk delik korupsi, pengertian “pegawai negeri” diperluas lagi oleh Pasal 2
UUPTPK, sehingga meliputi juga pegawai swasta yang mendapat subsidi atau kelonggaran-
kelonggaran dari pemerintah. Ketentuan tentang pegawai negeri yang melakukan delik
jabatan di luar negeri ini bersifat campuran, karena kalau dilihat dari sudut hukum pidana
mengikuti warga negaranya keluar negeri, maka merupakan asas personalitas atau
nasionalitasaktif, sedangkan kalau dilihat macam deliknya, yaitu delik jabatan (termasuk
korupsi) maka termasuk asas perlindungan (nasionalitas pasif) karena yang dilindungi ialah
kepentingan negara dan bukan kepentingan pribadi.

2. Contoh Kasus Kagura adalah seorang wanita berkewarganegaraan Jepang yang


bekerja sebagai seorang desain grafis pada sebuah perusahaan di Filiphina. Karena
keahliannya, Kagura mampu membuat uang rupiah yang sangat mirip dengan aslinya.
Kemudian Kagura mencetak uang palsu tersebut sebanyak delapan puluh juta rupiah,
kemudian ia tukarkan kepada warga negara Indonesia yang ada di Filiphina. Salah
satu korbannya adalah Badang yang pada suatu hari menukarkan mata uang Filiphina
dengan uang rupiah palsu hasil buatan Kagura tersebut sebelum kembali ke Indonesia.
Ketika sampai di Indonesia, Badang pun membeli oleh-oleh di Bandara dengan uang
palsu tersebut. Setelah itu Badang pergi membeli sate dengan uang rupiah palsu yang
dimilikinya, ketika menerima uang, tangan pedagang sate yang basah melunturkan
warna uang tersebut. Badang ditangkap dengan tuduhan menyebarkan uang palsu.
*nama tokoh pada contoh kasus diatas adalah fiktif
Dalam kasus di atas, apakah Kagura dapat dituntut menurut hukum pidana di
Indonesia? Uraikan alasan dan sebutkan dasar-dasar hukumnya!
Jawab :

Penegakkan hukuman pengedar uang palsu terhadap para pemalsu uang ini dimaksudkan
untuk menjaga nilai mata uang Rupiah. Hukum uang palsu secara lengkap diatur dalam
Undang-Undang No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Menurut pasal 245 KUHP, orang
yang memalsukan Rupiah dan menggunakannya/mengedarkannya diancam dengan hukuman
maksimal 15 tahun penjara. Berikut ini beberapa hukuman pengedar uang palsu sesuai
undang-undang:
● Memalsukan Uang Rupiah
Hukuman bagi pembuat uang palsu dalam UU No.7 tahun 2011 tentang Mata Uang
adalah pidana penjara maksimal 15 tahun dan denda maksimal Rp10.000.000.000,-
(sepuluh miliar rupiah).
● Menyimpan Uang Rupiah Palsu
Bagi orang-orang yang menyimpan uang rupiah palsu sedangkan yang bersangkutan
tahu bahwa itu adalah uang palsu, maka diancam hukuman penjara maksimal 10
tahun dan denda Rp10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah). Hukuman untuk
penyimpan uang palsu tersebut seperti yang tertera dalam Pasal 36 Ayat 2 UU No.7
tahun 2011.
● Mengedarkan Uang Palsu
Mengedarkan atau membelanjakan uang palsu bisa mendapat hukuman sesuai dengan
Pasal 36 Ayat 3 UU No.7 tahun 2011 yaitu penjara maksimal 15 tahun dan denda
sebesar Rp50.000.000.000,- (lima puluh miliar rupiah).
● Ekspor/Impor Uang Palsu
Orang yang membawa uang palsu masuk ke Indonesia atau ke luar negeri diancam
dengan hukuman penjara seumur hidup dan denda sebesar Rp100.000.000.000,-
(seratus miliar rupiah). Peraturan ini termaktub dalam Pasal 36 Ayat 5 UU No. 7
tahun 2011.

Kagura dapat dituntut secara hukum pidana di Indonesia atas perbuatannya memproduksi dan
mengedarkan uang palsu yang merugikan masyarakat Indonesia. Dasar hukum menggugat
Kagura adalah Pasal 36(1) UU No. 36. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata
Uang, yang menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja memproduksi,
menggandakan, memalsukan,atau menggunakan uang palsu dapat dikenakan sanksi pidana.
Selain itu, Pasal 55 ayat 1 KUHP juga dapat dijadikan dasar hukum, karena perbuatan Kagura
merupakan tindak pidana yang dilakukan diluar Indonesia tetapi menimbulkan kerugian bagi
masyarakat Indonesia.

3. Dalam kasus No 2 di atas, Jika dilihat dari teori dan asas hukum pidana, apakah
Badang dapat dipidana? Uraikanlah alasannya!
Jawab :

Dalam teori dan prinsip hukum pidana, suatu lembaga dapat dipidana karena melakukan
transaksi pembelian dengan menggunakan mata uang palsu yang diketahuinya palsu. Dasar
hukum penuntutan Batang adalah Pasal 245 KUHP, yang mengatur bahwa barang siapa
dengan sengaja menggunakan uang palsu untuk transaksi jual beli dapat dikenakan sanksi
pidana. Meski Badang tidak mengetahui secara langsung bahwa uang yang diterimanya
palsu, ia tetap bisa dituntut atas penggunaan uang tersebut untuk melakukan pembelian suatu
produk.

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya peradaran uang palsu Pada Putusan Nomor
671/Pid.B/2017/PN Smg Tahun 2017 dan Putusan Nomor 123/Pid.B/2018/PN. Skt, yaitu:
(1) faktor ekonomi, banyaknya jumlah penduduk dan kurangnya perhatian negara
menyebabkan para penduduk menghalalkan segala cara untuk bertahan hidup yaitu salah
satunya dengan melakukan kejahatan pemalsuan uang;
(2) faktor teknologi, semakin canggihnya teknologi membuat orang dengan mudahnya
mencetak uang palsu; dan
(3) faktor lingkungan, faktor ini mempengaruhi seseorang melakukan upaya pengedaran uang
palsu karena dalam sebuah lingkungan seseorang akan bertemu dengan orang yang
berbedabeda, apabila bergaul dengan penjahat maka orang baik pun juga dapat berubah
menjadi jahat.

Pada Putusan Nomor 671/Pid.B/2017/PN Smg Tahun 2017 dan Putusan Nomor
123/Pid.B/2018/PN. Skt diselesaikan melalui proses peradilan. Konsep penegakan hukum
aktual (actual enforcement concept) yang muncul setelah diyakini adanya diskresi dalam
penegakan hukum karena keterbatasan-keterbatasan, baik yang berkaitan dengan sarana-
prasarana, kualitas sumber daya manusianya, kualitas perundang-undangannya dan
kurangnya partisipasi masyarakat.

Putusan Nomor 671/Pid.B/2017/PN Smg Tahun 2017 dan Putusan Nomor


123/Pid.B/2018/PN. Skt mengenai uang palsu merupakan tindak pidana kejahatan. Hal ini
sebagaimana dijelaskan bahwa kejahatan pemalsuan adalah suatu tindak pidana dengan
melakukan ketidakbenaran atau memalsukan suatu objek agar terlihat asli yang dapat
merugikan masyarakat. Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/7/PBI/2012 tentang Pengelolaan
Uang Rupiah pada Pasal 1 Ayat (13) dan Ayat (14) menjelaskan bahwa:
“Uang Rupiah Tiruan adalah suatu benda yang bahan, ukuran, warna, gambar, dan/atau
desainnya menyerupai Uang Rupiah yang dibuat, dibentuk, dicetak, digandakan, atau
diedarkan, tidak digunakan sebagai alat pembayaran dengan merendahkan kehormatan Uang
Rupiah sebagai simbol Negara”.
“Uang Rupiah Palsu adalah suatu benda yang bahan, ukuran, warna, gambar, dan/atau
desainnya menyerupai Uang Rupiah yang dibuat, dibentuk, dicetak, digandakan, diedarkan,
atau digunakan sebagai alat pembayaran secara melawan hukum”.

Putusan Nomor 671/Pid.B/2017/PN Smg Tahun 2017 dan Putusan Nomor


123/Pid.B/2018/PN. Skt mengenai uang palsu adalah kejahatan yanng di dalamnya
mengandung sistem ketidakbenaran atau palsu atas suatu hal (objek) yang sesuatunya itu
nampak dari luar seolah-olah benar adanya, padahal sesungguhnya bertentangan dengan yang
sebenarnya itulah yang di namakan dengan tindak pidana pemalsuan termasuk pemalsuan
mata uang. Ketentuan menyangkut pemalsuan mata uang diatur pada Pasal 36 Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang yang menyatakan bahwa;
“Setiap orang yang memalsu Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)”. Adapun ketentuan yang terdapat dalam Pasal
26 ayat (1) bahwa “setiap orang dilarang memalsu rupiah”.

Pada Putusan Nomor 671/Pid.B/2017/PN Smg Tahun 2017 dan Putusan Nomor
123/Pid.B/2018/PN. Skt Terdakwa dikenakan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2011 memberikan ketentuan bahwa;
“(1) Setiap orang yang memalsu Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling
banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).”

Kemampuan bertanggung jawab merupakan unsur kesalahan, maka untuk membuktikan


adanya kesalahan unsurnya diharus dibuktikan lagi. Mengingat hal ini sukar untuk dibuktikan
dan memerlukan waktu yang cukup lama, maka unsur kemampuan bertanggung jawab
dianggap diam-diam selalu ada karena pada umumnya setiap orang normal batinnya, mampu
bertanggung jawab kecuali kalau ada tanda-tanda yang menunjukan bahwa terdakwa
mungkin jiwanya tidak normal. Kesalahan dalam arti luas, meliputi yaitu sengaja atau,
kelalaian (culpa), dan dapat di pertanggung jawabkan.

Hakim yang memeriksa dan memutuskan perkara sebelum menjatuhkan pidana telah
mendengarkan saksi-saksi dan menyesuaikan keterangan saksi-saksi satu sama lain sehingga
dapat menyimpulkan suatu hukum atau peristiwa hukum sebagaimana yang terjadi.
Pertimbangan hakim tidak hanya terletak pada unsur-unsur yang didakwakan tetapi juga
mengaitkan antara keterangan satu sama lain. Perbuatan terdakwa didakwa melanggar Pasal
36 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia No.7 tahun 2011 tentang Mata Uang;
“Setiap orang yang mengedarkan dan/atau membelanjakan Rupiah yang diketahuinya
merupakan Rupiah Palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah)”.

Sumber Referensi :
BMP HKUM4203 Hukum Pidana
https://www.studocu.com/id/document/universitas-riau/hukum-internasional/makalahhukum-
pidana-tentang-asas-hukum-pidana/38693312
http://eprints.ums.ac.id/77680/1/NASKAH%20PUBLIKASI.pdf
https://www.hukumonline.com/klinik/a/asas-nasionalitas-aktif-lt5b07770d798f2/
https://www.hukumonline.com/berita/a/asas-asas-hukum-pidana-lt62cb7d58e9538/?page=all
https://heylawedu.id/blog/mengenal-asas-asas-yang-berlaku-dalam-hukum-pidana
https://www.neliti.com/id/publications/146277/kajian-pasal-245-kuhp-tentang-mengedarkan-
uang-palsu-kepada-masyarakat
https://blog.justika.com/pidana-dan-laporan-polisi/hukuman-pengedar-uang-palsu/

Anda mungkin juga menyukai