Anda di halaman 1dari 13

A.

Definisi Istilah/Definisi Operasional


1. Analisis
Analisis adalah sebuah proses untuk dapat memahami peristiwa
dalam suatu kasus, yang mana tujuannya adalah demi mengetahui secara
komprehensif isu apa yang sedang terjadi. Sehingga dapat memikirkan
untuk mencari jalan keluar dengan menyelesaikan permasalahan.1
2. Yuridis-Normatif
Yakni sebuah pendekatan yang mana dilakukan dengan
berdasarkan pada bahan hukum utama dengan menelaah beberapa teori,
konsep, asas, serta yang paling penting peraturan perundang-undangan
yang berhubungan dengan penelitian ini.2
3. Hukuman Pidana Mati
Hukuman Mati atau pidana mati merupakan pidana pokok yang
paling berat dan tinggi dari susunan sanksi pidana pada sistem pemidanaan
di Indonesia.3

4. Tindak Pidana Korupsi


Tindak Pidana Korupsi adalah salah satu jenis tindak pidana yang
sering menarik perhatian masyarakat, dan sering dikatakan sebagai sebuah
penyakit yang sangat sulit untuk disembuhkan4,

5. Dana Covid-19 (Dana Bencana)


Pengertian Dana bencana atau Dana Penanggulangan Bencana
: disebutkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2008,
yaitu dana yang digunakan bagi penanggulangan bencana untuk tahap pra-
bencana, saat tanggap darurat, dan pasca-bencana.5 Sehingga sesuai
dengan pernyataan ketentuan Undang-undang No. 24 Tahun 2007 Tentang
1
Freddy Rangkuti, “Analisis Swot Teknik Membedakan Kasus, Cetakan keempat belas”, (Jakarta :
PT. Gramedia Pustaka Utama), 2006, hal 14
2
I Made Pasek Diantha, “Metodologi Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi Hukum,
Cetakan ke 2”, (Jkaarta : Prenada Media Group), 2017, hal 20
3
Tina Asmarawati, “Hukuman Mati dan Permasalahannya di Indonesia, Cetakan-1”,
(Yogyakarta : CV BUDI UTAMA), 2013, hal 3
4
Evi Hartanti, “Tindak Pidana Korupsi”, (Sinar Grafika : Jakarta) 2005, hal 8
Penanggulangan Bencana, disebutkan ada tiga jenis bencana, yakni
bencana alam, non alam dan sosial. Oleh karena itu wabah Pandemi
Covid-19 dikategorikan masuk dalam bencana non alam.6

6. Perspektif
Perspektif : cara melukiskan suatu benda pada permukaan yang
mendatar sebagaimana terlihat dengan mata (pandangan atau sudut
pandang).7

7. Hukum Pidana Islam


Hukum Pidana Islam : merupakan syariat Allah SWT yang mana
itu mengatur ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan
kriminal dan subjeknya dilakukan oleh orang-orang mukalaf (orang yang
dapat dibebani kewajiban), sebagai hasil dari pemahaman pernyataan
diatas dalil-dalil hukum yang terperinci berasal dari Al-Qur’an dan
Hadist.8

B. Tinjauan Pustaka
Kajian Pustaka Analisis Yuridis-Normatif Hukuman Pidana Mati
Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dana Covid-19 Perspektif Hukum Pidana Islam,
secara spesifik penulis meyakini belum ada yang membahas mengenai judul
diatas, sehingga dalam hal ini penulis memiliki beberapa tulisan atau penelitian
terdahulu yang mana memiliki kesamaan dan keterkaitan dengan judul yang akan
diangkat dalam penelitian kali ini, yaitu :
1. Penelitian Terdahulu

5
Dewi dan Ade, “Korupsi dan Bencana” (https://antikorupsi.org/id/bulletin/korupsi-dan-bencana
Diakses pada tanggal 9 Juni 2020, Pukul 20.36 WIB)
6
https://puspensos.kemsos.go.id/covid-19-dan-bencana nasional (Diakses pada tanggal 13
Desember 2020)
7
https://kbbi.web.id/perspektif (Diakses Pada Tanggal 13 Desember 2020)
8
Lihat dalam Dede Rosyada, “Hukum Islam dan Pranata Sosial”, (Jakarta : Lembaga Studi Islam
dan Kemasyarakatan, 1992), hal 86., sebagaimana dikutip oleh Zainuddin Ali, “Hukum Pidana
Islam, Cet. 1”, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hal 1
Skripsi yang berjudul “Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana
Korupsi Yang dilakukan Oleh BUMN (Badan Usaha Milik Negara),
(Study kasus putusan No. 41/-Pid.S.us.TPK/2015/PN.Mks)”, hasil karya
dari mahasiswa Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Makasar
Tahun 2017, yang bernama Azharul Nugraha Putra Paturisi. Pembahasan
mengenai isi dari skripsi diatas yakni menjelaskan mengenai bagaimana
hukum pidana materil terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
karyawan BUMN berdasarkan penelitian putusan nomor 41/-
Pid.S.us.TPK/2015/PN.Mks, serta mengkaji pertimbangan-pertimbangan
dalam memutuskan perkara nomor putusan tersebut.9
Pendekatan mengenai penelitian diatas “Tinjauan Yuridis
Terhadap Tindak Pidana Korupsi Yang dilakukan Oleh BUMN (Badan
Usaha Milik Negara), (Study kasus putusan No. 41/-
Pid.S.us.TPK/2015/PN.Mks)” yakni menggunakan pendekatan data
Observasi yang mana dengan menelaah terkait permasalahan sesuai
dengan Study Putusan No. 41/-Pid.S.us.TPK/2015/PN.Mks.
Kesimpulan dari penelitian “Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak
Pidana Korupsi Yang dilakukan Oleh BUMN (Badan Usaha Milik
Negara), (Study kasus putusan No. 41/-Pid.S.us.TPK/2015/PN.Mks)”
a. Penerapan hukum pidana materiil terhadap tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh karyawan badan usaha milik negara dalam putusan nomor
41/Pid.Sus.TPK/2015/PN.Mks adalah Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. UU No. 20 Tahun 2001
Tentang perubahan atas UU. No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dan penerapan pasal tersebut telah sesuai karena
unsur-unsur tindak pidana dalam pasal terbukti telah terpenuhi. Begitupula
Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tepat diterapkan pada perkara ini karena
terwujudnya delik sebab adanya kerjasama antar Terdakwa, rekannya dan
pemohon kredit. Sedangkan pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No.

9
Azharul Nugraha, “Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Korupsi Yang Di Lakukan Oleh
BUMN”, (Makasar : Fakultas Hukum Universitas Makasar), 2017.
20 Tahun 2001 tidak terpenuhi karena terdakwa tidak terbukti memperoleh
bagian dari hasil perbuatan korupsi.
b. Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap tindak pidana
korupsi yang dilakukan oleh Terdakwa selaku karyawan badan usaha
milik negara dalam putusan nomor 118 41/Pid.Sus.TPK/2015/PN.Mks
telah sesuai karena dalam pertimbangan hukum oleh hakim, perbuatan
terdakwa adalah perbuatan menyalahgunakan kewenangannya untuk
menguntungkan orang lain yang berakibat merugikan keuangan negara
dan tidak terdapat alasan pembenar, Terdakwa juga adalah orang yang
menurut hukum mampu bertanggungjawab, dan melakukan perbuatan
dengan sengaja serta tidak ada alasan pemaaf. Maka hakim berkeyakinan
bahwa terdakwa secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama karena telah
memenuhi unsur- unsur dalam pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No.
20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Sehingga dengan
demikian putusan majelis hakim yang berisikan pemidanaan sudah tepat.

Skripsi yang berjudul “Sanksi Pidana Mati Bagi Pelaku Tindak


Pidana Korupsi dalam Keadaan Tertentu (Analisis Terhadap Pasal 2 Ayat
(2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999”, hasil karya dari mahasiswa
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Derussalam Tahun 2019,
yang bernama Rijalul Jihad Prodi Ilmu Hukum. dalam pembahasan
skripsinya membahas mengenai penjatuhan hukuman pidana mati yang
mana dilakukan oleh seseorang ataupun kelompok dalam keadaan tertentu
seperti halnya korupsi terkait dana bantuan penanggulangan bencana alam,
dan tindak korupsi yang dilakukan mulai dari keadaan saat negara dalam
posisi krisis.10
Dalam penelitian diatas “Sanksi Pidana Mati Bagi Pelaku Tindak
Pidana Korupsi dalam Keadaan Tertentu (Analisis Terhadap Pasal 2 Ayat
10
Rijalul Jihad, “Sanksi Pidana Mati Bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi dalam Keadaan
Tertentu (Analisis Terhadap Pasal 2 Ayat (2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999”, (Banda
Aceh : Universitas Islam Negeri Ar-Raniry), 2019.
(2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999” penulis menggunakan 2
pendekatan yakni :
a. Statute aproach ialah suatu penelituian yang menggunakan pendekatan
perundang-undangan karena yang akan diteliti ialah berbagai aturan
hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian
b. Library research (penelitian pustaka), yaitu melakukan penelitian
untuk mendapatkan data sekunder yang dilakukan dengan cara
membaca bukubuku, peraturan perundang-undangan, membaca artikel
pada surat kabar dan bahan-bahan bacaan lainnya yang berkaitan
dengan penelitian ini
Kesimpulan dari skripsi “Sanksi Pidana Mati Bagi Pelaku Tindak
Pidana Korupsi dalam Keadaan Tertentu (Analisis Terhadap Pasal 2 Ayat
(2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999” Seorang pelaku tindak
pidana korupsi akan dihukum mati apabila melakukannya dalam keadaan
tertentu yaitu :
a. Apabila tindak pidana Korupsi tersebut di lakukan terhadap dana-
dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya.
b. Apabila tindak pidana korupsi dilakukan Saat keadaan bencana
alam nasional.
c. Apabila tindak pidana korupsi dilakukan terhadap dana-dana yang
diperuntukkan bagi penanggulangan kerusuhan sosial yang meluas.
d. Apabila tindak pidana korupsi dilakukan terhadap dana-dana yang
diperuntukkan bagi penanggulangan krisis ekonomi moneter dan
apabila terjadi pengulangan tindak pidana korupsi.

Jurnal Ilmiah Hukum yang berjudul “Kebijakan Hukuman Mati


Bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi Dana Bantuan Bencana Alam Dalam
Perspektif Hukum Pidana Islam”, hasil karya dari Dosen Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Sumatera Utara Tahun 2019, yang bernama Zaid Alfauza
Marpaung, S.H., M.H. Dalam jurnal diatas menjelaskan mengenai status
kebijakan yang akan dijatuhkan kepada mereka yang melakukan korupsi
dana bantuan sosial sesuai dengan ketentuan Perundang-undangan yakni
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Juncto Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.11
Kesimpulan dari Jurnal Ilmiah Hukum yang berjudul “Kebijakan
Hukuman Mati Bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi Dana Bantuan
Bencana Alam Dalam Perspektif Hukum Pidana Islam” ialah :
a. Kebijakan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi secara
penal telah diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UndangUndang Nomor 31
Tahun 1999 Jo UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, akan tetapi pemberlakuan
Pasal tersebut hanya berlaku bagi pelaku tindak pidana korupsi yang
dilakukan dalam “keadaan tertentu”, sehingga tidak semua pelaku
tindak pidana korupsi dapat dijatuhi hukuman mati.
b. Sanksi hukuman mati dalam perspektif hukum pidana Islam dapat
diterapkan dalam tiga bentuk jarimah, yaitu jarimah qishàsh, jarimah
hudud dan jarimah ta`zìr. Tindak pidana korupsi termasuk dalam
kategori jarimah ta‘zir. Hukuman mati tersebut boleh diberlakukan
oleh suatu negara jika dipandang sebagai upaya efektif menjaga
ketertiban dan kemaslahatan masyarakat.

2. Kajian Teori
1. Tindak Pidana Korupsi
Secara Harfiah Tindak Pidana Korupsi berasal dari kata Tindak Pidana
dan Korupsi. sedangkan jika dilihat pada segi yuridis-formal pengertian Tindak
Pidana Korupsi terletak pada BAB II “Ketentuan pasal 2 sampai dengan pasal 20”
dan BAB III dan tindak pidana yang berkaitan dengan perbuatan korupsi sesuai
dengan pasal 21 sampai 24 UU PTPK12.

11
Zaid Alfauza Marpaung, “Jurnal Ilmiah Hukum, Kebijakan Hukuman Mati Bagi Pelaku Tindak
Pidana Korupsi Dana Bantuan Bencana Alam Dalam Perspektif Hukum Pidana Islam, Vol. 07.
No. 01, P.ISSN Nomor 2337-7216, E ISSN Nomor 2620-6625”, (Sumatera Utara :Fakultas
Syari’ah dan Hukum UIN Sumatera Utara), 2019.
12
Lilik Mulyadi, “Bunga Rampai Hukum Pidana : Perspektif, Teoritis, dan Praktik”, (ALUMNI :
Bandung), 2008, hal 186
 Tindak Pidana Korupsi Tipe Pertama : Tindak pidana korupsi tipe
pertama sudah termaktub dalam Pasal 2 Undang-Undang Tindak Pidana
Korupsi yang menyebutkan dan menentukan,
“Bahwa orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan denda paling sedikit
dua ratus juta rupiah dan paling banyak satu milyar rupiah.”
Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan pada keadaan tertentu hukumannya dapat dijatuhkan dengan
hukuman paling berat yakni hukuman mati.13
 Tindak Pidana Korupsi Tipe Kedua : Diatur dalam ketentuan pasal 3
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang mana menyebutkan,
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana
dengan pidana seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit
lima puluh juta rupiah dan paling banyak satu milyar rupiah.”
 Tindak Pidana Korupsi Tipe Ketiga : Mengenai tipe keempat ini tindak
pidana korupsi diartikan sebagai percobaan, pembantuan, atau
permufakatan jahat serta pemberian kesempatan sarana atau keterangan
terjadinya tindak pidana korupsi yang mana dilakukan oleh orang diluar
wilayah indonesia (Pasal 15 dan Pasal 16 UU PTPK).14

13
KPK, “Modul Tindak Pidana Korupsi”, (Jakarta : Direktorat Pendidikan dan Pelayanan
Masyarakat), 2016, hal 4
14
KPK, “Pengaduan Masyarakat Terindikasi Tipikor”, (Jakarta: KPK), 2015, hal 10
jika tindak pidana korupsi sudah mengakar sampai pada ranah
birokrasi tinggi dalam negeri maka akan sangat sulit untuk diberantas.
Dalam hal ini ada beberapa definisi mengenai korupsi, antara lain :
 Black Law’s Dictionary : Korupsi adalah suatu perbuatan yang dilakukan
dengan sebuah maksud untuk mendapatkan beberapa keuntungan yang
bertentangan dengan tugas resmi dan kebenaran lainnya. “sesuatu
perbuatan dari suatu yang resmi atau kepercayaan seseorang yang mana
dengan melanggar hukum serta penuh akan kesalahan.15
 Kamus Besar Bahasa Indonesia : Korupsi adalah sebuah perbuatan yang
mencerminkan tindakan tercela, curang, dapat disuap, dan tidak
bermoral.16 Serta dapat dikatakan sebagai perbuatan yang memusatkan
perhatiannya terhadap penyelewengan atau penggelapan uang negara,
perusahaan, dan sebagainya demi kepentingan pribadi ataupun
kelompok.17
 Transparancy International (TI) : Korupsi dapat diartikan sebagai
perilaku pejabat publik, politikus, atau pegawai negeri, yang secara tidak
wajar dan legal memperkaya diri atau memperkaya mereka dengan
menyalahgunakan kekuasaan publik.

Adapun kalau menurut Islam; korupsi lebih ditunjukkan sebagai tindakan


kriminal yang secara prinsip bertentangan dengan moral dan etika keagamaan,
karena itu tidak terdapat istilah yang tegas menyatakan istilah korupsi. Dengan
demikian, sanksi pidana atas tindak pidana korupsi adalah takzir, bentuk hukuman
yang diputuskan berdasarkan kebijakan lembaga yang berwenang dalam suatu
masyarakat (Munawar Fuad Noeh,1997: 90).
Islam mengistilahkan korupsi dalam beberapa etimologi sesuai jenis atau
bentuk korupsi yang dilakukan, diantaranya:

15
Chaerudin, Syaiful Ahmad Dinar dan Syarif Fadillah, “Strategi Pencegahan dan Penegakan
Hukum Tindak Pidana Korupsi”, (PT Refika Aditama : Bandung), 2008, hal 2
16
Gatot Supramono, “Hukuman Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana Korupsi, Cetakan-1”,
(Jakarta : KENCANA), 2020, hal 51
17
https://kbbi.web.id/korupsi (Diakses pada tanggal 07 Desember 2020)
 Risywah : risywah adalah bagian dari tindak pidana korupsi yang
berkaitan dengan suap menyuap kepada seseorang yang memiliki
kekuasaan atau wewenang agar tujuannya dapat tercapai atau
memudahkan kepada tujuan dari orang yang menyuapnya tersebut. Salah
satu bagian dari bentuk korupsi inilah yang telah merusak moral dan
struktur keadilan dalam setiap lini kehidupan masyarakat. Karena dengan
suap menyuap, keadilan dalam proses hukum tidak dapat tercapai atau
dapat memengaruhi keputusan seorang hakim dengan nominal uang yang
dapat menggetarkan iman seorang penegak hukum.
 Al-ghulul : menggelapkan kas negara atau baitul mal atau dalam literatur
sejarah Islam menyebutnya dengan mencuri harta rampasan perang atau
menyembunyikan sebagiannya untuk dimiliki sebelum menyampaikannya
ke tempat pembagian. Kata “ghulul” dalam teks hadis tersebut adalah
penipuan, namun dalam sumber lain diartikan bahwa “ghulul” adalah
penggelapan yang berkaitan dengan kas negara atau baitul mal (Abu Fida‘
Abdur Rafi‘,2004:2)
 Al-maksu : Perbuatan ini diidentikan kepada pungutan liar yang biasanya
terjadi ketika seseorang akan mengurus sesuatu yang kemudian
dibebankan sejumlah bayaran oleh pelaku pemungut cukai dengan tanpa
kerelaan dari orang yang dipungutnya tersebut. Seperti yang telah
disebutkan sebelumnya, bahwa apabila pungutan tersebut tidak dipenuhi
oleh korbannya, maka urusan orang tersebut akan dipersulit oleh pelaku
pemungut cukai. Inilah yang kemudian disebut dengan al- maksu (Abu
Fida‘ Abdur Rafi‘,2004;33).

Maka dari itu berdasarkan dasar hukum Islam; pandangan dan sikap terhadap
korupsi sangat tegas yaitu haram, karena termasuk dalam memakan harta sesama
dengan jalan yang tidak baik (bathil), karena korupsi secara prinsip bertentangan
dengan misi sosial Islam yang ingin menegakkan keadilan sosial dan
kemaslahatan semesta (iqâmatul-’adâlah alijtimâ’iyyah
walmashlahatil-’âmmah).18

2. Hukuman Pidana Mati


Teori pelaksanaan Hukuman mati di indonesia masih mempunyai landasan
yuridis yang kuat.19 Seperti yang pernah di katakan dalam buku karangan Yon
Artiono Arba’i dengan judul (Aku Menolak Hukuman Mati) yang mana
menegaskan bahwa hukuman mati terhadap tindak pidana korupsi itu diperlukan
guna melindungi masyarakat.
Pendapat tersebut dapat didasarkan kepada keyakinan bahwa semua
negara mempunyai hak mempertahankan atau membela diri, yang dapat pula
berarti bisa mengesahkan penggunaan hukuman tertinggi pada individu, dan
alasan yang lain adalah guna memberikan ketakutan secara menyeluruh bagi
mereka yang telah melakukan tindak kriminal ataupun yang akan melakukan
tindakan pelanggaran hukum khususnya perbuatan Korupsi.20
Penjatuhan hukuman, terlebih hukuman mati memang merupakan hal
penting dalam hukum pidana dan peradilan. Oleh karena itu proses, aktivitas, dan
penjatuhan hukuman mati terhadap tipikor harus ditetapkan secara objektif dan
bijak. Dengan demikian penerapan hukuman mati memang tepat untuk kejahatan
tertentu seperti halnya, terorisme, koruptor dana bantuan sosial, dan pengedar
narkoba, serta kejahatan-kejahatan yang dimana itu melebihi batas perundang-
undangan.21
Hukuman pidana mati dapat dikatakan juga sebagai suatu bentuk proses
pidana yang masih di pertahankan oleh beberapa negara termasuk Indonesia demi
menyelesaikan atau memberikan hukuman terhadap seseorang yang melakukan

18
Sumarwoto, “Jurnal Hukum : Status Hukum Bagi Koruptor Perspektif Hukum Islam”, 2004, hal
8
19
Yon Artiono Arba’i, “Aku Menolak Hukuman Mati”, (Jakarta : Kepustakaan Populer
Gramedia), 2012, hal 3
20
Bambang Poernomo, “Hukum Pidana Mati Karangan Ilmiah” (Jakarta : Bina Aksara), 1982,
hal 9
21
Andi Hamzah, “Sistem Hukuman dan Pemidanaan Indonesia”, (Jakarta : Pramidya Paramita),
1983, hal 83
kejahatan secara luas, seperti korupsi di tingkat bencana, pemberontakan, dan
terorisme.
Pidana mati sudah tercantum dalam Pasal 10 KUHP, yang mana hal
tersebut diharapkan dalam penerapan nya oleh hakim akan menjadi lebih selektif
dan berdasarkan pertimbangan yang rasional serta terkendali. Karena hal tersebut
semata-mata juga memiliki tujuan untuk memberikan perlindungan terhadap
individu atau warga masyarakat terhadap sebuah tindakan yang sewenang-wenang
dari keluarga sang korban. Pengertian hukuman atau pidana mati di Indonesia
terbagi secara komprehensif yakni mulai dari :
 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Hukuman Pidana mati diartikan
degan pernyataan sebagai “Hukuman yang dijalankan dengan membunuh
(menembak, menggantung) orang yang bersalah.22
 Dalam Ensiklopedi Indonesia, diartikan sebagai “Hukuman pokok yang
paling berat”. Biasanya dengan hukuman gantung atau tembak mati.23
 Dalam Kamus Istilah Pidana, Hukuman mati diartikan dengan “Pidana
yang dijatuhkan terhadap orang yang berupa pencabutan nyawa
berdasarkan putusan pengadilan dan hakim yang memiliki kekuatan
hukum tetap”.
 Dalam Ensiklopedi Islam, Hukuman mati di ibaratkan seperti “Qishas,
yang mana dalam hukum Islam Qishas ini memberikan perlakuan yang
sama terhadap pelaku tindak pidana sebagaimana ia telah melakukannya
(terhadap sang korban)”.24
3. Perspektif Hukum Pidana Islam
Hukum Pidana Islam pada hakikatnya mengandung kemaslahatan
bagi para kehidupan manusia baik dari dunia manapun di akhirat. Syariat
Islam dimaksud, secara materil memiliki kewajiban asasi bagi setiap
mahluk (manusia) untuk mengimplementasikan. Konsep kewajiban asasi
syariat menempatkan Allah SWT sebagai pemegang Segala Hak.25 Dalam
22
https://lektur.id/arti-hukuman-mati (Diakses pada tanggal 03 Desember 2020)
23
https://id.wikipedia.org/wiki/Hukuman_mati (Diakses pada tanggal 03 Desember 2020)
24
Martoyo, “Ensiklopedi Islam”, (Yogyakarta : FH UH), 1992, hal 132
25
Lysa Anggraini “Jurnal Hukum Islam : Hukum Pidana Dalam Perspektif Islam dan
Perbandingan dengan Hukum Pidana di Indonesia, Vol. XV, No. 1 Juni 2015”, (Riau : Universitas
hal ini, istilah yang digunakan dalam pengertian hukum pidana Islam,
diantaranya :

1. Jarimah : Hukuman pidana Islam dalam bahasa Arab disebut sebagai


jarimah atau jinayah. Secara etimologis jarimah ini berasal dari sebuah
kata-kata “Jarama-Yajrimu-Jarimatan”, yang memiliki makna (berbuat)
dan (memotong). Kemudian, secara khusus digunakan terbatas pada
“perbuatan dosa” atau “perbuatan yang dibenci”.26 Secara terminologis
Jarimah yaitu diartikan sebagai larangan-larangan syara’ yang mana itu
sudah diancam oleh Allah SWT dengan menunjukkan hukuman Hudud
serta Takzir.27

2. Jinayah : Secara etimologis, jinayah berasal dari kata Jana-yajni-


jinayatan, yang berarti berbuat dosa.28 Secara terminologis jinayah
diartikan sebagai perbuatan yang dilarang oleh syara’, baik itu perbuatan
yang merugikan jiwa ataupun harta benda. Dan menurut Muhammad
Ichasan dan M. Endrio Susila (Fiqh Jinayah) secara teknis digunakan
dalam hukum Islam sebagai sebuah hukum yang mana mengatur persoalan
yang berhubungan dengan tindak pidana (kejahatan).29

3. Ma’shiyat : Istilah Ma’shiyat dalam Hukum Pidana Islam mengandung


makna yakni melakukan perbuatan yang diharamkan maupun dilarang
oleh hukum, sehingga istilah Ma’shiyat hanya mencangkup unsur
perbuatan yang dilarang oleh hukum untuk dilakukan atau di
implementasikan.30

Islam Negeri Sultan Syarif), 2015, hal 48


26
Ahmad Hanafi, “Asas-asas Hukum Pidana Islam”, (Jakarta : Bulan Bintang), 1990, hal 1
27
Muhammad Abu Zahrah, “Al-jarimah wa al-uqubat fi al-fiqh al-islami”, (Kairo : Al-anjlu al-
Mishriyah), hal 22
28
Mustofa Hasan dan Beni Ahmad Saebani, “Hukum Pidana Islam : Fiqh Jinayah”, (Jakarta :
Bulan Bintang), 1967, hal 2
29
Muhammad Ihsan dan M. Endiro Susila, “Hukum Pidana Islam sebuah Alternatif”, (Yogyakarta
: Lab Hukum FH UII), 2008, hal 6
30
Mardani, “Hukum Pidana Islam, Edisi Pertama”, (Jakarta : PRENADA MEDIA GROUP),
2019, hal 3
Hukuman bagi koruptor selama ini tak mendatangkan efek jera. Karena
itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) merekomendasikan agar pelaku korupsi
dihukum mati.31 Selain mendorong pemberlakuan hukuman paling berat itu, MUI
juga mengusulkan agar terpidana korupsi dihukum kerja sosial. MUI mendorong
majelis hakim pengadilan tipikor menjatuhkan hukuman seberat-beratnya kepada
koruptor kakap, bahkan hukuman mati. usulan hukuman mati bagi koruptor
sebenarnya telah disampaikan sejumlah lembaga dan aktivis antikorupsi.

31
Harun Al-Rasyid, “Fikih Korupsi”, (Jakarta : PT. Fajar Interprana), 2017, hal 263

Anda mungkin juga menyukai