Anda di halaman 1dari 3

A.

Orisinalitas Penelitian
Karya tulis ilmiah memang seyogianya dapat melahirkan inovasi atau
bijwerken keilmuan yang orisinil berdasarkan bahan-bahan yang telah terkumpulkan
melalui beberapa teknik pengumpulan sumber bahan hukum. Salah satu cara untuk
mengejawantahkan pembaruan pada sebuah penelitian itu diperlukan adanya konsep
perbandingan terhadap masing-masing kajian terdahulu, yakni dengan beberapa
point penting bahwa di dalam penelitian terdahulu tersebut harus memiliki kesamaan
pada tema penelitian dan tentunya juga memiliki perbedaan dalam segi metodologi
penelitian, substansi, hinga rekomendasi yang diberikan. Oleh karena itu pada
disertasi ini, peneliti telah menentukan untuk mengambil tiga sampel penelitian
terdahulu dalam kategori disertasi demi meninggikan novelty yang ada pada
penelitian ini.
Pertama adalah disertasi yang ditulis oleh IGM. Nurdjana pada tahun 2009
dengan judul, “Problematik Sistem Hukum Pidana dan Implikasinya pada Penegakan
Hukum Tindak Pidana Korupsi” yang diajukan sebagai pemenuhan kriteria doktor di
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta 1
Disertasi tersebut di latar belakangi oleh pandangan bahwa dalam sistem
hukum di indonesia masih terdapat beberapa kendala yang di duga dapat
mempengaruhi proses penegakan korupsi dalam negeri, hal tersebut dapat dilihat
dari substansi, struktur, dan kultur hukum yang ada pada penerapan peraturan
perundang-undangan tindak pidana korupsi. sehingga peneliti terdahulu
menjalankan penelitian ini untuk menemukan konstruksi baru dalam penegakan
korupsi di Indonesia. Rumusan masalah dalam penelitian terdahulu terdiri dari
konsep serta respons terhadap pemerintah dan lembaga bersangkutan, yang
pertama terkait dengan apa yang menjadi problematik hukum pada sistem pidana di
indonesia ketika menangani kasus korupsi, kedua bagaimana implikasi sistem hukum
pidana yang berlaku di indonesia dalam menangani tindak pidana korupsi, dan yang
ketiga mengenai bagaimana proses sistem hukum pidana yang ideal dalam
perspektif hukum positif.
Persamaan signifikan pada penelitian saat ini dan penelitian terdahulu ialah
sama-sama melakukan analisis kritis mengenai tindak pidana korupsi yang semakin
marak dalam sistem pemerintahan indonesia yang akhirnya menyebabkan
kesengsaraan bagi masyarakat Indonesia yang sampai saat ini masih sangat sulit
1
IGM. Nurdjana“Problematik Sistem Hukum Pidana dan Implikasinya pada Penegakan Hukum Tindak
Pidana Korupsi”, Disertasi, Fakultas Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta (2009).
untuk di bumi hanguskan. Yang kedua pada Disertasi melakukan pendekatan konsep
dan Filsafat terhadap kajian kerugian perekonomian negara sebagai bentuk
kejahatan yang luar biasa. Adapun perbedaan terletak pada jenis penelitian, dimana
penelitian terdahulu merupakan penelitian historis, sementara penelitian saat ini
merupakan penelitian hukum yang artinya tidak hanya secara filosofis membahas
mengenai kerugian perekonomian negara yang disebabkan korupsi, tetapi juga
melihat segi implementasi penyidikan dan penuntutan terhadap pelaku melalui
bahan-bahan hukum relevan.
Alasan dipilihnya Disertasi oleh IGM. Nurdjana sebagai bahan orisinalitas
penelitian ialah kesenadaan dalam penelitian yang membahas secara kritis
membahas problematik sistem hukum dalam memberantas korupsi yang marak di
Indonesia. Dengan diambilnya disertasi ini sebagai penelitian terdahulu, dapat
dibandingkan pembaharuan konsep hukum berdasarkan filsafat mengenai sistem
hukum pidana.

Kedua, yakni disertasi oleh Tabana Bangun pada tahun 2020 dengan judul,
“Rekontruksi Kebijakan Penghentian Penyidikan oleh Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi yang Berbasis Pada Nilai Keadilan Pancasila” yang diajukan sebagai
pemenuhan kriteria doktor di Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung
(UNINSSULA) Semarang.2
Disertasi tersebut di latar belakangi oleh pandangan bahwa dalam penegakan
hukum pidana yang dirasakan oleh penulis terdahulu yakni kurang berkeadilan
terhadap penegakan hukum tindak pidana korupsi. Oleh karena itu dengan tingginya
permasalahan yang kurang berkeadilan tersebut, menyebabkan dampak yang cukup
serius yakni lembaga yudikatif akan sulit dalam menerapkan asas peradilan yang
cepat murah dan sederhana pada tahapan penyidikan. Hal ini dapat terlihat dari
ketentuan hukum yang mengatur penyidikan tindak pidana korupsi, yang tidak
segera dilakukan penghentian penyidikannya oleh penyidik komis pemberantasan
tindak pidana korupsi. Permasalahan ini tentunya akan berdampak pada kurangnya
rasa keadilan bagi masyarakat, yang akan dapat merugikan lembaga penegakan
hukum di negeri ini, bahkan masyarakat akan kehilangan trust-nya terhadap

2
Tabana Bangun “Rekontruksi Kebijakan Penghentian Penyidikan oleh Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi yang Berbasis Pada Nilai Keadilan Pancasila” , Disertasi, Fakultas Fakultas Hukum Sultan
Agung (UNINSSULA) Semarang (2020).
lembaga penegak hukum, sehingga berdampak pada timbulnya stigma negatif dari
masyarakat terhadap aparatur Negara yang bertugas menjalankan penegakan
hukum. Ketika Negara ini dihadapkan pada situasi dan kondisi yang demikian, yang
menjadi sorotan masyarakat tentunya adalah penegakan hukum yang tidak
memberikan hak warga negara dan rasa keadilan masyarakat terganggu.
Persamaan signifikan pada penelitian saat ini dan penelitian terdahulu ialah
sama-sama melakukan pendalaman materi mengenai penyidikan tindak pidana
korupsi di Indonesia.

Ketiga, yakni disertasi Luvy Indriastuti pada tahun 2015 dengan judul
“Kewenangan Penyidikan Jaksa dalam Tindak Pidana Korupsi” yang diajukan sebagai
pemenuhan kriteria doktor di Fakultas Hukum Universitas Airlangga (UNAIR)
Surabaya.3
Disertasi tersebut di latar belakangi oleh adanya kejelasan mengenai
penyidikan Kejaksaan, Kepolisian dan KPK dalam tindak pidana korupsi. Untuk
kewenangan KPK dalam tindak pidana korupsi di atur dalam Pasal 6 huruf c UU No.
30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada intinya
KPK mempunyai tugas melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
terhadap tindak pidana korupsi. Kepolisian dan KPK, berdasarkan Pasal 14 ayat (1)
huruf g UU Kepolisian serta Pasal 6 huruf c UU KPK, keduanya memang memiliki
kewenangan untuk menyidik tindak pidana korupsi. Namun, KPK memiliki
kewenangan tambahan yaitu dapat mengambil alih perkara korupsi walaupun
sedang ditangani oleh Kepolisian atau Kejaksaan (Pasal 8 ayat (2) UU KPK). Akan
tetapi, pengambil alihan perkara korupsi tersebut harus dengan alasan yang diatur
dalam Pasal 9 UU KPK. Selain kewenangan untuk mengambil alih perkara korupsi,
ada hal lain yang menjadi kewenangan KPK yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 11
UU KPK dan Pasal 50 UU KPK.
Maka dari itu kesamaan pada penelitian ini ialah terletak pada berkaitan
dengan masalah kewenangan lembaga penegak hukum, maka perlu adanya
keseimbangan, keadilan, kepastian hukum, dalam penyidikan tindak pidana korupsi,
sehingga tujuan sebesar-besarnya memberi perlindungan bagi rakyat tercapai.

3
Luvy Indriastuti “Kewenangan Penyidikan Jaksa dalam Tindak Pidana Korupsi” , Disertasi, Fakultas
Fakultas Hukum Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya. (2015).

Anda mungkin juga menyukai