Anda di halaman 1dari 5

Tugas 1 Hukum Filsafat

Nama : Putri Al Fitri N

Nim : 042205227

UPBJJ Bandung

Jawab pertanyaan berikut ini:

Saat ini Indonesia sedang melakukan vaksinasi Covid-19. Presiden Joko


Widodo atau Jokowi pun menjadi orang yang pertama disuntik. Nantinya secara bertahap
seluruh warga negara Indonesia akan melakukan vaksinasi Covid-19. Bahkan Presiden
Jokowi juga telah menggratiskannya. Yang terbaru, Jokowi memastikan bahwa pemerintah
akan memberikan kompensasi berupa santunan apabila penerima vaksin Covid-19 mengalami
kecacatan atau meninggal dunia usai disuntik vaksin. Hal ini tertuang dalam Peraturan
Presiden (Perpres) Nomor 14 tahun 2021 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan
Vaksinasi dalam Rangka Penanggulan Pandemi Covid-19.

"Dalam hal terdapat kasus kejadian ikutan pasca vaksinasi yang dipengaruhi oleh produk
Vaksin Covid-19 berdasarkan hasil kajian kausalitas dan kasus tersebut menimbulkan
kecacatan atau meninggal, diberikan kompensasi oleh pemerintah," bunyi Pasal 15B ayat 1
sebagaimana dikutip Liputan6.com dari salinan Perpres, Sabtu, 13 Februari 2021.

Tak hanya itu, Jokowi juga mengeluarkan peraturan presiden yang isinya antara lain
mengatur mengenai penerapan sanksi administratif maupun pidana bagi orang yang menolak
melaksanakan vaksinasi Covid-19.

Sumber: www.liputan6.com

Pertanyaan:

1. Jelaskankah bagaimana konsep pengaturan tentang Vaksinasi Covid-19 sebagai


keberlakuan hukum terkini dalam kajian ilmu filsafat hukum!
2. Jelaskanlah analisis Anda berdasarkan ajaran Socrates dan Plato terkait kebijakan
vaksinasi covid-19 yang diatur dalam Perpres No. 14 tahun 2021
Jawaban :

1. Wabah Corona Virus Disease 2019 atau disebut sebagai Covid-19 yang melanda dunia
pada tahun 2020 menimbulkan kedaruratan di berbagai negara, salah satunya adalah
Indonesia. Presiden Joko Widodo melalui keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang
Penepatan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19),
menetapkan status kedaruratan kesehatan, yang diikuti dengan tertibnya Peraturan
Pemerintahan Pengganti Undang-Undang Noor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan
Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penaganan Pandemi Corona Virus Disease
2019 (Covid-19) dan atau dalam rangka menghadapi Ancaman Yang Membahayakan
Perekonomian Nasional dan atau Stabilitas Sstem Keuangan dan Peraturan Pemerintahan
Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-
19) .

Pandemi Covid-19 yang melanda seluruh negara di dunia mengubah tatanan kehidupan
manusia. Umat manusia dipaksa untk beradaptasi dengan kebiasaan baru. Di Indonesia,
kebiasaan-kebiasaab baru tersebut tercermin diataranya dengan adanya ‘Pesan Ibu’ yang
berisikan kewajiban 3M (memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan dengan sabun)
bagi masyarakat serta 3T (testing, tracing, treatment) bagi pemerintah.

Pada perkembangan pengangan Covid-19 di berbagai duni, tedapat sejumlah penelitian dalam
rangka pemmbuatan vaksin maupun obat untuk mengatasi Covid-19. Khusus berkaitan
dngan vaksin, terdapat sejumlah merek vaksin untuk Covid-19 yang telah dibuat. Indonesia
menggunakan sejumlah merek vaksin dalam rangka pengangan Covid-19 di Indonesia.
Rincianya adalah 3 juta dosis yang sudah tiba ditanah air (per 6 januari 2021) ditambah 122,5
juta dosis lagi dari Sinovac, kemudian dari Novavax sebanyak itu 50 juta dosis, daro
COVAV/Gavi sejumlah 54 juta dosis, dari AstraZeneca 50 juta dosis vaksin. Total vaksin
yang dipesan adalah 329,5 Juta Dosis Vaksin Covid-19

Pemerintah melalui Menteri Kesehatan menyatakan bahwa telah mendistribusikan 1,2 juta
dosis vaksin Covid-10 ke 34 (tiga puluh empat) provinsi di seluruh Indonesia per 7 Januari
2021. Sedankan pelaksanaan vaksin dirancang dan akan dilakukan pada minggu kedua
januari 2021, setelah dikeluarkan izin penggunaan darurat atau Emergency Use Authorization
oleh BPOM (Badan Pengawasan Obatan dan Makanan).
Ditinggkat masyrakat, terjadi pro dan kontra terkait pelaksanaan vaksinasi di Indonesia.
Sejumlah pihak mempertanyaka apakah vaksinasi untuk masyarakat merupakan hak ataukah
kewajiban. Pemerintah melalui Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
menyampaikan bahwa vaksinasi covid-19 merupakan bagian dari kewajiban seluruh warga
negara untuk mewujudkan kesehatan masyarakat. Namun sejumlah aktivitas pada bidak Hak
Asasi Manusia tegas menyatakan bahwa menolak vaksin adalah hak asasi rakyat.

Selain itu masyarakat juga mempertanyakan efikasi dan efektifivitas dari vaksin Covid-19
tersebut dengan dalih seperti tidak efektif, isu konspirasi, menimbulkan efek samping
termasuk aspek kehalalnya (walaupun berkaitan dengan aspek kehalalnya telah dinyatakan
suci dan halal oleh Majelis Ulama Indonesia ( MUI).

Berkaitan dengan penganan pandemi Covid-19 di Indonesia, Pemerintah telah mengambil


langkah-langkah dalam rangka melindungi kesehatan warga negara. Mulai dari menetapkan
status darurat kesehatan melalui Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentag Penepatan
Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), melaksanakan
kewajiban Pemerintah dalam rangka melaksanakan 3T (testing, tracing, treatment),
membangun rumah sakit darurat bahkan hingga melakukan pembatasan pada bebagai wilayah
sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan Pemerintahan Nomor 21 Tahun 2020 tentang
Pembatasan Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease
2019 (Covid-19).

Salah satu upaya laia yang tengah dilakukan Pemerintah dalam rangka melindungi kesehatan
warga negara Indonesia adalah pelaksanaan vaksinasi yang telah dimulai pada tanggal 13
Januari 2021 dengan penerima vaksin pertama adalah Presiden Republik Indonesia, Joko
widodo.

Ditingkat masyarajat terjadi pro dan kontra terkait pelaksanaan vaksinasi di Indonesia. Salah
satu isu hukum berkaitan dengan vaksinasi ini adalah vaksinasi untuk masyarakat merupakan
hak ataukah kewajiban. Sejumllah aktivis tegas menyatakan bahwa menolak vaksin adalah
hak asasi rakyat. Mereka menggunakan dasar hukum Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak
secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang
dperlukan bagi dirinya.”
Alasan hukum tersebut dapat menjadi legitimasi terhdap penolakan vaksin Covid-19
berdasarkan hukum di Indonesia. Namun, bila dikaji berdasrkan kondisi bernegara Indonesia
di masa pandemi Covid-19, pelaksanaan vaksinasi dapat menjadi suatu hal yang bersifat
wajib. Alasan terkait dengan hal tersebut, yaitu:

Bila dikaji, Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
memang memberikan hak untuk setiap orang dalam hal menentukan sendiri pelayanan
kesehatan yang diperlukan bagi dirinya. Namun bila dilihat dalam konteks penangan wabah,
khususnya di masa pandemi Covid-19, terdapat dua (dua) undang-undang lain untuk
menentukan apakah vaksinasi adalah hak atau kewajiban. Pertama adalah Pasal 14 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular yang menyatakan
bahwa “Barang siapa dengan sengaja menghalangi pelasaan penanggulangan wabah
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, diancam dengan pidana penjara selama-
lamanya 1 (satu) tahun dan atau denda setinggi-tingginya Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah).
Kedua, Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan
yang menyatakan “Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan
Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan atau menghalang-halangi
penyelenggaraan kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan
Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau pidana denda
paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Oleh sebab itu, pelaksanaan vaksinisasi di Indonesia dapat menjadi suatu kewajiban bagi
setiap warga negara. Memang, terdapat hak seseorang untuk memilih pelayanan kesehatan
baginya. Namun bila dilihat pada konteks situasi pandemic saat ini, maka hak tersebut dapat
dikurangi dalam rangka untuk mencapai tujuan negara yakni melindungi segenap
bangsaIndonesia dan juga termasuk melindungi hak asasi seseorang itu sendiri dalam rangka
memperoleh hak untyk hidup secara sehat.
2. Menutur ajaran Socrates memandang hukum dari penguasa ( hukum negara ) harus ditaat,
terlepas dari hukum itu memiliki kebenaran objektif atau tidak. Ia tidak menginkan terjadinya
anarkisme, yakni ketidak percayaan terhadap hukum. Ini terbukti dari kesediaanya untuk
dihukum mati sekalipun ia meyakini bahwa hukum negara itu salah. Dalam mempertahankan
pendapatnya, Socrates menyatakan bahwa untuk dapat memahami kebenaran objektif, orang
harus memiliki pengetahuan (theoria). Pendapat ini kemudian dikembangkan oleh muridnya
Socrates, yaitu Plato.

Ajaran Plato dalam melanjutkan pemikiran Socrates adalah penguasa tidak memiliki theoria
sehingga tidak dapat memahami hukum yang ideal bagi rakyatnya. Hukum hanya ditafsirkan
menurut selera dan kepentingan penguasa. Oleh karena itu, Plato memberi saran agar dalam
setiap undang-undang dicantumkan dasar (landasan) filosofinya. Tujuannya tidak lain agar
penguasa tidak menafsirkan hukum sesuai kepentingannya sendiri.

Presiden Joko Widodo menekan Peraturan Presiden Nomor 14 Tahn 2021 tentang Pengadaan
Vaksinasi dalam Rangka Penangglan Covid-19 pada 9 Febuari 2021 kemarin. Peraturan ini
menggantikan aturan sebelumnya yaitu Prepes 99 tahun 2020. Dalam revisi ini, muncul
ancaman hukuman bagi orang-orang yang menolak vaksinasi Covid-19. Hal ini tertuang
dalam isi pasal Prepes tersebut. Menurt ajaran Socrates dan Plato hukum harus ditaati terlepas
dari hukum itu memiliki kebenran objektif atau tidak, dan setiap undang-undang dicantumkan
dasar (landasan) filosofinya untuk menjaga dari penguasa yang tidak menafsirkan hukum
sesuai kepentinganya sendiri.

Anda mungkin juga menyukai