Anda di halaman 1dari 49

HUKUM KONSTITUSI DAN ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI

Ujian Akhir Semester Genap Tahun Akademik 2019/2020

Nama : Faisal Padli


Npm : 17.4301.079
Kelas : A/Reguler
Semester : VI/Genap
Dosen Pengajar : Dr. Marojahan JS Panjaitan, S.H., M.H.

SEKOLAH TINGGI HUKUM BANDUNG


2020
POLA PENANGANAN COVID-19 DALAM PERSFEKTIF
PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA
Pada akhir tahun 2019, dunia dihebohkan corona virus disease 2019. Kasus ini
diawali dari informasi Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization -
WHO), tanggal 31 Desember 2019 yang menyebutkan adanya kasus kluster
pneumonia dengan etiologic yang tidak jelas di kota Wuhan, Provinsi Hubei, China.
Mendengar berita itu, masyarakat internasional pada mulanya tidak terlalu peduli,
termasuk Indonesia. Pergerakan manusia pun ketika itu berjalan sebagaimana biasa
tanpa ada rasa was-was. Di Indonesia, pada tanggal 2 Maret 2020 dilaporkan ada 2
kasus positif COVID-19, dan kasusnya setiap hari bertambah. Hal itu bisa dilihat
dari data yang disampaikan oleh Gugus Tugas Percepatan Penangan Covit 19 per
tanggal 17 April 2020, yang terkonfirmasi di Indonesia sudah mencapai 5.923
orang, dalam perawatan 4 796 orang, yang meninggal 520 orang, dan yang sembuh
607 orang, Orang Dalam Pemantauan (ODP) 169.446 orang, dan Pasien Dalam
Pemantauan (PDP) 11.873 orang, pada tanggal 26 April ODP 209.04 orang, PDP
19 648 orang, positif 8.882 orang, sembuh 1107 orang, dan meninggal 743 orang,
pada tanggal 28 April 2020, ODP 213 644 0rang, PDP 20 428 orang, positif 9 511
orang, sembuh 1 254 orang, dan meninggal 773 orang. Berdasarkan data ini, tampak
jumlah korban di Indonesia tiap hari bertambah cukup signifikan, yang hal tersebut
dapat dikategorikan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB).

Tanggungjawab Presiden Dalam Penanganan COVID-19 Menurut UUD 1945


Dalam memahami tanggungjawab presiden dalam penanganan covid-19 pertama-
tama harus dilihat dalam Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 yang antara lain
mengatakan, bahwa “Setiap orang…berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
pemerintah berkewajiban untuk memastikan warganya sehat dan memberi pelayanan
kesehatan yang baik kepada warganya. Hal itu wajib dipenuhi, sebab kesehatan merupakan
hak rakyat yang harus dijaga oleh pemerintah sesuai Pasal 12 dan 22 UUD 1945, bahwa
dalam keadaan genting yang memaksa, UUD 1945 memberi kewenangan istimewa
kepada presiden untuk menyimpang dari cara bertindak dalam keadaan biasa.
presiden membentuk team untuk menangani covid-19 ini. Hal itu diatur dalam
Kepres No. 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Corona Virus Disease
2019 (COVID-19), tertanggal 13 Maret 2020 yang kemudian diubah dengan Kepres
No. 9 Tahun 2020 tentang Keppres No. 7 Tahun 2020, tentang Gugus Tugas
Percepatan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) tertanggal 20 Maret 2020.
Dalam Pasal 8 Kepres No. 9 Tahun 2020 ditentukan susunan keanggotaan Gugus
Tugas Pencepatan Penanganan COVID-19, terdiri atas Pengarah yang diketuai oleh
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, dan
Pelaksana, yang diketuai oleh Kepala Badan Nasional Penanganan Bencana. Dalam
Pasal 2 Keppres No.7 Tahun 2020 dikatakan, bahwa Gugus Tugas Percepatan
Penanganan COVID-19 berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Presiden juga menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang
Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-
19), tertanggal 13 April 2020, kebijakan yang diambil oleh para Menteri satu
dengan yang lain haruslah seirama dengan kebijakan yang ditentukan oleh
presiden, dan begitu selanjutnya bahwa kebijakan yang diambil oleh pemerintah
daerah harus seirama dengan kebijakan yang ditentukan oleh pemerintah pusat.
Pola Penanganan COVID-19 Dalam Bingkai Perlindungan Hak Asasi Manusia
Akibat dari penyebaran COVID-19 yang begitu cepat, serta korban yang
ditimbulkan setiap hari semakin banyak, menyebabkan negara dunia mengalami
kesulitan dan kepanikan menghadapinya, termasuk Indonesia. Hal itu terjadi oleh
karena COVID-19 ini merupakan penyakit baru, baik vaksin maupun obatnya
belum ada, serta penyebarannyapun begitu cepat. Dalam kesulitan dan kepanikan
tersebut, tampak beberapa negara memberlakukan lockdowan untuk mengatasinya.
metode ini dipergunakan dalam menangani penyebaran COVID-19, dengan
menyuruh orang tinggal di dalam rumah dan/atau dilarang beraktivitas di luar
rumah, Jokowi memilih Pembatasan Sosisial Berskala Besar (PSBB). Sebagai
landasan untuk pemberlakuan PSBB ini adalah Pasal 49 ayat (2) Jo Pasal 59 UU.
No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, yang kemudian diatur dalam
PP 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka
Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19). Dalam Pasal 1
Peraturan Pemerintah ini, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Pembatasan
Sosial Berskala Besar adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu
wilayah yang diduga terinfeksi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)
sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran Corona Virus Disease
2019 (COVID-19). Menteri Kesehatan sebagai penyelenggara urusan kesehatan
mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 9 Tahun 2020 tentang Pedoman
Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona
Virus Disese 2019 (COVID-19) untuk menjalankan PP.No. 21 Tahun 2020 ini.
Kehadiran pemerintah dalam mengatasi segala dampak yang ditimbulkan oleh
covid-19 adalah dalam mewujudkan kewajibannya untuk menjaga kesehatan
masyarakat sebagaimana diamanahkan dalam Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945.
Berdasarkan hal tersebut, presiden sebagai kepala pemerintahan dapat mengambil
segala tindakan untuk menyelamatkan negara dari segala dampak yang ditimbulkan
oleh covid-19. Namun, pola penanganan COVID-19 tidak dilakukan grusa grusu,
tetapi harus dilakukan dengan terencana dan terintegrasi satu dengan yang lain.
Sebab, yang dihadapi bukan hanya COVID-19, tetapi ada hal-hal lain yang tidak
kalah penting harus ditanggulangi. Covid-19 selesai, ekonomi negara dan keuangan
negara tertangani, pendidikan bisa berjalan kembali, aktivitas masyarakat pulih
kembali, sehingga negara damai dan bahagia. Itu sasaran yang hendak dicapai
dalam penanganan covid-19. Dengan pola penanganan seperti ini pelanggaran
terhadap hak asasi manusia bisa diminimanilisir. Berdasarkan hal tersebut,
dilakukan Pembatasan Sosisial Berskala Besar (PSBB) dan bukan melakukan
lockdown. Landasan untuk pemberlakuan PSBB ini adalah Pasal 49 ayat (2) Jo
Pasal 59 UU. No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, yang kemudian
diatur dalam PP 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar.
MENYOAL KEBEBASAN BERPENDAPAT PADA ERA COVID-19
DALAM PERSFEKTIF PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA
Dalam materi yang dipaparkan oleh dosen dan selaku penulis menyampaikan
bahwa kebebasan berpendapat didalam lingkungan perguruan tinggi di era pandemi
covid-19 ini ialah dapat dilihat dari contoh webminar yang akan diselenggarakan
oleh FH UGM dengan topik “Persoalan Pemecatan Presiden Di Tengah Pandemi
Ditinjau dari Sistem Ketatanegaran” terlihat di kekang kebebasan pendapat di
lingkungan perguruan tinggi, dikarenakan acara webminar ini dihentikan oleh
panitia dikarenakan terjadi teror dan intimidasi kepada panitia dan narasumber
utama. Lalu hal ini tidak dapat dipastikan kebenarannya dikarenakan isu tidak
bebasnya berpendapat di lingkungan perguruan tinggi ini ditolak oleh mentri
koordinator politik hukum dan keamanan yang menjelaskan bahwa pemerintah
tidak pernah menghentikan dan melakukan teror dan intimidasi kepada panitia
maupun pembicara tunggal seminar, serta tidak pernah melakukan pembatasan
berpendapat di perguruan tinggi, lalu hal ini dibuktikan dengan terselenggaranya
kegiatan webminar lainnya yang diselenggarakan perguruan tinggi lain dengan
tidak adanya teror dan intimidasi dari manapun dan berjalan lancar. Dalam hal ini
indonesia sebagai negara hukum mengatur dengan jelas didalam UUD 1945 dan
peraturan perundang-undangan lainnya yang menjelaskan bahwa kebebasan
pendapat di indonesia ialah dilindungi oleh undang-undang namun dalam hal ini
diatur pula batasan-batasan kebebasan pendapat tersebut,dalam memberi pendapat
itu ada norma-norma yang harus dipatuhi. Lalu dalam hal ini dilihat dari isi topik
webminar FH UGM timbul pertanyaan “benarkah terjadi pembatasan berpendapat
di perguruan tinggi” dan “benarkah pemerintahan di bawah kepemimpinan Jokowi
ada pembatasan berpendapat di perguruan tinggi”, dalam hal ini menimbulkan
pula tanggapan yang pro dan kontra terlebih lagi hal ini terjadi didalam masa
pandemi covid -19, karena dalam hal ini pemerintah dan masyarakat sedang bahu-
membahu menangangi covid -19 ini dan dengan topik webminar tersebut muncul
pemikiran untuk pergantian presiden, dalam hal ini pergantian presiden sebelum
masa jabatannya berakhir ialah telah diatur oleh undang-undang lalu harus pula
ditinjau apakah presiden melanggar aturan dan dapat dilakukan pemberhentian dan
pergantian presiden sebelum masa jabatannya berakhir. Namun dalam hal
inidengan adanya webminar tersebut menimbulkan pemikiran dimasyarakat bahwa
webminar tersebut menjadi ajang makar atau upaya untuk menggulingkan
pemerintah saat ini atau murni kegiatan berpendapat di lingkungan perguruan tinggi
guna edukasi terhadap masyarakat dan mahasiswa. Dalam hal ini Indonesai sebagai
negara hukum, haruslah dikaji lebih lanjut berdasarkan hukum dan melihat segala
aspek, tidak bisa dengan mudahnya menyimpulkan tujuan dari webminar tersebut.

Dalam hal Perlindungan HAM dalam persfektif Negara Hukum Dan


Demokrasi ialah dalam hal ini HAM ialah salah satu muatan kosntitusi seperti
dikemukakan oleh Sri Soemantri, bahwa salah satu materi muatan konstitusi adalah
adanya pengaturan tentang perlindungan hak asasi manusia dan warganya. Lalu
negara Indonesia pun sangat menghargai dan melindungi HAM sebagai salah satu
muatan konstitusional dan sebagai salah satu sayrat negara hukum yaitu adanya
perlindungan HAM, dalam hal ini HAM di Indonesia diatur dalam Pasal 1 angka 1
UU. No. 39 Tahun 1999 yang mengatakan, bahwa:
Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara
hukum, Pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat
dan martabat manusia.

Dalam hal ini dihubungkan dengan kebebasan berpendapat di perguruan tinggi


ialah salah satu dari bagian perlindungan HAM yang dilindungi oleh peraturan
perundang-undangan. Apabila terjadi pembatasan kebebasan berpendapat
perguruan tinggi apalagi sampai dilarang dan dikekang itu telah melanggar HAM
dan tidak dibenarkan, namun sesuai dengan prinsip negara hukum dan demokrasi
sebagaimana dianut dalam UUD 1945, kebebasan berpendapat itu ada batas-batas
yang harus dipenuhi, yakni: tidak boleh melanggar nilai-nilai agama, kesusilaan,
ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa, serta dapat
dipertanggungjawabkan menurut etika akademis yaitu pedoman moral yang tersirat
di dalam pelaksanaan kebebasan akademik. Itu artinya, biarpun secara
konstitusional UUD 1945 memberi kebebasan dalam berpendapat, ada rambu-
rambu yang harus dipatuhi dalam memberi pendapat tersebut.

OMNIBUS LAW: SEBAGAI KAIDAH PENUNTUN MENYELESAIKAN


KENDALA REGULASI DI INDONESIA
Pada pidato pelantikannya, 20 Oktober 2019, di hadapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR), Jokowi antara lain mengatakan bahwa cita-cita Indonesia tahun
2045, satu abad Indonesia merdeka, adalah keluar dari jebakan pendapatan kelas
menengah. Untuk mencapai cita- cita tersebut perlu didukung oleh iklim
kemudahan berusaha dan investasi dengan aturan/regulasi yang simple dan
harmonis. Berbagai produk hukum yang selama ini dirasakan menghambat
pembangunan ekonomi, harus segera diperbaharui.1 Dalam menata regulasi,
Jokowi melontarkan model Omnibus law. Dalam pidatonya, Jokowi antara lain
mengatakan, bahwa : “…segala bentuk kendala regulasi harus kita sederhanakan,
harus kita potong, harus kita pangkas…Masing-masing UU tersebut akan menjadi
omnibus law…”.2
Omnibuslaw Sebagai Sebuah Metode Dalam Membentuk dan Mengubah Undang-
Undang
Kerangka Dasar Penggunaan Omnibus Law Membentuk dan Mengubah
Undang-Undang
omnibus law hanya dianut di negara-negara penganut tradisi “common law”. Hal
itu disebut tidak cocok diterapkan di Indonesia sebagai penganut tradisi “civil law”,
yang mengarahkan pembangunan hukumnya pada hukum tertulis pemilihan kepada
hukum tertulis itu didasarkan pada, bahwa: Hukum tertulis lebih memberi kepastian
hukum, Lebih mudah dipahami Lebih mudah diterapkan, Ketentuan sanksinya
jelas, Lebih mudah dibentuk dan diubah. Pemikiran bahwa pembangunan hukum di
Indonesia di arahkan kepada hukum tertulis tidaklah salah. Tetapi, ketergantungan
pada hukum tertulis tersebut, dapat menimbulkan kecenderungan untuk mengatur
semua masalah kehidupan manusia dengan UU, yang hal tersebut dapat
menimbulkan kekakuan dalam bertindak. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah
menata regulasi dengan menggunakan omnibus law tetap harus berpedoman kepada
fungsi hukum tersebut. Presiden dan DPR sebagai pembentuk UU tidak boleh
menyimpang dari itu, agar tujuan hukum untuk membahagiakan manusia bisa
terwujud.
Mengubah dan Membentuk Undang-Undang
Ada persoalan yang selama ini luput dari perhatian, yakni masalah perubahan
Undang-Undang. Hal itu menjadi persoalan, karena perhatian selalu di arahkan
pada pembentukan Undang-Undang, sedangkan pada perubahan Undang-Undang
kurang mendapat perhatian. Padahal, jika dilihat dari kekuatan mengikatnya,
perhatian terhadap keduanya seharusnya dilakukan sama. Apalagi dengan
penggunaan omnibus law mengubah UU, membuat perhatian terhadap perubahan
UU itu semakin penting. Pendapat ini didasarkan pada sifat hukum dan/atau
Undang- Undang itu sendiri. Perubahan suatu produk hukum membawa
konsekwensi bahwa norma tersebut tidak mempunyai daya mengikat dan daya
memaksa sebagai norma hukum dalam masyarakat. Karena itu, secara akademis
nilainya tidak kalah penting dengan memberlakukan suatu norma. Suatu ketentuan
yang secara tegas menyebutkan tentang perubahannya terdapat di dalam UUD
1945. Ketentuan tersebut mengindikasikan dua hal. Pertama: pembuat Undang
Undang Dasar sadar dan mengakui bahwa meskipun UUD 1945 dalam
kedudukannya sebagai hukum dasar, tetapi memiliki keterbatasan. Kedua: memberi
petunjuk mengenai cara perubahannya. Kalau ketentuan di atas dihubungkan
dengan perubahan Undang-Undang, menurut penelitian, ternyata tidak ada satu
pasal dalam Undang-Undang yang mengatur tentang perubahannya. Di dalam
Program Pembangunan Nasional ditegaskan bahwa pembangunan hukum dapat
dilakukan melalui berbagai cara, seperti mempertahankan yang ada, memperbaiki
bagian tertentu yang sudah usang atau menggantikan sama sekali dengan peraturan
yang baru. Petunjuk tersebut tentunya perlu dijabarkan lebih jauh di dalam bentuk
kegiatan perundang-undangan yang nyata. Tampak bahwa kegiatan di bidang
perundang-undangan masih diwarnai oleh suatu pemikiran yang menganggap
hukum adalah perintah dari penguasa. Pembentukan dan pencabutannya sangat
tergantung pada keinginan para penguasa. Cara pandang seperti ini tentu
mempersempit ruang gerak pelaksanaan asas negara hukum, paham
konstitusionalisme dan prinsip demokrasi pada umumnya. Untuk mendukung
pengamatan tersebut perlu dikemukakan beberapa indikator. Pertama, tidak
terdapat suatu mekanisme yang menjamin akses masyarakat pada umumnya dan
lembaga lainnya di luar DPR dan Presiden untuk mengoreksi dan mengajukan
pandangannya mengenai keadaan suatu peraturan perundang-undangan. Kedua,
praktek peradilan yang kaku dan legalistik. Pada saat mengadili suatu perkara,
hakim-hakim mengutamakan penerapan hukum tertulis, yang senantiasa tunduk
pada hierarki normatif. Beberapa hal seperti dikemukakan di atas menjadi alasan
mengapa pembahasan terhadap perubahan Undang-Undang menarik untuk diteliti.
Hal itu perlu dipikirkan bertalian dengan penggunaan metode omnibus law dalam
menghadapi kendala regulasi yang saat ini dihadapi Indonesia, yang hal tersebut
akan dibahas secara khusus dalam pembahasan berikutnya.

Omnibus Law
Pengertian Omnibus Law
omnibus law ataupun omnibus bill adalah merupakan sebuah metode dalam
membentuk dan mengubah undang-undang, dalam satu rancangan undang-undang
yang subtansinya lebih dari satu masalah digabung ke dalam satu RUU, diajukan
ke legislatif untuk disahkan menjadi UU. Berdasarkan pengertian ini, omnibus law
merupakan peraturan yang bersifat menyeluruh dan konprehensif yang tidak terikat
pada satu rezim pengaturan semata, tetapi di dalamnya tercakup beberapa persoalan
yang diatur dalam satu bentuk aturan. Mirza Satria Buana mengatakan bahwa
konsep omnibus law dapat dianggap sebagai UU ‘sapu jagat’ yang dapat digunakan
untuk mengganti beberapa norma hukum dalam beberapa UU. Model membentuk
dan mengubah UU dengan cara Omnibus law ini ditempuh karena dianggap lebih
cepat serta biaya ringan. Omnibus law ini terutama diperuntukkan untuk mengubah
berbagai aturan yang mengatur hal yang sama, tumpang tindih dan tidak harmonis
satu dengan yang lain. Mirza Satria Buana mengatakan bahwa dalam konteks
sejarah dan tradisi hukum common law, omnibus law dapat ditafsirkan sebagai
ikhtiar reformasi perundang-undangan untuk mengubah, menolak dan kemudian
memunculkan norma hukum baru yang bertujuan untuk menegasikan norma-norma
hukum sebelumnya beberapa UU hanya lewat satu UU. Terhadap kelebihan dan
kekurangan omnibus law, penulis lebih cenderung melihat kepada tujuan
dibentuknya UU omnibus law tersebut, tanpa mengabaikan kekurangannya.
Kekurang itu akan dijadikan sebagai bahan koreksi dalam membentuk UU omnibus
law agar tidak menyimpang dari fungsi hukum sebagai pengayom di dalam
masyarakat sebagaimana dikemukakan oleh Bernard Arief Sidharta.
Penggunaan Omnibus Law di Beberapa Negara dan Indonesia
Dahulu di Indonesia, biarpun tidak disebut dengan tegas menggunakan istilah
omnibus law, pemerintahan orde baru pernah mempraktekkannya dalam mengubah
berbagai peraturan perundang- undangan yang pernah dikeluarkan pada
pemerintahan orde lama, karena baik substansi (isinya) maupun proses
pembentukannya, dianggap tidak sesuai dan/atau bertentangan dengan Pancasila
dan UUD 1945. Secara yuridis formal, hal itu dimulai dengan dikumandangkannya
Ketetapan MPR Nomor XIX/1996/MPRS tentang Penindjauan Kembali Produk-
Produk Legislatif Negara di Luar Produk MPRS Jang Tidak Sesuai Dengan
Undang-Undang Dasar 1945. Sesuai Pasal 2 Tap.MPRS No. XIX/MPRS/1966,
tugas itu diberikan kepada Pemerintah dan DPR-GR. Berdasarkan Ketetapan
MPRS ini dikeluarkanlah berturut-turut Undang-Undang, yakni:
1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1968 tentang Pernyataan tidak Berlakunya
Berbagai Penetapan dan Peraturan Presiden.
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan
Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang- Undang.
3. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1969 tentang Pernyataan tidak Berlakunya
Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1969 tentang Penetapan berbagai Peraturan
Perundang-Undangan menjadi Undang-Undang. Hal yang sama juga pernah
dilakukan pada tahun 2003, dengan diterbitkan Ketetapan MPR Nomor
I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan
MPR 1960 sampai Tahun 2002. Ketetapan MPR RI meninjau Ketetapan MPR yang
dikeluarkan sejak Tahun 1960 sampai Tahun 2002, ketetapan mana saja yang masih
berlaku dan mana yang tidak berlaku. Begitu juga dengan Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang berdampak pada 4 Undang-
Undang yang telah ada sebelumnya yaitu mencabut Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah dan Undang-Undang 32 Tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah, beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, dan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Menyimak uraian di atas,
tampak bahwa omnibus law di beberapa negara dunia telah banyak dipraktekkan,
termasuk di Indonesia. Hanya, kalau di Indonesia tidak disebut secara tegas dengan
omnibus law, tetapi modelnya mirip sama. Cara itu ditempuh karena prosesnya
dianggap cepat dan tidak memakan biaya yang besar.
Beberapa Asas Yang Harus Diperhatikan Dalam Menggunakan
Omnibus Law Mengubah dan Membentuk Undang-Undang
Tentang asas-asas dalam pembentukan UU, di dalam Pasal 5 UU. No. 12 Tahun
2011 disebutkan beberapa asas yang harus dipatuhi dalam pembentukan UU, yakni
:
a. Asas Kejelasan Tujuan;
b. Asas Kelembagaan atau Pejabat Pembentuk yang Tepat;
c. Asas Kesesuaian Antara Jenis, Hierarki, dan Materi Muatan;
d. Asas Dapat Dilaksanakan;
e. Asas Kedayagunaan dan Kehasilgunaan;
f. Asas Kejelasan Rumusan;
g. Asas Keterbukaan.
Dalam Pasal 6 UU. No. 12 Tahun 2011 disebut bahwa materi muatan peraturan
perundang-undangan harus mencerminkan :
a. Asas Pengayoman;
b. Asas Kemanusiaan;
c. Asas Kebangsaan;
d. Asas Kekeluargaan;
e. Asas Kenusantaraan;
f. Asas Bhinneka Tunggal Ika;
g. Asas Keadilan;
h. Asas Kesamaan Kedudukan dalam Hukum dan Pemerintahan;
i. Asas Ketertiban dan Kepastian Hukum;
j. Asas Keseimbangan, Keserasian, dan Keselarasan;
Dalam hal ini, bahwa dalam pembentukan UU, disamping memperhatikan asas-asas
yang secara tegas disebutkan dalam UU No. 12 Tahun 2012, juga harus
memperhatikan asas umum yang bersifat universal, serta asas-asas dan konsep
hukum adat atau dalam hal-hal tertentu asas-asas dan konsep hukum Islam. Semua
dielaborasi ke dalam sebuah UU, sehingga terciptalah sebuah UU yang
membahagiakan sebagaimana tujuan bernegara yang dibangun berdasarkan UUD
1945, yakni hukum yang melindungi dan mensejahterakan manusia.
Penggunaan Omnibus Law Menata Regulasi Serta Kedudukannya
Dalam Sistem Hukum Nasional
1. Penggunaan Omnibus Law Menata Regulasi

Berdasarkan penelitian, selama ini metoda yang biasa dilakukan menata regulasi di
Indonesia adalah mengubah UU itu secara berkala satu persatu melalui program
legislasi. Praktek yang biasa dilakukan antara lain adalah mencabut dan/atau
menyatakan tidak berlakunya sebagian atau seluruhnya dari UU. Hal tersebut
misalnya bisa dilihat dalam Pasal 102 UU No. 12 Tahun 2011 yang mengatakan
bahwa disaat UU ini berlaku, UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Sesuai Pasal
24 ayat (1) UUD 1945, perubahan UU juga bisa terjadi melalui Putusan Mahkamah
Agung dan Mahkamah Konstitusi. MA melalui praktek pengadilan dapat mengubah
dan/atau memperbaiki tentang penerapan sebuah UU dalam praktek yang dirasa ada
kekurangan. Namun, dalam hal ini MA tidak dapat secara tegas mengubah pasal
dalam sebuah UU. Hal itu misalnya dapat dilihat dalam putusan MA No.
275K/Pid/1983, 10 Desember 1993, yang membolehkan Jaksa Penuntut Umum
(JPU) mengajukan kasasi terhadap putusan bebas. Seperti dikemukakan di atas
bahwa belakangan ini metode omnibus law dimunculkan untuk membentuk dan
mengubah undang-undang, dalam satu rancangan undang-undang yang subtansinya
lebih dari satu masalah digabung ke dalam satu RUU. Omnibus law digunakan oleh
karena pada tataran inplementatif banyak peraturan yang mengatur hal yang sama,
tidak harmonis, serta tumpangtindih satu dengan yang lain, yang pada akhirnya
menimbulkan banyak persoalan, yakni:

1. Pertumbuhan ekonomi menjadi lambat.


2. Arus investasi terhambat.

3. Gerak pemerintah dalam penyelenggaraan pembangunan menjadi lambat.

4. Ketidakpastian hukum sering terjadi.

5. Tingkat pengangguran masih tinggi.

6. Terjadi pemborosan keuangan negara guna membiayai pembentukan


peraturan perundang-undangan.

7. Korupsi meraja lela.

Yustinus Prastowo mengatakan bahwa dengan omnibus law, pemerintah dan


parlemen tidak perlu merevisi UU satu persatu, melainkan cukup membuat satu
undang-undang baru yang mengandemen pasal- pasal dalam beberapa undang-
undang sekaligus, dalam menata regulasi itu tidak perlu mengubah UU satu persatu,
tetapi cukup dengan satu UU sekaligus. Hal tersebut misalnya dapat dilihat dalam
RUU Cipta Kerja yang mengubah 80 UU dengan 1201 Pasal menjadi satu UU.
Apabila diubah secara satu persatu, tentu akan memakan waktu yang sangat lama
dengan biaya yang sangat besar pula. Melalui dasar pertimbangan hukum RUU
Cipta Kerja tampak tentang arti pentingnya RUU tersebut dipergunakan dalam
menciptakan kebahagiaan Indonesia. UU ini diharapkan dapat memudahkan arus
investasi masuk ke Indonesia sebagai modal untuk membiayai pembangunan
ekonomi. Sebab, investasi yang besar akan menciptakan lapangan pekerjaan yang
banyak. Apalagi dalam pasca pandemic virus corona yang menghancurkan
perekonomian, diperlukan investasi yang besar dalam pemulihan krisis ekonomi
tersebut.

Kedudukan Omnibus Law Dalam Sistem Hukum Nasional

Konstitusi sebagai dokumen formal negara adalah merupakan hukum tertinggi


dalam negara, maka segala bentuk peraturan yang dikeluarkan untuk
melaksanakannya, isinya tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. Hal tersebut
merupakan ketentuan normatif yang harus dipatuhi dalam pembentukan UU bagi
negara yang mengklaim dirinya sebagai negara hukum yang demokratis. Apabila
hal sebagaimana dikemukakan di atas dikaitkan dengan kedudukan UU omnibus
law dalam sistem hukum Indonesia, maka baik proses pembentukannya maupun
isinya tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Sebab, UU omnibus law
tersebut merupakan bagian dari sistem hukum nasional. Hal itu perlu disampaikan,
sebab di tengah masyarakat ada salah pengertian yang beranggapan bahwa UU
omnibus law itu merupakan UU tersendiri. Padahal, seperti dikemukakan dalam
uraian sebelumnya bahwa omnibus law itu hanya merupakan sebuah metode dalam
menata regulasi, dan bukan UU. Hal yang membedakan UU omnibus law tersebut
dengan UU yang lain hanyalah pada proses dan/atau metode pembentukannya,
sedangkan kedudukannya sama dengan UU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (1) UU. No. 12 Tahun 2011. Setelah berbagai ketentuan dalam berbagai UU
disatukan dalam satu UU, maka ketentuan dalam UU yang lama dicabut dan/atau
dinyatakan tidak berlaku. Berdasarkan ketentuan tersebut jelas disebut tentang
ketentuan yang dahulu pernah diatur dalam berbagai UU tersendiri, kemudian
disatukan dalam satu UU, ketentuan tersebut dicabut dan dinyatakan tidak berlaku,
dan yang berlaku adalah ketentuan sebagaimana diatur dalam UU yang baru. Di
Indonesia, hanya ada satu istilah UU yang dibentuk oleh DPR bersama Presiden
sesuai Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 UUD 1945. Oleh karena itu, tahapan
pembentukannya sama dengan UU pada umumnya. Sesuai Pasal 1 angka1 UU. No.
12 Tahun 2011 bahwa tahapan pembentukan UU dilakukan melalui proses
pentahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan,
dan pengundangan. Tahapan penyiapan dimulai dari proses perencanaan, yang
dalam hal ini dimulai penyusunan program legislasi nasional (prolegnas),
penyusunan naskah akademis, dan pengajuan permohonan izin prakarsa kepada
Presiden. Tahap penyusunan dimulai dari proses penyusunan draft awal oleh panitia
intern kementerian (PIK), pembahasan draft di panitia antar Kemeterian (PAK) dan
pembahasan harmonisasi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Tahap
pembahasan di DPR dimulai dari pembahasan tingkat I (komisi, panitia, badan, atau
alat kelengkapan lain di DPR) dan pembahasan tingkat II melalui persetujuan
bersama atas RUU oleh DPR dan Presiden dalam rapat paripurna DPR. Semua
tahapan ini harus dilalui dalam pembentukan UU omnibus law.

Berdasarkan uraaian sebagaimana dikemukakan di atas dapat dikemukakan, bahwa


:

1. Omnibus law ataupun omnibus bill adalah merupakan sebuah metode dalam
membentuk dan mengubah undang-undang, dalam satu rancangan undang-undang
yang subtansinya lebih dari satu masalah digabung ke dalam satu RUU, diajukan
ke legislatif untuk disahkan menjadi UU. UU omnibus law merupakan peraturan
yang bersifat menyeluruh dan konprehensif yang tidak terikat pada satu rezim
pengaturan semata, tetapi di dalamnya tercakup beberapa persoalan yang diatur
dalam satu bentuk aturan. Penggunaan omnibus law dalam mengubah dan
membentuk UU tidak boleh melanggar asas-asas dalam pembentukan peraturan
perundang- undangan. Hal tersebut perlu diperhatikan agar tujuan hukum sebagai
pengayom bisa tercipta.

2. UU omnibus law adalah merupakan bagian dari sistem hukum nasional


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) UU. No. 12 Tahun 2011. Hal yang
membedakannya dengan UU yang lain adalah substansinya yang mengatur
berbagai persoalan dalam satu UU. Setelah masalah tersebut diatur dalam UU
omnibus law, maka ketentuan tersebut dinyatakan tidak berlaku dalam UU yang
lama.
Berdasarkan sebagaimana dikemukakan di atas, disarankan agar :

1. Pengunaan omnibus law dalam menata regulasi harus tetap mengacu kepada
prinsip dasar pembentukan dan perubahan UU.

2. Perlu sosialisasi terhadap kedudukan UU omnibus law dalam sistem hukum


nasional agar tidak salah dalam menafsirkannya.

Bahan Ajar Mata Kuliah Hukum Konstitusi

Sebagaimana dikatakan oleh Sri Soemantri bahwa tidak ada satu negara pun di
dunia sekarang ini yang tidak mempunyai konstitusi atau Undang-Undang Dasar.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa negara dan konstitusi merupakan dua
lembaga yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. hakekat dibentuknya
konstitusi bagi suatu negara adalah untuk melakukan pembatasan kekuasaan. Hal
itu sesuai dengan pendapat Sri Soemantri yang mengatakan bahwa hakikat
dibentuknya konstitusi adalah untuk melakukan pembatasan kekuasaan. Pendapat
Sri Soemantri ini juga sesuai dengan pendapat Bagir Manan, yang mengatakan :

“Hakekat konstitusi tidak lain dari perwujudan paham tentang konstitusi atau
konstitusionalisme yaitu pembatasan terhadap kekuasaan pemerintahan disatu
pihak dan jaminan terhadap hak-hak warga negara maupun setiap penduduk di
pihak lain. Hak-hak ini mencakup hak-hak dasar seperti hak untuk hidup,
mempunyai milik, kesejahteraan (health) dan kebebasan”.

Konstitusi yang diadakan untuk membatasi kekuasaan dalam negara dapat


diketahui dari materi muatan yang selalu ditemukan dalam setiap konstitusi. Sri
Soemantri8, mengemukakan bahwa apabila dipelajari konstitusi-konstitusi yang
ada di dunia ini, di dalamnya selalu dapat ditemukan adanya pengaturan tiga
kelompok materi muatan, yaitu :

1. Adanya pengaturan tentang perlindungan hak asasi manusia dan warganegara;

2. adanya pengaturan tentang susunan ketatanegaraan suatu negara yang


mendasar;

3. adanya pembatasan dan pembagian tugas-tugas ketatanegaraan yang juga


mendasar.

Pengaduan Konstitusional

Dalam negara modern, konsep negara hukum dengan konsep kedaulatan rakyat
adalah merupakan duet integral yang tidak terpisahkan. Perpaduan keduanya
kemudian disebut dengan demokrasi konstitusional. Dikatakan demikian, karena
demokrasi pada hakikatnya berakar pada teori kedaulatan rakyat yang dapat
dirumuskan sebagai wewenang tertinggi yang menentukan segala wewenang yang
ada dalam suatu negara. Demokrasi itu pada hakekatnya adalah kebebasan. Sebagai
kebebasan, agar demokrasi tidak menyimpang dari tujuannya perlu aturan hukum
untuk mewujudkannya. Sehingga, muncul istilah demokrasi konstitusional. Jimly
Asshiddiqie mengatakan bahwa kedaulatan rakyat hendaknya disalurkan dan
dilakukan melalui saluran-saluran yang sah sesuai dengan prosedur demokrasi.
Penyaluran demokrasi melalui prosedur dan saluran-saluran yang sah maksudnya
adalah bahwa demokrasi itu dilakukan melalui prosedur hukum. Demokrasi dan
hukum diibaratkan rel kereta api dengan lokomotif. Kereta api akan terperosok
dan/atau tidak bisa sampai tujuan kalau tidak ada rel yang menuntunnya berjalan.
Begitu juga dengan demokrasi, demokrasi akan terperosok kalau tidak ada hukum
yang menuntunnya. Karena itu, hukum menjadi kaidah penuntun dalam
mewujudkan demokrasi.

Pengaduan konstitusional dapat diberikan pengertian sebagai pengaduan atau


gugatan yang diajukan oleh perorangan atau kelompok ke Mahkamah Konstitusi
terhadap perbuatan (atau kelalain) suatu lembaga publik yang mengakibatkan
terlanggarnya hak- hak dasar atau hak-hak konstitusional orang bersangkutan.
Dengan kata lain, sistem yang berlaku saat ini mengasumsikan pelanggaran
terhadap hak-hak konstitusional warga negara itu terjadi jika pembentuk Undang-
Undang (DPR bersama Presiden) membuat Undang-Undang dan/atau ada
ketentuan Undang-Undang yang ternyata melanggar hak-hak konstitusional warga
negara.

Di Indonesia, hak konstitusional itu dalam UUD 1945 meliputi : Hak atas
kewarganegaraan, Hak atas hidup, Hak untuk mengembangkan diri, Hak atas
kemerdekaan pikiran dan kebebasan memilih, Hak atas informasi, Hak atas kerja
dan penghidupan yang layak, Hak atas kepemilikan dan perumahan, Hak atas
kesehatan dan lingkungan sehat, Hak berkeluarga, Hak atas kepastian hukum dan
keadilan, Hak bebas dari ancaman, diskriminasi, dan kekerasan, Hak atas
perlindungan, Hak memperjuangkan hak, Hak atas pemerintahan.

Hak Menguji Undang-Undang Terhadap UUD 1945 Oleh Mahkamah Konstitusi

1. Gagasan Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka

Sebelum melakukan pembahasan terhadap hak menguji Undang-Undang terhadap


UUD, terlebih dahulu akan dikemukakan tentang gagasan kekuasaan kehakiman
yang merdeka. Sebab, Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu badan pengemban
kekuasaan kehakiman, harus taat dan tunduk pada filosofi kekuasaan kehakiman.
Secara teoritis, kekuasaan kehakiman itu merupakan pilar ketiga dalam satu sistem
kekuasaan negara modern. Dimana, dalam sistem negara modern, cabang
kekuasaan kehakiman atau judiciary ini merupakan cabang yang diorganisasikan
secara tersendiri sebagai salah satu esensi kegiatan bernegara.
Di Indonesia, apa bila UUD 1945 yang asli dibaca ternyata secara tekstual kata
bahwa kekuasaan kehakiman itu merdeka tidak ditemukan. Kata kemerdekaan
kekuasaan kehakiman itu hanya ditemukan di dalam penjelasannya. Dalam
penjelasan disebutkan bahwa : “Kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang
merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan
itu, harus diadakan jaminan dalam undang- undang tentang kedudukan para
hakim.” Pencantuman secara tekstual kemerdekaan kekuasaan kehakiman
ditemukan dalam batang tubuh UUD 1945 setelah dilakukan perubahan. Hal itu
dapat dilihat dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang mengatakan, bahwa :
“Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.

Ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 selanjutnya diimplementasikan ke dalam


setiap Undang- Undang tentang kekuasaan kehakiman, ditambah dengan berbagai
Undang-Undang untuk masing-masing lingkungan badan peradilan. Hal itu
misalnya ditemukan dalam Pasal 1 ke-1 UU.No. 48 Tahun 2009 yang mengatakan,
bahwa :

Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk


menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

Berdasarkan bunyi Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 Jo Pasal 1 ke-1 UU. No. 48 Tahun
2009 tersebut di atas tampak bahwa kekuasaan kehakiman itu adalah untuk
menyelenggarakan peradilan. Dalam menyelenggarakan peradilan itu, ia merdeka.
Gagasan kekuasaan kehakiman yang merdeka ini adalah merupakan perwujudan
konsep negara hukum dalam sistem peradilan Indonesia.

2. Pelaku Kekuasaan Kehakiman Menurut UUD 1945

Sebelum dilakukan perubahan terhadap UUD 1945, pelaku kekuasaan kehakiman


di Indonesia adalah Mahkamah Agung. Tetapi, setelah perubahan dilakukan
terhadap UUD 1945, yakni dengan terbitnya Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 yang
mengatakan, bahwa :

“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan


peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.

Ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 selanjutnya diatur dalam Pasal 18 UU. No.
48 Tahun 2009 yang mengatakan, bahwa :
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan ketentuan di atas, tampak bahwa pelaku kekuasaan kehakiman setelah


perubahan UUD 1945 ada dua badan, yakni : Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi.

3. PengujianUndang-Undang Terhadap UUD 1945 Oleh Mahkamah Konstitusi.

Berbicara tentang pengujian Undang-Undang, baik di dalam kepustakaan maupun


dalam pratek dikenal adanya dua hak menguji, yaitu :

a. hak menguji formeel (formele toetsings recht);

b. hak menguji materiel (materiele toetsings recht)30

Sri Soemantri31 mengemukakan, bahwa :

“Hak menguji formeel adalah wewenang untuk menilai, apakah suatu produk
legislatif seperti Undang-undang misalnya terjelma melalui cara-cara (procedure)
sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-undangan ataukah
tidak”.

Berdasarkan definisi di atas tampak bahwa dalam hak menguji formeel tersebut
yang dinilai adalah prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan.
Misalnya Undang-Undang dibuat dengan cara-cara atau prosedur yang telah
ditetapkan. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan 21 UUD 1945, Undang-
Undang di Indonesia merupakan produk bersama antara DPR dengan Presiden.
Apabila ada suatu peraturan yang dinamakan Undang-Undang, dibentuk tidak
dengan cara-cara sebagaimana diatur dalam pasal-pasal tersebut, hak menguji dapat
dilakukan.

Dengan dilembagakannya Mahkamah Konstitusi sebagai pengemban pengaduan


konstitusional membawa perubahan dalam system ketatanegaraa Indonesia.
Pencantuman masalah hak menguji ke dalam UUD 1945, merupakan
pengejawantahan konsep negara hukum dan demokratisasi dalam kehidupan
bernegara di Indonesia. Konsep negara hukum tidak bisa dipisahkan dari konsep
kedaulatan rakyat. Keduanya merupakan duet integral yang tidak dapat dipisahkan
dalam memberi perlindungan terhadap warga negara dan hak asasi manusia. Dalam
negara hukum, kedaulatan rakyat itu disalurkan dan ditetapkan melalui hukum
(peraturan perundang-undangan). Di samping itu, penyaluran kedaulatan rakyat
tersebut dapat dilakukan melalui Mahkamah Konstitusi. Penyaluran itu dilakukan
apabila ada Undang-Undang yang nyata-nyata merugikan hak konstitusional
seseorang warga negara. Warga negara yang hak konstitusionalnya dirugikan dapat
mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi kalau hal itu menyangkut
Undang-Undang. Pihak yang dapat mengajukan permohonan itu adalah :
perorangan warga negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang- undang, badan hukum
publik atau privat, atau lembaga negara.

Dalam permohonan diuraikan dengan jelas : pembentukan Undang-Undang tidak


memenuhi ketentuan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945; dan /atau, materi muatan dalam ayat, pasal, dan /atau bagian
Undang-Undang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945.

Secara umum pengajuan permohonan dan penyelesaian pengaduan konstitusional


ke Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut : Ditulis dalam Bahasa Indonesia,
Ditandatangani oleh pemohon/kuasanya, Diajukan dalam 12 rangkap, Jenis
perkara, Disertai bukti pendukung.

Khusus untuk perkara Perselisihan Hasil Pemilu diajukan paling lambat 3 x 24 jam
sejak KPU mengumumkan hasil Pemilu.

Pendaftaran : Pemeriksaan kelengkapan permohonan oleh panitera, Registrasi


sesuai dengan perkara, 7 hari kerja sejak registrasi untuk perkara.

Khusus untuk perkara perselisihan hasil Pemilu, paling lambat 3 hari kerja sejak
registrasi Salinan Permohonan disampaikan kepada KPU.

Penjadwalan sidang dilakukan : Dalam 14 hari kerja setelah registrasi ditetapkan


Hari Sidang I ( kecuali perkara perselisihan Pemilu), Para pihak
diberitahu/dipanggil, Diumumkan kepada masyarakat

Pemeriksaan pendahuluan

Sebelum pemeriksaan pokok perkara, memeriksa : Kelengkapan syarat-syarat


Permohonan, Kejelasan materi Permohonan., Memberi nasihat., 14 hari harus
sudah dilengkapi dan diperbaiki.

Pemeriksaan persidangan Terbuka untuk umum, Memeriksa : permohonan dan alat


bukti, Para pihak hadir menghadapi sidang guna memberikan keterangan, Lembaga
negara dapat diminta keterangan. Lembaga negara dimaksud dalam jangka waktu
tujuh hari wajib memberi keterangan yang diminta, Saksi dan/atau ahli memberi
keterangan, Pihak-pihak dapat diwakili kuasa, pendamping kuasa dan orang lain.

Putusan :
Diputus paling lambat dalam tenggang waktu : Untuk perkara pembubaran partai
politik, 60 hari kerja sejak registrasi, Untuk perkara perselisihan pemilu. Sesuai alat
bukti, Alat bukti minimal 2, Memuat : Fakta, Dasar hukum putusan., Cara
mengambil keputusan : Musyawarah mufakat, Setiap hakim menyampaikan
pendapat/pertimbangan tertulis, Diambil suara terbanyak bila tak mufakat, Bila
tidak dapat dicapai suara terbanyak, suara terakhir ketua menentukan.,
Ditandatangai hakim dan panitera., Berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan
dalam sidang terbuka untuk umum., Salinan putusan dikirim kepada para pihak 7
hari kerja sejak diucapkan.

Sebagai catatan, bahwa Mahkamah Konstitusi menyampaikan permohonan yang


sudah dicatat dalam Buku Register Perkara Konstitusi kepada DPR dan Presiden
untuk diketahui, dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak
permohonan dicatat dalam Buku Register Perkara Konstitusi (Pasal 52). Apabila
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemohon dan/atau permohonannya tidak
memenuhi syarat, dalam amar putusan dinyatakan permohonan tidak dapat diterima
(Pasal 56 ayat (1)). Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa
permohonan beralasan, dalam amar putusan dinyatakan permohonan dikabulkan
(Pasal 56 ayat (2)). Selanjutnya, bahwa apabila putusan Mahkamah Konstitusi yang
amar putusannya

menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian Undang-Undang


bertentangan dengan UUD 1945, materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian
Undang-Undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (Pasal 57
ayat (1)). Apabila putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya
menyatakan bahwa pembentukan Undang-Undang dimaksud tidak memenuhi
ketentuan pembentukan Undang-Undang berdasarkan UUD 1945, Undang-
Undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (Pasal 57 ayat (2).
Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan, wajib dimuat
dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh hari) kerja
sejak putusan diucapkan. Putusan itu selanjutnya disampaikan kepada DPR, DPD,
Presiden, dan Mahkamah Agung (Pasal 59).

HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI

Gagasan Judicial Review Dan Kelembagaan Mahkamah Konstitusi

Mekanisme judicial review yang di banyak negara dijalankan oleh MK merupakan


mekanisme untuk membatasi dan mengatasi kelemahan demokrasi tradisional.
Dalam sistem demokrasi konstitusional, penyelenggaraan negara diatur dengan
model pemisahan ataupun pembagian kekuasaan yang dimaksudkan untuk
mencegah terjadinya konsentrasi kekuasaan agar tidak terjadi penyalahgunaan
kekuasaan “Power tends to corrupt, absolut power corrupt absolutely”. Kekuasaan
negara dibagi atas cabang-cabang tertentu menurut jenis kekuasaan dan masing-
masing dipegang dan dijalankan oleh lembaga yang berbeda. Dalam
perkembangnya kelembagaan negara dan pencabangan kekuasaan semakin
kompleks dan tidak dapat lagi dipisahkan secara tegas hanya menjadi legislatif,
eksekutif, dan yudikatif. Kondisi tersebut sangat memungkinkan terjadinya konflik
atau sengketa antar lembaga negara, baik horizontal maupun vertikal yang harus
dibuat mekanisme penyelesaiannya. Di sinilah keberadaan MK diperlukan.
Mengingat permasalahan konstitusional di atas, MK sering dicirikan sebagai
pengadilan politik. Bahkan judicial review secara tradisional dipahami sebagai
tindakan politik untuk menyatakan bahwa suatu ketentuan tidak konstitusional oleh
pengadilan khusus yang berisi para hakim yang dipilih oleh parlemen dan lembaga
politik lain, dan bukan oleh pengadilan biasa yang didominasi oleh hakim yang
memiliki kemampuan teknis hukum.10 Dari sisi hukum, keberadaan MK adalah
konsekuensi dari prinsip supremasi konstitusi yang menurut Hans Kelsen untuk
menjaganya diperlukan pengadilan khusus guna menjamin kesesuaian aturan
hukum yang lebih rendah dengan aturan hukum di atasnya. Pandangan tersebut
merupakan konsekuensi dari dalil hierarki norma hukum yang berpuncak kepada
konstitusi sebagai the supreme law of the land. Hierarki tersebut sekaligus
menempatkan landasan validitas suatu norma hukum adalah norma hukum yang
berada di atasnya demikian seterusnya hingga ke puncak dan sampai pada konstitusi
pertama. Konsekuensi dari supremasi konstitusi tidak hanya terbatas bahwa semua
aturan hukum tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. Supremasi konstitusi
juga mengikat kepada tindakan negara sehingga tidak ada satu pun tindakan negara yang
boleh bertentangan dengan konstitusi. Untuk mengontrol tindakan negara ini, terdapat
mekanisme constitutional complaint yang menjadi salah satu wewenang pokok MK di
berbagai negara.

Latar Belakang Pembentukan Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan lembaga peradilan sebagai salah satu


pelaku kekuasaan kehakiman, di samping Mahkamah Agung (MA), yang dibentuk
melalui Perubahan Ketiga UUD 1945. Ide pembentukan MK di Indonesia muncul
dan menguat di era reformasi pada saat dilakukan perubahan terhadap UUD 1945.
Namun demikian, dari sisi gagasan judicial review sebenarnya telah ada sejak
pembahasan UUD 1945 oleh BPUPKI pada tahun 1945. Pembentukan MK RI dapat
dipahami dari dua sisi, yaitu dari sisi politik dan dari sisi hukum. Dari sisi
politik ketatanegaraan, keberadaan MK diperlukan guna mengimbangi kekuasaan
pembentukan undang- undang yang dimiliki oleh DPR dan Presiden. Hal itu
diperlukan agar undang- undang tidak menjadi legitimasi bagi tirani mayoritas
wakil rakyat di DPR dan Presiden yang dipilih langsung oleh mayoritas rakyat. Di
sisi lain, perubahan ketatanegaraan yang tidak lagi menganut supremasi MPR
menempatkan lembaga- lembaga negara pada posisi yang sederajat. Hal itu
memungkinkan – dan dalam praktik sudah terjadi – muncul sengketa antar lembaga
negara yang memerlukan forum hukum untuk menyelesaikannya. Kelembagaan
paling sesuai adalah Mahkamah Konstitusi. Dari sisi hukum, keberadaan MK
adalah salah satu konsekuensi perubahan dari supremasi MPR menjadi supremasi
konstitusi, prinsip negara kesatuan, prinsip demokrasi, dan prinsip negara hukum.
Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia ialah negara
kesatuan yang berbentuk republik. Negara kesatuan tidak hanya dimaknai sebagai
kesatuan wilayah geografis dan penyelenggaraan pemerintahan. Dengan demikian
konstitusi menjadi penentu bagaimana dan siapa saja yang melaksanakan
kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan negara dengan batas sesuai dengan
wewenang yang diberikan oleh konstitusi itu sendiri. Bahkan, konstitusi juga
menentukan substansi yang harus menjadi orientasi sekaligus sebagai batas
penyelenggaraan negara, yaitu ketentuan tentang hak asasi manusia dan hak
konstitusional warga negara yang perlindungan, pemenuhan, dan pemajuannya
adalah tanggung jawab negara. Agar konstitusi tersebut benar-benar dilaksanakan
dan tidak dilanggar, maka harus dijamin bahwa ketentuan hukum di bawah
konstitusi tidak bertentangan dengan konstitusi itu sendiri dengan memberikan
wewenang pengujian serta membatalkan jika memang ketentuan hukum dimaksud
bertentangan dengan konstitusi. Pengujian ini sangat diperlukan karena aturan
hukum undang-undang itulah yang akan menjadi dasar penyelenggaraan negara.
Salah satu ukuran yang paling mendasar adalah ada atau tidaknya pelanggaran
terhadap hak konstitusional yang ditentukan dalam UUD 1945. Dengan latar
belakang tersebut, MK RI dibentuk melalui Perubahan Ketiga UUD 1945 yang
diatur dalam Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B UUD 1945. Dengan
disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945, tidak dengan sendirinya MK sebagai
organisasi telah terbentuk walaupun dari sisi hukum kelembagaan itu sudah ada.
Untuk mengatasi kekosongan tersebut pada Perubahan Keempat UUD 1945
ditentukan dalam Aturan Peralihan Pasal III bahwa MK paling lambat sudah harus
terbentuk pada 17 Agustus 2003. Sebelum terbentuk, segala kewenangan MK
dilakukan oleh MA.

Kedudukan, fungsi, wewenang dan susunan hakim konstitusi yang dimiliki


oleh Mahkamah Konstitusi

Sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, fungsi konstitusional yang dimiliki oleh MK


adalah fungsi peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Namun fungsi
tersebut belum bersifat spesifik yang berbeda dengan fungsi yang dijalankan oleh
MA. Fungsi MK dapat ditelusuri dari latar belakang pembentukannya, yaitu untuk
menegakkan supremasi konstitusi. Di dalam Penjelasan Umum UU MK disebutkan
bahwa tugas dan fungsi MK adalah menangani perkara ketatanegaraan atau perkara
konstitusional tertentu dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara
bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi.
keberadaan MK juga dimaksudkan sebagai koreksi terhadap pengalaman
ketatanegaraan yang ditimbulkan oleh tafsir ganda atas konstitusi. Fungsi tersebut
dijalankan melalui wewenang yang dimiliki, yaitu memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara tertentu berdasarkan pertimbangan konstitusional. Dengan
sendirinya setiap putusan MK merupakan penafsiran terhadap konstitusi.
Berdasarkan latar belakang ini setidaknya terdapat 5 (lima) fungsi yang melekat
pada keberadaan MK dan dilaksanakan melalui wewenangnya, yaitu sebagai
pengawal konstitusi (the guardian of the constitution), penafsir final konstitusi (the
final interpreter of the constitution), pelindung hak asasi manusia (the protector of
human rights), pelindung hak konstitutional warga negara (the protector of the
citizen’s constitutional rights), dan pelindung demokrasi (the protector of
democracy). Wewenang yang dimiliki oleh MK telah ditentukan dalam Pasal 24C
UUD 1945 pada ayat (1) dan ayat (2) yang dirumuskan sebagai wewenangdan
kewajiban. Wewenang tersebut meliputi: 1. menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar; 2. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang- Undang Dasar; 3. memutus pembubaran
partai politik dan 4. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Sedangkan kewajiban MK adalah memberikan putusan atas pendapat DPR
mengenai dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil
Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

KARAKTERISTIK HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI MK


adalah lembaga yang menyelenggarakan peradilan konstitusi sehingga sering
disebut sebagai Pengadilan Konstitusi (constitutional court). Hukum Acara MK
adalah hukum formil yang berfungsi untuk menegakkan hukum materiilnya, yaitu
bagian dari hukum konstitusi yang menjadi wewenang MK. Hukum acara MK
memiliki karakteristik khusus, karena hukum materiil yang hendak ditegakan tidak
merujuk pada undang- undang atau kitab undang-indang tertentu, melainkan
konstitusi sebagai hukum dasar sistem hukum itu sendiri. Hukum Acara MK
meliputi Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Hukum Acara Perselisihan
Hasil Pemilihan Umum, Hukum Acara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara,
Hukum Acara Pembubaran Partai Politik, dan Hukum Acara Memutus Pendapat
DPR mengenai Dugaan Pelanggaran Hukum Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Asas-Asas Hukum Acara MK

Sebagaimana proses peradilan pada umumnya, di dalam peradilan MK terdapat


asas-asas baik yang bersifat umum untuk semua peradilan maupun yang khusus
sesuai dengan karakteristik peradilan MK. Maruarar Siahaan, salah satu hakim
konstitusi periode pertama, mengemukakan 6 (enam) asas dalam peradilan MK
yaitu:

a. ius curia novit

Asas ius curia novit adalah asas bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk
memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih
bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, sebaliknya hakim3 harus memeriksa dan
mengadilinya. Asas tersebut juga ditegaskan dalam Pasal 16 UU Kekuasaan
Kehakiman. Asas ini berlaku dalam peradilan MK sepanjang masih dalam batas
wewenang MK yang telah diberikan secara limitatif oleh UUD 1945, yaitu
pengujian undang-undang terhadap Undang- Undang Dasar, sengketa kewenangan
konstitusional lembaga negara, pembubaran partai politik, perselisihan tentang
hasil Pemilu, serta pendapat DPR tentang dengan pelanggaran hukum oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden.

b. Persidangan terbuka untuk umum

Asas bahwa persidangan pengadilan dilakukan secara terbuka untuk umum


merupakan asas yang berlaku untuk semua jenis pengadilan, kecuali dalam hal
tertentu yang ditentukan lain oleh undang-undang. Hal ini tertuang di dalam Pasal
13 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, serta juga ditegaskan
dalam Pasal 40 ayat (1) UU MK, bahwa sidang MK terbuka untuk umum, kecuali
rapat permusyawaratan hakim. Persidangan terbuka untuk umum dimaksudkan agar
proses persidangan dapat diikuti oleh publik sehingga hakim dalam memutus
perkara akan objektif berdasarkan alat bukti dan argumentasi yang dikemukakan di
dalam persidangan. Melalui persidangan yang terbuka untuk umum, dapat menilai
dan pada akhirnya menerima putusan hakim.

c. Independen dan imparsial

Untuk dapat memeriksa dan mengadili suatu perkara secara objektif serta memutus
dengan adil, hakim dan lembaga peradilan harus independen dalam arti tidak dapat
diintervensi oleh lembaga dan kepentingan apapun, serta tidak memihak kepada
salah satu pihak yang berperkara atau imparsial. Hal ini berlaku untuk semua
peradilan yang dirumuskan dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 sebagai kekuasaan
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan, yang ditegaskan dalam Pasal 2 UU MK. Sedangkan dalam Pasal 3 UU
Kekuasaan Kehakiman ditegaskan bahwa dalam menjalankan tugas dan fungsinya,
hakim wajib menjaga kemandirian peradilanIndependensi dan imparsialitas
tersebut memiliki tiga dimensi, yaitu dimensi fungsional, struktural atau
kelembagaan, dan personal. Dimensi fungsional mengandung pengertian larangan
terhadap lembaga negara lain dan semua pihak untuk nempengaruhi atau
melakukan intervensi dalam proses memeriksa, mengadili, dan memutus suatu
perkara. Dimensi fungsional itu harus didukung dengan independensi dan
imparsialitas dari dimensi struktural dan personal hakim. Dari sisi struktural,
kelembagaan peradilan juga harus bersifat independen dan imparsial sepanjang
diperlukan agar dalam menjalankan peradilan tidak dapat dipengaruhi atau
diintervensi serta tidak memihak. Sedangkan dari sisi personal, hakim memiliki
kebebasan atas dasar kemampuan yang dimiliki (expertise), pertanggungjawaban,
dan ketaatan kepada kode etik dan pedoman perilaku.

d. Peradilan dilaksanakan secara cepat, sederhana, dan biaya ringan

Prinsip peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan dimaksudkan agar proses
peradilan dan keadilan itu sendiri dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat.
Prinsip ini sangat terkait dengan upaya mewujudkan salah satu unsur negara
hukum, yaitu equality before the law. Prinsip peradilan yang cepat, sederhana dan
biaya ringan ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (4) UU Kekuasaan Kehakiman, Dalam
UU MK sendiri sama sekali tidak disebutkan mengenai biava perkara. Pasal 81A
ayat (3) UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menyatakan bahwa untuk
penyelesaian perkara perdata dan tata usaha negara, biaya kepaniteraan dan biaya
proses penyelesaian perkara dibebankan kepada pihak atau para pihak yang
berperkara

e. Hak untuk didengar secara seimbang (audi et alteram partem)

Dalam peradilan MK, hak untuk didengar secara seimbang, berlaku tidak hanya
untuk pihak-pihak yang saling berhadapan, misalnya partai politik peserta Pemilu
dan KPU dalam perkara perselisihan hasil Pemilu, melainkan juga berlaku untuk
semua pihak yang terkait dan memiliki kepentingan dengan perkara yang sedang
disidangkan. Untuk perkara pengujian undang-undang, selain pemohon pihak
terkait langsung yaitu DPR dan Pemerintah sebagai pembentuk undang-undang
juga memiliki hak untuk didengar keterangannya. Bahkan, pihak terkait lain yang
berkepentingan secara tidak langsung terhadap undang-undang yang sedang diuji
juga akan diberi kesempatan menyampaikan keterangannya.

f. Hakim aktif dalam persidangan

Hakim dapat bertindak aktif dalam persidangan karena hakim dipandang


mengetahui hukum dari suatu perkara. Hal ini juga sesuai dengan asas ius curia
novit, yang juga dapat diterjemahkan bahwa hakim mengetahui hukum dari suatu
perkara. Oleh karena itu pengadilan tidak boleh menolak suatu perkara dengan
alasan tidak ada hukumnya, dan hakim di pengadilan itu dapat aktif dalam
persidangan. Sesuai dengan sifat perkara konstitusi yang selalu lebih banyak
menyangkut kepentingan umum dan tegaknya konstitusi, maka hakim konstitusi
dalam persidangan selalu aktif menggali keterangan dan data baik dari alat bukti,
saksi, ahli, maupun pihak terkait (pemeriksaan inquisitorial), Hakim tidak hanya
berpaku kepada alat bukti dan keterangan yang disampaikan oleh pemohon dan
pihak terkait maupun dari keterangan saksi dan ahli yang diajukan oleh pihak-pihak
tersebut. Hakim konstitusi untuk keperluan memeriksa suatu perkara dapat
memanggil saksi dan/atau ahli sendiri bahkan memerintahkan suatu alat bukti
diajukan ke MK. Hakim konstitusi juga dapat mengundang para pakar yang
didengar keterangannya dalam forum diskusi tertutup.

g. Asas Praduga Keabsahan (praesumtio iustae causa)

Asas praduga keabsahan adalah bahwa tindakan penguasa dianggap sah sesuai
aturan hukum sampai dinyatakan sebaliknya. Berdasarkan asas ini, semua tindakan
penguasa baik berupa produk hukum maupun tindakan konkret harus dianggap sah
sampai ada pembatalan. Perwujudan dari asas ini dalam wewenang MK dapat
dilihat pada kekuatan mengikat putusan MK adalah sejak selesai dibacakan dalam
sidang pleno pengucapan putusan terbuka untuk umum. Sebelum adanya putusan
MK, maka tindakan penguasa yang dimohonkan tetap berlaku dan dapat
dilaksanakan. Hal ini secara khusus dapat dilihat dari wewenang MK memutus
pengujian UU, sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, dan
perselisihan tentang hasil Pemilu. Suatu ketentuan UU yang sedang diuji oleh MK
tetap berlaku dan harus dianggap sah (tidak bertentangan dengan UUD 1945)
sebelum ada putusan MK yang menyatakan ketentuan UU dimaksud bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dalam
perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara juga demikian,
tindakan termohon harus dianggap sah dan tidak bertentangan dengan UUD 1945
sebelum ada putusan MK yang menyatakan sebaliknya. Pada perkara perselisihan
hasil Pemilu, keputusan KPU tentang penetapan hasil Pemilu yang dimohonkan
keberatan oleh peserta Pemilu harus dianggap benar dan dapat dijalankan sebelum
ada putusan MK yang membatalkan keputusan KPU itu.

Sumber Hukum Acara Mahkamah Konstitusi

Dari aspek materiil, untuk mengetahui sumber hukum acara MK harus dilihat dari
mana materi ketentuan hukum acara dimaksud diambil atau hal apa saja yang
mempengaruhi materi hukum acara MK. Dalam konteks hukum nasional, hukum
acara MK tentu bersumber pada nilai-nilai yang diyakini kebenarannya oleh bangsa
Indonesia, yaitu Pancasila. Selain itu yang menentukan materi hukum acara MK
adalah asas-asas hukum terkait dengan penyelenggaraan peradilan yang
disesuaikan dengan karakteristik hukum acara MK dan dijadikan sebagai asas
hukum acara MK. Asas-asas dan materi hukum acara MK tersebut dalam
pembuatannya dipengaruhi oleh teori atau ajaran hukum, terutama teori konstitusi
dan ilmu hukum tata negara. Sedangkan sumber hukum formil hukum acara MK
adalah ketentuan hukum positif yang mengatur hukum acara MK atau paling tidak
terkait dengan hukum acara MK. Ketentuan Pasal 24C ayat (6) UUD 1945
menyatakan bahwa hukum acara merupakan salah satu hal terkait dengan
keberadaan MK yang akan diatur dengan undang-undang. Hukum Acara MK diatur
di dalam UU MK, yaitu pada Bab V mulai dari Pasal 28 hingga Pasal 85. Selain
UU MK, tentu terdapat berbagai ketentuan perundang-undangan lain yang terkait
dengan wewenang MK. Beberapa UU lain yang juga menjadi sumber hukum dalam
proses peradilan MK antara lain :

1. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan


Perundang-Undangan;

3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Beserta


Perubahannya);

4. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan


Umum;

5. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik;

6. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota


DPR, DPD, dan DPRD;

7. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan


Wakil Presiden;

8. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.

Selain UU MK dan PMK, Hukum Acara MK telah berkembang seiring dengan


perkembangan perkara dan putusan MK. Oleh karena itu putusan- putusan MK juga
menjadi dasar untuk mempelajari Hukum Acara MK yang melengkapi atau bahkan
mengubah ketentuan dalam undang- undang dan PMK.

KEKHUSUSAN HUKUM ACARA MK

Sesuai dengan sifat perkara yang termasuk dalam wewenang peradilan MK,
terdapat karakteristik khusus peradilan MK yang berbeda dengan peradilan yang
lain. Karakteristik utama yaitu dasar hukum utama yang digunakan dalam proses
peradilan baik terkait dengan substansi perkara maupun hukum acara adalah
konstitusi itu sendiri, yaitu UUD 1945. Walaupun terdapat berbagai ketentuan
undang-undang dan PMK sebagai dasar memeriksa, mengadili, dan memutus
perkara, namun ketentuan tersebut digunakan sepanjang dinilai tidak bertentangan
dengan UUD 1945. Hal ini tidak terlepas dari sifat wewenang MK yang pada
hakikatnya adalah mengadili perkara-perkara konstitusional. Wewenang MK
memutus pengujian undang-undang, adalah menguji konstitusionalitas suatu
undang-undang. Wewenang memutus sengketa kewenangan lembaga negara pada
hakikatnya adalah memutus kewenangan suatu lembaga negara yang
dipersengketakan konstitusionalitasnya. Wewenang memutus pembubaran partai
politik adalah wewenang memutus konstitusionalitas suatu partai politik. Demikian
pula halnya dengan wewenang memutus pendapat DPR dalam proses pemakzulan
Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pada awalnya terdapat satu wewenang MK yang
dipandang tidak terkait dengan pertanyaan atau isu konstitusi, yaitu memutus
perselisihan tentang hasil Pemilu. UU MK menentukan bahwa wewenang MK
tersebut adalah memutus perselisihan atau perbedaan penghitungan hasil Pemilu
yang terjadi antara peserta Pemilu dengan penyelenggara Pemilu. Namun dalam
perkembangan penanganan perselisihan hasil Pemilu, MK menegaskan bahwa
wewenang tersebut juga meliputi wewenang menguji konstitusionalitas
pelaksanaan Pemilu. Dalam Pertimbangan Hukum Putusan Nomor 062/PHPU.B-
II/2004 mengenai Perselisihan Hasil Pemilu yang diajukan oleh pasangan calon
Presiden dan Wakilnya, MK menyatakan bahwa MK berkewajiban menjaga agar
secara kualitatif Pemilu berlangsung sesuai dengan prinsip langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil.

Pergeseran tersebut dikuatkan dengan Putusan MK Nomor 41/ PHPU.D- VI/2008


mengenai Perselisihan Hasil Pemilukada Provinsi Jawa Timur. Dalam putusan
tersebut MK menegaskan bahwa wewenang memutus PHPU tidak terbatas pada
menilai dan mengadili perselisihan penghitungan hasil, tetapi juga pelanggaran
yang menyebabkan terjadinya perbedaan penghitungan hasil, demi menjaga dan
menegakkan keadilan dan demokrasi yang diatur dalam UUD 1945.

ASPEK-ASPEK UMUM HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI

PERMOHONAN

Seperti lembaga peradilan, mahkamah konstitusi menjalankan wewenang


berdasarkan permohonan yang diterima. Permohonan diajukan secara tertulis dalam
bahasa Indonesia oleh pemohon atau kuasanya kepada Mahkamah konstitusi,
dengan demikian setiap permohonan harus ditandatangani oleh pemohon atau
kuasanya. Didalam permohonan harus diuraikan secara jelas perkara yang
dimohonkan terkait dengan salah satu wewenang Mahkamah Konstitusi.
Permohonan juga harus disertai alat bukti yang medukung permohonan walaupun
tidak menutup kemungkinan pemohon mengajukan bukti tambahan dalam proses
persidangan.

PENDAFTARAN PERMOHONAN DAN PENJADWALAN SIDANG

Permohonan yang diajukan kepada MK diterima oleh petugas penerima


permohonan untuk disampaikan kepada Panitera MK yang akan melakukan
pemeriksaan kelengkapan permohonan. Pemeriksaan kelengkapan permohonan ini
dilakukan oleh Panitera bersifat kelengkapan administratif bukan terhadap
substansi permohonan. Permohonan yang belum lengkap tidak dapat dicatat dalam
Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK), pemohon wajib melengkapi
kekurangan dalam jangka waktu 7 hari sejak pemberitahuan kelengkapan diterima
pemohon. Setelah permohanan dinaggap lengkap dan diregistrasi dalam BRPK,
MK akan menetapkan hari sidang pertama dalam jangka waktu paling lambat 14
hari sejak registrasi, sedangkan sidang pertama dapat dilakukan lebih dari 14 hari.
Setiap permohonan yang diajukan ke MK dapat ditarik kembali sebelum maupun
selama sidang pemeriksaan oleh MK. Pada saat suatu permohonan ditarik kembali,
pemohon dimaksud tidak dapat mengajukan kembali permohonan dimaksud,
kecuali dengan alasan konstitusional yang berbeda.

PERMOHONAN ONLINE

Permohonan online dilakukan melalui sistem informasi yang dikembangkan dalam


laman MK. Namun, pengajuan perkara online dalam penyampaian berkas perkara
tetap dilakukan secara fisik. Permohonan perkara online diatur dalam PMK No.18
Tahun 2009 tentang Pedoman Pengajuan Permohonan Elektronik (Electonic Filing)
dan Pemeriksaan Persidangan Jarak Jauh (Video Conference). Pemohon harus
melakukan registrasi baik secara online maupun offline untuk mendapatkan nama
identifikasi dan kode akses untuk mendapat akses program Sistem Informasi
Manajemen Permohonan Elektronik (SIMPEL). Melalui SIMPEL dapat diajukan
permohonan, alat bukti, penambahan dokumen, serta daftar saksi dan ahli yang
diajukan. Permohonan dianggap diterima apabila permohonan dimaksud sudah
masuk dalam jaringan komputer Kepaniteraan MK. Apabila permohonan dimaksud
telah masuk, Kepaniteraan MK menyampaikan konfirmasi kepada pemohon
dan/atau kuasanya dalam waktu 1 hari setelah dokumen permohonan masuk dalam
SIMPEL. Pemohon atau kuasanya harus menjawab konfirmasi secara tertulis
kepada kepaniteraan MK dalam waktu selambat-lambatnya 3 hari sejak adanya
konfirmasi oleh kepaniteraan MK. Jawaban atas konfirmasi disertai dengan
penyerahan 12 rangkap dokumen asli permohonan, proses pemeriksaan
kelengkapan permohonan pemberitahuan dilakukan melalui email.

PENGGABUNGAN PERKARA

Terhadap beberapa permohonan perkara yang diterima, MK dapat menetapkan


penggabungan perkara, baik dalam pemeriksaan persidangan maupun dalam
putusan. Penggabungan perkara dilakukan melalui ketetapan Mahkamah Konstitusi
apabila terdapat dua perksra atau lebih yang memiliki objek atau substansi
permohonan yang sama. Penggabungan perkara untuk perkara pengujian diatur
dalam PMK No.6/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian
Undang- undang. Penggabungan perkara juga dapat dilakukan sepanjang memiliki
kesamaan jenis perkara dan pokok permohonan atau isu hukum. Untuk perkara
perselisihan hasil pemilu (PHPU) juga dapat dilakukan penggabungan perkara
apabila terkait dengan permasalahan yang sama.

BEBAN PEMBUKTIAN DAN ALAT BUKTI

Didalam UU MK tidak ditentukan secara khusus tentang beban pembuktian ini. UU


MK menyatakan bahwa dalam memutus perkara didasarkan sekurang-kurangnya
dua alat bukti baik yang diajukan oleh pemohon, termohon atau pihak terkait. Tidak
ditentukan siapa yang harus membuktikan sesuatu, oleh karena itu berlaku prinsip
umum hukum acara bahwa barang siapa Mengendalikan sesuatu maka dia wajib
membuktikannya. Ketentuan mengenai pembuktian “bebas yang terbatas” dapat
dijumpai dalam PMK yang mengatur pedoman beracara untuk setiap wewenang
MK. Seperti pasal 18 ayat 1 sampai dengan ayat 3 PMK Nomor 06/PMK/2005
tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang. Untuk
perkara sengketa kewenangan antar lembaga negara, pasal 16 PMK Nomor
08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara Dalam Sengketa Kewenangan
Konstitusional Lembaga Negara. Alat bukti yang diajukan ke peradilan MK harus
dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Alat bukti yang didapatkan atau
diperoleh dengan cara yang bertentangan dengan hukum (illegally obtained
evidence) tidak dapat disahkan oleh hakim konstitusi sebagai alat bukti. Oleh
karena itu selalu

diperiksa cara memperoleh atau mendapatkan alat bukti tersebut. Untuk alat bukti
dari pemohon biasanya dilakukan dalam sidang pendahuluan.

Alat bukti terdapat dalam pasal 36 ayat 1 UU No.24 Tahun 2003 :

a. Surat atau tulisan

Dalam Hukum Acara MK semua kategori bukti tertulis yang berlaku dalam hukum
perdata, pidana, maupun tata usaha negara juga berlaku, bahkan lebih luas sesuai
dengan jenis perkara yang ditangani.

b. Keterangan saksi

Dalam proses peradilan MK, keterangan saksi tentu juga harus didukung dengan
alat bukti lain. Berlaku prinsip satu saksi bukan saksi (unus testis nullus testis).
Keterangan seorang saksi tentu dapat digunakan untuk mendukung suatu peristiwa
jika sesuai dengan alat bukti yang lain.

c. Keterangan ahli

Keterangan ahli sangat diperlukan terutama dalam perkara pengujian Undang-


Undang yang lebih mengedepankan argumentasi dalam memutus perkara. Selain
itu, luasnya cakupan substansi Undang-Undang yang diuji juga mengharuskan
hakim konstitusi memperoleh keterangan ahli yang cukup untuk memutus suatu
perkara pengujian Undang-Undang. Disamping ahli yang diajukan oleh pemohon
pihak terkait pembentuk Undang-Undang dan pihak terkait lain juga dapat
mengajukan ahli dan saksi agar keterangan yang disampaikan dalam persidangan
berimbang. Bahkan, hakim dapat memanggil ahli lain jika diperlukan untuk
didengar keterangannya.

d. Keterangan para pihak

Dalam sengketa kewenangan lembaga negara misalnya, keterangan para pihak


adalah keterangan termohon dan pihak terkait baik terhadap dalil pemohon maupun
tentang suatu fakta dan peristiwa yang terkait dengan perkara dimaksud.
Keterangan pihak terkait dalam perkara pengujian Undang-Undang yang
didengarkan adalah keterangan DPR dan pemerintah sebagai pembentuk Undang-
Undang yang biasanya berisi penolakan terhadap dalil-dalil pemohon, walaupun
tidak berkedudukan sebagai termohon. Selain itu sering juga didengarkan
keterangan pihak terkait lain, baik dari lembaga negara maupun dari organisasi
masyarakat yang terkait dengan substansi Undang-Undang yang sedang diuji.

e. Petunjuk

Penjelasan pasal 36 ayat 1 huruf e UU Nomor 24 Tahun 2003 menyatakan bahwa


petunjuk hanya diperoleh dari keterangan saksi, surat dan alat bukti. Oleh karena
itu petunjuk dalam hal ini adalah sesuatu yang didapatkan oleh hakim dari isi
keterangan saksi, surat, dan alat bukti lain yang saling mendukung atau
berkesesuaian. Untuk memperjelas pengertian petunjuk dapat dilihat pada pasal 188
KUHAP yang mendefinisikan petunjuk sebagai perbuatan, kejadian atau keadaan
yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun
dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan telah terjadi suatu tindak pidana dan
siapa pelakunya. Dengan demikian, penilaian kekuatan petunjuk dilakukan oleh
hakim setelah pemeriksaan persidangan yang berdasarkan keyakinan hakim.

f. Informasi elektronik

Ketentuan pasal 36 ayat 1 huruf f UU No.24 Tahun 2003 menyebutkan salah satu
alat bukti adalah alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan,
diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau serupa dengan itu.
Alat bukti dimaksud secara singkat dapat disebut sebagai informasi elektronik.
Informasi elektronik adalah informasi yang diperoleh dari atau disampaikan melalui
atau disimpan dalam perangkat elektronik. Informasi ini dapat berupa surat atau
bentuk tulisan lain, data komunikasi, angka-angka, suara, gambar, video, atau jenis
informasi dari data lain. Perangkat elektronik yang digunakan dapat berupa laman
(website) atau media perekam lain dalam berbagai bentuk (cakram padat, hard disk,
flash disk, card, dan lain-lain).

JENIS DAN SIFAT PERSIDANGAN

Jenis persidangan dibagi menjadi 4 yaitu Pemeriksaan Pendahuluan, Pemeriksaan


Persidangan, Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) dan Pengucapan Putusan.
Keempat jenis persidangan tersebut memang dapat dilihat sebagai tahapan
persidangan suatu perkara, namun dalam perkara- perkara tertentu dapat terjadi
tidak semua jenis persidangan itu dibutuhkan.

1. Pemeriksaan Pendahuluan

Pemeriksaan pendahuluan merupakan persidangan yang dilakukan untuk


memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan sebelum memasuki
pemeriksaan pokok perkara. Dalam praktiknya, pemeriksaan pendahuluan ini selain
memeriksa kelengkapan administrasi perkara,juga memeriksa dua aspek yang
menentukan keberlanjutan perkara,yaitu apakah pemohon memiliki kualifikasi
untuk mengajukan permohonan dimaksud atau dikenal dengan istilah legal standing
dan apakah perkara yang dimohonkan tersebut merupakan wewenang MK.

2. Pemeriksaan Persidangan

Pemeriksaan persidangan adalah jenis persidangan yang dilakukan untuk


memeriksa permohonan,alat bukti,keterangan termohon (jika ada), keterangan
saksi, keterangan ahli dan keterangan pihak terkait. Untuk kepentingan
pemeriksaan, hakim konstitusi wajib memanggil para pihak terkait untuk dimintai
keterangan secara tertulis kepada Lembaga negara yang terkait dengan
permohonan. Lembaga negara wajib memberi keterangan yang diminta dalam
jangka waktu 7 hari. Pemeriksaan persidangan pada prinsipnya dilakukan oleh
hakin pleno konstitusi, kecuali untuk perkara tertentu berdasarkan keputusan ketua
MK dapat dilakukan oleh panel hakim. Sidang pemeriksaan persidangan dilakukan
secara terbuka, kecuali ditentukan oleh majelis hakim.

3. Rapat Permusyawaratan Hakim

Dalam UU no.24 tahun 2003 terdapat satu ketentuan terkait rapat permusyawaratan
hakim (RPH). Pasal 40 ayat 1 UU no.24 thn 2003 menyatakan bahwa sidang MK
terbuka untuk umum, kecuali rapat permusyawaratan hakim. RPH merupakan salah
satu jenis sidang pleno yang sifatnya tertutup. RPH membahas perkara bersifat
rahasia yang diikuti olrh para hakim konstitusi, panitera dan penggantinya. Dalam
TPH dibahas perkembngan suatu perkara, putusan serta ketetapan yang terkait
dengan suatu perkara. Khusus untuk RPH pengambilan putusan perkara diatur
dalam pasal 45 ayat 4 sampai dengan ayat 10 UU no 24 tahun 2003.

4. Pengucapan Putusan

Sidang pengucapan putusan pada hakikatnya adalah sidang pleno, namun berbeda
dengan sidang pleno pemeriksaan prsidangan. Dalam sidang pleno pengucapan
putusan agendanya adalah hanya pembacaan putusan atau ketetapan MK untuk
suatu perkara yang telah diperiksa dan diadili. Putusan biasanya dibacakan secara
bergantian oleh majelis hakim konstitusi, diawali oleh ketua sidang, dilanjutkan
oleh hakin konstitusi yang lain, dan pada bagian kesimpulan, amar putusan dan
penutup dibacakan oleh ketua sidang lagi. Setiap hakim konstitusi akan
mendapatkan bagian tertentu dari putusan untuk dibacakan secara berurutan,
kecuali hakim konstitusi yang dalam posisi mengajukan pendapat yang berbeda
(dicenting opinion) atau alasan yang berbeda (concurring opinion). Hakim yang
mengajukan dicenting opinion atau concurring opinion membacakan pendapatnya
atau alasannya sendiri setelah ketua sidang membacakan amar putusan. Sidang
pleno pengucapan putusan harus dilakukan secara terbuka untuk umum. Hal ini
keharusan karena apabila diucapkan pada persidangan tertutup akan berakibat
putusan MK tidak sah dan tidak punya kekuatan hukum. Putusan MK memperoleh
kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan pada sidang pleno, pengucapan
putusan terbuka untuk umum. Dengan demikian putusan MK bersifat tetap dan
mengkat sejak pembacaan putusan.

Persidangan Jarak Jauh

Penyelenggaraan persidangan untuk pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan


persidangan telah dapat dilakukan melalui persidangan jarak jauh (video
conference) mekanismenya diatur dalam PMK no.18 tahun 2009 tentang pedoman
pengajuan elektronik (electronic Filing) dan pemeriksaan persidangan jarak jauh
(video Conference ). Pelaksanaan persidangan jarak jauh dilakukan berdasarkan
pemohonan pemohon atau termohon atau kuasanya yang ditujukan pada ketua MK
melalui kepaniteraan MK. Permohonan persidangan jarak jauh harus disampaikan
selambat lambatnya 5 hari kerja sebelum tenggang dan dapat disampaikan secara
langsung, surat elektronik (email), faksimili, surat pos, atau media lain. Terhadap
permohonan ini MK memeriksa dan meeutuskan apa menerima atau menolak atau
menerima dengan perubahan jadwal persidangan. Kepanoteraan mk harus
memberikan jadwal pelaksanaan 12iding yang diputuskan kepada pemohon atau
termohon atau kuasanya terlambat lambatnya 2 hari kerja sebelum pelaksaaan
dimaksud. Pemberitahuan ini sekaligus merupakan panggilan sidang. Untuk
pelaksanaan sidanh jarak jauh, MK sudah menyediakan video conference di
perguruan tinggi. Sarana tersebut dapat dimanfaatkan secara gratis oleh pemohon
atau termohon untuk pelaksanaan persidangan jarak jauh tapi bila terdapat biaya
yang timbul yang berkaitan dengan pihak ketiga ditanggung oleh pemohon atau
termohon yang meminta persidangan tersebut.

Putusan

1. Putusan Provisi dan Putusan Akhir

Dalam hukum acara MK putusan provisi awalnya hanya terdapat dalam perkara
sengketa kewenangan konstitusional Lembaga negara. Pasal 63 UU MK
menyatakan bahwa MK dapat mengeluarkan penetapan yang memerintah kan para
pihak untuk menghentikan pelaksanaan yang dimasalahkan sampai ada putusan
MK. Pada perkembangannya putusan sela juga dikenal sebagai perkara pengujian
UU dan perselisihan hasil pemilu. Dalam proses persidangan perkara tersebut atas
permohonan dari pemohon, MK memberikan putusan sela yang intinya menyatakan
bahwa ketentuan pasal 30 UU KPK mengenai pemberhentian pimpinan KPK yang
jadi terdakwa tidak dapat dilaksanakan terlebih dahulu sebelum ada putusan MK
mengenai pengujian pasal dimaksud. Untuk perkara perselisahan pemilu diatur
dalam PMK no15 thn 2008 pedoman beracara pedoman hasil pemilu kepala daerah
; PMK no. 16 tahun 2009 tentang pedoman beracara dalam perselisihan hasil pemilu
anggota DPR,DPD dan DPRD ; dan PMK no. 17 tahun 2009 tentang pedoman
beracara dalam perselisihan pemilu presiden dan wakilnya. Putusan sela dalam
PMK no. 16 tahun 2009 dan 17 dirtikan sebagai putusan yang dijatuhkan pada
hakim sebelum putusan akhir untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
berkaitan dengan objek yang disengketakan yng hasilnya akan dieprtinmbangkan
dalam putusan akhir.

2. Ultra Petita

Dalam hukum acara, khususnya hukum acara perdata teradapat pndangan yang oleh
beberpa ahli dianggap sebagai prinsip hukum acara, yaitu hakim dilarang memutus
terlebih dari yang dimohonkan (ultra Petita). Ketentuan tersebut berdasarkan pasar
178 ayat 2 dan ayat 3 HIR serta pasal 189 ayat 2 dan 3 RBg. Karena adanya
pandangan tersebut pada saat MK memutuskan membatalkan seluruh UU no 20
tahun 2002 tentang ketenaga listrikan dan membatalkan seluruh UU no 27 tahun
2004 tentang komisi kebenaran dan rekonsiliasi (UU KKR) banyak muncul
tanggapan bahwa MK telah melanggar prinsip Ultra Petita. Namun demikian
berdasarkan karakteristik perkara yang jadi wewenang MK, tidak dapat dikatakan
bahwa larangan Ultra Petita dapat ditetapkan dalam peradilan GMK. Kewenangan
pengujian UU yang diberi oleh MK pada prinsipnya bersifat publik walaupun
pengajuan dapat dilakukan oleh individu yang haknya dirugikan UU. Tentu hakim
konstitusi dapat memutus pasal tertentu saja dari UU tsb yang dibatalkan. Namun
bila pasal tersebut merupakan jantung atau menentukan operasionalisasi
keseluruhan UU, pembatalan pasal tertentu saja akan menimbulkan ketidakpastian
hukum. Misalnya bagaimana implikasi putusan tersebut pada pasal pasal lain yang
bersumber dari pasal yang dibatalkan? Akibatnya pelaksanaan UU tersebut menjadi
sangat rawan dengan UUD 45.

3. Sifat Putusan

Putusan dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:

a. Putusan declaratoir adalah putusan hakim yang menyatakan apa yang menjadi
hukum. Misalnya pada saat hakim memutuskan pihak yang memiliki hak atas suatu
benda atau menyatakan suatu perbuatan sebagai perbuatan melawan hukum.

b. Putusan constitutief adalah putusan yang meniadakan suatu keadaan hukum dan
atau menciptakan suatu keadaan hukum baru.

c. Putusan condemnatoir adalah putusan yang berisi penghukuman tergugat atau


termohon untuk melakukan suatu prestasi. Misalnya, putusan yang menghukum
tergugat membayar sejumlah uang ganti rugi.

Secara umum putusan MK bersifat declaratoir dan constitutief. Putusan MK berisi


pernyataan apa yang menjadi hukumnya dan sekaligus dapat
meniadakankeadaanhukumdanmenciptakankeadaanhukumbaru.

4. Pengambilan Putusan

Putusan diambil dalam rapat permusyawaratan hakim. Dalam proses pengambilan


putusan, setiap hakim konstitusi wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat
tertulis terhadap permohonan. Putusan harus diupayakan semaksimal mungkin
diambil dengan cara musyawarah untuk mufakat. Apabila tidak dapat dicapai
mufakat, musyawarah ditunda sampai RPH berikutnya lalu bila tetap tidak dapat
dicapai mufakat, putusan diambil berdasarkan suara terbanyak.

5. Isi Putusan

Putusan MK dibuat berdasarkan UUD 1945 sesuai dengan alat bukti yang diperiksa
di persidangan dan keyakinan hakim dengan minimal 2 alat buktI. Putusan yang
telah dicapai dalam RPH dapat diucapkan dalam sidang pleno pengucapan putusan
hari itu juga, atau dapat ditunda pada hari lain. Jadwal sidang pengucapan putusan
harus diberitahukan kepada para pihak. Putusan ditandatangani oleh hakim yang
memeriksa, mengadili, dan memutus, serta oleh panitera. MK memberi putusan
Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Putusan MK harus
memuat:

a. kepala putusan berbunyi: “DEMI KEADILAN BERDASARKAN


KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
b. identitas pihak, dalam hal ini terutama adalah identitas pemohon dan termohon
(jika dalam perkara dimaksud terdapat pihak termohon), baik prinsipal maupun
kuasa hukum;

c. ringkasan permohonan;

d. pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan;

e. pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan;

f. amar putusan; dan

g. hari, tanggal putusan, nama hakim konstitusi, dan panitera.

6. Pendapat Berbeda

Pada bagian pertimbangan hukum atas pokok perkara, ditentukan isu hukum yang
harus dipertimbangan dan dijawab yang menentukan amar putusan. Berbagai isu
hukum tersebut diberikan pertimbangan satu-persatu, bahkan terhadap keterangan
saksi dan ahli juga dijawab oleh majelis hakim, baik menyetujui maupun menolak
keterangan itu. Di akhir pertimbangan, dicantumkan kesimpulan(konklusi)
dandilanjutkandengan amar putusan. Pendapat berbeda dari Majelis Hakim dapat
dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:

(1) Dissenting opinion adalah pendapat berbeda dari sisi substansi yang
memengaruhi perbedaan amar putusan.

(2) Concurent opinion adalah pendapat berbeda yang tidak memengaruhi amar
putusan.

7. Kekuatan Hukum Putusan

Putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam


sidang pleno terbuka untuk umum yang merupakan konsekuensi dari sifat putusan
MK yang ditentukan oleh UUD 1945 sebagai final. Dengan demikian MK
merupakan peradilan pertama dan terakhir yang terhadap putusannya tidak dapat
dilakukan upaya hukum. Setelah putusan dibacakan, MK wajib mengirimkan
salinan putusan kepada para pihak dalam jangka waktu paling lambat 7 hari kerja
sejak putusan diucapkan.

Tata cara dan tata tertib persidangan diatur tersendiri di dalam PMK Nomor 19
Tahun 2009 tentang Tata Tertib Persidangan. Tata cara persidangan ditentukan
sebagai berikut:

a. Para pihak, Saksi, dan Ahli yang hadir untuk mengikuti persidangan wajib
mengisi daftar hadir yang disediakan oleh Kepaniteraan Mahkamah.
b. Panitera melaporkan kehadiran para pihak, Saksi, dan Ahli kepada Ketua
Sidang.

c. Ketua Sidang membuka sidang dengan mengetukkan palu tiga kali.

d. Setelah 19iding dibuka, Ketua Sidang mempersilahkan para pihak, Saksi, dan
Ahli untuk memperkenalkan diri masing-masing.

e. Ketua Sidang menjelaskan agenda persidangan.

f. Dalam hal menunda sidang dan mencabut penundaan sidang, Ketua Sidang
mengetukkan palu satu kali.

g. Pada saat sidang pembacaan putusan, sesaat setelah membacakan amar


putusan, Ketua Sidang mengetukkan palu satu kali.

h. Ketua Sidang menutup sidang dengan mengetukkan palu tiga kali.

Para pihak, Saksi, Ahli, dan pengunjung sidang wajib mengenakan pakaian rapi dan
sopan. Khusus untuk advokat harus memakai toga. Anak di bawah umum 12 tahun
dilarang menghadiri persidangan, kecuali untuk kepentingan pemeriksaan
persidangan, atau atas ijin khusus dari Mahkamah. Setiap orang yang berada dalam
ruang sidang harus bersikap tertib, tenang, dan sopan. Para pihak, Saksi, Ahli, dan
pengunjung sidang dilarang:

a. Membawa senjata dan/atau benda-benda lain yang dapat membahayakan atau


mengganggu jalannya persidangan;

b. Membuat gaduh, berlalu-lalang, bersorak-sorai, dan bertepuk tangan di dalam


ruang sidang selama persidangan berlangsung;

c. Mengaktifkan alat komunikasi selama persidanganberlangsung;

d. Membawa peralatan demonstrasi masuk ke ruang sidang;

e. Merusakdan/atau mengganggu fungsi sarana, prasarana, dan/atau


perlengkapan persidangan lainnya;

f. Makan dan minum di ruang sidang selama persidangan berlangsung;

g. Menghina para pihak, Saksi, dan Ahli;

h. Pengunjung dilarang memberikan dukungan, komentar, saran, tanggapan, atau


mengajukan keberatan atas keterangan yang diberikan oleh Saksi atau Ahli selama
persidangan berlangsung;
i. Melakukan perbuatan atau tingkah laku yang dapat mengganggu persidangan
atau merendahkan kehormatan dan martabat hakim konstitusi serta kewibawaan
Mahkamah;

j. Memberikan ungkapan atau pernyataan di dalam persidangan yang isinya


berupa ancaman terhadap independensi Hakim Konstitusi dalam memutus perkara.

METODE PENEMUAN HUKUM dan MACAM-MACAM


PENAFSIRAN HUKUM

1. METODE PENEMUAN HUKUM

Dalam ilmu hukum dan konstitusi, interpretasi atau penafsiran adalah metode
penemuan hukum (rechtsvinding) dalam hal peraturannya ada tetapi tidak jelas
untuk dapat diterapkan pada peristiwanya.Penemuan hukum ihwalnya adalah
berkenaan dengan hal mengkonkretisasikan produk pembentukan hukum.
Penemuan hukum adalah proses kegiatan pengambilan keputusan yuridik konkret
yang secara langsung menimbulkan akibat hukum bagi suatu situasi individual
(putusan- putusan hakim, ketetapan, pembuatan akta oleh notaris dan sebagainya).
Dalam arti tertentu menurut Meuwissen, penemuan hukum adalah pencerminan
pembentukan hukum Ada 2 (dua) teori penemuan hukum, yaitu : (1) penemuan
hukum heteronom; dan (2) penemuan hukum otonom. Penemuan hukum heteronom
terjadi pada saat hakim dalam memutus perkara dan menetapkan hukum
menganggap dirinya terikat pada kaidah-kaidah hukum yang disodorkan dari luar
dirinya. Diandaikan bahwa makna atau isi dari kaidah pada prinsipnya dapat
ditemukan dan ditetapkan secara objektif, atau setidaknya dapat ditetapkan dengan
cara yang sama oleh setiap orang.

Penemuan hukum otonom artinya menunjuk pada kontribusi pemikiran hakim.


Hakim dapat memberikan masukan atau kontribusi melalui metodemetode
interpretasi yang sesuai dengan model penemuan hukum legistik atau melalui
metode-metode interpretasi yang baru seperti metode interpretasi teleologikal dan
evolutif-dinamikal di mana hakim menetapkan apa tujuan, rentang jangkauan atau
fungsi dari suatu kaidah hukum, kepentingankepentingan apa yang hendak
dilindungi oleh kaidah hukum itu, dan apakah kepentingan tersebut benar
terlindungi apabila kaidah hukum itu diterapkan ke dalam suatu kasus konkret
dalam konteks kemasyarakatan yang aktual. Metode interpretasi teleologikal dan
evolutif-dinamikal ini juga memberikan kepada hakim alternatif kemungkinan
untuk menelaah apakah makna yang pada suatu saat secara umum selalu diberikan
pada suatu kaidah hukum tertentu masih sesuai dengan perkembangan aktual
masyarakat7

Penafsiran sebagai suatu metode penemuan hukum secara historis memiliki


relevansi dengan tradisi hermeneutik yang sudah sangat tua usianya.Semula
hermeneutik adalah teori yang menyibukkan diri dengan ihwal menginterpretasi
naskah, karena itu pada permulaan digunakan terutama oleh para teolog, yang
tugasnya memang berurusan dengan naskah-naskah keagamaan. Kemudian cabang
ajaran-ilmu ini juga menarik perhatian para historikus, ahli kesusasteraan dan para
yuris.

2. MACAM MACAM PENAFSIRAN HUKUM

Satjipto Rahardjo mengutip pendapat Fitzgerald mengemukakan, secara garis besar


interpretasi dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu:

a. Interpretasi harfiah;

b. Interpretasi fungsional.

Interpretasi harfiah merupakan interpretasi yang semata-mata menggunakan


kalimat-kalimat dari peraturan sebagai pegangannya. Dengan kata lain, interpretasi
harfiah merupakan interpretasi yang tidak keluar dari litera legis. Interpretasi
fungsional disebut juga dengan interpretasi bebas. Disebut bebas karena penafsiran
ini tidak mengikatkan diri sepenuhnya kepada kalimat dan kata-kata peraturan
(litera legis). Dengan demikian, penafsiran ini mencoba untuk memahami maksud
sebenarnya dari suatu peraturan dengan menggunakan berbagai sumber lain yang
dianggap bisa memberikan kejelasan yang lebih memuaskan.

Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo mengidentifikasikan beberapa metode


interpretasi yang lazimnya digunakan oleh hakim (pengadilan) sebagai berikut: a.
Interpretasi gramatikal atau penafsiran menurut bahasa;

b. Interpretasi teleologis atau sosiologis;

c. interpretasi sistematis atau logis;

d. interpretasi historis;

e. interpretasi komparatif atau perbandingan;

f. interpretasi futuri

1) penafsiran tekstual;

2) penafsiran historis (atau penafsiran orisinal);

3) penafsiran doktrinal;

4) penafsiran prudensial;

5) penafsiran struktural; dan


6) penafsiran etikalstis.

B. PENAFSIRAN KONSTITUSI DALAM PERSPEKTIF HAKIM

Hukum positif nampaknya belum dapat menentukan, bahwa dari sekian banyak
macam metode interpretasi konstitusi yang ada atauberkembang dalam praktik
peradilan di Mahkamah Konstitusi (baik yangdigunakan oleh Pemohon, Termohon,
Pihak Terkait, Saksi, Ahli, maupunHakim Konstitusi), hanya metode interpretasi
konstitusi tertentu saja yangboleh dipilih dan digunakan oleh hakim. Dalam praktik
peradilan, metode interpretasi konstitusi yang satudapat digunakan oleh hakaim
bersama-sama dengan metode penafsirankonstitusi yang lainnya.Tidak ada
keharusan bagi hakim hanya bolehmemilih dan menggunakan satu metode
interpretasi konstitusi tertentu saja,misalnya hanya memilih dan menggunakan
metode penafsiran „originalisme‟yang mendasarkan diri pada original
intent.Hakim dapat menggunakanbeberapa metode interpretasi konstitusi itu secara
bersamaan. Hakim juga memiliki kebebasan untuk memilih dan
menggunakanmetode-metode penafsiran konstitusi mana yang diyakininya
benar.Dengandemikian hakim memiliki kebebasan yang otonom untuk memilih
danmenggunakan metode-metode penafsiran atau interpretasi itu. Prinsip
independensi dan kebebasan hakim, hingga kini tidak ada ketentuan atau aturan
yang mengharuskan hakimhanya menggunakan salah satu metode penafsiran
tertentu saja. Pemilihan dan penggunaan metode interpretasi merupakan otonomi
atau kemerdekaan hakim dalam penemuan hukum. Keleluasaan dan kebebasan
terhadap hakim untuk tidak terpancang hanya pada rumusan-rumusanformal
Undang- Undang.Ketentuan ini juga mengingatkan pada pandanganyang
mengemukakan, agar hakim jangan hanya berfungsi sebagaispreakbuis (corong)
undang-undang saja. Para hakim di lingkungan Mahkamah Konstitusi Indonesia
sayogianya juga memahami isyarat ini. Ijtihad para hakim konstitusi dalamrangka
rechtsvinding hingga sampai pada putusannya merupakan bagiandari amanat
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, bahwa sebagaiperadilan negara,
Mahkamah Konstitusi harus menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila, di samping jugawajib menggali, mengikuti, dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasakeadilan yang hidup di dalam masyarakatnya. Dalam hal
ini hakim sebagai salah satu pengemban hukum praktis harus mampu menemukan,
membaca, menafsirkan dan menerapkan kode- kode hukum dengan baik dan benar.
Sedangkan, dalam penafsiran eksternal proses pembuatan putusan oleh hakim tidak
dapat dilepaskan dari konteks kerangka teoretis, filosofis dan paradigma yang
diyakininya, yang sering sadar atau tidak, dimuati dan tercampur oleh kepentingan-
kepentingan kultural, sosiologis dan politis. Pola penafsiran dalam putusan hakim
MK dalam perkara pengujian undang-undang terhadap Undang- Undang Dasar
merupakan putusan yang menguji konstitusionalitas suatu undang-undang. Dengan
kata lain hakim MK menguji ketentuan suatu undang-undang yang diajukan oleh
pemohon terhadap suatu ketentuan UUD 1945. Dalam proses pengujian ini tentu
memerlukan proses penafsiran hukum baik terhadap ketentuan undang undang yang
diuji maupun penafsiran terhadap ketentuan UUD1945 yang dijadikan sebagai batu
uji. Proses selanjutnya adalah menarik garis untuk melihat kesesuaian atau
pertentangan antara ketentuan yang diuji dengan ketentuan yang dijadikan sebagai
batu uji.

HUKUM ACARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG TERHADAP


UNDANG-UNDANG DASAR

Ruang Lingkup Pengertian Undang-Undang yang Diuji dan Pengujian


Formal dan Materiil

1. Ruang Lingkup Pengertian Undang-Undang yang Diuji

Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945, salah satu
kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah bahwa Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk menguji UU terhadap UUD. Pasal 50 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi mengatur pembatasan terhadap UU yang dapat diuji oleh
Mahkamah Konstitusi, yaitu UU yang diundangkan sebelum perubahan UUD 1945,
Menurut Jimly Asshiddiqie, selain UU, Mahkamah Konstitusi juga berwenang
menguji Perpu, Dalam Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Perpu diatur sebagai peraturan
perundang- undangan yang setingkat dengan UU, Pembatasan dalam pengujian UU
terhadap UUD oleh Mahkamah Konstitusi adalah dalam hal perkara nebis in idem.
Nebis in idem diatur dalam Pasal 60 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi.

2. Pengujian Formil dan Materiil

a. Pengujian Formil (Formele Toetsingscrecht)

Pasal 51 ayat (3) huruf UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
mengatur mengenai pengujian formil, di mana dalam ketentuan tersebut diatur
bahwa Pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa Pembentukan UU tidak
memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945, Jimly Asshiddiqie mengemukakan
bahwa secara umum, yang dapat disebut sebagai pengujian formil (formeele
toetsing) tidak hanya mencakup proses pembentukan UU dalam arti sempit, tetapi
juga mencakup pengujian mengenai aspek bentuk UU, dan pemberlakuan UU. Juga
dijelaskan bahwa pengujian formal biasanya terkait dengan soal-soal prosedural
dan berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang membuatnya.

b. Pengujian Materiil (Materiele Toetsinggrecht)


Pasal 51 ayat (3) huruf b UU Nomor 24 Tahun 2003 tcntang Mahkamah Konstitusi
mengatur mengenai pengujian materiil, dimana dalam ketentuan tersebut diatur
bahwa Pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa materi muatan dalam ayat,
pasal, dan/atau bagian UU dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Jimly
Asshiddiqie berpendapat bahwa pengujian materiil berkaitan dengan kemungkinan
Pertentangan materi suatu peraturan dengan peraturan lain yang lebih tinggi
ataupun menyangkut kekhususan- kekhususan yang dimiliki suatu aturan
dibandingkan dengan norma-norma yang berlaku umum.

B. Kedudukan Hukum Pemohon dan Posisi Pembentuk Undang-Undang dalam


Persidangan

1. Kedudukan Hukum Pemohon (Legal Standing)

Pengertian kedudukan hukum (legal standing) dikemukakan oleh Harjono sebagai


berikut: ”Legal standing adalah keadaan di mana seseorang atau suatu pihak
ditentukan memenuhi syarat dan oleh karena itu mempunyai hak untuk
mengajukan permohonan penyelesaian perselisihan atau sengketa atau perkara di
depan Mahkamah Konstitusi.” Kedudukan hukum (legal standing) mencakup syarat
formal sebagaimana ditentukan dalam UU, dan syarat materiil yaitu kerugian hak
dan/atau kewenangan konstitusional dengan berlakunya UU yang dimohonkan
pengujiannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi, sebagai berikut: a. Pemohon, Pemohon adalah
pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitutionalnya dirugikan
oleh berlakunya undang-undang.

b. Perorangan Warga Negara Indonesia

Dalam Penjelasan Pasal 51 ayat (1) huruf a UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi diatur bahwa: “Yang dimaksud dengan “perorangan”
termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama.”

c. Kesatuan Masyarakat Hukum Adat

Pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat dalam UUD 1945 dan
menyebabkan salah satu syarat formal permohonan pengujian UU adalah kesatuan
masyarakat hukum adat dengan berbagai kualifikasi yang telah diatur dalam UUD,
yaitu:

1) Sepanjang masih hidup

2) Sesuai dengan perkembangan masyrakat

3) Sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam
undang-undang.
d. Badan Hukum Publik atau Privat

Yang penting dalam badan hukum keperdataan adalah badan-badan hukum yang
terjadi atau didirikan atas pernyataan kehendak dari orang perorangan. Yang perlu
mendapat perhatian adalah bahwa badan hukum publik dapat mendirikan suatu
badan hukum keperdataan, misalnya negara mendirikan yayasan, PT negara, atau
daerah otonomi mendirikan bank-bank daerah.

e. Lembaga Negara

Jimly Asshiddiqie mengemukakan bahwa lembaga negara adalah lawan kata


lembaga swasta, lembaga masyarakat (Organisasi Non Pemerintah atau Non
Governmental Organizatios), sehingga lembaga apa saja yang dibentuk bukan
sebagai lembaga masyarakat adalah lembaga negara.

f. Kerugian Hak dan/atau Kewenangan Konstitusional

Dalam Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
diatur bahwa: “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/ atau kewenangan
konstitutionalnya dirugikan oleh berlakunya UU.” Dalam ketentuan tersebut
terdapat istilah hak konstitusional serta kewenangan.

2. Posisi Pembentuk Undang-Undang dalam Persidanganngan konstitusional.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 41 ayat (2) dan Pasal 54 UU Nomor 23 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi tersebut,Mahkamah Konstitusi dapat meminta
keterangan kepada MPR,DPR,DPD,Presiden dan/atau wakil Presiden berkaitan
dengan permohonan pengujian UU yang sedang diperiksa oleh Mahkamah
Konstitusi.

HUKUM ACARA MEMUTUS SENGKETA KEWENANGAN


KONSTITUSIONAL LEMBAGA NEGARA

Lembaga Negara

Dalam konsep hukum tata negara positif (positieve staatsrecht), lembaga negara
merupakan organ negara atau alat-alat perlengkapan negara yang biasanya diatur
atau menjadi materi muatan dalam konstitusi atau undangundang dasar suatu
negara. Dalam kepustakaan hukum ketatanegaraan Indonesia, jenis dan jumlah
lembaga negara menurut UUD 1945 setelah perubahan ada bermacammacam.
Jimly Asshiddiqe mengemukakan, corak dan struktur organisasi negara Indonesia
dewasa ini mengalami dinamika perkembangan yang sangat pesat. Setelah masa
reformasi tahun 1998, banyak sekali lembaga-lembaga dan komisikomisi
independen dibentuk.

Hukum Acara memutus SKLN


Hukum acara atau yang lazim disebut dengan hukum formil menunjuk cara
bagaimana peraturanperaturan hukum materiil dipertahankan dan diselenggarakan.
Hukum acara menunjuk cara bagaimana perkara diselesaikan di muka hakim atau
alat negara lain yang diberi tugas menyelesaikan perselisihan hukum. Dengan
demikian, maka yang dimaksud dengan Hukum Acara Sengketa Kewenangan
Konstitusional Lembaga Negara (SKLN) adalah hukum acara yang mengatur
tentang bagaimana perkara SKLN di Mahkamah Konstitusi itu diselesaikan.
Hukum Acara Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara paling tidak
secara formal bersumber pada ketentuan-ketentuan:

1. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.


2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
3. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006.

Pihak - Pihak yang Bersengketa

Dalam perkara SKLN, pihak-pihak yang berperkara di depan Mahkamah Konstitusi


dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu (1) Pihak Pemohon; dan (2) Pihak
Termohon. Mengenai siapa yang dimaksud dengan Pihak Pemohon dan Pihak
Termohon, Hukum Acara SKLN telah mengaturnya.

HUKUM ACARA PEMBUBARAN PARTAI POLITIK

1. Wewenang Pembubaran Partai Politik

Pada umumnya pengadilan yang berwenang memutus pembubaran partai politik


adalah Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung. Berdasarkan ketentuan di
beberapa negara, pembubaran partai politik lebih banyak merupakan wewenang
Mahkamah Konstitusi. Namun, tidak semua ketentuan yang mengatur Mahkamah
Konstitusi di negara-negara yang memiliki Mahkamah Konstitusi menyebutkan
wewenang memutus pembubaran partai politik. Terdapat dua kemungkinan terkait
hal tersebut. Anggota Harjono menyatakan bahwa yang menjadi wewenang
Mahkamah Konstitusi adalah terkait dengan peraturan, bukan tindakan. Peraturan
tersebutlah yang dapat dimintakan pembatalan dengan alat penguji UUD 1945.544
Namun dalam persidangan berikutnya, pendapat itu telah bergeser. Harjono
menyatakan bahwa wewenang utama Mahkamah Konstitusi adalah menguji
undang-undang dan memutus pertentangan antar lembaga negara. Sedangkan
memutus pembubaran partai politik adalah wewenang tambahan dengan
pemeriksaan yang melibatkan isu fakta, bukan hanya norma.

Pemohon dan Permohonan


Pasal 68 ayat (1) UU MK menentukan bahwa pemohon dalam perkara pembubaran
partai politik adalah pemerintah, yaitu pemerintah pusat. UU MK tidak ditentukan
instansi mana yang mewakili pemerintah pusat tersebut. Berdasarkan Pasal 3 ayat
(1) PMK Nomor 12 Tahun 2008 dinyatakan bahwa Pemohon adalah Pemerintah
yang dapat diwakili oleh Jaksa Agung dan/atau Menteri yang ditugasi oleh
Presiden. Pemberian hak mengajukan permohonan pembubaran partai politik hanya
kepada pemerintah adalah untuk mencegah terjadinya saling menuntut pembubaran
di antara partai politik yang ada. Menurut Jimly Asshiddiqie, apabila hak pengajuan
pembubaran diberikan kepada pihak lain, termasuk partai politik, berarti partai
politik dibenarkan menuntut pembubaran saingannya sendiri. Hal itu harus
dihindarkan karena dalam demokrasi seharusnya sesama partai politik bersaing
secara sehat. Oleh karena itu partai politik tidak boleh diberikan kedudukan sebagai
pemohon dalam perkara pembubaran partai politik.

Partai Politik Yang Dimohonkan Pembubaran Sebagai Termohon

Partai politik yang dapat dimohonkan pembubaran ke MK meliputi baik partai


politik lokal maupun partai politik nasional. Di dalam UU MK tidak disebutkan
kedudukan partai politik yang dimohonkan pembubarannya. Namun dalam PMK
Nomor 12 Tahun 2008 dalam Pasal 3 ayat (2) dinyatakan bahwa Termohon adalah
partai politik yang diwakili oleh pimpinan partai politik yang dimohonkan untuk
dibubarkan.

2. Alasan-Alasan Pembubaran Partai Politik

alasan pengajuan permohonan pembubaran partai politik meliputi:

• Ideologi bertentangan dengan UUD 1945;

• Asas bertentangan dengan UUD 1945;

• Tujuan bertentangan dengan UUD 1945;

• Program bertentangan dengan UUD 1945;

• Kegiatan bertentangan dengan UUD 1945;

• Akibat dari kegiatan yang bertentangan dengan UUD 1945;

• Menganut, mengembangkan, serta menyebarluaskan ajaran


Komunisme/Marxisme – Leninisme; atau

• Pengurus partai politik menggunakan partai politiknya untuk melakukan tindak


pidana kejahatan terhadap keamanan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 107
huruf c, huruf d, atau huruf e Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999.

Proses Persidangan dan Pembuktian


Di dalam UU MK, acara persidangan pembubaran partai politik tidak diatur secara
khusus, sehingga proses pemeriksaan persidangan mengikuti hukum acara
Mahkamah Konstitusi yang meliputi pemeriksaan pendahuluan, pemeriksaan
persidangan, dan putusan. Perkara pembubaran partai politik wajib diputus dalam
jangka waktu selambat-lambatnya 60 hari kerja sejak permohonan diregistrasi.
Batasan waktu ini diperlukan untuk menjamin terselenggaranya prinsip peradilan
yang cepat sehingga cepat pula diperoleh kepastian hukum.

Putusan dan Akibat Hukum Putusan

Amar putusan dapat berupa putusan yang menyatakan permohonan tidak dapat
diterima, permohonan ditolak, atau permohonan dikabulkan. Jika MK berpendapat
bahwa pemohon dan permohonan tidak memenuhi syarat yang diatur dalam Pasal
68 UU MK, amar putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima. Artinya,
sesuai dengan ketentuan Pasal 68 tersebut, masalah subjek dan objek permohonan
harus sesuai. Subjek adalah terkait dengan pemohon yang dalam hal ini harus
mewakili Pemerintah Pusat. Sedangkan objek perkara yang dimohonkan adalah
pembubaran partai politik berdasarkan alasan-alasan antara lain (a) ideologi; (b)
asas; (c) tujuan; (d) program; dan/atau (e) kegiatan yang dianggap bertentangan
dengan UUD 1945.

PERSELISIHAN HASIL PEMILU

PENYELESAIAN PHPU SEBAGAI SENGKETA KONSTITUSIONALITAS


PEMILU

Asas Luber (langsung, umum, bebas, dan rahasia) dan Jurdil (jujur dan adil) adalah
asas pemilu yang ditentukan dalam pasal 22E ayat (1) UUD 1945. MK pada
dasarnya bertekad menegakkan keadilan substantive, sehingga apabila pelaksanaan
Pemilu bermasalah maka MK dapat pula memerintahkan penyelenggara Pemilu
untuk melakukan penghitungan suara ulang atau pemungutan suara ( Pemilu) ulang.
. MK dalam hal sengketa pemilu merupakan lembaga peradilan pada tingkat
pertama dan terakhir mengenai perselisihan hasil pemilu, sehingga memang
berkaitan dengan hal yang bersifat kuantitatif, yaitu selain menyelesaikan sengketa
terkait dengan angka signifikan hasil akhir pemilu juga mahkamah juga mengadili
konstitusionalitas pelaksanaan pemilu. Sehingga terkait dengan perkara yang
bersifat melanggar kualitatif pemilu akan menjadi perhatian (concert) mahkamah
hanya apabila prinsip-prinsip pemilu yang ditentukan dalam pasal 22E ayat (1) dan
ayat (5) UUD 1945 yang dilanggar.

MACAM-MACAM PERSELISIHAN HASIL PEMILU

Sesuai dengan pasal 22E UUD 1945, Pemilu diselenggarakan untuk memilih
anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD, dan memilih Presiden dan Wakil
Presiden. Oleh karena itu dengan adanya perselisihan hasil Pemilu meliputi ketiga
jenis Pemilu tersebut, yaitu pemilu anggota DPR dan DPRD, Pemilu anggota DPD,
serta pemilu presiden dan wakil presiden sebagaimanana diatur pula dalam pasal 74
ayat (2) UU MK.

HUKUM ACARA PHPU

Isi Permohonan

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) UU MK dijelaskan bahwa permohonan


PHPU adalah permintaan yang diajukan secara tertulis kepada MK mengenai
perselisihan tentang hasil Pemilu. Syarat formil tersebut memuat identitas para
pihak. Apabila terdapat kekeliruan dalam mencantumkan para pihak, maka dapat
menyebabkan permohonan melalui error in persona. Kekhilafan tersebut dapat
menyebabkan permohonan tidak dapat diterima. Sedangkan syarat materiil
mengharuskan permohonan tersebut mencantumkan dua hal yaitu, mengenai pokok
persoalan (posita) dan alasan-alasan keberatan terhadap penetapan hasil pemilu
yang bersangkutan dan petitum hukum acara tata usaha Negara terbagi ke dala 2
(dua) bagian.

Para Pihak (subjectum litis)

Terkait dengan para Pemohon dalam persidangan MK (tidak hanya PHPU), tidak
semua orang dan/atau kelompok, serta lembaga negara tertentu dapat mengajukan
diri selaku Pemohon. Mahkamah Konstitusi menjelaskan melalui Pasal 3 ayat (1)
huruf b PMK Nomor 16 Tahun 2009 bahwa yang menjadi pihak dalam perselisihan
hasil Pemilu anggota DPR adalah partai politik peserta Pemilu. Posisi para pihak
untuk memperjuangkan haknya (handelingsbekwaamheid) itu merupakan hal
penting dalam menentukan kedudukan hukumnya. Pihak-pihak yang dianggap
tidak memiliki kepentingan untuk bersengketa (personae miserabiles) dianggap
tidak memiliki kedudukan hukum dalam bersengketa.

Objek Permohonan (objectum litis)

Objectum litis permohonan adalah mengenai keberatan atas penghitungan suara


hasil pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota yang
di tetapan secara nasional oke KPU berdasarkan keputusan komisi pemilihan umum
terkait penetapan dan pengumuman hasil pemilihan umum anggota dewan
perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota secra nasional dalam pemilihan umum.

Pembutian dan Alat buti

Dalam PHPU, alat buti sangat penting dalam memberian keakinan bagi hakim
untuk menentukan kepytusannya. Berdasarkan kententuan pasal 10 PMK 16/2009
alat bukti dalam perselisihannya hasil pemilu terdiri atas; Surat atau tulisan,
KEterangan saksi,KEterangan ahli, Keterangan para pihak, Petunjuk; dan Informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik.

Proses Persidangan dan Pembuktian

Tahapan persidangan di Mahkamah Konstitusi baru akan dimulai setelah


permohonan Pemohon diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, yang
dibuktikan dengan diterbitkannya Akta Penerimaan Berkas Permohonan (APBP),
dan diregistrasi, yang dibuktikan dengan diterbitkannya Akta Registrasi Perkara.
Berdasarkan ketentuan Pasal 74 ayat (3) UU MK, permohonan perselisihan hasil
pemilihan umum hanya dapat diajukan dalam jangka waktu paling lambat 3 x 24
(tiga kali dua puluh empat) jam sejak Komisi Pemilihan Umum mengumumkan
penetapan hasil pemilihan umum secara nasional. Apabila permohonan diajukan
melampaui tenggang waktu sebagaimana ditentukan ketentuan di atas, Panitera
Mahkamah Konstitusi akan menerbitkan Akta Tidak Diregistrasi. Permohonan
diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia sebanyak 12 (dua belas) rangkap
yang ditandatangi oleh Pemohon atau kuasa hukumnya yang mendapatkan surat
kuasa dari Pemohon. Panitera mengirimkan salinan permohonan yang sudah dicatat
dalam BRPK kepada KPU dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja
sejak pemohonan dicatat dalam BRPK disertai permintaan jawaban tertulis KPU
dan bukti-bukti hasil penghitungan suara yang diperselisihkan untuk PHPU
Legislatif. Dalam Persidangan MK, setelah melakukan sidang “perbaikan
permohonan” yang mendekngarkan masukan (nasihat) hakim, kembali dilakukan
persindangan panel yang terkait dengan permohonan tersebut. Pada persidangan
selanjutnya, Mahkamah Konstitusi memperdengarkan permohonan Pemohon yang
dibacakan atau dapat pula Pemohon hanya menyampaikan hal-hal pokok (identitas,
posita, dan petitum) dari permohonannya didalam persidangan. Masing-Masing
pihak didalam persidangan diminta untuk menghadisrkan bukti-bukti terkait
dengan perkara. Persidangan juga memberikan kesempatan bagi para pihak dan
sakti-saksi untuk mentampaikan hal-hal terkait dengan perkara. Misalnya, para
Pemohon, Termohon, dan Pihak Terkait juga diperbolehkan untuk menghadirkan
ahlii yang menguatkan permohonannya.

Putusan Mahkamah

Untuk menentukan putusan, Mahkamah Konstitusi terlebih dahulu melakukan Rapt


Permusyawaratan Haki, (TPH).Rapat Permusyawaratan terebut dilakukan setelah
pemeriksaan persidangan dianggap cukup.RPH harus dihadiri oleh sekurang-
kurangnya 7 (tujuh) hakim konstitusi hang terlebih dahulu mendengarkan hasil
rapat panel hakim. Putusan MK bersifat final, bahkan terhadap perkara PHPU juga
tidak dikenal upaya lain untuk membatalkan putusan MK. Putusan MK dalam
perkara PHPU, sebagaimana juga dengan putusan peradilan perdata, dapat
berbentuk declaratoir dan constitutief. Putusan yang berbentuk declaratoir itu
memberikan kewajiban hukum kepada pihak-pihak. Putusan PHPU pada umumnya
menentukan hasil penghitungan suara menurut fakta-fakta yang ditemukan MK
dalam persidangan. Sehingga ketika MK menentukan perubahan hasil
penghitungan suara usai denngan penghitungan MK. Maka putusan tersebut telah
membentuk keadaan hukum baru. Ketetapam KPU yang menentukan hasil suara
yang berhak memperoleh kursi terkalah diubah oleh putusan MK.

HUKUM ACARA MEMUTUS PENDAPAT DPR DALAM PROSES


PEMBERHENTIAN PRESIDEN DAN/ATAU WAKILPRESIDEN DALAM
MASA JABATANNYA

Pemberhentian Presiden Sebelum Perubahan UUD 1945, terdapat dalam Penjelasan


UUD 1945 tetapi hanya terkait dengan Presiden, sedangkan untuk Wakil Presiden
tidak ada ketentuan dalam Penjelasan UUD 1945. Penjelasan angka VII paragraf
ke-3 UUD 1945 sebelum perubahan. Ketentuan lebih lanjut mengenai persidangan
istimewa diatur dengan Ketetapan MPR Nomor III/MPR/1978 yang menyatakan
bahwa Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya dengan alasan
“Presiden sungguh melanggar haluan negara yang ditetapkan oleh Undang-Undang
Dasar atau oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”.Ketentuan tentang
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya
merupakan hasil Perubahan Keempat UUD 1945 yang diatur dalam Pasal 7A, Pasal
7B serta Pasal 24C ayat (2). Pemberhentian diatur secara khusus untuk
Presidendan/atau Waki lPresiden dengan istilah “dapat diberhentikan dalam
masajabatannya”.

Pengaturan tentang pemberhentian Presidendan/atau Wakil Presiden dalam


Perubahan UUD 1945 merupakan salah satu instrument mewujudkan pemerintahan
presidensiil. Hal itu sesuai dengan salah satu kesepakatan dasar tentang arah
perubahan UUD 1945, yaitu memurnikan dan memperkuat sistem presidensiil.
Salah satu karakteristik sistem presidensiil adalah pemisahan kekuasaan yang
melahirkan hubungan sejajar antaraeksekutif dan parlemen. Hal ini berbeda secara
mendasar dengan system parlementer di mana eksekutif bergantung kepada
parlemen sehingga sewaktu-waktu eksekutif dapat dijatuhkan dan diganti
olehparlemen.

Salah satu ciri utama dalam sistem presidensiil adalah masa jabatan pemerintahan
atau Presiden telah ditentukan (fixedtermofoffice). Hal ini sama sekali berbeda
dengan masa jabatan pemerintahan dalam sistem parlementer yang tidak ditentukan
secara pasti, melainkan bergantung kepada kepercayaan dari parlemen sehingga
dapat sangat singkat ataupun sangat lama. Masa jabatan kaninet akan berakhir pada
saatpemerintahan jatuh karena alasan kebijakan yang dilakukan tidak disetujui atau
dianggap salah oleh parlemen.
Berdasarkan UUD1945, masa jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden telah
ditentukan, yaitu 5 (lima) tahun dan hanya dapat dipilih kembali pada jabatan yang
sama untuk satu kali masajabatan lagi. Pada prinsipnya, dalam masa jabatan 5
(lima) tahun itu kedudukan Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dapat diganggu-
gugat, kecuali dengan alasan yang oleh UUD 1945 ditentukan dapat menjadi
dasarpemberhentian.

Oleh karena itu pemberhentian Presiden dan/atau WakilPresiden merupakan


mekanisme khusus yang tentu diharapkan hanya terjadi pada kasus yang luar biasa,
atau bahkan diharapkan tidak pernah terjadi. Seorang Presiden dan/atau Wakil
Presiden adalah tokoh sentral negara yang tentu saja diharapkan tidak pernah
melakukan pelanggaran hukum. Namun jika pelanggaran itu terjadi, Presiden
dan/atau Wakil Presiden tetap harus bertanggungjawab secara hukum sebagai
wujud prinsip equality before the law. Karena kedudukan yang dimiliki,
pertanggungjawaban tidak dapat dilakukan melalui mekanisme hokum biasa,
melainkan melalui mekanisme khusus yang di dalamnya terdapat proses
impeachment.

Berdasarkan Pasal 7A dan Pasal 7B UUD 1945 dapat diketahui bahwa proses
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden melalui tiga tahapan, yaitu
tahapan di DPR, tahapan di MK, dan tahapan di MPR. Tahapan pertama adalah
tahapan pengusulan yang dilakukan oleh DPR sebagai salah satu pelaksanaan
fungsi pengawasan DPR. Apabila DPR dalam pelaksanaan fungsi pengawasan yang
dimiliki berpendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan
pelanggaran hokum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak
lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, maka DPR dapat
mengajukan usul pemberhentian. Pendapat tentang pelanggaran hukum atau
kondisi Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat tersebut harus
diputus dalam siding paripurna yang dihadiri oleh sekurang- kurangnya 2/3 anggota
DPR dan disetujui 2/3 dari anggota DPR yang hadir. Lembaga yang terkait dalam
proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden pasca perubahan UUD
1945, yaitu :

1. DPR melakukan dua tahapan yaitu pertama, melakukan pendakwaan

(impeachment) untuk disampaikan ke Mahkamah Konstitusi; kedua, meneruskan


usul pemberhentian jika putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti seperti yang didakwakan oleh DPR.

2. Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili dan memutus dakwaan


terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden oleh DPR yang merupakan forum
previligatum dan lebih bersifat sebagai proses yuridis.
3. MPR merupakan lembaga terakhir penentu atas status Presiden dan/ Wakil
Presiden setelah proses DPR dan Mahkamah Konstitusi.

Anda mungkin juga menyukai