Omnibus Law
Pengertian Omnibus Law
omnibus law ataupun omnibus bill adalah merupakan sebuah metode dalam
membentuk dan mengubah undang-undang, dalam satu rancangan undang-undang
yang subtansinya lebih dari satu masalah digabung ke dalam satu RUU, diajukan
ke legislatif untuk disahkan menjadi UU. Berdasarkan pengertian ini, omnibus law
merupakan peraturan yang bersifat menyeluruh dan konprehensif yang tidak terikat
pada satu rezim pengaturan semata, tetapi di dalamnya tercakup beberapa persoalan
yang diatur dalam satu bentuk aturan. Mirza Satria Buana mengatakan bahwa
konsep omnibus law dapat dianggap sebagai UU ‘sapu jagat’ yang dapat digunakan
untuk mengganti beberapa norma hukum dalam beberapa UU. Model membentuk
dan mengubah UU dengan cara Omnibus law ini ditempuh karena dianggap lebih
cepat serta biaya ringan. Omnibus law ini terutama diperuntukkan untuk mengubah
berbagai aturan yang mengatur hal yang sama, tumpang tindih dan tidak harmonis
satu dengan yang lain. Mirza Satria Buana mengatakan bahwa dalam konteks
sejarah dan tradisi hukum common law, omnibus law dapat ditafsirkan sebagai
ikhtiar reformasi perundang-undangan untuk mengubah, menolak dan kemudian
memunculkan norma hukum baru yang bertujuan untuk menegasikan norma-norma
hukum sebelumnya beberapa UU hanya lewat satu UU. Terhadap kelebihan dan
kekurangan omnibus law, penulis lebih cenderung melihat kepada tujuan
dibentuknya UU omnibus law tersebut, tanpa mengabaikan kekurangannya.
Kekurang itu akan dijadikan sebagai bahan koreksi dalam membentuk UU omnibus
law agar tidak menyimpang dari fungsi hukum sebagai pengayom di dalam
masyarakat sebagaimana dikemukakan oleh Bernard Arief Sidharta.
Penggunaan Omnibus Law di Beberapa Negara dan Indonesia
Dahulu di Indonesia, biarpun tidak disebut dengan tegas menggunakan istilah
omnibus law, pemerintahan orde baru pernah mempraktekkannya dalam mengubah
berbagai peraturan perundang- undangan yang pernah dikeluarkan pada
pemerintahan orde lama, karena baik substansi (isinya) maupun proses
pembentukannya, dianggap tidak sesuai dan/atau bertentangan dengan Pancasila
dan UUD 1945. Secara yuridis formal, hal itu dimulai dengan dikumandangkannya
Ketetapan MPR Nomor XIX/1996/MPRS tentang Penindjauan Kembali Produk-
Produk Legislatif Negara di Luar Produk MPRS Jang Tidak Sesuai Dengan
Undang-Undang Dasar 1945. Sesuai Pasal 2 Tap.MPRS No. XIX/MPRS/1966,
tugas itu diberikan kepada Pemerintah dan DPR-GR. Berdasarkan Ketetapan
MPRS ini dikeluarkanlah berturut-turut Undang-Undang, yakni:
1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1968 tentang Pernyataan tidak Berlakunya
Berbagai Penetapan dan Peraturan Presiden.
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan
Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang- Undang.
3. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1969 tentang Pernyataan tidak Berlakunya
Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1969 tentang Penetapan berbagai Peraturan
Perundang-Undangan menjadi Undang-Undang. Hal yang sama juga pernah
dilakukan pada tahun 2003, dengan diterbitkan Ketetapan MPR Nomor
I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan
MPR 1960 sampai Tahun 2002. Ketetapan MPR RI meninjau Ketetapan MPR yang
dikeluarkan sejak Tahun 1960 sampai Tahun 2002, ketetapan mana saja yang masih
berlaku dan mana yang tidak berlaku. Begitu juga dengan Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang berdampak pada 4 Undang-
Undang yang telah ada sebelumnya yaitu mencabut Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah dan Undang-Undang 32 Tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah, beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, dan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Menyimak uraian di atas,
tampak bahwa omnibus law di beberapa negara dunia telah banyak dipraktekkan,
termasuk di Indonesia. Hanya, kalau di Indonesia tidak disebut secara tegas dengan
omnibus law, tetapi modelnya mirip sama. Cara itu ditempuh karena prosesnya
dianggap cepat dan tidak memakan biaya yang besar.
Beberapa Asas Yang Harus Diperhatikan Dalam Menggunakan
Omnibus Law Mengubah dan Membentuk Undang-Undang
Tentang asas-asas dalam pembentukan UU, di dalam Pasal 5 UU. No. 12 Tahun
2011 disebutkan beberapa asas yang harus dipatuhi dalam pembentukan UU, yakni
:
a. Asas Kejelasan Tujuan;
b. Asas Kelembagaan atau Pejabat Pembentuk yang Tepat;
c. Asas Kesesuaian Antara Jenis, Hierarki, dan Materi Muatan;
d. Asas Dapat Dilaksanakan;
e. Asas Kedayagunaan dan Kehasilgunaan;
f. Asas Kejelasan Rumusan;
g. Asas Keterbukaan.
Dalam Pasal 6 UU. No. 12 Tahun 2011 disebut bahwa materi muatan peraturan
perundang-undangan harus mencerminkan :
a. Asas Pengayoman;
b. Asas Kemanusiaan;
c. Asas Kebangsaan;
d. Asas Kekeluargaan;
e. Asas Kenusantaraan;
f. Asas Bhinneka Tunggal Ika;
g. Asas Keadilan;
h. Asas Kesamaan Kedudukan dalam Hukum dan Pemerintahan;
i. Asas Ketertiban dan Kepastian Hukum;
j. Asas Keseimbangan, Keserasian, dan Keselarasan;
Dalam hal ini, bahwa dalam pembentukan UU, disamping memperhatikan asas-asas
yang secara tegas disebutkan dalam UU No. 12 Tahun 2012, juga harus
memperhatikan asas umum yang bersifat universal, serta asas-asas dan konsep
hukum adat atau dalam hal-hal tertentu asas-asas dan konsep hukum Islam. Semua
dielaborasi ke dalam sebuah UU, sehingga terciptalah sebuah UU yang
membahagiakan sebagaimana tujuan bernegara yang dibangun berdasarkan UUD
1945, yakni hukum yang melindungi dan mensejahterakan manusia.
Penggunaan Omnibus Law Menata Regulasi Serta Kedudukannya
Dalam Sistem Hukum Nasional
1. Penggunaan Omnibus Law Menata Regulasi
Berdasarkan penelitian, selama ini metoda yang biasa dilakukan menata regulasi di
Indonesia adalah mengubah UU itu secara berkala satu persatu melalui program
legislasi. Praktek yang biasa dilakukan antara lain adalah mencabut dan/atau
menyatakan tidak berlakunya sebagian atau seluruhnya dari UU. Hal tersebut
misalnya bisa dilihat dalam Pasal 102 UU No. 12 Tahun 2011 yang mengatakan
bahwa disaat UU ini berlaku, UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Sesuai Pasal
24 ayat (1) UUD 1945, perubahan UU juga bisa terjadi melalui Putusan Mahkamah
Agung dan Mahkamah Konstitusi. MA melalui praktek pengadilan dapat mengubah
dan/atau memperbaiki tentang penerapan sebuah UU dalam praktek yang dirasa ada
kekurangan. Namun, dalam hal ini MA tidak dapat secara tegas mengubah pasal
dalam sebuah UU. Hal itu misalnya dapat dilihat dalam putusan MA No.
275K/Pid/1983, 10 Desember 1993, yang membolehkan Jaksa Penuntut Umum
(JPU) mengajukan kasasi terhadap putusan bebas. Seperti dikemukakan di atas
bahwa belakangan ini metode omnibus law dimunculkan untuk membentuk dan
mengubah undang-undang, dalam satu rancangan undang-undang yang subtansinya
lebih dari satu masalah digabung ke dalam satu RUU. Omnibus law digunakan oleh
karena pada tataran inplementatif banyak peraturan yang mengatur hal yang sama,
tidak harmonis, serta tumpangtindih satu dengan yang lain, yang pada akhirnya
menimbulkan banyak persoalan, yakni:
1. Omnibus law ataupun omnibus bill adalah merupakan sebuah metode dalam
membentuk dan mengubah undang-undang, dalam satu rancangan undang-undang
yang subtansinya lebih dari satu masalah digabung ke dalam satu RUU, diajukan
ke legislatif untuk disahkan menjadi UU. UU omnibus law merupakan peraturan
yang bersifat menyeluruh dan konprehensif yang tidak terikat pada satu rezim
pengaturan semata, tetapi di dalamnya tercakup beberapa persoalan yang diatur
dalam satu bentuk aturan. Penggunaan omnibus law dalam mengubah dan
membentuk UU tidak boleh melanggar asas-asas dalam pembentukan peraturan
perundang- undangan. Hal tersebut perlu diperhatikan agar tujuan hukum sebagai
pengayom bisa tercipta.
1. Pengunaan omnibus law dalam menata regulasi harus tetap mengacu kepada
prinsip dasar pembentukan dan perubahan UU.
Sebagaimana dikatakan oleh Sri Soemantri bahwa tidak ada satu negara pun di
dunia sekarang ini yang tidak mempunyai konstitusi atau Undang-Undang Dasar.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa negara dan konstitusi merupakan dua
lembaga yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. hakekat dibentuknya
konstitusi bagi suatu negara adalah untuk melakukan pembatasan kekuasaan. Hal
itu sesuai dengan pendapat Sri Soemantri yang mengatakan bahwa hakikat
dibentuknya konstitusi adalah untuk melakukan pembatasan kekuasaan. Pendapat
Sri Soemantri ini juga sesuai dengan pendapat Bagir Manan, yang mengatakan :
“Hakekat konstitusi tidak lain dari perwujudan paham tentang konstitusi atau
konstitusionalisme yaitu pembatasan terhadap kekuasaan pemerintahan disatu
pihak dan jaminan terhadap hak-hak warga negara maupun setiap penduduk di
pihak lain. Hak-hak ini mencakup hak-hak dasar seperti hak untuk hidup,
mempunyai milik, kesejahteraan (health) dan kebebasan”.
Pengaduan Konstitusional
Dalam negara modern, konsep negara hukum dengan konsep kedaulatan rakyat
adalah merupakan duet integral yang tidak terpisahkan. Perpaduan keduanya
kemudian disebut dengan demokrasi konstitusional. Dikatakan demikian, karena
demokrasi pada hakikatnya berakar pada teori kedaulatan rakyat yang dapat
dirumuskan sebagai wewenang tertinggi yang menentukan segala wewenang yang
ada dalam suatu negara. Demokrasi itu pada hakekatnya adalah kebebasan. Sebagai
kebebasan, agar demokrasi tidak menyimpang dari tujuannya perlu aturan hukum
untuk mewujudkannya. Sehingga, muncul istilah demokrasi konstitusional. Jimly
Asshiddiqie mengatakan bahwa kedaulatan rakyat hendaknya disalurkan dan
dilakukan melalui saluran-saluran yang sah sesuai dengan prosedur demokrasi.
Penyaluran demokrasi melalui prosedur dan saluran-saluran yang sah maksudnya
adalah bahwa demokrasi itu dilakukan melalui prosedur hukum. Demokrasi dan
hukum diibaratkan rel kereta api dengan lokomotif. Kereta api akan terperosok
dan/atau tidak bisa sampai tujuan kalau tidak ada rel yang menuntunnya berjalan.
Begitu juga dengan demokrasi, demokrasi akan terperosok kalau tidak ada hukum
yang menuntunnya. Karena itu, hukum menjadi kaidah penuntun dalam
mewujudkan demokrasi.
Di Indonesia, hak konstitusional itu dalam UUD 1945 meliputi : Hak atas
kewarganegaraan, Hak atas hidup, Hak untuk mengembangkan diri, Hak atas
kemerdekaan pikiran dan kebebasan memilih, Hak atas informasi, Hak atas kerja
dan penghidupan yang layak, Hak atas kepemilikan dan perumahan, Hak atas
kesehatan dan lingkungan sehat, Hak berkeluarga, Hak atas kepastian hukum dan
keadilan, Hak bebas dari ancaman, diskriminasi, dan kekerasan, Hak atas
perlindungan, Hak memperjuangkan hak, Hak atas pemerintahan.
Berdasarkan bunyi Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 Jo Pasal 1 ke-1 UU. No. 48 Tahun
2009 tersebut di atas tampak bahwa kekuasaan kehakiman itu adalah untuk
menyelenggarakan peradilan. Dalam menyelenggarakan peradilan itu, ia merdeka.
Gagasan kekuasaan kehakiman yang merdeka ini adalah merupakan perwujudan
konsep negara hukum dalam sistem peradilan Indonesia.
Ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 selanjutnya diatur dalam Pasal 18 UU. No.
48 Tahun 2009 yang mengatakan, bahwa :
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
“Hak menguji formeel adalah wewenang untuk menilai, apakah suatu produk
legislatif seperti Undang-undang misalnya terjelma melalui cara-cara (procedure)
sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-undangan ataukah
tidak”.
Berdasarkan definisi di atas tampak bahwa dalam hak menguji formeel tersebut
yang dinilai adalah prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan.
Misalnya Undang-Undang dibuat dengan cara-cara atau prosedur yang telah
ditetapkan. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan 21 UUD 1945, Undang-
Undang di Indonesia merupakan produk bersama antara DPR dengan Presiden.
Apabila ada suatu peraturan yang dinamakan Undang-Undang, dibentuk tidak
dengan cara-cara sebagaimana diatur dalam pasal-pasal tersebut, hak menguji dapat
dilakukan.
Khusus untuk perkara Perselisihan Hasil Pemilu diajukan paling lambat 3 x 24 jam
sejak KPU mengumumkan hasil Pemilu.
Khusus untuk perkara perselisihan hasil Pemilu, paling lambat 3 hari kerja sejak
registrasi Salinan Permohonan disampaikan kepada KPU.
Pemeriksaan pendahuluan
Putusan :
Diputus paling lambat dalam tenggang waktu : Untuk perkara pembubaran partai
politik, 60 hari kerja sejak registrasi, Untuk perkara perselisihan pemilu. Sesuai alat
bukti, Alat bukti minimal 2, Memuat : Fakta, Dasar hukum putusan., Cara
mengambil keputusan : Musyawarah mufakat, Setiap hakim menyampaikan
pendapat/pertimbangan tertulis, Diambil suara terbanyak bila tak mufakat, Bila
tidak dapat dicapai suara terbanyak, suara terakhir ketua menentukan.,
Ditandatangai hakim dan panitera., Berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan
dalam sidang terbuka untuk umum., Salinan putusan dikirim kepada para pihak 7
hari kerja sejak diucapkan.
Asas ius curia novit adalah asas bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk
memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih
bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, sebaliknya hakim3 harus memeriksa dan
mengadilinya. Asas tersebut juga ditegaskan dalam Pasal 16 UU Kekuasaan
Kehakiman. Asas ini berlaku dalam peradilan MK sepanjang masih dalam batas
wewenang MK yang telah diberikan secara limitatif oleh UUD 1945, yaitu
pengujian undang-undang terhadap Undang- Undang Dasar, sengketa kewenangan
konstitusional lembaga negara, pembubaran partai politik, perselisihan tentang
hasil Pemilu, serta pendapat DPR tentang dengan pelanggaran hukum oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden.
Untuk dapat memeriksa dan mengadili suatu perkara secara objektif serta memutus
dengan adil, hakim dan lembaga peradilan harus independen dalam arti tidak dapat
diintervensi oleh lembaga dan kepentingan apapun, serta tidak memihak kepada
salah satu pihak yang berperkara atau imparsial. Hal ini berlaku untuk semua
peradilan yang dirumuskan dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 sebagai kekuasaan
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan, yang ditegaskan dalam Pasal 2 UU MK. Sedangkan dalam Pasal 3 UU
Kekuasaan Kehakiman ditegaskan bahwa dalam menjalankan tugas dan fungsinya,
hakim wajib menjaga kemandirian peradilanIndependensi dan imparsialitas
tersebut memiliki tiga dimensi, yaitu dimensi fungsional, struktural atau
kelembagaan, dan personal. Dimensi fungsional mengandung pengertian larangan
terhadap lembaga negara lain dan semua pihak untuk nempengaruhi atau
melakukan intervensi dalam proses memeriksa, mengadili, dan memutus suatu
perkara. Dimensi fungsional itu harus didukung dengan independensi dan
imparsialitas dari dimensi struktural dan personal hakim. Dari sisi struktural,
kelembagaan peradilan juga harus bersifat independen dan imparsial sepanjang
diperlukan agar dalam menjalankan peradilan tidak dapat dipengaruhi atau
diintervensi serta tidak memihak. Sedangkan dari sisi personal, hakim memiliki
kebebasan atas dasar kemampuan yang dimiliki (expertise), pertanggungjawaban,
dan ketaatan kepada kode etik dan pedoman perilaku.
Prinsip peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan dimaksudkan agar proses
peradilan dan keadilan itu sendiri dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat.
Prinsip ini sangat terkait dengan upaya mewujudkan salah satu unsur negara
hukum, yaitu equality before the law. Prinsip peradilan yang cepat, sederhana dan
biaya ringan ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (4) UU Kekuasaan Kehakiman, Dalam
UU MK sendiri sama sekali tidak disebutkan mengenai biava perkara. Pasal 81A
ayat (3) UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menyatakan bahwa untuk
penyelesaian perkara perdata dan tata usaha negara, biaya kepaniteraan dan biaya
proses penyelesaian perkara dibebankan kepada pihak atau para pihak yang
berperkara
Dalam peradilan MK, hak untuk didengar secara seimbang, berlaku tidak hanya
untuk pihak-pihak yang saling berhadapan, misalnya partai politik peserta Pemilu
dan KPU dalam perkara perselisihan hasil Pemilu, melainkan juga berlaku untuk
semua pihak yang terkait dan memiliki kepentingan dengan perkara yang sedang
disidangkan. Untuk perkara pengujian undang-undang, selain pemohon pihak
terkait langsung yaitu DPR dan Pemerintah sebagai pembentuk undang-undang
juga memiliki hak untuk didengar keterangannya. Bahkan, pihak terkait lain yang
berkepentingan secara tidak langsung terhadap undang-undang yang sedang diuji
juga akan diberi kesempatan menyampaikan keterangannya.
Asas praduga keabsahan adalah bahwa tindakan penguasa dianggap sah sesuai
aturan hukum sampai dinyatakan sebaliknya. Berdasarkan asas ini, semua tindakan
penguasa baik berupa produk hukum maupun tindakan konkret harus dianggap sah
sampai ada pembatalan. Perwujudan dari asas ini dalam wewenang MK dapat
dilihat pada kekuatan mengikat putusan MK adalah sejak selesai dibacakan dalam
sidang pleno pengucapan putusan terbuka untuk umum. Sebelum adanya putusan
MK, maka tindakan penguasa yang dimohonkan tetap berlaku dan dapat
dilaksanakan. Hal ini secara khusus dapat dilihat dari wewenang MK memutus
pengujian UU, sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, dan
perselisihan tentang hasil Pemilu. Suatu ketentuan UU yang sedang diuji oleh MK
tetap berlaku dan harus dianggap sah (tidak bertentangan dengan UUD 1945)
sebelum ada putusan MK yang menyatakan ketentuan UU dimaksud bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dalam
perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara juga demikian,
tindakan termohon harus dianggap sah dan tidak bertentangan dengan UUD 1945
sebelum ada putusan MK yang menyatakan sebaliknya. Pada perkara perselisihan
hasil Pemilu, keputusan KPU tentang penetapan hasil Pemilu yang dimohonkan
keberatan oleh peserta Pemilu harus dianggap benar dan dapat dijalankan sebelum
ada putusan MK yang membatalkan keputusan KPU itu.
Dari aspek materiil, untuk mengetahui sumber hukum acara MK harus dilihat dari
mana materi ketentuan hukum acara dimaksud diambil atau hal apa saja yang
mempengaruhi materi hukum acara MK. Dalam konteks hukum nasional, hukum
acara MK tentu bersumber pada nilai-nilai yang diyakini kebenarannya oleh bangsa
Indonesia, yaitu Pancasila. Selain itu yang menentukan materi hukum acara MK
adalah asas-asas hukum terkait dengan penyelenggaraan peradilan yang
disesuaikan dengan karakteristik hukum acara MK dan dijadikan sebagai asas
hukum acara MK. Asas-asas dan materi hukum acara MK tersebut dalam
pembuatannya dipengaruhi oleh teori atau ajaran hukum, terutama teori konstitusi
dan ilmu hukum tata negara. Sedangkan sumber hukum formil hukum acara MK
adalah ketentuan hukum positif yang mengatur hukum acara MK atau paling tidak
terkait dengan hukum acara MK. Ketentuan Pasal 24C ayat (6) UUD 1945
menyatakan bahwa hukum acara merupakan salah satu hal terkait dengan
keberadaan MK yang akan diatur dengan undang-undang. Hukum Acara MK diatur
di dalam UU MK, yaitu pada Bab V mulai dari Pasal 28 hingga Pasal 85. Selain
UU MK, tentu terdapat berbagai ketentuan perundang-undangan lain yang terkait
dengan wewenang MK. Beberapa UU lain yang juga menjadi sumber hukum dalam
proses peradilan MK antara lain :
8. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Sesuai dengan sifat perkara yang termasuk dalam wewenang peradilan MK,
terdapat karakteristik khusus peradilan MK yang berbeda dengan peradilan yang
lain. Karakteristik utama yaitu dasar hukum utama yang digunakan dalam proses
peradilan baik terkait dengan substansi perkara maupun hukum acara adalah
konstitusi itu sendiri, yaitu UUD 1945. Walaupun terdapat berbagai ketentuan
undang-undang dan PMK sebagai dasar memeriksa, mengadili, dan memutus
perkara, namun ketentuan tersebut digunakan sepanjang dinilai tidak bertentangan
dengan UUD 1945. Hal ini tidak terlepas dari sifat wewenang MK yang pada
hakikatnya adalah mengadili perkara-perkara konstitusional. Wewenang MK
memutus pengujian undang-undang, adalah menguji konstitusionalitas suatu
undang-undang. Wewenang memutus sengketa kewenangan lembaga negara pada
hakikatnya adalah memutus kewenangan suatu lembaga negara yang
dipersengketakan konstitusionalitasnya. Wewenang memutus pembubaran partai
politik adalah wewenang memutus konstitusionalitas suatu partai politik. Demikian
pula halnya dengan wewenang memutus pendapat DPR dalam proses pemakzulan
Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pada awalnya terdapat satu wewenang MK yang
dipandang tidak terkait dengan pertanyaan atau isu konstitusi, yaitu memutus
perselisihan tentang hasil Pemilu. UU MK menentukan bahwa wewenang MK
tersebut adalah memutus perselisihan atau perbedaan penghitungan hasil Pemilu
yang terjadi antara peserta Pemilu dengan penyelenggara Pemilu. Namun dalam
perkembangan penanganan perselisihan hasil Pemilu, MK menegaskan bahwa
wewenang tersebut juga meliputi wewenang menguji konstitusionalitas
pelaksanaan Pemilu. Dalam Pertimbangan Hukum Putusan Nomor 062/PHPU.B-
II/2004 mengenai Perselisihan Hasil Pemilu yang diajukan oleh pasangan calon
Presiden dan Wakilnya, MK menyatakan bahwa MK berkewajiban menjaga agar
secara kualitatif Pemilu berlangsung sesuai dengan prinsip langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil.
PERMOHONAN
PERMOHONAN ONLINE
PENGGABUNGAN PERKARA
diperiksa cara memperoleh atau mendapatkan alat bukti tersebut. Untuk alat bukti
dari pemohon biasanya dilakukan dalam sidang pendahuluan.
Dalam Hukum Acara MK semua kategori bukti tertulis yang berlaku dalam hukum
perdata, pidana, maupun tata usaha negara juga berlaku, bahkan lebih luas sesuai
dengan jenis perkara yang ditangani.
b. Keterangan saksi
Dalam proses peradilan MK, keterangan saksi tentu juga harus didukung dengan
alat bukti lain. Berlaku prinsip satu saksi bukan saksi (unus testis nullus testis).
Keterangan seorang saksi tentu dapat digunakan untuk mendukung suatu peristiwa
jika sesuai dengan alat bukti yang lain.
c. Keterangan ahli
e. Petunjuk
f. Informasi elektronik
Ketentuan pasal 36 ayat 1 huruf f UU No.24 Tahun 2003 menyebutkan salah satu
alat bukti adalah alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan,
diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau serupa dengan itu.
Alat bukti dimaksud secara singkat dapat disebut sebagai informasi elektronik.
Informasi elektronik adalah informasi yang diperoleh dari atau disampaikan melalui
atau disimpan dalam perangkat elektronik. Informasi ini dapat berupa surat atau
bentuk tulisan lain, data komunikasi, angka-angka, suara, gambar, video, atau jenis
informasi dari data lain. Perangkat elektronik yang digunakan dapat berupa laman
(website) atau media perekam lain dalam berbagai bentuk (cakram padat, hard disk,
flash disk, card, dan lain-lain).
1. Pemeriksaan Pendahuluan
2. Pemeriksaan Persidangan
Dalam UU no.24 tahun 2003 terdapat satu ketentuan terkait rapat permusyawaratan
hakim (RPH). Pasal 40 ayat 1 UU no.24 thn 2003 menyatakan bahwa sidang MK
terbuka untuk umum, kecuali rapat permusyawaratan hakim. RPH merupakan salah
satu jenis sidang pleno yang sifatnya tertutup. RPH membahas perkara bersifat
rahasia yang diikuti olrh para hakim konstitusi, panitera dan penggantinya. Dalam
TPH dibahas perkembngan suatu perkara, putusan serta ketetapan yang terkait
dengan suatu perkara. Khusus untuk RPH pengambilan putusan perkara diatur
dalam pasal 45 ayat 4 sampai dengan ayat 10 UU no 24 tahun 2003.
4. Pengucapan Putusan
Sidang pengucapan putusan pada hakikatnya adalah sidang pleno, namun berbeda
dengan sidang pleno pemeriksaan prsidangan. Dalam sidang pleno pengucapan
putusan agendanya adalah hanya pembacaan putusan atau ketetapan MK untuk
suatu perkara yang telah diperiksa dan diadili. Putusan biasanya dibacakan secara
bergantian oleh majelis hakim konstitusi, diawali oleh ketua sidang, dilanjutkan
oleh hakin konstitusi yang lain, dan pada bagian kesimpulan, amar putusan dan
penutup dibacakan oleh ketua sidang lagi. Setiap hakim konstitusi akan
mendapatkan bagian tertentu dari putusan untuk dibacakan secara berurutan,
kecuali hakim konstitusi yang dalam posisi mengajukan pendapat yang berbeda
(dicenting opinion) atau alasan yang berbeda (concurring opinion). Hakim yang
mengajukan dicenting opinion atau concurring opinion membacakan pendapatnya
atau alasannya sendiri setelah ketua sidang membacakan amar putusan. Sidang
pleno pengucapan putusan harus dilakukan secara terbuka untuk umum. Hal ini
keharusan karena apabila diucapkan pada persidangan tertutup akan berakibat
putusan MK tidak sah dan tidak punya kekuatan hukum. Putusan MK memperoleh
kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan pada sidang pleno, pengucapan
putusan terbuka untuk umum. Dengan demikian putusan MK bersifat tetap dan
mengkat sejak pembacaan putusan.
Putusan
Dalam hukum acara MK putusan provisi awalnya hanya terdapat dalam perkara
sengketa kewenangan konstitusional Lembaga negara. Pasal 63 UU MK
menyatakan bahwa MK dapat mengeluarkan penetapan yang memerintah kan para
pihak untuk menghentikan pelaksanaan yang dimasalahkan sampai ada putusan
MK. Pada perkembangannya putusan sela juga dikenal sebagai perkara pengujian
UU dan perselisihan hasil pemilu. Dalam proses persidangan perkara tersebut atas
permohonan dari pemohon, MK memberikan putusan sela yang intinya menyatakan
bahwa ketentuan pasal 30 UU KPK mengenai pemberhentian pimpinan KPK yang
jadi terdakwa tidak dapat dilaksanakan terlebih dahulu sebelum ada putusan MK
mengenai pengujian pasal dimaksud. Untuk perkara perselisahan pemilu diatur
dalam PMK no15 thn 2008 pedoman beracara pedoman hasil pemilu kepala daerah
; PMK no. 16 tahun 2009 tentang pedoman beracara dalam perselisihan hasil pemilu
anggota DPR,DPD dan DPRD ; dan PMK no. 17 tahun 2009 tentang pedoman
beracara dalam perselisihan pemilu presiden dan wakilnya. Putusan sela dalam
PMK no. 16 tahun 2009 dan 17 dirtikan sebagai putusan yang dijatuhkan pada
hakim sebelum putusan akhir untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
berkaitan dengan objek yang disengketakan yng hasilnya akan dieprtinmbangkan
dalam putusan akhir.
2. Ultra Petita
Dalam hukum acara, khususnya hukum acara perdata teradapat pndangan yang oleh
beberpa ahli dianggap sebagai prinsip hukum acara, yaitu hakim dilarang memutus
terlebih dari yang dimohonkan (ultra Petita). Ketentuan tersebut berdasarkan pasar
178 ayat 2 dan ayat 3 HIR serta pasal 189 ayat 2 dan 3 RBg. Karena adanya
pandangan tersebut pada saat MK memutuskan membatalkan seluruh UU no 20
tahun 2002 tentang ketenaga listrikan dan membatalkan seluruh UU no 27 tahun
2004 tentang komisi kebenaran dan rekonsiliasi (UU KKR) banyak muncul
tanggapan bahwa MK telah melanggar prinsip Ultra Petita. Namun demikian
berdasarkan karakteristik perkara yang jadi wewenang MK, tidak dapat dikatakan
bahwa larangan Ultra Petita dapat ditetapkan dalam peradilan GMK. Kewenangan
pengujian UU yang diberi oleh MK pada prinsipnya bersifat publik walaupun
pengajuan dapat dilakukan oleh individu yang haknya dirugikan UU. Tentu hakim
konstitusi dapat memutus pasal tertentu saja dari UU tsb yang dibatalkan. Namun
bila pasal tersebut merupakan jantung atau menentukan operasionalisasi
keseluruhan UU, pembatalan pasal tertentu saja akan menimbulkan ketidakpastian
hukum. Misalnya bagaimana implikasi putusan tersebut pada pasal pasal lain yang
bersumber dari pasal yang dibatalkan? Akibatnya pelaksanaan UU tersebut menjadi
sangat rawan dengan UUD 45.
3. Sifat Putusan
a. Putusan declaratoir adalah putusan hakim yang menyatakan apa yang menjadi
hukum. Misalnya pada saat hakim memutuskan pihak yang memiliki hak atas suatu
benda atau menyatakan suatu perbuatan sebagai perbuatan melawan hukum.
b. Putusan constitutief adalah putusan yang meniadakan suatu keadaan hukum dan
atau menciptakan suatu keadaan hukum baru.
4. Pengambilan Putusan
5. Isi Putusan
Putusan MK dibuat berdasarkan UUD 1945 sesuai dengan alat bukti yang diperiksa
di persidangan dan keyakinan hakim dengan minimal 2 alat buktI. Putusan yang
telah dicapai dalam RPH dapat diucapkan dalam sidang pleno pengucapan putusan
hari itu juga, atau dapat ditunda pada hari lain. Jadwal sidang pengucapan putusan
harus diberitahukan kepada para pihak. Putusan ditandatangani oleh hakim yang
memeriksa, mengadili, dan memutus, serta oleh panitera. MK memberi putusan
Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Putusan MK harus
memuat:
c. ringkasan permohonan;
6. Pendapat Berbeda
Pada bagian pertimbangan hukum atas pokok perkara, ditentukan isu hukum yang
harus dipertimbangan dan dijawab yang menentukan amar putusan. Berbagai isu
hukum tersebut diberikan pertimbangan satu-persatu, bahkan terhadap keterangan
saksi dan ahli juga dijawab oleh majelis hakim, baik menyetujui maupun menolak
keterangan itu. Di akhir pertimbangan, dicantumkan kesimpulan(konklusi)
dandilanjutkandengan amar putusan. Pendapat berbeda dari Majelis Hakim dapat
dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:
(1) Dissenting opinion adalah pendapat berbeda dari sisi substansi yang
memengaruhi perbedaan amar putusan.
(2) Concurent opinion adalah pendapat berbeda yang tidak memengaruhi amar
putusan.
Tata cara dan tata tertib persidangan diatur tersendiri di dalam PMK Nomor 19
Tahun 2009 tentang Tata Tertib Persidangan. Tata cara persidangan ditentukan
sebagai berikut:
a. Para pihak, Saksi, dan Ahli yang hadir untuk mengikuti persidangan wajib
mengisi daftar hadir yang disediakan oleh Kepaniteraan Mahkamah.
b. Panitera melaporkan kehadiran para pihak, Saksi, dan Ahli kepada Ketua
Sidang.
d. Setelah 19iding dibuka, Ketua Sidang mempersilahkan para pihak, Saksi, dan
Ahli untuk memperkenalkan diri masing-masing.
f. Dalam hal menunda sidang dan mencabut penundaan sidang, Ketua Sidang
mengetukkan palu satu kali.
Para pihak, Saksi, Ahli, dan pengunjung sidang wajib mengenakan pakaian rapi dan
sopan. Khusus untuk advokat harus memakai toga. Anak di bawah umum 12 tahun
dilarang menghadiri persidangan, kecuali untuk kepentingan pemeriksaan
persidangan, atau atas ijin khusus dari Mahkamah. Setiap orang yang berada dalam
ruang sidang harus bersikap tertib, tenang, dan sopan. Para pihak, Saksi, Ahli, dan
pengunjung sidang dilarang:
Dalam ilmu hukum dan konstitusi, interpretasi atau penafsiran adalah metode
penemuan hukum (rechtsvinding) dalam hal peraturannya ada tetapi tidak jelas
untuk dapat diterapkan pada peristiwanya.Penemuan hukum ihwalnya adalah
berkenaan dengan hal mengkonkretisasikan produk pembentukan hukum.
Penemuan hukum adalah proses kegiatan pengambilan keputusan yuridik konkret
yang secara langsung menimbulkan akibat hukum bagi suatu situasi individual
(putusan- putusan hakim, ketetapan, pembuatan akta oleh notaris dan sebagainya).
Dalam arti tertentu menurut Meuwissen, penemuan hukum adalah pencerminan
pembentukan hukum Ada 2 (dua) teori penemuan hukum, yaitu : (1) penemuan
hukum heteronom; dan (2) penemuan hukum otonom. Penemuan hukum heteronom
terjadi pada saat hakim dalam memutus perkara dan menetapkan hukum
menganggap dirinya terikat pada kaidah-kaidah hukum yang disodorkan dari luar
dirinya. Diandaikan bahwa makna atau isi dari kaidah pada prinsipnya dapat
ditemukan dan ditetapkan secara objektif, atau setidaknya dapat ditetapkan dengan
cara yang sama oleh setiap orang.
a. Interpretasi harfiah;
b. Interpretasi fungsional.
d. interpretasi historis;
f. interpretasi futuri
1) penafsiran tekstual;
3) penafsiran doktrinal;
4) penafsiran prudensial;
Hukum positif nampaknya belum dapat menentukan, bahwa dari sekian banyak
macam metode interpretasi konstitusi yang ada atauberkembang dalam praktik
peradilan di Mahkamah Konstitusi (baik yangdigunakan oleh Pemohon, Termohon,
Pihak Terkait, Saksi, Ahli, maupunHakim Konstitusi), hanya metode interpretasi
konstitusi tertentu saja yangboleh dipilih dan digunakan oleh hakim. Dalam praktik
peradilan, metode interpretasi konstitusi yang satudapat digunakan oleh hakaim
bersama-sama dengan metode penafsirankonstitusi yang lainnya.Tidak ada
keharusan bagi hakim hanya bolehmemilih dan menggunakan satu metode
interpretasi konstitusi tertentu saja,misalnya hanya memilih dan menggunakan
metode penafsiran „originalisme‟yang mendasarkan diri pada original
intent.Hakim dapat menggunakanbeberapa metode interpretasi konstitusi itu secara
bersamaan. Hakim juga memiliki kebebasan untuk memilih dan
menggunakanmetode-metode penafsiran konstitusi mana yang diyakininya
benar.Dengandemikian hakim memiliki kebebasan yang otonom untuk memilih
danmenggunakan metode-metode penafsiran atau interpretasi itu. Prinsip
independensi dan kebebasan hakim, hingga kini tidak ada ketentuan atau aturan
yang mengharuskan hakimhanya menggunakan salah satu metode penafsiran
tertentu saja. Pemilihan dan penggunaan metode interpretasi merupakan otonomi
atau kemerdekaan hakim dalam penemuan hukum. Keleluasaan dan kebebasan
terhadap hakim untuk tidak terpancang hanya pada rumusan-rumusanformal
Undang- Undang.Ketentuan ini juga mengingatkan pada pandanganyang
mengemukakan, agar hakim jangan hanya berfungsi sebagaispreakbuis (corong)
undang-undang saja. Para hakim di lingkungan Mahkamah Konstitusi Indonesia
sayogianya juga memahami isyarat ini. Ijtihad para hakim konstitusi dalamrangka
rechtsvinding hingga sampai pada putusannya merupakan bagiandari amanat
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, bahwa sebagaiperadilan negara,
Mahkamah Konstitusi harus menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila, di samping jugawajib menggali, mengikuti, dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasakeadilan yang hidup di dalam masyarakatnya. Dalam hal
ini hakim sebagai salah satu pengemban hukum praktis harus mampu menemukan,
membaca, menafsirkan dan menerapkan kode- kode hukum dengan baik dan benar.
Sedangkan, dalam penafsiran eksternal proses pembuatan putusan oleh hakim tidak
dapat dilepaskan dari konteks kerangka teoretis, filosofis dan paradigma yang
diyakininya, yang sering sadar atau tidak, dimuati dan tercampur oleh kepentingan-
kepentingan kultural, sosiologis dan politis. Pola penafsiran dalam putusan hakim
MK dalam perkara pengujian undang-undang terhadap Undang- Undang Dasar
merupakan putusan yang menguji konstitusionalitas suatu undang-undang. Dengan
kata lain hakim MK menguji ketentuan suatu undang-undang yang diajukan oleh
pemohon terhadap suatu ketentuan UUD 1945. Dalam proses pengujian ini tentu
memerlukan proses penafsiran hukum baik terhadap ketentuan undang undang yang
diuji maupun penafsiran terhadap ketentuan UUD1945 yang dijadikan sebagai batu
uji. Proses selanjutnya adalah menarik garis untuk melihat kesesuaian atau
pertentangan antara ketentuan yang diuji dengan ketentuan yang dijadikan sebagai
batu uji.
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945, salah satu
kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah bahwa Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk menguji UU terhadap UUD. Pasal 50 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi mengatur pembatasan terhadap UU yang dapat diuji oleh
Mahkamah Konstitusi, yaitu UU yang diundangkan sebelum perubahan UUD 1945,
Menurut Jimly Asshiddiqie, selain UU, Mahkamah Konstitusi juga berwenang
menguji Perpu, Dalam Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Perpu diatur sebagai peraturan
perundang- undangan yang setingkat dengan UU, Pembatasan dalam pengujian UU
terhadap UUD oleh Mahkamah Konstitusi adalah dalam hal perkara nebis in idem.
Nebis in idem diatur dalam Pasal 60 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi.
Pasal 51 ayat (3) huruf UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
mengatur mengenai pengujian formil, di mana dalam ketentuan tersebut diatur
bahwa Pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa Pembentukan UU tidak
memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945, Jimly Asshiddiqie mengemukakan
bahwa secara umum, yang dapat disebut sebagai pengujian formil (formeele
toetsing) tidak hanya mencakup proses pembentukan UU dalam arti sempit, tetapi
juga mencakup pengujian mengenai aspek bentuk UU, dan pemberlakuan UU. Juga
dijelaskan bahwa pengujian formal biasanya terkait dengan soal-soal prosedural
dan berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang membuatnya.
Dalam Penjelasan Pasal 51 ayat (1) huruf a UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi diatur bahwa: “Yang dimaksud dengan “perorangan”
termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama.”
Pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat dalam UUD 1945 dan
menyebabkan salah satu syarat formal permohonan pengujian UU adalah kesatuan
masyarakat hukum adat dengan berbagai kualifikasi yang telah diatur dalam UUD,
yaitu:
3) Sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam
undang-undang.
d. Badan Hukum Publik atau Privat
Yang penting dalam badan hukum keperdataan adalah badan-badan hukum yang
terjadi atau didirikan atas pernyataan kehendak dari orang perorangan. Yang perlu
mendapat perhatian adalah bahwa badan hukum publik dapat mendirikan suatu
badan hukum keperdataan, misalnya negara mendirikan yayasan, PT negara, atau
daerah otonomi mendirikan bank-bank daerah.
e. Lembaga Negara
Dalam Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
diatur bahwa: “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/ atau kewenangan
konstitutionalnya dirugikan oleh berlakunya UU.” Dalam ketentuan tersebut
terdapat istilah hak konstitusional serta kewenangan.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 41 ayat (2) dan Pasal 54 UU Nomor 23 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi tersebut,Mahkamah Konstitusi dapat meminta
keterangan kepada MPR,DPR,DPD,Presiden dan/atau wakil Presiden berkaitan
dengan permohonan pengujian UU yang sedang diperiksa oleh Mahkamah
Konstitusi.
Lembaga Negara
Dalam konsep hukum tata negara positif (positieve staatsrecht), lembaga negara
merupakan organ negara atau alat-alat perlengkapan negara yang biasanya diatur
atau menjadi materi muatan dalam konstitusi atau undangundang dasar suatu
negara. Dalam kepustakaan hukum ketatanegaraan Indonesia, jenis dan jumlah
lembaga negara menurut UUD 1945 setelah perubahan ada bermacammacam.
Jimly Asshiddiqe mengemukakan, corak dan struktur organisasi negara Indonesia
dewasa ini mengalami dinamika perkembangan yang sangat pesat. Setelah masa
reformasi tahun 1998, banyak sekali lembaga-lembaga dan komisikomisi
independen dibentuk.
Amar putusan dapat berupa putusan yang menyatakan permohonan tidak dapat
diterima, permohonan ditolak, atau permohonan dikabulkan. Jika MK berpendapat
bahwa pemohon dan permohonan tidak memenuhi syarat yang diatur dalam Pasal
68 UU MK, amar putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima. Artinya,
sesuai dengan ketentuan Pasal 68 tersebut, masalah subjek dan objek permohonan
harus sesuai. Subjek adalah terkait dengan pemohon yang dalam hal ini harus
mewakili Pemerintah Pusat. Sedangkan objek perkara yang dimohonkan adalah
pembubaran partai politik berdasarkan alasan-alasan antara lain (a) ideologi; (b)
asas; (c) tujuan; (d) program; dan/atau (e) kegiatan yang dianggap bertentangan
dengan UUD 1945.
Asas Luber (langsung, umum, bebas, dan rahasia) dan Jurdil (jujur dan adil) adalah
asas pemilu yang ditentukan dalam pasal 22E ayat (1) UUD 1945. MK pada
dasarnya bertekad menegakkan keadilan substantive, sehingga apabila pelaksanaan
Pemilu bermasalah maka MK dapat pula memerintahkan penyelenggara Pemilu
untuk melakukan penghitungan suara ulang atau pemungutan suara ( Pemilu) ulang.
. MK dalam hal sengketa pemilu merupakan lembaga peradilan pada tingkat
pertama dan terakhir mengenai perselisihan hasil pemilu, sehingga memang
berkaitan dengan hal yang bersifat kuantitatif, yaitu selain menyelesaikan sengketa
terkait dengan angka signifikan hasil akhir pemilu juga mahkamah juga mengadili
konstitusionalitas pelaksanaan pemilu. Sehingga terkait dengan perkara yang
bersifat melanggar kualitatif pemilu akan menjadi perhatian (concert) mahkamah
hanya apabila prinsip-prinsip pemilu yang ditentukan dalam pasal 22E ayat (1) dan
ayat (5) UUD 1945 yang dilanggar.
Sesuai dengan pasal 22E UUD 1945, Pemilu diselenggarakan untuk memilih
anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD, dan memilih Presiden dan Wakil
Presiden. Oleh karena itu dengan adanya perselisihan hasil Pemilu meliputi ketiga
jenis Pemilu tersebut, yaitu pemilu anggota DPR dan DPRD, Pemilu anggota DPD,
serta pemilu presiden dan wakil presiden sebagaimanana diatur pula dalam pasal 74
ayat (2) UU MK.
Isi Permohonan
Terkait dengan para Pemohon dalam persidangan MK (tidak hanya PHPU), tidak
semua orang dan/atau kelompok, serta lembaga negara tertentu dapat mengajukan
diri selaku Pemohon. Mahkamah Konstitusi menjelaskan melalui Pasal 3 ayat (1)
huruf b PMK Nomor 16 Tahun 2009 bahwa yang menjadi pihak dalam perselisihan
hasil Pemilu anggota DPR adalah partai politik peserta Pemilu. Posisi para pihak
untuk memperjuangkan haknya (handelingsbekwaamheid) itu merupakan hal
penting dalam menentukan kedudukan hukumnya. Pihak-pihak yang dianggap
tidak memiliki kepentingan untuk bersengketa (personae miserabiles) dianggap
tidak memiliki kedudukan hukum dalam bersengketa.
Dalam PHPU, alat buti sangat penting dalam memberian keakinan bagi hakim
untuk menentukan kepytusannya. Berdasarkan kententuan pasal 10 PMK 16/2009
alat bukti dalam perselisihannya hasil pemilu terdiri atas; Surat atau tulisan,
KEterangan saksi,KEterangan ahli, Keterangan para pihak, Petunjuk; dan Informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik.
Putusan Mahkamah
Salah satu ciri utama dalam sistem presidensiil adalah masa jabatan pemerintahan
atau Presiden telah ditentukan (fixedtermofoffice). Hal ini sama sekali berbeda
dengan masa jabatan pemerintahan dalam sistem parlementer yang tidak ditentukan
secara pasti, melainkan bergantung kepada kepercayaan dari parlemen sehingga
dapat sangat singkat ataupun sangat lama. Masa jabatan kaninet akan berakhir pada
saatpemerintahan jatuh karena alasan kebijakan yang dilakukan tidak disetujui atau
dianggap salah oleh parlemen.
Berdasarkan UUD1945, masa jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden telah
ditentukan, yaitu 5 (lima) tahun dan hanya dapat dipilih kembali pada jabatan yang
sama untuk satu kali masajabatan lagi. Pada prinsipnya, dalam masa jabatan 5
(lima) tahun itu kedudukan Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dapat diganggu-
gugat, kecuali dengan alasan yang oleh UUD 1945 ditentukan dapat menjadi
dasarpemberhentian.
Berdasarkan Pasal 7A dan Pasal 7B UUD 1945 dapat diketahui bahwa proses
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden melalui tiga tahapan, yaitu
tahapan di DPR, tahapan di MK, dan tahapan di MPR. Tahapan pertama adalah
tahapan pengusulan yang dilakukan oleh DPR sebagai salah satu pelaksanaan
fungsi pengawasan DPR. Apabila DPR dalam pelaksanaan fungsi pengawasan yang
dimiliki berpendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan
pelanggaran hokum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak
lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, maka DPR dapat
mengajukan usul pemberhentian. Pendapat tentang pelanggaran hukum atau
kondisi Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat tersebut harus
diputus dalam siding paripurna yang dihadiri oleh sekurang- kurangnya 2/3 anggota
DPR dan disetujui 2/3 dari anggota DPR yang hadir. Lembaga yang terkait dalam
proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden pasca perubahan UUD
1945, yaitu :