ada yang sepenuhnya aman dari penularan virus tersebut. Dari satu saja orang yang terinfeksi
Covid-19, terdapat potensi penularan terhadap puluhan orang lain, bahkan lebih. Vaksin
Covid-19 berfungsi menekan potensi itu. Ketika seseorang terinfeksi virus corona, sistem
imun alias antibodinya telah dapat mengenali virus itu sehingga kemungkinan tertular lagi
lebih kecil. Artinya, dia lebih kebal atau imun terhadap Covid-19 ketimbang orang lain yang
belum pernah terinfeksi. Vaksin Covid-19 menawarkan perlindungan berupa kekebalan
tersebut tanpa perlu sakit Covid dulu. Orang yang positif Covid harus menghadapi
kemungkinan terburuk berupa kehilangan nyawa. Yang bergejala ringan atau tanpa gejala
pun tetap mesti melakukan isolasi mandiri dan mengikuti prosedur perawatan yang rumit.
Bila mendapatkan vaksin Covid-19, kita tak perlu mengalami masa-masa sulit dan berisiko
itu untuk memperoleh kekebalan terhadap virus corona. Namun tidak dapat kita pungkiri
masih banyak masyarakat yang masih menolak akan pemberian vaksin.
Hal tersebut merupakan salah satu isu yang mendapat perhatian pemerintah dari tahun
2018 adalah masalah penolakan masyarakat terhadap vaksinasi baik secara global maupun
nasional.Menurut sejarah, vaksin pertama kali ditemukan oleh Edward Jenner. Namun
sebenarnya teknik inokulasi (memasukkan kuman ke dalam tubuh manusia untuk mendapat
kekebalan) pertama kali dilakukan di Cina dan Turki. Pada tahun 1717, seorang istri dari duta
besar Inggris di Turki, Lady Mary Wortley Montagu, sering melihat kebiasaan orang Turki
mengambil nanah dari luka penderita Smallpox dan ditanamkan pada sayatan di tubuh anak
yang sehat lalu dibalut. Beberapa hari kemudian anak tersebut mengalami demam, namun
menjadi kebal terhadap Smallpox (Harjaningrum, 2011). Fenomena penolakan terhadap
vaksinasi bukan merupakan hal yang baru. Tidak lama sejak ditemukan vaksin campak pada
pada akhir abad ke 18, kelompok anti vaksin sudah ada dan berlanjut hingga sekarang(Succi,
2018). Disamping itu juga pemerintah Indonesia melakukan kewajiban dalam pemberian
vaksin kepada seluruh masyarakat Indonesia. Dalam artikel Hukumonline berjudul Polemik
Jerat Pidana bagi Penolak Vaksinasi Covid-19, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia (Wamenkumham) Prof Edward Oemar Sharif Hiariej menganggap ada sanksi bagi
warga yang menolak vaksinasi Covid-19. Sebab, vaksinasi Covid-19 merupakan kewajiban di
tengah situasi wabah penyakit menular, seperti pandemi Covid-19. Sanksi yang dimaksud
merujuk pada Pasal 9 jo Pasal 93 UU No.6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
(Baca: Sosialisasi Masif dan Pentingnya Vaksinasi Covid-19). Banyak polemic yang masih
terjadi tentang sanksi dan kewajiban menjalankan vaksin. Beberapa orang berpendapat bahwa
mewajibkan vaksin merupakan salah satu tindakan mengabaikan hak manusia untuk memilih.
Sehingga bahwasanya sanksi bagi penolak vaksin masih perlu dikaji ulang, namun bagi pihak
yang menghasut dan mengajak untuk menolak vaksin maka harus ada sanksi tegas. Lalu
bagaimanakah perspektif ontology dalam VAKSINISASI DALAM NILAI
HUMANISME ?
Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai
tafsir Wamenkumham sangat berlebihan. Dia beralasan penerapan sanksi pidana dalam UU
6/2018 bila memenuhi dalam kondisi. Pertama, bila pilihan keputusan pemerintah
menyatakan karantina wilayah, bukan PSBB. Kedua, tindakan yang dapat dikriminalisasi
atau dipidana antara lain keluar masuknya wilayah karantina tanpa izin. Ketiga, subjeknya
adalah para supir, nahkoda dan pilot.
Dengan begitu, menurutnya tafsir Wamenkumham bagi yang menolak disuntiik vaksin
Covid-19 bisa dijerat Pasal 93 UU 6/2018 berlebihan dan keliru. “Itu tafsir lebay. Ini menurut
saya tidak relevan. Karena kita hanya (penetapan, red) PSBB. Demikian pula kedaruratan itu
terjadi bukan karena satu dua orang, melainkan situasi pandemi kedaruratan yang
menyeluruh,” ujarnya.
Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia (FH UAI) Suparji
Achmad punya pandangan senada. Dia menilai tindakan yang dilarang dalam Pasal 93 UU
6/2018 yakni perbuatan yang tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan;
menghalang-halangi kekarantinaan kesehatan yang menimbulkan dampak kedaruratan
kesehatan.
Dengan begitu, menurut Suparji, vaksinasi Covid-19 yang sudah dimulai oleh pemerintah
bersifat sukarela. Sebab, bila menggunakan UU 6/2018 yang menjadi kewajiban setiap warga
negara adalah mematuhi kegiatan kekarantinaan kesehatan, bukan kewajiban vaksinasi
Covid-19.
“Dalam UU 6/2018 tidak terdapat norma yang mengatur vaksin. Karenanya, vaksin menjadi
sukarela bagi masyarakat untuk pencegahan virus. Sedangkan vaksinasi tidak ada norma UU
yang mewajibkan,” tegasnya.
Lalu seperti apakah sikap masyarakat terhadap vaksinasi, baik yang menolak maupun yang
menerima?
Filsafat ilmu merupakan kajian atau telaah secara mendalamsecara mendalam terhadap
hakikat ilmu
Sejak tahun 1976, vaksin diakui terbukti bisa mencegah penyakit yang disebabkan oleh virus
atau bakteri tertentu. Vaksin sendiri zat aktif pada virus yang apabila disuntikkan dapat
meningkatkan kekebalan tubuh," jelas Mimi dalam keterangan tertulis yang diterima
Kompas.com, Selasa (12/1/2021).