Anda di halaman 1dari 4

PERSPEKTIF ANTROPOLOGIS

DALAM MENANGANI WABAH COVID-19

Hayati Nupus

Fakultas Hukum Universitas Buana Perjuangan

Email : nupushayati39@gmail.com

ABSTRAK

Jumlah kasus infeksi virus corona di Indonesia kian meningkat. Bertambahnya jumlah kasus ini membuat angka
infeksi Covid-19 di Indonesia menembus angka 1 juta.

Sudah seharusnya kita lebih patuh terhadap protokol kesehatan yang telah ditentukan Pemerintah Indonesia.
Protokol kesehatan ini ditujukan untuk mencegah penularan virus corona dan meminimalisir bertambahnya angka
kasus infeksi.

Protokol kesehatan tersebut meliputi menggunakan masker, rajin mencuci tangan, serta wajib menjaga jarak. Hal ini
bukanlah hal yang mudah, karena bukan merupakan suatu kebiasaan untuk kita semua. Karena itu banyak
masyarakat yang masih melanggar protokol kesehatan.

Berbagai upaya pemerintah agar masyarakat mematuhi protokol kesehatan salah satunya merazia orang yang tidak
menggunakan masker dan berkerumun.

Ini adalah pertama kali saya membuat artikel untuk memenuhi tugas mata kuliah antropologi hukum, penelitian
yang saya gunakan adalah metode kualitatif yaitu metode penelitian yang berfokus pada pemahaman terhadap
fenomena sosial yang terjadi di masyarakat dan data yang saya dapatkan melalui media sosial dan kenyataan di
lingkungan sekitar.

PENDAHULUAN

Virus corona menjadi musuh yang menyeramkan bagi masyarakat dan negara. Dampak yang
ditimbulkan oleh wabah ini begitu dahsyat. Sektor pendidikan, ekonomi, sampai kepada sosial
budaya masyarakat dibuat pincang bahkan “lumpuh”. Tetapi, pemerintah dalam hal ini sebagai
penopang kebijakan, dengan cepat merespon sumua keadaan yang muncul. Tidak tanggung-
tanggung pemerintah pusat di bawah komando gugus tugas yang di-sah-kan oleh presiden
Jokowi, langsung bergerak melakukan langkah-langkah strategis. Presiden juga melalui menteri
keuangan melakukan refocussing anggaran semua kementerian sebagai langkah serius
pemerintah dalam menanggulangi penyebaran virus yang pertama kali muncul di negara
Tiongkok berapa bulan silam. Hal ini seperti yang diketahui bersama sudah menjadi tanggung
jawab pemerintah untuk merespon setiap perubahan yang melanda negara. Perubahan kondisi
yang dialami oleh bangsa, tentu akan berefek pula terhadap perilaku masyarakat.

PEMBAHASAN

Pengetahuan Masyarakat dalam Memandang Pandemik Covid-19 Pengetahuan masyarakat


dengan cara memandang wabah virus corona ini relatif. Dikatakan relatif, karena antara si A den
si B dalam cara memandang objek yang sama, pasti berbeda. Dan hal ini tidak bisa dipaksakan.
Sehingga, wajar kemudian banyak terjadi pelanggaran protokol kesehatan di masyarakat. Ada
yang memandang wabah virus ini sebagai sesuatu hal yang enteng, tetapi ada juga masyarakat
yang benar-benar memahami dampak yang ditumbulkan oleh virus ini. Akibatnya, mereka yang
sadar dan paham, pasti akan mematuhi protokol kesehatan yang diterapkan oleh pemerintah. Di
Desa saya sendiri misalnya, banyak masyarakat yang masih tidak percaya adanya Covid-
19.masyarakat terlihat tak acuh untuk membeli masker dan hand sanitizer, karena tidak menutup
kemungkinan untuk makan saja mereka masih kesulitan sehingga mereka cenderung lebih
percaya dengan realita di depan mereka ketimbang virus Covid-19 yang ada di berita saja.

Terrlebih ketika masyarakat semakin lama semakin kritis ditambah situasi berbulan-bulan
pandemi ini terjadi dengan kondisi diri mereka atau orang sekitar tidak terinfeksi semakin
membuat mereka memperdebatkan apakah virus ini nyata adanya. Masyarakat melanggar
protokol kesehatan. Di tengah pandemi Covid-19 ini,masyarakat diminta untuk menjalankan
protokol kesehatan seperti memakai masker, menjaga jarak, dan menghindari kerumunan. Hal
tersebut dilakukan agar pandemi yang disebabkan oleh virus SAR-CoV-2 yang menyebar
melalui udara bisa ditanggulangi.Meski aturan tersebut telah disosialisasikan secara luas, masih
banyak masyarakat yang nakal dan melanggar.

Ilmu psikologi sosial kesehatan menjelaskan bahwa ketidakpatuhan masyarakat terhadap


protokol kesehatan sebagian besar terjadi karena kurangnya pemahaman mereka terhadap bahaya
penyakit dan manfaat penanganan dan besarnya hambatan dalam akses kesehatan. Pemerintah
punya andil besar di sini. Landasan perilaku Ahli-ahli psikologi sosial telah mengembangkan
bermacam model untuk menjelaskan dan memperkirakan perilaku-perilaku terkait kesehatan,
terutama dalam menggunakan sarana kesehatan. Pada 1950-an, beberapa psikolog sosial di
Amerika Serikat (AS) mulai mengembangkan Health Belief Model (HBM) yang masih
digunakan secara luas dalam riset perilaku kesehatan hingga kini. HBM dapat dilihat sebagai
perpaduan pendekatan filosofis, medis, dan psikologis untuk menjelaskan kepatuhan atau
ketidakpatuhan masyarakat dalam melakukan upaya kesehatan. Model ini dikembangkan untuk
mengeksplorasi berbagai perilaku kesehatan baik jangka panjang maupun jangka pendek.

HBM terdiri atas enam komponen:

Persepsi kerentanan (perceived susceptibility), yaitu bagaimana seseorang memiliki persepsi atau
melihat kerentanan dirinya terhadap penyakit.

Persepsi keparahan (perceived severity), yaitu persepsi individu terhadap seberapa serius atau
parah suatu penyakit.

Persepsi manfaat (perceived benefit), yaitu persepsi individu akan keuntungan yang ia dapat jika
melakukan upaya kesehatan.

Persepsi hambatan (perceived barriers), yaitu persepsi individu akan adanya hambatan dalam
melakukan upaya kesehatan.

Petunjuk bertindak (cues to action), yaitu adanya kejadian atau dorongan untuk melakukan upaya
kesehatan yang berasal dari kesadaran diri atau dorongan orang lain; misalnya iklan kesehatan
atau nasihat dari orang lain.

Kemampuan diri (self-efficacy), yaitu persepsi individu tentang kemampuan yang dimilikinya.
Seseorang yang menginginkan perubahan dalam kesehatannya dan merasa mampu, akan
melakukan hal-hal yang diperlukan untuk mengubah perilaku kesehatannya; demikian pula
sebaliknya.

HBM menjelaskan kenapa masyarakat tidak patuh terhadap protokol kesehatan pandemi
COVID-19. Di satu sisi, masyarakat kurang memiliki pemahaman seberapa rentan mereka
tertular COVID-19, seberapa parah penyakit ini, apa manfaat melakukan pencegahan, dan
kurangnya petunjuk untuk bertindak. Di sisi lain masyarakat menghadapi berbagai hambatan
untuk mengakses pada fasilitas kesehatan. Kelima faktor tersebut akhirnya menyebabkan
terjadinya salah persepsi terkait self-efficacy: mereka tidak yakin akan kemampuan dan
tindakannya

Anda mungkin juga menyukai