Anda di halaman 1dari 7

1.

Pemerintah melalui wakil mentri Hukum dan dan Hak asasi manusia menyampaikan
vaksinasi covid -19 adalah kewajiban seluruh rakyat indonesia, tetapi aktivis HAM
juga pada menolak tentang vaksin tersebut, krna mnurut mereka ,menolak adalah hak
dari warga negara, selain itu masyarakat mempertanyakan efikasi dan efektifitas, efek
samping dari vaksin, tmasuk kehalalan .tetapi pmerintah juga memberikan sanksi
tegas bagi siapa yg menolak di vaksin dapat di pidanakan dengan denda paling
banyak 5000.000. akibat sejumlah pihak yg kontra, menyatakan bahwa pasal dari
perda tersebut bertentangan dengan undang undang dasar 1945,sedangkan pihak yang
pro menyatakan pasal tersebut pasal trsebut tujuannya untuk menyelamatkan
masyarakat dari penyakit yg mewabah.
Melihat kasus tersebut bagaimana anda menganalisis hak dan kewajiban warga negara
dan pasal apa yg terkait.berikan penjelasan

https://law.uii.ac.id/blog/2021/09/06/vaksinasi-covid-19-hak-atau-kewajiban/

Vaksinasi Covid-19 merupakan salah satu dari sekian banyak program


pemerintah dalam menanggulangi wabah Covid-19 ini. sebagaimana
tercantum dalam Keputuisan Presiden No.12 Tahun 2020 tentang Pentapan
Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID19)
sebagai Bencana Nasional.

Tetapi program pemerintah terkait dengan vaksinasi ini menuai pro dan kontra
terlebih dengan adanya berita bahwasannya setiap orang yang menolak
vaksinasi akan dikenakan sanksi adminstrasi bahkan sanksi pidana. Adapun
regulasi yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah terkait dengan snaksi yang
diberikan bagi seseorang yang menolak vaksinasi yaitu dalam Keputusan
Presiden No.14 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden
Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan  Pelaksanaan
Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease
2019 (Covid-19).

Sebagaimana tercantum dalam Pasal 13A ayat (4) sanksi yang diberikan bagi
setiap orang yang telah ditetapkan sebagai sasaran penerima vaksin Covid-
19 yang tidak mengikuti Vaksinasi Covid-19 sebagaimana dimaksud pada
ayat 2 dikenakan sanksi administratif berupa penundaan atau penghentian
pemberian jaminan sosial atau bantuan sosial, penundaan atau penghentian
pemberian administrasi pemerintahan dan denda. Hal ini tentu bertentangan
dengan konstitusi terkait hak warga negara sebagaimana tercantum dalam
Pasal 28H ayat (3) yang berbunyi “Setiap orang berhak atas jaminan sosial
yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia
yahng bermartabat”

sansksi terhadap seseorang yang menolak vaksinasi terutama sansksi


administrasi menciptakan pemaksaan yang telah melanggar Hak Asasi
Manusia. Adapun Pasal 41 ayt (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia menyatakan “Setiap warga negara berhak atas
jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak serta untuk perkembangan
pribadinya secara utuh”

Adapaun produk hukum lainnya yang dikeluarkan pemerintah terkiat dengan


sanksi seseorang yang menolak vaksinasi yaitu terdapat pada Peraturan
Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Nomor 2 Tahun 2020
tentang Penanggulangan Corona Virus Disease 2019. Sebagaiamana
tercantum dalam Pasal 30 Perda DKI Jakarta seseorang yang menolak
Vakasinasi dikenakan Pidana Denda sebesar 5 Juta Rupiah.

Peraturan daerah ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun


2009 tentang Kesehatan. Dalam Pasal 5 ayat (30) yang menyatakan dengan
tegas bahwa setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab
menentukan pelayanan Kesehatan yang diperlukan dirinya.

Hal demikian merupakan suatu pelanggaran Hak Asasi Manusia, memang


vaksinasi merupakan suatu program yang baik guna meningkatkan imun
kekebalan tubuh manusia tetapi marilah kita ketahui bersama kembali bahwa
vaksinasi bukan satu-satunya cara untuk memnghetikan penyebaran Covid-
19 melainkan untuk meningkatkan kekebalan tubuh bukan untuk mematikan
virus yang ada didalam tubuh.

Sebagaimana kita katahui pula Pemerintah telah mengeluarkan  berbagai


regulasi dan produk hukum dalam memerangi pandemi Covid-19 dan
Sebagian besar produk hukum yang ditetapkan menimbulkan sanksi lalu
apakah kita sebagai warga negara tidak mempunyai hak sama sekali dalam
hal pelindungan dan kesehatan pribadi.

Dengan adanya sanksi terkait dengan penolakan vaksinasi merupakan suatu


pelanggaran hak karena masih banyak cara yang mana dapat diterima oleh
seluruh masyarakat seperti halnya vaksinasi tersebut diganti dengan
pemberian suplemen dalam bentuk sirup bagi anak-anak dan dalam bentuk
kapsul bagi orang dewasa. Karena tidak semua sama dalam satu hal
adakalanya seseorang phobia atau trauma dengan jarum suntik atau bahkan
adanya keraguan dalam vaksinasi tersebut.

Pemerintah tidak dapat memaksakan kehendak rakyat karena sejauh ini


rakyat juga sudah menerima sebagaian besar apa yang sudah menjadi
ketetapan seperti halnya PSBB dimaan masyarakat banyak yang kehilangan
mata pencahariannya dan lain sebagainya. Kemudian muncul produk hukum
yang mana seseorang yang menolak pemberian vaksinaksi akan dikenakan
sanksi adminsitrasi dan sanksi pidana.

Hal tersebut tentu menuai kontroversi dimana masyarakat justru malah


semakin tidak percaya lagi dan pemerintah akan kehilangan legitimasinya
akan apa yang dilakukan dan diberikan seolah olah bersifat otoriter tidak
memperdulikan hak setiap warga negaranya.

Maka dari itu dalam perspektif penulis pemberian vaksinasi Covid-19


hendaknya bersifat sukarela dan tidak adanya paksaan serta sanksi yang
dapat menimbulkan hilangnya hak warganegara. sebagaimana dilansir CNBC
Indonesia, WHO mengatakan bahwa sebenarnya vaksinasi tidak diwajibkan
untuk seluruh populasi, bahkan Amerika Serikat dan Perancis pun tidak
mewajibkan program vaksinasi Covid-19 ini.

2. Apa analisa soudara tentang jaminan kesehatan yg terjadi di indonesia,apakah sudah


sesui dengan hak dan kewajiban atau belum,berikan contoh kasusnya,dan
pelangarannya
3. Sekitar pukul 03.40 WIB, Debora tiba di instalasi gawat darurat rumah sakit tersebut.
Ia langsung ditangani dokter jaga IGD. Dokter saat itu memberi Debora obat
pengencer dahak.
Sekitar 30 menit kemudian, dokter memanggil kedua Rudianto dan Henny. “Hasil
diagnosa, dokter mengatakan si bayi Debora harus segera dibawa ke ruang PICU
(Pediatric Intensive Care Unit), kondisinya memburuk,” tulis Birgaldo.
Debora harus segera dimasukan ke ruang khusus perawatan intensif untuk bayi itu
guna mendapat pertolongan maksimal. Demi keselamatan si buah hati, Rudianto dan
Henny setuju. Namun untuk bisa masuk ke ruang tersebut, kata Birgaldo, uang muka
Rp19,8 juta harus disediakan.
Kartu BPJS Kesehatan yang dimiliki tak bisa digunakan karena rumah sakit swasta itu
tak punya kerja sama.
Orang tua Debora bingung lantaran saat itu mereka sama sekali tak membawa uang.
Rudianto segera ke ATM untuk mengais sisa-sisa tabungannya. Uang Rp5 juta ia
kantongi. Namun rumah sakit tetap tak mengizinkan Debora dibawa ke ruang khusus
PICU karena uang ayahnya masih jauh dari kata cukup.
Orang tua Debora kemudian berusaha mencari rumah sakit yang bekerja sama dengan
BPJS agar anaknya bisa dirawat ke ruang PICU. Namun ruangan yang dinilai bisa
menyelematkan nyawa anaknya itu tak kunjung didapatkan. Sekitar 6 jam di IGD,
Debora tak bisa diselamatnya. Ia dinyatakan meninggal sekitar pukul 10.00 WIB.
Terkait dugaan lambannya pelayanan kesehatan karena biaya ini, RS Mitra Keluarga
Kalideres sudah angkat suara. Dalam keterangan laman resmi, rumah sakit
menyatakan, Debora masuk ke rumah sakit dalam kondisi tak sadar dan tubuh
membiru. “Pasien dengan riwayat lahir prematur, riwayat penyakit jantung bawaan
dan keadaan gizi kurang baik”.
Penanganan segera dilakukan diantaranya dengan penyedotan lendir, pemompaan
oksigen, infus, suntikan dan pengencer dahak. Seteah ditangani, kondisi Debora saat
itu membaik meski masih sangat kritis.
Rumah sakit kemudian menganjurkan agar Debora dibawa ke ruang khusus berikut
biaya yang harus dikeluarkan.
“Ibu pasien mengurus ke bagian administrasi, dijelaskan oleh petugas tentang biaya
rawat inap dan ruang khusus ICU, tetapi ibu pasien menyatakan keberatan mengingat
kondisi keuangan," demikian tertulis di keterangan resmi rumah sakit.
Rumah sakit kemudian membantu mencari rumah sakit yang bekerja sama dengan
BPJS agar Debora bisa dipindahkan dan dirawat ke ruang khusus. 
Sekitar pukul 09.15 WIB, rumah sakit mendapat konfirmasi bawah ada rumah sakit
bekerja sama dengan BPJS dan punya ruang khusus untuk perawatan intensif anak.
Koordinasi antardokter segera dilakukan untuk mengetahui kondisi bayi Debora.
Namun saat koordinasi dilakukan, perawat memberitahukan bahwa kondisi Debora
memburuk.
Dokter segera bertindak. “Setelah melakukan resusitasi jantung paru selama 20 menit,
segala upaya yang dilakukan tidak dapat menyelamatkan nyawa
Pada kasus diatas pelangaran uu no berapa yg dilanggar kalau dikaitkan dengan kasus
dan berkaitan dengan hak warga negara,dan bagamana solusinya supaya kasus
tersebut tidak akan terjadi

https://megapolitan.kompas.com/read/2017/09/13/22582741/kisah-bayi-debora-dan-
pentingnya-implementasi-hak-atas-kesehatan?page=all

Menindaklanjuti kasus kematian bayi Debora, Komisi Perlindungan Anak


Indonesia (KPAI) menduga kuat RS Mitra Keluarga Kalideres melanggar UU
Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 Pasal 32 ayat 1 dan 2.
Pasal 32 ayat (1) berbunyi, "Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan
kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan
kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih
dahulu."
Ayat (2): "Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik
pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang
muka."

Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit pasal 29 ayat (1) huruf f.

pasal tersebut menyatakan bahwa rumah sakit berkewajiban melaksanakan fungsi sosial
antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak mampu/miskin,
pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulans gratis, pelayanan korban bencana
dan kejadian luar biasa, atau bakti sosial bagi misi kemanusiaan.

Sedangkan untuk mencapai perwujudan hak kesehatan tersebut, negara harus


melakukan tindakan sekurang-kurangnya 4 (empat) hal yaitu:
(1) menyusun ketentuan-ketentuan untuk melakukan pengurangan tingkat kelahiran-
mati dan kematian anak serta perkembangan anak yang sehat;
(2) melakukan perbaikan semua aspek kesehatan lingkungan dan industri;
(3) melakukan pencegahan, pengobatan dan pengendalian segala penyakit menular,
endemik, penyakit lainnya yang berhubungan dengan pekerjaan, dan 
(4) penciptaan kondisi-kondisi yang akan menjamin semua pelayanan dan perhatian
medis dalam hal sakitnya seseorang.
Komentar Umum Hak EKOSOB Nomor 14 terkait dengan "Hak atas Standar
Kesehatan Tertinggi yang Dapat Dijangkau" menegaskan bahwa hak atas kesehatan
dalam segala bentuknya dan semua levelnya mengandung elemen yang penting dan
terkait penerapan yang tepat akan sangat bergantung 4 (empat) hal:
A. Pertama, ketersediaan. Pelaksanaan fungsi kesehatan publik dan fasilitas
pelayanan kesehatan, barang dan jasa-jasa kesehatan, juga program-program,
harus tersedia dalam kuantitas yang cukup.
B. Kedua, aksesibilitas.
Fasilitas kesehatan, barang dan jasa, harus dapat diakses oleh tiap orang:
a) Tidak diskriminasi, harus dapat diakses oleh semua,terutama oleh masyarakat yang
marginal;
b) Akses secara fisik, fasilitas kesehatan, barang dan jasa harus dapat terjangkau
secara fisik dengan aman bagi semua, terutama bagi kelompok yang rentan atau
marginal;
c) Akses ekonomi, fasilitas kesehatan, barang dan jasa harus dapat terjangkau secara
ekonomi bagi semua, memastikan bahwa pelayanan ini, yang tersedia baik secara
privat maupun publik, terjangkau oleh semua, termasuk kelompok yang tidak
beruntung secara sosial. Kesamaan mensyaratkan bahwa masyarakat miskin tidaklah
harus dibebani biaya kesehatan secara tidak proporsional dibandingkan dengan
masyarakat kaya;
d) Akses informasi, aksesibilitasnya mencakup hak untuk mencari dan menerima atau
membagi informasi dan ide, mengenai masalah-masalah kesehatan.

C. Ketiga, penerimaan. Segala fasilitas kesehatan, barang dan pelayanan harus


diterima oleh etika medis dan sesuai secara budaya, misalnya menghormati
kebudayaan individu-individu, kaum minoritas, kelompok dan masyarakat,
sensitif terhadap jender dan persyaratan siklus hidup.
D. Keempat, kualitas. Selain secara budaya diterima, fasilitas kesehatan, barang dan
jasa harus secara ilmu dan secara medis sesuai serta dalam kualitas yang baik. Hal
ini mensyaratkan antara lain, personil yang secara medis berkemampuan, obat-
obatan dan perlengkapan rumah sakit yang secara ilmu diakui dan tidak
kedaluwarsa, air minum aman dan dapat diminum, serta sanitasi yang memadai.

Anda mungkin juga menyukai