Anda di halaman 1dari 14

PROPOSAL

AKIBAT HUKUM ATSA KELALAIAN TENAGA KESEHATAN


TERHADAP PENOLAKAN PASIEN MISKIN DALAM KEADAAN
DARURAT

Disusun Oleh:
Nama : Rd. Evi Nurasih Salamah
NPM : 201000352
Program Kekhususan : Hukum Perdata

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PASUNDAN BANDUNG
2024

i
DAFTAR ISI

Hal
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB 1. PENDAHULUAN .................................................................................. 1
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 5
BAB 3. METODE RISET ................................................................................... 12
BAB 4. BIAYA DAN HJADWAL KEGIATAN ............................................... 18
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 19

ii
BAB 1. PENDAHULUAN
Kesehatan merupakan keadaan seseorang yang mencakup aspek sosial,
fisik, dan mental, yang bertujuan untuk mencapai kehidupan yang produktif
sesuai dengan UU No. 17 Tahun 2023. Kesehatan diartikan sebagai hak dasar
manusia yang bernilai penting dalam mencapai kesejahteraan sesuai Pancasila
dan Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam
usaha meningkatkan kesehatan masyarakat, prinsip-prinsip seperti partisipatif,
nondiskriminatif, berkelanjutan, dan perlindungan harus diterapkan. Peran
sentral dimiliki oleh rumah sakit dalam menjaga dan meningkatkan kesehatan
masyarakat.
Pelayanan medis dilaksanakan di rumah sakit tidak selalu berjalan secara
optimal dan dapat menyebabkan dampak yang tidak diinginkan, seperti
kematian, kelumpuhan, atau kondisi serupa. Rekam medis memiliki peran
penting dalam bidang kesehatan, menjadi alat bantu bagi pasien dan tenaga
medis, sebagaimana diamanatkan pada Pasal 173 ayat (1) huruf c dan Pasal 296
UU No. 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan. Perlu diingat bahwa pasien
memiliki hak untuk mengajukan tuntutan secara perdata terhadap tenaga medis
atau rumah sakit apabila terdapat kelalaian atau kesengajaan yang
menyebabkan dampak merugikan dalam penyelenggaraan layanan kesehatan.
Pelayanan kesehatan, pada Pasal 1 ayat (3) UU No. 17 Tahun 2023,
bertujuan untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan masyarakat serta
menunjang Pelayanan Kesehatan. Rumah sakit diharapkan menjalankan fungsi
sosialnya dengan memberikan layanan kesehatan berkualitas tinggi, aman,
efektif, dan tanpa diskriminasi. Terdapat juga kewajiban untuk menyediakan
layanan Gawat Darurat tanpa persyaratan uang muka, terutama pada kondisi
darurat yang memerlukan tindakan medis segera.
Pelayanan kesehatan yang tidak sesuai atau penolakan terhadap
masyarakat kurang mampu oleh rumah sakit dapat dianggap sebagai
malpraktik. Tanggung jawab hukum atas kerugian disebabkan oleh kelalaian
petugas medis diatur oleh Pasal 193 UU Republik Indonesia No. 17 Tahun
2023 tentang Kesehatan.
Rumah sakit, puskesmas dan klinik sebagai fasilitas pelayaanan
kesehatan harus menetapkan standar keselamatan pasien dan menjaga standar
mutu pelayanan di rumah sakit. Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk
membangun rumah sakit yang berkualitas tinggi dan mempersiapkan sistem
kesehatan yang handal dalam menghadapi bencana, serta menyediakan akses
layanan kesehatan yang memadai.
Perlu diingat bahwa setiap individu memiliki hak yang setara untuk
memperoleh perawatan yang layak dan bermutu tanpa adanya diskriminasi
dalam pelayanan kesehatan. Malpraktik dan penolakan terhadap pasien yang
miskin atau tidak mampu dapat mengakibatkan kerugian serius bagi pasien

1
2

tersebut, sehingga rumah sakit harus bertanggung jawab secara hukum atas
tindakan tersebut.
Hak asasi manusia, yang dijamin oleh UU No. 39 Tahun 1999,
menegaskan hak setiap warga negara untuk menikmati kehidupan yang sehat
dan sejahtera. Pasien memiliki hak untuk diakui sebagai penerima pelayanan
kesehatan tanpa adanya diskriminasi, terutama bagi mereka yang memiliki
keterbatasan ekonomi.
Pertanggungjawaban hukum, perlindungan terhadap hak asasi manusia,
dan penanganan malpraktik menjadi hal yang penting dalam upaya memastikan
kesetaraan dan keadilan dalam pelayanan kesehatan. Ini bertujuan untuk
menjaga kesejahteraan pasien dan masyarakat secara keseluruhan sesuai
dengan prinsip-prinsip hukum dan hak asasi manusia.
B. TINJAUAN PUSTAKA
a. Fakta Hukum
1. Wiwik menantu dari pihak korban mengaduka kepada DPRD bahwa
mertuanya ditolak di RSUD Jambi;
2. Pada tanggal 16 Juli 2023 korban sempat melakukan operasi dan
keluar dari rumah sakit pada tanggal 26 Juli 2023;
3. Pada malam senin tanggal 16 Juli 2023 mertua Wiwik yaitu korban
merasakan sakit yang luar biasa pasca operasi;
4. Setelah 4 (empat) hari pulang dari rumah sakit, korban kembali
mengalami sakit dan langsung pada hari itu dibawa ke rumah sakit
oleh keluarganya;
5. Pada saat itu korban sempat ditangani di ruang IGD (Instalasi Gawat
Darurat);
6. Pada saat datang ke rumah sakit sekitar pukul 11 malam dan menjalani
perawatan di IGD (Instalasi Gawat Darurat);
7. Perawatan yang dilakukan rumah skait terhadap korban sekitar 2 jam,
kemudian disuruh pulang dulu karena tidak membawa SKTM (Surat
Keterangan Tidak Mampu) dan harus bayar biaya perawatan di IGD
(Instalasi Gawat Darurat)
8. Sementara jika ingin membuat SKTM (Surat Keterangan Tidak
Mampu) itu harus pulang ke kampung di Sarolangun dan SKTM
(Surat Keterangan Tidak Mampu) tersebut sedang diurus oleh
keluarga yang berada di Sarolangun;
9. Sementara korban sedang berada di Jambi, di tempatnya Wiwik;
10. Karena Wiwik disuruh pulang oleh petugas disana untuk membawa
SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu) terlebih dahulu alhasil
mertuanya atau korban tersebut meninggal dunia;
11. Wiwik menjelaskan alasan dari petugas di RSUD, yang menyatakan
bahwa pasien perlu memiliki Surat Keterangan Tidak Mampu
3

(SKTM) dan memiliki kepesertaan BPJS agar dapat diterima kembali


di rumah sakit untuk menerima perawatan;
12. Pada saat itu alasan petugas juga bilang IGD (Instalasi Gawat Darurat)
sedang penuh, dan pasien harus pulang;
13. Petugas pihak rumah sakit mengatakan boleh kembali jika sudah
memiliki BPJS atau mengurus SKTM.
b. Penelusuran Dokumen
a. Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
1. Pasal 34 ayat (3)
Pada pasal ini menerangkan pemerintah wajib memenuhi kebutuhan
warga yang menghadapi keterbatasan ekonomi, dengan menempatkan
kesehatan sebagai prioritas dalam penyelenggaraan layanan
kemanusiaan.
2. Pasal 27 ayat (1)
Menyebutkan setiap warga negara memiliki kewajiban hormat dan
patuh aturan hukum tanpa kecuali dan memiliki hak yang sama dalam
hukun dan pemerintahan.
3. Pasal 28 ayat (1)
Pasal ini mengungkapkan bahwa tiap individu memiliki hak untuk
dikenali, dilindungi, dijamin, dan memperoleh perlakuan yang sama
di dalam hukum.
b. Kitab UU Hukum Perdata
Pasal 1365 dan 1366 KUHPerdata
1. Pasal 1365 :
Pada pasal tersebut jika seseorang menyebabkan kerugian pada orang
lain, maka orang tersebut memiliki kewajiban untuk mengganti
kerugian yang disebabkan oleh kesalahannya.
2. Pasal 1366 :
Pada pasal diatas menerangkan bahwa setiap individu yang
menanggung akibat dari perbuatannya harus memberikan ganti rugi
baik kerugian yang secara langsung terjadi maupun akibat dari
kelalaiannya.
c. UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan
1. Pasal 1 ayat (1)
Inti dari pasal ini adalah bahwa konsep kesehatan mencakup keadaan
keseluruhan seseorang yang mencakup aspek sosial, mental, dan fisik,
yang memungkinkan menjalani kehidupan yang produktif.
2. Pasal 1 ayat (3)
Pasal ini menyoroti bahwa Pelayanan Kesehatan melibatkan aktivitas
memberikan perawatan secara langsung terhadap individu dengan
tujuan meningkatkan dan memelihara kesehatan masyarakat. Terdapat
4

beragam pendekatan, termasuk pendekatan preventif, paliatif,


promotif, kuratif, dan/atau rehabilitative dalam pelayanan ini.
3. Pasal 1 ayat (7)
Pasal ini menerangkan bahwa orang yang berspesialisasi di bidang
kesehatan, profesionalisme, memiliki keterampilan dan pengetahuan
disebut sebagai Tenaga Kesehatan.
4. Pasal 1 ayat (10)
Pasal ini menyebutkan sebagai penyelenggara layanan kesehatan,
rumah sakit melaksanakan secara komprehensif kepada individu
dengan menggunakan berbagai pendekatan, termasuk pendekatan
preventif, paliatif, rehabilitative, promotive dan kuratif.
5. Pasal 1 ayat (23)
Pasal ini menjelaskan bahwa pasien adalah seseorang yang menerima
pelayanan kesehatan dari tenaga kesehatan. Dalam setiap situasi di
mana terjadi tindakan yang tidak menyenangkan atau kelalaian dari
tenaga kesehatan, kerugian yang paling dirasakan adalah oleh pasien
tersebut.
6. Pasal 1 ayat (24)
Pada dasarnya, pasal ini menyatakan bahwa gawat darurat merujuk
pada kondisi medis pasien yang memerlukan tindakan medis untuk
mencegah disabilitas dan menyelamatkan nyawa.
7. Pasal 4 ayat (1)
(1) Pasal ini menyatakan setiap individu berhak atas kehidupan sehat
dalam aspek sosial, fisik, dan mental, termasuk hak mendapatkan
pelayanan yang berkualitas, terjangkau dan aman agar mencapai
Tingkat Kesehatan yang optimal sesuai standar.
8. Pasal 173 ayat (1) huruf b
(1) Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib:
b. menjalankan Pelayanan Kesehatan dengan standar mutu
yang tinggi serta memprioritaskan keamanan Pasien
9. Pasal 173 ayat (1) huruf c
(1) Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib:
c. menyelenggarakan rekam medis;
10. Pasal 174 ayat (1) dan (2)
(1) Ayat ini menerangkan apabila seseorang menghadapi situasi
darurat, fasilitas pelayanan kesehatan yang dimiliki pusat atau
daerah diwajibkan memberikan pelayanan kesehatan dengan
fokus utama pada penyelamatan nyawa dan pencegahan
disabilitas.
(2) Ayat ini menerangkan secara esensial, dalam situasi darurat,
lembaga pelayanan kesehatan, termasuk yang dikelola oleh
pemerintah pusat atau daerah, tidak diizinkan menolak pasien dan
5

tidak boleh menuntut pembayaran di muka, sehingga tidak


menghambat proses pelayanan kesehatan bagi pasien.
11. Pasal 176 ayat (1) dan (2)
(1) Pasal ini menyebutkan adanya kewajiban dalam penerapan
standar terhadap keselamatan pasien.
(2) Penerapan standar keselamatan pasien melibatkan tindakan
mencegah dan menanggapi kejadian potensial yang dapat
membahayakan keselamatan pasien, termasuk manajemen resiko,
analisis, pelaporan penyelesaian masalah dan identifikasi.
12. Pasal 189 ayat (1) huruf b
(1) Setiap Rumah Sakit mempunyai kewajiban:
b. memberikan pelayanan yang berkualitas tinggi, tanpa
diskriminas, aman, dan efektif, dengan prioritas berdasar
pada standar.
13. Pasal 189 ayat (1) huruf e
Pasal ini menugaskan rumah sakit menyediakan fasilitas dan layanan
untuk masyarakat tidak mampu, menunjukkan perhatian khusus
kepada mereka yang kurang mampu atau miskin.
14. Pasal 189 ayat (1) huruf f
Pasal ini menyebutkan rumah sakit menyediakan fasilitas pelayanan
untuk Pasien yang miskin atau kurang mampu, termasuk layanan
instalasi gawat darurat secara gratis, ambulans gratis, pelayanan
terhadap korban bencana, serta berpartisipasi dalam bakti sosial
kemanusiaan.
15. Pasal 189 ayat (1) huruf g
(1) Setiap Rumah Sakit mempunyai kewajiban:
g. amyat ini menegaskan kepentingan rumah sakit dalam
menerapkan, menjaga, dan menciptakan standar mutu
layanan kesehatan di dalamnya.
16. Pasal 193
Pasal tersebut menegaskan kerugian akibat kelalaian petugas medis
ditanggung penuh oleh rumah sakit.
17. Pasal 199 ayat (1)
Pasal ini mengklasifikasikan jenis tenaga kesehatan, termasuk tenaga
klinis, kebidanan, keperawatan, psikologi, Kesehatan masyarakat,
kefarmasian, dan lainnya.
18. Pasal 296
(1) Rekam medis wajib dibuatkan oleh petugas medis yang menangani.
(2) Rekam medis adalah tanggung jawab Lembaga kesehatan.
(3) Pembuatan rekam medis harus dilakukan secara cepat setelah
Pasien selesai mendapatkan Pelayanan Kesehatan.
6

(4) Dicantumkannya nama, tanda tangan, dan waktu tenaga medis


dalam rekam medis merupakan suatu kewajiban.
(5) Kewajiban menyimpan dan menjaga kerahasiaan rekam medis
pasien ada pada tenaga kesehatan, tenaga medis, dan pimpinan.
19. Pasal 305
(1) Jika pelayanan yang diberikan merugikan kepentingan pasien
atau keluarganya, pasien berhak untuk menyampaikan
keluhannya kepada majelis sesuai ketentuan yang dijelaskan
dalam Pasal 304.
20. Pasal 306
(1) Tindakan indisipliner Tenaga Kesehatan dapat berujung pada
sanksi, seperti kewajiban mengikuti program pendidikan,
peringatan tertulis, penonaktifan STR (Surat Tanda Registrasi),
dan/atau rekomendasi pencabutan SIP (Surat Izin Praktik).
21. Pasal 308
(1) Ayat ini menjelaskan sebelum menghadapi sanksi pidana, Tenaga
Kesehatan yang didduga terlibat melakukan pelanggaran hukum
dalam penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan diwajibkan untuk
meminta rekomendasi majelis, seperti Pasal 304.
(2) Ayat ini menjelaskan jika Tenaga Kesehatan harus
bertanggungjawab atas tindakan atau perbuatan yang berdampak
perdata terhadap kerugian Pasien dalam pelaksanaan Pelayanan
Kesehatan, maka ia diwajibkan untuk meminta rekomendasi dari
majelis, sebagaimana Pasal 304.
d. UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
1. Pasal 4
Pasal ini menegaskan hak setiap individu, termasuk hak kebebasan
pribadi, hidup, berpikir, beragama, pengakuan, tidak ada perbudakan,
perlauan sama di hukum dan memiliki hati nurani. Hak asasi manusia
ini bersifat fundamental dan tidak dapat dikurangi oleh siapapun
dalam segala kondisi.
2. Pasal 9 (1)
Pasal ini menerangkan setiap individu berhak menikmati kehidupan
yang tenteram, damai, aman, sejahtera baik dari segi fisik maupun
mental, dan memiliki hak untuk menunjukkan bahwa mereka dalam
keadaan sehat.
e. UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
Pasal 34 :
Pasal diatas menerangkan bahwa pelayanan pada publik wajib
menunjukkan perilaku yang adil dan tanpa diskriminasi, berusaha dengan
cermat, menjalankan tugas secara professional, serta tidak menyulitkan
penerima layanan.
7

f. Tap MPR No. VII/MPR/1998


Ketetapan (TAP) MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia,
1. Kewajiban bangsa untuk menghargai hak asasi manusia yang
tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asisi Manusia Perserikatan
Bangsa-Bangsa dan instumen lainnya berkiatn dengan HAM.;
2. Merupakan hak mutlak dan universal untuk kemerdeaan,
perkembangan, dan terjaminnya kelangsungan hidup. Hak tersebut
tidak boleh dirampas, diganggu gugat ataupun diabaikan pihak
manapun.
g. Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 15 Tahun 2011
Tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan Pada Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Milik Pemerintah Daerah Di Luar Rumah Sakit
Pasal 1 ayat (27) :
Pasal ini menerangkan Pasien tidak mampu merujuk kepada individu yang
tidak memiliki kemampuan dalam administrasi Kesehatan untuk diri
sendiri maupun anggota keluarganya.
C. METODE RISET
Dalam menyelesaikan permasalahan yang teridentifikasi dalam fakta
hukum, penulis menggunakan alat analisis berupa interpretasi atau penafsiran
terhadap ketentuan perUUan. Penafsiran ini dilakukan untuk mengaplikasikan
suatu UU setelah UU tersebut dijelaskan atau memberikan penjelasan atas
prinsip-prinsip yang dianggap tidak jelas menurut UU (Tunardy, 2012). Oleh
karena itu, penafsiran hukum merupakan usaha untuk memberikan penjelasan
atau mengonfirmasi makna dari formulasi peraturan hukum yang dianggap
tidak jelas atau belum lengkap yang termaktub dalam suatu UU.
Penulis menggunakan dua pendekatan interpretasi: Gramatikal dan
Sistematis. Pendekatan Gramatikal atau Bahasa melibatkan penafsiran kata-
kata sesuai norma bahasa dan prinsip tata bahasa hukum. A.Pitlo menjelaskan
bahwa pendekatan ini berusaha mengungkap makna teks hukum berdasarkan
penggunaan kata-kata di dalamnya. Pendekatan Sistematis atau Logis adalah
metode penafsiran hukum yang memandang UU sebagai bagian dari seluruh
sistem peraturan perundang-undangan, menjalin hubungannya antar peraturan
hukum lainnya. Diterapkan karena UU intrinsik terkait dengan regulasi
lainnya, tidak dapat dipahami secara terpisah.
a. Interpretasi Gramatikal atau Bahasa
1. Istilah “sehat” pada Pasal 1 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2023 mengenai
Kesehatan adakalanya ditafsirkan sebagai “akal waras, tidak gila”.
2. Istilah “pelayanan” pada Pasal 1 ayat (3) UU No. 17 Tahun 2023
mengenai Kesehatan adakalanya ditafsirkan sebagai “orang yang
melayani”.
8

3. Istilah “Tenaga Kesehatan” pada Pasal 1 ayat (7) UU No. 17 Tahun


2023 mengenai Kesehatan adakalanya ditafsirkan sebagai “Tenaga
kerja dalam bidang kesehatan”.
4. Istilah “Lalai” pada Pasal 1366 KUHPerdata UU No. 17 Tahun 2023
mengenai Kesehatan adakalanya ditafsirkan sebagai “kurang hati-
hati”.
5. Istilah “Rumah Sakit” pada Pasal 1 ayat (10) UU No. 17 Tahun 2023
mengenai Kesehatan adakalanya ditafsirkan sebagai “gedung tempat
merawat orang sakit”.
6. Istilah “miskin/tidak mampu” pada Peraturan Daerah Kabupaten
Bandung Nomor 15 Tahun 11 Tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan
Pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan Milik Pemerintah Daerah Di
Luar Rumah Sakit adakalanya ditafsirkan sebagai “tidak berharta”.
7. Istilah “Gawat Darurat” pada Pasal 1 ayat (24) UU No. 17 Tahun 2023
tentang Kesehatan adakalanya ditafsirkan sebagai “bagian rumah sakit
untuk melayani dan menampung pasien luka parah”.
b. Interpretasi Sistematis atau Logis
1. UU Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dihubungkan
dengan UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan
Pasal 34 ayat (3) menegaskan kewajiban pemerintah untuk memenuhi
kebutuhan warga yang mengalami keterbatasan ekonomi dengan
menjadikan kesehatan sebagai prioritas dalam pelayanan
kemanusiaan. Ini mencakup penyediaan layanan kesehatan yang
berkualitas, aman, dan terjangkau, serta perawatan sesuai standar
operasional. Pasal ini berkaitan dengan Pasal 4 ayat (1) huruf (c) dan
(d) UU No. 17 tahun 2023 mengenai kesehatan, yang menyatakan
tiap-tiap individu memiliki hak untuk diberikan layanan Kesehatan
yang aman, terjangkau, dan berkualitas sesuai standar negara.
2. UU Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dihubungkan
dengan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Pasal 27 ayat (1) UUD RI Tahun 1945 menegaskan kesetaraan tiap
individu dalam ranah pemerintah dan hukum, dengan kewajiban patuh
pada hukum tanpa pengecualian. Prinsip ini sejalan dengan Pasal 28
ayat (1) yang menjamin hak individu terhadap perlakuan adil di mata
hukum. Keselarasan ini juga mencerminkan nilai-nilai hak asasi
dalam UU No. 39 Tahun 1999, terutama Pasal 4 yang menegaskan
hak-hak individu seperti hak hidup, persamaan hak dalam hukum, dan
kebebasan. Pasal 9 ayat (1) UU tersebut juga menegaskan hak tiap-
tiap individu untuk hidup dan peningkatan taraf hidupnya.
3. Kitab UU Hukum Perdata dihubungkan dengan UU No. 17 Tahun
2023 tentang Kesehatan
4. Pasal 1365 dan 1366 KUHPerdata
9

a) Pasal 1365 :
Pasal diatas menjelaskan bahwa setiap individu yang
menyebabkan kerugian kepada orang lain diharuskan mengganti
kerugian tersebut akibat kelalaiannya.
b) Pasal 1366 :
Pasal diatas menjelaskan bahwa setiap individu yang bertanggung
jawab atas kesalahannya harus mempertanggungjawabkan
tindakannya, tidak hanya karena adanya kerugian materi,
melainkan juga akibat kelalaiannya atau kurang kewaspadaannya.
Jika dikaitkan dengan Pasal 193 yang menyebutkan rumah sakit
menanggung penuh kerugian akibat kelalaian petugas medis di
dalamnya secara hukum. Kedua UU ini saling terkait karena keduanya
menegaskan bahwa setiap individu harus mempertanggungjawabkan
perbuatannya yang dapat merugikan orang lain akibat kesalahan atau
kelalaian, dan bertanggung jawab hukum terhadap kerugian yang
timbul dari kelalaian sumber daya manusia kesehatan di dalamnya.
5. UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dihubungkan dengan UU
Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
Dalam Pasal 189 ayat (1) huruf b UU No. 17 Tahun 2023
(1) Setiap Rumah Sakit mempunyai kewajiban:
b. ketika menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan, prioritas
didasarkan pada standar pelayanan sesuai dengan urgensi
tiap-tiap pasien, dengan aspek keselamatan, kualitas tinggi,
bebas diskriminasi, dan efektif
Berkaitan dengan pasal 34 UU Republik Indonesia Nomor 25 Tahun
2009 tentang Pelayanan Publik menegaskan bahwa rumah sakit,
sebagai penyedia pelayanan publik, diwajibkan memberikan
pelayanan kesehatan secara adil, tidak diskriminatif, cermat, dan
profesional. Artinya, rumah sakit memiliki peran krusial dalam
memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, diharapkan
dapat menjaga prinsip-prinsip tersebut tanpa membedakan lapisan
masyarakat serta memastikan tidak ada kesulitan administrasi dalam
mengakses pelayanan kesehatan.
6. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dihubungkan
dengan Tap MPR No. VII/MPR/1998
Pasal 4 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
menyebutkan hak-hak fundamental tiap individu, meliputi kebebasan
pribadi, hak hidup, pemikiran, hak beragama, dan hati nurani, serta
hak diakui dan diperlakukan setara di hadapan hukum, hal tersebut
dalam kondisi apapun tidak dapat dikurangi oleh siapa pun. Selain itu,
hak tiap individu untuk hidup dan bertahan hidup serta peningktan
taraf hidupnya ditegaskan dalam Pasal 9 (1). Hak-hak ini dianggap
10

hak dasar yang melekat pada hakikat manusia dan wajib diakui serta
dihormati tanpa pengecualian
Dihubungkan dengan Ketetapan (TAP) MPR No. XVII/MPR/1998
tentang Hak Asasi Manusia,
a) Ayat ini menyatakan kewajiban bangsa Indonesia untuk
menghormati hak asasi sesuai dengan Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia dan instrumen internasional lainnya;
b) Hak asasi manusia dianggap sebagai hak fundamental yang
dimiliki manusia, bersifat kodrati dan universal merupakan
anugrah. Peran krusial hak-hak tersebut dalam menjamin
kemerdekaan, perkembangan manusia dan Masyarakat serta
kelangsungan hidup yang tidak boleh dirampas atau dirampas
oleh siapapun.
Jika dilihat dari dua peraturan tersebut, keduanya memiliki keterkaitan
karena keduanya menegaskan bahwa tiap-tiap individu memiliki hak
bertahan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.
D. BIAYA DAN JADWAL KEGIATAN
DAFTAR PUSTAKA

Admin. (2021). Menolak Memberikan Tindakan Medis di Rumah Sakit. Magister


Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Medan Area.
https://mh.uma.ac.id/menolak-memberikan-tindakan-medis-di-rumah-
sakit/
Agustina, Z., & Hariri, A. (2022). Pertanggung jawaban Pidana Atas Kelalaian
Diagnosa Oleh Dokter Hingga Mengakibatkan Kematian Anak Dalam
Kandungan. IBLAM Law Review, 2(2).
https://doi.org/https://doi.org/10.52249/ilr.v2i2.79
Budo, A., Tulusan, F., & Tampi, G. (2020). Efektvitas Pelayanan Kesehatan Di
Rumah Sakit Pancaran Kasih Manado. Jurnal Administrasi Publik, 6(94).
Ismainar, Hetty, Widodo, M. D., & Candra, L. (2021). Organisasi Management
Kesehatan. Widina Bhakti Persada Bandung.
Ratih, G. A. N. A. D. S., & Purwani, S. P. M. E. (2019). Pertanggungjawaban
Pidana Terhadap Pemalsuan Rekam Medis Oleh Tenaga Medis. Jurnal
Kertha Wicara, 8(8), 2.
Rokayah, S., & Widjaja, G. (2022). Kelalaian (Negligence) Dan Malpraktik Medis.
Cross-border, 5(1), 463–473.
Romadhoni, H. (2021). Pertanggungjawaban Perdata Rumah Sakit Dalam Hal
Penolakan Pasien Miskin Pada Keadaan Gawat Darurat. Privat Law, 9(1).
Saraswati, Y. P., & Hufron. (2023). Pertanggungjawaban Hukum Oleh Rumah
Sakit Atas Penolakan Medis Pasien Tidak Mampu Berdasarkan UU Nomor
44 Tahun 2009. Bureauracy Journal: Indonesia Journal of Law and Social-
Political Governance, 3(1), 921–934.
Simatupang, N. S. (2021). Tanggungjawab Perdata Dokter Yang Melakukan
Kelalaian (Negligence) Terhadap Pasien Di Rumah Sakit (Studi Putusan
Nomor: 97/Pdt.G/2013/PN.Plg). Jurnal Pencerah Bangsa, 1(1).
Sondakh, V., Lengkong, F. D. ., & Palar, N. (2023). Kualitas Pelayanan Kesehatan
Rawat Jalan Di Rumah Sakit Umum Daerah Noongan. Jurnal Administrasi
Publik JAP, 4(8), 244=253.
Tunardy, W. T. (2012). Penafsiran Hukum. Jurnal Hukum.
https://jurnalhukum.com/penafsiran-hukum-interpretasi-hukum/

11
12

Anda mungkin juga menyukai