Anda di halaman 1dari 73

SKRIPSI

PULANG ATAS PERMINTAAN SENDIRI SEBAGAI ALASAN


PENGHENTIAN PELAYANAN KESEHATAN KEPADA PASIEN
DI RUMAH SAKIT (DITINJAU DARI HUKUM PERJANJIAN)

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mengikuti Seminar Proposal


Pada Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

Oleh:

ANNISA PUTRI

NAULI 02011281823134

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS

SRIWIJAYA 2022
HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN MENGIKUTI UJIAN
KOMPREHENSIF

Nama : Annisa Putri Nauli


NIM 02011281823134
Program Kekhususan : Hukum Perdata

JUDUL

PULANG ATAS PERMINTAAN SENDIRI SEBAGAI ALASAN


PENGHENTIAN PELAYANAN KESEHATAN KEPADA PASIEN DI
RUMAH SAKIT (DITINJAU DARI HUKUM PERJANJIAN)

Indralaya, 2022
Disetujui oleh:

Pembimbing Utama Pembimbing Pembantu

Dr. M., Syaifuddin, S.H., M.Hum. Helena Primadianti, S.H.,


M.H. NIP. 197307281998021001 NIP. 198609142009022004

Mengetahui,
Ketua Bagian Hukum Perdata

Dr. M., Syaifuddin, S.H., M.Hum.


NIP. 197307281998021001

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.....................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN......................................................................ii
DAFTAR ISI................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang......................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................9
C. Tujuan Penelitian..................................................................................9
D. Manfaat Penelitian..............................................................................10
E. Ruang Lingkup...................................................................................11
F. Kerangka Teori...................................................................................11
1. Teori Perjanjian..............................................................................11
2. Teori Hubungan Hukum Dalam Pelayanan Kesehatan..................14
3. Transaksi Terapeutik......................................................................15
G. Definisi Konseptual............................................................................17
1. Pelayanan Kesehatan......................................................................17
2. Rumah Sakit...................................................................................18
3. Dokter.............................................................................................18
4. Pasien..............................................................................................19
5. Pulang Atas Permintaan Sendiri.....................................................19
H. Metode Penelitian...............................................................................20
1. Jenis penelitian...............................................................................20
2. Pendekatan Penelitian.....................................................................20
3. Jenis dan Sumber Bahan Hukum....................................................21
4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum..............................................22
5. Teknik Analisis Bahan Hukum......................................................22
6. Teknik Penarikan Kesimpulan.......................................................23
I. Sistematika Penulisan.........................................................................24

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA


A. Pelayanan Kesehatan..........................................................................25
1. Pengertian Pelayanan Kesehatan....................................................25
2. Jenis Pelayanan Kesehatan.............................................................26
3. Stratifikasi Pelayanan Kesehatan...................................................28
4. Hubungan Hukum Dalam Pelayanan Kesehatan............................30
B. Rumah Sakit........................................................................................36
1. Pengertian Rumah Sakit.................................................................36
2. Tugas dan Fungsi Rumah Sakit......................................................36
3. Asas dan Tujuan Rumah Sakit.......................................................39
4. Hak dan Kewajiban Rumah Sakit...................................................40
C. Pasien..................................................................................................41
1. Pengertian Pasien............................................................................41
2. Hak Pasien......................................................................................42
3. Kewajiban Pasien...........................................................................44

iii
D. Pulang Atas Permintaan Sendiri.........................................................45
E. Perjanjian............................................................................................46
1. Pengertian Perjanjian......................................................................46
2. Syarat Sah Perjanjian......................................................................48
3. Unsur-Unsur Perjanjian..................................................................51
4. Asas-Asas Perjanjian......................................................................52

BAB 3 PEMBAHASAN
A. Kedudukan Informed Consent dalam Perjanjian Terapeutik terhadap
Pasien Pulang Atas Permintaan Sendiri sebagai Alasan Penghentian
Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit................................................55
B. Akibat Hukum Pasien Pulang Atas Permintaan Sendiri sebagai Alasan
Penghentian Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit berdasarkan
Hukum Perjanjian...............................................................................64

iv
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sehat adalah hak seluruh masyarakat dan Negara wajib memastikan

rakyatnya sehat. Konsep sehat menurut World Health Organization (WHO)

yaitu suatu keadaan yang tidak hanya terbebas dari penyakit, kelemahan,

cacat, tetapi juga memiliki kondisi sempurna baik secara fisik, mental

maupun sosial.1 Kesehatan merupakan hak asasi manus ia dan merupakan

unsur kesejahteraan sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Dasar

Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 34 ayat (3).

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang

Dasar Republik Indonesia tahun 1945 yang berbunyi: “Setiap orang berhak

hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan

lingkungan yang sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. 2

Serta ketentuan dalam Pasal 34 ayat (3) yang berbunyi: “Negara

bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan

fasilitas pelayanan umum yang layak”.3

1
Nadya, 2013, Konsep Sehat dan Sakit, https://uin-alauddin.ac.id/tulisan/detail/konsep-
sehat-dan- sakit, Diakses 04 Januari 2022, Pukul 22.11 WIB
2
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 H ayat 1
3
Ibid, Pasal 34 ayat 3

v
6

Maka dari itu, dalam rangka melindungi hak rakyat dalam bidang

kesehatan, sekaligus juga untuk melindungi rakyat dari tindak kejahatan

yang berhubungan dengan kesehatan, Pemerintah melakukan upaya

perlindungan dengan menetapkan dasar hukum berupa suatu peraturan

perundang-undangan, yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36

Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Salah satu cara Negara untuk memastikan rakyatnya sehat melalui

Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dan Rumah Sakit. Rumah sakit

merupakan sarana pelayanan kesehatan masyarakat yang mempunyai fungsi

utama sebagai penyelenggara upaya kesehatan, pengobatan serta pemulihan

kesehatan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009

tentang Rumah Sakit mendefinisikan rumah sakit sebagai institusi

pelayanan di bidang kesehatan yang melayani kesehatan perorangan secara

paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis, dan

menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. 4 Dalam

penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan, rumah

sakit harus bertindak sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit.

Inti dari sebuah pelayanan kesehatan yang diberikan oleh rumah sakit

adalah masyarakat. Maka dari itu, sebuah rumah sakit harus meningkatkan

mutu dan kualitas pelayanan kesehatan sehingga nantinya mampu

menunjang kesembuhan fisik pasien secara maksimal. Seiring dengan

berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, kebutuhan masyarakat

untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan kesembuhan semakin

meningkat. Tidak hanya terbatas pada itu saja, tuntutan untuk menerima

pelayanan terbaik, efisien, cepat, dan aman pun ikut meningkat. Untuk

4
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang
Rumah Sakit
7

mengukur mutu dan kualitas pelayanan kesehatan dapat dilakukan dengan

memperhatikan indikator-indikator mutu pelayanan rumah sakit yang

ditetapkan oleh pemerintah yaitu Standar Pelayanan Minimal. Standar

Pelayanan Minimal di bidang kesehatan merupakan ketentuan mengenai

jenis dan mutu pelayanan dasar minimal bidang kesehatan yang merupakan

urusan pemerintahan wajib yang berhak diperoleh setiap warga negara.5

Menurut Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah

Sakit, pelayanan kesehatan yang diberikan oleh rumah sakit kepada Pasien

berupa pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.

Dalam memberikan pelayanan kesehatan, dokter wajib menjelaskan segala

hal yang berkaitan tentang pelayanan kesehatan yang diberikan oleh pihak

rumah sakit melalui dokter kepada pasien. Berdasarkan hal tersebut, dalam

hal pemberian pelayanan harus ada persetujuan dari pasien atas dasar

informasi yang telah diberikan, atau biasa disebut dengan informed

consent. Informed consent6 merupakan suatu pernyataan pasien yang isinya

berupa persetujuan mengenai rencana tindakan medis yang akan dilakukan

oleh dokter setelah pasien menerima informasi yang cukup dan jelas

sebagaimana diatur pada Pasal 8 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009

tentang Kesehatan dan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004

tentang Praktik Kedokteran.

Akan tetapi, ada kalanya pasien atau keluarga pasien menolak untuk

diberikan pengobatan, tindakan kedokteran, atau rawat inap di rumah sakit.

5
Pasal 1 Angka 2 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 4 Tahun
2019 tentang Standar Teknis Pemenuhan Mutu Pelayanan Dasar Pada Standar Pelayanan
Minimal Bidang Kesehatan
6
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 585/Menkes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan
Tindakan Medis
8

Pasien atau keluarga pasien lebih memilih untuk pulang dari rumah sakit

yang merawatnya dengan berbagai alasan seperti ingin mencari rumah sakit

yang lebih baik, ingin dirawat dirumah saja, atau sudah merasa sehat. Hal

ini dikenal dengan istilah Pasien Pulang Atas Permintaan Sendiri (PAPS)

atau biasanya juga sering disebut dengan istilah pulang paksa. Pulang paksa

adalah pasien yang pulang dari rumah sakit atas permintaan keluarga pasien

ataupun pasien sebelum diputuskan atau diizinkan boleh pulang oleh

dokter.

Apabila mengacu pada ketentuan dalam Keputusan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia Nomor 129/Menkes/SK/II/2008 tentang

Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit dipersyaratkan bahwa standar

kejadian pulang paksa pada rumah sakit di Indonesia adalah kurang dari

5%.7 Di Indonesia, khususnya di Provinsi Kepulauan Riau, data dari

Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Raja Ahmad Thabib menunjukkan

bahwa prevalensi pasien Pulang Atas Permintaan Sendiri tercatat di salah

satu ruang rawat inap selama tahun 2017 sebanyak 2,4% dari total 1.512

pasien, sedangkan di tahun 2018 tercatat selama tiga bulan terakhir yaitu

bulan Januari sampai dengan Maret 2018 mencapai 2,7%. Jadi, jumlah

pasien yang Pulang Atas Permintaan Sendiri (PAPS) mengalami kenaikan

sekitar 0,3% dari tahun sebelumnya (Rekam Medik RSUD Raja Ahmad

Thabib , 2018).8 Selain itu, menurut data primer dari RSUD dr. Rasidin

7
Diktum Nomor 3 Indikator 9 tentang Kejadian Pulang Paksa berdasarkan Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 129/Menkes/SK/II/2008 tentang Standar
Pelayanan Minimal Rumah Sakit
8
Liza Wati, dkk, Kejadian Pasien Pulang Atas Permintaan Sendiri (PAPS) di RSUD Raja
Ahmad Thabib Provinsi Kepulauan Riau, Jurnal Menara Medika, Edisi September 2021,
Vol. 4, No.1, hlm. 98
9

Padang Tahun 2019 dari 992 pasien menunjukkan ada sekitar 80 pasien

yang pulang atas permintaan sendiri. Jika diakumulasikan, jumlah pasien

pulang atas permintaan sendiri pada RSUD dr. Rasidin Padang sebanyak

8,06%. penelitian oleh Lubis dan Simanjorang tahun 2018 menunjukkan

bahwa alasan paling berpengaruh pasien pulang atas permintaan sendiri

adalah ketidakpuasan dengan sarana dan prasarana yang diberikan rumah

sakit dan permasalahan biaya perawatan selama di rumah sakit.

Penyebab utama pasien yang Pulang Atas Permintaan Sendiri (PAPS)

biasanya sebagai ungkapan kekecewaan, ketidakpuasan, dan hilangnya

kepercayaan (mitrust) terhadap rumah sakit. Hal ini tentu saja

menyebabkan kerugian bagi kedua pihak, pihak rumah sakit akan rugi

karena pendapatan berkurang dan pihak pasien atau keluarga merasa

dirugikan karena pengobatan belum tuntas sehingga harus mencari

pengobatan alternatif lain yang mungkin dapat menambah kerugian seperti

kecacatan atau kematian.9 Menurut penelitian oleh Lubis dan Simanjorang

tahun 2018 menunjukkan bahwa alasan paling berpengaruh pasien pulang

atas permintaan sendiri adalah ketidakpuasan dengan sarana dan prasarana

yang diberikan rumah sakit dan permasalahan biaya perawatan selama di

rumah sakit.10

Pulang Atas Permintaan Sendiri (PAPS) merupakan pemutusan

kontrak kesepakatan antara provider dengan pasien sesuai dengan Undang-

Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran bahwa kegiatan

9
Lubis, Faktor Yang Memengaruhi Kejadian Pulang Atas Permintaan Sendiri (PAPS),
Jurnal Rekam Medic, hlm.54-55
10
M. Firza Syahlefi Lubis dan Aisyah Simanjorang, Faktor Yang Memengaruhi Kejadian
Pulang Atas Permintaan Sendiri (PAPS) Pada Pasien Rawat Inap di RSU Madani Kota
Medan, Jurnal Rekam Medic, Edisi Februari 2018, Vol.1, No.2, hlm.57
10

pelayanan diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan antara provider

dengan pasien dalam upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan

penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan

kesehatan. Selain itu, dampak terhadap rumah sakit dari terjadinya pasien

Pulang Atas Permintaan Sendiri (PAPS) yaitu memperburuk citra rumah

sakit yang mana dicap tidak dapat memberikan kesembuhan pada pasien

sehingga dapat menurunkan kualitas pelayanan rumah sakit.11

Dari kaca mata hukum, fenomena pasien yang Pulang Atas

Permintaan Sendiri (PAPS) berkaitan dengan hukum perjanjian. Perjanjian

dapat diartikan sebagai suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. 12 Dalam hal ini,

perbuatan yang terjadi antara pasien dengan dokter dapat dikatakan sebagai

suatu perjanjian, karena adanya kesepakatan yang menimbulkan suatu

hubungan hukum dan bersifat mengikat.13

Kesepakatan antara pasien dan dokter merupakan Transaksi

Terapeutik atau juga dikenal dengan istilah Perjanjian Terapeutik. Surat

Keputusan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia No. 221/PB/A.4/2002

tentang Penerapan Kode Etik Kedokteran Indonesia menjelaskan bahwa

perjanjian terapeutik merupakan hubungan antara dokter dengan pasien

yang disebabkan karena adanya landasan kepercayaan (konfidensial), serta

senantiasa diliputi oleh segala emosi, harapan, dan kekhawatiran makhluk


11
Mega Warni Harahap, dkk, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keputusan Pulang
Atas Permintaan Sendiri Pasien Di Rumah Sakit Kota Pinang, Jurnal Kajian Kesehatan
Masyarakat, Edisi November 2019 - April 2020, Vol. 1, No. 2, hlm. 24
12
Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
13
Febrina Elisa, dkk, Kajian Hukum Informed Consent Pada Perjanjian Terapeutik Antara
Dokter dan Pasien Dibawah Umur Berdasarkan Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008
tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, Diponegoro Law Review, Tahun 2016, Vol. 5,
No. 1, hlm. 2-3
11

insani.

Dalam perjanjian terapeutik terdapat persetujuan tindakan medik

yang terjadi antara dokter dengan pasien. Beberapa upaya dalam pelayanan

kesehatan adalah usaha penyembuhan penyakit, meringankan penderitaan,

dan memperpanjang hidup. Dengan adanya perjanjian ini, maka akan

melahirkan hak dan kewajiban dari masing-masing pihak. Perjanjian

Terapeutik bersifat khusus, yang terletak pada objek perjanjian. Objek dari

perjanjian ini adalah pelayanan yang diberikan oleh dokter kepada pasien

dan sifatnya inspanningverbintenis, yaitu upaya dokter untuk melakukan

tindak medik yang tepat guna menyembuhkan pasien.14

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) tidak

dikenal istilah Perjanjian Terapeutik, akan tetapi unsur yang terkandung di

dalamnya dikategorikan sebagai suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam

Pasal 1319 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), yang

menjelaskan bahwa untuk semua perjanjian baik yang mempunyai suatu

nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu,

tunduk pada peraturan umum mengenai perikatan pada umumnya.

Pada hakikatnya, satu dari penyebab terhapusnya perjanjian

terapeutik apabila pasien atau keluarga pasien meminta sendiri untuk

menghentikan tindakan medis. Masih tingginya angka pasien pulang atas

permintaan sendiri di berbagai rumah sakit di indonesia akan berpengaruh

terhadap banyak hal, presepsi masyarakat akan rumah sakit yang

14
Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Jakarta:
PT. Rineka Cipta, 2013, hlm. 11
12

memberikan pelayanan kesehatan akan menjadi buruk akibat banyaknya

pasien yang memutuskan perjanjian terapeutik. Selain itu, pasien yang

pulang atas permintaan sendiri tentunya akan berdampak terhadap

kesehatannya yang semakin memburuk atau bahkan meninggal dunia.

Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk melakukan

penelitian skripsi berdasarkan sudut pandang hukum perjanjian yang

tentunya berguna melindungi dokter dan pasien dengan judul “Pulang Atas

Permintaan Sendiri Sebagai Alasan Penghentian Pelayanan Kesehatan

Kepada Pasien Di Rumah Sakit (Ditinjau Dari Hukum Perjanjian)”.


13

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang sebagaimana diuraikan di atas, adapun

rumusan masalah yang akan dibahas adalah:

1) Bagaimana kedudukan informed consent dalam perjanjian terapeutik

terhadap pasien yang Pulang Atas Permintaan Sendiri sebagai alasan

penghentian pelayanan kesehatan di rumah sakit?

2) Bagaimana akibat hukum yang timbul terhadap pasien yang Pulang

Atas Permintaan Sendiri sebagai alasan penghentian kesehatan di rumah

sakit berdasarkan hukum perjanjian?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, adapun tujuan dari penelitian

ini adalah:

1) Untuk mengetahui dan menganalisis kedudukan informed consent

dalam perjanjian terapeutik terhadap pasien yang Pulang Atas

Permintaan Sendiri sebagai alasan penghentian pelayanan kesehatan di

rumah sakit.

2) Untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum yang timbul

terhadap pasien yang Pulang Atas Permintaan Sendiri sebagai alasan

penghentian pelayanan kesehatan berdasarkan hukum perjanjian.


14

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang ingin dicapai dan diperoleh dari penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1) Manfaat Teoritis

a. Dalam penulisan skripsi diharapkan dapat menjadi salah satu

sumber pengembangan ilmu bagi penulis untuk menambah

pengetahuan, serta mengkaji lebih luas mengenai pasien yang

Pulang Atas Permintaan Sendiri dari perspektif Hukum Perjanjian

dan kaitannya dengan Undang-Undang Kesehatan atau Peraturan

Menteri Kesehatan. Serta penulis berkesempatan untuk

mengimplementasikan teori-teori yang selama ini diperoleh di

bangku kuliah.

b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran

bagi ilmu pengetahuan hukum terutama mengenai pasien yang

Pulang Atas Permintaan Sendiri sebagai alasan penghentian

pelayanan kesehatan di rumah sakit.

c. Penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan sumber kepustakaan

dalam penelitian selanjutnya sesuai kajian penelitian yang terkait.

2) Manfaat secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi

perkembangan hukum dan memberikan sumbangsih pemikiran,

pemberian masukan, serta tambahan ilmu pengetahuan mengenai pasien

yang Pulang Atas Permintaan Sendiri sebagai alasan penghentian


15

pelayanan kesehatan di rumah sakit.

E. Ruang Lingkup

Berdasarkan rumusan masalah yang ada, maka penulisan dalam

penelitian ini akan menitikberatkan pada kajian mengenai kedudukan

informed consent dalam perjanjian terapeutik terhadap pasien yang Pulang

Atas Permintaan Sendiri di rumah sakit dan bagaimana akibat hukum yang

timbul terhadap pasien yang Pulang Atas Permintaan Sendiri sebagai alasan

penghentian pelayanan kesehatan berdasarkan hukum perjanjian.

F. Kerangka Teori

1) Teori Perjanjian

Salah satu bentuk hukum yang berperan secara nyata dalam

kehidupan masyarakat ialah Hukum Perjanjian. Istilah Perjanjian berasal

dari bahasa Belanda yaitu overeenkomst. Pasal 1313 Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata (KUHPer) mengatur bahwa suatu perjanjian

adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan

dirinya terhadap satu orang lainnya. Secara sederhana, pengertian

perjanjian dapat digambarkan tentang adanya dua pihak yang saling

mengikatkan diri.15

Menurut Subekti, “Suatu perjanjian akan menimbulkan suatu

perikatan dan suatu perjanjian juga dapat dikatakan sebagai persetujuan

karena kedua belah pihak setuju untuk melakukan sesuatu.”16 Sedangkan

menurut M. Yahya Harahap, “Suatu perjanjian merupakan hubungan

15
Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan (Penjelasan Makna Pasal 1233 -1456
BW), Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2011, hlm. 63
16
Subekti, Hukum Perjanjian, Intermassa, Jakarta, 1987, hlm. 11
16

hukum antara dua orang atau lebih, yang memberikan hak pada satu

pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus memberi kewajiban

pada pihak lain untuk melaksanakan prestasi”.17

Wirdjono Prodjodikoro mengartikan suatu perjanjian sebagai

hubungan hukum antar kedua belah pihak, dalam mana suatu pihak

berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal, sedangkan

pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.18 Selain itu, menurut

Sudikno Mertokusumo, suatu perjanjian adalah hubungan hukum antara

dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat yang menimbulkan akibat

hukum. Maksudnya, kedua belah pihak sepakat untuk menentukan

peraturan atau kaidah yang mengikat keduanya dan kesepakatan tersebut

nantinya akan menimbulkan akibat hukum, yaitu menimbulkan hak dan

kewajiban.19

Berdasarkan definisi perjanjian yang diuraikan di atas didapatkan

bahwa perjanjian didefinisikan sebagai suatu perikatan, suatu perbuatan,

dan sebagai suatu hubungan hukum. Perjanjian dapat dikatakan sah

apabila memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 1320

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), yakni:

a. Adanya kata sepakat.

b. Cakap untuk membuat suatu perikatan.

c. Suatu hal tertentu.

d. Kausa yang halal.

17
Syahmin AK, Hukum Kontrak Internasional, Jakarta: Rjagrafindo Persada, 2006, hlm. 1
18
Wirdjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Bandung: CV. Mandar Maju,
2000, hlm. 5
19
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta: Liberti,
1986, hlm. 97-98
17

Dilihat dari pengertian dan syarat sahnya perjanjian, Mariam Daruz

Badruzaman membagi perjanjian ke dalam beberapa unsur, yaitu:

1. Unsur Essensialia

Merupakan suatu unsur mutlak perjanjian yang harus

selalu ada di dalam unsur perjanjian, yaitu menyebabkan

perjanjian itu tercipta. Dalam unsur essensialia terdapat

persetujuan antara pihak dengan objek perjanjian.20

2. Unsur Naturalia

Merupakan unsur yang sudah diatur dalam Undang-

Undang, tetapi unsur tersebut yang oleh para pihak dapat

disingkirkan atau diganti. Unsur naturalia bersifat aaanvullend

recht atau sebagai hukum pelengkap.21

3. Unsur Accindetalia

Merupakan unsur yang tidak diatur dalam Undang-Undang,

namun oleh para pihak boleh ditambahkan atau dicantumkan ke

dalam perjanjian. Sifat yang melekat dalam unsur accidentalia

secara tegas diperjanjikan oleh para pihak dalam perjanjian

tersebut.22

Berdasarkan definisi, syarat, dan unsur perjanjian yang telah

20
Mariam Darus Badrulzaman (a), Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung: Citra Aditya,
2001, hlm. 107
21
Ibid
22
Ibid
18

diuraikan sebagaimana hal di atas, maka teori perjanjian ini dapat

dikaitkan dengan kejadian Pasien Pulang Atas Permintaan Sendiri.

2) Teori Hubungan Hukum Dalam Pelayanan Kesehatan

Terjadinya kesepakatan bersama dalam pemberian pelayanan

kesehatan akan menimbulkan suatu hubungan hukum yang kemudian

melahirkan hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak. Hubungan

hukum dalam pelayanan kesehatan terbagi menjadi 3 (tiga), yaitu:

a. Hubungan Hukum antara Dokter dengan Pasien

Hubungan hukum antara dokter dengan pasien ini merupakan

hubungan yang pribadi dan didasarkan atas asas kepercayaan dari

pasien kepada dokter yang menanganinya. Hubungan hukum ini

memiliki pola vertikal paternalistik seperti antara bapak dengan

anak yang pada akhirnya melahirkan hubungan yang bersifat

paternalistik. Hubungan dokter dengan pasien adalah bentuk dari

perjanjian, dimana pasien mengharapkan dokter untuk melakukan

tindakan medis dengan tujuan menyembuhkan. Menurut Benyamin

Lumenta, pola hubungan hukum antara dokter dengan pasien

terdiri dari 3 (tiga) pola, yaitu: 23 (1) Activity - Passivity, (2)

Guidance - Coorporation, (3) Mutual Participation.

b. Hubungan Hukum antara Dokter dengan Rumah Sakit

23
Benyamin Lumenta, Pasien, Citra dan Perilaku, Jakarta: Penerbit Kanisius, 1979, hlm.
70
19

Rumah sakit sebagai salah satu sarana pelayanan kesehatan,

memiliki karyawan ahli di bidang kesehatan salah satunya ialah

Dokter. Semakin besar suatu rumah sakit maka semakin kompleks

permasalahan yang terjadi dalam rumah sakit tersebut. Oleh karena

itu, pola hubungan antara tenaga medis (dokter) sangat

menentukan sejauh mana rumah sakit dan dokter harus

bertanggung jawab. Pada umumnya, pola hubungan kerja dokter di

rumah sakit terdiri dari 3 (tiga) macam, yaitu: 24 (1) Dokter sebagai

employee, (2) Dokter sebagai attending physician, (3) Dokter

sebagai independent contractor.

c. Hubungan Hukum antara Pasien dengan Rumah Sakit

Hubungan hukum antara Pasien dengan Rumah Sakit

merupakan hubungan khusus disebabkan diperlukan Tindakan

medis untuk melakukan perawatan kesehatan. Dalam hal

melakukan tindak medis diperlukan persetujuan yang diberikan

pasien kepada pihak penyedia jasa tindakan medis (rumah sakit).25

3) Transaksi Terapeutik

Transaksi terapeutik sebagai suatu bagian dari upaya kesehatan,

berupa pemberian pelayanan medis oleh tenaga kesehatan yang

didasarkan atas keahlian, keterampilan, dan ketelitian. Transaksi

terapeutik merupakan hubungan hukum antara dokter dengan pasien

24
Teknosehat, Hukum Kesehatan di Rumah Sakit,
https://hukumkes.wordpress.com/2008/03/15/hospital-liability/, Diakses 16 Februari 2022,
Pukul 1945 WIB
25
Zahir Rusyad, Hukum Perlindungan Pasien, Malang: Setara Press, 2018, hlm. 72
20

yang melahirkan suatu hak dan kewajiban. Dalam hal ini, hak dan

kewajiban timbul dari pasien dan dokter.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang

Praktik Kedokteran, pasien memiliki hak yang salah satunya adalah

berhak untuk mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis

dan pasien juga memiliki kewajiban untuk memberikan informasi

lengkap dan jujur mengenai masalah kesehatannya.26

Selain pasien, dokter sebagai orang yang memberikan tindakan

medis juga memiliki hak dan kewajiban. Salah satu hak dan kewajiban

dokter ialah memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan

standar prosedur operasional, serta kebutuhan medis pasien. 27 Selain

itu, sebelum dokter melakukan pelayanan atau tindakan medis, dokter

berkewajiban menjelaskan dan menanyakan persetujuan tindakan

medis kepada pasien, atau yang sering disebut dengan informed

consent.

Informed consent merupakan hal mutlak sebelum tindakan medis

dilakukan, karena dalam informed consent berisikan informasi

mengenai tindakan medis atau pengobatan apa yang akan dilakukan

oleh dokter kepada pasien. Dalam hal ini, pasien mempunyai hak untuk

menolak atau menerima tindakan medis tersebut.

Pemberian informed consent menciptakan suatu hubungan yang

melahirkan kesepakatan bersama antara dokter dengan pasien. Menurut

26
Pasal 52 dan Pasal 53 Undang-Undang Republik Negara Indonesia Nomor 29 Tahun
2004 tentang Praktik Kedokteran
27
Ibid, Pasal 51
21

ketentuan hukum, apabila terjadi kesepakatan antara dua pihak maka

hubungan demikian meningkat menjadi suatu perikatan, yang berarti

para pihak (yang memberi pelayanan dan menerima pelayanan)

mempunyai kewajiban dan hak yang harus ditaati. Gambaran demikian

yang menyebabkan terciptanya transaksi terapeutik antara dokter

dengan pasien.28

G. Definisi Konseptual

1) Pelayanan Kesehatan

Departemen Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2009,

mendefinisikan pelayanan kesehatan sebagai penyelenggaraan upaya

kesehatan yang dapat dilakukan secara sendiri maupun bersama-sama

untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan

menyembuhkan penyakit, serta memulihkan kesehatan perseorangan,

keluarga, kelompok, dan/ atau masyarakat.

Sedangkan menurut Prof. Dr. Soekidjo Notoatmojo, definisi dari

pelayanan kesehatan adalah sebuah sub sistem pelayanan kesehatan

bertujuan untuk melakukan pelayanan preventif (pencegahan penyakit)

dan pelayanan promotif (peningkatan kesehatan) yang sasarannya

adalah masyarakat.29

2) Rumah Sakit

Jusuf Anafiah dan Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Penerbit Buku
28

Kedokteran EGC: Jakarta, 2017, hlm. 59


29
Soekidjo Notoatmodjo, Sosiologi Untuk Kesehatan, Salemba Medika: Jakarta, 2008, hlm.
57
22

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009

tentang Rumah Sakit, mendefinisikan rumah sakit sebagai institusi

pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan

perorangan secara paripurna, serta menyediakan pelayanan rawat inap,

rawat jalan, dan gawat darurat.

World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa rumah

sakit merupakan bagian integral dari suatu organisasi sosial dan

kesehatan yang memiliki fungsi untuk menyediakan pelayanan

paripurna, pencegahan penyakit, serta penyembuhan penyakit.30

3) Dokter

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun

2004 tentang Praktik Kedokteran, dokter adalah seorang lulusan dari

pendidikan kedokteran baik di dalam maupun di luar negeri yang

diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan

perundang-undangan.

Menurut Endang Kusuma Astuti, definisi dokter adalah orang yang

berwenang dan memiliki izin untuk melakukan pelayanan kesehatan,

khususnya untuk melakukan pemeriksaan dan mengobati penyakit

tersebut yang pelaksanaannya dilakukan berdasarkan hukum dalam

pelayanan kesehatan.31

4) Pasien

30
RS Pratama Kriopanting, Definisi, Tugas, dan Fungsi,
https://rspkriopanting.bangkaselatankab.go.id/profile/detail/179-definisi-tugas-dan-fungsi,
Diakses 16 Februari 2022, Pukul 21.20 WIB
31
Endang Kusuma Astuti, Perjanjian Terapeutik Dalam Upaya Pelayanan Medis Di
Rumah Sakit, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2009
23

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun

2004 tentang Praktik Kedokteran, pasien adalah setiap orang yang

melakukan konsultasi mengenai masalah kesehatannya untuk

mendapatkan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan, baik secara

langsung maupun tidak langsung di rumah sakit.

Menurut Prabowo (dalam Wilhamda, 2011), pasien dapat diartikan

sebagai orang yang memiliki fisik atau mental yang lemah,

menyerahkan pengawasan dan perawatan, serta menerima dan

mengikuti pengobatan yang telah ditetapkan oleh tenaga kesehatan.32

5) Pulang Atas Permintaan Sendiri

Menurut Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

129/Menkes/SK/II/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah

Sakit, definisi pulang atas permintaan sendiri adalah pulang atas

permintaan pasien atau keluarga pasien sebelum diputuskan pulang

oleh dokter.

Selain itu, pulang atas permintaan sendiri juga dapat diartikan

sebagai tindakan pasien rawat inap untuk melakukan pulang atau

menghentikan pengobatan tanpa persetujuan pihak rumah sakit.33

H. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam pengumpulan data dalam


32
Coki Siadari, Pengertian Pasien Menurut Para Ahli,
https://www.kumpulanpengertian.com/2018/11/pengertian-pasien-menurut-para-ahli.html,
Diakses 16 Februari 2022, Pukul 22.04 WIB
33
Seta Prakoso, Analisis Opportunity Cost Pasien Pulang Paksa Di Instalasi Rawat Inap
RSU Haji Surabaya, Thesis Magister Universitas Airlangga, 2013
24

penelitian ini yaitu:

1) Jenis penelitian

Jenis metode penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah

penelitian hukum yang bersifat normatif. Penelitian hukum secara

normatif dilakukan dengan mengumpulkan data hanya dari norma

hukum, perundang-undangan, dan studi Pustaka.

2) Pendekatan Penelitian

a. Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach)

Pendekatan Peraturan Perundang-Undangan (Statute Approach)

dilakukan dilakukan dengan menelaah undang-undang dan regulasi

yang berkaitan dengan isu hukum yang dibahas dalam penelitian ini.34

Dalam pendekatanpenelitian ini perlu memahami hirarki dan asas-asas

peraturan perundang-undangan.

b. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)

Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach) merupakan

pendekatan yang lahir dari pandangan-pandangan dan doktrin- doktrin

yang berkembang dalam ilmu hukum.35

3) Jenis dan Sumber Bahan Hukum

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan bahan hukum yang

diperoleh dari studi kepustakaan (library research) dengan cara

34
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (edisi Revisi), Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2013, hlm. 133
35
Ibid, hlm. 135
25

menelaah, membaca, dan mengutip peraturan perundang-undangan,

buku, kamus, dokumen, jurnal, dan literatur lain yang relevan dengan

permasalahan yang akan dibahas. Bahan hukum yang digunakan

adalah sebagai berikut :

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang mengikat

dan bersifat autoritatif. Pada penelitian ini, bahan hukum yang

digunakan penulis adalah sebagai berikut :

1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

2. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik

Kedokteran;

3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;

4. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit;

5. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga

Kesehatan;

6. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

129/Menkes/SK/II/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal

Rumah Sakit;

7. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/Menkes/Per/III/2008

tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder merupakan data, fakta, atau keterangan

yang digunakan untuk melengkapi data bahan hukum primer.


26

Bahan hukum sekunder yang digunakan antara lain seperti buku-

buku tentang hukum perjanjian dan hukum kedokteran, doktrin,

jurnal hukum, dan hasil penelitian yang mengulas mengenai

masalah hukum terkait dengan penelitian.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier merupakan bahan hukum pelengkap yang

bersifat memberi petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum

primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum tersier yang

digunakan dalam penelitian ini berupa Kamus Besar Bahasa

Indonesia (KBBI), Kamus Hukum, dan Internet yang berkaitan

dengan penelitian ini.

4) Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini adalah studi

Pustaka (library research) yang bersumber dari peraturan perundang-

undangan, buku-buku, jurnal, artikel, dan sumber lainnya dibidang

hukum yang berhubungan dengan objek penelitian.

5) Teknik Analisis Bahan Hukum

Setelah bahan hukum yang diperoleh terkumpul, dilanjutkan

dengan teknik analisis bahan hukum dengan menggunakan analisis

kualitatif. Metode analisis kualitatif dilakukan dengan cara melakukan

pembahasan terhadap bahan hukum yang telah diperoleh dengan

mengacu pada landasan teori.36 Selanjutnya, bahan atau data yang telah
36
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (edisi Revisi), Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2013, hlm. 182
27

diperoleh diuraikan secara deskriptif dan dalam bentuk kalimat yang

tersusun secara sistematis guna untuk memahami, menggambarkan,

mencatat, dan menginterpretasikan kondisi atau fenomena sesuai

dengan pokok bahasan dalam penelitian.

6) Teknik Penarikan Kesimpulan

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik penarikan

kesimpulan secara deduktif. Teknik penarikan kesimpulan secara

deduktif adalah penarikan kesimpulan dengan menarik kesimpulan dari

suatu permasalahan yang besifat umum kemudian mengarah pada suatu

kesimpulan yang bersifat khusus.

I. Sistematika Penulisan

Hasil penelitian ini akan disusun menggunakan sistematika sebagai

berikut:
28

BAB I PENDAHULUAN

BAB I memuat uraian mengenai Latar Belakang, Rumusan Masalah,

Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kerangka Teori, Metode

Penelitian dan Sistematika Penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II memuat uraian tinjauan pustaka yang merupakan lanjutan dan

pendalaman dari kerangka teoritis yang membahas dan menguraikan

definisi-definisi dan teori-teori untuk membantu memecahkan

permasalahan yang berkaitan dengan tindakan persetujuan dokter

(informed consent) terhadap Pasien yang Pulang Atas Permintaan

Sendiri (PAPS) yang menjadi isu hukum (legal issues) dalam

penulisan skripsi ini.

BAB III PEMBAHASAN

BAB III memuat uraian tentang jawaban dari rumusan masalah yaitu

kedudukan perjanjian terapeutik terhadap informed consent dan akibat

hukum yang timbul dari Pasien Pulang Atas Permintaan Sendiri

(PAPS).

BAB IV PENUTUP

BAB IV memuat kesimpulan dan saran.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pelayanan Kesehatan

1) Pengertian Pelayanan Kesehatan

Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia, tanpa hidup

sehat manusia tidak dapat melakukan kegiatan sehari-hari dengan baik. Orang

yang sedang sakit (pasien) tentu saja tidak dapat menyembuhkan penyakitnya

sendiri tanpa bantuan dari tenaga kesehatan. Dan tenaga kesehatan tersebut

akan melakukan upaya kesehatan dengan cara memberikan pelayanan

kesehatan kepada pasien.

Pelayanan Kesehatan dapat diartikan sebagai penyelenggaraan upaya

kesehatan yang dapat dilakukan secara sendiri maupun bersama-sama untuk

memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan

penyakit, serta memulihkan kesehatan perseorangan, keluarga, kelompok,

dan/ atau masyarakat. Menurut Prof. Dr. Soekidjo Notoatmojo, pelayanan

kesehatan sebagai sub sistem pelayanan kesehatan bertujuan untuk

melakukan pelayanan preventif (pencegahan penyakit) dan pelayanan

promotif (peningkatan kesehatan) yang sasarannya adalah masyarakat.37

Pelayanan kesehatan merupakan hak dari setiap masyarakat yang

dilindungi oleh Negara berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan. Oleh

karena itu, pada dasarnya dalam hal pemberian pelayanan kesehatan

merupakan suatu investasi sumber daya manusia untuk mencapai masyarakat

37
Soekidjo Notoatmodjo, Sosiologi Untuk Kesehatan, Salemba Medika: Jakarta, 2008, hlm.
57

29
yang sejahtera bagi setiap Negara.

Maka dari itu, berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa setiap

manusia berhak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan berupa pelayanan

rawat inap, rawat jalan, maupun gawat darurat yang tujuannya adalah untuk

mencegah dan meningkatkan kesehatan masyarakat.

2) Jenis Pelayanan Kesehatan

Upaya dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan bisa dilakukan

secara sendiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi yang bertujuan

untuk mencegah dan menyembuhkan penyakit, serta memelihara kesehatan

perorangan, keluarga, kelompok, ataupun masyarakat. Maka, sesuai dengan

batasan yang seperti ini, dapat dipahami bahwa jenis pelayanan kesehatan

dapat ditentukan oleh:38

a. Pengorganisasian pelayanan, dilaksanakan secara sendiri atau bersama-

sama dalam suatu organisasi.

b. Ruang lingkup kegiatan, mencakup kegiatan pemeliharaan kesehatan,

peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan penyakit,

pemulihan kesehatan, atau kombinasi dari padanya.

c. Sasaran pelayanan kesehatan, untuk perorangan, keluarga, kelompok,

ataupun masyarakat secara keseluruhan.

Secara sederhana, Hodgetts dan Casio juga membedakan jenis pelayanan

kesehatan menjadi dua macam, yaitu:39


38
Alfina Tahta, Analisis Mutu Pelayanan Kesehatan Di Rumah Sakit Tingkat IV Kota
Madiun Tahun 2019, Sarjana Stikes Bhakti Husada Mulia Madiun, 2019, hlm. 13
39
Liviah, Kualitas Pelayanan Kesehatan di Puskesmas Kecamatan Ulaweng Kabupaten
Bone, Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin, 2019

30
a. Pelayanan Kedokteran

Merupakan suatu pelayanan kesehatan yang termasuk dalam kelompok

pelayanan kedokteran (medical service) ditandai dengan cara

pengorganisasian yang sifatnya dapat dilakukan secara sendiri (solo

practice) atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi (instituion).

Tujuan utama dari pelayanan kedokteran yaitu untuk menyembuhkan

penyakit dan memelihara kesehatan, serta sasaran utama dari pelayanan ini

adalah untuk perserorangan dan keluarga.

b. Pelayanan Kesehatan Masyarakat

Merupakan suatu pelayanan kesehatan yang termasuk dalam kelompok

kesehatan masyarakat (public health service) yang secara umum

pengorganisasiannya dilakukan secara bersama-sama dalam suatu

kelompok. Tujuan utama dari pelayanan kesehatan masyarakat yaitu untuk

memelihara dan meningkatkan kesehatan, serta mencegah penyakit.

Sasaran utamanya adalah untuk kelompok dan masyarakat.

Maka dapat disimpulkan bahwa pelayanan kesehatan dapat dilakukan

secara sendiri atau bersama-sama yang sasarannya adalah perserorangan,

keluarga, kelompok, atau masyarakat. Dalam hal pemberian pelayanan

kesehatan, dibedakan menjadi pelayanan kedokteran dan pelayanan kesehatan

masyarakat dengan tujuan dan fungsinya masing-masing. Akan tetapi, inti

dari keduanya adalah bahwa pelayanan kesehatan ada untuk memulihkan dan

menyembuhkan penyakit, serta memelihara kesehatan.

3) Stratifikasi Pelayanan Kesehatan

Stratifikasi pelayanan kesehatan merupakan pengelompokan pemberian

31
pelayanan kesehatan berdasarkan tingkat kebutuhan subjek layanan

kesehatan. Stratifikasi pelayanan kesehatan dikelompokkan menjadi tiga

macam, yaitu:

a. Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama (Primary Health Service)

Pelayanan kesehatan tingkat pertama bersifat non spesialistik atau

primer. Pelayanan kesehatan memberikan pelayanan kesehatan dasar, serta

mempunyai nilai-nilai strategis untuk meningkatkan derajat kesehatan

masyarakat. Pelayanan kesehatan tingkat pertama meliputi pelayanan

rawat jalan dan rawat inap yang diberikan oleh Fasilitas Kesehatan Tingkat

Pertama (FKTP)40, yaitu:

1. Puskesmas atau yang setara;

2. Praktik Mandiri Dokter;

3. Praktik Mandiri Dokter Gigi;

4. Klinik pertama atau yang setara, termasuk fasilitas kesehatan tingkat

pertama milik TNI / Polri;

5. Rumah Sakit Kelas D Pratama atau yang setara;

6. Faskes Penunjang: Apotik dan Laboratorium.

b. Pelayanan Kesehatan Tingkat Kedua (Secondary Health Service)

Pelayanan kesehatan tingkat kedua memberikan pelayanan

kesehatan spesialistik. Pelayanan kesehatan tingkat kedua diberikan oleh

40
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan, Manfaat Jaminan Kesehatan Nasional,
https://www.bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/pages/detail/2014/12, Diakses 25 Maret 2022, Pukul
19.35 WIB

32
dokter spesialis atau dokter gigi spesialis yang menggunakan pengetahuan

dan teknologi kesehatan spesialistik.41 Pelayanan kesehatan ini ditujukan

untuk masyarakat atau perorangan yang membutuhkan pelayanan rawat

jalan maupun rawat inap. Maka, fasilitas dalam pelayanan kesehatan

tingkat kedua adalah Rumah Sakit tipe C, rumah sakit tipe D (Rumah

Sakit Umum Daerah), atau rumah sakit swasta.42

c. Pelayanan Kesehatan Tingkat Ketiga (Tertiary Health Service)

Pelayanan kesehatan tingkat ketiga merupakan pelayanan

kesehatan sub spesialistik yang diberikan oleh dokter sub spesialis atau

dokter gigi sub spesialis yang menggunakan pengetahuan dan teknologi

kesehatan sub spesialistik.43 Pelayanan kesehatan ini merupakan pelayanan

kesehatan paling tinggi karena memberikan fasilitas pelayanan kesehatan

yang lengkap. Tujuan dari pelayanan kesehatan tingkat ketiga sama seperti

tingkat kedua, yang membedakan hanya dari segi fasilitas pelayanannya.

Fasilitas pelayanan yang diberikan oleh pelayanan kesehatan tingkat ketiga

adalah rumah sakit tipe A, rumah sakit tipe B seperti Rumah Sakit Umum

Daerah atau Rumah Sakit Umum Provinsi, dan/ atau rumah sakit swasta.

Maka, berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam

pemberian pelayanan kesehatan terdapat 3 kelompok, yaitu pelayanan

kesehatan tingkat pertama, pelayanan kesehatan tingkat kedua, dan pelayanan

kesehatan tingkat ketiga. Dari ketiganya sama-sama mempunyai tujuan dalam

41
Pasal 2 Angka 4 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 001 Tahun
2012 tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan
42
Ivan Sebastian, Jenis-Jenis Pelayanan Kesehatan Yang Ada di Indonesia,
https://mhomecare.co.id/blog/jenis-pelayanan-kesehatan/, Diakses 03 Mei 2022, Pukul
21.04 WIB
43
Pasal 2 Angka 5 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 001 Tahun
2012 tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan

33
memberikan pelayanan kesehatan di rumah sakit, yang membedakannya

adalah fasilitas pelayanan kesehatan dan kemampuan pelayanan mediknya.

4) Hubungan Hukum Dalam Pelayanan Kesehatan

Dalam pelayanan kesehatan, terjadinya suatu komunikasi antara si pemberi

pelayanan dan penerima pelayanan dapat dikategorikan sebagai suatu

hubungan hukum. Hubungan hukum yang terjadi di dalam pelayanan

kesehatan terdiri dari 3 (tiga) jenis, yaitu:

a. Hubungan Hukum antara Dokter dengan Pasien

Dalam praktik sehari-hari, hal yang menyebabkan timbulnya hubungan

antara pasien dengan dokter terjadi pada saat pasien mendatangi dokter

untuk meminta pertolongan mengobati sakit yang dideritanya. Dalam

keadaan yang seperti ini terjadi persetujuan antara kedua belah pihak,

artinya para pihak sudah sepenuhnya untuk mengadakan hubungan hukum.

Pada mulanya, hubungan hukum yang terjadi antara pasien dengan

dokter merupakan hubungan yang bersifat vertikal paternalistik seperti

antara bapak dengan anak yang melahirkan hubungan yang bersifat

paternalistik. Artinya, dalam hubungan ini kedudukan dokter lebih tinggi

daripada pasien karena dokter dianggap mengetahui tentang segala sesuatu

yang berhubungan dengan penyakit dan penyembuhannya sehingga pasien

menyerahkan penuh nasibnya di tangan dokter. 44 Namun, seiring dengan

berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, pola hubungan hukum

44
Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum Kedokteran (Studi Tentang Hubungan Hukum
Dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak), Citra Aditya Bakti: Bandung, 1998, hlm.
36

34
yang terjadi antara pasien dengan dokter bergeser pada pola horizontal

kontraktual.

Pola hubungan horizontal kontraktual berarti kedudukan pasien dan

dokter adalah sederajat dan bersifat inspanningverbintenis yang

merupakan hubungan hukum antara dua subjek hukum (pasien dan dokter)

yang melahirkan hak dan kewajiban. Hubungan hukum ini tidak

menjanjikan suatu kesembuhan, melainkan berupa upaya dokter untuk

menyembuhkan kesehatan pasien berdasarkan ilmu pengetahuan dan

pengalamannya menangani penyakit.45

Selain itu, menurut Benyamin Lumenta, pola hubungan hukum antara

pasien dengan dokter terdiri dari 3 (tiga) pola, yaitu:46

1. Activity-Pasivity

Pola hubungan ini merupakan suatu pola hubungan hukum klasik

yang muncul sejak profesi kedokteran mulai mengenal kode etik sekitar

abad ke-5 sebelum masehi. Dalam pola hubungan ini, dokter seolah-

seolah sepenuhnya melaksanakan kewajibannya tanpa campur tangan

pasien. Biasanya hubungan ini berlaku pada pasien yang keselamatan

jiwanya terancam, sedang tidak sadar diri, atau menderita gangguan

mental.47

2. Guidance-Coorporation

Pola hubungan ini merupakan pola hubungan yang membimbing dan

penuh kerjasama. Dalam guidance-coorporation, ditentukan oleh


45
Periksa Sofwan Dahlan, Hukum Kesehatan Rambu-Rambu Bagi Profesi Dokter, BP
UNDIP: Semarang, 2000, hlm. 32-33
46
Benyamin Lumenta, Pasien, Citra, dan Perilaku, Penerbit Kanisius: Jakarta, 1979, hlm.
70
47
Zaeni Asyhadie, Aspek-Aspek Hukum Kesehatan di Indonesia, PT. Raja Grafindo
Persada: Jakarta, 2018, hlm. 61

35
keadaan dimana pasien tidak terlalu keluhannya, misalnya terkena suatu

penyakit infeksi atau penyakit ringan lainnya. Meskipun dalam keadaan

sakit, pasen tetap sadar, memiliki perasaan dan kemauan sendiri, serta

bersedia untuk bekerja sama. Walaupun dokter mengetahui lebih

banyak, ia tidak semata-mata menjalankan kekuasaan, namun

mengharapkan kerjasama dengan pasien yang diwujudkan dengan

menuruti nasihat atau anjuran dokter.48

3. Mutual Participation

Pola hubungan ini terbentuk berdasarkan pemikiran bahwa setiap

manusia mempunyai martabat dan hak yang sama. Pola ini terjadi pada

mereka yang memelihara kesehatannya dengan baik, dimana dalam

keadaan seperti ini pasien yang menderita suatu penyakit dengan sadar

dan aktif menjalankan pengobatan. Hal ini dapat diterapkan kepada

pasien dengan latar belakang pendidikan dan sosial yang rendah, pada

anak-anak, dan pasien gangguan mental ringan.49

b. Hubungan Hukum antara Dokter dengan Rumah Sakit

Rumah sakit sebagai salah satu sarana pelayanan kesehatan, memiliki

karyawan ahli di bidang kesehatan salah satunya ialah Dokter. Semakin

besar suatu rumah sakit maka semakin kompleks permasalahan yang

terjadi dalam rumah sakit tersebut. Oleh karena itu, pola hubungan antara

tenaga medis (dokter) sangat menentukan sejauh mana rumah sakit dan

48
Ibid, hlm. 62
49
Zaeni Asyhadie, op.cit, hlm. 62

36
dokter harus bertanggung jawab. Secara garis besar, pola hubungan hukum

yang terjadi antara dokter dengan rumah sakit terbagi menjadi 3 (tiga)

macam, yaitu:50

1. Dokter sebagai employee

Dalam hal ini, kedudukan rumah sakit sebagai pihak yang wajib

memberikan prestasi, sementara dokter hanya bersifat sebagai

employee atau sub-ordinate dari rumah sakit.51 Jadi, dengan kata lain,

dokter bertugas sebagai agen yang melaksanakan kewajiban rumah

sakit.

2. Dokter sebagai attending physician

Dalam hal ini, kedudukan antara dokter dengan rumah sakit adalah

sederajat. Posisi dokter sebagi pihak yang wajib melaksanakan prestasi

atau kewajibannya, sedangkan rumah sakit hanya sebagai tempat

penyedia fasilitas, seperti tempat tidur, makan dan minum, perawat

atau bidan, serta sarana medik dan non medik.52

3. Dokter sebagai independent contractor

Independent contractor atau dokter tamu adalah dokter yang bekerja

secara mandiri, bukan untuk dan atas nama rumah sakit. Dalam hal ini,

dokter melakukan pekerjaannya tidak terikat pada peraturan dan jam

dinas rumah sakit, ia bertindak secara bebas dan tidak berada di bawah

pengawasan rumah sakit.53


50
Teknosehat, op.cit, Diakses 16 April 2022, Pukul 19.45 WIB
51
Noor M. Aziz, op.cit, hlm. 39
52
Noor M. Aziz, op.cit, hlm. 39
53
Nanda Dwi dan Arief Suryono, Tanggung Jawab Rumah Sakit Terhadap Kerugian Yang

37
c. Hubungan Hukum antara Pasien dengan Rumah Sakit

Hubungan hukum antara Pasien dengan Rumah Sakit merupakan

hubungan khusus disebabkan diperlukan Tindakan medis untuk melakukan

perawatan kesehatan. Dalam hal melakukan tindak medis diperlukan

persetujuan yang diberikan pasien kepada pihak penyedia jasa tindakan

medis (rumah sakit). Persetujuan tindakan medis dikenal dengan istilah

informed consent. Maka, dalam hubungan hukum yang terjadi antara

pasien dengan rumah sakit merupakan hubungan khusus yang didasarkan

dari hak pasien atas informed consent, yaitu:54

1. Mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan

medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko, dan

komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan

yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan.

2. Memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan

dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya.

Maka dari kedua hal tersebut, dapat diperinci bahwa pasien memiliki

hak untuk memberikan persetujuan terhadap tindakan diagnostik

terapeutik yang akan dilakukan terhadap dirinya setelah mendapatkan

informasi, memiliki hak untuk mengambil keputusan atau memilih

tindakan diagnostik terapeutik, serta berhak untuk menolak suatu tindakan

terapeutik.

Diderita Oleh Pasien Akibat Tindakan Tenaga Medis Dalam Perjanjian Terapeutik, Jurnal
Privat Law, Edisi Juli-Desember 2019, Vol. VII, No. 2, hlm. 3
54
Pasal 32 huruf j dan huruf k Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah
Sakit

38
B. Rumah Sakit

1) Pengertian Rumah Sakit

Rumah sakit sebagai salah satu institusi atau sarana yang

menyelenggarakan pelayanan kesehatan serta sebagai penyedia layanan rawat

inap, rawat jalan, dan gawat darurat.55 World Health Organization (WHO)

mendefinisikan rumah sakit sebagai bagian integral dari suatu organisasi

sosial dan kesehatan yang memiliki fungsi untuk menyediakan pelayanan

paripurna, pencegahan penyakit, serta penyembuhan penyakit.56

Rumah sakit mempunyai kemandirian untuk melakukan suatu hubungan

hukum yang penuh tanggung jawab. Karena, rumah sakit tidak hanya terdiri

dari manusia, melainkan rumah sakit juga diberikan kedudukan hukum

sehingga nantinya melahirkan hak dan kewajiban. Dalam hal ini, rumah sakit

memiliki peran penting dalam mempercepat peningkatan derajat kesehatan

masyarakat. Oleh karena itu, rumah sakit dalam memberikan pelayanan

kesehatan harus sesuai dengan standar yang telah ditetapkan dan dapat

menjangkau seluruh lapisan masyarakat.

2) Tugas dan Fungsi Rumah Sakit

Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang

Rumah Sakit, dijelaskan bahwa tugas rumah sakit mempunyai tugas

memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna. Pelayanan

kesehatan paripurna merupakan pelayanan kesehatan yang meliputi:

55
Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
RS Pratama Kriopanting, op.cit, Diakses 29 Maret 2022, Pukul 20.58 WIB
56

39
a. Pelayanan kesehatan promotif57, adalah suatu kegiatan pelayanan

kesehatan yang mengutamakan kegiatan yang sifatnya promosi

kesehatan.

b. Pelayanan kesehatan preventif58, adalah kegiatan yang dilakukan untuk

pencegahan terhadap suatu masalah kesehatan atau penyakit.

c. Pelayanan kesehatan kuratif59, adalah suatu kegiatan pengobatan yang

bertujuan untuk penyembuhan penyakit, pengurangan penderitaan

akibat penyakit, pengendalian penyakit, atau pengendalian kecacatan

agar kualitas pendertita dapat terjaga seoptimal mungkin.

d. Pelayanan kesehatan rehabilitatif60, adalah suatu kegiatan yang

dilakukan untuk mengembalikan bekas penderita ke dalam masyarakat

sehingga kembali berfungsi menjadi anggota masyarakat yang berguna

untuk dirinya dan masyarakat semaksimal mungkin sesuai dengan

kemampuannya.

Untuk menjalankan tugas sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009, rumah sakit memiliki fungsi sebagai

berikut:

a. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan

sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit.

b. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan

kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan

medis.

57
Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
58
Ibid, Pasal 1 angka 13
59
Ibid, Pasal 1 angka 14
60
Ibid, Pasal 1 angka 15

40
c. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam

rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan.

d. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan

teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan

kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang

kesehatan.

Pengaturan tugas dan fungsi rumah sakit dilatarbelakangi oleh aspek

pelayanan kesehatan sebagai suatu hal penting yang menyangkut hajat hidup

masyarakat.61 Pengaturan tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut:

a. Menyediakan dan menyelenggarakan:

1. Pelayanan medik;

2. Pelayanan penunjang medik;

3. Pelayanan perawat;

4. Pelayanan rehabilitas;

5. Pencegahan dan peningkatan kesehatan.

b. Sebagai tempat pendidikan atau latihan tenaga medik atau tenaga

paramedik.

c. Sebagai tempat penelitian dan pengembangan ilmu dan teknologi

bidang kesehatan.

3) Asas dan Tujuan Rumah Sakit

Rumah sakit diselenggarakan berdasarkan asas pancasila dan nilai-nilai

kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan persamaan hak dan

61
Endang Wahyati Yustina, Mengenal Hukum Rumah Sakit, Keni Media: Bandung, 2012,
hlm. 17

41
anti diskriminasi, pemerintah perlindungan dan keselamatan pasien, serta

mempunyai fungsi sosial. Sebagaimana telah dirumuskan dalam Undang-

Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, tujuan penyelenggaraan

rumah sakit tidak terlepas dari ketentuan bahwa masyarakat berhak atas

kesehatan.62 Maka dari itu, untuk mewujudkan derajat kesehatan yang

setinggi-tingginya, pemerintah bertanggung jawab untuk menyediakan

fasilitas kesehatan sesuai dengan kebutuhan, dan salah satu fasilitas

pelayanan kesehatan adalah Rumah Sakit.

Berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang

Rumah Sakit, tujuan penyelenggaraan rumah sakit:63

a. Mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan

kesehatan.

b. Memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat,

lingkungan rumah sakit, dan sumber daya manusia di rumah sakit.

c. Meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah

sakit.

d. Memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya

manusia rumah sakit, dan Rumah Sakit.

4) Hak dan Kewajiban Rumah Sakit

Menurut Pasal 30 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah

Sakit, rumah sakit mempunyai hak-hak sebagai berikut:64

62
Op.cit, Endang Wahyati Yustina, hlm. 8
63
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit
64
Pasal 30 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit mengenai Hak-
Hak Rumah Sakit

42
a. Menentukan jumlah, jenis, dan kualifikasi sumber daya manusia sesuai

dengan klasifikasi rumah sakit;

b. Melakukan kerjasama dengan pihak lain dalam rangka pengembangan

pelayanan;

c. Menerima bantuan dari pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan;

d. Menggugat pihak yang mengalami kerugian;

e. Mendapatkan perlindungan hukum;

f. Mempromosikan layanan kesehatan yang ada di rumah sakit.

Maka dari itu, hak-hak tersebut juga diiringi dengan suatu kewajiban.

Berdasarkan Pasal 29 Undang-Undang Rumah Sakit, kewajiban setiap rumah

sakit adalah sebagai berikut:65

a. Memberikan informasi yang benar tentang pelayanan rumah sakit

kepada masyarakat;

b. Memberikan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, non

diskriminasi dan efektif mengutamakan kepentingan pasien;

c. Memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan

kemampuan pelayanannya;

d. Menyediakan sarana dan prasarana pelayanan bagi masyarakat tidak

mampu atau miskin;

e. Menyelenggarakan rekam medis;

f. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai hak dan

kewajiban pasien.

65
Pasal 29 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit mengenai
Kewajiban-Kewajiban Rumah Sakit

43
C. Pasien

1) Pengertian Pasien

Dalam hubungannya secara sosial, orang yang mempunyai fisik lemah

dan membutuhkan pelayanan kesehatan, baik secara fisik maupun mental

maka disebut dengan pasien. Pelayanan kesehatan diberikan kepada orang

yang mengalami masalah kesehatan tersebut dan dilakukan oleh seorang

profesional yang mempunyai kompetensi dalam bidang kesehatan.

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004

tentang Praktik Kedokteran, pasien adalah setiap orang yang melakukan

konsultasi mengenai masalah kesehatannya untuk mendapatkan pelayanan

kesehatan yang dibutuhkan, baik secara langsung maupun tidak langsung di

rumah sakit. Sedangkan, definisi pasien menurut Prabowo (dalam Wilhamda,

2011), pasien adalah orang yang memiliki fisik atau mental yang lemah,

menyerahkan pengawasan dan perawatan, serta menerima dan mengikuti

pengobatan yang telah ditetapkan oleh tenaga kesehatan.66

2) Hak Pasien

Hak pasien diatur dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang

Rumah sakit. Setiap pasien mempunyai hak sebagai berikut:67

a. Memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku

di rumah sakit;

b. Memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien;

Coki Siadari, Pengertian Pasien, Diakses 16 April 2022, Pukul 20.04 WIB
66

Pasal 32 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit yang mengatur
67

mengenai hak-hak pasien

44
c. Memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa

diskriminasi;

d. Memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar

profesi dan standar prosedur operasional;

e. Memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar

dari kerugian fisik dan materi;

f. Mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan;

g. Memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan

peraturan yang berlaku di rumah sakit;

h. Meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter

lain yang mempunyai Surat Izin Praktik, baik di dalam maupun di luar

rumah sakit;

i. Mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk

data-data medisnya;

j. Mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan

medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi

yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan,

serta perkiraan biaya pengobatan;

k. Memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan

dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya;

l. Didampingi keluarganya dalam keadaan kritis;

m). Menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya

selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya;

45
n). Memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam

perawatan di rumah sakit;

o). Mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan rumah sakit terhadap

dirinya;

p). Menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan agama

dan kepercayaan yang dianutnya;

q). Menggugat dan/ atau menuntut rumah sakit apabila rumah sakit diduga

memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar, baik secara

perdata ataupun pidana; dan

r). Mengeluhkan pelayanan rumah sakit yang tidak sesuai dengan standar

pelayanan melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Semua hak pasien yang telah diatur di dalam Undang-Undang tersebut,

mau digunakan atau tidak, tergantung kepada pasien itu sendiri. Tujuan

perlindungan hak tersebut adalah untuk menjamin keselamatan pasien atas

layanan kesehatan di rumah sakit, oleh sebab itu hak pasien tersebut juga

menjadi bagian dari kewajiban rumah sakit. Akan tetapi, tidak semua hak

pasien menjadi kewajiban rumah sakit seutuhnya.

3) Kewajiban Pasien

Selain adanya hak pasien, kewajiban juga diperlukan oleh setiap pasien.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit,

kewajiban seorang pasien yakni setiap pasien mempunyai kewajiban terhadap

rumah sakit atas pelayanan yang diterimanya dan ketentuan lebih lanjut

46
mengenai kewajiban pasien diatur oleh peraturan menteri.68

Kewajiban seorang pasien berdasarkan Pasal 26 Peraturan Menteri

Kesehatan Nomor 4 Tahun 2018 tentang Kewajiban Rumah Sakit dan

Kewajiban Pasien, adalah sebagai berikut:69

a. Mematuhi aturan yang berlaku di rumah sakit;

b. Menggunakan fasilitas rumah sakit secara bertanggung jawab;

c. Menghormati hak pasien lain, pengunjung dan hak tenaga kesehatan

serta petugas lainnya yang bekerja di rumah sakit;

d. Memberikan informasi yang jujur, lengkap dan akurat sesuai dengan

kemampuan dan pengetahuannya tentang masalah kesehatannya;

e. Memberikan informasi mengenai kemampuan finansial dan jaminan

kesehatan yang dimilikinya;

f. Mematuhi rencana terapi yang direkomendasikan oleh tenaga kesehatan

di rumah sakit dan disetujui oleh pasien yang bersangkutan setelah

mendapatkan penjelasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan;

g. Menerima segala konsekuensi atas keputusan pribadinya untuk

menolak rencana terapi yang direkomendasikan oleh tenaga kesehatan

dan/ atau tidak mematuhi petunjuk yang diberikan oleh tenaga

kesehatan untuk penyembuhan penyakit atau masalah kesehatannya;

dan

h. Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.

68
Pasal 31 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit yang mengatur
mengenai kewajiban rumah sakit
69
Pasal 26 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2018 tentang
Kewajiban Rumah Sakit dan Kewajiban Pasien

47
D. Pulang Atas Permintaan Sendiri

Pulang atas permintaan sendiri adalah tindakan pasien rawat inap yang

sedang mendapatkan perawatan dan pengobatan dan ingin pulang walau belum

dinyatakan sembuh atau belum boleh pulang oleh tenaga kesehatan. Selain itu,

pasien yang pulang atas permintaan sendiri juga dapat di deskripsikan sebagai

pasien yang menolak untuk di rawat dan diberikan pengobatan.70 Dalam hal ini,

pulang atas permintaan sendiri adalah salah satu bentuk tindakan pasien tidak

mematuhi saran tenaga kesehatan, karena dapat beresiko memperburuk kondisi

kesehatan pasien itu sendiri.

Apabila mengacu pada ketentuan dalam Keputusan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia Nomor 129/Menkes/SK/II/2008 tentang Standar Pelayanan

Minimal Rumah Sakit dipersyaratkan bahwa standar minimal terjadinya

kejadian pulang paksa atau pulang atas permintaan sendiri pada rumah sakit di

Indonesia adalah kurang dari 5%.71 Kejadian pulang atas permintaan sendiri

disebabkan oleh berbagai alasan, seperti tidak puas terhadap Pelayanan

Penerimaan, Pelayanan Perawat, Pelayanan Dokter, Pelayanan Makanan dan

Gizi, Pelayanan Penunjang Medik, ataupun Pelayanan Fisik yang diberikan oleh

Rumah Sakit.72

E. Perjanjian

70
Dedy Armand, Analisis Persepsi Keputusan Pulang Atas Permintaan Sendiri (PAPS)
Terhadap Mutu Pelayanan dan Kepuasan Di Ruang Rawat Inap VIP Deli Serdang Tahun
2014, Thesis Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Sumatera Utara, 2014, hlm. 38
71
Diktum Nomor 3 Indikator 9 tentang Kejadian Pulang Paksa berdasarkan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 129/Menkes/SK/II/2008 tentang Standar
Pelayanan Minimal Rumah Sakit
72
Dedy Armand, Analisis Persepsi Keputusan PAPS, hlm. 38

48
1) Pengertian Perjanjian

Perjanjian merupakan terjemahan dari bahasa Belanda yaitu

overeenkomst, yang artinya suatu peristiwa dua orang atau lebih saling

mengikatkan diri satu sama lain. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata buku ke III tentang Perikatan Pasal 1313, definisi dari perjanjian

adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan

dirinya terhadap orang lain atau lebih dan menimbulkan suatu hubungan

hukum antara dua orang atau lebih yang disebut perikatan. 73 Verbintenis

(bahasa Belanda) digunakan untuk menggambarkan suatu perikatan, yaitu

hubungan hukum (mengenai harta kekayaan atau benda) antara dua pihak

atau lebih yang isinya adalah hak dan kewajiban masing-masing pihak. Satu

pihak menuntut, dan pihak lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan

tersebut.74

Menurut seorang ahli hukum Profesor Sudikno Mertokusumo, perjanjian

adalah “Hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata

sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Dua pihak tersebut sepakat untuk

menentukan peraturan atau kaidah, serta hak dan kewajiban yang mengikat

mereka untuk ditaati dan dijalani.”75 Selain itu, ahli hukum Wirjono

Prodjodikoro juga mendefinisikan perjanjian sebagai suatu hubungan hukum

mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak. Dalam hal ini, satu pihak

berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan sesuatu hal,

73
Soerdharyo Soimin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku Ke III tentang
Perikatan, Sinar Grafika: Jakarta, 2015, hlm. 110
74
Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian Dalam Transaksi di Lembaga
Keuangan Syariah, Sinar Grafika: Jakarta, 2013, hlm. 10
75
Cecep Tritiwibowo, Etika dan Hukum Kesehatan, Nuha Medika: Yogyakarta, 2014, hlm.
53

49
sedangkan pihak lain berhak untuk menuntut pelaksanaan janji.76

Dalam dunia kesehatan, perjanjian yang terjadi antara dokter dengan

pasien dikenal dengan istilah Perjanjian Terapeutik. Perjanjian terapeutik

menghasilkan suatu kesepakatan bersama berupa hubungan hukum yang

melahirkan hak dan kewajiban dari masing-masing pihak, atau bisa juga

disebut dengan transaksi terapeutik.77 Masuknya hubungan antara dokter

dengan pasien ke dalam ruang lingkup perjanjian disebabkan oleh adanya

kesanggupan dokter untuk mengupayakan kesehatan atau kesembuhan pasien,

sebaliknya pasien menyetujui tindakan medis yang akan dilakukan oleh

dokter tersebut.

Pada dasarnya, perjanjian terapeutik tidak dikenal di dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata, akan tetapi unsur yang terkandung di dalamnya

dapat di kategorikan sebagai suatu perjanjian berdasarkan Pasal 1319, yang

menjelaskan bahwa untuk semua perjanjian baik yang mempunyai suatu

nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu,

tunduk pada peraturan umum mengenai perikatan pada umumnya.78

2) Syarat Sah Perjanjian

Dalam membuat suatu perjanjian diperlukannya syarat agar

perjanjian tersebut menjadi sah. Berdasarkan Pasal 1320 Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata, syarat sah perjanjian adalah sebagai berikut:

a. Sepakat mereka mengikatkan dirinya

76
Dhanang Widijawan, Hukum Kontrak Bisnis, CV. Keni Media: Bandung, 2018, hlm. 7
77
Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, hlm. 59
78
Pasal 1319 Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang Perikatan

50
Pada dasarnya, kata sepakat dalam perjanjian adalah pihak saling

menyatakan kehendaknya masing-masing, dimana kehendak pihak

yang satu sesuai dengan kehendak pihak yang lain secara timbal balik.

Mariam Darus Badrulzaman mengartikan kata sepakat sebagai

persyaratan kehendak yang disetujui oleh para pihak. Pernyataan

pihak yang menawarkan dinamakan tawaran, sedangkan pernyataan

pihak yang menerima penawaran dinamakan akseptasi.79

Kata sepakat tidak dapat dikatakan sah apabila mengandung cacat

kehendak atau kata sepakat dianggap tidak sah apabila terjadi hal

sebagai berikut:80

1. Adanya paksaan (dwang)

Menurut Pasal 1324 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,

“Paksaan terjadi apabila perbuatan itu sedemikian rupa sehingga

dapat menakutkan seseorang yang berpikiran sehat dan apabila

perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut

bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian

yang terang dan nyata.”

2. Adanya kekeliruan (dwaling)

Kekeliruan terjadi apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-

hal pokok dari para yang diperjanjikan. Atau, kekeliruan juga bisa

terjadi apabila salah satu pihak khilaf tentang syarat penting dari

barang yang menjadi objek perjanjian atau mengenai orang

dengan siapa perjanjian itu dilakukan.81


79
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumni: Bandung, 1994, hlm. 24
80
Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang Perikatan
81
R. Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa: Jakarta, 1987, hlm. 24

51
3. Adanya penipuan (bedrog)

Penipuan terjadi apabila salah satu pihak dengan sengaja

memberikan keterangan palsu atau tidak benar, yang disertai

dengan tipu muslihat agar pihak lawan memberikan

persetujuannya.82

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Setiap orang adalah cakap untuk membuat suatu perjanjian,

kecuali apabila dinyatakan tidak cakap menurut Undang-Undang.83

Dalam Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,

menyatakan bahwa seseorang tidak cakap untuk membuat suatu

perjanjian apabila:

1. belum dewasa, yang menurut pasal 33084 belum berusia 21 tahun

dan belum menikah.

2. berada dibawah pengampuan, yaitu orang yang sudah dewasa,

sudah berusia 21 tahun, tapi dianggap tidak cakap untuk

melakukan suatu perbuatan hukum karena ada gangguan mental.

c. Suatu hal tertentu

Suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu, bahwa apa

yang diperjanjikan, yaitu hak dan kewajiban masing-masing pihak.

Suatu hal tertentu dalam kontrak disebut prestasi, yang dapat

berwujud barang, keahlian atau tenaga, dan tidak berbuat sesuatu.85

82
Ibid
83
Pasal 1329 Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
84
Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
85
R. Subekti, Op.cit, hlm. 19

52
d. Suatu sebab yang halal

Sebab terjemahan dari bahasa Belanda yaitu oorzak dan bahasa

Latin yaitu causa. Suatu sebab yang halal atau bisa juga disebut

dengan kausa hukum yang halal, mengacu kepada isi dan tujuan dari

perjanjian itu sendiri. Menurut Pasal 1335 jo 1337 Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata, bahwa suatu kausa dinyatakan terlarang jika

bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan, dan ketertiban

umum.

3) Unsur-Unsur Perjanjian

Dalam perkembangan doktrin ilmu hukum, suatu kontrak dikenal

adanya tiga unsur dalam perjanjian, yaitu:86

a. Unsur Esensialia

Dalam perjanjian, unsur esensialia merupakan unsur yang harus

ada, tanpa adanya kesepakatan tentang unsur esensialia ini maka tidak

ada perjanjian. Unsur esensialia mewakili ketentuan-ketentuan berupa

prestasi yang wajib dilakukan oleh satu pihak atau lebih, yang

mencerminkan sifat dari perjanjian tersebut, dan yang membedakan

secara prinsip dari jenis perjanjian lainnya. Pada umumnya, unsur

esensialia digunakan untuk memberikan rumusan, definisi, atau

pengertian dari suatu perjanjian.87

b. Unsur Naturalia

86
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Raja
Grafindo: Jakarta, 2010, hlm. 163
87
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, hlm. 85

53
Merupakan unsur yang sudah diatur dalam Undang-Undang,

tetapi unsur tersebut yang oleh para pihak dapat disingkirkan atau

diganti. Unsur naturalia bersifat aaanvullend recht atau sebagai

hukum pelengkap.88

c. Unsur Aksidentalia

Merupakan unsur yang tidak diatur dalam Undang-Undang,

namun oleh para pihak boleh ditambahkan atau dicantumkan ke dalam

perjanjian. Sifat yang melekat dalam unsur accidentalia secara tegas

diperjanjikan oleh para pihak dalam perjanjian tersebut.89

4) Asas-Asas Perjanjian

Dalam suatu perjanjian terdapat asas-asas hukum perjanjian, salah

satunya asas-asas hukum yang mendasari terjadinya suatu perjanjian

terapeutik. Menurut Veronica Komalawati, asas-asas hukum adalah

sebagai berikut:90

a. Asas Legalitas

Berdasarkan ketentuan Pasal 50 Undang-Undang Kesehatan yang

menyatakan bahwa tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau

melakukan kegiatan kesehatan sesuai dengan bidang keahlian dan/

atau kewenangan tenaga kesehatan.91 Hal ini mengandung makna

bahwa sebuah pelayanan kesehatan yang kompeten, baik

88
Mariam Darus Badrulzaman (a), Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung: Citra Aditya,
2001, hlm. 107
89
Ibid
90
Veronica Komalawati, Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik, Citra
Aditya Bakti: Bandung, 1999, hlm.126
91
Pasal 50 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan

54
pendidikannya maupun perizinannya harus sesuai dengan peraturan

perundang-undangan.

b. Asas Keseimbangan

Selain berfungsi untuk memberikan kepastian dan perlindungan

terhadap kepentingan manusia, hukum juga harus dapat memulihkan

keseimbangan tatanan masyarakat yang terganggu seperti pada

keadaan semula. Asas keseimbangan ini berlaku umum, tidak hanya

berlaku pada transaksi terapeutik saja.

Untuk menyelenggarakan suatu pelayanan kesehatan harus

dilakukan secara seimbang antara kepentingan individu dan

masyarakat, antara fisik dan mental, juga keseimbangan antara tujuan

dan sarana, antara sarana dan hasil, antara manfaat dan risiko yang

ditimbulkan dari upaya medis yang dilakukan.92

c. Asas Tepat Waktu

Asas tepat waktu merupaka asas yang sangat penting dan harus

diperhatikan oleh para pelayan kesehatan (termasuk dokter). Karena

keterlambatan menangani pasien akan berakibat fatal yaitu kematian

pasien. Selain itu, penanganan terhadap pasien yang terkesan lambat

dan asal-asalan merupakan suatu perbuatan yang tidak terpuji dan juga

bertentangan dengan asas tepat waktu ini. 93 Maka dari itu, kecepatan

dan ketepatan dalam menangani pasien adalah salah satu faktor yang

mempengaruhi presentase kesembuhan pasien.

d. Asas Itikad Baik

92
Zaeni Asyhadie, Aspek Hukum Kesehatan, hlm 56
93
Ibid

55
Asas itikad baik bersumber pada prinsip etis berbuat baik yang

perlu diterapkan dalam pelaksanaan kewajiban dokter sebagai pemberi

layanan terhadap pasien. Sebagai profesional, seorang dokter dalam

menerapkan asas itikad baik akan tercermin dengan penghormatan

terhadap hak-hak pasien selaku penerima layanan dalam pelaksanaan

praktik kedokteran yang selalu berpegang teguh pada standar profesi

dan kode etik kedokteran.94

e. Asas Kejujuran

Kejujuran yang terjadi dalam hubungan antara dokter dengan

pasien merupakan hal yang sangat penting dalam transaksi terapeutik.

Pada mulanya, kedudukan pasien dianggap tidak sederajat dengan

dokter karena dokter dianggap paling tahu mengenai kondisi

kesehatan pasiennya, sehingga dalam hal ini kedudukan pasien

bersifat pasif dan sangat bergantung kepada dokter.95 Namun, seiring

dengan berkembangnya waktu kedudukan dokter dengan pasien

adalah sederajat. Maka dari itu, diperlukannya komunikasi yang jujur

antara dokter dengan pasien agar menghasilkan suatu upaya

kesembuhan yang maksimal.

94
Ibid
95
Zaeni Asyhadie, Aspek Hukum Kesehatan, hlm. 57

56
BAB III

PEMBAHASAN

A. Kedudukan Informed Consent dalam Perjanjian Terapeutik terhadap

Pasien Pulang Atas Permintaan Sendiri sebagai Alasan Penghentian

Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit

Perjanjian terapeutik disebut juga dengan transaksi terapeutik yang

merupakan suatu kontrak yang dikenal dalam bidang pelayanan kesehatan.

Transaksi terapeutik adalah perjanjian antara dokter dengan pasien berupa

57
hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban dari masing-masing

pihak.96 Hubungan hukum yang terjadi antara dokter dan pasien berlandaskan

oleh asas kepercayaan, sehingga pasien memberikan persetujuan tindakan

medik atau dikenal dengan istilah informed consent. Informed consent adalah

suatu persetujuan pasien untuk menerima upaya medis yang akan dilakukan

terhadap dirinya setelah mendapatkan informasi atau penjelasan serta segala

risiko yang mungkin terjadi.97

Bentuk persetujuan yang diberikan pasien kepada pihak pelaksana jasa

tindakan medis (dokter) untuk melakukan tindakan medis dapat dibedakan

menjadi 3 (tiga) bentuk, yaitu:98

1) Persetujuan tertulis

Dalam hal ini, persetujuan tertulis diperlukan apabila tindakan medis

yang dilakukan megandung risiko besar, sebagaimana ditegaskan

dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290 Tahun 200899 dan SK PB-

IDI Nomor 319100, yaitu intinya setiap tindakan medis yang mengandung

risiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah

sebelumnya pihak pasien memperoleh informasi yang kuat tentang

perlunya tindakan medis serta risiko yang berkaitan dengannya (telah

terjadinya informed consent).

2) Persetujuan lisan

Persetujuan lisan dapat dilakukan untuk tindakan medis yang bersifat

96
s Hanafiah dan Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, hlm. 59
97
Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Rineka Cipta:
Jakarta, 2013, hlm. 28
98
Zahir Rusyad, Hukum Perlindungan Pasien, hlm. 74
99
Pasal 3 ayat (1) Peratuan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/Menkes/Per/III/2008
tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran
100
Butir 3 Surat Keputusan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Nomor 319/PB/A.4/88

58
non-invasif dan tidak mengandung risiko tinggi. Persetujuan lisan ini

diberikan oleh pihak pasien. Persetujuan lisan ini juga dapat diberikan

kepada pasien yang memerlukan tindakan segera dan mengancam jiwa.

3) Persetujuan dengan isyarat

Persetujuan dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya pasien yang

akan disuntik atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan

lengannya sebagai tanda menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap

dirinya.101

Di Indonesia, informed consent dalam pelayanan kesehatan telah

memperoleh pembenaran secara yuridis melalui Peraturan Menteri Kesehatan

Nomor 290 Tahun 2008, yang mana persoalan-persoalan yang akan terjadi di

antara dokter dan pasien telah diatur secara hukum, sehingga ada kekuatan bagi

kedua belah pihak untuk melakukan tindakan secara hukum.

Informed consent dapat dikatakan sebagai bagian dari ruang lingkup

perjanjian terapeutik, karena di dalamnya terjadi kesepakatan antara dokter dan

pasien yang bersifat mengikat. Dalam hal ini, seorang dokter bersedia untuk

berusaha dengan segala kemampuannya memenuhi isi perjanjian tersebut, yaitu

merawat dan menyembuhkan pasien. Sedangkan pasien berkewajiban untuk

mematuhi aturan-aturan yang telah ditentukan oleh dokter termasuk memberi

imbalan atas jasanya. Sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Praktik

Kedokteran102 disebutkan bahwa dalam informed consent sekurang-kurangnya

mencakup:

101
M.A.M de Watcher, Biotika: Sekedar Refleksi tentang Penerapan Etika dalam Bidang Kedokteran
di Indonesia, PT. Gramedia: Jakarta, 1990, hlm. 66-72
102
Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

59
1) Diagnosis dan tata cara tindakan medis;

2) Tujuan tindakan medis yang dilakukan;

3) Alternatif tindakan lain dan risikonya;

4) Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan

5) Prognosis (kemungkinan hasil perawatan) terhadap tindakan yang

dilakukan.

Secara garis besar, bagian dari informed consent telah memenuhi ketentuan

yuridis sebagaimana diatur di dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata, yaitu:103

1) Sepakat mereka mengikatkan dirinya

Hubungan hukum yang terjadi antara dokter dan pasien adalah pada saat

pasien datang ke rumah sakit atau tempat praktik dokter untuk meminta

pertolongan, dan dokter menyatakan kesediannya yang dinyatakan secara

tersirat dengan menunjukkan sikap atau tindakan yang menyimpulkan

kesediaan, seperti menerima pendaftaran, memberikan nomor urut,

melakukan tanya jawab (amnesa), memberikan diagnosis, menyediakan

pengobatan atau perawatan, atau mencatat rekam medis pasien, sehingga hal

ini menghasilkan suatu kesepakatan bersama antara kedua pihak. 104 Dalam

perjanjian terapeutik ada hal-hal khusus yang mempengaruhi kesepakatan.

Jika dibandingkan dengan dokter, kedudukan pasien relatif lemah karena

pasien adalah orang yang meminta pertolongan.105 Pada dasarnya,

penandatanganan informed consent merupakan pengukuhan dari persetujuan

103
Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang Syarat Sah Perjanjian
104
Noor M. Aziz, Laporan Penelitian Hukum hlm. 41
105
Irsyal Rusad, Kedudukan Hukum Pasien Dalam Informed Consent Ditinjau Dari Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, Thesis Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta, 2007, hlm. 84

60
lisan yang sebelumnya telah dilakukan oleh pihak dokter saat menjelaskan

mengenai penyakit pasien serta tindakan medis yang akan dilakukan. Karena,

dalam informed consent terdapat pernyataan dari pihak pasien bahwa

persetujuan yang dibuat dilakukan secara sadar dan tanpa paksaan, untuk

pasien “mengikatkan” dirinya. Hal ini yang menunjukkan bahwa telah terjadi

kesepakatan bersama di antara pihak yang menandatangani informed consent.

2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Secara yuridis, kecakapan untuk membuat perikatan adalah kewenangan

seseorang untuk mengikatkan diri. Setiap orang adalah cakap untuk membuat

suatu perikatan, kecuali seseorang yang dinyatakan tidak cakap berdasarkan

Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan

“orang-orang dinyatakan tidak cakap, yaitu orang yang belum dewasa dan

mereka yang ditaruh dibawah pengampuan.”106

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor

290/Menkes/Per/III/2008 tentang persetujuan tindakan medis kedokteran,

pasien dianggap kompeten untuk membuat perjanjian berdasarkan usianya,

apabila pasien dewasa yang sudah berumur 21 tahun atau telah/pernah

menikah dan pasien telah berusia 18 tahun, tidak termasuk anak berdasarkan

peraturan perundang-undangan.107 Oleh karena itu apabila seorang pasien

yang belum kompeten datang ke tempat praktik dokter untuk mendapatkan

pelayanan kesehatan, dokter hanya bisa melakukan tindakan medis ringan

atau tindakan medis tanpa risiko. Untuk tindakan medis berat atau tindakan

106
Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
107
Pasal 13 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran

61
medis dengan risiko tinggi, seperti operasi pembedahan bagi yang belum

berumur 21 tahun diperlukan izin atau persetujuan dari pihak keluarganya

atau wali.

3) Suatu hal tertentu

Dalam perjanjian terapeutik, yang menjadi “suatu hal tertentu” adalah

tindakan medis yang akan dilakukan oleh dokter, yaitu tindakan untuk

melakukan pengobatan dan/atau suatu upaya untuk melakukan tindakan

penyembuhan terhadap suatu penyakit.108 Dalam hal ini, suatu hal tertentu

dikenal dengan istilah prestasi. Berkaitan dengan prestasi dari segi

keperdataan dikenal dengan 2 jenis perjanjian, yaitu:

a. Resultaatverbintenis, yaitu suatu jenis perjanjian yang prestasinya

didasarkan atas hasil kerja. Yang melakukan perjanjian ini ialah

dokter gigi. Karena, dokter gigi dapat menjanjikan prestasi hasil

kerja, seperti pembuatan gigi palsu.109

b. Inspanningverbintenis, yaitu suatu jenis perjanjian yang prestasinya

didasarkan atas usaha kerja yang maksimal. Secara yuridis, dokter

umum atau dokter spesialis dalam membuat perjanjian terapeutik

dengan pasiennya hanya berani menjanjikan suatu usaha yang

maksimal guna penyembuhan pasiennya.110

Secara yuridis, seluruh tindakan medis dapat menjadi objek hukum yang

sah. Akan tetapi, bentuk dari perjanjian medisnya harus jelas, apakah suatu

108
Zaeni Asyhaedi, Aspek Hukum Kesehatan, hlm. 58
109
Nura Perezkinia Pasmah, Urgensi Persetujuan Tinndakan Medik (Informed Consent) Sebagai
Perlindungan Hukum Dokter dan Rumah Sakit Dalam Pelayanan Kesehatan dari Perspektif Hukum
Perdata, Thesis Pascasarjana Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Palembang,
2019, hlm.6
110
Zaeni Asyhaedi, Aspek Hukum Kesehatan, hlm. 59

62
perjanjian resultaatverbintenis atau suatu perjanjian inspanningverbintenis.

Hal ini berkaitan dengan beban pembuktian apabila nantinya terjadi suatu

gugatan hukum. Jika dihubungkan dengan objek perjanjian dalam transaksi

terapeutik, maka upaya penyembuhan dokter tersebut adalah bentuk prestasi

yang dilakukan oleh dokter berdasarkan standar pelayanan minimal medis.

Dokter harus dapat menentukan, memberikan, dan menjelaskan informasi

mengenai upaya medis tersebut agar syarat ini terpenuhi.

4) Suatu sebab yang halal

Sebab yang halal maksudnya adalah objek yang diperjanjikan harus

sesuai dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang, ketertiban umum, dan

kesusilaan. Dalam pengertian ini, yang menjadi objek yang diperjanjikan

adalah hal-hal yang diperbolehkan atau tidak bertentangan dengan hukum.

Misalnya, dokter tidak boleh memperjanjikan untuk melakukan abortus

provoccatus criminalis (pengguguran kandungan).111 Oleh sebab itu, selama

suatu pelayanan terapeutik, baik tindakan, upaya pengobatan, atau perawatan

terhadap pasien tidak melanggar Undang-Undang, maka informed consent

pasien tersebut adalah sah hukumnya.

Pemberian informasi dan consent sering kali terjadi perbedaan

kepentingan antara pasien dengan dokter. Perbedaan kepentingan ini

biasanya terjadi karena tidak memenuhi titik temu yang memuaskan kedua

belah pihak, sehingga menyebabkan timbulnya konflik kepentingan.

Misalnya, pasien berkepentingan untuk penyembuhan penyakit yang di

deritanya, akan tetapi mengingat risiko yang akan timbul berdasarkan

111
Ibid

63
informasi yang diperolehnya dari dokter, pasien atau keluarganya menolak

memberi persetujuan tindakan medik, sedangkan pada sisi lain dokter yang

akan melakukan perawatan membutuhkan persetujuan. Sehingga, akibat

dari terjadinya perbedaan kepentingan ini, pasien atau keluarga pasien

memutuskan untuk pulang walau tidak mendapat persetujuan dari dokter

atau biasa disebut dengan Pasien Pulang Atas Permintaan Sendiri. Tidak

jarang, pasien yang pulang atas permintaan sendiri apabila terjadi suatu hal

yang tidak diinginkannya, maka pasien menganggap bahwa telah terjadi

suatu pelanggaran hukum atau kelalaian hukum yang dilakukan oleh dokter

atau rumah sakit, yang menjadi landasan untuk dilakukannya suatu gugatan

hukum.

Selain itu, informed consent pulang atas permintaan sendiri dalam

perjanjian terapeutik dapat dikaitkan dengan terhapusnya suatu perjanjian.

Terhapusnya suatu perjanjian maksudnya adalah hal-hal yang dapat

menghapuskan atau terhentinya perjanjian yang dibuat antara dokter atau

rumah sakit atau pasien.112 Apabila dikaitkan dengan hapusnya perjanjian

pada umumnya, maka perjanjian terapeutik juga diatur sebagaimana Pasal

1381 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hapusnya suatu perikatan

disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:

a. Pembayaran

Berakhirnya suatu perjanjian karena pembayaran diatur dalam

Pasal 1382 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pembayaran

merupakan pelunasan utang oleh debitur kepada kreditur dan dapat

dilakukan dalam bentuk uang atau barang. Namun, secara yuridis,


112
Zaeni Asyhadie, Aspek Hukum Kesehatan, hlm. 83

64
pembayaran juga dapat dilakukan dalam bentuk jasa, seperti jasa

dokter, pengacara, dan lain sebagainya.113

Terhapusnya perjanjian terapeutik juga bisa disebabkan karena

terjadinya pembayaran. Dalam hal ini, tindakan medis atau pengobatan

dan perawatan telah selesai dilakukan, pasien melakukan pembayaran

kepada dokter atau rumah sakit. Sehingga, pembayaran tersebut

menandakan bahwa perjanjian terapeutik telah berakhir.

b. Pembatalan

Dalam transaksi terapeutik dapat terjadi salah satu pihak tidak

mau melanjutkan transaksi di bidang pengobatan ini. 114 Pada

umumnya, yang tidak mau melanjutkan transaksi terapeutik adalah

pasien atau keluarga pasien. Apabila hal ini terjadi terhadap pasien

rawat jalan yang mana pasien tidak lagi berkunjung untuk

melakukan pemeriksaan ulang, maka hal ini merupakan tindakan

pemutusan ikatan. Namun, apabila terjadi pada pasien rawat inap

atau pasien yang sedang dalam proses perawatan, maka dokter

memberikan lembaran khusus sebagai tindakan pembatalan,

menyatakan bahwa dokter telah menjelaskan keadaan pasien dan

tindakan yang diperlukan, tetapi pasien atau keluarga meminta

pulang dengan segala risiko di luar tanggung jawab dokter ataupun

pihak rumah sakit.

Maka dari itu, informed consent Pulang Atas Permintaan Sendiri dalam
113
Ibid
114
Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, hlm. 63

65
perjanjian terapeutik memiliki 2 fungsi. Fungsi pertama adalah sebagai alat

perlindungan hukum bagi penyedia layanan terapeutik (dokter atau rumah

sakit), dimana informed consent menjadi alat bukti telah dijelaskannya

suatu tindakan terapeutik kepada pasien sehingga pasien mengetahui risiko

penghentian pelayanan terapeutik yang dapat terjadi di kemudian hari

bukan lagi tanggung jawab penyedia layanan. Fungsi kedua adalah sebagai

bukti pembatalan perjanjian oleh penerima layanan terapeutik (pasien),

yang mana pembatalan ini dilakukan secara sepihak oleh penerima layanan

karena berbagai alasan tertentu, sehingga perjanjian antara dokter dan

pasien secara sah berakhir di mata hukum.

B. Akibat Hukum Pasien Pulang Atas Permintaan Sendiri sebagai Alasan

Penghentian Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit berdasarkan Hukum

Perjanjian

Tindakan pasien untuk memberi penolakan atas tindakan medis yang akan

dilakukan merupakan sepenuhnya hak pasien. Namun, ada kalanya tindakan ini

menyebabkan suatu permasalahan hukum. Apabila pasien menolak dan

memutuskan untuk pulang, jika terjadi suatu hal yang tidak diinginkan, maka

pasien akan menuntut dokter ataupun rumah sakit. Pasien merasa bahwa apa

yang terjadi dengannya masih merupakan tanggungjawab penuh dokter atau

pasien. Dalam hal ini, penulis meninjau akibat hukum bagi pasien rumah sakit

yang pulang atas permintaan sendiri sebagai alasan penghentian pelayanan

kesehatan di rumah sakit berdasarkan hukum perjanjian.

Ketika dokter memberikan tindakan medis, tentu saja tidak selalu berjalan

mulus dan lancar. Akibatnya, sering terjadi miskonsepsi antara pasien dengan

66
dokter terkait upaya penyembuhan penyakitnya. Pasien sering kali menganggap

kondisinya yang tidak kunjung membaik disebabkan oleh kesalahan dokter.

Apabila dokter melakukan kesalahan, baik disengaja maupun karena

kelalaiannya dalam memberikan upaya pelayanan kesehatan berupa pengobatan

dan perawatan kepada pasien, maka pasien atau keluarga dapat meminta

pertanggungjawaban (responsibility) pada dokter yang bersangkutan. Salah satu

bentuk pertanggungjawabannya ialah pertanggungjawaban perdata. 115 Oleh

karena itu, dapat dikatakan bahwa pertanggungjawaban ini merupakan tanggung

gugat hukum. Seperti yang kita ketahui, yang dimaksud dengan tanggung gugat

hukum merujuk kepada posisi seseorang atau badan hukum yang harus

membayar suatu bentuk kompensasi atau ganti rugi setelah adanya peristiwa

hukum.116

Kemudian daripada itu, perjanjian terapeutik memiliki sifat khusus atau

inspanningverbintenis yang mana dokter tidak menjanjikan suatu kesembuhan

melainkan hanya suatu upaya maksimal untuk melakukan penyembuhan. Dalam

artian, dokter hanya berkewajiban menyediakan ketelitian, perhatian, keahlian,

serta memberikan jasa pelayanan perawatan medis dengan penuh kesungguhan

dan menjalankan kewajibannya sesuai dengan standar pelaksanaan profesi. 117

Jadi, apabila nanti dokter tersebut melakukan penyimpangan terhadap standar

pelaksanaan profesi, secara hukum dokter dapat digugat melalui wanprestasi.

Menurut R. Subekti, seseorang dianggap melakukan wanprestasi apabila

115
Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan, hlm. 14
116
Deny Palalangan, Tanggung Gugat Perusahaan Penerbangan Terhadap Kehilangan
Barang Bagasi Penumpang,
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexetsocietatis/article/download/15580/15118,
Diakses 24 April 2022 Pukul 22.40 WIB
117
Ibid, hlm. 15

67
yaitu:118

1) Tidak melakukan apa yang disepakati untuk dilakukan;

2) Melakukan apa yang diperjanjikan, tetapi terlambat;

3) Melakukan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana yang

diperjanjikan;

4) Melakukan sesuatu yang menurut hakikat perjanjian tidak boleh

dilakukan.

Dengan demikian, dari keempat unsur di atas dapat disimpulkan bahwa

yang berkaitan dengan kesalahan atau kelalaian yang dilakukan dokter adalah

unsur ketiga, sebab dalam perjanjian terapeutik yang harus dipenuhi oleh dokter

adalah upaya penyembuhan dengan kesungguhan.

Jika merujuk kepada Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,

bentuk ganti rugi yang dapat diberikan dokter atau rumah sakit kepada pasien

adalah berupa ongkos, rugi, dan bunga yang dideritanya. 119 Selain itu, ganti rugi

atas kesalahan dan kelalaian dokter juga diatur di dalam Undang-Undang

Kesehatan, yaitu bahwa setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan

atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan dan dilaksanakan sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.120

Berdasarkan ketentuan di atas, bahwa setiap tindakan dokter atau tindakan

orang lain yang berada di bawah pengawasan dokter, tindakan tersebut hanya

merupakan kelalaian atau kesalahan ringan. Akan tetapi, apabila tindakan

tersebut merugikan pasien, maka dokter wajib memberikan ganti rugi kepada

118
R. Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa: Jakarta, 1987, hlm. 45
119
Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
120
Pasal 55 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1996
tentang Tenaga Kesehatan

68
pasien sebagai bentuk pertanggungjawabannya.

Apabila pasien atau keluarga pasien ingin melakukan suatu gugatan

berdasarkan wanprestasi, maka harus bisa dibuktikan bahwa pelayanan

kesehatan yang diterima memang tidak sesuai dengan kesepakatan yang

tertuang di dalam informed consent atau dokter keliru melakukan tindakan

medik atau dokter tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana mestinya. Akan

tetapi, dalam hal ini pasien ada kalanya mengalami kesulitan untuk

membuktikan bahwa apa yang dideritanya, merupakan akibat dari kesalahan

atau kelalaian dokter dalam memberikan pelayanan kesehatan. Kesulitan ini

terjadi karena pasien tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai terapi

dan diagnosa dokter mengenai penyakit yang di alaminya. Menyadari hal ini,

dengan maksud untuk melindungi kepentingan hukum pasien yang dirugikan

akibat pelayanan kesehatan maka tercipta pembuktian terbalik bagi kepentingan

pasien. Adapun cara lain untuk menyelesaikan permasalahan ini yaitu dengan

menggunakan doktrin Res ipsa loquitor. Artinya, titik tolak doktrin ini adalah

The thing speaks for it self, yaitu fakta-fakta sudah berbicara sendiri sehingga

tidak perlu dibuktikan lagi (Leenen, 191:143).121 Berdasarkan uraian di atas,

dapat disimpulkan bahwa ketika dokter melakukan kesalahan atau kelalaian

yang menyebabkan kerugian terhadap pasien, maka pasien atau keluarga pasien

dapat meminta pertanggungjawaban perdata. Maka, akibat hukum terhadap

pasien yang mengalami kerugian berupa bentuk ganti rugi ongkos ataupun uang.

Akan tetapi, bentuk ganti rugi ini tidak dapat diterapkan terhadap pasien yang

pulang atas permintaan sendiri. Hal ini dikarenakan, seperti yang telah

dijelaskan di subbab sebelumnya, pasien yang pulang atas permintaan sendiri


121
Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan, hlm. 16

69
sudah menandatangani lembaran khusus (informed consent) secara sadar dan

tanpa paksaan, yang mana didalamnya terdapat persetujuan bahwa pasien

sepenuhnya memahami penjelasan yang telah diberikan oleh rumah sakit

mengenai penyakit dan segala konsekuensi baik atau buruknya. Secara hukum,

apabila pasien atau keluarga ingin menuntut dokter atau rumah sakit karena

kondisi yang semakin memburuk atau bahkan meninggal dunia, informed

consent digunakan oleh dokter atau rumah sakit sebagai alat bukti berakhirnya

perjanjian terapeutik dan bukti perlindungan hukum.

Akibat hukum dari Pulang Atas Permintaan Sendiri adalah sepenuhnya

ditanggung oleh pasien karena ketika pasien sudah menandatangani informed

consent Pulang Atas Permintaan Sendiri, maka pada saat itu juga mereka sudah

memutuskan perjanjian terapeutik. Selama dokter atau rumah sakit sudah

menjalankan standar operasional prosedur pelayanan dan sesuai dengan kode

etik profesi dokter maka gugatan hukum yang ditujukan kepada dokter atau

rumah sakit terkait wanprestasi tidak bisa dijatuhkan. Dengan memberikan

informed consent Pulang Atas Permintaan Sendiri, dokter atau rumah sakit telah

menjalankan kewajibannya selaku penyedia kesehatan untuk memberikan

informasi terkait penyakit pasien dan tindakan terapeutik yang sudah diberikan.

70
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Ahmadi Miru dan Sakka Pati, 2011, Hukum Perikatan (Penjelasan Makna
Pasal 1233 -1456 BW), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
A.K Syahmin, 2006, Hukum Kontrak Internasional, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta
Angrayni Lysa, 2014, Diktat Pengantar Ilmu Hukum, Suska Press, Riau
Asikin Zainal, 2012, Pengantar Ilmu Hukum, cet. 1, PT. Raja Grafindo,
Jakarta
Badrulzaman Mariam Darus (a), 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra
Aditya Bakti, Bandung
Endang Kusuma Astuti, 2009, Perjanjian Terapeutik Dalam Upaya
Pelayanan Medis Di Rumah Sakit, Citra Aditya Bakti, Bandung
Ibrahim Johnny, 2006, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif,
Bayu Publishing, Malang
Lumenta Benyamin, 1979, Pasien, Citra dan Perilaku, Penerbit Kanisius,
Jakarta
Marzuki Peter Mahmud, 2013, Penelitian Hukum (edisi Revisi), Kencana
Prenada Media Group, Jakarta
Nasution Bahder Johan, 2005, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban
Dokter, PT. Rineka Cipta, Jakarta
Notoatmodjo Soekidjo, 2008, Sosiologi Untuk Kesehatan, Salemba
Medika, Jakarta
Prodjodikoro Wirdjono, 2000, Azas-Azas Hukum Perjanjian, CV. Mandar
Maju, Bandung
Subekti, 1987, Hukum Perjanjian, PT. Intermassa, Jakarta
Sudikno Mertokusumo, 1986, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberti,
Yogyakarta
Zainuddin Ali, 2019, Metode Penelitian hukum, cet. 11, CV. Sinar Grafika,
Jakarta
Zahir Rusyad, 2018, Hukum Perlindungan Pasien, Setara Press, Malang

71
B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Kitab Undang-


Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang
Rumah Sakit
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2019
tentang Standar Teknis Pemenuhan Mutu Pelayanan Dasar Pada Standar
Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
129/Menkes/SK/II/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit
Surat Keputusan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Nomor
221/PB/A.4/2002 tentang Penerapan Kode Etik Kedokteran Indonesia

C. Jurnal atau Artikel Ilmiah

Liza Wati, dkk, Kejadian Pasien Pulang Atas Permintaan Sendiri (PAPS) di
RSUD Raja Ahmad Thabib Provinsi Kepulauan Riau, Jurnal Menara Medika,
Edisi September 2021, Vol. 4, No.1
M. Firza Syahlefi Lubis dan Aisyah Simanjorang, Faktor Yang
Memengaruhi Kejadian Pulang Atas Permintaan Sendiri (PAPS) Pada Pasien
Rawat Inap di RSU Madani Kota Medan, Jurnal Rekam Medic, Edisi Februari
2018, Vol.1, No.2
Mega Warni Harahap, dkk, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keputusan
Pulang Atas Permintaan Sendiri Pasien Di Rumah Sakit Kota Pinang, Jurnal
Kajian Kesehatan Masyarakat, Edisi November 2019 - April 2020, Vol. 1, No. 2
Seta Prakoso, Analisis Opportunity Cost Pasien Pulang Paksa Di Instalasi
Rawat Inap RSU Haji Surabaya, Thesis Magister Universitas Airlangga, 2013

D. Internet

Coki Siadari, Pengertian Pasien Menurut Para


Ahli, https://www.kumpulanpengertian.com/2018/11/pengertian-pasien-
menurut-para-ahli.html, Diakses 16 Februari 2022, Pukul 22.04 WIB
Nadya, 2013, Konsep Sehat dan Sakit, https://uin-
alauddin.ac.id/tulisan/detail/konsep-sehat-dan-sakit, Diakses 04
Januari 2022, Pukul 22.11 WIB
Retno Harjanti Hartiningsih, Pola Hubungan Hukum Antara Dokter Dan
Pasien, https://jdih.banyuwangikab.go.id/dokumen/jurnal_makalah_hukum/doc
ument(6).pdf, Diakses 16 Februari 2022, Pukul 20.07 WIB
RS Pratama Kriopanting, Definisi, Tugas, Dan

72
Fungsi, https://rspkriopanting.bangkaselatankab.go.id/profile/detail/179-
definisi-tugas-dan-fungsi, Diakses 16 Februari 2022, Pukul 21.20 WIB
Teknosehat, Hukum Kesehatan di Rumah Sakit,
https://hukumkes.wordpress.com/2008/03/15/hospital-liability/, Diakses 16
Februari 2022, Pukul 19.45 WIB

73

Anda mungkin juga menyukai