Anda di halaman 1dari 24

TUGAS AKHIR BLOK ILMU BIOETIKA, KOMUNIKASI DAN PSIKOLOGI

HUKUM DAN UNDANG - UNDANG KESEHATAN


SEBAGAI PERLINDUNGAN BAGI DOKTER GIGI

Disusun Oleh:

SURAIDAH

J075222006

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER GIGI SPESIALIS

RADIOLOGI KEDOKTERAN GIGI

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun ucapkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya

sehingga makalah yang berjudul “Hukum dan Undang - Undang Kesehatan sebagai

Perlindungan bagi Dokter Gigi” ini dapat tersusun sampai dengan selesai.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada dosen-dosen pengampu di Blok Ilmu Bioetika, Komunikasi, dan Psikologi yang telah

memberikan tugas ini sebagai tugas akhir bagi kami.

Penyusun sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan

pengalaman bagi pembaca, termasuk pada penyusun sendiri. Bahkan penyusun berharap lebih

jauh lagi agar makalah ini dapat dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Penyusun menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini

karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman. Untuk itu penyusun sangat mengharapkan

kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Makassar, 20 Maret 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ............................................................................................................. i

KATA PENGANTAR ..............................................................................................................

ii

DAFTAR ISI ........................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang................................................................................................ 1

1.2. Rumusan Masalah ...........................................................................................

1.3. Tujuan ............................................................................................................. 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................................... 4

2.1. Hukum Kesehatan .......................................................................................... 4

2.2. Undang-Undang Kesehatan ............................................................................ 6

BAB III PEMBAHASAN .................................................................................................... 9

3.1. Hubungan Hukum dan Perlindungan Hukum ............................................... 9

3.2. Aspek Hukum Pelayanan Kesehatan .............................................................

10

3.2.1. Aspek Hukum Administrasi ..............................................................

11

3.2.2. Aspek Hukum Pidana ......................................................................

12

3.2.3. Aspek Hukum Perdata ......................................................................

13

3.3. Perlindungan Hukum bagi Dokter Gigi ........................................................ 16


iii
BAB IV PENUTUP ...........................................................................................................

19

4.1. Kesimpulan ................................................................................................... 19

4.2. Saran .............................................................................................................

19

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Kesehatan menurut Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang

Kesehatan BAB 1 Pasal 1 Ayat 1 berbunyi “Kesehatan adalah Keadaan sehat, baik

secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk

hidup produktif secara sosial dan ekonomis”.1

Definisi sehat menurut “World Health Organization” (WHO) merumuskan

dalam cakupan yang sangat luas, yaitu “keadaan yang sempurna baik fisik, mental

maupun sosial, tidak hanya terbebas dari penyakit atau kelemahan/cacat”.2

Dari gambaran di atas dapat disimpulkan bahwa sehat menurut WHO

mengandung pengertian kondisi kesehatan ideal, baik dari segi biologis, psiologis,

dan sosial. Hal ini juga tentunya akan membuat seseorang dapat melakukan aktivitas

secara maksimal dan optimal. Selain itu, WHO juga menjabarkan beberapa

karakteristik kesehatan yang perlu diketahui : Diantaranya, seperti sehat jasmani dan

iv
rohani tanpa melibatkan unsur eksternal, Sehat berkaitan dengan lingkungan internal

atau eksternal, sehat spritual, sehat mental. Serta sehat sebagai hidup kreatif dan

produktif.2

Hukum Kesehatan (health law) merupakan suatu spesialisasi dari ilmu

hukum yang ruang lingkupnya meliputi segala peraturan perundang-undangan di

sektor pemeliharaan Kesehatan. Menurut Kansil (1989), hukum Kesehatan adalah

rangkaian peraturan perundang-undangan dalam bidang Kesehatan yang mengatur

pelayanan medik dan sarana medik. Sedangkan Leenen (dalam Amri Amir, 1999)

mengemukakan bahwa hukum Kesehatan meliputi semua ketentuan umum yang

langsung berhubungan dengan pemeliharaan Kesehatan dan penerapan dari hukum

perdata, hukum pidana, dan hukum administrasi dalam hubungan tersebut serta

pedoman internasional.3

Tanggal 17 oktober 2014 UU.No.36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan

telah disahkan dan diundangkan. Pemerintah berdalih pembentukan UU tenaga

Kesehatan merupakan perpanjangan dari UU no.36 tahun 2009 tentang Kesehatan,

dan pemerintah mengklaim bahwa ketentuan mengenai tenaga Kesehatan masih

tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan belum menampung

kebutuhan hukum masyarakat sehingga perlu dibentuk undang-undang tersendiri

yang mengatur tenaga Kesehatan secara komprehensif.3

Dalam undang-undang Kesehatan no.36 Tahun 2014 disebutkan bahwa

tenaga Kesehatan merupakan sumber daya Kesehatan yang paling utama. Sebab

dengan tenaga Kesehatan ini semua sumber daya Kesehatan yang lain seperti

fasilitas pelayanan Kesehatan, pembekalan Kesehatan serta teknologi dan produk

teknologi dapat dikelola secara sinergis dalam rangka mencapai tujuan

v
pembangunan Kesehatan yang diharapkan. Secara hukum tenaga Kesehatan di

Indonesia telah diatur tersendiri sejak 22 juli 1963 dengan keluarnya Undang-

Undang No.6 Tahun 1963 tentang tenaga Kesehatan.3

1.2. RUMUSAN MASALAH

Rumusan masalah dari pembuatan makalah ini adalah bagaimana Hukum dan

Undang-Undang Kesehatan sebagai perlindungan bagi Dokter Gigi.

1.3. TUJUAN

Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai konsep dari Hukum dan

Undang-Undang Kesehatan sebagai perlindungan bagi Dokter Gigi.

vi
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. HUKUM KESEHATAN

Dalam pengertian hukum kesehatan yang dibahas secara terperinci,

diungkapkan oleh beberapa ahli yang dapat dipahami, sebagai berikut:1

1. Van Der Mijn mengungkapakan bahwa hukum kesehatan diratikan sebagai

hukum yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan kesehatan, meliputi:

penerapan perangkat hukum perdata, pidana dan tata usaha negara.

2. Leenen berpendapat bahwa hukum kesehatan sebagai keseluruhan aktivitas

yuridis dan peraturan hukum di bidang kesehatan serta studi ilmiahnya. Dari pengertian

di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum kesehatan merupakan seperangkat kaidah

yang mengatur secara khusus segala aspek yang berkaitan dengan upaya dan

pemeliharaan di bidang kesehatan. Dengan adanya hukum kesehatan tersebut tidak

hanya meluruskan sikap dan pandangan masyarakat, akan tetapi akan meluruskan sikap

vii
dan pandangan kelompok dokter yang sering merasa enggan jika berurusan dengan meja

peradialan.

Hukum kesehatan termasuk hukum “lex specialis ”, melindungi secara khusus

tugas profesi kesehatan (provider) dalam program pelayanan kesehatan manusia menuju

ke arah tujuan deklarasi “health for all” dan perlindungan secara khusus terhadap pasien

“receiver” untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Dengan sendirinya hukum

kesehatan ini mengatur hak dan kewajiban masing-masing penyelenggara pelayanan dan

penerima pelayanan, baik sebagai perorangan (pasien) atau kelompok masyarakat.1

Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia dalam anggaran dasarnya

menyatakan “Hukum kesehatan adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan

langsung dengan pemeliharaan/pelayanan kesehatan dan penerapannya serta hak dan

kewajiban baik perorangan dan segenap lapisan masyarakat sebagai penerima pelayanan

kesehatan maupun dari pihak penyelenggara pelayanan kesehatan dalam segala aspek

organisasi; sarana pedoman medis nasional/internasional, hukum di bidang kedokteran,

yurisprudensi serta ilmu pengetahuan bidang kedokteran kesehatan. Yang dimaksud

dengan hukum kedokteran ialah bagian hukum kesehatan yang menyangkut pelayanan

medis. Ada beberapa asas hukum di dalam ilmu kesehatan, yaitu:1

a. Sa science et sa conscience artinya ya ilmunya dan ya hati nuraninya. Maksud dari

pernyataan ini adalah bahwa kepandaian seorang ahli kesehatan tidak boleh

bertentangan dengan hati nurani dan kemanusiaannya. Biasanya digunakan pada

pengaturan hak-hak dokter, dimana dokter berhak menolak dilakukannya tindakan

medis jika bertentangan dengan hati nuraninya.

b. Agroti Salus Lex Suprema artinya keselamatan pasien adalah hukum yang tertinggi.

c. Deminimis noncurat lex artinya hukum tidak mencampuri hal-hal yang sepele. Hal

ini berkaitan dengan kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan. Selama

viii
kelalaian tersebut tidak berdampak merugikan pasien maka hukum tidak akan

menuntut.

d. Res Ipsa liquitur artinya faktanya telah berbicara. Digunakan di dalam kasuskasus

malpraktek dimana kelalaian yang terjadi tidak perlu pembuktian lebih lanjut

karena faktanya terlihat jelas.

Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa seorang tenaga kesehatan

dalam memberikan pelayanan kesehatan harus menggunakan ilmu dan hati nurani,

serta keselamatan pasien (patient safety) harus selalu diperhatikan dan dilindungi.

Tidak hanya itu pasien berhak menuntut ganti kerugian apabila tenaga kesehatan

melakukan tindakan yang merugikan dirinya.1

Hukum kesehatan terkait dengan peraturan perundang-undangan dibuat untuk

melindungi kesehatan masyarakat di Indonesia. Bentuk hukum tertulis atau peraturan

undang-undang mengenai hukum kesehatan diatur dalam :

a. Undang-Undang

1) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

(selanjutnya disebut UU No. 29 Tahun 2004).

2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (selanjutnya

disebut UU No. 36 Tahun 2009).

3) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (selanjutnya

disebut UU No. 44 Tahun 2009).

4) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan

(selanjutnya disebut UU No. 36 Tahun 2014)

5) Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan (selanjutnya

disebut UU No. 38 Tahun 2014)

b. Peraturan Pemerintah.

ix
c. Keputusan Presiden.

d. Keputusan Menteri Kesehatan.

e. Keputusan Dirjen/Sekjen.

f. Keputusan Direktur/Kepala Pusat

2.2. UNDANG – UNDANG KESEHATAN

Undang-Undang Kesehatan merupakan landasan utama dan merupakan payung

hukum bagi setiap penyelenggara pelayanan kesehatan. Oleh karena itu ada baiknya

setiap orang yang bergerak dibidang pelayanan kesehatan mengetahui dan memahami

apa saja yang diatur didalam undang-undang tersebut. 4

Undang-undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, memiliki landasan hukum

yang telah disesuaikan dengan UUD 1945 hasil amandemen, seperti dalam konsideran

mengingat; sebagaimana dicantumkannya  Pasal 20, Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 34

ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu, undang-undang ini juga memiliki

jumlah pasal yang sangat banyak yaitu terdiri dari  205 pasal dan 22 bab, serta

penjelasannya. Jika dibandingan dengan UU Kesehatan yang lama yaitu UU No 23

Tahun 1992, hanya terdiri dari 12 Bab dan 90 Pasal. 4

Dasar pertimbangan perlunya dibentuk Undang-Undang Kesehatan yang baru

yaitu : 5

1. Kesehatan adalah hak asasi dan salah satu unsur kesejahteraan.

2. Prinsip kegiatan kesehatan yang nondiskriminatif, partisipatif dan berkelanjutan. 

3. Kesehatan adalah investasi. 

4. Pembangunan kesehatan adalah tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.

5. Undang-Undang Kesehatan No 23 tahun 1992 sudah tidak sesuai lagi dengan

perkembangan, tuntutan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat.

x
Dari sisi pelayanan kesehatan, profesi tenaga kesehatan memang banyak

berkaitan dengan problema etik yang dapat berpotensi menimbulkan sengketa medik.

UU Kesehatan 2009 lebih memberikan perlindungan dan kepastian hukum baik pada

pemberi layanan selaku tenaga kesehatan (Pasal 21-29) maupun penerima layanan

kesehatan (Pasal 56-58). 4

Pada satu sisi, setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga

kesehatan, dan/atau  penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat

kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya. Namun disisi

lain Bilamana dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam

menjalankan profesinya, maka kelalaian tersebut menurut UU harus diselesaikan

terlebih dahulu melalui mediasi (Pasal 29). 4

xi
BAB III
PEMBAHASAN

3.1. HUBUNGAN HUKUM DAN PERLINDUNGAN HUKUM

Secara terminologi, perlindungan hukum dapat diartikan dari gabungan dua

definisi, yakni “perlindungan” dan “hukum”. KBBI mengartikan perlindungan sebagai

hal atau perbuatan yang melindungi. Lalu, hukum dapat diartikan sebagai peraturan

atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau

pemerintah.5

Merujuk definisi tersebut, perlindungan hukum dapat diartikan dengan upaya

melindungi yang dilakukan pemerintah atau penguasa dengan sejumlah peraturan yang

ada. Singkatnya, perlindungan hukum adalah fungsi dari hukum itu sendiri;

memberikan perlindungan.5

Beranjak dari definisi sederhana tersebut, Kamus Hukum mengartikan

perlindungan hukum sebagai peraturan-peraturan yang bersifat memaksa yang

xii
menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat. Peraturan ini dibuat

oleh badan-badan resmi yang berwajib dan pelanggaran terhadap peraturan-peraturan

tersebut akan menyebabkan pengambilan tindakan.5

Mengapa perlindungan hukum penting? Tujuannya pentingnya perlindungan

dan penegakan hukum tidak lain untuk memastikan subjek hukum memperoleh setiap

haknya. Kemudian, apabila ada pelanggaran akan hak-hak tersebut, adanya

perlindungan hukum dapat memberikan perlindungan penuh pada subjek hukum yang

menjadi korban.5

Upaya perlindungan hukum telah dilakukan dengan perumusan sejumlah


undang-undang dan kebijakan. Akan tetapi, sejauh ini perlindungan yang diberikan
belum optimal. Hal ini berkaitan dengan upaya penegakan hukumnya.5

Perlindungan hukum adalah upaya melindungi yang dilakukan pemerintah atau


penguasa dengan sejumlah peraturan yang ada. Berikut pengertian dan cara
memperolehnya.5

Mengapa perlindungan hukum tidak akan terwujud apabila penegakan hukum


tidak dilaksanakan? Sebab, keduanya berkaitan dan tidak dapat dilepaskan.
Perlindungan hukum yang diwujudkan dalam undang-undang adalah instrumen dan
penegak hukum adalah langkah untuk merealisasikan instrumen tersebut.5

Simanjuntak merumuskan 4 unsur perlindungan hukum. Jika unsur berikut


terpenuhi, barulah upaya perlindungan dapat dikatakan sebagai perlindungan hukum.5
1.   Adanya perlindungan dari pemerintah terhadap warganya.

2.   Jaminan kepastian hukum.

3.   Berkaitan dengan hak-hak warga negaranya.

4.   Adanya sanksi hukuman bagi pihak yang melanggarnya.

3.2. ASPEK HUKUM PELAYANAN KESEHATAN

xiii
Dokter gigi melakukan perawatan secara langsung kepada pasien, dasarnya

adalah standar profesi kedokteran gigi agar tidak menyebabkan kerugian kedua belah

pihak. Hubungan medik dan hubungan hukum antara dokter dan pasien adalah

hubungan yang obyeknya pemeliharaan kesehatan pada umumnya dan pelayanan

kesehatan pada khususnya. 6

Seorang dokter gigi dituntut untuk bersikap dan berkomunikasi secara baik.

Rencana perawatan serta telah melakukan tindakan diagnostik dan terapi sesuai standar,

namun harus menuliskan dan mencatat rekam medis dengan lengkap. Rekam medis

yang baik adalah rekam medis yang memuat semua informasi yang dibutuhkan, baik

yang diperoleh dari pasien, pemeriksaan dan tindakan dokter, komunikasi antar tenaga

medis / kesehatan, informed consent, dan lain-lain, serta informasi lain yang dapat

menjadi bukti di kemudian hari yang disusun secara berurutan kronologis (Suraja,

2019:64). 6

Rekam medis dapat digunakan sebagai alat pembuktian adanya kelalaian medis,

namun juga dapat digunakan untuk membuktikan bahwa seluruh proses penanganan

dan tindakan medis yang dilakukan oleh dokter gigi sesuai dengan standar profesi dan

standar prosedur operasional atau berarti bahwa kelalaian medis tersebut tidak terjadi.6

Dokter gigi yang telah memiliki STR dan SIP pun bisa melakukan suatu kelalaian

dalam tindakan medis. Suatu kelalaian medik disebut juga mal praktik. Hal tersebut

terjadi apabila dokter atau orang yang ada di bawah perintahnya dengan sengaja atau

karena kelalaian melakukan perbuatan (aktif atau pasif) dalam praktik medik terhadap

pasiennya dalam segala tingkatan yang melanggar standar profesi, standar prosedur,

atau prinsip-prinsip kedokteran, atau dengan melanggar hukum tanpa wewenang

dengan menimbulkan akibat (causal verband), kerugian bagi tubuh, kesehatan fisik,

maupun mental dan atau nyawa pasien (Hadi, 2018:101).6

xiv
3.2.1 ASPEK HUKUM ADMINISTRASI

Mal praktik administrasi (administrative malpractice) adalah apabila dokter

telah melanggar hukum administrasi. Pelanggaran tehadap hukum administrasi tersebut

antara lain seperti menjalankan praktek tanpa ijin, melakukan tindakan medis yang

tidak sesuai dengan ijin yang dimiliki, melakukan praktek dengan menggunakan ijin

yang sudah kadaluwarsa dan tidak membuat rekam medis (Haiti, 2017:212). 6

Aspek hukum administrasi dalam penyelenggaraan praktik kedokteran setiap

dokter/dokter gigi yang telah menyelesaikan pendidikan dan ingin menjalankan

praktik kedokteran dipersyaratkan untuk memiliki izin. Izin menjalankan praktik

memiliki dua makna (Haiti, 2017:217), yaitu: 6

a. Izin dalam arti pemberian kewenangan secara formil (formeele bevoegdheid).

b. Izin dalam arti pemberian kewenangan secara materiil (materieele

bevoegdheid).

Berdasarkan Undang-Undang Praktik Kedokteran pasal 64 menyebutkan

bahwa Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI ) yang

menerima pengaduan dan berwenang memeriksa dan memutuskan ada tidaknya

kesalahan yang dilakukan dokter karena melanggar penerapan disiplin ilmu

kedokteran dan menerapkan sanksi. Apabila ternyata didapati pelanggaran disiplin

kedokteran, maka MKDKI meneruskan pengaduan pada organisasi profesi IDI atau

PDGI, maka organisasi profesi yang akan melakukan penindakan terhadap dokter

tersebut. Bentuk sanksi disiplin yang dapat dijatuhkan oleh MKDKI menurut Pasal

69 ayat (3) Undang-Undang Praktik Kedokteran adalah : 6

a. Pemberian peringatan tertulis.

b. Rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik.

xv
c. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan

kedokteran atau kedokteran gigi.

d. Kelalaian dokter tersebut terbukti merupakan malpraktik yang mengakibatkan

terancamnya keselamatan jiwa dan atau hilangnya nyawa orang lain maka

pencabutan hak menjalankan pencaharian (pencabutan izin praktik) dapat

dilakukan sebagai sanksi administrasi.

3.2.2. ASPEK HUKUM PIDANA

Hukum pidana digunakan apabila timbul akibatnya berupa kematian atau

cacatnya seseorang. Hukum pidana berperan sebagai hukum sanksi (sanctie recht)

apabila suatu kematian atau cacat setelah dilakukan suatu perawatan oleh dokter

untuk membuktikan sejauh mana terjadi kesalahan maka harus dibuktikan melalui

hukum pidana. 6

Menurut hukum pidana, kelalaian, kesalahan, kurang hati-hati, atau kealpaan

disebut dengan culpa. Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro., S.H. mengatakan bahwa arti

culpa adalah “kesalahan pada umumnya”, tetapi dalam ilmu pengetahuan hukum

mempunyai arti teknis, yaitu suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang

tidak seberat seperti kesengajaan, yaitu kurang berhati-hati sehingga akibat yang tidak

disengaja terjadi (Wirjono Prodjodikoro, 2003:72). 6

Pada intinya, menurut Jan Remmelink culpa mencakup kurang cermat

berpikir, kurang pengetahuan, atau bertindak kurang terarah. Culpa merujuk pada

kemampuan psikis seseorang dan karena itu dapat dikatakan bahwa culpa berarti tidak

atau kurang menduga secara nyata (terlebih dahulu kemungkinan munculnya) akibat

fatal dari tindakan orang tersebut – padahal itu mudah dilakukan dan karena itu

seharusnya dilakukan (Jan Remmelink, 2003:177).6

xvi
3.2.3. ASPEK HUKUM PERDATA

Dalam hal pelayanan kesehatan, hubungan antara dokter dengan pasien

merupakan hubungan keperdataan, dimana pasien datang untuk disembuhkan

penyakitnya dan dokter berjanji akan menyembuhkan penyakit pasien. Hubungan

keperdataan adalah hubungan hukum yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berada

dalam kedudukan sederajat, setidak-tidaknya pada saat para pihak akan memasuki

hubungan hukum tertentu (Syahrul Machmud, 2008 : 44).7

Secara yuridis, timbulnya hubungan antara dokter dan pasien berdasarkan dua

hal, yaitu perjanjian (ius contractual) atau yang disebut dengan transaksi terapeutik,

hubungan ini sifatnya pribadi antara dokter dengan pasiennya karena didasarkan pada

kepercayaan, dan undang-undang (zaakwarneming). Dikatakan zaakwarneming atau

perwakilan sukarela, apabila pasien dalam keadaan tidak sadar sehingga dokter tidak

mungkin memberikan informasi, maka dokter dapat bertindak atau melakukan upaya

medis tanpa seizin pasien sebagai tindakan berdasarkan perwakilan sukarela atau

menurut ketentuan Pasal 1354 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Agus Budianto,

at., al., 2010 : 88). Hubungan antara dokter dengan pasien yang didasarkan atas

perjanjian atau transaksi terapeutik, yaitu perjanjian dimana dokter berusaha

semaksimal mungkin menyembuhkan pasien (Syahrul Machmud, 2008 : 44).7

Pihak yang bertanggungjawab jika terjadi kelalaian adalah dokter / dokter gigi

bilamana pelayanan kesehatan terhadap pasien di fasilitas pelayanan kesehatan

mengakibatkan kerugian yang dialami oleh pasien atau pelayanan yang dilakukan

oleh pasien tidak sesuai dengan pelayanan kesehatan yang seharusnya diterima oleh

pasien tersebut.6

Seorang dokter / dokter gigi sebelum memberikan tindakan penanganan

kesehatan terhadap pasien terlebih dahulu memberi atau mengajukan izin persetujuan

xvii
tindakan kepada pihak pasien dalam hal ini informed consent dimana dokter / dokter

gigi menjelaskan terkait diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan

medis, rencana perawatan dan alternatif, prognosis dan resiko medis serta komplikasi

untuk mengupayakan kesembuhan terhadap pasien, kemudian pihak pasien

memberikan persetujuan terkait pelaksanaan upaya pelayanan kesehatan yang akan

dilakukan oleh pihak dokter sehingga dalam hal ini terjadi perjanjian antara pasien

dan dokter yang akan dilaksanakan untuk pasien tersebut.6

Pasal 45 (1) Undang-Undang Praktik Kedokteran mengatur bahwa, “Setiap

tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter

gigi terhadap pasien harus mendapatkan persetujuan”. Berdasarkan aturan tersebut,

upaya memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien harus dilakukan secara

maksimal dan memberikan pelayanan yang serius serta bertanggungjawab.6

Perjanjian pelayanan kesehatan yang disepakati oleh kedua belah pihak

menimbulkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Dokter /dokter gigi dalam

melakukan kesalahan atau kelalaian pada penanganan dapat dimintai

pertanggungjawaban kesalahannya.6

Pertanggungjawaban muncul ketika kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh

dokter / dokter gigi tidak sesuai dengan perjanjian pelayanan kesehatan yang

dilakukan terhadap pasien, termasuk ketika adanya pelayanan kesehatan yang

dilakukan dan bertentangan dengan undang-undang. Bentuk pertanggungjawaban

yang dibebankan tentunya harus terlebih dahulu mempelajari bentuk kesalahannya

dan bagaimana proses terjadinya kesalahan.6

Hukum perdata mengatur perlakuan medis oleh dokter / dokter gigi kepada

pasien didasari oleh suatu ikatan atau hubungan dalam perjanjian yang disebut dengan

inspanings verbentenis. Inspanings verbentis adalah berupa kewajiban untuk berusaha

xviii
secara maksimal dan sungguh-sungguh dalam proses pengobatan atau penyembuhan

kesehatan pasien. Perlakuan yang tidak benar menimbulkan kerugian merupakan

perbuatan melawan hukum (onrerchtmatige daad). Hubungan ini berada dalam suatu

kerangka perikatan hukum (perdata) maka perlakuan dokter pada pasien membentuk

pertanggungjawaban perdata (Zulhasmar Syamsu et al, 2015:269).6

Jika dalam tindakan medis terjadi kesalahan dan mengakibatkan kerugian dari

pihak pasien, maka tanggung jawab tidak langsung kepada pihak fasilitas pelayanan

kesehatan. Mengenai tanggung jawab terlebih dahulu harus melihat apakah kesalahan

tersebut dilakukan oleh dokter itu sendiri atau tenaga medis lain. Setiap masalah yang

terjadi baik sengaja ataupun tidak sengaja perlu dikaji terlebih dahulu. Jika kesalahan

yang dilakukan oleh para medis tersebut khusus dokter yang melakukan, pihak

fasilitas pelayanan kesehatan yang bertanggung jawab secara umum. Tenaga

Kesehatan sebagai pelaksana tindakan dikenai sanksi ganti rugi.6

3.3 PERLINDUNGAN HUKUM BAGI DOKTER GIGI

Dalam hal pelayanan kesehatan, hubungan antara dokter dengan pasien

merupakan hubungan keperdataan, dimana pasien datang untuk disembuhkan

penyakitnya dan dokter berjanji akan menyembuhkan penyakit pasien. Hubungan

keperdataan adalah hubungan hukum yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berada

dalam kedudukan sederajat, setidak-tidaknya pada saat para pihak akan memasuki

hubungan hukum tertentu (Syahrul Machmud, 2008: 44).7

Secara yuridis, timbulnya hubungan antara dokter dan pasien berdasarkan dua

hal, yaitu perjanjian (ius contractual) atau yang disebut dengan transaksi terapeutik,

hubungan ini sifatnya pribadi antara dokter dengan pasiennya karena didasarkan pada

kepercayaan, dan undang-undang (zaakwarneming). Dikatakan zaakwarneming atau

xix
perwakilan sukarela, apabila pasien dalam keadaan tidak sadar sehingga dokter tidak

mungkin memberikan informasi, maka dokter dapat bertindak atau melakukan upaya

medis tanpa seizin pasien sebagai tindakan berdasarkan perwakilan sukarela atau

menurut ketentuan Pasal 1354 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Agus Budianto,

at., al., 2010 : 88). Hubungan antara dokter dengan pasien yang didasarkan atas

perjanjian atau transaksi terapeutik, yaitu perjanjian dimana dokter berusaha

semaksimal mungkin menyembuhkan pasien (Syahrul Machmud, 2008 : 44).7

Perlindungan hukum merupakan suatu hal yang melindungi subyek-subyek

hukum melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dipaksakan

pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi

dua, yaitu : (Muchsin, 2003 : 20)7

a. Perlindungan Hukum Preventif

Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah

sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang-

undangan dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta

memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan suatu

kewajiban.

b. Perlindungan Hukum Represif

Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi

seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah

terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran.

Salah satu bentuk perlindungan hukum yang diberikan terhadap dokter gigi

yaitu adanya seperangkat aturan atau ketentuan yang mengatur mengenai hal-hal yang

dapat melindungi seorang dokter gigi dalam hal terjadinya sengketa atau perselisihan

dengan pasien yang merupakan konsumen. Adapun dasar perlindungan tersebut

xx
sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009

tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik

Kedokteran, UndangUndang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, dan

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor Republik Indonesia 75 Tahun 2014 tentang

Puskesmas.7

Berdasarkan Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor

36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, mengatur bahwa dokter gigi memiliki hak untuk

mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai profesinya,

dimana perlindungan hukum tersebut merupakan hak setiap dokter gigi yang

diberikan sepanjang dalam melaksanakan pelayanan kesehatan telah memenuhi

ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar

pelayanan, dan standar prosedur operasional. Kemudian, tidak jauh berbeda dengan

yang diatur dalam undang-undang tersebut, dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor

29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran juncto Undang-Undang Nomor 36 Tahun

2014 tentang Tenaga Kesehatan dalam Pasal 66 ayat (1), juga ditegaskan kembali

bahwa pada dasarnya dokter gigi mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan

hukum sepanjang telah melaksanakan tugas sesuai dengan profesi dan standar

prosedur pelayanan operasional.7

Keharusan dokter atau dokter gigi dalam memberikan pelayanan kesehatan

sesuai dengan standar-standar diatas lebih ditekankan lagi dengan adanya sanksi bagi

dokter atau dokter gigi yang tidak melaksanakan tugasnya sesuai dengan standar-

standar yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 Undang-Undang

Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan Pasal 82 Undang-Undang

Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan. Dengan demikian, pada dasarnya

perlindungan hukum terhadap seorang dokter atau dokter gigi lahir apabila

xxi
pelaksanaan tugas pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi

telah sesuai dengan standar profesi dan standar operasional yang ada. Sehingga

dengan adanya pelaksanaan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar pelayanan

operasional yang dilakukannya berarti telah dipenuhi kewajibannya sebagaimana

yang diamanatkan undang-undang dan berhak atas perlindungan hukum yang

diberikan kepadanya.7

BAB IV

PENUTUP

4.1. KESIMPULAN

Perlindungan hukum bagi dokter gigi dalam melakukan pelayanan kesehatan

terhadap pasien di Fasilitas Pelayanan Kesehatan merupakan hak yang diberikan oleh

hukum sepanjang telah melakukan tugasnya sesuai dengan standar profesi dan standar

prosedur operasional sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun

2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik

Kedokteran, dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan.

Standar profesi dan standar prosedur operasional yang wajib diterapkan dokter gigi

dalam melakukan pelayanan kesehatan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan di antaranya

yaitu kewajiban atas informed consent dan rekam medik dalam melakukan suatu

tindakan medis.

4.2. SARAN

xxii
Selain menguasai bidang keilmuannya, seorang dokter gigi juga harus mampu

memahami konsep Hukum dan Undang-Undang Kesehatan sebagai Perlindungan bagi

dirinya sebagai Dokter Gigi demi mendukung lancarnya upaya peningkatan derajat

kesehatan masyarakat khususnya di bidang kesehatan gigi dan mulut.

DAFTAR PUSTAKA

1. Pengertian dan Sumber Hukum Kesehatan. https://lms-paralel.esaunggul.ac.id. Diakses


pada tanggal 21 Maret 2023.

2. Defenisi Sehat Menurut “World Health Organization (WHO). https://palangkaraya.go.id.


Diakses pada tanggal 21 Maret 2023

3. Reni Agustina Harahap. Etika dan Hukum Kesehatan. 2021

4. Universitas Pattimura, Fakultas Hukum. Peraturan Perundang-Undangan Bidang


Kesehatan. 2011. https://fh.unpatti.ac.id/peraturan-perundang-undangan-bidang-
kesehatan/. Diakses pada tanggal 21 Maret 2023.

5. Pengertian Perlindungan Hukum dan Cara Memperolehnya.


https://jdih.sukoharjokab.go.id. Diakses pada tanggal 21 Maret 2023.
6. Amin Yanuar. Bahan Ajar TLM, Etika Profesi dan Hukum Kesehatan. PPSDMK,
Kementerian Kesehatan RI.
http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-content/uploads/2017/11/Etika-Profesi-
dan-Hukes-SC.pdf. 2017. Diakses pada tanggal 21 Maret 2023.
7. Kuswandi Dedy. Perlindungan Hukum Bagi Dokter Gigi dalam melakukan pelayanan
Kesehatan di Puskesmas. Aktualita, Vol. 2 No 2. 2019.
https://ejournal.unisba.ac.id/index.php/aktualita/article/view/5198. Diakses pada tanggal
21 Maret 2023.

xxiii
xxiv

Anda mungkin juga menyukai