Disusun Oleh:
RIDWAN MAULANA
NPM.19810445
PENDAHULUAN
Hukum yang hadir dalam setiap bidang kehidupan ini bagaikan melengkapi kekosongan
yang dapat berfungsi sebagai pengatur sosial. Salah satu contoh nyatanya dapat dilihat pada
bidang kesehatan dengan adanya hukum kesehatan yang diaturnya. Ketika mendengar kata
hukum kesehatan, pasti bayangan pertama yang muncul adalah sosok seorang dokter, perawat,
hingga pelayanan kesehatan seperti rumah sakit. Hal itu tidak terelakkan, sebab kesehatan selalu
melekat pada profesi kesehatan dan pelayanan kesehatan tersebut. Dalam kehidupan masyarakat
keberadaan hukum kesehatan sudah sangat melekat. Hal ini dikarenakan hukum kesehatan ini
berperan mengatur hak dan kewajiban antara pasien/ rakyat dengan tenaga medis ketika
menjalankan profesinya. Selain itu, pada sederat kasus di bidang kesehatan, mulai adanya
malpraktik medik, hingga ke kasus viral adanya kekerasan terhadap seorang tenaga medis.
Dimana dari kasus yang ada dapat tergolong dari sengketa perdata hingga kejahatan tindak
pidana.Secara rinci, Hukum kesehatan dapat dibagi ke berbagai bidang kecilnya lagi. Mulai dari
adanya hukum kedokteran, hukum kesehatan forensik, dan lain-lain.
Keberadaan dari bagian kecil bidang hukum kesehatan tersebut sangat berguna bagi
kehidupan. Contohnya seperti pada penerapan hukum kesehatan forensik yang digunakan dalam
mengungkap kasus pidana yang memerlukan visum atau pembuktian lainnya untuk kebutuhan
peradilan nantinya. Di Indonesia, Salah aturan perundangan yang digunakan adalah Undang-
Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Untuk mendukung pelaksanaanya dan mampu
memberikan perlindungan pada masyarakat di bidang kesehatan dibantu oleh perundang-
undangan yang lain. Seperti, Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah, Undang-
Undang No. 29 Tahun 2009 Tentang Praktik Kedokteran, Sakit, Peraturan Pemerintah No. 7
Tahun 2011 Tentang Pelayanan Darah, dan lain sebagainya.
Merujuk pada latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang dapat diambil adalah sebagai
berikut:
1.3TUJUAN MASALAH
Bersumber pada rumusan permasalahan yang disusun oleh penulis di atas, hingga tujuan dalam
penyusunan makalah ini merupakan bagaikan berikut:
3. Untuk mengetahui hal apa saja yang memperhampat perkembangan hukum kesehatan
Indonesia?
BAB II
1
Lihat, https://media.neliti.com/media/publications/257155-hak-atas-derajat-pelayanan-kesehatan-yan-
6ec9177d.pdf di akses tanggal 4 juli 2022
PEMBAHASAN
Berbagai pengertian atau definisi tentang Hukum Kesehatan dikemukakan para ahli dan sarjana
hukum. Definisi tersebut dikemukakan antara lain oleh :
Prof. Dr. Rang : “Hukum Kesehatan adalah seluruh aturan-aturan hukum dan hubungan-
hubungan kedudukan hukum yang langsung berkembang dengan atau yang menentukan
situasi kesehatan di dalam mana manusia berada”.
Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH. : “Ilmu Hukum Kedokteran meliputi peraturan-peraturan
dan keputusan hukum mengenai pengelolaan praktek kedokteran”.
Prof. H.J.J. Leenen : “Hukum Kesehatan meliputi semua ketentuan hukum yang langsung
berhubungan dengan pemeliharaan kesehatan dan penerapan dari hukum perdata, hukum
pidana, dan hukum adminstrasi dalam hubungan tersebut. Dan juga pedoman
internasional, hukum kebiasaan dan yurisprudensi yang berkaitan dengan pemeliharaan
kesehatan, hukum otonom, ilmu-ilmudan literatur yang menjadi sumber hukum
kesehatan”.2
Dari definisi hukum kesehatan yang telah dijelaskan oleh para ahli hukum maka penulis
dapat mengambil kesimpulan bahwa hukum kesehatan adalah: pengetahuan yang mengkaji
tentang bagaimana sebuah penegakan aturan hukum terhadap akibat pelaksanaan suatu
tindakan medik/kesehatan yang dilakukan oleh pihak yang berprofesi sebagai tenaga
kesehatan yang dapat dijadikan dasar bagi kepastian tindakan hukum dalam dunia kesehatan
2
Lihat, http://repository.iainpalopo.ac.id/id/eprint/303/1/LAYOUT%20-%20PENGANTAR%20HUKUM
%20KESEHATAN.pdf diakses tanggal 04/07/2022
pelayanan kesehatan dipihak lain yang mengikat masing-masing pihak dalam sebuah perjanjian
teraputik dan ketentuan-ketentuan atau peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan
lainnya yang berlaku secara lokal, regional, nasional maupun internasional.3
Dalam dunia kesehatan selalu dikenal dengan adanya pasien dengan tenaga medis. Pasien
merupakan orang yang sakit dan tenaga medis adalah pihak yang memiliki keahlian untuk dapat
menyembuhkan. Pada zaman dahulu tenaga medis yang meliputi dunia kedokteran, keperawatan,
dan lain sebagainya hanya memakai kode etik yang dibuat oleh mereka secara internal. Namun
pengawasan hukum dari eksternal juga mulai dirasa perlu untuk diberlakukan, tepatnya pada
bagian kedua abad XX peran pihak di luar tenaga medis mulai turut andil dalam dunia kesehatan.
Juga peranan hukum mulai digunakan pada masa ini. Tak dapat dipungkiri bahwa kesehatan
tidak dapat lepas dari apa yang namanya hukum, terlebih dunia kesehatan semakin maju dan
kompleks sehingga diperlukan sebuah instrumen hukum untuk memberi rambu-rambu dalam
dunia kesehatan.
Munculnya hukum kesehatan yaitu pada 20 abad lebih SM berawal dari Raja Hammurabi
dari Babilonia yang menyusun kodifikasi hukum yang antara lain mengatur mengenai dokter
dalam menjalankan profesinya. Di Indonesia sendiri, hukum kesehatan bermula dari bangsa
Kolonial. Di Belanda, pemerintah Kolonial Hindia Belanda menerbitkan ordonansi tentang
pemeliharaan kesehatan masyarakat. Belanda menggunakan istilah gezondheidsrecht yang baru
diusulkan Goudsmit tahun 1954. Kemudian Tahun 1960-an berdirilah Vereniging Voor
Gezondheidsrecht (Perkumpulan Untuk Hukum Kesehatan) pada tahun 1967. Sejak tahun 1977
perkumpulan ini menerbitkan Tijdschrift Voor gezondheidsrecht (majalah hukum kesehatan).
Dari peristiwa tersebut menandakan bahwa kehadiran hukum sangatlah penting di dunia
kesehatan. Maka pada tanggal 1 November 1982 di Jakarta dibentuklah Kelompok Studi Hukum
Kedokteran Indonesia yang terdiri atas dokter dan sarjana hukum. Tanggal 7 Juli 1983,
terbentuklah Perhimpunan untuk Hukum Kedokteran Indonesia (Perhuki). Selanjutnya dalam
Kongres nasional di Yogyakarta pada tanggal 28 Januari 1993 diubah namanya menjadi
Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia. Kegiatan dari Perhuki ini adalah mensosialisasikan
pemahaman hukum kesehatan dengan menyelenggarakan kursus dasar dan lanjutan bagi tenaga
kesehatan, yuris, dan penegak hukum.Perhuki juga dilibatkan oleh Depkes dalam menyiapkan
3
Lihat, https://www.makmurjayayahya.com/2016/05/sejarah-hukum-kesehatan.html diakses tanggal 04/07/2022
beberapa rancangan undang-undang dan peraturan pemerintah. Perhuki juga diundang oleh
BPHN untuk menilai produk hukum yang sudah ada tentang pemeliharaan kesehatan. Akhirnya
hukum kesehatan berhasil mendapatkan tempat dalam kurikulum Fakultas Kedokteran dan
Fakultas Hukum. Dalam Anggaran Dasar Perhuki pengertian hukum kesehatan adalah semua
ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan/pelayanan kesehatan dan
penerapannya serta hak dan kewajiban baik dari perorangan dan segenap lapisan masyarakat
sebagai penerima layanan kesehatan maupun dari pihak penyelenggara pelayanan kesehatan
dalam segala aspek organisasi, sarana, pedoman medis nasional/internasional, hukum bidang
kesehatan, yurisprudensi, serta ilmu pengetahuan bidang kedokteran/kesehatan.4
Salah satu tujuan dari hukum, peraturan, deklarasi ataupun kode etik kesehatan adalah
untuk melindungi kepentingan pasien disamping mengembangkan kualitas profesi dokter atau
tenaga kesehatan. Keserasian antara kepentingan pasien dan kepentingan tenaga kesehatan
merupakan salah satu penunjang keberhasilan pembangunan sistem kesehatan. Oleh karena itu
hukum kesehatan yang mengatur pelayanan kesehatan terhadap pasien sangat erat hubungannya
dengan masalah-masalah yang akan timbul diantara hubungan perikatan antara dokter dan
pasien, dan atau kelalaian serta kesalahan yang dilakukan oleh dokter, yang berakibat hukum
entah itu hukum perdata maupun pidana.
Hukum kesehatan pada saat ini dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu hukum
kesehatan public (public health law) dan Hukum Kedokteran (medical law). Hukum kesehatan
public lebih menitikberatkan pada pelayanan kesehatan masyarakat atau mencakup pelayanan
kesehatan rumah sakit, sedangkan untuk hukum kedokteran, lebih memilih atau mengatur
tentang pelayanan kesehatan pada individual atau seorang saja, akan tetapi semua menyangkut
tentang pelayanan kesehatan.5
4
Lihat, https://heylawedu.id/blog/sejarah-singkat-hukum-kesehatan-di-indonesia diakses tanggal 04/07/2022
5
Lihat, https://www.bphn.go.id/data/documents/kpd-2011-6.pdf diakses tanggal 04/07/2022
1. Pelayanan Kesehatan
Pertumbuhan yang sangat cepat dibidang ilmu teknologi kedokteran dihubungkan dengan
kemungkinan penanganan secara lebih luas dan mendalam terhadap manusia, maka perlu ada
spesialisasi dan pembagian kerja. Adanya gejala seperti itulah yang mendorong orang untuk
berusaha menemukan dasar yuridis bagi pelayanan kesehatan.
Secara mendasar perbuatan yang dilakukan oleh para pelaksana pelayanan kesehatan
merupakan perbuatan hukum yang mengakibatkan timbulnya hubungan hukum, walaupun hal
tersebut seringkali tidak disadari oleh para pelaksana pelayanan kesehatan pada saat dilakukan
perbuatan yang bersangkutan.
Dalam hal ini antara hubungan hukum yang terjadi antara pelayan kesehatan didalamnya
ada dokter dan tenaga kesehatan lainnya yang berkompoten, sehingga terciptanya hubungan
hukum yang akan saling menguntungkan atau terjadi kerugian. Pelayanan kesehatan masyarakat
dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan telah mengatur dua hal penting,
yaitu47 : Pelayanan kesehatan perseorangan ; dan Pelayanan kesehatan masyarakat. Pelayanan
kesehatan masyarakat pada dasarnya ditujukan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan
serta mencegah penyakit suatu kelompok dan masyarakat648, hal ini sangat jelas bahwa dalam
keadaan bagaimanapun tenaga kesehatan harus mendahulukan pertolongan dan keselamatan jiwa
pasien.
2. Layanan Kedokteran
Layanan kedokteran adalah suatu sistem yang kompleks dengan sifat hubungan antar komponen
yang ketat (complex and tightly coupled), khususnya di ruang gawat darurat, ruang bedah dan
ruang rawat intensif. Sistem yang kompleks umumnya ditandai dengan spesialisasi dan
interdependensi. Dalam suatu sistem yang kompleks, satu komponen dapat berinteraksi dengan
banyak komponen lain, kadang dengan cara yang tak terduga atau tak terlihat. Semakin
kompleks dan ketat suatu sistem akan semakin mudah terjadi kecelakaan (prone to accident),
oleh karena itu praktik kedokteran haruslah dilakukan dengan tingkat kehati-hatian yang tinggi.
Setiap tindakan medis mengandung risiko buruk, sehingga harus dilakukan tindakan pencegahan
ataupun tindakan mereduksi risiko. Namun demikian sebagian besar diantaranya tetap dapat
dilakukan oleh karena risiko tersebut dapat diterima (acceptable) sesuai dengan “state-of-the-art”
ilmu dan teknologi kedokteran. Risiko yang dapat diterima adalah risiko-risiko sebagai berikut :
1. Risiko yang derajat probabilitas dan keparahannya cukup kecil, dapat diantisipasi,
diperhitungkan atau dapat dikendalikan, misalnya efek samping obat, perdarahan dan
infeksi pada pembedahan, dll.
2. Risiko yang derajat probabilitas dan keparahannya besar pada keadaan tertentu, yaitu
apabila tindakan medis yang berrisiko tersebut harus dilakukan karena merupakan satu-
satunya cara yang harus ditempuh (the only way), terutama dalam keadaan gawat darurat.
Kedua jenis risiko di atas apabila terjadi bukan menjadi tanggung-jawab dokter sepanjang telah
diinformasikan kepada pasien dan telah disetujui (volenti non fit injuria). Pada situasi seperti
inilah manfaat pelaksanaan informed consent.
Suatu hasil yang tidak diharapkan di bidang medik sebenarnya dapat diakibatkan oleh beberapa
kemungkinan, yaitu :
1. Hasil dari suatu perjalanan penyakitnya sendiri, tidak berhubungan dengan tindakan
medis yang dilakukan dokter.
2. Hasil dari suatu risiko yang tak dapat dihindari, yaitu risiko yang tak dapat diketahui
sebelumnya (unforeseeable); atau risiko yang meskipun telah diketahui sebelumnya
(foreseeable) tetapi dianggap acceptable, sebagaimana telah diuraikan di atas.
Hak pasien atas informasi menjadi kewajiban Tenaga Kesehatan untuk memenuhinya. Tenaga
Kesehatan terutama tenaga medis dan tenaga keperawatan yang berhadapan dengan pasien wajib
memberikan penjelasan mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan kondisi pasien.
Penjelasan wajib diberikan dalam bahasa yang dimengerti oleh pasien, dan bukan dalam bahasa
medis yang menggunakan istilah-istilah teknis
Pasien kadang kadang takut untuk bertanya dan menghentikan pengobatan bila terjadi
sesuatu yang tidak dijelaskan sebelumnya. Hal ini jelas sangat merugikan pasien maupun
keluarganya Oleh karena itu agar tidak merusak hubungan antar sesama Tenaga Kesehatan maka
hak atas Second Opinion dapat diberikan secara obyektif, tanpa komentar yang tidak perlu.
Keadaan pasien pada saat ia minta Second Opinion boleh jadi sudah berbeda dengan keadaan
pada saat ia mendapatkan informasi tentang penyakitnya. Perbedaan ini jelas sangat
mempengaruhi pendapat kedua yang akan diberikan. Akan sangat baik apabila Anda
berkesempatan bertemu dengan sejawat yang menangani pasien pertamakali, sehingga diskusi
ilmiah dapat dilakukan secara langsung dan terbuka. Hal ini dimungkinkan apabila ada hubungan
yang baik dan kemampuan berkomunikasi yang santun antar sejawat, baik dari disiplin ilmu
yang sama ataupun dari disiplin ilmu yang berbeda.
Mengenai hak pasien memberikan persetujuan merupakan sesuatu yang harus dipahami,
misalnya apakah seorang pasien yang sudah datang ke suatu sarana kesehatan dan menceritakan
kondisinya, berarti ia sudah setuju terhadap apa yang akan dilakukan terhadapnya? Dalam
Hukum memang terdapat pengertian bahwa persetujuan dapat diberikan secara diam diam.
Misalnya polisi memberi isyarat kepada pengendara motor untuk berhenti. Tanpa mengatakan
apa apa pengendara motor berhenti dan menepi. Sikapnya merupakan persetujuan secara diam
diam. Namun untuk tindakan medis, terutama yang mempunyai risiko tinggi, persetujuan harus
diberikan secara tertulis, setelah pasien diberikan informasi sejelas jelasnya. Gabungan kedua
hak pasien ini (Hak Informasi dan Hak untuk memberikan Persetujuan) dikenal sebagai Informed
Consent. Intinya pasien memberikan persetujuan terhadap suatu tindakan medik terhadap
dirinya, setelah mendapatkan informasi yang jelas dari pemberi pelayanan kesehatan.
Persetujuan Tindakan Kedokteran dan Kedokteran Gigi diatur dalam UU Nomor 29
Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran dalam Pasal 45 menyebutkan:
1. Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau
dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan;
2. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat
penjelasan secara lengkap;
4. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik secara tertulis
maupun lisan;
5. Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus
diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan
persetujuan.
6. Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur
dengan Peraturan Menteri.
Dalam penjelasan Pasal 45 juga disebut mengenai persetujuan atas tindakan dokter :
Ayat ( 1 )
Pada prinsipnya yang berhak memberikan persetujuan atau penolakan tindakan medis adalah
pasien yang bersangkutan. Namun apabila pasien yang bersangkutan berada dibawah
pengampuan ( under curatele ) persetujuan atau penolakan tindakan medis dapat diberikan oleh
keluarga terdekat antara lain suami/istri, ayah/ibu kandung, anak anak kandung atau saudara
saudara sekandung. Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan nyawa pasien tidak
diperlukan persetujuan. Namun setelah sadar atau dalam kondisi yang sudah memungkinkan,
segera diberikan penjelasan dan dibuat persetujuan.
Ayat ( 3 )
Penjelasan hendaknya diberikan dalam bahasa yang mudah dimengerti, karena penjelasan
merupakan dasar untuk memberi persetujuan. Aspek lain yang juga sebaiknya diberikan
penjelasan yaitu yang berkaitan dengan pembiayaan.
Ayat ( 4 )
Persetujuan lisan dalam ayat ini adalah persetujuan yang diberikan dalam bentuk ucapan setuju
atau bentuk gerakan menganggukkan kepala yang diartikan sebagai ucapan setuju.
Ayat ( 5 )
Yang dimaksud dengan " Tindakan Medis Berisiko Tinggi " adalah seperti tindakan bedah atau
tindakan invasif lainnya. Oleh karena itu pastikan bahwa yang menandatangani persetujuan atau
penolakan tindakan medis adalah orang yang benar benar mewakili pasien. Bila pasien menolak
suatu tindakan medis atau menolak dirujuk ke RS karena misalnya fasilitas klinik atau
puskesmas tidak memadai, mintalah kepada pasien dan keluarganya untuk membuat surat
pernyataan penolakan. Sebaiknya dibuat format baku di sarana kesehatan untuk persetujuan dan
juga untuk penolakan tindakan medik (dalam dua format yang berbeda), serta untuk penolakan
rujukan.
Kelalaian medik adalah salah satu bentuk dari malpraktek medis, sekaligus merupakan
bentuk malpraktek medis yang paling sering terjadi. Pada dasarnya kelalaian terjadi apabila
seseorang melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu
yang seharusnya dilakukan oleh orang lain yang memiliki kualifikasi yang sama pada suatu
keadaan dan situasi yang sama. Perlu diingat bahwa pada umumnya kelalaian yang dilakukan
orang-per-orang bukanlah merupakan perbuatan yang dapat dihukum, kecuali apabila dilakukan
oleh orang yang seharusnya (berdasarkan sifat profesinya) bertindak hati-hati, dan telah
mengakibatkan kerugian atau cedera bagi orang lain.
Pengertian istilah kelalaian medik tersirat dari pengertian malpraktek medis menurut
World Medical Association (1992), yaitu: “medical malpractice involves the physician’s failure
to conform to the standard of care for treatment of the patient’s condition, or lack of skill, or
negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient.”
WMA mengingatkan pula bahwa tidak semua kegagalan medis adalah akibat malpraktek
medis. Suatu peristiwa buruk yang tidak dapat diduga sebelumnya (unforeseeable) yang terjadi
saat dilakukan tindakan medis yang sesuai standar tetapi mengakibatkan cedera pada pasien tidak
termasuk ke dalam pengertian malpraktek. “An injury occurring in the course of medical
treatment which could not be foreseen and was not the result of the lack of skill or knowledge on
the part of the treating physician is untoward result, for which the physician should not bear any
liability”.7
7
https://www.bphn.go.id/data/documents/kpd-2011-6.pdf
Dokter sebagai salah satu komponen utama pemberi pelayanan kesehatan kepada
masyarakat mempunyai peranan yang sangat penting, karena terkait langsung dengan pemberian
pelayanan kesehatan dan mutu pelayanan yang diberikan. Landasan utama bagi dokter untuk
dapat melakukan tindakan medis terhadap orang lain adalah ilmu pengetahuan, teknologi dan
kompetensi yang dimiliki yang diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan. Selanjutnya
pengetahuan yang dimilikinya harus terus menerus dipertahankan dan ditingkatkan sesuai
dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri.
Selanjutnya pengertian “Malpraktik” ditemukan dalam pasal 11 ayat (1) huruf b Undang-
undang Nomor 6 Tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan, yang telah dinyatakan dihapus oleh
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Dari berbagai pendapat ahli hukum,
ketentuan pasal 11 ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 6 Tahun 1963 dapat dijadikan acuan
makna malpraktik yang mengidentifikasikan “Malpraktik” dengan melalaikan kewajiban yang
berarti juga tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan.
8
Lihat, https://icopi.or.id/malpraktik-kedokteran/ diakses 5 juli 2022
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
https://icopi.or.id/malpraktik-kedokteran/
https://heylawedu.id/blog/sejarah-singkat-hukum-kesehatan-di-indonesia
https://www.bphn.go.id/data/documents/kpd-2011-6.pdf
http://repository.iainpalopo.ac.id/id/eprint/303/1/LAYOUT%20-%20PENGANTAR%20HUKUM%20KESEHATAN.pdf
https://www.makmurjayayahya.com/2016/05/sejarah-hukum-kesehatan.html
https://www.bphn.go.id/data/documents/kpd-2011-6.pdf