Anda di halaman 1dari 10

ANALISIS STUDI KASUS JUSUF MUDA TERKAIT HUKUMAN MATI BAGI KORUPTOR DAN

KAITANNYA DENGAN PENDAPAT G.E MOORE TENTANG TEORI UTILITAS


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang merajalela di tanah air selama ini tidak saja
merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara, tetapi juga telah merupakan
pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, menghambat pertumbuhan
dan kelangsungan pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
Tipikor tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa, tetapi telah menjadi kejahatan
luar biasa.1 Metode konvensional yang selama ini digunakan terbukti tidak bisa
menyelesaikan persoalan korupsi yang ada di masyarakat, maka penanganannya pun juga
harus menggunakan cara-cara luar biasa. 2
Di Indonesia terdapat kasus tindak pidana korupsi yang pertama kali divonis dengan
hukuman mati ialah kasus Jusuf Muda Dalam. Jusuf muda didakwa dengan empat perkara
yakni tindak pidana subversi, tindak pidana korupsi, tindak pidana khusus menguasai
senjata api illegal, dan perkawinan yang dilarang oleh undang-undang. Jusuf dijatuhi
hukuman mati oleh pengadilan pada 9 September 1966, akan tetapi belum sempat diekseksi
Jusuf sudah lebih dahulu meninggal dirumah sakit cimahi dikarenakan penyakit tetanus. 3
Ketentuan menjatuhkan hukuman maksimal bagi pelaku tindak pidana korupsi tercantum
dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 ayat 2 yang
menyebutkan “Bahwa dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana yang dimaksud dalam
ayat 1 dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.”
Hukuman mati masih berada dalam rumusan perundang-undangan di Indonesia, akan
tetapi pada praktiknya jarang sekali hakim menjatuhkan hukuman maksimal bagi pelaku
tindak pidana korupsi kebanyakan hakim menjatuhkan hukuman paling berat bagi pelaku
tindak pidana korupsi adalah dengan vonis 20 tahun penjara atau seumur hidup. Dalam hal
ini seorang hakim sangat erat kaitannya dengan penjatuhan vonis bagi pelaku tindak pidana
korupsi, namun untuk menjatuhkan hukuman mati di Indonesia terbilang jarang
dikarenakan Indonesia meyakini adanya hak-hak asasi manusia.
Dikutip dari website Mahkamah Agung, Jusuf Muda Dalam (Menteri Urusan Bank Sentral
RI, 1963-1966) didakwa jaksa atas empat kejahatan:
1. Pemberian impor yang mengakibatkan insolvensi internasional. Lebih lanjut
merongrong kekuasaan negara atau kewibawaan pemerintah.
2. Memberikan kredit tanpa agunan pada kurun 1964-1966.
3. Kepemilikan senjata api (saat itu ilegal, meski bagi pejabat negara)
4. Menikahi enam perempuan: Sutiasmi, Salamah, Jajah, Ida Djubaidah, Djufriah dan
Sari Narulita (saat itu, melanggar hukum bagi pejabat negara)

1
Penjelasan Umum tentang Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemeberantasan Korupsi
2
Basrief Arief, Korupsi dan Upaya Penegakan Hukum (Kapita Selekta) (Jakarta: Adika Remaja Indonesia, 2006).
Hlm. 87
3
Verelladevanka Adryamarthanio, Jusuf Muda Dalam, Koruptor Indonesia Pertama yang Divonis Mati, diakses
https://www.kompas.com/stori/read/2022/07/24/150000079/jusufmuda-dalam-koruptor-indonesia-pertama-
yang-divonis-mati Kompas.com, 24 Juli 2022 Pukul 15.00 WIB.
Semua harta Jusuf disita negara (ada 14 item). Pada 9 September 1966, Pengadilan
Negeri Istimewa Jakarta menjatuhkan hukuman mati. Putusan itu dikuatkan Pengadilan
Tinggi di Jakarta, 23 Desember 1966. Mahkamah Agung (MA) menyatakan, merampas
semua harta Jusuf untuk negara. MA berkeyakinan Jusuf korupsi puluhan miliar rupiah (tidak
disebut detail). Hukum pada zaman itu tidak menyebut detail nilai kerugian negara. Hanya
disebutkan puluhan miliar rupiah. Sebagai perbandingan, pada 1967 harga bensin per liter
Rp 4.
Pria yang memiliki nama lengkap Teuku Jusuf Muda Dalam ini lahir pada 1 Desember
1914 di Sigli, Aceh. Jusuf Muda Dalam terlibat kasus korupsi saat menjabat sebagai Menteri.
Tak hanya terlibat kasus korupsi, Jusuf Muda Dalam juga dituduh gemar berfoya-foya dan
memiliki banyak istri.
Menurut kabar yang beredar, Menteri Bank Sentral ini setiap bulannya mengirimkan uang
belanja sebanyak Rp 40 juta rupiah kepada masing-masing istrinya. Dalam buku berjudul
Anak Penjamun di Sarang Perawan, Jusuf disebutkan sering memberikan hadiah berupa
barang mewah, seperti perhiasan, mobil, tanah, hingga rumah untuk para istri dan banyak
perempuan. Sebelum menjadi Menteri, Jusuf adalah seorang wartawan dan bankir. Semasa
menjadi bankir, ia berhasil mengelola perbankan dan mengintegrasikan seluruh bank milik
pemerintah ke dalam satu bank agar lebih mudah digunakan sebagai alat revolusi terpimpin.
Namun ia ditangkap oleh Jenderal Soeharto bersama 15 menteri Soekarno lainnya, tepat
seminggu setelah Supersemar keluar.
Dari beberapa uraian di atas, kebanyakan latar belakang dari tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh Jusuf Muda adalah kesenangan duniawi semata. Dalam Makalah ini penulis
ingin mengaitkan analisis Hukuman mati bagi Koruptor dengan contoh kasus korupsi oleh
Jusuf Muda Dalam dengan teori utilitas yang dicetuskan oleh G.E Moore.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah hukuman mati terhadap Jusuf Muda dapat dijustifikasi secara moral,
terutama dalam konteks teori utilitarianisme yang mengukur kebaikan berdasarkan
konsekuensi atau dampaknya?
2. Apakah hukuman mati terhadap Jusuf Muda memberikan manfaat yang lebih besar
daripada alternatif lain yang mungkin tersedia?
3. Bagaimana keterkaitan Hukuman Mati Jusuf Muda Dalam dengan pendapat G. Moore
terkait teori utilitarianisme?
BAB II
Tinjauan Pustaka

a) Hukuman Mati Bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi


Tindak pidana dengan motif ekonomi yang awalnya bersifat konvensional seperti
pencurian, penipuan dan penggelapan, kini berkembang menjadi semakin kompleks menjadi
korupsi karena melibatkan pelaku yang terpelajar dan seringkali bersifat transnasional atau
lintas negara. Jenis kejahatan ini selain menghasilkan banyak harta kekayaan sekaligus juga
melibatkan banyak dana untuk membiayai peralatan-peralatan, sarana dan prasarana yang
mendukung pelaksanaan tindak pidana tersebut. Dengan kompleksitas seperti ini maka
penanganan tindak pidana menjadi semakin rumit dan sulit untuk ditangani oleh penegak
hukum.
Seperti yang sudah kita pahami, tujuan utama para pelaku tindak pidana dengan motif
ekonomi adalah untuk mendapatkan harta kekayaan yang sebanyak-banyaknya. Secara
logika, harta kekayaan bagi pelaku kejahatan merupakan darah yang menghidupi tindak
pidana, sehingga cara yang paling efektif untuk melakukan pemberantasan dan pencegahan
terhadap tindak pidana dengan motif ekonomi adalah dengan membunuh kehidupan dari
kejahatan dengan cara merampas hasil dan intrumen tindak pidana tersebut. Argumen ini
tentunya tidak mengecilkan arti dari hukuman pidana badan terhadap para pelaku tindak
pidana. Namun, harus diakui bahwa sekedar menjatuhkan pidana badan terbukti tidak
menimbulkan efek jera bagi pelaku tindak pidana.
Sebagai sebuah negara yang berdasarkan pada hukum ( rechtstaat) dan tidak
berdasarkan atas kekuasaan belaka ( machtsstaat) maka upaya penegakan hukum
berpegang pada prinsip-prinsip rule of law yaitu: adanya supremasi hukum, prinsip
persamaan di depan hukum dan terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh undang-undang
dan putusan pengadilan. Dalam konteks ajaran negara kesejahteraan pemerintah
berkewajiban untuk mensinergikan upaya penegakan hukum yang berlandaskan pada nilai-
nilai keadilan dengan upaya pencapaian tujuan nasional untuk mewujudkan kesejahteraan
umum bagi masyarakat. Berdasarkan pemikiran seperti ini, penanganan tindak pidana
dengan motif ekonomi harus dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang berkeadilan
bagi masyarakat melalui pengembalian hasil dan instrumen tindak pidana kepada negara
untuk kepentingan masyarakat.
Tindak Pidana Korupsi merupakan salah satu masalah besar yang dihadapi bangsa
Indonesia saat ini, karena itu tindak pidana korupsi dikategorikan sebagai Extra ordinary
crime yaitu kejahatan luar biasa yang dapat menimbulkan kerugian Negara, menghambat
pertumbuhan Negara dan menyengsarakan rakyat serta dikategorikan sebagai salah satu
penyebab terpuruknya sistem perekonomian bangsa.
Hal ini disebabkan karena korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik danKorupsi
mampu melumpuhkan pembangunan bangsa. Dalam masyarakat, praktik korupsi ini dapat
ditemukan dalam berbagai modus operandi dan dapat dilakukan oleh siapa saja, dari
berbagai strata sosial dan ekonomi.Di Indonesia hingga saat ini tindak pidana korupsi sudah
sangat tidak asing didengar masyarakat,baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah
kerugian negara.4

4
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi ,Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal,2
Tindak pidana korupsi yang popular disebut sebagai penyalahgunaan kekuasaan untuk
keuntungan pribadi pada dasarnya merupakan masalah keadilan sosial. 5 Salah satu unsur
penting dari teori keadilan sosial ini adalah bahwa kesejahteraan umum masyarakat tidak
boleh dilanggar, artinya bahwa kesejahteraan umum tidak boleh dikorbankan untuk
kepentingan pribadi. Di Indonesia, aktivitas dari tindak pidana korupsi ini semakin tidak
terkendali, perbuatan ini tidak saja akan berdampak terhadap kehidupan nasional, tetapi
juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. 6 Praktik korupsi terjadi
hampir di setiap lapisan birokrasi, baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, serta telah pula
menjalar hingga ke dunia usaha. Korupsi tidak saja akan menggerus struktur kenegaraan
secara perlahan, akan tetapi menghancurkan segenap sendi-sendi penting yang terdapat
dalam negara.
Pada dasarnya hukuman mati bagi koruptor di Indonesia sebenarnya telah diatur dalam
Pasal 2 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU No. 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun pada faktanya, penegakan peraturan
mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi ini tidaklah selalu berjalan sesuai harapan,
karena disebabkan oleh berbagai faktor seperti kurang profesionalnya para penegak hukum
dalam menegakkan peraturan serta adanya pemberian hukuman mati kepada para pelaku
korupsi yang terkadang dinilai tidak efektif. Ketidaksinkronan para penegak hukum dalam
memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan seseorang yang biasa disebut (koruptor)
pun dianggap belum mampu memberikan rasa kepuasan terhadap keadilan yang ingin
dirasakan oleh masyarakat. Masyarakat merasa selama ini pemberian hukuman terhadap
koruptor terlalu ringan ditambah dengan kemungkinan adanya kesempatan bagi koruptor
untuk diberikan remisi (potongan masa tahanan) sehingga semakin mempertambah
keringanan hukuman yang didapat bagi koruptor. 7 Sehingga melihat ketidakkonsistenan
hukum dalam memberikan hukuman kepada koruptor yang pada akhirnya membuat
masyarakat menuntut diberikan nya hukuman mati bagi koruptor. Baik itu korupsi dalam
jumlah kecil, sedang maupun besar yang mana semuanya tetaplah merugikan Negara dan
membohongi masyarakat.
Penerapan hukuman mati bagi koruptor sebenarnya telah lama dicanangkan untuk
diaplikasikan di Indonesia, hal ini sesuai dengan Undang-Undang tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Tipikor yang dijelaskan bahwa
dalam hal tindak pidana korupsi dapat dilakukan dalam keadaan tertentu hukuman mati
dapat dijatuhkan. Pemberian hukuman mati bagi koruptor merupakan hal yang sangat tepat
karna dapat dijadikan shock teraphy karena secara psikologis koruptor yang dijatuhi
hukuman dapat dijadikan contoh untuk mempengaruhi pihak lain agar tidak melaksanakan
tindak pidana korupsi.8
Pemberian hukuman mati kepada para koruptor sering menimbulkan keraguan dalam
penerapannya di kalangan masyarakat, karena kebanyakan masyarakat menggangap
pemberian hukuman mati hanyalah khayalan semata. Perspektif seperti ini muncul karena
tidak adanya rasa adil dan jujur para penegak hukum dalam menjalankan amanat Undang-
Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang ada di Indonesia, ditambah lagi
kurangnya transparansi dalam melakukan sidang terhadap pelaku tindak pidana korupsi di
Indonesia sehingga hal ini dapat dikatakan kurangnya efektifitas dalam pemberian hukuman

5
Purwaning M. Yanuar, 2007, Pengembalian Aset Hasil Korupsi, PT Alumni, Bandung, hlm 37
6
Basrief Arief, 2006, Korupsi Dan Upaya Penegakan Hukum (Kapita Selekta), Adika Remaja Indonesia, Jakarta,
hlm 87.
7
Muwahid, M. (2015). Penerapan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi. Al-Qanun: Jurnal Pemikiran
dan Pembaharuan Hukum Islam, 18(2), 248-274., hlm. 249.
8
Rangkuti, I., Syahrin, A., Suhaidi., Mulyadi, Mahmud, Korupsi di Indonesia, (Jakarta:Pustaka Sinar Harapan,
2021)., hlm. 122.
mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia. Untuk itu berdasarkan banyaknya
argumentasi dan kurangnya kejujuran para penegak hukum terkait efektifitas dalam
penerapan pelaksanaan hukuman mati bagi para pelaku tindak pidana korupsi yang ada di
Indonesia. Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, dalam kajian penulisan artikel
ini dapat dapat dirumuskan permasalahan yaitu mempertanyakan bagaimana efektifitas
dalam penerapan hukuman mati bagi para pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia.

b) Pendapat G.E Moore Tentang Teori Utilitas


G.E. Moore tidak terkenal karena teori utilitas, tetapi karena kritikannya terhadap
utilitarianisme. Pada abad ke 20 terdapat modifikasi teori utilitarian yang dibawakan oleh GE
Moore yang membawakan konsep hedonisme sebagai salah satu hal yang merangsang
seseorang untuk melakukan tindakan sesuai dengan prinsip utilitasnya Sebagai gantinya,
Moore lebih dikenal dengan kontribusinya dalam etika dan epistemologi. Salah satu
kontribusi pentingnya adalah konsep "goodness as a simple property" atau kebaikan sebagai
sifat yang sederhana.
Dalam etika, Moore menyatakan bahwa kebaikan tidak dapat didefinisikan dengan cara
yang dapat dijelaskan atau diurai menjadi unsur yang lebih sederhana. Ia menentang ide
bahwa kebaikan dapat dijelaskan secara reduksionis, seperti dalam utilitarianisme yang
mencoba mengukur kebaikan dengan kuantitas kesenangan.
G.E. Moore memberikan beberapa kritik yang substansial terhadap teori utilitas,
terutama dalam karyanya yang terkenal, “ Principia Ethica” . Berikut adalah beberapa kritik
utama Moore terhadap utilitarianisme :
1. Naturalistic Fallacy: Moore mengemukakan argumen terkenalnya yang dikenal
sebagai "Hukum Gelandangan" atau "Is-Ought Fallacy. ." Dia berpendapat bahwa
mencoba mengidentifikasi apa yang "baik" atau "seharusnya dilakukan"
berdasarkan apa yang "ada" atau "terjadi" merupakan kesalahan logika. Dalam
konteks utilitarianisme, Moore menilai bahwa mencoba mendefinisikan kebaikan
hanya berdasarkan pada kuantitas kesenangan adalah suatu kekeliruan
2. Begging the Question: Moore juga mengkritik utilitarianisme karena ia merasa
bahwa teori tersebut mengasumsikan tanpa bukti bahwa tindakan-tindakan yang
memberikan kesenangan lebih banyak adalah yang seharusnya dilakukan.
Menurutnya, utilitarianisme seringkali mengabaikan pertanyaan apakah
kesenangan yang diperoleh dari tindakan tersebut secara intrinsik baik atau
benar.
3. Nilai Kesadaran Pribadi: Moore menekankan pentingnya nilai-nilai intrinsik
yang terkait dengan kesadaran pribadi, seperti kebaikan, keadilan, dan
kebenaran. Ia berpendapat bahwa utilitarianisme sering kali mengesampingkan
nilai-nilai ini demi memaksimalkan kesenangan secara keseluruhan, yang dapat
mengarah pada konsekuensi etis yang tidak diinginkan.
4. Hierarchy of Values: Moore mengajukan argumen bahwa tidak semua
kesenangan atau kebaikan adalah sama, dan beberapa bentuk kebaikan dapat
dianggap lebih tinggi atau lebih bernilai daripada yang lain. Utilitarianisme,
menurut Moore, cenderung tidak mempertimbangkan hierarki nilai ini dengan
tepat.9

9
Moore, G. E. 1954. Principia Ethica. Cambridge: Cambridge University Press.
Dengan kritik-kritik tersebut, Moore menyoroti kompleksitas dalam menentukan apa yang
benar-benar "baik" secara etis, dan ia menegaskan bahwa utilitarianisme memiliki
keterbatasan dalam mengatasi pertanyaan-pertanyaan filosofis yang lebih dalam mengenai
kebaikan dan kewajiban moral.
BAB III
PEMBAHASAN
Walaupun hukuman pidana mati bagi Pelaku Tindak Pidana korupsi didukung oleh
sebagian besar masyarakat Indonesia, pada kenyataannya penerapan pidana mati bagi
pelaku Tindak Pidana Korupsi ditentang oleh sebagian kelompok masyarakat khususnya para
aktivis Hak Asasi Manusia. Mereka berpandangan bahwa penerapan pidana mati dianggap
sebagai suatu hal yang tidak tepat karena justru bertentangan dengan Hak Asasi Manusia
itu sendiri. Dasar pemikirannya adalah ketentuan article 3 Declaration of Human Rights yang
menyebutkan, “Everyone has the right to life, liberty and security of person” (Setiap
manusia berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu ). Selanjutnya
ketentuan Article 6 (1) International Convenant on Civil And Political Rights juga
menyebutkan “Every human being has the inherent right to life. This right shallbe protected
by law. No one shall be arbitrarily deprived of his life ” (Setiap manusia berhak atas hak
untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak ini wajib dilindungi oleh hukum. Tidak
seorangpun dapat merampas hak hidupnya secara sewenang-wenang). 10
Dalam perspektif hukum positif Indonesia, kelompok ini menggunakan landasan hukum
Pasal 28 A UUD 1945 yang menyebutkan, “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak
mempertahankan hidup dan kehidupannya.” Selanjutnya substansi Pasal 28 I juga
menerangkan bahwa hak hidup setiap warga negara tidak dapat dikurangi dalam keadaan
dan alasan apapun. Oleh karena itu, kemudian hari muncul anggapan bahwa ketentuan
pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 merupakan sesuatu yang inkonstitusional.
Ancaman pidana mati yang terdapat dalam norma tersebut dianggap lebih kepada alasan
balas dendam semata. Penerapan pidana mati terkesan mengenyampingkan tujuan-tujuan
pemidanaan seperti adanya efek jera bagi pelaku dan kemanfaatan bagi masyarakat luas.
Bahkan dalam tataran lebih lanjut, penerapan pidana mati dianggap tidak memiliki korelasi
dengan berkurangnya praktik tindak pidana korupsi pada suatu negara.
Dalam Kasus Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh Jusuf Muda, Secara jelas tindak
korupsi yang ia lakukan hanya berdasarkan hedonism pribadi yang merugikan banyak pihak,
terutama Masyarakat Indonesia. Penulis menilai, bahwa hukuman mati bagi tindak pidana
korupsi cukup layak mengingat angka korupsi di Negara kita Indonesia sangatlah tinggi. Hal
ini diperlukan guna memberikan efek jera agar para pejabat yang berwenang tidak
melakukan korupsi. Namun, hal ini bertentangan dengan Hak Asasi Manusia yang
menganggap bahwa hukuman mati adalah sesuatu yang kejam dan tidak bermoral. Dalam
hal ini pelaku tindak pidana korupsi bertentangan dengan pendapat G.E Moore tentang teori
utilitas di bagian Naturalistic Fallacy.
Hukuman Mati Untuk Jusuf Muda Dalam bisa memberikan banyak manfaat bagi
perkembangan penurunan angka korupsi untuk Indonesia kedepannya. Apabila waktu itu
hukuman mati benar-benar terwujud, niscaya para pejabat akan berpikir dua kali untuk
melakukan tindak pidana korupsi. Sayangnya, hukuman mati tersebut tidak terwujud
dikarenakan Jusuf Muda Dalam terlebih dahulu meninggal karena penyakit yang ia derita.

10
Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights), Resolusi Nomor 217
A (III) tanggal 10 Desember 1948
Keterkaitan Kasus Hukuman Mati terhadap Tindak Pidana Korupsi Jusuf Muda dengan
Pendapat G.E Moore tentang Teori Utilitas diantaranya :
1. G.E Moore berpendapat bahwa mencoba mengidentifikasi apa yang "baik" atau
"seharusnya dilakukan" berdasarkan apa yang "ada" atau "terjadi" merupakan
kesalahan logika. Dalam konteks utilitarianisme, Moore menilai bahwa mencoba
mendefinisikan kebaikan hanya berdasarkan pada kuantitas kesenangan adalah
suatu kekeliruan. Dalam kasus Jusuf Muda, ia dengan jelas mengukur kesenangan
dengan kuantitas, yaitu kuantitas harta yang ia korupsi. Orang berpikir untuk
mengumpulkan harta sebanyak banyaknya tanpa memikirkan baik atau tidaknya
cara untuk mendapatkannya.

2. G.E Moore juga mengkritik utilitarianisme karena ia merasa bahwa teori tersebut
mengasumsikan tanpa bukti bahwa tindakan-tindakan yang memberikan
kesenangan lebih banyak adalah yang seharusnya dilakukan. Menurutnya,
utilitarianisme seringkali mengabaikan pertanyaan apakah kesenangan yang
diperoleh dari tindakan tersebut secara intrinsik baik atau benar. Tindak Pidana
Korupsi jelas adalah sesuatu yang salah, namun para oknum tetap saja
melakukannya demi kepentingan pribadi dan kesenangan duniawi semata. G.E
Moore menekankan bahwa kesenangan yang didapat haruslah dari perbuatan
yang baik pula. Oleh karena itu mendapatkan segala kesenangan dari Tindak
Pidana Korupsi adalah hal yang salah dan perbuatan yang merugikan bagi orang
lain

3. G.E Moore menekankan pentingnya nilai-nilai intrinsik yang terkait dengan


kesadaran pribadi, seperti kebaikan, keadilan, dan kebenaran. Ia berpendapat
bahwa utilitarianisme sering kali mengesampingkan nilai-nilai ini demi
memaksimalkan kesenangan secara keseluruhan, yang dapat mengarah pada
konsekuensi etis yang tidak diinginkan. Dengan melakukan Tindak Pidana Korupsi,
sudah jelas bahwa pihak yang memiliki kesadaran pribadi dan tanggung jawab
atas kepercayaan yang disematkan kepada mereka.
BAB IV
KESIMPULAN
a. Kesimpulan
Penerapan sanksi pidana mati tehadap pelaku tindak pidana korupsi sangat sulit
dilakukan karena meskipun sudah diatur dalam undang-undang pemberantasan tindak
pidana korupsi tentang sanksi pidana mati yang berpotensi diterapkan namun faktanya
sampai saat ini belum ada satu pun koruptor yang behasil di terapkan sanksi pidana mati.
Jusuf Muda dalam adalah Koruptor pertama yang didakwa dengan hukuman mati akan
tetapi dia terlebih dahulu meninggal sebelum hukuman mati tersebut dilaksanakan. Sanksi
pidana mati sangat sulit diterapkan terhadap pelaku tindak pidana korupsi karena selain
aturan hukum yang kurang jelas tetapi juga mendapat penolakan dari pegiat hak asasi
manusia karena sanksi pidana mati merupakan pelanggaran terhadap hak konstitusional
setiap warga negara.
G.E Moore menolak ide bahwa nilai moral dapat ditentukan semata-mata berdasarkan
pada konsekuensi atau akibat dari suatu tindakan. Baginya, terdapat aspek-aspek lain yang
juga penting untuk dipertimbangkan dalam menilai kebaikan atau keburukan suatu
tindakan. Moore memperjuangkan konsep bahwa terdapat nilai-nilai intrinsik yang inheren
atau melekat pada objek tertentu, yang tidak dapat direduksi menjadi sekadar akibat atau
konsekuensi dari objek tersebut. Misalnya, kebaikan suatu tindakan dapat dilihat dari sifat
intrinsiknya yang baik, bukan hanya dari akibat yang dihasilkan. Moore juga menekankan
pentingnya pertimbangan terhadap kebatinan dan kehendak individu dalam menentukan
nilai moral. Ia menentang pandangan utilitarianisme yang cenderung mengabaikan aspek-
aspek ini dalam mengejar kebaikan secara keseluruhan.

Dengan demikian, kesimpulan dari pendapat G.E. Moore tentang teori utilitas adalah
bahwa penilaian nilai moral tidak boleh semata-mata didasarkan pada akibat atau
konsekuensi suatu tindakan saja, melainkan juga harus mempertimbangkan nilai-nilai
intrinsik, kebatinan, dan kehendak individu. Pendekatan ini menunjukkan kompleksitas dan
kedalaman dalam memahami etika dan nilai-nilai moral dalam konteks utilitarianisme.
DAFTAR PUSTAKA

1. Penjelasan Umum tentang Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemeberantasan
Korupsi
2. Basrief Arief, Korupsi dan Upaya Penegakan Hukum (Kapita Selekta) (Jakarta: Adika Remaja Indonesia,
2006). Hlm. 87
3. Verelladevanka Adryamarthanio, Jusuf Muda Dalam, Koruptor Indonesia Pertama yang Divonis Mati,
diakses https://www.kompas.com/stori/read/2022/07/24/150000079/jusufmuda-dalam-koruptor-
indonesia-pertama-yang-divonis-mati Kompas.com, 24 Juli 2022 Pukul 15.00 WIB.
4. Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi ,Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal,2
5. Purwaning M. Yanuar, 2007, Pengembalian Aset Hasil Korupsi, PT Alumni, Bandung, hlm 37
6. Basrief Arief, 2006, Korupsi Dan Upaya Penegakan Hukum (Kapita Selekta), Adika Remaja Indonesia,
Jakarta, hlm 87.
7. Muwahid, M. (2015). Penerapan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi. Al-Qanun: Jurnal
Pemikiran dan Pembaharuan Hukum Islam, 18(2), 248-274., hlm. 249.
8. Rangkuti, I., Syahrin, A., Suhaidi., Mulyadi, Mahmud, Korupsi di Indonesia, (Jakarta:Pustaka Sinar
Harapan, 2021)., hlm. 122.
9. Moore, G. E. 1954. Principia Ethica. Cambridge: Cambridge University Press.
10. Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights), Resolusi
Nomor 217 A (III) tanggal 10 Desember 1948

Anda mungkin juga menyukai