Kajian hukum kedudukan Pasal 12 atau 22 UUD 1945 Terhadap Adanya Penyebaran
Covid-19
Oleh Kelompok 6 :
Di akhir tahun 2019, dunia dihebohkan oleh penyebaran penyakit baru yaitu covid-19.
Sejak diumumkan pertama kali oleh WHO sebagai Health Emergency of International
Concern (PHEIC),1 kini penyebaran Covid-19 semakin masif dan melanda hampir
sebagian besar negara di dunia, dan juga telah menunjukkan peningkatan korban jiwa
dan kerugian material yang cukup signifikan serta berdampak masif pada aspek sosio
ekonomi.
Banyak negara juga bimbang menggunakan instrumen hukum mana yang tepat agar
dapat menanggulangi krisis akibat pandemi Covid-19. Ada yang memilih menetapakan
keadaan darurat berdasar konstitusi, menggunakan UU yang berlaku tentang
kebencanaan atau krisis kesehatan, dan melakukan legislasi baru. Dalam tulisan ini
merumuskan dan mengkaji kebijakan keputusan pemerintah Indonesia dari segi
konstitusi dalam menghadapi pandemi covid 19, dengan mempertimbangkan kedudukan
pasal 12 dan 22 UUD 1945
Rumusan Masalah:
1. Apakah dengan adanya Covid 19, presiden dapat menyatakan keadaan darurat
Sipil?
2. Dengan Adanya Covid 19, Apakah Presiden dapat menyatakan hal ihwal
kegentingan membuat Perpu
Pembahasan
1
2020. Penetapan penyebaran virus ini sebagai bencana tertuang dalam Keputusan
Presiden (Keppres) No. 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam
Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional.
Bencana Non-Alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian
peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi,
dan wabah penyakit.
Lalu bagaimana dengan darurat sipil? darurat sipil merupakan status penanganan
masalah yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)
Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Perppu yang ditandatangani Presiden
Sukarno pada 16 Desember 1959 itu Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957.
Presiden Joko Widodo pun pernah mengatakan bahwa pembatasan sosial akan
dilakukan dengan skala yang lebih besar untuk mencegah penyebaran virus corona yang
lebih luas di Tanah Air. Penetapan kebijakan darurat sipil pun sempat dikaji dengan
mempertimbangkan pembatasan kebijakan sosial sudah perlu diterapkan dalam skala
besar. Hingga akhirnya Presiden menetapkan tahapan baru perang melawan Covid-19
yaitu: pembatasan sosial berskala besar dengan kekarantinaan kesehatan. Akan tetapi
kebijakan penetapan darurat sipil, bisa saja dilaksanakan jika keadaan sangat
memburuk.
2
sebab akibatnya yang ditetapkan di dalam peraturan perundang-undangan. Dalam hal
ini, merujuk ketentuan pada UU Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya.
Pasal 1
dalam menetapkan status keadaan bahaya, perlu dijelaskan apa yang menjadi
penyebab keadaan itu terjadi. Di dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007
disebutkan ada tiga kelompok bencana yaitu bencana alam, bencana non-alam, dan
bencana sosial. Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu telah menyatakan bahwa
wabah Covid-19 yang kini berstatus pandemi global merupakan bencana non-alam.
3
Ketentuan terkait bencana non-alam ini diatur secara eksplisit di dalam Pasal 1
UU tersebut yang salah satunya diakibatkan oleh penyebaran wabah penyakit, yang
kemudian, kondisi ini harus ditingkatkan statusnya, apakah berbahaya atau tidak
berbahaya. Pemerintah kemudian memilih menggunakan status keadaan bahaya
dengan tingkatan darurat sipil.
Jadi disimpulkan, presiden dapat dan boleh menyatakan darurat sipil jika emenuhi
keadaan diatas. Dan jika pada akhirnya Presiden menyatakan status darurat sipil dalam
penanganan Covid-19, maka pemerintah memutuskan tindakan karantina seperti apa
yang harus dilakukan sesuai dengan UU Kekarantinaan Kesehatan.
Lalu apakah Dengan adanya bencana non alam Covid 19, Apakah Presiden dapat
menyatakan hal ihwal kegentingan membuat Perpu.
Sejatinya Perppu merupakan salah satu jenis dari Peraturan Pemerintah (PP).
Jenis PP yang pertama adalah untuk melaksanakan perintah Undang-Undang (UU).
Jenis kedua adalah PP yang bertindak sebagai pengganti UU dalam hal ihwal
kegentingan yang memaksa, atau dengan kata lain Perppu adalah PP yang diberikan
kewenangan setara dengan UU.
Dasar hukum Perppu tercantum dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 yang
menyebutkan bahwa dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak
menetapkan Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang”. Senada dengan UUD
1945, Pasal 1 angka 4 UU 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan juga mendefinisikan Perppu sebagai Peraturan Perundang-undangan yang
ditetapkan Presiden dalam hal ihwal yang memaksa. Selanjutnya dalam Pasal 7 ayat (1)
UU 12 Tahun 2011 disebutkan bahwa, jenis dan hierarki peraturan perundang-
perundangan berturut-turut terdiri dari: UUD 1945, Tap MPR, UU/Perppu, PP, Perpres,
Perda Provinsi, dan Perda Kabupaten/Kota. Berdasarkan hierarki tersebut, terlihat bahwa
Perppu memiliki kedudukan yang sederajat dengan UU.
4
Pemerintah telah banyak menimbulkan korban jiwa dan menghantam sendi-sendi
perekonomian dunia, termasuk di Indonesia. Keadaan ini juga berdampak pada postur
APBN secara keseluruhan (pendapatan, pengeluaran dan pembiayaan), melambatnya
pertumbuhan ekonomi, dan memburuknya sistem keuangan nasional.
Jika berpegang pada upaya hukum biasa, tidak akan cukup cepat dan memadai
untuk penanganan keadaan bahaya akibat pandemi Covid-19 tersebut. Penyusunan
Perppu relatif lebih mudah dibanding menyusun sebuah UU. Pasal 43 ayat (4) UU 12
Tahun 2011 mengatur bahwa Perppu tidak perlu dilengkapi dengan naskah akademik.
Selanjutnya Pasal 52 ayat (2) dan (3), menyatakan bahwa Perppu dapat diajukan ke DPR
pada masa persidangan berikutnya. Pada masa persidangan tersebut DPR hanya
diberikan opsi untuk menyetujui atau tidak menyetujui Perppu yang dibentuk Pemerintah
tersebut. Berdasarkan catatan, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, hampir seluruh
Perppu yang dibuat oleh Pemerintah disetujui oleh DPR.
Dan juga, kewenangan luar biasa yang diberikan kepada Perppu hanya bersifat
sementara waktu sampai negara dinyatakan sudah tidak terdampak bahaya pandemi
Covid-19. Hal ini tercermin dari jangka waktu pelampauan defisit di atas 3 persen yang
hanya berlaku sementara sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022. Beberapa
ketentuan lain juga dinyatakan tidak berlaku, hanya sepanjang berkaitan dengan
kebijakan penanganan Covid-19 dan/atau membahayakan perekonomian
nasional/stabilitas sistem keuangan (bersifat sementara).