ABSTRAK
Banyak negara bimbang menggunakan instrumen hukum mana yang tepat agar dapat menanggulangi krisis
akibat pandemi Covid-19. Ada yang memilih menetapakan keadaan darurat berdasar konstitusi,
menggunakan UU yang berlaku tentang kebencanaan atau krisis kesehatan, dan melakukan legislasi baru.
Penetapan keadaan darurat memungkinkan negara melakukan penyimpangan keberlakuan hukum bahkan
menangguhkan HAM sementara waktu. Oleh kerenanya penetapan status darurat berpotensi disalahgunakan
dan berakibat pada tereduksinya jaminan perlindungan HAM. Tulisan ini menjelaskan kebijakan pemerintah
Indonesia dalam memilih instrumen hukum untuk menanggulangi Pandemi Covid-19 disatu sisi dan disisi
lain bagaimana pemerintah tetap menjamin perlindungan HAM. Hasilnya, meskipun Pasal 12 UUD 1945
menyediakan ketentuan keadaan darurat konstitusional, Indonesia memilih menggunakan Kedaruratan
Kesehatan dalam UU 6 Tahun 2018 dan Darurat Bencana Non Alam dalam UU 24 Tahun 2007. Dua status
darurat tersebut tidak sama sekali melibatkan Pasal 12 UUD 1945 sebagai dasar pembentukannya. Sehingga
keadaan darurat dimaksud bukanlah state of emergency sebagaimana dimaksud dalam kajian hukum tata
negara darurat atau hanya bersifat de facto bukan de jure. Selain itu, dua status darurat tersebut tidak
memuat berbagai syarat yang sudah diamanatkan ICCPR. Oleh karenanya perlindungan HAM harus tetap
dipenuhi. Meskipun ada pembatasan, hal tersebut tentunya tidak berlaku bagi hak yang bersifat mendasar
apalagi terhadap kelompok non derogable rights.
Kata Kunci: covid-19; keadaan darurat; hukum tata negara darurat; hak asasi manusia.
ABSTRACT
Many countries are confused about which legal instrumen is right to overcome the Covid-19
pandemic crisis. Any country chooses to declare a state of emergency based on the constitution,
use laws that apply to disasters or health crisis, and implement new legislation. The stipulation of a
state of emergency allows the state to deviate from the rule of law and governments have
introduced measures to legally justify limits on human rights. Therefore, the determination of the
emergency status may be misused and affect on result human rights protection declines. This
paper explains the Indonesian government’s policy in choosing legal instrumens to overcome the
Covid-19 pandemic and on the other hand how the government continues to guarantee the
protection of human rights. As a result, although Article 12 of the 1945 Constitution stipulates the
provision of an emergency, Indonesia chooses to use Health Emergency in Law 6 of 2018 and
Non-Natural Disaster Emergency in Law 24 of 2007. The two emergency statuses do not involve
Article 12 of the 1945 Constitution as the basis of its formation. The state of emergency is
determined as an emergency as referred to in the study of the state of emergency or de facto
not de jure. In addition, the two
1
JIKH Vol. 15, No. 2, Juli 2021: 327-
346
emergency statuses do not contain various requirements that have been mandated by the
ICCPR. Therefore, the protection of human rights must always be fulfilled. Even if there are, this
certainly does not apply to rights that are based only on non-derogable rights groups.
Keywords: covid-19; state of emergency; emergency constitutional law; human rights.
2
Pandemi Covid-19: Perspektif Hukum Tata Negara Darurat
Rizki Bagus
melalui dua istilah yang dipakai, yakni “keadaan dengan memberikan alternatif kebolehan bagi
bahaya” (Pasal 12 UUD 1945)4 dan negara untuk melakukan pengurangan
“kegentingan yang memaksa” (Pasal (derogation) HAM dalam kondisi darurat
22 UUD1945).5 Selain itu dalam peraturan (public emergency) yang tentunya tidak tak
setingkat undang-undang, klausul keadaan terbatas dan dengan disertai beberapa syarat yang
darurat dapat ditemukan pula dalam UU Nomor dapat menjustifikasi tindakan luar biasa
23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya pemerintah selama kondisi darurat.
dengan istilah (darurat sipil, darurat militer Pemberlakuan keadaan darurat
dan darurat perang)6, UU Nomor 24 Tahun bisa dipandang sebagai bentuk yang
2007 tentang Penanggulangan Bencana (darurat memungkinkan negara secara cepat dapat
bencana)7, UU Nomor 7 Tahun 2012 Penanganan menanggulangi krisis, namun di sisi lain
Konflik Sosial (keadaan konflik sosial)8, UU pemberian justifikasi kekuasaan terlalu luas bagi
Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan pemerintahan untuk melakukan berbagai
Penanganan Krisis Sistem Keuangan (krisis pembatasan-pembatasan justru menimbulkan
sistem keuangan)9, dan UU kerawanan untuk disalahgunakan.12
Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan
Keresahan adanya penyalahgunaan
Kesehatan (kedaruratan kesehatan).10
kekuasaan oleh negara dalam krisis
Dalam perspektif hukum tata negara Covid-19 disampaikan Perserikatan Bangsa-
darurat, setiap pendeklarasian keadaan Bangsa (PBB) yang mendesak agar setiap
darurat menimbulkan konsekuensi negara menghindari tindakan keamanan
pembolehan bagi pemerintah untuk yang berlebihan dalam menanggapi wabah
melakukan pengabaian terhadap berlakunya Covid-19. Berbagai negara yang memilih untuk
beberapa prinsip dasar seperti penyimpangan menetapakan keadaan darurat diharuskan untuk
hukum dan penangguhan HAM.11 Hal tersebut menaati prinsip dan aturan main yang tertuang
diamini pula oleh instrumen hukum dalam Hukum Internasional dengan
internasional seperti International Convenant mengutamakan pendekatan hak asasi
on Civil and Political Rights (ICCPR) manusia.13
Menurut International Institute for
4 Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Democracy and Electoral Assistance (IDEA)
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, n.d. sebanyak 61% negara dalam melakukan
Lihat Pasal 12 UUD 1945 “Presiden menetapkan penanganan Covid-19 bersinggungan dengan
keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya
keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-
demokrasi dan hak asasi manusia.14 Bahkan
undang” Komisaris Tinggi PBB untuk HAM, Michelle
5 Ibid. Lihat Pasal 22 UUD 1945 “Dalam hal ihwal Bachelet menyampaikan kekhawatirannya
kegentingan yang memaksa, Presiden berhak akan adanya politisasi Covid-19 yang
menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti
beresiko mengikis hak asasi manusia.15
undang-undang.”
6 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1959 Tentang Keadaan Bahaya, n.d. Lihat 12 Tom Ginsburg and Mila Versteeg, “States
Pasal 1 of Emergencies: Part I,” last modified 2020,
7 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 24 https://blog.harvardlawreview.org/states-of-
Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana, emergencies-part-i/.
n.d. Lihat Pasal 1 Angka 19 13 United Nations Human Office Of The High
8 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Commissioner Rights, “COVID-19: States
Tahun 2012 Tentang Penanganan Konflik Sosial, Should Not Abuse Emergency Measures
n.d.Lihat Pasal 1 Angka 7 to Suppress Human Rights – UN Experts,”
9 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor accessed February 12, 2021, https://www.
9 Tahun 2016 Tentang Pencegahan Dan ohchr.org/EN/NewsEvents/Pages/DisplayNews. aspx?
Penanganan Krisis Sistem Keuangan, n.d.Lihat NewsID=25722&LangID=E.
pasal 1 Angka 3 14 Adiyanto, “Pandemi Dan Ancaman Terhadap
10 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 6 Demokrasi,” Media Indonesia.
Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan, 15 VOA, “Bachelet: Politisasi Covid-19 Dorong Banyak
n.d. Lihat Pasal 1 Angka 2 Pelanggaran HAM,” last modified 2020, accessed
11 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat February 14, 2021, https://www.
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007). Hlm 58 voaindonesia.com/a/bachelet-politisasi-covid-19-
32
JIKH Vol. 15, No. 2, Juli 2021: 327-
346
33
Pandemi Covid-19: Perspektif Hukum Tata Negara Darurat
Rizki Bagus
Selain itu, untuk melengkapi sumber- yakni negara dalam keadaan normal (ordinary
sumber penelitian perlu pula di dukung dengan condition) dan negara dalam keadaan tidak
bahan hukum sekunder yang dapat memberi normal/keadaan darurat (state of emergency).
penjelasan lebih atas bahan hukum primer yang Staatsnoodrecht tersebut mengkaji perihal
berupa publikasi tentang hukum seperti buku, negara dalam keadaan darurat.21
kamus hukum, jurnal hukum
Ragam Istilah keadaan darurat dapat
dan berita-berita yang relevan dengan isu
ditemukan dalam kontitusi berbagai negara
hukum dalam penelitian ini.
seperti di prancis (etat de siege), di Jerman
3.
Teknik Analisa Data (state of tension, state of defence) dan di
Berbagai bahan hukum yang telah Spanyol (stateofalarm). Ketentuan hukum tata
diperoleh kemudian dihimpun dan selanjutnya negara darurat dalam tradisi civil law secara
dielaborasi secara sistematis menurut eksplisit tertuang dalam undang-undang
klasifikasinya dan dilakukan analisis secara dasarnya. Sebaliknya, di Amerika dan Inggris
kualitatif mengingat sifat dari data (bahan atau negara lainnya yang menganut tradisi hukum
hukum) yang diperoleh bersifat kualitatif. common law. Praktik tersebut dikenal dengan
istilah “martial law”. Sementara itu, instrumen
PEMBAHASAN HAM internasional seperti dalam European
Konsepsi Kedaruratan dalam Hukum Tata Convention on Human Right 1950,
33
JIKH Vol. 15, No. 2, Juli 2021: 327-
346
approach)25 dan menganggap keadaan dalam (internal) ataupun dari luar (external).
bahaya merupakan extra-legal. Penganut tokoh Ancaman dari luar diidentikkan dengan ancaman
ini salah satunya ialah Carl Smith yang militer baik bersenjata maupun tidak bersenjata
mengatakan “Sovereign is he who namun tetap mengancam
decides on the exception”.26 Menurut Carl jiwa dan raga warga negara. Sedangkan
Smith, keadaan negara dimasa depan, akan ancaman dari dalam diidentikkan dengan
mengalami ancaman keadaan darurat seperti apa ancaman pemberontakan, kerusuhan sosial atau
tidak bisa diramalkan sebelumya. Oleh karena itu pun bencana alam maupun non alam. Saat ini
lebih baik menentukan siapa yang memang harus bencana non alam cenderung di identikan dengan
mendapatkan kewenangan wabah penyakit menular.
untuk mengatasi keadaan darurat. Daripada Di Indonesia sendiri, materi muatan
kehilangan negara hanya karena harus tunduk perihal keadaan darurat bisa dilihat di
pada aturan tertulis yang kaku dan beberapa konstitusi yang pernah berlaku
hanya akan mengorbankan tujuan karena seperti halnya dalam Konstitusi RIS 194931 dan
mementingkan cara.27 Menurutnya “All law is
UUDS 195032. Dalam Undang-Undang Dasar
situational law.”28
1945 pengaturan keadaan darurat diatur dalam
Sedangkan, penganut “state of dua pasal yakni dalam Pasal
emergency” cenderung menggunakan 12 UUD 1945 dan Pasal 22 UUD 1945. Dari
pendekatan negara hukum di mana keadaan dua ketentuan pasal tersebut diketahui terdapat
bahaya harus tunduk pada kontitusi dan undang- dua terminologi yang digunakan untuk memaknai
undang.29 Menurut Jimly Asshidiqie suatu negara suatu kondisi darurat, yakni “keadaan bahaya”
tidak akan pernah sempurna jika tidak dalam Pasal 12 dan “hal ihwal kegentingan yang
menyediakan segala sesuatu berdasarkan hukum, memaksa” dalam Pasal 22.
dan menyediakan sarana dan wahana untuk
Merujuk pada original intent, menurut
mengatasi setiap keadaan darurat untuk menata
M.Yamin keadaan bahaya sebagaimana dimaksud
hukumnya sebagaimana mestinya.30 Hal inilah
dalam Pasal 12 UUD 1945 merupakan situasi
yang dianut Indonesia dengan mengadopsinya
yang disebut sebagai martial law atau staat van
dalam konstitusi yakni dalam Pasal 12 dan Pasal
beleg.33 Jika ditelusuri, dalam rancangan UUD
22 UUD 1945.
1945
Senyatanya, dalam praktik banyak yang dibahas pada masa sidang BPUPKI
macam alasan yang menjadi dasar tanggal 13 Juli 1945, rumusan mengenai
pemberlakuan keadaan darurat. Dari segi keadaan bahaya dalam Pasal 12 ini berawal dari
kategori, keadaan darurat sendiri sangat Pasal 10 RUU UUD 1945 dengan rumusan
bervariasi dari ragam bentuk, tingkat dan skala “Presiden menjatakan “staat van beleg”.
bahayanya. Secara umum keadaan darurat Sjarat-sjarat dan akibat “staat van beleg”
tersebut bisa datang baik dari ditetapkan dengan undang-undang”. Istilah
“staat van beleg” tersebut kemudian
25 Agus Adhari, “AMBIGUITAS PENGATURAN disempurnakan dengan frasa “keadaan
KEADAAN BAHAYA DALAM SISTEM bahaya”. Sehingga kini rumusannya menjadi
KETATANEGARAAN INDONESIA,” Dialogia
Iuridica: Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi
“Presiden menyatakan keadaan bahaya.
(2019). Syarat-syarat dan akibat “keadaan bahaya”
26 Carl Schmitt, Political Theology : Four Chapters ditetapkan dengan undang-undang”.
on the Concept of Sovereignty, Studies in
Contemporary German Social Thought, 1985.hlm 31 Lihat Pasal 139 ayat (1)
5
32 Pasal 96 yang memuat rumusan yang sama dengan
27 Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat. Hlm 84
Pasal 139 Ayat (1) UUD RIS 1949.
28 Schmitt, Political Theology : Four Chapters on the 33 Fitra Arsil, “MENGGAGAS PEMBATASAN
Concept of Sovereignty.hal 13 PEMBENTUKAN DAN MATERI MUATAN
29 Adhari, “AMBIGUITAS PENGATURAN PERPPU: STUDI PERBANDINGAN
KEADAAN BAHAYA DALAM SISTEM
PENGATURAN DAN PENGGUNAAN PERPPU DI
KETATANEGARAAN INDONESIA.”
NEGARA-NEGARA PRESIDENSIAL,” Jurnal
30 Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat. Hlm 85
Hukum & Pembangunan (2018).
33
Pandemi Covid-19: Perspektif Hukum Tata Negara Darurat
Rizki Bagus
Jika dilihat berdasarkan original intent Lain halnya dengan Pasal 22 UUD 1945.
sebagaimana yang dimaksud oleh M.Yamin di Pasal ini merupakan dasar kewenangan bagi
atas, Pasal 12 UUD 1945 merupakan pasal yang presiden dalam domain pengecualian atas fungsi
memberi kewenangan penyimpangan hukum legislatif (legislative power).37 Mengapa
dalam kondisi darurat secara konstitusional. Pasal dikatakan demikian karena atas dasar pasal ini
tersebut secara eksklusif memberikan presiden memiliki kewenangan untuk membentuk
kewenangan tersebut hanya kepada presiden peraturan yang secara hierarki berkududukan
sebagai kepala negara (the sovereign sama dengan undang-undang tanpa melibatkan
executive). Kewenangan presiden DPR. Dalam praktek sering
untuk mendeklarasikan keadaan darurat Pasal disebut (Perppu). Di negara yang menganut
dalam 12 UUD 1945 tersebut tidak semata sistem presidensial biasa disebut presidential
hanya memproklamirkan melainkan decree atau emergency decree.38
jauh lebih dari itu yakni merubah karakter hukum
Menurut Jimly Asshiddiqie istilah hal ihwal
tata negara normal menjadi darurat. 34 Oleh karena
kegentingan yang memaksa dalam Pasal 22
itu Pasal 12 UUD 1945 bisa dikatakan sebagai
UUD 1945 memiliki cakupan luas, tidak selalu
tombol aktivasi berlakunya hukum tata negara
identik dengan keadaan bahaya (Pasal 12 UUD
darurat. Dengan demikian, berlakunya suatu
1945). Hal demikian ditafsirkan pula oleh
keadan darurat dalam hukum tata negara
Mahkamah Konstiusi dalam Putusan MK No.
menyebabkan perbuatan yang bersifat melawan
003/PUU-III/2005 bahwa hal ihwal kegentingan
hukum (onrecht) dapat dibenarkan untuk
yang memaksa tidak harus disamakan dengan
dilakukan karena adanya reasonable
keadaan bahaya. Frasa “kegentingan yang
necessity.35
memaksa” adalah domain subjektifitas presiden
Penjabaran lebih lanjut perihal syarat untuk menentukannya yang kemudian akan
pemberlakuan, penghapusan, dan akibat hukum menjadi keadaan objektif ketika Perppu oleh DPR
pemberlakuan keadaan darurat dalam Pasal 12 disetujui dan menjadi undang-undang. Oleh
UUD 1945 diatur dalam UU 23 Tahun 1959 karena itu, menurut Jimly Asshiddiqie setidaknya
tentang keadaan bahaya. UU yang saat ini masih terdapat dua model Perppu yakni
berlaku mengikat dan satu-satunya UU yang (i) Perpu yang dibentuk dalam keadaan
mengatur klausal keadaan darurat yang mendesak tetapi dalam keadaan normal (ii)
menjadikan Pasal 12 dalam konsideran Perppu yang dibentuk memang ketika negara
mengingatnya. Dalam UU ini keadaan bahaya sudah secara resmi memberlakukan keadaan
dibagi dalam tiga tingkatan yakni darurat sipil, darurat.39
darurat militer dan darurat perang.36
Selain konsep kedaruratan
34 Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat. Hlm 98 sebagaimana dijelaskan di atas, masih terdapat
35 Ibid.
UU yang materi muatannya mengatur keadaan
36 Dalam UU 23 Tahun 1959 dikenal tingkatan darurat
sipil, darurat militer dan darurat perang. Masing- darurat atau suatu keadaan yang dikecualikan
masing tingkatan keadaan darurat tersebut memberi pada kondisi normal seperti dalam beberapa UU
kewenangan pada penguasa keadaan darurat untuk berikut;
melakukan pembatasan yang berbeda-beda setiap
tingkatannya. Sementara itu, dalam pasal 1 penyebab atau dikhawatirkan ada gejala-gejala yang dapat
diberlakukanya keadaan bahaya bisa dikarenakan oleh membahayakan hidup Negara.
beberapa hal seperti keamanan atau ketertiban 37 Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat. Hlm
hukum di seluruh wilayah atau disebagian wilayah 206
Negara Republik Indonesia terancam oleh 38 Arsil, “MENGGAGAS PEMBATASAN
pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau PEMBENTUKAN DAN MATERI
MUATAN PERPPU: STUDI
PERBANDINGAN
akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan PENGATURAN DAN PENGGUNAAN PERPPU DI
tidak dapat di atasi oleh alat-alat perlengkapan secara NEGARA-NEGARA PRESIDENSIAL.” Hlm 4
biasa; timbul perang atau bahaya perang atau 39 Aida Mardatillah, “Pandangan Jimly Terkait Perppu
dikhawatirkan perkosaan wilayah Negara Republik Penanganan Covid-19,” Hukum Online, accessed
Indonesia dengan cara apapun juga; hidup Negara February 25, 2021, https://www.hukumonline.
berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan- com/berita/baca/lt5eaf518c0f3c3/pandangan- jimly-
keadaan khusus ternyata ada terkait-perppu-penanganan-covid-19/.
33
JIKH Vol. 15, No. 2, Juli 2021: 327-
346
1.
“Darurat Bencana” dalam UU Nomor 24 Dalam tulisannya, Tom Ginsburg dan
Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Mila Versteeg, mengemukakan bahwa secara
Bencana; umum ada tiga opsi yang dilakukan oleh negara-
2.
“Keadaan Konflik Sosial” dalam UU negara di dunia dalam
Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Konflik menanggulangi krisis Covid-19 yakni dengan
Sosial; cara (i) the declaration of state of emergency
3.
“Krisis under the constitution (ii) the use of existing
Sistem Keuangan” dalam of new emergency legislation dealing with
public
UU Nomor 9 Tahun 2016 Tentang health or national disasters (ii) the passing of
Pencegahan Penanganan Krisis Sistem new emergency legislation.40
Keuangan dan;
Pada opsi pertama, negara
4.
“Kedarurat Kesehatan Masyarakat” memberlakukan keadaan darurat yang
dalam UU 6 Tahun 2018 Tentang tercantum dalam konstitusinya. Penelitian yang
Kekarantinaan Kesehatan. dilakukan oleh Christian Bjørnskov and Stefan,
Beberapa ketentuan kedaruratan 90% konstitusi dipelbagai negara
dalam UU mengatur mengenai klausul keadaan darurat yang
di atas secara sepintas memiliki
kemiripan sebagian besar dikarenakan oleh war or foreign
yakni sama-sama memuat
ketentuan aggression (48%), internal security 41
pengecualian terhadap kondisi (39%) atau national disaster (26%). Dalam
normal. Ketentuan tersebut memiliki model situasi darurat ini, pemerintah dimungkinkan
kedaruratan sendiri-sendiri yang didasarkan pada untuk keluar dari kerangka konstitusional dan
kekhususannya. Akan tetapi, UU yang menjadi melakukan tindakan yang dalam keadaan normal
dasar pemberlakuan keadaan darurat di atas tidak boleh dilakukan. Akan tetapi dalam
justru tidak menjadikan Pasal 12 UUD dalam konstitusi modern klausul keadaan darurat ini
konsiderannya. Hal tersebut menimbulkan dibarengi dengan klausul pembatasan dalam
konsekuensi yuridis bahwa keadaan darurat di penggunaanya.
atas bukan merupakan keadaan darurat dalam
arti state of emergency. Sehingga walaupun Menurut Tom Ginsburg dan Mila Versteeg,
keadaan darurat di atas ditetapkan, dengan tidak opsi pertama ini memiliki kelemahan yakni
dilibatkannya ketentuan Pasal 12 UUD 1945 memberikan kekuasaan yang besar dengan
maka keadaan darurat tersebut hanya bersifat de minimnya pengawasan. Oleh karena itu opsi ini
facto bukan de jure. rawan untuk disalahgunakan demi kepentingan
politik. Di Indonesia, opsi ini mirip dengan
Kebijakan Kedaruratan Covid-19 dalam klausul keadaan bahaya dalam Pasal 12 UUD
Prespektif Hukum Tata Negara Darurat 1945. Ketentuan Pasal 12 UUD 1945 memberi
Secara prinsip pembentuk UU tidak akan kewenangan mutlak bagi Presiden (execuvtive)
mampu memprediksi suatu undang- undang yang untuk menetapkan, dan menghapus keadaan
sedang dibentuk akan mampu menyelesaikan bahaya. Bahkan jika melihat ketentuan dalam UU
persoalan di kemudian hari. Demikian pula Nomor 23 Tahun 1959 Presiden/Panglima
datangnya suatu keadaan yang mengancam Tertinggi Angkatan Perang memiliki
kehidupan bernegara, niscaya tidak dapat kewenangan untuk melakukan berbagai
prediksi kapan datang pembatasan hak dan penyimpangan hukum
dalam berbagai
dan berakhirnya. Untuk mengantisipasi tingkatan darurat sipil, darurat militer
hal tersebut, biasanya negara menyiapkan dan darurat perang tanpa adanya sistem pengawasan
berbagai instrumen hukum yang memang yang kuat.
disiapkan untuk menghadapi hal tersebut.
Pengaturan tersebut dibuat baik dalam 40 Tom Ginsburg and Mila Versteeg, “States of
konstitusinya maupun dalam undang-undang Emergencies: Part I.”
biasa. 41 Christian Bjørnskov and Stefan Voigt, “The
Architecture of Emergency Constitutions,”
International Journal of Constitutional Law (2018).
Hal 101
33
Pandemi Covid-19: Perspektif Hukum Tata Negara Darurat
Rizki Bagus
Lain halnya dengan opsi kedua, opsi ini First, it may be that of emergency
berangkat dari anggapan bahwa sebagian hak powers. It is plausible that elected
asasi manusia tidak mutlak. Hak tersebut bisa officials are cautious in triggering the
dibatasi asal saja dilakukan secara proporsional use of exceptional powers and, indeed,
dan disahkan secara hukum.42 Banyak konstitusi that caution is probably to be applauded.
negara tidak mengatur secara spesifik perihal Perhaps, in view of the historical abuses
kedaruratan yang disebabkan oleh krisis of such powers… Second, it is possible
kesehatan. Oleh karena itu tidak perlu because of the advance of state-
mengaktifkan keadaan darurat berdasarkan controlled technology for dealing with
konstitusi. Opsi ini menitikberatkan pada disorder, that most emergencies can be
pemberian kekuasaan luar biasa kepada successfully managed by the operation
pemerintah melalui peraturan undang-undang of the ordinary legal-constitutional
biasa. system.”
UU dimaksud ialah untuk menanggulangi 46
33
JIKH Vol. 15, No. 2, Juli 2021: 327-
346
33
Pandemi Covid-19: Perspektif Hukum Tata Negara Darurat
Rizki Bagus
1945 bahkan tidak boleh melanggar HAM mengartikan derogable rights di Indonesia.
sekalipun, karena pada hakikatnya Perppu biasa Kelompok hak ini sering diterjemahkan sebagai
diniatkan untuk menjadi lakyaknya UU biasa hak yang dapat dikurangi, dibatasi atau dicabut.
yang berlaku permanen jika memang disetujui Lain halnnya dengan non derogable rights yang
oleh DPR, dan jika ditolak maka harus dicabut.52 diartikan sebagai hak yang tidak dapat dikurangi
Saat ini Perppu tersebut telah disahkan menjadi dalam kondisi apapun dan oleh siapapun.
UU Nomor 2 Tahun 2020. Dengan berlakunya
sebagai UU biasa maka keberlakuaanya sama Dalam berbagai instumen HAM seperti
seperti UU pada umumnya yakni berlaku tidak ICCPR, jenis non derogable rights bisa
hanya untuk jangka waktu tertentu seperti halnya ditemukan dengan mengidentifikasi Pasal 4 ayat
Perppu darurat (UU darurat), melainkan berlaku 2 yang secara eksplisit menyebutkan berbagai
permanen. hak yang tidak boleh dikurangi. Di Indonesia
kelompok hak ini tertuang dalan
Berlakunya UU Nomor 2 Tahun 2020 Pasal 28I UUD 1945. Meskipun dalam putusan
menimbulkan problem ketatanegaraan, MK No.2-3/PUU-V/2007 dinyatakan
sebab dari segi tujuan pembentukannya UU bahwa ketentuan Pasal 28I UUD 1945 dapat
yang dahulunya Perppu 1 Tahun 2020 tersebut dibatasi karena tunduk pada ketentuan Pasal
ditujukan secara terbatas yakni untuk dan selama 28J, akan tetapi penafsiran sistematis MK
penanganan Covid-19. Jika Covid-19 telah tersebut hingga kini masih banyak diperdebatkan
selesai maka berbagai ketentuan dalam UU oleh kelompok yang menilai hak-hak dalam Pasal
Nomor 2 Tahun 2020 sudah pasti tidak relevan 28I UUD 1945 tetap merupakan non derogable
lagi diterapkan. Terlebih, dari segi substansi rights.
ketentuan dalam UU tersebut banyak
Terlepas dari perdebatan itu, semua Hak
membatalkan berbagai ketentuan dalam undang-
Asasi Manusia secara prinsip sama-sama penting,
undang lainnya. Selain itu adanya ketentuan
oleh karenanya tidak diperbolehkan
Pasal 27 yang memberi imunitas bagi pejabat
mengeluarkan kategori hak tertentu dari
penyelenggara pemerintahan justru menegasikan
bagiannya. Dalam arti, terpenuhinya satu kategori
prinsip equality before the law yang secara
hak tertentu akan selalu bergantung dengan
tegas diamanatkan oleh konstitusi.
terpenuhinya hak yang lain.53 Selain itu, sejatinya
Implikasi Darurat Covid-19 Terhadap dalam keadaan normal, hak asasi manusia
Jaminan Perlindungan Hak Asasi menjadi suatu hal yang sudah sepatutnya
Manusia dilindungi (protect), dipenuhi (fulfill) dan
ditegakan (ecforced) oleh negara Akan tetapi,
Kerangka teoritis mengklasifikasi hak asasi
dalam pelaksanaanya negara dimungkinkan
manusia ke dalam kelompok derogable rights
melakukan pembatasan atau pengurangan
dan non derogable righs. Akan tetapi, hingga
terhadap hak asasi manusia.
saat ini belum ada istilah baku untuk
Prespektif teori HAM mengenal doktrin
pembatasan (limitation) dan pengurangan
52 Dalam makalahnya Jimly membagi dua tipe Perppu.
Tipe pertama layaknya kebijakan normatif yang (derogation) hak sipil dan politik. Alasan
seharusnya dituangkan dan UU. Namun karena adanya mengapa pembatasan HAM dapat dilakukan ialah
unsur kegentingan yang memaksa maka kebijakan adanya pengakuan bahwa sebagian besar hak
tersebut sementara dituangkan dalam Perppu untuk asasi manusia tidak bersifat mutlak dan
disetujui DPR. Sementara tipe kedua ialah Perppu
yang menjadi pengaturan lebih lanjut atas keadaan
mencerminkan keseimbangan antara
darurat (Ps 12 UUD
1945) yang berlaku sementara saat keadaan
darurat saja. Karena sifatnya yang sementara maka 53 Mei Susanto, Teguh Tresna, and Puja Asmara,
materi muatannya boleh menyimpangi ketentuan UU “EKONOMI VERSUS HAK ASASI MANUSIA
lainnya termasuk UUD 1945. Dengan syarat adanya DALAM PENANGANAN COVID-19 : DIKOTOMI
Batasan waktu yang jelas dan ketika situasi telah ATAU HARMONISASI ( The Economy versus
kembali normal ketentuan yang sebelumnya Human Rights In Handling Covid-19 : Dichotomy or
ditangguhkan kembali berlaku apa adanya. Harmonization ),” Jurnal HAM 11, no. 2 (2020): 301–
317, http://dx.doi.org/10.30641/ham.
33
JIKH Vol. 15, No. 2, Juli 2021: 327-
346
33
Pandemi Covid-19: Perspektif Hukum Tata Negara Darurat
Rizki Bagus
33
JIKH Vol. 15, No. 2, Juli 2021: 327-
346
64 Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat. Hal 97 Pengurangan Dan Pembatasan Terhadap Hak Sipil
65 Sefriani, “Kewenangan Negara Melakukan Politik.” Hal 12
66 Mardatillah, “Pandangan Jimly Terkait Perppu
Penanganan Covid-19.”
34
Pandemi Covid-19: Perspektif Hukum Tata Negara Darurat
Rizki Bagus
istimewa dari keadaan darurat yang bisa ketentuan jangka waktu keadaan darurat tidak
menangguhkan keberlakuan konstitusi dan diatur secara eksplisit dalam Pasal 12 UUD
jaminan terhadap HAM, maka salah satu cara 1945. Adapun dalam UU 23 Tahun 1959,
untuk membatasi agar tidak disalahgunakan ialah ketentuan jangka waktu keberlakuan keadaan
melalui adanya pembatasan waktu yang ketat. darurat masih belum diatur secara jelas serta
Beresiko jika keadaan darurat bergantung masih menimbulkan banyak tafsir.
pada itikad baik penguasa. Sejak jaman Romawi Dalam konteks penanganan Covid-19 di
keadaan darurat memiliki kedaluwarsa.67 Oleh Indonesia, kedaruratan kesehatan dan darurat
karena itu baik secara preseden maupun secara bencana non alam tidak memuat jangka waktu
doktrinal hal tersebut wajib menjadi bagian keberlakuannya. Demikain pula dengan kedua
dalam setiap keadaan darurat. Selain itu, Keppres dan dalam kedua UU yang dijadikan
instrumen hukum internasional seperti ICCPR sebagai dasar pemberlakuannya. UU
pun menegaskan akan pentingnya pemenuhan Kekarantiaan Kesehatan tidak mengatur
prinsip limited time ini. mengenai jangka waktu kapan Kedaruratan
Di Hongaria, Perdana Menteri Victor Orban Kesehatan itu bisa diberlakukan. Dalam Pasal 10
memanfaatkan momentum pandemi Covid-19 UU ini hanya diatur mengenai kewenangan
untuk mendapatkan akses kekuasan yang berlebih pemerintah dalam menetapkan dan mengakhiri
dengan memberikan kekuasaan kepada eksekutif status Kedaruratan Kesehatan. Begitupun dalam
untuk dapat berkuasa melalui dekrit tanpa UU Penanggulangan Bencana, Pasal 1 angka 19
pengawasan hingga menurut pemerintah UU ini mengatakan bahwa darurat bencana bisa
keadaan darurat tersebut selesai. 68 Tentu itikad ditetapkan untuk jangka waktu tertentu.
buruk penyalahgunaan kekuasaan inilah yang Penggunaa frasa “jangka waktu tertentu” tersebut
perlu diantisipasi. tentunya ialah tidak ada batasannya.
Perihal pemberian batasan waktu suatu Berbeda dengan negara lain seperti spanyol,
keadaan darurat, konstitusi India dapat dijadikan pemberlakukan keadaan darurat dilakukan
contoh karena secara eksplisit mencantumkan berdasarkan ukuran waktu yang jelas.
jangka waktu pemerintah dapat memberlakukan Sebagaimana diketahui pemerintah spanyol
keadaan darurat. Dalam UUD India, keadaan memperpanjang keadaan darurat hingga beberapa
darurat dibatasi hanya dalam jangka waktu satu kali sejak diumumkannya keadaan darurat (state
bulan dan bisa mendapat perpanjangan atas of alarm) berdasarkan konstitusinya sejak 14
persetujuan parlemen.69 Lain halnya dalam Maret 2020.70
UUD 1945, Ketidakmampuan menerawang kapan suatu
keadaan darurat berakhir seperti halnya krisis
Covid-19 saat ini tidak bisa serta-merta dijadikan
67 Dalam sistem ketatanegaraan Romawi, saat situasi
darurat senat memberi kekuasaan kepada konsul alasan bahwa pembatasan waktu keberlakuan
untuk menunjuk seorang diktator yang diberi tugas keadaan darurat tidak perlu dideklarasikan
untuk mengatasi situasi tersebut. Diktator tersebut ataupun dituangkan dalam instrumen hukum.
memiliki kekuasaan yang luar biasa selama periode Sebab, bagaimanapun setiap keadaan darurat
itu. Akan tetapi kekuasaan tersebut kedaluwarsa dalam
jangka waktu 6 bulan dan dapat diperpanjang atas
memiliki potensi untuk disalahgunakan. Semakin
persetujuan senat. Kemudan, jika situasi darurat lama keadaan darurat berlangsung maka semakin
tersebut telah besar pula risiko potensi penyalahgunaannya.
berakhir diktator meletakan kekuasaanya.
68 “Coronavirus: Hungary Votes to End Viktor Orban Proclamation, cease to operate at the expiration of one
Emergency Powers,” https://www.bbc.com/news/ month unless before the expiration of that period it has
world-europe-53062177. been approved by resolutions of both Houses of
69 Article 352 clause (4) UUD India: Every Parliament
Proclamation issued under this article shall be laid 70 “Spain Declares State of Alarm in Madrid to Slow
before each House of Parliament and shall, except Spread of Coronavirus,” http://www.xinhuanet.
where it is a Proclamation revoking a previous com/english/2020-10/09/c_139428934.htm.
34
JIKH Vol. 15, No. 2, Juli 2021: 327-
346
34
Pandemi Covid-19: Perspektif Hukum Tata Negara Darurat
Rizki Bagus
krisis yang terintegrasi dapat menjadi kapan keadaan darurat tersebut diakhiri.
penawar akan kondisi krisis. Selain itu, dalam kondisi darurat adanya berbagai
pembatasan HAM tentunya perlu dibarengi
PENUTUP dengan adanya mekanisme
Kesimpulan pengawasan (checks and balances) baik
Pasal 12 UUD 1945 memuat dari legislatif ataupun yudikatif. Tujuannya
ketentuan aktivasi keadaan darurat secara agar setiap pembatasan yang dilakukan
terbebas dari tindakan sewenang-wenang
konstitusional yang memungkinkan negara
melakukan penyimpangan terhadap konstitusi yang berakibat pada pelanggaran hak asasi
dan menangguhkan kewajiban negara dalam manusia. Hal ini lah yang tidak ditemukan dalam
pemenuhan HAM dalam jangka waktu tertentu. berbagai UU yang digunakan selama keadaan
Akan tetapi dalam memandang situasi darurat darurat Covid-19 di Indonesia. Oleh karenanya
yang diakibatkan oleh Covid-19, pemerintah perlu adanya penyesuaian berbagai UU yang
lebih memilih untuk menerapkan keadaan Darurat mengatur kedaruratan dengan prinsip-prinsip baik
Bencana menurut UU 24 Tahun 2007 dan menurut doktrin hukum tata negara darurat
Kedaruratan Kesehatan menurut UU 6 Tahun maupun insturmen hukum internasional.
2018 yang justru tidak sama sekali melibatkan
Pasal 12 UUD 1945 dalam pembentukannya. Saran
Alhasil dua status kedaruratan yang ditetapkan
Berdasarkan pembahasan isu hukum di
pemerintah bukan termasuk keadaan darurat
sebagaimana dalam kajian Hukum Tata Negara atas maka, perlu adanya pembaharuan sistem
Darurat dikatakan sebagai state of emergency hukum keadaan darurat di Indonesia. Hal tersebut
yang membolehkan tindakan luar biasa ataupun dapat dilakukan dengan, pertama melakukan
status darurat dimaksud ialah sebatas darurat pembaharuan UU No
secara de facto bukan de jure. Walapun pada 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya yakni
kenyataanya pemerintah melakukan berbagai satu-satunya UU yang saat ini sebagai peraturan
tindakan yang berakibat pada pembatasan lebih lanjut dari ketentuan Pasal 12 UUD 1945,
dan/atatu pengurangan HAM selama pandemi akan tetapi sudah tidak relevan dengan
Covid-19, hal tersebut hanya boleh dilakukan perkembangan zaman. Kedua, perlu adanya
terhadap hak-hak yang bersifat formil dalam rekonseptualisasi hukum keadaan darurat dari
artian tidak boleh menyangkut hak-hak yang berbagai ketentuan UU seperti dalam UU Nomor
bersifat mendasar apalagi terhadap hak-hak yang 23 Tahun 1959) tentang Keadaan Bahaya, UU
masuk dalam kelompok non derogable rights. Nomor 24 Tahun 2007 Penanggulangan
Bencana, UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang
Penanganan Konflik
ICCPR mensyaratkan perlu adanya Sosial, UU Nomor 9 Tahun 2016 tentang
pemenuhan berbagai prinsip bagi negara Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem
ketika memeberlakukan keadaan darurat Keuangan, dan UU Nomor 6 Tahun 2018
demi menjamin perlindungan hak asasi manusia. tentang Kekarantinaan Kesehatan mengingat ada
Akan tetapi, dua status darurat yang ditetapkan ketidakkonsistenan konsep keadaan darurat
pemerintah dalam Pandemi Covid-19 justru tidak antara satu dengan yang lainnya.
secara menyeluruh memenuhi prinsip Terlebih, seringkali Indonesia dihadapkan
sebagaimana diamanatkan tersebut. Hal ini
pada kondisi darurat seperti halnya bencana
dapat diketahui dengan
alam/non alam ataupun konflik sosial.
tidak dicantumkannya jangka waktu jelas Adanya pembaharuan konsep tersebut
baik dalam Status Kedaruratan Kesehatan merupakan upaya preventif sekaligus bentuk
maupun Darurat Bencana yang ditetapkan selama manajemen krisis di bidang hukum yang memang
pandemi Covid-19. Baik dalam UU 24 Tahun dibutuhkan untuk mengantisipasi hal-hal yang
2007 maupun dalam UU 6 Tahun 2018, tidak ada senyatanya datang tidak bisa diduga mengancam
ketentuan yang menjelaskan secara eksplisit keutuhan negara. Lebih jauh lagi, sistem hukum
jangka waktu yang pasti kedaruratan yang
34
JIKH Vol. 15, No. 2, Juli 2021: 327-
346
komprehensif akan semakin konsisten dalam Asshidiqie, Jimly. “Diktator Konstitusional Dan
menjamin perlindungan HAM khususnya dalam Hukum Pengecualian.” Makalah (2020).
negara dalam kondisi darurat. Bjørnskov, Christian, and Stefan Voigt. “The
UCAPAN TERIMAKASIH Architecture of Emergency Constitutions.”
International Journal of Constitutional
Terimakasih kepada pihak-pihak yang telah
Law (2018).
membantu dalam penulisan artikel ini. Terkhusus
kepada para penulis yang tulisannya dijadikan Chang, When-Chen. “Taiwan’s Fight against
sumber dan menginspirasi dalam penulisan artikel COVID-19: Constitutionalism, Laws,
ini. Selain itu, terimakasih yang sebesar- besarnya and the Global Pandemic.” https://
diucapkan kepada Kepala Badan Penelitian dan verfassungsblog. de/taiwans- f ight-
Pengembangan Hukum dan HAM beserta against-covid-19-constitutionalism-laws-
jajarannya yang telah memberikan kesempatan and-the-global-pandemic/.
bagi penulis untuk menuangkan idenya melalui
tulisan ini. Ferejohn, J., and P. Pasquino. “The Law of
the Exception: A Typology of Emergency
Powers.” International Journal of
DAFTAR PUST AKA Constitutional Law (2004).
Abdul Natsir. “Abortus Atas Indikasi Herman SIhombing. Hukum Tata Negara
Medis Menurut Konsep Al-Dlarurat Darurat Di Indonesia. Jakarta:
Dalam Islam.” Sumbula: Jurnal Studi Djambatan, 1996.
Keagamaan, Sosial dan Budaya FAI
Undar Jombang 2, no. 2 (2017): 561– Indarti,Shofia Trianing.
587. “KEBIJAKAN KEIMIGRASIAN DI
MASA COVID-19 :
Adhari, Agus. “AMBIGUITAS PENGATURAN DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI
MANUSIA ( Immigration Policy During
KEADAAN BAHAYA DALAM SISTEM
KETATANEGARAAN Covid-19 : Human Rights Perspective ).”
INDONESIA.”
Dialogia Iuridica: Jurnal Jurnal HAM 12 (2021).
Hukum Bisnis
dan Investasi (2019). Indonesia, Republik. Undang-Undang Dasar
———. “PENATAAN ANCAMAN EKONOMI Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
SEBAGAI BAGIAN DARI KEADAAN n.d.
BAHAYA DI INDONESIA.” Dialogia ———. Undang-Undang Nomor 23 Tahun
Iuridica: Jurnal Hukum Bisnis dan 1959 Tentang Keadaan Bahaya, n.d.
Investasi (2020). ———. Undang-Undang Nomor 24 Tahun
Adiyanto. “Pandemi Dan Ancaman Terhadap 2007 Tentang Penanggulangan
Demokrasi.” Media Indonesia. Bencana, n.d.
Ahmad, Tariq. “India: Legal Responses to Health ———. Undang-Undang Nomor 6 Tahun
Emergencies.” https://www.loc. 2018 Tentang Kekarantinaan
gov/law/help/health-emergencies/india. php. Kesehatan, n.d.
Arsil, Fitra. “MENGGAGAS PEMBATASAN ———. Undang-Undang Nomor 7 Tahun
PEMBENTUKAN DAN MATERI 2012 Tentang Penanganan Konflik
MUATAN PERPPU: STUDI Sosial, n.d.
PERBANDINGAN ———. Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2016 Tentang Pencegahan Dan
Penanganan Krisis Sistem Keuangan,
n.d.
PENGATURAN DAN PENGGUNAAN ———. UU No. 12 Tahun 2005 Tentang
PERPPU DI NEGARA-NEGARA Pengesahan International Covenant
PRESIDENSIAL.” Jurnal Hukum & on Civil and Political Rights (Kovenan
Pembangunan (2018). Asshiddiqie, Jimly. Hukum Tata Negara
34
Pandemi Covid-19: Perspektif Hukum Tata Negara Darurat
Darurat. Jakarta: Raja Grafindo Persada, Internasional Tentang Hak-Hak Rizki Bagus
Sipil Dan
2007. Politik, n.d.
34
JIKH Vol. 15, No. 2, Juli 2021: 327-
346
34
Pandemi Covid-19: Perspektif Hukum Tata Negara Darurat
Rizki Bagus
34