Anda di halaman 1dari 14

FAKTOR HISTORIS, SOSIOLOGIS, POLITIS, DAN YURIDIS

DALAM PENYUSUNAN RUU HAP

Marcus Priyo Gunarto*

Bagian Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta


Jalan Sosio Justicia Nomor 1 Bulaksumur, Sleman, D.I. Yogyakarta 55281

Abstract
After thirty years of its application, the Criminal Procedural Code shows a number of weaknesses in its
implementation. The idea to overcome the weaknesses of the criminal procedural law, among others,
is by replacing the Law No. 8/1981 on the Criminal Procedural Code. To formulate a draft Criminal
Code, there are some aspects that needs to be considered namely historical, sociological, political
and legal issues. Because the Criminal Procedure Code, which acts as a guide in court examinations,
involves different sectors of the law enforcements, the draft on the Criminal Procedural Code should be
a multisector act.
Keywords: Criminal Procedural Code draft, considerance.

Intisari
Setelah berlaku selama lebih tiga puluh (30) tahun sebagai hukum positif, Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana menunjukkan sejumlah kelemahan dalam pelaksanaannya. Gagasan untuk mengatasi
kelemahan dari hukum acara pidana, antara lain dilakukan dengan mengganti Undang-Undang No. 8
Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana. Untuk merumuskan Rancangan Hukum Acara Pidana,
ada beberapa aspek historis, sosiologis, politik dan yuridis yang harus dipertimbangkan. Oleh karena
Hukum Acara Pidana sebagai pedoman untuk memeriksa pengadilan umum akan melibatkan beberapa
unsur penegak hukum, maka Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana harus ditempatkan
sebagai undang-undang multisektor.
Kata Kunci: rancangan KUHAP, pertimbangan.

Pokok Muatan
A. Pendahuluan................................................................................................................................ 14
B. Pembahasan ............................................................................................................................... 15
1. Aspek Historis...................................................................................................................... 16
2. Aspek Filosofis..................................................................................................................... 16
3. Aspek Sosio-Politik.............................................................................................................. 17
4. Aspek Yuridis........................................................................................................................ 18
C. Penutup....................................................................................................................................... 25


Alamat korespondensi: marcuspriyogunarto@yahoo.co.id
14 MIMBAR HUKUM Volume 25, Nomor 1, Februari 2013, Halaman 13 - 26

A. Pendahuluan penegakan hukum pidana, KUHAP dalam bebe­


Setelah tiga puluh tahun Undang-Undang rapa kasus mulai dirasakan tidak sesuai lagi de­
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara ngan aspirasi dan tuntutan masyarakat. Oleh kare-
Pidana (KUHAP) berlaku sebagai hukum positif, na itu, untuk memberikan kepastian hukum bagi
secara objektif harus diakui bahwa KUHAP yang para pencari keadilan harus dicarikan solusi me-
pada awal pembentukannya disebut sebagai karya lalui berbagai upaya untuk menyesuaikan dengan
agung bangsa Indonesia mulai menunjukkan perkembangan dan tuntutan masyarakat tersebut.
kelemahan dalam implementasinya. Sebaliknya, Salah satu solusi yang ditawarkan adalah dengan
keberlakuannya selama tiga puluh tahun telah mengganti hukum acara yang telah ada.
membuktikan kehandalan KUHAP sebagai Konsep pembaharuan KUHAP sudah dilansir
instrumen bagi para pihak untuk mendapatkan oleh pemerintah dalam bentuk konsep Rancangan
keadilan dalam perkara pidana. Kelemahan Undang-Undang KUHAP (RUU KUHAP), tetapi
KUHAP di samping karena adanya kekurangan masih terdapat reaksi dari beberapa penegak hu-
dalam perumusan pasal-pasal, disebabkan pula kum terutama dari pihak kepolisian sehingga
oleh kondisi yang berkembang selama kurun sampai dengan tulisan ini belum memperoleh
waktu berlakunya KUHAP. pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Perkembangan di bidang sosial, budaya, meskipun sebenarnya pembahasan RUU KUHAP
ekonomi, dan hukum sebagai akibat dari kemajuan merupakan prioritas dalam Program Legislasi Na-
ilmu pengetahuan dan teknologi telah berimplikasi sional (Prolegnas) Tahun 2011 di DPR. Salah satu
terhadap kemajuan di bidang transportasi, ko­ persoalan yang mendapat sorotan dari kalangan
munikasi dan informasi yang menjadikan dunia penegak hukum dikarenakan konsep RUU KUHAP
seolah-olah tanpa batas. Di samping itu, pengaruh mengintrodusir konsep hakim komisaris yang
globalisasi ekonomi, keuangan, dan perdagangan akan menggantikan konsep pra peradilan yang
telah menjadikan negara tidak dapat menutup diri telah berlaku selama ini. Konsep hakim komisa-
dari pengaruh luar termasuk pengaruh di bidang ris oleh penyusun RUU KUHAP dianggap sukses
pembangunan sistem hukum yang mengakibatkan mengontrol potensi penyalahgunaan kekuasaan
semakin kompleksnya permasalahan hukum yang oleh kepolisian dan kejaksaan dalam menanggu-
harus dipecahkan melalui instrumen hukum acara langi kejahatan di Belanda, Perancis dan Amerika
pidana. Tiga puluh tahun berlakunya KUHAP Serikat. Namun dari pihak Kepolisian Indonesia,
merupakan waktu yang cukup panjang untuk konsep hakim komisaris dikhawatirkan tidak akan
melihat, memahami, dan mendalami kelemahan berjalan efektif sehubungan dengan faktor geo-
dan kelebihan atas implementasi KUHAP. grafi, demografi, dan infrastruktur yang sa­ngat
Semakin kompleksnya permasalahan hukum berbeda dengan kondisi dengan negara-negara
pidana yang harus ditangani serta banyaknya ins­ yang menjadi acuan penyusun RUU HAP.
trumen internasional yang menginspirasi dalam

1
KUHAP diundangkan di Jakarta pada tanggal 31 Desember 1981 dalam Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76.
2
Icha Rastika, “Desak Penyelesaian RUU KUHAP”, http://nasional.kompas.com/read/2011/04/03/18100395/Desak.Penyelesaian.RUU.
KUHAP, diakses 17 Desember 2011. Menurut Restaria Hutabarat, Kepala Penelitian dan Pengembangan Lembaga Bantuan Hukum
Jakarta, pembahasan RUU KUHAP berhenti sementara karena mendapat perlawanan dari penegak hukum, khususnya kepolisian.
Restaria mengatakan bahwa, “disinyalir penolakan dari Polri ini akibat adanya pengaturan tentang Hakim Komisaris dalam draft undang-
undangnya.”
3
Oemar Seno Adji, 1980, Hukum Pidana, Erlangga, Jakarta, hlm. 88. Lembaga “rechter commissaris” muncul sebagai perwujudan
keaktifan hakim. Di Eropa Tengah, lembaga tersebut mempunyai posisi penting yang mempunyai kewenangan untuk menangani upaya
paksa (dwang middelen), penahanan, penyitaan, penggeledahan badan, penggeledahan rumah, dan pemeriksaan surat-surat.
4
Andi Hamzah, 1996, Hukum Acara Pidana Indonesia, Saptha Artha Jaya, Jakarta, hlm. 196. Acara praperadilan untuk tiga hal yaitu
pemeriksaan sah tidaknya penangkapan atau penahanan (Pasal 79 KUHAP), pemeriksaan sah tidaknya penghentian penyidikan atau
penuntutan (Pasal 80), pemeriksaan tentang permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau
penahanan.
5
Romly Atma Sasmita, 2011, “Kedudukan Hakim Komisaris dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia”, Makalah, Seminar tentang
Kedudukan Hakim Komisaris dalam Sistem Peradilan Pidana”, Jakarta, 29 Maret 2011.
Gunarto, Faktor Historis, Sosiologis, Politis, dan Yuridis dalam Penyusunan RUU HAP 15

Selain pilihan model sistem peradilan pi­ jam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan
dana, kondisi faktual yang berkembang selama Martabat Manusia); Undang-Undang Nomor
penyusunan RUU HAP diperkirakan juga akan 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Interna-
menjadi bahan perdebatan dalam penyusunan tional Covenant on Civil and Political Rights
RUU HAP yang akan datang, seperti misalnya: (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak
1. RUU HAP akan melaksanakan hukum pidana Sipil dan Politik); Undang- Undang Nomor
materiil, padahal pada saat yang bersamaan 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United
juga sedang disusun RUU KUHP. Mengingat Nations Convention Convention against Tor-
KUHP yang berlaku saat ini masih merupakan ture and Other Cruel, Inhuman or Degrading
produk hukum peninggalan pemerintah Treatment or Punishment Corruption, 2003
jajahan, sedangkan KUHAP (Undang-Undang (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti
Nomor 8 Tahun 1981) sudah merupakan Korupsi, 2003); Undang-Undang Nomor 5
produk hukum nasional, maka seyogyanya Tahun 2009 tentang Pengesahan United Na-
RUU KUHP diprioritaskan pembahasannya, tions Convention against Transnational Or-
atau setidak-tidaknya dibahas secara bersama- ganized Crime, 2000 (Konvensi Perserikatan
sama agar terdapat sinkronisasi antara hukum Bangsa-Bangsa Menentang Kejahatan Teror-
acara pidana formil dan hukum pidana ganisasi, 2000) dan instrumen hukum interna-
materiil. sional yang menginspirasi dan terkait de­ngan
2. Selama kurun waktu berlakunya KUHAP pelaksanaan hukum acara pidana, seperti
telah banyak UU instansional yang berkaitan Code of Conduct for Law Enforcement Offi-
dengan peradilan pidana yang sudah berubah, cials (General Assembly Resolution 34/169),
seperti UU Kepolisian, UU Kejaksaan, UU Basic Principles on the Use of Force and Fire-
Kekuasaan Kehakiman, UU Mahkamah arms by Law Enforcement Officials (Adopted
Agung, UU Komisi Yudisial dan UU Advo- by Eighth Crime Congress, Havana, 1990),
kat. Dengan berubahnya KUHAP, maka ke Basic Principles on the Independence of the
depan akan mendorong UU instansional yang Judiciary (Adopted by the Seventh Crime
ber­kaitan dengan sistem peradilan pidana Congress, Milan, 1985 and endorsed by the
juga akan ikut berubah menyesuaikan sub- General Assembly in Resolution 40/32), Ba-
stansi baru yang diatur di dalam KUHAP sic Principle on the Role of Lawyers (Adopted
yang akan datang, atau dalam pembahasannya by the Eight Crime Congress, 1990), Guide-
masing-masing instansi sebagai sub sistem lines on the Role of Prosecutors (Adopted by
peradilan pidana akan memperjuangkan ke- the Eight Crime Congress, 1990) yang dalam
wenangannya masing-masing yang dianggap beberapa hal berkaitan erat dengan prinsip-
sudah mapan agar tetap diakomodasi di dalam prinsip Hukum Acara Pidana. Konvensi In-
­KUHAP. ternasional dan beberapa instrumen hukum
3. Terdapat beberapa konvensi internasional internasional tersebut di atas berpotensi akan
yang telah diratifikasi dan menjadi hukum memunculkan kelompok kepentingan agar
positif di Indonesia, seperti Undang-Undang beberapa materi diakomodasi dalam KUHAP
Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan yang akan datang.
Convention against Torture and Other Cruel,
Inhuman or Degrading Treatment or Punish- B. Pembahasan
ment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Sehubungan dengan rencana pembahasan
Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Ke- RUU HAP yang diajukan oleh pemerintah, uraian

6
Sidik Sunaryo, 2005, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, UMM Press, Malang, hlm. 263-267.
16 MIMBAR HUKUM Volume 25, Nomor 1, Februari 2013, Halaman 13 - 26

dalam segenggam berikut ini akan mencoba yang dalam penyusunannya melibatkan lembaga
menelisik ulang beberapa hal yang seyogyanya multisektor, artinya proses pembentukan undang-
menjadi dasar pertimbangan dalam perumusan undang di era orde baru sudah dilaksanakan melalui
RUU HAP. Penulis memandang perlu untuk proses yang demokratis dengan mengikutsertakan
menelisik kembali dasar pemikiran perumusan semua lembaga negara yang kepentingannya
RUU HAP dari aspek historis, sosiologis, politis, tercakup dalam undang-undang tersebut. Oleh
dan yuridis. karena hukum acara pidana adalah bidang hukum
yang sensitif terhadap konflik kepentingan antara
1. Aspek Historis para pihak pencari keadilan serta akan melibatkan
Kelahiran KUHAP yang berlaku pada saat ini beberapa institusi penegak hukum, maka dalam
tidak dapat dipisahkan dari peran Oemar Seno Adji pembahasannya seharusnya juga melibatkan
sebagai menteri kehakiman pada waktu itu. Pada pihak-pihak tersebut, seperti Mahkamah Agung,
saat itu KUHAP disusun untuk menggantikan HIR Kejaksaan Agung, Kepolisian Negara Republik
yang dianggap tidak memberikan perlindungan Indonesia, Kementerian Hukum dan Hak Asasi
hukum terhadap tersangka. Ketika menjabat Manusia, organisasi Advokat, akademisi dan
sebagai Menteri Kehakiman, Departemen Keha­ lembaga swadaya masyarakat.
kiman yang dipimpinnya membentuk suatu
panitia yang bertugas menyusun suatu Rancangan 2. Aspek Filosofis
Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Tugas Pancasila sebagai falsafah negara yang melan-
penyusunan rancangan ini, dilanjutkan pada dasi UUD 1945 sebagaimana telah diaman­demen
saat Mochtar Kusumaatmadja menjadi Menteri sejak tahun 1999, telah menjamin warga negaranya
Kehakiman menggantikan Oemar Seno Adji. untuk menikmati hak asasi, sekaligus memberikan
Pada tahun 1974 rencana penyusunan perlindungan hukum atas pelaksanaan hak-haknya
Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana tersebut. Hal tersebut diamanatkan dan tercantum
dilimpahkan kepada Sekretariat Negara, dan dalam UUD 1945 Bab XA tentang Hak Asasi Ma-
kemudian dibahas oleh lembaga-lembaga terkait nusia (HAM). Perlindungan terhadap HAM dian-
yang berkepentingan, yaitu Mahkamah Agung, taranya adanya jaminan perlindungan diri pribadi,
Kejaksaan Agung, Departemen Pertahanan keluarga, kehormatan dan harta benda serta hak
dan Keamanan dan Departemen Kehakiman. untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang
Selan­jutnya, ketika Moedjono menjadi Menteri merendahkan derajat dan martabat manusia. Se-
Kehakiman, rencana penyusunan Rancangan lain perlindungan HAM, juga diakui adanya ke-
Undang-Undang Hukum Acara Pidana diinten­ wajiban asasi manusia yaitu dalam melaksanakan
sifkan dan akhirnya, rancangan undang-undang hak asasinya setiap orang tidak boleh merugi-
tersebut disampaikan kepada Dewan Perwakilan kan atau membahayakan kepentingan orang lain
Rakyat untuk dibahas dengan amanat Presiden atau melanggar ketertiban dan kesusilaan umum.
pada tanggal 12 September 1979 Nomor R.08/ Atas dasar prinsip kese­imbangan hak asasi ma-
P.U./IX/1979. nusia dan kewajiban asasi manusia tersebut maka
Berdasarkan aspek historis tersebut, proses nega­ra sebagai entitas kekuasaan berkewajiban
pembentukan KUHAP pada era orde baru telah untuk memelihara dan mempertahankan keseim-
memberikan pembelajaran dan kesadaran bahwa bangan melalui alat-alat kekuasaan negara yang
KUHAP merupakan produk perundang-undangan diakui baik berdasarkan UUD Negara RI Tahun

7
Departemen Pertahanan dan Keamanan terlibat di dalamnya, karena POLRI sebagai salah satu penegak hukum (penyidik) yang merupakan
unsur dalam sistem peradilan pidana masih menjadi bagian dari ABRI.
Gunarto, Faktor Historis, Sosiologis, Politis, dan Yuridis dalam Penyusunan RUU HAP 17

1945 maupun berdasarkan peraturan perundang- penegakan hukum yang dilandaskan pada
­undangan yang berlaku sebagai implementasi dari pendekatan “pragmatic-legal realism” dan
UUD Negara RI Tahun 1945 tersebut. “sociological jurisprudence”, serta disesuaikan
Sebagai negara yang berdaulat, dalam kon­ dengan nilai-nilai hukum adat yang tumbuh
teks cita kesejahteraan sosial berdasarkan asas dan sejalan dengan perkembangan kehidupan
musyawarah dan mufakat sesuai dengan UUD masyarakat Indonesia saat ini. Model pendekatan
Negara RI Tahun 1945, dan dilandasi oleh prinsip ini lebih baik daripada pendekatan humanisme
keseimbangan antara hak asasi manusia dan semu kepada tersangka yang belum tentu diterima
kewajiban asasi manusia, maka Indonesia memiliki secara universal di berbagai belahan dunia.
cara tersendiri untuk mengatasi masalah domestik, Transplantasi hukum dengan cara mengambil
khususnya dalam bidang hukum dan penegakan oper model penegakan hukum dari negara lain
hukum termasuk penyusunan RUU KUHAP. sebaiknya tidak dilakukan secara membabi buta,
Arah penyusunan RUU KUHAP seharusnya dalam arti tidak dilakukan seleksi dan adaptasi
menempatkan kepentingan-kepentingan hukum terhadap kondisi sosial, politik, dan geografis
tersebut secara harmonis dan proporsional. Indonesia. Transplantasi model penegakan hukum
Tidak ada satu negarapun yang rela melepaskan dengan cara yang demikian di samping akan
“kedaulatan negara”-nya hanya semata-mata un­ merugikan kita sebagai bangsa yang merdeka dan
tuk kepentingan hak asasi tersangka/terdakwa berdaulat, juga akan melanggengkan globalisme
terutama dalam menghadapi model baru dan ke­ hukum yang belum tentu menghasilkan penegakan
canggihan modus operandi tindak pidana saat ini. hukum yang lebih baik. Pendekatan “globalisasi” di
Seyogyanya di dalam menyusun RUU HAP, bidang hukum sangat membahayakan kepentingan
dilakukan melalui pendekatan pragmatisme- bangsa dan negara bahkan cenderung mengancam
realisme hukum (pragmatic-legal realism) kedaulatan negara termasuk langkah-langkah untuk
dengan memasukkan juga pertimbangan pende­ membatasi peranan pemerintah (negara) hanya
katan “sociological jurisprudence”, Artinya, sebagai penjaga ketertiban dan pelindung harta
penyusunan HAP baru bagi Indonesia di masa kekayaan perorangan semata-mata.10 Seyogyanya
mendatang harus mempertimbangkan ke­ di bidang hukum dan penegakan hukum harus
seim­bangan 3 (tiga) prinsip yaitu: efektifitas dicegah terjadinya “imperialisme hak asasi ma­
(effectiveness), proporsionalitas (proportionality) nusia” yang diimpor dari negara demokrasi maju
dan penjeraan (dissuasive). Meminjam pendapat yang mengunggulkan globalisasi sebagai suatu
Satjipto Rahardjo, bahwa hukum adalah untuk ideologi11 apalagi bagi Indonesia yang telah
manusia, maka kiranya juga tepat jika dikatakan menetapkan secara permanen, Pancasila sebagai
bahwa, hukum seharusnya selain memiliki ideologi dan sekaligus jiwa bangsa sejak sebelum
fungsi regulatif dan represif juga memiliki fungsi kemerdekaan RI. Pendek kata, seyogyanya RUU
penyeimbang kepentingan hak asasi individu dan KUHAP dibangun atas dasar nilai-nilai yang
kewajiban negara dalam melindungi hak asasi terkandung dalam Pancasila.
individu yang bersangkutan.
Secara teoritik penormaan dalam RUU 3. Aspek Sosio-Politik
HAP seharusnya mengutamakan keseimbangan Ide perubahan substansi dan kelembagaan
kepentingan tersangka/terdakwa dan kepentingan dalam RUU HAP melalui transplantasi hukum,

8
A. Javier Trevino, 2008, The Sociology of Law, Classical and Contemporary Perspectives, Transaction Pubishers, London, hlm. 62-63.
9
Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 6. Penggunaan metode sosiologis akan mengkaitkan hukum
kepada usaha untuk mencapai tujuan-tujuan serta memenuhi kebutuhan konkrit dalam masyarakat.
10
Jacques Gelinas, 2003, Juggernaut Politics: Understanding Predatory Globalization, ZedBooks, London, hlm. 21.
11
Ibid.
18 MIMBAR HUKUM Volume 25, Nomor 1, Februari 2013, Halaman 13 - 26

serta dampak ratifikasi atas Konvenan Internasional masyarakat, serta kepentingan penegakan hukum
mengenai Hak Sipil dan Hak Politik dengan secara proporsional.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tanpa Di bidang sosio-politik terdapat perkembangan
mempertimbangkan hambatan-hambatan baik lain di bidang legislasi, yaitu adanya tuntutan untuk
secara kelembagaan, kultural, sosiologis maupun mengakomodir nilai-nilai kearifan yang hidup dan
secara geografis yang membedakan Indonesia berkembang dalam masyarakat. Di antara nilai-nilai
dengan Belanda, Perancis dan Amerika Serikat kearifan yang dituntut untuk diakomodasi berupa
jelas akan merugikan diri kita sendiri. Di samping penyelesaian masalah melalui mediasi dengan
itu anggapan bahwa dengan meratifikasi konven­ tetap berorientasi terciptanya tujuan dari hukum.
si tidak serta merta diadopsi seluruh ketentuan Tuntutan politik legislasi demikian menghendaki
dalam konvensi selama konvensi tersebut tidak adanya penyesuaian antara hukum formal dengan
ditetapkan sebagai “non-reserved convention” nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
sehingga tidak ada kewajiban mutlak (mandatory
obligation) bagi negara peratifikasi untuk me­ 4. Aspek Yuridis
laksanakan seluruh isi ketentuan. Bahkan di dalam Agar tidak terjadi tumpang tindih peng­
setiap konvensi masih diberikan kesempatan aturan substansi, RUU KUHAP seyogyanya
kepada negara peratifikasi untuk menerapkannya memperhatikan juga hukum pidana materiil yang
sesuai dengan sistem hukum domestik masing- akan dilaksanakan, karena di dalam hukum pidana
masing negara yang bersangkutan. Dalam hal ini materiil juga terkandung beberapa norma yang
sebaiknya juga menghindarkan diri dari perilaku berkaitan dengan aspek formil, misalnya hal yang
politik (political behavior) yang berstandar ganda berkenaan dengan pembagian delik,12 ketentuan
(double standard) dari pemerintah negara-negara hukum acara yang berkaitan dengan korporasi13
asing yang memberikan bantuan konsultasi dan ketentuan yang berkaitan dengan pidana dan
dalam proses pembentukan peraturan perundang- pemidanaan. Soedarto, pernah menyatakan bahwa
undangan. ius puniendi harus berdasarkan ius poenale.14
Upaya untuk melakukan perubahan substansi Hukum pidana formal harus menunjang hukum
seharusnya tetap memperhatikan perkembangan pidana materiil. KUHAP sekarang berorientasi
yang terjadi di Indonesia saat ini, di antaranya pada KUHP (WvS) warisan Hindia Belanda, se­
berupa peningkatan kesadaran tentang perlunya hingga KUHAP baru selayaknya juga berorien­ta­
perlindungan terhadap hak asasi manusia baik si pada konsep KUHP baru. Sehubungan dengan
yang didorong oleh demokratisasi politik persoalan ini, maka penulis lebih cenderung
maupun yang didorong oleh prinsip-prinsip memilih pembahasan RUU KUHAP dilakukan
hukum internasional. Peningkatan kesadaran setelah RUU KUHP disahkan sebagai UU, di
ini harus diselaraskan dengan melakukan samping alasan politik lainnya, yakni KUHP yang
penye­suaian terhadap norma-norma baik yang berlaku sekarang masih merupakan produk hu­
berkenaan dengan proses penyidikan dan pe­ kum peninggalan pemerintah jajahan, sedangkan
nuntutan maupun dalam proses pemeriksaan KUHAP yang berlaku saat ini merupakan produk
di sidang pengadilan serta mempertimbangan hukum nasional, sehingga wajar apabila RUU
keseimbangan antara kepentingan tersangka/ KUHP mendapatkan prioritas pembahasannya,
terdakwa, kepentingan korban, dan kepentingan atau setidaknya RUU KUHP mendapatkan

12
Barda Nawawi Arief, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, hlm. 370. Dalam konsep RUU KUHP ada pembagian delik sangat ringan, delik berat, dan delik sangat serius.
13
Perlu diatur siapa yang diancam pidana dan/atau siapa yang mewakili di pengadilan apabila korporasi sebagai subyek delik.
14
Soedarto, 1988, Hukum Pidana I, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, hlm. 10
Gunarto, Faktor Historis, Sosiologis, Politis, dan Yuridis dalam Penyusunan RUU HAP 19

pembahasan secara bersaman di DPR agar ter­ derajat martabat manusia dan berhak mem-
dapat sinkronisasi antara hukum acara pidana peroleh suaka politik dari negara lain.
formil dan hukum pidana materiil sebagaimana 5) Pasal 28H ayat (2) Setiap orang berhak
telah dinyatakan di atas. mendapat kemudahan dan perlakuan khusus
Dari segi substansi, untuk menghindari untuk memperoeh kesempatan dan manfaat
terjadinya tumpang tindih pengaturan dan yang sama guna mencapai persamaan dan
mencegah terjadinya konflik kewenangan antar keadilan.
lembaga penegak hukum, naskah RUU KUHAP 6) Pasal 30 ayat (4) Kepolisian Negara Republik
seyogyanya juga mempertimbangkan keberadaan Indonesia sebagai alat negara yang menjaga
beberapa peraturan perundang-undangan yang keamanan dan ketertiban masyarakat ber­
lebih tinggi dalam rangka sinkronisasi vertikal tugas melindungi, mengayomi, melayani
sebagaimana diatur dalam UUD Negara RI masyarakat, serta menegakkan hukum.
Tahun 1945, dan undang-undang instansional Selanjutnya dalam rangka sinkronisasi hori­
dalam rangka sinkronisasi horizontal, seperti zontal dan mensinergikan dengan beberapa
UU Kepolisian, UU Kejaksaan,UU Advokat, UU undang-undang instansional yang ada antara lain:
Komisi Yudisial, UU Kekuasaan Kehakiman, dan 1) UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Ne­
lain sebagainya. gara (Lembaran Negara Republik Indonesia
Beberapa pasal yang harus diperhatikan dalam Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran
UUD Negara RI Tahun 1945 antara lain:15 Negara Republik Indonesia Nomor 4168).
1) Pasal 24 ayat (3): Badan-badan lain yang a) Pasal 12: Jabatan penyidik dan penyidik
fungsinya berkaitan dengan kekuasaan ke­ pembantu adalah jabatan fungsional yang
hakiman diatur dalam undang-undang. jabatannya diangkat dengan Keputusan
2) Pasal 27 ayat (1): Segala warga negara ber­ Kapolri.
samaan kedudukannya di dalam hukum dan b) Pasal 13: Tugas pokok Kepolisian Negara
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum Republik Indonesia adalah:
dan pemerintahan itu dengan tidak ada (1) Memelihara keamanan dan ketertiban
kecualinya. masyarakat.
3) Pasal 28D ayat (1): Setiap orang berhak (2) Menegakkan hukum.
atas pengakuan,jaminan, perlindungan, dan (3) Memberikan perlindungan, peng­a­
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yoman dan pelayanan kepada masya­
yang sama di hadapan hukum. rakat.
4) Pasal 28G: c) Pasal 14 ayat (1) dalam melaksanakan
a) Setiap orang berhak atas perlindungan diri tugas pokok menegakkan hukum, maka
pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, Kepolisian Negara Republik Indonesia
dan harta benda yang di bawah kekua- bertugas sebagaimana disebut pada huruf f
saannya, serta berhak atas rasa aman dan melakukan koordinasi, pengawasan dan
perlindungan dari ancaman ketakutan untuk pembinaan teknis terhadap Kepolisian
berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang khusus, penyidik pegawai negeri sipil,
merupakan hak asasi. dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa,
b) Setiap orang berhak untuk bebas dari pe- dan huruf g melakukan penyelidikan dan
nyiksaan atau perlakuan yang merendahkan penyidikan terhadap semua tindak pidana

15
Draft Akademik KUHAP Versi POLRI.
20 MIMBAR HUKUM Volume 25, Nomor 1, Februari 2013, Halaman 13 - 26

sesuai dengan hukum acara pidana dan 2) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat
peraturan perundang-undangan lainnya. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
d) Pasal 16: Dalam rangka menyelenggarakan 2003 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
tugas, di bidang proses pidana, Kepolisian Republik Indonesia Nomor 4288).
Negara Republik Indonesia berwenang a) Pasal 14: Advokat bebas mengeluarkan
untuk: pendapat atau pernyataan dalam membela
(1) Melakukan penangkapan, penahanan, perkara yang menjadi tanggung jawabnya
penggelidahan dan penyitaan. di dalam sidang pengadilan dengan tetap
(2) Melarang setiap orang meninggalkan berpegang pada kode etik profesi dan
atau memasuki tempat kejadian perkara peraturan perundang-undangan.
untuk kepentingan penyidikan. b) Pasal 15: Advokat bebas dalam menjalankan
(3) Membawa dan menghadapkan orang tugas profesinya untuk membela perkara
kepada penyidik dalam rangka penyi- yang menjadi tanggung jawabnya dengan
dikan. tetap berpegang pada kode etik profesi dan
(4) Menyuruh berhenti orang yang dicuri- peraturan perundang-undangan.
gai dan menanyakan serta memeriksa c) Pasal 17: Dalam menjalankan profesinya,
tanda pengenal diri. Advokat berhak memperoleh informasi,
(5) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan data, dan dokumen lainnya, baik dari
surat. instansi Pemerintah maupun pihak lain
(6) Memanggil orang untuk didengar yang berkaitan dengan kepentingan
dan diperiksa sebagai tersangka atau tersebut yang diperlukan untuk pembelaan
saksi. kepentingan kliennya sesuai dengan
(7) Mendatangkan orang ahli yang di- peraturan perundang-undangan.
perlukan dalam hubungannya dengan d) Pasal 25: Advokat yang menjalankan tugas
pemeriksaan perkara. dalam sidang pengadilan dalam menangani
(8) Mengadakan penghentian penyi­ perkara pidana wajib mengenakan atribut
dikan. sesuai dengan peraturan perundang-
(9) Menyerahkan berkas perkara kepada undangan.
penuntut umum. 3) UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Re-
(10) Mengajukan permintaan secara lang- publik Indonesia (Lembaran Negara Re­publik
sung kepada pejabat imigrasi yang Indonesia Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan
berwenang ditempat pemeriksaan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
imigrasi dalam keadaan mendesak 4401).
atau mendadak untuk mencegah a) Pasal 1 UU No. 16 Tahun 2004 tentang
atau menangkal orang yang disangka Kejaksaan:
melakukan tindak pidana. (1) Jaksa adalah pejabat fungsional yang
(11) Memberikan petunjuk dan bantuan diberi wewenang oleh undang-undang
penyidikan kepada penyidik pegawai untuk bertindak sebagai penuntut
negeri sipil serta menerima hasil umum dan pelaksanaan putusan
penyidikan penyidik pegawai negeri pengadilan yang telah memperoleh
sipil untuk diserahkan kepada penuntut kekuatan hukum tetap serta wewenang
umum; dan lain berdasarkan undang-undang.
(12) Mengadakan tindakan lain menurut (2) Penuntut Umum adalah jaksa yang
hukum yang bertanggung jawab. diberi wewenang oleh Undang-Undang
Gunarto, Faktor Historis, Sosiologis, Politis, dan Yuridis dalam Penyusunan RUU HAP 21

ini untuk melakukan penuntutan dan e) Pasal 33: Dalam pelaksanaan tugas dan
melaksanakan penetapan hakim. wewenang, kejaksaan membina hubungan
(3) Penuntutan adalah tindakan penuntut kerja sama dengan badan penegak hukum
umum untuk melimpahkan perkara dan keadilan serta badan negara atau
ke pengadilan negeri yang berwenang instansi lainya.
dalam hal dan menurut cara yang 4) UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yu­
diatur dalam hukum acara pidana disial (Lembaran Negara Republik Indo­nesia
dengan permintaan supaya diperiksa Tahun 2004 Nomor 89, Tambahan Lembaran
dan diputus oleh hakim di sidang Negara Republik Indonesia Nomor 4415).
pengadilan a) Pasal 20: Dalam melaksanakan wewenang
b) Pasal 2 ayat (1): Kejaksaan Republik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
Indonesia yang selanjutnya dalam Undang- huruf b Komisi Yudisial mempunyai
Undang ini disebut kejaksaan adalah tu­gas melakukan pengawasan terhadap
lembaga pemerintah yang melaksanakan perilaku hakim dalam rangka enegakkan
kekuasaan negara di bidang penuntutan kehormatan dan keluhuran martabat serta
serta kewenangan lain berdasarkan undang- menjaga perilaku hakim.
undang. b) Pasal 21: Untuk kepentingan pelaksanaan
c) Pasal 30 ayat (1): Di bidang pidana, kejak- kewenangan sebagaimana dimaksud
saan mempunyai tugas dan wewenang: dalam Pasal 13 huruf b, Komisi Yudisial
(1) Melakukan penuntutan; bertugas mengajukan usul penjatuhan
(2) Melaksanakan penetapan hakim sanksi terhadap hakim kepada pimpinan
dan putusan pengadilan yang telah Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah
memperoleh kekuatan hukum tetap; Konstitusi.
(3) Melakukan pengawasan terhadap 5) UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
pelaksanaan putusan pidana bersyarat, Saksi dan Korban (Lembaran Negara Republik
putusan pidana pengawasan, dan Indonesia Tahun 2006 Nomor 64, Tambahan
keputusan lepas bersyarat; Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
(4) Melakukan penyelidikan terhadap 4635).
tindak pidana tertentu berdasarkan a) Pasal 2: Undang-Undang ini memberikan
undang-undang; perlindungan pada Saksi dan Korban dalam
(5) Melengkapi berkas perkara tertentu semua tahap proses peradilan pidana dalam
dan untuk itu dapat melakukan lingkungan peradilan.
pemeriksaan tambahan sebelum b) Pasal 4: Perlindungan Saksi dan Korban
dilimpahkan ke pengadilan yang dalam bertujuan memberikan rasa aman kepada
pelaksanaannya dikoordinasikan Saksi dan/atau Korban dalam memberikan
dengan penyidik. keterangan pada setiap proses peradilan
d) Pasal 31: Kejaksaan dapat meminta ke­ pidana.
pada hakim untuk menempatkan seorang c) Pasal 5 ayat (1): Seorang Saksi dan Korban
terdakwa di rumah sakit, tempat perawatan berhak:
jiwa, atau tempat lain yang layak karena (1) memperoleh perlindungan atas ke-
yang bersangkutan tidak mampu berdiri amanan pribadi, keluarga, dan harta
sendiri atau disebabkab oleh hal-hal bendanya, serta bebas dari Ancaman
yang dapat membahayakan orang lain, yang berkenaan dengan kesaksian
lingkungan, atau dirinya sendiri.
22 MIMBAR HUKUM Volume 25, Nomor 1, Februari 2013, Halaman 13 - 26

yang akan, sedang, atau telah diberi- Elektronik, Dokumen Elektronik atau pun
kannya; hasil cetak dari Informasi Elektronik dan
(2) ikut serta dalam proses memilih dan Dokumen Elektronik.
menentukan bentuk perlindungan dan 7) UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan
dukungan keamanan; Kedua Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang
(3) memberikan keterangan tanpa te­ Mahkamah Agung (Lembaran Negara Re­
kanan; publik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3,
(4) mendapat penerjemah; Tambahan Lembaran Negara Republik Indo­
(5) bebas dari pertanyaan yang men­ nesia Nomor 4958).
jerat; a) Pasal 32A ayat (1): Pengawasan internal
(6) mendapatkan informasi mengenai atas tingkah laku hakim agung dilakukan
perkembangan kasus; oleh Mahkamah Agung.
(7) mendapatkan informasi mengenai b) Pasal 32 ayat (2): Pengawasan eksternal
putusan pengadilan; atas perilaku hakim agung dilakukan oleh
(8) mengetahui dalam hal terpidana Komisi Yudisial.
dibebaskan; 8) UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan
(9) mendapat identitas baru; Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara
(10) mendapatkan tempat kediaman baru; Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
(11) memperoleh penggantian biaya trans- 155, Tambahan Lembaran Negara Republik
portasi sesuai dengan kebutuhan; Indonesia Nomor 5074).
(12) mendapat nasihat hukum; dan/atau a) Pasal 25: Pemeriksaan di sidang Pengadilan
(13) memperoleh bantuan biaya hidup Tindak Pidana Korupsi dilakukan berdasar-
sementara sampai batas waktu per- kan hukum acara pidana yang berlaku,
lindungan berakhir. kecuali ditentukan lain dalam Undang-
6) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi Undang ini.
dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara b) Pasal 26 (1): Dalam memeriksa, mengadili,
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor dan memutus perkara tindak pidana korupsi
64, Tambahan Lembaran Negara Republik dilakukan dengan majelis hakim berjumlah
Indonesia Nomor 4635). ganjil sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang
a) Pasal 1 angka (4): Setiap Informasi Elek­ hakim dan sebanyak-banyaknya 5 (lima)
tronik yang dibuat, di teruskan, dikirimkan, orang hakim, terdiri dari Hakim Karier
di terima atau di simpan dalam bentuk dan Hakim ad hoc. (2) Dalam hal majelis
analog, digital, elektromagnetik, optikal hakim sebagaimana dimaksud pada ayat
atau sejenisnya yang dapat dilihat, di (1) berjumlah lima orang hakim, maka kom­
tampilkan dan/atau didengar melalui posisi majelis hakim adalah tiga banding
komputer atau sistem elektronik, tidak dua dan dalam hal majelis hakim berjumlah
terbatas pada tulisan, gambar, suara, peta, tiga orang hakim, maka komposisi majelis
rancangan, foto, atau sejenisnya, huruf, hakim adalah dua banding satu. (3) Pe­
tanda, angka, kode akses, simbol, atau nentuan mengenai jumlah dan komposisi
perforasi yang memiliki makna atau arti majelis hakim sebagaimana dimaksud pada
dapat di pahami oleh orang yang mampu ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh ketua
memahaminya. pengadilan masing-masing atau Ketua
b) Pasal 5 ayat (1): Bahwa alat bukti yang Mahkamah Agung sesuai dengan tingka-
baru dan sah secara hukum, yaitu Informasi tan dan kepentingan pemeriksaan perkara
Gunarto, Faktor Historis, Sosiologis, Politis, dan Yuridis dalam Penyusunan RUU HAP 23

kasus demi kasus. (4) Ketentuan mengenai h) Pasal 32: Dalam hal putusan pengadilan di-
kriteria dalam penentuan jumlah dan kom- mintakan peninjauan kembali, pemeriksaan
posisi majelis hakim dalam memeriksa, perkara tindak pidana korupsi diperiksa dan
mengadili, dan memutus perkara tindak diputus dalam waktu paling lama 60 hari
pidana korupsi sebagaimana dimaksud pa­da kerja terhitung sejak tanggal berkas perkara
ayat (3) diatur dengan Peraturan Mahka­mah diterima oleh Mahkamah Agung.
Agung. 9) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
c) Pasal 27 (1): Ketua Pengadilan Tindak Kehakiman (Lembaran Negara Republik
Pidana Korupsi menetapkan susunan maje- Indo­nesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan
lis Hakim sebagaimana dimaksud dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
Pasal 26 ayat (3) dalam waktu paling lam- 5076).
bat tiga hari kerja terhitung sejak tanggal a) Pasal 4 ayat (2): Peradilan dilakukan dengan
penerimaan penyerahan berkas perkara. sederhana, cepat, dan biaya ringan.
(2) Sidang pertama perkara Tindak Pidana b) Pasal 7: Tidak seorang pun dapat dikenakan
Korupsi wajib dilaksanakan dalam waktu penangkapan, penahanan, penggeledahan,
paling lambat tujuh hari kerja terhitung dan penyitaan, selain atas perintah tertulis
sejak penetapan majelis Hakim. oleh kekuasaan yang sah dalam hal dan
d) Pasal 28 (1): Semua alat bukti yang diajukan menurut cara yang diatur dalam undang-
di dalam persidangan, termasuk alat bukti undang.
yang diperoleh dari hasil penyadapan, harus c) Pasal 41: Badan-badan lain yang fungsinya
diperoleh secara sah berdasarkan ketentuan berkaitan dengan kekuasaan kehakiman
peraturan perundang-undangan. (2) Hakim meliputi Kepolisian Negara Republik
menentukan sah tidaknya alat bukti yang Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia,
diajukan di muka persidangan baik yang dan badan-badan lain diatur dalam undang-
diajukan oleh penuntut umum maupun oleh undang.
terdakwa. Selain perundang-undangan di atas, selama
e) Pasal 29: Perkara tindak pidana korupsi kurun waktu berlakunya KUHAP terdapat be­
diperiksa, diadili, dan diputus oleh be­rapa instrumen hukum internasional yang
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tingkat mempengaruhi penegakan hukum pidana. Instru­
pertama dalam waktu paling lama 120 men hukum internasional yang dimaksudkan sudah
hari kerja terhitung sejak tanggal perkara ada yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia,
dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana ada pula yang belum diratifikasi namun dalam
Korupsi. beberapa hal berkaiatan dengan dengan hukum
f) Pasal 30: Pemeriksaan tingkat banding acara pidana, diantaranya adalah:
Tindak Pidana Korupsi diperiksa dan di­ 1. Convention against Torture and Other
putus dalam waktu paling lama 60 hari Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or
kerja terhitung sejak tanggal berkas perkara Punishment yang disahkan dengan Undang-
diterima oleh Pengadilan Tinggi. Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pe­
g) Pasal 31: Pemeriksaan tingkat kasasi Tindak ngesahan Convention Against Torture and
Pidana Korupsi diperiksa dan diputus dalam Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment
waktu paling lama 120 hari kerja terhitung or Punishment (Konvensi Menentang Penyik­
sejak tanggal berkas perkara diterima oleh saan dan Perlakuan atau Penghukuman
Mahkamah Agung. Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau
Merendahkan Martabat Manusia)16.
24 MIMBAR HUKUM Volume 25, Nomor 1, Februari 2013, Halaman 13 - 26

2. International Covenant on Civil and Political Firearms by Law Enforcement Officials


Rights yang disahkan dengan Undang-Undang (Adopted by Eighth Crime Congress,
Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Havana, 1990). Dokumen ini memuat
International Covenant on Civil and Political persyaratan bahwa senjata api hanya boleh
Rights (Kovenan Internasional tentang Hak- digunakan dalam tugas apabila dalam
Hak Sipil dan Politik);17 rangka:
3. United Nations Convention against Corrup- a. self-defence;
tion yang disahkan dengan Undang-Undang b. defence of others against the imminent
Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan threat of death or serious injury;
United Nations Convention against Corrup­ c. to prevent the perpetration of a par-
tion, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa- ticulary serious crime involving grave
Bangsa Anti Korupsi, 2003);18 threat to life;
4. United Nations Convention against Trans­ d. to arrest a person presenting such a
national Organized Crime (2000) yang danger;
disahkan dengan Undang-Undang Nomor e. to prevent his or her escape and;
5 Tahun 2009 tentang Pengesahan United f. only when less extreme means are in-
Nations Convention against Transnational sufficient to achieve these objectives.
Organized Crime, 2000 (Konvensi Perse­ Di samping itu dipersyaratkan pula
rikatan Bangsa-Bangsa Menentang Kejahatan ­adanya clear warning, kecuali mengandung
Terorganisasi, 2000). resiko yang membahayakan dirinya atau
Selanjutnya beberapa resolusi PBB juga mem­ orang lain.
pengaruhi penegakan hukum pidana, di antaranya a. Basic Principles on the Independence of the
adalah: Judiciary (Adopted by the Seventh Crime
a. Code of Conduct for Law Enforcement Congress, Milan, 1985 and endorsed by
Officials (General Assembly Resolution the General Assembly in Resolution 40/32).
34/169). Pedoman ini berisi kapan seorang Asas kebebasan peradilan ini mencakup:
penegak hukum dizinkan menggunakan a. sifat tidak memihak;
kekuatan (force), yakni when strictly b. kebebasan menyatakan pendapat,
necessary and only to the extent required beragama, berserikat dan berkumpul;
for the performance of their duty. c. perlindungan hukum bagi hakim;
b. Basic Principles on the Use of Force and d. keberhasilan professional hakim da-
lam menjalankan tugasnya;

16
Muatan konvensi ini antara lain adalah memastikan setiap tindakan penyiksaan adalah tindak pidana (kejahatan), termasuk percobaan
melakukan penyiksaan, oleh siapa saja yang membantu dan turut serta; Mengatur bahwa tindak pidana itu dihukum setimpal dengan
sifat kejahatannya; Jika ada tindakan penyiksaan, harus dilakukan penahanan terhadap pelaku dan melakukan tindakan hukum lainnya;
Melakukan penyelidikan awal, dan melakukan proses pengadilan dengan menjamin adanya peradilan yang adil pada setiap prosesnya;
Negara pihak harus memberikan bantuan untuk memberikan semua bukti untuk proses perkara, dan saling memberikan bantuan hukum
yang mungkin.
17
Dalam konvensi ini diatur sejumlah ketentuan mengenai hak asasi manusia, terutama mengenai penahanan yang langsung terkait dengan
substansi hukum acara pidana, yang memberikan batasan-batasan secara tegas terhadap praktik penanganan perkara pidana, yang bertujuan
untuk memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia demi terwujudnya keadilan dan kepastian hukum.
18
Pasal 62 Konvensi ini menyatakan: “State Parties shall take measures conducive to the optimal implementation of this Convention to the
extent possible,through international cooperation, taking into account the negative effects of corruption on society in general, in particular
on sustainable development.” Ketentuan ini mewajibkan setiap negara peratifikasi untuk menerapkan konvensi melalui kerjasama
internasional dengan pertimbangan dampak negatif dari korupsi dalam masyarakat dan khususnya bagi kelanjutan pembangunan. Atas
dasar ketentuan ini korupsi secara internasional diakui sebagai musuh masyarakat nasional dan internasional serta merupakan hambatan
serius terhadap pembangunan nasional tiap negara.
Gunarto, Faktor Historis, Sosiologis, Politis, dan Yuridis dalam Penyusunan RUU HAP 25

e. sistem seleksi hakim yang ketat atas C. Penutup


dasar integritas pribadi dan kemam- Dalam konteks cita kesejahteraan sosial ber­
puan. dasarkan asas musyawarah dan mufakat sesuai
b. Basic Principle on the Role of Lawyers dengan UUD Negara RI Tahun 1945, penormaan
(Adopted by the Eight Crime Congress, hukum acara pidana harus dilandasi oleh prinsip
1990). Dalam dokumen ini di atur asas-asas keseimbangan antara hak asasi manusia dan
pentingnya kedudukan penasihat hukum kewajiban asasi manusi, keseimbangan ke­
dalam sistem peradilan pidana, yaitu: pentingan tersangka/terdakwa dan kepentingan
a. access to lawyers and legal services; penegakan hukum, serta disesuaikan dengan nilai-
b. special safeguards In criminal justice nilai hukum adat yang tumbuh dan sejalan dengan
matters; perkembangan kehidupan masyarakat Indonesia
c. qualification and train. saat ini.
d. duties and responsibilities Mengingat HAP adalah bidang hukum yang
e. guaranties for the functioning of sangat sensitif terhadap konflik kepentingan, serta
lawyers; dalam penyelenggaraannya melibatkan badan-
f. freedom of expression and asso­ badan peradilan pidana yang masing-masing
ciation; terikat dengan UU instansionalnya, maka dalam
g. professional association of lawyers pembahasan konsep RUU juga melibatkan unsur
h. disciplinary proceedings. Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan
5. Guidelines on the Role of Prosecutors (Adop­ HAM, Kejaksaan Agung, Kepolisian Negara
ted by the Eight Crime Congress, 1990). Republik Indonesia, organisasi advokat, akade­
Berisi pedoman yang mengatur standarisasi misi, dan LSM pemerhati peradilan.
peran jaksa dan mencakup hal-hal sebagai Ide perubahan substansi dan kelembagaan
berikut: dalam RUU Hukum Acara Pidana melalui trans-
a. qualifications, selection and training; plantasi hukum sebaiknya juga memper­hatikan
b. status and conditions of service; kondisi sosial, politik, ekonomi, geografi, demo-
c. freedom of expression and association; grafi, dan infra struktur yang ada di In­donesia.
d. role in criminal proceeding; Sebagai hukum pidana formil, maka sebaik­
e. discretionary function; nya HAP juga mengingat berlakunya hukum
f. alternative to prosecution; pidana materiil. Sehubungan dengan hal tersebut,
g. relations with other government agencies pembahasan RUU HAP sebaiknya tidak dipisahkan
or institution; dari pembahasan hukum pidana materiil.
h. disciplinary proceedings;
i. observance of the guidelines

DAFTAR PUSTAKA

A. ` Buku Gelinas, Jacques, 2003, Juggernaut Politics:


Adji, Oemar Seno, 1980, Hukum Pidana, Erlangga, Under­s­tanding Predatory Globalization,
Jakarta . ZedBooks, London.
Arief, Barda Nawawi, 2008, Bunga Rampai Ke­bi­ Hamzah, Andi, 1996, Hukum Acara Pidana Indo­
jakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyu­ nesia, Saptha Artha Jaya, Jakarta.
sunan Konsep KUHP Baru), Kencana Prenada Rahardjo, Satjipto, 2000, Ilmu Hukum, Citra
Media Group, Jakarta Aditya Bakti, Bandung.
26 MIMBAR HUKUM Volume 25, Nomor 1, Februari 2013, Halaman 13 - 26

Soedarto, 1988, Hukum Pidana I, Badan Penerbit C. Undang-Undang


Universitas Diponegoro, Semarang. Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang
Sunaryo, Sidik, 2005, Kapita Selekta Sistem Pengesahan United Nations Convention
Peradilan Pidana, UMM Press, Malang. Against Corruption.
Trevino, A. Javier, 2008, The Sociology of Law,
Classical and Contemporary Perspectives, D. Makalah
Transaction Pubishers, London. Romly Atma Sasmita, “Kedudukan Hakim Ko­
mi­saris dalam Sistem Peradilan Pidana
B. Internet di Indonesia”, Makalah, Seminar tentang
Rastika, Icha, “Desak Penyelesaian RUU Kedudukan Hakim Komisaris dalam Sistem
KUHAP”, http://nasional.kompas.com/read/ Peradilan Pidana”, Jakarta, 29 Maret 2011.
2011/04/03/18100395/Desak.Penyelesaian.
RUU.KUHAP, diakses 17 Desember 2011.

Anda mungkin juga menyukai