Anda di halaman 1dari 72

HUKUM JAMINAN DAN LEMBAGA JAMINAN

A. Perusahaan Pembiayaan

Perusahaan pembiayaan haruslah berbentuk badan hukum Indonesia, seperti


PerseroanTerbatas (PT) atau Koperasi yang dalam kegiatan usahanya harus mendapat ijin
usaha dari Menteri Keuangan Republik Indonesia berdasarkan : Peraturan Menteri
Keuangan Republik Indonesia Nomor 84 / PMK 012/2006, tentang Perusahaan
Pembiayaan.

Menurut Pasal 1 Ayat (b) Perusahaan Pembiayaan adalah badan usaha di luar Bank
dan Lembaga Keuangan Bukan Bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan
yang termasuk dalam bidang usaha Lembaga Pembiayaan.

1. Tata cara pendirian dan izin usaha perusahaan pembiayaan


Perusahaan Pembiayaan didirikan dalam bentuk badan hukum Perseroan Terbatas
atau Koperasi, dan dapat didirikan oleh Warga Negara Indonesia dan/atau Badan
Hukum Indonesia (usaha patungan). Untuk melakukan kegiatan usaha terlebih
dahulu wajib memperoleh izin dari Menteri dan wajib mencantumkan dalam
anggaran dasar nya kegiatan pembiayaan yang dilakukannya.
Permohonan untuk mendapatkan izin usaha diajukan kepada Menteri sesuai dengan
format dalam Lampiran I dan wajib dilampirkan dengan :

a. Akta Pendirian Badan Hukum atau Anggaran Dasar yang telah disahkan oleh
instansi berwenang, yang sekurang-kurangnya memuat :
1) Nama dan tempat kedudukan
2) Kegiatan usaha
3) Permodalan dan Kepemilikan
4) Wewenang, tanggung jawab, masa jabatan direksi dan dewan komisaris

b. Data direksi dan dewan komisaris atau pengurus dan pengawas meliputi :

17
1) Fotocopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau
Paspor dan daftar Riwayat Hidup serta surat pernyataan :
a) Tidak tercatat dalam Daftar Kredit Macet di sektor perbankan;
b) Tidak tercatat dalam Daftar Tidak Lulus (DTL) di sektor
perbankan;
c) Tidak pernah dihukum karena tindak pidana kejahatan;
d) Tdak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah yang
mengakibatkan suatu perseroan atau perusahaan dinyatakan pailit
berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum tetap;
e) Tidak merangkap jabatan pada Perusahaan Pembiayaan lain bagi
Direksi;
f) Tidak merangkap jabatan lebih dari 3 (tiga) Perusahaan
Pembiayaan lain bagi Komisaris.
c. Bukti berpengalaman operasional di bidang Perusahaan Pembiayaan atau
Perbankan sekurang-kurangnya selama 2(dua) tahun bagi salah satu direksi atau
pengurus.
d. Fotocopi Kartu Izin Menetap Sementara (KIMS) dan fotocopi Surat Izin Bekerja
dari instansi berwenang bagi direksi atau pengurus berkewarganegaraan asing.
e. Data pemegang saham atau anggota dalam hal :
1. Perorangan, wajib dilampirkan dengan dokumen tersebut diatas serta surat
pernyataan bahwa setoran modal tidak berasal dari pinjaman dan kegiatan
pencucian uang (money laundering).
2. Badan Hukum wajib dilampoirkan dengan :
a) Akta pendirian Badan Hukum, termasuk Anggaran Dasar berikut
perubahan-perubahan yang telah mendapat pengesahan dari
instansi bewenang termasuk bagi badan usaha asing sesuai dengan
ketentuan yang berlaku di negara asal.
b) Laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik dan
laporan keuangan terakhir.
c) Dokumen dari pemegang saham dan direksi atau pengurus.

18
f. Sistem dan prosedur kerja, struktur organisasi dan personalia
g. Fotocopi bukti pelunasan modal disetor dalam bentuk deposito berjangka pada
salah satu bank umum di Indonesia dan legalitas oleh bank penerima setoran yang
masih berlaku selama dalam proses pengajuan izin usaha;
h. Rencana kerja untuk 2 (dua) tahun pertama, yang sekurang-kurangnya memuat :
1. Rencana pembiayaan d an langkah-langkah yang dilakukan untuk
mewujudkan rencana dimaksud;
2. Proyeksi arus kas, neraca dan perhitungan laba atau rugi bulanan dimulai
sejak Perusahaan Pembiayaan melakukan kegiatan operasional.
i. Bukti kesiapan opersional antara lain berupa :
1. Daftar aktiva tetap dan inventaris;
2. Bukti kepemilikan, penguasaan atau perjanjian sewa menyewa gedung
kantor;
3. Contoh pembiayaan yang akan digunakan; dan
4. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
j. Perjanjian usaha patungan antara pihak asing dan pihak Indonesia bagi
perusahaan patungan.
k. Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (P4MN).

2. Persetujuan dan Penolakan Izin Usaha ditentukan sebagai berikut :


a. Persetujuan atau penolakan atas permohonan Izin Usaha diberikan selambat-
lambatnya 60 (enam puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara
lengkap.
b. Izin Usaha sebagaimana dimaksud diatas, berlaku sejak tanggal ditetapkan dan
berlaku selama perusahaan masih menjalankan usahanya.
c. Perusahaan Pembiayaan wajib memiliki piutang pembiayaan sekurang-kurangnya
sebesar 40% (empat puluh perseratus) dari total aktiva.

Waktu kegiatan usaha dan laporan serta pencabutan izin usaha ditentukan sebagai
berikut:

19
1. Perusahaan Pembiayaan yang telah memperoleh Izin Usaha wajib melakukan
kegiatan usaha selambat-lambatnya 60 (enampuluh) hari terhitung sejak tanggai
Izin Usaha ditetapkan;
2. Laporan pelaksanaan kegiatan usaha wajib disampaikan kepada Menteri
selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari sejak tanggal dimulainya kegiatan usaha
sesuai dengan format dalam Lampiran II.
3. Apabila setelah jangka waktu 60 (enampuluh) hari tersebut, Perusahaan
Pembiayaan tidak melakukan kegiatan usaha, Menteri mencabut Izin Usaha
Perusahaan Pembiayaan yang bersangkutan.

3. Modal Perusahaan Pembiayaan :

Modal disetor atau disimpanan pokok dan simpanan wajib dalam rangka
pendirian Perusahaan Pembiayaan ditetapkan sebagai berikut :

1. Perusahaan Swasta Nasional atau Perusahaan Patungan sekurang-


kurangnya sebesar Rp. 100.000.000.000.00 (seratus miliar rupiah);
2. Koperasi sekurang-kurangnya sebesar Rp 50.000.000.000.00 (lima puluh
miliar rupiah).
4. Kepemilikan dan Kepengurusan

Kepemilikan saham oleh badan usaha asing ditetapkan setinggi-tingginya sebesar


85% (delapan puluh lima perseratus) dari modal disetor. Bagi pemegang saham yang
berbentuk badan hukum, jumlah penyertaan modal pada Perusahaan Pembiaiyaan
ditetapkan setinggi-tingginya sebesar 50% (lima puluh perseratus) dari modal sendiri.
Dalam hal badan hukum tersebut telah telah melakukan penyertaan maka maksimum
penyertaan pada perusahaan pembiayaan dikurangi dengan penyertaan yang telah
dilakukan.

Modal sendiri pemegang saham yang berbentuk hukum Perseroan Terbatas


merupakan penjumlahaan dari modal disetor. Setiap Direksi,Komisaris dan Kepala
Cabang Perusahaan Pembiayaan wajib memenuhi persyaratan kemampuan dan
kepatutan. Ketentuan ini ditetapkan dengan Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar

20
Modal dan Lembaga Keuangan. Pemegang Saham, Direksi dan Dewan Komisaris
atau Pengurus dan Pengawas Perusahaan Pembiayaan sekurang-kurangnya wajib
memenuhi persyaratan :

a. Tidak tercatat dalam Daftar Kredit Macet disektor perbankan;


b. Tidak tercantum dalam Daftar Tidak Lulus (DTL) di sektor perbankan;
c. Tidak pernah dihukum karena tindak pidana kejahatan;
d. Setoran modal pemegang saham tidak berasal dari pinjaman dan kegiatan
pencucian uang (money laundering);
e. Salah satu direksi atau pengurus harus berpengalaman operasional di bidang
Perusahaan Pembiayaan atau Perbankan sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun; dan
f. Tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah yang mengakibatkan
suatu perseroan atau perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan keputusan
pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
Setiap perubahan anggaran dasar,pemegang saham, direksi dan dewan
komisaris atau pengurus dan pengawas wajib dilaporkan kepada Menteri
selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari setelah perubahan disetujui atau dicatat
oleh instansi yang berwenang. Laporan dimaksud, disampaikan sesuai dengan
format dalam Lampiran III, IV, atau V Peraturan Menteri Keuangan ini serta
wajib dilampiri dengan perubahan anggaran dasar yang telah disahkan atau
dilaporkan kepada instansi berwenang dan/atau didaftarkan dalam Daftar
Perusahaan.
Perusahaan Pembiayaan yang melakukan perubahan pemegang saham,
sementara modal setorannya kurang dari Rp 100.000.000.000.00 (seratus miliar
rupiah), wajib menyesuaikan modal setoran. Dalam hal pemegang saham
Perusahaan Pembiayaan berbentuk badan hukum dan pemegang saham badan
hukum tersebut berubah sehingga terdapat pemegang saham baru diatas 50%
(lima puluh perseratus), maka Perusahaan Pembiayaan wajib menyesuaikan
modal disetor.
Direksi Perusahaan Pembiayaan wajib menetap di Indonesia dan dilarang
melakukan perangkapan jabatan sebagai Direksi pada Perusahaan Pembiayaan
lain. Direksi Perusahaan Pembiayaan diperkenankan merangkap jabatan sebagai

21
Komisaris pada 1 (satu) Perusahaan Pembiayaan lain. komisaris Perusahaan
Pembiayaan, diperkenankan merangkap jabatan menjadi komisaris sebanyak
banyaknya pada 3 (tiga) Perusahaan Pembiayaan.

5. Perusahaan Pembiayaan melakukan kegiatan usaha, sebagaimana telah dikemukakan


penulis dalam bab I :
a. Sewa Guna Usaha (Leasing)
b. Anjak Piutang (Factoring)
c. Usaha Kartu Kredit (Credit Card)
d. Pembiayaan Konsumen (Constumer Finance)

Kegiatan Sewa Guna Usaha pada Bab II Pasal 3 menyatakan :

1. Kegiatan Sewa Guna Usaha dilakukan dalam bentuk pengadaan barang modal
bagi Penyewa Guna Usaha, baik dengan maupun tanpa hak opsi untuk membeli
barang tersebut.
2. Dalam kegiatan sebagaimana dimaksud pada butir 1, pengadaan barang modal
dapat juga dilakukan dengan cara membeli barang Penyewa Guna Usaha yang
kemudian disewa guna usahakan kembali.
3. Sepanjang perjanjian Sewa Guna Usaha masih berlaku, hak milik atas barang
modal obyek transaksi Sewa Guna Usaha berada pada Perusahan Penbiayaan.

Kegiatan usaha perusahan pembiayaan pada kegiatan Anjak Piutang dilakukan


dengan cara:

1. Kegiatan Anjak piutang dilakukan dalam bentuk pembelian piutang dagang


jangka pendek suatu perusahaan berikut pengurusan atas piutang tersebut.
2. Kegiatan Anjak Piutang, dapat dilakukan dalam bentuk Anjak Piutang tanpa
jaminan dari Penjual Piutang (Without Recourse) dan Anjak Piutang dengan
jaminan dari penjual Piutang (With Recourse).
3. Anjak Piutang tanpa jaminan dari Penjual Piutang (Without Recourse) adalah
kegiatan Anjak Piutang dimana Perusahaan Pembiayaan menanggung seluruh
resiko tidak tertagihnya piutang.

22
4. Anjak Piutang dengan jaminan dari Penjual Piutang (With Recourse) adalah
kegiatan Anjak Piutang dimana Pennjual Piutang menanggung resiko tidak
tertagihnya piutang sebagian atau seluruh piutang yang dijual kepada Perusahaan
Pembiayaan.
5. Piutang dagang jangka pendek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
piutang dagang yang jatuh tempo selama-lamanya 1 (satu) tahun.

Mengenai kegiatan Usaha Kartu Kredit, meliputi:

1. Kegiatan Usaha Kartu Kredit dilakukan dalam bentuk penerbitan kartu kredit
yang dapat dimanfaatkan oleh pemegangnya untuk membeli barang dan/atau jasa.
2. Perusahaan Pembiayaan yang melakukan Kegiatan Usaha Kartu Kredit
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sepanjang berkaitan dengan sistem
pembayaran wajib mengikuti ketentuan Bank Indonesia.

Kegiatan Usaha Pembiayaan Konsumen, meliputi:

1. Kegiatan Pembiayaan konsumen dilakukan dalam bentuk penyediaan dana untuk


pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara
angsuran.
2. Kebutuhan konsumen sebagaimana dimaksud angka 1 di atas antara lain meliputi:
a. Pembiayaan kendaraan bermotor
b. Pembiayaan alat-alat rumah tangga
c. Pembiayaan barang-barang elektronik
d. Pembiayaan perumahan.

6. Perusahaan Pembiayaan dapat ,melakukan Akusisi, Konsolidasi, Merger dan Kantor


Cabang:

Akusisi adalah pengambil alihan baik seluruh maupun sebagian besar saham
Perusahaan Pembiayaan yang dapat mengakibatkan beralihnya pengendalian tehadap
Perusahaan Pembiayaan. Konsolidasi merupakan penggabungan dari 2 (dua) Perusahaan
Pembiayaan atau lebih, dengan cara mendirikan Perusahaan Pembiayaan baru dan

23
membubarkan Perusahaan-perusahaan tersebut dengan atau tanpa likuidas. Merger
maksudnya adalah penggabungan dari 2 (dua) Perusahaan Pembiayaan atau lebih dengan
cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu Perusahaan Pembiayaan dan
membubarkan Perusahaan Pembiayaan lainnya dengan atau tanpa likuidasi.

Perusahaan Pembiayaan dapat membuka Kantor Cabang berupa unit usaha dari suatu
Perusahaan Pembiayaan. Merger, Akusisi, dan Konsolidasi wajib mendapat ijin dan
melaporkan kepada Menteri selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari setelah Merger,
Akusisi, dan Konsolidasi dilakukan. Kantor pusat dan kantor cabang dari Perusahaan
Pembiayaan yang menggabungkan diri.

7. Kantor Cabang Perusahaan Pembiayaan

Pembukaan Kantor Cabang Perusahaan Pembiayaan hanya dapat dilakukan


dengan izin Menteri. Untuk dapat membuka Kantor Cabang Perusahaan Pembiayaan
harus memliki ekuitas sekurang-kurangnya 50% (lima puluh perseratus) dari modal
disetor berdasarkan laporan keuangan bulanan terakhir. Permohonan untuk mendapatkan
izin diajukan kepada Menteri sesuai dengan format dalam Lampiran VII.

Persetujuan atau penolakan atas permohonan diberikan selambat-lambatnya 30


(tiga puluh) hari kerja setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap. Kantor
Cabanhg wajib melakukaan kegiatan usaha selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari
sejak izin ditetapkan, sedangkan laporan pelaksanaan kegiatan usaha Kantor Cabang
wajib disampaikan kepada Menteri selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah
pelaksanaan kegiatan usaha sesuai dengan format dalam lampiran VIII. Apabila dalam
jangka waktu yang telah ditentukan tersebut Kantor Cabang tidak melakukan usaha,
Menteri mencabut izin pembukaan Kantor Cabang yang telah ditetapkan.

Penutupan Kantor Cabang Perusahaan Pembiayaan hanya dapat dilakukan dengan


izin Menteri. Dengan permohonan penutupan kantor diajukan kepada Menteri, sesuai
dengan format Lampiran IX. Laporan penutupan selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari
setelah tanggal penutupan.

24
8. Pinjaman dan Penyertaan

Perusahaan Pembiayaan dapat menerima pinajaman dari bank dan/atau badan


usaha lainnya berdasarkan perjanjian pinjam meminjam. Pinjaman dari badan usaha
lainnya. Pinjaman dapat berasal dari dalam negeri dan/atau luar negeri. Perusahaan
Pembiayaan wajib memiliki modal sendiri sekurang-kurangnya sebesar 50% (lima puluh
perseratus) dari modal disetor. Perusahaan Pembiayaan yang modalnya sendiri kurang
dari 50% (lima puluh perseratus) modal disetor pemegang saham wajib menambah
setoran modal Penyertaan modal pada Perusahaan pembiayaan. Di sektor keuangan tidak
boleh melebihi 25% (dua puluh lima perseratus) dari modal disetor. Jumlah seluruh
penyertaan modal Perusahaan pembiayaan tidak boleh melebihi 40% (empat puluh
perseratus) dari jumlah modal sendiri Perusahaan Pembiayaan yang bersangkutan.

9. Pembatasan dan Larangan bagi Perusahaan Pembiayaan :


a. Menarik dana secara langsung dari masyarakat dalam bentuk giro, deposito,
tabungan dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
b. Menerbitkan Surat Sanggup Bayar (Promissory Note), kecuali sebagai
jaminan atas hutang kepada hutang kepada bank yang menjadi krediturnya.
c. Memberikan jaminan dalam segala bentuknya kepada pihak lain.

10. Perubahan Nama Perusahaan Pembiayaan

Perubahan Nama Perusahaan Pembiayaan wajib dilaporkan kepada Menteri


selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari sejak perubahan nama dilaksanakan sesuai
dengan format Lampiran XI. Laporan dimaksudkan wajib dilampiri : risalah rapat umum
pemegang saham dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atas nama Perusahaan
Pembiayaan yang baru. Berdasarkan laporan tersebut Menteri menetapkan atau
memutuskan perubahan nama dan pemberian Izin Usaha Perusahaan Pembiayan yang
bersangkutan.

25
11. Pemindahan Alamat Kantor

Pemindahan Alamat Kantor Pusat atau Kantor Cabang Perusahaan Pembiayaan


wajib dilaporkan kepada Menteri selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari sejak
pelaksanaan pemindahan disertai dengan bukti penguasaan gedung kantor.

12. Laporan Perusahaan Pembiayaan

Perusahaan Pembiayaan wajib menyampaikan laporan kepada Menteri dengan


tembusan kepada Bank Indonesia mengenai Laporan Keuangan Bulanan dan Laporan
Kegiatan Usaha Semesteran, serta Laporan Keuangan Tahunan yang telah diaudit oleh
Akuntan Publik. Perusahaan Pembiayaan wajib mengumumkan neraca dan perhitungan
laba rugi singkat sekurang-kurangnya dalam 1 (satu) surat kabar harian yang mempunyai
peredaran luas, selambat-lambatnya 4 (empat) bulan setelah tahun buku berakhir.
Pengumuman neraca dan perhitungan laba rugi singkat wajib dilaporkan kepada Menteri
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah pelaksanaan pengumuman laporan
disampaikan kepada :

a. Menteri c.q. Biro Perbankan, Pembiayaan dan Penjaminan dengan alamat


Gedung A Lantai 5, Jalan Dr. Wahidin Nomor 1, Jakarta Pusat 10710.
b. Bank Indonesia c.q. Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter Bagian
Statistik Moneter, Jalan Kebon Sirih Nomor 82-84, Jakarta Pusat 10110.

13. Pengawasan Perusahaan Pembiayaan

Menteri melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Perusahaan


Pembiayaan. Pengawasan dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung.

14. Pencabutan izin usaha Perusahaan Pembiayaan

Pencabutan Izin Usaha Perusahaan Pembiayaan dailakukan oleh Menteri dan


dilakukan dalam hal perusahaan pembiayaan:

26
a. Bubar
b. Dikenakan sanksi
c. Tidak lagi menjadi perusahaan pembiayaan
d. Melakukan Merger atau Konsolidasi atau,
e. Hasil rapat umum pemegang saham atau putusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum tetap, atau keputusan pemerintah.

Perusahaan Pembiayaan yang melakukan perubahan kegiatan usaha wajib


melaporkan kepada Menteri selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari sejak perubahan
anggaran dasar disahkan oleh instansi berwenang.

15. Sanksi bagi Perusahaan Pembiayaan.

Setiap perusahaan pembiayaan yang tidak memenuhi ketentuan dalam Peraturan


Menteri Keuangan ini dikenakan sanksi berupa peringatan, pembekuan kegiatan usaha,
dan pencabutan Izin Usaha.

B. Tinjauan Umum Perjanjian


1. Perjanjian

Menurut R. Subekti perikatan merupakan suatu peristiwa dimana seorang berjanji


kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melakukan sesuatu
hal23. Menurut J.Satrio, perikatan merupakan semua hubungan hukum antara pihak,
dimana pihak satu pihak ada hak dan di lain pihak ada kewajiban. Hak yang lahir dari
hubungan hukum ini disebut hak hukum atau lazim disebut hak saja, sedangkan
kewajibannya disebut kewajiban hukum24.

Sedangkan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1313 KUH


Perdata, disebutkan bahwa perjanjian merupakan suatu perbuatan dimana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Seorang atau lebih berjanji
kepada seorang lain atau saling berjanji untuk melakukan sesuatu hal. Ini merupakan
suatu peristiwa yang menimbulkan suatu hubungan hukum antara orang-orang yang
membuatnya. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut
23
R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta:PT. Intermasa, 2004), hal. 1.
24
J. Satrio, Hukum Perikatan (Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1993), hal. 1.

27
yang dinamakan perikatan. Bebrapa hal yang lterkandung didalam suatu perikatan antara
lain:

1. Adanya hubungan hukum


2. Biasanya mengenai kekayaan atau harta benda
3. Antara dua pihak atau lebih
4. Memberikan hak kepada pihak yang satu, yaitu kreditur
5. Meletakkan kewajiban pada pihak yang lain, yaitu debitur
6. Adanya prestasi

Hubungan yang timbul akibat dua orang itu mengadakan ikatan hukum
dinamakan perikatan, karena perjanjian merupakan salah satu sumber yang melahirkan
perikatan. Hukum perjanjian merupakan bagian dari hukum perdata sebagai kumpulan
kaidah-kaidah hukum yang berlaku dalam suatu lingkungan masyarakat tertentu,
mengatur dan membatasi serta melindungi kepentingan perorangan dari warga
masyarakat di dalam melakukan hubungan hukum keperdataan antara yang satu dengan
lainnya25.

Menurut Wirjono Prodjodikoro perjanjian merupakan sama dengan persetujuan


dan selanjutnya dinyatakan bahwa persetujuan adalah suatu pengertian dalam perundang-
undangan Hindia Belanda dahulu dinamakan overeenkomste yang dapat diartikan sebagai
kata sepakat antara dua pihak atau lebih mengenai harta benda kekayaan mereka, yang
bertujuan untuk mengikat kedua belah pihak26.

Dalam pasal 1320 KUH Perdata ditentukan empat syarat bagi sahnya suatu
perjanjian yang dibuat antara lain :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya


2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal

25
Ibid, hal. 1.
26
Projodikoro Wirjono, Hukum Perdata tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, (Jakarta:Sumur Bandung, 1981)
hal. 11.

28
Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif karena mengenai
orang-orangnya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir
dinamakan syarat-syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari
perbuatan hukum yang dilakukan itu27.

a. Kata sepakat

Dalam Undang-Undang tidak memberikan ukuran kapan kata sepakat itu


tercapai yang kemudian menimbulkan dua pendapat dari kalangan sarjana
dalam mencari ukuran tercapainya kata sepakat, yaitu :

1. Teori kehendak
2. Teori kepercayaan

Teori kehendak menganut bahwa tercapainya kata sepakat jika terjadi


persesuaian kehendak dari kedua belah pihak yang menjadi ukuran adalah
kehendak dari kedua pihak yang membuat perjanjian. Teori kepercayaan
menganut bahwa tercapainya kata sepakat jika terdapat suatu pernyataan yang
sesuai dan oleh kedua pihak dianggap bahwa pernyataan tersebut benar. Kata
sepakat adalah bahwa kedua pihak yang mengadakan perjanjian itu harus ada
persetujuan mengenai hal yang diperjanjikan oleh kedua pihak tersebut.

b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian


Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian merupakan hal yang
terpenting juga. Kecakapan adalah berwenang untuk mengadakan perjanjian
atau dianggap oleh Undang-Undang dapat membuat perjanjian dan
melaksanakan atau cakap bertindak dalam hukum, kecuali oleh Undang-
Undang dinyatakan sebaliknya. Menurut pasal 1330 KUH Perdata ada
beberapa golongan yang tidak cakap melakukan perjanjian, yakni:
1. Orang-orang yang belum dewasa
2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampunan
3. Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang
dan semua orang kepada siapa Undang-Undang telah melarang membuat
27
Alwesius, Hukum Perdata, (Jakarta: Kelompok Belajar INP, 2007), hal. 31.

29
perjanjian-perjanjian tertentu. Mengenai perempuan yang tidak cakap,
ketentuan ini telah dicabut dan dianggap tidak berlaku lagi dengan
dikeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963
c. Suatu hal tertentu
Di dalam membuat perjanjian harus ada hal tertentu yang diperjanjikan.
Yang dimaksud dengan hal tertentu adalah prestasi yang diperjanjikanharus
dapat dimengerti oleh semua pihak, artinya prestasi yang diperjanjikan harus
terinci,sehingga apa yang diperjanjikan harus jelas, syarat ini perlu untuk
menentukan hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu
perselisihan.

d. Suatu sebab yang halal


Di dalam membuat perjanjian harus ada sebab yang halal. Yang dimaksud
sebab yang halal, tidak bertentangan dengan Undang-Undang, norma
kesusilaan dan ketertiban umum. Berarti isi suatu perjanjian tidak boleh
bertentangan dengan Undang-Undang, norma kesusilaan dan ketertiban
umum.
Dalam hal salah satu syarat tidak dapat terpenuhi harus dibedakan syarat
antara syarat subyektif dengan syarat obyektif. Jika syarat obyektif tidak
terpenuhi, perjanjian batal demi hukum. Artinya dari semula tidak pernah
dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan antara orang-
orang yang membuat perjanjian itu. hal ini tidak diperlukan pembuktian. Jika
syarat subyektif yang tidak terpenuhi, maka salah satu pihak mempunyai hak
untuk meminta membatalkan perjanjian (cancelling). Pihak yang dimaksud
adalah pihak yang tidak cakap hukum dan pihak yang memberikan
perizinannya atau menyetujui perjanjian itu secara tidak bebas. Persetujuan
kedua belah pihak yang merupakan kesepakatan itu harus diberikan secara
bebas28.
2. Asas- Asas Perjanjian
Adapun asas yang dianut dalam hukum perjanjian, yaitu:

28
J. Satrio, Hukum Perikatan, (Jakarta : Alumni 1993), hal 23

30
a. Asas Kebebasan
Ditarik suatu kesimpulan dari kesimpulan dari Pasal 1338 KUH Perdata yang
menyatakan bahwa:
“Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang
bagi mereka yang membuatnya”.
Pernyataan ini merupakan suatu pernyataan dibolehkannya setiap orang
membuat perjanjian apa saja dan berisi tentang apa saja yang akan mengikat
bagi pihak pembuatnya sebagai Undang-Undang, dengan perkataan lain
bahwa membuat Undang-Undang sendiri untuk kepentingan dua pihak yang
membuatnya. Dengan demikian pasal-pasal dari hukum perjanjian berlaku
untuk melengkapi peraturan perjanjian yang dibuat.
b. Asas Konsensualitas
Ditarik kesimpulan dari Pasal 1320 KUH Perdata yang menyatakan bahwa
untuk sahnya persetujuan-persetujuan diperlukan empat syarat, yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal

Perjanjian ini membawa pengertian bahwa pada dasarnya perjanjian yang


itimbul sudah dilahirkan sejak tercapainya kesepakatan. Suatu perjanjian
dapat dikatakan sah mengikat para pihak yang telah sepakat mengenai hal-hal
pokok dalam perjanjian dan tidak lagi diperlukan formalitas lain.

c. Asas Kepribadian
Ditarik kesimpulan dari Pasal 1315 KUH Perdata yang menyatakan bahwa
:
“Pada umumnya tak seorang dapat mengikat dirinya atas nama sendiri atau
meminta ditetapkannya suatu janji daripada untuk dirinya sendiri”.

Pasal 1340 KUH Perdata yang menyatakan bahwa :

31
“Persetujuan-persetujuan hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.
Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat membagi rugi kepada pihak-pihak
ketiga, tak dapat pihak-pihak ketiga memperoleh manfaat selin yang diatur
dalm pasal 1317 KUH Perdata”.
Bila dilihat dari kedua pasal diatas dapat disimpulkan bahwa pihak ketiga
tidak terikat dan tidak dapat mengambil keuntungan dari adanya perjanjian
itu. Tetapi masih terdapat penyimpangan atau pengecualian dari asas
kepribadian, ini dapat dilihat dari Pasal 1317 KUH Perdata yang tercantum
dalam Pasal 1420 KUH Perdata. Pasal 1317 KUH Perdata mengatur janji
untuk pihak kepentingan pihak ketiga. Sedangkan Pasal 1318 KUH Perdata
mengatur bahwa dalam suatu perjanjian para pihak yang membuat mengikat
juga para ahli warisnya dalam hak dan kewajiban, hal tersebut dikatakan
peralihan hakatas dasar titel umum29.
3. Hapusnya perjanjian
Pasal 1381 KUH Perdata menyebutkan sepuluh cara berakhirnya atau hapusnya
suatu perikatan.

Cara- cara tersebut ialah:

a. Pembayaran
Suatu pembayaran dimaksudkan setiap pemenuhan perjanjian secara
sukarela atau dengan kata lain tidak menggunakan kekerasan maupun
paksaan. Pembayaran menurut Undang-Undang tidak dapat ditunjukan pada
penyerahan uang, tetapi juga penyerahan barang menurut yang diperjanjikan
dapat dikatakan pembayaran, bahkan yang melakukan pekerjaan untuk
majikannya disebut pembayaran. Suatu masalah yang muncul dalam soal
pembayaran, yaitu subrogasi atau penggantian hak-hak si berpiutang atau
kreditur oleh seorang ketiga yang membayar kepada si berpiutang itu. Dalam
subrogasi atau pergantian ini, seorang ketiga yang membayar suatu hutang
menggantikan kedudukan kreditur terhadap debitur. Jadi setelah hutang itu

29
Ibid, hal. 64.

32
dibayar, muncul seorang kreditur baru yang mengganti kedudukan kreditur
lama. Dengan demikian hutang tersebut hapus akibat pembayaran tadi, tetapi
pada detik itu juga hidup lagi dengan orang ketiga tersebut sebagai pengganti
dari kreditur lama.

b. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan :

Penitipan ini sebagai suatu cara pembayaran yang harus dilakukan


apabila berpiutang atau kreditur menolak pembayaran di berhutang atau
debitur. Bila saat kepada si berpiutang diperingatkan untuk mengambil
pembayaran utang si debitur di suatu tempat, jika si berpiutang menolak atas
pembayaran yang ditawarkan oleh si debitur, apabila terjadi sesuatu hal maka
semua itu adalah tanggungan si berpiutang.

c. Pembaharuan Utang :
Menurut Pasal 1413 KUHPerdata, ada 3 macam jalan melaksanakan suatu
pembaharuan utang atau inovaso, yaitu :
a. Apabila seorang yang berutang membuat suatu perikatan utang baru guna
orang yang menghutangkannya, yang menggantikan utang yang lama yang
dihapuskan karenanya.

b. Apabila seorang berhutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang


berhutang lama, yang oleh si berpiutang dibebaskan dari perikatannya.

c. Apabila sebagai akibat suatu perjanjian baru, seorang kreditur baru


ditunjuk untuk menggantikan kreditiur lama, terhadap siapa si berhutang
dibebaskan dariperikatannya.

Akibat pembaharuan utang atau novasi itu pada hakekatnya merupakan


suatu perjanjian baru untuk menggantikan yang lama, maka embel-embel
perjanjian lama tidak ikut serta kecuali hal itu secara tegas dipertahankan
oleh si piutang.

33
d. Perjumpaan Utang dan Kompensasi :
Kompensasi merupakan suatu cara penghapusan utang dengan
jalan menperjumpakan atau memperhitungkan utang piutang secara timbal
balik antara kreditur atau debitur.

e. Pencampuran Utang :
Apabila kedudukan sebagai orang berpiutang atau kreditur dan
orang berutang atau debitur berkumpul pada satu orang, maka terjadilah
demi hukum suatu percampuran utang dengan mana utang-piutang itu
dihapuskan. Pencampuran utang dapat terlihat dengan jelas dalam suatu
peristiwa kalau di debitur melangsungkan pernikahan dengan krediturnya
dalam suatu persatuan harta kawin. Hapusnya piutang dalam hal
percampuran ini adalah betul-betul “demi hukum” dalam arti otomatis.

f. Pembebasan Utang :
Apabila si berpiutang dengan jelas menyatakan tidak menghendaki
lagi prestasi dari debitur dan melepaskan haknya atas pembayaran atau
pemenuhan perjanjian, maka perikatan yaitu hubungan utang piutang
menjadi hapus.

g. Musnahnya barang yang terutang :


Jika barang tertentu yang yang menjadi obyek perjanjian musnah,
tidak lagi dapat diperdagangkan atau hilang sehingga sama sekali tidak
diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya
asalkan barang tersebut musnah atau hilang diluar kesalahan debitur dan
sebelum ia lalai menyerahkannya. Bahkan seandainya debitur itu lalai
menyerahkan barang itu, debiturpun akan bebas dari perikatan bila ia
dapat membuktikan bahwa hapusnya barang disebabkan suatu kejadian
diluar kekuasaannya dan barang tersebut juga akan menemui nasib yang
sama meskipun sudah berada ditangan kreditur.

34
h. Kebatalan dan Pembatalan
Meskipun disebut “batal” atau “pembatalan”, tetapi yang benar
pembatalan saja, karena dalam Pasal 1446 dan selanjutnya dari
KUHPerdata, ternyata bahwa ketentuan-ketentuan disitu kesemuanya
mengenai “pembatalan”. Jika suatu perjanjian batal demi hukum, maka
tidak ada suatu perikatan hukum yang dilahirkan karena tentu saja tidak
bisa hapus. Perjanjian-perjanjian yang kurang syarat obyektifnya dapat
dimintakan pembatalan oleh orang tua atau wali dari pihak yang tidak
cakap itu atau oleh pihak yang memberikan perizinannya secara tidak
bebas karena menderita paksaan atau karena khilaf atau ditipu.
Meminta pembatalan perjanjian yang kekurangan syarat subyektifnya
dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
a. Secara aktif menuntut pembatalan perjanjian yang demikian di depan
hakim
b. Secara pembelaan, yaitu menunggu sampai digugat di depan
hakimuntuk memenuhi perjanjian dan disitulah baru mengajukan
kekurangannya perjanjian tersebut
i. Berlakunya suatu syarat batal:
Perikatan bersyarat adalah suatu perikatan yang nasibnya
digantungkan kepada suatu peristiwa yang masih akan datang dan masih
belum tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan lahirnya perikatan
sehingga terjadinya peristiwa tadi, ataupun secara membatalkan perikatan
menurut terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut. Dalam hal yang
pertama, perikatan dilahirkan hanya apabila peristiwa yang dimaksud itu
terjadi. Dalam hal yang kedua suatu perikatan yang sudah dilahirkan justru
akan berakhir atau batalkan apabila peistiwa yang dimaksudkan terjadi.
Perikatan semacam yang terakhir ini dinamakan suatu perikatan dengan
suatu syarat batal.
Dalam hukum perjanjian pada asasnya suatu syarat batal
selamanya berlaku surut sampai suatu syarat yang apabila terpenuhi akan

35
menghentikan perjanjian dan membawa segala sesuatu kembali kepada
keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi perjanjian, pasal 1265
KUHPerdata.

j. Lewatnya waktu
Menurut Pasal 1946 KUHPerdata yang dinamakan daluwarsa atau
lewat waktu ialah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk
dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan
atas syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-Undang. Daluwarsa untuk
memperoleh hak milik atas suatu barang dinamakan daluwarsa atau
acquisitif, sedangkan daluwarsa untuk dibebaskan dari suatu perikatan
dinamakan daluwarsa atau extinctif.
Menurut Pasal 1976 KUHPerdata, maka segala tuntutan hukum
baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat perseorangan hapus
akibat daluwarsa dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun. Dengan
lewatnya waktu tersebut diatas, hapuslah setiap perikatan hukum dan
tinggallah suatu perikatan bebas atau natuurlijke verbintenis, artinya kalau
dibayar boleh tetapi tidak dapat dituntut di depan hakim. Debitur jika
ditagih utangnya atau dituntut didepan pengadilan dapat mengajukan
tangkisan atau eksepsi tentang daluwarsanya piutang dan dengan demikian
mengelak atau menangkis setiap tuntutan.
Sepuluh cara tersebut diatas belum lengkap, karena masih ada
cara-cara lain yang tidak disebutkan, yaitu berakhirnya perjanjian karena
suatu ketetapan waktu dan karena meninggalnya salah satu pihak dalam
beberapa perjanjian.

A.Sumber Hukum Jaminan


Hukum jaminan berasal dari terjemahan
zakerheidesstelling atau security of law. Dalam Seminar
Badan Pembinaan Hukum Nasional tentang Lembaga

36
Hipotek dan Jaminan lainnya, yang diselenggarakan di
Yogyakarta, pada tanggal 20 sampai 30 Juli 1977.

Menurut Sri Soedewi Masjhoen Sofwan


bahwa hukum jaminan adalah mengatur
konstruksi yuridis yang memungkinkan
pemberian fasilitas kredit, dengan
menjaminkan benda-benda yang dibelinya
sebagai jaminan. Peraturan demikian harus
cukup meyakinkan dan memberikan
kepastian hukum bagi lembaga-lembaga
kredit, baik dari dalam negeri maupun dari
luar negeri. Adanya lembaga jaminan dan
lembaga demikian, kiranya harus dibarengi
dengan adanya lembaga kredit dengan

37
jumlah besar, dengan jangka waktu yang
lama dan bunga yang relative rendah30.
Menurut J. Satrio hukum jaminan merupakan
peraturan hukum yang mengatur jaminan-jaminan piutang
seorang kreditur terhadap debitur. Hal ini difokuskan pada
pengaturan dan hak-hak kreditur semata-mata, tetapi tidak
memperhatikan hak-hak debitur. Padahal subjek kajian
hukum jaminan tidak hanya menyangkut kreditur semata-
mata, tetapi juga erat kaitannya dengan debitur. Sedangkan
yang menjadi objek kajiannya adalah benda jaminan.
Menurut Salim HS hukum jaminan merupakan
keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur
hubungan hukum antara pemberi dan penerima jaminan
dalam kaitannya dengan pembebanan jaminan untuk
mendapatkan fasilitas kredit. Unsur-unsur yang tercantum
didalamnya adalah :
1. Adanya kaidah hukum
Kaidah hukum dalam bidang jaminan, dapat
dibedakan menjadi 2 macam, yaitu kaidah hukum

30
Salim HS, Op.cit, hal 5.

38
jaminan tertulis adalah kaidah kaidah hukum yang
terdapat dalam peraturan perundang-undangan, traktat
dan yurisprudensi. Sedangkan kaidah hukum jaminan
tidak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum jaminan yang
tumbuh, hidup dan berkembang dalam masyarakat. Hal
ini terlihat pada gadai tanah dalam masyarakat yang
dilakukan secara lisan.
2. Adanya pemberi dan penerima jaminan
Pemberi jaminan adalah orang-orang atau badan
hukum yang menyerahkan barang jaminan kepada
penerima jaminan. Yang bertindak sebagai pemberi
jaminan ini adalah orang atau badan hukum yang
membutuhkan fasilitas kredit. Orang ini lazim disebut
dengan debitur. Penerima jaminan adalah orang atau
badan hukum yang menerima barang jaminan dari
pemberi jaminan. Yang bertindak sebagai penerima
jaminan ini adalah orang atau badan hukum. Badan
hukum adalah lembaga yang memberikan fasilitas kredit
dapat berupa lembaga perbankan atau lembaga keuangan
nonbank.
3. Adanya jaminan
39
Pada dasarnya, jaminan yang diserahkan kepada
kreditur adalah jaminan materiil dan imateriil. Jaminan
materiil merupakan jaminana yang berupa hak-hak
kebendaan, seperti jaminan atas benda bergerak dan
benda tidak bergerak. Jaminan imateriil merupakan
jaminan non kebendaan
4. Adanya fasilitas kredit
Pembebanan jaminan yang dilakukan oleh pemberi
jaminan bertujuan untuk mendapatkan fasilitas kredit
dari bank atau lembaga keuangan nonbank. Pemberi
kredit merupakan pemberian uang berdasarkan
kepercayaan, dalam arti bank atau lembaga keuangan
nonbank percaya bahwa debitur sanggup untuk
mengembalilkan pokok pinjaman dan bunganya. Begitu
juga debitur percaya bahwa bank atau lembaga keuangan
nonbank dapat memberikan kredit kepadanya31.
Ruang lingkup kajian hukum jaminan meliputi
jaminan umum dan jaminan khusus. Jaminan khusus
dibagi menjadi dua macam, yaitu jaminan kebendaan dan
perorangan. Jaminan kebendaan dibagi menjadi jaminan
31
Salim HS, Op.Cit, hal 6 dan 7.

40
benda bergerak dan tidak bergerak. Yang termasuk
dalam jaminan benda bergerak meliputi: gadai dan
fidusia, sedangkan jaminan benda tidak bergerak
meliputi hak tanggungan, fidusia, khususnya rumah
susun, hipotek kapal laut, dan pesawat udara. Sedangkan
jaminan perorangan meliputi: borg, tanggung
menanggung (tanggung renteng), dan garansi bank32.
Pada dasarnya sumber hukum dapat dibedakan
menjadi dua macam, yakni sumber hukum materiil dan
sumber hukum formal. sumber hukum materiil ialah
tempat materi hukum itu diambil, sumber hukum materiil
ini merupakan faktor yang membantu pembentukan
hukum. Sumber hukum formal merupakan tempat
memperoleh kekuatan hukum. Ini berkaitan dengan
bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan hukum
formal itu berlaku. Yang diakui umum sebagai hukum
formal ialah undang-undang, perjanjian antar Negara,
yurisprudensi, dan kebiasaan.
Sumber hukum jaminan dapat dibagi menjadi 2
macam, yaitu sumber hukum jaminan tertulis dan tidak
32
Ibid., hal 9.

41
tertulis. Yang dimaksud dengan hukum jaminan tertulis
adalah tempat ditemukannya kaidah-kaidah hukum
jaminan yang berasal dari sumber tertulis. Umunya
sumber hukum jaminan tertulis terdapat didalam
peraturan perundang-undangan, traktat dan
yurisprudensi. Sedangkan sumber hukum jaminan tidak
tertulis adalah tempat ditemukannya kaidah hukum
jaminan yang berasal sumber tidak tertulis, seperti
terdapat dalam hukum kebiasaan. Adapun yang menjadi
sumber hukum jaminan tertulis disajikan berikut ini :
1. Buku II KUHPerdata (BW)
KUH Perdata terdiri atas 4 buku, yaitu Buku I
tentang orang. Buku II tentang Benda, Buku III
tentang perikatan, Buku IV tentang Pembuktian dan
Kadaluarsa. Jaminan-jaminan yang masih berlaku
dalam Buku II KUHPerdata hanyalah gadai dan
hipotek kapal laut, sedangkan hipotek atas tanah tidak
berlaku lagi karena telah diganti oleh Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Gadai
diatur dalam Pasal 1150 sampai dengan 1160

42
KUHPerdata. Sedangkan hipotek diatur dalam Pasal
1162 sampai dengan Pasal 1232 KUHPerdata.
Ketentuan tentang hipotek atas tanah kini sudah
tidak berlaku lagi karena telah diganti oleh Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan, sedangkan ketentuan yang masih
berlaku, hanya ketentuan-ketentuan yang berkaitan
dengan hipotek kapal laut, yang beratnya 20m³ ke
atas.
2. KUHDagang
KUHDagang diatur dalam Stb. 1847 Nomor 23
KUHDagang terdiri atas 2 buku, yaitu Buku I tentang
Dagang pada umumnya dan Buku II tentang Hak-hak
dan Kewajiban yang timbul dalam pelayaran.
Sedangkan jumlah pasalnya sebanyak 754 pasal.
Pasal- pasal yang erat kaitan dengan jaminan adalah
pasal-pasal yang berkaitan dengan hipotek kapal laut.
Pasal-pasal yang mengatur hipotek kapal laut adalah
Pasal 314 sampai dengan 316 KUHDagang

43
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Ketentuan-ketentuan yang erat kaitannya dengan
jaminan adalah Pasal 51 dan Pasal 57 UUPA. Pasal 51
UUPA berbunyi “ Hak tanggungan yang dapat
dibebankan pada hak milik, hak guna usaha dan hak
guna bangunan tersebut dalam Pasal 25,33, dan 39
diatur dengan Undang-Undang “. Sedangkan dalam
Pasal 57 UUPA berbunyi “Selama Undang-Undang
mengenai Hak Tanggungan tersebut dalam Pasal 51
belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan-
ketentuan mengenai hypotheek tersebut dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia dan
Credietverband tersebut dalam S.1908-542
sebagaimana telah diubah dengan S.1937-190.

4. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak


Tanggungan Atas Tanah beserta benda-benda yang
berkaitan dengan tanah.
Undang-Undang ini mencabut berlakunya
hipotek sebagaimana diatur dalam Buku II
44
KUHperdata, sepanjang mengenai tanah dan ketentuan
mengenai credietverband dalam Stb. 1908-542
sebagaimana telah diubah dalam Stb. 1937-190.
Tujuan pencabutan ketentuan yang tercantum dalam
Buku II KUHPerdata dan Stb. 1937-190 adalah tidak
sesuai lagi dengan kebutuhan kegiatan perkreditan,
sehubungan dengan perkembangan tata perekonomian
Indonesia.

5. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang


Jaminan Fidusia
Undang-Undang ini terdiri atas 7 bab dan 41
Pasal. Hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang ini
meliputi pembebanan, pendaftaran, pengalihan, dan
hapusnya jaminan fidusia, hak mendahulu, dan
eksekusi jaminan fidusia.
6. Pasal 49 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992
tentang pelayaran.
Pasal 49 Undang-Undang nomor 21 Tahun 192
tentang pelayaran berbunyi:

45
“(1) Kapal yang telah didaftarkan dapat dibebani
hipotek; (2) Ketentuan sebagaimana yang dimaksud
dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah.”
Peraturan Pemerintah tentang penjabaran pasal
ini sampai saat ini belum ada, namun didalam
penjelasan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992
ditentukan substansi yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah tersebut, yang meliputi syarat dan tata cara
pembebanan hipotek atas kapal dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Traktat adalah suatu perjanjian yang dibuat antara
dua Negara atau lebih dalam pembebanan jaminan,
seperti pembebanan dalam permohonan untuk
mendapatkan kredit sindikasi, sumber kredit sindikasi
tersebut berasal dari sumber domestic dan asing.
Yurisprudensi atau putusan pengadilan merupakan
produk yudikatif, yang berisi kaidah atau peraturan
hukum yang mengikat pihak-pihak yang berperkara,
terutama dalam perkara pembebanan jaminan.
Yurisprudensi yang berkaitan dengan jaminan ini,
46
khususnya jaiminan fidusia adalah Arrest Hoge Raad
1929, tertanggal 25 Januari 1929 mengakui sahnya
figure fidusia. Arrest ini terkenal dengan
Bierbrouwerij Arrest. Pertimbangan yang diberikan
oleh Hoge Raad lebih menekankan pada segi
hukumnya daripada segi kemasyarkatannya. Hoge
Raad berpendapat perjanjian fidusia bukanlah
perjanjian gadai dan tidak terjadi penyimpangan
hukum. Di Indonesia, lembaga fidusia lahir
berdasarkan Arrest Hoggerechtshof 18 Agustus 1932
(BPM-Clynet Arrest). Lahirnya Arrest ini karena
pengaruh asas konkordansi. Lahirnya Arrest ini
dipengaruhi oleh kebutuhan-kebutuhan yang
mendesak dari pengusaha kecil, pengecer, pedagang
menengah, pedagang grosir yang memerlukan fasilitas
kredit untuk usahanya. Perkembangan perundang-
undangan fidusia sangat lambat, karena undang-
undang yang mengatur tentang jaminan fidusia baru
diundangkan pada tahun 1999, berkenaan dengan
bergulirnya era reformasi. Kedua yurisprudensi ini
dijadikan dasar hukum dalam pembebanan fidusia di
47
Indonesia maupun di negeri Belanda. Tetapi dengan
adanya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999
tentang Jaminan Fidusia, maka kedua Yurisprudensi
tersebut sebagai pedoman dalam pembebanan jaminan
fidusia33.

B.ASAS-ASAS HUKUM JAMINAN

Asas-asas hukum jaminan berdasarkan hasil analisis


terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang jaminan maupun kajian terhadap berbagai
Eteratur tentang jaminan, maka ditentukan 5 asas penting
dalam hukum jaminan, sebagaimana dijelaskan sebagai
berikut ini:
a. Asas publicitet, yaitu asas bahwa semua hak, baik hak
tanggungan, hak fidusia, dan hipotek harus didaftarkan.
Pendaftaran ini dimaksudkan supaya pihak ketiga dapat
mengetahui bahwa benda jaminan tersebut sedang
dilakukan pembebanan jaminan. Pendaftaran hak
33
Ibid., hal 14-19.

48
tanggungan di Kantor Badan Pertahanan Nasional
Kabupaten atau Kota, pendaftaran fidusia dilakukan di
Kantor Pendaftaran Fidusia pada Kementerian Hukum
dan Hak Asasi Manusia, sedangkan pendaftaran hipotek
kapal laut dilakukan di depan pejabat pendaftar dan
pencatat balik nama, yaitu syahbandar.
b. Asas Specialitet, yaitu bahwa hak tanggungan, hak
fidusia, dan hipotek hanya dapat dibebankan atas percil
atau atas barang-barang yang sudah terdaftar atas nama
orang tertentu.
c. Asas tak dapat dibagi-bagi, yaitu asas dapat dibaginya
hutang tidak dapat mengakibatkan dapat dibaginya hak
tanggungan, hak fidusia, hipotek, dan hak gadai
walaupun telah dilakukan pembayaran sebagian.
d. Asas Inbezittelling, yaitu barang jaminan (gadai) harus
berada pada penerima gadai,
e. Asas horizontal, yaitu bangunan dan tanah bukan
merupakan satu kesatuan. Hal ini dapat dilihat dalam
penggunaan hak pakai, baik tanah Negara maupun hak
tanah hak milik. Bangunannya milik dari yang

49
bersangkutan atau pemberi tanggungan tetapi tanahnya
milik orang lain, berdasarkan hak pakai34.

Tujuan Hukum Jaminan adalah melindungi kedudukan


kreditur dalam menjalankan aktifitasnya. Begitu pula pada
Jaminan Perorangan, hadirnya penjamin (personal
guarantor) semata-mata untuk kepentingan kreditur dan
Undang-Undang telah tegas mengatur perlindungan hukum
kepada kreditur sebagai pemberi kredit yang biasanya
dalam skala yang cukup besar dan penuh resiko. Oleh
karenanya, seseorang yang dengan sadar meletakkan
dirinya dalam posisi penanggung harus benar-benar
mengetahui apa saja yang menjadi akibat hukum serta
kemungkinan terburuk yang akan timbul terhadap dirinya
termasuk menjadi pailit sehubungan dengan kedudukannya
menjadi personal guarantor35.

Perjanjian kebendaan dapat dibedakan menjadi 2 macam,


yaitu :

34
Ibid., hal 9 dan 10.
35
Anonim, Pelaksanaan Perjanjian Utang-Piutang Dengan Jaminan fidusia Dalam Praktek Di Perum Pegadaian
Branta Kabupaten Pamekasan, http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/24921/5/Abstract.pdf, 20 Juni
2012, hal 5.

50
1. Perjanjian pokok merupakan perjanjian untuk
mendapatkan fasilitas kredit dari lembaga perbankan
atau lembaga keuangan nonbank. Rutten berpendapat
bahwa perjanjian pokok adalah perjanjian-perjanjian,
yang untuk adanya mempunyai dasar yang mandiri
(welkezelftanding een redden van bestaan recht). Contoh
perjanjian pokok adalah perjanjian kredit bank. Kredit
adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat
disamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan
pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk
melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu
dengan pemberian bunga (Pasal 1 ayat (1) Undang-
Undang nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan. Unsur-unsur kredit, meliputi:
a. Penyedian uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu;
b. Didasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam
meminjam;
c. Para pihaknya, yaitu bank dan pihak lain (nasabah);
51
d. Kewajiban peminjam, yaitu untuk melunasi
hutangnya;
e. Jangka waktu; dan
f. Adanya bunga.
2. Perjanjian accesoir adalah perjanjian yang bersifat
tambahan dan dikaitkan dengan perjanjian pokok.
Contoh perjanjian accesoir ini adalah perjanjian
pembebanan jaminan, seperti perjanjian gadai,
tanggungan, dan fidusia. Jadi, sifat perjanjian jaminan
adalah perjanjian accesoir, yaitu mengikuti perjanjian
pokok36.

C.MACAM-MACAM JAMINAN

Jaminan dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu:


1. Jaminan materiil (kebendaan), yaitu jaminan kebendaan
mempunyai ciri-ciri “kebendaan” dalam arti memberikan
hak mendahului atas benda-benda tertentu dan mepunyai
sifat melekat dan mengikuti benda yang bersangkutan
36
Salim HS, Op.Cit., hal 6 dan 7.

52
2. Jaminan imateriil (perorangan ), yaitu jaminan
perorangan tidak memberikan hak mendahului atas
benda-benda tertentu, tetapi hanya dijamin oleh harta
kekayaan seseorang lewat orang yang menjamin
pemenuhan perikatan yang bersangkutan37.

D.MACAM-MACAM LEMBAGA JAMINAN

1. GADAI

Gadai berasal dari terjemahan dari kata pand (Bahasa


Belanda)atau pledge atau pawn (Bahasa Inggris). Pasal 1150
KUHPerdata gadai merupakan suatu hak yang diperoleh
kreditur atas suatu barang bergerak yang diserahkan
kepadanya oleh debitur atau oleh kuasanya, sebagai jaminan
atas utangnya dan yang memberi wewenang kepada kreditur
untuk mengambil pelunasan piutangnya dari barang itu
dengan mendahului kreditur-kreditur lain dengan
pengecualian biaya penjualan sebagai pelaksanaan putusan
atas tuntutan mengenai kepemilikan atau penguasaan, dan
37
Ibid.,hal 23.

53
biaya penyelamatan barang itu, yang dikeluarkan setelah
barang itu diserahkan sebagai gadai dan yang harus
didahulukan. Gadai dalam Pasal 1150 ini sangat luas, tidak
hanya mengatur tentang pembebanan jaminan atas benda
bergerak, tetapi juga mengatur tentang kewenangan kreditur
untuk mengambil pelunasannya dan mengatur eksekusi
barang gadai, apabila debitur lalai dalam melaksanakan
kewajibannya.

Artikel 1196 vv, titel 19 Buku III NBW bahwa gadai


merupakan hak kebendaan atas barang bergerak untuk
mengambil pelunasan dari barang tersebut secara
didahulukan. Gadai dalam artikel ini cukup singkat, karena
yang ditonjolkan adalah tentang hak kebendaan atas barang
bergerak untuk jaminan suatu piutang38.

Subjek gadai terdiri atas dua pihak, yaitu pemberi gadai


(pandgever) dan penerima gadai (pendnemer). Pandgever,
yaitu orang atau badan hukum yang memberikan jaminan
dalam bentuk benda bergerak selaku gadai kepada penerima

38
Ibid., hal 33 dan 34.

54
gadai untuk pinjaman uang yang diberikan kepadanya atau
pihak ketiga. Unsur-unsur pemberi gadai, yaitu:

1. Orang atau badan hukum


2. Memberikan jaminan berupa benda bergerak
3. Kepada penerima gadai
4. Adanya pinjaman uang

Obyek gadai ini adalah benda bergerak. Benda bergerak ini


dibagi menjadi dua macam, yaitu benda bergerak berwujud dan
tidak berwujud. Benda bergerak berwujud adalah benda yang
dapat berpindah atau dipindahkan. Yang termasuk dalam benda
bergerak berwujud, seperti emas, arloji, sepeda motor, dan lain-
lain. Benda bergerak tidak berwujud, seperti piutang atas bawah,
piutang atas tunjuk, hak memungut hasil atas benda dan atas
piutang39.

Dasar hukum gadai dapat dilihat pada peraturan perundang-


undangan berikut ini.

1. Pasal 1150 KUHPerdata sampai dengan pasal 1160


Buku II KUHPerdata
2. Artikel-1196 vv, titel 19 BUKU III NBW
39
Ibid., hal 36-38.

55
3. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1969 tentang
Perusahaan Jawatan Pegadaian
4. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1970 tentang
Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1969
tentang Perusahaan Jawatan Pegadaian, dan
5. Perturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000 tentang
Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian.
6. PP No 51 thn 2011 persero Gadai

Di Indonesia lembaga yang ditunjuk untuk menerima dan


menyalurkan kredit berdasarkan hukum gadai adalah lembaga
pegadaian.

2. Jaminan Fidusia

Jaminan fidusia dalam Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang


Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia merupakan hak
jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang
tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan
yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana yang
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang
Hak tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi
fidusia, sebagai anggunan bagi pelunasan utang tertentu, yang
56
memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima
fidusia terhadap kreditur lainnya40.

Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 42 Tahun


1999 tentang jaminan fidusia adalah benda bergerak yang terdiri
dari benda dalam persediaan (inventory), benda dagangan,
piutang, peralatan mesin, dan kendaraan bemotor. Tetapi dengan
berlakunya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia, maka objek jaminan fidusia diberikan
pengertian yang luas. Berdasarkan undang-undang ini objek
jaminan fidusia dibagi 2 macam, yaitu:

1. Benda bergerak, baik yang berwujud maupun yang


tidak berwujud, dan
2. Benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak
dibebani hak tanggungan.

Subjek dari fidusia adalah pemberi dan penerima fidusia.


Pemberi fidusia adalah orang perorangan atau korporasi pemilik
benda yang menjadi objek jaminan fidusia, sedangkan penerima
fidusia adalah orang perorangan atau korporasi yang mempunyai
piutang yang pembayarannya dijamin dengan jaminan fidusia.
40
Ibid., hal 57.

57
Pembebanan jaminan fidusia diatur dalam Pasal 4 sampai
dengan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang
jaminan fidusia. Sifat jaminan fidusia adalah perjanjian ikutan
(accesoir) dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan
kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi41.

Dasar hukum berlakunya fidusia, dapat disajikan berikut ini :

1. Arrest Hoge Raad 1929, tertanggal 25 januari 1929


tentang Bierbrouwerij Arrest (Negeri Belanda)
2. Arrest Hoggerechtshof 18 Agustus 1932 tentang
BPM-Clynet Arrest (Indonesia), dan
3. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia.

Di dalam konsiderannya, telah disebutkan bahwa


pertimbangan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 42
Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia adalah:

1. Bahwa kebutuhan yang sangat besar dan terus


meningkat bagi dunia usaha atas tersedianya dana,
perlu diimbangi dengan adanya ketentuan hukum yang

41
Ibid., hal 64 dan 65.

58
jelas dan lengkap yang mengatur mengenai lembaga
jaminan.
2. Bahwa jaminan fidusia sebagai salah satu bentuk
lembaga jaminan masih didasarkan pada yurisprudensi
dan belum diatur dalam peraturan perundang-
undangan secara lengkap dan komprehensif.
3. Bahwa untuk memenuhi kebutuhan hukum yang dapat
lebih memacu pembanngunan nasional dan untuk
menjamin kepastian hukum serta mampu memberikan
perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan,
maka perlu dibentuk ketentuan yang lengkap
mengenai jaminan fidusia dan jaminan tersebut perlu
didaftarkan di kantor Pendaftaran Fidusia
4. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana yang
dimaksud dalam huruf a, b, dan c dipandang perlu
membentuk Undang-Undang Jaminan Fidusia.

Selanjutnya dalam penjelasannya disebutkan maksud


ditetapkan Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia adalah:

59
1. Menampung kebutuhan masyarakat menjgenai
pengaturan jaminan fidusia sebagai salah satu sarana
untuk membantu kegiatan usaha dan untuk
memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang
berkepentingan.
2. Memberikan kemudahan bagi para pihak yang
menggunakannya khususnya bagi pemberi fidusia.

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 terdiri atas 8 bab


dan 42 pasal. Hal-hal yang diatur dalam undang-undang ini,
meliputi hal berikut ini:

1. Ketentuan Umum (Pasal 1)


Didalam pasal ini diatur tentang pengertian fidusia,
jaminan fidusia, piutang, benda, pemberi fidusia,
penerima fidusia, utang, kreditur, debitur, dan orang,
2. Ruang lingkup (Pasal 2 sampai dengan Pasal 3)
Undang-undang ini berlaku terhadap setiap perjanjian
yang bertujuan untuk membebani benda dengan
jaminan fidusia.

60
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tidak berlaku
terhadap :
a. Hak Tanggungan yang berkaitan dengan tanah dan
bengunan, sepanjang peraturan perundang-
undangan yang berlaku menentukan jaminan atas
benda wajib didaftar.
b. Hipotek atas kapal laut yang terdaftar dengan isi
kotor berukuran 20m³ atau lebih.
c. Hipotek atas pesawat terbang, dan
d. Gadai (Pasal 3 undang-Undang Nomor 42 Tahun
1999 tentang Jaminan Fidusia).
3. Pembebanan, pendaftaran, pengalihan, dan hapusnya
jaminan fidusia (Pasal 4 sampai dengan Pasal 26
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999),
4. Hak mendahului (Pasal 27 sampai dengan Pasal 28
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999),
5. Eksekusi jaminan fidusia (Pasal 29 sampai dengan
Pasal 34 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999),
6. Ketentuan Pidana (Pasal 35 sampai dengan Pasal 36
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999),

61
7. Ketentuan Peralihan (Pasal 37 sampai dengan Pasal 38
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999),
8. Ketentuan Penutup (Pasal 39 sampai dengan PAsal 41
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999).42

3. HAK TANGGUNGAN

Hak tanggungan dalam Pasal 1 ayat q Undang-Undang


Nomor 4 Tahun 1996 merupakan hak jaminan yang
dibebankan pada ha katas tanah sebagaimana yang
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturran Dasar Pokok pokok Agraria berikut atau
tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan hutang tertentu
yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada
kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya.43

Menurut Budi Harsono hak tanggungan merupakan


penguasaan ha katas tanah, berisi kewenangan bagi kreditur
42
Ibid., hal 60 dan 64.
43
Ibid., hal 95.

62
untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dijadikan
agunan. Tetapi bukan untuk dikuasai secara fisik dan
digunakan, melainkan untuk menjualnya jika debitur cedera
janji dan mengambil hasilnya seluruhnya atau sebagian
sebagai pembayaran lunas hutang debitur kepadanya44.

Dalam Undang-Undang hak tanggungan ditentukan


juga suatu asas bahwa objek hak tanggungan tidak boleh
diperjanjikan untuk dimiliki oleh pemegang hak
tanggungan bila pemberi hak tanggungan cedera janji.
Apabila hal itu dicantumkan, maka perjanjian seperti itu
batal demi hukum. Subjek hak tanggungan diatur dalam
Pasal 8 sampai dengan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Subjek hukum
dalam pembebanan hak tanggungan adalah pemberi hak
tanggungan dan pemegang hak tanggungan. Pemberi hak
tanggungan dapat perorangan atau badan hukum,
pemegang hak tanggungan terdiri atas perorangan atau
badan hukum.

44
Ibid., hal 97.

63
Pada dasarnya tidak setiap hak atas tanah dapat
dijadikan jaminan utang, tetapi ha katas tanah yang dapat
dijadikan jaminan harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:

1. Dapat dinilai dengan uang, karena utang yang


dijamin berupa uang,
2. Termasuk hak yang didaftar dalam daftar umum,
karena harus memenuhi syarat publisitas,
3. Mempunyai sifat dapat dipindah tangankan, karena
apabila debitur cedera janji benda yang dijadikan
jaminan utang akan dijual dimuka umum, dan
4. Memerlukan penunjukkan dengan Undang-Undang.

Didalam KUHPerdata dan ketentuan mengenai


credietverband dalam staatsblad 1908-542 sebagaimana
telah diubah dengan staatsblad 1937-190, telah diatur
tentang objek hipotek credietverband. Objek hipotek dalam
credietverband meliputi :

1. Hak milik (eigendom)


2. Hak Guna Bangunan (HGB)
3. Hak Guna Usaha (HGU).
64
Ada lima jenis hak atas tanah yang dapat dijaminkan
dengan hak tanggungan, yaitu:

1. Hak Milik,
2. Hak Guna Usaha,
3. Hak Guna Bangunan,
4. Hak Pakai, baik hak milik ataupun hak atas Negara,
5. Hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan
hasil karya yang telah ada atau aka nada merupakan
satu kesatuan dengan tanah tersebut45.

Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 42


Tahun 1999 tentang jaminan fidusia maka peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang pembebanan
ha katas tanah adalah Bab 21 Buku II KUHPerdata, yang
berkaitan dengan hipotek dan credietverband dan staatsblad
1908-542 sebagaimana telah diubah dengan staatsblad
1937-190. Kedua ketentuan tersebut sudah tidak berlaku
lagi, karena tidak sesuai lagi dengan kebutuhan kegiatan
perkreditan di Indonesia. Ketidaksesuaian ini karena pada
undang-undang lama yang dapat dijadikan objek hipotek

45
Ibid., hal 103 dan 105

65
dan credietverband hanyalah hak milik, hak guna usaha,
dan hak guna bangunan, sedangkan pada Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1999, yang menjadi objek hak tanggungan
tidak hanya ketiga hak atas tanah tersebut, tetapi ditambah
dengan hak pakai dan ha katas tanah berikut bangunan,
tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau aka nada
merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dan
merupakan hak milik pemegang ha katas tanah yang
pembebanannya dengan tegas dan dinyatakan didalam akta
pemberian ha katas tanah yang bersangkutan.

Lahirnya Undang-Undang tentang hak tanggungan


karena adanya perintah dalam Pasal 51 UUPA berbunyi :

“Hak tanggungan yang dapat dibebankan pada hak


milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan
tersebut dalam Pasal 25, Pasal 33 dan Pasal 39 diatur
dalam Undang-Undang.”

Tetapi dalam Pasal 57 UUPA disebutkan bahwa


selama Undang-Undang hak tanggungan belum terbentuk,
maka digunakan ketentuan tentang hipotek sebagaimana
yang diatur dalam KUHPerdata dan Credietverband.
66
Perintah Pasal 51 UUPa baru terwujud setelah menunggu
setelah 36 tahun. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
terdiri atas 11 bab dan 31 Pasal. Ada 4 pertimbangan
dibentuknya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, yaitu:

1. Bahwa bertambah meningkatnya pembangunan


nasional yang bertitik berat pada bidang ekonomi,
dibutuhkan penyediaan dana yang cukup besar,
sehingga diperlukan lembaga hak jaminan yang
kuat dan mampu memberi kepastian hukum bagi
pihak-pihak yang berkepentingan, yang dapat
mendorong peningkatan partisipasi masyarakat
dalam pembangunan untuk mewujudkanmasyarakat
yang sejahtera, adil, dan makmur berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945,
2. Bahwa sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 5
tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria sampai dengan saat ini, ketentuan yang
lengkap mengenai hak tanggungan sebagai lembaga
hak jaminan yang dapat dibebankan atas tanah

67
berikut atau tidak berikut benda-benda yang
berkaitan dengan tanah, belum terbentuk,
3. Bahwa ketentuan mengenai hypotheek sebagaimana
yang diatur dalam Buku II KUHPerdata Indonesia
sepanjang mengenai tanah, dan ketentuan mengenai
Credietverband dalam staatsblad 1908-542
sebagaimana telah diubah dengan staatsblad 1937-
190, yang berdasarkan Pasal 57 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, masih diberlakukan
sementara sampai dengan terbentuknya Undang-
Undang tentang Hak Tanggungan, dipandang tidak
sesuai lagi denag kebutuhan kegiatan perkreditan,
sehubungan dengan perkembangan tata ekonomi
Indonesia,
4. Bahwa mengingat perkembangan yang telah dan
akan terjadi bidang pengaturan dan administrasi
hak-hak atas tanah serta untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat banyak, selain hak milik, hak guna
usaha, dan hak guna bangunan yang telah ditunjuk
sebagai objek hak tanggungan oleh Undang-Undang
68
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, hak pakai atas tanah tertentu
yang wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat
dipindah tangankan, perlu juga dimungkinkan untuk
dibebani hak tanggungan,
5. Bahwa terhubung dengan hal-hal tersebut diatas,
perlu dibentuk undang-undang yang mengatur hak
tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang
berkaitan dengan tanah, sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,
sekaligus mewujudkan unifikasi Hukum Tanah
Nasional

Hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4


Tahun 1996, adalah meliputi :

1. Ketentuan umum (Pasal 1 sampai dengan Pasal 2


Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996)
2. Objek hak tanggungan (Pasal 3 sampai dengan
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996)

69
3. Pemberi dan pemegang Hak Tanggungan (Pasal 8
sampai dengan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996)
4. Tata cara pemberian, Pendaftaran, peralihan, dan
hapusnya hak tanggungan (Pasal 10 sampai dengan
pasal 19 Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996)
5. Eksekusi Hak Tanggungan ( Pasal 20 sampai
dengan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1996)
6. Pencoretan Hak Tanggungan (Pasal 22 Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1996)
7. Sanksi Administrasi (Pasal 23 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996)
8. Ketentuan Peralihan (Pasal 24 sampai dengan Pasal
26 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996)
9. Ketentuan Penutup (Pasal 27 sampai dengan 31
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996)

Keberadaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996


mengakhiri dualism hukum yang berlaku dalam
pembebanan ha katas tanah. Secara formal pembebanan

70
hak atas tanah berlaku ketentuan-ketentuan yang terdapat
dalam UUPA tetapi secara materiil berlaku ketentuan-
ketentuan yang tercantum dalam bab 21 Buku II
KUHPerdata dan Credietverband46.

4. HIPOTEK KAPAL LAUT

Hipotek dalam Pasal 1162 KUHPerdata merupakan


suatu hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak , untuk
mengambil penggantian daripadanya bagi pelunasan bagi
satu perikatan. Menurut Vollmar hipotek merupakan
sebuah hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak tidak
bermaksud untuk memberikan orang yang berhak
(pemegang hipotek) sesuatu nikmat dari suatu benda, tetapi
ia bermaksud memberikan jaminan belaka bagi
pelunasansebuah hutang denhgan dilebih dahulukan.

Kapal dalam Pasal 49 Undang-Undang No.21


Tahun1992 tentang Pelayaran merupakan kendaraan air
dengan bentuk dan jenis apapun, yang digerakkan dengan
tenaga mekanik, tenaga angina atau ditunda, termasuk
kendaraan yang berdaya dukung dinamis, kendaraan
46
Ibid., hal 98 dan 102.

71
dibawah permukaaan laut, serta alat apung dan bangunan
yang terapung yang tidak berpindah-pindah.

Hipotek kapal laut merupakan hak kebendaan atas


kapal yang dibukukan atau didaftarkan (biasanya dengan isi
kotor diatas 20m³) diberikan dengan akta otentik, guna
menjamin tagihan hutang. (Algra, 1983).

Subjek dan objek hipotek kapal laut. Ada dua pihak


yang terkait dalam perjanjian pembebanan hipotek kapal
laut, yaitu pemberi hipotek (hypotheekgeveer) dan
penerima hipotek. Pemberi hipotek adalah mereka yang
sebagai jaminan memberikan suatu hak kebendaan atau
zakelijke recht (Hipotek), atas bendanya yang tidak
bergerak, biasanya mereka mengadakan suatu utang yang
terikat pada hipotek tetapi hipotek atas beban pihak ketiga.
Penerima hipotek disebut juga
hypotheekbank,hypotheekhouder atau hypotheeknemer.
Hypotheekhouder atau hypotheeknemer, yaitu pihak yang
menerima hipotek, pihak yang meminjamkan uang dibawah
ikatan hipotek.biasanya yang menerima hipotek ini adalah
lembaga perbankan dan atau lembaga keuangan non Bank.

72
Hypotheekbank adalah lembaga kredit dengan
jaminan tanah, bank yang khusus memberikan
pinjaman uang untuk benda tidak bergerak, kapal
laut, kapal terbang, dan dari segi lain mengeluarkan
surat-surat gadai. Objek hipotek diatur Pasal 1164
KUHPerdata. Objek hipotek, yaitu:
1. Benda-benda tak bergerak yang dapat dipindah
tangankan beserta segala perlengkapannya.
2. Hak pakai hasil atas benda-benda tersebut beserta
segala perlengkapannya.
3. Hak numpang karang dan hak usaha.
4. Bunga tanah, baik yang dibayar dengan uang
maupun yang harus dibayar dengan hasil tanah.
5. Bunga seperti semula.
6. Pasar-pasar yang diakui oleh pemerintah, beserta
hak-hak asli merupakan yang melekat padanya.

Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun


1996 tentang Hak Tanggungan, maka hipotek atas tanah
menjadi tak berlaku lagi47.

47
Ibid., hal 200 dan 201

73
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
hipotek kapal laut dapat dilihat pada perturan perundang-
undangan berikut ini:

1. Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232


KUHPerdata. Didalam berbagai ketentuan itu
diatur tentang :
a. Ketentuan-ketentuan umum (Pasal 1162 s/d
Pasal 1178 KUHPerdata),
b. Pendaftaran Hipotek dan bentuk pendaftaran
(Pasal 1179 s/d Pasal 1197 KUHPerdata.
c. Pencoretan pendaftaran (Pasal 1195 s/d Pasal
1197 KUHPerdata).
d. Akibat hipotek terhadap pihak ketiga yang
menguasai barang yang dibebani (Pasal 1198
s/d Pasal 1208 KUHPerdata).
e. Hapusnya hipotek (Pasal 1209 s/d Pasal 1220
KUHPerdata).
f. Pegawai-pegawai yang ditugaskan menyimpan
hipotek, tanggungjawab mereka hal

74
diketahuinya daftar-daftar oleh masyarakat
(Pasal 1221 s/d Pasal 1232 KUHPerdata).

Ketentuan hipotek atas tanah, kini sudah tidak berlaku


lagi, karena diganti oleh Undang-undang Nomor 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan, sedangkan ketentuan yang
masih berlaku hanya ketentuan-ketentuan yang berkaitan
dengan hipotek kapal laut, yang beratnya 20m³ keatas.

2. Pasal 314 s/d Pasal 316 KUHD. Pasal 314


KUHD berbunyi :
“Kapal –kapal Indonesia yang isi kotornya
paling sedikit 20m³ dapat dibukukan dalam
register kapal menurut peraturan yang diberikan
dengan ordonansi tersendiri”.
Inti pasal ini bahwa kapal yang beratnya 20m³
keatas dapat dibukukan. Pasal 315 KUHD
mengatur tentang urutan tingkat antara hipotek-
hipotek.
Pasal 315 KUHD berbunyi :
“Urutan tingkat antara hipotek-hipotek
ditentukan oleh hari pendaftaran nya. Hipotek

75
yang didaftar pada satu hari yang sama
mempunyai tingkatan yang sama”.

Pasal 316 KUHD mengatur piutang yang


diberikan hak mendahului atas kapal. Piutang-
piutang yang didahulukan itu, antara lain :
a. Biaya sita lelang;
b. Tagihan Nakhoda dan Anak Buah Kapal
(ABK) yang timbul dari perjanjian perburuhan,
selama mereka bekerja dalam dinas kapal itu;
c. Upah pertolongan, uang pandu, biaya rambu,
dan biaya pelabuhan, dan biaya pelayaran lain-
lain; dan
d. Tagihan karena penubrukan;
e. Artikel 1208 s/d artikel 1268 NBW Belanda;
f. Pasal 49 Undang-undang Nomor 21 Tahun
1992 tentang Pelayaran.

Pasal 49 Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang


Pelayaran, berbunyi :

76
1. Kapal yang telah didaftarkan dapat dibebani
hipotek;
2. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.

Peraturan pemerintah tentang penjabaran pasal ini


sampai saat ini belum ada, namun didalam
penjelasan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992
ditentukan substansi yang diatur dalam peraturan
pemerintah tersebut. Hal-hal yang diatur dalam
peraturan pemerintah mengenai pembebanan
hipotek. Sedangkan pelaksanaan pembebanan
hipotek atas kapal dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undang48.

4. Jaminan Perorangan (Borgtocht)


Istilah jaminan perorangan berasal dari kata
borgtocht, ada juga yang menyebutkan dengan
istilah jaminan imateriil. Menurut Sri Soedewi
Masjchoen Sofwan, jaminan perorangan
48
Ibid. hal, 198 dan 200.

77
merupakan jaminan yang menimbulkan hubungan
langsung pada perorangan tertentu, hanya dapat
dipertahankan terhadap debitur tertentu, terhadap
harta, kekayaan debitur umumnya.

Menurut Soebekti, jaminan perorangan merupakan


suatu perjanjian antara seorang berpiutang atau kreditur
dengan seorang ketiga, yang menjamin dipenuhinya
kewajiban si berhutang atau debitur. Ia bahkan dapat
diadakan diluar (tanpa) si berhutang tersebut49.

Dasar hukum Jaminan Perorangan penanggungan


utang adalah:
a. Perjanjian penanggungan utang diatur didalam
Pasal 1820 s/d Pasal 1850 KUHPerdata. Yang
diartikan dengan penanggungan adalah:
“Suatu Perjanjian, dimana pihak ketiga, demi
kepentingan kreditur, mengikatkan dirinya untuk
memenuhi perikatan debitur, bila debitur itu tidak

49
Ibid. hal. 217 dan 218.

78
memenuhi perikatannya”.(Pasal 1820
KUHPerdata).
b. Pada prinsipnya, penanggung utang tidak wajib
membayar utang debitur kepada kreditur, kecuali
jika debitur lalai membayar utangnya. Untuk
membayar utang debitur tersebut, maka barang
kepunyaan debitur harus disita atau dijual terlebih dahulu untuk
melunasi utangnya. (Pasal 1831 KUHPerdata).
c. Hapusnya penanggungan utang diatur dalam pasal 1845 s/d Pasal 1850
KUHPerdata. Didalam pasal 1845 KUHPerdata disebutkan bahwa
perikatan yang timbul karena penanggungan, hapus karena seba-sebab
yang sama dengan yang menyebabkan berakhirnya perikatan lainnya.
d. Pasal 1381 KUHPerdata ditentukan 10 cara berakhirnya penanggungan
utang, yaitu pembayaran; penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan
penyimpanan atau penitipan; pembaruan utang; kompensasi; pencampuran
utang; pembebasan utang; musnahnya barang yang terutang; kebatalan
atau pembatalan; dan berlakunya syarat pembatalan50.

E. Fidusia

Fidusia menurut asal katanya dari bahasa Romawi “Fides” yang bearti kepercayaan.
Fidusia merupakan istilah yang sudah lama dikenal dalam bahasa Indonesia. Begitu pula
istilah ini digunakan dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia. Dalam terminology Belanda, istilah ini sering disebut secara lengkap yaitu :
Fiduciare Eigendom Overdracht (FEO), yaitu penyerahan hak milik secara kepercayaan.
Sedangkan istilah dalam bahasa Inggris disebut Fiduciary Transfer of Ownership. Fidusia

50
Ibid. hal.219 dan 222.

79
diatur dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia 51. Fidusia
adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan
bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan
pemilik benda. Fidusia adalah hak kebendaan yang memberikan hak kepada kreditur
pemegang fidusia untuk dalam debitur cidera janji mengambil pelunasan piutangnya
terlebih dahulu dari hasil penjualan dari benda yang difidusiakan52.

a) Sumber Hukum Fidusia:


1. Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran
Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia53.
b) Asas-asas Fidusia
Hukum Jaminan Fidusia mempunyai sifat dan asas, sifat-sifat tersebut antara
lain yaitu jaminan kebendaan dan perjanjian ikutan (accesoir), sedangkan asas-
asas jaminan fidusia antara lain sebagai berikut :
1. Asas Hak mendahului dimiliki oleh Kreditur;
2. Asas Obyek Jaminan Fidusia yang mengikuti bendanta;
3. Asas Jaminan Fidusia adalah perjanjian ikutan;
4. Asas Obyek Jaminan Fidusia terhadap utang kontijen;
5. Asas Obyek Jaminan Fidusia pada benda yang akan ada;
6. Asas Obyek Jaminan Fidusia diatas tanah milik orang lain;
7. Asas Obyek Jaminan Fidusia diuraikan lebih terperinci;
8. Asas Pemberi Jaminan Fidusia harus kompeten;
9. Asas Jaminan Fidusia harus didaftarkan;
10. Asas benda yang dijadikan obyek Jaminan Fudisia tidak dapat dimiliki
oleh kreditur;
11. Asas bahwa Jaminan Fidusia mempunyai Hak Prioritas;
12. Asas bahwa Pemberi Fidusia harus beritikad baik;

51
Ibid. hal.55.
52
Ahlan Irsyan Syarif, “Coorporate Finance Perkembangan, Prospek dan Kendalanya ditinjau dari Hukum di
Indonesia”, Makalah disampaikan pada Seminar Sehari Perbankan tentang Aspek Hukum dalam Coorporate
Finance Oleh Perbankan di Indonesia, (Depok, FHUI, 2006), hal. 5.
53
Henny Tanuwijaya,”Hukum Jaminan Fidusia”, http:/hennytanuwijaya.dsen.narotama.ac.id,26 Juni 2012, hal.23.

80
13. Asas bahwa Jaminan Fidusia mudah di Eksekusi54.

c) Obyek Fidusia
Obyek Fidusia adalah benda bergerak baik yang berujud maupun yang
tidak berujud, baik yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar (bahkan yang
belum ada, tetapi kemudian ada atau akan diperoleh) dan benda tidak bergerak
khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan (sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999). Sedangkan benda
adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan baik yang berujud
maupun yang tidak berujud, yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar, yang
bergerak maupun yang tidak bergerak, yang tidak dapat diberi hak tanggungan
atau hipotek55.

d) Pendaftaran Fidusia
Kantor Fidusia menerima pendaftaran benda yang difidusiakan dengan
disertai surat peernyataan pendaftaran, maka kantor pendaftaran fidusia mencatat
jaminan fidusia dalam buku daftar fidusia dengan tanggal yang sama dengan
tanggal penerimaan permohonan pendaftaran dan menerbitkan sertifikat jaminan
fidusia dengan judul Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sehingga sertifikat tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial seperti putusan
Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (Pasal 15 ayat 2
Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999)56.

e) Hapusnya Fidusia
Pada fidusia peralihan hak itu terjadi dengan penyerahan Constitutum
Prossessorium, ialah penyerahan dimana debitur tetap melanjutkan menguasai
benda yang diserahkan (dijaminkan) itu berdasarkan alas hak yang lain.
Hubungan hukum yang lazim terjadi dalam praktek alas hak untuk tetap

54
Anonim,”Hukum Jaminan Fidusia “, http:/s2. Hukum.univ pancasila.ac.id, 26 Juni 2012, hal. 5.
55
Ahlan Irsyan Syarif, Loc.Cit., hal. 5.
56
Ibid. hal. 5.

81
menguasai benda jaminan fidusia tersebut misalnya: tetap menguasai bendanya
berdasarkan pinjam pakai (bruikleen), pnyimpanan barang p(berwaargeving),
perjanjian sewa.
Kemungkinan yang paling besar untuk hapusnya fidusia terjadi karena hapusnya
perutangan pokok yang dijamin dengan fidusia itu. dalam keadaan demikian yang
menjadi persoalan ialah apakah hak milik atas benda tersebut otomatis kembali
kepada debitur tanpa adanya penyerahan khusus, ataukah perlu adanya
penyerahan kembali atau “retro-everdracht” dari hak milik tersebut kepada
debitur. Mengenai ini ada beberapa pendapat. Menurut para pengarang oleh
karena perjanjian fidusia itu dikonstruksikan dengan syarat yang memutus
ontbindendevoorwaarde , maka dengan dipenuhinya peruntangan pokok
perjanjian, otomatis putus dan debitur karena hukum otomatis akan menjadi
pemilik kembali dari benda yang diserahkan. Maka penyerahan kembali atas hak
milik tersebut kepada debitur tidak diperlukan. Hal demikian kiranya sesuai juga
dengan sifat perjanjian fidusia yang dikonstruksikan sebagai perljanjian yang
bersifat accesoir, maka akan memperoleh akibat-akibat hukum tertentu yaitu
akan hapus dengan hapusnya perjanjian pokok, dan akan ikut beralih dengan
beralihnya perutangan pokok akibat adanya cessi, subrogasi tanpa adanya
penyerahan khusus. Kemungkinan lalin untuk hapusnya fidusia ialah karena
musnahnya benda, karena adanya pelepasan hak. Selanjutnya fidusia juga hapus
karena adanya kepailitan dank arena pelaksanaan hak verhaal dalam hal
wanprestasi dari debitur57.

f) Eksekusi Fidusia
Eksekusi Obyek Jaminan Fidusia diatur dalam Bab V Undang-undang Nomor
42 Tahun 1999, dari bunyi Pasal 29 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999, jelas
bahwa dalam hal debitur pemberi fidusia cidera janji, maka kreditur penerima
jaminan fidusia dapat atau berhak menjual obyek jaminan fidusia dengan cara :
i. Mohon eksekusi sertifikat fidusia yang berjudul Demi Keadilan
Berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa sebagaimana dimaksud dalam

57
Sri Soedewi Masjchun Sofwan, Op.Cit., hal. 41.

82
Pasal 15 ayat 2 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 kepada Ketua
Pengadilan Negeri yang berwenang;
ii. Menjual obyek jaminan fidusia atas kekuasaan sendiri melalui pelelang
umum serta mengambil pelunasan piutang dari hasil penjualan (Pasal 15
ayat 3);
iii. Menjual Obyek Fidusia dibawah tangan, yang dilakukan berdasarkan
kesepakatan pemberi dan penerima fidusia jika dengan cara ini akan
diperoleh harga tinggi sehingga menguntungkan para pihak.

Pelaksanaan sub iii dilakukan setelah lewat 1 (satu) bulan sejak


dibertahukan secara tertulis kepada pihak-pihak yang kepentingan dan
pengumunan sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar didaerah yang
bersangkutan. Dari uraian jelas bahwa kreditur pemegang fidusia mempunyai:

1. Hak Parate Eksekusi;


2. Hak untuk memohon eksekusi sertifikat fidusia yang berjudul Demi
Keadilan Berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa melalui Pasal 224
HIR kepada Ketua Pengadilan yang berwenang58.

F. Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum


Istilah prestasi dalam hukum perjanjian (dalam bahasa Inggris dsebut dengan
istilah performance) adalah pelaksanaan dari isi perjanjian yang telah dijanjikan menurut
tata cara yang telah disepakati. Istilah Belanda wanprestasi disebut dengan wanprestatie
yang merupakan tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan di dalam perikatan,
baik perikatan yang timbul karena perjanjian maupun perikatan yang timbul karena
undang-undang.
Menurut Subekti59 yang dinamakan wanprestasi adalah apabila si berhutang atau
debitur tidak melakukan apa yang dijanjikan, maka dikatakan ia melakukan wanprestasi,
ia alpa/lalai/ingkar janji, atau ia melanggar perjanjian bila ia melakukan atau berbuat
sesuatu yang tidak boleh dilakukannya.

58
Ahlan Irsyan Syarif, Loc. Cit., hal. 9 dab 10.
59
Subekti, Op.Cit. hal. 45.

83
Menurut hukum Indonesia, modell-model prestasi dari suatu perjanjian adalah
sebagai berikut :
1. Memberikan sesuatu;
2. Berbuat sesuatu;
3. Tidak berbuat sesuatu.

Sedangkan wanpresatasi yang kadang-kadang disebut juga dengan cidera janji


yang merupakan kebalikan dari pengertian prestasi. Dalam bahasa Inggris untuk
wanprestasi ini sering disebut juga default atau nonfulfillment atau breach of contract.
yang dimaksudkan adalah tidak dilaksanakannya suatu prestasi atau kewajiban
sebagaimana mestinya yang telah disepakati bersama seperti yang disebut
dalamperjanjian yang bersangkutan.

Konsekuensi yuridis dari tindakan wanprestasi adalah timbulnya hak dari pihak
yang dirugikan dalam perjanjian tersebut, untuk menuntut ganti kerugian dari pihak yang
telah merugikannya, yaitu pihak yang telah melakukan prestasi tersebut. Wanprestasi
(kelalaian atau kealpaan) seorang debitur dapat berupa empat macam :

1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan melakukannya;


2. Melakukan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
3. Melakukan apa yang dijanjikannya akan tetapi terlambat;
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Didalam kenyataan sukar untuk menentukan saat debitur dikatakan tidak


memenuhi perjanjian, karena sering kali setiap mengadakan perjanjian pihak-pihak tidak
menentukan waktu untuk melaksanakan perjanjian tersebut. Bahkan didalam perjanjian
dimana waktu untuk melaksanakan prestasi itu ditentukan, cidera janji tidak terjadi
dengan sendirinya. Yang mudah untuk menentukan saat debitur tidak memenuhi
perjanjian, ialah pada perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu.

Akibat yang sangat penting dari tidak dipenuhi nya perikatan, ialah bahwa
kreditur dapat minta ganti rugi atas ongkos dan bunga yang dideritanya. Untuk adanya
kewajiban ganti rugi bagi debitur, maka Undang-undang menentukan bahwa debitur
harus terlebih dahulu dinyatakan berada dalam keadaan lalai (ingebrekestelling).

84
Lembaga pernyataan lalai ini adalah merupakan upaya hukum untuk sampai kepada fase,
dimana debitur dinyatakan”ingkar janji” atau wanprestasi.Di dalam hukum perdata
apabila kreditur menuntut adanya pemenuhan, maka lembaga pernyataan lalai tidak
diperlukan. Sebab hak untuk mendapatkan pemenuhan itu sudah ada dalam perikatan itu
sendiri sedangkan hak untuk meminta ganti rugi atau pemutusan, dasarnya ialah sudah
dilakukannya wanprestasi oleh debitur.

Mengenai suatu prestasi yang tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak ini,
dapatlah akibatnya itu kita lihat pada ketentuan Pasal 1267 BW yang menyebutkan :

“Pihak terhadap siapa perrikatan tidak dipenuhi, dapat memilih apakah hal itu
masih dapat dilakukan akan memaksa pihak yang lain untuk memenuhi persetujuan,
ataukah ia akan menuntut pembatalan persetujuan, disertai penggantian biaya, kerugian
dan bunga”.

2 Perbuatan Melawan Hukum


Perbuatan melawan hukum diatur dalam Buku III title 3 Pasal 1365-1380
KUHPerdata, R. Wirjono Prodjodokoro menggunakan istilah “perbuatan melawan
hukum”60. Utrecht memakai istilah “perbuatan yang bertentangan dengan asas-asas
hukum” dan Sudiman Kartohadiprodjo menggunakan istilah “tindakan melawan
hukum”61.
Menurut R. Wirjono Prodjodikoro istilah “perbuatan melanggar hukum” adalah agak
sempit, bahwa yang dimaksud dengan istilah ini tidak hanya perbuatan yang langsung
melanggar hukum. Melainkan juga perbuatan yang secara langsung melanggar peraturan
lain daripada hukum, akan tetapi dapat dikaitkan secara tidak langsung melanggar
hukum62.
Seperti dikatakan oleh R.Wijono Prodjodikoro, sifat yang dimaksudkan dengan istilah
“perbuatan melanggar hukum” ialah bahwa perbuatan itu mengakibatkan kegoncangan

60
R. Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum, (Bandung: Sumur Bandung, 1993), hal 7
61
Sudiman Kartohadiprodjo, Tinjauan Perbuatan Melanggar Hukum, (Bandung: 1991), hal 5
62
R. Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum Dipandang dari Sudut Hukum Perdata. (Bandung: Mandar
Maju,2000) hal 4

85
dalam neraca keseimbangan dari masyarakat. kegoncangan ini hanya terdapat, apabila
peraturan-peraturan hukum dalam suatu masyarakat dilanggar (langsung)63.
Istilah perbuatan melanggar hukum, lengkapnya dapat ditemui dalam Pasal 1365
KUHPerdata, merupakan terjemahan istilah Onrecht Matigedaad, yang dipergunakan
dalam Pasal 1401 BW Belanda, untuk menunjukkan pengertian yang sama. Hal ini
disebabkan karena Pasal 1365 KUHPerdata merupakan terjemahan belaka dari Pasal
1401 BW Belanda, yang lengkapnya berbunyi :
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian
tersebut”.
Onrecht Matigedaad yang dapat dilakukan tepat diterjemahkan dengan “perbuatan
melawan hukum”, sebagai istilah lebih luas jangkauannya daripada hanya terbatas
dibidang perdata saja. Perbuatan melawan hukum mungkin juga dibidang hukum tata
Negara “excess de pouvir” atau pelampuan batas kekuasaan maupun dibidang hukum
administrasi Negara “detournement de povoir” atau penyalahgunaan kekuasaan, maka
khusus dibidang hukum perdata seyogyanyalah bila digunakan yang tidak terlalu luas
yaitu penyelewengan perdata64.
Setelah Pasal 1365 KUHPerdata adalah kurang jelas, karena apakah kelalaian
disini dipergunakan sebagai lawan dari kesengajaan. Jika demikian, maka adanya Pasal
1365 KUHPerdata mencakup baik kesanggupan maupun kelalaian. Jika oleh
pembentukan undang-undang dengan perkataan kelalaian dimaksud sebagai tidak
berbuat adalah logis, Pasal 1365 mengatur perbuatan dan Pasal 1366 KUHPerdata
tentang tidak berbuat. Dengan adanya Hoge Raad 31 Januari 119 rumusan Pasal 1366
KUHPerdata tidak lagi perlu dipersoalkan, karena sudah termasuk ke dalam perumusan
pengertian perbutan melawan hukum.
Istilah perbuatan melawan hukum, pada umumnya adalah sangat luas artinya, yaitu
perkataan hukum yang dipergunakan dalam arti yang seluas-luasnya dan hal perbuatan

63
Op. Cit, hal 43
64
Purnadi Purbacaraka, Penggarapan Disiplin Hukum dan Filsafat Hukum bagi Pendidikan Hukum. (Jakarta: CV
Rajawali, 1986) hal 43

86
melawan hukum dipandang dari segala sudut. Sejak Hoge Raad 1919, suatu perbuatan
barulah merupakan melawan hukum,65 apabila:
1. Melanggar hal orang lain, atau
2. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat, atau
3. Bertentangan dengan kesusilaan yang baik, atau
4. Bertentangan dengan kepatutan yang terdapat dalam masyarakat terhadap diri atau
barang orang lain.

65
M.A Moegeni Djojodirjo, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta : Pradnya Paramita 1892) hal 35

87
88

Anda mungkin juga menyukai