A. Perusahaan Pembiayaan
Menurut Pasal 1 Ayat (b) Perusahaan Pembiayaan adalah badan usaha di luar Bank
dan Lembaga Keuangan Bukan Bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan
yang termasuk dalam bidang usaha Lembaga Pembiayaan.
a. Akta Pendirian Badan Hukum atau Anggaran Dasar yang telah disahkan oleh
instansi berwenang, yang sekurang-kurangnya memuat :
1) Nama dan tempat kedudukan
2) Kegiatan usaha
3) Permodalan dan Kepemilikan
4) Wewenang, tanggung jawab, masa jabatan direksi dan dewan komisaris
b. Data direksi dan dewan komisaris atau pengurus dan pengawas meliputi :
17
1) Fotocopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau
Paspor dan daftar Riwayat Hidup serta surat pernyataan :
a) Tidak tercatat dalam Daftar Kredit Macet di sektor perbankan;
b) Tidak tercatat dalam Daftar Tidak Lulus (DTL) di sektor
perbankan;
c) Tidak pernah dihukum karena tindak pidana kejahatan;
d) Tdak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah yang
mengakibatkan suatu perseroan atau perusahaan dinyatakan pailit
berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum tetap;
e) Tidak merangkap jabatan pada Perusahaan Pembiayaan lain bagi
Direksi;
f) Tidak merangkap jabatan lebih dari 3 (tiga) Perusahaan
Pembiayaan lain bagi Komisaris.
c. Bukti berpengalaman operasional di bidang Perusahaan Pembiayaan atau
Perbankan sekurang-kurangnya selama 2(dua) tahun bagi salah satu direksi atau
pengurus.
d. Fotocopi Kartu Izin Menetap Sementara (KIMS) dan fotocopi Surat Izin Bekerja
dari instansi berwenang bagi direksi atau pengurus berkewarganegaraan asing.
e. Data pemegang saham atau anggota dalam hal :
1. Perorangan, wajib dilampirkan dengan dokumen tersebut diatas serta surat
pernyataan bahwa setoran modal tidak berasal dari pinjaman dan kegiatan
pencucian uang (money laundering).
2. Badan Hukum wajib dilampoirkan dengan :
a) Akta pendirian Badan Hukum, termasuk Anggaran Dasar berikut
perubahan-perubahan yang telah mendapat pengesahan dari
instansi bewenang termasuk bagi badan usaha asing sesuai dengan
ketentuan yang berlaku di negara asal.
b) Laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik dan
laporan keuangan terakhir.
c) Dokumen dari pemegang saham dan direksi atau pengurus.
18
f. Sistem dan prosedur kerja, struktur organisasi dan personalia
g. Fotocopi bukti pelunasan modal disetor dalam bentuk deposito berjangka pada
salah satu bank umum di Indonesia dan legalitas oleh bank penerima setoran yang
masih berlaku selama dalam proses pengajuan izin usaha;
h. Rencana kerja untuk 2 (dua) tahun pertama, yang sekurang-kurangnya memuat :
1. Rencana pembiayaan d an langkah-langkah yang dilakukan untuk
mewujudkan rencana dimaksud;
2. Proyeksi arus kas, neraca dan perhitungan laba atau rugi bulanan dimulai
sejak Perusahaan Pembiayaan melakukan kegiatan operasional.
i. Bukti kesiapan opersional antara lain berupa :
1. Daftar aktiva tetap dan inventaris;
2. Bukti kepemilikan, penguasaan atau perjanjian sewa menyewa gedung
kantor;
3. Contoh pembiayaan yang akan digunakan; dan
4. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
j. Perjanjian usaha patungan antara pihak asing dan pihak Indonesia bagi
perusahaan patungan.
k. Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (P4MN).
Waktu kegiatan usaha dan laporan serta pencabutan izin usaha ditentukan sebagai
berikut:
19
1. Perusahaan Pembiayaan yang telah memperoleh Izin Usaha wajib melakukan
kegiatan usaha selambat-lambatnya 60 (enampuluh) hari terhitung sejak tanggai
Izin Usaha ditetapkan;
2. Laporan pelaksanaan kegiatan usaha wajib disampaikan kepada Menteri
selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari sejak tanggal dimulainya kegiatan usaha
sesuai dengan format dalam Lampiran II.
3. Apabila setelah jangka waktu 60 (enampuluh) hari tersebut, Perusahaan
Pembiayaan tidak melakukan kegiatan usaha, Menteri mencabut Izin Usaha
Perusahaan Pembiayaan yang bersangkutan.
Modal disetor atau disimpanan pokok dan simpanan wajib dalam rangka
pendirian Perusahaan Pembiayaan ditetapkan sebagai berikut :
20
Modal dan Lembaga Keuangan. Pemegang Saham, Direksi dan Dewan Komisaris
atau Pengurus dan Pengawas Perusahaan Pembiayaan sekurang-kurangnya wajib
memenuhi persyaratan :
21
Komisaris pada 1 (satu) Perusahaan Pembiayaan lain. komisaris Perusahaan
Pembiayaan, diperkenankan merangkap jabatan menjadi komisaris sebanyak
banyaknya pada 3 (tiga) Perusahaan Pembiayaan.
1. Kegiatan Sewa Guna Usaha dilakukan dalam bentuk pengadaan barang modal
bagi Penyewa Guna Usaha, baik dengan maupun tanpa hak opsi untuk membeli
barang tersebut.
2. Dalam kegiatan sebagaimana dimaksud pada butir 1, pengadaan barang modal
dapat juga dilakukan dengan cara membeli barang Penyewa Guna Usaha yang
kemudian disewa guna usahakan kembali.
3. Sepanjang perjanjian Sewa Guna Usaha masih berlaku, hak milik atas barang
modal obyek transaksi Sewa Guna Usaha berada pada Perusahan Penbiayaan.
22
4. Anjak Piutang dengan jaminan dari Penjual Piutang (With Recourse) adalah
kegiatan Anjak Piutang dimana Pennjual Piutang menanggung resiko tidak
tertagihnya piutang sebagian atau seluruh piutang yang dijual kepada Perusahaan
Pembiayaan.
5. Piutang dagang jangka pendek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
piutang dagang yang jatuh tempo selama-lamanya 1 (satu) tahun.
1. Kegiatan Usaha Kartu Kredit dilakukan dalam bentuk penerbitan kartu kredit
yang dapat dimanfaatkan oleh pemegangnya untuk membeli barang dan/atau jasa.
2. Perusahaan Pembiayaan yang melakukan Kegiatan Usaha Kartu Kredit
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sepanjang berkaitan dengan sistem
pembayaran wajib mengikuti ketentuan Bank Indonesia.
Akusisi adalah pengambil alihan baik seluruh maupun sebagian besar saham
Perusahaan Pembiayaan yang dapat mengakibatkan beralihnya pengendalian tehadap
Perusahaan Pembiayaan. Konsolidasi merupakan penggabungan dari 2 (dua) Perusahaan
Pembiayaan atau lebih, dengan cara mendirikan Perusahaan Pembiayaan baru dan
23
membubarkan Perusahaan-perusahaan tersebut dengan atau tanpa likuidas. Merger
maksudnya adalah penggabungan dari 2 (dua) Perusahaan Pembiayaan atau lebih dengan
cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu Perusahaan Pembiayaan dan
membubarkan Perusahaan Pembiayaan lainnya dengan atau tanpa likuidasi.
Perusahaan Pembiayaan dapat membuka Kantor Cabang berupa unit usaha dari suatu
Perusahaan Pembiayaan. Merger, Akusisi, dan Konsolidasi wajib mendapat ijin dan
melaporkan kepada Menteri selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari setelah Merger,
Akusisi, dan Konsolidasi dilakukan. Kantor pusat dan kantor cabang dari Perusahaan
Pembiayaan yang menggabungkan diri.
24
8. Pinjaman dan Penyertaan
25
11. Pemindahan Alamat Kantor
26
a. Bubar
b. Dikenakan sanksi
c. Tidak lagi menjadi perusahaan pembiayaan
d. Melakukan Merger atau Konsolidasi atau,
e. Hasil rapat umum pemegang saham atau putusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum tetap, atau keputusan pemerintah.
27
yang dinamakan perikatan. Bebrapa hal yang lterkandung didalam suatu perikatan antara
lain:
Hubungan yang timbul akibat dua orang itu mengadakan ikatan hukum
dinamakan perikatan, karena perjanjian merupakan salah satu sumber yang melahirkan
perikatan. Hukum perjanjian merupakan bagian dari hukum perdata sebagai kumpulan
kaidah-kaidah hukum yang berlaku dalam suatu lingkungan masyarakat tertentu,
mengatur dan membatasi serta melindungi kepentingan perorangan dari warga
masyarakat di dalam melakukan hubungan hukum keperdataan antara yang satu dengan
lainnya25.
Dalam pasal 1320 KUH Perdata ditentukan empat syarat bagi sahnya suatu
perjanjian yang dibuat antara lain :
25
Ibid, hal. 1.
26
Projodikoro Wirjono, Hukum Perdata tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, (Jakarta:Sumur Bandung, 1981)
hal. 11.
28
Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif karena mengenai
orang-orangnya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir
dinamakan syarat-syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari
perbuatan hukum yang dilakukan itu27.
a. Kata sepakat
1. Teori kehendak
2. Teori kepercayaan
29
perjanjian-perjanjian tertentu. Mengenai perempuan yang tidak cakap,
ketentuan ini telah dicabut dan dianggap tidak berlaku lagi dengan
dikeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963
c. Suatu hal tertentu
Di dalam membuat perjanjian harus ada hal tertentu yang diperjanjikan.
Yang dimaksud dengan hal tertentu adalah prestasi yang diperjanjikanharus
dapat dimengerti oleh semua pihak, artinya prestasi yang diperjanjikan harus
terinci,sehingga apa yang diperjanjikan harus jelas, syarat ini perlu untuk
menentukan hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu
perselisihan.
28
J. Satrio, Hukum Perikatan, (Jakarta : Alumni 1993), hal 23
30
a. Asas Kebebasan
Ditarik suatu kesimpulan dari kesimpulan dari Pasal 1338 KUH Perdata yang
menyatakan bahwa:
“Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang
bagi mereka yang membuatnya”.
Pernyataan ini merupakan suatu pernyataan dibolehkannya setiap orang
membuat perjanjian apa saja dan berisi tentang apa saja yang akan mengikat
bagi pihak pembuatnya sebagai Undang-Undang, dengan perkataan lain
bahwa membuat Undang-Undang sendiri untuk kepentingan dua pihak yang
membuatnya. Dengan demikian pasal-pasal dari hukum perjanjian berlaku
untuk melengkapi peraturan perjanjian yang dibuat.
b. Asas Konsensualitas
Ditarik kesimpulan dari Pasal 1320 KUH Perdata yang menyatakan bahwa
untuk sahnya persetujuan-persetujuan diperlukan empat syarat, yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal
c. Asas Kepribadian
Ditarik kesimpulan dari Pasal 1315 KUH Perdata yang menyatakan bahwa
:
“Pada umumnya tak seorang dapat mengikat dirinya atas nama sendiri atau
meminta ditetapkannya suatu janji daripada untuk dirinya sendiri”.
31
“Persetujuan-persetujuan hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.
Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat membagi rugi kepada pihak-pihak
ketiga, tak dapat pihak-pihak ketiga memperoleh manfaat selin yang diatur
dalm pasal 1317 KUH Perdata”.
Bila dilihat dari kedua pasal diatas dapat disimpulkan bahwa pihak ketiga
tidak terikat dan tidak dapat mengambil keuntungan dari adanya perjanjian
itu. Tetapi masih terdapat penyimpangan atau pengecualian dari asas
kepribadian, ini dapat dilihat dari Pasal 1317 KUH Perdata yang tercantum
dalam Pasal 1420 KUH Perdata. Pasal 1317 KUH Perdata mengatur janji
untuk pihak kepentingan pihak ketiga. Sedangkan Pasal 1318 KUH Perdata
mengatur bahwa dalam suatu perjanjian para pihak yang membuat mengikat
juga para ahli warisnya dalam hak dan kewajiban, hal tersebut dikatakan
peralihan hakatas dasar titel umum29.
3. Hapusnya perjanjian
Pasal 1381 KUH Perdata menyebutkan sepuluh cara berakhirnya atau hapusnya
suatu perikatan.
a. Pembayaran
Suatu pembayaran dimaksudkan setiap pemenuhan perjanjian secara
sukarela atau dengan kata lain tidak menggunakan kekerasan maupun
paksaan. Pembayaran menurut Undang-Undang tidak dapat ditunjukan pada
penyerahan uang, tetapi juga penyerahan barang menurut yang diperjanjikan
dapat dikatakan pembayaran, bahkan yang melakukan pekerjaan untuk
majikannya disebut pembayaran. Suatu masalah yang muncul dalam soal
pembayaran, yaitu subrogasi atau penggantian hak-hak si berpiutang atau
kreditur oleh seorang ketiga yang membayar kepada si berpiutang itu. Dalam
subrogasi atau pergantian ini, seorang ketiga yang membayar suatu hutang
menggantikan kedudukan kreditur terhadap debitur. Jadi setelah hutang itu
29
Ibid, hal. 64.
32
dibayar, muncul seorang kreditur baru yang mengganti kedudukan kreditur
lama. Dengan demikian hutang tersebut hapus akibat pembayaran tadi, tetapi
pada detik itu juga hidup lagi dengan orang ketiga tersebut sebagai pengganti
dari kreditur lama.
c. Pembaharuan Utang :
Menurut Pasal 1413 KUHPerdata, ada 3 macam jalan melaksanakan suatu
pembaharuan utang atau inovaso, yaitu :
a. Apabila seorang yang berutang membuat suatu perikatan utang baru guna
orang yang menghutangkannya, yang menggantikan utang yang lama yang
dihapuskan karenanya.
33
d. Perjumpaan Utang dan Kompensasi :
Kompensasi merupakan suatu cara penghapusan utang dengan
jalan menperjumpakan atau memperhitungkan utang piutang secara timbal
balik antara kreditur atau debitur.
e. Pencampuran Utang :
Apabila kedudukan sebagai orang berpiutang atau kreditur dan
orang berutang atau debitur berkumpul pada satu orang, maka terjadilah
demi hukum suatu percampuran utang dengan mana utang-piutang itu
dihapuskan. Pencampuran utang dapat terlihat dengan jelas dalam suatu
peristiwa kalau di debitur melangsungkan pernikahan dengan krediturnya
dalam suatu persatuan harta kawin. Hapusnya piutang dalam hal
percampuran ini adalah betul-betul “demi hukum” dalam arti otomatis.
f. Pembebasan Utang :
Apabila si berpiutang dengan jelas menyatakan tidak menghendaki
lagi prestasi dari debitur dan melepaskan haknya atas pembayaran atau
pemenuhan perjanjian, maka perikatan yaitu hubungan utang piutang
menjadi hapus.
34
h. Kebatalan dan Pembatalan
Meskipun disebut “batal” atau “pembatalan”, tetapi yang benar
pembatalan saja, karena dalam Pasal 1446 dan selanjutnya dari
KUHPerdata, ternyata bahwa ketentuan-ketentuan disitu kesemuanya
mengenai “pembatalan”. Jika suatu perjanjian batal demi hukum, maka
tidak ada suatu perikatan hukum yang dilahirkan karena tentu saja tidak
bisa hapus. Perjanjian-perjanjian yang kurang syarat obyektifnya dapat
dimintakan pembatalan oleh orang tua atau wali dari pihak yang tidak
cakap itu atau oleh pihak yang memberikan perizinannya secara tidak
bebas karena menderita paksaan atau karena khilaf atau ditipu.
Meminta pembatalan perjanjian yang kekurangan syarat subyektifnya
dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
a. Secara aktif menuntut pembatalan perjanjian yang demikian di depan
hakim
b. Secara pembelaan, yaitu menunggu sampai digugat di depan
hakimuntuk memenuhi perjanjian dan disitulah baru mengajukan
kekurangannya perjanjian tersebut
i. Berlakunya suatu syarat batal:
Perikatan bersyarat adalah suatu perikatan yang nasibnya
digantungkan kepada suatu peristiwa yang masih akan datang dan masih
belum tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan lahirnya perikatan
sehingga terjadinya peristiwa tadi, ataupun secara membatalkan perikatan
menurut terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut. Dalam hal yang
pertama, perikatan dilahirkan hanya apabila peristiwa yang dimaksud itu
terjadi. Dalam hal yang kedua suatu perikatan yang sudah dilahirkan justru
akan berakhir atau batalkan apabila peistiwa yang dimaksudkan terjadi.
Perikatan semacam yang terakhir ini dinamakan suatu perikatan dengan
suatu syarat batal.
Dalam hukum perjanjian pada asasnya suatu syarat batal
selamanya berlaku surut sampai suatu syarat yang apabila terpenuhi akan
35
menghentikan perjanjian dan membawa segala sesuatu kembali kepada
keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi perjanjian, pasal 1265
KUHPerdata.
j. Lewatnya waktu
Menurut Pasal 1946 KUHPerdata yang dinamakan daluwarsa atau
lewat waktu ialah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk
dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan
atas syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-Undang. Daluwarsa untuk
memperoleh hak milik atas suatu barang dinamakan daluwarsa atau
acquisitif, sedangkan daluwarsa untuk dibebaskan dari suatu perikatan
dinamakan daluwarsa atau extinctif.
Menurut Pasal 1976 KUHPerdata, maka segala tuntutan hukum
baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat perseorangan hapus
akibat daluwarsa dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun. Dengan
lewatnya waktu tersebut diatas, hapuslah setiap perikatan hukum dan
tinggallah suatu perikatan bebas atau natuurlijke verbintenis, artinya kalau
dibayar boleh tetapi tidak dapat dituntut di depan hakim. Debitur jika
ditagih utangnya atau dituntut didepan pengadilan dapat mengajukan
tangkisan atau eksepsi tentang daluwarsanya piutang dan dengan demikian
mengelak atau menangkis setiap tuntutan.
Sepuluh cara tersebut diatas belum lengkap, karena masih ada
cara-cara lain yang tidak disebutkan, yaitu berakhirnya perjanjian karena
suatu ketetapan waktu dan karena meninggalnya salah satu pihak dalam
beberapa perjanjian.
36
Hipotek dan Jaminan lainnya, yang diselenggarakan di
Yogyakarta, pada tanggal 20 sampai 30 Juli 1977.
37
jumlah besar, dengan jangka waktu yang
lama dan bunga yang relative rendah30.
Menurut J. Satrio hukum jaminan merupakan
peraturan hukum yang mengatur jaminan-jaminan piutang
seorang kreditur terhadap debitur. Hal ini difokuskan pada
pengaturan dan hak-hak kreditur semata-mata, tetapi tidak
memperhatikan hak-hak debitur. Padahal subjek kajian
hukum jaminan tidak hanya menyangkut kreditur semata-
mata, tetapi juga erat kaitannya dengan debitur. Sedangkan
yang menjadi objek kajiannya adalah benda jaminan.
Menurut Salim HS hukum jaminan merupakan
keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur
hubungan hukum antara pemberi dan penerima jaminan
dalam kaitannya dengan pembebanan jaminan untuk
mendapatkan fasilitas kredit. Unsur-unsur yang tercantum
didalamnya adalah :
1. Adanya kaidah hukum
Kaidah hukum dalam bidang jaminan, dapat
dibedakan menjadi 2 macam, yaitu kaidah hukum
30
Salim HS, Op.cit, hal 5.
38
jaminan tertulis adalah kaidah kaidah hukum yang
terdapat dalam peraturan perundang-undangan, traktat
dan yurisprudensi. Sedangkan kaidah hukum jaminan
tidak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum jaminan yang
tumbuh, hidup dan berkembang dalam masyarakat. Hal
ini terlihat pada gadai tanah dalam masyarakat yang
dilakukan secara lisan.
2. Adanya pemberi dan penerima jaminan
Pemberi jaminan adalah orang-orang atau badan
hukum yang menyerahkan barang jaminan kepada
penerima jaminan. Yang bertindak sebagai pemberi
jaminan ini adalah orang atau badan hukum yang
membutuhkan fasilitas kredit. Orang ini lazim disebut
dengan debitur. Penerima jaminan adalah orang atau
badan hukum yang menerima barang jaminan dari
pemberi jaminan. Yang bertindak sebagai penerima
jaminan ini adalah orang atau badan hukum. Badan
hukum adalah lembaga yang memberikan fasilitas kredit
dapat berupa lembaga perbankan atau lembaga keuangan
nonbank.
3. Adanya jaminan
39
Pada dasarnya, jaminan yang diserahkan kepada
kreditur adalah jaminan materiil dan imateriil. Jaminan
materiil merupakan jaminana yang berupa hak-hak
kebendaan, seperti jaminan atas benda bergerak dan
benda tidak bergerak. Jaminan imateriil merupakan
jaminan non kebendaan
4. Adanya fasilitas kredit
Pembebanan jaminan yang dilakukan oleh pemberi
jaminan bertujuan untuk mendapatkan fasilitas kredit
dari bank atau lembaga keuangan nonbank. Pemberi
kredit merupakan pemberian uang berdasarkan
kepercayaan, dalam arti bank atau lembaga keuangan
nonbank percaya bahwa debitur sanggup untuk
mengembalilkan pokok pinjaman dan bunganya. Begitu
juga debitur percaya bahwa bank atau lembaga keuangan
nonbank dapat memberikan kredit kepadanya31.
Ruang lingkup kajian hukum jaminan meliputi
jaminan umum dan jaminan khusus. Jaminan khusus
dibagi menjadi dua macam, yaitu jaminan kebendaan dan
perorangan. Jaminan kebendaan dibagi menjadi jaminan
31
Salim HS, Op.Cit, hal 6 dan 7.
40
benda bergerak dan tidak bergerak. Yang termasuk
dalam jaminan benda bergerak meliputi: gadai dan
fidusia, sedangkan jaminan benda tidak bergerak
meliputi hak tanggungan, fidusia, khususnya rumah
susun, hipotek kapal laut, dan pesawat udara. Sedangkan
jaminan perorangan meliputi: borg, tanggung
menanggung (tanggung renteng), dan garansi bank32.
Pada dasarnya sumber hukum dapat dibedakan
menjadi dua macam, yakni sumber hukum materiil dan
sumber hukum formal. sumber hukum materiil ialah
tempat materi hukum itu diambil, sumber hukum materiil
ini merupakan faktor yang membantu pembentukan
hukum. Sumber hukum formal merupakan tempat
memperoleh kekuatan hukum. Ini berkaitan dengan
bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan hukum
formal itu berlaku. Yang diakui umum sebagai hukum
formal ialah undang-undang, perjanjian antar Negara,
yurisprudensi, dan kebiasaan.
Sumber hukum jaminan dapat dibagi menjadi 2
macam, yaitu sumber hukum jaminan tertulis dan tidak
32
Ibid., hal 9.
41
tertulis. Yang dimaksud dengan hukum jaminan tertulis
adalah tempat ditemukannya kaidah-kaidah hukum
jaminan yang berasal dari sumber tertulis. Umunya
sumber hukum jaminan tertulis terdapat didalam
peraturan perundang-undangan, traktat dan
yurisprudensi. Sedangkan sumber hukum jaminan tidak
tertulis adalah tempat ditemukannya kaidah hukum
jaminan yang berasal sumber tidak tertulis, seperti
terdapat dalam hukum kebiasaan. Adapun yang menjadi
sumber hukum jaminan tertulis disajikan berikut ini :
1. Buku II KUHPerdata (BW)
KUH Perdata terdiri atas 4 buku, yaitu Buku I
tentang orang. Buku II tentang Benda, Buku III
tentang perikatan, Buku IV tentang Pembuktian dan
Kadaluarsa. Jaminan-jaminan yang masih berlaku
dalam Buku II KUHPerdata hanyalah gadai dan
hipotek kapal laut, sedangkan hipotek atas tanah tidak
berlaku lagi karena telah diganti oleh Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Gadai
diatur dalam Pasal 1150 sampai dengan 1160
42
KUHPerdata. Sedangkan hipotek diatur dalam Pasal
1162 sampai dengan Pasal 1232 KUHPerdata.
Ketentuan tentang hipotek atas tanah kini sudah
tidak berlaku lagi karena telah diganti oleh Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan, sedangkan ketentuan yang masih
berlaku, hanya ketentuan-ketentuan yang berkaitan
dengan hipotek kapal laut, yang beratnya 20m³ ke
atas.
2. KUHDagang
KUHDagang diatur dalam Stb. 1847 Nomor 23
KUHDagang terdiri atas 2 buku, yaitu Buku I tentang
Dagang pada umumnya dan Buku II tentang Hak-hak
dan Kewajiban yang timbul dalam pelayaran.
Sedangkan jumlah pasalnya sebanyak 754 pasal.
Pasal- pasal yang erat kaitan dengan jaminan adalah
pasal-pasal yang berkaitan dengan hipotek kapal laut.
Pasal-pasal yang mengatur hipotek kapal laut adalah
Pasal 314 sampai dengan 316 KUHDagang
43
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Ketentuan-ketentuan yang erat kaitannya dengan
jaminan adalah Pasal 51 dan Pasal 57 UUPA. Pasal 51
UUPA berbunyi “ Hak tanggungan yang dapat
dibebankan pada hak milik, hak guna usaha dan hak
guna bangunan tersebut dalam Pasal 25,33, dan 39
diatur dengan Undang-Undang “. Sedangkan dalam
Pasal 57 UUPA berbunyi “Selama Undang-Undang
mengenai Hak Tanggungan tersebut dalam Pasal 51
belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan-
ketentuan mengenai hypotheek tersebut dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia dan
Credietverband tersebut dalam S.1908-542
sebagaimana telah diubah dengan S.1937-190.
45
“(1) Kapal yang telah didaftarkan dapat dibebani
hipotek; (2) Ketentuan sebagaimana yang dimaksud
dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah.”
Peraturan Pemerintah tentang penjabaran pasal
ini sampai saat ini belum ada, namun didalam
penjelasan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992
ditentukan substansi yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah tersebut, yang meliputi syarat dan tata cara
pembebanan hipotek atas kapal dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Traktat adalah suatu perjanjian yang dibuat antara
dua Negara atau lebih dalam pembebanan jaminan,
seperti pembebanan dalam permohonan untuk
mendapatkan kredit sindikasi, sumber kredit sindikasi
tersebut berasal dari sumber domestic dan asing.
Yurisprudensi atau putusan pengadilan merupakan
produk yudikatif, yang berisi kaidah atau peraturan
hukum yang mengikat pihak-pihak yang berperkara,
terutama dalam perkara pembebanan jaminan.
Yurisprudensi yang berkaitan dengan jaminan ini,
46
khususnya jaiminan fidusia adalah Arrest Hoge Raad
1929, tertanggal 25 Januari 1929 mengakui sahnya
figure fidusia. Arrest ini terkenal dengan
Bierbrouwerij Arrest. Pertimbangan yang diberikan
oleh Hoge Raad lebih menekankan pada segi
hukumnya daripada segi kemasyarkatannya. Hoge
Raad berpendapat perjanjian fidusia bukanlah
perjanjian gadai dan tidak terjadi penyimpangan
hukum. Di Indonesia, lembaga fidusia lahir
berdasarkan Arrest Hoggerechtshof 18 Agustus 1932
(BPM-Clynet Arrest). Lahirnya Arrest ini karena
pengaruh asas konkordansi. Lahirnya Arrest ini
dipengaruhi oleh kebutuhan-kebutuhan yang
mendesak dari pengusaha kecil, pengecer, pedagang
menengah, pedagang grosir yang memerlukan fasilitas
kredit untuk usahanya. Perkembangan perundang-
undangan fidusia sangat lambat, karena undang-
undang yang mengatur tentang jaminan fidusia baru
diundangkan pada tahun 1999, berkenaan dengan
bergulirnya era reformasi. Kedua yurisprudensi ini
dijadikan dasar hukum dalam pembebanan fidusia di
47
Indonesia maupun di negeri Belanda. Tetapi dengan
adanya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999
tentang Jaminan Fidusia, maka kedua Yurisprudensi
tersebut sebagai pedoman dalam pembebanan jaminan
fidusia33.
48
tanggungan di Kantor Badan Pertahanan Nasional
Kabupaten atau Kota, pendaftaran fidusia dilakukan di
Kantor Pendaftaran Fidusia pada Kementerian Hukum
dan Hak Asasi Manusia, sedangkan pendaftaran hipotek
kapal laut dilakukan di depan pejabat pendaftar dan
pencatat balik nama, yaitu syahbandar.
b. Asas Specialitet, yaitu bahwa hak tanggungan, hak
fidusia, dan hipotek hanya dapat dibebankan atas percil
atau atas barang-barang yang sudah terdaftar atas nama
orang tertentu.
c. Asas tak dapat dibagi-bagi, yaitu asas dapat dibaginya
hutang tidak dapat mengakibatkan dapat dibaginya hak
tanggungan, hak fidusia, hipotek, dan hak gadai
walaupun telah dilakukan pembayaran sebagian.
d. Asas Inbezittelling, yaitu barang jaminan (gadai) harus
berada pada penerima gadai,
e. Asas horizontal, yaitu bangunan dan tanah bukan
merupakan satu kesatuan. Hal ini dapat dilihat dalam
penggunaan hak pakai, baik tanah Negara maupun hak
tanah hak milik. Bangunannya milik dari yang
49
bersangkutan atau pemberi tanggungan tetapi tanahnya
milik orang lain, berdasarkan hak pakai34.
34
Ibid., hal 9 dan 10.
35
Anonim, Pelaksanaan Perjanjian Utang-Piutang Dengan Jaminan fidusia Dalam Praktek Di Perum Pegadaian
Branta Kabupaten Pamekasan, http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/24921/5/Abstract.pdf, 20 Juni
2012, hal 5.
50
1. Perjanjian pokok merupakan perjanjian untuk
mendapatkan fasilitas kredit dari lembaga perbankan
atau lembaga keuangan nonbank. Rutten berpendapat
bahwa perjanjian pokok adalah perjanjian-perjanjian,
yang untuk adanya mempunyai dasar yang mandiri
(welkezelftanding een redden van bestaan recht). Contoh
perjanjian pokok adalah perjanjian kredit bank. Kredit
adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat
disamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan
pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk
melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu
dengan pemberian bunga (Pasal 1 ayat (1) Undang-
Undang nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan. Unsur-unsur kredit, meliputi:
a. Penyedian uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu;
b. Didasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam
meminjam;
c. Para pihaknya, yaitu bank dan pihak lain (nasabah);
51
d. Kewajiban peminjam, yaitu untuk melunasi
hutangnya;
e. Jangka waktu; dan
f. Adanya bunga.
2. Perjanjian accesoir adalah perjanjian yang bersifat
tambahan dan dikaitkan dengan perjanjian pokok.
Contoh perjanjian accesoir ini adalah perjanjian
pembebanan jaminan, seperti perjanjian gadai,
tanggungan, dan fidusia. Jadi, sifat perjanjian jaminan
adalah perjanjian accesoir, yaitu mengikuti perjanjian
pokok36.
C.MACAM-MACAM JAMINAN
52
2. Jaminan imateriil (perorangan ), yaitu jaminan
perorangan tidak memberikan hak mendahului atas
benda-benda tertentu, tetapi hanya dijamin oleh harta
kekayaan seseorang lewat orang yang menjamin
pemenuhan perikatan yang bersangkutan37.
1. GADAI
53
biaya penyelamatan barang itu, yang dikeluarkan setelah
barang itu diserahkan sebagai gadai dan yang harus
didahulukan. Gadai dalam Pasal 1150 ini sangat luas, tidak
hanya mengatur tentang pembebanan jaminan atas benda
bergerak, tetapi juga mengatur tentang kewenangan kreditur
untuk mengambil pelunasannya dan mengatur eksekusi
barang gadai, apabila debitur lalai dalam melaksanakan
kewajibannya.
38
Ibid., hal 33 dan 34.
54
gadai untuk pinjaman uang yang diberikan kepadanya atau
pihak ketiga. Unsur-unsur pemberi gadai, yaitu:
55
3. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1969 tentang
Perusahaan Jawatan Pegadaian
4. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1970 tentang
Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1969
tentang Perusahaan Jawatan Pegadaian, dan
5. Perturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000 tentang
Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian.
6. PP No 51 thn 2011 persero Gadai
2. Jaminan Fidusia
57
Pembebanan jaminan fidusia diatur dalam Pasal 4 sampai
dengan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang
jaminan fidusia. Sifat jaminan fidusia adalah perjanjian ikutan
(accesoir) dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan
kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi41.
41
Ibid., hal 64 dan 65.
58
jelas dan lengkap yang mengatur mengenai lembaga
jaminan.
2. Bahwa jaminan fidusia sebagai salah satu bentuk
lembaga jaminan masih didasarkan pada yurisprudensi
dan belum diatur dalam peraturan perundang-
undangan secara lengkap dan komprehensif.
3. Bahwa untuk memenuhi kebutuhan hukum yang dapat
lebih memacu pembanngunan nasional dan untuk
menjamin kepastian hukum serta mampu memberikan
perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan,
maka perlu dibentuk ketentuan yang lengkap
mengenai jaminan fidusia dan jaminan tersebut perlu
didaftarkan di kantor Pendaftaran Fidusia
4. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana yang
dimaksud dalam huruf a, b, dan c dipandang perlu
membentuk Undang-Undang Jaminan Fidusia.
59
1. Menampung kebutuhan masyarakat menjgenai
pengaturan jaminan fidusia sebagai salah satu sarana
untuk membantu kegiatan usaha dan untuk
memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang
berkepentingan.
2. Memberikan kemudahan bagi para pihak yang
menggunakannya khususnya bagi pemberi fidusia.
60
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tidak berlaku
terhadap :
a. Hak Tanggungan yang berkaitan dengan tanah dan
bengunan, sepanjang peraturan perundang-
undangan yang berlaku menentukan jaminan atas
benda wajib didaftar.
b. Hipotek atas kapal laut yang terdaftar dengan isi
kotor berukuran 20m³ atau lebih.
c. Hipotek atas pesawat terbang, dan
d. Gadai (Pasal 3 undang-Undang Nomor 42 Tahun
1999 tentang Jaminan Fidusia).
3. Pembebanan, pendaftaran, pengalihan, dan hapusnya
jaminan fidusia (Pasal 4 sampai dengan Pasal 26
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999),
4. Hak mendahului (Pasal 27 sampai dengan Pasal 28
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999),
5. Eksekusi jaminan fidusia (Pasal 29 sampai dengan
Pasal 34 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999),
6. Ketentuan Pidana (Pasal 35 sampai dengan Pasal 36
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999),
61
7. Ketentuan Peralihan (Pasal 37 sampai dengan Pasal 38
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999),
8. Ketentuan Penutup (Pasal 39 sampai dengan PAsal 41
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999).42
3. HAK TANGGUNGAN
62
untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dijadikan
agunan. Tetapi bukan untuk dikuasai secara fisik dan
digunakan, melainkan untuk menjualnya jika debitur cedera
janji dan mengambil hasilnya seluruhnya atau sebagian
sebagai pembayaran lunas hutang debitur kepadanya44.
44
Ibid., hal 97.
63
Pada dasarnya tidak setiap hak atas tanah dapat
dijadikan jaminan utang, tetapi ha katas tanah yang dapat
dijadikan jaminan harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
1. Hak Milik,
2. Hak Guna Usaha,
3. Hak Guna Bangunan,
4. Hak Pakai, baik hak milik ataupun hak atas Negara,
5. Hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan
hasil karya yang telah ada atau aka nada merupakan
satu kesatuan dengan tanah tersebut45.
45
Ibid., hal 103 dan 105
65
dan credietverband hanyalah hak milik, hak guna usaha,
dan hak guna bangunan, sedangkan pada Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1999, yang menjadi objek hak tanggungan
tidak hanya ketiga hak atas tanah tersebut, tetapi ditambah
dengan hak pakai dan ha katas tanah berikut bangunan,
tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau aka nada
merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dan
merupakan hak milik pemegang ha katas tanah yang
pembebanannya dengan tegas dan dinyatakan didalam akta
pemberian ha katas tanah yang bersangkutan.
67
berikut atau tidak berikut benda-benda yang
berkaitan dengan tanah, belum terbentuk,
3. Bahwa ketentuan mengenai hypotheek sebagaimana
yang diatur dalam Buku II KUHPerdata Indonesia
sepanjang mengenai tanah, dan ketentuan mengenai
Credietverband dalam staatsblad 1908-542
sebagaimana telah diubah dengan staatsblad 1937-
190, yang berdasarkan Pasal 57 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, masih diberlakukan
sementara sampai dengan terbentuknya Undang-
Undang tentang Hak Tanggungan, dipandang tidak
sesuai lagi denag kebutuhan kegiatan perkreditan,
sehubungan dengan perkembangan tata ekonomi
Indonesia,
4. Bahwa mengingat perkembangan yang telah dan
akan terjadi bidang pengaturan dan administrasi
hak-hak atas tanah serta untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat banyak, selain hak milik, hak guna
usaha, dan hak guna bangunan yang telah ditunjuk
sebagai objek hak tanggungan oleh Undang-Undang
68
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, hak pakai atas tanah tertentu
yang wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat
dipindah tangankan, perlu juga dimungkinkan untuk
dibebani hak tanggungan,
5. Bahwa terhubung dengan hal-hal tersebut diatas,
perlu dibentuk undang-undang yang mengatur hak
tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang
berkaitan dengan tanah, sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,
sekaligus mewujudkan unifikasi Hukum Tanah
Nasional
69
3. Pemberi dan pemegang Hak Tanggungan (Pasal 8
sampai dengan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996)
4. Tata cara pemberian, Pendaftaran, peralihan, dan
hapusnya hak tanggungan (Pasal 10 sampai dengan
pasal 19 Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996)
5. Eksekusi Hak Tanggungan ( Pasal 20 sampai
dengan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1996)
6. Pencoretan Hak Tanggungan (Pasal 22 Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1996)
7. Sanksi Administrasi (Pasal 23 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996)
8. Ketentuan Peralihan (Pasal 24 sampai dengan Pasal
26 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996)
9. Ketentuan Penutup (Pasal 27 sampai dengan 31
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996)
70
hak atas tanah berlaku ketentuan-ketentuan yang terdapat
dalam UUPA tetapi secara materiil berlaku ketentuan-
ketentuan yang tercantum dalam bab 21 Buku II
KUHPerdata dan Credietverband46.
71
dibawah permukaaan laut, serta alat apung dan bangunan
yang terapung yang tidak berpindah-pindah.
72
Hypotheekbank adalah lembaga kredit dengan
jaminan tanah, bank yang khusus memberikan
pinjaman uang untuk benda tidak bergerak, kapal
laut, kapal terbang, dan dari segi lain mengeluarkan
surat-surat gadai. Objek hipotek diatur Pasal 1164
KUHPerdata. Objek hipotek, yaitu:
1. Benda-benda tak bergerak yang dapat dipindah
tangankan beserta segala perlengkapannya.
2. Hak pakai hasil atas benda-benda tersebut beserta
segala perlengkapannya.
3. Hak numpang karang dan hak usaha.
4. Bunga tanah, baik yang dibayar dengan uang
maupun yang harus dibayar dengan hasil tanah.
5. Bunga seperti semula.
6. Pasar-pasar yang diakui oleh pemerintah, beserta
hak-hak asli merupakan yang melekat padanya.
47
Ibid., hal 200 dan 201
73
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
hipotek kapal laut dapat dilihat pada perturan perundang-
undangan berikut ini:
74
diketahuinya daftar-daftar oleh masyarakat
(Pasal 1221 s/d Pasal 1232 KUHPerdata).
75
yang didaftar pada satu hari yang sama
mempunyai tingkatan yang sama”.
76
1. Kapal yang telah didaftarkan dapat dibebani
hipotek;
2. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.
77
merupakan jaminan yang menimbulkan hubungan
langsung pada perorangan tertentu, hanya dapat
dipertahankan terhadap debitur tertentu, terhadap
harta, kekayaan debitur umumnya.
49
Ibid. hal. 217 dan 218.
78
memenuhi perikatannya”.(Pasal 1820
KUHPerdata).
b. Pada prinsipnya, penanggung utang tidak wajib
membayar utang debitur kepada kreditur, kecuali
jika debitur lalai membayar utangnya. Untuk
membayar utang debitur tersebut, maka barang
kepunyaan debitur harus disita atau dijual terlebih dahulu untuk
melunasi utangnya. (Pasal 1831 KUHPerdata).
c. Hapusnya penanggungan utang diatur dalam pasal 1845 s/d Pasal 1850
KUHPerdata. Didalam pasal 1845 KUHPerdata disebutkan bahwa
perikatan yang timbul karena penanggungan, hapus karena seba-sebab
yang sama dengan yang menyebabkan berakhirnya perikatan lainnya.
d. Pasal 1381 KUHPerdata ditentukan 10 cara berakhirnya penanggungan
utang, yaitu pembayaran; penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan
penyimpanan atau penitipan; pembaruan utang; kompensasi; pencampuran
utang; pembebasan utang; musnahnya barang yang terutang; kebatalan
atau pembatalan; dan berlakunya syarat pembatalan50.
E. Fidusia
Fidusia menurut asal katanya dari bahasa Romawi “Fides” yang bearti kepercayaan.
Fidusia merupakan istilah yang sudah lama dikenal dalam bahasa Indonesia. Begitu pula
istilah ini digunakan dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia. Dalam terminology Belanda, istilah ini sering disebut secara lengkap yaitu :
Fiduciare Eigendom Overdracht (FEO), yaitu penyerahan hak milik secara kepercayaan.
Sedangkan istilah dalam bahasa Inggris disebut Fiduciary Transfer of Ownership. Fidusia
50
Ibid. hal.219 dan 222.
79
diatur dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia 51. Fidusia
adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan
bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan
pemilik benda. Fidusia adalah hak kebendaan yang memberikan hak kepada kreditur
pemegang fidusia untuk dalam debitur cidera janji mengambil pelunasan piutangnya
terlebih dahulu dari hasil penjualan dari benda yang difidusiakan52.
51
Ibid. hal.55.
52
Ahlan Irsyan Syarif, “Coorporate Finance Perkembangan, Prospek dan Kendalanya ditinjau dari Hukum di
Indonesia”, Makalah disampaikan pada Seminar Sehari Perbankan tentang Aspek Hukum dalam Coorporate
Finance Oleh Perbankan di Indonesia, (Depok, FHUI, 2006), hal. 5.
53
Henny Tanuwijaya,”Hukum Jaminan Fidusia”, http:/hennytanuwijaya.dsen.narotama.ac.id,26 Juni 2012, hal.23.
80
13. Asas bahwa Jaminan Fidusia mudah di Eksekusi54.
c) Obyek Fidusia
Obyek Fidusia adalah benda bergerak baik yang berujud maupun yang
tidak berujud, baik yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar (bahkan yang
belum ada, tetapi kemudian ada atau akan diperoleh) dan benda tidak bergerak
khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan (sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999). Sedangkan benda
adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan baik yang berujud
maupun yang tidak berujud, yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar, yang
bergerak maupun yang tidak bergerak, yang tidak dapat diberi hak tanggungan
atau hipotek55.
d) Pendaftaran Fidusia
Kantor Fidusia menerima pendaftaran benda yang difidusiakan dengan
disertai surat peernyataan pendaftaran, maka kantor pendaftaran fidusia mencatat
jaminan fidusia dalam buku daftar fidusia dengan tanggal yang sama dengan
tanggal penerimaan permohonan pendaftaran dan menerbitkan sertifikat jaminan
fidusia dengan judul Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sehingga sertifikat tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial seperti putusan
Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (Pasal 15 ayat 2
Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999)56.
e) Hapusnya Fidusia
Pada fidusia peralihan hak itu terjadi dengan penyerahan Constitutum
Prossessorium, ialah penyerahan dimana debitur tetap melanjutkan menguasai
benda yang diserahkan (dijaminkan) itu berdasarkan alas hak yang lain.
Hubungan hukum yang lazim terjadi dalam praktek alas hak untuk tetap
54
Anonim,”Hukum Jaminan Fidusia “, http:/s2. Hukum.univ pancasila.ac.id, 26 Juni 2012, hal. 5.
55
Ahlan Irsyan Syarif, Loc.Cit., hal. 5.
56
Ibid. hal. 5.
81
menguasai benda jaminan fidusia tersebut misalnya: tetap menguasai bendanya
berdasarkan pinjam pakai (bruikleen), pnyimpanan barang p(berwaargeving),
perjanjian sewa.
Kemungkinan yang paling besar untuk hapusnya fidusia terjadi karena hapusnya
perutangan pokok yang dijamin dengan fidusia itu. dalam keadaan demikian yang
menjadi persoalan ialah apakah hak milik atas benda tersebut otomatis kembali
kepada debitur tanpa adanya penyerahan khusus, ataukah perlu adanya
penyerahan kembali atau “retro-everdracht” dari hak milik tersebut kepada
debitur. Mengenai ini ada beberapa pendapat. Menurut para pengarang oleh
karena perjanjian fidusia itu dikonstruksikan dengan syarat yang memutus
ontbindendevoorwaarde , maka dengan dipenuhinya peruntangan pokok
perjanjian, otomatis putus dan debitur karena hukum otomatis akan menjadi
pemilik kembali dari benda yang diserahkan. Maka penyerahan kembali atas hak
milik tersebut kepada debitur tidak diperlukan. Hal demikian kiranya sesuai juga
dengan sifat perjanjian fidusia yang dikonstruksikan sebagai perljanjian yang
bersifat accesoir, maka akan memperoleh akibat-akibat hukum tertentu yaitu
akan hapus dengan hapusnya perjanjian pokok, dan akan ikut beralih dengan
beralihnya perutangan pokok akibat adanya cessi, subrogasi tanpa adanya
penyerahan khusus. Kemungkinan lalin untuk hapusnya fidusia ialah karena
musnahnya benda, karena adanya pelepasan hak. Selanjutnya fidusia juga hapus
karena adanya kepailitan dank arena pelaksanaan hak verhaal dalam hal
wanprestasi dari debitur57.
f) Eksekusi Fidusia
Eksekusi Obyek Jaminan Fidusia diatur dalam Bab V Undang-undang Nomor
42 Tahun 1999, dari bunyi Pasal 29 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999, jelas
bahwa dalam hal debitur pemberi fidusia cidera janji, maka kreditur penerima
jaminan fidusia dapat atau berhak menjual obyek jaminan fidusia dengan cara :
i. Mohon eksekusi sertifikat fidusia yang berjudul Demi Keadilan
Berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa sebagaimana dimaksud dalam
57
Sri Soedewi Masjchun Sofwan, Op.Cit., hal. 41.
82
Pasal 15 ayat 2 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 kepada Ketua
Pengadilan Negeri yang berwenang;
ii. Menjual obyek jaminan fidusia atas kekuasaan sendiri melalui pelelang
umum serta mengambil pelunasan piutang dari hasil penjualan (Pasal 15
ayat 3);
iii. Menjual Obyek Fidusia dibawah tangan, yang dilakukan berdasarkan
kesepakatan pemberi dan penerima fidusia jika dengan cara ini akan
diperoleh harga tinggi sehingga menguntungkan para pihak.
58
Ahlan Irsyan Syarif, Loc. Cit., hal. 9 dab 10.
59
Subekti, Op.Cit. hal. 45.
83
Menurut hukum Indonesia, modell-model prestasi dari suatu perjanjian adalah
sebagai berikut :
1. Memberikan sesuatu;
2. Berbuat sesuatu;
3. Tidak berbuat sesuatu.
Konsekuensi yuridis dari tindakan wanprestasi adalah timbulnya hak dari pihak
yang dirugikan dalam perjanjian tersebut, untuk menuntut ganti kerugian dari pihak yang
telah merugikannya, yaitu pihak yang telah melakukan prestasi tersebut. Wanprestasi
(kelalaian atau kealpaan) seorang debitur dapat berupa empat macam :
Akibat yang sangat penting dari tidak dipenuhi nya perikatan, ialah bahwa
kreditur dapat minta ganti rugi atas ongkos dan bunga yang dideritanya. Untuk adanya
kewajiban ganti rugi bagi debitur, maka Undang-undang menentukan bahwa debitur
harus terlebih dahulu dinyatakan berada dalam keadaan lalai (ingebrekestelling).
84
Lembaga pernyataan lalai ini adalah merupakan upaya hukum untuk sampai kepada fase,
dimana debitur dinyatakan”ingkar janji” atau wanprestasi.Di dalam hukum perdata
apabila kreditur menuntut adanya pemenuhan, maka lembaga pernyataan lalai tidak
diperlukan. Sebab hak untuk mendapatkan pemenuhan itu sudah ada dalam perikatan itu
sendiri sedangkan hak untuk meminta ganti rugi atau pemutusan, dasarnya ialah sudah
dilakukannya wanprestasi oleh debitur.
Mengenai suatu prestasi yang tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak ini,
dapatlah akibatnya itu kita lihat pada ketentuan Pasal 1267 BW yang menyebutkan :
“Pihak terhadap siapa perrikatan tidak dipenuhi, dapat memilih apakah hal itu
masih dapat dilakukan akan memaksa pihak yang lain untuk memenuhi persetujuan,
ataukah ia akan menuntut pembatalan persetujuan, disertai penggantian biaya, kerugian
dan bunga”.
60
R. Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum, (Bandung: Sumur Bandung, 1993), hal 7
61
Sudiman Kartohadiprodjo, Tinjauan Perbuatan Melanggar Hukum, (Bandung: 1991), hal 5
62
R. Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum Dipandang dari Sudut Hukum Perdata. (Bandung: Mandar
Maju,2000) hal 4
85
dalam neraca keseimbangan dari masyarakat. kegoncangan ini hanya terdapat, apabila
peraturan-peraturan hukum dalam suatu masyarakat dilanggar (langsung)63.
Istilah perbuatan melanggar hukum, lengkapnya dapat ditemui dalam Pasal 1365
KUHPerdata, merupakan terjemahan istilah Onrecht Matigedaad, yang dipergunakan
dalam Pasal 1401 BW Belanda, untuk menunjukkan pengertian yang sama. Hal ini
disebabkan karena Pasal 1365 KUHPerdata merupakan terjemahan belaka dari Pasal
1401 BW Belanda, yang lengkapnya berbunyi :
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian
tersebut”.
Onrecht Matigedaad yang dapat dilakukan tepat diterjemahkan dengan “perbuatan
melawan hukum”, sebagai istilah lebih luas jangkauannya daripada hanya terbatas
dibidang perdata saja. Perbuatan melawan hukum mungkin juga dibidang hukum tata
Negara “excess de pouvir” atau pelampuan batas kekuasaan maupun dibidang hukum
administrasi Negara “detournement de povoir” atau penyalahgunaan kekuasaan, maka
khusus dibidang hukum perdata seyogyanyalah bila digunakan yang tidak terlalu luas
yaitu penyelewengan perdata64.
Setelah Pasal 1365 KUHPerdata adalah kurang jelas, karena apakah kelalaian
disini dipergunakan sebagai lawan dari kesengajaan. Jika demikian, maka adanya Pasal
1365 KUHPerdata mencakup baik kesanggupan maupun kelalaian. Jika oleh
pembentukan undang-undang dengan perkataan kelalaian dimaksud sebagai tidak
berbuat adalah logis, Pasal 1365 mengatur perbuatan dan Pasal 1366 KUHPerdata
tentang tidak berbuat. Dengan adanya Hoge Raad 31 Januari 119 rumusan Pasal 1366
KUHPerdata tidak lagi perlu dipersoalkan, karena sudah termasuk ke dalam perumusan
pengertian perbutan melawan hukum.
Istilah perbuatan melawan hukum, pada umumnya adalah sangat luas artinya, yaitu
perkataan hukum yang dipergunakan dalam arti yang seluas-luasnya dan hal perbuatan
63
Op. Cit, hal 43
64
Purnadi Purbacaraka, Penggarapan Disiplin Hukum dan Filsafat Hukum bagi Pendidikan Hukum. (Jakarta: CV
Rajawali, 1986) hal 43
86
melawan hukum dipandang dari segala sudut. Sejak Hoge Raad 1919, suatu perbuatan
barulah merupakan melawan hukum,65 apabila:
1. Melanggar hal orang lain, atau
2. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat, atau
3. Bertentangan dengan kesusilaan yang baik, atau
4. Bertentangan dengan kepatutan yang terdapat dalam masyarakat terhadap diri atau
barang orang lain.
65
M.A Moegeni Djojodirjo, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta : Pradnya Paramita 1892) hal 35
87
88