Anda di halaman 1dari 32

Analisis Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Kasus Suap Samin Tan

(Putusan Nomor 37/Pid.Sus/TPK/2021/PN.Jkt.Pst)

PROPOSAL PENELITIAN HUKUM

Oleh:

MOH. FIKRI AMIN SISWANDI

719412005

UNIVERSITAS WIRARAJA MADURA

FAKULTAS HUKUM
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945)

perubahan ketiga pada pasal 1 ayat (3) menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah

negara hukum. Jadi segala bentuk berjalannya pemerintahan ataupun berjalannya suatu

lembaga peradilan diharuskan berdasarkan hukum. Ada 3 (tiga) prinsip yang dikenal

dalam suatu negara hukum yaitu supremasi hukum (supremacy of law) , kesetaraan

dihadapan hukum (equality before the law) dan penegakan hukum dengan cara tidak

bertentangan dengan hukum (due process of law)1.

Sebagai salah satu perwujudan dari negara hukum yakni adanya suatu lembaga

peradilan guna untuk menegakkan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan

yang berlaku di Indonesia. Dalam teori Trias Polica yang di kemukakan oleh

Montesquieu lembaga peradilan tersebut dikenal dengan kekuasaan Yudikatif, yaitu

berperan untuk mempertahankan undang-undang dan mengadili setiap pelanggaran

terhadap undang-undang.2 Dalam UUD NRI 1945 pasal 24 perubahan ketiga lembaga

perdilan sebagai kekuasaan kehakiman yang berperan sebagai kekuasaan yang merdeka

untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Oleh sebab

itu kekuasaan kehakiman tidak boleh di interfensi oleh lembaga kekekuasaan yang

lainnya, sehingga dalam memutus suatu perkara dapat berperilaku objektif guna untuk

mewujudkan cita hukum yaitu keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.

Korupsi merupakan bagian dari perilaku perbuatan melawan hukum dalam konteks

hukum pidana, yang mana perilaku tersebut wajib diadili di lembaga perdilan guna untuk
1
Ibnu Subarkah, Dilematika Kekuasaan Lembaga Peradilan dan Keadilan Dalam Freme
Desentralisasi Pemerintahan (Suatu Common Sense), Jurnal Konstitusi, Vol. IV, No 1, Juni 2011.
Puskasi FH Universitas Widyagama Malang.
2
Ilham Choirul Anwar, Macam Teori Kekuasaan Negara Menurut John Locke &
Montesquieu, https://tirto.id.
menegakkan hukum dan keadilan.3 Pengaturan tentang tindak pidana korupsi diatur dalam

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

(UU 31 Tahun 1999 Tipikor ) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU 31 Tahun 1999 Tipikor. Pengertian tindak

pidana korupsi di atur dalam pasal 2 ayat (1) UU 31 Tahun 1999 Tipikor : Setiap orang

yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang

lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian

negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling

singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit

Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00

(satu milyar rupiah). Pasal 3 dalam undang-undang yang sama : Setiap orang yang

dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,

menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena

jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian

negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling

singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling

sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.

1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)4.

Korupsi adalah salah satu bentuk kejahatan yang mengglobal karena sampai saat ini

masih senantiasa menjadi topik pembicaraan yang selalu hangat, baik dalam kehidupan

masyarakat maupun dalam seminar-seminar yang bertaraf nasional ataupun internasional

karena korupsi bukan hanya menjadi konsumsi perbincangan masyarakat atas dan

3
Indah Sari, Perbuatan Melawan Hukum (PMH) Dalam Hukum Pidana dan Hukum Perdata, Jurnal
Ilmiah Dirgantara-Fakultas Hukum Universitas Dirgantara Marsekal Suryadarma, Volume 11 No. 1,
September 2020.
4
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor: 3874 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor: 4150, www.kpk.go.id.
menengah saja, melainkan juga masalah korupsi saat ini menjadi pembahasan masyarakat

akar rumput. Korupsi dalam bahasa latin disebut Corruptio corruptus, dalam bahasa

Belanda disebut corruptive, dalam bahasa Inggris disebut Corruption, dalam bahasa

sansekerta yang tertuang dalam naskah kuno Negara kertagama arti harfiah corrupt

menunjukkan kepada perbuatan yang rusak, busuk, bejad, tidak jujur yang

disangkutpautkan dengan keuangan. Korupsi yang sekarang menjadi wabah dewasa ini

adalah tindak pidana suap yang begitu menyebar dan merebak secara mencolok dikantor-

kantor pemerintahan. Begitu juga dalam jaringan transaksi antarindividu, perusahaan, dan

lembaga-lembaga swasta non pemerintah. Jarang sekali orang ataupun lembaga yang

bersih dari perbuatan ini. Bahwa pada hakekatnya perbuatan suap bertentangan dengan

norma kesusilaan dan moral pancasila yang membahayakan kehidupan masyarakat dan

bangsa5.

Kasus-kasus korupsi seperti tidak pernah ada habisnya di Negara Indonesia ini,

belakangan ramai dipertontonkan di media massa ataupun online tentang penangkapan

terhadap Bupati Probolinggo yang telah diduga melakukan suap dan jual beli jabatan,

Oprasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Hari

Senin Tanggal 30 Agustus 20216. Di tahun 2020 pun masyarakat digemparkan tentang

penangkapan terhadap Menteri Sosial Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo yang telah

melakukan melakukan korupsi terhadap dana penanggulangan Covid 197. Sungguh

menyayat hati apa yang dilakukan oleh Menteri Sosial ditengah Pandemi Covid 19, uang

yang seharusnya untuk membantu masyarakat yang tengah kesulitan ekonomi akibat

pandemi masih dikorupsi. Pejabat di Indonesia memang sangat sulit mencari pejabat yang

5
Hidayat, Pertanggujawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Suap Dalam Tindak Pidana Korupsi,
Jurnal EduTech Vol. 3 No.2 September 2017.
6
Daryono, https://www.tribunnews.com/nasional/2021/08/31/fakta-bupati-probolinggo-jadi-
tersangka-suap-kronologi-kasus-hingga-cerita-terjaring-ott-kpk, Diakses tanggal 03 September 2021.
7
Dandy Bayu Bramasta, https://www.kompas.com/tren/read/2020/12/06/132100465/juliari-batubara-
dan-sederet-menteri-sosial-yang-ditangkap-kpk, Diakses tanggal 03 September 2021.
benar-benar mengabdikan dirinya untuk masyarat, terlihat hanya mengejar jabatan dan

untuk memperkaya dirinya sendiri ataupun kelompoknya.

Putusan terkait kasus korupsi yang dilakukan oleh Menteri Sosial telah diputuskan,

namun sungguh putusannya cukup menggores persaan karena dampak dari korupsi

tersebut sangat besar, apalagi korupsi dilakukan disaat pandemi. Seharusnya itu dapat

dikatagorikan perbuatan korupsi dalam keadaan tertentu sebagaimana yang dimaksudkan

dalam pasal 2 ayat (2) UU No 31 Tahun 1999 Tipikor yang mana ancaman hukumannya

seumur hidup dan human mati. Dalam poin penjelasan pasal 2 ayat (2) UU No 20 Tahun

2001 perubahan UU No 31 Tahun 1999 Tentang Tipikor : Yang dimaksud dengan

"keadaan tertentu" dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan

pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana

tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan

keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang

meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana

korupsi.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan, putusan

12 tahun penjara yang dijatuhkan majelis hakim kepada mantan Menteri Sosial itu benar-

benar tidak masuk akal dan semakin melukai hati korban korupsi bansos. Empat hal yang

menjadi catatan bagi ICW terhadap putusan korupsi dana Bantuan Sosial (BANSOS)

Covid 19 yang dilakukan oleh mantan Menteri Sosial. Pertama, Juliari melakukan

kejahatan saat menduduki posisi sebagai pejabat publik. Sehingga berdasarkan Pasal 52

KUHP hukuman Juliari mesti diperberat. Kedua, praktik suap bansos dilakukan di tengah

kondisi pandemi Covid-19. Hal ini menunjukkan betapa korupsi yang dilakukan Juliari

sangat berdampak, baik dari segi ekonomi maupun kesehatan, terhadap masyarakat.

Ketiga, hingga pembacaan nota pembelaan atau pledoi, Juliari tak kunjung mengakui
perbuatannya. Padahal, dua orang yang berasal dari pihak swasta, Ardian dan Harry, telah

terbukti secara sah dan meyakinkan menyuap Juliari. Keempat, hukuman berat bagi

Juliari akan memberikan pesan kuat bagi pejabat publik lain agar tidak melakukan praktik

korupsi di tengah situasi pandemi Covid-198.

Kasus korupsi di Indonesia seperti tidak ada habisnya, sehingga mengkaji tentang

korupsi atau tentang putusan hakim tentang suatu tindak pidana korupsi terasa sangat

menarik. Oleh sebab itu penulis berusaha mengkaji kasus suap yang dilakukan oleh

Samin Tan selaku pemberi suap terhadap politisi Partai Golongan Karya (GOLKAR)

sekaligus mantan Wakil Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia

(DPR RI) Eni Maulani Saragih. Menarik untuk mengkaji perjalanan kasus tersebut,

sampai pada putusan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta pada hari Senin 30

Agustus 2021. Majelis hakim memutuskan Terdakwa Samin Tan tidak terbukti

melakukan tindak pidana suap, serta menurut pertimbangan hakim bahwa pengaturan

tentang suap belum diatur dalam UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah

dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi9.

Perjalanan kasus Samin Tan ini berawal dari tahun 2019 saat Komisi Pemberantasan

Korupsi (KPK) menetapkan Samin Tan sebagai tersangka, Samin ditetapkan sebagai

tersangka oleh KPK pada 15 Februari 2019. Ia diduga memberi suap Rp5 miliar kepada

Eni untuk kepentingan proses pengurusan terminasi kontrak PKP2B PT Asmin Koalindo

Tuhup (AKT). KPK juga menduga Samin Tan meminta bantuan Eni untuk menyelesaikan

masalah terminasi perjanjian PT AKT, anak usaha PT BLEM di Kalimantan Tengah.

Permintaan itu disanggupi Eni dan kemudian mempengaruhi pihak Kementerian ESDM.

8
Vendy Yhulia Susanto, newssetup.kontan.co.id,icw-nilai-vonis-mantan-mensos-juliari-batubara-
tidak-masuk-akal, Diakses tanggal 03 September 2021.
9
Tatang Guritno, https://nasional.kompas.com/read/2021/08/30/20173161/ini-alasan-mejelis-hakim-
putus-bebas-samin-tan, Diakses tanggal 05 September 2021.
Tersangka kasus suap kepada anggota DPR RI Eni Maulani Saragih yakni Samin Tan

akhirnya diperintahkan oleh KPK untuk ditangkap, setelah KPK melakukan penggilan

beberapi kali tidak dihiraukan atau tidak hadir. Surat perintah pengkapan terhadap Samin

Tan diterbitkan tanggal 10 Maret 2020, sehingga KPK menelusuri diberbagai tempat

untuk menemukan tersangka Samin Tan. Hingga tanggal 17 April 2020 Samin Tan

dimasukan kedalam Daftar Pencarian Orang (DPO), akhirnya proses panjang pencarian

yang dilakukan oleh KPK membuahkan hasil tanggal 5 April 2021 tersangka Samin Tan

ditangkap disebuah Caffe dijalan MH Tamrin Jakarta Pusan dan langsung ditahan10.

Dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terdakwa Samin Tan

dituntut 3 (tiga) tahun penjara oleh jaksa dari KPK, namun hakim berpendapat lain

sehingga tanggal 30 agustus 2021 dalam pustusan majelis hakim PN Jakarta Pusat Nomor

37/Pid.Sus/TPK/2021/PN.Jkt.Pst terdawa Samin Tan tidak terbukti melakukan suap

sehingga dibebaskan dari segala tuntutan. Serta hakim memerintahkan untuk segera

membebaskan Samin Tan dari tahanan, selah putusan tersebut KPK pun menguluarkan

Samin Tan dari tahanan. Namun KPK tetap berkeyakinan bahwa Samin Tan terlibat

dalam kasus suap berdasarkan alat bukti yang dimiliki, sehingga KPK mengambil

langkah hukum selanjutnya yakni Kasasi11.

Proses panjang perjalanan kasus suap Samin Tan akhirnya berakhir ketok palu hakim

pengadilan tinggi Tipikor Jakarta Pusat, beranjak dari tahun 2019 saat ditetapkan sebagai

tersangka, hingga perintah penangkapan dan status tersangka dimasukan kedalam DPO

oleh KPK. Tentu semua itu bukanlah suatu pertunjukan drama belaka, pastinya ada

sesuatu yang perlu dilihat dan dikaji secara mendalam, baik dari segi proses penetapan

tersangka, terdakwa dan sampai pada putusan majelis hakim PN Tipikor Jakata Pusat.

www.cnnindonesia.com/nasional/20210830163539-12-687423/jejak-samin-tan-dari-
10

tersangka-buron-hingga-divonis-bebas, Diakses 07 Sepetember 2021


11
Azhar Bagas Ramadhan, https://news.detik.com/berita/d-5703288/divonis-bebas-crazy-rich-samin-
tan-dikeluarkan-kpk-dari-rutan, Diakses Tanggal 10 September 2021.
Suap menyuap, jenis tindak pidana yang sudah lama dikenal dalam aturan hukum

pidana Indonesia. KUHP mengenal tindak pidana suap dalam beberapa aturan pasalnya,

pasal-pasal yang menyangkut penyuapan ialah Pasal 209, 210 KUHP (aktif), pasal 418,

419 dan 420 KUHP (pasif). Pasal 209 KUHP berpasangan dengan Pasal 419 KUHP (aktif

dan pasif), sedangkan Pasal 418 KUHP (pasif) tidak ada pasangan aktifnya di dalam

KUHP karena dipandang boleh saja orang memberi hadiah kepada pegawai negeri asal

tidak bertujuan supaya dia melalaikan kewajibannya, misalnya sebagai simpati atas

ketekunan bekerja untuk negara. Tindak pidana korupsi penyuapan diatur dalam undang-

undang pemberantasan tindak pidana korupsi undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo undang-

undang nomor 20 tahun 2001 dalam pasal 5 ayat (1) huruf a dan b dan pasal 5 ayat (2) serta pasal

6 ayat (1) huruf a dan b dan pasal 6 ayat (2)12.

Pengaturan tentang tindak pdana suap di Indonesia ini bukanlah suatu hal yang baru, KUHP

telah mengatur hal tersebut, ditambah lagi dengan tindak pidana khusus yakni kurupsi melalui UU

No. 31 tahun 1999 Jo UU 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidsana Korupsi pun

telah mengaturnya secara khusus dan terperinci. Artinya bahwa pemberi suap dan pemenerima

suap harusnya telah menyadari bahwa perilaku tersebut dilaran oleh aturan hukum yang berlaku

di Negara Republik Indonesia. oleh sebab itu dalam konteks kasus Samin Tan dalam

kesadarannya memberikan uang atau hadiah terhadap pejabat negara atau penyelenggara negara

adalah perbuatan yang dilarang, sehingga apabila dalam kasus tersebut telah terbukti bahwa

Samin Tan telah memberikan uang atau hadiah kepada salah satua anggota DPR RI dengan

maksud dan tujuan untuk memperlancar pekerjaan Samin Tan atau mempengaruhi kebijakan atau

kewajiban penerima suap.

Dalam hal ini segala rangkaian yang telah dituliskan oleh penulis diatas, tentu akan sangan

menarikan jika semua itu ditulis dan disajikan dalam bentuk karya ilmiah yaitu tugas akhir

mahasiswa S1 Fakultas Hukum Widyagama yakni Skripsi.

B. Rumusan Masalah

12
Op.Cit, Hidayat, Hlm 41
Dari pemaparan latar belakang diatas dapat penulis rumuskan, rumusan masalah

sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan tidak pidana suap dalam peraturan perundang-undangan di

Indonesia ?

2. Bagaimana pertimbangan hakim dalam putusan Kasus Suap Samin Tan Nomor

37/Pid.Sus/TPK/2021/PN.Jkt.Pst?

C. Tujuan dan Kegunaan

a. Tujuan

Tujuan penelitian ini sesuai dengan rumusan masalah yang telah dibuat, yakni adalah

sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pengaturan tindak pidana suap dalam peraturan perundang-

undangan di Indonesia.

2. Untuk mengetahui dan menganalisa pertimbangan hakim dalam putusan Kasus Suap

Samin Tan Nomor 37/Pid.Sus/TPK/2021/PN.Jkt.Pst.

b. Kegunaan

Penulisan karya ilmiah ini berguna bagi penulis sebagai bagian dari penyelesaian

tugas akhir yang harus diselesaikan, sebagai syarat untuk kelulusan dan mendapatkan

gelar sarjana hukum. Untuk ilmu penegetahuan dan mahasiswa hukum mungkin karya

ilmiah ini danpat dijadikan tambahan pengetahuan tentang suatu putusan dan perjalanan

suatu kasus korupsi sampai menuju pada akhir ketok palu putusan majelis hakim.

D. Tijauan Pustaka

1. Tindak Pidana Pidana

a. Pengertian Tindak Pidana

Untuk membahas masalah tindak pidana maka terlebih dahulu kita mengerti apa

pidana itu, hukum pidana dan segala pengaturanya diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana serta Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Menurut

Roslan Saleh Pidana adalah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang

dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu. Dikatakan Simons bahwa

strafbaar feit itu adalah “kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang

diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan

kesalahan, dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab”.

Tindak pidana merupakan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan

melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran pidana yang merugikan kepentingan

orang lain atau merugikan kepentingan umum. Beberapa sarjana hukum pidana di

Indonesia menggunakan istilah yang berbeda-beda menyebut kata “pidana” ada

beberapa sarjana yang menyebut tindak pidana, perbuatan pidana atau delik. Untuk

mengetahui hal ini, maka akan diuraikan pendapat dari beberapa sarjana baik

pengertian perbuatan pidana, tindak pidana ataupun “strafbaar feit”. Pengertian dari

strafbaar feit menurut Pompe adalah sebagai berikut:

1. Definisi menurut teori memberikan pengertian “strafbaar feit” adalah suatu

pelanggaran terhadap norma, yang diberikan karena kesalahan si pelanggar

dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan

menyelamatkan kesejahteraan umum.

2. Definisi menurut hukum positif, merumuskan “strafbaar feit” adalah suatu

kejadian yang oleh peraturan perundang-undangan dirumuskan sebagai

perbuatan yang dapat dihukum.

Dalam Kitab Hukum Undang-Undang Pidana (KUHP) istilah umum yang dipakai

adalah tindak pidana karena bersifat netral, dan pengertian itu meliputi perbuatan

pasif dan aktif. Jadi dapat dikatakan bahwa pengertian tindak pidana mempunyai arti

perbuatan melawan hukum atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan
perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam

dengan pidana.

Selain pendapat-pendapat diatas, masih ada pendapat-pendapat lain yang

dikemukakan oleh para sarjana tentang pengertian tindak pidana atau perbuatan

pidana antara lain:

1. Moeljatno

Perbuatan Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum, larangan

mana yang disertai dengan ancaman/ sanksi yang berupa pidana tertentu bagi

siapa saja yang melanggar larangan tersebut. Menentukan kapan dan hal apa

mereka yang telah melanggar larangan itu dapat dikenakan/ dijatuhi pidana

sebagai mana yang diancamkan.

2. Van Hammel

Strafbaar feit adalah kelakuan orang yang yang dirumuskan dalam wet yang

bersifat melawan hukum yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.

Sedangkan menurut pendapat Simons Strafbaar feit adalah kelakuan

(handeling) yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum yang

berhubungan dengan masalah kesalahan serta dilakukan oleh orang-orang

yang mampu bertanggung jawab.

Berdasarkan pendapat di atas jelas bahwa di dalam perbuatan tindak pidana

tersebut didapatkan adanya suatu kejadian tertentu, serta adanya orang-orang yang

berbuat guna menimbulkan suatu akibat karena melanggar peraturan perundang-

undangan yang ada.


b. Unsur Unsur Tindak Pidana

Menurut Moeljatno “unsur-unsur tindak pidana yang merupakan inti dari pada

sifat melawan hukum adalah perbuatan, karena perbuatan itulah yang hanya diikuti

oleh unsur-unsur opzetnya”. Van Hammel merumuskan unsur-unsur strafbaar feit

yaitu:

1) perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang;

2) perbuatan tersebut bersifat melawan hukum;

3) dilakukan dengan kesalahan oleh orang-orang yang mampu bertanggung

jawab baik sengaja maupun tidak sengaja.

Sedangkan menurut Simons, unsur-unsur tindak pidana adalah :

1) Perbuatan manusia;

2) perbuatan manusia itu harus melawan hukum (wederrechtelijk);

3) perbuatan itu harus diancam dengan pidana (strafbaar gesteld) oleh

peraturan perundang-undangan;

4) harus dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab

(Toerekeningsvat baar); dan perbuatan itu harus terjadi karena kesalahan

(schuld) si pembuat.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat diketahui bahwa unsur-unsur dari suatu

tindak pidana adalah perbuatan manusia yang melawan hukum dan dapat diancam

dengan hukuman pidana baik disengaja ataupun tidak disengaja yang terjadi karena

kesalahan si pembuat.
c. Pengertian Tindak Pidana Umum dan Khusus

1. Tindak Pidana Umum

Tindak pidana umum ini ialah suatu perbuatan pidana yang pengaturannya

terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang terdiri dari:

a) Tindak Pidana Umum

Tindak pidana umum ialah suatu perbuatan pidana yang

pengaturannya terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

b) Kejahatan

Kejahatan adalah perbuatan yang melanggar dan bertentangan dengan

apa yang ditentukan dalam kaidah dan tegasnya, perbuatan yang melanggar

larangan yang ditetapkan dalam kaidah hukum dan tidak memenuhi atau

melawan perintah yang telah ditetapkan dalam kaidah hukum yang berlaku

dalam masyarakat.

c) Pelanggaran

Dalam KUHP yang mengatur tentang pelanggaran adalah Pasal 489-

59/BAB I-IX. Pelanggaran adalah “Wetsdelichten” yaitu perbuatan-

perbuatan yang sifat hukumnya baru dapat diketahui setelah ada Wet yang

menentukan demikian. Maka pembunuhan, pencurian, penganiayaan, dan

peristiwa-peristiwa semacam itu merupakan kejahatan (Rechtsdelicten)

karena terpisah dari aturan pidana yang tegas, dirasakan sebagai perbuatan

yang tidak adil. Sedangkan peristiwa seperti bersepeda di atas jalan yang

dilarang, berkendara tanpa lampu atau ke jurusan yang dilarang merupakan

kejahatan/Undang-undang/ pelanggaran (Wetsdelicten), karena kesadaran

hukum kita tidak menganggap bahwa hal-hal itu dengan sendirinya dapat
dipidana, tetapi baru dirasakan sebagai demikian, karena oleh Undang-

undang di ancam degan pidana13.

2. Pengertian Tindak Pidana Khusus

Tindak pidana khusus adalah suatu perbuatan pidana atau tindak pidana

yang diatur di luar kitab Undang-Undang Pidana dasar pemberlakuan tindak

pidana khusus adalah KUHP diatur dalam pasal 103 yaitu: ketentuan-ketentuan

dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan

yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana

kecuali jika oleh Undang-undang ditentukan lain, misal: tindak pidana korupsi

(Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi), Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003

Tentang Pencucian Uang, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang

Terorisme, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 Terorisme, Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika, Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1997 Tentang Psikotropika, Kejahatan terhadap anak (Undang-Undang

Nomor 23 Tahun2003 Tentang Perlindungan Anak), Pelanggaran HAM

(Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia).

Tindak Pidana Khusus maksudnya ditinjau dari peraturan yang menurut

Undang-undang bersifat khusus baik jenis tindak pidananya, penyelesaiannya,

sanksinya bahkan hukum acaranya sebagian diatur secara khusus dalam

Undang-undang tersebut dan secara umum tetap berpedoman pada kitab

Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)14.

13
Renggong Ruslan. “Hukum Pidana Khusus Memahami Delik-Delik di Luar KUHP”, (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2016), 26-27.
14
Ibid, Hlm 31-32.
2. Definisi Suap Menyuap

Suap (bribery) semula dari asal kata briberie (Perancis) yang artinya “begging”

(mengemis) atau “vagrancy” (peng gelandangan) dalam bahasa latin disebut briba,

yang artinya a piece of bread given to beggar (sepotong roti yang diberikan kepada

pengemis). Dalam perkembangan nya bermakna “sedekah” (elas), “blackmail atau

extortion” (pemerasan) dalam kaitannya dengan “gifts received or given in order to

influerence corruptly” (pemberian atau hadiah yang diterima atau diberikan dengan

maksud untuk mem pengaruhi secara jahat atau korup).

Suap dalam berbagai bentuk, banyak dilakukan di tengah-tengah kehidupan

masyarakat. Bentuk suap antara lain dapat berupa pemberian barang, uang sogok dan

lain sebagainya. Adapun tujuan suap adalah untuk mempengaruhi pengambilan

keputusan dari orang atau pegawai atau pejabat yang disuap.

Ketentuan baru yang mengatur tentang penyuapan dalam UU TPK yang mulai

diundangkan dengan UU No 3 Tahun 1971 dan kemudian diganti dengan UU No. 31

Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001. Tetapi semua ketentuan tentang suap tersebut

dioper dari KUH Pidana dalam kaitan dengan tindak pidana jabatan (ambs delicten).

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, suap diartikan sebagai pemberi an dalam

bentuk uang atau uang sogok kepada pegawai negeri. Dalam arti yang lebih luas suap

tidak hanya dalam uang saja, tetapi dapat berupa pemberian barang, rabat (discount),

komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata,

pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya yang diberikan kepada pegawai negri atau

pejabat negara yang pemberian tersebut dianggap ada hubungan dengan jabatanya dan

berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya sebagai pegawai negeri atau pejabat

negara.
Perbuatan suap dilakukan oleh seorang kepada pihak lain baik pegawai negeri,

pejabat negara maupun kepada pihak lain yang mempunyai kewenangan / pengaruh.

Pemberi suap memperoleh hak-hak, kemudahan atau fasilitas tertentu. Perbuatan suap

pada hakekatnya bertentang an dengan norma sosial, agama dan moral. Selain itu juga

bertentangan dengan kepentingan umum serta menimbulkan kerugian masyarakat dan

membahayakan keselamatan negara.

Suap menyuap bersama-sama dengan penggelapan dana - dana publik sering

disebut sebagai bentuk dasar dari tindak pidana korupsi. Kriminalisasi terhadap tindak

pidana suap mempunyai alasan yang sangat kuat sebab kejahatan tersebut tidak lagi

dipandang sebagai kejahatan konvensional, melainkan sebagai kejahatan luar biasa

(extra ordinary crime) karena karakter suap yang sangat kriminogen (dapat menjadi

sumber kejahatan lain), dan viktimogen (secara potensial dapat merugikan pelbagai

dimensi kepentingan).

sDengan demikian seseorang yang terlibat dalam perbuatan suap menyuap

sebenarnya harus malu apabila menghayati makna dari kata suap yang sangat tercela,

dan bahkan sangat merendahkan martabat kemanusiaan, terutama bagi si penerima

suap.

3. Usur Unsur Suap Menyuap

Seperti diketahui bahwa Penyuap an merupakan bagian dari korupsi, dimana dalam

beberapa unsur untuk meng identifikasi penyuapan dalam ketentuan UU No. 31 Tahun

199 jo UU No. 21 tahun 2001 adalah :

1. Melawan Hukum.

2. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi.

3. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

4. Bertujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.
5. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya

karena jabatan atau kedudukan. Sedangkan ketentuan mengenai

Penyuapan diatur dalam Pasal 2 dan 3 UU No. 11 tahun 1980, yang menyebutkan

bahwa :

Pasal 2 bahwa barangsiapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang

dengan maksud untuk membujuk supaya orang itu berbuat sesuatu atau tidak berbuat

sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya

menyangkut kepentingan umum dipidana karena memberi suap dengan pidana penjara

selama-lamanya 5 (lima) tahun dan denda sebanyak-banyaknya Rp. 15.000.000,- (lima

belas juta rupiah).

Pasal 3 bahwa barangsiapa me nerima sesuatu atau janji, sedangkan ia mengetahui

atau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkan supaya

ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan

kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepenting an umum, dipidana

karena menerima suap dengan pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun atau

denda sebanyak-banyaknya Rp. 15.000.000 (lima belas juta rupiah).

Atas dasar rumusan kedua pasal di atas maka unsur subjektif dirumuskan dalam

kalimat “barang siapa” (subjek hukum) yang melakukan perbuatan secara sengaja, agar

penerima suap melakukan atau tidak melakukan kewajiban yang seharusnya dilakukan.

Berdasarkan pilihan kata “barang siapa” tersebut, nampak para pembentuk Undang-

undang menggunakan perumusan yang tercantum dalam KUHP, oleh sebab itu spintas

dapat disimpulkan, bahwa subjek hukum perorangan yang dapat dijatuhi pidana.

Namun dalam perkembangan kebutuhan hukum koorporasi juga merupakan subjek

hukum dalam Tindak Pidana Suap.


Perkembangan ekonomi yang begitu pesat, perorangan tidak mungkin bisa

mengurus dan mengembangkan usaha sendiri, tetapi mereka membentuk usaha

bersama, terpisah dengan harta kekayaan pribadi serta membentuk kepengurusan

sendiri. Oleh sebab itu perbuatan hukum dan akibatnya harus terpisah dengan

perbuatan orang perorang sebagai pemilik modal dan atau pengurusnya. Unsur objektif

dalam tindak pidana suap berupa pemberian atau janji untuk memberi sejumlah uang

atau dalam bentuk barang lainnya kepada orang yang mempunyai kewenangan dan

atau kekuasaan yang menyangkut kepentingan umum (pesuap aktif), serta penerima

suap (pesuap pasif), apabila dia menduga atau patut diduga, bahwa pemberian tersebut

terkait dengan jabatan atau kewenangan yang dimilikinya, maka sudah dikatakan unsur

objektif15.

Tindak Pidana Suap sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 2 dan 3 tersebut di atas

menggunakan rumusan formil artinya yang diancam pidana adalah perbuatan bukan

akibatnya. Namun untk menjatuhkan sanksi pidana kepada pesuap aktif harus

dibuktikan adanya unsur niat/kehendak yang dituju oleh pembuat., sedangkan sebagai

penerima cukup adanya dugaan/ kepatutan (kondisi objektif), bahwa penerima

mengetahui/sudah layak mengetahui, bahwa pemberian sesuatu atau janji itu berkaitan

dengan kewenangan atau kewajiban yang ia miliki.

Sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang, pesuap aktif dan pasif sama-sama

diancam dengan pidana penjara dan denda. Pembentuk Undang-undang memberikan

ancaman pidana denda yang sama bagi keduanya yaitu Rp 15.000.000. pembentuk

Undang-undang membedakan sanksi pidananya, pesuap pasif diancam pidana yang

15
Fransiska Novita Eleanora, PEMBUKTIAN UNSUR SIFAT MELAWAN HUKUM DALAM
TINDAK PIDANA PENYUAPAN, HUKUM DAN DINAMIKA MASYARAKAT VOL.9 NO.2
APRIL 2012
lebih berat (paling lama 5 tahun penjara) sedangkan pesuap aktif ancaman pidananya

paling lama 3 tahun penjara.

Alasan pembuat Undang-undang menentukan sama-sama sebagai perbuatan yang

dapat dipidana baik itu pesuap aktif maupun pasif adalah karena kedua perbuatan

tersebut sama-sama perbuatan tercela yang dapat merugikan masyarakat dan negara.

Kebijakan tersebut akan menimbulkan kesulitan untuk mendapat kan alat bukti atau

bahkan sejak semula mereka tidak melaporkan kejadian yang dialami, meskipun

menimbulkan kerugian. Oleh karena itu penegak hukum harus memperhatikan itikad

baik bagi para saksi pelapor.

Penyuapan merupakan istilah yang dituangkan dalam undang-undang sebagai suatu

hadiah atau janji (giften/beloften) yang diberikan atau diterima meliputi penyuapan

aktif dan penyuapan pasif. Ada 3 unsur yang esensial dari delik suap yaitu :

1. Menerima hadiah atau janji,

2. Berkaitan dengan kekuasaan yang melekat pada jabatan,

3. Bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya.

Di dalam KUHP terdapat pasal-pasal mengenai delik penyuapan aktif (Pasal 209

dan Pasal 210) maupun penyuapan pasif (Pasal 418, 419 dan Pasal 420 yang kemudian

semuanya ditarik dalam Pasal 1 ayat (1) sub c Undang-undang No. 3 Tahun 1971 yang

sekarang menjadi Pasal 5, 6, 11 dan Pasal 12 Undang-undang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi (PTPK) 2001.

Demikian juga dengan penyuapan aktif dalam penjelasan Pasal 1 ayat (1) sub d

Undang-undang No.3 Tahun 1971 (sekarang Pasal 13 Undang-undang PTPK 1999)

dan delik suap pasif dalam Pasal 12B dan 12C Undag-undang PTPK 2001. Pasal 209

dan Pasal 210 KUHP mengartikan kepada seorang ”Pegawai Negeri”, yaitu orang yang
diangkat oleh kekuasaan umum menjadi pejabat umum untuk menjalankan tugas

pemerintah atau bagian-bagiannya. Bertentangan dengan ”kewajibannya” misalnya,

menyusupkan sejumlah uang di bawah tumpukan surat-surat yang ada di atas meja

pegawai negeri itu, atau memberikan sampul surat yang berisi sejumlah uang kepada

pegawai negeri tersebut. Diterima atau tidak oleh pegawai negeri tersebut, yang

”menyuap” tetap dituntut menurut pasal ini.

Pasal 210 KUHP mengisyaratkan penyuapan terhadap hakim dan penasihat

hukumnya di pengadilan, serta Pasal 420 KUHP yang mengatur tentang hakim dan

penasihat hukum yang menerima suap. Perluasan tindak pidana suap dalam bentuk

gratifikasi yang diatur dalam Pasal 418 KUHP kemudian juga dioper menjadi tindak

pidana korupsi dan merumuskan gratifikasi sebagai pemberian hadiah yang luas dan

meliputi, pemberian uang, barang/rabat/diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket

perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan secara cuma-cuma dan

lain-lain.

Dengan demikian tindak pidana penyuapan telah diperluas, introduksi norma

regulasi pemberantasan korupsi telah menempatkan Actief Omkoping (suap aktif)

sebagai subjek tindak pidana korupsi, karena selama ini delik suap dalam KUHP hanya

mengatur Passief Omkoping (suap pasif). Delik suap tidaklah selalu terikat persepsi

telah terjadinya pemberian uang atau hadiah, tetapi dengan adanya pemberian janji saja

adalah tetap objek perbuatan suap.

Adanya poging (percobaan) suap saja sudah dianggap sebagai delik selesai yang

berarti adanya prakondisi sebagai permulaan pelaksanaan dugaan suap itu sudah

dianggap sebagai tindak pidana korupsi. Si penerima wajib membuktikan bahwa

pemberian itu bukan suap, karenanya terdakwa akan membuktikan bahwa pemberian

itu tidaklah berhubungan dengan jabatan dan tidak berlawanan dengan kewajiban atau
tugasnya, sedangkan unsur menerima hadiah atau janji tetap harus ada dugaan terlebih

dahulu dari Jaksa Penuntut Umum.

4. Pertimbangan Hakim

Pengertian Hakim secara yuridis normatif dapat dilihat dalam rumusan Pasal 1

angka 5 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

(selanjutnya disebut Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman), menyatakan: Hakim

adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di

bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,

lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada

pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut.

Hakim yang memeriksa perkara tindak pidana korupsi pada Pengadilan Tipikor

menurut ketentuan Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman

merupakan hakim khusus yang diberikan kewenangan untuk memeriksa, mengadili

dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan

badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung.

Hakim dalam menjalan tugas dan fungsinya tidak dapat diintervensi oleh siapapun,

dengan kata lain hakim harus benar-benar indepen. Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 3

ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan dalam menjalankan

tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian

peradilan.

Memeriksa dan mengadili suatu perkara, maka seorang hakim harus bersikap

netral dan benar-benar menegakan prinsip-prinsip persamaan dihadapan hukum

(equality be for of the law), sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang

Kekuasaan Kehakiman, menyebutkan bahwa pengadilan mengadili menurut hukum

dengan tidak membeda-bedakan orang. Oleh karena itu, seorang hakim harus memiliki
integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil dan profesional, serta

berpengalaman di bidang hukum.

Hakim di dalam membuat putusan harus memperhatikan segala aspek di dalamnya,

yaitu mulai dari perlunya kehati-hatian serta dihindari sedikit mungkin

ketidakcermatan, baik bersifat formal maupun materiil sampai dengan adanya

kecapakan teknik dalam membuatnya. Hakim yang cermat dan hati-hati dalam

merumuskan putusannya tersebut akan menghasilkan putusan yang benar-benar

berlandaskan pada keadilan dan memenuhi aspek kepastian hukum. Pasal 5 ayat (1)

Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, seorang hakim dalam menjatuhkan

putusannya wajib untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan

rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas, diketahui bahwa selain mempertimbangkan pemenuhan

unsur-unsur formil dan materil dalam proses pembuktian yang menjadi dasar bagi

hakim untuk menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana, seorang hakim wajib

pula untuk menjadikan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di dalam

masyarakat sebagai dasar pertimbangan dalam memutus suatu perkara, khususnya

dalam perkara tindak pidana korupsi.

Putusan hakim atau putusan pengadilan merupakan aspek penting dan diperlukan

untuk menyelesaikan perkara pidana. Dengan demikian, dapatlah dikonklusikan lebih

jauh bahwasanya putusan hakim di satu pihak berguna bagi terdakwa memperoleh

kepastian hukum (rechtszekerheids) tentang statusnya dan sekaligus dapat

mempersiapkan langkah berikutnya terhadap putusan hakim tersebut. Sedangkan di

lain pihak, apabila ditelaah melalui visi hakim yang mengadili perkara, putusan hakim

adalah mahkota dan puncak pencerminan nilai-nilai keadilan, kebenaran hakiki, hak
asasi manusia, penguasaan hukum atau fakta secara mapan, mumpuni, dan faktual,

serta visualisasi etika, mentalitas, dan moralitas dari hakim yang bersangkutan.

Secara yuridis, yang dimaksud dengan putusan pengadilan dapat dilihat dalam

rumusan Pasal 1 angka 11 KUHAP, yang menyatakan: “Putusan pengadilan diartikan

sebagai pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang

dapat berupa pemidanaan atau bebas lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta

menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”

Putusan hakim menurut KUHAP pada dasar dapat digolongkan menjadi 2 (dua)

bentuk, yaitu:

1. Putusan yang bukan putusan akhir

Praktiknya, bentuk putusan yang bukan putusan akhir dapat berupa penetapan

atau putusan sela. Putusan jenis ini mengacu pada ketentuan Pasal 148 dan Pasal

156 ayat (1) KUHAP, yaitu dalam hal setelah pelimpahan perkara dan apabila

terdakwa dan atau penasehat hukumnya mengajukan keberatan atau eksepsi

terhadap surat dakwaan jaksa/penuntut umum. Putusan yang bukan putusan akhir

antara lain sebagai berikut:

a. Putusan yang menyatakan tidak berwenang mengadili

Putusan ini dijatuhkan pada setelah persidangan dimulai, di mana kemudian

Penuntut Umum membacakan surat dakwaan. Setelah itu, terdakwa atau

penasihat hukum terdakwa mengajukan eksepsi yang memuat bahwa

Pengadilan Negeri tersebut tidak berkompetensi (wewenang) baik secara relatif

maupun absolut. Jika majelis hakim berpendapat sama dengan penasihat

hukum, maka dapat dijatuhkan putusan bahwa Pengadilan Negeri tidak

berwenang mengadili. (Pasal 156 ayat (2) KUHAP).

b. Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan batal demi hukum


Dakwaan batal demi hukum dapat dijatuhkan apabila dakwaan Jaksa

Penuntut Umum tidak cermat, kurang jelas, dan tidak lengkap.

c. Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat diterima.

Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat diterima pada

dasarnya termasuk kekurang cermatan Penuntut Umum. Sebab-sebab

penjatuhan putusan yang menyatakan dakwaan tidak dapat diterima, antara

lain:

1) Pengaduan yang diharuskan bagi penuntutan dalam delik aduan

tidak ada.

2) Perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa sudah pernah diadili

(nebis in idem), dan

3) Hak untuk penuntutan telah hilang karena daluwarsa (verjaring).

2. Putusan akhir

Putusan akhir dalam praktik lazim disebut dengan istilah putusan atau eind

vonnis dan merupakan jenis putusan bersifat materiil. Pada hakekatnya putusan ini

dapat terjadi setelah majelis hakim memeriksa terdakwa yang hadir di persidangan

sampai dengan pokok perkara selesai diperiksa (Pasal 182 ayat (3) dan (8), Pasal

197, dan Pasal 199 KUHAP). Adapun jenis-jenis dari putusan akhir, antara lain:

a. Putusan yang menyatakan bahwa terdakwa lepas dari segala tuntutan

hukum (onslag van alle rechtsvervolging).

Putusan lepas dari segala tuntutan hukum adalah putusan yang

dijatuhkan terhadap terdakwa dimana hakim berpendapat bahwa

perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan

itu bukan merupakan suatu tindak pidana, sebagaimana diatur dalam

ketentuan Pasal 191 ayat (2) KUHAP. Putusan lepas dari segala tuntutan
hukum, menurut KUHAP, jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan

yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu bukan

merupakan suatu tindak pidana maka terdakwa diputus lepas dari segala

tuntutan hukum.

b. Putusan bebas (vrijspraak)

Menurut Andi Hamzah, “putusan bebas dijatuhkan jika hakim tidak

memperoleh keyakinan mengenai kebenaran atau ia yakin bahwa apa

yang didakwakan tidak atau setidak-tidaknyabukan terdakwa yang

melakukannya.”

Putusan bebas adalah putusan yang dijatuhkan terhadap terdakwa

dimana hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti

dalam persidangan berpendapat bahwa dakwaan yang didakwakan

terhadap terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka

terdakwa diputus bebas (Pasal 191 ayat (1) KUHAP).

c. Putusan pemidanaan (veroordeling)

Putusan pemidanaan adalah putusan yang dijatuhkan terhadap

terdakwa dimana hakim berpendapat bahwa terdakwa terbukti secara sah

dan meyakinkan melakukan tindak pidana yang didakwakan

padanya.Putusan pemidanaan dijatuhkan oleh hakim yang berpendapat

bahwa:

1) Perbuatan terdakwa sebagaimana didakwakan jaksa/penuntut umum

dalam surat dakwaan telah terbukti secara sah dan meyakinkan

menurut hukum;

2) Perbuatan terdakwa tersebut merupakan ruang lingkup tindak pidana

(kejahatan/misdrijven atau pelanggaran/overtredingen); dan


3) Dipenuhinya ketentuan alat-alat bukti dan fakta-fakta persidangan

(Pasal 183, Pasal 184 ayat (1) KUHAP).

Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa dalam proses peradilan pidana,

pada saat pemeriksaan terhadap terdakwa di muka persidangan telah selesai, maka

tahapan akhir dari seluruh proses tersebut adalah pembacaan putusan oleh Majelis

Hakim. Putusan yang ditetapkan oleh Majelis Hakim adalah konsekuensi hukum yang

akan diterima oleh seseorang dari proses hukum yang sedang dijalaninya. Di dalam

ilmu hukum dikenal beberapa jenis putusan yang ditetapkan oleh Majelis Hakim, yaitu:

1. Putusan bebas.

2. Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum.

3. Putusan pemidanaan.

Ketiga bentuk putusan tersebut di atas masing-masing memiliki konsekuensi

hukum yang berbeda. Putusan bebas memberikan konsekuensi hukum terhadap

terdakwa bahwa dibebaskan karena alasan tidak memenuhi asas pembuktian menurut

undang-undang secara negatif dan tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian.

Putusan bebas (vrijspraak) dijatuhkan, jika pengadilan berpendapat bahwa dari

hasil pemeriksaan di siding, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan

kepadanya terbukti secara sah dan menyakinkan, maka terdapat diputus bebas.

Sedangkan, putusan hakim pelepasan dari segala tuntutan hukum, lebih terfokus pada

substansi hukum, seperti dakwaan Jaksa Penuntut Umum menjadi kabur atau

pembuktian yang tidak mendukung atau mengarah pada kesalahan yang didakwakan

kepada terdakwa. Sedangkan putusan pemidanaan adalah penjatuhan pidana oleh

Majelis Hakim berupa pidana penjara atau denda dan pidana tambahan, seperti yang

diatur dalam Pasal 10 KUHP.

E. Metode Penelitian
1. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yang mengarah pada penelitian yuridis

normatif. Penelitian deskriptif menurut Amiruddin dan Zainal Asikin adalah suatu

penelitian yang bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu,

keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu

gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan

gejala lain dalam masyarakat16.

Sesuai dengan sifat penelitian ini, adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk

mengetahui, menggambarkan dan menganalisis pertimbangan hukum majelis hakim

dalam menjatuhkan putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi.

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

undang-undang (statute approach). Pendekatan undang-undang dilakukan dengan isu

hukum yang sedang di tangani. Pendekatan kasus (case approach ) pendekatan

dengan kasus yang menjadi penelitian, pendekatan konseptual (conceptual approach)

pendekatan melalui konsep-konsep melalui beberapa bahan17.

3. Sumber Bahan Hukum

Data penelitian ini bersumber dari data sekunder yang diperoleh dari hasil

penelitian kepustakaan (library research) dengan membaca, menelusuri bahan-bahan

hukum yang relevan dengan permasalahan dan pembahasan dalam penelitian ini.

Data sekunder merupakan bahan-bahan hukum, yang terdiri atas bahan hukum

primer, sekunder dan tertier. Adapun jenis bahan-bahan hukum yang digunakan

sebagai sumber data sekunder dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut:

16
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2014. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rajawali Pers.
halaman 25-26.
17
Zainuddin Ali. 2010, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta Hlm 24.
a. Bahan hukum primer berupa: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-

Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi dan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.

37/Pid.Sus/TPK/2021/PN.Jkt.Pst.

b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan

hukum primer, seperti: Buku, jurnal, skripsi/tesis, dan sumber bahan

hukum sekunder lainnya yang relevan dengan permasalahan dan

pembahasan penelitian ini.

c. Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contoh : kamus,

ensiklopedia18.

4. Teknik Pengumpul Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan penelitian studi kepustakaan,

dengan mengkaji dan menelusuri sumber-sumber kepustakaan serta mempelajari

bahan-bahan hukum tertulis yang ada kaitannya baik peraturan perundang-undangan,

buku ilmiah, surat kabar, serta dokumen,dokumen-dokumen tertulis lainnya yang

terkait dengan permasalahan penelitian ini

5. Analisa Bahan Hukum

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode

deskriptif kualitatif, yaitu dimana data yang diperoleh memberikan suatu gambaran

atau perumusan masalah yang telah dikemukkan, data sekunder dengan bahan primer

serta tersier kemudian dianalisis secara kualitatif oleh penulis. Bahanbahan hukum
18
Bambang Sunggono. 2015. Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, halaman 113-114
tersebut setelah dianalisis, kemudian diuraikan secara sistematis untuk memecahkan

permasalahan dalam skripsi ini. Hasil dari penganalisisan permasalahan dituangkan

dalam bentuk penjelasan-penjelasan, kemudian ditarik kesimpulan dari penelitian

tersebut.

6. Penarikan Kesimpulan

Penarikan kesimpulan dengan cara Penalaran Deduktif yaitu proses penalaran

untuk manarik kesimpulan berupa prinsip atau sikap yang berlaku khusus

berdasarkan atas fakta-fakta yang bersifat umum. Proses penalaran ini disebut

Deduksi. Kesimpulan deduktif dibentuk dengan cara deduksi. Yakni dimulai dari hal-

hal umum, menuku kepada hal-hal yang khusus atau hal-hal yang lebih rendah proses

pembentukan kesimpulan deduktif tersebut dapat dimulai dai suatu dalil atau hukum

menuju kepada hal-hal yang konkrit.

F. Jadwal dan Ssitematika Penulisan

1. Jadwal

NO KEGIATAN WAKTU PELAKSANAAN


KEGIATAN

I II III IV V

1 Persiapan XX

2 Pengajuan Usulan XX

3 Seminar Proposal XX

4 Revisi Usulan XX
5 Pengurusan Izin XX

6 Pengumpulan Data XX

7 Analisa Data XX

8 Penyusunan Laporan XX
Ujian
9 Revisi Laporan XX

2. Sistematika penulisan

Penulisan hukum ini akan disusun dalam 4 (empat) bab dengan sistematika: Bab I.

Pendahuluan, BAB II. Hasil Penelitian, BAB III. Analisis Hasil Penelitian, BAB IV.

Penutup.
DAFTAR PUSTAKA

Buku :

- Bambang Sunggono. Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika 2015)

- Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum. (Jakarta:

Rajawali Pers. 2014)

- Renggong Ruslan. “Hukum Pidana Khusus Memahami Delik-Delik di Luar KUHP”,

(Jakarta: Prenadamedia Group, 2016)

- Zainuddin Ali. Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika 2010)

Jurnal :

- Fransiska Novita Eleanora, Pembuktia Unsur Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak

Pidana Penyuapan, Hukum Dan Dinamika Masyarakat VOL.9 NO.2 APRIL 2012.

- Hidayat, Pertanggujawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Suap Dalam Tindak

Pidana Korupsi, Jurnal EduTech Vol. 3 No.2 September 2017.

- Indah Sari, Perbuatan Melawan Hukum (PMH) Dalam Hukum Pidana dan Hukum

Perdata, Jurnal Ilmiah Dirgantara-Fakultas Hukum Universitas Dirgantara Marsekal

Suryadarma, Volume 11 No. 1, September 2020.

- Ibnu Subarkah, Dilematika Kekuasaan Lembaga Peradilan dan Keadilan Dalam

Freme Desentralisasi Pemerintahan (Suatu Common Sense), Jurnal Konstitusi, Vol.

IV, No 1, Juni 2011. Puskasi FH Universitas Widyagama Malang.

Anda mungkin juga menyukai