Oleh:
719412005
FAKULTAS HUKUM
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945)
perubahan ketiga pada pasal 1 ayat (3) menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah
negara hukum. Jadi segala bentuk berjalannya pemerintahan ataupun berjalannya suatu
lembaga peradilan diharuskan berdasarkan hukum. Ada 3 (tiga) prinsip yang dikenal
dalam suatu negara hukum yaitu supremasi hukum (supremacy of law) , kesetaraan
dihadapan hukum (equality before the law) dan penegakan hukum dengan cara tidak
Sebagai salah satu perwujudan dari negara hukum yakni adanya suatu lembaga
yang berlaku di Indonesia. Dalam teori Trias Polica yang di kemukakan oleh
terhadap undang-undang.2 Dalam UUD NRI 1945 pasal 24 perubahan ketiga lembaga
perdilan sebagai kekuasaan kehakiman yang berperan sebagai kekuasaan yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Oleh sebab
itu kekuasaan kehakiman tidak boleh di interfensi oleh lembaga kekekuasaan yang
lainnya, sehingga dalam memutus suatu perkara dapat berperilaku objektif guna untuk
Korupsi merupakan bagian dari perilaku perbuatan melawan hukum dalam konteks
hukum pidana, yang mana perilaku tersebut wajib diadili di lembaga perdilan guna untuk
1
Ibnu Subarkah, Dilematika Kekuasaan Lembaga Peradilan dan Keadilan Dalam Freme
Desentralisasi Pemerintahan (Suatu Common Sense), Jurnal Konstitusi, Vol. IV, No 1, Juni 2011.
Puskasi FH Universitas Widyagama Malang.
2
Ilham Choirul Anwar, Macam Teori Kekuasaan Negara Menurut John Locke &
Montesquieu, https://tirto.id.
menegakkan hukum dan keadilan.3 Pengaturan tentang tindak pidana korupsi diatur dalam
(UU 31 Tahun 1999 Tipikor ) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU 31 Tahun 1999 Tipikor. Pengertian tindak
pidana korupsi di atur dalam pasal 2 ayat (1) UU 31 Tahun 1999 Tipikor : Setiap orang
yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit
Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00
(satu milyar rupiah). Pasal 3 dalam undang-undang yang sama : Setiap orang yang
dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling
sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
Korupsi adalah salah satu bentuk kejahatan yang mengglobal karena sampai saat ini
masih senantiasa menjadi topik pembicaraan yang selalu hangat, baik dalam kehidupan
karena korupsi bukan hanya menjadi konsumsi perbincangan masyarakat atas dan
3
Indah Sari, Perbuatan Melawan Hukum (PMH) Dalam Hukum Pidana dan Hukum Perdata, Jurnal
Ilmiah Dirgantara-Fakultas Hukum Universitas Dirgantara Marsekal Suryadarma, Volume 11 No. 1,
September 2020.
4
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor: 3874 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor: 4150, www.kpk.go.id.
menengah saja, melainkan juga masalah korupsi saat ini menjadi pembahasan masyarakat
akar rumput. Korupsi dalam bahasa latin disebut Corruptio corruptus, dalam bahasa
Belanda disebut corruptive, dalam bahasa Inggris disebut Corruption, dalam bahasa
sansekerta yang tertuang dalam naskah kuno Negara kertagama arti harfiah corrupt
menunjukkan kepada perbuatan yang rusak, busuk, bejad, tidak jujur yang
disangkutpautkan dengan keuangan. Korupsi yang sekarang menjadi wabah dewasa ini
adalah tindak pidana suap yang begitu menyebar dan merebak secara mencolok dikantor-
kantor pemerintahan. Begitu juga dalam jaringan transaksi antarindividu, perusahaan, dan
lembaga-lembaga swasta non pemerintah. Jarang sekali orang ataupun lembaga yang
bersih dari perbuatan ini. Bahwa pada hakekatnya perbuatan suap bertentangan dengan
norma kesusilaan dan moral pancasila yang membahayakan kehidupan masyarakat dan
bangsa5.
Kasus-kasus korupsi seperti tidak pernah ada habisnya di Negara Indonesia ini,
terhadap Bupati Probolinggo yang telah diduga melakukan suap dan jual beli jabatan,
Oprasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Hari
Senin Tanggal 30 Agustus 20216. Di tahun 2020 pun masyarakat digemparkan tentang
penangkapan terhadap Menteri Sosial Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo yang telah
menyayat hati apa yang dilakukan oleh Menteri Sosial ditengah Pandemi Covid 19, uang
yang seharusnya untuk membantu masyarakat yang tengah kesulitan ekonomi akibat
pandemi masih dikorupsi. Pejabat di Indonesia memang sangat sulit mencari pejabat yang
5
Hidayat, Pertanggujawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Suap Dalam Tindak Pidana Korupsi,
Jurnal EduTech Vol. 3 No.2 September 2017.
6
Daryono, https://www.tribunnews.com/nasional/2021/08/31/fakta-bupati-probolinggo-jadi-
tersangka-suap-kronologi-kasus-hingga-cerita-terjaring-ott-kpk, Diakses tanggal 03 September 2021.
7
Dandy Bayu Bramasta, https://www.kompas.com/tren/read/2020/12/06/132100465/juliari-batubara-
dan-sederet-menteri-sosial-yang-ditangkap-kpk, Diakses tanggal 03 September 2021.
benar-benar mengabdikan dirinya untuk masyarat, terlihat hanya mengejar jabatan dan
Putusan terkait kasus korupsi yang dilakukan oleh Menteri Sosial telah diputuskan,
namun sungguh putusannya cukup menggores persaan karena dampak dari korupsi
tersebut sangat besar, apalagi korupsi dilakukan disaat pandemi. Seharusnya itu dapat
dalam pasal 2 ayat (2) UU No 31 Tahun 1999 Tipikor yang mana ancaman hukumannya
seumur hidup dan human mati. Dalam poin penjelasan pasal 2 ayat (2) UU No 20 Tahun
"keadaan tertentu" dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan
pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana
keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang
meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana
korupsi.
12 tahun penjara yang dijatuhkan majelis hakim kepada mantan Menteri Sosial itu benar-
benar tidak masuk akal dan semakin melukai hati korban korupsi bansos. Empat hal yang
menjadi catatan bagi ICW terhadap putusan korupsi dana Bantuan Sosial (BANSOS)
Covid 19 yang dilakukan oleh mantan Menteri Sosial. Pertama, Juliari melakukan
kejahatan saat menduduki posisi sebagai pejabat publik. Sehingga berdasarkan Pasal 52
KUHP hukuman Juliari mesti diperberat. Kedua, praktik suap bansos dilakukan di tengah
kondisi pandemi Covid-19. Hal ini menunjukkan betapa korupsi yang dilakukan Juliari
sangat berdampak, baik dari segi ekonomi maupun kesehatan, terhadap masyarakat.
Ketiga, hingga pembacaan nota pembelaan atau pledoi, Juliari tak kunjung mengakui
perbuatannya. Padahal, dua orang yang berasal dari pihak swasta, Ardian dan Harry, telah
terbukti secara sah dan meyakinkan menyuap Juliari. Keempat, hukuman berat bagi
Juliari akan memberikan pesan kuat bagi pejabat publik lain agar tidak melakukan praktik
Kasus korupsi di Indonesia seperti tidak ada habisnya, sehingga mengkaji tentang
korupsi atau tentang putusan hakim tentang suatu tindak pidana korupsi terasa sangat
menarik. Oleh sebab itu penulis berusaha mengkaji kasus suap yang dilakukan oleh
Samin Tan selaku pemberi suap terhadap politisi Partai Golongan Karya (GOLKAR)
sekaligus mantan Wakil Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
(DPR RI) Eni Maulani Saragih. Menarik untuk mengkaji perjalanan kasus tersebut,
sampai pada putusan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta pada hari Senin 30
Agustus 2021. Majelis hakim memutuskan Terdakwa Samin Tan tidak terbukti
melakukan tindak pidana suap, serta menurut pertimbangan hakim bahwa pengaturan
tentang suap belum diatur dalam UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah
Perjalanan kasus Samin Tan ini berawal dari tahun 2019 saat Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) menetapkan Samin Tan sebagai tersangka, Samin ditetapkan sebagai
tersangka oleh KPK pada 15 Februari 2019. Ia diduga memberi suap Rp5 miliar kepada
Eni untuk kepentingan proses pengurusan terminasi kontrak PKP2B PT Asmin Koalindo
Tuhup (AKT). KPK juga menduga Samin Tan meminta bantuan Eni untuk menyelesaikan
Permintaan itu disanggupi Eni dan kemudian mempengaruhi pihak Kementerian ESDM.
8
Vendy Yhulia Susanto, newssetup.kontan.co.id,icw-nilai-vonis-mantan-mensos-juliari-batubara-
tidak-masuk-akal, Diakses tanggal 03 September 2021.
9
Tatang Guritno, https://nasional.kompas.com/read/2021/08/30/20173161/ini-alasan-mejelis-hakim-
putus-bebas-samin-tan, Diakses tanggal 05 September 2021.
Tersangka kasus suap kepada anggota DPR RI Eni Maulani Saragih yakni Samin Tan
akhirnya diperintahkan oleh KPK untuk ditangkap, setelah KPK melakukan penggilan
beberapi kali tidak dihiraukan atau tidak hadir. Surat perintah pengkapan terhadap Samin
Tan diterbitkan tanggal 10 Maret 2020, sehingga KPK menelusuri diberbagai tempat
untuk menemukan tersangka Samin Tan. Hingga tanggal 17 April 2020 Samin Tan
dimasukan kedalam Daftar Pencarian Orang (DPO), akhirnya proses panjang pencarian
yang dilakukan oleh KPK membuahkan hasil tanggal 5 April 2021 tersangka Samin Tan
ditangkap disebuah Caffe dijalan MH Tamrin Jakarta Pusan dan langsung ditahan10.
Dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terdakwa Samin Tan
dituntut 3 (tiga) tahun penjara oleh jaksa dari KPK, namun hakim berpendapat lain
sehingga tanggal 30 agustus 2021 dalam pustusan majelis hakim PN Jakarta Pusat Nomor
sehingga dibebaskan dari segala tuntutan. Serta hakim memerintahkan untuk segera
membebaskan Samin Tan dari tahanan, selah putusan tersebut KPK pun menguluarkan
Samin Tan dari tahanan. Namun KPK tetap berkeyakinan bahwa Samin Tan terlibat
dalam kasus suap berdasarkan alat bukti yang dimiliki, sehingga KPK mengambil
Proses panjang perjalanan kasus suap Samin Tan akhirnya berakhir ketok palu hakim
pengadilan tinggi Tipikor Jakarta Pusat, beranjak dari tahun 2019 saat ditetapkan sebagai
tersangka, hingga perintah penangkapan dan status tersangka dimasukan kedalam DPO
oleh KPK. Tentu semua itu bukanlah suatu pertunjukan drama belaka, pastinya ada
sesuatu yang perlu dilihat dan dikaji secara mendalam, baik dari segi proses penetapan
tersangka, terdakwa dan sampai pada putusan majelis hakim PN Tipikor Jakata Pusat.
www.cnnindonesia.com/nasional/20210830163539-12-687423/jejak-samin-tan-dari-
10
pidana Indonesia. KUHP mengenal tindak pidana suap dalam beberapa aturan pasalnya,
pasal-pasal yang menyangkut penyuapan ialah Pasal 209, 210 KUHP (aktif), pasal 418,
419 dan 420 KUHP (pasif). Pasal 209 KUHP berpasangan dengan Pasal 419 KUHP (aktif
dan pasif), sedangkan Pasal 418 KUHP (pasif) tidak ada pasangan aktifnya di dalam
KUHP karena dipandang boleh saja orang memberi hadiah kepada pegawai negeri asal
tidak bertujuan supaya dia melalaikan kewajibannya, misalnya sebagai simpati atas
ketekunan bekerja untuk negara. Tindak pidana korupsi penyuapan diatur dalam undang-
undang pemberantasan tindak pidana korupsi undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo undang-
undang nomor 20 tahun 2001 dalam pasal 5 ayat (1) huruf a dan b dan pasal 5 ayat (2) serta pasal
Pengaturan tentang tindak pdana suap di Indonesia ini bukanlah suatu hal yang baru, KUHP
telah mengatur hal tersebut, ditambah lagi dengan tindak pidana khusus yakni kurupsi melalui UU
No. 31 tahun 1999 Jo UU 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidsana Korupsi pun
telah mengaturnya secara khusus dan terperinci. Artinya bahwa pemberi suap dan pemenerima
suap harusnya telah menyadari bahwa perilaku tersebut dilaran oleh aturan hukum yang berlaku
di Negara Republik Indonesia. oleh sebab itu dalam konteks kasus Samin Tan dalam
kesadarannya memberikan uang atau hadiah terhadap pejabat negara atau penyelenggara negara
adalah perbuatan yang dilarang, sehingga apabila dalam kasus tersebut telah terbukti bahwa
Samin Tan telah memberikan uang atau hadiah kepada salah satua anggota DPR RI dengan
maksud dan tujuan untuk memperlancar pekerjaan Samin Tan atau mempengaruhi kebijakan atau
Dalam hal ini segala rangkaian yang telah dituliskan oleh penulis diatas, tentu akan sangan
menarikan jika semua itu ditulis dan disajikan dalam bentuk karya ilmiah yaitu tugas akhir
B. Rumusan Masalah
12
Op.Cit, Hidayat, Hlm 41
Dari pemaparan latar belakang diatas dapat penulis rumuskan, rumusan masalah
sebagai berikut :
Indonesia ?
2. Bagaimana pertimbangan hakim dalam putusan Kasus Suap Samin Tan Nomor
37/Pid.Sus/TPK/2021/PN.Jkt.Pst?
a. Tujuan
Tujuan penelitian ini sesuai dengan rumusan masalah yang telah dibuat, yakni adalah
sebagai berikut :
undangan di Indonesia.
2. Untuk mengetahui dan menganalisa pertimbangan hakim dalam putusan Kasus Suap
b. Kegunaan
Penulisan karya ilmiah ini berguna bagi penulis sebagai bagian dari penyelesaian
tugas akhir yang harus diselesaikan, sebagai syarat untuk kelulusan dan mendapatkan
gelar sarjana hukum. Untuk ilmu penegetahuan dan mahasiswa hukum mungkin karya
ilmiah ini danpat dijadikan tambahan pengetahuan tentang suatu putusan dan perjalanan
suatu kasus korupsi sampai menuju pada akhir ketok palu putusan majelis hakim.
D. Tijauan Pustaka
Untuk membahas masalah tindak pidana maka terlebih dahulu kita mengerti apa
pidana itu, hukum pidana dan segala pengaturanya diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana serta Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Menurut
Roslan Saleh Pidana adalah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang
dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu. Dikatakan Simons bahwa
strafbaar feit itu adalah “kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang
diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan
kesalahan, dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab”.
orang lain atau merugikan kepentingan umum. Beberapa sarjana hukum pidana di
beberapa sarjana yang menyebut tindak pidana, perbuatan pidana atau delik. Untuk
mengetahui hal ini, maka akan diuraikan pendapat dari beberapa sarjana baik
pengertian perbuatan pidana, tindak pidana ataupun “strafbaar feit”. Pengertian dari
Dalam Kitab Hukum Undang-Undang Pidana (KUHP) istilah umum yang dipakai
adalah tindak pidana karena bersifat netral, dan pengertian itu meliputi perbuatan
pasif dan aktif. Jadi dapat dikatakan bahwa pengertian tindak pidana mempunyai arti
perbuatan melawan hukum atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan
perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam
dengan pidana.
dikemukakan oleh para sarjana tentang pengertian tindak pidana atau perbuatan
1. Moeljatno
Perbuatan Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum, larangan
mana yang disertai dengan ancaman/ sanksi yang berupa pidana tertentu bagi
siapa saja yang melanggar larangan tersebut. Menentukan kapan dan hal apa
mereka yang telah melanggar larangan itu dapat dikenakan/ dijatuhi pidana
2. Van Hammel
Strafbaar feit adalah kelakuan orang yang yang dirumuskan dalam wet yang
bersifat melawan hukum yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.
(handeling) yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum yang
tersebut didapatkan adanya suatu kejadian tertentu, serta adanya orang-orang yang
Menurut Moeljatno “unsur-unsur tindak pidana yang merupakan inti dari pada
sifat melawan hukum adalah perbuatan, karena perbuatan itulah yang hanya diikuti
yaitu:
1) Perbuatan manusia;
peraturan perundang-undangan;
(schuld) si pembuat.
tindak pidana adalah perbuatan manusia yang melawan hukum dan dapat diancam
dengan hukuman pidana baik disengaja ataupun tidak disengaja yang terjadi karena
kesalahan si pembuat.
c. Pengertian Tindak Pidana Umum dan Khusus
Tindak pidana umum ini ialah suatu perbuatan pidana yang pengaturannya
b) Kejahatan
apa yang ditentukan dalam kaidah dan tegasnya, perbuatan yang melanggar
larangan yang ditetapkan dalam kaidah hukum dan tidak memenuhi atau
melawan perintah yang telah ditetapkan dalam kaidah hukum yang berlaku
dalam masyarakat.
c) Pelanggaran
perbuatan yang sifat hukumnya baru dapat diketahui setelah ada Wet yang
karena terpisah dari aturan pidana yang tegas, dirasakan sebagai perbuatan
yang tidak adil. Sedangkan peristiwa seperti bersepeda di atas jalan yang
hukum kita tidak menganggap bahwa hal-hal itu dengan sendirinya dapat
dipidana, tetapi baru dirasakan sebagai demikian, karena oleh Undang-
Tindak pidana khusus adalah suatu perbuatan pidana atau tindak pidana
pidana khusus adalah KUHP diatur dalam pasal 103 yaitu: ketentuan-ketentuan
dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan
kecuali jika oleh Undang-undang ditentukan lain, misal: tindak pidana korupsi
13
Renggong Ruslan. “Hukum Pidana Khusus Memahami Delik-Delik di Luar KUHP”, (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2016), 26-27.
14
Ibid, Hlm 31-32.
2. Definisi Suap Menyuap
Suap (bribery) semula dari asal kata briberie (Perancis) yang artinya “begging”
(mengemis) atau “vagrancy” (peng gelandangan) dalam bahasa latin disebut briba,
yang artinya a piece of bread given to beggar (sepotong roti yang diberikan kepada
influerence corruptly” (pemberian atau hadiah yang diterima atau diberikan dengan
masyarakat. Bentuk suap antara lain dapat berupa pemberian barang, uang sogok dan
Ketentuan baru yang mengatur tentang penyuapan dalam UU TPK yang mulai
Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001. Tetapi semua ketentuan tentang suap tersebut
dioper dari KUH Pidana dalam kaitan dengan tindak pidana jabatan (ambs delicten).
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, suap diartikan sebagai pemberi an dalam
bentuk uang atau uang sogok kepada pegawai negeri. Dalam arti yang lebih luas suap
tidak hanya dalam uang saja, tetapi dapat berupa pemberian barang, rabat (discount),
komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata,
pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya yang diberikan kepada pegawai negri atau
pejabat negara yang pemberian tersebut dianggap ada hubungan dengan jabatanya dan
berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya sebagai pegawai negeri atau pejabat
negara.
Perbuatan suap dilakukan oleh seorang kepada pihak lain baik pegawai negeri,
pejabat negara maupun kepada pihak lain yang mempunyai kewenangan / pengaruh.
Pemberi suap memperoleh hak-hak, kemudahan atau fasilitas tertentu. Perbuatan suap
pada hakekatnya bertentang an dengan norma sosial, agama dan moral. Selain itu juga
disebut sebagai bentuk dasar dari tindak pidana korupsi. Kriminalisasi terhadap tindak
pidana suap mempunyai alasan yang sangat kuat sebab kejahatan tersebut tidak lagi
(extra ordinary crime) karena karakter suap yang sangat kriminogen (dapat menjadi
sumber kejahatan lain), dan viktimogen (secara potensial dapat merugikan pelbagai
dimensi kepentingan).
sebenarnya harus malu apabila menghayati makna dari kata suap yang sangat tercela,
suap.
Seperti diketahui bahwa Penyuap an merupakan bagian dari korupsi, dimana dalam
beberapa unsur untuk meng identifikasi penyuapan dalam ketentuan UU No. 31 Tahun
1. Melawan Hukum.
4. Bertujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.
5. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
Penyuapan diatur dalam Pasal 2 dan 3 UU No. 11 tahun 1980, yang menyebutkan
bahwa :
dengan maksud untuk membujuk supaya orang itu berbuat sesuatu atau tidak berbuat
menyangkut kepentingan umum dipidana karena memberi suap dengan pidana penjara
atau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkan supaya
ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan
karena menerima suap dengan pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun atau
Atas dasar rumusan kedua pasal di atas maka unsur subjektif dirumuskan dalam
kalimat “barang siapa” (subjek hukum) yang melakukan perbuatan secara sengaja, agar
penerima suap melakukan atau tidak melakukan kewajiban yang seharusnya dilakukan.
Berdasarkan pilihan kata “barang siapa” tersebut, nampak para pembentuk Undang-
undang menggunakan perumusan yang tercantum dalam KUHP, oleh sebab itu spintas
dapat disimpulkan, bahwa subjek hukum perorangan yang dapat dijatuhi pidana.
sendiri. Oleh sebab itu perbuatan hukum dan akibatnya harus terpisah dengan
perbuatan orang perorang sebagai pemilik modal dan atau pengurusnya. Unsur objektif
dalam tindak pidana suap berupa pemberian atau janji untuk memberi sejumlah uang
atau dalam bentuk barang lainnya kepada orang yang mempunyai kewenangan dan
atau kekuasaan yang menyangkut kepentingan umum (pesuap aktif), serta penerima
suap (pesuap pasif), apabila dia menduga atau patut diduga, bahwa pemberian tersebut
terkait dengan jabatan atau kewenangan yang dimilikinya, maka sudah dikatakan unsur
objektif15.
Tindak Pidana Suap sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 2 dan 3 tersebut di atas
menggunakan rumusan formil artinya yang diancam pidana adalah perbuatan bukan
akibatnya. Namun untk menjatuhkan sanksi pidana kepada pesuap aktif harus
dibuktikan adanya unsur niat/kehendak yang dituju oleh pembuat., sedangkan sebagai
mengetahui/sudah layak mengetahui, bahwa pemberian sesuatu atau janji itu berkaitan
ancaman pidana denda yang sama bagi keduanya yaitu Rp 15.000.000. pembentuk
15
Fransiska Novita Eleanora, PEMBUKTIAN UNSUR SIFAT MELAWAN HUKUM DALAM
TINDAK PIDANA PENYUAPAN, HUKUM DAN DINAMIKA MASYARAKAT VOL.9 NO.2
APRIL 2012
lebih berat (paling lama 5 tahun penjara) sedangkan pesuap aktif ancaman pidananya
dapat dipidana baik itu pesuap aktif maupun pasif adalah karena kedua perbuatan
tersebut sama-sama perbuatan tercela yang dapat merugikan masyarakat dan negara.
Kebijakan tersebut akan menimbulkan kesulitan untuk mendapat kan alat bukti atau
bahkan sejak semula mereka tidak melaporkan kejadian yang dialami, meskipun
menimbulkan kerugian. Oleh karena itu penegak hukum harus memperhatikan itikad
hadiah atau janji (giften/beloften) yang diberikan atau diterima meliputi penyuapan
aktif dan penyuapan pasif. Ada 3 unsur yang esensial dari delik suap yaitu :
Di dalam KUHP terdapat pasal-pasal mengenai delik penyuapan aktif (Pasal 209
dan Pasal 210) maupun penyuapan pasif (Pasal 418, 419 dan Pasal 420 yang kemudian
semuanya ditarik dalam Pasal 1 ayat (1) sub c Undang-undang No. 3 Tahun 1971 yang
Demikian juga dengan penyuapan aktif dalam penjelasan Pasal 1 ayat (1) sub d
dan delik suap pasif dalam Pasal 12B dan 12C Undag-undang PTPK 2001. Pasal 209
dan Pasal 210 KUHP mengartikan kepada seorang ”Pegawai Negeri”, yaitu orang yang
diangkat oleh kekuasaan umum menjadi pejabat umum untuk menjalankan tugas
menyusupkan sejumlah uang di bawah tumpukan surat-surat yang ada di atas meja
pegawai negeri itu, atau memberikan sampul surat yang berisi sejumlah uang kepada
pegawai negeri tersebut. Diterima atau tidak oleh pegawai negeri tersebut, yang
hukumnya di pengadilan, serta Pasal 420 KUHP yang mengatur tentang hakim dan
penasihat hukum yang menerima suap. Perluasan tindak pidana suap dalam bentuk
gratifikasi yang diatur dalam Pasal 418 KUHP kemudian juga dioper menjadi tindak
pidana korupsi dan merumuskan gratifikasi sebagai pemberian hadiah yang luas dan
lain-lain.
sebagai subjek tindak pidana korupsi, karena selama ini delik suap dalam KUHP hanya
mengatur Passief Omkoping (suap pasif). Delik suap tidaklah selalu terikat persepsi
telah terjadinya pemberian uang atau hadiah, tetapi dengan adanya pemberian janji saja
Adanya poging (percobaan) suap saja sudah dianggap sebagai delik selesai yang
berarti adanya prakondisi sebagai permulaan pelaksanaan dugaan suap itu sudah
pemberian itu bukan suap, karenanya terdakwa akan membuktikan bahwa pemberian
itu tidaklah berhubungan dengan jabatan dan tidak berlawanan dengan kewajiban atau
tugasnya, sedangkan unsur menerima hadiah atau janji tetap harus ada dugaan terlebih
4. Pertimbangan Hakim
Pengertian Hakim secara yuridis normatif dapat dilihat dalam rumusan Pasal 1
adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada
Hakim yang memeriksa perkara tindak pidana korupsi pada Pengadilan Tipikor
dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan
Hakim dalam menjalan tugas dan fungsinya tidak dapat diintervensi oleh siapapun,
dengan kata lain hakim harus benar-benar indepen. Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 3
tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian
peradilan.
Memeriksa dan mengadili suatu perkara, maka seorang hakim harus bersikap
(equality be for of the law), sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang
dengan tidak membeda-bedakan orang. Oleh karena itu, seorang hakim harus memiliki
integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil dan profesional, serta
kecapakan teknik dalam membuatnya. Hakim yang cermat dan hati-hati dalam
berlandaskan pada keadilan dan memenuhi aspek kepastian hukum. Pasal 5 ayat (1)
putusannya wajib untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan
unsur-unsur formil dan materil dalam proses pembuktian yang menjadi dasar bagi
hakim untuk menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana, seorang hakim wajib
pula untuk menjadikan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di dalam
Putusan hakim atau putusan pengadilan merupakan aspek penting dan diperlukan
jauh bahwasanya putusan hakim di satu pihak berguna bagi terdakwa memperoleh
lain pihak, apabila ditelaah melalui visi hakim yang mengadili perkara, putusan hakim
adalah mahkota dan puncak pencerminan nilai-nilai keadilan, kebenaran hakiki, hak
asasi manusia, penguasaan hukum atau fakta secara mapan, mumpuni, dan faktual,
serta visualisasi etika, mentalitas, dan moralitas dari hakim yang bersangkutan.
Secara yuridis, yang dimaksud dengan putusan pengadilan dapat dilihat dalam
sebagai pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang
dapat berupa pemidanaan atau bebas lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta
Putusan hakim menurut KUHAP pada dasar dapat digolongkan menjadi 2 (dua)
bentuk, yaitu:
Praktiknya, bentuk putusan yang bukan putusan akhir dapat berupa penetapan
atau putusan sela. Putusan jenis ini mengacu pada ketentuan Pasal 148 dan Pasal
156 ayat (1) KUHAP, yaitu dalam hal setelah pelimpahan perkara dan apabila
terhadap surat dakwaan jaksa/penuntut umum. Putusan yang bukan putusan akhir
lain:
tidak ada.
2. Putusan akhir
Putusan akhir dalam praktik lazim disebut dengan istilah putusan atau eind
vonnis dan merupakan jenis putusan bersifat materiil. Pada hakekatnya putusan ini
dapat terjadi setelah majelis hakim memeriksa terdakwa yang hadir di persidangan
sampai dengan pokok perkara selesai diperiksa (Pasal 182 ayat (3) dan (8), Pasal
197, dan Pasal 199 KUHAP). Adapun jenis-jenis dari putusan akhir, antara lain:
ketentuan Pasal 191 ayat (2) KUHAP. Putusan lepas dari segala tuntutan
hukum, menurut KUHAP, jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan
merupakan suatu tindak pidana maka terdakwa diputus lepas dari segala
tuntutan hukum.
melakukannya.”
bahwa:
menurut hukum;
Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa dalam proses peradilan pidana,
pada saat pemeriksaan terhadap terdakwa di muka persidangan telah selesai, maka
tahapan akhir dari seluruh proses tersebut adalah pembacaan putusan oleh Majelis
Hakim. Putusan yang ditetapkan oleh Majelis Hakim adalah konsekuensi hukum yang
akan diterima oleh seseorang dari proses hukum yang sedang dijalaninya. Di dalam
ilmu hukum dikenal beberapa jenis putusan yang ditetapkan oleh Majelis Hakim, yaitu:
1. Putusan bebas.
3. Putusan pemidanaan.
terdakwa bahwa dibebaskan karena alasan tidak memenuhi asas pembuktian menurut
undang-undang secara negatif dan tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian.
kepadanya terbukti secara sah dan menyakinkan, maka terdapat diputus bebas.
Sedangkan, putusan hakim pelepasan dari segala tuntutan hukum, lebih terfokus pada
substansi hukum, seperti dakwaan Jaksa Penuntut Umum menjadi kabur atau
pembuktian yang tidak mendukung atau mengarah pada kesalahan yang didakwakan
Majelis Hakim berupa pidana penjara atau denda dan pidana tambahan, seperti yang
E. Metode Penelitian
1. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yang mengarah pada penelitian yuridis
normatif. Penelitian deskriptif menurut Amiruddin dan Zainal Asikin adalah suatu
keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu
gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan
Sesuai dengan sifat penelitian ini, adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk
2. Pendekatan Penelitian
Data penelitian ini bersumber dari data sekunder yang diperoleh dari hasil
hukum yang relevan dengan permasalahan dan pembahasan dalam penelitian ini.
Data sekunder merupakan bahan-bahan hukum, yang terdiri atas bahan hukum
primer, sekunder dan tertier. Adapun jenis bahan-bahan hukum yang digunakan
sebagai sumber data sekunder dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut:
16
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2014. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rajawali Pers.
halaman 25-26.
17
Zainuddin Ali. 2010, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta Hlm 24.
a. Bahan hukum primer berupa: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
37/Pid.Sus/TPK/2021/PN.Jkt.Pst.
ensiklopedia18.
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode
deskriptif kualitatif, yaitu dimana data yang diperoleh memberikan suatu gambaran
atau perumusan masalah yang telah dikemukkan, data sekunder dengan bahan primer
serta tersier kemudian dianalisis secara kualitatif oleh penulis. Bahanbahan hukum
18
Bambang Sunggono. 2015. Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, halaman 113-114
tersebut setelah dianalisis, kemudian diuraikan secara sistematis untuk memecahkan
tersebut.
6. Penarikan Kesimpulan
untuk manarik kesimpulan berupa prinsip atau sikap yang berlaku khusus
berdasarkan atas fakta-fakta yang bersifat umum. Proses penalaran ini disebut
Deduksi. Kesimpulan deduktif dibentuk dengan cara deduksi. Yakni dimulai dari hal-
hal umum, menuku kepada hal-hal yang khusus atau hal-hal yang lebih rendah proses
pembentukan kesimpulan deduktif tersebut dapat dimulai dai suatu dalil atau hukum
1. Jadwal
I II III IV V
1 Persiapan XX
2 Pengajuan Usulan XX
3 Seminar Proposal XX
4 Revisi Usulan XX
5 Pengurusan Izin XX
6 Pengumpulan Data XX
7 Analisa Data XX
8 Penyusunan Laporan XX
Ujian
9 Revisi Laporan XX
2. Sistematika penulisan
Penulisan hukum ini akan disusun dalam 4 (empat) bab dengan sistematika: Bab I.
Pendahuluan, BAB II. Hasil Penelitian, BAB III. Analisis Hasil Penelitian, BAB IV.
Penutup.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Jurnal :
- Fransiska Novita Eleanora, Pembuktia Unsur Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak
Pidana Penyuapan, Hukum Dan Dinamika Masyarakat VOL.9 NO.2 APRIL 2012.
- Indah Sari, Perbuatan Melawan Hukum (PMH) Dalam Hukum Pidana dan Hukum